FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT"

Transkripsi

1 FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan, bahwa tesis Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat merupakan karya saya dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2007 Farma Yuniandra NIM.: P

3 ABSTRAK FARMA YUNIANDRA Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan DODIK RIDHO NURROCHMAT. Sejak penetapan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat sebagai taman nasional, implementasi PHBM pada 25 desa di dalam dan sekitar taman nasional menghadapi masalah. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis substansi kebijakan PHBM, mengkaji implementasi kebijakan dan dampaknya di Taman Nasional Gunung Ciremai dan merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. Metode penelitian ialah analisis kebijakan, deskripsi, AHP dan SWOT. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terdiri atas beberapa tahapan, yaitu sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori, perencanaan desa, Nota Kesepakatan Bersama (NKB), Nota Perjanjian Kerja sama (NPK) dan Peraturan Desa. Dampak ekonomi dari kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan ialah kontribusi PHBM pada pendapatan sekitar 7,71% dari rata-rata pendapatan sebesar Rp ,- per kapita per tahun dan tingkat kemiskinan masyarakat setelah PHBM secara umum relatif baik. Penelitian ini menghasilkan rekomendasi, bahwa strategi kebijakan PHBM yang dapat diterapkan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ialah sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi, pengembangan pemanfaatan taman nasional dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kata kunci: Pengelolaan hutan bersama masyarakat, strategi kebijakan, taman nasional

4 ABSTRACT FARMA YUNIANDRA Formulation of Policy Strategy of Collaborative Forest Management (CFM) in the Mount Ciremai National Park, Kuningan Regency, West Java Province. Under the supervision of CECEP KUSMANA and DODIK RIDHO NURROCHMAT. Since the enaction of Mount Ciremai in the Kuningan Regency, West Java Province as national park, the implementation of CFM at 25 villages within and surrounding the national park have been facing problem. The objectives of this research are analysing the policy substance of CFM, examining policy implementation and it s impact in the Mount Ciremai National Park and formulating policy strategy of CFM in the Mount Ciremai National Park. Methods of this research are policy analysis, descriptive analysis, AHP and SWOT. Implementation of the CFM policy in Kuningan Regency consists of some steps: socialization, forming of CFM Forum, mapping, inventory, planning of village, NKB, NPK and village regulation. Economic impact from the policy of CFM in Kuningan Regency is the contribution of CFM to income of about 7,71% from the nominal of Rp ,- per capita per year and poverty rate after CFM in general is relatively good. This research results recommend that CFM policy strategies that can be applied in Mount Ciremai National Park, Kuningan Regency, West Java Province are socialization of economic value of the national park, intervence of regulation, developing the utilition of national park and empowerment of the community economic. Key words: Collaborative forest management, national park, policy strategy

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto copy, mikro film dan sebagainya

6 FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Tesis Nama NIM Program Studi : Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat : Farma Yuniandra : P : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui: Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana, Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 12 Pebruari 2007 Tanggal Lulus:

8 Karya kecil ini dipersembahkan buat Ibu (almarhumah), Bapak, Kakak, Keponakan dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan kurnia-nya, sehingga tesis yang berjudul Formulasi Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat berhasil diselesaikan. Penelitian tesis ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dilaksanakan di lapangan selama tiga bulan pada bulan April Juni 2006 di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, MSc selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan saran selama penelitian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu (almarhumah), Bapak dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih banyak memiliki keterbatasan dan kekurangan. Meskipun demikian, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor, Pebruari 2007 Farma Yuniandra

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batusangkar pada tanggal 26 Juni 1974 dari Bapak Makmur Munaf dan Ibu Farida. Penulis merupakan putra bungsu dari enam bersaudara. Tahun 1993, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister diperoleh penulis pada tahun 2004 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja di Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Perawang Sukses Perkasa Industri (Surya Dumai Group) dan sejak tahun 2000 bekerja di Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, Propinsi Riau.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.....vii DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN....xi I. PENDAHULUAN II. III. IV Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Manfaat...10 TINJAUAN PUSTAKA Formulasi Strategi dan Analisis Kebijakan Hutan dan Pengelompokannya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Kawasan Konservasi dan Taman Nasional Pengambilan Keputusan, Analisis AHP dan SWOT METODE Lokasi dan Waktu Bahan dan Peralatan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data...33 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari...49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Substansi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Implementasi dan Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...89 v

12 VI. A. Implementasi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat...89 B. Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pertumbuhan Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Disparitas Pendapatan Ekonomi Rumah Tangga a. Struktur Pendapatan dan Ketergantungan terhadap PHBM b. Distribusi Keuntungan dari PHBM c. Analisis Kemiskinan di Desa Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat A. Identifikasi Stakeholders B. Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan C. Evaluasi Faktor-faktor Keputusan BKSDA II Provinsi Jawa Barat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan PMTH Kabupaten Kuningan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan LSM Lokal Kabupaten Kuningan Universitas Kuningan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran-saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengaruh kapabilitas pemerintah dan modal sosial pada pilihan lembaga pengelolaan hutan Klasifikasi kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Klasifikasi kawasan konservasi menurut Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung Klasifikasi hutan konservasi dan hutan lindung menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Skala dasar dari AHP Responden peserta PHBM pada desa sampel Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan Prioritas SWOT Evaluasi faktor internal dan eksternal Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan tahun Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan tahun Penduduk Kabupaten Kuningan tahun Penduduk Kabupaten Kuningan menurut jenis kelamin dan kelompok umur tahun Sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tahun 2005/ Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun Penggunaan lahan kering di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun Tanaman pertanian yang terdapat di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun Penduduk Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma menurut jenis kelamin tahun Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2005/2006 (A = Negeri, B = Swasta) Penggunaan lahan di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun vii

14 22. Tanaman pertanian yang terdapat di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun Penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari menurut jenis kelamin tahun Sekolah menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam UUD Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Peraturan menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Keputusan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Inkonsistensi substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun Dana dari lembaga donor, Pemda Kabupaten Kuningan dan Perum Perhutani untuk implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel KTH dalam PHBM pada tiga desa sampel Pendapatan peserta PHBM di desa sampel dari PHBM dan non PHBM Pendapatan KPH Kuningan tahun Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan kerugiannya tahun Tingkat kemiskinan sebelum dan setelah PHBM Jarak disparitas pendapatan peserta PHBM di desa sampel antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah Distribusi pendapatan menurut kelas pendapatan di desa sampel Deskripsi variabel sosial ekonomi responden Deskripsi statistik karakteristik sosial ekonomi responden Sumber pendapatan rumah tangga peserta PHBM di desa sampel Variabel yang berhubungan terhadap porsi pendapatan dari PHBM Variabel yang berhubungan dengan keuntungan dari PHBM Analisis regresi dari variabel yang berhubungan dengan tingkat kemiskinan viii

15 47. Stakeholders, kepentingan dan tingkat kepentingannya, tingkat pengaruh dan peluang partisipasinya dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Faktor-faktor SWOT yang mempengaruhi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Evaluasi faktor internal dan eksternal kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Matriks analisis SWOT strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ix

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir kerangka pemikiran Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan pembuatan kebijakan Suatu contoh dari hirarki AHP dengan tiga tingkatan Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan Posisi pada berbagai situasi Tahapan dari penelitian Siklus kebijakan dan objek penelitian Kurva Lorens pada desa sampel Tipe rumah dan kontribusi sumber pendapatan pada pendapatan rumah tangga Distribusi keuntungan dari PHBM di desa sampel Stakeholders, tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan BKSDA II Provinsi Jawa Barat terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan PMTH Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan LSM lokal Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pilihan Universitas Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Posisi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat x

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian Jadwal penelitian Kuisioner penelitian untuk implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Kuisioner penelitian untuk perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun Kegiatan Gerhan di Taman Nasional Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan tahun PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun PAD Kabupaten Kuningan dari sektor kehutanan pada dinas lainnya di Kabupaten Kuningan tahun Skala parameter dari SWOT kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.158 xi

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur vital dalam suatu organisasi atau lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga internasional, bahkan dalam keluarga atau institusi informal karena merupakan landasan untuk tindakan-tindakan nyata di lapangan. Kebijakan yang ada pada setiap lembaga atau organisasi dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana, peraturan, kesepakatan, konsensus, kode etik, program dan proyek. Keberhasilan kebijakan ini sangat ditentukan oleh proses pembuatan dan pelaksanaannya. Kebijakan sebagai ilmu pengetahuan memerlukan pendekatan interdisiplin dan lintas sektoral, yaitu kebijakan di suatu sektor harus memperhatikan implikasinya bagi kegiatan atau dampak di sektor lain. Permasalahannya ialah kebijakan lintas sektoral sulit karena masing-masing sektor mempunyai strategi, program, proyek dan anggaran terpisah. Kebijakan merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan untuk mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Dengan kata lain, kebijakan ialah upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan yang sudah dirumuskan. Kebijakan bisa juga merupakan upaya pemerintah untuk memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan masalah lama. Kebijakan juga dapat diartikan upaya untuk mengatasi kegagalan dalam proses pembangunan. Kegagalan itu bisa kegagalan kebijakan itu sendiri, kegagalan pemerintah, kegagalan ekonomi, perdagangan dan pemasaran. Kebijakan selalu menjadi isu penting dalam pengelolaan hutan, pertanian atau pembangunan pada umumnya. Pengalaman menunjukkan, bahwa di negara-negara maju yang memiliki kebijakan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis. Sebaliknya, di Indonesia kebijakan pemerintah cenderung tidak konsisten, selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh. Hal ini memerlukan perhatian yang serius karena pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari persoalan fundamental ini, yaitu kegagalan kebijakan.

19 2 Pengelolaan hutan di Pulau Jawa dimonopoli oleh Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani), sehingga ruang partisipasi daerah dan masyarakat sekitar hutan sangat sempit. Kondisi ini menyebabkan timbulnya berbagai konflik sosial yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Oleh karena itu, Perum Perhutani melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan. Kegiatan tersebut dimulai dari Prosperity Approach dengan Perhutanan Sosial (PS), kemudian Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan diperbaiki dengan PMDH Terpadu (PMDHT). Namun, hal ini tidak cukup memberikan kesejahteraan bagi masyarakat karena masyarakat sekitar hutan hanya dijadikan objek oleh Perum Perhutani. Salah satu alternatif dalam mengurangi kerusakan dan tekanan terhadap hutan, Perum Perhutani meluncurkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan mengikuti hal serupa di Nepal, yaitu Joint Forest Management (JFM) berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 1061/Kpts/Dir/2000 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan diganti dengan Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. PHBM dicanangkan oleh Perum Perhutani sebagai tonggak transformasi Perum Perhutani menuju perubahan. Program ini memiliki perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pola pengelolaan hutan sebelumnya, yaitu pengelolaan yang semula timber forest management berubah menjadi resources base management yang artinya pengelolaan hutan Perum Perhutani tidak lagi berorientasi pada produk kayu saja, melainkan pada semua komponen sumberdaya hutan. Kemudian, pola pengelolaan yang dulunya state based forest management berubah menjadi collaborative forest management yang artinya proses pengelolaan hutan Perum Perhutani dilaksanakan secara bersama dengan prinsip saling berbagi (sharing), kesetaraan dan keterbukaan. Kabupaten Kuningan yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat mempunyai hutan negara seluas Ha (22,68% dari luas daratan Ha) dan hutan rakyat seluas Ha (6,25%). Namun, menurut Aliadi (2002) telah terjadi degradasi hutan di Kabupaten Kuningan seluas Ha kehilangan tegakan akibat penjarahan, Ha kondisinya kritis berupa alang-alang, areal bekas kebakaran dan areal penggembalaan yang tidak terkontrol serta seluas Ha tidak produktif karena tingkat kerapatan

20 3 pohonnya yang rendah. Dengan demikian, luas kawasan hutan di Kabupaten Kuningan yang masih berhutan hanya Ha (35,57%) atau 8,07% dari luas daratan. Pada awalnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Seluas ± (Satu Juta Empat Puluh Lima Ribu Tujuh Puluh Satu) Ha, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas ,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± Ha dan tahun 2004 berubah lagi menjadi taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas Ha Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Perubahan menjadi taman nasional di atas memunculkan reaksi berbeda dari berbagai kalangan. Sebagian pihak, antara lain Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan menyambut positif perubahan fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Sebagian pihak yang lain, seperti sejumlah personil Lembaga Pelayanan Implementasi (LPI)-PHBM dari unsur LSM dan perorangan serta masyarakat pelaku kegiatan PHBM di kawasan hutan Gunung Ciremai menolak, belum menerima atau setidaknya mengkritisi proses penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai ini dan proses lanjutannya karena di sebagian kawasan hutan Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan terdapat 25 desa pada tujuh kecamatan yang telah dalam proses implementasi PHBM dan sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) pada 18 desa dan Nota Perjanjian Kerja sama (NPK) pada lima desa dengan Perum Perhutani serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi taman nasional berarti pengelola hutan akan berganti dan kesepakatan kerja sama yang telah dibuat bisa menjadi tidak berlaku lagi.

21 4 Oleh karena itu, agar permasalahan di atas tidak berlarut-larut dan hutan yang semakin sedikit ini bisa dikelola secara lestari perlu rasanya kebijakan yang telah ditetapkan dan merupakan salah satu instrumen yang cukup penting dalam suatu pengelolaan untuk dikaji kembali keefektifan dan keefisienannya serta dicari strategi kebijakan terbaik dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Kerangka Pemikiran Hutan yang merupakan salah satu dari sumberdaya alam mempunyai berbagai manfaat, yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Manfaat sosial dari hutan ialah sebagai hak masyarakat sekitar hutan, estetika dan budaya. Manfaat ekonomi hutan ialah hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, kebutuhan lahan dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan manfaat ekologi dari hutan ialah keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya, iklim, pengatur tata air dan pencegah erosi. Untuk mendapatkan manfaatnya, hutan harus dikelola. Pengelolaan hutan tergantung pada fungsi dan status suatu hutan. Namun, bentuk pengelolaan suatu hutan harus memperhatikan juga stakeholders di sekitarnya karena mempunyai kepentingan masing-masing terhadap hutan. Jika tidak, maka suatu saat kepentingan yang berbeda-beda tersebut akan bersinggungan, sehingga menimbulkan konflik. Bila konflik kepentingan ini berlangsung terus, maka akan merugikan stakeholders dan hutan sendiri. Hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat hanya melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak meningkat. Hal ini menyebabkan masyarakat mengganggu hutan berupa penjarahan dan perambahan, sehingga kelestarian hutan menjadi terganggu. Di samping itu, hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani ini tidak berkontribusi secara signifikan pada PAD Pemda Kabupaten Kuningan karena kontribusi sektor kehutanan turun ke daerah melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU). Gangguan terhadap hutan bertambah parah akibat perilaku sebagian masyarakat yang mengekspresikan tuntutan perubahan, demokrasi dan kebebasan pasca reformasi tahun 1998 secara kebablasan. Hal ini menyebabkan kelestarian hutan semakin terganggu dan muncul konflik antara masyarakat dengan Perum Perhutani. Menyikapi keadaan ini dan seiring dengan

22 5 perubahan paradigma, Perum Perhutani menerapkan PHBM yang melibatkan seluruh stakeholders, seperti masyarakat, Pemda dan sebagainya dalam mengelola hutan. Meskipun bentuk pengelolaan ini telah menghasilkan hal-hal yang positif, tetapi ada beberapa hal yang masih menjadi masalah, yaitu mengenai ketepatan sharing bagi hasil antara masyarakat dengan Perum Perhutani, kontribusi PHBM pada kesejahteraan masyarakat dan sebagainya. Pada tahun 2004, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai dirubah menjadi taman nasional, sehingga harus dicari lagi bentuk pengelolaan yang tepat pada fungsi baru ini yang secara tidak langsung mengabaikan bentuk pengelolaan sebelumnya. Oleh karena itu, harus dianalisis kebijakan PHBM dan implementasi serta dampaknya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan memformulasikan strategi kebijakan PHBM yang bisa mengakomodir kepentingan para stakeholders agar tidak terjadi konflik kepentingan dan hutan lestari. Berikut gambar diagram alir kerangka pemikiran. Pengelolaan Hutan Perum Perhutani Tenaga Kerja Pendapatan Daerah Reformasi Gangguan Hutan Kesejahteraan Masyarakat Konflik Kelestarian Hutan Sharing PHBM Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran

23 Perumusan Masalah Kondisi masyarakat di Kabupaten Kuningan yang tersebar pada 132 desa sekitar hutan umumnya memprihatinkan karena sebagian besar merupakan desa tertinggal meskipun berdampingan dengan sumberdaya hutan yang melimpah. Namun, sumberdaya hutan tersebut sebagian rusak dan bertambah parah akibat perilaku sebagian masyarakat yang mengekspresikan tuntutan perubahan, demokrasi dan kebebasan pasca reformasi tahun 1998 secara kebablasan, seperti penjarahan dan perambahan. Situasi seperti ini mendasari dan mendorong beberapa pihak di Kabupaten Kuningan berpikir dan berupaya untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Apalagi sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kehutanan terhadap Kabupaten Kuningan tahun 1999 hanya 2,65% atau Rp ,- (Gunawan, 2001). Penjarahan hutan di Kabupaten Kuningan selama tahun ialah seluas 3.062,32 Ha dengan nilai kerugian mencapai Rp ,- dengan rincian tahun 1998 seluas 786,84 Ha dengan kerugian Rp ,-, tahun 1999 seluas 806,70 Ha dengan kerugian Rp ,-, tahun 2000 seluas 750,22 Ha dengan kerugian Rp ,- dan tahun 2001 seluas 718,56 Ha dengan kerugian Rp ,- (Anonim, 2002). Keprihatinan dan semangat mencari solusi atas masalah pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan bertemu dengan gagasan PHBM yang tengah bergulir di lingkungan Perum Perhutani. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sedang mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya ialah kerusakan hutan makin parah, konflik sosial di sekitar hutan meluas dan tekanan politik di daerah yang menggugat eksistensinya. PHBM dinilai sebagai jawaban yang tepat, mengingat pendekatan sosial yang sudah ada tidak bisa menyelesaikan masalah karena secara psikologis belum mampu mengikat hubungan emosional masyarakat untuk merasa memiliki kawasan hutan. Hal ini menjadi tantangan dan peluang untuk bersama-sama mewujudkan PHBM sebagai sistem pengelolaan hutan baru yang lebih demokratis, adil, partisipatif dan sesuai dengan karakteristik daerah. Gagasan PHBM yang semula hanya terbatas pada beberapa orang dalam pembicaraan informal terus bergulir dan meluas melibatkan berbagai pihak di tingkat kabupaten, baik dari kalangan Pemda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Perum Perhutani, LSM dan organisasi kemasyarakatan lain, baik dalam forum informal maupun formal. Salah satu forum terpenting dalam proses

24 7 pengguliran gagasan PHBM ini ialah Lokakarya Implementasi PHBM bulan Juli Dalam forum ini, para pihak di Kabupaten Kuningan melakukan proses pendalaman pemahaman bersama dan konseptualisasi gagasan PHBM secara bersama dengan beberapa pihak dari luar kabupaten (Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjajaran dan Departemen Kehutanan). Proses dialog multi pihak dalam lokakarya ini melahirkan kesepakatan, bahwa PHBM merupakan solusi atas masalah pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan yang kemudian diformulasikan dalam Dokumen Pokok-Pokok PHBM di Kabupaten Kuningan. Meskipun implementasi PHBM di tingkat lapangan masih menyimpan sejumlah masalah, tetapi telah menunjukkan beberapa hasil positif pada aspek kelestarian hutan, terutama berupa percepatan rehabilitasi hutan dan penurunan proses kerusakan hutan akibat pencurian kayu. Berdasarkan data dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan tahun 2005, tahun telah berhasil dilakukan rehabilitasi hutan kritis seluas Ha. Di samping itu, jumlah pohon yang dicuri menurun dari pohon pada tahun 1999 menjadi pohon tahun 2000, pohon tahun 2001, pohon tahun 2002, 341 pohon tahun 2003 dan 549 pohon tahun Hal ini mengakibatkan kerugian Perum Perhutani akibat pencurian kayu menurun dari 5,124 milyar rupiah tahun 1999 menjadi 1,9 milyar rupiah tahun 2000, 2,7 milyar rupiah tahun 2001, 767 juta rupiah tahun 2002, 104 juta rupiah tahun 2003 dan 81 juta rupiah tahun Perkembangan tersebut makin menguatkan keyakinan, bahwa kegagalan tanaman dan pengamanan hutan masalah utamanya bukan masalah teknis, melainkan masalah sosial. Menurut Maksum (2005), dari 36 orang peserta PHBM diperoleh gambaran, bahwa 50% responden memperoleh tambahan pendapatan Rp , ,- sekali panen dan sekitar 34% responden memperoleh tambahan Rp , ,- sekali panen. Sementara itu, menurut hasil evaluasi penyelenggaraan PHBM yang dilakukan oleh Universitas Kuningan tahun 2004, peningkatan pendapatan peserta PHBM rata-rata Rp ,- per tahun atau 7,8% dari total sebelum mengikuti PHBM (Rp ,-). Terlepas dari angka-angka di atas, kegiatan PHBM dalam jangka pendek telah memberikan tambahan pendapatan pada petani hutan, terutama dari kegiatan tumpang sari. Hasil tumpang sari ini penting karena luas pemilikan lahan para peserta PHBM umumnya sangat kecil menurut survey Universitas

25 8 Kuningan tahun 2004, rata-rata kurang dari 0,16 Ha. Pada tahun-tahun mendatang, para peserta PHBM akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil hutan bukan kayu, seperti durian, petai, nangka, alpukat, kemiri, melinjo dan bagi hasil tebangan kayu. Pada lokasi-lokasi yang pada saat NPK telah terdapat tegakan hutan, pendapatan dari bagi hasil kayu akan lebih cepat. Menurut Noorvitastri dan Wijayanto (2003), format sistem bagi hasil yang lebih layak, adil dan ideal, baik bagi masyarakat maupun Perum Perhutani ialah sebesar 25% untuk masyarakat dan 75% untuk Perum Perhutani karena format ini menghasilkan Benefit Cost Ratio (BCR) Perum Perhutani yang hampir sama dan sangat mendekati masyarakat yang artinya manfaat yang akan diperoleh Perum Perhutani akan sama atau hampir mendekati dengan manfaat yang akan diperoleh masyarakat. Namun menurut Affianto et al. (2005), pada daur tanaman jati PHBM selama 40 tahun, Perum Perhutani memberikan kontribusi sebesar 49,8%, sementara 50,2% selebihnya dikontribusikan oleh masyarakat dan apabila daur diperpanjang menjadi 60 tahun, kontribusi Perum Perhutani meningkat menjadi 55% dan 45% sisanya dikontribusikan oleh masyarakat. Tahun 2004, hutan Gunung Ciremai berubah fungsi menjadi taman nasional, sehingga mengkhawatirkan masyarakat tentang kelanjutan peran serta mereka dalam pengelolaan hutan. Kekhawatiran ini terjadi karena dengan berubahnya fungsi suatu kawasan hutan menjadi taman nasional dengan berbagai aturan yang sudah baku menyebabkan sistem pengelolaannya tidak lentur dan tidak akomodatif, sehingga berakibat langsung pada masyarakat. Menurut Ramdan (2006), selain menghasilkan kayu hutan Gunung Ciremai juga memberi manfaat tata air yang besar, yaitu zona resapan air Gunung Ciremai menghasilkan rata-rata debit air yang besar ( l/detik) untuk setiap mata airnya dengan kualitas air secara alami umumnya memenuhi standar kriteria kualitas air minum dan nilai manfaat hidrologi total kawasan Gunung Ciremai dari sektor rumah tangga mencapai Rp ,-/tahun. Mata air di wilayah Gunung Ciremai digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata, diantaranya Waduk Darma, Darmaloka, Balong Cigugur, Balong Dalem dan Telaga Remis. Potensi air dari wilayah Gunung Ciremai yang dimanfaatkan untuk industri dan perekonomian, yaitu: 1. Suplai air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon sebesar 200 l/detik 2. Suplai air untuk PDAM Kota Cirebon sebesar 800 l/detik

26 9 3. Suplai air untuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) Cirebon sebesar 50 l/detik 4. Suplai air untuk PT. Indocement Cirebon sebesar 36 l/detik 5. Kegiatan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula memerlukan suplai air sebesar l/detik Berdasarkan hal-hal di atas, maka menurut Nurrochmat (2005a) konsep pengelolaan hutan lestari sangat spesifik dan tidak dapat digeneralisasi. Community based forest management, co management, state forest management maupun private forest management masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada sistem pengelolaan hutan yang paling baik karena sistem dikatakan baik, apabila sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya daerah dimana hutan berada. Hal ini terlihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Pengaruh kapabilitas pemerintah dan modal sosial pada pilihan lembaga pengelolaan hutan No. Kapabilitas Modal Sosial Pemerintah Rendah Tinggi 1 Rendah Private forest management Community based forest management 2 Tinggi State forest management Co-management Sumber: Nurrochmat (2005a) Pemilihan bentuk pengelolaan yang tepat dilaksanakan pada suatu taman nasional sangat tergantung pada kondisi setempat dan kebutuhan pengelolaan. Pengelolaan kolaborasi bukan suatu pendekatan yang dapat diterapkan pada semua kasus dan tidak selalu efektif, misalnya dalam situasi yang membutuhkan keputusan dan tindakan yang cepat, seperti mencegah suatu kerusakan lingkungan yang drastis, maka lebih baik mengambil tindakan nyata secepatnya dari pada menunggu tercapainya konsensus bersama tentang apa yang harus dilakukan (Hermawan et al., 2005). Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang perlu dijawab, yaitu: 1. Bagaimanakah substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat? 2. Bagaimanakah implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat?

