BAB 4 PERANCANGAN TERMAL PENUKAR PANAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 PERANCANGAN TERMAL PENUKAR PANAS"

Transkripsi

1 BAB 4 PERANCANGAN TERMAL PENUKAR PANAS 4.1 Penentuan Fluida Kerja Organik dan Kondisi Operasi Pada bab ini akan dibahas bagaimana cara melakukan proses perancangan termal untuk penukar panas yang dibantu dengan paket program Heat Transfer Research Inc. (HTRI). Sebelum dilakukan proses perancangan termal, perlu ditentukan fluida kerja organik yang akan digunakan karena akan berpengaruh terhadap kondisi operasi dari penukar panas. Pada analisis bab sebelumnya, diketahui bahwa fluida kerja yang menghasilkan daya netto terbesar adalah fluida kerja i-pentana, sedangkan yang menghasilkan daya netto terkecil adalah n- pentana. Untuk itu, fluida kerja yang akan dibandingkan pada proses perancangan termal ini adalah fluida kerja i-pentana dan n-pentana. Fluida kerja i-butana dan n- butana menghasilkan daya netto yang berada diantara kedua nilai tersebut, sehingga tidak dilakukan proses perancangan termal. Untuk menghasilkan daya netto maksimum fluida kerja i-butana dan n-butana memerlukan tekanan kerja yang tinggi, sehingga akan berpengaruh terhadap faktor keselamatan serta biaya yang diperlukan menjadi lebih tinggi. Oleh karena alasan itu, maka fluida kerja yang akan dikaji adalah i-pentana dan n-pentana. 4.2 Validasi Paket Program HTRI Sebelum paket program HTRI ini digunakan, akan dilakukan proses validasi. Tujuannya untuk memastikan bahwa paket program ini bekerja dengan baik dan benar, dan menghasilkan keluaran/hasil yang valid. Untuk melakukan proses validasi ini, cara yang dilakukan adalah membandingkan hasil yang diperoleh dari paket program HTRI dengan hasil yang ada pada jurnal teknik kimia yang merupakan data existing desain dari penukar panas. Pada jurnal tersebut diberikan data-data yang bermanfaat sebagai masukan data untuk perancangan penukar panas dengan paket program HTRI. Masukan data yang terdapat pada jurnal teknik kimia tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.1 untuk parameter proses dan pada Tabel 4.2 untuk parameter perancangan.

2 Tabel 4.1 Parameter Proses Untuk Merancang Penukar Panas [13] Tabel 4.2 Parameter Perancangan Untuk Merancang Penukar Panas [13] Pada jurnal tersebut diberikan hasil dari proses perancangan, dimana hasil tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk proses validasi. Apabila perbedaan hasil tersebut kecil, maka paket program HTRI dikatakan valid. Tabel 4.3 Hasil Proses Perancangan [13]

3 Masukan data yang diperlukan dalam paket program HTRI, diberikan pada Gambar 4.1, dimana parameter proses dan perancangan digunakan menjadi masukan data. Gambar 4.1 Masukan data pada paket program HTRI. Setelah masukan data tersebut dimasukan dalam paket program HTRI, langkah selanjutnya adalah menjalankan paket program tersebut, sehingga akan didapatkan keluaran data seperti pada Gambar 4.2. Tidak semua parameter proses dan perancangan dimasukan ke dalam paket program HTRI, karena ada data yang diolah sendiri oleh program HTRI. Hasil keluaran dari paket program HTRI yang diberi warna merah, akan dibandingkan dengan hasil yang ada pada jurnal teknik kimia tersebut. Data yang diberi warna merah (duty, area dan overdesign) merupakan data yang menjadi faktor pembanding utama antara data pada jurnal teknik kimia dengan data hasil perancangan paket program HTRI.

4 Gambar 4.2 Keluaran data hasil perancangan paket program HTRI. Kerja penukar panas yang terdapat pada jurnal teknik kimia adalah 0,46 MM Kcal/h, apabila dikonversikan menjadi 0,534 MW. Hasilnya sama dengan keluaran dari paket program HTRI. Luas penampang perpindahan panas yang dihasilkan dengan paket program HTRI adalah 69,69 m 2, hampir sama dengan data yang ada pada jurnal sebesar 70 m 2. Untuk overdesign, data yang dihasilkan

5 berbeda dengan data pada jurnal, sehingga pada proses perancangan selanjutnya akan diberikan nilai overdesign antara 15-20%. 4.3 Perancangan Termal Evaporator dan Preheater Setelah dilakukan proses validasi terhadap paket progam HTRI yang digunakan untuk melakukan proses perancangan termal, dimana hasilnya adalah valid. Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perancangan termal untuk evaporator dan preheater. Dalam menggunakan paket program HTRI, parameter yang diperlukan sebagai masukan data adalah parameter proses dan perancangan. Parameter proses didapatkan dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS, sedangkan parameterr perancangan didapatkan dari buku referensi kelaziman perancangan penukar panas [12]. Pada Gambar 4.3 akan diberikan diagram alir yang dilakukan dalam proses perancangan termal penukar panas. Gambar 4.3 Diagram alir proses perancangan termal dengan paket program HTRI.

6 Dengan diagram alir proses perancangan yang telah ditunjukkan di atas, dapat diketahui bahwa parameter proses didapatkan dari hasil simulasi paket program HYSYS. Data yang digunakan adalah saat kondisi optimum yang dapat menghasilkan daya netto maksimum pada paket program HYSYS. Kemudian data tersebut digunakan sebagai masukan untuk menjalankan paket program HTRI. Salah satu keluaran data dari paket program HTRI, yaitu penurunan tekanan pada bagian shell & tube digunakan kembali sebagai masukan data untuk mengoreksi nilai penurunan tekanan pada proses simulasi dengan paket program HYSYS. Dengan dimasukkannya nilai penurunan tekanan yang baru, maka kondisi operasi pada paket program HYSYS akan berubah. Diperlukan proses iterasi untuk mendapatkan kondisi operasi yang konvergen (tidak berubah lagi dan menunjukkan nilai yang tetap). Pada proses perancangan termal evaporator dan preheater, fluida kerja yang akan dikaji adalah i-pentana dan n-pentana. Dimana dari hasil perancangan termal tersebut akan dipilih satu kondisi operasi yang paling optimum untuk menghasilkan daya netto siklus yang paling maksimum. Sebelum masuk dalam pembahasan tentang perancangan evaporator dan preheater, perlu diperhatikan masalah pemilihan material. Pemilihan material merupakan proses yang penting dalam tahap awal perancangan penukar panas Pemilihan Material Penukar Panas Aliran pada suatu penukar panas terdiri dari dua buah aliran, yaitu aliran panas dan aliran dingin. Aliran panas akan melepaskan kalor untuk diterima oleh aliran dingin. Pada kajian ini yang berfungsi sebagai aliran panas adalah aliran brine, sedangkan aliran dingin adalah aliran fluida kerja organik yang melewati penukar panas. Brine akan dialirkan di dalam tube, dengan tujuan untuk mempermudah dalam proses perawatan/pembersihan karena brine memiliki potensi terbentuknya kerak. Fluida kerja organik dialirkan pada shell, karena fluida organik tidak berpotensi membentuk kerak. Material yang digunakan pada shell adalah carbon steel (ASTM a516-60), karena pada shell mengalir fluida kerja organik yang tidak berpotensi terhadap

7 terbentuknya korosi. Pada bagian tube digunakan material SAF 2205 (ASTM 789), duplex stainless steel, yaitu jenis stainless steel yang memiliki dua fasa: ferrite dan austenite. Pada bagian tube digunakan jenis material duplex stainless steel karena kandungan brine yang mengalir memiliki kandungan ph yang rendah (asam) dan kandungan klor (Cl) yang tinggi 1148 mg/l. Sehingga perlu digunakan jenis material yang tidak hanya tahan terhadap korosi, tetapi juga tahan terhadap kandungan klor yang terkandung di dalamnya. Kandungan klor yang tinggi dapat mengakibatkan terbentuknya pitting (localize corrosion). Contoh material yang tahan terhadap korosi, diantaranya: stainless steel tipe 304 atau 316, titanium, dan tantalum. Diantara ketiga material tersebut, material yang tahan terhadap korosi dan kandungan klor yang tinggi hanya titanium dan tantalum yang memiliki harga beli yang tinggi. Untuk itu digunakan material duplex stainless steel yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap korosi dan kandungan klor yang tinggi, dengan harga beli yang relatif lebih murah dibandingkan titanium dan tantalum. Material titanium umumnya digunakan untuk kandungan nilai klor (Cl - ) lebih dari 5000 ppm, sedangkan pada brine yang dikaji hanya mengandung 920 ppm (dilihat dari Tabel 3.1). Oleh karena itu, apabila digunakan material titanium akan berlebihan [15]. Pada proses perancangan dengan paket program HTRI tidak didapatkan database untuk sifat fisik material duplex stainless steel. Sehingga perlu dimasukan sifat fisik dari material tersebut. Sifat fisik yang diperlukan dalam proses perancangan adalah massa jenis (ρ), koefisien konduksi (k) dan nilai modulus elastisitas (E). Nilai massa jenis dari duplex stainless steel adalah 7800 kg/m 3, sedangkan kedua sifat fisik yang lain terpengaruh nilai temperatur, yang akan ditampilkan pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5. Tabel 4.4 Nilai Konduktivitas Termal SAF 2205 dan AISI 316L Temperatur ( o C) SAF 2205 (W/m o C) AISI 316L (W/m o C)

