II. KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Teori Konsep Infrastruktur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Teori Konsep Infrastruktur"

Transkripsi

1 II. KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Teori Konsep Infrastruktur Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang dan kepentingannya. Tidak ada kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktivitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya pembedaan infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi (economic overhead capital) dan infrastruktur sosial (social overhead capital) (Torrissi 2008). Infrastruktur ekonomi seperti jalan, jaringan irigasi, pelabuhan, lapangan terbang, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi, merupakan jenis infrastruktur yang berperan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan pemerintah, dan sekaligus berfungsi sebagai input dalam proses produksi pada berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur sosial seperti jasa pendidikan dan pelayanan kesehatan, berperan untuk meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan dan produktivitas tenaga kerja. Ahli keuangan mendefinisikan infrastruktur berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan penerimaan dan derajat profitabilitas atau tingkat subsidi yang diperlukan suatu jenis infrastruktur. Para politisi dan ahli administrasi publik umumnya mendefinisikan infrastruktur dari perspektif kepemilikan dan pelaku yang bertanggung jawab menyediakannya. Dari sisi ini, infrastruktur dapat dibedakan menjadi public infrastructure dan private infrastructure. Para ahli konstruksi umumnya menfokuskan pada karakteristik fisik dari suatu jaringan atau aset infrastruktur seperti jalan, rel kereta, pelabuhan dan peralatan pemeliharaannya, pembangkit tenaga listrik, jaringan komunikasi dan sebagainya. Penyedia jasa infrastruktur lebih menitikberatkan perhatiannya pada kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan infrastruktur dan tujuan komersial dari proyek infrastruktur yang dikerjakannya. Pengguna jasa infrastruktur seperti rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, tidak terlalu peduli dengan berbagai

2 14 definisi dan klasifikasi infrastruktur. Mereka lebih memperhatikan kemungkinan terbaik yang dapat diperoleh dari ketersediaan infrastruktur, dengan jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau (Delis 2008). Investasi di bidang infrastruktur sering dibedakan antara jasa infrastruktur dan fasilitas infrastruktur. Jasa infrastruktur merupakan penawaran komoditas jasa yang dihasilkan dari penyediaan infrastruktur seperti listrik, air bersih, saluran limbah, informasi dan jasa pengangkutan. Fasilitas infrastruktur secara umum merupakan suatu jaringan penghubung dan nodal dari dua jenis aset yaitu aset tetap infrastruktur dan peralatan yang digunakan untuk menyediakan komoditas pada jaringan tersebut. Nodal merupakan tempat dimana jasa infrastruktur dibangkitkan, diproduksi dan dikonsumsi. Jaringan penghubung merupakan media transmisi atau sebagai penghubung guna mendistribusikan jasa infrastruktur hingga mencapai pengguna akhir (konsumen). Penelitian ini memfokuskan perhatian pada konsep infrastruktur dari sisi ilmu ekonomi yang menempatkan infrastruktur sebagai barang modal fisik. Dengan perspektif ini, infrastruktur berguna dalam memenuhi konsumsi bagi rumahtangga, produsen dan pemerintah serta berperan sebagai input dalam proses produksi. Pembiayaan infrastruktur bersumber dari kebijakan stimulus fiskal yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia tahun Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur Penyediaan dan pembiayaan infrastruktur dalam perekonomian dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Hal ini bergantung pada karakteristik konsumsi dari infrastrukturnya. Berdasarkan karakteristik konsumsinya, seluruh barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian dapat dibedakan menjadi barang privat (swasta) dan barang publik. Barang privat adalah barang yang penggunaannya bersaing dan memiliki sifat pengecualian, sebaliknya barang publik tidak memiliki sifat persaingan (non-rivalry) dan pengecualian (nonexcludable). Konsekuensi dari pengertian ini adalah sumberdaya ekonomi yang ada teralokasi untuk memproduksi kedua jenis barang tersebut. Secara sederhana alokasi sumberdaya untuk menghasilkan barang privat dan barang publik dapat

3 15 diilustrasikan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (Possibility Production Curve atau PPC), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1. barang privat P r1 Q 1 PPC P r2 Q 2 0 P u1 P u2 Barang Publik Sumber: Stiglitz, 2000 Gambar 2.1 Kurva kemungkinan produksi barang privat dan barang publik Kurva PPC menggambarkan kemungkinan produksi dua jenis barang dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya yang ada dalam perekonomian (full employment). Apabila sumberdaya dialokasikan untuk menyediakan barang privat sebanyak 0P r1 maka sumberdaya yang tersisa akan digunakan untuk menyediakan barang publik sebanyak 0P u1. Alokasi ini menghasilkan penggunaan sumberdaya yang optimal pada titik Q 1. Setiap perubahan alokasi akan menggeser posisi penggunaan sumberdaya optimal di sepanjang garis PPC. Barang publik dapat dibedakan menurut barang publik murni (pure public goods) dan barang publik tidak murni (impure public goods). Barang publik disebut sebagai barang publik murni, jika barang tersebut dapat memberikan manfaat bagi sejumlah pengguna pada waktu bersamaan dan seorang individu tidak akan dapat mengecualikan individu lain menggunakannya. Sementara barang publik disebut sebagai barang publik tidak murni, jika pemakaian barang publik tertentu dalam waktu yang bersamaan dapat menimbulkan kepadatan (Miles dalam Delis 2008). Dengan demikian barang publik murni memiliki dua karakteristik utama yaitu non-excludability dan non-rivalry (Mangkusoebroto 2001). Dalam kenyataannya cukup sulit mendapatkan barang yang memenuhi kedua syarat non-excludability dan non-rivalry secara penuh.