27 3. Bagaimanakah strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat? Tujuan Berdasarkan hal-hal di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dan secara spesifik, yaitu: 1. Menganalisis substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 2. Mengkaji implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 3. Merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 1.5. Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai berikut: 1. Memberikan masukan bagi Departemen Kehutanan dan Pemda Kabupaten Kuningan dalam merumuskan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 2. Memberikan gambaran bagi berbagai stakeholders yang terlibat dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 3. Memberikan informasi bagi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat tentang hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraannya

28 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Formulasi Strategi dan Analisis Kebijakan Formulasi strategi yang biasanya disebut juga dengan perumusan strategi merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang. Oleh karena itu, prosesnya lebih banyak menggunakan proses analisis dan tujuannya ialah untuk menyusun strategi, sehingga sesuai dengan misi, sasaran dan kebijakan. Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Konsep mengenai strategi terus berkembang, sebagai berikut: 1. Alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut dan prioritas alokasi sumberdaya (Chandler, 1962) 2. Alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Porter, 1985) 3. Kekuatan motivasi untuk stakeholders, seperti stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah dan sebagainya yang baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan (Chaffee, 1985) Pilihan strategi berasal dari proses analisis karena diketahui dampak di masa yang akan datang terhadap kinerja. Namun sebelum menentukan alternatif strategi yang layak, perencana strategi harus mengevaluasi dan meninjau kembali misi dan tujuan. Setelah itu, baru tahap selanjutnya ialah generation, evaluasi dan pemilihan alternatif strategi yang terbaik. Proses analisis strategi, yaitu: (Rangkuti, 2005) 1. Analisis hubungan antara posisi strategi saat ini dengan kemungkinan strategi berikut ancamannya 2. Menguji kemungkinan hasilnya 3. Membandingkan hasilnya dengan alternatif tujuan untuk mengetahui kesenjangan yang ada 4. Mengidentifikasi alternatif strategi, sehingga kesenjangan dapat dikurangi 5. Mengevaluasi berbagai alternatif dan pilihan strategi Kegiatan yang paling penting dalam proses analisis ialah memahami seluruh informasi, menganalisis situasi untuk mengetahui isu yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah. Menurut Boulton (1984), proses untuk melaksanakan analisis dapat dilihat pada diagram proses analisisnya. Kerangka analisis secara keseluruhan, sebagai berikut: (Rangkuti, 2005)

29 12 1. Memahami situasi dan informasi yang ada 2. Memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum maupun spesifik 3. Menciptakan berbagai alternatif dan memberikan berbagai alternatif pemecahan masalah 4. Mengevaluasi pilihan alternatif dan memilih alternatif yang terbaik dengan membahas sisi pro maupun kontra dan memberikan bobot serta skor untuk masing-masing alternatif dan kemungkinan yang akan terjadi Kebijakan (policy) sering penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain, seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan. Kebijakan diberi arti bermacam-macam, yaitu: 1. Jalan atau cara lembaga yang berperan sebagai pemegang kewenangan, seperti pemerintah untuk mengatasi suatu permasalahan atau sekelompok permasalahan yang saling berhubungan (Pal, 1992) 2. Cara atau jalan yang dipilih pemerintah untuk mendukung suatu aspek dari ekonomi, termasuk sasaran yang pemerintah cari untuk mencapainya dan pemilihan metode untuk mencapai tujuan dan sasaran itu (Elis, 1994) 3. Kegiatan yang dipilih secara sengaja oleh aktor tertentu atau sekelompok aktor dalam mengatasi suatu masalah (Anderson, 1984) Suatu kebijakan memiliki karakteristik, sebagai berikut: (Ramdan et al., 2003) 1. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi bersifat ganda dan berantai 2. Keberhasilan suatu kebijakan harus didukung oleh sistem 3. Kebijakan mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang hampir tidak mungkin menjadi mungkin 4. Kebijakan yang baik didukung oleh informasi yang lengkap dan akurat Upaya-upaya untuk mempelajari proses-proses kebijakan yang dilakukan dengan melakukan aktivitas yang disebut analisis kebijakan (policy analysis). Beberapa definisi tentang analisis kebijakan, yaitu: 1. Aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003) 2. Suatu upaya sistematik untuk menghasilkan pengetahuan tentang preskripsi dalam mengatasi suatu masalah (Kartodihardjo, 1999)

30 13 Dunn (2003) menyatakan ada lima macam pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan, yaitu: 1. Apa hakikat masalahnya 2. Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan bagaimana hasilnya 3. Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah 4. Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah 5. Hasil apa yang dapat diharapkan Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas menghasilkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan atau prospek dari kebijakan, aksi atau pelaksanaan dari kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Tipe informasi tersebut saling berhubungan dan saling tergantung, dimana satu tipe informasi ke tipe informasi yang lain dipindahkan dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan yang tepat. Apabila tipe informasi kebijakan dipadukan dengan prosedur analisis kebijakan, maka akan terlihat hubungan keduanya sebagai analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah seperti pada Gambar 2 berikut. Kinerja Kebijakan Evaluasi Peramalan Perumusan Masalah Hasil Perumusan Masalah Kebijakan Perumusan Masa Depan Kebijakan Masalah Masalah Kebijakan Perumusan Masalah Pemantauan Rekomendasi Aksi Kebijakan Gambar 2. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah Dunn (2003) juga menyatakan, bahwa metodologi analisis kebijakan menggunakan prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah ialah definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi, dimana pada analisis kebijakan prosedur tersebut memperoleh nama-nama khusus, yaitu:

31 14 1. Perumusan masalah atau definisi yang menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah 2. Peramalan atau prediksi yang menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan atau tidak melakukan sesuatu 3. Rekomendasi atau preskripsi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah 4. Pemantauan atau deskripsi yang menyampaikan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu akibat diterapkannya alternatif kebijakan 5. Evaluasi yang menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah Dunn (2003) mengemukakan, bahwa gabungan tipe informasi kebijakan dan prosedur analisis kebijakan menunjukkan kerangka kerja analisis kebijakan yang berpusat pada masalah. Prosedur pembuatan kebijakan ialah serangkaian tahapan yang saling tergantung dan diatur menurut urutan waktu, yaitu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Kedekatan antara prosedur analisis kebijakan dengan prosedur pembuatan kebijakan diilustrasikan pada Gambar 3 berikut. Perumusan Masalah Peramalan Rekomendasi Pemantauan Evaluasi Penyusunan Agenda Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi Kebijakan Penilaian Kebijakan Gambar 3. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan pembuatan kebijakan 2.2. Hutan dan Pengelompokannya Pengertian hutan dapat ditinjau dari faktor-faktor wujud biofisik lahan dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu lainnya dan status hukum lahan hutan. Berbagai definisi hutan yang dibuat biasanya memberikan penekanan pada faktor-faktor tersebut sesuai dengan tujuan definisi hutan yang dikehendaki.

32 15 Beberapa definisi hutan yang telah dibuat oleh beberapa pakar dan lembaga yang disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, yaitu: 1. Hutan berdasarkan penekanan pada konsep ekologi a. Suhendang (2002) Hutan ialah suatu komunitas tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lain, tumbuh secara bersama-sama dan cukup rapat. b. Helms (1998) Hutan ialah sebuah ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohonpohon yang cukup rapat dan luas, seringkali terdiri dari tegakan-tegakan yang beraneka ragam sifat, seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur dan proses-proses yang berhubungan yang pada umumnya mencakup padang rumput, sungai, ikan dan satwa liar. Hutan mencakup pula bentuk khusus, seperti hutan industri, hutan milik non industri, hutan tanaman, hutan publik, hutan lindung dan hutan kota. c. Departemen Kehutanan (1989) Hutan ialah suatu ekosistem yang bercirikan liputan pohon yang cukup luas, baik yang lebat atau kurang lebat. 2. Hutan untuk tujuan kegiatan tertentu a. Tujuan inventarisasi hutan yang dilakukan oleh Food Agricultural Organization (FAO) tahun 1958 (Loetsch and Haller, 1964) Hutan ialah keseluruhan lahan yang berhubungan dengan masyarakat tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon dari berbagai ukuran, dieksploitasi atau tidak, dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, dapat memberikan pengaruh terhadap iklim atau siklus air atau menyediakan perlindungan untuk ternak dan satwa liar. b. Untuk pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu - Davis dan Johnson (1987) Hutan ialah suatu kumpulan bidang-bidang lahan yang ditumbuhi atau akan ditumbuhi tumbuhan pohon dan dikelola sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan pemilik lahan, berupa kayu atau hasil-hasil lain yang berhubungan. - Bruenig (1996) Hutan ialah suatu bidang lahan yang tertutupi oleh pohon-pohon yang dapat membentuk keadaan iklim tegakan (iklim mikro di dalam

33 16 hutan), termasuk bagian bidang lahan bekas tebangan melalui tebang habis di dalam wilayah hutan tetap pada tanah negara atau tanah milik yang setelah pemanenan terhadap tegakan hutan yang terdahulu dilakukan pembuatan dan pemeliharaan permudaan alam atau penghutanan kembali (permudaan buatan). 3. Hutan berdasarkan penekanan pada status hukum menurut undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Hutan ialah suatu kesatuan ekosistem, berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan sifat-sifat khusus yang dimilikinya, hutan dikelompokkan ke dalam beberapa macam, tipe, bentuk dan status tergantung pada sifat-sifat yang diperhatikannya, yaitu: (Suhendang, 2002) 1. Keadaan tumbuhan hutan a. Hutan lebat atau hutan rapat (closed forest) b. Hutan terbuka atau hutan jarang (open forest) c. Hutan primer (primary forest/primeval forest/pristine forest/virgin forest/old growth forest) d. Hutan sekunder (secondary forest) 2. Asal hutan atau cara hutan terbentuk a. Hutan alam (natural forest) b. Hutan tanaman atau hutan buatan (planted forest) c. Hutan trubusan (coppice forest) d. Tegakan hutan tinggi (high forest) 3. Tahapan pertumbuhan dan perkembangan tegakan a. Hutan klimaks (climax forest) b. Tegakan hutan masak tebang (mature forest stand) c. Hutan normal (normal forest) d. Hutan seumur (even aged forest) e. Hutan tidak seumur (uneven aged forest) 4. Komposisi jenis pohon a. Hutan murni atau hutan homogen (pure forest) b. Hutan campuran atau hutan heterogen (mixed forest) c. Hutan perdu (sclerophyllous forest) d. Hutan savana (savana forest/savana woodland)

34 5. Letak geografis dan ketinggian tempat a. Hutan pantai (coastal forest) b. Hutan dataran rendah (low land forest) c. Hutan dataran tinggi (high land forest) d. Hutan pegunungan (mountain forest) e. Hutan boreal (boreal forest) f. Hutan ripari (riparian forest) 6. Iklim tempat tumbuh hutan a. Hutan hujan (rain forest) b. Hutan musim atau hutan tropika menggugurkan daun (monsoon forest/tropical deciduous forest) c. Hutan beriklim sedang (temperate forest) d. Hutan tropika (tropical forest) 7. Keadaan tanah tempat tumbuh hutan a. Hutan tanah kering (dry land forest) b. Hutan gambut (peat forest) c. Hutan rawa (swamp forest) d. Hutan mangrove atau hutan bakau (mangrove) 8. Faktor dominan yang mempengaruhi pembentukan vegetasi a. Formasi klimatis (climatic formation) b. Formasi edafis (edaphic formation) 9. Kategori hutan menurut fungsi a. Hutan yang berfungsi untuk perlindungan (protective forest) b. Hutan yang berfungsi untuk produksi (productive forest) c. Hutan yang berfungsi serba guna (multiple purpose forest) 10. Status hukum fungsi penggunaan hutan a. Hutan lindung (protection forest) b. Hutan produksi (production forest) c. Hutan konservasi (conservation forest) 11. Status hukum lahan hutan a. Hutan negara (state forest) b. Hutan hak (private forest) c. Hutan adat (traditional law society forest) d. Hutan masyarakat (community forest) e. Hutan komunal (communal forest) f. Hutan rakyat (social forest) 17

35 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pengelolaan yang dari istilahnya berasal dari management, terdiri dari planning, organizing, actuating dan controlling. Pengelolaan dalam kehutanan lebih pada pengelolaan tegakan hutan, sehingga saat ini muncul konsep forest governance yang cakupannya lebih luas dari pada forest management. Forest governance mencakup hubungan lokal dengan global, hubungan antar sektor dan hubungan antar nilai-nilai yang berbeda. Perkembangan periode pengelolaan hutan di dunia, terdiri atas: (Suhendang, 2004) 1. Periode pra pengelolaan (pre management era) 2. Periode pengelolaan berlandaskan prinsip kelestarian hasil (sustained yield principles era) a. Era pengelolaan hutan untuk tujuan menghasilkan kayu b. Era prinsip manfaat ganda hutan c. Era aspek ekologi masuk dalam pengelolaan hutan d. Era aspek sosial masuk dalam pengelolaan hutan 3. Periode pengelolaan berlandaskan prinsip pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management era) Berbagai bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau yang berorientasi pada perbaikan kesejahteraan masyarakat dipayungi oleh social forestry. Namun, social forestry ini ditafsirkan berbeda-beda oleh berbagai pihak. Salah satunya dikemukakan oleh Nguyen (2001) ialah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak atau unsur sosial yang dapat dilakukan di lahan milik, umum atau pada kawasan hutan yang diizinkan dengan memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat dan tujuan produksi yang lestari. Blair dan Olpadwala (1988) membagi social forestry ke dalam community forestry ialah penumbuhan pohon-pohon oleh organisasi lokal yang mungkin diprakarsai pemerintah pada bidang-bidang lahan umum (village commons/lahan desa) untuk beragam kegunaan atau serba guna dan farm forestry ialah pemilikpemilik lahan menanam pohon-pohon di lahan milik mereka. Sedangkan Rao (1979) membagi social forestry ke dalam farm forestry (penanaman pohon-pohon di lahan pertanian), extension forestry (penanaman pohon-pohon di luar lahan pertanian dan hutan lindung) dan urban forestry (penanaman pohon-pohon di perkotaan).

36 19 Konsep agroforestry sebagai teknologi mulai berkembang awal tahun an, namun praktek menanam pohon dan tanaman pertanian secara kombinasi telah terjadi jauh lebih awal di seluruh dunia. Eropa setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Finlandia sejak akhir abad yang lalu dan Jerman sejak tahun an (King, 1987). Agroforestry sebagai suatu teknik produksi yang mengkombinasikan produksi pohon dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara spasial dan sekuensial dapat diterapkan tidak terbatas dalam social forestry, tetapi juga juga oleh pengusaha-pengusaha industri besar, seperti The Jari Forestral Project di Amapa, Brasil (Kirchhofer and Evan, 1986). Departemen Kehutanan sejak tahun 1980-an sudah melaksanakan social forestry. Pada kawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan (HKm), sedangkan di lahan milik disebut hutan rakyat. Tahun 2002, Departemen Kehutanan menempatkan social forestry sebagai payung dari semua program dan kebijakan strategisnya. HKm dimulai awal tahun 1995 dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995. Keputusan ini menekankan pada izin pemanfaatan hutan, hak masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Keputusan ini diperbaiki dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998, dimana masyarakat bisa mengambil keputusan pengelolaan hutan, pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat harus membentuk koperasi dan izin pemanfaatan diganti menjadi izin pengusahaan. Keputusan ini diganti lagi dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 865/Kpts-II/1999, dimana izin pengusahaan diganti menjadi izin pemanfaatan dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi, tetapi bisa kelompok apa saja. Keputusan ini diganti dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts- II/2001 yang memberi wewenang pada bupati memberi izin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat. Lembaga penelitian dan universitas mengembangkan pendekatan lain dalam bentuk pembalakan berbasis masyarakat (community logging) di kawasan hutan yang dialokasikan oleh negara pada universitas atau lembaga penelitian. Center International Forestry Research (CIFOR) mengembangkan Adaptive Collaborative Management (ACM) atau Pengelolaan Hutan Bersama secara Adaptif (PHBA). Namun, bentuk ini di tingkat masyarakat maupun kebijakan masih dalam tahap penjajagan.

37 20 Tahun 1974, Perum Perhutani mengembangkan pendekatan kesejahteraan dalam pengelolaan hutan. Setelah Kongres Kehutanan tentang Hutan untuk Kemasyarakatan di Jakarta tahun 1978, pemerintah mengharuskan swasta mengembangkan Program Bina Desa Hutan yang kemudian diperbaiki tahun 1982 dengan Program PMDH. Kelanjutan dari PMDH, Perum Perhutani bekerja sama dengan LSM dan donor mengembangkan PS yang diuji coba tahun 1984 di Jawa dan luar Jawa tahun Tahun 1991, PMDH diperbaiki melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 691/Kpts-II/1991, namun pelaksanaannya kebanyakan tidak memuaskan. Tahun 2001, Dewan Pengawas Perum Perhutani mengeluarkan Keputusan Nomor 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Keputusan ini mengatur mengenai hak dan kewajiban perusahaan dan masyarakat. PHBM cukup memberikan insentif bagi masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dipengaruhi perubahan paradigma pengelolaan hutan di Perum Perhutani yang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Namun, beberapa hal yang menjadi disinsentif masyarakat dalam PHBM ialah kemungkinan perubahan status dan fungsi kawasan yang dapat mempengaruhi nota kesepakatan yang telah dibuat, tidak adanya jangka waktu pengelolaan yang menjamin kelangsungan pengelolaan hutan bersama masyarakat dan kebijakan bagi hasil serta pengelolaan yang masih pada tingkat lokal, berupa kesepakatan antara masyarakat dan KPH Kawasan Konservasi dan Taman Nasional Istilah konservasi diambil dari istilah bahasa Inggris conservation yang berasal dari bahasa Sanskerta conservare yang terdiri dari kata con yang berarti together dan kata servare yang berarti keep/save what we have. Dengan demikian, secara harfiah konservasi berarti melestarikan sumberdaya yang menjadi milik bersama secara bersama-sama. Dari pengertian istilah konservasi ini dapat diperoleh pemahaman, bahwa ada dua syarat keharusan dalam konservasi ialah konservasi hanya berlaku atau harus diberlakukan pada sumberdaya milik bersama atau common resources dan pelestarian sumberdaya milik bersama harus dilakukan secara bersama-sama. Namun, terhadap sumberdaya milik bersama manusia cenderung untuk free rider yang dapat mengakibatkan terjadinya tragedy of commons yang ditakuti oleh setiap individu

38 21 atau kelompok manusia karena besarnya kerugian yang akan dideritanya (Hardin, 1968). Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak menyebutkan istilah kawasan konservasi, tetapi menggunakan istilah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung juga tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tetapi istilah kawasan lindung seperti Tabel 2 berikut. Tabel 2. Klasifikasi kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung No. Kawasan Lindung Pembagian 1 Kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan bergambut 3. Kawasan resapan air 2 Kawasan perlindungan setempat 1. Sempadan pantai 2. Sempadan sungai 3. Sempadan sekitar danau/waduk 4. Kawasan sekitar mata air 3 Kawasan suaka alam dan cagar budaya 4 Kawasan rawan bencana alam 1. Kawasan suaka alam 2. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya 3. Kawasan pantai berhutan bakau 4. Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam 5. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan Pada Keputusan Direktur Jenderal Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung, istilah kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan hutan lindung seperti Tabel 3. Istilah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ini sama dengan pembagian dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Klasifikasi yang sama tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam terdapat juga pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

39 Tabel 3. Klasifikasi kawasan konservasi menurut Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 129 tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung No. Kawasan Konservasi Pembagian 1 Kawasan suaka alam 1. Cagar alam 2. Suaka margasatwa 2 Kawasan pelestarian alam 1. Taman nasional 2. Taman hutan raya 3. Taman wisata alam 3 Taman buru 4 Hutan lindung Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tetapi hutan konservasi yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Pada undang-undang ini, fungsi lindung dipisahkan dari fungsi konservasi atau hutan lindung tidak termasuk pada hutan konservasi. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, klasifikasi kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam sama dengan klasifikasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di samping itu, ada taman buru yang masuk ke dalam hutan konservasi dan hutan lindung yang berbeda dari hutan konservasi seperti terlihat pada Tabel 4 berikut. 22 Tabel 4. Klasifikasi hutan konservasi dan hutan lindung menurut Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan No. Hutan Kawasan Sub Kawasan Zona 1 Konservasi Kawasan suaka alam 1. Cagar alam 2. Suaka margasatwa Kawasan pelestarian alam Taman nasional 1. Zona inti 2. Zona pemanfaatan 3. Zona lain

40 23 Tabel 4. (lanjutan) No. Hutan Kawasan Sub Kawasan Zona Taman hutan raya 1. Kawasan penggunaan 2. Kawasan koleksi tanaman 3. Kawasan perlindungan 4. Kawasan lain Taman buru 2 Lindung 1. Kawasan lindung 2. Kawasan penggunaan 3. Kawasan lain Taman wisata alam 1. Kawasan perburuan 2. Kawasan penggunaan 3. Kawasan penangkaran satwa liar 4. Kawasan lain 1. Kawasan penggunaan yang intensif 2. Kawasan penggunaan terbatas 3. Kawasan lain Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan taman nasional ialah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kriteria yang digunakan dalam penetapan suatu kawasan menjadi taman nasional, yaitu: 1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami 2. Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh

41 24 4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam 5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri Pengelolaan taman nasional didasarkan atas sistem zonasi, yaitu: 1. Zona inti ialah zona dengan kriteria: a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologi secara alami e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah 2. Zona pemanfaatan ialah zona dengan kriteria: a. Mempunyai daya tarik alam, berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu dan formasi geologinya yang indah dan unik b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam 3. Zona rimba dan atau yang ditetapkan menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya a. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi b. Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu

42 25 Taman nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasinya. Berbagai bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan untuk masing-masing zonasi tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu: 1. Zona inti a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan b. Ilmu pengetahuan c. Pendidikan d. Kegiatan penunjang budidaya 2. Zona pemanfaatan a. Pariwisata dan rekreasi b. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan c. Pendidikan d. Kegiatan penunjang budidaya 3. Zona rimba a. Penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan b. Ilmu pengetahuan c. Pendidikan d. Kegiatan penunjang budidaya e. Wisata alam terbatas Pengelolaan taman nasional dilakukan dengan tujuan utama untuk: 1. Terjamin dan terpeliharanya keutuhan dari keberadaan kawasan dan ekosistem taman nasional 2. Terjamin dan terpeliharanya keberadaan dari potensi dan nilai-nilai dari keanekaragaman tumbuhan, satwa, komunitas dan ekosistem penyusun kawasan taman nasional 3. Pemanfaatan kawasan dan potensi taman nasional secara optimal, lestari dan bijaksana untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, budaya dan pariwisata alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat 2.5. Pengambilan Keputusan, Analisis AHP dan SWOT Setiap manusia dihadapkan pada masalah (problem) ialah kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Pada umumnya masalah cenderung kompleks, padahal selalu ada keterbatasan untuk memecahkannya, sehingga pengambilan

43 26 keputusan merupakan suatu keharusan. Pengambilan keputusan umumnya tidak mudah karena persoalan yang kompleks, keterbatasan, non linier utilities, kriteria yang saling bertentangan dan teknik pengukuran yang cukup sulit. Golembiewski (1972) memberi definisi keputusan ialah suatu pilihan terhadap berbagai macam alternatif. Dalam glossary of public administration, pembuatan keputusan (decision making) didefinisikan sebagai suatu proses dalam mana pilihan-pilihan dibuat untuk mengubah atau tidak mengubah suatu kondisi yang ada, memilih serangkaian tindakan yang paling tepat untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan dan untuk mengurangi resiko-resiko, ketidakpastian dan pengeluaran sumber-sumber dalam rangka mengejar tujuan. Nigro (1980) tidak membedakan antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan dengan menyatakan, bahwa tidak ada perbedaan yang mutlak antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan karena setiap penentuan kebijakan merupakan suatu keputusan, tetapi kebijakan membuat rangkaian-rangkaian tindakan yang mengarahkan banyak macam keputusan yang dibuat dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sebaliknya, Anderson (1984) membedakan pengertian pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan dengan menyatakan, bahwa pembuatan kebijakan (policy making) berbeda dengan pengambilan keputusan karena pengambilan keputusan ialah pengambilan pilihan suatu alternatif dari berbagai alternatif yang bersaing mengenai sesuatu hal dan selesai, sedangkan pembuatan kebijakan meliputi banyak pengambilan keputusan. Jadi, menurut Tjokroamidjojo (1976), apabila pemilihan alternatif itu sekali dilakukan dan selesai, maka kegiatan itu disebut pembuatan keputusan dan bila pemilihan alternatif itu terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, maka kegiatan tersebut dinamakan pembuatan kebijakan. Metode pengambilan keputusan yang populer ialah Multi Criteria Decision Making (MCDM) yang terbagi atas dua kelompok, yaitu: (Tiryana dan Saleh, 2005) 1. Multi Objective Decision Making (MODM) a. Ruang keputusan bersifat kontinyu b. Pemilihan alternatif didasarkan atas tujuan-tujuan yang saling bertentangan 2. Multi Attribute Decision Making (MADM)

44 27 a. Ruang keputusan bersifat diskret b. Pemilihan alternatif didasarkan atas atribut-atribut (kriteria) yang saling bertentangan untuk suatu tujuan tertentu Analisis Hirarki Proses (AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty ialah salah satu dari metode MCDM yang memecahkan permasalahan yang kompleks dengan dekomposisi masalah ke dalam suatu struktur hirarki (Saaty, 1980). Metode AHP mempunyai tiga prisip dasar, yaitu: (Saaty, 1986) 1. Dekomposisi ialah penerapan struktur masalah yang kompleks ke dalam suatu hirarki 2. Penilaian komparatif ialah penerapan perbandingan berpasangan dari semua elemen 3. Sintesis prioritas ialah penerapan untuk menghasilkan prioritas umum melalui hirarki dengan mempertimbangkan prioritas lokal dari elemen Secara umum, ada dua model yang dipakai dalam praktek ialah model pengukuran relatif dan model pengukuran rating. Model pengukuran relatif dipakai untuk memprioritaskan beberapa alternatif terbatas dengan membandingkan secara langsung satu dengan yang lainnya. Di samping itu, model pengukuran rating (model absolut atau skoring) dipakai untuk mengukur alternatif terhadap suatu skala yang ditetapkan dan tidak terhadap yang lainnya. Berdasarkan prinsip AHP, prosedur yang disarankan untuk memecahkan permasalahan dipakai metode AHP yang dijelaskan, sebagai berikut: (Saaty, 1980) 1. Struktur permasalahan ke dalam suatu hirarki Langkah pertama dalam memakai AHP ialah struktur (dekomposisi) masalah ke dalam suatu hirarki yang menunjukkan hubungan dari semua tujuan (goal), kriteria, sub kriteria dan seterusnya sampai beberapa alternatif di bawah hirarki. Gambar 4 berikut menunjukkan suatu contoh sederhana dari hirarki AHP yang secara umum dipakai dalam model pengukuran relatif.