8 Tabel 4.5 Pengaruh Temperatur Terhadap Nilai Modulus Elastisitas Temperatur, o C Modulus Elastisitas, GPa Apabila nilai yang diinginkan digunakan berada di antara kedua nilai yang telah ada, dapat dilakukan proses interpolasi linear. Dengan diketahuinya sifat fisik dari material tube, maka proses perancangan termal dengan paket program HTRI dapat dilakukan Perancangan Evaporator Pada proses perancangan evaporator, masukan data yang diperlukan adalah parameter proses yang didapatkan dari hasil simulasi paket program HYSYS. Parameter proses yang diperlukan sebagai masukan data untuk fluida kerja i-pentana diberikan pada Tabel 4.6 dan untuk n-pentana pada Tabel 4.7. Tabel 4.6 Parameter Proses Perancangan Evaporator Untuk Fluida Kerja I-pentana Aliran panas (tube) brine Aliran dingin (shell) i-pentana Laju massa 108,38 kg/s Laju massa 34,49 kg/s Fraksi uap masuk 0 Fraksi uap masuk 0 Temperatur masuk 158,90 o C Tekanan masuk 1530 kpa Tekanan masuk 600 kpa Tahanan fouling 0,0003 Tahanan fouling 0,0002 Fraksi uap keluar 0 Fraksi uap keluar 1 Temperatur keluar 143,80 o C P diijinkan 50 kpa P diijinkan 50 kpa Tabel 4.7 Parameter Proses Perancangan Evaporator Untuk Fluida Kerja N-pentana Aliran panas (tube) brine Aliran dingin (shell) n-pentana Laju massa 106,72 kg/s Laju massa 25,99 kg/s Fraksi uap masuk 0 Fraksi uap masuk 0 Temperatur masuk 151,85 o C Tekanan masuk 1180 kpa Tekanan masuk 500 kpa Tahanan fouling 0,0003 Tahanan fouling 0,0002

9 Aliran panas (tube) brine Aliran dingin (shell) n-pentana Fraksi uap keluar 0 Fraksi uap keluar 1 Temperatur keluar 138,30 o C P diijinkan 50 kpa P diijinkan 50 kpa Parameter perancangan yang perlu dimasukan dalam perancangan evaporator dengan paket program HTRI, diberikan pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Parameter Perancangan Evaporator I-pentana dan N-pentana Fluida kerja i-pentana Fluida kerja n-pentana Tipe penukar panas AKT Diameter shell 1550 mm Panjang tube 8,534 m Diameter tube 25,4 mm Tipe penukar panas AKT Diameter shell 1420 mm Panjang tube 7,315 m Diameter tube 25,4 mm Jumlah laluan tube (tube passes) 2 Jumlah laluan tube (tube passes) 2 Jarak pitch 32 mm Tebal tube 1,651 mm Tipe penampang tube 45 o (staggered) Jarak pitch 32 mm Tebal tube 1,651 mm Tipe penampang tube 45 o (staggered) Nilai pada parameter perancangan tersebut didapatkan dengan cara iterasi untuk memenuhi kebutuhan kalor yang dilepas/diterima penukar panas. Tentu saja dalam melakukan proses perancangan tersebut perlu didasarkan dengan alasan/referensi yang kuat, sehingga nilai yang dimasukan tidak asal-asalan tetapi berdasarkan prinsip yang benar. Tipe penukar panas yang digunakan pada evaporator sesuai dengan standar yang ada pada TEMA, yaitu tipe AKT. - Tipe A yang dipilih adalah tipe front end berupa channel and removable cover. Brine berpotensi tinggi menyebabkan fouling sehingga harus mudah dibuka sewaktu-waktu untuk proses pembersihan/perawatan. - Tipe K yang dipilih adalah jenis kettle. Proses yang terjadi pada evaporator adalah proses penguapan sehingga diperlukan ruangan untuk

10 berkumpulnya uap. Apabila tidak ada tempat berkumpulnya uap, maka uap yang telah terbentuk akan kembali bercampur dengan air. - Tipe T yang dipilih adalah tipe pull through floating head. Fluida kerja memiliki tekanan (P) dan temperatur (T) kerja yang tinggi sehingga untuk menghindari terjadinya ekspansi termal. Tube bundle juga lebih mudah dibersihkan. Pada Gambar 4.4 akan diberikan gambar penukar panas tipe AKT. Gambar 4.4 Penukar panas tipe AKT. [13] Perbandingan antara panjang tube dengan diameter shell umumnya antara Diameter luar tube yang sering digunakan adalah ¾ - 1 in, dimana untuk mempermudah dalam proses pembersihan lebih baik digunakan diameter luar tube berukuran 1 in. Nilai dari diameter shell, diameter luar tube, dan panjang tube merupakan hasil iterasi untuk memenuhi persamaan kesetimbangan kalor padaa penukar panas. Jumlah tube yang melewati shell dipilih dua supaya proses perpindahan panas yang terjadi antara shell dan tube dapat terpenuhi dan berlangsung dengan baik. Jarak pitch umumnya dibuat 1,25 kali diameter luar tube, sehingga memiliki clearance antara tube yang satu dengan tube yang lain. Tujuannya untuk mempermudah dalam proses pembersihan. Sedangkan tipe penampang tube yang digunakan adalah adalah tipe staggered, karena memiliki kelebihan dalam proses perpindahan panas yang lebih baik. Tebal tube yang dipilih merupakan tebal yang paling minimum untuk ukuran diameter tube 1 in [12]. Tentu saja perlu memperhitungkan kemampuan menahan tekanan operasi, yang diperoleh dari persamaan hoop:

11 (4.1) dimana, σ allow = yield strength duplex stainless steel = 485 MPa p = 600 kpa r = 12,7 mm t = 1,651 mm σ = 4,62 MPa Nilai σ allow jauh lebih besar dari nilai σ, sehingga dengan menggunakan tebal tube yang paling minimum sudah aman dalam menahan tegangan yang terjadi. Parameter perancangan yang membedakan antara fluida kerja i-pentana dan n- pentana adalah ukuran diameter shell dan panjang tube-nya. Setelah diketahui semua parameter proses dan perancangan, langkah selanjutnya adalah memasukkan semua nilai tersebut ke dalam paket program HTRI. Pada Gambar 4.5 ditampilkan masukan data pada paket program HTRI untuk fluida kerja i-pentana dan pada Gambar 4.6 untuk fluida kerja n-pentana. Gambar 4.5 Masukan data pada HTRI untuk perancangan evaporator dengan fluida kerja i- pentana.

12 Gambar 4.6 Masukan data pada HTRI untuk perancangan evaporator dengan fluida kerja n-pentana. Setelah diberi masukan data seperti yang ditampilkan pada gambar di atas, kemudian dilakukan proses pemilihan fluida kerja untuk aliran panas dan dinginnya seperti yang tertera pada Gambar 4.7 untuk fluida kerja i-pentana dan pada Gambar 4.8 untuk fluida kerja n-pentana. Faktor yang perlu diperhatikan dari hasil perancangan HTRI adalah nilai dari penurunan tekanan ( P), luas penampang perpindahan panas (A), duty, nilai overdesign, dan dimensi dasar yang dihasilkan (panjang tube, diameter shell, diameter kettle, serta jumlah tube). Dari kedua hasil perancangan dengan fluida kerja dan kondisi operasi yang berbeda, maka dihasilkan juga dimensi yang berbeda.

13 Gambar 4.7 Hasil perancangan evaporator untuk fluida kerja i-pentana.

14 Gambar 4.8 Hasil perancangan evaporator untuk fluida kerja n-pentana.

15 Hasil dari proses perancangan dengan paket program HTRI didapatkan nilai penurunan tekanan yang baru ( P) pada bagian shell & tube. Nilai penurunan tekanan yang baru ini dimasukkan kembali ke dalam proses simulasi dengan paket program HYSYS, sehingga akan didapatkan kondisi operasi yang baru. Proses ini dilakukan sampai didapatkan nilai yang konvergen dan stabil. Dari kedua hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk fluida kerja i- pentana memerlukan luas penampang perpindahan panas 983,93 m 2, sedangkan untuk fluida kerja n-pentana memerlukan luas penampang perpindahan panas 707,02 m Perancangan Preheater Cara yang sama dengan proses perancangan evaporator diterapkan pada proses perancangan preheater. Kondisi operasi optimum yang didapatkan dari hasil simulasi dengan paket program HYSYS digunakan menjadi masukan data untuk proses perancangan dengan paket program HTRI. Pada Tabel 4.9 dan 4.10 akan ditampilkan masukan data yang merupakan parameter proses yang dihasilkan paket program HTRI. Pada Tabel 4.11 akan ditampilkan parameter perancangan untuk fluida kerja i-pentana dan n-pentana. Tabel 4.9 Parameter Proses Perancangan Preheater Untuk Fluida Kerja I-pentana Aliran panas (tube) brine Aliran dingin (shell) i-pentana Laju massa 108,38 kg/s Laju massa 34,49 kg/s Fraksi uap masuk 0 Fraksi uap masuk 0 Temperatur masuk 143,79 o C Temperatur masuk 41,19 o C Tekanan masuk 600 kpa Tekanan masuk 1549,00 kpa Tahanan fouling 0,0002 Tahanan fouling 0,0003 Fraksi uap keluar 0 Fraksi uap keluar 0 Temperatur keluar 125,00 o C Temperatur keluar 138,80 o C P diijinkan 50 kpa P diijinkan 50 kpa