4 16 Konsep barang publik murni secara lebih mendalam dapat dipahami dengan membuat rangkaian kesatuan jenis barang secara berturut-turut dari barang privat murni, yaitu barang yang dihasilkan melalui mekanisme persaingan sempurna dan pengecualian dapat dilakukan pada tingkat biaya nol. Kemungkinan pembagian terhadap konsumsi suatu unit barang di antara dua rumahtangga yang berbeda diilustrasikan oleh Gambar 2.2. Pada barang publik murni memungkinkan bagi kedua rumahtangga untuk memaksimumkan konsumsinya dari satu unit barang yang sama. Sebaliknya, barang privat murni harus dibagi di antara rumahtangga yang ada. Kemungkinan konsumsi terhadap barang publik tidak murni terletak di antara batasan kedua jenis barang tersebut. 1 Konsumsi Impure public goods Pure public goods Pure private goods 0 Sumber: Stiglitz, 2000 Gambar 2.2 Kemungkinan konsumsi suatu barang 1 Konsumsi Pengklasifikasian infrastruktur menjadi infrastruktur publik dan infrastruktur privat berkaitan dengan pengkategorian barang atas barang publik dan barang privat seperti gambaran di atas. Klasifikasi infrastruktur tidak berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan oleh semua individu. Bagaimana setiap individu mengkonsumsi jasa infrastruktur dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan investasi infrastruktur. Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan permintaan jasa infrastruktur dan menjadi pokok dalam menggerakkan investasi dalam bidang infrastruktur.

5 17 Penyediaan infrastruktur juga ditentukan oleh derajat pembangunan yang telah dicapai oleh suatu negara selain karakteristik konsumsinya. Dilihat dari fungsinya infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektor-sektor lainnya dan dapat membantu mengefisienkan alokasi sumber-sumber ekonomi untuk menghasilkan output yang optimal. Dengan fungsi demikian jasa yang dihasilkan oleh infrastruktur harus disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan merata antar sektor maupun lokasi, agar kegiatan di semua sektor dapat berjalan dengan baik. Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai the promoting sector lebih menonjol daripada perannya sebagai the serving sector. Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangun mendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Pada kondisi awal inilah peran pemerintah dalam penyediaan infrastruktur lebih dominan. Pada tahap selanjutnya ketika ekonomi telah berjalan normal, sehingga membutuhkan jasa infrastruktur yang cukup, maka swasta mulai berperan secara berkesinambungan. Kondisi ini didukung oleh tingkat profitabilitas yang dapat diperoleh oleh pihak swasta atas investasinya di bidang infrastruktur tersebut Model Pertumbuhan Ekonomi Keynesian Peran investasi dalam perekonomian, termasuk investasi infrastruktur, dapat dibedakan menurut perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan komponen pengeluaran agregat sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur, merupakan bagian faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral maupun agregat. Berdasarkan katagori tersebut penjelasan teoritis mengenai peran investasi dapat dilihat dari sisi permintaan dalam model ekonomi makro dan dari sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Model ekonomi makro Keynesian menitikberatkan perhatiannya dari sisi permintaan atau pengeluaran agregat. Model ekonomi ini muncul sebagai koreksi atas model pertumbuhan yang menekankan perhatiannya dari sisi penawaran. Model ekonomi ini juga merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dari sisi pengeluaran agregat. Identitas produk nasional

6 18 bruto (PNB) Keynesian dinyatakan sebagai berikut (Branson 1979 dalam Delis 2008):. (2.1) Keterangan: = Total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa = Total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap barang investasi = Total belanja pemerintah terhadap barang dan jasa = Ekspor bersih barang dan jasa = Tabungan swasta bruto = Penerimaan pajak bersih = Total pembayaran transfer ke luar negeri Persamaan (2.1) tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi keseimbangan, maka total pengeluaran agregat setara dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada kondisi keseimbangan ini nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga persamaan di atas dapat diubah menjadi:. (2.2) Apabila seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:. (2.3) Keterangan: ; 0,. (2.3a) ; 0,. (2.3b) ; 0,. (2.3c) ; ; ;. (2.3d). (2.3e). (2.3f)

7 19 Pada persamaan (2.3a) hingga (2.3c), penerimaan pajak ( ), total pengeluaran konsumsi ( ) dan total tabungan semuanya merupakan fungsi dari pendapatan, dimana; adalah marginal propensity to tax (MPT); adalah marginal propensity to consume (MPC); dan adalah marginal propensity to save (MPS). Pada persamaan (2.3d) dan (2.3e) investasi swasta dan pengeluaran pemerintah diasumsikan sebagai peubah eksogen. Dengan cara mensubstitusikan komponen tersebut pada persamaan (2.3), didapat persamaan pengeluaran agregat riil sebagai berikut:. (2.4) Penurunan fungsi pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan (2.4) akan menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) pendapatan dari perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:. (2.5) Setiap perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran pemerintah pada persamaan (2.5), akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali efek pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah bergantung kepada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT, maka semakin besar dampaknya terhadap pendapatan nasional. Kenaikan pengeluaran pemerintah untuk pembentukan modal publik (penyediaan infrastruktur publik) akan memengaruhi pendapatan nasional dan permintaan agregat melalui proses efek pengganda. Efeknya semakin besar bila pemerintah melaksanakan kebijakan anggaran defisit dalam membiayai pengeluarannya terutama jika digunakan untuk pengeluaran yang bersifat produktif seperti penyediaan infrastruktur publik (Abimanyu 2005). Perhitungan pendapatan nasional di Indonesia memperlakukan pengeluaran pemerintah (G) sebagai pengeluaran konsumtif, seperti belanja pegawai dan belanja barang, tidak termasuk belanja modal atau investasi infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Investasi infrastruktur yang dilakukan pemerintah maupun swasta tercakup di dalam komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).

8 20 Hal ini terjadi karena perhitungan pendapatan nasional di Indonesia dilakukan dengan pendekatan produksi, dimana investasi merupakan bagian dari output masing-masing sektor yang tidak dikonsumsi baik sebagai permintaan akhir maupun permintaan antara. Dengan pendekatan ini, maka dampak ekonomi makro dari alokasi investasi infrastruktur akan ditentukan oleh besaran pengganda komponen pengeluaran investasi, bukan komponen pengeluaran pemerintah sebagaimana lazimnya Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan (Jhingan 2008). Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (s) terhadap COR atau Capital Output Rasio (k) dan dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: Keterangan:. (2.6) = Laju pertumbuhan permintaan agregat (output)

9 21 = Laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) = Laju peningkatan investasi Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan menjadi pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth= ) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapital output ( ). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai guna menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan antara permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi, sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas produksi yang ada. Dengan kata lain, output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai bila output aktual, output potensial, permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama (Mankiw 2007). Perekonomian dalam keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian mengalami kelebihan kapasitas yang dapat menciptakan depresi jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian mengalami inflasi jangka panjang. Harrod menyimpulkan bahwa teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan keseimbangan (equilibrium). Kesimpulan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kondisi keseimbangan jarang terjadi. Selama proses pertumbuhan

10 22 ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang dapat memperbaiki kondisi penyimpangan tersebut kembali menjadi stabil atau mencapai keseimbangan. Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat dicapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang dapat meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Teori pertumbuhan Solow dalam Mankiw (2007) merupakan salah satu teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang. Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah, tenaga kerja, kapital dan kemajuan teknologi. Teori pertumbuhan ekonomi biasanya lebih menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi antar faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi. Asumsiasumsi tersebut mengantarkan kepada pemahaman bahwa perekonomian akan mencapai keseimbangan dan stabilitas pertumbuhan dalam jangka panjang. Solow menekankan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam setiap proses produksi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.

11 23 Kemajuan teknologi juga diasumsikan terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor) atau labor augmenting. Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama jika kapital dan tenaga kerja digandakan. Dari anggapan tersebut, model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:. (2.7) Keterangan: = Output per tenaga kerja efektif (Y/AL) = Kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) = Total output = Kapital = Tenaga kerja = Efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) = Tenaga kerja efektif (labor augmented) Menurut Solow, output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even. Investasi break-even adalah investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan teknologi serta menggantikan penyusutan sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap. Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, maka investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital

12 24 per tenaga kerja efektif keseimbangan. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Investasi break-even Investasi per unit tenaga kerja efektif Investasi aktual k* Sumber: Mankiw, 2007 Gambar 2.3 Investasi aktual dan break-even Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan teknologi. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan teknologi. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Menurut Keynes intensitas kegiatan perekonomian ditentukan oleh besaran pengeluaran agregat (konsumsi maupun investasi). Tingkat belanja tersebut pada

13 25 periode tertentu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat optimum tercapainya kondisi full employment. Hal ini karena investasi yang dilakukan pihak swasta lebih kecil daripada tabungan yang dibutuhkan dalam perekonomian. Bagi Keynes, pasar bebas tidak mampu menjamin tercapainya kondisi full employment, sebagaimana yang diteorikan oleh Adam Smith, untuk itu perlu intervensi pemerintah dalam perekonomian. Alasan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian (Stiglitz 2000) adalah untuk: (1) menjamin kepastian hukum melalui berbagai peraturan yang tidak mampu dihasilkan oleh sektor swasta; (2) mengkoreksi adanya kegagalan pasar yang disebabkan imperfect competition, public goods, externality, dan asymmetric information; dan (3) adanya merit goods, yaitu barang yang tetap harus disediakan walaupun tidak diminta masyarakat (Musgrave dan Peggy 1990). Selaras dengan pendapat Keynes, Musgrave menyatakan bahwa fungsi pemerintah dalam perekonomian modern adalah untuk memenuhi tiga fungsi, yaitu pertama, fungsi alokasi, pemerintah harus mengupayakan pengalokasian sumberdaya ekonomi secara efisien. Kedua, fungsi distribusi, pemerintah harus menjamin terciptanya distribusi pendapatan yang merata dan terwujudnya keadilan sosial. Ketiga, fungsi stabilisasi, pemerintah berkewajiban menjaga kondisi perekonomian dalam keadaan full employment dan menjalankan kebijakan ekonomi makro. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Priyarsono et al 2007) Teori Perkembangan Belanja Pemerintah Rostow dan Musgrave mengembangkan teori yang menghubungkan perkembangan belanja pemerintah dengan tahapan pembangunan ekonomi. Menurut keduanya, pembangunan ekonomi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap menengah, dan tahap lebih lanjut. Tahap awal pembangunan ditandai dengan dominannya investasi pemerintah dalam perekonomian. Pada tahap awal ini, pemerintah bertanggung jawab menyediakan berbagai jenis infrastruktur yang

14 26 dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian dan menarik investasi swasta. Infrastruktur fisik maupun non fisik, seperti jaringan jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, listrik, air bersih dan komunikasi merupakan investasi awal yang harus disediakan pemerintah. Dari sisi non fisik, perbaikan kualitas sumberdaya manusia seperti, pendidikan, keterampilan dan kesehatan harus diseimbangkan dengan pengembangan infrastruktur fisik yang ada. Pada tahap menengah, peran pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mencapai tahap tinggal landas yang ditandai dengan semakin membesarnya porsi sektor swasta dalam pembangunan ekonomi. Namun peran pemerintah tetap lebih besar daripada swasta karena semakin meningkatnya peran swasta, maka timbulnya resiko kegagalan pasar semakin besar. Pada kondisi ini pemerintah dituntut menyediakan barang publik yang semakin beragam untuk tetap menstimulus bertumbuhnya kegiatan ekonomi. Terakhir adalah tahap lebih lanjut. Pada tahap ini peran pemerintah mulai bergeser dari penyedia prasarana menjadi penyedia layanan sosial dan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Wagner mengemukakan teori tentang perkembangan porsi belanja pemerintah terhadap PDB. Menurut Wagner dalam suatu perekonomian jika pendapatan per kapitanya meningkat, maka secara relatif belanja pemerintah juga ikut meningkat. Hukum Wagner ini dikenal dengan the law of expanding state expenditure. Ia mendasarkan teorinya atas pengamatan pada negara-negara maju. Dijelaskan bahwa peranan pemerintah semakin meningkat karena pemerintah harus mengatur hubungan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Wagner juga mendasarkan pandangannya atas organic theory of state. Teori ini mengasumsikan pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Formulasi teori Wagner dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:.. (2.8) Keterangan: = Pengeluaran pemerintah per kapita = Pendapatan per kapita 1,2, n = Waktu/periode

15 27 Lebih lanjut, Peacock dan Wiseman (1961) mengemukakan teori tentang perkembangan belanja pemerintah yang terbaik. Dasar pemikirannya adalah adanya pandangan bahwa pemerintah selalu berusaha memperbesar belanjanya. Pada situasi lain masyarakat tidak menyukai tindakan pemerintah tersebut karena beresiko terhadap peningkatan pungutan pajak yang akan ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai tingkat toleransi atas besaran belanja pemerintah yang mengakibatkan perubahan pada tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Menurut Mangkoesoebroto (2001) perkembangan belanja pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain perubahan permintaan atas barang publik, perubahan aktifitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik dan perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik, dan perubahan harga faktor produksi Teori Defisit Pemerintah Selisih antara penerimaan dan belanja pemerintah akan membentuk tabungan maupun defisit yang tergantung besaran nilai selisihnya. Tabungan terbentuk apabila penerimaan pemerintah lebih besar daripada belanjanya. Jika belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaannya maka anggaran akan mengalami defisit. Untuk membiayai defisit pemerintah biasanya melakukan peminjaman (utang) baik dalam bentuk utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Tiga sumber terjadinya defisit yaitu (1) tingkat pembangunan ekonomi, dimana peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi, (2) laju penerimaan pemerintah tidak secepat laju pengeluarannya dan bersifat tidak stabil, dan (3) disiplin anggaran yang tidak terjaga dengan baik. Menurut Kunarjo (2001) paling tidak terdapat enam dampak negatif akibat defisit anggaran terhadap kondisi perekonomian yang saling terkait satu dengan lainnya, yaitu (1) tingkat bunga akan meningkat, (2) memburuknya neraca pembayaran akibat turunnya kinerja ekspor, (3) menimbulkan terjadinya inflasi, (4) berkurangnya pendapatan riil masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya tingkat tabungan dan konsumsi, (5) pengangguran meningkat, dan (6) turunnya investasi yang disusul dengan rendahnya pertumbuhan. Terdapat dua cara untuk

16 28 membiayai defisit, yaitu dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi penerimaan dapat dilakukan dengan cara meminjam dari perbankan dalam negeri, meminjam dari non perbankan dalam negeri atau menerbitkan obligasi, meminjam dari luar negeri, meningkatkan penerimaan pajak dan mencetak uang. Sedangkan dari sisi pengeluaran dapat ditempuh dengan cara mengurangi subsidi, menghemat pengeluaran rutin maupun pembangunan, selektif terhadap pengeluaran pembangunan dan mengurangi pengeluaran untuk program yang tidak produktif dan tidak efisien. Kebijakan stimulus fiskal yang dijalankan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia berdampak pada peningkatan defisit APBN. Defisit APBN 2009 meningkat dari Rp51.3 triliun (1.0 persen terhadap PDB) menjadi Rp136.9 triliun (2.6 terhadap PDB). Efek defisit bagi perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari dua asumsi, yaitu perekonomian suatu negara tersebut merupakan perekonomian tertutup (closed economy) dan perekonomian terbuka (open economy). Pada perekonomian tertutup kenaikan defisit akibat peningkatan belanja pemerintah (G) dapat dijelaskan melalui kurva AD-AS (aggregate demand-aggregate supply). Harga LRAS SRAS 1 SRAS 0 P 1 C P' B P 0 A AD 1 AD 0 Y* Y' Output Sumber: Lipsey et al, 1997 Gambar 2.4 Crowding out investasi yang disebabkan anggaran defisit Peningkatan defisit (belanja pemerintah) akan menggeser kurva AD ke kanan atas, yaitu dari AD 0 ke AD 1. Semula perekonomian dalam keseimbangan jangka pendek, yaitu berada di titik A, perpotongan antara kurva AD 0 dan SRAS 0,

17 29 atau pada titik Y potensial (Y*). Pergeseran (shifter) kurva AD tersebut mengakibatkan terciptanya keseimbangan baru di titik B. Keseimbangan baru tersebut meningkatkan Y (output) dan P (harga), sehingga mendorong terjadinya inflasi, dari P 0 ke P'. Dari sisi penawaran, inflasi akan menyebabkan biaya produksi meningkat, maka akan menggeser kurva SRAS ke kiri atas, yaitu dari SRAS 0 ke SRAS 1 (Gambar 2.4). Hal ini menciptakan keseimbangan jangka panjang berubah menjadi di titik C, yaitu pada titik Y* tetapi dengan tingkat harga yang lebih tinggi (P 1 ). Pada keseimbangan jangka panjang baru tersebut (titik C), tingkat harga yang tinggi mendorong permintaan uang meningkat. Melalui mekanisme transmisi kenaikan permintaan uang nominal, pada kondisi jumlah uang beredar tetap, akan menyebabkan tingkat bunga naik dan menurunkan investasi. Dengan demikian akan terjadi efek crowding out investasi. Pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, peningkatan defisit biasanya dibiayai melalui pinjaman luar negeri. Beban utang luar negeri tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Hal ini menyebabkan generasi mendatang akan menanggung beban pokok dan bunga pinjaman yang digunakan untuk membiayai investasi bagi negara tersebut. Dalam jangka panjang generasi mendatang akan mewarisi stok modal yang tidak terlalu berkurang akibat peningkatan defisit, tetapi sebagian stok tersebut akan dimiliki oleh pihak asing. Efek peningkatan yang dibiayai dari utang luar negeri akan menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari dalam negeri kepada pihak asing (Sahara 2003). Defisit anggaran tidak selalu berdampak negatif terhadap perekonomian. Pada perekonomian yang terbuka (open economy) dan dalam keadaan resesi, kebijakan fiskal yang ekspansioner justru dapat menciptakan efek reflasi Keynesian (Keynesian reflectionary effect). Pada negara berkembang seperti Indonesia, hal tersebut dapat dilakukan melalui defisit yang dibiayai dari pinjaman lunak dari luar negeri, yaitu pinjaman berbunga rendah dengan jangka waktu pengembaliannya panjang. Dalam keadaan under-employment defisit anggaran dapat digunakan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan permintaan agregat. Menurut Sugema (2001) efek reflasi dari kebijakan anggaran defisit dapat dilakukan bila memenuhi dua syarat; pertama, harus benar-benar

18 30 dibelanjakan (disposable) baik untuk pengeluaran rutin maupun pembangunan dan kedua, harus dibiayai dari luar sistem, yaitu dari luar negeri atau dari akumulasi anggaran periode sebelumnya. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah dalam rangka pelaksanaan stimulus fiskal bidang infrastruktur padatkarya dapat dipandang sebagai pengeluaran investasi (I) yang dalam jangka panjang dapat menambah stok modal (infrastruktur). Dampak peningkatan infrastruktur ini mendorong terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas agregat maupun sektoral. Hal ini selaras dengan pendapat Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa peningkatan stok infrastruktur melalui investasi infrastruktur memainkan peran penting dalam meningkatkan output dan produktivitas sektoral. Pendapat itu diperkuat oleh Berndt dan Hansson (1991) yang mengemukakan bahwa peningkatan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. Pengurangan biaya produksi disebabkan oleh menurunnya biaya transportasi dan biaya transaksi akibat kemudahan akses terhadap faktor produksi. Dengan pendekatan ini, maka dampak stimulus fiskal bidang infrastruktur dalam perekonomian dapat diilustrasikan dengan Gambar 2.5. Harga AS 0 AS 1 P 0 D P 1 E AD 0 Y 0 Y 1 Output Sumber: Mankiw, 2007 Gambar 2.5 Dampak investasi infrastruktur ekonomi oleh pemerintah Proses peningkatan output dan penurunan harga pada Gambar 2.5 dapat dijelaskan sebagai berikut: peningkatan ketersediaan infrastruktur ekonomi menyebabkan proses produksi semakin efisien dan produktif, akibatnya output (Y) meningkat dari Y 0 menjadi Y 1. Peningkatan output menggeser kurva agregat

19 31 penawaran (AS) ke kanan bawah, yaitu dari AS 0 menjadi AS 1. Dengan asumsi tidak ada tekanan permintaan agregat (agregate demand), ceteris paribus, maka harga output (P) akan turun dari P 0 menjadi P Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium) Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan disebut dengan model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian. Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992). Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa kebijakan pajak, hambatan perdagangan (trade barriers), perubahan belanja pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis pekerjaan, rumahtangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara 2003). Model keseimbangan umum memandang perekonomian sebagai suatu sistem yang lengkap. Model ini tidak hanya dibangun pada tingkat agregat, tetapi dapat pula dibangun sampai dengan tingkat mikro secara rinci, yang menyatakan saling ketergantungan dari berbagai komponen ekonomi di dalamnya, yaitu antar industri, komoditas, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar yang berbeda. Keseimbangan umum dapat tercapai bila perekonomian

20 32 diasumsikan dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tidak terdapat kondisi increasing returns to scale (Sudarsono 1995). Asumsi-asumsi lain yang mendorong terciptanya kondisi keseimbangan umum adalah; (1) pada pasar komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2) pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3) pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya. Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar keseimbangan umum sesungguhnya didasarkan pada kondisi pareto optimum pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan pemerintah. Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak lainnya (worse off). Nicholson (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan Keseimbangan Produksi (production efficiency) Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input ( dan ) dan dua barang ( dan ) tingkat MRTS input dan dalam memproduksi barang harus sama dengan MRTS input dan dalam memproduksi barang atau. Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan tercapai bila, dimana adalah harga faktor dan adalah harga faktor. Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda, yaitu dan, keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk

21 dan tercapai pada saat isoquant bersinggungan dengan isoquant pada berbagai tingkat output. Titik singgung tersebut membentuk yang disebut dengan Kurva Kotrak atau Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor produksi. Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut: =.. (2.11) MRTS adalah slope dari isokuan. 33 OX 2 X 2 1 K X 2 2 E 4 X 2 4 E 1 X 2 3 E 3 E 2 X 1 1 X 1 2 X 1 3 X 1 4 OX 1 L Sumber: Nicholson, 2002 Gambar 2.6 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi Persamaan (2.11) menyatakan bahwa keseimbangan umum di sektor produksi tercapai pada saat MRTS untuk semua output adalah sama (Gambar 2.6). Jika harga faktor diketahui maka jumlah output dan yang harus diproduksi agar keuntungan maksimum dapat tercapai dapat ditentukan. Tingkat output dan yang harus diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang dan. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif

22 34 dan. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi atau Production Possibility Curve (PPC). PPC diturunkan dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi dan yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation (MRPT). Berdasarkan definisi,, dan secara matematis dapat dibuktikan bahwa,. Dimana dan ; Diferensiasi total dari fungsi biaya adalah:. Dimana = biaya marjinal dan = biaya total. Untuk setiap perubahan dan di sepanjang PPC, dimanipulasi menjadi:,. Pada pasar persaingan sempurna didapatkan: dan, jadi,. Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan dan yang efisien untuk menghasilkan X dan Y. Kurva tersebut ditransfer dari lokus titik-titik efisien pada Gambar 2.7. Slope PPC menunjukkan bahwa output X dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya yang sama Keseimbangan Konsumen (exchange efficiency) Kondisi keseimbangan konsumen tercapai jika tingkat substitusi marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS) untuk dua barang adalah sama untuk dua individu yang mengkonsumsi barang tersebut. MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2008).

23 35 OX 1 4 X 2 3 X 2 E 1 E 2 X 2 2 E 3 X 2 1 E 4 X 1 1 X 1 2 X1 3 X 1 4 OX 2 Sumber: Nicholson, 2002 Gambar 2.7 Production Possibility Curve (PPC) Untuk kasus dua barang ( dan ) dan dua individu (U dan V), MRS individu U dalam mengkonsumsi barang dan harus sama dengan MRS individu V dalam mengkonsumsi barang dan. Keseimbangan di sektor konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum dengan kendala pendapatan. Berdasarkan Gambar 2.8, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V, sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou Ov, MRS individu U sama dengan MRS individu V, sehingga,,. Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat MRS antara dua komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P 1 harga komoditas X 1 dan P 2 adalah harga komoditas X 2, pembuktian matematis kepuasan konsumen adalah sebagai berikut: Fungsi kepuasan dengan pendapatan. 1, dengan kendala., 0 atau 0 atau

24 (2.9) 2 Deferensiasi total di sepanjang kurva indifferen, 0 0,.. (2.10) Dari persamaan (1) dan (2) terbukti bahwa, O v U v 1 X 2 O u U v 4 E 1 U v 3 Sumber: Nicholson, 2002 Gambar 2.8 Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua individu X Keseimbangan Simultan (production-mix efficiency) Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan) tercapai pada saat. MRPT menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output dan harus optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar 2.9. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan U v 2 E 2 U u 1 U u 2 E 3 U u 3 E 4 U u 4

25 alokasi pada sektor produksi dan konsumsi. Keseimbangan ini tercipta melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian. 37 X 2 P 1 x 2 C C* Slope =- x 2 * x 2 2 P* Slope =- C U 3 C* U 2 P U 1 0 x 1 1 x 1 * x 1 2 X 1 Sumber: Nicholson, 2002 Gambar 2.9 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu Pada akhir tahun 2007 perekonomian dunia dihadapkan pada satu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di AS, secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis keuangan global, dan dalam hitungan bulan telah berubah menjadi krisis ekonomi yang melanda ke seluruh dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat negara-negara kawasan Asia, yang semula dianggap relatif steril dari dampak krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkena imbas krisis. Di Indonesia, perekonomian yang dalam tiga triwulan pertama tahun 2008 tumbuh di atas 6.0 persen, mengalami perlambatan dan hanya mampu tumbuh 5.2 persen pada TwIV Dampak krisis global tersebut tidak hanya terjadi pada sektor keuangan, tetapi juga memengaruhi kinerja sektor riil. Kerugian dan kebangkrutan baik di industri keuangan maupun manufaktur terus terjadi, yang diikuti dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di seluruh dunia. Negara-negara, seperti AS, Inggris, Jepang dan sejumlah negara lainnya mengalami fase resesi. Sebagai respons atas krisis yang terjadi, pemerintah maupun bank sentral berbagai negara

26 38 mengambil sejumlah langkah kebijakan baik di bidang fiskal, moneter, maupun perbankan guna mengantisipasi dampak negatif krisis tersebut terhadap perekonomian masing-masing negara. Krisis ekonomi global memunculkan kembali perdebatan tentang pentingnya peran pemerintah dalam menstabilkan perekonomian, sebagaimana yang disarankan oleh Keynes pada tahun 1930-an dalam menghadapi great depression di AS. Tetapi substansi perdebatan telah bergeser kepada bagaimana cara pemerintah melakukan intervensi terhadap perekonomian (Corsetti et al 2009; Leigh 2009; Leeper et al 2009; Strulik dan Timo 2009; Reinhart dan Vincent 2009; Baumann et al 2009 dan lain-lain). Secara umum substansi perdebatan adalah bagaimana cara pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar agar berjalan efektif. Terdapat dua cara intervensi pemerintah ke dalam perekonomian, yaitu dengan cara pemotongan pajak (tax cut) dan meningkatkan belanja (spending increase). Untuk itu berbagai negara di dunia mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus fiskal guna menyelamatkan perekonomiannya, yang bertujuan untuk menyerap tenaga kerja, meningkatkan output, mendorong sektor produksi dan mengantisipasi dampak terhadap meluasnya kemiskinan. Negara AS mengeluarkan paket stimulus fiskal sebesar US$125 miliar (2008) dan US$787 miliar (2009) (Davig dan Eric 2009), Australia mengeluarkan paket stimulus fiskal dalam bentuk transfer kepada rumahtangga sasaran (RTS) sebesar US$12 miliar selama bulan Maret dan Mei 2009 (Leigh 2009), demikian juga Inggris, Jerman, Bulgaria dan lain-lain. Di kawasan Asia; China mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai US$586 miliar, untuk pengeluaran di berbagai bidang seperti jalan, bandara dan infrastruktur lainnya, kesehatan dan pendidikan, perlindungan lingkungan, teknologi tinggi, perumahan dan sejumlah paket pengurangan pajak bagi eksportir; India mengeluarkan paket stimulus fiskal, termasuk pengeluaran pemerintah tambahan senilai 200 miliar rupee (US$4 miliar), berupa pemotongan PPN, dukungan kredit untuk industri tekstil, kulit, tenun tangan dan sektor padatkarya lainnya, serta pembiayaan infrastruktur; Malaysia mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai 7 miliar ringgit untuk proyek-proyek konstruksi seperti untuk jalan, sekolah, rumah sakit, dan

27 39 perumahan murah; Korea mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai 14 triliun won (US$11 miliar), yang meliputi pengeluaran pada infrastruktur regional dan penyediaan santunan pajak, terutama pada investasi di pabrik-pabrik; dan Taiwan mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai NT$500 miliar (US$15 miliar), untuk program voucher belanja, peluncuran proyek konstruksi, rencana pembaharuan kota, serta insentif untuk mendorong investasi swasta dan peningkatan industri. Telah banyak penelitian yang dilakukan berkenaan dengan dampak kebijakan stimulus fiskal sebagai respon atas krisis ekonomi global terhadap perekonomian. Leigh (2009) meneliti dampak kebijakan stimulus fiskal dalam bentuk transfer langsung ke RTS di Australia dengan melakukan teknik sampel survei. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 40 persen RTS di Australia yang mendapat transfer telah membelanjakan untuk berbagai kebutuhan. Dengan pendekatan aggregate MPC, Leigh mengkonfirmasi besaran agregat MPC atas transfer langsung kepada RTS tersebut sebesar Ini berarti tujuan stimulus fiskal guna mendorong konsumsi belum berjalan optimal. Tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh ekspektasi situasi perekonomian dan kebijakan fiskal pemerintah di masa mendatang, sehingga rumahtangga menunda belanja konsumsinya (Mankiw 2007). Corsetti et al (2009) menggunakan teknik vector autoregression (VAR) untuk meneliti transmisi stimulus fiskal (fiscal shock) pada perekonomian AS berdasarkan model siklus bisnis Keynesian (new Keynesian business circle model). Terdapat enam peubah yang digunakan oleh Corsetti et al dalam menganalisis dampak stimulus fiskal terhadap perekonomian AS, yaitu belanja pemerintah, output, konsumsi swasta, suku bunga (jangka pendek dan jangka panjang) dan nilai tukar riil (real exchange rate). Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon rumahtangga terhadap kebijakan stimulus fiskal bergantung kepada ekspektasi masyarakat terhadap pembiayaan anggaran pemerintah di masa mendatang. Jika di masa mendatang pemerintah tetap mengurangi belanja (spending cuts) dan tidak meningkatkan pungutan pajak, maka konsumsi swasta akan meningkat dan nilai tukar riil akan terdepresiasi. Dengan kata lain, pemerintah perlu memastikan bahwa di masa mendatang masyarakat tidak dibebani dengan beban pajak yang lebih tinggi akibat spending increase saat ini.

2. KERANGKA TEORI. Tinjauan Teori Teori Dasar Subsidi

2. KERANGKA TEORI. Tinjauan Teori Teori Dasar Subsidi 2. KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Teori Dasar Subsidi Menurut Pindyck (2003), subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli di bawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

Proyeksi pertumbuhan

Proyeksi pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis finansial global yang bermula dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2007, dalam waktu yang relatif singkat berubah menjadi krisis ekonomi

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel

BAB II TINJAUAN TEORI. landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel BAB II TINJAUAN TEORI Bab ini membahas mengenai studi empiris dari penelitian sebelumnya dan landasan teori yang digunakan dalam penelitian yaitu mengenai variabel-variabel dalam kebijakan moneter dan

Lebih terperinci

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)

= Inflasi Pt = Indeks Harga Konsumen tahun-t Pt-1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1) Inflasi adalah kecendrungan meningkatnya harga-harga barang secara umum dan terus menerus. Kenaikkan harga satu atau dua barang tidak bisa disebut sebagai inflasi, kecuali jika kenaikkan harga barang itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

Kerangka Belajar Ekonomi Makro Pandangan Klasik, Keyness dan Sesudahnya

Kerangka Belajar Ekonomi Makro Pandangan Klasik, Keyness dan Sesudahnya 3. Kerangka Belajar Ekonomi Makro Pandangan Klasik, Keyness dan Sesudahnya Mengapa Anda Perlu Tahu Tahun 1997 Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang disebabkan oleh krisis moneter di Asia. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-4 KONSUMSI DAN INVESTASI

Pertemuan ke-4 KONSUMSI DAN INVESTASI 1 Pertemuan ke-4 KONSUMSI DAN INVESTASI Tujuan Instruksi Khusus: Mahasiswa dapat memahami hubungan nilai variable permintaan agregat (keynessian), pendapatan nasional keseimbangan dan sistem keuangan.

Lebih terperinci

BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya

BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya BAB 3 Pendapatan Nasional : Dari Mana Berasal dan Ke Mana Perginya Tutorial PowerPoint untuk mendampingi MAKROEKONOMI, edisi ke-6 N. Gregory Mankiw oleh Mannig J. Simidian 1 Model ini sangat sederhana

Lebih terperinci

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011 Mekanisme transmisi Angelina Ika Rahutami 2011 the transmission mechanism Seluruh model makroekonometrik mengandung penjelasan kuantitatif yang menunjukkan bagaimana perubahan variabel nominal membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Berbagai model pertumbuhan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi. Teori pertumbuhan yang dikembangkan dimaksudkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1

PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1 PEMBAHASAN UTS GENAP 2015/2016 TEORI EKONOMI MAKRO 1 1. Para ekonom menggunakan beberapa variabel makroekonomi untuk mengukur prestasi seuah perekonomian. Tiga variable yang utama adalah real GDP, inflation

Lebih terperinci

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015

Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak Sebagai Instrument Fiskal Stimulus Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 Bidang Kebijakan Pajak dan PNBP II, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara I. Pendahuluan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

Pertanyaan: Isi semua kolom tersebut (sertakan perhitungannya di bawah tabel)

Pertanyaan: Isi semua kolom tersebut (sertakan perhitungannya di bawah tabel) Tugas PIE Makro 1. Diketahui: C = 50 + 0,8 Yd S = - 50 + 0,2 Yd I = 40 Pendapatan Nasional Konsumsi RT Tabungan RT Investasi Pengeluaran Agregat 0 150 200 450 600 750 Pertanyaan: Isi semua kolom tersebut

Lebih terperinci

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM)

PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM) PASAR UANG & PASAR BARANG (Keseimbangan Kurva IS-LM) Model IS-LM Model IS-LM adalah interpretasi terkemuka dari teori Keynes. Tujuan dari model ini adalah untuk menunjukkan apa yang menentukan pendapatan

Lebih terperinci

Xpedia Ekonomi. Makroekonomi

Xpedia Ekonomi. Makroekonomi Xpedia Ekonomi Makroekonomi Doc. Name: XPEKO0399 Doc. Version : 2012-08 halaman 1 01. Pengangguran friksional / frictional unemployment ialah... (A) diasosiasikan dengan penurunan umum di dalam ekonomi

Lebih terperinci

Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang

Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang Modul 1 Permintaan Agregat dalam Perekonomian Tertutup: Perilaku Pasar Barang dan Pasar Uang Arief Ramayandi, S.E., MecDev., Ph.D. Ari Tjahjawandita, S.E., M.Si. M PENDAHULUAN odul ini akan menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

BAB 10 Permintaan Agregat 1: Membangun Model IS-LM

BAB 10 Permintaan Agregat 1: Membangun Model IS-LM BAB 10 Permintaan Agregat 1: Membangun Model IS-LM Tutoriasl PowerPoint Untuk mendampingi MAKROEKONOMI, edisi ke-6. N. Gregory Mankiw oleh Mannig J. Simidian Chapter Ten 1 Depresi Besar (Great Depression)

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi

Lebih terperinci

PENGANTAR EKONOMI MAKRO. Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro

PENGANTAR EKONOMI MAKRO. Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro PENGANTAR EKONOMI MAKRO Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro EKONOMI MAKRO DAN MIKRO Pengertian Ekonomi Makro ilmu yang mempelajari fenomena ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output

Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output Pengeluaran Agregat yang direncanakan (AE) dan Ekuilibrium Output 1. Model Arus Lingkar Pendapatan (The Circular Flow of Income model) 2. Pengeluaran Agregate yang direncanakan (Agregate Expenditure, AE)

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri Judul : Pengaruh Kurs dan Impor Terhadap Produk Domestik Bruto Melalui Utang Luar Negeri di Indonesia Tahun 1996-2015 Nama : Nur Hamimah Nim : 1306105143 ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal ditetapkan untuk

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Investasi merupakan modal penting bagi negara-negara berkembang, karena memiliki peranan yang besar dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. perekonomian untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, yang merupakan

III. KERANGKA TEORI. perekonomian untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, yang merupakan 76 III. KERANGKA TEORI 3.. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran kemampuan / kapasitas suatu perekonomian untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, yang merupakan unsur penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dunia saat ini adalah sangat lambat. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah terjadinya krisis di Amerika.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penulis menggunakan penelitian terdahulu sebagai acuan atau referensi untuk melakukan penelitian ini. Dengan adanya penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian dunia saat ini dihadapkan pada suatu perubahan drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan beresiko tinggi (suprime mortgage)

Lebih terperinci

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak

Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak TEORI EKONOMI MAKRO Makro ekonomi adalah Makro artinya besar, analisis makro ekonomi merupakan analisis keseluruhan kegiatan perekonomian. Bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

SILABUS OLIMPIADE EKONOMI. : 120 menit tingkat kabupaten/kota dan provinsi. 150 menit tingkat nasional

SILABUS OLIMPIADE EKONOMI. : 120 menit tingkat kabupaten/kota dan provinsi. 150 menit tingkat nasional SILABUS OLIMPIADE EKONOMI Bidang studi Jenjang Alokasi waktu : Ekonomi : SMA/MA : 120 menit tingkat kabupaten/kota dan provinsi 150 menit tingkat nasional Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran 1. Mengidentifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang menjadi dasar

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang menjadi dasar BAB II STUDI KEPUSTAKAAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati, studi empiris dari penelitian sebelumnya yang merupakan studi penelitian

Lebih terperinci

Materi 2 Ekonomi Mikro

Materi 2 Ekonomi Mikro Materi 2 Ekonomi Mikro Hubungan Pelaku Ekonomi Dalam Perekonomian Abstract Hubungan pelaku ekonomi dalam perekonomian dengan mempelajari sumberdaya aktivitas ekonomi yang saling berkaitan dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung 27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Nasional Untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dapat dilakukan dengan menghitung besarnya pendapatan nasional atau produksi nasional setiap tahunnya, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tinjauan pustaka ini akan disampaikan teori-teori yang digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tinjauan pustaka ini akan disampaikan teori-teori yang digunakan untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan disampaikan teori-teori yang digunakan untuk menerangkan pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), kurs, cadangan devisa, tingkat suku bunga riil, dan

Lebih terperinci

Model Keseimbangan Pengeluaran Dua Sektor

Model Keseimbangan Pengeluaran Dua Sektor 4. Model Keseimbangan Pengeluaran Dua Sektor Mengapa Anda Perlu Tahu Ketika seseorang bekerja pada perusahaan atau pemerintah maka dia akan mendapatkan gaji. Tentu, gaji yang didapatkan perlu dipotong

Lebih terperinci

FUNGSI PEMERINTAH Peran pemerintah dibutuhkan karena perekonomian tidak dapat secara efisien menghasilkan barang/jasa yang mengoptimalkan kepuasan masyarakat. Kegagalan pasar merupakan muara dari tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Krisis global yang berawal di Amerika Serikat pada tahun 2007, semakin dirasakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) LABUHAN BATU GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Nama Mata Kuliah / Kode Mata Kuliah : PENGANTAR EKONOMI MIKRO / MKKK 203 3 SKS Deskripsi Singkat : Mata Kuliah Keahlian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau. dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian

I. PENDAHULUAN. kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau. dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat

BAB I PENDAHULUAN. lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi ekonomi mendorong perekonomian suatu negara ke arah yang lebih terbuka (openness). Perekonomian terbuka dalam arti dimana terdapat aktivitas perdagangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Listrik merupakan salah satu sumber daya energi dan mempunyai sifat sebagai barang publik yang mendekati kategori barang privat yang disediakan pemerintah (publicly provided

Lebih terperinci

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran

ekonomi K-13 INFLASI K e l a s A. INFLASI DAN GEJALA INFLASI Tujuan Pembelajaran K-13 ekonomi K e l a s XI INFLASI Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan menjelaskan penyebab inflasi dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat. A. INFLASI

Lebih terperinci

Kebutuhan manusia Pengertian kebutuhan Macam-macam kebutuhan

Kebutuhan manusia Pengertian kebutuhan Macam-macam kebutuhan 1. Mengidentifikasi manusia Karakteristik OSN Ekonomi menurut jenjang Tingkat Kabupaten/Kota Tingkat Provinsi Tingkat Nasional Kebutuhan manusia Pengertian Macam-macam 1. Mengidentifikasi manusia Kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1 PENDAPATAN NASIONAL Andri Wijanarko,SE,ME andri_wijanarko@yahoo.com 1 Output Nasional 2 Output Nasional (#1) Merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian untuk

Lebih terperinci

FLUKTUASI PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) DI KOTA PADANGSIDIMPUAN

FLUKTUASI PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) DI KOTA PADANGSIDIMPUAN FLUKTUASI PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) DI KOTA PADANGSIDIMPUAN Enni Sari Siregar STKIP Tapanuli Selatan, Padangsidimpuan Email : ennisari056@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

KESEIMBANGAN EKONOMI Melihat lebih mendalam keseimbangan Pendapatan Nasional yang ditentukan oleh Pengeluaran Agregat ( Pendekatan Keynesian )

KESEIMBANGAN EKONOMI Melihat lebih mendalam keseimbangan Pendapatan Nasional yang ditentukan oleh Pengeluaran Agregat ( Pendekatan Keynesian ) KESEIMBANGAN EKONOMI Melihat lebih mendalam keseimbangan Pendapatan Nasional yang ditentukan oleh Pengeluaran Agregat ( Pendekatan Keynesian ) PREPARED BY : S. K.TOMASOA, SE.,M.Si. Keseimbangan Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA Definisi Krisis ekonomi : Suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan akibat krisis keuangan Krisis keuangan/ moneter

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor

BAB I PENDAHULUAN. disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektorsektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infrastruktur Transportasi baik transportasi darat, laut maupun udara merupakan sarana yang sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang terencana menuju keadaan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik daripada kondisi yang lalu (Tanuwidjaya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan negara sedang berkembang lainnya. Karakteristik perekonomian tersebut

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia Andri Helmi M, SE., MM Sistem Ekonomi Indonesia Pemerintah bertugas menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial budaya kesejahteraan seluruh masyarakat. Siapa itu pemerintah? Bagaimana stabilitas di

Lebih terperinci

Kebijakan Moneter dan Fiskal

Kebijakan Moneter dan Fiskal Kebijakan Moneter dan Fiskal A lecturing note Mayang Adelia Puspita, SP. MP Bahan Ajar Kebijakan Moneter dan Fiskal-Mayang Adelia Puspita, SP. MP Referensi Bank Indonesia, 2013. Tinjauan Kebijakan Moneter.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

BAB II TINJAUAN TEORI. Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Ketenagakerjaan Tenaga Kerja adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang disebut sebagai tenaga kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengeluaran konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pengeluaran konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengeluaran konsumsi masyarakat merupakan salah satu variabel ekonomi yang memberikan kontribusi paling besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), yaitu

Lebih terperinci

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teknis ini menitik beratkan

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) MATA KULIAH EKONOMI UMUM (EKO 160) Pengajar : TIM DOSEN

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) MATA KULIAH EKONOMI UMUM (EKO 160) Pengajar : TIM DOSEN GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) MATA KULIAH EKONOMI UMUM (EKO 160) Pengajar : TIM DOSEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 GARIS-GARIS BESAR

Lebih terperinci