45 28 Tujuan Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3 Gambar 4. Suatu contoh dari hirarki AHP dengan tiga tingkatan 2. Perbandingan elemen hirarki berdasarkan pasangan Perbandingan berpasangan ialah pengukuran dasar pada metode AHP untuk memperoleh prioritas untuk tingkat hirarki. Pada masing-masing tingkat hirarki, pembuat keputusan harus membuat perbandingan berpasangan dari kepentingan relatif suatu elemen terhadap yang lainnya pada setiap elemen di tingkat yang lebih tinggi berikutnya. Nilai dimasukkan dalam matriks perbandingan berpasangan. Secara umum, perbandingan berpasangan dibuat memakai penilaian verbal menurut suatu skala seperti terlihat pada Tabel 5. Oleh karena itu, penilaian AHP juga membolehkan pembuat keputusan memakai pengukuran sebenarnya dari suatu skala rasio ke bentuk matriks perbandingan berpasangan. Tabel 5. Skala dasar dari AHP No. Penilaian Verbal Intensitas Kepentingan 1 Sama pentingnya 1 2 Sedikit lebih penting 3 3 Penting 5 4 Jelas lebih penting 7 5 Sangat penting 9 6 Nilai antara atau pertengahan 2, 4, 6, 8 Sumber: Saaty (1980) Matriks perbandingan berpasangan ialah suatu matriks timbal balik, dimana elemen bawah diagonal utamanya ialah kebalikan dari elemen atasnya. Sebagai contoh, matriks C berikut menggambarkan suatu matriks perbandingan berpasangan yang diperoleh dari perbandingan berpasangan dari tiga kriteria (c 1, c 2 dan c 3 ) terhadap tujuan.

46 29 c 1 c 2 c 3 c C = c 2 1/3 1 2 c 3 1/5 1/2 1 Jika, ada n elemen dibandingkan yang akan membentuk suatu n x n matriks perbandingan berpasangan, maka akan ada n(n 1)/2 perbandingan berpasangan dalam suatu matriks perbandingan berpasangan. Masing-masing matriks perbandingan berpasangan menghasilkan prioritas atau bobot dari elemen, seperti alternatif, kriteria dan seterusnya memakai metode eigen vektor. Berdasarkan metode ini, vektor prioritas untuk masing-masing matriks perbandingan berpasangan dapat diperoleh dengan normalisasi eigen vektor utama yang menghubungkan pada eigen value utama dari suatu matriks perbandingan berpasangan. Pada prakteknya, proses ini dapat dengan mudah dikerjakan dengan memakai software AHP, seperti Expert Choice. 3. Pengumpulan semua vektor prioritas Langkah terakhir ialah mengumpulkan prioritas (bobot) vektor dari masing-masing tingkatan yang diperoleh dari langkah kedua untuk menghasilkan semua bobot. Ini dikerjakan dengan rata-rata dari perkalian berurutan dari bobot vektor pada masing-masing tingkatan dari hirarki. Semua bobot menggambarkan rating dari alternatif pada semua tujuan. Semua nilai R i dari alternatif ke-i ialah jumlah total dari ratingnya pada masing-masing tingkatan yang dihitung sebagai berikut: (Malczewski, 1999) R i = w k r ik Dimana, w k ialah vektor prioritas dihubungkan dengan elemen ke-k dari hirarki dan r ik ialah vektor prioritas yang diperoleh dari perbandingan alternatif pada masing-masing kriteria. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) ialah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategi berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian, perencana strategi (strategic planner) harus

47 30 menganalisis faktor-faktor strategi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi saat ini yang disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi ialah analisis SWOT (Rangkuti, 2005). Kinerja ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat, yaitu: (Marimin, 2004) 1. Tahap pengambilan data untuk evaluasi faktor eksternal dan internal Tahap pengambilan data untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat dilakukan dengan wawancara atau analisis secara kuantitatif. Dengan demikian, diketahui posisi berada pada kuadran mana, sehingga strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang dimiliki saat ini. Posisi dapat dikelompokkan dalam empat kuadran, yaitu kuadran I, II, III dan IV. Pada kuadran I strategi yang sesuai ialah strategi agresif, kuadran II strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around dan kuadran IV strategi defensif. 2. Tahap analisis ialah pembuatan matriks SWOT Matriks SWOT menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini akan membentuk empat kemungkinan alternatif strategi. 3. Tahap pengambilan keputusan Dalam tahap pengambilan keputusan merujuk kembali pada evaluasi faktor eksternal dan internal yang menghasilkan posisi saat ini. Oleh karena itu, harus dilihat kuadran yang bersangkutan, sehingga diketahui kombinasi strategi yang paling tepat.

48 III. METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat karena Kabupaten Kuningan ditetapkan sebagai pilot project PHBM berdasarkan Keputusan Kepala Perum Perhutani Unit III Jawa Barat Nomor 496/059.9/BinSDH/III tentang Penetapan Kabupaten Kuningan sebagai Pilot Project PHBM dan juga kegiatan PHBM sudah mulai eksis di Kabupaten Kuningan serta untuk melihat implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai dilakukan pada tiga desa sampel secara purpossive yang tersebar merata di Utara, tengah dan Selatan Taman Nasional Gunung Ciremai, yaitu Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari. Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan di lapangan pada bulan April Juni Lokasi dan waktu penelitian terlampir pada Lampiran 1 dan Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuisioner, alat tulis, tape recorder, kamera dan software Expert Choice 2000 untuk membantu mendapatkan bobot dari matriks perbandingan berpasangan pada metode AHP Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara survey. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung dari responden lewat kuisioner seperti pada Lampiran 3 dan 4 serta wawancara dengan para stakeholders di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di samping itu juga dilakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi hutan dan sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar hutan. Pemilihan responden untuk melihat implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dari peserta PHBM secara stratified random sampling berdasarkan tipe rumah, yaitu permanen, semi permanen dan non permanen dengan alokasi yang

49 32 berimbang sebanyak 35 orang pada setiap desa sampel seperti pada Tabel 6. Berdasarkan statistik, sampel sebanyak 33 sudah memenuhi karena keragaman datanya mulai berkurang. Pada penelitian ini sampel dilebihkan untuk mengantisipasi, jika ada data yang tidak bisa diolah. Tabel 6. Responden peserta PHBM pada desa sampel No. Desa/Kecamatan Responden 1 Padabeunghar/Pasawahan 35 2 Linggarjati/Cilimus 35 3 Karangsari/Darma 35 Jumlah 105 Serangkaian wawancara dan pengisian kuisioner dengan berbagai stakeholders dilakukan dengan purpossive sampling untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai kebijakan terkini, menggali berbagai ide dan pendapat serta memahami realitas implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan ini sebanyak 12 orang, yaitu dua orang dari enam lembaga yang terpilih untuk mengantisipasi inkonsistensi pada analisis data dengan metode AHP seperti pada Tabel 7. Kriteria responden ialah orang yang berkaitan dengan objek yang diteliti berdasarkan jabatan, profesi dan pengalamannya. Lembaga yang terpilih berdasarkan analisis stakeholders yang dilakukan menurut kepentingan dan pengaruhnya. Tabel 7. Responden untuk analisis dan perumusan strategi kebijakan No. Responden Jumlah 1 Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) II Provinsi 2 Jawa Barat 2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan 2 3 LPI PHBM Kabupaten Kuningan 2 4 LSM lokal Kabupaten Kuningan 2 5 Universitas Kuningan 2 6 Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) Kabupaten 2 Kuningan Total 12 Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil studi atau penelitian, peraturan perundang-undangan, peta-peta dan data pendukung lainnya dari berbagai sektor yang terkait, baik nasional maupun lokal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pemda dan

50 33 lembaga non pemerintah, seperti Departemen Kehutanan, Perum Perhutani Jakarta, BKSDA II Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, Bapeda Kabupaten Kuningan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan, BPS Kabupaten Kuningan, KPH Kuningan, Universitas Kuningan, kantor camat dan desa di lokasi penelitian serta LSM Analisis Data Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu: 1. Analisis substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten dengan analisis normatif dan positif. Analisis normatif terdiri atas analisis isi (content analysis) serta analisis struktur dan hirarki (analysis of structure and hierarchy). Analisis isi kebijakan menggunakan tujuh indikator berdasarkan asas peraturan perundangan-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan: a. Kejelasan tujuan ialah setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat ialah setiap jenis peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga atau pejabat yang tidak berwenang. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan ialah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya d. Dapat dilaksanakan ialah dalam pembentukan peraturan perundangundangan memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan ialah setiap peraturan perundangundangan dibuat karena dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara f. Kejelasan rumusan ialah setiap peraturan perundang-undangan memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-

51 34 undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya g. Keterbukaan ialah dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan, sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan Analisis struktur dan hirarki kebijakan dilakukan secara horizontal dan vertikal, yaitu: a. Analisis struktur kebijakan dititikberatkan pada analisis horizontal untuk melihat kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang setara b. Analisis hirarki kebijakan dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian dan konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan Analisis positif dilakukan dengan analisis konsistensi dan gap implementasi kebijakan. Menurut Darusman dan Nurrochmat (2005), analisis normatif dan positif juga dilakukan untuk melihat: a. Dinamika kelembagaan, proses dan perilaku aktor b. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses kebijakan 2. Analisis implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat secara deskriptif, baik kuantitatif maupun kualitatif dengan mengacu pada Nurrochmat (2005b) 3. Perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan metode AHP dan SWOT yang diadopsi dan dimodifikasi dari Shrestha et al. (2004). Di samping mempunyai kelebihan dengan kemudahan pemakaian, menurut Tiryana (2005) metode AHP mempunyai kelemahan dengan adanya kompensasi atau pengaruh nilai rataan. Oleh karena itu, untuk menghindari kelemahan tersebut, maka dalam rangka perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat yang mempunyai fungsi utama untuk ekologi diberi bobot 55%, sosial 30% dan ekonomi 15%. Metode AHP dan SWOT terdiri atas:

52 35 a. Struktur hirarki Struktur hirarki dalam perumusan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat seperti pada Gambar 5 berikut. Tingkat 1: Fokus PHBM di TNGC Tingkat 2: Stakeholders BKSDA Dishutbun LSM Uniku LPI-PHBM PMTH Tingkat 3: Kriteria Ekologi Sosial Ekonomi Tingkat 4: SWOT Strength Weakness Opportunity Threat Gambar 5. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan b. Prioritas SWOT Bobot masing-masing stakeholders, baik Strength, Weakness, Opportunity maupun Threat pada kriteria ekologi, sosial dan ekonomi dimasukkan pada Tabel 8 berikut, kemudian dijumlahkan. Tabel 8. Prioritas SWOT No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S W W O O T T 1 BKSDA II Provinsi Jawa Barat a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 0,55 0,30 0,15 1,00 2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 3 LSM lokal Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 0,55 0,30 0,15 1,00 0,55 0,30 0,15 1,00

53 36 Tabel 8. (lanjutan) No. Stakeholders dan Kriteria Bobot S S W W O O T T 4 Universitas Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 0,55 0,30 0,15 1,00 5 LPI-PHBM Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 6 PMTH Kabupaten Kuningan a. Ekologi b. Sosial c. Ekonomi Jumlah 0,55 0,30 0,15 1,00 0,55 0,30 0,15 1,00 c. Nilai faktor prioritas dan semua prioritas dari analisis SWOT dan AHP Bobot masing-masing stakeholders, baik pada komponen Strength, Weakness, Opportunity maupun Threat dimasukkan pada Lampiran 5, kemudian dikali dan dirata-ratakan dengan nilai prioritas SWOT di atas. d. Evaluasi faktor internal dan eksternal Nilai rata-rata komponen Strength, Weakness, Opportunity dan Threat di atas dimasukkan pada Tabel 9 berikut, kemudian diselisihkan. Tabel 9. Evaluasi faktor internal dan eksternal No. Faktor-faktor Internal Eksternal Rata-rata 1 Strength 2 Weakness Skor Faktor Strength Weakness 3 Opportunity 4 Threat Skor Faktor Opportunity Threat Sumber: Rangkuti (2005) e. Posisi Dari Tabel 9 di atas, dapat dilihat posisi berada pada kuadran seperti pada Gambar 6 berikut.

54 37 Opportunity Kuadran III (Strategi Turn Around) Kuadran I (Strategi Agresif) Weakness Strength Kuadran IV (Strategi Defensif) Kuadran II (Strategi Diversifikasi) Threat Gambar 6. Posisi pada berbagai situasi f. Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya Dari posisi di atas, dapat ditentukan strateginya seperti pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Matriks SWOT dan kemungkinan strateginya IFA/EFA Strength (S) Weakness (W) Opportunity (O) Threat (T) Sumber: Marimin (2004) Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan strength untuk memanfaatkan opportunity. Digunakan jika berada pada kuadran I Strategi ST Menciptakan strategi yang menggunakan strength untuk mengatasi threat. Digunakan jika berada pada kuadran II Strategi WO Menciptakan strategi yang meminimalkan weakness untuk memanfaatkan opportunity. Digunakan jika berada pada kuadran III Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan weakness dan menghindari threat. Digunakan jika berada pada kuadran IV Penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan seperti ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.

55 38 Mendefinisikan Permasalahan Studi Pustaka Memilih Metode Penelitian Analisis Kebijakan PHBM di TNGC Implementasi dan Dampak PHBM di TNGC Identifikasi Stakeholders Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan Evaluasi Faktor-faktor Keputusan - AHP - SWOT Strategi Kebijakan PHBM di TNGC Gambar 7. Tahapan dari penelitian Jika objek penelitian dikaitkan dengan siklus kebijakan, maka dapat terlihat pada Gambar 8 berikut ini.

56 39 Formasi Kebijakan Agenda Kebijakan Formulasi dan Adopsi Kebijakan Strategi Kebijakan TNGC PHBM Analisis Kebijakan Dampak Evaluasi Kebijakan Implementasi Kebijakan Keterangan: : Fokus penelitian Gambar 8. Siklus kebijakan dan objek penelitian

57 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Ciremai Secara geografis Taman Nasional Gunung Ciremai terletak pada BT dan LS. Taman Nasional Gunung Ciremai mempunyai luas sekitar ,17 Ha yang secara administrasif meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan di Timur seluas 8.931,27 Ha (56,32%) dan Kabupaten Majalengka di Barat seluas 6.927,90 Ha (43,68%). Perkiraan panjang batas Taman Nasional Gunung Ciremai sekitar 210 km. Taman Nasional Gunung Ciremai berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Kabupaten Kuningan, Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kabupaten Kuningan. Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk pada lima DAS, yaitu DAS Ciwaringin, Cisanggarung, Cimanuk Hilir, Cilitung dan Ciberes Bangkaderes. Taman Nasional Gunung Ciremai dapat diakses dari Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka dengan jalan-jalan kondisi baik dan transportasi relatif lancar. Jalur pendakian di Taman Nasional Gunung Ciremai ada tiga, yaitu jalur Linggarjati dan Palutungan di Kabupaten Kuningan dan jalur Apuy di Kabupaten Majalengka. Topografi Taman Nasional Gunung Ciremai pada umumnya berombak, berbukit dan bergunung dengan kemiringan bervariasi mulai dari landai (0-8%) sebesar 26,52% sampai curam (di atas 8%) sebesar 73,48%. Geologi Taman Nasional Gunung Ciremai secara umum dari batuan hasil aktivitas vulkanik Gunung Ciremai, yaitu batuan endapan vulkanik, baik vulkanik tua sebesar 35% di bagian Selatan dan 5% di bagian Utara maupun vulkanik muda sebesar 60% di bagian Utara. Gunung Ciremai ialah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian m dpl dan merupakan gunung yang unik karena terletak tidak terlalu jauh dari laut (Laut Jawa) dibandingkan dengan gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa serta termasuk klasifikasi A (strato) atau magmatik (aktif). Gunung Ciremai mempunyai kawah ganda, yaitu di Barat beradius 400 m dan di Timur beradius 600 m dengan kedalaman masing-masing 250 m. Pada ketinggian m di lereng Selatan Gunung Ciremai terdapat bekas titik letusan dengan diameter 30 m. Gunung Ciremai pernah terjadi tujuh kali letusan, yaitu

58 41 tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938, tetapi hanya menimbulkan kerusakan sekitar daerah puncak. Jenis tanah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai ialah regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan latosol, asosiasi andosol coklat, latosol coklat dan latosol coklat kemerahan dengan penyebaran sebagai berikut: 1. Regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan latosol menyebar mulai dari puncak sampai bagian lahan yang landai di Kecamatan Jalaksana dan sebagian Kecamatan Mandirancan sebesar 77,44% 2. Asosiasi andosol coklat menyebar pada daerah-daerah tinggi di sekeliling puncak sebesar 11,02% 3. Latosol coklat dan latosol coklat kemerahan menyebar di daerah yang lebih rendah secara merata sebesar 11,54% Iklim Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim B dan C dengan rata-rata curah hujan mm/tahun dan temperatur bulanan C. Angin di Taman Nasional Gunung Ciremai pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali pada bulan April Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan kecepatan 3 6 knot. Pada Taman Nasional Gunung Ciremai terdapat sungai sebanyak 43 buah yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi lainnya serta 156 mata air, dimana 147 mata air mengalirkan air sepanjang tahun, 4 mata air mengalir selama sembilan bulan dalam setahun, 3 mata air mengalir selama enam bulan dalam setahun dan 2 mata air mengalir selama tiga bulan dalam setahun dengan debit rata-rata l/detik yang kualitas airnya memenuhi standar kualitas air minum. Mata air tersebut, diantaranya Cibunian (Palutungan), Cimanceng, Cikacu (Linggarjati), Paniis, Telaga Remis, Cigarunggang dan sebagainya. Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagian kecil merupakan hutan sekunder yang berumur sekitar 35 tahun dan sebagian besar merupakan hutan alam primer (virgin forest) yang dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: 1. Hutan hujan dataran rendah ( m dpl) 2. Hutan hujan pegunungan/zona montana ( m dpl) 3. Hutan pegunungan sub alpin (> m dpl)

59 42 Pada Taman Nasional Gunung Ciremai terdapat berbagai jenis vegetasi, antara lain pinus (Pinus merkusii), saninten (Castanopsis javanica), kitandu (Fragraera blumii), mara (Macaranga denticulata), kipeper (Engelhardia spicata), tangongo (Castanopsis tungurut), pasang (Lithocarpus sundaicus), janitri (Elaeocarpus stipularis), pasang bodas (Lithocarpus spicatus), saninten (Castanopsis argentea), kiara (Ficus sp), hamberang (Ficus padana) dan sebagainya. Jenis vegetasi di atas terdapat juga jenis yang dikategorikan langka, seperti lampina (Ardisia cymosa DC), kakaduan (Platea latifolia Blume) dan kipulusan (Villubrunes rubescens), jambu persik (Prunus javanica), lame (Alstonia scholaris) dan jirak (Symplocos theaefoli). Taman Nasional Gunung Ciremai juga memiliki berbagai jenis anggrek, diantaranya Vanda tricolor Lindh, Eria multiflora (BI) Lindh, Eria hyancinthoides (BI) Lindh, Eria compressa (BI), Coelogyne miniata (BI) Lindh, Pholidota imbricata WJ Hooker, Liparis latifolia (BI) dan sebagainya. Sedangkan satwa di Taman Nasional Gunung Ciremai cukup beragam, terdiri dari kelompok aves (elang jawa, elang ular, elang hitam, cakakak, puyuh, walik, cipoh, perenjak, kipasan dan anis), mamalia (babi hutan, kijang, macan kumbang, lutung, kera ekor panjang dan surili) dan reptil (ular sanca dan biawak). Beberapa jenis satwa tersebut termasuk langka dan dilindungi, yaitu macan kumbang (Phantera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Zaglossus brujini), surili (Presbytis comata) dan elang jawa (Spizaetus bertelsii). Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki berbagai objek wisata alam, diantaranya Telaga Remis, Bumi Perkemahan (Buper) Palutungan, Buper Pajambon, Buper Paniis, Lembah Cilengkrang, Curug Sawer, Curug Sabuk, jalur pendakian Linggarjati, Buper Cibeureum, Situ Sangiang, jalur pendakian Apuy dan sebagainya. Selain itu terdapat juga fosil pohon dan miniatur alam stalaktit serta stalakmit Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan yang terletak di Timur Provinsi Jawa Barat mempunyai luas Ha atau 3,75% dari luas Provinsi Jawa Barat ( Ha). Jarak Kabupaten Kuningan ke ibu kota Provinsi Jawa Barat (Bandung) ialah 170 km. Secara geografis Kabupaten Kuningan terletak pada BT dan LS.