16 Tabel 4.10 Parameter Proses Perancangan Preheater Untuk Fluida Kerja N-pentana Aliran panas (tube) brine Aliran dingin (shell) n-pentana Laju massa 106,72 kg/s Laju massa 25,99 kg/s Fraksi uap masuk 0 Fraksi uap masuk 0 Temperatur masuk 138,30 o C Temperatur masuk 40,90 o C Tekanan masuk 493,76 kpa Tekanan masuk 1194,00 kpa Tahanan fouling 0,0002 Tahanan fouling 0,0003 Fraksi uap keluar 0 Fraksi uap keluar 0 Temperatur keluar 124,66 o C Temperatur keluar 133,25 o C P diijinkan 50 kpa P diijinkan 50 kpa Parameter perancangan yang perlu dimasukan dalam perancangan preheater dengan paket program HTRI, diberikan pada Tabel Tabel 4.11 Parameter Perancangan Preheater I-pentana dan N-pentana Fluida kerja i-pentana Fluida kerja n-pentana Tipe penukar panas AFT Diameter shell 1420 mm Panjang tube 8,534 m Diameter tube 25,4 mm Tipe penukar panas AFT Diameter shell 1310 mm Panjang tube 6,706 m Diameter tube 25,4 mm Jumlah laluan tube (tube passes) 2 Jumlah laluan tube (tube passes) 2 Jarak pitch 32 mm Tebal tube 1,651 mm Tipe penampang tube 45 o (staggered) Jarak pitch 32 mm Tebal tube 1,651 mm Tipe penampang tube 45 o (staggered) Tipe penukar panas yang digunakan untuk preheater adalah tipe AFT, - Tipe A yang dipilih adalah tipe front end berupa channel and removable cover. Brine berpotensi tinggi menyebabkan kerak sehingga harus mudah dibuka sewaktu-waktu untuk proses pembersihan/perawatan. - Tipe F yang dipilih adalah jenis two pass shell with longitudinal baffle. Apabila hanya one pass shell yang dipilih maka proses perpindahan panas tidak dapat berlangsung dengan baik.

17 - Tipe T yang dipilih adalah tipe pull through floating head. Fluida kerja memiliki tekanan (P) dan temperatur (T) yang tinggi sehingga diperlukan untuk menghindari terjadinya ekspansi termal. Tube bundle juga lebih mudah dibersihkan. Pada Gambar 4.9 akan diberikan gambar penukar panas tipe AFT. Gambar 4.9 Penukar panas tipe AFT [13]. Perbandingan antara panjang tube dengan diameter shell umumnya antara Diameter luar tube yang sering digunakan adalah ¾ - 1 in. Untuk mempermudah dalam proses pembersihan lebih baik digunakan diameter luar tube berukuran 1 in. Nilai dari diameter shell, diameter luar tube, dan panjang tube merupakan hasil iterasi untuk memenuhi persamaan kesetimbangan kalor padaa penukar panas. Jumlah tube yang melewati shell dipilih dua supaya proses perpindahan panas yang terjadi antara shell dan tube dapat terpenuhi dan berlangsung dengan baik. Jarak pitch umumnya 1,25 kali diameter luar tube, sehingga memiliki clearance antara tube dengan tube yang lain. Tujuannya untuk mempermudah dalam proses pembersihan. Sedangkan tipe penampang tube yang digunakan adalah adalah tipe staggered, karena memiliki kelebihan dalam proses perpindahan panas yang lebih baik. Tebal tube yang dipilih merupakan tebal yang paling minimum untuk ukuran diameter tube 1 in. Pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11 akan ditampilkan masukan data pada paket program HTRI untuk fluida kerja i-pentana dan n-pentana.

18 Gambar 4.10 Masukan data pada HTRI untuk perancangan preheater dengan fluida kerja i- pentana. Gambar 4.11 Masukan data pada HTRI untuk perancangan preheater dengan fluida kerja n-pentana.

19 Langkah selanjutnya adalah melihat hasil dari proses perancangan dengan paket program HTRI. Pada Gambar 4.12 akan ditampilkan hasil keluaran paket program HTRI untuk perancangan preheater dengan fluida kerja i-pentana, sedangkan pada Gambar 4.13 akan ditampilkan hasil perancangan preheater untuk fluida kerja n-pentana. Gambar 4.12 Hasil perancangan preheater untuk fluida kerja i-pentana.

20 Gambar 4.13 Hasil perancangan preheater untuk fluida kerja n-pentana. Nilai penurunan tekanan hasil perancangan paket program HTRI dimasukan kembali ke dalam proses simulasi dengan paket program HYSYS, sehingga akan didapatkan kondisi kerja yang baru.

21 Luas perpindahan panas yang diperlukan pada preheater dengan fluida kerja i-pentana 822,18 m 2, sedangkan untuk fluida kerja n-pentana diperlukan luas penampang perpindahan panas 532,38 m 2. Luas penampang perpindahan panas yang diperlukan untuk fluida kerja i-pentana lebih besar dibandingkan dengan fluida kerja n-pentana. Akibatnya fluida kerja i-pentana memerlukan biaya yang lebih tinggi pada saat pembelian awal penukar panas tersebut. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam penentuan fluida kerja yang akan digunakan. 4.4 Analisis Ekonomi Penukar Panas Setelah proses perancangan termal untuk evaporator dan preheater selesai dilakukan. Didapat dua pilihan kondisi operasi, yaitu dengan fluida kerja i- pentana yang dapat menghasilkan daya netto yang paling besar, tetapi memerlukan ukuran penukar panas dan tekanan kerja yang lebih besar. Atau dengan fluida kerja n-pentana yang menghasilkan daya netto tidak terlalu besar (beda sekitar 10% dengan i-pentana) tetapi memerlukan ukuran penukar panas dan tekanan kerja yang lebih kecil. Hal ini akan dikaji secara ekonomi, yaitu pada biaya yang diperlukan untuk pembelian awal (capital cost) dari penukar panas. Kajian ekonomi yang dilakukan adalah membandingkan mana yang lebih menguntungkan apabila menggunakan fluida kerja i-pentana yang menghasilkan daya netto lebih tinggi tetapi memerlukan biaya awal untuk penukar panas yang lebih mahal, atau menggunakan fluida kerja n-pentana yang menghasilkan daya netto tidak terlalu tinggi tetapi memerlukan biaya awal untuk pembelian penukar panas yang tidak terlalu mahal. Yang akan dibandingkan adalah nilai rupiah dari selisih daya yang dihasilkan dengan harga pembelian awal penukar panas. Yang akan dicari adalah berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat menutup selisih (pay back period). Pada akhirnya akan didapatkan kesimpulan mana fluida kerja yang akan lebih menguntungkan secara ekonomi. Harga suatu penukar panas khususnya tipe shell & tube, ditentukan berdasarkan harga beli awal yang dipengaruhi oleh faktor jenis material, tekanan kerja, dan panjang tube yang digunakan. Ada hubungan antara luas bidang perpindahan panas yang diperlukan dengan harga penukar panas. Hubungan

22 tersebut akan ditampilkan pada grafik yang ada pada Gambar 4.14, dimana persamaan garisnya: - Floating head (4.2) - Fixed head (4.3) - U-tube (4.4) - Kettle vaporizer (4.5) Gambar 4.14 Grafik hubungan luas penampang terhadap harga penukar panas. [14] Tipe penukar panas untuk evaporator adalah jenis kettle, sedangkan untuk preheater adalah jenis floating head. Untuk mendapatkan nilai harga beli penukar panas awal (C B ) dapat dilakukan dengan melihat grafik atau memasukannya ke dalam persamaan garis yang ada, dimana merupakan fungsi dari luas penampang

23 perprindahan panas. Luas perpindahan panas yang diperlukan untuk fluida kerja yang berbeda ditampilkan pada Tabel Tabel 4.12 Luas Penampang Perpindahan Panas Untuk Penukar Panas Dalam m 2 Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator 983,93 m 2 707,02 m 2 Preheater 822,12 m 2 532,38 m 2 Dengan melakukan konversi satuan, diperoleh nilai seperti pada Tabel Tabel 4.13 Luas Penampang Perpindahan Panas Untuk Penukar Panas Dalam ft 2 Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator 10590,93 ft ,30 ft 2 Preheater 8849,23 ft ,49 ft 2 Garis yang berwarna merah menunjukan fluida kerja i-pentana, sedangkan yang berwarna biru untuk fluida kerja n-pentana. Dengan memasukkan pada persamaan garis di atas, diperoleh nilai C B seperti pada Tabel 4.14 di bawah ini. Tabel 4.14 Nilai C B Untuk Penukar Panas Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator $ ,10 $ 64617,97 Preheater $ 72382,01 $ 52781,99 Harga beli penukar panas di atas perlu dikoreksi dengan faktor jenis material, panjang tube, dan faktor tekanan kerja. Sehingga harga beli penukar panas (C P ) menjadi perkalian nilai C B.F P.F M.F L. Nilai F P merupakan faktor koreksi tekanan, dengan persamaan: (4.6) dimana, P adalah tekanan kerja dalam satuan psia. Tabel 4.15 akan menampilkan tekanan kerja pada setiap penukar panas dengan jenis fluida kerja yang berbeda.

24 Tabel 4.15 Tekanan Kerja Penukar Panas Dalam Satuan psia Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator 221,91 psia 171,14 psia Preheater 224,66 psia 173,16 psia Dengan memasukan ke persamaan 4.6 di atas, akan didapatkan faktor koreksi tekanan seperti pada Tabel Tabel 4.16 Faktor Koreksi Tekanan (Fp) Untuk Penukar Panas Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator 1,03 1,02 Preheater 1,03 1,02 Nilai F L merupakan faktor koreksi dari panjang tube, dimana nilainya akan ditampilkan pada tabel Tabel 4.17 Nilai Koreksi F L Untuk Berbagai Panjang Tube [14] Panjang Tube, ft F L 8 1, , , ,00 Panjang tube yang digunakan lebih dari 20 ft, sehingga nilai faktor koreksi panjang (F L ) = 1. koreksinya: Nilai F M merupakan faktor jenis material yang digunakan, nilai (4.7) Dimana nilai A adalah luas penampang perpindahan panas (ft 2 ), sedangkan nilai a dan b dapat dilihat pada Tabel 4.18 di bawah ini Tabel 4.18 Nilai a dan b Untuk Berbagai Jenis Material [14] Jenis Material Shell/Tube Nilai a Nilai b Carbon steel/carbon steel 0,00 0,00 Carbon steel/brass 1,08 0,05 Carbon steel/stainless steel 1,75 0,13

25 Carbon steel/monel 2,10 0,13 Carbon steel/titanium 5,20 0,16 Carbon steel/cr-mo steel 1,55 0,05 Cr-Mo steel/cr-mo steel 1,70 0,07 Stainless steel/stainless steel 2,70 0,07 Monel/Monel 3,30 0,08 Titanium/Titanium 9,60 0,06 Material yang digunakan adalah jenis carbon steel untuk bagian shell, dan duplex stainless steel untuk bagian tube. Karena referensi nilai a dan b untuk duplex stainless steel tidak diketahui, maka pada bagian tube diasumsikan sebagai stainless steel. Setelah dilakukan perhitungan dan didapatkan hasilnya, kemudian dikoreksi lagi dengan perbandingan harga duplex stainless steel dengan stainless steel (316L) yang ada di pasaran, yaitu berbeda 1,5 kali ( Pada Tabel 4.19 akan diberikan nilai faktor koreksi material (F M ), dengan cara memasukan nilai A, a, dan b ke Persamaan 4.7. Tabel 4.19 Faktor Koreksi Material (F M ) Untuk Penukar Panas Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator 3,58 1,5 = 5,37 3,51 1,5 = 5,27 Preheater 3,54 1,5 = 5,31 3,44 1,5 = 5,16 Dengan diketahuinya semua nilai koreksi yang diperlukan maka harga beli dari penukar panas dapat diperoleh. Pada Tabel 4.20 akan ditampilkan nilai harga beli dari penukar panas setelah dikalikan dengan faktor koreksi. Tabel 4.20 Harga Beli Penukar Panas Setelah Dikoreksi Jenis penukar panas/jenis fluida kerja i-pentana n-pentana Evaporator $ ,09 $ ,89 Preheater $ ,92 $ ,18 Biaya total pembelian penukar panas $ ,02 $ ,05

26 Harga beli penukar panas yang tertera pada tabel di atas merupakan harga beli pada pertengahan tahun Untuk menentukan harga sekarang perlu diperhitungkan nilai dari inflation rate yang terjadi di Amerika Serikat. Selisih dari pembelian awal penukar panas tersebut adalah $ ,64. Nilai inflation rate yang terjadi di Amerika pada pertengahan tahun 2000 sampai bulan Maret tahun 2010 didapatkan dari sumber di internet ( Data inflation rate yang tertera dari sumber merupakan data per bulan. Untuk menyederhanakan perhitungan akan diambil nilai rata-rata per satu tahun, seperti tertera pada tabel Tabel 4.21 Rata-rata Nilai Inflation Rate di Amerika Tahun Nilai ratarata inflation rate (%) 3,47 2,83 1,59 2,27 2,68 3,39 3,24 2,85 3,85-0,34 2,36 Apabila tahun 2000 dianggap sebagai nilai sekarang (P), maka nilai pada tahun 2010 (F) dapat diperoleh dengan persamaan: (4.8) dimana, i = nilai inflation rate per tahun/per bulan n = periode perhitungan nilai inflation rate Dengan memasukan selisih harga beli awal penukar panas ke persamaan 4.8, maka akan diperoleh nilai seperti pada Tabel 4.22 di bawah ini. Tabel 4.22 Harga Penukar Panas Akibat Adanya Pengaruh Inflasi Tahun Harga Penukar Panas ($) , , , , , , , , , , ,07

27 Harga pada tahun 2010, yaitu $ ,07 akan dibandingkan dengan selisih harga listrik yang dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik tersebut. Selisih daya netto antara fluida kerja i-pentana dan n-pentana adalah 283,79 kw atau sebesar 7,91 %. Harga jual listrik panas bumi adalah antara 6,5-8,5 sen/kwh ( kurs rupiah yang diambil sesuai dengan APBN tahun 2010 adalah Rp 9.200,00 ( Bila dilakukan perhitungan beda daya listrik per jam, akan didapat beda 6810,96 kwh per hari. Harga jual listrik panas bumi yang digunakan adalah nilai rata-ratanya 7,5 sen/kwh, sehingga selisih harga jual listrik yang didapatkan sebesar Rp ,00 per hari. Selisih harga beli penukar panas disaat awal pembelian dalam rupiah adalah Rp ,00. Apabila dibandingkan dengan selisih harga jual listrik per hari Rp ,00, maka akan didapat lamanya waktu untuk mengembalikan modal awal yaitu sekitar 884 hari atau selama 2 tahun 5 bulan. Sebuah pembangkit listrik tenaga panas bumi umumnya berumur tahun. Dari kajian ekonomi yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa fluida kerja i-pentana lebih menguntungkan untuk digunakan walaupun pada saat awal memerlukan investasi yang lebih tinggi dari pada fluida kerja n-pentana. 4.5 Perancangan Kondensor Berpendingin udara Pada perancangan kondensor berpendingin udara, digunakan metode perancangan termal yang ada pada Gas Processors Supplier Association (GPSA). Untuk udara sebagai fluida kerja pendingin, diperlukan masukan data berupa: Temperatur udara sekitar 82,4 o F = 28 o C Ketinggian permukaan laut 1473,85 ft = 449,23 m Cp udara = 0,24 Btu/(lb. o F) = 0,993 kj/kg. o C Kondisi operasi hasil perhitungan paket program HYSYS digunakan sebagai parameter proses dalam perancangan dengan metode GPSA, dimana diperlukan masukan data seperti di bawah ini: Temperatur rata-rata fluida kerja 146,40 o F = 63,56 o C

28 Cp fluida kerja 0,59 Btu/(lb. o F) = 2,441 kj/kg. o C Viskositas dinamik (µ) 0,0964 cp = 9, N.s/m 2 Koefisien konduksi (k) 0,0516 Btu/(hr.sq ft. o F)/(ft) = 0,0964 W/m.K Kalor (Q) ,96 Btu/hr = 13,55 MW Laju massa (m) ,40 lb/hr = 34,49 kg/s Temperatur fluida kerja masuk (T in ) 188,36 o F = 86,87 o C Temperatur fluida kerja keluar (T out ) 104,43 o F = 40,24 o C Faktor fouling 0,0002 (hr.sq ft. o F)/Btu = 0,0002 m 2.K/W Penurunan tekanan yang diijinkan ( P) 5 psi = 34 kpa Diperlukan juga asumsi geometri pada proses perancangan kondensor berpendingin udara tersebut yang berupa: Tipe kipas kondensor: forced draft Lebar sirip tube dan jenisnya: inch high fins Jarak pitch dan jenisnya: 2 inch, triangular Jumlah aliran tube: 4 buah Panjang tube: 45 ft = 13,72 m Area luar bundle (APSF): 178,2 inch = 4,53 m Jumlah baris tube: 6 buah Luas area luar total (APF): 5,58 ft 2 /ft = 1,7 m 2 /m Diameter dalam tube: 0,87 inch = 22,1 mm Perbandingan luas fin-tube (AR): 21,4 ft 2 /ft 2 = 6,53 m 2 /m 2 Diameter luar tube: 1 inch = 25,4 mm Jumlah kipas: 6 buah tube 1 inch. Pada Tabel 4.23 diberikan data untuk tube bersirip dengan diameter luar

29 Tabel 4.23 Data Untuk Diameter Luar 1 inch Tipe Tube Bersirip[7] Untuk mendapatkan nilai yang ingin dicari, yaitu penurunan tekanan, diameter kipas, temperatur udara keluar, dan lain-lain perlu dilakukan proses perhitungan dimana langkahnya tertera di bawah ini. 1. Menebak nilaii U x = 2,85 2. Menghitung nilai perkiraan kenaikan temperatur udara, (4.9) 3. Menghitung nilai CMTD (4.10) (4.11) (4.12)

30 (4.13) (4.14) Dengan diketahuinya nilai R dan P, didapatkan nilai = 0,92 dari Gambar 4.15 Gambar 4.15 Faktor koreksi penukar panas 1 shell dengan 2/lebih tube.[7]

31 (4.15) 4. Menghitung luas perpindahan panas, 5. Menghitung luas permukaan dengan faktor APSF. (4.16) APSF = 178,2 dengan asumsi tube pitch 2,25 segitiga dan 6 aliran pipa. (4.17) 6. Menghitung lebar unit dengan asumsi panjang pipa (4.18) 7. Menghitung jumlah pipa, dengan APF. APF = 5,58 dengan asumsi tinggi sirip 0,625 in. (4.19) 8. Menghitung kecepatan massa di sisi pipa per satuan luas penampang, Luas penampang pipa yang dialiri fluida, sesuai dengan asumsi pipa diameter 1 inch (BWG 16). (4.20)

32 9. Menghitung bilangan reynolds yang dimodifikasi, Diameter dalam pipa dengan diameter luar 1 in BWG 16, (4.21) 10. Menghitung penurunan tekanan sisi pipa, (4.22) = 0,0024 faktor kekasaran permukaan dalam pipa, Gambar 4.16 = 3 faktor koreksi, dan nilai = 0,03 faktor koreksi, pada Gambar 4.18 = 1 faktor koreksi kekentalan fluida di dalam pipa untuk hidrokarbon. Gambar 4.16 Nilai faktor gesekan (f). [7]

33 Nilai <<. 11. Menghitung koefisien perpindahan panas sisi pipa, (4.23) Nilai diambil dari Gambar 4.19 dengan nilai, yaitu Menghitung laju aliran massa udara, (4.24) 13. Menghitung kecepatan massa udara per satuan luas penampang, (4.25) 14. Menghitung koefisien perpindahan panas sisi udara, dibaca dari Gambar 4.17 dengan harga. Gambar 4.17 Koefisien perpindahan panas sisi udara (h a ).[7]

34 Gambar 4.18 Penurunan tekanan untuk aliran fluida di dalam pipa.[7]

35 Gambar 4.19 Faktor korelasi J untuk menghitung koefisien ht. [7]

36 15. Menghitung koefisien perpindahanpanas keseluruhan baru, (4.26) (4.27) adalah perbandingan luas pipa bersirip dengan luas eksterior pipa dengan diameter 1 in, dengan nilai 21,4 yang didapat dengan tinggi sirip 0,625 in, yaitu sebesar. dianggap nol karena hambatan logam kecil dibanding hambatan yang lain. 16. Menghitung luas penampang yang dicakup per kipas, FAPF 17. Menghitung diameter kipas (4.28) (4.29) 18. Menghitung penurunan tekanan sisi udara, (4.30) Nilai didapatkan dari Gambar 4.20 dengan nilai.

37 Gambar 4.20 Penurunan tekanan statik udara.[7] Nilai didapatkan dari Gambar 4.21 dengan garis berwarna merah untuk nilai temperatur udara rata-rata, (4.31) Gambar 4.21 Kurva rasio massa jenis udara.[7]

38 Dengan nilai, nilai adalah 0, Menghitung volume udara aktual pada sisi masuk kipas, ACFM (4.32) Nilai didapatkan juga dari Gambar 4.21 dengan garis berwarna biru, tetapi dengan nilai temperatur udara masuk,. 20. Menghitung perkiraan tekanan total kipas, PF (4.33) Di mana pada Menghitung perkiraan daya per kipas dengan asumsi efisiensi kipas 0,75. (4.34) 22. Menghitung daya per kipas dengan asumsi efisiensi speed reducer. (4.35)

39 Sehingga daya kipas total yang diperlukan untuk 6 buah kipas adalah 216,96 kw. Hasil dari perancangan kondensor berpendingin udara dengan metode GPSA yang bermanfaat sebagai masukan data pada paket program HYSYS adalah - Penurunan tekanan di dalam pipa 10,14 kpa - Penurunan tekanan udara 0,236 kpa - Temperatur udara keluar 41,69 o C - Daya kipas total 216,96 kw Hasil perancangan termal yang lain adalah: - Diameter kipas 14,92 ft = 4,55 m - Panjang tube 45 ft = 13,72 m - Lebar bay (bay width) 58,24 ft = 17,75 m - Jumlah baris tube 6 buah - Diameter tube 1 inch Gambar 4.22 menunjukan tampak atas dari kondensor berpendingin udara. Gambar 4.22 Tampilan atas kondensor berpendingin udara.[7]

40 4.6 Koreksi Daya Netto Setelah Proses Perancangan Setelah semua proses perancangan termal untuk evaporator, preheater, dan kondensor berpendingin udara selesai dilaksanakan. Kondisi operasi yang dihasilkan sedikit berubah khususnya nilai daya netto. Setelah dilakukan koreksi terhadap nilai-nilai yang berubah (penurunan tekanan, temperatur, laju massa, dan lain-lain) pada proses simulasi dengan paket program HYSYS, maka akan didapatkan kondisi optimum yang dapat menghasilkan daya maksimum. Daya netto awal siklus cetus-biner dengan fluida kerja i-pentana sebelum dilakukan koreksi adalah 3077,64 kw dengan distribusi daya 962,60 kw dari siklus cetus dan 2151,04 kw dari siklus biner atau secara persentase 30 % dihasilkan siklus cetus dan 70 % dihasilkan oleh siklus biner. Daya total yang diperlukan oleh kipas pendingin pada kondensor berpendingin udara dalam siklus biner adalah 131,3 kw. Sedangkan dari hasil perancangan kondensor berpendingin udara dengan metode GPSA didapatkan bahwa daya yang diperlukan kipas adalah 216,96 kw, berbeda 85,66 kw. Oleh karena itu, daya netto yang didapat dari proses simulasi dengan paket program HYSYS perlu dikoreksi, sehingga menjadi 2991,98 kw (dengan persentase 32% dari siklus cetus dan 68% dari siklus biner). Nilainya berbeda 2,8% dengan kondisi awal hasil proses simulasi. Ada baiknya bila nilai dari efisiensi termal dan efisiensi utilisasi dari PLTP ini ditentukan juga. Model siklus cetus-biner diberikan pada Gambar Nilai efisiensi termal (η t ) adalah perbandingan antara daya netto yang dihasilkan dengan panas yang diberikan ke dalam sistem. (4.36) = = 12,29 %

41 Gambar 4.23 Model siklus cetus-biner dengan paket program HYSYS.

42 Apabila diperhitungkan untuk siklus cetus saja, diperoleh nilai η t = 13,41%, sedangkan untuk siklus biner saja diperoleh nilai η t = 11,58%. Nilai efisiensi sistem siklus cetus-biner mendekati nilai rata-ratanya. Dapat dilihat bahwa nilai efisiensi termal (η t ) dari siklus cetus lebih tinggi dibandingkan siklus biner. Nilai efisiensi termal menunjukan seberapa besar daya yang dapat dihasilkan dengan masukan panas tertentu. Nilai efisiensi utilisasi menunjukan seberapa besar potensi yang ada/dimiliki dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. (4.37) T = temperatur udara sekitar di Lahendong-Sulawesi Utara (28 o C) h o dan s o = nilai entalpi dan entropi fluida kerja bila dianalisis pada keadaan sekitar (P = 96 kpa dan T = 28 o C) Apabila dilakukan perhitungan efisiensi utilisasi untuk siklus cetus saja diperoleh nilai η u = 7,42 %, sedangkan untuk siklus biner saja η u = 15,64 %. Nilai efisiensi sistem merupakan penjumlahan antara nilai efisiensi siklus cetus dengan siklus biner.

43 4.7 Perbandingan Daya Netto, Efisiensi Termal, dan Efisiensi Utilisasi Dengan Siklus Biner Selain tugas akhir ini, dilakukan pula kajian yang berbeda, yaitu kajian siklus biner oleh Joan Gozaly [20]. Data sumber yang digunakan adalah sama, hanya proses kajiannya yang berbeda. Untuk itu dibandingkan nilai daya netto maksimum, efisiensi termal, dan efisiensi utilisasinya. Untuk siklus biner, didapatkan data sebagai berikut: Daya netto maksimum siklus biner 2,7 MW. Efisiensi termal siklus biner 11,99 %. Efisiensi utilisasi siklus biner 21,57 %. Sedangkan nilai daya netto maksimum, efisiensi termal, dan efisiensi utilisasi yang dihasilkan dengan siklus cetus-biner adalah Daya netto maksimum siklus cetus-biner 2,99 MW (32% dari siklus cetus dan 68 % dari siklus biner). Efisiensi termal siklus cetus-biner 12,29 %. Efisiensi utilisasi siklus cetus-biner 23,06 %. Siklus cetus-biner dapat menghasilkan daya netto, efisiensi termal, dan efisiensi utilisasi yang lebih besar dibandingkan siklus biner. Apabila dilakukan proses pemilihan siklus mana yang lebih menguntungkan secara cepat, penulis akan memilih siklus biner, karena daya yang dihasilkan lebih besar. Dari hasil kajian yang dilakukan pada siklus cetus-biner, dapat diketahui bahwa kontribusi daya netto maksimum yang dihasilkan oleh siklus biner lebih besar dibandingkan siklus cetus. Untuk memperoleh hasil yang lebih tepat diperlukan kajian ekonomi yang lebih mendalam untuk menentukan siklus mana yang lebih menguntungkan untuk digunakan.

Gambar 2.1 Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit. Gambar 2.22 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana.

Gambar 2.1 Skema siklus cetus tunggal sederhana pada sistem pembangkit. Gambar 2.22 Diagram T-s untuk siklus cetus tunggal sederhana. BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam bentuk batuan atau fluida yang terkandung di bawah permukaan bumi. Energi panas bumi telah dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

BAB 3 SIMULASI SIKLUS CETUS-BINER PADA PLTP

BAB 3 SIMULASI SIKLUS CETUS-BINER PADA PLTP BAB 3 SIMULASI SIKLUS CETUS-BINER PADA PLTP 3.1 Pemilihan Persamaan Tingkat Keadaan Memilih persamaan tingkat keadaan yang sesuai merupakan hal yang penting pada langkah awal proses simulasi. Persamaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan Panas Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu di antara benda atau material.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan Panas Perpindahan kalor adalah ilmu yang mempelajari berpindahnya suatu energi (berupa kalor) dari suatu sistem ke sistem lain karena adanya perbedaan temperatur.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Heat Exchanger (HE) Heat Exchanger (HE) adalah alat penukar panas yang memfasilitasi pertukaran panas antara dua cairan pada temperatur yang berbeda

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 HE Shell and tube Penukar panas atau dalam industri populer dengan istilah bahasa inggrisnya, heat exchanger (HE), adalah suatu alat yang memungkinkan perpindahan dan bisa berfungsi

Lebih terperinci

Tekad Sitepu, Sahala Hadi Putra Silaban Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Tekad Sitepu, Sahala Hadi Putra Silaban Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR (HRSG) YANG MEMANFAATKAN GAS BUANG TURBIN GAS DI PLTG PT. PLN (PERSERO) PEMBANGKITAN DAN PENYALURAN SUMATERA BAGIAN UTARA SEKTOR BELAWAN Tekad Sitepu, Sahala Hadi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

Pengaruh Pemilihan Jenis Material Terhadap Nilai Koefisien Perpindahan Panas pada Perancangan Heat Exchanger Shell-Tube dengan Solidworks

Pengaruh Pemilihan Jenis Material Terhadap Nilai Koefisien Perpindahan Panas pada Perancangan Heat Exchanger Shell-Tube dengan Solidworks Pengaruh Pemilihan Jenis Material Terhadap Nilai Koefisien Perpindahan Panas pada Perancangan Heat Exchanger Shell-Tube dengan Solidworks Arif Budiman 1,a*, Sri Poernomo Sari 2,b*. 1,2) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011, bertempat di Laboratorium Surya, Bagian Teknik Energi Terbarukan, Departemen

Lebih terperinci

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Mirza Quanta Ahady Husainiy 2408100023 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin

Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-132 Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin Anson Elian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1] BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini kelangkaan sumber energi fosil telah menjadi isu utama. Kebutuhan energi tersebut setiap hari terus meningkat. Maka dari itu, energi yang tersedia di bumi

Lebih terperinci

ANALISA DESAIN DAN PERFORMA KONDENSOR PADA SISTEM REFRIGERASI ABSORPSI UNTUK KAPAL PERIKANAN

ANALISA DESAIN DAN PERFORMA KONDENSOR PADA SISTEM REFRIGERASI ABSORPSI UNTUK KAPAL PERIKANAN ANALISA DESAIN DAN PERFORMA KONDENSOR PADA SISTEM REFRIGERASI ABSORPSI UNTUK KAPAL PERIKANAN Jurusan Teknik Sistem Perkapalan Fakultas Teknologi Keluatan Institut Teknolgi Sepuluh Nopember Surabaya 2011

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Prinsip dan Teori Dasar Perpindahan Panas Panas adalah salah satu bentuk energi yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN 56 BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN 4.1 Analisa Varian Prinsip Solusi Pada Varian Pertama dari cover diikatkan dengan tabung pirolisis menggunakan 3 buah toggle clamp, sehingga mudah dan sederhana dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 83 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari perancangan berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan: 1. Untuk Organic Rankine Cycle alat penukar kalor yang biasa digunakan

Lebih terperinci

PERANCANGAN KOMPRESOR TORAK UNTUK SISTEM PNEUMATIK PADA GUN BURNER

PERANCANGAN KOMPRESOR TORAK UNTUK SISTEM PNEUMATIK PADA GUN BURNER TUGAS SARJANA MESIN FLUIDA PERANCANGAN KOMPRESOR TORAK UNTUK SISTEM PNEUMATIK PADA GUN BURNER OLEH NAMA : ERWIN JUNAISIR NIM : 020401047 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE... JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv... vi DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR GRAFIK...xiii DAFTAR TABEL... xv NOMENCLATURE... xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN POTENSI KHUSUS

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN POTENSI KHUSUS 47 BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN POTENSI KHUSUS 4.1 PENDAHULUAN Bab ini menampilkan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan masing-masing variabel yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hasil pengukuran

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN SISTEM BAB III PERANCANGAN SISTEM 3.1 Batasan Rancangan Untuk rancang bangun ulang sistem refrigerasi cascade ini sebagai acuan digunakan data perancangan pada eksperiment sebelumnya. Hal ini dikarenakan agar

Lebih terperinci

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 27 BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR 4.1 Pemilihan Sistem Pemanasan Air Terdapat beberapa alternatif sistem pemanasan air yang dapat dilakukan, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab 2.2.1 mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijabarkan mengenai penukar panas (heat exchanger), mekanisme perpindahan panas pada heat exchanger, konfigurasi aliran fluida, shell and tube heat exchanger,

Lebih terperinci

UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI LAJU PERPINDAHAN KALOR DAN PENURUNAN TEKANAN PENGARUH JARAK BAFFLE

UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI LAJU PERPINDAHAN KALOR DAN PENURUNAN TEKANAN PENGARUH JARAK BAFFLE UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI LAJU PERPINDAHAN KALOR DAN PENURUNAN TEKANAN PENGARUH JARAK BAFFLE PADA ALAT PENUKAR KALOR TABUNG CANGKANG DENGAN SUSUNAN TABUNG SEGITIGA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Perhitungan Daya Motor 4.1.1 Torsi pada poros (T 1 ) T3 T2 T1 Torsi pada poros dengan beban teh 10 kg Torsi pada poros tanpa beban - Massa poros; IV-1 Momen inersia pada poros;

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Single Flash System

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Single Flash System 32 BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Single Flash System PLTP Gunung Salak merupakan PLTP yang berjenis single flash steam system. Oleh karena itu, seperti yang

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-192 Studi Numerik Pengaruh Baffle Inclination pada Alat Penukar Kalor Tipe Shell and Tube terhadap Aliran Fluida dan Perpindahan

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator

BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR Perencanaan Modifikasi Evaporator BAB III PERANCANGAN EVAPORATOR 3.1. Perencanaan Modifikasi Evaporator Pertumbuhan pertumbuhan tube ice mengharuskan diciptakannya sistem produksi tube ice dengan kapasitas produksi yang lebih besar, untuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi

DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN INTISARI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN i ii iii iv v vi viii x xii

Lebih terperinci

ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK

ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK ANALISA PERPINDAHAN KALOR PADA KONDENSOR PT. KRAKATAU DAYA LISTRIK Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada program Studi Teknik Mesin Oleh N a m a : CHOLID

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROGRAM KOMPUTASI PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL & TUBE DENGAN FLUIDA PANAS OLI DAN FLUIDA PENDINGIN AIR

PENYUSUNAN PROGRAM KOMPUTASI PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL & TUBE DENGAN FLUIDA PANAS OLI DAN FLUIDA PENDINGIN AIR PENYUSUNAN PROGRAM KOMPUTASI PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TIPE SHELL & TUBE DENGAN FLUIDA PANAS OLI DAN FLUIDA PENDINGIN AIR Afdhal Kurniawan Mainil, Rahmat Syahyadi Putra, Yovan Witanto Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Panas Perpindahan panas adalah Ilmu termodinamika yang membahas tentang transisi kuantitatif dan penyusunan ulang energi panas dalam suatu tubuh materi. perpindahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tujuan Dalam proses ini untuk menetukan hasil design oil cooler minyak mentah (Crude Oil) untuk jenis shell and tube. Untuk mendapatkan hasil design yang paling optimal untuk

Lebih terperinci

SKRIPSI / TUGAS AKHIR

SKRIPSI / TUGAS AKHIR SKRIPSI / TUGAS AKHIR ANALISIS PEMANFAATAN GAS BUANG DARI TURBIN UAP PLTGU 143 MW UNTUK PROSES DESALINASI ALBERT BATISTA TARIGAN (20406065) JURUSAN TEKNIK MESIN PENDAHULUAN Desalinasi adalah proses pemisahan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI PERPINDAHAN

Lebih terperinci

Tugas Akhir. Perancangan Hydraulic Oil Cooler. bagi Mesin Injection Stretch Blow Molding

Tugas Akhir. Perancangan Hydraulic Oil Cooler. bagi Mesin Injection Stretch Blow Molding Tugas Akhir Perancangan Hydraulic Oil Cooler bagi Mesin Injection Stretch Blow Molding Diajukan Guna Memenuhi Syarat Kelulusan Mata Kuliah Tugas Akhir Pada Program Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh:

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA KONDISI MESIN

BAB 4 ANALISA KONDISI MESIN BAB 4 ANALISA KONDISI MESIN 4.1. KONDENSOR Penggunaan kondensor tipe shell and coil condenser sangat efektif untuk meminimalisir kebocoran karena kondensor model ini mudah untuk dimanufaktur dan terbuat

Lebih terperinci

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES

BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES 34 BAB III SPESIFIKASI PERALATAN PROSES 3.1. Tangki Tangki Bahan Baku (T-01) Tangki Produk (T-02) Menyimpan kebutuhan Menyimpan Produk Isobutylene selama 30 hari. Methacrolein selama 15 hari. Spherical

Lebih terperinci

Udara. Bahan Bakar. Generator Kopel Kompresor Turbin

Udara. Bahan Bakar. Generator Kopel Kompresor Turbin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara Kerja Instalasi Turbin Gas Instalasi turbin gas merupakan suatu kesatuan unit instalasi yang bekerja berkesinambungan dalam rangka membangkitkan tenaga listrik. Instalasi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN UJI EKSPERIMENTAL OPTIMASI LAJU PERPINDAHAN KALOR DAN PENURUNAN TEKANAN AKIBAT PENGARUH LAJU ALIRAN UDARA PADA ALAT PENUKAR KALOR JENIS RADIATOR FLAT TUBE SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

PENERAPAN PERANGKAT LUNAK KOMPUTER UNTUK PENENTUAN KINERJA PENUKAR KALOR

PENERAPAN PERANGKAT LUNAK KOMPUTER UNTUK PENENTUAN KINERJA PENUKAR KALOR PENERAPAN PERANGKAT LUNAK KOMPUTER UNTUK PENENTUAN KINERJA PENUKAR KALOR Sugiyanto 1, Cokorda Prapti Mahandari 2, Dita Satyadarma 3. Jurusan Teknik Mesin Universitas Gunadarma Jln Margonda Raya 100 Depok.

Lebih terperinci

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian HRSG HRSG (Heat Recovery Steam Generator) adalah ketel uap atau boiler yang memanfaatkan energi panas sisa gas buang satu unit turbin gas untuk memanaskan air dan

Lebih terperinci

31 4. Menghitung perkiraan perpindahan panas, U f : a) Koefisien konveksi di dalam tube, hi b) Koefisien konveksi di sisi shell, ho c) Koefisien perpi

31 4. Menghitung perkiraan perpindahan panas, U f : a) Koefisien konveksi di dalam tube, hi b) Koefisien konveksi di sisi shell, ho c) Koefisien perpi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tujuan Dalam proses ini untuk menetukan hasil design oil cooler minyak mentah (Crude Oil) untuk jenis shell and tube. Untuk mendapatkan hasil design yang paling optimal untuk

Lebih terperinci

VERIFIKASI ULANG ALAT PENUKAR KALOR KAPASITAS 1 kw DENGAN PROGRAM SHELL AND TUBE HEAT EXCHANGER DESIGN

VERIFIKASI ULANG ALAT PENUKAR KALOR KAPASITAS 1 kw DENGAN PROGRAM SHELL AND TUBE HEAT EXCHANGER DESIGN VERIFIKASI ULANG ALAT PENUKAR KALOR KAPASITAS 1 kw DENGAN PROGRAM SHELL AND TUBE HEAT EXCHANGER DESIGN Harto Tanujaya, Suroso dan Edwin Slamet Gunadarma Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan energi listrik. Beberapa pembangkit listrik bertenaga panas

I. PENDAHULUAN. menghasilkan energi listrik. Beberapa pembangkit listrik bertenaga panas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi panas bumi (Geothermal) merupakan sumber energi terbarukan berupa energi thermal (panas) yang dihasilkan dan disimpan di dalam inti bumi. Saat ini energi panas

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE

TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE TUGAS AKHIR ANALISIS PENGARUH KECEPATAN ALIRAN FLUIDA TERHADAP EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA HEAT EXCHANGER JENIS SHELL AND TUBE Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Kurikulum Sarjana Strata Satu (S-1)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas 1. Jumlah Air yang Harus Diuapkan = = = 180 = 72.4 Air yang harus diuapkan (w v ) = 180 72.4 = 107.6 kg Laju penguapan (Ẇ v ) = 107.6 / (32 x 3600) =

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijabarkan mengenai penukar kalor, mekanisme perpindahan kalor pada penukar kalor, konfigurasi aliran fluida, shell and tube heat exchanger, bagian-bagian shell

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 PENGARUHCOOLANT BERBAHAN DASAR AIR DENGAN ETILEN GLIKOL TERHADAP UNJUK KERJA PERPINDAHAN PANAS DAN PENURUNAN TEKANAN RADIATOR OTOMOTIF SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan Panas/Kalor Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu di antara benda atau material.

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENUKAR KALOR TIPE PLATE P41 73TK Di PLTP LAHENDONG UNIT 2

EFEKTIVITAS PENUKAR KALOR TIPE PLATE P41 73TK Di PLTP LAHENDONG UNIT 2 EFEKTIVITAS PENUKAR KALOR TIPE PLATE P41 73TK Di PLTP LAHENDONG UNIT 2 Harlan S. F. Egeten 1), Frans P. Sappu 2), Benny Maluegha 3) Jurusan Teknik Mesin Universitas Sam Ratulangi 2014 ABSTRACT One way

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penggunaan energi surya dalam berbagai bidang telah lama dikembangkan di dunia. Berbagai teknologi terkait pemanfaatan energi surya mulai diterapkan pada berbagai

Lebih terperinci

Penyelesaian: x 1. Dik : x 2. =0,8m. K=100 N m. Dit : Q=? Jawab : ΣW =ΣQ. Usaha yang dilakukan pegas : dx x1. = F Pegas.

Penyelesaian: x 1. Dik : x 2. =0,8m. K=100 N m. Dit : Q=? Jawab : ΣW =ΣQ. Usaha yang dilakukan pegas : dx x1. = F Pegas. Contoh Soal 4.1 Sebuah pegas diregangkan sejauh 0,8 m dan dihubungkan ke sebuah roda dayung (Gbr 4-2). Roda dayung tersebut kemudian berputar sehingga pegas menjadi tidak teregang lagi. Hitunglah besarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan Panas Perpindahan panas adalah perpindahan energi karena adanya perbedaan temperatur. Perpindahan kalor meliputu proses pelepasan maupun penyerapan kalor, untuk

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN ANALISIS

BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN ANALISIS 19 BAB III PERANCANGAN SISTEM DAN ANALISIS 3.1 Kawasan Perumahan Batununggal Indah Kawasan perumahan Batununggal Indah merupakan salah satu kawasan hunian yang banyak digunakan sebagai rumah tinggal dan

Lebih terperinci

SKRIPSI ALAT PENUKAR KALOR

SKRIPSI ALAT PENUKAR KALOR SKRIPSI ALAT PENUKAR KALOR PERANCANGAN HEAT EXCHANGER TYPE SHELL AND TUBE UNTUK AFTERCOOLER KOMPRESSOR DENGAN KAPASITAS 8000 m 3 /hr PADA TEKANAN 26,5 BAR OLEH : FRANKY S SIREGAR NIM : 080421005 PROGRAM

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan MC-22. Pengujian kinerja Ac split TCL mengunakan refrigeran

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Blast Chiller Blast Chiller adalah salah satu sistem refrigerasi yang berfungsi untuk mendinginkan suatu produk dengan cepat. Waktu pendinginan yang diperlukan untuk sistem Blast

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut. BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi adalah suatu proses penarikan kalor dari suatu ruang/benda ke ruang/benda yang lain untuk menurunkan temperaturnya. Kalor adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia saat ini, hampir semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

Re-design dan Modifikasi Generator Cooler Heat Exchanger PLTP Kamojang Untuk Meningkatkan Performasi.

Re-design dan Modifikasi Generator Cooler Heat Exchanger PLTP Kamojang Untuk Meningkatkan Performasi. Re-design dan Modifikasi Generator Cooler Heat Exchanger PLTP Kamojang Untuk Meningkatkan Performasi. Nama : Ria Mahmudah NRP : 2109100703 Dosen pembimbing : Prof.Dr.Ir.Djatmiko Ichsani, M.Eng 1 Latar

Lebih terperinci

BAB III TUGAS KHUSUS

BAB III TUGAS KHUSUS BAB III TUGAS KHUSUS 3.1 Judul Menghitung Efisiensi Heat Exchanger E-108 A Crude Distiller III di Unit CD & GP PT. Pertamina (Persero) RU III Plaju Palembang. 3.2 Latar Belakang Heat Exchanger E-108 A

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP Perancangan sistem perpipaan

BAB VII PENUTUP Perancangan sistem perpipaan BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan Dari hasil perancangan dan analisis tegangan sistem perpipaan sistem perpipaan berdasarkan standar ASME B 31.4 (studi kasus jalur perpipaan LPG dermaga Unit 68 ke tangki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan panas Perpindahan panas adalah perpindahan energi karena adanya perbedaan temperatur. Ada tiga bentuk mekanisme perpindahan panas yang diketahui, yaitu konduksi,

Lebih terperinci

ANALISIS KEEFEKTIFAN ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SATU LALUAN CANGKANG DUA LALUAN TABUNG SEBAGAI PENDINGINAN OLI DENGAN FLUIDA PENDINGIN AIR

ANALISIS KEEFEKTIFAN ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SATU LALUAN CANGKANG DUA LALUAN TABUNG SEBAGAI PENDINGINAN OLI DENGAN FLUIDA PENDINGIN AIR ANALISIS KEEFEKTIFAN ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SATU LALUAN CANGKANG DUA LALUAN TABUNG SEBAGAI PENDINGINAN OLI DENGAN FLUIDA PENDINGIN AIR SKRIPSI Skripsi yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat

Lebih terperinci

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE BES

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE BES DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE BES Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

CC-THERM (Heat exchanger design and rating) ChemCAD Training Jurusan Teknik Kimia Universitas Surabaya (UBAYA) Surabaya, Februari 2006

CC-THERM (Heat exchanger design and rating) ChemCAD Training Jurusan Teknik Kimia Universitas Surabaya (UBAYA) Surabaya, Februari 2006 MODUL 13 CC-THERM (Heat exchanger design and rating) oleh : A.D.A. Feryanto (mantra_mantra_jingga@yahoo.com) ChemCAD Training Jurusan Teknik Kimia Universitas Surabaya (UBAYA) Surabaya, 13 18 Februari

Lebih terperinci

KAJIAN EKSPERIMENTAL KELAYAKAN DAN PERFORMA ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SINGLE PASS DENGAN METODE BELL DELAWARE

KAJIAN EKSPERIMENTAL KELAYAKAN DAN PERFORMA ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SINGLE PASS DENGAN METODE BELL DELAWARE B.9. Kajian eksperimental kelayakan dan performa... (Sri U. Handayani, dkk.) KAJIAN EKSPERIMENTAL KELAYAKAN DAN PERFORMA ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE SINGLE PASS DENGAN METODE BELL DELAWARE Sri

Lebih terperinci

TUGAS PRA PERANCANGAN PABRIK BIODIESEL DARI DISTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) DENGAN PROSES ESTERIFIKASI KAPASITAS 100.

TUGAS PRA PERANCANGAN PABRIK BIODIESEL DARI DISTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) DENGAN PROSES ESTERIFIKASI KAPASITAS 100. EXECUTIVE SUMMARY TUGAS PERANCANGAN PABRIK KIMIA TUGAS PRA PERANCANGAN PABRIK BIODIESEL DARI DISTILAT ASAM LEMAK MINYAK SAWIT (DALMS) DENGAN PROSES ESTERIFIKASI KAPASITAS 100.000 TON/TAHUN Oleh: RUBEN

Lebih terperinci

V. SPESIFIKASI ALAT. Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan

V. SPESIFIKASI ALAT. Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan V. SPESIFIKASI ALAT Pada lampiran C telah dilakukan perhitungan spesifikasi alat-alat proses pembuatan pabrik furfuril alkohol dari hidrogenasi furfural. Berikut tabel spesifikasi alat-alat yang digunakan.

Lebih terperinci

Analisa Pengaruh Variasi Pinch Point dan Approach Point terhadap Performa HRSG Tipe Dual Pressure

Analisa Pengaruh Variasi Pinch Point dan Approach Point terhadap Performa HRSG Tipe Dual Pressure JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-137 Analisa Pengaruh Variasi Pinch Point dan Approach Point terhadap Performa HRSG Tipe Dual Pressure Ryan Hidayat dan Bambang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan energi panas bumi.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan energi panas bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan energi panas bumi. Potensi panas bumi di Indonesia mencapai 27.000 MWe yang tersebar di Sumatera bagian

Lebih terperinci

BAB lll METODE PENELITIAN

BAB lll METODE PENELITIAN BAB lll METODE PENELITIAN 3.1 Tujuan Proses ini bertujuan untuk menentukan hasil design oil cooler pada mesin diesel penggerak kapal laut untuk jenis Heat Exchager Sheel and Tube. Design ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendinginan untuk mendinginkan mesin-mesin pada sistem. Proses pendinginan

BAB I PENDAHULUAN. pendinginan untuk mendinginkan mesin-mesin pada sistem. Proses pendinginan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Salah satu proses dalam sistem pembangkit tenaga adalah proses pendinginan untuk mendinginkan mesin-mesin pada sistem. Proses pendinginan ini memerlukan beberapa kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan pengerjaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan Penelitian Pada tahapan ini akan dilakukan studi literatur dan pendalaman

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh proses reaksi dalam pabrik asam sulfat tersebut digunakan Heat Exchanger

BAB I PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh proses reaksi dalam pabrik asam sulfat tersebut digunakan Heat Exchanger BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam proses produksi Asam Sulfat banyak menimbulkan panas. Untuk mengambil panas yang ditimbulkan oleh proses reaksi dalam pabrik asam sulfat tersebut digunakan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI Oleh ILHAM AL FIKRI M 04 04 02 037 1 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN.

BAB III PERANCANGAN. BAB III PERANCANGAN 3.1 Beban Pendinginan (Cooling Load) Beban pendinginan pada peralatan mesin pendingin jarang diperoleh hanya dari salah satu sumber panas. Biasanya perhitungan sumber panas berkembang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda BAB II DASAR TEORI 2.1 Benih Kedelai Penyimpanan benih dimaksudkan untuk mendapatkan benih berkualitas. Kualitas benih yang dapat mempengaruhi kualitas bibit yang dihubungkan dengan aspek penyimpanan adalah

Lebih terperinci

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN 0 o, 30 o, 45 o, 60 o, 90 o I Wayan Sugita Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta e-mail : wayan_su@yahoo.com ABSTRAK Pipa kalor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi selalu memainkan peranan penting dalam perkembangan hidup manusia dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Contohnya, bahan bakar kayu telah digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perpindahan Panas Panas atau kalor merupakan salah satu bentuk energi. Panas dapat berpindah dari suatu zat ke zat lain. Panas dapat berpndah melalui tiga cara yaitu : 2.1.1

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya BAB II DASAR TEORI 2.1 Hot and Cool Water Dispenser Hot and cool water dispenser merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondisikan temperatur air minum baik dingin maupun panas. Sumber airnya berasal

Lebih terperinci

HALAMAN PERSETUJUAN. Laporan Tugas Akhir ini telah disetujui oleh pembimbing Tugas Akhir untuk

HALAMAN PERSETUJUAN. Laporan Tugas Akhir ini telah disetujui oleh pembimbing Tugas Akhir untuk HALAMAN PERSETUJUAN Laporan Tugas Akhir ini telah disetujui oleh pembimbing Tugas Akhir untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik (S-1) di Jurusan

Lebih terperinci

PERANCANGAN TURBIN UAP PENGGERAK GENERATOR LISTRIK DENGAN DAYA 80 MW PADA INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS UAP

PERANCANGAN TURBIN UAP PENGGERAK GENERATOR LISTRIK DENGAN DAYA 80 MW PADA INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS UAP PERANCANGAN TURBIN UAP PENGGERAK GENERATOR LISTRIK DENGAN DAYA 80 MW PADA INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS UAP SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG KESETIMBANGAN ENERGI Konsep dan Satuan Perhitungan Perubahan Entalpi Penerapan Kesetimbangan Energi Umum

Lebih terperinci

Karakteristik Perpindahan Panas dan Pressure Drop pada Alat Penukar Kalor tipe Pipa Ganda dengan aliran searah

Karakteristik Perpindahan Panas dan Pressure Drop pada Alat Penukar Kalor tipe Pipa Ganda dengan aliran searah Karakteristik Perpindahan Panas dan Pressure Drop pada Alat Penukar Kalor tipe Pipa Ganda dengan aliran searah Mustaza Ma a 1) Ary Bachtiar Krishna Putra 2) 1) Mahasiswa Program Pasca Sarjana Teknik Mesin

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Teknik ALEXANDER SEBAYANG NIM :

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Teknik ALEXANDER SEBAYANG NIM : PERANCANGAN KONDENSOR TURBIN UAP (ST.1.0) DENGAN DAYA 65 MW DI PLTGU BLOK I PT.PLN (PERSERO) PEMBANGKITAN SUMATERA BAGIAN UTARA SEKTOR PEMBANGKIT BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan refrigeran MC-22. Pengujian kinerja Ac split

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE AES

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE AES DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE AES Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pemanasan atau pendinginan fluida sering digunakan dan merupakan kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang elektronika. Sifat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

Numerical Study of Shell-And-Tube Heat Exchanger Characteristicsin Laminar Flow with Single Segmental Baffle

Numerical Study of Shell-And-Tube Heat Exchanger Characteristicsin Laminar Flow with Single Segmental Baffle Numerical Study of Shell-And-Tube Heat Exchanger Characteristicsin Laminar Flow with Single Segmental Baffle Novan Ardhiyangga 1 *, Teguh Hady Ariwibowo 2, dan Prima Dewi Permatasari 2 Program Studi Sistem

Lebih terperinci

OPTIMASI SHELL AND TUBE KONDENSOR DAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA AC UNTUK PEMANAS AIR

OPTIMASI SHELL AND TUBE KONDENSOR DAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA AC UNTUK PEMANAS AIR OPTIMASI SHELL AND TUBE KONDENSOR DAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS TERBUANG PADA AC UNTUK PEMANAS AIR Jainal Arifin Program Studi Teknik Mesin, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin Email : jainalarifin804@gmail.com

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIFITAS ALAT PENUKAR KALOR SHELL & TUBE DENGAN MEDIUM AIR SEBAGAI FLUIDA PANAS DAN METHANOL SEBAGAI FLUIDA DINGIN

ANALISIS EFEKTIFITAS ALAT PENUKAR KALOR SHELL & TUBE DENGAN MEDIUM AIR SEBAGAI FLUIDA PANAS DAN METHANOL SEBAGAI FLUIDA DINGIN ANALISIS EFEKTIFITAS ALAT PENUKAR KALOR SHELL & TUBE DENGAN MEDIUM AIR SEBAGAI FLUIDA PANAS DAN METHANOL SEBAGAI FLUIDA DINGIN SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 8 BAB I PENDAHULUAN 11 Latar Belakang Energi memiliki peranan penting dalam menunjang kehidupan manusia Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan akan energi pun terus meningkat Untuk dapat memenuhi

Lebih terperinci

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE CES

DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE CES DESAIN DAN ANALISIS ALAT PENUKAR KALOR TIPE CES Tugas Akhir Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci