BAB I PENDAHULUAN. ketidaknormalan, penyimpangan dan kelainan yang mengerikan. Tak terkecuali
|
|
- Sukarno Irawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fanatisme dan ekstrimisme adalah dua istilah yang dalam ingatan publik masyarakat terlanjur memiliki konotasi negatif. Keduanya lekat dengan kondisi ketidaknormalan, penyimpangan dan kelainan yang mengerikan. Tak terkecuali ketika fanatisme dan ekstrimisme menjadi salah satu tema yang ramai diperbincangkan publik pasca peristiwa mengerikan 11 September Kala itu, media massa seolah tak ada habisnya membahas dan membicarakan problem ekstrimisme dan bagaimana upaya penanganannya. Banyak pula tokoh dan pakar terlibat dalam perdebatan tersebut. Beragam pandangan pun bermunculan. Sebagian besar intelektual dan literatur populer mengidentifikasi ekstrimisme dan fanatisme sebagai cermin dari irasionalitas dan intoleransi dan pada tahap tertentu dianggap berlawanan dengan demokrasi. Joel Olson, seorang profesor bidang teori politik di Universitas Northern Arizona, barangkali satu dari sedikit figur yang keberatan dengan anggapan dominan di atas. Dari pada ikut arus, Olson justru mengkritisi pandangan umum yang disebutnya dengan istilah tradisi peyoratif fanatisme. Fanatisme, dalam kerangka tradisi peyoratif, tak lebih dari bentuk pathologi psikologis atau problem moral individual (Olson, 2007:686). Dengan kata lain, tradisi peyoratif yang memiliki akar hingga jauh ke era Yunani Kuno ini memandang fanatisme sebagai sebuah kategori yang berada di luar arena politik. Tradisi ini juga mengasumsikan bahwa fanatisme merupakan ideologi anti demokrasi sehingga eksistensinya 1
2 mengancam proses demokratisasi. Akibatnya tradisi peyoratif pun gagal menemukan potensi politik dari fanatisme dan ekstrimisme (Olson, 2007:688). Persis pada pandangan pre politikal inilah, menurut Olson, letak kelemahan mendasar tradisi peyoratif. Bertolak dari ketidakcukupan cara pandang tradisi peyoratif, Olson memikirkan ulang fenomena ekstrimisme dan fanatisme. Terinspirasi gagasan dan pemikiran gerakan abolisionis radikal Amerika abad 19 Garrisonian, Olson berusaha merumuskan teori politik fanatisme, sebuah teori yang memahami fanatisme sebagai sebuah kategori aktivitas politik. Bagi Olson fanatisme adalah the unconventional, extraordinary political mobilization of the refusal to compromise. Secara lebih lengkap Olson mendefinisikan fanatisme sebagai aktivitas politik yang didorong oleh semangat pengabdian pada sebuah tujuan tertentu, yang membuat batas tegas anatara kawan lawan untuk memobilisasi kawan dan golongan moderat dalam rangka meraih tujuan tersebut (Olson, 2007:688). Pada konteks pemikiran politik lebih luas Olson melalui ide politiknya tengah menggemakan kembali pemikiran politik yang dikemukakan oleh tokohtokoh seperti Carl Schmitt, pemikir Jerman yang dikenal sangat kontroversial lantaran afiliasinya dengan partai Nazi atau pemikir kelahiran Belgia, Chantal Mouffe. Inti dari gagasan politik Olson, Schmitt dan Mouffe terletak pada ide bahwa konflik merupakan watak dasar politik. Harmoni bukanlah mimik tepat untuk melukiskan wajah politik. Justru politik merupakan altar yang tetal dan pejal dengan gesekan antara pihak-pihak yang saling bersitegang. 2
3 Pemikiran politik antagonisme diklaim sebagai sebuah konsepsi politik yang bukan saja berbeda tetapi juga melawan pemikiran politik liberal yang dominan. Teori kontemporer liberal, komunitarian dan demokrasi deliberatif cenderung menolak konflik sebagai central politik. Sebaliknya, teori-teori tersebut mengkontruksi gagasan politik sebagai stabilisasi moral dan subjek politik, pembentukan konsensus, pemeliharaan kesepakatan dan konsolidasi komunitas dan identitas. (Honig dalam Olson 2009:87). Salah satu ide yang paling subur dan berkembang dari model pemikiran di atas adalah teori yang sering diasosiasikan dengan istilah demokrasi deliberatif. Gutmann dan Thompson menyebutkan bahwa tidak ada subjek yang paling banyak diperbincangkan dalam teori politik selama dua dekade belakangan kecuali demokrasi delibratif (2004:VII). Teori ini menekankan bahwa, seperti ditulis William Rehg, partisipasi warga dalam proses demokrasi memiliki karakter rasional melalui proses pembentukan opini dan interaksi dimana para warga memberikan argumen yang lebih baik dan mencakup kepentingan lebih umum (Rehg dalam Habermas 1996:IX). Secara fundamental, politik liberal mengasumsikan adanya resolusi perbedaan diantara warga melalui diskursus rasional. Dengan bahasa berbeda, semua warga secara potensial adalah kawan. Kehadiran gagasan-gagasan Olson di tengah dominasi teori politik kontemporer yang cenderung memahami politik sebagai konsensus menjadi magnet tersendiri bagi penelitian yang akan dilakukan penulis. Dengan kata lain, penelitian ini didorong sikap afirmatif penulis terhadap kebutuhan adanya sebuah perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori demokrasi yang 3
4 mengutamakan nilai-nilai konsensus yang pada kondisi tertentu berubah menjadi kompromi. Penelitian ini berusaha untuk menelaah pokok-pokok pemikiran politik Joel Olson dari kaca mata teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe. Teori post-marxist muncul sebagai reaksi intelektual atas kondisi krisis marxisme ortodoks. Post-marxist menawarkan konsep hegemoni sebagai kategori baru dalam merespon hambatan-hambatan yang dialami oleh marxisme dan sebagai usaha untuk menghidupkan kembali warisan marxisme dalam konteks masyarakat kontemporer (Laclau, 2000:294). Penelitian ini fokus pada; pertama rumusan teori politik ras Olson, dengan kata lain berkenaan dengan metode atau pendekatan yang digunakan Olson dalam menganalisa fenomena rasisme yang berlangsung di Amerika dan kedua pemahaman Olson mengenai hakikat atau watak dasar dari politik. Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk menemukan posisi intelektual dan pemikiran politik Joel Olson dalam konteks teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe. 1. Rumusan Masalah Mengacu pada pemaparan latar belakang di atas, penelitian ini akan dipandu rumusan masalah, sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep politik radikal menurut Joel Olson? 2. Bagaimana teori politik post-marxisme menurut Laclau dan Mouffe? 3. Bagaimana teori politik ras Joel Olson dari sudut pandang teori postmarxist Laclau dan Mouffe? 4. Apakah hakikat politik menurut Joel Olson dalam perspektif teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe? 4
5 2. Keaslian Penelitian Telaah pemikiran politik Joel Olson belum pernah dilakukan atau sekurang-kurangnya, berdasarkan penelusuran di beberapa fakultas di Universitas Gadjah Mada dan pencarian melalui media darling, penulis belum menemukan kajian tersebut. 3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, yakni: a. Bagi ilmu pengetahuan: turut berkontribusi terhadap penkayaan khazanah intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia terutama dalam bidang kajian ilmu politk. b. Bagi studi filsafat: memberikan perspektif penyeimbang bagi teoriteori filsafat politik kontemporer demokrasi yang didominasi pandangan dan perspektif teori politik liberal. c. Bagi kehidupan sosial-masyarakat: Menyediakan pilihan atau referensi alternatif dalam rangka melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat demokratis yang lebih substantif. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi rumusan masalah di atas, sehingga memeroleh uraian utuh tentang beberapa hal berikut: 1. Penjelasan struktur dan bentuk konsep politik radikal Olson 5
6 2. Deskripsi konseptual teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe. 3. Analisis dan penjelasan teori post-marxist Laclau dan Mouffe tentang teori politik ras Olson. 4. Analisis, pemahaman, dan penjelasan hakikat politik menurut pandangan Joel Olson dari perspektif teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe. C. Tinjauan Pustaka Istilah fanatisme atau fanatik berasal dari kata Latin fanum, yang berarti tempat suci (tample, holy place). Cicero ( BC) menggunakan kata fanaticus sebagai sinonim dari takhayul (supertitious) (Colas, 1997). Meski telah dipakai di era sebelum masehi, fanatisme baru menjadi term penting pada abad Diskursus fanatisme muncul dari perdebatan ideologi, teologi dan politik yang menyertai gelombang Reformasi. Tepatnya, polemik antara Luther, pendiri Protestanisme, dengan pergerakan pemberontakan petani melawan bangsawan Jerman. Terinspirasi oleh ajaran dan khotbah Thomas Muntzer, gerakan tersebut menolak otoritas kerajaan dan gereja. Luther menggunaan istilah Schwärmer dari kata Schwärmerei atau entusiasme yang sering dialihbahasakan menjadi fanatisme untuk mengutuk dan mencela para pemberontak lantaran melawan tatanan sosial yang ada. Sementara, mengikuti komentar-komentar Philip Melanchthon, teman sekaligus pengikut setia Luther, terhadap karya Aristoteles, Politics, fanatik berarti usaha untuk mengeliminasi otoritas civil society. 6
7 (Toscano, 2006). Dengan kata lain, pada periode awal kemunculan diskursus fanatisme, istilah ini sering dilawankan dengan gagasan civil society. Kajian mengenai oposisi fanatisme dan civil society dapat dijumpai dalam buku Civil Society and Fanaticism; Conjoined Histories, karya Dominique Colas, profesor politik di Paris Institute of Political Studies. Colas melakukan tilikan sejarah konsep civil society dan fanatisme hingga periode awal ketegangan keduanya dimulai; yakni era humanisme pencerahan dan Reformasi Protestan. Menurut Colas, sejak era itu, civil society dan fanatisme telah saling mendefinisikan satu sama lain, sehingga memahami relasi antara keduanya menjadi sangat penting dalam rangka memperoleh pengertian kedua term secara tepat dan relevan. Colas juga mengklaim bahwa hubungan antara fanatisme dan civil society tersebut akan menjelaskan pertanyaan besar dalam politik (Colas, 1997: XV), sehingga bagi Colas, penjelasan tentang labelisasi fanatisme dan semua definisi dari bentuknya yang spesifik mesti diletakkan pada jantung konsepsi politik modern. Meski fanatisme adalah isu kuno, namun fanatisme dapat dijumpai pada inti dari bentuk politik kekinian (Colas, 1997:6). Di sini, Colas mempertimbangkan fanatisme sebagai fenomena dan tema penting politik. Penelusuran Colas terhadap sejarah fanatisme dan konteks intelektual yang menyertai menemukan adanya keajekan dari semua definisi fanatisme: penolakan terhadap bentuk reprentasi. Adapun, rupa paling elementer dari penolakan tersebut adalah Ikonoklasme dalam arti harfiah; kebencian dan penghancuran ikon dan gambar-gambar (Colas, 1997: XVI). Ikonoklasme sendiri merupakan sebutan bagi gerakan anti-simbolisasi, seperti lukisan atau patung, dalam tradisi gereja katolik. 7