60 43 Kabupaten Kuningan yang diapit oleh lima kabupaten mempunyai batasbatas administrasi sebagai berikut: 1. Utara : Kabupaten Cirebon 2. Selatan : Kabupaten Ciamis dan Cilacap (Provinsi Jawa Tengah) 3. Barat : Kabupaten Majalengka 4. Timur : Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah) Topografi Kabupaten Kuningan relatif datar dengan variasi berbukit-bukit di Barat dan Utara dengan ketinggian sekitar 700 m dpl. Sedangkan di Selatan dan Timur Kabupaten Kuningan memiliki tanah yang relatif rata dengan ketinggian m dpl. Secara geologi, Utara Kabupaten Kuningan sebagian besar merupakan daerah undifferentiated vulkanik yang subur karena pengaruh vulkanik Gunung Ciremai dan sebagian kecil termasuk daerah micone sedimentary facies yang kurang subur. Sedangkan Selatan Kabupaten Kuningan merupakan daerah micone sedimentary facies dan gabro yang subur. Kabupaten Kuningan memiliki tujuh golongan tanah, yaitu andosol, alluvial, podzolik, grumusol, mediteran, latosol dan regosol. Golongan tanah andosol terdapat di Barat Kabupaten Kuningan yang cocok untuk tanaman tembakau, bunga-bungaan, sayur-sayuran, buah-buahan, kopi, kina dan apel. Sedangkan golongan tanah alluvial terdapat di Timur Kabupaten Kuningan yang cocok untuk tanaman padi, palawija dan perikanan. Kabupaten Kuningan beriklim tropis dan angin musim dengan temperatur bulanan C dan curah hujan rata-rata mm/tahun. Hutan di Kabupaten Kuningan seluas Ha atau 28,94% dari luas Kabupaten Kuningan. Berdasarkan kepemilikan, terdiri atas hutan negara seluas Ha dan hutan rakyat seluas Ha. Penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan terdiri atas sawah dan lahan kering. Luas sawah di Kabupaten Kuningan ialah Ha dan lahan kering ialah Ha. Perincian lahan kering tertera pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan tahun 2004 No. Lahan Kering Luas (Ha) % 1 Pekarangan ,76 2 Tegalan/kebun ,95 3 Ladang/huma ,66 4 Pengangonan ,12 5 Hutan rakyat ,63 6 Hutan negara ,27

61 44 Tabel 11. (lanjutan) No. Lahan Kering Luas (Ha) % 7 Perkebunan ,12 8 Kolam/tebat/empang 539 0,69 9 Lain-lain ,80 Jumlah ,00 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan sangat beragam, diantaranya padi, jagung, kedelai dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Tanaman pertanian yang terdapat di Kabupaten Kuningan tahun 2004 No. Tanaman Luas (Ha) Produksi (ton) Produksi/Ha (ton) 1 Padi sawah ,930 2 Padi gogo ,985 3 Jagung ,462 4 Kedelai ,950 5 Kacang tanah ,638 6 Kacang hijau ,117 7 Ubi kayu ,092 8 Ubi jalar ,414 9 Bawang merah , Bawang daun , Kentang , Kubis , Sawi , Wortel , Kacang panjang , Cabe , Tomat , Terung , Buncis , Ketimun ,734 Jumlah Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Penduduk Kabupaten Kuningan tahun 2004 berjumlah orang atau rumah tangga, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan rasio seks 99,78 tersebar pada 32 kecamatan dengan kepadatan 908 orang/km 2. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kuningan tahun ialah rata-rata 1%/tahun. Rincian penduduk Kabupaten Kuningan tercantum pada Tabel 13 dan 14 berikut.

62 45 Tabel 13. Penduduk Kabupaten Kuningan tahun 2004 Luas (km 2 ) Penduduk (orang) Kepadatan (orang/km 2 ) Rumah Tangga No. Kecamatan Laki- Laki Perempuan Jumlah 1 Darma 49, Kadugede 19, Nusaherang 18, Ciniru 48, Hantara 35, Selajambe 37, Subang 44, Cilebak 35, Ciwaru 72, Karangkancana 36, Cibingbin 72, Cibeureum 31, Luragung 43, Cimahi 52, Cidahu 33, Kalimanggis 20, Ciawigebang 61, Cipicung 18, Lebakwangi 19, Maleber 56, Garawangi 28, Sindangagung 12, Kuningan 28, Cigugur 27, Karamatmulya 18, Jalaksana 21, Japara 27, Cilimus 33, Cigandamekar 25, Mandirancan 37, Pancalang 18, Pasawahan 33, Jumlah 1.117, Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Tabel 14. Penduduk Kabupaten Kuningan menurut jenis kelamin dan kelompok umur tahun 2004 No. Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio (tahun) (orang) (orang) (orang) Seks A Non produktif , ke atas ,95 Jumlah ,59 B Produktif ,86 Jumlah ,86 Total ,78 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan ialah petani (57%), pegawai (14%), pedagang (8%) dan lainnya (21%). Dilihat dari tingkat

63 46 pendidikannya, penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD), sebagian berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) serta hanya sebagian kecil saja yang berhasil menamatkan sampai ke perguruan tinggi mulai dari D1, D2, D3, S1, S2 dan S3. Jumlah sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tertera pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Sekolah menurut tingkatannya di Kabupaten Kuningan tahun 2005/2006 No. Jenis Negeri Swasta Jumlah 1 TK SD SLTP SMU SMK Jumlah Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun tertera pada Tabel 16 berikut. Tabel 16. Sarana jalan di Kabupaten Kuningan tahun No. Jalan Tahun (km) Provinsi 99,64 99,64 99,62 99,62 99,62 2 Kabupaten 446,00 446,00 416,10 416,10 416,10 Jumlah 545,64 545,64 515,72 515,72 515,72 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/ Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma Kecamatan Pasawahan yang mempunyai jarak 20 km dengan kota Kuningan terdiri atas 10 desa dengan luas Ha dan ketinggian 393 m dpl. Batas administrasi Kecamatan Pasawahan ialah sebelah Utara dengan Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Taman Nasional Gunung Ciremai, Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kecamatan Mandirancan. Secara geografis Kecamatan Pasawahan terletak pada BT dan LS. Kecamatan Cilimus yang mempunyai jarak 13 km dengan kota Kuningan terdiri atas 13 desa dengan luas Ha dan ketinggian 441 m dpl. Batas

64 47 administrasi Kecamatan Cilimus ialah sebelah Utara dengan Kecamatan Mandirancan dan Pancalang, Selatan dengan Kecamatan Jalaksana, Barat dengan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Timur dengan Kecamatan Gandamekar. Secara geografis Kecamatan Cilimus terletak pada BT dan LS. Kecamatan Darma yang mempunyai jarak 12 km dengan kota Kuningan terdiri atas 19 desa dengan luas Ha dan ketinggian 709 m dpl. Batas administrasi Kecamatan Darma ialah sebelah Utara dengan Taman Nasional Gunung Ciremai, Selatan dengan Kabupaten Ciamis, Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kecamatan Kadugede, Nusaherang, Hantara dan Selajambe. Secara geografis Kecamatan Darma terletak pada BT dan LS. Topografi pada ketiga kecamatan ini datar sampai bergunung. Curah hujan di Kecamatan Pasawahan ialah mm/tahun atau rata-rata 273,75 mm/bulan dengan jumlah hari hujan selama 131 hari. Curah hujan di Kecamatan Cilimus ialah mm/tahun atau rata-rata 213,17 mm/bulan dengan jumlah hari hujan selama 100 hari. Sedangkan curah hujan di Kecamatan Darma ialah 331 mm/tahun atau rata-rata 27,58 mm/bulan dengan jumlah hari hujan selama 159 hari. Penggunaan lahan di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma terdiri atas sawah dan lahan kering. Luas sawah di Kecamatan Pasawahan ialah 583 Ha, Cilimus Ha dan Darma 665 Ha. Sedangkan luas lahan kering di Kecamatan Pasawahan ialah Ha, Cilimus Ha dan Darma Ha. Perincian lahan kering tertera pada Tabel 17 berikut. Tabel 17. Penggunaan lahan kering di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2004 Kecamatan Kecamatan Kecamatan Pasawahan Cilimus Darma No. Lahan Kering Luas Luas Luas % % % (Ha) (Ha) (Ha) 1 Pekarangan 199 5, , ,74 2 Tegalan/kebun , , ,11 3 Ladang/huma 206 5, , ,64 4 Pengangonan 24 0, , ,79 5 Hutan rakyat , ,36 6 Hutan negara , , ,74 7 Perkebunan , ,92 - -

65 48 Tabel 17. (lanjutan) Kecamatan Kecamatan Kecamatan Pasawahan Cilimus Darma No. Lahan Kering Luas Luas Luas % % % (Ha) (Ha) (Ha) 8 Kolam/tebat/empang 14 0, , ,26 9 Lain-lain 70 1, , ,36 Jumlah , , ,00 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Tanaman pertanian yang terdapat pada Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma sangat beragam, diantaranya padi, jagung, kedelai dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 18 berikut. Tabel 18. Tanaman pertanian yang terdapat di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2004 Kecamatan Kecamatan Kecamatan No. Tanaman Pasawahan Cilimus Darma Luas Hasil Luas Hasil Luas Hasil (Ha) (ton) (Ha) (ton) (Ha) (ton) 1 Padi sawah , , ,0 2 Padi gogo ,0 3 Jagung , ,0 4 Kedelai 20 23, Kacang tanah 11 27, , ,0 6 Kacang hijau 12 15, Ubi kayu , , ,0 8 Ubi jalar , ,0 4 27,0 9 Bawang merah 2 12,0 1 10, Bawang daun , ,5 11 Kentang ,9 12 Kubis ,3 13 Sawi , ,3 14 Kacang panjang 7 102, Cabe 4 44, ,7 16 Tomat 5 23,0 4 18, ,5 17 Buncis ,0 18 Ketimun 4 10,0 1 35,0 1 35,0 Jumlah , , ,2 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/2005 Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk tahun 2004 Kecamatan Pasawahan ialah orang, Kecamatan Cilimus orang dan Kecamatan Darma orang. Perinciannya tertera pada Tabel 19 berikut.

66 Tabel 19. Penduduk Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma menurut jenis kelamin tahun 2004 No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio (orang) (orang) (orang) Seks 1 Pasawahan ,87 2 Cilimus ,61 3 Darma ,28 Jumlah ,72 Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/ Kepadatan penduduk Kecamatan Pasawahan ialah 686 orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak rumah tangga. Kepadatan penduduk Kecamatan Cilimus ialah orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak rumah tangga. Sedangkan kepadatan penduduk Kecamatan Darma ialah 896 orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak rumah tangga. Sebagian besar penduduk Kecamatan Pasawahan dan Darma hanya tamatan SD serta Kecamatan Cilimus tamatan SLTP dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai petani dan lainnya ialah pedagang, pegawai dan sebagainya. Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tertera pada Tabel 20 berikut. Tabel 20. Sekolah menurut tingkatannya di Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma tahun 2005/2006 (A = negeri, B = swasta) No. Jenis Kecamatan Pasawahan Kecamatan Cilimus Kecamatan Darma A B Jumlah A B Jumlah A B Jumlah 1 TK SD SLTP SMU SMK Jumlah Sumber: Kabupaten Kuningan dalam angka tahun 2004/ Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari Desa Padabeunghar dengan 12 RT dan 3 RW mempunyai luas 7,62 km 2 dengan ketinggian 500 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Pasawahan (Pasawahan) 3 km. Batas administrasi Desa Padabeunghar ialah sebelah Utara dengan Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Taman Naional Gunung Ciremai, Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Desa Kaduela dan

67 50 Pasawahan. Secara geografis Desa Padabeunghar terletak pada BT dan LS. Desa Linggarjati dengan 18 RT dan 4 RW mempunyai luas 1,86 km 2 dengan ketinggian 650 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Cilimus (Cilimus) 3 km. Batas administrasi Desa Linggarjati ialah sebelah Utara dengan Desa Setianegara, Selatan dengan Desa Linggasana, Barat dengan Taman Nasional Gunung Ciremai dan Timur dengan Desa Linggamekar. Secara geografis Desa Linggarjati terletak pada BT dan LS. Desa Karangsari dengan 13 RT dan 2 RW mempunyai luas 2,91 km 2 dengan ketinggian 850 m dpl dan jarak ke ibu kota Kecamatan Darma (Parung) 2 km. Batas administrasi Desa Karangsari ialah sebelah Utara dengan Taman Nasional Gunung Ciremai, Selatan dengan Desa Bakom, Barat dengan Desa Situsari dan Timur dengan Kecamatan Kadugede dan Nusaherang. Secara geografis Desa Karangsari terletak pada BT dan LS. Topografi ketiga desa, yaitu Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari berbukit dan bergunung serta sebagian kecil berupa dataran pada pemukiman dan lahan persawahan. Sedangkan penggunaan lahan pada ketiga desa ini terlihat pada Tabel 21 berikut. Tabel 21. Penggunaan lahan di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004 Desa Desa Desa Penggunaan Padabeunghar Linggarjati Karangsari No. Lahan Luas Luas Luas % % % (Ha) (Ha) (Ha) 1 Sawah 384,45 50,45 58,80 31,62 29,00 9,96 2 Ladang/kebun/ kolam/tegalan 228,10 29,93 12,00 6,45 232,00 79,73 3 Perkebunan 128,90 16,92 14,20 7, Perumahan 15,28 2,01 101,00 54,30 10,50 3,61 5 Bangunan lainnya 1,57 0, ,50 0,86 6 Lainnya 3,70 0, ,50 1,89 7 Tidak diusahakan ,50 3,95 Jumlah 762,00 100,00 186,00 100,00 291,00 100,00 Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun 2004/2005 Suhu rata-rata Desa Padabeunghar ialah C dengan curah hujan mm/tahun. Suhu rata-rata Desa Linggarjati ialah C dengan curah hujan mm/tahun. Sedangkan suhu rata-rata Desa Karangsari ialah

68 C dengan curah hujan 300 mm/tahun. Tanaman pertanian yang terdapat pada Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari sangat beragam, diantaranya padi, jagung, ubi jalar dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 22 berikut. Tabel 22. Tanaman pertanian yang terdapat di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004 Desa Desa Desa No. Tanaman Padabeunghar Linggarjati Karangsari Luas Hasil Luas Hasil Luas Hasil (Ha) (ton) (Ha) (ton) (Ha) (ton) 1 Padi 121,0 81,60 59,0 286,00 153,0 157,70 2 Jagung 4,0 19,00 0,5 2,40 362,0 131,40 3 Ubi jalar ,0 850, Ubi kayu 4,0 5, ,0 119,00 5 Kacang tanah 9,0 14, Cabe ,0 5,80 7 Bawang merah - - 1,0 9, Tomat - - 0,5 6, Sawi - - 5,0 7,50 36,0 125,50 10 Bawang daun ,0 257,30 11 Kubis ,0 25,70 Jumlah 138,0 120,24 125, ,90 788,0 822,40 Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun 2004/2005 Berdasarkan data statistik, jumlah penduduk tahun 2004 Desa Padabeunghar ialah orang, Desa Linggarjati orang dan Desa Karangsari orang. Perinciannya tertera pada Tabel 23 berikut. Tabel 23. Penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari menurut jenis kelamin tahun 2004 No. Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio (orang) (orang) (orang) Seks 1 Padabeunghar ,71 2 Linggarjati ,38 3 Karangsari ,44 Jumlah ,77 Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun 2004/2005 Kepadatan penduduk Desa Padabeunghar ialah 306 orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 677 rumah tangga. Kepadatan penduduk Desa Linggarjati ialah orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 922

69 52 rumah tangga. Sedangkan kepadatan penduduk Desa Karangsari ialah 662 orang/km 2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 509 rumah tangga. Mata pencaharian penduduk Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari sebagian besar sebagai petani dan lainnya ialah pedagang, pegawai dan sebagainya. Sebagian besar penduduk Desa Padabeunghar dan Karangsari hanya tamatan SD dan Desa Linggarjati tamatan SLTP. Sekolah menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tertera pada Tabel 24 berikut. Tabel 24. Sekolah menurut tingkatannya di Desa Padabeunghar, Linggarjati dan Karangsari tahun 2004 Desa Desa Desa No. Jenis Jumlah Padabeunghar Linggarjati Karangsari 1 TK SD SLTP SMU SMK Jumlah Sumber: Kecamatan Pasawahan, Cilimus dan Darma dalam angka tahun 2004/2005

70 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Substansi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang terdiri dari dua kategori, yaitu: (Darusman dan Nurrochmat, 2005) 1. Peraturan perundang-undangan yang disebutkan secara langsung dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah 2. Peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan secara langsung dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan peraturan lainnya UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi seluruh peraturan perundang-undangan di bawahnya. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan beberapa pasal dalam bab VI, VII A, X, X A dan XIV. Tabel 25 berikut menyajikan landasan konstitusional kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam bab-bab dan perincian pasal-pasal terkait dalam UUD Tabel 25. Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dalam UUD 1945 No. Bab Tentang Pasal (Ayat) 1 VI Pemerintah daerah 18 A (2) 2 VII A Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 22 D (1, 2, 3) 3 X Warga negara dan penduduk 27 (2) 4 X A Hak asasi manusia 28 A, 28 C, 28 D (2), 28 E (1) dan 28 H (1) 5 XIV Perekonomian nasional dan kesejahteraan nasional 33 (3, 4) Taman nasional merupakan salah satu sumberdaya alam yang kawasannya berada di daerah, maka dalam pengelolaannya pemerintah pusat yang diberi kewenangan dalam pengelolaannya harus adil dan sesuai dengan

71 54 Undang-Undang serta melibatkan Pemda. Hal ini disebutkan mengenai hubungan pemerintah pusat dan daerah pada UUD 1945 pasal 18 A ayat (2): Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. DPD yang merupakan lembaga baru mempunyai peran yang sangat strategis dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya alam karena Pemda dapat mengusulkan perubahan atau mengajukan Rancangan Undang- Undang (RUU) melalui DPD. Hal ini secara jelas dinyatakan pada pasal 22 D ayat (1 3): (1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti Setiap warga negara dan penduduk Indonesia dijamin haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini juga merupakan salah satu dari hak asasi manusia seperti

72 55 disebut pada pasal 28 A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak asasi manusia Indonesia lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 28 C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya Pasal 28 D ayat (2): Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini merupakan pengaturan secara spesifik hak asasi manusia dalam pekerjaan. Hak asasi manusia yang lainnya disebut pada pasal 28 E ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. Hak asasi manusia dalam lingkungan hidup yang baik dan sehat dinyatakan pada pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat harus berlandaskan pada pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan kegiatan pengelolaan ekonomi dan konservasi sumberdaya alam harus didasari semangat yang terkandung dalam pasal ini. Negara hanya menjalankan sebagian pasal 33 UUD 1945, yaitu penguasaan negara atas hutan, namun mengabaikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Padahal pasal 33 di atas mengamanatkan agar penguasaan negara atas hutan secara bersama-sama juga harus mengakomodir berbagai

73 56 kelompok kepentingan dan tidak hanya kepentingan Departemen Kehutanan, tetapi juga kepentingan petani dan kelompok masyarakat lainnya. Undang-Undang ialah peraturan perundang-undangan tertinggi yang tata cara pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat: 1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria Undang-Undang ini berkaitan dengan penggunaan lahan, dimana kawasan konservasi merupakan bagian darinya. Menurut pasal 2 ayat (2 a, b dan c): Hak menguasai dari negara termaksud dalam pasal 1 memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa Pengaturan tentang peruntukan oleh pemerintah tersebut diatur pada pasal 14 ayat (1): Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2), pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. untuk keperluan negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan

74 57 Berdasarkan pasal di atas, peruntukan atau pengaturan untuk kawasan konservasi kurang mendapat perhatian. Namun, konservasi sedikit disinggung dalam pasal 15: Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya ialah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan dengan tanah itu dengan memperhatikan ekonomis yang lemah. Hal ini secara implisit menyatakan perlunya dana kompensasi atau semacamnya bagi daerah-daerah yang secara geografis memiliki fungsi perlindungan, namun tidak berdaya secara ekonomi karena tidak ada alternatif penggunaan lahan selain sebagai kawasan konservasi. 2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Undang-Undang ini banyak bertentangan dengan konservasi karena secara substansi mengelola segala kekuatan potensial di bidang pertambangan untuk ekonomi dan konservasi tidak ada. Pasal 16 menyatakan wilayah-wilayah yang tidak boleh dilakukan pertambangan. Namun, dari wilayah-wilayah yang dilarang tersebut tidak tercantum kawasan konservasi. Undang-Undang ini juga menyatakan, bahwa pekerjaan pertambangan di wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum tidak dibolehkan. Namun, kepentingan umum ini memiliki penafsiran yang tidak seragam dan tidak ada penjelasan yang menyebutkan secara pasti, bahwa kawasan konservasi dikategorikan sebagai wilayah tertutup untuk kepentingan umum. 3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut pasal 4: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Hal ini dilaksanakan seperti pada pasal 5: Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:

75 58 a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan ekosistemnya Perlindungan sistem penyangga kehidupan bertujuan agar terpeliharanya proses ekologi yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Oleh karena itu, disebutkan pada pasal 9 ayat (1): Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut. Pasal 12 menyebutkan: Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. Hal ini dilaksanakan seperti pada pasal 13 ayat (1): Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam. Sedangkan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan seperti pada pasal 26: a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar Hal ini dilakukan seperti pada pasal 27: Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan dan pasal 28: Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Kawasan konservasi yang memiliki fungsi strategis harus dilindungi, terdiri atas kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam yang menurut pasal 29: (1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. taman nasional; b. taman hutan raya; c. taman wisata alam (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan

76 59 dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah Pada pasal 31 menyebutkan: (1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan Pasal di atas terlihat, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi untuk hal lain sangat terbatas karena pemanfaatan yang dibolehkan hanya pemanfaatan kondisi lingkungan, seperti kegiatan wisata alam dan sebagainya serta tidak boleh mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Padahal pemanfaatan yang ada saat ini di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat lebih banyak berbasis lahan dan penentuan zona-zona belum ditetapkan. Oleh karena itu, perlu pengaturan pemanfaatan berbasis lahan yang sudah ada saat ini dan secara bertahap mengarahkan pada pemanfaatan berbasis non lahan dan pemanfaatan jasa lingkungan. Di samping itu, juga perlu dibangun mekanisme untuk menentukan zona-zona dalam kawasan konservasi secara partisipatif agar meminimalkan resiko konflik kepentingan dan menjamin kelestarian pengelolaan kawasan konservasi. Zonasi pada taman nasional disebutkan pada pasal 32: Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Zona inti ialah kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan ialah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Sedangkan zona lain ialah zona di luar kedua zona di atas karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu, seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya. Pasal 33 Undang-Undang ini menyatakan: (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan

77 60 luas zona inti taman nasional serta menambahkan jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam Hal ini berarti, bahwa pemanfaatan kawasan konservasi sangat terbatas dan zona inti taman nasional tidak mungkin dimanfaatkan selain untuk kepentingan konservasi. Namun, pada kenyataannya sudah ada pemanfaatan dalam Taman Nasional Gunung Ciremai yang mungkin saja pada zona inti karena zonasi belum ada serta peraturan yang mengatur pengelolaan kawasan konservasi saat ini belum mampu mengakomodasi berbagai kepentingan yang berkembang di berbagai bidang. Oleh karena itu, perlu dilakukan zonasi dalam Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan kondisi aktual dan potensi masyarakat agar tidak mengancam kelestarian taman nasional. Selain itu diperlukan juga kebijakan baru yang mengatur pengelolaan kawasan konservasi, sehingga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan yang efeknya mempengaruhi pengelolaan kawasan konservasi. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 34 ayat (1): Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah di sini diartikan menteri yang berwenang dalam bidang kehutanan (Departemen Kehutanan). Namun, karena kompleksitas permasalahan dan konflik yang ada serta keterbatasan sumberdaya (manusia, biaya dan sebagainya), sistem single player rasanya tidak memadai lagi. Oleh karena itu, perlu ada ruang untuk kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi, seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun, perlu operasionalisasi dan perbaikan dari Peraturan Menteri Kehutanan ini. Pada pasal 34 ayat (2): Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan. Pembangunan sarana pariwisata ini dapat melibatkan masyarakat, namun pada Taman Nasional

78 61 Gunung Ciremai belum mempunyai rencana pengelolaan, sehingga arah pengembangannya belum jelas. Oleh karena itu, perlu segera disusun Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang berisi visi dan misi serta arahan pengembangannya, dimana penyusunan rencana ini dilakukan secara partisipatif. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Konservasi ini menyatakan: Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan mengikutsertakan rakyat. Meskipun sudah terdapat beberapa peraturan yang mengatur pemanfaatan kawasan konservasi untuk pengusahaan pariwisata alam, namun belum ada mekanisme pengaturan retribusinya. Oleh karena itu, perlu peraturan perundangan tentang pengaturan retribusi wisata alam yang berisi mekanisme pembagian kewenangan dan manfaat (hak dan kewajiban) antar stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya dalam pengusahaan pariwisata alam. Undang-Undang ini secara substansial hanya memberi ruang yang sempit bagi peran serta masyarakat seperti disebutkan pada pasal 37: (1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah Rakyat yang dimaksud di atas ialah perorangan dan kelompok masyarakat, baik yang terorganisasi, seperti LSM dan sebagainya maupun tidak. Menurut Sembiring et al. (1999), Undang-Undang ini memberikan pijakan dasar bagi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, tetapi berkaitan dengan peran serta masyarakat sebaliknya, yaitu memandulkan peran serta dan menyimpang dari pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

79 62 Berkaitan dengan desentralisasi, Undang-Undang ini membuka peluang seperti pada pasal 38 ayat (1): Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Pada penjelasan ayat di atas disebutkan, bahwa pemerintah pusat selain dapat menyerahkan urusan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya kepada Pemda juga dapat menugaskan Pemda Tingkat I melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan. Namun dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal ini kehilangan relevansinya. 4. Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Di samping Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuanketentuan Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang ini termasuk yang secara komprehensif mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut pasal 1 butir 1: Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Asas dari Undang-Undang ini disebutkan pada pasal 2: Penataan ruang berasaskan: a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan; b. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum Pasal di atas memperlihatkan, bahwa telah ada kesadaran memasukkan prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan tujuan dari Undang-Undang ini dinyatakan pada pasal 3: Penataan ruang bertujuan: a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional; b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya;

