PENGEMBANGAN KEMITRAAN USAHA POLA SUB KONTRAK BERLANDASKAN PERSAINGAN SEHAT

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN KEMITRAAN USAHA POLA SUB KONTRAK BERLANDASKAN PERSAINGAN SEHAT Oleh Sutrisno Iwantono Pendahuluan Subkontrak merupakan isu permanen yang selalu hadir dalam setiap pembicaraan mengenai pengembangan usaha kecil dan menengah termasuk koperasi di Indonesia. Pada masa orde baru hal semacam ini sangat sering didiskusikan. Bahkan ketika kelompok kerja untuk mempersiapkan kelahiran Undang Undang tentang usaha kecil melakukan pembahasan marathon tentang isu tersebut. Proses ini akhirnya membuahkan hasil yaitu masuknya isu subkontrak kedalam undang-undang usaha kecil. Isu subkontrak masuk di dalam pasal yang membahas mengenani kemitraan usaha. Salah satu bentuk dari kemitraan adalah kemitraan pola subkontrak. Di Jepang subkontrak merupakan salah satu kebanggaan atas sumbersumber kemajuan ekonomi mereka. Subkontrak memungkinkan terjadinya pembagian kerja yang ideal dari berbagai pelaku usaha. Subkontrak juga merupakan faktor penting dalam mencapai efisiensi ekonomi. Disamping itu sub kontrak juga menyediakan kesempatan berusaha yang lebih luas bagi masyarakat. Kita dapat menerima pemikiran bahwa kegiatan subkontrak yang dijalankan dengan baik akan dapat membawa dampak positif bagi peningkatan efisiensi, secara makro efisiensi nasional dan secara mikro efisiensi perusahaan; akan memperkuat struktur ekonomi nasional, dan mewujudkan demokrasi ekonomi. Dalam banyak diskusi yang saya cenderung juga menyetujui suatu pendapat bahwa kegiatan subkontrak adalah bebas tidak merupakan kewajiban. Bahwa kegiatan subkontrak adalah proses alamiah bisnis dimana kedua belah pihak memang punya kepentingan untuk melakukannya, Karena itu dasarnya adalah saling menguntungkan dan saling membutuhkan. Ada juga yang berpendapat bahwa usaha besar harus diberikan insentif misalnya pajak. Insentif yang diberikan secara tidak patut justru akan dapat menimbulkan praktek-praktek bisnis tidak sehat. Indonesia tentu ingin mempelajari pengalaman Jepang maupun negaranegara lain dalam pembangunan kompetensi dan daya saing pelaku bisnisnya diantaranya melalui program subkontrak. Namun demikian diakui bahwa dalam prakteknya banyak kelemahan-kelemahan yang harus diantisipasi dalam pelaksanaan subkontrak. Kelemahan-kelemahan tersebut bisa bersumber dari persoalanpersoalan internal pelaku usaha baik yang tergolong usaha kecil, maupun usaha menengah dan besar. Bisa juga karena iklim usaha yang kurang kondusif yang memungkinkan terjadinya kegiatan kemitraan subkontrak yang alami antara berbagai pelaku, bisa juga bersumber dari adanya praktek-praktek bisnis tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha terutama mereka yang berada pada posisi dominan. Setidak tidaknya terdapat empat isu utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan subkontrak di Indonesia. 107

2 Isu-isu ini penulis perkenalkan dalam berbagai kesempatan diskusi tentang penyusunan draft undang-undang subkontrak yaitu: 1) iklim usaha; 2) pemberdayaan subkontraktor (UKM); 3) kelayakan (fairness) dalam bertransaksi; dan 4) asosiasi subkontrak. Iklim Usaha Pertama adalah tentang Iklim usaha. Iklim usaha lebih menunjuk pada political will dari negara untuk mendorong proses subkontrak, yang secara praktis harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik (public policy). Iklim usaha merupakan situasi ekternal dari individuindividu perusahaan yang memberikan lingkungan yang kondusif bagi kegiatan subkontrak. Lingkungan yang kondusif mempunyai arti terdapat ruang gerak yang luas dan leluasa dan dimudahkan bagi setiap pelaku usaha yang akan melakukan kegiatan subkontrak. Lingkungan yang kondusif juga berarti dikuranginya atau ditiadakannya hambatan-hambatan yang tidak perlu yang menghalang-halangi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan subkontrak. Iklim usaha bersifat noexclution dalam tidak ada pihak yang dapat dikeluarkan untuk dapat memanfaatkan peluang yang tersedia. Peraturan hidup atau mungkin nanti Undang-undang subkontrak menjadi alas hukum atau perintah kepada penyelenggara negara agar menetapkan dan melakukan langkah tertentu guna mendorong proses subkontrak. Paling tidak ada 3 isu dalam kaitan ini, yaitu isu mengenai (a) regulasi dan deregulasi; (b) kebijakan moneter; (d) kebijakan fiscal. Regulasi dan deregulasi menyangkut perintah untuk mengeluarkan suatu peraturan tertentu yang bersifat memudahkan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan subkontrak, misalnya dalam kegiatan investasi untuk sektorsektor tertentu harus dilakukan dengan cara subkontrak. Adanya peraturan yang dirancang untuk mendorong pelaku usaha saling bermitra antara satu dengan yang lainnnya. Regulasi tidak berarti pemaksaan, tetapi juga dapat bersifat insentif bagi mereka yang melakukan. Di Jepang misalnya ada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang mengharuskan usaha besar bisnis eceran (hypermarket) untuk menyediakan sebagian dari ruangannya diperuntukkan bagi usaha kecil untuk berdagang di lokasi hypermarket. Deregulasi, adalah menyederhanakan atau meniadakan peraturan-peraturan yang menghambat atau menghalangi kegiatan subkontrak. Misalnya berbagai bentuk posedur dan perizinan yang rumit, panjang, memakan waktu, dan berbiaya tinggi. Berberapa hasil kajian menyebutkan misalnya rantai perizinan yang harus dilalui oleh usaha kecil sebelum memulai usaha bisa mencapai 33 izin. Diluar ini birokrasi yang panjang, dan belum adanya standar pelayanan dan penyelesaian izin menyebabkan proses perkawinan usaha antara pihak-pihak yang bermitra berjalan sangat lamban. Hal semacam ini harus semaksimal mungkin dilakukan penyederhanaan perizinan dan pemangkasan birokrasi. Perintah undangundang untuk hal ini sangat penting terutama pada masa otonomi daerah yang kini berlomba-lomba membuat Perda, yang sering kali bersifat distortif pada kegiatan ekonomi secara nasional. Perlu dicatat bahwa Perda mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi dari Keputusan Menteri, sehingga peraturan yang dibuat oleh Menteri tidak akan berlaku apabila bertentangan dengan Perda. Undang-undang tentu saja kedudukannya lebih tinggi dari perda, 108

3 sehingga konflik kewenangan akan dapat dihindarkan. Untuk bidang moneter adalah adanya perintah dari undang-undang agar kegiatan subkontrak didukung oleh sistem keuangan yang memadai. Di Jepang misalnya didukung oleh adanya sumber pendanaan yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan subkontrak, adanya suatu lembaga keuangan yang berfungsi dalam penyalurannya, ada mekanisme penjaminan dan bahkan asuransinya. Bahkan bagi usaha-usaha pemula disediakan skim khusus untuk mendukung kegiatan subkontrak, dan sumbernya tidak semata-mata dari perbankan tetapi dari anggaran pemerintah yang disalurkan melalui berbagai bentuk lembaga keuangan baik bank maupun non-bank. Lembaga keuangan bank juga diberikan insentif khusus bagi mereka yang melayani kegiatan subkontrak. Sejalan dengan itu dibentuk pula lembaga penjaminan yang dimaksudkan untuk membantu colateral usaha-usaha kecil dan menengah yang usahanya layak, tetapi tidak dapat mengakses sumber keuangan karena keterbatasan agunan. Untuk fiscal adalah perintah undangundang tentang adanya anggaran pemerintah yang dialokasikan guna mendorong atau memberdayakan pelaku usaha sehingga mempunyai kemampuan dalam melakukan kegiatan subkontrak. Anggaran pemerintah yang disediakan secara khusus guna mendorong kegiatan subkontrak sangat minim kalau boleh dikatakan tidak tersedia. Umumnya menjadi bagian dari kegiatan lain yang kebetulan mempunyai dampak membantu, misalnya anggaran untuk pelatihan SDM. Pelatihan SDM bersifat umum, tetapi tentu akan bersifat membantu pelaku usaha untuk melakukan kemitraan. Kedepan tentu sangat diperlukan kegiatan yang terencana untuk maksud ini. Terdapat beberapa bentuk yang dapat direkomendasikan, misalnya untuk pelatihan SDM, penyediaan informasi usaha/subkontrak, modernisasi dan perbaikan teknologi, konsultasi usaha, promosi pasar. Anggaran untuk program ini semestinya tidak hanya oleh pemerintah pusat, terlebih lagi adalah sangat penting bagi pemerintah daerah secara khusus menganggarkannya. Hal ini berkaitan pula bahwa kewenangan dari pemerintah pusat untuk menjalankan kegiatan operasional di lapangan sudah sangat terbatas. Tanpa keterlibatan pemerintah daerah secara memadai tentu perkembangannya menjadi sangat lamban. Pemberdayaan Kedua, mengenai pemberdayaan lebih ditujukan pada kegiatan mikro yang harus dilakukan agar UKM dapat menjadi pelaku usaha yang capable dalam kegiatan subkontrak. Terdapat beberapa isu dalam kaitan pemberdayaan antara lain: (a) peningkatan produktivitas, kualitas produk, pengembangan produk, dan upaya pemberdayaan yang berkaitan dengan kegiatan produksi; (b) perbaikan/promosi/ penemuan teknologi; (c) pengadaan/ perbaikan/modernisasi peralatan; (d) manajemen dan organisasi: termasuk a.l. kalkulasi harga, pemasaran, efisiensi keuangan, efesiensi penggunaan tenaga kerja dan peralatan, kontrol dalam mata rantai produksi hingga penyerahan (delivery), dan usaha-usaha untuk mengefektifkan manajemen; (e) informasi dan konsultasi antara lain: data base perusahaan kontraktor dan subkontrak, system dan informasi mengenai usaha (termasuk pasar sumber pendanaan dll), dan upaya mendorong pembentukan lembagalembaga pelayanan konsultasi usaha. 109

4 Peningkatan produktifitas, dan perbaikan kualitas produk termasuk pengembangan produk merupakan faktor yang sangat kritis. Keluhan yang selalu terjadi dilapangan, bahwa usaha-usaha besar sering mengeluh ketika bermitra dengan usaha kecil atau menengah karena mereka tidak mampu menghasilkan produk standar. Sangat sering terjadi produk yang dihasilkan oleh UKM tidak terjaga standarisasinya. Disamping itu tingkat disiplin yang juga tergolong rendah. Delivery pertama masuk bagus, kedua juga bagus, ketiga dan seterusnya terus merosot. Ditambah lagi terbatasnya kemampuan daya inovasi produk, sehingga dari waktu ke waktu tidak muncul kreatifitas-kreatifitas guna menghaslkan produk yang lebih baik. Hal ini sangat terkait dengan persoalan penguasaan teknologi. Produktifitas dan pengembangan produk ditentukan oleh penguasaan, perbaikan dan inovasi teknologi. Tanpa ada kemajuan dalam teknologi tidak mungkin terjadi perbaikan produktivitas, kualitas dan kreativitas produk. Perbaikan dan modernisasi teknologi merupakan isu yang sangat krusial yang harus diupayakan secara sungguh-sungguh untuk mendorong proses kemitraan. Sejalan dengan perbaikan dan inovasi teknologi, mereka juga perlu dibantu dengan perbaikan peralatan dan permesinan. Tanpa adanya dukungan sarana dan peralatan yang memadai mereka akan mengalami kesulitan mengaplikasikan teknologi baru yang telah dikuasainya. Sementara organisasi dan manajemen merupakan persoalan klasik yang dihadapi UKM dalam menjalankan bisnisnya. Bimbingan, pelatihan dan konsultasi manajemen, mulai dalam manajemen produksi, manajeman keuangan, manajemen perkantoran, manajemen personalia, hingga manajemen pemasaran merupakan kebutuhan standar yang harus mendapatkan perhatian khusus. Program ini seyogyanya melibatkan bukan hanya pemerintah, tetapi juga yang penting adalah dunia usaha sendiri, dan organisasi non pemerintah pada tingkat lokal. Berikutnya adalah penguasaan dan akses kepada informasi. Perkembangan dan dinamika usaha sangat ditentukan oleh penguasaan terhadap informasi, termasuk pula penguasaan atas teknologi informasi. Lembaga-lembaga penyedia informasi sangat diperlukan. Pemerintahpun dapat menyediakan layanan publik atas informasi yang dibutuhkan, misalnya informasi pasar, informasi produk, harga, daftar perusahaan yang siap bermitra dan sebagainya. Substansi mengenai pemberdayaan ini merupakan dasar hukum dari perintah kepada pemerintah baik pusat maupun daerah agar mereka menjadikan substansi tersebut dalam formulasi kebijakan maupun program kerjanya. Kelayakan (Fairness) Ketiga adalah yang berkaitan dengan dengan kelayakan (fairness) dalam bertransaksi menyangkut hubungan antara kedua yaitu kontraktor dan subkontraktor, yang pada intinya merupakan isu persaingan usaha dan praktek bisnis yang sehat. Ini dilatar belakangi bahwa perusahaan kontraktor (pemberi kontrak) umumnya lebih besar atau bahkan berada pada posisi dominan. Struktur pasarnya biasanya imperfect, oligopoly atau oligopsoni. Usaha-usaha besar yang menjadi main-contractor umumnya jumlahnya lebih sedikit 110

5 dibanding subkontraktornya dan memiliki berbagai kelebihan, baik dari segi pendanaan, skala ekonomi, penguasaan teknologi, dan juga kapasitas sumber daya manusia. Dalam struktur pasar demikian secara teoritis maupun praktis ada kecenderungan penyalahgunaan posisi dominan. Di pasar main-contractor memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding para kontraktornya, sehingga mereka mempunyai pilihan-pilhan yang lebih luas. Sementara subkontratornya harus bersaing secara ketat dengan sesama subkontraktor lain untuk memperebutkan pasar yang terbatas. Dengan kapasitas SDM yang lebih baik mereka juga mampu menguasai informasi lebih baik, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan negoisasi dengan subkontraktornya. Sementara subkontraktor tentu saja berada pada posisi sebaliknya. Posisi yang demikian ini memberikan insentif bagi main-contractor yang berada pada posisi dominan untuk menyalah gunakan kekuatan mereka di pasar (abuse of dominant position). Bentukbentuk penyalahgunaan posisi dominan tersebut misalnya: pengikatan (tying), diskriminasi (price discrimination atau behavioral discrimination), penutupan pasar atau pengadaan barang (close agreement), pengaturan harga jual atau harga beli (resale and repurchase price), penolakan barang atau hasil kerja, jangka waktu pembayaran dan keterlambatan pembayaran. Pengikatan (tying in) dilakukan misalnya dengan mewajibkan subkontraktor untuk membeli atau menjual satu barang tertentu, misalnya barang A dengan barang B walaupun tidak ada hubungan antara barang A dan barang B. Pemaksaan demikian bisa dilakukan karena posisi tawar subkontraktor sangat lemah, mereka tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kehendak main-contractor, daripada misalnya terpaksa diputuskan hubungan bisnisnya. Bentuk lain adalah diskriminasi, baik diskriminasi harga maupun diskriminasi non-harga. Suatu subkontraktor tertentu mendapatkan harga lebih jelek dari subkontraktor lain, atau term pembayaran yang jelek dibanding yang lain, atau bentuk bentuk diskriminasi yang lain seperti kualitas barang, cara-cara penyerahan dan seterusnya. Adanya hubungan atau perjanjian tertutup. Pengertian tertutup adalah pemaksaan kepada subkontraktor agar tidak melakukan hubungan bisnis atau harus melakukan hubungan bisnis dengan pihak lain. Sebagai contoh, pengrajin baut mendapat order dari satu pabrik sepeda motor, tetapi dengan ketentuan bahwa pengrajin baut dilarang menjual hasil produksi ke perusahaan lain yang menjadi pesaingnya. Atau suatu pabrik ban menunjuk satu distributor tetentu dengan ketentuan distributor tersebut dilarang menjual produknya ke pabrik lain. Bentuk lain yang menjadi perhatian serius terutama di Jepang adalah ketentuan mengenai keterlambatan pembayaran (delay in payment). Seringkali terjadi perjanjian pembayaran yang secara perjanjian perdata dapat dilakukan, tetapi dalam logika persaingan usaha sulit diterima, dan cenderung merupakan praktek bisnis yang tidak sehat. Hal ini terjadi sematamata karena posisi dominan yang dimiliki salah satu pihak, dan ia cenderung menyalahgunakan posisi dominan tersebut. Sebagai contoh suatu 111

6 hypermarket membuat perjanjian dengan suppliernya katakan untuk komoditi sayur yang membuat tenggang waktu pembayaran selama 2 bulan. Perjanjian tertulis mungkin saja dilakukan dan apabila kedua belah pihak sepakat menanda tanganinya maka tidak ada persoalan. Tetapi dari sisi praktek bisnis yang sehat tentu sulit dipahami apabila sayur harus dibayar sampai memakan waktu 2 bulan, sebab komoditi ini mudah rusak semacam sayur paling lambat 2-3 hari sudah dapat diketahui laku atau tidak laku. Jika pembayaran harus memakan waktu 2 bulan tentu ada masalah dalam perjanjian tersebut. Hal ini terjadi karena salah satu partai berada pada posisi dominan yang berkuasa atas pihak yang lainnya. Hal-hal semacam inilah yang perlu diatur dalam substansi mengenai kelayakan bertransaksi. Dalam hal ini harus dilakukan penyelarasan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Asosiasi Subkontrak Keempat adalah tentang Asosiasi Subkontrak. Di beberapa negara khususnya Jepang adanya asosiasi ini memang perintah dari undang-undang. Fungsi utamanya adalah untuk memfasilitasi hubungan subkontrak antara kontraktor dengan subkontraktor. Anggotanya terdiri dari perwakilan kedua kelompok yang diusahakan secara seimbang dalam poses pengambilan keputusan. Dibentuk baik ditingkat lokal maupun nasional. Kegiatan utamanya antara lain: memfasilitasi hubungan subkontrak; menyelenggarakan konsultasi bagi mereka yang akan melakukan hubungan subkontrak; menyediakan data dan informasi mengenai potensi subkontrak; melakukan bimbingan dan pembinaan; pada tahap awal memfasilitasi perundingan jika terjadi perselisihan (sebelum jalan Buntu dan di selesaikan menurut hukum). Untuk menjalankan asosiasi ini sebagian disubsidi oleh anggaran pemerintah dan sebagian lain diperoleh dari iuran anggota maupun fee yang dipungut dari setiap transaksi. 112