8 Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari reformasi protestan. Penolakan terhadap simbolisasi diekspresikan melalui penyerangan dan penghancuran simbol-simbol yang ada di dalam gereja katolik. Pengikut ikonoklasme melihat simbolisasi sebagai ancaman bagi iman dan representasi sebagai polusi bagi otentisitas keilahian. Fanatisme, bagi Colas, berpagutan erat dengan ancaman terhadap sakralitas (sacrilegious). Fanatik adalah profanasi: menyerang tempat suci, mencemari relik, menentang segala sesuatu yang tabu dan mengutuk tuhan orang lain (Colas, 1997:5). Selain itu, buku yang ditulis di bawah kerangka argumen politik yang mendukung eksistensi masyarakat liberal ini memuat, secara cukup detail, perubahan atau peralihan makna dan maksud fanatisme. Salah satu perubahan menarik yang dijelaskan Colas adalah saat fanatisme pengikut gerakan pemberontakan petani (Peasant War) identik dengan umpatan dan cacian pada periode Reformasi, justru mendapat pujian di era setelah 300 tahun peristiwa itu meletus. Friedrich Engels menyebut fanatisme pemberontakan petani 1625 sebagai nenek moyang dari komunisme proletariat modern (Colas, 1997:XX). Peralihan dan mutasi arti fanatisme menjadi sangat peting dipahami guna menghidari karakter bias yang selama ini melekat pada istilah fanatisme Upaya serupa telaah fanatisme dari aspek historis juga dilakukan oleh sosiolog dari University of London, Alberto Toscano. Sekurang-kurangnya, ada dua karya Toscano yang berkaitan dengan tema fanatisme. Pertama, esai pendek yang dimuat dalam jurnal Reset tahun 2006 berjudul Fanaticism: A Brief History of the Concept, kedua adalah buku Fanaticism: on the Uses of an Idea. 8
9 Tulisan pertama, seperti yang nampak dari judul, memuat uraian singkat tentang sejarah fanatisme dari Luther sampai sekarang dalam kerangka pendekatan filsafat. Menurut Toscano, pendekataan filosofi sejarah fanatisme mampu menguak banyak sisi dari fenomena fanatisme sekaligus memulai kritik terhadap fungsi retoris dan analitik (Toscano,2006). Dalam tulisan tersebut, Toscano menilik momen-momen penting dalam sejarah polemik konsep fanatisme, saat-saat yang memungkinkan untuk mengenali kegigihan motif dalam wacana fanatisme, termasuk psikologi politik, problem universal dan citra islam (Toscano,2006). Secara filosofis, respon terhadap fanatisme dapat dikategorisasikan ke dalam dua golongan umum yakni; pertama, para pemikir yang menganggap fanatisme berada di luar rasionalitas, sebuah ancaman terusmenerus dari pathologi partisan, kedua, mereka yang melihat gairah abstrak yang tanpa syarat dan pantang menyerah sebagai sesuatu yang instrinsik pada universalisasi rasionalitas dan emansipasi politik (Toscano, 2010:XVIII). Singkatnya, di satu pihak, pemikiran filsafat melihat fanatisme sebagai sesuatu yang berada di luar rasio sedangkan di lain pihak justru mempertimbangkan fanatisme melekat dalam rasio. Karya kedua Toscano tentang fanatisme yang terbit tahun 2010 sebenarnya lebih merupakan penegasan dan penajaman dari tulisan sebelumnya. Buku ini, seperti yang sampaikan Toscano dalam sebuah wawancara oleh majalah Shift, memang tidak menguraikan sebuah teori fanatisme yang utuh tetapi sebuah analisa kritis periode dalam sejarah intelektual dan politik dimana fanatisme memainkan peran penting. Menurut pandangan Toscano, sejarah konseptual 9
10 fanatisme memperlihatkan, secara sistematis, sebuah istilah yang ambivalen atau bahkan paradoks yang dikerahkan untuk menentang universalisme berlebihan dan keteguhan partikularisme (Toscano, 2011:10). Toscano pun mencoba masuk pada ruang-ruang ambivalensi semacam itu secara lebih dalam dan berusaha mengungkap bagaimana kerangka ideologis penolakan terhadap fanatisme bekerja. Penolakan semacam itu acap kali menyisihkan dengan menuduh secara brutal sebagai irasionalitas keyakinan buta upaya politik emansipatoris yang orisinal (Pavlov, 2011:556). Toscano mengatakan, sejauh akal sehat politik kita dibentuk oleh berbagai polemik melawan fanatisme, tiap usaha untuk menghidupkan kembali politik emansipatoris radikal harus menghadapi sejarah fanatisme dan penggunaannya yang ajeg (Toscano, 2011:10). Toscano, berbeda dengan Colas, menelaah fanatisme di bawah nada positif. Pandangan lain tentang fanatisme dapat dibaca dari tulisan William T. Cavanaugh berjudul The Invention of Fanaticism. Jika Colas mengkaji relasi antara fanatisme dan civil society, sementara Toscano mencoba menyelami kerjakerja ideologis di balik penolakan terhadap fanatisme, Cavanaugh fokus pada pertautan fanatisme dengan agama. Peralihan konsep fanatisme yang berjalan paralel dengan arus pemikiran sekuler barat, pada fase tertentu sampai pada tahap di mana fanatisme sangat erat dengan agama. Voltaire adalah salah satu tokoh penting yang turut berkontribusi pada tren tersebut. Voltaire mendefinisikan fanatisme sebagai takhayul (superstition) dan merupakan semangat dari kegilaan. Dalam kondisi semacam ini, hanya akal budi yang dapat menjadi obat penawar, sebaliknya, agama justru menjadi racun bagi pikiran (Voltaire dalam Cavanaugh, 10
11 2011: 233). Menurut Cavanaugh, migrasi konsep fanatisme, sejak era awalnya yaitu abad ke 16, dilatarbelakangi oleh satu semangat yang sama yakni secara konsisten fanatisme digunakan untuk menjustifikasi otoritas kekuasaan sipil. Cavanaugh menunjukan bahwa penemuan agama dan fanatisme agama bukan sekedar proyek filsafat dan teologi tetapi proyek politik (Cavanaugh, 2011: 234). Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya dapat diambil satu ikhtisar bahwa dari sisi pendekatan historis, sejak awal abad ke 16, fanatisme telah menjadi tema penting dalam tradisi pemikiran politik di Barat dan, seperti dikatakan Colas, diskursus fanatisme diletakkan tepat di jantung konsepsi politik modern. Sayang, ketika wacana fanatisme memasuki perdebatan ideologi kekinian, konsep fanatisme cenderung ditelaah sebagai fenomena kultural dan psikologi ketimbang politik. Lebih memprihatinkan lagi, maraknya penggunaan istilah fanatisme untuk menggambarkan kengerian yang terjadi dewasa ini, terutama sekali yang sering dikaitkan dengan fenomena terorisme dan fundamentalisme agama-politik, jarang diikuti oleh sebuah refleksi memadai tentang genealogi dan penggunaan term tersebut. Pemahaman ahistoris semacam itulah, menurut Toscano, menjadi penyebab istilah fanatisme dipakai secara arbitrer dan hipokrit. Persis, pada konteks kegalauan yang dimunculkan Toscano inilah, gagasan fanatisme Joel Olson yang akan menjadi subjek dari penelitian ini hadir sebagai langkah awal guna memikirkan ulang fanatisme dalam kerangka pemikiran politik. D. Landasan Teori Sudah lazim dalam penelitian semacam ini untuk menguraikan pendasaran teoritikal yang memuat teori-teori tertentu yang dipilih penulis guna membantu 11
12 memecahkan, secara filosofis, problem-problem yang telah disinggung dalam rumusan masalah. Seperti telah disinggung di awal, penulis mengambil gagasangagasan politik Joel Olson sebagai objek kajian. Teori tersebut akan didiskusikan dalam konteks perdebatan tentang hakikat politik. Perbincangan isu ini membagi teori politik ke dalam dua corak pemikiran. Corak pertama adalah pandangan yang mempercayai doktrin bahwa konflik merupakan inti politik yang tak bisa dihindari. Sementara di pihak lain adalah pemikiran yang menolak konflik dalam politik dan meyakini kemampuan konsensus universal berbasis pada rasio. Kerangka pikir di atas penulis ambil dari pemikiran Chantal Mouffe. Pembahasan yang muncul dari hampir semua karya Mouffe fokus pada persoalan politik yang terjadi dalam ketegangan tersebut. Menurut kategorisasi semacam ini, Joel Olson, termasuk Mouffe sendiri, merupakan intelektual yang sepakat dengan pemahaman politik yang ditawarkan perspektif pertama. Semantara, beberapa figur yang mewakili pola pikir kedua seperti John Rawls dan Jurgen Habermas. Menurut Mouffe, kelompok yang disebut terakhir mewakili pemikiranpemikiran liberal yang menekankan pendekatan individualis dan rasionalis. Paham individual semacam inilah yang belakangan mendominasi teori-teori politik kontemporer. Secara umum inti dari paradigma liberal ada dua macam, pertama adalah yang biasa disebut paradigma agregatif. Paradigma ini mempertimbangkan politik sebagai pembentukan kompromi diantara kekuatankekuatan berbeda dalam sebuah komunitas masyarakat yang saling berkompetisi. Individu digambarkan sebagai makhluk rasional yang cenderung memaksimalkan kepentingannya dan bertindak dalam ranah politik melalui cara-cara yang bersifat 12
13 instrumentalis. Ide ini dipinjam dari konsep ekonomi. Sementara, paradigma liberal yang lain adalah deliberatif. Paradigma ini muncul dan berkembang sebagai reaksi melawan model instrumentalis dengan cara menarik demarkasi antara moralitas dan politik. Paradigma deliberatif hendak menggantikan rasio instrumental dengan rasio komunikatif. (Mouffe, 2005:12-13). Berpijak pada pemetaan di atas, penelitian ini akan mengkaji konsepsi politik radikal Olson dari sudut pandang tradisi pemikiran politik post-marxisme, terutama yang dikembangkan oleh Laclau dan Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, yang mengakui atau sekurang-kurangnya tidak menolak label sebagai teoritikus post-marxisme, teori post-marxist merujuk pada pembacaan ulang teori marxisme dalam konteks problem masyarakat kontemporer dengan melibatkan dekonstruksi kategori-kategori sentral teori tersebut (Laclau dan Mouffe, 2001:IX). Pada konteks ini, analisa politik post-marxist fokus pada transformasi konsep hegemoni yang merupakan wajah diskursif dan titik nodal fundamental dari teori politik marxisme. Inti kesimpulan analisa Laclau dan Mouffe adalah: bahwa di balik konsep hegemoni tersembunyi sesuatu yang lebih dari sekedar tipe relasi politik yang bersifat komplementer terhadap kategori-kategori dasar teori marxis. Faktanya, ia mengenalkan logika sosial yang tidak cocok dengan kategori-kategori tersebut (Laclau dan Mouffe, 2001:3) Analisa politik Laclau dan Mouffe berangkat dari teori hegemoni Gramsci namun Laclau dan Mouffe memiliki perbedaan dengan Gramsci. Di satu pihak, Gramsci menyandarkan teori hegemoninya pada analisa kelas, sementara itu, Laclau dan Mouffe mendasarkan analisa politiknya pada apa yang belakangan dikenal dengan teori diskursus. Menurut Torfing, secara sederhana, teori diskursus 13
14 Laclau dan Mouffe memuat pokok-pokok pemikiran sebagai berikut: pertama, semua bentuk praktik sosial berlangsung dalam latar belakang diskursus spesifik, di mana secara luas dapat didefinisikan sebagai sistem relasi penandaan. Pada level abstrak, diskursus dapat diartikan sebagai relasi ensemble dari serangkaian penandaan, yang menenun secara bersamaan aspek semantik dari bahasa dan aspek pragmatis dari tindakan. Kedua, diskursus dikonstruksi di dalam dan melalui perjuangan hegemonik yang bertujuan untuk membentuk kepemimpinan politik dan moral intelektual melalui artikulasi makna dan identitas. Argumentasi ini menegaskan bahwa diskursus merupakan hasil dari praktik politik. Ketiga, artikulasi hegemonik makna dan identitas secara instrinsik berhubungan dengan kontruksi antagonisme sosial, yang melibatkan proses eksklusi terhadap liyan guna membentuk sistem diskursif dan di saat bersamaan mencegah praktek diskursif untuk meraih tenunan final. Keempat, diskursus hegemonik yang stabil di dislokasi ketika dikonfrontasikan dengan peritiwa-peristiwa baru yang tidak dapat dijelaskan, direpresentasikan dan dijinakkan. Diskursus bersifat fleksibel dan mampu untuk mengintegrasikan sebagian besar peristiwa ke dalam tatanan simboliknya, namun semua diskursus selalu terbatas dan diskursus akan menghadapi peristiwa-peristiwa yang gagal diintegrasikan. Kegagalan ini akan mengacaukan sistem diskursus dan dengan begitu membuka ruang bagi perjuangan hegemonik. Kelima, dislokasi struktur diskursif menunjukan bahwa subjek selalu muncul sebagai subjek yang tak utuh atau the split subject yang berusaha merekonstruksi identitasnya secara penuh melalui tindakan identifikasi (lihat Torfing, 2005:14-17). 14
15 E. Metodologi Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan sumber kepustakaan sebagai bahan kajian. Naskah yang hendak digunakan akan dipilih dan dipilah menjadi dua bagian: pustaka primer dan pustaka sekunder. Pustaka primer adalah buku, hasil penelitian, jurnal, atau artikel, yang memiliki otoritas, terkait objek material. Telaah ide politik radikal Olson akan merujuk beberapa karyanya terkait demokrasi dan fanatisme, antara lain buku yang dikarang Olson dengan judul The Abolition of White Democracy (2004) dan beberapa tulisan Olson yang berserakan di berbagai jurnal seperti The Freshness of Fanaticism: The Abolitionist Defense of Zealotry (2007), Friends and Enemies, Slaves and Masters: Fanaticism, Wendell Phillips, and the Limits of Democratic Theory (2009). Objek formal akan menggunakan karya utama yang ditulis bersama oleh Laclau dan Mouffe, yakni Hegemony and Socialist Strategy, Towards a Radical Democratic Politics yang terbit untuk pertama kali tahun Sementara itu, pustaka sekunder adalah buku, hasil penelitian, jurnal, atau artikel, sebagai rujukan kedua setelah pustaka primer, yang berguna sebagai pembanding, dan membantu memahami pengertian istilah kunci dalam pustaka primer. Penelitian ini juga akan menggunakan sumber kepustakaan lain yang sifatnya lebih umum seperti buku pengantar dan sejarah demokrasi, pengantar dan sejarah filsafat politik, ensiklopedia, 15
16 dan sumber lain, sejauh membantu memberi pemahaman lebih baik tentang penelitian ini. 2. Jalan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan melalui tahapan berikut: a. inventarisasi: mengumpulkan sebanyak mungkin data berupa kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian; b. klasifikasi: memilah data menjadi data primer dan sekunder; c. analisa: menganalisis data primer dengan bantuan data sekunder kemudian disintesiskan; d. evaluasi kritis: setelah data primer dan sekunder disintesiskan, maka akan diberikan evaluasi kritis secara berimbang dan objektif. 3. Analisa Data Data kepustakaan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan perangkat metodis berikut (Bakker & Zubair, 1990: 63-65): a. interpretasi: berusaha setepat mungkin menangkap arti dan makna khusus pengertian teori politik radikal Joel Olson dan teori politik postmarxisme Laclau dan Mouffe b. koherensi internal: berupaya mengikuti struktur internal dan keselarasan antara pendekatan dan metode dengan konsepsi hakikat politik Joel Olson c. kesinambungan historis: berusaha melihat gagasan pemikiran Olson di satu pihak dan Laclau dan Mouffe di pihak lain dalam perkembangan historis, baik internal dalam pemikiran politik 16
17 radikal Olson dan post-marxist Laclau dan Mouffe, maupun eksternal dalam kaitannya dengan pemikir lain; d. Komparasi: membandingkan antara pandangan Joel Olson tentang hakikat politik dengan pemikiran Laclau dan Mouffe. e. deskripsi: penulis akan menguraikan hasil telaah pemikiran politik Olson, terutama tentang persoalan teori ras dan konsepsi hakikat politik yang ditinjau dari politik post marxist Laclau dan Mouffe. F. Sistematika Penulisan Hasil Penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab berikut: Bab I akan menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II akan menjelaskan kerangka teori pemikiran politik Joel Olson yang meliputi biografi singkat kehidupan Olson, teori demokrasi abolisionis dan pandangan Olson tentang teori politik ekstrimisme. Pada tema yang disebut terakhir penulis akan memaparkan kritik-kritik Olson terhadap tradisi peyoratif fanatisme dan pandangan demokrasi liberal untuk menjadi pintu masuk menjelaskan tawaran Olson mengenai demokrasi ekstrimis. Pada bab ini penulis menggunakan pendekatan historis dalam rangka menemukan perkembangan, baik dari sisi internal maupun eksternal, pemikiran politik Olson. Bab III merupakan jawaban dari pertanyaan kedua rumusan masalah. Di sini, teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe berusaha dipaparkan. Pertama penulis akan menjelaskan sejarah dan perkembangan teori post-marxisme. 17
18 Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang teori diskursus yang menjadi basis teoritikal dari politik postmarxisme. Sebagai inti dari bab ini, penulis akan menjelaskan pokok-pokok pemikiran politik post-marxisme Laclau dan Mouffe. Bab IV mendeskripsikan analisa penulis terhadap gagasan Olson dengan menggunakan teori politik post-marxisme sebagai titik pijak. Pada bagian pertama bab ini, penulis akan mendiskusikan teori politik ras Olson, terutama berkaitan dengan pendekatan atau metode yang digunakan, dengan menggunakan perspektif analisa diskursus Laclau dan Mouffe. Pada bagian selanjutnya penulis berusaha menemukan hakikat politik dalam pandangan Olson dengan menggunakan definisi politik Laclau dan Mouffe. Penulis akan mengakhiri bab ini dengan menghadirkan relevansi kajian ini untuk konteks Indonesia Bab V berisi kesimpulan yang meringkas hasil penelitian dan saran untuk penelitian berikutnya 18
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sikap afirmasi penulis terhadap kebutuhan akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua model pemikiran
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam
BAB V BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt. Para tokoh
Lebih terperinciImaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU
RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J
Lebih terperinciFIF 2315: FILSAFAT POLITIK SEMESTER GENAP 2014/2015 (18 Februari-18 Mei 2015) Kelas A: Senin. R.: B101, Waktu:
FIF 2315: FILSAFAT POLITIK SEMESTER GENAP 2014/2015 (18 Februari-18 Mei 2015) Kelas A: Senin. R.: B101, Waktu: 07.30-09.10 Agus Wahyudi Kantor : R. 508, FISIPOL UGM Telepun : 901198 Email : awahyudi@ugm.ac.id
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan
BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang memiliki kompleksitas nilai dan kepentingan.
Lebih terperinciCRITICAL THEORIES Bagian II
CRITICAL THEORIES Bagian II 1 MARXISME Jalur Pengaruh Pemikiran Karl Mark & Teori Kritis Hegel Neo Marxisme Teori Kritis II Marks Muda Karl Mark Marks Tua Engels Kautsky Korsch Lukacs Gramsci Hokheimer
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bila ditarik garis besarnya maka di dalam skripsi ini saya telah mencoba memaparkan sebuah teori tentang kemungkinan baru di dalam memunculkan sebuah ranah publik melalui hubungan
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan
BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan
Lebih terperinciBAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan
138 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul Peranan Ideologi Posmarxisme Dalam Perkembangan Gerakan Anti Perang Masyarakat Global. Kesimpulan tersebut merujuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan suatu sarana untuk memilih orang agar dapat mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out Indonesia menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penciptaan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Persoalan identitas, baik itu yang bersifat kolektif atau personal, telah menjadi isu penting dalam perdebatan yang dimunculkan oleh teori posmodern. Ideologi-ideologi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan
BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya
Lebih terperinciBAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN
BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses
Lebih terperinciGagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.
TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan
Lebih terperinciBAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118
BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.
Lebih terperinciBAB III KERANGKA TEORI ANALISIS
BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS 3.1 Teori Kritis Jurgen Habermas Habermas berasumsi bahwa modernitas merupakan sebuah proyek yang belum selesai. Ini artinya masih ada yang perlu untuk dikerjakan kembali.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya
Lebih terperinciRELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI ANWAR ILMAR
RELEVANSI TEORI MARHAENISME DALAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Lebih terperinciILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi
Lebih terperinci2014 PEMIKIRAN MUBYARTO TENTANG EKONOMI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi disuatu Negara memang sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggalkan atau dikesampingkan karena pada hakikatnya kesejahteraan
Lebih terperinciBab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai
Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap
Lebih terperinciFILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )
FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin
Lebih terperinciThe Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)
The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) Tujuan utama buku ini adalah untuk menjawab tentang peran teori terkait permasalahan administrasi publik. Sebagaimana diketahui, tujuan utama
Lebih terperinciTeori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)
Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah
I.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Media Televisi merupakan media massa yang sangat akrab dengan masyarakat umum. Oleh sebab itu pula, televisi menjadi media yang memiliki penetrasi yang paling
Lebih terperinciTeori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme
Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. SIMPULAN
101 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Memperoleh pendidikan pada dasarnya merupakan suatu hak bagi tiap individu. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan
Lebih terperinciGLOBALISASI, KAPITALISME DAN PERLAWANAN ERIC HIARIEJ
GLOBALISASI, KAPITALISME DAN PERLAWANAN ERIC HIARIEJ KATA PENGANTAR Dalam kurang lebih sepuluh tahun terakhir penulis menghabiskan salah satu aktivitas akademiknya untuk mempelajari dan memahami fenomena
Lebih terperinciPara filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.
Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Media dan demokrasi merupakan dua entitas yang saling melengkapi. Media merupakan salah satu produk dari demokrasi. Dalam sejarah berkembangnya demokrasi, salah satu
Lebih terperinciBAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme menarik untuk dicermati dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan hasil penelitian ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berbeda dengan konsep keadilan sosial Rawls dan Pancasila yang dijabarkan sebagai bentuk kontrak sosial antar anggota masyarakat yang secara tekstual harus dijalankan
Lebih terperinciMENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH
E. MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH Dalam kertas kerjanya yang berjudul Models of Public Sphere in Political Philosophy, Gürcan Koçan (2008:5-9)
Lebih terperinciPEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY
DAFTAR ISI Halaman Lembar Persetujuan... ii Lembar Pernyataan.... iii Abstrak... iv Abstract... v Kata Pengantar... vi UcapanTerima Kasih... viii Daftar Isi... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:
Lebih terperinciyang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan
Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup
Lebih terperinciANALISIS WACANA KRITIS TENTANG PEMBERITAAN SUPORTER PERSIB DAN PERSIJA DALAM MEDIA PIKIRAN RAKYAT ONLINE DAN RAKYAT MERDEKA ONLINE
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berita olahraga merupakan salah satu berita yang sering dihadirkan oleh media untuk menarik jumlah pembaca. Salah satu berita olahraga yang paling diminati masyarakat
Lebih terperinciTEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012
TEORI-TEORI POLITIK Penulis: P. Anthonius Sitepu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Simpulan
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran
Lebih terperinciBab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus
Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan
BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang
Lebih terperinciSeminar Pendidikan Matematika
Seminar Pendidikan Matematika TEKNIK MENULIS KARYA ILMIAH Oleh: Khairul Umam dkk Menulis Karya Ilmiah adalah suatu keterampilan seseorang yang didapat melalui berbagai Latihan menulis. Hasil pemikiran,
Lebih terperinciKomunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si
Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si Seseorang yang menggeluti komunikasi politik, akan berhadapan dengan masalah yang rumit, karena komunikasi dan politik merupakan dua paradigma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peneliti karena sangat sulit sekali menemukan sumber-sumber yang berkaitan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Penulisan sejarah Amerika Latin merupakan sebuah tantangan bagi peneliti karena sangat sulit sekali menemukan sumber-sumber yang berkaitan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme adalah suatu konsep dimana suatu bangsa merasa memiliki suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes (Chavan,
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia
101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan
Lebih terperinciCRITICAL THEORIES Bagian III
CRITICAL THEORIES Bagian III 1 Jurgen Habermas Jürgen Habermas (18 Juni, 1929, Düsseldorf) ialah seorang filsuf dan sosiolog yang berada di dalam tradisi Critical Theory dan pragmatisme Amerika. Dia paling
Lebih terperinciResume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed
Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan
Lebih terperinciLOMBA MENULIS ESAI PSBDK XI 2013 Term of Reference Dayak dalam Perbincangan Masa Kini
LOMBA MENULIS ESAI PSBDK XI 2013 Term of Reference Dayak dalam Perbincangan Masa Kini A. Pendahuluan Pemahaman yang beragam tentang Dayak melahirkan berbagai perspektif, diskusi, konsep, dan pemaparan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk mengatur sebuah negara, tentu tidak terlepas dari sistem ekonomi dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan sosial masyarakat di Indonesia hingga saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Dengan berkembangnya berbagai hal diberbagai aspek, selalu
Lebih terperinciSAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH
l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH i t a i g k a a n D Sulfikar Amir Edisi 048, Februari 2012 1 Edisi 048, Februari 2012 Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah Tulisan
Lebih terperinciPARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL
PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,
Lebih terperinciMENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER
l Edisi 001, Oktober 2011 Edisi 001, Oktober 2011 P r o j e c t i t a i g D k a a n MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER Ihsan Ali Fauzi 1 Edisi 001, Oktober 2011 Informasi Buku: Abdullahi Ahmed An- Na`im,
Lebih terperinciTUJUAN NEGARA. Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara
IDEOLOGI POLITIK TUJUAN NEGARA Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara tersebut MINGGU DEPAN 1. Ideologi : Anarkisme dan Komunisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam latar belakang ini, ada beberapa hal yang akan disampaikan penulis. hal tersebut terkait masalah yang diangkat. masalah atau isu yang diangkat tentunya
Lebih terperinciBerpikir Kritis (Critical Thinking)
Berpikir Kritis (Critical Thinking) What Is Critical Thinking? (Definisi Berpikir Kritis) Kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional, yang meliputi kemampuan untuk berpikir reflektif dan independen Definisi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah
Lebih terperinciB A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan
5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna
Lebih terperinciBAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan
BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Hidup bersama membutuhkan membutuhkan modus operandi agar setiap individu di dalamnya dapat berdampingan meskipun memiliki identitas dan kepentingan berbeda. Perbedaan tidak
Lebih terperinciPendidikan Agama Kristen Protestan
Pendidikan Agama Kristen Protestan Modul ke: 12Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi RENAISSANCE DAN PERUBAHAN MENYELURUH DALAM POLA PIKIR GEREJA Drs. Sugeng Baskoro,M.M. Latar Belakang Sejak abad
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai
286 BAB VI PENUTUP A. Simpulan Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang
Lebih terperinciKONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL. Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si
KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si Pendahuluan Saat ini, dimanapun di dunia ini, klien berjuang di dalam berbagai lembaga untuk menemui pekerja sosial. Barangkali
Lebih terperinciRANGKUMAN Penggolongan Filsafat Pendidikan menurut Theodore Brameld: 1. Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato,
RANGKUMAN Penggolongan Filsafat Pendidikan menurut Theodore Brameld: 1. Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato, Aristoteles, thomas Aquinas muncullah Perenialisme.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat
Lebih terperinciDEMOKRASI DAN RADIKALISME
l i m e m o k r a t i s EMOKRASI AN RAIKALISME i g i t a AGAMA m o k r a t i s. c o m l Rumadi Edisi 009, Agustus 2011 1 emokrasi dan Radikalisme Agama Prof. John O Voll, guru besar sejarah di Georgetown
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang
97 BAB 5 PENUTUP A. KESIMPULAN PENELITIAN Studi ini memiliki hipotesa awal bahwa arena yang cukup esensial dalam mendeliberasikan ide-ide mengenai perlindungan terhadap hak publik adalah ruang publik,
Lebih terperinciDALAM PERUBAHAN GLOBAL
PERADABAN ISLAM I: TELAAH ATAS PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PERAN KEPEMIMPINAN POLITIK DALAM PERUBAHAN GLOBAL Oleh Nurcholish Madjid Masyarakat manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat,
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008
31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi
Lebih terperinciyang mungkin selama ini belum banyak yang membaca pertarungan wacana semacam ini sebagai sebuah fenomena politis. Kontribusi Teoritik
119 BAB 5 Kesimpulan Nahdlatul Ulama sebuah organisasi keagamaan yang selama ini kental dengan kesan tradisional dan konservatif dengan atsmosfer keagamaan yang cenderung tenang dan statis ternyata memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Ideologi marxisme pada saat ini telah meninggalkan pemahaman-pemahaman pertentangan antar kelas yang dikemukakan oleh Marx, dan menjadi landasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,
Lebih terperinci* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik
Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori
Lebih terperinciisu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah
4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga
Lebih terperinciKOMUNIKASI POLITIK DALAM MEDIA MASSA
KOMUNIKASI POLITIK DALAM MEDIA MASSA Dari berbagai pendapat para pakar, komunikasi massa didefenisikan jenis komunikasi yang ditujukan pada sejumlah besar khalayak yang heterogen dan anonim melalui media
Lebih terperinciPARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)
PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok
Lebih terperinciBAB V PENUTUP Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis
Lebih terperinciKONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU
BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian
Lebih terperinciBAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik
BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keilmuan modern telah berkembang sedemikian rupa di bawah hegemoni paham sekularisme. Akibat sangat lamanya paham ini mendominasi sejarah peradaban modern akibatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui
Lebih terperinciA. Pengertian Pancasila
PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Pengertian Pancasila Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Di samping itu juga untuk menunjuk kata kerja yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, kepada tiap-tiap golongan umat pada
Lebih terperinci4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer
Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,
BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis
Lebih terperinciPENDIDIKAN DAN PEMBEBASAN DALAM PANDANGAN PAULO FREIRE
PENDIDIKAN DAN PEMBEBASAN DALAM PANDANGAN PAULO FREIRE Pandangan Freire tentang Netralitas Kelompok Netralitas yang memiliki ideologi yang sama Netralitas gereja yang berkaitan dengan sejarah dan politik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan negara-negara lain di dunia, tak terkecuali
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah A. Sonny Keraf mengemukakan bahwa ada dua kategori dari bencana yaitu bencana alam dan bencana lingkungan hidup. Sebagian dikategorikan sebagai bencana alam
Lebih terperinci