80 63 c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: 1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera; 2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; 3) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; 4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan; 5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan Pasal 4 mengatur mengenai peran serta masyarakat secara jelas dan tegas, yaitu pada ayat (2 b): Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kewajiban untuk berperan serta ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1): Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. Pada penjelasan pasal 4 ayat (2 b) disebutkan, bahwa setiap orang berperan serta dalam penataan ruang dalam bentuk mengajukan usul, memberi saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam penataan ruang. Sedangkan kewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan rasa tanggung jawab sosial setiap orang dalam pemanfaatan ruang. Pasal 27 menyatakan: (1) Gubernur kepala daerah tingkat I menyelenggarakan penataan ruang wilayah provinsi daerah tingkat I (2) Untuk Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang dilakukan gubernur kepala daerah dengan memperhatikan pertimbangan dari departemen, lembaga dan badan-badan pemerintah lainnya serta koordinasi dengan daerah sekitarnya sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 11 tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta (3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan

81 64 di wilayah provinsi daerah tingkat I, maka diperlukan pertimbangan dan persetujuan menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) Sedangkan pasal 28 menyebutkan: (1) Bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II menyelenggarakan penataan ruang wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II (2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di wilayah kabupaten/kotamadya daerah tingkat II, maka diperlukan pertimbangan dan persetujuan gubernur kepala daerah tingkat I Berdasarkan kedua pasal di atas terlihat, bahwa penataan ruang, baik tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kotamadya dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Rencana tata ruang terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). 5. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) Undang-Undang ini mengatur konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumberdaya genetika secara adil dan merata melalui akses yang memadai terhadap sumberdaya genetika dengan alih teknologi yang tepat guna dan memperhatikan semua hak atas sumberdaya serta pendanaan yang memadai. Oleh karena itu, pemilik sumberdaya alam memiliki hak atas pemanfaatan dan menggali sumber pendanaan, termasuk dari negara-negara lain untuk pengelolaan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 13 (b): Para pihak-pihak wajib bekerja sama bila sesuai dengan negara-negara lain dan organisasi-organisasi internasional dalam mengembangkan program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat di bidang konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati. 6. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang ini secara substansi dan ruang lingkup lebih maju dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang

82 65 Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup karena di samping mempertahankan berbagai prinsip yang telah ada (hak berperan serta dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) juga terdapat beberapa prinsip lainnya seperti pada pasal 5 ayat (2): Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pasal 37 ayat (1): Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Pada pasal 5 ayat (3) secara tegas mengatur peran serta masyarakat yang menyebutkan: Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pada penjelasannya, peran serta yang dimaksud ialah peran serta dalam pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, seperti penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup dan sebagainya. Mekanisme peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui cara-cara, seperti pada pasal 7 ayat (2): a. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; b. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; c. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; d. memberikan saran pendapat; e. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan 7. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Hutan menurut pasal 1 butir 2: Hutan ialah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Penguasaan hutan dinyatakan pada pasal 4:

83 66 (1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat (2) Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (3) Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional Pasal di atas menjelaskan, bahwa hutan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan tersebut memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengurus hutan. Namun, penguasaan ini tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat adat sepanjang kenyataannya masih ada. Menurut pasal 5 ayat (1-2): (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa hutan adat Hal di atas, berarti berdasarkan statusnya hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak, dimana hutan negara dapat berupa hutan adat. Pengurusan hutan oleh pemerintah, maka pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsinya seperti disebutkan pada pasal 6 ayat (2): Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. hutan konservasi, b. hutan lindung dan c. hutan produksi

84 67 Hutan konservasi pada pasal 7 menyebutkan: Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari: a. kawasan hutan suaka alam, b. kawasan hutan pelestarian alam dan c. taman buru Pengurusan hutan lebih lanjut dijelaskan pada pasal 10: (1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) huruf a bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serba guna dan lestari untuk kemakmuran rakyat (2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan: a. perencanaan kehutanan, b. pengelolaan hutan, c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan d. pengawasan Pembentukan wilayah pengelolaan hutan mempertimbangkan hal-hal seperti pasal 17 ayat (2): Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Tampak, bahwa dalam pengelolaan hutan banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk sosial dan budaya masyarakat. Tujuan pemanfaatan hutan dinyatakan pada pasal 23: Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf b bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan ini dilakukan seperti pada pasal 24: Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pasal ini tidak memungkinkan memberikan akses lahan pada cagar alam, zona inti dan rimba taman nasional. Padahal kebutuhan lahan tidak hanya karena alasan ekonomi, tetapi juga sosial budaya. Jika budaya bertani tidak dapat dilaksanakan karena wilayahnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi,

85 68 pengalihan/kompensasi yang baik perlu dilakukan. Apalagi pada Taman Nasional Gunung Ciremai zonasi belum ada. Oleh karena itu, perlu penataan pemanfaatan lahan dalam kawasan konservasi secara partisipatif. Pemanfaatan hutan konservasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya sebagaimana dinyatakan pada pasal 25: Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan kawasan hutan dijelaskan pada pasal 38: (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian ijin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka (5) Pemberian ijin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Pasal di atas menyatakan, bahwa kepentingan pembangunan di luar kehutanan hanya dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi serta ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan pembangunan di luar kehutanan ialah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, seperti kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon dan instalasi air, kepentingan religi serta kepentingan pertahanan keamanan. Tujuan perlindungan hutan dan konservasi alam dijelaskan pada pasal 46: Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung,

86 69 fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam perlindungan hutan, seperti pasal 48 ayat (5): Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaikbaiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Di samping itu, pasal 51 ayat (1) berbunyi: Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus. Pada pasal 60 ayat (1): Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Hal ini berarti, bahwa pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan kehutanan dimungkinkan. Pasal 61 menyebutkan: Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Ini berarti, pemerintah pusat masih memegang pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan di daerah. Pengawasan lebih lanjut dibunyikan pada pasal 62: Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pasal ini berarti, pengawasan secara kolaboratif dimungkinkan. Selanjutnya pengawasan diatur pada pasal 63: Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 ayat (1), pemerintah dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan. Pasal 66 ayat (1-2) berbunyi: (1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah (2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dinyatakan pada pasal 68: (1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

87 70 a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan, baik langsung maupun tidak langsung (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Hak masyarakat dalam pengelolaan hutan di atas dalam penjelasan disebutkan dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Di samping itu, dimungkinkan adanya pemberian kompensasi kepada masyarakat karena hilangnya akses terhadap hutan, namun mekanisme pemberian kompensasi belum disusun. Oleh karena itu, perlu didorong penyusunan mekanisme pemberian kompensasi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan karena kehilangan akses terhadap sumberdaya hutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan lebih lanjut juga dinyatakan dalam pasal 69 ayat (1): Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan dan pasal 70 ayat (1): Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan. 8. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Undang-Undang ini merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Undang-Undang ini menyebutkan pentingnya menjaga kelestarian air dan pengelolaan yang berwawasan lingkungan, seperti dinyatakan pada pasal 2: Sumberdaya air dikelola berdasarkan asas

88 71 kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas, pasal 3: Sumberdaya air dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pasal 4: Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Meskipun telah menyebutkan secara eksplisit kepentingan konservasi dan lingkungan hidup, Undang-Undang ini memasukkan privatisasi dalam pengelolaan sumberdaya air, seperti tercantum dalam pasal 79, 80 dan 81 berikut ini: a. Pasal 79 (1) Pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan sumberdaya air yang diselenggarakan oleh koperasi, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pengelola sumberdaya air, badan usaha lain dan perseorangan ditanggung oleh masing-masing yang bersangkutan (2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan dan keselamatan umum, pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam batas-batas tertentu dapat memberikan bantuan biaya pengelolaan kepada Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pengelola sumber daya air b. Pasal 80 (1) Pengguna sumberdaya air untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumberdaya air (2) Pengguna sumberdaya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung biaya jasa pengelolaan sumberdaya air (3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan (4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk setiap jenis penggunaan sumberdaya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi kelompok pengguna dan volume penggunaan sumberdaya air

89 72 (5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumberdaya air untuk jenis penggunaan non usaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (6) Pengelola sumberdaya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari para pengguna jasa pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai yang bersangkutan c. Pasal 81 Ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, pasal 78, pasal 79 dan pasal 80 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah 9. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang ini yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk menyerahkan berbagai kewenangan kepada Pemda. Penyerahan kewenangan itu menurut pasal 1 butir 7-9: 7. Desentralisasi ialah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia 8. Dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu 9. Tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu Sedangkan butir 19: Kawasan khusus ialah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional. Secara rinci ketentuan mengenai kawasan khusus ini diatur dalam pasal 9 ayat (1 6):

90 73 (1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota (2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan Undang-Undang (3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan (5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemerintah (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah Berdasarkan pasal-pasal di atas terlihat, bahwa penetapan suatu kawasan khusus tidak hanya memperhatikan kekhasan dan keinginan daerah, tetapi juga harus menyangkut kepentingan nasional dan tata cara penetapan kawasan khusus, selain kawasan khusus perdagangan diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Desentralisasi administratif, fiskal dan politik tidak dapat dipisahkan, maka Undang-Undang ini yang mendasari desentralisasi fiskal merupakan peraturan perundang-undangan yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah memperoleh porsi yang cukup besar dari dana perimbangan sumberdaya alam, khususnya kehutanan seperti disebut pada pasal 14 (a b):

91 74 a. penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah; b. penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi (DR) dibagi dengan imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk pemerintah dan 40% (empat puluh persen) untuk daerah; Dana perimbangan yang diterima daerah di atas, kemudian didistribusikan dengan perincian seperti pada pasal 15: (1) Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) yang menjadi bagian daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf a dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi dan b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil (2) Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang menjadi bagian daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf a dibagi dengan rincian: a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil dan c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ada sebanyak tujuh buah, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari pasal 31 dan 34 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan oleh koperasi, BUMN, perusahaan swasta dan perorangan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai dengan jenis usahanya. Sedangkan ijin pengusahaan pariwisata alam disebutkan dalam pasal 5 ayat (3): Izin pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh menteri setelah

92 75 mendapat pertimbangan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang kepariwisataan dan gubernur kepala daerah tingkat I yang bersangkutan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 6 bab dan 32 pasal yang memuat tentang pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat, bentuk peran serta masyarakat, tata cara peran serta masyarakat dan pembinaan peran serta masyarakat. Menurut pasal 1 butir 11: Peran serta masyarakat ialah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pada pasal 2 disebutkan: Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan dan rencana rinci tata ruang kawasan; c. menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang; d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang Konsekuensi dari hak untuk peran serta masyarakat di atas, berarti masyarakat berhak menikmati ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang dan memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya karena pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Bentuk peran serta yang terdapat dalam penataan ruang wilayah nasional dinyatakan dalam pasal 8: Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah nasional, termasuk kawasan tertentu dapat berbentuk:

93 76 a. pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah nasional, termasuk kawasan tertentu yang ditetapkan; b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan, termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah, termasuk kawasan tertentu; c. pemberian masukan dalam perumusan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, termasuk kawasan tertentu; d. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, termasuk perencanaan tata ruang kawasan tertentu; e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, termasuk kawasan tertentu; f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; g. bantuan tenaga ahli Bentuk peran serta yang terdapat di provinsi dan kabupaten tidak berbeda dengan peran serta yang terdapat dalam penataan ruang wilayah nasional. Namun, bentuk-bentuk peran serta masyarakat di atas tidak menyangkut peran serta dalam pembuatan keputusan karena berbagai bentuk peran di atas tidak ada peran serta masyarakat dalam pembuatan keputusan. Peran serta masyarakat yang dicantumkan di atas juga hanya bersifat konsultatif, yaitu berbagai masukan dan pendapat ditampung, namun keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Hal ini berarti, pendapat dan keberatan masyarakat boleh, tetapi bisa saja tidak akan mempengaruhi pengambilan keputusan atau peran serta yang diberikan hanya bersifat semu dan tidak bersifat kemitraan. Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional bentuknya seperti pasal 9 dan 11 berikut: a. Pasal 9 Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional dapat berbentuk: a. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan kebijaksanaan pemanfaatan ruang; b bantuan teknik dan pengelolaan pemanfaatan ruang

94 77 b. Pasal 11 Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, termasuk kawasan tertentu dapat berbentuk: a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan tertentu, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang dan atau b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang Berdasarkan pasal-pasal di atas terlihat, bahwa masyarakat sudah berperan serta dalam tata ruang, tetapi peluang partisipasi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat karena kurangnya informasi. Oleh karena itu, perlu penyebarluasan informasi mengenai peluang-peluang peran serta dalam tata ruang. Pada pasal 30 ayat (4), pemerintah menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, memberdayakan serta meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang melalui: a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum, pendidikan dan atau pelatihan; b. menyebarluaskan semua informasi mengenai proses penataan ruang kepada masyarakat secara terbuka; c. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat; d. menghormati hak yang dimiliki masyarakat; e. memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; f. melindungi hak masyarakat untuk berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, menikmati pemanfaatan ruang yang berkualitas dan pertambahan nilai ruang akibat rencana tata ruang yang ditetapkan serta dalam menaati rencana tata ruang; g. memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul atau keberatan dari masyarakat dalam rangka peningkatan mutu penataan ruang

95 78 Hal di atas sesuai dengan pasal 30 ayat (2): Masyarakat dapat memprakarsai upaya peningkatan tata laksana hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan atau pelatihan untuk tercapainya tujuan penataan ruang. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pengelolaan kawasan lindung dinyatakan dalam pasal 40 ayat (3): Pola pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung. Berdasarkan pasal ini terlihat, bahwa pemanfaatan di kawasan lindung terbatas dan hanya diutamakan untuk kepentingan perlindungan. Oleh karena itu, penataan ruang di kawasan lindung perlu didorong melalui proses partisipatif, sehingga menjamin perlindungan fungsi kawasan lindung. Pasal 42 ayat (1) menyatakan: Pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan wilayah administrasinya dan/atau instansi yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti, tata ruang kawasan lindung diintegrasikan dengan pembangunan wilayah dan kebutuhan lokal, tetapi penentuan kawasan lindung dilakukan pemerintah pusat. Oleh karena itu, perlu pelibatan Pemda dan stakeholders lokal dalam penentuan kawasan dan penyusunan tata ruang kawasan lindung. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tujuan dan fungsi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dinyatakan dalam pasal 3: Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan dan pasal 4: Pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan:

96 79 a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; c. untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Hal-hal di atas berarti, pengelolaan kawasan konservasi harus memperhatikan fungsi kawasan. Padahal di Taman Nasional Gunung Ciremai belum ada pembagian zona, sehingga perlu didorong penyusunan zonasi secara partisipatif. Pada pasal 35: Pengelolaan kawasan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dilakukan oleh pemerintah. Berdasarkan pasal di atas terlihat, bahwa pemerintah atau Menteri Kehutanan bertugas mengelola taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom Pada pasal 2 ayat (3): Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan dalam bidang, sebagai berikut: 4. Bidang kehutanan dan perkebunan: a. Penetapan kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan areal perkebunan b. Penetapan kriteria dan standar pengurusan inventarisasi, pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru c. Penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya d. Penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru e. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru, termasuk Daerah Aliran Sungai di dalamnya Menurut pasal di atas, konservasi ditangani pemerintah pusat, tetapi kriteria dan indikator lokal tidak diakomodasi dalam pengurusannya. Oleh karena itu, perlu mekanisme pembangunan kriteria dan indikator lokal dalam pengurusannya.

97 80 6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pengertian dari perlindungan hutan dari Peraturan Pemerintah ini terdapat pada pasal 1 butir 1: Perlindungan hutan ialah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pengaturan kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dinyatakan pada pasal 2 ayat (2): Kegiatan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada wilayah hutan dalam bentuk unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Perlindungan hutan yang diatur pada Peraturan Pemerintah ini sudah bersifat desentralisasi, seperti pada pasal 3 ayat (1) menyebutkan: Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 menjadi kewenangan pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. Sedangkan tujuan dari perlindungan hutan disebutkan pada pasal 5: Penyelenggaraan perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Hal yang kontroversial dari Peraturan Pemerintah ini ialah dimuatnya ketentuan mengenai sanksi pidana yang seharusnya hanya dimuat pada Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Ketentuan mengenai sanksi pidana dimuat pada pasal 42: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada pasal 78 ayat (7) Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan pasal 43: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,- (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

98 81 7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan dinyatakan pada pasal 1 butir 4: Pemanfaatan hutan ialah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan lebih lanjut disebutkan pada pasal 18: Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2), yaitu kawasan: a. hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba dan zona inti dalam taman nasional; b. hutan lindung dan c. hutan produksi Hal ini berarti, bahwa pemanfaatan hutan di taman nasional hanya pada zona tertentu. Padahal zonasi pada Taman Nasional Gunung Ciremai belum ditetapkan, maka perlu penetapan zonasi secara partisipatif. Pemanfaatan hutan pada hutan konservasi dinyatakan pada pasal 22: Pada hutan konservasi, pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ijin pemanfaatan hutan pada pasal 17 terdiri dari: a. Pemanfaatan kawasan b. Pemanfaatan jasa lingkungan c. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu d. Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu Menurut pasal 1 butir 5: Pemanfaatan kawasan hutan ialah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh, sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya, butir 6: Pemanfaatan jasa lingkungan ialah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, butir 7: Pemanfaatan hasil hutan kayu ialah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan, berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya, butir 8: Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu ialah kegiatan

99 82 untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan, berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya dan butir 9: Pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu ialah kegiatan untuk mengambil hasil hutan, baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Pemberdayaan masyarakat setempat disebutkan pada pasal 83: (1) Untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya (2) Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala KPH Usaha pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan seperti pasal 84: Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. hutan desa; b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan Pemberdayaan masyarakat setempat pada areal hutan yang belum dibebani ijin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan. Sedangkan pada areal hutan yang telah dibebani ijin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan dilakukan melalui pola kemitraan. Peraturan Presiden yang mengatur tentang kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat hanya terdapat pada Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Ruang lingkup dari kawasan lindung pada Keputusan Presiden ini terdapat pada pasal 3, 4, 5 dan 6. Pasal 3 menyebutkan: Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya 2. Kawasan perlindungan setempat 3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya 4. Kawasan rawan bencana alam

100 83 Pasal 4 menyatakan: Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan bergambut 3. Kawasan resapan air Pasal 5 berbunyi: Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1. Sempadan pantai 2. Sempadan sungai 3. Kawasan sekitar danau/waduk 4. Kawasan sekitar mata air Sedangkan pasal 6 menyebutkan: Kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari: 1. Kawasan suaka alam 2. Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya 3. Kawasan pantai berhutan bakau 4. Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam 5. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan Pada pasal 36 menyinggung mengenai keterlibatan masyarakat, sebagai berikut: (1) Pemerintah Daerah tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung (2) Pemerintah Daerah tingkat I dan tingkat II mengumumkan kawasan-kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 kepada masyarakat Pasal di atas menyatakan peran serta masyarakat bukan merupakan suatu hal yang penting dalam pengelolaan kawasan lindung dan masyarakat hanya sebagai objek yang perlu dikembangkan kesadarannya melalui tanggung jawab terhadap kawasan lindung. Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat cukup banyak seperti yang terlihat pada Tabel 26 berikut.

101 Tabel 26. Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Peraturan Daerah Tentang 1 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 28 tahun 2001 Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 15 tahun 2002 Ketentuan ijin pengelolaan air bawah tanah dan irigasi 3 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 35 tahun 2002 Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada) tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 38 tahun 2002 Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung Ciremai 5 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 18 tahun 2003 Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kepada desa 6 Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 6 tahun 2004 Pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Kuningan tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 7 tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 8 tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 14 tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 15 tahun Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 21 tahun Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Kuningan tahun Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Kuningan tahun Penyelenggaraan pendakian Gunung Ciremai Retribusi ijin pendakian Gunung Ciremai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kuningan sampai dengan tahun 2013 Sebagaimana dinyatakan di atas, peraturan yang menyangkut kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terdiri atas peraturan yang disebutkan secara langsung oleh Undang- Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan peraturan yang tidak disebutkan secara langsung dalam Undang- Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, tetapi mengacu kepada salah satu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, diantaranya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan sebagainya. Peraturan Menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat cukup banyak, baik keputusan bersama, Keputusan Menteri Kehutanan maupun keputusan menteri terkait lainnya seperti terlihat pada Tabel 27 berikut. 84

102 Tabel 27. Peraturan menteri yang berkaitan dengan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Peraturan Menteri Tentang 1 Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor 23 tahun 1979 dan KEP-002/MNPPLH/2/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167/Kpts-II/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 446/Kpts-II/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/ Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6187/Kpts-II/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/Kpts-II/ Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/ Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/ Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.424/Menhut-II/2004 Instansi pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di daerah Sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam Tata cara permohonan, pemberian dan pencabutan ijin pengusahaan pariwisata alam Pembinaan dan pengawasan pengusahaan pariwisata alam Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang di daerah 85 Organisasi dan tata kerja balai taman nasional Organisasi dan tata kerja Balai Konservasi Sumberdaya Alam Tata cara kerja sama di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka social forestry Kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam Perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas Ha terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai Peraturan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat ada beberapa buah seperti terlihat pada Tabel 28 berikut.

103 Tabel 28. Keputusan Bupati Kuningan mengenai kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Keputusan Bupati Tentang 1 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455-KLH/2002 Pembentukan Lembaga Pelayanan Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat 2 Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.524- HUTBUN/ Keputusan Bupati Kuningan Nomor 660.I/KPTS.49- Hutbun/ Keputusan Bupati Kuningan Nomor /Kep.17- Hutbun/ Keputusan Bupati Kuningan Nomor 361/Kep.18-Hutbun/ Peraturan Bupati Kuningan Nomor 4 tahun Keputusan Bupati Kuningan Nomor /KPTS.251- Dishutbun/2005 Kabupaten Kuningan Pembentukan Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Kabupaten Kuningan Pembentukan tim sosialisasi perubahan fungsi kelompok hutan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan 86 Pedoman pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 14 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pendakian Gunung Ciremai Pembentukan Dewan Pengelola Pendakian Gunung Ciremai (DPPGC) Kewenangan camat dalam Kabupaten Kuningan Pembentukan tim pengkaji pengelolaan taman nasional kolaboratif pada kelompok hutan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan Berdasarkan substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat di atas, yaitu pasal 25 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pemanfaatan taman nasional yang merupakan bagian dari kawasan hutan pelestarian alam diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 22 menyatakan: Pada hutan konservasi, pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ijin pemanfaatan hutan pada pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

104 87 dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terdiri dari: 1. Pemanfaatan kawasan 2. Pemanfaatan jasa lingkungan 3. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu 4. Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu Hal ini berarti, bahwa pada Taman Nasional Gunung Ciremai dapat dilakukan PHBM berbasis lahan, seperti tumpang sari dan sebagainya serta non lahan, seperti pendakian Gunung Ciremai dan sebagainya. Namun, jika dilihat pada pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kegiatan yang dapat dilakukan di taman nasional hanya penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam serta kegiatan inipun dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokoknya. Ini berarti, hanya PHBM yang berbasis non lahan saja yang dapat dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Padahal sampai saat ini, PHBM yang sudah berkembang hanya berbasis lahan dan PHBM berbasis non lahan baru pada tahap awal. Oleh karena itu, ke depannya PHBM berbasis non lahan harus dikembangkan dan PHBM berbasis lahan pelan-pelan dikurangi. Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 24, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 32, zona rimba termasuk pada zona lain yang kawasan hutannya dapat dimanfaatkan. Hal ini berarti, bahwa terdapatnya inkonsistensi antara peraturan perundang-undangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Inkonsistensi substansi kebijakan di atas dapat dilihat pada Tabel 29 berikut.

105 Tabel 29. Inkonsistensi substansi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 88 No. Peraturan Perundangundangan 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan Pasal Pemanfaatan Hutan 24 Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional 25 Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 28 (1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu 22 Pada hutan konservasi, pemberian ijin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 17 (1) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat (2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dan d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (3) Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14, pasal 15 dan pasal 16

106 89 Tabel 29. (lanjutan) No. Peraturan Perundangundangan 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal Pemanfaatan Hutan 31 (1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan 32 Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan Di samping itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 68 ayat 3, masyarakat di sekitar taman nasional berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan taman nasional sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, peraturan pelaksanaannya belum ada, maka perlu didorong penyusunan peraturan pelaksanaannya Implementasi dan Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Implementasi dan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat disurvey pada tiga desa sampel secara purpossive yang tersebar merata di Utara, tengah dan Selatan Taman Nasional Gunung Ciremai, yaitu Desa Padabeunghar (Kecamatan Pasawahan), Desa Linggarjati (Kecamatan Cilimus) dan Desa Karangsari (Kecamatan Darma). A. Implementasi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Implementasi kebijakan PHBM terdiri atas beberapa tahapan, yaitu sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori, perencanaan desa, NKB, NPK dan Peraturan Desa. PHBM yang mulai diimplementasikan

107 sejak tahun 2001 di Kabupaten Kuningan telah mencapai hasil-hasil, seperti Tabel 30. Perinciannya dapat dilihat pada Lampiran Tabel 30. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun No. Tahun Desa NKB Desa % Luas (Ha) Desa % Luas (Ha) % ,00 123, ,00 123,35 100, , , ,89 281,25 2, , ,19 3 5,00 296,79 3, ,38 971,54 3 9,38 135,75 13,97 Jumlah , ,14 Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan Fungsi hutan Gunung Ciremai pada NPK di atas ialah hutan lindung dan hutan produksi. Pada akhir tahun 2003 keluar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat Seluas ± Ha yang merubah fungsi hutan Gunung Ciremai menjadi hutan lindung. Konsekuensi dari perubahan ini ialah NPK yang berbasis kayu, hak bagi hasil masyarakat ditanggung oleh Perum Perhutani. Sedangkan pada areal yang tegakannya jarang dilakukan pengkayaan dengan jenis Multi Purpose Tree Species (MPTS) dan pada areal kosong Perum Perhutani dan masyarakat melakukan rehabilitasi lahan dengan komposisi tanaman hutan dan MPTS sekitar sampai Kesepakatan di atas dilakukan melalui musyawarah Perum Perhutani dengan masyarakat melalui Forum PHBM Desa. Implementasi kebijakan PHBM yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2005 terdapat pada Tabel 31 berikut. NPK Tabel 31. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun 2005 No. Kegiatan/Kecamatan Desa A Pembuatan persemaian 1 Cibeureum Cimara 2 Garawangi Gewok 3 Selajambe Padahurip 4 Hantara Bunigeulis 5 Darma Cimenga 6 Cilebak Cilebak

108 91 Tabel 31. (lanjutan) No. Kegiatan/Kecamatan Desa B Bantuan dana bergulir sebesar Rp ,- 1 Selajambe Kutawaringin 2 Nusaherang Haurkuning 3 Cilimus Linggarjati 4 Garawangi Pakembangan 5 Hantara Citapen C Sosialisasi Taman Nasional Gunung Ciremai 1 Pasawahan Padabeunghar, Kaduela, Pasawahan, Padamatang, Singkup dan Cibuntu 2 Mandirancan Seda, Randobawagirang dan Trijaya 3 Cilimus Cibeureum, Setianegara, Linggarjati, Linggasana dan Bandorasakulon 4 Jalaksana Sayana, Sangkanherang, Sukamukti dan Babakanmulya 5 Kramatmulya Pajambon 6 Cigugur Cisantana dan Puncak 7 Darma Gunungsirah, Karangsari dan Sagarahiang D Pengkajian pengelolaan hutan kolaboratif E Pembinaan fasilitator PHBM tingkat kecamatan sebanyak 100 orang Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Sebelum lembaga resmi dibentuk, BKSDA II Provinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai pengelola sementara Taman Nasional Gunung Ciremai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.140/IV/Set-3/2004 tentang Penunjukan BKSDA II Provinsi Jawa Barat sebagai Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai. Sampai saat ini proses pembentukan lembaga pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai ialah surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor B/1027/M.Pan/4/2006 tentang Usul Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Di samping itu, dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai juga sedang dalam proses penyusunan oleh Universitas Kuningan saat ini. BKSDA II Provinsi Jawa Barat sebagai pengelola sementara Taman Nasional Gunung Ciremai dalam rangka kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan

109 92 dan Lahan (Gerhan) tahun 2005 telah melaksanakan penanaman dan pengkayaan seluas 400 Ha dengan jenis peutag, huni, salam, puspa, ki hujan dan manglid. Perinciannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Selain itu juga sudah disepakati NPK antara Pemda Kabupaten Kuningan dengan BKSDA II Provinsi Jawa Barat dalam bidang pengembangan wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan Nomor /678/Hutbun dan S.2150/IV- K.12/2006. Sebagai tindak lanjut dari NPK di atas juga telah disepakati NKB antara BKSDA II Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Desa Setianegara, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai Nomor S.950/IV-K.12/2006 dan 8213/18/IV/Des/2006 dan Nota Perjanjian Kemitraan antara BKSDA II Provinsi Jawa Barat dengan Pondok Pesantren Madinatunnajah tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam melalui Pendidikan Konservasi di Taman Nasional Gunung Ciremai Nomor S.901/IV-K.12/2006. Hal ini karena akses masyarakat di dalam kawasan hutan sebelumnya sudah berkekuatan hukum, sehingga perlu adanya kekuatan hukum baru meskipun berganti Pemegang Otoritas Pengelolaan (POP). Dalam rangka melanjutkan implementasi PHBM, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun 2006 melaksanakan kegiatan Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan dengan rincian, sebagai berikut: 1. Pelatihan lebah madu sebanyak dua kelompok 2. Bantuan dana bergulir sebesar Rp ,- 3. Pemberian alat lebah madu sebanyak satu paket 4. Pertemuan teknis pembinaan Forum PHBM Saat ini sedang dibahas draft Memorandum of Understanding (MoU) yang memayungi kepentingan para pihak di Kabupaten Kuningan dengan Departemen Kehutanan dan juga dibentuk Tim Pengkajian Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai melalui Keputusan Bupati Kuningan Nomor /KPTS.251-Dishutbun/2005 tentang Tim Pengkaji Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai Kolaboratif yang meliputi tiga Kelompok Kerja (Pokja), yaitu Pokja Review Kebijakan, Penyusunan Kelembagaan dan Penyusunan Zonasi. Pokja Kebijakan telah menyusun naskah Nota Kesepahaman antara Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan Kawasan Taman Nasional

110 93 Gunung Ciremai. Draft Kelembagaan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai tingkat regional, terdiri dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, LSM, masyarakat dan dunia usaha. Sedangkan draft Kelembagaan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, terdiri dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Pemda, masyarakat dan pihak lainnya. Draft model-model zonasi dan kriterianya dinilai dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi dengan bentuk-bentuk zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan (terbatas dan tradisional) dan zona rehabilitasi. Pendanaan untuk implementasi kebijakan PHBM bersumber dari Pemda Kabupaten Kuningan, Perum Perhutani dan lembaga donor melalui LSM dengan alokasi sebagaimana pada Tabel 32. Dana dari Perum Perhutani untuk menunjang kegiatan penguatan kelembagaan dan tenaga fasilitator. Sedangkan dana dari Pemda Kabupaten Kuningan dan lembaga donor bersifat sinergi untuk penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Dana dari lembaga donor cukup signifikan dan hal ini sangat membantu karena dana dari Pemda Kabupaten Kuningan baru pada akhir tahun, sehingga pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan tidak terhambat. Tabel 32. Dana dari lembaga donor, Pemda Kabupaten Kuningan dan Perum Perhutani untuk implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan tahun No. Instansi Tahun (000 Rp) Jumlah (000 Rp) 1 Lembaga , , , ,- donor 2 Pemda , , , , ,- Kabupaten Kuningan 3 Perum , , , ,- Perhutani Jumlah , , , , ,- Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel terdapat pada Tabel 33 berikut.

111 94 Tabel 33. Implementasi kebijakan PHBM pada tiga desa sampel No. Desa Kecamatan BKPH RPH Tahun NKB (Ha) NPK Luas (Ha) % 1 Padabeunghar Pasawahan Linggarjati Pasawahan ,46 36,90 3,07 2 Linggarjati Cilimus Linggarjati Setianegara dan Jalaksana ,83 42,26 10,70 3 Karangsari Darma Linggarjati Darma , Jumlah 1.667,92 79,16 Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan Sedangkan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam PHBM pada tiga desa sampel terdapat pada Tabel 34 berikut. Tabel 34. KTH dalam PHBM pada tiga desa sampel No. Desa Kecamatan KTH Anggota Luas (Ha) Petak Komoditi 1 Padabeunghar Pasawahan Cirendang ,90 1 A, 1 B dan 1 C Melinjo, pete, pisang dan Kiara 14 42,00 3 C durian Batukuda 94 36,90 5 A Cipelah 30 98,90 11 D Kiamis 20 65,70 11 C Sipanenjoan 15 51,20 4 D, 11 A dan 11 B Silebu 20 64,30 4 A Siliangkerud 14 44,10 4 B Jumlah ,00 2 Linggarjati Cilimus Salam 52 13,05 22 E dan 22 F Jeruk, nilam, pisang dan Sihurang 39 5,00 23 D kopi Sareng Tengah 35 19,15 22 B, 22 C dan 22 E Leuweung Datar 45 12,70 22 D dan 23 B Parigi 27 8,60 23 E Jumlah ,50 3 Karangsari Darma Rimbasari 50 63,45 30, 31 A, 31 B, 31 C, 32 B dan 32 C Jumlah 50 63,45 Total ,95 Sumber: LPI-PHBM Kabupaten Kuningan Sayuran, alpukat, pisang dan kopi Pada Desa Linggarjati, di samping terdapat PHBM berbasis lahan ada juga PHBM berbasis non lahan dengan kegiatan pengelolaan pendakian Gunung Ciremai sepanjang 11 km, dimana jumlah pendaki sebanyak orang/tahun. Organisasi yang mengelola jalur pendakian ini ialah Badan Pengelola Pendakian Gunung Ciremai (BPPGC). Retribusi pendakian Gunung Ciremai ini sebesar Rp 3.000,-/orang dengan pembagian sebagai berikut: 1. Perum Perhutani : Rp 1.250,- 2. Pemda Kabupaten Kuningan : Rp 500,- 3. Asuransi : Rp 100,-

112 95 4. Pemerintah Desa Linggarjati : Rp 350,- 5. Pengelola PHBM : Rp 800,- Di samping itu, di Desa Linggarjati terdapat juga Buper. Buper terdapat juga di Desa Karangsari seluas 1 Ha, selain Situs Kancangan. Potensi wisata terdapat juga di Desa Padabeunghar, yaitu Batu Luhur, Gunung Rangkong dan Situ Ayu Salintang. Namun, potensi berbasis non lahan ini belum dikembangkan dan baru sebatas dalam rencana Forum PHBM Desa dan Pemerintah Desa Padabeunghar karena mengalami kesulitan dengan modal untuk pengembangannya. Meskipun PHBM sudah dilaksanakan sejak tahun 2001, namun masih ada beberapa permasalahan dalam implementasinya, yaitu: 1. Kelembagaan KTH belum berfungsi secara maksimal 2. Forum PHBM Kecamatan dan Desa belum berfungsi optimal 3. Kemampuan petani dalam budidaya tanaman, baik semusim maupun hortikultura masih terbatas 4. Peran serta instansi yang tergabung dalam Forum PHBM Kecamatan belum maksimal 5. Pembagian wilayah tanggung jawab atau penentuan batas antar desa masih ada yang belum terjalin kesepakatan 6. Pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pendataan potensi dan merencanakan kegiatan masih terbatas B. Dampak Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Salah satu dampak negatif dari kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terhadap masyarakat ialah sebagian masyarakat mengganggap PHBM merupakan hadiah. Saat wawancara dengan masyarakat sekitar hutan, peneliti menanyakan Apakah Bapak masih ikut PHBM sekarang?. Bapak tersebut menjawab, Tidak karena sudah lama tidak ada lagi bantuan. Hal ini membuktikan, bahwa sebagian masyarakat mengganggap PHBM hanya sekadar bantuan. PHBM juga memberi dampak pada LSM karena aktivitas LSM lokal di Kabupaten Kuningan semakin bergairah karena banyaknya proposal LSM tersebut yang disetujui oleh lembaga donor yang tertarik dengan aktivitas yang terjadi di Kabupaten Kuningan, khususnya mengenai kegiatan PHBM. Hal ini juga menjadi nilai tambah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada

113 96 Pemda Kabupaten Kuningan, peserta PHBM dan sebagainya untuk beraktivitas dalam wadah LPI PHBM Kabupaten Kuningan. Selintas agak susah dilihat mana yang anggota LSM dan mana yang bukan, bahkan salah seorang dosen Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan menyatakan, bahwa PNS di Kabupaten Kuningan sudah menjadi anggota LSM. LPI-PHBM Kabupaten Kuningan merupakan wadah yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455.KLH/2002 tentang Pembentukan Lembaga Pelayanan Implementasi Sistem PHBM Kabupaten Kuningan yang anggotanya berasal dari berbagai kalangan untuk memediasi proses pelaksanaan PHBM di Kabupaten Kuningan karena Forum PHBM Kabupaten Kuningan yang dibentuk dengan Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.167.KPLD/2001 tentang Pembentukan Organisasi Penyelenggara PHBM Kabupaten Kuningan anggotanya merupakan para pejabat di lingkungan Pemda Kabupaten Kuningan yang mempunyai kegiatan banyak dan hanya bertemu 2 3 kali setahun. Oleh karena itu, dibantu oleh LPI-PHBM Kabupaten Kuningan yang mempersiapkan bahan untuk pertemuan Forum PHBM Kabupaten Kuningan dan sebagainya. Namun, timbul kerancuan pada masyarakat di Kabupaten Kuningan yang menganggap LPI-PHBM Kabupaten Kuningan merupakan Forum PHBM Kabupaten Kuningan karena anggota LPI PHBM Kabupaten Kuningan yang sering berinteraksi dengan mereka. Hal ini membuktikan, bahwa begitu melembaganya LPI PHBM Kabupaten Kuningan, termasuk anggotanya. Dari segi kelembagaan, PHBM di Kabupaten Kuningan cukup baik, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan relatif sama. PHBM hanya merupakan pelegalan masyarakat menggarap lahan hutan selama ini yang tidak terpantau atau sengaja tidak dipantau oleh petugas lapangan Perum Perhutani, sehingga dengan adanya PHBM masyarakat merasa tenang untuk masuk ke dalam hutan karena memiliki kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan Kusuma (2003) yang menyatakan, bahwa 69% responden merasa lebih aman mengolah lahan hutan setelah PHBM. NPK yang merupakan kesepakatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dalam bagi hasil tidak terlalu dipermasalahkan oleh masyarakat karena yang penting bagi masyarakat hanya akses untuk masuk hutan. Bahkan tanpa NPK-pun, PHBM sudah dilaksanakan di lapangan dan NPKnya menyusul kemudian. Jika dilihat secara cermat, tidak semua peserta

114 97 yang ada di dokumen NPK peserta PHBM dan tidak semua peserta PHBM ada pada dokumen NPK karena lahan hutan yang telah diolah masyarakat secara terpisah-pisah dikumpulkan menjadi satu dan dibuat satu kelompok, sehingga lahan yang diolah peserta bervariasi. Bahkan muncul fenomena ganti rugi lahan yang telah diolah antar masyarakat karena sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk membuka lahan di hutan. Pada umumnya, kelompok masyarakat seperti ini yang tidak setuju dengan PHBM. Pada tingkat desa kadang-kadang timbul kecemburuan sosial karena dengan adanya PHBM seolah-olah pamor Kepala Desa tersaingi oleh Ketua Forum PHBM Desa. Namun, pada beberapa desa yang Kepala Desa dan Ketua Forum PHBM Desa seiring, dimana yang semestinya laporan PHBM desa dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Desa sebagai penanggung jawab PHBM di tingkat desa hanya dilakukan secara lisan dan sering dilakukan pertemuan Forum PHBM Desa. Pada tingkat kecamatan, proses PHBM sering terlewatkan. Meskipun ada Forum PHBM Kecamatan, tetapi sering tidak aktif dan laporan dari desa sering juga tidak sampai pada kecamatan. Bahkan ada kecamatan yang belum di-legal-kan secara formal Forum PHBM Kecamatan-nya. Hal ini mungkin karena mudahnya akses dari desa ke kabupaten dan seringnya anggota LPI-PHBM Kabupaten Kuningan langsung ke desa tanpa melewati kecamatan terlebih dahulu. Berikut disampaikan dampak kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dari aspek sosial ekonomi yang terdiri atas pertumbuhan pendapatan dan tingkat kemiskinan, disparitas pendapatan dan ekonomi rumah tangga. 1. Pertumbuhan Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan PHBM telah memberi kesempatan bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk meningkatkan pendapatannya dan juga berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hutan. Dari kuisioner, wawancara dan survey yang dilakukan pada peserta PHBM di desa sampel terdapat kontribusi pendapatan PHBM pada pendapatan rumah tangga sebesar 7,71%, yaitu Rp ,- dari Rp ,- seperti terlihat pada Tabel 35 berikut.

115 Tabel 35. Pendapatan peserta PHBM di desa sampel dari PHBM dan non PHBM Pendapatan No. Desa Sampel Non PHBM PHBM (Rp) % (Rp) % Jumlah (Rp) 1 Padabeunghar ,- 93, ,- 6, ,- 2 Linggarjati ,- 93, ,- 6, ,- 3 Karangsari ,- 89, ,- 10, ,- Rata-rata ,- 92, ,- 7, ,- Sumber: Data primer (2006) Tabel 35 di atas menunjukkan, bahwa pendapatan masyarakat di Desa Linggarjati merupakan yang paling tinggi, yaitu Rp ,-. Namun, kontribusi pendapatan PHBM yang paling besar pada pendapatan rumah tangga terdapat di Desa Karangsari, yaitu 10,04%. PAD Kabupaten Kuningan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar Rp ,- tahun 2001 menjadi Rp ,50 tahun 2005 dengan pertumbuhan rata-rata 1.222,21%/tahun. Namun, jika dilihat dari komponen sumber pendapatannya hanya pada tahun 2005 yang berasal dari PHBM, yaitu Ijin pendakian Gunung Ciremai (PHBM berbasis non lahan) sebesar Rp ,- atau sebesar 6,60% dari PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan pada tahun tersebut. Secara umum kontribusi sektor kehutanan dan perkebunan Kabupaten Kuningan terhadap PAD Kabupaten Kuningan tidak menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 0,02% tahun 2001 menjadi 0,83% tahun Padahal rendahnya kontribusi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan bagi PAD Kabupaten Kuningan menjadi salah satu hal yang mendorong dilaksanakannya PHBM. Bahkan Pemda Kabupaten Kuningan pernah ingin menjadikan hutan di Kabupaten Kuningan sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), meskipun payung hukumnya tidak ada. Namun, studi kelayakan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan hasilnya cukup berat bagi Pemda Kabupaten Kuningan karena untuk memperbaiki kondisi hutan di Kabupaten Kuningan menjadi hutan normal diperlukan dana sekitar Rp ,- dan baru akan mencapai kondisi tegakan hutan normal pada tahun PAD Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan tahun secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. 98

116 99 Pada dasarnya kontribusi sektor kehutanan pada PAD Kabupaten Kuningan tidak hanya dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan saja, tetapi juga dari dinas lainnya karena kontribusi sektor kehutanan menjadi PAD dinas-dinas tersebut, seperti manfaat air menjadi PAD Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan Kabupaten Kuningan. PAD dari manfaat air ini cukup besar, yaitu sebesar Rp ,- tahun 2001 menjadi Rp ,- tahun 2005 atau meningkat ratarata sebesar 240,08%/tahun. Hal ini secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 9. Informasi dari KPH Kuningan, PHBM tidak mengurangi pendapatan Perum Perhutani, bahkan pendapatan Perum Perhutani cenderung meningkat dan hutan relatif terjaga. Hal ini berarti, bahwa keberlanjutan pengusahaan hutan lebih terjamin jika melihat pendapatan perusahaan secara keseluruhan, baik dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Produksi kayu jati maupun rimba dari tahun terus meningkat, namun sejak tahun mengalami penurunan. Hal ini karena adanya pemberlakuan moratorium logging bagi jenis rimba di kawasan hutan. Namun, pendapatan KPH Kuningan tetap meningkat karena meningkatnya produksi hutan non kayu, seperti minyak kayu putih, rotan dan jasa wisata. Pendapatan KPH Kuningan rata-rata per tahun sekitar Rp ,- seperti Tabel 36 berikut. Tabel 36. Pendapatan KPH Kuningan tahun No. Tahun Pendapatan (Rp) , , , , , ,- Jumlah ,- Rata-rata ,- Sumber: KPH Kuningan Dampak kebijakan PHBM terhadap kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberadaan hutan mulai tumbuh kembali pada desa-desa sekitar hutan yang pada awal era reformasi merupakan daerah rawan perambahan hutan. Berdasarkan data dari KPH Kuningan, gangguan

117 100 keamanan hutan puncaknya tahun 1999 dan setelah itu gangguan keamanan hutan cenderung turun seperti terlihat pada Tabel 37 berikut. Tabel 37. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan kerugiannya tahun No. Tahun Pencurian Kayu (batang) Kerugian (Rp) , , , , , ,- Jumlah ,- Rata-rata ,- Sumber: KPH Kuningan Tabel 38 menunjukkan tingkat kemiskinan masyarakat di desa sampel setelah PHBM yang secara umum relatif lebih baik dari pada tingkat kemiskinan Kabupaten Kuningan dan Indonesia. Tingkat kemiskinan Kabupaten Kuningan sebelum dan setelah PHBM ada penurunan sekitar 1,30% atau hanya 0,26% per tahun dan tingkat kemiskinan Indonesia sebelum dan setelah PHBM ada penurunan sekitar 1,39% atau hanya 0,23% per tahun. Tingkat kemiskinan di desa sampel sebelum PHBM (tahun 2000) tidak ada data. Tabel 38. Tingkat kemiskinan sebelum dan setelah PHBM No. Waktu 1 Sebelum PHBM 2 Setelah PHBM Desa Sampel (%) Kuningan Indonesia Ratarata Padabeunghar Linggarjati Karangsari (%) (%) ,36 19,14 11,43 8,57 8,57 9,52 15,06 17,75 Sumber: Data primer (2006), Bapeda Kabupaten Kuningan dan BPS 2. Disparitas Pendapatan Menghitung disparitas pendapatan sangat penting untuk mengetahui, apakah kesejahteraan telah terdistribusi merata dengan menghitung distribusi pendapatan per kapita masyarakat pada tiga desa sampel. Disparitas pendapatan dapat juga diukur dengan menghitung Koefisien Gini. Disparitas pendapatan bisa terjadi karena perbedaan kemampuan sumberdaya manusia dan sebagainya.

118 101 Tabel 39 menunjukkan distribusi pendapatan peserta PHBM pada ketiga desa sampel tidak sama. Pada Desa Linggarjati, pendapatan per kapita masyarakat yang paling kaya sekitar 28 kali lebih tinggi dari pada pendapatan masyarakat yang paling rendah. Pada Desa Padabeunghar dan Karangsari, distribusi pendapatan relatif lebih baik dari pada Desa Linggarjati, meskipun disparitas antara masyarakat yang paling kaya dan yang paling miskin masih cukup tinggi. Tabel 39. Jarak disparitas pendapatan peserta PHBM di desa sampel antara yang paling tinggi dengan yang paling rendah No. Desa Jarak Distribusi Pendapatan Pendapatan Tahunan yang paling Tinggi (Rp/kapita/tahun) Pendapatan Tahunan yang paling Rendah (Rp/kapita/tahun) Jarak Rata-rata 1 Padabeunghar , ,- 10 x ,- 2 Linggarjati , ,- 28 x ,- 3 Karangsari , ,- 14 x ,- Rata-rata ,- Sumber: Data primer (2006) Disparitas pendapatan dikategorikan tinggi, jika nilai Koefisien Gini lebih dari 0,5, nilai 0,4-0,5 dikategorikan sedang dan nilai di bawah 0,4 ialah disparitas rendah (Departemen Kehutanan, 2000 dalam Nurrochmat, 2005b). Tabel 40 menunjukkan nilai Koefisien Gini dan persentase distribusi pendapatan rumah tangga per tahun pada masingmasing kuintil pada tiga desa sampel. Hal ini menunjukkan, bahwa nilai Koefisien Gini dari pendapatan rumah tangga per tahun pada ketiga desa sampel merupakan disparitas pendapatan yang rendah karena Koefisien Gini di bawah 0,4. Rata-rata Koefisien Gini dari pendapatan rumah tangga per tahun pada desa sampel ialah 0,28 yang berarti disparitas pendapatan di desa sampel relatif terdistribusi secara baik. Tabel 40. Distribusi pendapatan menurut kelas pendapatan di desa sampel No. Desa Koefisien Gini Kuintil 1 Pendapatan (%) Kuintil Kuintil Kuintil Kuintil 5 1 Padabeunghar 0,31 5,99 12,03 20,70 25,53 35,75 2 Linggarjati 0,35 4, ,05 26,69 38,49 3 Karangsari 0,18 10,79 17,52 19,33 22,16 30,21 Rata-rata 0,28 7,22 13,48 19,69 24,79 34,82 Sumber: Data primer (2006)

119 102 Tabel 40 di atas menunjukkan keadaan pada desa sampel, dimana rata-rata kuintil yang paling tinggi (20% penduduk yang paling kaya) menerima sekitar 34,82% dari total pendapatan dan sekitar 65,18% dari pendapatan terdistribusi pada masyarakat yang lain. Hal ini berarti, bahwa relatif cukup banyak keuntungan dari PHBM (34,82%) didapat oleh sedikit masyarakat (20%). Perbandingan disparitas pendapatan antar desa sampel dapat lebih jelas dengan memproyeksikan persentase pendapatan dari masingmasing kuintil pada sebuah kurva yang disebut Kurva Lorens pada Gambar 9 berikut. KURVA LORENS DESA SAMPEL Pendapatan (%) Desa Padabeunghar Desa Linggarjati Desa Karangsari Rata-rata Garis persamaan Kuintil Gambar 9. Kurva Lorens pada desa sampel 3. Ekonomi Rumah Tangga Beberapa variabel yang dipakai pada analisis ekonomi rumah tangga di tiga desa sampel ialah indikator sumberdaya manusia responden (kelas umur, umur produktif, pendidikan dan jumlah anggota rumah tangga), indikator kesejahteraan (pendapatan rumah tangga, tingkat kemiskinan, tipe rumah dan luas kepemilikan lahan) dan hubungan responden terhadap PHBM (luas lahan PHBM, waktu kerja PHBM, pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM dan porsi

120 103 pendapatan rumah tangga dari PHBM). Tabel 41 berikut menggambarkan variabel sosial ekonomi responden yang digunakan. Tabel 41. Deskripsi variabel sosial ekonomi responden No. Variabel Definisi A Indikator sumberdaya manusia 1 Kelas umur 1 jika umur responden < 30 tahun, 2 jika tahun, 3 jika tahun dan 4 jika > 50 tahun 2 Umur produktif 1 jika responden pada umur produktif (16-50 tahun) dan 0 yang lainnya 3 Pendidikan 1 jika pendidikan responden SD, 2 jika SLTP, 3 jika SLTA dan 4 jika perguruan tinggi 4 Jumlah anggota rumah tangga B Indikator kesejahteraan 1 Pendapatan rumah tangga 2 Tingkat kemiskinan Jumlah anggota rumah tangga Pendapatan rumah tangga 1 jika pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan dan 0 yang lainnya 3 Tipe rumah 1 jika tipe rumah non permanen, 2 jika semi permanen dan 3 jika permanen 4 Luas kepemilikan lahan C Hubungan terhadap PHBM 1 Luas lahan PHBM 2 Waktu kerja PHBM 3 Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM 4 Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM 1 jika luas kepemilikan lahan < 0,25 Ha, 2 jika 0,25-0,5 Ha dan 3 jika > 0,5 Ha 1 jika luas lahan PHBM < 0,25 Ha, 2 jika 0,25-0,5 Ha dan 3 jika > 0,5 Ha Frekuensi kerja PHBM per bulan (hari) Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM

121 104 Analisis sosial ekonomi pada bagian ini menggunakan skala nominal, ordinal dan variabel. Deskripsi statistik dari masing-masing variabel di atas ditunjukkan pada Tabel 42 berikut. Tabel 42. Deskripsi statistik karakteristik sosial ekonomi responden No. Variabel Minimum Maksimum Rata-rata A Indikator sumberdaya manusia 1 Kelas umur 1 4 2,49 2 Umur produktif 0 1 0,82 3 Pendidikan 1 3 1,41 4 Jumlah anggota rumah tangga 2 7 3,74 B Indikator kesejahteraan 1 Pendapatan , , ,- rumah tangga 2 Tingkat 0 1 0,91 kemiskinan 3 Tipe rumah 1 3 1,89 4 Luas kepemilikan lahan 1 3 1,73 C Hubungan terhadap PHBM 1 Luas lahan PHBM 2 Waktu kerja PHBM 3 Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM 4 Porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM Sumber: Data primer (2006) 1 3 1, , , , ,- 0,002 0,518 0,099 Analisis ini dibagi atas tiga bagian, yaitu bagian pertama membahas struktur pendapatan rumah tangga dan ketergantungan pendapatannya terhadap PHBM, bagian kedua membahas penyebaran keuntungan dari PHBM dan bagian ketiga mengenai hubungan variabel terhadap kemiskinan di desa.

122 105 a. Struktur Pendapatan dan Ketergantungan terhadap PHBM Rata-rata pendapatan peserta PHBM pada tiga desa sampel sekitar Rp ,- per kapita per tahun, dimana jauh di atas garis kemiskinan (320 kg beras atau Rp ,- per kapita per tahun saat ini). Hal ini diperkuat lagi dengan banyaknya masyarakat yang tinggal di rumah semi permanen dan permanen, yaitu sekitar 80,95% mempunyai rumah semi permanen dan permanen. Rumah tangga relatif tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap PHBM sebagai sumber pendapatan. Pada Desa Linggarjati, sekitar 6,91% pendapatan rumah tangga berasal dari PHBM, seperti tumpang sari dan sebagainya. Sedangkan di Desa Karangsari, kontribusi PHBM sekitar 10,04% terhadap pendapatan rumah tangga dan di Desa Padabeunghar 6,19% dari pendapatan rumah tangga berasal dari PHBM seperti Tabel 43 berikut. Tabel 43. Sumber pendapatan rumah tangga peserta PHBM di desa sampel No. Sumber Desa (%) Pendapatan Padabeunghar Linggarjati Karangsari Ratarata (%) 1 Pertanian 45,14 61,03 47,37 51,18 2 PHBM 6,19 6,91 10,04 7,71 3 Lainnya 48,67 32,06 42,59 41,11 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Data primer (2006) Gambar 10 menunjukkan, bahwa dari semua tipe rumah secara umum memiliki ketergantungan pendapatan yang relatif sama pada PHBM dengan kontribusi sekitar 10% pada pendapatan rumah tangga. Tipe rumah permanen memiliki ketergantungan pendapatan yang tinggi pada pertanian, tipe rumah non permanen memiliki ketergantungan pendapatan yang tinggi pada lainnya dan tipe rumah semi permanen memiliki ketergantungan pendapatan yang relatif sama antara pertanian dan lainnya. Hal ini berarti, bahwa tipe rumah tidak berpengaruh secara signifikan, maka untuk penelitian selanjutnya tidak cocok tipe rumah sebagai indikator di daerah ini.

123 % 80% 60% 40% 20% 0% Permanen Non Permanen Semi Permanen Lainnya 2,506, ,090, ,731, PHBM 941, , , Pertanian 9,556, ,784, ,967, Gambar 10. Tipe rumah dan kontribusi sumber pendapatan pada pendapatan rumah tangga Tabel 44 menunjukkan variabel yang berhubungan pada porsi pendapatan rumah tangga dari PHBM pada tiga desa sampel. Tabel 44 ini juga menunjukkan, bahwa dengan model regresi linier tingkat kemiskinan memiliki hubungan koefisien negatif pada variabel terikat. Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan secara umum memiliki ketergantungan yang lebih tinggi pada PHBM karena lebih besar porsi PHBM pada pendapatan rumah tangga mereka. Koefisen pendapatan rumah tangga yang negatif memberi alasan kuat bagi ketergantungan yang tinggi dari rumah tangga yang mempunyai pendapatan yang rendah dari pada pendapatan yang tinggi. Tabel 44. Variabel yang berhubungan terhadap porsi pendapatan dari PHBM No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio 1 Konstanta 0, , ,79** 2 Kelas umur -0, , ,84 3 Umur produktif -0, , ,18 4 Pendidikan 0, , ,14 5 Jumlah anggota 0, , ,70 rumah tangga 6 Pendapatan rumah -0, , ,37*** tangga 7 Tingkat kemiskinan -0, , ,71***

124 107 Tabel 44. (lanjutan) No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio 8 Tipe rumah 0, , ,20 9 Luas kepemilikan 0, , ,44 lahan 10 Luas lahan PHBM 0, , ,47* 11 Waktu kerja PHBM 0, , ,16 12 Pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM 0, , ,96*** Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: porsi pendapatan dari PHBM, n = 105, R-Sq (adj) = 74,9% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10% Berdasarkan hasil analisis statistik yang digambarkan pada Tabel 44 di atas terlihat, bahwa porsi pendapatan dari PHBM mempunyai hubungan positif dengan luas lahan PHBM dan pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM. Logikanya, jika lebih luas lahan PHBM seseorang, maka lebih besar kontribusi pendapatan dari PHBM. Pengaruh kelas umur dan umur produktif pada porsi pendapatan dari PHBM tidak signifikan. Tabel 44 di atas juga menunjukkan, bahwa porsi pendapatan dari PHBM berhubungan dengan jumlah anggota rumah tangga, yaitu semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, maka akan semakin banyak porsi pendapatan dari PHBM b. Distribusi Keuntungan dari PHBM Tabel 45 menunjukkan, bahwa keuntungan dari PHBM secara signifikan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tingkat kemiskinan dan porsi pendapatan dari PHBM. Hal ini berarti, bahwa orang yang lebih kaya memiliki lebih besar keuntungan dari PHBM dan tidak ada hubungan dengan tipe rumah.

125 108 Tabel 45. Variabel yang berhubungan dengan keuntungan dari PHBM No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio 1 Konstanta ,36* 2 Kelas umur ,09 3 Umur produktif ,88 4 Pendidikan ,64* 5 Jumlah anggota rumah ,46* tangga 6 Pendapatan rumah 0, , ,67*** tangga 7 Tingkat kemiskinan ,41*** 8 Tipe rumah ,90 9 Luas kepemilikan ,54 lahan 10 Luas lahan PHBM ,04 11 Waktu kerja PHBM ,07 12 Porsi pendapatan dari PHBM ,96*** Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM, n = 105, R-Sq (adj) = 68,6% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10% Gambar 11 menunjukkan, bahwa sebagian kecil masyarakat yang kaya (20%) mendapat keuntungan relatif banyak dari PHBM dan 20% masyarakat paling miskin menerima relatif lebih sedikit keuntungan. Kelompok yang paling kaya mendapat keuntungan dari PHBM sekitar Rp ,- per tahun. Sedangkan kelompok paling miskin mendapat sekitar Rp ,- per tahun atau sekitar 50% dari yang didapat kelompok paling kaya dari PHBM.

126 109 Kelompok yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari PHBM Rupiah/tahun 40,000, ,940, ,000, ,000, ,660, ,000, % Paling Kaya 20% Paling Miskin Rumah tangga Gambar 11. Distribusi keuntungan dari PHBM di desa sampel c Analisis Kemiskinan di Desa Model regresi linier digunakan untuk menentukan variabel yang berhubungan dan berpengaruh pada kemiskinan di tiga desa sampel. Variabel terikat tingkat kemiskinan dalam memperkirakan model tingkat kemiskinan seperti yang digambarkan pada Tabel 41 sebelumnya 1 menunjukkan, bahwa pendapatan per kapita rumah tangga di atas garis kemiskinan dan 0 yang lainnya. Tabel 46 berikut menggambarkan hasil analisis regresi linier dengan tingkat kemiskinan sebagai variabel terikat. Tabel 46. Analisis regresi dari variabel yang berhubungan dengan tingkat kemiskinan No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio 1 Konstanta 0,8223 0,2632 3,12*** 2 Kelas umur 0, , ,68 3 Umur produktif 0, , ,58 4 Pendidikan -0, , ,61* 5 Jumlah anggota -0, , ,98** rumah tangga 6 Pendapatan rumah 0, , ,77 tangga 7 Tipe rumah 0, , ,89

127 110 Tabel 46. (lanjutan) No. Variabel Koefisien Standard Error t-ratio 8 Luas kepemilikan 0, , ,18 lahan 9 Luas lahan PHBM 0, , ,02 10 Waktu kerja PHBM 0, , ,80 11 Pendapatan tahunan 0, , ,41*** rumah tangga dari PHBM 12 Porsi pendapatan dari PHBM -1,5690 0,4226-3,71*** Sumber: Data primer (2006), regresi linier, peubah terikat: tingkat kemiskinan, n = 105, R-Sq (adj) = 31,9% ***signifikan pada tingkat kepercayaan 1%, **signifikan pada tingkat kepercayaan 5%, *signifikan pada tingkat kepercayaan 10% Tabel 46 di atas menunjukkan, bahwa tingkat kemiskinan pada tiga desa sampel dipengaruhi secara signifikan oleh banyak faktor, yaitu pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM dan porsi pendapatan dari PHBM. Jumlah anggota rumah tangga berpengaruh pada tingkat kemiskinan, yaitu lebih banyak anggota keluarga, maka lebih kecil kemungkinan untuk keluar dari kemiskinan. Tabel 46 di atas juga menunjukkan, bahwa pendapatan yang lebih tinggi dari PHBM tidak dapat dipakai sebagai indikator untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Menurut hasil dari analisis regresi linier, porsi pendapatan dari PHBM berlawanan dengan tingkat kemiskinan. Porsi yang tinggi dari pendapatan PHBM tidak paralel dengan keuntungan yang diterima dari PHBM Strategi Kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Dalam rangka memformulasikan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat digunakan metode AHP dan SWOT. Metode ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan klasifikasi serta evaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan (Kurttila et al., 2000).

128 111 A. Identifikasi Stakeholders Formulasi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat tergantung pada beberapa faktor, yaitu sosial ekonomi masyarakat, ekologi hutan dan sebagainya. Hal ini berimplikasi, bahwa penting untuk mendapatkan informasi dari berbagai stakeholders untuk mendapatkan stakeholders kunci. Pengklasifikasian stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam suatu pengelolaan merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi peluang partisipasi dan kemungkinan resiko yang dapat ditimbulkan oleh stakeholders tertentu. Tingkat kepentingan berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholders, yaitu semakin besar dampak yang akan diterima oleh stakeholders, maka semakin tinggi tingkat kepentingannya. Sedangkan tingkat pengaruh mengindikasikan kemampuan stakeholders untuk mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu pengelolaan (Hermawan et al., 2005). Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, stakeholders yang terlibat dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yaitu: 1. Primer langsung ialah stakeholders yang terlibat dan atau memperoleh dampak langsung 2. Primer tidak langsung ialah stakeholders yang terlibat secara tidak langsung, tetapi memperoleh dampak langsung 3. Sekunder ialah stakeholders yang tidak terlibat langsung dan tidak memperoleh dampak secara langsung Kepentingan, pengaruh dan peluang partisipasi stakeholders dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat terlihat pada Tabel 47 berikut.

129 112 Tabel 47. Stakeholders, kepentingan dan tingkat kepentingannya, tingkat pengaruh dan peluang partisipasinya dalam PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Stakeholders Kepentingan A Primer langsung 1 BKSDA II Provinsi Jawa Barat Konservasi sumberdaya hutan Tingkat Kepentingan Tinggi, pengelolaan kawasan konservasi Tingkat Pengaruh Tinggi, otoritas pengelolaan Peluang Partisipasi Pengelolaan kawasan konservasi 2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Pengelolaan sumberdaya hutan Tinggi, wilayah teritorial Tinggi, pengelola sumberdaya hutan daerah Pembinaan 3 PMTH Kabupaten Kuningan Lahan sebagai sumber penghidupan Tinggi, penerima dampak langsung Tinggi, sumberdaya manusia dan kontrol Perlindungan B Primer tidak langsung 1 Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan Pembangunan daerah Rendah, sumberdaya yang terbatas Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi Perencanaan 2 Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan Pembangunan pertanian Tinggi, intensitas pemanfaatan lahan untuk pertanian Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi Fasilitasi kegiatan pertanian 3 DInas Pariwisata Kabupaten Kuningan Pariwisata Tinggi, koordinasi kepariwisataan Sedang, koordinator kepariwisataan Koordinasi kepariwisataan 4 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan Tinggi, sumberdaya terhadap kegiatan konservasi Sedang, dukungan tanpa kekuatan intervensi Fasilitasi 5 Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan PAD Rendah, alokasi anggaran Rendah, dukungan tanpa kekuatan intervensi Koordinasi 6 PDAM Kabupaten Kuningan Kontinuitas pasokan air Tinggi, pemanfaat sumberdaya air Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi Kompensasi pemanfaatan air

130 113 Tabel 47. (lanjutan) No. Stakeholders Kepentingan 7 Perusahaan Air Minum Kemasan (PAMK) 8 PT. Indocement Kontinuitas pasokan air Kontinuitas pasokan air 9 Pecinta alam Penggunaan kawasan untuk kegiatan alam terbuka C Sekunder 1 Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kuningan 2 Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Kuningan 3 LPI-PHBM Kabupaten Kuningan 4 LSM local Kabupaten Kuningan 5 Universitas Kuningan Pemberdayaan masyarakat Pendapatan dari konsumen wisata Kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat Kelestarian sumberdaya hutan dan kesejahteraan masyarakat Pengembangan tempat penelitian 6 Tentara Nasional Indonesia (TNI) Pemanfaatan kawasan untuk latihan Sumber: Data primer (2006) Tingkat Kepentingan Tinggi, pemanfaat sumberdaya air Tinggi, pemanfaat sumberdaya air Tinggi, sumberdaya manusia Rendah Tingkat Pengaruh Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi Rendah, dapat bekerja sama tanpa kekuatan intervensi Sedang Rendah, dukungan tanpa kekuatan intervensi Peluang Partisipasi Kompensasi pemanfaatan air Kompensasi pemanfaatan air Pelestarian Fasilitasi Rendah Rendah Kompensasi Tinggi, dukungan para pihak dan pendampingan Tinggi, dukungan para pihak dan pendampingan Tinggi, penelitian dalam pengelolaan kawasan konservasi Rendah, tidak dalam tataran operasional Tinggi, koordinasi, mobilisasi dan advokasi Tinggi, koordinasi, mobilisasi dan advokasi Tinggi, academic authority Rendah Fasilitasi dan mediasi Fasilitasi dan mediasi Penelitian dan pengembangan Perlindungan

131 114 Gambar 12 berikut memetakan stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Kepentingan Tinggi A B C Sedang Rendah D Rendah Sedang Tinggi Pengaruh Keterangan: A : Dinas Pertanian, PDAM, PAMK dan PT. Indocement B : Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup dan pecinta alam C : Dinas Kehutanan dan Perkebunan, PMTH, BKSDA, LPI-PHBM, LSM dan Universitas Kuningan D : Badan Perencanaan Daerah, Dinas Pendapatan Daerah, Badan Pemberdayaan Masyarakat, PHRI dan TNI Gambar 12. Stakeholders, tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Pada daerah A dan B terdapat stakeholders dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat pengaruh rendah sampai sedang, yaitu Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, PDAM Kabupaten Kuningan, PAMK, PT. Indocement, Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan dan pecinta alam. PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat memerlukan inisiatifinisiatif khusus untuk melindungi kepentingan stakeholders ini karena merupakan pihak yang paling besar menerima dampak, namun pengaruhnya relatif rendah. Pada daerah C terdapat stakeholders dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, PMTH Kabupaten Kuningan, BKSDA II Provinsi Jawa Barat, LPI-

132 115 PHBM Kabupaten Kuningan, LSM lokal Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan. Stakeholders pada daerah ini perlu melakukan kerja sama yang baik agar PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dapat terlaksana secara sinergis. Pada penelitian ini, kelompok stakeholders inilah yang diminta masukannya untuk menganalisis dan merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Pada daerah D terdapat stakeholders dengan tingkat kepentingan dan pengaruh rendah, yaitu Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Kuningan, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuningan, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kuningan, PHRI Kabupaten Kuningan dan TNI. Kelompok stakeholders ini tidak memerlukan pelibatan intensif karena bukan prioritas dalam pelaksanaan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Namun, apabila memungkinkan perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui perkembangan kepentingannya. B. Klasifikasi Faktor-faktor Keputusan Menurut Shrestha et al. (2004), identifikasi dan klasifikasi faktor-faktor keputusan dilakukan dengan studi pustaka, survey lapangan dan Focus Group Discussion (FGD). Namun, karena keterbatasan peneliti hanya dilakukan studi pustaka yang mendapatkan 12 faktor keputusan dan kemudian diletakkan pada masing-masing kelompok SWOT seperti Tabel 48 berikut. Tabel 48. Faktor-faktor SWOT yang mempengaruhi strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Strength Opportunity 1 Potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa Permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar lingkungan yang besar 2 Kerja sama stakeholders yang Iklim usaha yang cukup kondusif cukup baik 3 Dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan Investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan

133 116 Tabel 48. (lanjutan) No. Weakness Threat 1 Keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya yang sangat Gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi sensitif 2 Kapasitas stakeholders yang Jumlah penduduk yang cukup relatif rendah 3 Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi Sumber: Data primer (2006) besar Pasar produk kayu yang cukup potensial Pada dasarnya sangat baik untuk memperhitungkan sebanyak mungkin faktor, namun jumlah perbandingan berpasangan dalam AHP akan meningkat secara eksponensial dengan jumlah faktor. Oleh karena itu, untuk menjaga agar perbandingan berpasangan tidak terlalu banyak, peneliti hanya menggunakan tiga faktor pada masing-masing kategori SWOT. C. Evaluasi Faktor-faktor Keputusan Pada penelitian ini, peneliti menggunakan fungsi ekologi, sosial dan ekonomi sebagai kriteria kontrol dengan bobot 55%, 30% dan 15% yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada Lampiran 10 tersebut nampak, bahwa rasio konsistensi pada perbandingan berpasangan cukup bagus. Hal ini berarti perbandingan berpasangan pada tingkat ini tidak menyulitkan stakeholders dan dengan mudah dapat mengambil keputusan yang prioritas. Data yang diperoleh dari responden dihitung secara terpisah untuk mendapatkan nilai faktor prioritas dan semua prioritas, sehingga memperoleh nilai rata-rata seperti pada Lampiran 11. Nilai faktor prioritas menunjukkan kepentingan relatif dari masing-masing faktor SWOT. Nilai semua prioritas diperoleh dengan mengalikan nilai faktor prioritas dengan skala parameter yang menggambarkan kepentingan relatif dari masing-masing faktor terhadap semua kelompok SWOT. Nilai rata-rata menggambarkan pilihan semua responden terhadap PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Perbandingan berpasangan membuktikan, bahwa pada tingkat ini cukup rumit dengan rasio konsistensi mencapai 9%. Hal ini masih dapat diterima, namun memang lebih tinggi dari pada tingkat sebelumnya.

134 BKSDA II Provinsi Jawa Barat Analisis faktor SWOT untuk BKSDA II Provinsi Jawa Barat menunjukkan, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar (S 1 ) sebagai kekuatan yang paling penting dalam kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor prioritas 0,687 (Lampiran 11). Faktor peluang dirasakan sama pentingnya oleh stakeholders ini ialah permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O 1 ), iklim usaha yang cukup kondisif (O 2 ) dan investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan (O 3 ) dengan nilai prioritas 0,333. Faktor kelemahan yang paling berpengaruh dirasakan oleh stakeholders ini ialah keanekaragaman hayati, satwa dan habiatnya yang sangat sensitif (W 1 ) dengan nilai prioritas 0,678. Tiga ancaman yang sama pentingnya ialah gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi (T 1 ), jumlah penduduk yang cukup besar (T 2 ) dan pasar produk kayu yang cukup potensial (T 3 ) dengan nilai prioritas 0,333. Analisis silang oleh BKSDA II Provinsi Jawa Barat menunjukkan pengaruh faktor ancaman yang paling dominan dengan nilai prioritas 0,273, diikuti oleh kelemahan, peluang dan kekuatan dengan nilai prioritas 0,267, 0,252 dan 0,208 (Lampiran 11 dan Gambar 13). Meskipun analisis menyarankan, bahwa ancaman kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat yang paling signifikan, namun stakeholders ini merasa bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar (S 1 ) dan keanekaragaman hayati, satwa dan habiatnya yang sangat sensitif (W 1 ) juga cukup penting.

135 118 Strength Opportunity Weakness Threat -0.3 Gambar 13. Pilihan BKSDA II Provinsi Jawa Barat terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Hasil analisis dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan terungkap, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar (S 1 ), kerja sama stakeholders yang cukup baik (S 2 ) dan dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan (S 3 ) sama pentingnya pada kekuatan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai prioritas 0,333. Hal ini mengindikasikan, bahwa dari sudut pandang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat akan dilaksanakan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, memanfaatkan potensi ekowisata dan jasa lingkungan serta meningkatkan kerja sama stakeholders. Nilai prioritas sebesar 0,653 pada permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O 1 ) menunjukkan faktor peluang utama. Kelemahan yang paling utama dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,429 ialah kapasitas stakeholders yang relatif rendah (W 2 ) dan

136 119 ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W 3 ). Responden ini juga memilih gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi (T 1 ) di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai ancaman yang paling besar untuk melaksanakan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,637. Analisis silang dari tanggapan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan terungkap, bahwa kelompok kelemahan dan peluang merupakan yang paling berpengaruh dalam melaksanakan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan dua kelompok SWOT lainnya. Nilai prioritas menggambarkan kelompok kelemahan dan peluang ialah 0,290, diikuti oleh kelompok kekuatan sebesar 0,277 dan kelompok ancaman sebesar 0,143. Nilai semua prioritas digambarkan pada Gambar 14. Panjang garis yang berbeda pada berbagai bagian menunjukkan, bahwa kelemahan dan peluang yang dominan. 0.3 Strength Opportunity Weakness -0.2 Threat -0.3 Gambar 14. Pilihan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat

137 PMTH Kabupaten Kuningan Analisis persepsi PMTH Kabupaten Kuningan menunjukkan, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar (S 1 ) ialah kekuatan yang paling penting dari kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai prioritas 0,747. Stakeholders ini merasa faktor kelemahan ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W 3 ) sangat penting, namun gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi (T 1 ) sebagai ancaman yang paling penting juga. Iklim usaha yang cukup kondusif (O 2 ) merupakan faktor peluang yang paling penting untuk kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Analisis faktor silang untuk stakeholders ini menunjukkan, bahwa faktor kelemahan yang berpengaruh tinggi dengan nilai prioritas 0,258 diikuti oleh ancaman (0,256), kekuatan (0,246) dan peluang (0,240) (Lampiran 11 dan Gambar 15). 0.3 Strength Opportunity Weakness Threat -0.3 Gambar 15. Pilihan PMTH Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 4. LPI-PHBM Kabupaten Kuningan Hasil analisis dari LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terungkap, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan

138 121 yang besar (S 1 ) merupakan kekuatan yang paling penting dalam kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai prioritas 0,413. Hal ini mengindikasikan, bahwa dari sudut pandang LPI-PHBM Kabupaten Kuningan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat akan dilaksanakan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, memanfaatkan potensi ekowisata dan jasa lingkungan. Nilai prioritas sebesar 0,550 pada permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O 1 ) menunjukkan faktor peluang utama. Kelemahan yang paling utama dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,455 ialah kapasitas stakeholders yang relatif rendah (W 2 ) dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W 3 ). Responden ini juga memilih jumlah penduduk yang cukup besar (T 2 ) di Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai ancaman yang paling besar untuk melaksanakan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor prioritas sebesar 0,655. Analisis silang dari tanggapan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terungkap, bahwa kelompok kelemahan dan peluang merupakan yang paling berpengaruh dalam melaksanakan kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan dua kelompok SWOT lainnya. Nilai prioritas menggambarkan kelompok kelemahan ialah 0,280 dan peluang ialah 0,263 serta diikuti oleh kelompok kekuatan sebesar 0,260 dan kelompok ancaman sebesar 0,196. Nilai semua prioritas digambarkan pada Gambar 16. Panjang garis yang berbeda pada berbagai bagian menunjukkan, bahwa kelemahan dan peluang yang dominan.

139 122 Strength Opportunity Weakness Threat Gambar 16. Pilihan LPI-PHBM Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 5. LSM Lokal Kabupaten Kuningan Analisis faktor SWOT untuk LSM lokal Kabupaten Kuningan menunjukkan, bahwa kerja sama stakeholders yang cukup baik (S 2 ) sebagai kekuatan yang paling penting dalam kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai faktor prioritas 0,714 (Lampiran 11). Faktor peluang yang dirasakan paling penting oleh stakeholders ini ialah investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan (O 3 ) dengan nilai prioritas 0,600. Faktor kelemahan yang paling berpengaruh dirasakan oleh stakeholders ini ialah ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W 3 ) dengan nilai prioritas 0,649. Ancaman yang paling penting ialah jumlah penduduk yang cukup besar (T 2 ) dengan nilai prioritas 0,600. Analisis silang oleh LSM lokal Kabupaten Kuningan menunjukkan pengaruh faktor peluang yang paling dominan dengan nilai prioritas 0,326, diikuti oleh kekuatan, kelemahan dan ancaman dengan nilai prioritas 0,299, 0,193 dan 0,181 (Lampiran 11 dan Gambar 17). Meskipun analisis menyarankan, bahwa peluang kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa

140 123 Barat yang paling signifikan, namun stakeholders ini merasa bahwa verja sama stakeholders yang cukup baik (S 2 ) dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi (W 3 ) juga cukup penting. 0.4 Strength Opportunity Weakness Threat -0.3 Gambar 17. Pilihan LSM lokal Kabupaten Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 6. Universitas Kuningan Analisis persepsi Universitas Kuningan menunjukkan, bahwa potensi keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa lingkungan yang besar (S 1 ) ialah kekuatan yang paling penting dari kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan nilai prioritas 0,714. Stakeholders ini merasa faktor kelemahan keanekaragaman hayati, satwa dan habitatnya yang Sangay sensitif (W 1 ) sangat penting dan gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi (T 1 ) sebagai ancaman yang paling penting juga. Permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar (O 1 ), iklim usaha yang cukup kondusif (O 2 ) dan investasi dari pihak luar yang peduli terhadap kelestarian hutan (O 3 ) merupakan faktor peluang yang sama pentingnya untuk kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Analisis faktor silang untuk stakeholders ini menunjukkan, bahwa faktor kekuatan yang berpengaruh tinggi dengan

141 124 nilai prioritas 0,264 diikuti oleh peluang (0,252), kelemahan dan ancaman masing-masing (0,242) (Lampiran 11 dan Gambar 18). Strength Opportunity Weakness Threat Gambar 18. Pilihan Universitas Kuningan terhadap kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Nilai rata-rata dari faktor-faktor internal dan eksternal yang didapat pada Lampiran 11 dibandingkan seperti Tabel 49. Hasil tersebut, kemudian diletakkan pada Gambar 19, sehingga terlihat situasi saat ini berada pada kuadran I dengan strategi agresif. Tabel 49. Evaluasi faktor internal dan eksternal kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat No. Faktor-faktor Internal Eksternal Rata-rata 1 Strength 0,259 2 Weakness 0,255 Skor Faktor Strength Weakness 0,004 3 Opportunity 0,271 4 Threat 0,215 Skor Faktor Opportunity Threat 0,056 Sumber: Data primer (2006)

142 125 Opportunity (0,004;0,056) Kuadran I (Strategi Agresif) Weakness Strength Threat Gambar 19. Posisi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Analisis SWOT yang merupakan analisis situasi, maka jika situasinya berubah maka strateginya juga akan berbeda. Namun, berdasarkan situasi saat ini dari analisis SWOT disarankan strategi (S-O) seperti Tabel 50 berikut. Tabel 50. Matriks analisis SWOT strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) Analisis 1. Potensi keanekaragaman 1. Keanekaragaman hayati, Faktor hayati, ekowisata dan jasa satwa dan habitatnya yang Internal lingkungan yang besar sangat sensitif 2. Kerja sama stakeholders yang 2. Kapasitas stakeholders Analisis cukup baik yang relatif rendah Faktor Eksternal 3. Dukungan pemerintah dan stakeholders lainnya yang cukup menjanjikan 3. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan cukup tinggi Peluang (Opportunity) Strategi S O Strategi W O 1. Permintaan ekowisata dan jasa lingkungan yang cukup besar 1. Sosialisasi nilai ekonomi Taman Nasional Gunung Ciremai dan intervensi regulasi 2. Iklim usaha yang cukup kondusif 3. Investasi dari pihak luar 2. Pengembangan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai yang peduli terhadap kelestarian hutan 3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai Ancaman (Threat) Strategi S T Strategi W T 1. Gangguan terhadap hutan yang cukup tinggi 2. Jumlah penduduk yang cukup besar 3. Pasar produk kayu yang cukup potensial Sumber: Data primer (2006) Berikut dijabarkan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yaitu:

143 Sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi Nilai ekonomi taman nasional merupakan informasi yang mampu menjelaskan keterkaitan manfaat taman nasional dengan kepentingan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sosialisasi nilai ekonomi taman nasional akan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tingginya manfaat intangible kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga dapat menghilangkan atau minimal memperkecil adanya miskonsepsi tentang nilai manfaat taman nasional dari masyarakat dan para stakeholders Taman Nasional Gunung Ciremai dapat melakukan intervensi regulasi. Jasa ekologi Taman Nasional Gunung Ciremai memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti hidrologi memberikan nilai manfaat ekonomi sebesar Rp ,- per tahun bagi masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga yang dihitung dengan metode penilaian kontingensi yang merupakan metode pendekatan langsung untuk mengestimasi nilai ekonomi dari manfaat lingkungan dengan menanyakan secara langsung tentang kesediaan pengguna air minum untuk memberikan sejumlah dana sebagai biaya tambahan yang digunakan secara khusus untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan sumber air minum. Nilai Rp ,- menunjukkan, bahwa masyarakat mengeluarkan biaya sebesar Rp ,-, sedangkan sebesar Rp ,- merupakan surplus konsumen yang berarti peranan jasa hidrologi Taman Nasional Gunung Ciremai mampu memberikan nilai kesejahteraan kepada masyarakat sebesar Rp ,- per tahun (Ramdhan, 2006). Nilai ekonomi di atas agar menjadi nilai riil dalam penerapannya harus didukung dengan intervensi regulasi, berupa: a. Insentif, berupa kompensasi daerah hilir pada daerah hulu b. Revisi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mempertimbangkan reward dan punishment dalam pengelolaan hutan, seperti reward bagi daerah yang kinerja pengelolaan hutannya baik dan punishment bagi daerah yang kinerja pengelolaan hutannya buruk

144 127 c. Mendorong penerapan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau sebagai neraca pembanding (satelite account) bagi pelaporan keuangan daerah dan nasional, dimana di dalamnya terdapat neraca sumberdaya hutan Alokasi lahan untuk Taman Nasional Gunung Ciremai bukan investasi yang sia-sia, melainkan justru merupakan bagian yang penting dari pembangunan ekonomi. Jasa ekologi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai mampu memberikan subsidi nilai ekonomi yang sangat signifikan dalam pembangunan ekonomi, baik di tingkat lokal, seperti nilai ekonomi air, regional dan nasional, seperti nilai ekowisata dan sampai tingkat internasional, seperti nilai ekonomi penyerap karbon. Hal ini berarti, bahwa kegiatan konservasi sejalan dengan kegiatan ekonomi karena adanya rasional ekonomi yang tinggi dari kegiatan konservasi. Pembangunan konservasi akan semakin kuat, apabila pengembangan kegiatannya sejalan dengan aktivitas ekonomi karena nilai ekonomi taman nasional ditentukan oleh besarnya satuan nilai manfaat dan jumlah penggunanya, yaitu semakin tinggi perekonomian suatu wilayah yang dicirikan oleh tingginya kegiatan ekonomi per kapita dari penduduk, maka akan semakin tinggi nilai ekonomi yang diberikan oleh kawasan konservasi. Pembangunan ekonomi akan semakin kuat dan berkelanjutan, apabila pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai semakin efektif karena subsidi nilai dari jasa ekologi kawasan konservasi semakin tinggi. Setiap taman nasional harus dilakukan penilaian ekonomi, sehingga memiliki informasi nilai ekonomi dan kegiatan sosialisasi tentang nilai ekonomi kepada masyarakat mempunyai landasan informasi yang kuat. Di samping itu, sistem pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai perlu adanya dukungan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas di bidang penilaian ekonomi sumberdaya alam taman nasional, baik dalam aspek technical skill, managerial skill maupun social atau communication skill. Technical skill ialah secara teknis memiliki kemampuan memahami dan mengimplementasikan teknik-teknik penghitungan nilai ekonomi taman nasional. Managerial skill ialah memiliki kemampuan memahami aspek-aspek manajemen pengelolaan taman nasional dari aspek Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (POAC). Social atau

145 128 communication skill ialah kemampuan mengkomunikasikan secara efektif kepada semua stakeholders taman nasional tentang nilai manfaat ekonomi taman nasional. 2. Pengembangan pemanfaatan taman nasional Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem kawasan taman nasional hanya untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam. Oleh karena itu, pemanfaatan Taman Nasional Gunung Ciremai untuk kegiatan penelitian harus diarahkan pada penelitian terapan dalam pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian jenis-jenis tumbuhan dan satwa bernilai ekonomi tinggi, termasuk jenis-jenis yang dibutuhkan oleh masyarakat harus dilakukan secara intensif, seperti tanaman obat, tanaman hias, kumbang, ikan, kupu-kupu dan sebagainya. Kegiatan penelitian harus diarahkan sampai pada tahap bagaimana bisa dikembangkan budidaya atau penangkarannya oleh masyarakat sekitar, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Kegiatan wisata alam harus diarahkan pada kegiatan ekowisata dengan lebih memberikan peluang peran serta masyarakat. Hal ini akan dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat, sehingga ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Gunung Ciremai yang bersifat ekstraktif dapat dikurangi. Pengembangan kegiatan pendidikan konservasi bagi masyarakat sekitar harus diarahkan pada pendekatan kesejahteraan melalui pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) karena melalui ini dapat dikembangkan unit percontohan usaha konservasi yang produktif, seperti usaha budidaya anggrek, tanaman obat, penangkaran kupu-kupu, ekowisata dan sebagainya. 3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat Selain pengembangan usaha ekowisata dan sebagainya, program pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dikembangkan melalui usaha pedesaan berbasiskan kondisi potensi biofisik desa-desa sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai, seperti pengembangan kegiatan agroforestry dan sebagainya.

146 129 Agroforestry ialah sistem usaha tani dan kehutanan yang dikembangkan di lahan-lahan masyarakat di desa-desa penyangga taman nasional dengan pendekatan social forestry, sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan lahan secara optimal dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi, pengembangan agroforestry diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui sumber pendapatan yang lebih beragam dari komoditas yang ditanamnya, baik komoditas kehutanan maupun pertanian (tanaman pangan, tanaman hortikultura dan tanaman industri). Keragaman komoditas, selain akan lebih menstabilkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan terhadap suatu komoditas juga dapat membuka berbagai jenis usaha baru. Dipandang dari aspek ekologi, penerapan sistem agroforestry merupakan hal yang sangat penting karena kondisi fisik lahan dan curah hujan di wilayah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai menyebabkan wilayah ini sangat rawan terhadap erosi, sehingga harus dipertahankan bervegetasi hutan. Dari aspek sosial, peningkatan dan keragaman sumber pendapatan dapat meningkatkan kesejahteraan. Meskipun demikian, PHBM yang sekarang ada pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai bisa tetap berjalan selama masa transisi ini. Kesepakatan lama masa transisi merupakan kebijakan bersama Pemda Kabupaten Kuningan dengan Departemen Kehutanan berdasarkan kepentingan, perkembangan permasalahan dan sebagainya. Namun, tidak berarti setelah masa transisi selesai masyarakat akan diusir dari kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Selama masa transisi tersebut, semua pihak bersama-sama secara bertahap berusaha melaksanakan strategi di atas karena perubahan pola budaya masyarakat memerlukan pendekatan yang bersifat elegan dan persuasif.

147 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Implementasi kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terdiri atas beberapa tahapan, yaitu sosialisasi, pembentukan Forum PHBM, pemetaan, inventori, perencanaan desa, NKB, NPK dan Peraturan Desa 2. Dampak ekonomi dari kebijakan PHBM di Kabupaten Kuningan terlihat dari nilai kontribusi pendapatan PHBM pada pendapatan rumah tangga sebesar 7,71%, yaitu Rp ,- dari Rp ,- dengan rata-rata pendapatan sekitar Rp ,- per kapita per tahun. Meskipun kontribusinya tidak terlalu besar, namun kegiatan PHBM tidak bisa diabaikan karena menyangkut budaya masyarakat yang perubahannya memerlukan pendekatan yang persuasif dan juga mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat yang setelah PHBM secara umum relatif baik. 3. Rata-rata Koefisien Gini dari pendapatan rumah tangga per tahun ialah 0,28 yang berarti disparitas pendapatan relatif terdistribusi secara baik dan relatif tidak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap PHBM sebagai sumber pendapatan 4. Keuntungan dari PHBM di Kabupaten Kuningan secara signifikan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tingkat kemiskinan dan porsi pendapatan dari PHBM serta tingkat kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh faktor pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan tahunan rumah tangga dari PHBM dan porsi pendapatan dari PHBM 5. Strategi kebijakan PHBM yang dapat diterapkan di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat, yaitu: a. Sosialisasi nilai ekonomi taman nasional dan intervensi regulasi, seperti insentif hulu hilir, revisi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta penerapan PDRB Hijau (PDRB berwawasan lingkungan) sebagai neraca pendamping bagi pelaporan keuangan daerah dan nasional b. Pengembangan pemanfaatan taman nasional c. Pemberdayaan ekonomi masyarakat

148 Saran-saran 1. Perlu dilakukan penilaian ekonomi lainnya di Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga memiliki informasi nilai ekonomi dan kegiatan sosialisasi tentang nilai ekonomi kepada masyarakat mempunyai landasan informasi yang kuat dan intervensi regulasi dapat dilakukan 2. PHBM yang sekarang ada pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai bisa tetap berjalan selama masa transisi ini dan kesepakatan lama masa transisi merupakan kebijakan bersama Pemda Kabupaten Kuningan dengan Departemen Kehutanan berdasarkan kepentingan, perkembangan permasalahan dan sebagainya 3. Selama masa transisi ini, semua pihak bersama-sama secara bertahap berusaha melaksanakan strategi di atas karena perubahan pola budaya masyarakat memerlukan pendekatan yang bersifat elegan dan persuasif

149 DAFTAR PUSTAKA Affianto, A., W.A. Djatmiko, S. Riyanto dan T.T. Hermawan Analisis Biaya dan Pendapatan dalam Pengelolaan PHBM: Sebuah Panduan Perhitungan Bagi Hasil. Pustaka Latin. Bogor. Aliadi, A Good Forest Governance: Experience from Kuningan. Latin. Bogor. Anderson, J.E Public Policy Making. Praeger Publishers. New York. Anonim Rapat Koordinasi Perlindungan dan Penanggulangan Hutan. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Blair, H.W. and P.D. Olpadwala Forestry in Development Planning: Lesson from the Rural Experience. Westview Press, Inc. Boulder Colorado. Boulton, R.W Business Policy: The Art of Strategic Management. Mc.Millan. New York. Bruenig, E.F Conservation and Management of Tropical Rain Forest: An Integrated Approach to Sustainability. CABI International. Wallingford. Chaffee, E.E Three Models of Strategy. Academic of Management Review 10: Chandler Strategy and Structure: Chapters in the History of American Industrial Enterprise. The MIT Press. Cambridge. Darusman, D dan D.R. Nurrochmat Kebijakan dan Kerangka Hukum Kehutanan menuju Tata Kelola Hutan yang Baik di Kabupaten Pasir, Malinau dan Kapuas Hulu. Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Davis, L.S. and K.N. Johnsons Forest Management. McGraw-Hill Book Company. New York. Departemen Kehutanan Kamus Kehutanan Volume I. Departemen Kehutanan. Jakarta. Dunn, W.N Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Elis, F Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press. England. Golembiewski, R.T Public Administration. Chicago Rand Mc. Nelly and Company. Chicago.

150 133 Gunawan, G Memahami Kemitraan Perhutani Masyarakat: Kasus KPH Kuningan, Jawa Barat. Latin. Bogor Hardin, G The Tragedy of the Commons. Science, 162(1968): Helms, J.A The Dictionary of Forestry. The Society of American Foresters and CABI Publishing. Bethesda and Wallington. Hermawan, T.T., A. Affianto, A. Susanti, E. Soraya, W. Wardhana dan S. Riyanto Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai: Suatu Rancangan Model. Pustaka Latin. Bogor. Kartodihardjo, H Analisis Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. King, K.F.S The History of Agroforestry. ICRAF. Nairobi. Kirchhofer, J. and M. Evan Putting Social and Community Forestry in Perspective in the Asia Pacific Region. Winrock International Institute for Agricultural Development. Bangkok. Kurttila, M., M. Pesonen, J. Kangas and M. Kajanus Utilizing the Analytic Hierarchy Process (AHP) in SWOT Analysis A Hybrid Method and it s Application to a Forest-Certification Case. Forest Policy and Economics 1, Kusuma, S.W PHBM Jilid II sebagai Pembangunan Masyarakat Desa Hutan menuju Masyarakat Desa yang Maju dan Mandiri. Bapeda Kabupaten Kuningan. Kuningan. Loetsch, F. and K.E. Haller Forest Inventory Volume I. BLV Verlagsgfsell Schaft. Muenchen, Basel, Wien. Maksum, J Pasang Surut Kolaborasi PHBM di Kuningan. Pustaka Latin. Bogor. Malczewski, J GIS and Multi Criteria Decision Analysis. John Wiley and Sons, Inc. New York. Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Nguyen Social Forestry: Terminology Forum. [5 Januari 2006]. Nigro, F.A Modern Public Administration. Harper and Row Publisher. New York. Noorvitastri, H. dan N. Wijayanto Format Sistem Bagi Hasil dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dengan Sistem Agroforestry. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9(1):37-46.

151 134 Nurrochmat, D.R. 2005a. Strategi Pengelolaan Hutan: Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Pustaka Pelajar. Yogyakarta b. The Impacts of Regional Autonomy on Political Dynamics, Socio- Economics and Forest Degradation: Case of Jambi-Indonesia. Cuvillier Verlag. Gottingen. Pal, L.A Public Policy Analysis: An Introduction. Scarborough, Ont. Canada. Porter, M.E Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. The Free Press. New York. Ramdan, H Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint. Bandung. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rao, M.S Introduction to Social Forestry. Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi. Saaty, T.L The Analytic Hierarchy Process: Planning Setting Priorities, Resource Allocation. McGraw-Hill. New York Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decisions in a Complex World. University of Pittsburgh Press. Pittsburgh. Sembiring, S.N., F. Husbani, A.M. Arif, F. Ivalerina dan F. Hanif Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. Indonesian Center for Environmental Law. Jakarta. Shrestha, R.K., J.R.R. Alavalapati and R.S. Kalmbacher Exploring the Potential for Silvopasture Adoption in South Central Florida: An Application of SWOT AHP Method. Jurnal Agricultural Systems:1-15. Suhendang, E Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor Kemelut dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tiryana, T Assessment of Sustainable Forest Management Using Fuzzy Rule Based Model. International Institute for Geo Information Science and Earth Observation. Enschede.

152 135 Tiryana, T dan B. Saleh Pengambilan Keputusan dengan Metode AHP. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tjokroamidjojo, B Analisa Kebijakan dalam Proses Perencanaan Pembangunan Nasional. Majalah Administrator Nomor 5 dan 6 Tahun IV.

153 LAMPIRAN

154 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian 136

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan merupakan salah satu unsur vital dalam suatu organisasi atau lembaga apapun, baik lembaga pemerintah, swasta, pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau

Lebih terperinci

Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai

Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai JMHT Vol. XIII (3): 146-154, Desember 2007 ISSN: 0215-157X Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai Policy Formulation of Collaborative Forest Management

Lebih terperinci

HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN

HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN HUTAN, KEHUTANAN, DAN ILMU KEHUTANAN PENGERTIAN HUTAN DAPAT DITINJAU DARI BERBAGAI FAKTOR: Wujud biofisik lahan dan tumbuhan Fungsi ekologi Kepentingan kegiatan operasional pengelolaan atau kegiatan tertentu

Lebih terperinci

DEFINISI DAN JENIS HUTAN

DEFINISI DAN JENIS HUTAN DEFINISI DAN JENIS HUTAN EKONOMI KEHUTANAN ESL 325 (3-0) Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.ScF Dr. Dodik Ridho Nurrochmat, S.Hut, M.ScF Asti Istiqomah, SP, Ms Pokok Bahasan : Jenis dan karakteristik hutan, pengurusan

Lebih terperinci

Pengertian Hutan. Pengertian hutan: Konsep ekologi. Pengertian hutan: Konsep ekologi. Pengertian hutan: Konsep biofisik

Pengertian Hutan. Pengertian hutan: Konsep ekologi. Pengertian hutan: Konsep ekologi. Pengertian hutan: Konsep biofisik Pengertian Hutan Dapat ditinjau dari beberapa faktor: Wujud biofisik lahan dan tumbuhan Fungsi ekologi ONRIZAL Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara Kepentingan kegiatan operasional pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu negara mempunyai konstitusi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang digunakan oleh

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang bermanfaat bagi kelangsungan

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan lestari perlu dilaksanakan agar perubahan hutan yang terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan persekutuan alam lingkungan. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM Jakarta Food Security Summit 2012 Feed Indonesia Feed The World Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012 I. PENDAHULUAN Pangan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung.

PENDAHULUAN. berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan,yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut boleh dirasakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY Oleh: Totok Dwinur Haryanto 1 Abstract : Cooperative forest management is a social forestry strategy to improve community prosperity.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi geografis Indonesia yang terletak di antara benua Asia Australia dan samudra Pasifik Hindia dikaruniai sumber daya alam berupa hutan alam tropis yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci