BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN"

Transkripsi

1 BAB II SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada di balik pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena pemikiran mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua abstraksi tentang agama dalam sosiologi modern dan kontemporer. Segmen kedua dalam bab ini adalah konsepsi gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai. 1. Agama dalam Perspektif Sosiologis Pada dasarnya sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, baik dalam kelompok-kelompok maupun di dalam komunitas-komunitas. Disiplin ini muncul seiring terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan di Eropa pada abad ke-18. Sosiologi hendak menjelaskan secara objektif dan deskriptif tindakan manusia dalam dunia sosial. Mengapa orang-orang bertindak dan beraksi dengan cara-cara tertentu menjadi persoalan utama dalam sosiologi. Demi menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam dunia sosial maka dibedakan tiga jenis eksplanasi sosiologis, yaitu eksplanasi kualitas personal, eksplanasi relasi-relasi sosial, dan eksplanasi sistem-sistem sosial. 1 1 Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 1. 27

2 28 Redefinisi Tindakan Sosial Eksplanasi kualitas personal menyatakan bahwa sebuah peristiwa terjadi karena adanya kualitas-kualitas individual yang dipandang stabil. 2 Eksplanasi ini sering juga disebut eksplanasi dari dalam. Ketika seorang individu menunjukan perilaku keagamaan yang radikal maka eksplanasi dari dalam menyatakan bahwa individu tersebut memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Eksplanasi kualitas personal ini cenderung mengandung elemen pujian atau sebaliknya pengapkiran moral. Oleh sebab itu ekspalanasi jenis ini sering menunjuk pada karakteristik-karakteristik kelompok-kelompok atau kategori-kategori secara keseluruhan. Eksplanasi relasi-relasi sosial memperdalam pertanyaan eksplanasi kualitas personal dengan mempersoalkan mengapa individu memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Dalam menjawab pertanyaan ini, eksplanasi relasi sosial bersandar pada prinsip pemikiran bahwa sebuah fakta atau peristiwa sosial harus dipahami melalui relasi-relasi sosial di mana orang-orang terlibat. Kata relasi-relasi menandakan sebuah modicum permanen tertentu dalam pertalian-pertalian personal. Relasi-relasi sosial bisa terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media massa. Eksplanasi struktural biasa disebut juga eksplanasi sistem. Bentuk eksplanasi seperti ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya ketika orang berbicara tentang pembangunan masyarakat sebagai kekuatan formatif yang mempengaruhi hidup orangorang. 3 Kendatipun terdapat nuansa ekplanasi tersebut di atas tetapi fokus utama dari sosiologi adalah mempelajari interaksi-interaksi sosial dan format-format sosial masyarakat. 2 Ibid., 2 3 Ibid.,3

3 Sosiologi Gerakan Keagamaan 29 Istilah format sosial mengandung pengertian yang luas yang mencakup struktur-struktur sosial dan patron-patron dinamika relasi-relasi sosial yang secara mutual mempengaruhi satu sama lain. Pada satu sisi individu-individu memiliki kemampuan untuk merubah format-format kemasyarakatan, khususnya ketika mereka bertindak dalam sebuah organisasi yang berorientasi tujuan dan terkordinasi. Pada sisi lain, individu-individu juga dilahirkan dalam sebuah masyarakat dan mereka dipengaruhi oleh masyarakat di mana mereka lahir dalam ragam cara. Peter Berger menyebut proses ini sebagai proses dialektika fundamental yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi individu-individu menciptakan masyarakat. Melalui objektivasi mayarakat menjadi suatu realitas sui generis. Dan melalui internalisasi masyarakat menciptakan individu-individu. 4 Sosiologi mempelajari agama sebagai bagian dari struktur sosial dan yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Oleh sebab itu para sosiolog yang tertarik untuk mengkaji agama berkepentingan untuk melihat bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya bagaimana masyarakat mempengaruhi kehidupan keagamaan. Berikut beberapa pandangan sosiolog klasik tentang agama Karl Marx: Agama sebagai Proyeksi dan Ilusi Di dalam karya-karya Marx memang tidak ditemukan pemikiran yang sistematis tentang agama, tetapi di dalam teori-teori sosialnya, khususnya teori alienasi manusia kita dapat melihat pandangannya tentang agama. Marx menunjukan bagaimana di dalam masyarakat kapitalis para 4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 4.

4 30 Redefinisi Tindakan Sosial pekerja diperlakukan sebagai komoditi atau objek. Ia menunjukan fakta ekonomi yang aktual, yaitu bahwa semakin buruh bekerja menghasilkan barang maka semakin miskin keadaannya, semakin banyak hasil pekerjaannya, maka sebagai sebuah komoditi, harga buruh menjadi sangat murah. Artinya peningkatan nilai barang ada dalam proporsi langsung dengan devaluasi nilai manusia. Ia menegaskan, The object which labour produces confronts it as something alien, as a power independent of the producer. The product of labour is labour which has been congealed in an object, which has become material: it is the objectification of labour. 5 Berangkat dari asumsi tersebut Marx membangun lebih lengkap teori alienasinya. Ia mengatakan bahwa hasil pekerjaan buruh berada di luar dirinya sendiri secara tidak bergantung, sebagai sesuatu yang asing baginya dan menjadi sebuah kekuasaan yang menentang dirinya. Karl Marx berkata, The life which he has conferred on the objects confronts him as something hostile and alien. 6 Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep alienasi Ludwigh Feuerbach yang mendasarkan agama di dalam eksistensi duniawi manusia dan percaya bahwa di dalam agama, manusia mengekspresikan mimpinya tentang sebuah dunia yang berbeda dan lebih baik. Bukan Tuhan yang telah menciptakan manusia, seperti yang diajarkan agama, tetapi manusialah yang telah menciptakan Tuhan. Manusia telah mengobjektifkan keberadaanya sendiri pada Tuhan dan kemudian menyediakan kreasinya dengan sebuah kekuatan kreatif dari yang dipunyainya. Dengan cara ini, sang objek, konsep tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia, telah menjadi subjek, dan subjek yang sesungguhnya, manusia, telah 5 Karl Marx, The Economic and Philosophic Manuscripts dalam Robert C. Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71 6Ibid.,72.

5 Sosiologi Gerakan Keagamaan 31 membuat dirinya sendiri menjadi objek. Manusia telah menjadi asing atau teralienasi dari dirinya sendiri dan agama mengekspresikan alienasi manusia dari dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia sebagai subjek telah menciptakan sebuah objek yang, oleh sebuah pembalikan dialektis, menjadi subjek, sehingga manusia membuat dirinya sendiri sebagai sang objek. Akan tetapi berbeda dengan Feuerbach yang menghubungkan proses alienasi ini dengan agama, Karl Marx percaya bahwa alienasi ini adalah perkara basis eksistensi manusia di dalam dunia perburuhan. 7 Aspek kedua dari alienasi adalah keterasingan buruh dari tindakan atau aksi produksinya sendiri. Ia menghadapi pekerjaannya sebagai orang asing. Hal ini terjadi karena di dalam melakukan pekerjaannya, buruh menyangkali dirinya sendiri dan tidak memiliki keberadaan esensialnya. Buruh bekerja bukan atas dasar kebebasan dan kesukarelaan, tetapi karena keterpaksaan dan tekanan. Marx mengatakan, As a result, therefore, the worker no longer feels himself to be freely active in any but his animal functions eating, drinking, procreating, or at most in his dwelling and in dressing-up, etc; and in his human functions he no longer feels himself to be anything but animal. What is animal becomes human and what is human becomes animal. 8 Selain memperhatikan kedua aspek tersebut, Marx juga menyoroti keberadaan buruh sebagai manusia yang memiliki kebebasan yang selayaknya memperlakukan dirinya sendiri secara aktual, universal, dan kreatif. Manusia berbeda dengan binatang karena manusia melihat tindakan dan pekerjaannya sebagai objek dari kehendak bebas, kreatifitas, dan kesadarannya. Manusia bergerak atas dasar aktivitas 7 Per Manson, Karl Marx dalam Heine Andersen & Lars Bo Kasperen (Ed.), Classical and Modern Social Theory (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 2000), 20. 8Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader, 74.

6 32 Redefinisi Tindakan Sosial kehidupan yang sadar. Ini yang membedakan tindakan manusia dengan tindakan hewan. Akan tetapi dengan objektifikasi maka buruh teralienasi dari dimensi natural dan spiritual kemanusiaannya. Akhirnya, oleh ketiga aspek alienasi di atas, yakni alienasi dari hasil pekerjaannya, alienasi dari aksi pekerjaannya, dan alienasi dari spesiesnya sebagai manusia, maka lahirlah aspek alienasi keempat, yaitu alienasi sosial, yaitu keterasingan buruh dengan lingkungan sosialnya. 9 Dengan demikian alienasi berhubungan dengan hilangnya kontrol terhadap perkembangan manusia oleh kondisi-kondisi material di dalam masyarakat. Pada gilirannya manusia kehilangan eksistensi dan identitasnya, lalu ia berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang dunia dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya. 10 Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan ilusi. Marx cenderung membedakan antara agama sebagai superstruktur dan agama sebagai ideologi. Dalam karyanya German ideology, Marx menguraikan struktur dasar masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi dan relasi-relasi produksi. Di atas struktur dasar inilah terbangun struktur politik, moralitas, perundang-undangan, hukum, dan agama. 11 Di dalam masyarakat dengan struktur kelas-kelas sosial, ide-ide yang memerintahadalah ide-ide dari kelas yang memerintah. Ide-ide ini menjadi alat manipulasi dan opresi terhadap kelas-kelas yang rendah dalam masyarakat. Ide-ide yang lazim, termasuk agama, memberi legitimasi terhadap kepentingan kelas dominan. 12 9Ibid., Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion, Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader, Furseth, An Introduction to the Sociology,

7 Sosiologi Gerakan Keagamaan 33 Di dalam karyanya Contribution to the Critique of Hegel s Philosphy of Right, Marx mengatakan bahwa manusia menciptakan agama dan bahwa agama memberi gambaran yang keliru tentang realitas. 13 Untuk itu, perjuangan terhadap agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang dilukiskan oleh agama itu sendiri. Agama secara simultan adalah instrumen ketidakadilan yang dipaksakan dan pada saat yang sama adalah juga sikap protes terhadap ketidakadilan. Agama adalah reaksi populer terhadap opresi. Karena itu kritik terhadap agama adalah kritik bagi mereka yang membutuhkan agama. Marx memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi agama. Idenya adalah bahwa agama memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi mereka yang berada pada level terbawah dalam stratifikasi sosial, dan bahwa mereka berkompensasi dengan mencari tujuan-tujuan alternatif di dalam agama. Inilah yang disebut sebagi teori deprivasi. 14 Teori ini memiliki pengaruh besar pada studi-studi tentang agama kelas pekerja dan analisis tentang gerakan keagamaan. Teori Marx dapat dipakai dalam studi-studi tentang bagaimana kelompok-kelompok sosial menggunakan agama untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mereka dan di dalam analisis-analisis agama yang digunakan sebagai kekuatan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu Emile Durkheim: Agama sebagai Integrasi Kontribusi teori Durkheim terletak pada perhatiannya terhadap basis normatif integrasi sosial, bahaya-bahaya individualisme dan anomi, serta signifikansi kolektivitas. Durkheim berada dalam tradisi sosiologis Perancis yang punya 13Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader, Furseth, An Introduction to the Sociology, 34.

8 34 Redefinisi Tindakan Sosial perhatian khusus terhadap persoalan disintegrasi sosial dan unitas sosial. Pemahaman bahwa masyarakat membentuk sebuah unitas yang terintegrasi cukup menonjol di Jerman dan Perancis menjelang akhir abad kesembilan belas dan mencapai signifikansinya pada pemikiran Durkheim. Di dalam tradisi ini, masyarakat dipandang sebagai sebuah unitas yang terintegrasi yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan suatu organisme hidup. Suatu organisme biologis ditentukan oleh suatu relasi material, sementara masyarakat dipersatukan oleh ikatanikatan ide-ide dan unitas sosial. Tradisi ini menunjuk dua tema kunci di dalam tulisan-tulisan Durkheim, yaitu moralitas dan solidaritas sosial. Selain dari pada faktor-faktor struktural, faktor-faktor moral, seperti agama juga berkontribusi terhadap solidaritas sosial. Inilah yang membawa Durkheim ke ranah sosiologi agama. Dalam bukunya Suicide, 15 Durkheim menunjukan keterhubungan statistik antara angka bunuh diri dengan denominasi keagamaan di beberapa negara Eropa Barat. Negara-negara Protestan di Eropa Barat memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi ketimbang negara-negara Katolik oleh karena gereja-gereja Protestan kurang terintegrasi dibandingkan dengan gereja Katolik. Gereja-gereja Protestan kurang memberikan proteksi terhadap tipe-tipe bunuh diri yang disebabkan oleh suatu level integrasi yang rendah 15Durkheim memilih topik suicide karena bagi Durkheim suicide belum terdefinisi dengan baik di dalam masyarakat dan merupakan salah satu pokok yang kalau dipelajari dengan baik maka ia akan menunjukan hukum-hukum sosial yang dengannya akan terlihat posibilitas sosiologi yang lebih baik dibandingkan dengan argumen-argumen dialektis dalam menjelaskan fenomena sosial. Durkheim mengingatkan juga bahwa di dalam karyanya ini akan ditemukan problem-problem metodologis. Namun Durkheim mengingatkan kembali bahwa metode sosiologis bersandar pada prinsip dasar, yaitu bahwa fakta-fakta sosial harus dipelajari sebagai benda-benda (things), yaitu sebagai realitas-realitas eksternal bagi individu. Durkheim juga mengingatkan bahwa di dalam karyanya ini akan ada kesan yang kuat bahwa individu didominasi oleh realitas moral yang lebih besar dari dirinya sendiri, yaitu realitas kolektif. Lih. Emile Durkheim, Suicide, translated by John A. Spaulding and George Simpson (London & New York: Routledge, 2002), xl.

9 Sosiologi Gerakan Keagamaan 35 (egoistic suicide) dibanding yang dilakukan oleh gereja Katolik terhadap umatnya. 16 Untuk mempelajari agama secara lebih dekat, ia mengkaji agama yang paling primitif dan paling sederhana yang dapat dikenal, dengan perkiraan bahwa agama itu akan mewakili bentuk paling mendasar dari semua agama. The Elementary Forms of the religious Life didasarkan pada studistudi yang sudah ada tentang kehidupan keagamaan penduduk pribumi Australia. Agama primitif memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen dan dapat menjelaskan hakikat religius manusia. 17 Di dasar semua sistem kepercayaan dan pemujaan Durkheim meyakini adanya sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan kapanpun, lepas dari keragaman bentuknya masing-masing. Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan manusiawi dalam agama. 18 Apa yang dimaksud dengan agama? Untuk menjawab pertanyaan ini Durkheim mencatat dua hal. Pertama adalah bahwa upaya mendefinisikan agama harus dimulai dengan membebaskan pikiran dari ide-ide prapemahaman. Artinya, agama-agama harus dipandang dalam kenyataan konkritnya. Kedua adalah bahwa ciri-ciri umum agama harus menjadi pusat perhatian. 19 Semua kepercayaan religius memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu klasifikasi akan yang profan dengan yang sakral. Durkheim memasukan pada yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos, dogma, legenda. Apa yang menjadi karakteristik yang sakral itu sehingga bisa dibedakan dengan yang profan adalah bahwa yang sakral 16 Ibid., Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York & London: The Free Press, 1915), Ibid., 20 19Ibid.,37-38.

10 36 Redefinisi Tindakan Sosial cenderung memiliki martabat dan kekuatan yang superior ketimbang yang profan dan memiliki sifat absolut. 20 Kepercayaan religius pada hakekatnya adalah representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan halhal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral lainnya atau dengan hal-hal yang profan. Kesimpulannya adalah bahwa agama terbentuk ketika sejumlah hal yang sakral memiliki relasi pengawasan dan subordinasi satu dengan yang lainnya dan terbentuk semacam sistem koherensi yang tidak dimiliki oleh sistem lain, maka pada saat itu secara bersama kepercayaan dan ritus-ritus membentuk sebuah agama. 21 Dalam hubungan dengan definisi tentang agama, Durkheim menyinggung konsep magis. Dalam beberapa hal magi mempunyai kesamaan dengan agama, misalnya magis juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan mitos. Akan tetapi Durkheim juga mengingatkan bahwa sering kali agama bermusuhan dengan magis. Lalu bagaimana Durkheim membedakan secara tegas antara agama dengan magis? Jawabnya adalah bahwa agama memiliki kelompok sosial dan komunitas moral tertentu, sedangkan magis tidak, ia lebih bersifat individual. Dengan ini maka secara implisit Durkheim tidak menerima adanya agama personal yang bersifat individual. Durkheim mendefinisikan agama sebagai a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them Ibid., Ibid., Ibid.,62.

11 Sosiologi Gerakan Keagamaan Max Weber: Agama sebagai Legitimasi Weber memperhatikan tindakan-tindakan keagamaan sebagai sebuah tipe khusus tindakan sosial. Untuk meraih sebuah pemahaman tentang tindakan sosial, ia memandangnya dari sudut pandang makna yang dimiliki oleh tindakan itu. Oleh karena itu tindakan keagamaan terorientasi ke tujuan-tujuan yang masuk akal. Ia menginterpretasi tindakan keagamaan dengan memahami motif-motif sang aktor dari sudut pandang subjektif. 23 Dalam karyanya The Sociology of Religion Weber menggambarkan agama sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pemahamanpemahaman keagamaan. Peta pemikirannya tentang agama dimulai dari persoalan bagaimana agama itu mengambil tempat di dalam struktur sosial. Dalam hal ini terdapat dua issu penting, yakni abstraksi dan rasionalisasi. Proses abstraksi terjadi di dalam instansi-instansi perilaku kegamaan yang paling primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman bahwa di belakang aktivitas objek-objek natural, artifakartifak, binatang-binatang, dan orang-orang terdapat sesuatu yang tidak dapat ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non personal, tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kenyataan. Sesuatu ini dapat masuk ke dalam sebuah objek yang konkrit sehingga objek tersebut memiliki kualitas tertentu. Sesuatu itu disebutnya spirit dan kualitas tertentu itu disebutnya charisma. 24 Jadi agama muncul sebagai hasil abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalamanpengalaman hidupnya. Tema yang konsisten di dalam karya-karya Weber adalah untuk mendefinisikan dan menjelaskan ciri-ciri 23Furseth, An Introduction to the Sociology, Max Weber, The Sociology of Religion, translated by Ephraim Fischoff (Boston: Beacon Press, 1992), 3.

12 38 Redefinisi Tindakan Sosial istimewa peradaban Barat. The Protestant Ethic dapat dianggap sebagai pengantar untuk tema ini. Di dalam karya ini Weber menentukan suatu interelasi ide-ide keagamaan dengan tingkah laku ekonomi. Tesisnya adalah bahwa ide-ide Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. 25 Kontras dengan Durkheim, yang memandang agama sebagai sebuah ekspresi kesadaran dari keseluruhan masyarakat, Weber berpikir bahwa ide-ide dapat memiliki fungsi-fungsi integratif bagi sebuah kelompok. Namun demikian, ia membuat pokok yang sama dengan Marx tentang hal itu ketika menegaskan bahwa ada sebuah keterhubungan antara konten dari suatu ideologi dengan posisi sosial dari kelompok yang mengusungnya. Tetapi keterhubungan ini tidak bersifat deterministik. Kontras dengan Marx, Weber berpikir bahwa satu ideologi tidak selalu terbatas terhadap anggota-anggota dari satu stratum sosial saja. Juga, semua anggota dari satu stratum sosial tidak akan menjadi anggota dari satu agama yang sama. 2. Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Gerakan Sosial Para sosiolog klasik tersebut di atas memandang agama sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat. Pemikiran mereka membawa pada pemahaman bahwa dinamika keagamaan adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh sebab itu gerakan-gerakan keagamaan dapat dipandang sebagai tipe khusus gerakan-gerakan sosial. Penelitian tentang gerakan-gerakan keagamaan tidak hanya signifikan secara normatif, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah meneliti kebutuhan-kebutuhan sosialnya, gaya-gaya dan tingkat kesadaran sosialnya, konsekwensi- 25 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons (New York: Charles Scribner s Sons, 1958), 155.

13 Sosiologi Gerakan Keagamaan 39 konsekwensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif terhadapnya. Itu berarti gerakan-gerakan keagamaan harus dianggap sebagai sebuah pola aksi sosial yang terstimulasi oleh interpretasi-interpretasi keagamaan terhadap prosesproses perubahan sosial kontemporer. 26 Teori-teori terkini tentang gerakan-gerakan keagamaan didasarkan pada konsepkonsep tindakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan sosial. Para sosiolog yang tertarik dengan gerakan-gerakan keagamaan memikirkan persoalan bagaimana gagasangagasan, individu-individu, kejadian-kejadian, dan organisasiorganisasi telah terhubung satu sama lain dalam sebuah proses tindakan kolektif. Isu-isu utama yang diperhatikan adalah hubungan antara perubahan-perubahan struktural dan transformasi dalam patron-patron konflik sosial, peran representasi kultural dalam konflik sosial, proses yang di dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan gagasangagasan berkembang menjadi tindakan kolektif, dan konteks sosial, politik, kultural yang memfasilitasi keberhasilan gerakan-gerakan keagamaan baru. 27 Dengan meluasnya issu yang diusung oleh gerakangerakan keagamaan, dari isu konflik antara kelas dalam masyarakat kapitalis hingga isu kesetaraan gender, hak-hak sipil bagi kelompok minoritas, kebebasan beragama, isue rasial, dan lingkungan hidup, maka dirasakan pendekatan terhadap gerakan-gerakan kegamaan tidak cukup hanya dengan mengandalkan model Marxist dan model strukturalfungsionalis. 28 Model ini mengandaikan suatu hubungan kausal yang linier di mana ketegangan-ketegangan struktural 26 Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious Movements (New York : Harper & Row Publisher, 1973), Bryan Wilson & Jamie Cresswell (Ed.), New Religious Movements: Challenge and Response (London & New York: Routledge, 1999), Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction (Malden MA: Blackwell Publishing, 2006), 6.

14 40 Redefinisi Tindakan Sosial akan dapat menghasilkan ketidaknyamanan psikologis yang pada gilirannya menghasilkan tindakan kolektif. Ragam ketegangan dalam kehidupan sosial memunculkan tingkat ambiquitas normatif dan sosial tentang bagaimana harusnya menanggapi keadaan dan kondisi sosial yang berubah. 29 Dalam hal ini gerakan-gerakan keagamaan dapat dilihat sebagai mekanisme pelarian diri dari orang-orang yang merasa terasing dan tidak berdaya menghadapi berbagai perubahan sosial dan yang melaluinya individu-individu merasa berdaya dan bersatu kembali. Singkatnya, gerakan-gerakan keagamaan tidak lain dari pada mekanisme-mekanisme untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan struktural. Pendekatan struktural-fungionalis ini kemudian dilengkapi oleh pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang memandang gerakan-gerakan keagamaan sebagai tindakan rasional dan manifestasi tindakan kolektif yang terorganisasi. Dengan pendekatan ini sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi, seperti organisasi-organisasi gerakan yang normal dipandang perlu untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif. 30 Gerakan-gerakan keagamaan sebagai tipe yang khas dari gerakan sosial kemudian dipandang sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanismemekanisme mobilisasi sumber daya strategis bagi tindakan kolektif yang berlanjut. Berdasarkan nuansa ini maka perspektif teoritis yang hendak menjadi sorotan di sini adalah bagaimana melihat komponen-komponen utama gerakangerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas dari gerakangerakan sosial. 29Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam, diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), Ibid., 47.

15 Sosiologi Gerakan Keagamaan Tindakan Sosial sebagai Komponen Perilaku Kolektif Menurut Talcott Parsons, secara logis sebuah tindakan melibatkan seorang agen atau aktor, sebuah tujuan ke mana tindakan itu diarahkan, sebuah situasi yang mencakup ketentuan dan sarana untuk tindakan, serta seperangkat norma yang mengarahkan tindakan tersebut. 31 Pemikiran ini mensyaratkan sebuah proses tindakan, pilihan-pilihan aktor yang berkenaan dengan tujuan dan cara pencapaian, subjektifitas, dan situasi. Konsepsi ini bersumber dari pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial. Menurut Weber tindakan sosial dapat berorientasi ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Suatu tindakan bersifat sosial apabila tindakan itu diarahkan kepada perilaku orang lain. Maka berdasarkan orientasinya Weber mencirikan empat tipe tindakan sosial. Pertama adalah tindakan sosial yang secara instrumental berorientasi rasional yang ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi yang digunakan sebagai kondisi-kondisi atau cara-cara untuk meraih tujuan akhir yang telah diperhitungkan sebelumnya oleh sang aktor. Kedua adalah tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh keyakinan yang sadar tehadap nilai etika, keindahan, dan agama. Ketiga adalah tindakan sosial yang berorientasi afektif emosional yang ditentukan oleh kondisi perasaan aktor. Keempat adalah tindakan sosial tradisional yang ditentukan oleh kebiasaan. 32 Neil Smelser di dalam bangunan teorinya tentang perilaku kolektif mengembangkan konsep tindakan sosial dari Max Weber dan Talcott Parsons. Smelser sepaham bahwa teori tindakan sosial memandang perilaku organisme hidup sebagai 31 Talcott Parsons, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press, 1949), Max Weber, Economy and Society (Berkeley: Univ. of California Press, 1968),

16 42 Redefinisi Tindakan Sosial tindakan yang berorientasi pada pencapaian harapan dan tujuan dengan cara mengeluarkan tenaga yang secara normatif diregulasi. Ia juga menyebut empat hal yang berkaitan dengan tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi sosial, bersifat normatif regulatif, dan melibatkan upaya dan motivasi. 33 Akan tetapi menurut Smelser konsepsi Weber dan Parson didasarkan pada sudut pandang aktor, sehingga pada level abstraksi, individu-individu diperlakukan sebagai suatu sistem utama dan penting. Menurutnya, konseptualisasi dengan perspektif ini tidak dapat dipakai untuk memahami perilaku kolektif. Oleh sebab itu ia menerapkan konsepsi tindakan sosial terhadap sistem tindakan sosial yang melibatkan dua aktor atau lebih. Smelser menggiring analisis tindakan sosial pada level interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial. 34 Ia kemudian memperhatikan peran-peran dan organisasi-organisasi sosial lalu menyatakan bahwa kalau tindakan sosial hendak dikaji secara sosiologis, maka level sistem sosial merupakan sebuah keniscayaan. Berdasarkan perspektif ini, Smelser menyebut empat komponen utama tindakan sosial. Komponen pertama adalah nilai-nilai (values) yang akan memberikan panduan terhadap perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai ini adalah komponen yang paling umum dari tindakan sosial dan dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai dengan terma-terma umum yang menyatakan tujuan akhir atau kondisi akhir yang diharapkan. Komponen kedua adalah aturan-aturan regulatif (norms) yang mengatur pencapaian tujuan-tujuan perilaku sosial. Normanorma adalah aturan yang mewakili penegasan penerapan nilai-nilai umum. Ia dapat ditemukan di dalam struktur 33 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press, 1962), Ibid., 24.

17 Sosiologi Gerakan Keagamaan 43 institusional yang resmi. Norma-norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai-nilai, karena norma menentukan prinsipprinsip regulatif yang perlu jika akan mewujudkan nilai-nilai yang ada. Norma-norma adalah cara di mana pola nilai budaya dari sebuah sistem sosial diintegrasikan ke dalam aksi atau tindakan yang konkrit dari unit-unitnya dalam interaksi mereka satu sama lain. Komponen ketiga adalah mobilisasi individu untuk meraih nilai-nilai sebagai tujuan tindakan sosial berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan regulatif. Komponen ini berkaitan dengan persoalan siapa yang akan menjadi agen di dalam mencapai atau mewujudkan tujuan akhir atau nilai-hilai yang diharapkan, bagaimana tindakan dari agen-agen ini akan disusun ke dalam peran-peran yang terstruktur dan terorganisir, dan bagaimana mereka dihargai atas partisipasinya di dalam peran dan organisasinya. Para sosiolog menyebut peran ini sebagai peran organisasi sosial atau struktur sosial. Komponen yang keempat adalah ketersediaan fasilitas situasional yang dipakai oleh aktor sebagai cara untuk ketiga hal di atas, yang mencakup pengetahuan akan lingkungan, kemampuan memperkirakan akibat dari tindakan, dan alat-alat serta ketrampilan. Komponen ini melibatkan cara-cara dan halangan-halangan yang memfasilitasi atau menghalangi pencapaian tujuantujuan konkrit di dalam konteks peran dan konteks organisasi. Komponen ini merujuk pada pengetahuan aktor akan kesempatan dan keterbatasan yang ada di lingkungannya dan dalam beberapa hal pengetahuan aktor akan kemampuannya sendiri untuk mempengaruhi lingkungannya. 35 Berdasarkan perspektif konseptual tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam setiap analisis terhadap instansi tindakan sosial dalam gerakan keagamaan 35Ibid.,25.

18 44 Redefinisi Tindakan Sosial adalah apa yang menjadi nilai-nilai yang melegitimasi tindakan sosial tersebut pada level yang paling umum, oleh jenis normanorma apa tindakan sosial itu terkordinasikan, di dalam cara apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam peran-peran dan organisasi-organisasi, dan jenis fasilitas situasional apa yang tersedia bagi ketiga komponen sebelumnya. Pertanyaanpertanyaan ini kemudian ditempatkan dalam kerangka berpikir when strain is exerted on one or more of these components, and when established ways of relieving the strain are not available, various kinds of collective outbursts and movements tend to arise. 36 Hubungan antara komponenkomponen tindakan sosial harus dipahami secara hirarkis. Artinya, perubahan nilai akan membawa perubahan pada norma, organisasi, dan fasilitas. Perubahan norma akan mengakibatkan perubahan pada definisi organisasi dan fasilitas. Perubahan organisasi akan mengakibatkan perubahan pada definisi fasilitas. 37 Itu berarti perubahan bersifat top down, bukan bottom up. Artinya, apabila ketegangan muncul maka komponen-komponen tindakan sosial akan menjadi out of order dan memerlukan perbaikan. Pertanyaannya adalah bagaimana ketegangan itu diatasi dan bagaimana tindakan sosial diperbaiki. Sehubungan dengan persoalan ini maka prinsip umum untuk menyusun kembali tindakan sosial adalah bila ketegangan muncul maka perhatian harus digeser ke level tindakan sosial yang lebih tinggi untuk mencari sumber daya dalam mengatasi suatu ketegangan. Dengan kata lain, ketika ketegangan muncul, yang terjadi pada tindakan sosial adalah bahwa upaya-upaya dibuat untuk bergerak ke komponen pada level yang lebih tinggi, menyusunnya kembali, kemudian menggabungkan kembali 36Ibid.,28. 37Ibid., 33.

19 Sosiologi Gerakan Keagamaan 45 prinsip-prinsip yang baru tersebut ke level tindakan sosial yang lebih konkrit dan operatif. Inilah prinsip dekonstruksi dan rekonstruksi tindakan sosial. 38 Komponen-komponen tindakan sosial menyediakan kerangka teoritis yang umum untuk memahami isu-isu elusif dari perilaku kolektif, misalnya apa jenis ketegangan struktural yang memunculkan adanya perbedaan tipe perilaku kolektif, di jalur mana respon perilaku kolektif terhadap ketegangan struktural ini mengalir, apa tipe-tipe utama perilaku kolektif dan bagaimana mereka terhubung satu sama lain, serta bagaimana kontrol sosial mempengaruhi perkembangan perilaku kolektif. 39 Dengan demikian dalam pandangan Smelser gerakan sosial dapat muncul apabila ada ketegangan-ketegangan struktural di dalam masyarakat yang berkaitan dengan nilai atau norma dan keteganganketegangan tersebut tidak dapat diatasi oleh struktur sosial yang ada. Dalam hal inilah pada umumnya gerakan-gerakan sosial berorientasi pada perubahan sosial Perilaku Kolektif sebagai Komponen Gerakan Sosial Sosiologi pada umumnya menghubungkan perilaku kolektif atau tindakan kolektif dengan respon-respon massif yang terwujud di dalam ragam gerakan sosial untuk sebuah perubahan sosial. Menurut Nicholas Abercrombie konsep perilaku kolektif pertama kali muncul dalam teori kerumunan dari G. Le Bon di tahun Pemikirannya yang utama adalah bahwa ketika terjadi gejolak sosial maka masyarakat akan terancam oleh aturan kerumunan. Pada saat itu mentalitas individual akan dikuasai oleh mentalitas kolektif sehingga 38Ibid., Ibid.,45-46.

20 46 Redefinisi Tindakan Sosial secara radikal perilaku individual akan ditransformasi menjadi perilaku kolektif. 40 Konsepsi awal perilaku kolektif sebagai tindakan rasional tersebut kemudian dikembangkan dengan lengkap oleh Neil Smelser. Ia mendefinisikan perilaku kolektif sebagai suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan dalam rangka mengartikan kembali tindakan sosial. 41 Itu berarti perilaku kolektif bersangkutan dengan redefinisi kolektif terhadap suatu keadaan yang tidak terstruktur. Ia berbeda dengan perilaku konfensional sebab perilaku konfensional merupakan hasil dari harapan-harapan yang sudah mapan. 42 Berdasarkan definisi ini Smelser menyebutkan bahwa perilaku kolektif dipandu oleh ragam jenis kepercayaan, pengkajian terhadap situasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan. Kepercayaan-kepercayaan yang dimaksudkan oleh Smelser mencakup kepercayaan akan eksistensi kekuatan-kekuatan luar biasa (extraordinary forces). Teori perilaku kolektif Smelser dibangun di atas dua konstruksi, yaitu konstruksi komponen-komponen tindakan sosial dan konstruksi proses pertambahan nilai. Yang pertama adalah bahasa yang dipakai Smelser untuk menggambarkan dan mengelompokan tindakan sosial, sedangkan yang kedua adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam model-model eskplanasi. Smelser mengatakan bahwa menurut logika pendekatan pertambahan nilai, peristiwa atau situasi apapun demi menjadi sebuah faktor penentu dari suatu episode kolektif, maka ia harus terjadi di dalam batas-batas yang dibuat oleh faktor-faktor penentu yang lain. Dalam bentuknya 40 Nicholas Abercrombie (et.al.), Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Smelser, Theory of Collective Behavior, Ibid.,23.

21 Sosiologi Gerakan Keagamaan 47 yang paling sederhana pendekatan ini melibatkan klaim bahwa terdapat keseragaman rangkaian empiris tertentu di dalam perkembangan sebuah episode perilaku kolektif. Di dalam proses pertambahan nilai ini ia membedakan antara occurrence atau existence dari suatu peristiwa atau situasi dengan activation dari peristiwa atau situasi itu sebagai satu faktor penentu. Logika pertambahan nilai menyatakan secara tidak langsung suatu rangkaian aktivasi temporal dari faktorfaktor yang menentukan. Akan tetapi semua faktor penentu ini mungkin telah ada selama suatu periode yang tidak tentu sebelum terjadinya aktivasi. Logika inilah yang menentukan penjelasan dari sebuah episode perilaku kolektif. Singkatnya, logika pertambahan nilai menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi aktivasi faktor-faktor penentu, tetapi tidak menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi pembentukan secara empirik peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi. Menurut Smelser, peristiwa atau situasi empiris tertentu mungkin menjadi penting sebagi faktor penentu perilaku kolektif. Krisis finansial yang hebat misalnya akan menciptakan deprivasi ekonomi yang meluas dan ketegangan struktural sehingga dapat mencetuskan satu letupan sosial. Perpecahan keagamaan yang berlangsung lama, akan membuat frustrasi setiap kelompok. Di bawah kondisi-kondisi ketegangan struktural seperti ini, faktor-faktor penentu laten dapat diaktifkan untuk memberi kontribusi bagi sebuah ledakan kolektif. 43 Pemikiran Smelser yang relevan di sini adalah bahwa perilaku kolektif dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial, dan bahwa bentuk-bentuk perilaku kolektif merupakan sebuah serial yang bertingkat mulai dari yang sederhana 43Ibid.,

22 48 Redefinisi Tindakan Sosial sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk yang lebih kompleks akan mencakup lebih banyak komponen ketimbang bentukbentuk yang lebih sederhana. Orang-orang yang berada di bawah situasi atau kondisi ketegangan dapat memobilisir sumber daya mereka untuk menyusun kembali tata sosial atas nama sebuah keyakinan umum. 44 Artinya, gerakan-gerakan sosial menjadi jalan rasional yang diambil oleh sekelompok orang yang menginginkan terjadinya perubahan sosial. Memang proposisi ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk menafsirkan data-data aktual ragam perilaku kolektif dalam gerakan-gerakan sosial. Maka untuk membuatnya lebih spesifik perlu diidentifikasi sejumlah keyakinan umum yang berbeda dan kemudian dipertanyakan di bawah kondisi apa orang akan mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di atasnya. Misalnya gerakan keagaman berorientasi nilai, di bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang akan mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya? Pertanyaan inilah yang membuat proposisi utama Smelser dapat diimplikasikan secara metodologis untuk memahami tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas perilaku kolektif di dalam masyarakat. Perilaku kolektif memiliki empat komponen utama, yaitu nilai-nilai (values) sebagai sumber daya umum bagi legitimasi tindakan sosial, norma-norma (norms) sebagai patokan regulatif (regulatory standard) dalam berinteraksi, pengerahan (mobilization) motivasi individu untuk tindakan yang terorganisir di dalam peran-peran dan kolektifitaskolektifitas, fasilitas-fasilitas situasional (situational facilities) seperti informasi atau pengetahuan, ketrampilan, peralatan, dan hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan yang 44 Ibid., 385.

23 Sosiologi Gerakan Keagamaan 49 konkret. 45 Berdasarkan keempat komponen ini dapat dibedakan empat tipologi perilaku kolektif dan gerakan sosial. Tipologi pertama adalah gerakan berorientasi nilai (the valueoriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dimobilisir atas nama sebuah keyakinan yang digeneralisasi (generalized belief) dalam rangka menyusun kembali kembali nilai-nilai dalam tindakan sosial. Kedua adalah gerakan berorientasi norma (the norm-oriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dikerahkan untuk menyusun kembali normanorma dalam tindakan sosial. Ketiga adalah ledakan tindakan permusuhan (the hostile outburst) sebagai tindakan kolektif yang dikerahkan untuk meminta tanggung jawab para aktor sosial atas keadaan yang tidak diinginkan. Yang keempat adalah panik (the craze and panic) sebagai bentuk-bentuk perilaku kolektif yang didasarkan pada redefinisi fasilitas situasional bersama. 46 Gerakan keagamaan adalah fenomena perilaku kolektif berorientasi nilai yang berupaya untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan nilai-nilai demi sebuah keyakinan yang digeneralisir. Keyakinan seperti itu melibatkan semua komponen tindakan sosial dan mengharapkan rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi norma-norma, reorganisasi motivasi-motivasi individual, dan redefinisi fasilitas-fasilitas situasional. 47 Perilaku kolektif merupakan sebuah mobilisasi tindakan sosial yang terinstitusionalisasi demi memodifikasi ketegangan-ketegangan struktural berdasarkan suatu generalized constitution dari sebuah komponen tindakan sosial. Secara historis perilaku kolektif sering diasosiasikan dengan proses reorganisasi struktural komponen-komponen tindakan sosial. Episode perilaku kolektif sering merupakan 45 Ibid., Ibid., 9 47 Ibid., 313.

24 50 Redefinisi Tindakan Sosial tahap awal dari perubahan sosial yang terjadi ketika kondisikondisi ketegangan telah muncul, sementara sumber daya sosial belum dimobilisir untuk pemecahan atau penanganan yang efektif terhadap sumber-sumber ketegangan tersebut. Di dalam konteks transformasi kebudayaan sebagai akibat proses globalisasi, Alberto Melluci mengembangkan juga konsep dan teori perilaku kolektif yang disebutnya sebagai tindakan kolektif (collective action). 48 Berbeda dengan Smelser yang membangun teori perilaku kolektif di atas dua konstruksi dasar yaitu konstruksi tindakan sosial dan konstruksi pertambahan nilai, Melluci lebih memperhatikan konstruksi identitas kolektif di tengah transformasi budaya yang sangat luar biasa dalam masyarakat kontemporer. Perkembangan yang impresif di bidang teknologi komunikasi telah menciptakan sebuah sistem media sedunia. Salah satu akibatnya adalah terjadinya konfrontasi resiprokal yang massif pada kebudayaan-kebudayaan manusia. Di sinilah dimensi-dimensi kebudayaan tindakan manusia menjadi sumber daya inti untuk produksi dan konsumsi. Melluci melihat studi gerakan-gerakan sosial selalu terbagi oleh warisan dualistik analisis struktural, yaitu analisis pra kondisi untuk tindakan kolektif dan analisis motivasimotivasi individual. Akan tetapi eksplanasi-eksplanasinya tidak pernah dapat mengatasi kesenjangan antara perilaku dan makna, antara kondisi-kondisi objektif dengan motif-motif subjektif dan orientasi-orientasi. Eksplanasi-eksplanasi dari analisis struktural tidak pernah dapat menjawab persoalan tentang bagaimana aktor-aktor sosial membentuk sebuah kolektivitas dan mengakui bahwa diri mereka sendiri adalah bagian dari kolektivitas itu; bagaimana mereka merawat diri 48 Alberto Melluci, Challenging Codes, Collective Action in the Information Age (New York: Cambridge Univ. Press, 1996),

25 Sosiologi Gerakan Keagamaan 51 mereka sendiri dari waktu ke waktu; bagaimana tindakan bersama dapat dimengerti oleh para partisipan di dalam sebuah gerakan sosial; atau bagaimana makna tindakan kolektif datang dari prakondisi-prakondisi struktural atau dari puncak motif-motif individual. 49 Kecenderungan baru gerakan sosial dalam masyarakat dewasa ini adalah terjadinya pergeseran fokus dari issu kelas dan ras ke issu-issu kebudayaan. Konflik-konflik sosial dan aksi-aksi protes yang muncul di dalam masyarakat tidak terekspresi melalui aksi politik saja, melainkan juga dalam bentuk tantangan-tantangan kultural terhadap bahasa-bahasa dominan, terhadap kode-kode yang mengatur informasi dan membentuk praktek sosial. Dimensi-dimensi krusial kehidupan sehari-hari, seperti waktu, ruang, relasi interpersonal, identitas individu dan kelompok, terseret di dalam konflik-konflik masyarakat. Sementara itu aktor-aktor baru telah mengklaim otonomi mereka dalam memahami kehidupan mereka. 50 Di sinilah issu identitas dan tindakan kolektif muncul dalam bentuk gerakan-gerakan sosial dan kebudayaan. Melluci menggambarkan masyarakat-masyarakat kontemporer sebagai sistem-sistem yang sangat terdiferensiasi, yang menginvestasi penciptaan pusat-pusat tindakan swatantra individual dan pada saat yang sama menuntut integrasi yang lebih dekat dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan manusia. Dalam pandangannya, gerakan-gerakan sosial mencoba menentang campur tangan otoritas mapan di dalam kehidupan sosial. Baginya, gerakangerakan sosial memberi kesempatan kepada orang-orang 49Alberto Melluci, The Process of Collective Identity dalam Hank Johnston and Bert Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minnesota: The Univ. Minnesota Press, 1995), Ibid.,43.

26 52 Redefinisi Tindakan Sosial untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan pribadi sehingga manipulasi sistem yang omnipresent dan komprehensif dapat dihindari. 51 Oleh karena itu gerakangerakan sosial kontemporer tidak membatasi diri mereka hanya untuk memperoleh hal-hal yang material, tetapi menantang pemahaman-pemahaman politik yang difusif di dalam masyarakat. Aktor-aktor tidak mengharapkan intervensi otoritas mapan untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan, tetapi bertahan terhadap ekspansi intervensi ideologis di dalam kehidupan sehari-hari dan mempertahankan otonomi personal. Melluci memahami tindakan kolektif sebagai hasil dari sesuatu yang memiliki tujuan, sumber daya, dan keterbatasan; sebagai sebuah orientasi yang memiliki maksud tertentu dan yang dikonstruksi oleh cara-cara relasi-relasi sosial di dalam sebuah sistem oportunitas dan ketidakleluasaan. Itulah sebabnya tindakan kolektif tidak dapat dipandang hanya sebagai efek prakondisi-prakondisi struktural ataupun ekspresi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Individuindividu yang bertindak secara kolektif mengkonstruksi tindakan mereka berdasarkan investasi-investasi yang terorganisir, atau dalam terma-terma kognitif, mereka menentukan the field of possibilities dan ketidakleluasaan yang mereka rasakan, sementara pada saat yang sama mereka mengaktifkan relasi-relasi mereka sehingga memberi arti terhadap keberadaan bersama mereka dan untuk tujuantujuan yang mereka kejar. 52 Dalam hal inilah menurut Melluci, unitas sebuah gerakan sosial atau gerakan keagamaan harus dipandang 51 Porta, Social Movements,9. 52 Melluci, The Process of Collective Identity, 43.

27 Sosiologi Gerakan Keagamaan 53 sebagai sebuah hasil ketimbang sebuah titik berangkat, sebuah fakta yang perlu dijelaskan ketimbang sebuah evidence. Peristiwa-peristiwa di mana sejumlah individu bertindak secara kolektif mengkombinasikan perbedaan orientasiorientasi yang melibatkan aktor-aktor dari banyak bagian dan melibatkan sebuah sistem opportunitas serta kendala yang membentuk relasi-relasi mereka. Aktor-aktor memproduksi tindakan kolektif karena mereka dapat mendefinisikan diri mereka sendiri dan hubungan-hubungan mereka dengan suatu lingkungan. Definisi yang dikonstruksi oleh aktor-aktor ini tidak bersifat linear tetapi diproduksi oleh interaksi, negosiasi, dan oposisi dari orientasi-orientasi yang berbeda. Individu-individu atau sub-sub kelompok berkontribusi pada formasi kekitaan dengan memberikan tiga aturan orientasi umum, yakni hal-hal yang berhubungan dengan akhir tindakan, hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara, upaya, atau sarana, posibilitas dan batasan-batasan tindakan, dan hal-hal yang berhubungan dengan relasi-relasi dengan lingkungan atau bidang di mana tindakan terjadi. Melluci menyebut identitas kolektif ini sebagai proses konstruksi sistem tindakan. 53 Dengan demikian identitas kolektif adalah sebuah definisi interaktif dan bersama yang dibuat oleh beberapa individu atau kelompok dan dengan memperhatikan orientasi-orientasi tindakan dan bidang oportunitas dan ketegangan di mana suatu tindakan terjadi. Sehubungan dengan itu Melluci menekankan beberapa hal. Pertama, identitas kolektif sebagai sebuah proses sangat terkait dengan definisi-definisi kognitif mengenai tujuantujuan, cara-cara, dan bidang tindakan. Elemen-elemen tindakan kolektif yang berbeda ini didefinisikan dalam sebuah bahasa yang dimiliki bersama oleh sebagian atau keseluruhan 53Ibid.,44.

28 54 Redefinisi Tindakan Sosial masyarakat atau yang spesisfik bagi sebuah kelompok. Mereka tergabung dalam sekumpulan ritual, praktek hidup, artefakartefak kultural. Kedua, identitas kolektif sebagai sebuah proses menunjuk pada jejaring (network) relasi-relasi yang aktif antara aktor-aktor yang berinteraksi, berkomunikasi, memengaruhi satu sama lain, bernegosiasi, dan membuat keputusan-keputusan bersama. Bentuk-bentuk organisasi, model-model kepemimpinan, saluran-saluran komunikatif, dan teknologi komunikasi merupakan bagian-bagian konstitutif dari jejaring relasi-relasi ini. Ketiga, diperlukannya sebuah derajat investasi emosional, yang memampukan individu-individu untuk merasa seperti bagian dari suatu kesatuan umum di dalam konseptualiasi identitas kolektif. Terma identitas secara umum digunakan oleh Melluci untuk menunjuk pada kelanggengan sebuah subjek tindakan dari waktu ke waktu dan yang tidak dipengaruhi oleh perubahanperubahan lingkungannya. Identitas menyatakan secara tidak langsung pemahaman akan kesatuan dengan batas-batas yang tetap dari sebuah subjek. Identitas menyatakan sebuah relasi antara dua aktor yang memungkinkan rekognisi mutual mereka. Dengan demikian pemahaman tentang identitas selalu menunjuk pada tiga elemen, yaitu kontinuitas sebuah subjek terhadap berbagai variasi dan adaptasinya dengan lingkungan, delimitasi subjek tersebut berkenaan dengan yang lain, dan kemampuan subjek untuk mengenal dan dikenal. Oleh karena itu identitas kolektif mengandaikan atau mensyaratkan tiga hal. Pertama adalah kemampuan refleksi diri (self-reflective ability) dari aktor-aktor sosial. Tindakan kolektif bukan hanya sebuah reaksi terhadap kendala-kendala sosial dan lingkungan, ia juga memproduksi orientasi-orientasi dan makna-makna simbolik yang dapat dikenali oleh aktor. Kedua, identitas kolektif memerlukan sebuah pemahaman kausalitas

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i adalah sebuah hasil konstruksi sosial dan

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economists and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economicts and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI

DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI DASAR-DASAR ILMU SOSIAL SISTEM SOSIAL PARSONS SAMSURI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oktober 2011 PADA MULANYA...WEBER ZWECKRATIONALITÄT RASIONALITAS BERTUJUAN WERTRATIONALITÄT RASIONALITAS

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14 Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

Masyarakat Indonesia. Pengelana (Penjajah) Budaya, Agama. Sistem Ekonomi, Bahasa

Masyarakat Indonesia. Pengelana (Penjajah) Budaya, Agama. Sistem Ekonomi, Bahasa Masyarakat Indonesia Geografis Pengelana (Penjajah) Sistem Pemerintahan Suku Bangsa Budaya, Agama Kota-Desa, RK, RW, RT Mata Pencaharian Sistem Ekonomi, Bahasa Aturan Hukum Pelapisan Sosial Golongan Buruh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

Facebook :

Facebook : 1 Nama : Dian Silvia Ardasari Tetala : Baso, 4 Desember 1983 Pendidikan : Sarjana Sosial dari Universitas Indonesia Status : Istri dari Chairul Hudaya Ibu dari Naufal Ghazy Chairian (3,5 th) dan Naveena

Lebih terperinci

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB. Drs. Akhmad Mulyana M.Si SOSIOLOGI KOMUNIKASI hanyalah yang tidak mengandung nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai partai. Biasanya dalam sistem komunikasi seperti itu, isi media massa juga ditandai dengan sejumlah slogan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER Max Weber (1864-1920), ia dilahirkan di Jerman dan merupakan anak dari seorang penganut protestan Liberal berhaluan sayap kanan. Weber berpendidikan ekonomi, sejarah,

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Sosiologi lahir manakala muncul perhatian terhadap masyarakat karena perubahan yang terjadi Terdapat peristiwa besar di

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Deddy N. Hidayat dalam penjelasan ontologi paradigma kontruktivis, realitas merupakan konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam penulisan ini akan dibahas pergerakan orang-orang kulit hitam di Jamaika pasca kemerdekaan sampai dengan awal tahun 1970an. Dan yang menjadikan ini menarik adalah

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI MODUL PERKULIAHAN PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI Pokok Bahasan 1. Alternatif Pandangan Organisasi 2. Perkembangan Teori Dalam Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ilmu Komunikasi Public

Lebih terperinci

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09

Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 Matakuliah : O0042 Pengantar Sosiologi Tahun : Ganjil 2007/2008 PERUBAHAN SOSIAL DAN MODERNITAS PERTEMUAN 09 1. Pengertian Perubahan Sosial Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter. Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi 219 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kajian tentang Dimensi Epistemologi dalam Sosiologi Peter Ludwid Berger dan Relevansinya terhadap Pengembangan Studi Islam di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Studi Gerakan Sosial

Ruang Lingkup Studi Gerakan Sosial Ruang Lingkup Studi Gerakan Sosial Mind Map Ruang lingkup studi gerakan sosial Definisi dan posisi studi gerakan sosial Cakupan gerakan sosial Pengertian Gerakan Sosial Berikut ini dipaparkan beberapa

Lebih terperinci

TEORI SOSIOLOGI KLASIK MAX WEBER

TEORI SOSIOLOGI KLASIK MAX WEBER TEORI SOSIOLOGI KLASIK MAX WEBER Prof. Dr. Farida Hanum DISUSUN OLEH : 1. Rahma Dewi Agustin 12413244006 2. Nurrizal Ikrar L 12413244013 3. Suhendra Lumban R 12413249006 JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

TEORI DAN METODOLOGI

TEORI DAN METODOLOGI TEORI DAN METODOLOGI MEMBANGUN PARADIGMA DALAM TEORI SOSIOLOGI 3 PARADIGMA FAKTA SOSIAL DEFINISI SOSIAL PERILAKU SOSIAL Sudut pandang sistem sosial sebagai keseluruhan Sudut pandang struktur sosial Tindakan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH Pokok Bahasan : Perkembangan teori sosiologi dan antropologi. Pertemuan ke- : 1 dan 2 Mahasiswa memiliki pemahaman dan wawasan mengenai perkembangan teori sosiologi dan antropologi. 1. Menjelaskan pengertian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

DEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI. Pertemuan 2

DEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI. Pertemuan 2 DEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Berhubungan dengan ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1789-1857) yang dengan kreatif menyusun

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN X (SEPULUH) SOSIOLOGI SOSIOLOGI: ILMU MASYARAKAT

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN X (SEPULUH) SOSIOLOGI SOSIOLOGI: ILMU MASYARAKAT JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA X (SEPULUH) SOSIOLOGI SOSIOLOGI: ILMU MASYARAKAT DEFINISI SOSIOLOGI: Studi sistematis tentang: Perilaku social individu-individu Cara kerja kelompok social,

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Filsafat Ilmu Sosial 1 Positivistik (Value free) Fenomenologi (Value Bound) Perbedaan Paradigma dalam Sosiologi 2 3 Ilmu-ilmu sosial (seperti Sosiologi) telah

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS A. Teori Fungsionalisme Struktural AGIL Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahanperubahan. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

GERAKAN SOSIAL. Dr. Bob Alfiandi JURUSAN SOSIOLOGI FISIP UNAND PADANG

GERAKAN SOSIAL. Dr. Bob Alfiandi JURUSAN SOSIOLOGI FISIP UNAND PADANG GERAKAN SOSIAL Dr. Bob Alfiandi JURUSAN SOSIOLOGI FISIP UNAND PADANG 2013 ASAL-USUL DAN PENGERTIAN KONSEP GERAKAN SOSIAL = SOCIAL MOVEMENT Dipopulerkan oleh Eric Hobsbawm (sejarah Marxis) pada tahun 1950

Lebih terperinci

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi Sosiologi Kesehatan Sosiologi Industri Sosiologi Desain Sosiologi Budaya Sosiologi Ekonomi 1 Kajian Sosiologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,

Lebih terperinci

Dimensi Subjektif - Objektif

Dimensi Subjektif - Objektif Sociological Paradigms and Organisational Analysis [chapter 1-3] Gibson Burrell & Gareth Morgan Heinemann, London 1979 Empat Asumsi Tentang Sifat Ilmu Sosial (1) Ontology Asumsi yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Tato merupakan salah satu karya seni rupa dua dimensi yang layak untuk dihargai keberadaannya. Penenelitian tentang tattoo artist bernama Awang yang merupakan

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS A. Teori Fungsionalisme Struktural Untuk menjelaskan fenomena yang diangkat oleh peneliti yaitu Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik SILABUS Fakultas : Ilmu Sosial Mata Kuliah & Kode : Ilmu Sosial Profetik Jumlah SKS : 2 SKS Dosen : I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini akan membahas tentang konsep-konsep dasar Ilmu Sosial Profetik

Lebih terperinci

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak P A R A D I G M A (Penelitian Sosial) I Paradigma Merton universalisme, komunalisme, pasang jarak/ tanpa keterlibatan emosional, skeptisisme

Lebih terperinci

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial DOI: 10.7454/mjs.v22i2.8245 Resensi More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial Kevin Nobel Kurniawan Departemen Sosiologi UI Email: KevinNobel93@gmail.com Pyythinen, Olli.

Lebih terperinci

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

VIII KESIMPULAN DAN SARAN VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Empirik 8.1.1. Konstruksi Pengetahuan Zakat Konstruksi pengetahuan zakat LAZ Komunitas, BAZDA, dan LAZ Swasta, merupakan hasil dari bekerjanya rezim pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bila ditarik garis besarnya maka di dalam skripsi ini saya telah mencoba memaparkan sebuah teori tentang kemungkinan baru di dalam memunculkan sebuah ranah publik melalui hubungan

Lebih terperinci

Etika Bisnis dan Globalisasi

Etika Bisnis dan Globalisasi Etika Bisnis dan Globalisasi Globalization: the process by which the economic and social systems of nations are connected together so that goods, services, capital, and knowledge move freely between nations.

Lebih terperinci

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA 1. Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama. Beberapa cara melihat agama; menurut Soedjito (1977) ada empat cara, yaitu: memahami atau melihat sejarah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS 17 BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori Ralf Dahendrof. Karena, teori Dahendrof berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat salah satunya adalah teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

PENDEKATAN- PENDEKATAN KEILMUAN. Modul ke: 1Ilmu Komunikasi MATAKULIAH KEWARGANEGARAAN. Fakultas. Muhamad Rosit, M.Si. Program Studi Penyiaran

PENDEKATAN- PENDEKATAN KEILMUAN. Modul ke: 1Ilmu Komunikasi MATAKULIAH KEWARGANEGARAAN. Fakultas. Muhamad Rosit, M.Si. Program Studi Penyiaran Modul ke: PENDEKATAN- PENDEKATAN KEILMUAN MATAKULIAH KEWARGANEGARAAN Fakultas 1Ilmu Komunikasi Muhamad Rosit, M.Si. Program Studi Penyiaran Scientific (Ilmiah-Empiris) Humanistic (Humaniora- Interpretif)

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1

SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1 SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1 Oleh Nurcholish Madjid Pertama perlu ditegaskan bahwa saya membuat perbedaan prinsipal antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

SOSIOLOGI KOMUNIKASI SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: Teori Teori Sosiologi Komunikasi Fakultas ILMU KOMUNIKASI Yuliawati, S.Sos, M.IKom Program Studi HUBUNGAN MASYARAKAT http://www.mercubuana.ac.id SOSIOLOGI = SOCIOLOGY= Socius

Lebih terperinci

Rangkuman UAS Sosiologi By:Merah Dhaka Satria/X- IIS 2

Rangkuman UAS Sosiologi By:Merah Dhaka Satria/X- IIS 2 Rangkuman UAS Sosiologi By:Merah Dhaka Satria/X- IIS 2 Fungsi dan Peran Sosiologi A. Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individual dan Sosial Dithley : manusia secara esensial berevolusi dan berkembang. Sebagai

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 3 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat memahami tentang: Teori system, teori struktural fungsional, teori konflik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN ASUMSI TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN ASUMSI TEORITIS BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN ASUMSI TEORITIS 1. Pendahuluan Ada akademisi yang melakukan penelitian tentang Perkantas, namun belum melakukan penelitian dalam perspektif sosiologis. Ada satu karya ilmiah yang

Lebih terperinci

VII KONFLIK DAN INTEGRASI

VII KONFLIK DAN INTEGRASI VII KONFLIK DAN INTEGRASI Pengertian Konflik Konflik adalah perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk

Lebih terperinci

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Pertemuan ke-10 (02) Berdasarkan keragka teori dan metode pengkajiannya, teori modernisasi mampu menurunkan berbagai impliaksi kembijakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi

Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi ISSN : 1978-4333, Vol. 01, No. 02 7 Sosiologi Kepentingan (Interest) dalam Tindakan Ekonomi Titik Sumarti 1 Ringkasan Sosiologi ekonomi adalah wilayah kajian baru dalam sosiologi yang berusaha mendekatkan

Lebih terperinci

Kajian Filsafati pada Ilmu Komunikasi. Rachmat Kriyantono, Ph.D

Kajian Filsafati pada Ilmu Komunikasi. Rachmat Kriyantono, Ph.D Kajian Filsafati pada Ilmu Komunikasi Rachmat Kriyantono, Ph.D Kajian Filsafati pada Ilmu Komunikasi Sejauh mana manusia membuat pilihan-pilihan nyata? - apakah pilihan nyata adalah mungkin? a. Kaum determinis:

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan umum dan khusus, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 NEQUALITY DAN MUNCULNYA PERILAKU ANOMI Beberapa konsep yang digunakan pada kajian ini ialah, komunitas, inequality, konflik, dan pola perilaku. Komunitas yang dimaksud disini

Lebih terperinci