MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI"

Transkripsi

1 MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 ABSTRACT SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Green City Model of Bandung Regency West Java. Under the supervision of HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, and HERRY PURNOMO. Urban development in Bandung Regency has been responsible for the urban heat island effect and increased of air temperature due to increased CO 2 emissions from motor vehicles, human population and industries. Other then these, urban heat island was also caused by increasing built ups and declining green open spaces leading to decreased albedo while in turn raised the air temperature. Urban heat island should be managed through studying the related variables. The purpose of this study was to assess the heat island city and create a green city model. This green city model is expected to be the basis to make policy for green growth based development to create Bandung regency as a green city. The research was conducted by collecting secondary data (socio-economic conditions, number of vehicles, industry, population), and primary data through field s measurements of micro climate, crowns density, quantities of motor vehicles, direct interviews with residents of Bandung Regency, and analyzing the distribution of air temperature. The results of this research, especially the study of the conditions of heat island effect, indicated that Bandung Regency has experiencing urban heat island effect, where the air temperature in urban centers (27,0 C) were higher than in rural areas (20,0 C). The difference between the highest and lowest air temperature was 7 C. The research also suggested that higher percentage of land built ups would result in lower percentage of green open spaces, thus higher CO 2 emissions which would caused an increase of areas with high temperature. Research Area I has the highest percentage (60%) of develop area and the lowest percentage (29%) of green open space and also high CO 2 emissions (503,987 tons CO 2 /year). This causes the region has most extensive area ( ha) with high temperature (air temperature > 27 º C) in comparison with Research Area II and III. Urban heat island problems can be solved by building a green open space. Based on the measurements of micro climate in several types of green open space, it can be concluded that green open spaces including urban forest are very important in overcoming urban heat island, because they can lower the air temperature. Urban forest is known to be more effective in resolving urban heat island issues than any other types of green open spaces. Based on the results of simulations model, green scenarios can be used as a tool to determine alternative policies to address urban heat island issue. Green scenario could hold back the occurrence of 30 C air temperature. The temperature would occur on 2054 in Research Area I, after 2058 in Research Area II, and on 2056 in Research Area III. Although the factors which influence heat island had been well managed (using green scenario), nevertheless urban areas which already had high percentage of developed area, low percentage of green open space, and high CO 2 emissions, would still generate a condition of 30 C air temperature on a faster rate (for example Research Area I). Keywords : built up, green city, green open space, model, urban heat island

3 2 RINGKASAN SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, dan HERRY PURNOMO. Masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara saat ini adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Pulau bahang kota menyebabkan heat island effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan Kabupaten Bandung. Terbentuknya pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CFC, CH 4 ) dan lahan terbangun di area perkotaan. Berbagai aktivitas di perkotaan (transportasi, industri, sampah), menghasilkan gas rumah kaca dan menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Lahan terbangun di area perkotaan menyebabkan albedo menurun sehingga semakin banyak radiasi yang diserap sehingga dapat meningkatkan pemanasan dan peningkatan suhu udara. Kabupaten Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang sudah mengalami efek pulau bahang. Kabupaten Bandung juga merupakan kawasan penyangga Kota Bandung yang terus berkembang dan menyebabkan jumlah penduduk, lahan terbangun dan jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat terus meningkat dengan peningkatan masing-masing sebesar 1,95%; 7%; 4,3%; dan 2,3%. Total emisi CO 2 dari berbagai aktivitas tersebut, diperkirakan sebesar ton/tahun. Sebaliknya ruang terbuka hijau terus menurun (4,3%). Tingginya emisi CO 2 dan kurangnya ruang terbuka hijau khususnya di area perkotaan, menyebabkan terjadinya efek pulau bahang sehingga suhu udara di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah perdesaan. Kondisi ini menyebabkan kenyamanan di area perkotaan menurun. Agar pembangunan di Kabupaten Bandung terus berjalan dengan baik dan kondisi lingkungan juga terjaga, maka perlu strategi pembangunan berbasis keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dikenal dengan pembangunan kota hijau (green city). Kota hijau dapat diwujudkan dengan pembangunan yang mempertimbangkan keseimbangan beberapa faktor yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, (3) keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, (4) daya lenting lingkungan terhadap perubahan iklim, serta (5) penurunan gas rumah kaca. Pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan keseimbangan kelima faktor tersebut dikenal dengan pembangunan berbasis green growth. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kondisi pulau bahang kota yang terdiri dari kajian potensi emisi gas CO 2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Bandung. Selain mengkaji pulau bahang kota, tujuan penelitian ini adalah membuat model kota hijau melalui penanganan

4 pulau bahang kota (urban heat island) sehingga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan sehingga dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung. Penelitian dilakukan di tiga wilayah perkotaan. Wilayah I terdiri dari Kec. Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot, Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi. Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk, Kec. Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay, Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan Kec. Rancaekek. Metode penelitian terdiri dari kajian efek pulau bahang, ruang terbuka hijau, sosial ekonomi, dan pembuatan model kota hijau. Analisis data penelitian terdiri dari : (1) analisis efek pulau bahang dengan menggunakan analisis spasial, (2) analisis deskriptif dan kuantitatif kajian ruang terbuka hijau, (3) analisis deskriptif kondisi sosial ekonomi masyarakat, (4) analisis sistem dinamik dengan menggunakan program stella 9.2. Berdasarkan hasil analisis spasial tutupan lahan di wilayah penelitian, diketahui bahwa lahan terbangun di Wilayah I, II dan III, berturut turut adalah sebesar 60%, 40% dan 37%. Sedangkan persentase ruang terbuka hijau berturut turut 29%, 45% dan 52%. Berdasarkan analisis spasial terhadap distribusi suhu udara, diketahui suhu udara tertinggi dan terendah di Wilayah I, lebih tinggi dibandingkan area II dan III. Suhu udara tertinggi di Wilayah I, II dan III berturut turut yaitu 29 ºC, 28 ºC, dan 27 ºC. Sedangkan suhu terendah di area I, II dan III berturut turut adalah 22 ºC, 21 ºC, dan 20 ºC. Berdasarkan analisis spasial penutupan lahan dan distribusi suhu udara, maka dapat disimpulkan bahwa di wilayah perkotaan di Kabupaten Bandung telah terjadi pulau bahang kota. Pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau. Berdasarkan pengukuran iklim mikro diketahui bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon (hutan kota) lebih efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara. Selain jenis ruang terbuka hijau, indeks luas daun (kerindangan) juga mempengaruhi kondisi suhu udara. Semakin tinggi nilai indeks luas daun, maka akan semakin menurunkan suhu udara. Bentuk dan struktur hutan kota juga berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban udara. Bentuk hutan kota yang menggerombol dan berstrata banyak paling tinggi mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara. Agar masalah pulau bahang kota dapat diatasi dengan efektif, maka perlu penentuan lokasi ruang terbuka hijau yang disesuaikan dengan analisis arah dan kecepatan angin agar absorbsi dan adsorbsi CO 2 dapat efektif dan efisien. Berdasarkan windrose di Kabupaten Bandung, posisi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota sebaiknya dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di sebelah timur dan barat sumber polutan. Selain itu juga melintang dari barat ke timur dengan letak di sebelah selatan sumber polutan. Informasi hasil kajian kondisi pulau bahang kota, ruang terbuka hijau, dan kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Bandung, digunakan dalam penyusunan model kota hijau. Berdasarkan simulasi model, secara umum untuk wilayah Kabupaten Bandung, skenario hijau masih memungkinkan digunakan untuk mengatasi masalah pulau bahang kota sehingga dapat membantu untuk mewujudkan kota hijau. Pilihan kebijakan dengan menggunakan skenario hijau dapat menjaga kondisi lingkungan khususnya suhu udara sehingga suhu udara 30 ºC di wilayah Kabupaten Bandung baru akan terjadi pada tahun Namun skenario hijau pada wilayah perkotaan yang sudah terlanjur didominasi oleh lahan terbangun, emisi CO 2 yang tinggi, serta kurangnya lahan ruang terbuka hijau (Wilayah I), menyebabkan suhu udara 30 C 3

5 terjadi lebih cepat. Berdasarkan simulasi model, maka program kota hijau berbasis green growth sangat penting diterapkan seawal mungkin terutama untuk kota-kota yang masih pada taraf awal pengembangan. 4

6 5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7 6 MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

8 7 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S : Dr. Ir. Tania June, MSc Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : Dr. Ir. Efransjah : Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si

9 8 Judul Disertasi : Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat Nama : Siti Badriyah Rushayati NRP : E Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra Ketua Dr. Ir. Endes N. Dahlan, M.S Anggota Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr. Ir. Ervizal AM. Zuhud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 20 Desember 2011 Tanggal Lulus :

10 9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Karya ilmiah dalam disertasi ini adalah mengenai model kota hijau untuk mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi masalah di banyak kota di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Adapun judul dari disertasi ini adalah Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.H. Hadi S. Alikodra selaku pembimbing utama, serta kepada Bapak Dr.Ir.H. Endes N. Dahlan, MS, dan Bapak Dr.Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku anggota pembimbing, yang telah banyak memberi arahan, saran dan bimbingan. Disamping itu penghargaan juga penulis sampaikan kepada Staf Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung yang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sigit Nugroho S.Si, MT; Dr.Ir. Arzyana Sunkar; Dr.Ir. Mirza Dikari K; Iis Siti Aisyah ST, MT; Syamsul Maarif ST, MT; Eva Rahmawati S.Hut, MSi; Resti Meilani, S.Hut, MSi; serta para mahasiswa bimbingan dan teknisi yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyelesaian disertasi. Tak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami Ir. Dusanto Kristihono, MSi serta anak-anak Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar Arrafi, ayah, ibu, Amira, Adit, dan adik-adik atas segala motivasi dan do anya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Siti Badriyah Rushayati

11 10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 4 Juli 1965 sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari ayah drs. Abdul Rosjid Muchtar dan ibu dra. Siti Badarul Chajati. Penulis menikah dengan Ir. Dusanto Kristihono, M.Si dan dikaruniai dua orang putra putri, Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar Arrafi. Pendidikan sarjana penulis ditempuh di Program Studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun Penulis melanjutkan di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana IPB, dan memperoleh gelar magister sains pada tahun Pada tahun 2007, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bidang keahlian penulis adalah klimatologi dan pencemaran lingkungan khususnya pencemaran udara. Selama mengikuti program S3, penulis mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS).

12 11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR LAMPIRAN. DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN... xv xvi xviii xix I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Hipotesa Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty) II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemodelan Sistem Kota Hijau (Green City) Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) Ruang Terbuka Hijau Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kebijakan Kota Hijau... III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Peralatan Metode dan Analisis Penelitian Jenis Data Penelitian Metode dan Analisis Pulau Bahang Kota Metode dan Analisis Sistem Dinamik Model Kota Hijau Metode dan Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi Masyarakat... IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kondisi Iklim Topografi Kondisi Penutupan Lahan Kondisi Sosial Ekonomi... V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung Sumber Pulau Bahang Kota dari Emisi CO Penutupan Lahan Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian Distribusi Suhu Udara Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota

13 12 Halaman 5.2 Model Kota Hijau Pengorganisasian Model Sensitivitas Model dan Evaluasi Model Model Baseline Wilayah Kabupaten Bandung Skenario Model Wilayah Kabupaten Bandung Model di Wilayah Penelitian Hasil Analisis Simulasi Model Kota Hijau Kondisi Sosial Ekonomi Kebijakan Pengelolaan Pulau Bahang Kota... VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN xiv

14 13 DAFTAR TABEL Halaman Bahan dan peralatan penelitian... Data primer dan sekunder penelitian... Persentase lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Bandung pada tahun Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2008 (x 10 6 rupiah)... Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk... Emisi CO 2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar di Kabupaten Bandung (2009)... Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009)... Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung... Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung... Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung... Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan kota... Prakiraan waktu suhu udara 30 ºC di Kabupaten Bandung xv

15 14 DAFTAR GAMBAR Halaman Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung... Pembangunan kota hijau berbasis green growth... Rata-rata CO 2 di Hawai... Hasil observasi temperatur global... Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung... Konseptualisasi model dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop) model kota hijau melalui pengendalian efek pulau bahang (urban heat island)... Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung Curah hujan rataan bulanan Kabupaten Bandung... Suhu rataan bulanan Kabupaten Bandung... Kelembaban udara rataan bulanan Kabupaten Bandung... Kecepatan angin rataan bulanan Kabupaten Bandung... Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung... Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten Bandung... Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan... Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda Kabupaten Bandung... Kerindangan tajuk vegetasi kebun campur dan hutan kota permukiman... Kerindangan tajuk vegetasi Hutan Kota... Windrose Kabupaten Bandung... Sub model sumber pencemar CO 2. Sub model suhu udara Sub model penutupan lahan... Model kota hijau Kabupaten Bandung... Model baseline Wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario hijau di wilayah Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan

16 15 Halaman Hasil simulasi model skenario moderat di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan Hasil simulasi model skenario pesimis di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan... Hasil simulasi model baseline Wilayah I lima puluh tahun ke depan... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model baseline Wilayah II lima puluh tahun ke depan... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II lima puluh tahun ke depan. Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model baseline Wilayah III lima puluh tahun ke depan. Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III lima puluh tahun ke depan xvii

17 16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda dua dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda empat dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah industri dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah penduduk dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas lahan terbangun dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas ruang terbuka hijau dengan suhu udara... Volume kendaraan bermotor yang beroperasi setiap jamnya di ruas jalan Kabupaten Bandung pada tahun Persamaan model... Hasil simulasi model baseline Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model baseline Wilayah I... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I... Hasil simulasi model baseline Wilayah II... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II... Hasil simulasi model baseline Wilayah III... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III... Kuesioner untuk anggota masyarakat Kabupaten Bandung.. Daya rosot CO 2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bandung

18 17 DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Albedo (α) Emisi Evaporasi Evapotranspirasi Hutan Hutan Kota Iklim Mikro ILD Perbandingan antara jumlah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan jumlah radiasi gelombang pendek yang diterima suatu permukaan. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Evaporasi yaitu penguapan dari tanah dan badan air (sungai, danau, laut) Evapotranspirasi, yaitu penguapan yang terjadi pada permukaan air, tanah, maupun tumbuhan. Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang dimaksud dengan hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Kondisi fisik lapisan atmosfer yang dekat permukaan tanah atau di sekitar tanaman, seperti suhu, kelembaban, tekanan udara, dan dinamika energy radiasi surya. Indeks Luas daun (ILD) atau disebut juga Leaf Area Index, adalah luas daun di atas suatu luas lahan.

19 18 Kawasan Perkotaan Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Landsat ETM+ Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus, merupakan satelit komersial modifikasi dari TM dengan pengayaan pada kanal 8. Laten Heat Flux (LE) Perpindahan bahang laten melalui proses evapotranspirasi. Model Merupakan abstraksi dari sebuah sistem, yang merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya. NDVI Normalized Difference Vegetation Index, menggambarkan seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. NIR Reflektansi kanal infra merah dekat (kanal 2) RH Relative Humidity, adalah perbandingan dalam persen antara tekanan uap air dengan tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama. Ruang Terbuka Hijau Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggu-naannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Radiasi Neto Radiasi bersih, yaitu selisih antara radiasi yang diserap dengan radiasi yang dipancarkan oleh suatu benda atau permukaan. Sensible Heat Flux (H) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan. Soil Heat Flux (G) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman tanan melalui proses konduksi. xx

20 19 Suhu Udara (T a ) Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-molekul. Skala suhu udara yang sering digunakan adalah skala celsius dan fahrenheit. THI Temperature Humidity Index, adalah indeks kenyamanan manusia dengan satuan C yang ditentukan oleh suhu dan kelembaban udara. Nilai kisaran THI nyaman tergantung letak lintang. Transpirasi Proses hilangnya air dalam tumbuhan akibat penguapan melalui stomata daun. Udara Ambien Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. Urban Heat Island Kondisi dimana udara (atmosfer) di atas kawasan perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota). Suhu udara semakin menurunke arah sub urban dan rural. VIS Reflektansi kanal cahaya tampak (kanal 2) xxi

21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Urban heat island (pulau bahang kota) menyebabkan heat island effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di area perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan Kabupaten Bandung. Pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca dan persentase lahan terbangun di perkotaan. Gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CFC, CH 4 ) dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia (transportasi, industri, sampah). Berbagai Aktivitas di perkotaan, menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Voogt 2002). Gas rumah kaca khususnya CO 2 penyebab efek pulau bahang di Kabupaten Bandung dihasilkan oleh berbagai aktivitas transportasi, industri dan persampahan. Produksi CO 2 dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Bandung (2006 dan 2009), jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2005 tercatat berjumlah orang, dan pada tahun 2008 naik menjadi orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,95 %. Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan transportasi juga meningkat. Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 meningkat menjadi kendaraan bermotor roda dua, dan kendaraan bermotor roda empat. Laju peningkatan kendaraan roda dua 27,7 %/tahun, dan kendaraan bermotor roda empat 5,06 %/tahun.

22 2 Aktivitas manusia di perkotaan dari transportasi, industri dan sampah, mengakibatkan polutan udara di perkotaan meningkat. Ditambah dengan posisi Kabupaten Bandung terletak di daerah cekungan, maka polutan udara yang terbawa aliran udara mengalami stagnasi sehingga pengenceran polutan di Kabupaten Bandung tidak efektif. Sebagai gambaran, hasil penelitian Soedomo (2001) menyatakan bahwa emisi polutan udara antropogenik SO 4 di Jakarta ton/tahun, dan Bandung ton/tahun. Namun pembebanan SO 4 di Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Bandung. Di Jakarta sebesar 4,34 kg/ha/thn, sedangkan di Kabupaten Bandung 5,37 kg/ha/thn. Selain diakibatkan oleh polutan udara, efek pulau bahang dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Lahan terbangun meningkatkan efek pulau bahang yang mengakibatkan suhu udara semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi efek pulau bahang adalah dengan meningkatkan ruang terbuka hijau. Tetapi faktanya adalah berkebalikan dengan jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk dan lahan terbangun, ruang terbuka hijau terus berkurang dari ha (tahun 2003) menjadi ha (tahun 2008). Tursilowati (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di Bandung, terlihat adanya perluasan efek pulau bahang (daerah dengan suhu tinggi C) di pusat kota Bandung per tahun sebesar kira-kira ha atau 4,47 % yang terletak pada kawasan terbangun (permukiman dan industri). Menurut Tursilowati, pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan perluasan efek pulau bahang. Hasil penelitian Tursilowati juga menyebutkan bahwa pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih ha (0,36%). Meskipun pemerintah daerah sudah membuat kebijakan yang mendukung terwujudnya Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, serta sudah menuangkannya dalam perencanaan dan pengembangan ruang terbuka hijau didalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, serta dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi karena belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan daerah maka pelaksanaannya belum dapat mengatasi permasalahan lingkungan khususnya masalah pulau bahang kota. Meskipun kondisi perkotaan belum seperti yang diharapkan dan pemerintah daerah belum secara eksplisit mencanangkan diri sebagai kota hijau tetapi target pemerintah daerah untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota yang bersih dan teduh adalah merupakan bagian dari kriteria kota hijau. Untuk mewujudkan target

23 3 tersebut maka masalah efek pulau bahang perlu segera ditangani agar iklim mikro perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman. Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau adalah dengan cara mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya pulau bahang kota serta memformulasikannya dalam sebuah model yang dapat dijadikan acuan dalam membuat kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, serta lingkungan yang ada. Melalui simulasi model, maka akan didapatkan skenario terbaik yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam mewujudkan keberlanjutan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan dalam pembangunan daerah sehingga akan dapat mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau Kerangka Pemikiran Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Daerah Kebijakan pemerintah daerah sangat menentukan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Begitu pula sebaliknya, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan menjadi dasar pertimbangan penentuan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dalam meningkatkan kondisi sosial dan pertumbuhan ekonomi adalah upaya peningkatan kapasitas produksi masyarakat agar dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan lapangan kerja. Selain itu, juga adanya kebijakan peningkatan pertumbuhan industri yaitu dengan memberikan berbagai program pengembangan industri kecil dan menengah, pengembangan cluster industri, pengembangan teknologi dan pengembangan sentra-sentra industri potensial Pulau Bahang Kota Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kebijakan yang diputuskan dan dijalankan pemerintah daerah, sangat menentukan pertumbuhan lahan terbangun, jumlah penduduk, industri, jumlah kendaraan bermotor, serta kondisi ruang terbuka hijau. Aktivitas industri dan transportasi menyebabkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Selain itu emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dari pemanfaatan bahan bakar fosil untuk berbagai aktivitas penduduk (memasak, penerangan), serta dari limbah sampah. Akumulasi emisi gas rumah kaca khususnya gas CO 2 dari berbagai aktivitas manusia di perkotaan, menyebabkan konsentrasi gas CO 2 di atmosfer menjadi tinggi dan berakibat terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika gas CO 2

24 4 yang terakumulasi di perkotaan menyerap radiasi balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, dan seperti pulau tersendiri, maka kondisi seperti ini disebut dengan efek pulau bahang (Voogt 2002). Selain dipengaruhi oleh gas CO 2, efek pulau bahang juga dipengaruhi oleh nilai albedo dari tutupan lahan yang ada. Albedo merupakan perbandingan radiasi yang dipantulkan dengan radiasi yang datang di suatu permukaan (Geiger et al. 1961). Dari nilai albedo dan radiasi surya yang masuk ke permukaan bumi, dapat diperkirakan nilai radiasi neto (radiasi yang datang dikurangi radiasi yang keluar). Radiasi neto dari lahan terbangun digunakan untuk memanaskan lahan terbangun tersebut dan udara yang ada di atasnya. Area bervegetasi menggunakan radiasi neto untuk evapotrans-pirasi sehingga pemanasan udara di atasnya rendah. Kondisi ini menyebabkan area bervegetasi mempunyai suhu udara yang rendah. Persentase yang tinggi dari lahan terbangun di perkotaan menyebabkan radiasi neto hanya digunakan untuk memanaskan benda tersebut dan udara yang berada di atasnya sehingga area yang didominasi lahan terbangun suhu udaranya tinggi. Emisi CO 2 dan persentase lahan terbangun yang tinggi, serta rendahnya persentase ruang terbuka hijau, menyebabkan efek pulau bahang semakin meningkat. Efek pulau bahang yang terjadi di berbagai perkotaan akan meningkatkan pemanasan global yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi suhu udara di perkotaan tersebut. Oleh karena itu penanganan permasalahan pulau bahang kota yang saat ini sudah terjadi di banyak negara, akan membantu upaya mitigasi pemanasan global Kota Hijau Wildsmith (2009) menyatakan bahwa kota hijau (green city) adalah sebuah kota dengan kondisi ekosistem berkeseimbangan sehingga fungsi dan manfaatnya berkelanjutan. Berdasarkan pengertian ini maka salah satu strategi dalam mewujudkan kota hijau adalah melalui cara penanganan permasalahan lingkungan perkotaan yaitu masalah pulau bahang kota. Pulau bahang kota dapat diatasi dengan cara mengendalikan laju peningkatan emisi CO 2, serta upaya peningkatan absorbsi CO 2. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian parameter sumber emisi CO 2

25 Lahan Jumlah 5 (transportasi, industri, manusia) serta perlu dilakukan upaya peningkatan absorbsi CO 2 dengan cara mengembangkan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berperan dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara melalui proses fotosintesis dan evapotranspirasi. Dengan peran ganda ini maka ruang terbuka hijau sangat penting dalam perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan dan perbaikan kenyamanan kota. Suhu udara dan kondisi iklim mikro perkotaan yang nyaman dapat menciptakan kota hijau yang akan berdampak positif terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta akan menjadi dasar pembuatan kebijakan yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan. Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota, disajikan pada Gambar Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kondisi pulau bahang kota yang terdiri dari kajian potensi emisi gas CO 2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Bandung. 2. Membuat model kota hijau Kabupaten Bandung melalui penanganan pulau bahang kota (urban heat island) Hipotesa Kota hijau di Kabupaten Bandung akan dapat diwujudkan dengan menangani pulau bahang kota yaitu dengan cara mengendalikan sumber emisi CO 2, meningkatkan ruang terbuka hijau dan mengendalikan pertumbuhan lahan terbangun. Selain faktor lingkungan, kota hijau dapat diwujudkan dengan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang berjalan secara seimbang akan dapat mewujudkan kota hijau sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Kondisi Sosial Ekonomi Kebijakan Pemerintah

26 Pemanasan Global 6 Jumlah Kendaraan Jumlah Unit Industri Pernapasan Bahan Bakar Fosil Sampah Albedo Evapotranpirasi MODEL KOTA HIJAU Keterangan : : Meningkatkan : Menurunkan Sumber : Dunn (2003), WWF dan PWC (2011), Voogt (2002), Wang (2009), dan Wildsmith (2009) Gambar 1 Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

27 7 1. Bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pengelolaan lingkungan, khususnya pengetahuan dalam mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi permasalahan perkotaan, baik di Indonesia maupun di dunia. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan di Kabupaten Bandung serta kota-kota lain di Indonesia sehingga akan dapat membantu mengatasi permasalahan pemanasan perkotaan serta dapat menjadi dasar menentukan strategi dalam mewujudkan kota hijau Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah adanya konsep penanganan pulau bahang kota untuk mewujudkan kota hijau dengan merumuskan parameter penentu pulau bahang kota yang terdiri dari parameter jenis penutupan lahan (lahan terbangun, tanah terbuka, ruang terbuka hijau) dan parameter sumber emisi CO 2 (transportasi, industri, sampah, konsumsi energi domestik), serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat agar pembangunan berjalan secara berkesimbangan antara kondisi ekonomi, sosial dan ekologi. Kebaruan lain dari penelitian ini adalah adanya model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota sehingga memudahkan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.

28 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun logika yang jelas dengan urutan yang logis, sedangkan pemodelan merupakan seni karena mencakup bagaimana menuangkan gagasan manusia atas dunia nyata dengan segala keunikannya dalam sebuah model. Sistem sendiri dapat diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari (2007). Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Hartrisari (2007) juga menyatakan bahwa sistem dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Teori sistem erat hubungannya dengan sibernetika dan dinamika sistem (system dynamics), yaitu model-model yang terdiri dari jaringan peubah yang berubah menurut waktu. Sibernetika (cybernetics) yaitu studi tentang organisasi, komunikasi dan kontrol dalam sistem kompleks dengan berfokus pada umpan balik. Teori sistem digunakan dalam sain-sain kompleksitas (sciences complexity). Sedangkan analisis sistim (system analysis) merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip sistem untuk membantu pengambilan keputusan. Purnomo (2005) menjelaskan bahwa pemodelan merupakan aspek penting dari teori sistem, terutama berhubungan dengan pemanfaatan teori sistem dalam aspek yang lebih praktis. Model merupakan abstraksi dari sebuah sistem. Sedangkan sistem adalah dunia nyata, dan model merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya. Model dapat digunakan untuk melakukan beragam percobaan atau perlakuan. Dampak dari percobaan tersebut dapat diprediksi sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

29 9 Model yang dibangun harus diuji sensitivitasnya terhadap stimulus yang diberikan terhadap model tersebut. Jika hasil uji sensitivitas terhadap model utuh maupun terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus, maka dapat dikatakan model yang dibangun tersebut sensitif (Muhammadi et al. 2001). Selain uji sensitivitas, menurut Purnomo (2005), sebelum model digunakan harus dilakukan evaluasi model dengan cara pengamatan kelogisan model, pengamatan perilaku model dan membandingkan dengan konseptualisasi model, serta membandingkan perilaku model dengan data yang didapat dari system (dunia nyata) Penelitian Pemodelan Sistem Dinamik Sistem bersifat dinamis. Dalam sistem, antar komponen berubah menurut waktu. Purnomo (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dinamika sistem adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan umpan balik. Sedangkan pemodelan sistem dinamik merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya, serta model tersebut bersifat dinamis berubah menurut waktu. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pemodelan sistem dinamik, tetapi belum ada pemodelan sistem dinamik yang menggambarkan sistem perkotaan dengan permasalahan pulau bahang kota yang mengaitkan antara sumber-sumber emisi CO 2, albedo, dinamika perubahan luas berbagai jenis penutupan lahan, serta dampaknya terhadap iklim mikro perkotaan khususnya suhu udara. Fong et al. (2006) melakukan penelitian menggunakan model sistem dinamik baru terbatas untuk menduga konsumsi energi di perkotaan. Model terdiri dari empat sub model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi. Berdasarkan simulasi model, diketahui bahwa pendorong utama terjadinya peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di perumahan, dan konsumsi energi aktivitas komersial. Anand et al. (2005) melakukan penelitian lebih spesifik yaitu memprakirakan emisi CO 2 dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menghitung dan melakukan mitigasi terhadap emisi CO 2 dari aktivitas industri semen di India. Anand at al. (2005) memprediksi emisi CO 2 dua puluh tahun ke depan dengan baseline tahun Berdasarkan model tersebut dijelaskan bahwa variabel populasi manusia

30 10 sangat mempengaruhi permintaan dan produksi semen. Semakin meningkat jumlah manusia, maka semakin meningkat pula permintaan akan semen, dan menyebabkan emisi CO 2 semakin meningkat pula. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan emisi CO 2 pada tahun 2020 adalah sebanyak 396,89 juta ton. Dengan menggunakan skenario mitigasi emisi CO 2 yang terdiri dari intervensi kebijakan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk, pembatasan kelebihan produksi semen, melakukan manajemen struktural, efisiensi energi, akan dapat menurunkan emisi CO 2 pada tahun 2020 hingga mencapai 42%. Model sistem dinamik juga digunakan Lee (2005) untuk memprakirakan penyebab dan dampak dari emisi gas rumah kaca di Kota New York. Lee (2005) membuat model sistem dinamik berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh Kota New York. Variabel aktivitas sumber emisi CO 2 dalam model tersebut terdiri dari konsumsi listrik, konsumsi bahan bakar fosil untuk pemanas udara, serta konsumsi bahan bakar transportasi. Simulasi model dibuat untuk memprakirakan emisi gas CO 2 25 tahun ke depan yaitu dari tahun 2005 sampai dengan tahun Emisi gas rumah kaca di Kota New York pada tahun 2005, diperkirakan 58,8 juta metric ton equivalent (mt CO 2 e). Berdasarkan prakiraan model sistem dinamik, pada tahun 2030 emisi gas CO 2 meningkat menjadi 73 juta metric ton. Dengan membuat skenario efisiensi energi dan penurunan konsumsi energi pada level moderat, diperkirakan emisi CO 2 tahun 2005 sebanyak 58 mt CO 2 e, sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan menurun menjadi 54 mt CO 2 e. Apabila menggunakan skenario yang lebih ketat, maka emisi CO 2 dapat ditekan menjadi 43 mt CO 2 e pada tahun 2005, dan 40 mt CO 2 e pada tahun Dahlan (2007) melakukan penelitian mengenai kebutuhan luas hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO 2 antropogenik. Berdasarlan simulasi model, Dahlan (2007) menjelaskan bahwa kebutuhan luas hutan kota di Kota Bogor dengan jenis vegetasi berdaya sink tinggi yaitu berkisar ha. Dalam kurun waktu sampai tahun 2100, diperkirakan lahan terbangun yang dibutuhkan untuk menampung penduduk yaitu 8.032,11 ha (67,78%) dengan bangunan dua lantai, sedangkan luas hutan kota yang dibutuhkan yaitu 1.278,81 ha (10,79%).

31 Kota Hijau (Green City) Kawasan Perkotaan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi Kota Hijau a. Pengertian Kota Hijau Menurut Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan alam. Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota berkelanjutan. Yang dimaksud dengan kota berkelanjutan adalah sebuah kota yang dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini dengan generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) juga mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan ekonomi yang berkeseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kota berkelanjutan. Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota yang berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut : 1) merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan kebutuhan akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat permukiman dan area dekat

32 12 transportasi, 2) Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan, 3) Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah), 4) Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5) Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna, 6) Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan, 7) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak berbahaya bagi lingkungan, 8) Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam, 9) Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan lingkungan. b. Permasalahan dalam Mewujudkan Kota Hijau Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau adalah disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota. Pulau bahang kota telah terjadi di beberapa kota di dunia, salah satunya adalah pulau bahang kota yang terjadi di Guangzhou. Weng dan Yang (2004) menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terus meningkatnya luas suhu udara tinggi di area perkotaan. Luas suhu udara tinggi yang terus meningkat ini terkait dengan terus meningkatnya populasi penduduk sehingga meningkatkan luas lahan terbangun, industri dan transportasi, serta merubah tata kota dan lingkungan fisik Kota Guangzhou. Emisi CO 2 dari berbagai aktivitas di perkotaan serta semakin meningkatnya lahan terbangun dan menurunnya ruang terbuka hijau di Kota Guangzhou, menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota. Masalah pulau bahang kota juga disebabkan oleh adanya pengembangan kota yang tidak berdasarkan keberlanjutan ekologi perkotaan. Sektor ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan, lingkungan hidup tidak menjadi perhatian penting. Berbagai aktivitas di perkotaan menyebabkan terus meningkatnya emisi CO 2 dan peningkatan suhu udara. Berdasarkan penelitian Wang (2009) di China mengenai analisis permasalahan perencanaan urban green space system. Masalah lingkungan di Cina diakibatkan karena kesalahan pada level perencanaan yang tidak mementingkan lingkungan sehingga pelaksanaan pembangunan perkotaan lebih fokus pada sektor

33 13 ekonomi sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup termasuk pemanasan di perkotaan. c. Pengelolaan Kota dalam Mewujudkan Kota Hijau Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang saat ini dikenal dengan pembangunan berbasis green growth. World Wide Fund for Nature dan PricewaterhouseCoopers (2011), mendefinisikan green growth sebagai sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth menurut World Wide Fund for Nature (WWF) dan PricewaterhouseCoopers (PWC), dilaksanakan berdasar pada lima pilar penting berikut : a. Pertumbuhan ekonomi b. Perbaikan kondisi sosial c. Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan d. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global e. Penurunan emisi gas rumah kaca. Sektor ekonomi sangat penting dalam menggerakkan pembangunan perkotaan. Ekonomi yang sehat akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya harus ditingkatkan. Selain sektor ekonomi dan kondisi sosial masyarakat, yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya memberikan harga (value) tinggi pada sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada. Sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Keanekeragaman hayati vegetasi ruang terbuka hijau mempunyai jasa lingkungan melalui perannya dalam mengabsorbsi dan mengadsorbsi berbagai polutan udara, memperbaiki iklim mikro perkotaan, meningkatkan estetika lingkungan, mengurangi kebisingan (Dahlan 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan jasa lingkungan serta perbaikan habitat di perkotaan. Agar sebuah kota dapat melakukan pembangunan berkelanjutan, maka selain melakukan perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga harus meningkatkan kemampuan adaptasi kota tersebut terhadap perubahan iklim global. Penurunan emisi gas rumah kaca harus dimasukkan dalam perencanaan dan

34 14 pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada Gambar 2. Emisi gas rumah kaca Adaptasi terhadap perubahan iklim global Nilai sumberdaya alam Adaptasi dan mitigasi Green Growth Pertumbuh-an rendah karbon Pertumbuhan berkeseimbangan Ekonomi Keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan Pemberdayaan masyarakat & habitat Sosial dan pengurang-an kemiskinan Sumber : WWF dan PWC (2011) Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) Pengertian Pulau Bahang Kota Tursilowati (2002), Voogt (2002), Hidayati (1990), Santosa (1998) serta Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota), temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural. Irwan (2008) meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan (ke arah Bogor). Irwan (2008) juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1 3 C. Berdasarkan penelitian Effendy (2007), dijelaskan bahwa pulau bahang kota (UHI) yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan populasi (17%). Sedangkan pulau

35 15 bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya ruang terbangun (15%), diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya kendaraan (14%), serta semakin padatnya populasi (13%). Selain Jakarta dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun (22%0, padatnya populasi (19%), serta padatnya kendaraan (17%) Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati (1990), dan Santosa (1998) membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 1 C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CFC, CH 4 ) dan persentase luas lahan terbangun di perkotaan. a. Emisi Gas Rumah Kaca Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara). Menurut Soedomo ( 2001), pembakaran bahan bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian penggunaan gas bumi. Dahlan (2007) menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di Kota Bogor adalah 134,19 liter bensin/orang/tahun ; 33,55 liter solar/orang/tahun; 6,24 liter diesel/orang/tahu; 84,17 liter minyak tanah/orang/tahun; 5,14 kg LPG/orang/tahun; dan 0,28 m 3 gas/orang/tahun. Berdasarkan simulasi model emisi gas CO 2 di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun Sedangkan Soedomo (2001) dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton /tahun. Jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca absolut dari hasil kegiatan antropogenik (kegiatan yang dilakukan oleh manusia) di Indonesia disajikan pada

36 16 Tabel 1. Emisi gas absolut di Indonesia adalah sebesar 96,08 juta metrik ton pada tahun 1980; 154,016 juta metrik ton pada tahun 1985; dan 202,47 juta metrik ton pada tahun Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang terbesar jumlah emisi absolutnya. Chloro fluoro carbon belum dapat diperkirakan secara pasti sehingga belum dimasukkan dalam perhitungan. Pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, batubara) menyebabkan emisi CO 2 dan peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO 2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO 2. Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Suhu udara selain ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, juga dipengaruhi oleh variabilitas output total energi matahari. Variabilitas energi matahari menghasilkan perubahan-perubahan dalam intensitas surya yang diterima di puncak atmosfer bumi serta mengakibatkan variasi iklim termasuk suhu udara (Trewartha & Horn 1980). Trewartha dan Horn (1980) juga menyatakan bahwa variasi iklim juga dipengaruhi oleh posisi matahari dan bumi. Jarak terjauh antara matahari dan bumi selama peredarannya (aphelion) dan jarak terdekat antara matahari dan bumi (perihelion), menentukan intensitas radiasi matahari dan suhu udara di permukaan bumi. Meskipun suhu udara ditentukan oleh variabilitas output total radiasi matahari akibat aktivitas matahari serta posisi matahari dan bumi, tetapi suhu udara yang terukur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, termasuk gas CO 2. Peningkatan konsentrasi CO 2 menyebabkan kenaikan suhu udara secara signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 3 dan 4. Efek pulau bahang yang terjadi di beberapa kota di dunia akan meningkatkan pemanasan global, begitu pula pemanasan global yang terjadi saat ini juga mempengaruhi proses pemanasan yang terjadi di perkotaan. Oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi dan adaptasi lokal dari masing-masing kota agar pemanasan di tingkat lokal maupun global dapat dikendalikan.

37 17 Sumber : Keeling et al dalam IPCC 2007 Tahun Gambar 3 Rata-rata CO 2 di Hawai. Sumber : Brohan et al. (2006), Smith and Reynolds (2005), Hansen et al., (2001) and Lugina et al. (2005) dalam IPCC (2007) Gambar 4 Hasil observasi temperatur global. Tahun b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota.

38 18 Neraca Radiasi dan Neraca Energi Arya (2001) menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut : R S (1 α) + R L - R L = R N = H + H L + H G + ΔH S Keterangan : R S : Radiasi gelombang pendek yang masuk α : Albedo R L : Radiasi gelombang panjang yang datang R L : Radiasi gelombang panjang yang keluar R N : Radiasi neto H : Panas terasa (sensible heat) H L : Panas laten (latent heat) H G : Flux panas permukaan ΔH S : Perubahan panas tersimpan (energy storage) Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang pendek (3-2 µm) yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut (Geiger et al. 1961). Energi dari radiasi neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas permukaan dan perubahan panas tersimpan. Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi (Arya 2001), maka area yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai H L (energi yang digunakan untuk evapotranspirasi) dan ΔH S (energi yang digunakan untuk fotosintesis) tinggi, sedangkan nilai H dan H G, sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan H G tinggi karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara (panas terasa). Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi. Masing-masing jenis penutupan lahan yang ada di perkotaan mempunyai kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya (albedo) yang berbeda-beda. Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto (R N ) akan semakin tinggi sehingga mengakibatkan suhu permukaan tersebut serta suhu udara di sekitarnya rendah. Sebaliknya, semakin sedikit radiasi yang dipantulkan, maka radiasi

39 19 neto akan semakin tinggi (sebagai contoh benda berwarna hitam) sehingga suhu permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi. Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan (H G ), sehingga kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda. Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton lebih rendah (Mather 1974). Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun (bangunanbangunan beton serta jalan-jalan beraspal) yang mendominasi area tersebut. Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau. Penelitian Xiao dan Weng (2007) mengenai pengaruh jenis penutupan lahan serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun, Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara area perkotaan (area dengan dominansi lahan terbangun) dengan perdesaan (area yang didominasi ruang terbuka hijau). Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dua kota yang lain. Hasil penelitian Akbari (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada siang hari di musim panas, suhu udara di kota bisa mencapai 2,5 Kelvin (K) lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena lebih banyak lahan terbangun dan jalan-jalan

40 20 dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 %. Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga ditemukan dalam penelitian Tursilowati (2002) yang menunjukkan adanya perluasan pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota (daerah dengan suhu tinggi C) pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira ha atau 4.47% per tahun, sedangkan di Semarang ha atau 8,4% per tahun, dan di Surabaya ha atau 4,8% per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih ha (0,36%), Semarang ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha (1,69%). Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis penginderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan lahan hutan (29,88 C), diikuti dengan lahan pertanian (30,96 C) dan suhu permukaan tertinggi terukur pada tanah tandus (32,94 C). Hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 C pada tahun 1989 menjadi 34,75 C pada tahun Sarkar (2004) juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan GIS (Geographic Information System). Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan menggunakan composite band (6 red, 4 green dan 4 blue). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa urban heat island (pulau bahang kota) merupakan masalah yang timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Effendy (2007) yang mengkaji keterkaitan antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island di wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Variabel yang dianalisis adalah perubahan indeks kenyamanan dan neraca energi permukaan khususnya terhadap fluks LE (latent

41 21 heat flux) dan H (sensible heat flux). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor adalah sebesar 30%, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di bawah 30%. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35%. Rata-rata wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) mempunyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28% Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer (penguapan). Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan transpirasi (Mather 1974). Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin) juga ditentukan oleh jenis vegetasi. Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir, menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang. Vegetasi memiliki peran penting dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya lahan terbangun dan lahan terbuka menyebabkan peningkatan suhu udara. Hal ini didukung oleh pendapat Trewartha dan Horn (1995) yang menyatakan bahwa kawasan perkotaan umumnya sangat kurang vegetasi. Kondisi ini menyebabkan evaporasi rendah, dan mengakibatkan sebagian besar energi radiasi yang diterima dikonduksikan ke permukaan serta digunakan untuk memanaskan udara sehingga suhu udara meningkat.

42 Ruang Terbuka Hijau Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau sangat menentukan kondisi pulau bahang kota, terutama berperan dalam mengurangi gas CO 2 melalui proses fotosintesis, serta dalam proses evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan suhu udara perkotaan. Pengertian ruang terbuka hijau berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi Hutan Kota sebagai Bagian dari Ruang Terbuka Hijau Hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau. Hutan kota menurut Irwan (2008) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Sedangkan Grey dan Deneke (1978), hutan kota merupakan kawasan vegetasi berkayu yang luas, terbuka bagi masyarakat umum, mudah dijangkau oleh penduduk kota, dan dapat memenuhi fungsi perlindungan kelestarian tanah, tata air, ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, dinyatakan bahwa luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luas kota. Menurut Dahlan (1992), hutan kota mempunyai fungsi dan peranan sebagai sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida, penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan

43 23 penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameliorasi iklim, pengelolaan sampah (sebagai penyerap dan penyekat bau, pelindung tanah dari dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya), pelestarian air tanah, penapis cahaya silau. Selain itu hutan kota berperan dalam meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Bentuk dan Struktur Hutan Kota Hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya. Bentuk hutan kota dibedakan berdasarkan bentuk sebarannya yaitu bergerombol, menyebar, dan memanjang (jalur). Menurut Irwan (2008), berdasarkan bentuknya hutan kota dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu vegetasi yang terkonsentrasi pada satu areal dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan. 2. Bentuk menyebar, adalah hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, vegetasi tumbuh menyebar, terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. 3. Bentuk jalur, vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya. Selain berdasarkan bentuknya, hutan kota dikelompokkan berdasarkan strukturnya yang dibedakan menurut strata (lapisan) tajuk (Irwan 2008). Menurut strukturnya, hutan kota dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : 1. Hutan kota berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lain. 2. Hutan kota berstrata banyak, komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanaman rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam. Fakuara (1987) memperkirakan kebutuhan luas hutan kota, menggunakan metode jumlah O 2 yang diperlukan oleh manusia dan kendaraan bermotor. Selain itu kebutuhan luas hutan kota juga diprediksi dari proses fotosintesis yang menghasilkan

44 24 O 2, sehingga dengan menghitung kemampuan vegetasi dalam menghasilkan O 2 per satuan luas, maka didapat kebutuhan luas hutan kota sesuai dengan kebutuhannya terhadap O 2. Dahlan (2007) menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan perannya sebagai sink gas CO 2 anthropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik. Model yang dibuat didasarkan pada emisi CO 2 yang dihasilkan Kota Bogor dari tahun ke tahun, dan didasarkan atas daya rosot gas CO 2 vegetasi. Dari model ini Dahlan (2007) dapat memprediksi kebutuhan luas hutan kota sampai tahun Fungsi Ruang Terbuka Hijau Proses fotosintesis yang terjadi pada vegetasi, selain memerlukan air (H 2 O) dan radiasi matahari serta klorofil, juga membutuhkan CO 2. Dalam proses fotosintesis dihasilkan karbohidrat yang kemudian disebarkan serta tersimpan di seluruh bagian vegetasi (daun, batang, ranting, akar, bunga, buah). Proses penyimpanan (penimbunan) karbohidrat (C 6 H 12 O 6 ) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh karena itu ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, mempunyai fungsi sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Bernatzky (1978) menjelaskan, bahwa satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO 2 dari udara dan melepaskan 600 O 2 dalam waktu 2 jam. Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun kota kebun bernuansa hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan akan meningkat karena vegetasi mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerap partikel logam dari industri, penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor dan penyerap dan penjerap debu semen. Selain itu vegetasi juga dapat menyerap gas beracun dan gas karbon dioksida. Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota berfungsi sebagai kontrol refleksi (silau) dari radiasi yang sampai permukaan perkotaan, peredam kebisingan, absorbsi polutan udara, serta dapat menjadi habitat satwaliar. Kondisi perkotaan dengan konsentrasi polutan udara dan suhu yang tinggi dapat ditanggulangi dengan penanaman vegetasi berupa ruang terbuka hijau termasuk hutan kota. Vegetasi berfungsi dalam mengintersepsi radiasi matahari sehingga dapat menurunkan intensitas radiasi matahari di dekat permukaan. Intensitas radiasi yang

45 25 rendah di dekat permukaan akan menyebabkan pemanasan udara juga menurun sehingga suhu udara juga akan turun. Chang et al. (2007) melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol dan Wong (2005) dalam penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 C lebih tinggi dibandingkan dengan area perkotaan bervegetasi. Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan area bervegetasi. Nichol dan Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi. Kemampuan vegetasi khususnya hutan kota dalam menurunkan suhu udara, dipengaruhi oleh bentuk dan struktur dari hutan kota tersebut. Irwan (2008), menyatakan bahwa hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua yang berbentuk jalur, dapat menurunkan suhu udara sebesar 1,43 % dan menaikkan kelembaban udara 1,77 %, sedangkan yang berbentuk menyebar menurunkan suhu udara 3,60 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 %, dan yang berbentuk bergerombol menurunkan 3,18 % dan menaikkan kelembaban udara 2,20 %. Irwan (2008) juga menyebutkan bahwa hutan kota berstrata banyak dengan bentuk menyebar, dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,28 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 %, sedangkan yang berbentuk bergerombol menurunkan suhu udara 3,04 % dan kelembaban udara 2,20 %. Effendy (2007) menyatakan bahwa model persamaan ruang terbuka hijau dan suhu udara mempunyai hubungan terbalik dimana setiap laju pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).

46 Manfaat Ruang Terbuka Hijau Manfaat dari ruang terbuka hijau menurut Brack (2002) yaitu dapat menjaga kondisi iklim ekstrim perkotaan, menanggulangi pulau bahang kota, meningkatkan kenyamanan, kesehatan, keindahan, kualitas udara, mengurangi konsumsi listrik untuk pemanasan dan pendinginan, meningkatkan nilai properti, mempunyai nilai ekonomi, serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Brack (2002) melakukan penelitian mengenai manfaat hutan kota di dataran Canberra, Australia. Pembangunan hutan kota di dataran Canberra dengan penanaman secara besar-besaran yang dilakukan sejak tahun 1911 yang sebelumnya merupakan area terbuka akibat pembukaan lahan untuk ternak domba, telah memberikan manfaat meningkatkan nilai estetika dan memperbaiki kondisi iklim ekstrem. Brack (2002) menghitung nilai ekonomi pohon dengan mengestimasi ukuran pohon selama Komitmen Kyoto periode 5 tahun ke depan dengan menggunakan metode Decision Information System for Managing Urban Trees (DISMUT). Dari perhitungan tersebut diperkirakan pohon di area tersebut mempunyai nilai karbon sebesar US $ juta selama periode atau $ 66 - $ 223/penduduk Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Manusia sebagai bagian dari ekosistem sangat menentukan kondisi keseimbangan ekosistem perkotaan. Hal ini dijelaskan oleh Chiras (1985) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya : jumlah penduduk, konsumsi perkapita sumberdaya alam, teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kebijakan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat menentukan kondisi lingkungan. Kondisi sosial dan tingkat ekonomi yang tinggi disertai pola konsumsi modern yang boros mengakibatkan masalah lingkungan lebih berat. Kearifan tradisional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem sudah bukan menjadi budaya masyarakat perkotaan. Hal ini mengakibatkan berbagai aktivitas manusia hanya terfokus pada pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian fungs dan manfaatnya. Chiras (1985) juga menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi permintaan (demand) akan sumberdaya alam termasuk kebutuhan akan energi bahan bakar fosil (batubara, minyak, gas). Semakin tinggi kondisi sosial ekonomi masyarakat cenderung akan semakin meningkatkan kebutuhan perkapita akan sumberdaya alam serta meningkatkan limbah dan pencemaran lingkungan.

47 27 Untuk mewujudkan sebuah kota menjadi kota hijau, harus diselaraskan antara peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman, persepsi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kondisi lingkungan. Pernyataan Chiras (1985) ini didukung oleh Tashiro (2009) yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan kota hijau perlu kerjasama dengan membuat jaringan yang baik dengan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi, budaya, estetika serta aspek mental msayarakat. Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya perlu mendengar masukan serta peran masyarakat agar kota hijau dapat terlaksana dengan baik Kebijakan Kota Hijau Analisis Kebijakan Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota sering tanpa dasar analisis kebijakan yang berorientasi pada akar masalah yang dihadapi kota tersebut sehingga kebijakan yang diterapkan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Dunn (2003) memperkenalkan analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah agar kebijakan yang dibuat sesuai sasaran. Tahapan analisis kebijakan menurut Dunn (2003) yaitu : perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Berikutnya adalah peramalan (prediksi) yaitu informasi mengenai konsekuensi dimasa datang dari penerapan alternatif kebijakan. Kemudian rekomendasi (preskripsi) yang merupakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah. Ketika kebijakan dilaksanakan, perlu dilakukan pemantauan (deskripsi) yang merupakan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Komponen penting lainnya adalah evaluasi yaitu informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Hampir sama dengan pendapat Dunn (2003), Parsons (2001) juga menyatakan bahwa analisis kebijakan terdiri dari analisis determinasi kebijakan, analisis isi kebijakan, monitoring dan evaluasi, informasi untuk kebijakan dan advokasi kebijakan. Determinasi kebijakan adalah analisis yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat). Isi kebijakan merupakan deskripsi kebijakan termasuk perbaikan dan kaitan dengan kebijakan terdahulu. Monitoring dan evaluasi merupakan penilaian kinerja kebijakan yang

48 28 terkait dengan tujuan dan dampak kebijakan. Informasi untuk kebijakan adalah hasil analisis untuk memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pembuatan kebijakan. Sedangkan advokasi kebijakan merupakan hasil riset dan argumen yang digunakan untuk menentukan agenda kebijakan. Prediksi merupakan salah satu tahapan analisis kebijakan yang diperkenalkan Dunn (2003). Tujuan dari prediksi adalah untuk mendapatkan informasi tentang perubahan di masa depan beserta konsekwensi atas kebijakan yang diterapkan sehingga dapat merencanakan dan menetapkan kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada. Dunn (2003) juga menyatakan bahwa model sistem dinamik dapat digunakan untuk memprediksi kondisi di masa depan Pelaksanaan Kebijakan Kota Hijau Kebijakan Kota Hijau di Swedia Elander dan Lundgren (2005) menginformasikan bahwa kebijakan kota hijau telah diterapkan di kota-kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo, dan Orebro). Kota-kota tersebut telah mengadopsi kebijakan kota hijau (green policy), termasuk kebijakan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam pelaksanaannya, pemerintah lokal Swedia membentuk jaringan kerjasama diantara instansi pemerintah, politikus, dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan kerjasama ini dihasilkan prioritas masalah yang harus segera ditangani untuk dapat diputuskan sebagai kebijakan pemerintah daerah. Permasalahan yang dihadapi kota-kota di Swedia adalah semakin menurunnya luas ruang terbuka hijau akibat berubah menjadi bangunan, jalan, dan lahan terbangun lain yang merupakan dampak dari semakin meningkatnya jumlah penduduk. Pencemaran udara dan material tutupan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan abosorbsi energi panas sehingga meningkatkan suhu udara, keawanan, dan presipitasi. Sebaliknya menyebabkan menurunnya kelembaban udara serta kecepatan angin (Elander dan Lundgren 2005). Kota Stockholm Stockholm merupakan merupakan kota terbesar di Swedia yang mengalami defisit perumahan sehingga permintaan akan tempat tinggal serta tekanan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan tinggi. Untuk mengatasinya, pemerintah daerah mewajibkan intitusi pemerintah melakukan pembangunan dengan

49 29 berdasar pada green policy. Pemerintah daerah juga mengangkat tenaga profesional yang kompeten di bidang ekologi yang disebar pada beberapa institusi. Selain itu juga untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dan sedang dilaksanakan, pemerintah daerah juga menjaring masukan melalui pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar dengan para ahli dan NGOs (Non Governmental Organization). Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, selain melakukan sosialisasi program, juga dengan cara membuat beberapa kompetisi misalnya kompetisi halaman warga terbaik dengan kriteria keanekaragaman tanaman yang ditanam di halaman. Kompetisi ini merupakan kerjasama diantara pemerintah daerah dengan perusahaan perumahan. Kota Goteborg Goteborg merupakan kota terbesar kedua di Swedia, merupakan kota dagang dan industri. Di kota ini masih banyak sabuk hijau (green belt) dan taman-taman. Tetapi Kota Goteborg juga mengalami masalah mengenai penurunan luas ruang terbuka hijau akibat meningkatnya lahan terbangun termasuk meningkatnya kebutuhan akan jalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah mewajibkan program kota hijau untuk menjadi kebijakan beberapa institusi pemerintah daerah. Kantor perencanaan perkotaan; kantor konservasi lingkungan hidup; kantor museum, taman dan sumberdaya alam, telah memasukkan konsep kota hijau dalam perencanaan dan pelaksanaan programnya. Bahkan perusahaan real estate dan partai dalam kampanyekampanyenya telah memasukkan konsep kota hijau. Organisasi voluntary (suka rela) di Kota Goteborg, bersama-sama kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup, membentuk kerjasama permanen dan ad hoc pada saat muncul masalah lingkungan yang dihadapi kota tersebut. Kota Malmo Malmo adalah kota ketiga terbesar di Swedia. Kota tersebut disebut sebagai kota taman, di perbatasan kota dikelilingi area pertanian. Pembangunan terus berjalan dengan memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau dikembangkan menurut karaktaristik kondisi alam daerah setempat. Daerah (district) membuat peta derajat kelangkaan species di daerah masing-masing, tetapi pelaksanaan kebijakan daerah masih belum memenuhi harapan. Diskusi mengenai isu hijau (green issues) antara masyarakat, NGOs, dengan pemerintah daerah, hanya bersifat sporadis dan konsep hijau tidak menjadi fokus debat dalam kampanye politik.

50 30 Banyak perkantoran dan juga partai kekurangan ahli lingkungan hidup. Meskipun demikian, pemerintah saat ini mempunyai target untuk mewujudkan Kota Malmo sebagai kota kebun (the city gardener). Kota Orebro Orebro merupakan kota ketujuh terbesar di Swedia. Sekeliling kota terdapat area pertanian lahan datar serta hutan yang tersisa berupa hutan berdaun lebar serta hutan yang saat-saat tertentu menggugurkan daun. Kota Orebro sebelumnya merupakan sebuah kota kecil industri, berkembang menjadi pusat perdagangan, pendidikan, rumah sakit, dan transportasi. Pemerintah daerah bersama dewan kota meletakkan konsep hijau dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan demikian semua perkantoran pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut. Saat ini pemerintah kota mengembangkan perencanaan hijau terhadap lansekap kota, mendukung konsep kota hijau berdasarkan tiga dasar yaitu sosial, budaya dan ekologi. Departemen yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan konsep hijau yaitu Departemen Teknik dan Departemen Perencanaan Kota. Dalam proses penyusunan perencanaan, ahli ekologi dan ahli biologi, pada tahun 2997 ditransfer dari Kantor Jasa Lingkungan Hidup ke Departemen Perencanaan Kota. Non Governmental Organization sangat aktif berperan dalam penyusunan perancanaan. Masyarakat merasakan manfaat dan menghargai nilai dari lingkungan yang dikelola dengan baik. Secara umum keempat kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo,Orebro) mempunyai sistem perencanaan hijau (green policy), melaksanakan pembangunan hijau, serta mempunyai peraturan legal serta personil untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hijau meskipun pada masing-masing kota mempunyai variasi kebijakan yang berbeda-beda Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina Pemerintah Daerah Kota Guangzhou telah mengadopsi konsep kota hijau dalam melaksanakan pembangunan. Untuk mewujudkan kota hijau, pemerintah daerah membuat green policy untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi yaitu adanya pulau bahang kota (urban heat island). Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) akibat terus meningkatnya lahan terbangun. Pada tahun 1960, lahan terbangun di Kota Guangzhou seluas 64,2 km 2, meningkat menjadi 159,6 km 2 pada

51 31 tahun Selama 24 tahun, lahan terbangun meningkat sebesar 95,4 km 2 atau 149%. Tahun 1989, lahan terbangun terus mengalami peningkatan menjadi 194,8 km 2, dan pada tahun 1997 menjadi 295,2 km 2 atau mengalami peningkatan 51,5% dalam waktu delapan tahun. Akibat peningkatan lahan terbangun menyebabkan area urban heat island dengan perbedaan suhu udara di pusat kota dengan area perdesaan berkisar antara 0,2 sampai dengan 4,7 C tergantung kondisi cuaca. Penelitian Weng dan Yang (2004) mengenai kaitan antara jenis penutupan lahan dengan suhu udara yang dilakukan pada tahun 1997, dijelaskan bahwa jenis penutupan lahan berupa hutan menciptakan suhu udara yang paling rendah dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Suhu udara di area hutan pada tahun 1997 adalah 23,82 C; suhu udara di area perairan 24,02 C, tanaman pertanian 25,17 C; tanah terbuka (tanah gundul) 26,06 C; dan lahan terbangun 27,07 C. Untuk mewujudkan kota hijau, Pemerintah Daerah Kota Guangzhou membuat kebijakan dengan target Kota Guangzhou sebagai kota bunga serta telah menambah ruang terbuka hijau dari 37,36 km 2 pada tahun 1978, meningkat menjadi 83,5 km 2 pada tahun Tetapi ruang terbuka hijau yang diutamakan adalah berupa taman dengan beraneka macam bunga, ruang terbuka hijau berupa pohon sangat kurang sehingga kebijakan ini tidak efektif dalam mengatasi masalah pulau bahang kota. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004) disarankan agar kebijakan Pemerintah Daerah Kota Guangzhou dapat diperbaiki agar lebih mengembangkan hutan kota karena lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pulau bahang kota Kebijakan Kota Hijau di Kota Canberra, Australia Canberra merupakan ibu kota Australia. Awal mula daerah ini merupakan hutan, yang mulai tahun 1820 peternak membuka hutan dan hanya menyisakan hutan yang tidak luas. Berdasarkan laporan Brack (2002) disebutkan bahwa sejak tahun 1990 pemerintah membuat kebijakan penanaman secara besar-besaran pada area terbuka dengan menanam sebanyak bibit pohon. Pemerintah juga membuat model sebagai dasar pengambilan keputusan yaitu program Decision Information System for Managing Urban Trees (DISMUT) yang merupakan panduan dalam manajemen hutan kota. Program DISMUT berisi prakiraan pertumbuhan jenis-jenis tanaman, penentuan lokasi dan waktu penanaman yang sesuai, cara melakukan pemangkasan dan pemeliharaan pohon. Selain itu DISMUT juga dapat digunakan untuk memprediksi

52 32 nilai dari hutan kota serta prakiraan kemampuan hutan kota dalam menurunkan gas rumah kaca. Program DISMUT berupa modelling sehingga dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan keputusan pemerintah dari beberapa pilihan kebijakan. Bahkan dalam model DISMUT dapat diprakirakan keuntungan dari manajemen hutan kota dari mitigasi polusi udara dan sequestrasi karbon oleh hutan kota sehingga dapat dihitung keuntungan dari penurunan konsumsi energi untuk pendinginan (AC) dan pemanas ruangan di musim dingin. Lebih dari 50% hutan kota di Canberra berupa hutan yang selalu hijau (evergreen), melalui kemampuannya dalam mengintersepsi radiasi surya serta evapotranspirasi menyebabkan pengaruh positif menurunkan suhu udara sehingga menurunkan biaya konsumsi enrgi untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan. Berdasarkan program DISMUT dapat diperkirakan keuntungan mengelola hutan kota akan dapat menghemat biaya selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, adalah sebesar US$ 20 sampai dengan 67 juta Kebijakan Kota Hijau di Kota Lisbon, Portugal Alcoforado et al. (2009) menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan kota berkelanjutan (kota hijau), diperlukan pengetahuan tentang iklim dalam proses penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota. Pengetahuan akan iklim sangat penting untuk menangani permasalahan perkotaan terutama masalah urban heat island (UHI) dan staganasi aliran udara. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pemetaan tutupan lahan Kota Lisbon dengan menggunakan sistem informasi geografi, memetakan kekasaran permukaan, kepadatan bangunan, serta menganalisis arah dan kecepatan angin. Berdasarkan penelitian Alcoforado et al. (2009), diketahui bahwa rata-rata perbedaan suhu udara akibat UHI sebesar 3 C. Suhu udara tertinggi terdapat di pusat kota dengan lahan terbangun yang padat dan luas. Aliran massa udara yang buruk di perkotaan meningkatkan efek buruk UHI. Efek negatif ini yaitu meningkatkan ketidaknyamanan, menimbulkan masalah kesehatan, menimbulkan polusi oksidan, seta meningkatkan konsumsi energi dan air. Pemerintah Daerah Kota Lisbon membuat kebijakan pengelolaan lingkungan untuk mengatasi masalah UHI dan penataan ventilasi udara kota dengan membuat pedoman pengelolaan lingkungan secara sederhana agar mudah dipahami dan dilaksanakan. Pedoman disusun berdasarkan kepadatan lahan terbangun, kekasaran

53 33 permukaan kota, serta topografi. Penataan kota Lisbon adalah sebagai berikut : 1) Mencegah peningkatan lahan terbangun di area lembah, 2) Rasio antara tinggi (H) bangunan dengan lebar (W) jalan tidak lebih dari 1, 3) Memaksimalkan pengembangan ruang terbuka hijau termasuk taman atap, 4) Apabila melakukan renovasi bangunan diusahakan menggunakan warna terang serta bahan bangunan dengan absorbsi termal yang rendah, 5) membangun jalur ventilasi berupa jalur hijau di sepanjang jalan raya serta di sekeliling batas kota 6) mencegah pendirian bangunan tinggi yang paralel dengan pantai karena menahan pendinginan udara oleh penetrasi aliran udara dari arah pantai. Secara umum kebijakan Pemerintah Daerah Kota Lisbon dapat disimpulkan bahwa pengelolaan lingkungan untuk mengatasi UHI dan stagnasi aliran udara dapat dilakukan dengan : 1) Mempertahankan ruang terbuka hijau yang telah ada, 2) Membangun ruang terbuka hijau semaksimal mungkin dengan memanfaatkan ruang kosong yang ada, 3) ruang terbuka hijau yang dibangun sebaiknya terdiri dari vegetasi yang beraneka ragam (keanekaragaman hayati tinggi) serta memepertimbangkan kondisi biofisik, sosial dan budaya, 4) sebaiknya memperhatikan struktur ruang terbuka hijau (kolam, hamparan rumput, tanaman semak, pohon tinggi). Pengelolaan lingkungan demikian akan menciptakan kondisi iklim mikro yang baik serta memperbaiki kondisi atmosfer kota.

54 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun Penelitian dibagi menjadi tiga wilayah berdasarkan perbedaan kepadatan penduduk, persentase luas lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Kepadatan penduduk di Wilayah I adalah 82 orang/ha, persentase lahan terbangun (60%) dan persentase ruang terbuka hijau (29%). Wilayah II mempunyai kepadatan penduduk 31 orang/ha, persentase lahan terbangun 40%, dan persentase ruang terbuka hijau 45%. Sedangkan Wilayah III memiliki kepadatan penduduk 57 orang/ha, dengan persentase lahan terbangun 37% dan ruang terbuka hijau 52%. Sesuai dengan pembagian wilayah administratif kecamatan, masingmasing wilayah penelitian dikelompokkan menjadi : a. Wiayah I terdiri dari Kec. Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot, Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi. b. Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk, Kec. Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran. c. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay, Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan Kec. Rancaekek. Ciwidey Pasirjambu Cimaung Pacet Ibun Gambar 5 Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.

55 Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan penelitian yang diperlukan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Bahan dan peralatan penelitian No. Bahan dan Peralatan Keterangan 1. Citra Landsat ETM path/row 122/065 dengan tanggal akuisisi 6 Mei 2003 dan citra landsat ETM path/row 121/062 tanggal akuisisi 11 Juli 2008 serta citra landsat ETM path/row 122/062 Bahan analisis spasial pembuatan peta penutupan lahan, dan peta distribusi suhu udara. dengan tanggal akuisisi 2 Juli Termometer air raksa Alat ukur suhu udara 3. Termometer bola kering dan termometer bola Alat ukur kelembaban udara basah 4. Hemiphericalview Alat untuk memotret dan mengukur kerapatan tajuk 5. GPS Untuk menentukan posisi geografis titik-titik penelitian 6. Komputer, program Stella Untuk menyusun dan melakukan simulasi model 3.3. Metode dan Analisis Penelitian Jenis Data Penelitian Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Data primer dan sekunder penelitian No. Data Penelitian Data Primer 1. Data iklim mikro (suhu dan kelembaban udara) di beberapa jenis penutupan lahan (hutan, kebun campur, sawah, permukiman, pertokoan, jalan raya, area industri) 2. Data iklim mikro di beberapa bentuk dan struktur hutan kota 3. Data iklim mikro di beberapa kerapatan tajuk yang berbeda. 4. Jumlah kendaraan bermotor 5. Data luas jenis penutupan lahan 6. Kerapatan tajuk hutan kota 7. Data persepsi dan sikap masyarakat Kabupaten Bandung terhadap kondisi lingkungan mereka. Data Sekunder 1. Data jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. 2. Data jumlah industri dari Dinas Perindustrian Kabupaten Bandung. 3. Data iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban udara, kecepatan dan arah angin) sepuluh tahun terakhir (tahun 1999 sampai dengan 2008) dari Badan Meteorologi dan Geofisika. 4. Data luas ruang terbuka hijau dari Dinas Perumahan Penataan Ruang dan Kebersihan 5. Data jumlah kendaraan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung 6. Rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang Kabupaten Bandung dari BAPPEDA, serta kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.

56 Metode dan Analisis Pulau Bahang Kota Faktor penyebab terjadinya efek pulau bahang dikaji dari sumber transportasi, industri, konsumsi energi domestik, dan sampah domestik. Beberapa aktivitas tersebut mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer dan menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota Sumber Emisi Gas Rumah Kaca Transportasi Data jumlah kendaraan bermotor baik kendaraan roda dua maupun roda empat dari tahun 2003 hingga tahun 2008, digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor. Jumlah dan kepadatan kendaraan bermotor juga dihitung secara langsung di jalan raya (Jalan Kopo-Sayati) yang merupakan salah satu jalan raya terpadat di Kabupaten Bandung. Penghitungan dilakukan pada pagi hari (pukul WIB), siang hari (pukul WIB) dan pukul ( WIB). Penghitungan dilakukan dengan menggunakan counter dan parameter yang diukur adalah : jumlah kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, bus, dan truk. Industri Data jumlah unit industri baik industri besar maupun industri sedang yang ada di Kabupaten Bandung dari tahun 2003 hingga tahun 2008, diambil dari data Kabupaten Bandung dalam Angka. Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja, yang dimaksud dengan industri sedang adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja 20 sampai 99 orang. Sedangkan industri besar adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang. Data jumlah industri sedang dan besar dianalisis untuk menentukan kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah unit industri. Kajian Data Kependudukan Data yang diambil yaitu jumlah dan kepadatan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dihitung dengan menghitung pertambahan penduduk per tahun di Kabupaten Bandung. Data kependudukan ini sangat penting karena erat kaitannya dengan potensi konsumsi energi rumah tangga, sampah domestik, serta potensi perubahan lahan dari jenis penutupan lahan berupa ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun.

57 Analisis Spasial Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu Udara Analisis spasial dilakukan untuk menentukan luas dan jenis penutupan lahan serta peta distribusi suhu udara. Untuk membuat peta tutupan lahan, dilakukan analisis citra dengan menggunakan software Erdas 9.1 dan citra TM 5 tahun 2003 dan Analisis citra dilakukan dengan metode klasifikasi citra terbimbing. Selain itu untuk menganalisis data vektor digunakan software ArcGis 9.2 dan Arcview 3.3. Untuk verifikasi data citra dan hasil klasifikasi citra satelit yang tepat, maka dilakukan juga survey lapangan. Peta sebaran suhu udara dibuat dengan terlebih dahulu melakukan estimasi nilai suhu permukaan dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1 kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada landsat 5 TM dan band 6. Nilai DN (digital number) dikonversi menjadi nilai radiasi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiasi (USGS 2002) : Radiasi = gain x DN (Digital Number) + offset Nilai gain sebesar 0,05518 dan digital number dengan band 6, sedangkan nilai offset sebesar 1,2378. Nilai suhu permukaan diketahui dengan mengkonversi band 6 berikut (USGS 2002) : T = K 2 ln (K 1 + 1) L λ Keterangan : T : suhu efektif (K) K 2 : konstanta kalibrasi K 1 : konstanta kalibrasi L λ : spektral radiasi Kondisi vegetasi di suatu wilayah dapat diketahui melalui Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), yang menggambarkan seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tunbuhan hijau menyerap radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR). Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal infra merah dekat dan kanal cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1, yang artinya bahwa jika

58 38 suatu wilayah semakin hijau rapat oleh vegetasi maka nilai NDVI semakin besar. Persamaan untuk menghitung NDVI berdasarkan U.S. Geological Survey, Department of the Interior, National Aeronotics and Space Administration (2002) adalah sebagai berikut : NDVI = (NIR VIS)/(NIR + VIS) NIR : reflektansi kanal infra merah dekat (kanal 2) VIS : reflektansi kanal cahaya tampak (kanal 2) Kajian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau diamati dan diukur di beberapa titik terutama pada RTH atau hutan kota dengan bentuk dan struktur yang berbeda. Kondisi fisik tanaman yang diukur dan diamati yaitu : a. Tinggi pohon b. Diameter batang c. Kerapatan tajuk Selain pengamatan dan pengukuran ruang terbuka hijau, juga dilakukan pengukuran iklim mikro. Pengukuran iklim mikro dilakukan di beberapa tempat sebagai berikut : a. Di beberapa jenis penutupan lahan Pengukuran iklim mikro di beberapa jenis penutupan lahan dilakukan dengan mengukur suhu udara secara serentak dengan tinggi sensor 120 cm dari permukaan tanah pada beberapa jenis penutupan lahan dengan 6 ulangan. Lokasi pengukuran dilakukan di jalan raya (pusat kota), pertokoan, area industri, permukiman, sawah, kebun campur, hutan kota dan hutan. b. Di beberapa bentuk dan struktur hutan kota Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara dilakukan di beberapa bentuk hutan kota yaitu bentuk jalur, menyebar dan menggerombol. Sensor berjarak 120 cm dari permukaan tanah. Pengukuran dilakukan di dalam dan di luar hutan kota dengan 6 ulangan. Begitu pula pengukuran dilakukan di beberapa struktur hutan kota yaitu strata dua dan strata banyak yang dilakukan di dalam maupun di luar dengan 6 ulangan. Jarak dari hutan kota kurang lebih 5 meter.

59 39 Analisis peran hutan kota dalam perbaikan iklim mikro (mereduksi suhu udara serta peningkatan kelembaban udara) dilakukan dengan cara menghitung kemampuan hutan kota dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara. Kemampuan hutan kota dalam mereduksi suhu udara : Tr = T tbk - T tjk Keterangan : Tr = Suhu udara yang direduksi hutan kota T tbk = Suhu udara di luar hutan kota = Suhu udara di dalam hutan kota T tjk Kemampuan hutan kota dalam meningkatkan kelembaban udara : RH rh = RH tjk - RH tbk Keterangan : RH rh = Peningkatan kelembaban udara RH tjk = Kelembaban udara di bawah tajuk RH tbk = Kelembaban udara di tempat terbuka Metode dan Analisis Sistem Dinamik Model Kota Hijau Analisis sistem dinamik dalam pembuatan model kota hijau, menggunakan program Stella Beberapa asumsi dan batasan yang digunakan dalam model ini adalah : a. Lingkungan udara Kabupaten Bandung merupakan lingkungan tertutup. Diasumsikan tidak ada massa udara dari dan keluar wilayah Kabupaten Bandung. b. Emisi CO 2 dari sumber energi Q F (penggunaan pendingin udara, lampu, industri domestik) dianggap sudah tercakup dalam perhitungan emisi CO 2 dari konsumsi energi rumah tangga. c. Laju pertambahan jumlah kendaraan roda dua, kendaraan roda empat, dan jumlah unit industri diasumsikan sama dari tahun ke tahun. d. Terdapat pengaruh balik dari suhu udara terhadap pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk diasumsikan menurun ketika suhu udara sudah melampaui kenyamanan.

60 40 e. Emisi CO 2 dari kendaraan tidak dibedakan antara kendaraan produksi lama dengan produksi baru. f. Perkembangan jumlah kendaraan dari tahun ke tahun diambil dari data yang tercatat di Dinas Perhubungan dengan mengabaikan kendaraan yang keluar dan masuk wilayah Kabupaten Bandung. g. Karena sulit memasukkan variabel jenis produk industri ke dalam model, maka variabel industri hanya mempertimbangkan jumlah industri sedang dan industri besar saja h. Kondisi cuaca dan iklim tidak nyaman diasumsikan pada batas suhu udara 30 ºC. Berdasarkan persamaan regresi antara suhu udara dengan kelembaban udara di Kabupaten Bandung, diprakirakan pada suhu 30 ºC, kelembaban udaranya 61%. Berdasarkan persamaan THI (temperature humidity index), didapat nilai sebesar 27,7. Nilai THI 27,7 masuk pada kisaran tidak nyaman. Setelah menetapkan asumsi, maka langkah selanjutnya adalah membuat model yang terdiri dari beberapa tahapan. Purnomo (2005), membagi tahapan penyusunan model menjadi lima tahap berikut : 1. Identifikasi isu, tujuan, dan batasan 2. Konseptualisasi model 3. Spesifikasi model 4. Evaluasi model 5. Penggunaan model a. Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan Model Isu atau permasalahan yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan model adalah adanya efek pulau bahang (urban heat island) yang terjadi di Kabupaten Bandung akibat berbagai macam aktivitas (faktor) yang menyebabkan peningkatan polutan khususnya CO 2 dan suhu udara, sehingga kualitas udara menurun dan suhu udara meningkat. Pulau bahang kota yang terjadi di Kabupaten Bandung akan menghambat terwujudnya kota hijau. Berdasarkan permasalahan ini maka tujuan pembuatan model ini adalah untuk menghasilkan model kota hijau yang terdiri dari variabel yang terkait dengan permasalahan pulau bahang kota yaitu variabel jumlah penduduk, jumlah kendaraan, jumlah industri, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Dengan simulasi model

61 41 akan dihasilkan skenario terbaik untuk melakukan mitigasi pulau bahang kota sehingga dapat dijadikan alternatif penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung. b. Konseptualisasi Model Konseptualisasi model dibuat dengan mengidentifikasi semua komponen penyebab pulau bahang kota yaitu kendaraan bermotor, industri, lahan terbangun, sampah dan ruang terbuka hijau. Kemudian dicari interelasi antar komponen tersebut serta prediksi perilaku komponen terutama jumlah penduduk, luas ruang terbuka hijau, luas lahan terbangun, jumlah kendaraan dan jumlah industri. Konseptualisasi model dalam bentuk causal loop diagram disajikan pada Gambar 6. Jumlah Penduduk Pernapasan + Konsumsi Bhn Bakar Rmh Tangga + + Industri Sampah + + Jumlah Kendaraan CO Suhu Udara Albedo - Lahan Terbangun + - Ruang Terbuka Hijau Gambar 6 Konseptualisasi model dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop) model kota hijau melalui pengendalian pulau bahang kota (urban heat island). c. Spesifikasi model Kuantifikasi model antar komponen dengan persamaan-persamaan numerik antara satu variabel dengan variabel yang lain dengan satuan-satuan dan peubah waktu yang jelas. Dapat bersifat induktif (empirik) dengan menggunakan teknik statistik, sedangkan yang bersifat deduktif (mekanistik) dalam bentuk hubungan persamaan matematik.

62 42 Kuantifikasi variabel sub model suhu udara, menggunakan batas suhu udara 30 C dengan berdasar pada perhitungan THI (temperature humidity index). Temperature humidity index dihitung berdasarkan persamaan Nieuwolt (1975) sebagai berikut : THI=0,8Ta+(RH x Ta) 500 Keterangan : THI = temperature Humidity Index ( C) Ta = Suhu Udara ( C) RH = Kelembaban Udara (%) Emmanuel (2005) menggunakan rumus Niewolt (1975) dalam penelitiannya di Colombo, Sri Lanka, dan menyimpulkan bahwa pada THI antara C, 100 % populasi manusia menyatakan nyaman. Sedangkan THI sebesar C, 50 % populasi manusia menyatakan nyaman. Dan THI > 27, 100 % populasi manusia menyatakan tidak nyaman. Berdasarkan persamaan regresi antara suhu dan kelemban udara di Kabupaten Bandung didapat persamaan : Y = 112,501 1,711X Keterangan : Y = Kelembaban udara X = Suhu udara Berdasarkan hal tersebut, suhu udara 30 C jika dihitung dengan rumus THI, menghasilkan THI 27,67 (termasuk kisaran tidak nyaman) sehingga sub model suhu udara menggunakan batas tidak nyaman pada suhu udara 30 C. d. Evaluasi Model Beberapa hal yang dilakukan dalam evaluasi model, yaitu : a. Pengamatan kelogisan model serta membandingkan dengan dunia nyata atau dengan model lain yang serupa. Setiap bagian dari model diamati untuk mengevaluasi kelogisan hubungan antar komponen dan kelogisan keseluruhan model secara utuh. b. Pengamatan apakah perilaku model sesuai dengan perkiraan pada fase konseptualisasi model. c. Membandingkan antara perilaku model dengan dunia nyata.

63 43 e. Penggunaan Model Model yang sudah dibuat dapat digunakan untuk mempercepat proses pembelajaran (double loop learning) dan dapat digunakan untuk menentukan skenario pilihan kebijakan serta dapat untuk memperkirakan dampak dari skenario yang dipilih Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi Masyarakat Upaya untuk mewujudkan Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Dibutuhkan pemahaman, persepsi, kesadaran dan sikap nyata dari masyarakat untuk mendukung terwujudnya kota hijau tersebut. Beberapa informasi yang digali dari masyarakat adalah : kondisi ekonomi (pendapatan), kondisi kualitas udara, kondisi cuaca khususnya suhu udara saat ini dan perubahan suhu udara, potensi emisi CO 2 dari kepemilikan kendaraan bermotor, pengaruh industri terdekat, pengelolaan sampah, sikap dan persepsi masayarakat dalam pengelolaan lingkungan khususnya dalam menangani pulau bahang kota, serta kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan menurut pandangan masyarakat. Pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Bandung, dilakukan melalui wawancara secara langsung dengan masyarakat di lokasi penelitian. Penentuan lokasi kecamatan dan responden yang akan diwawancarai menggunakan metode purposive sampling. Lokasi kecamatan dipilih berdasarkan peta distribusi suhu udara, dengan kriteria suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan kecamatan lain. Sedangkan penentuan jumlah responden dilakukan berdasarkan quota sampling dengan kriteria responden minimal berumur 20 tahun dan telah tinggal di Kabupaten Bandung minimal 5 tahun. Syarat umur responden minimal 20 tahun diharapkan dapat memberikan informasi perubahan suhu udara dan perubahan iklim mikro perkotaan lima tahun terakhir. Informasi dikumpulkan melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur kepada warga masyarakat di wilayah kecamatan terpilih (15 kecamatan). Tiap kecamatan diambil 12 responden sehingga total di 15 kecamatan berjumlah 180 responden. Data hasil wawancara dengan masyarakat, dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif sehingga akan dapat menggambarkan keadaan subyek atau obyek yang diteliti.

64 BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada Lintang Selatan dan diantara Bujur Timur. Luas wilayah mencapai 3.073,70 km 2. Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan. Batas administrasi Kabupaten Bandung disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung Kondisi Iklim Tipe Iklim Berdasarkan Klasifikasi Iklim Koppen, Kabupaten Bandung termasuk ke dalam tipe iklim Am (iklim monsun tropis). Jumlah curah hujan pada bulan-bulan basah pada daerah ini dapat mengimbangi kekurangan curah hujan pada bulan-bulan kering. Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kabupaten Bandung termasuk kedalam tipe iklim C dengan nilai Q 37,7 %. Berdasarkan klasifikasi iklim

65 45 Oldeman, termasuk tipe iklim C3 dengan enam bulan basah berturut-turut dan empat bulan kering berturut-turut serta jumlah bulan musim pertumbuhan sebesar delapan bulan Curah Hujan Curah hujan rataan tahunan Kabupaten Bandung dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 adalah mm. Curah hujan rataan bulanan berkisar antara 36 mm (bulan Agustus) dan 283 mm (bulan November). Pola curah hujan di Kabupaten Bandung disajikan pada Gambar 8. Curah Hujan Rataan Bulanan (mm) J F M A M J J A S O N D Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009) Curah Hujan Rataan Bulanan (mm) Gambar 8 Curah hujan rataan bulanan Kabupaten Bandung. Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa mulai bulan Oktober wilayah ini sudah menerima curah hujan > 100 mm/bulan (bulan basah), mencapai maksimum pada bulan November, kemudian cenderung menurun. Bulan Juni dan Juli mengalami bulan lembab (curah hujan antara 60 sampai 100 mm per bulan), dan mengalami musim kering pada bulan Agustus dan September Suhu dan Kelembaban Udara Suhu udara rataan tahunan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008, tercatat 23,4 C, dengan suhu rataan bulanan terendah 22,9 C (bulan Februari), dan tertinggi 24,4 C (bulan November). Kelembaban udara rataan tahunan terukur 78 %, dengan

66 46 kelembaban rataan bulanan terendah 73 % (bulan Agustus dan September) dan tertinggi 81 % (bulan November, Desember, Januari dan Maret, April, Mei). Suhu Udara Rataan Bulanan (ºC) J F M A M J J A S O N D Bulan Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009) Gambar 9 Suhu rataan bulanan Kabupaten Bandung. Kelembaban Udara Rataan Bulanan (%) J F M A M J J A S O N D Bulan Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009) Gambar 10 Kelembaban udara rataan bulanan Kabupaten Bandung. Berdasarkan Gambar 9 dan 10, terlihat bahwa wilayah Kabupaten Bandung suhu udara dan kelembaban udara dari bulan ke bulan berfluktuasi. Kelembaban udara cenderung tinggi pada bulan November sampai dengan bulan Mei, kemudian menurun mencapai kelembaban terendah pada bulan Agustus dan September.

67 Kecepatan dan Arah Angin Kisaran rataan kecepatan angin bulanan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008, tercatat sebesar 4 km/jam (bulan April) sampai dengan 5,7 km/jam (bulan Februari). Angin di Kabupaten Bandung pada bulan Desember sampai dengan Mei dipengaruhi oleh angin yang berasal dari arah barat, sedangkan pada bulan Juni sampai dengan November dipengaruhi oleh angin yang berasal dari arah timur. (km/jam) J F M A M J J A S O N D Bulan Sumber : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (2009) Gambar 11 Kecepatan angin rataan bulanan Kabupaten Bandung. Angin yang mengalir di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh angin yang berasal dari arah barat, timur, timur laut dan barat laut. Angin dominan mengalir dari arah barat dengan kecepatan pada kisaran >2,5-5,0 km/jam (28,6 %), >5,0-7,5 km/jam (14 %) dan 0 2,5 km/jam hanya 1,2 %. Kecepatan angin yang berasal dari arah timur dengan kecepatan >5,0-7,5 km/jam sebesar 10,7 %, >2,5-5,0 km/jam sebesar 19 % dan kecepatan angin 0-2,5 sebesar 4,8 %. Angin dari timur laut persentasenya lebih kecil bila dibandingkan dengan angin yang berasal dari arah barat dan timur. Kecepatan angin antara >2,5-5,0 km/jam hanya sebesar 4,8 % dan kecepatan angin antara 0 2,5 km/jam sebesar 3,6 %. Angin yang berasal dari barat laut juga persentasenya kecil dengan kecepatan rendah. Kecepatan angin yang terukur antara >2,5-5,0 km/jam sebesar 1,2 % dan antara 0 2,5 km/jam hanya 1,2 %.

68 Topografi Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada kisaran ketinggian m m di atas permukaan laut. Wilayah dengan ketinggian tempat kurang dari 2000 m di atas permukaan laut, sebagian besar berada di Kecamatan Cipeundeuy, Ciwidey, Kertasari, Lembang dan Pasirjambu. Sedangkan wilayah dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut tersebar di Kecamatan Banjaran, Kertasari, Pacet, Pangalengan dan Pasirjambu. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara puncak-puncaknya adalah : sebelah utara terdapat Gunung Bukittunggul (2.200 m) dan Gunung Tangkubanperahu (2.076 m). Sedangkan di selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya di perbatasan dengan Kabupaten Garut. Wilayah Kabupaten Bandung merupakan cekungan di dataran tinggi Bandung yang morfologi wilayahnya terdiri dari dataran datar/landai, kaki bukit dan pegunungan. Kemiringan lerengnya bervariasi antara 0-8%, 8-15% hingga > 40% Kondisi Penutupan Lahan Luas wilayah Kabupaten Bandung adalah ha. Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung tahun 2009, jenis penutupan lahan berupa hutan seluas ha, lahan pertanian ha, lahan kritis ha, dan permukiman ha. Kawasan hutan terdiri dari kawasan konservasi cagar alam Patengan, Cagar Alam Gunung Malabar, Cagar Alam Cigenteng, Cagar Alam Yunghun, Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Wisata Alam Telaga Patengan, dan Taman Wisata Alam Cimangu Kawasan hutan juga terdiri dari hutan lindung di Cileunyi, Cimenyan, Cilengkrang, Banjaran, Pengalengan, Cimaung, Pacet, KertasariPaseh, Ibun, Pasirjambu, CiwideyRancabali, dan Cangkuang Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan data hasil SUSEDA (survey sosial ekonomi daerah) Kabupaten Bandung yang dilakukan pada tahun 2008, diketahui bahwa jumlah penduduk tercatat orang, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,95 %. Berdasarkan sebaran kelompok umur, penduduk Kabupaten Bandung kisaran umur 0 14 tahun tercatat orang, sedangkan kisaran umur tahun tercatat dan

69 49 kelompok umur di atas 65 tahun tercatat orang. Dari data ini terlihat bahwa penduduk Kabupaten Bandung didominasi oleh usia antara yaitu sebesar 66 %. Berdasarkan hasil SUSEDA yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Bandung pada tahun 2008, persentase terbesar jenjang pendidikan penduduk Kabupaten Bandung adalah tamat sekolah dasar yaitu 37,11 %. Penduduk yang belum dan yang tidak tamat sekolah dasar (SD) sebesar 17,27 %. Penduduk yang tamat SLTP sebanyak 24,03 %. Tamat SLTA 18,24 %. Lulusan perguruan tinggi masih sedikit, yaitu hanya 3,35 %. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bandung masih rendah sehingga perlu perhatian pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya di bidang pendidikan. Dengan tingkat pendidikan yang baik akan lebih mempermudah sosialisasi program kota hijau khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan dukungan akan pentingnya memperbaiki lingkungan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya mengenai angkatan kerja, disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 mengalami penurunan. Sedangkan sektor industri, perdagangan dan jasa meskipun berfluktuasi dari tahun ke tahun tetapi secara umum tidak begitu banyak mengalami perubahan. Ada indikasi perpindahan lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian ke sektor sektor lainnya (pertambangan, listrik gas dan air, angkutan dan komukasi, koperasi dan lembaga keuangan), sehingga proporsi sektor lainnya mencapai 22,54 %. Sektor industri merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja. Tabel 3 Persentase lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Bandung pada tahun 2008 Lapangan Pekerjaan Tahun Angkatan Kerja - Pertanian 26,25 25,86 25,02 20,66 - Industri 27,00 26,42 23,56 27,08 - Perdagangan 18,92 19,06 18,54 19,51 - Jasa 10,57 10,76 21,19 10,21 - Lainnya 17,26 17,90 11,69 22,54 Angkatan Kerja yang Menganggur 14,97 14,73 14,64 13,19 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda

70 50 Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung dihitung berdasarkan sembilan sektor ekonomi yaitu pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa. Produk domestik regional bruto belum memperhitungkan sektor lingkungan hidup yang lain, misalnya pendapatan dari ekowisata. Kesembilan sektor ekonomi tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu : sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor sekunder masih mendominasi dalam penciptaan nilai tambah di Kabupaten Bandung. Total nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku dari kelompok sektor sekunder di tahun 2008 mencapai Rp. 24,57 trilyun, atau meningkat 15,30 % dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp. 21,31 trilyun. Tabel 4 Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2008 (x 10 6 rupiah) Lapangan Usaha x 10 6 Rupiah 1. Primer - Pertanian - Pertambangan dan penggalian 2. Sekunder - Industri pengolahan - Listrik, gas dan air - Bangunan 3. Tertier - Perdagangan, hotel dan restoran - Pengangkutan dan komunikasi - Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan - Jasa , , , , , , , , , , , ,52 PDRB ,12 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda

71 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung Pulau bahang kota di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh gas rumah kaca khususnya CO 2, lahan terbangun, dan ruang terbuka hijau di wilayah tersebut. Gas CO 2 berpengaruh terhadap absorbsi radiasi gelombang panjang serta peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO 2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO 2. Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Faktor lain yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah lahan terbangun. Lahan terbangun berpengaruh pada proses refleksi dan absorbsi radiasi yang juga mengakibatkan peningkatan suhu udara, sedangkan ruang terbuka hijau berperan terhadap penurunan suhu udara melalui proses refleksi radiasi, evapotranspirasi dan fotosintesis Sumber Pulau Bahang Kota dari Emisi CO 2 Jumlah Penduduk Penduduk Kabupaten Bandung tahun 2006 berjumlah orang, tahun 2007 menjadi orang, dan tahun 2008 semakin meningkat menjadi orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk 1,95 %/tahun. Kepadatan penduduk dari tahun ke tahun juga meningkat. Tercatat pada tahun 2006, kepadatan penduduk sebesar orang/km 2, meningkat menjadi orang/km 2 (tahun 2008). Jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung, disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk Tahun Jumlah Penduduk (orang) Kepadatan Penduduk (Org/km 2 ) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) , , ,93 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda

72 52 Suhu udara sangat dipengaruhi oleh produksi gas rumah kaca khususnya CO 2 yang dikeluarkan oleh penduduk. Environmental Protection Agency (2010), menyatakan bahwa pernapasan manusia mengeluarkan CO 2 1 kg/hari atau sama dengan 0,365 ton/orang/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin tinggi jumlah penduduk, maka juga semakin banyak gas CO 2 yang dihasilkan dari manusia. Pertambahan jumlah penduduk sangat potensial meningkatkan emisi CO 2 ke atmosfer sehingga dapat meningkatkan efek negatif terutama dalam hal peningkatan suhu udara pulau bahang kota. Selain CO 2 yang dikeluarkan manusia melalui pernapasan, CO 2 juga dikeluarkan dari pemakaian bahan bakar dari aktivitas rumah tangga seperti yang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung (2009), tercatat mayoritas rumah tangga menggunakan bahan bakar gas yaitu sebesar 85,79 %. Rumah tangga yang menggunakan minyak tanah, kayu bakar dan listrik persentasenya kecil. Berdasarkan data dokumen Kabupaten Bandung dalam Angka tahun 2009, diketahui jumlah rumah tangga adalah sebesar , maka dapat diperkirakan emisi CO 2 dari penduduk kabupaten Bandung dari aktifitas rumah tangga sebanyak ,73 kg CO 2 /rumah tangga/tahun. Berdasarkan perhitungan emisi CO 2 dari aktivitas rumah tangga, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah penduduk (jumlah rumah tangga) maka akan semakin tinggi juga kebutuhan akan bahan bakar, serta akan menyebabkan emisi CO 2 dari aktivitas tersebut semakin meningkat pula. Tabel 6 Emisi CO 2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar di Kabupaten Bandung (2009) BBM untuk Memasak Jumlah Rumah Tangga % Emisi CO 2 (kg/rumah tangga/tahun) Total Emisi (kg CO 2 /tahun) Listrik 68 0, , ,08 Gas ,79 607, ,65 Minyak Tanah , , ,00 Kayu Bakar , Sumber : Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (2009) Jumlah Kendaraan Volume kendaraan bermotor yang beroperasi di Kabupaten Bandung bervariasi tergantung waktu (jam). Jam (waktu) puncak pada pagi hari mulai dari pukul , sedangkan waktu puncak pada sore hari terjadi pada pukul dengan

73 53 jumlah kendaraan yang beroperasi sekitar Lokasi kepadatan kendaraan bervariasi tergantung jalan yang dilewati. Jalan yang padat kendaraan terjadi pada jalan-jalan utama. Data selengkapnya mengenai volume kendaraan bermotor pada setiap jamnya di ruas-ruas jalan di Kabupaten Bandung tercantum pada Lampiran 7, sedangkan hasil penghitungan kendaraan bermotor secara langsung yang dilakukan pada Bulan November 2009 di Jl. Kopo-Sayati, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009) Waktu Kendaraan Roda Dua Kendaraan Roda Empat Truk Bus Purnomohadi (1995) menyatakan bahwa kontribusi sektor transportasi terhadap polutan udara adalah sebesar 90 %. Hasil penelitian Soedomo (2001) di Bandung, menunjukkan bahwa sektor transportasi menghasilkan beberapa jenis polutan udara yaitu CO sebesar 97,4 %, NO x 56,3 %, SO x sebesar 12 %, hidrokarbon 78,5 % dan partikulat sebesar 27,4 %. Jika dibandingkan aktifitas sumber pencemar lainnya, maka transportasi merupakan penyumbang polutan udara tertinggi kecuali untuk senyawa SO x. Senyawa polutan udara yang mempengaruhi suhu udara secara langsung adalah CO 2. Polutan CO 2 yang dikeluarkan sektor transportasi dari kendaraan bermotor dapat diperkirakan dari kebutuhan bahan bakar baik bensin maupun solar per kendaraan. Kendaraan bermotor mengeluarkan CO 2 sebesar 2,33 kg dari pemakaian per liter bahan bakar. Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung tahun 2009, diketahui bahwa pemakaian premium kendaraan mobil pribadi roda empat rata-rata sebesar 9,9 liter/hari, sedangkan mobil umum 24,74 liter/hari. Kendaraan roda dua rata-rata membutuhkan premium rata-rata 1,85 liter/hari. Pemakaian bahan bakar solar untuk kendaraan pribadi roda empat rata-rata sebesar 11,96 liter/hari, sedangkan kendaraan umum 28,68 liter/hari. Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 tercatat kendaraan bermotor roda dua sebesar , sedangkan kendaraan roda dua sebesar kendaraan. Laju

74 54 peningkatan kendaraan bermotor roda empat 5,06 %/tahun, sedangkan kendaraan roda dua sebesar 27,7 %. Dari kecenderungan terus meningkatnya kendaraan bermotor terutama kendaraan roda dua, maka dikhawatirkan permintaan bahan bakar fosil bensin akan meningkat tajam. Akibatnya, emisi polutan udara khususnya CO 2 akan terus meningkat sehingga akan meningkatkan efek pulau bahang terutama suhu udara. Industri Sektor industri merupakan sektor penting dalam menyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bandung. Industri di Kabupaten bandung terdiri dari industri kain blacu, tenun, sarung, handuk, T-shirt, cotton bud, pakaian jadi, gendongan bayi, benang pintal, benang texture, benang polyster, katun dari serat rayon, kain tenun dari benang filament, aneka macam tas, kain asahi polyester (kain paris, kain gordyn), sol sepatu dalam-luar/sol sepatu, sarung tangan golf, topi, alas kaki (aneka sepatu, sendal) dan aneka barang dari kulit. Lokasi industri di Kabupaten Bandung tersebar di Kecamatan Cileunyi, Margaasih, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margahayu, Pameungpeuk, Banjaran, Katapang, Baleendah, Majalaya, Solokanjeruk, dan Kecamatan Rancaekek. Pertumbuhan jumlah industri besar maupun sedang di Kabupaten Bandung, sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengalami penurunan. Sejak saat itu jumlah unit industri menurun 3,5 % per tahun. Berdasarkan data tahun 2009, seluruh industri di Kabupaten Bandung mengkonsumsi bahan bakar total sebanyak ,5 ton. Apabila bahan bakar total yang dikonsumsi sektor industri dikonversi berdasarkan emisi CO 2, maka diperkirakan sektor industri menghasilkan CO 2 sebesar ton/tahun. Emisi CO 2 dari sektor industri dapat meningkatkan suhu udara melalui peningkatan absorbsi radiasi gelombang panjang oleh CO 2. Hal ini akan memperburuk kondisi pulau bahang kota. Emisi CO 2 Total dari Aktivitas Manusia Jumlah penduduk, jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat terus meningkat di Kabupaten Bandung dengan laju masing-masing sebesar 1,95%, 23%, dan 4,3%. Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sampah. Sampah mengemisikan gas rumah kaca methana yang menyebabkan peningkatan suhu udara. Menurut Suprihatin et al. (2003), produksi

75 55 sampah per orang adalah 0,6 kg/hari atau 214 kg/tahun. Per kg sampah menghasilkan 235 L methana (CH 4 ), sedangkan 0,5 juta ton methana setara dengan 12,8 juta ton CO 2. Dengan jumlah penduduk sebanyak orang, maka produksi sampah diperkirakan sebanyak ton yang menghasilkan gas rumah kaca setara CO 2 sebanyak ton. Berdasarkan data jumlah kendaraan roda dua dan roda empat, jumlah penduduk, jumlah konsumsi bahan bakar industri dan produksi sampah, diperkirakan emisi CO 2 total Kabupaten Bandung sebanyak ton/tahun. Berdasarkan hasil analisis potensi emisi gas CO 2, maka untuk mengendalikan pulau bahang kota adalah dengan cara mengendalikan emisi CO 2 dari beberapa faktor yaitu pengendalian jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor, konsumsi bahan bakar fosil untuk aktivitas rumah tangga, serta pengendalian produksi sampah dengan minimisasi limbah Penutupan Lahan Pulau bahang kota selain dipengaruhi oleh konsentrasi CO 2 juga dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Hasil analisis penutupan lahan dengan menggunakan citra landsat tahun 2003 dan tahun 2008, diketahui bahwa beberapa jenis penutupan lahan mengalami peningkatan diantaranya adalah lahan terbuka (1,4%), dan lahan terbangun (130%). Sedangkan jenis penutupan lahan yang berkurang adalah hutan (49,15%), dan lahan pertanian (3,23%). Peta penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003 dan tahun 2008, disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Gambar 12 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003.

76 56 Gambar 13 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun Jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan luas, yaitu hutan dan lahan pertanian. Luas hutan di Kabupaten Bandung pada tahun 2003 yaitu ,82 ha, sedangkan lahan pertanian seluas ,14 ha. Lima tahun kemudian kedua jenis penutupan lahan ini menurun, luas hutan menjadi ,10 ha, sedangkan lahan pertanian menjadi ,87 ha. Jenis penutupan lahan yang mengalami peningkatan yaitu lahan terbangun dan lahan terbuka. Luas lahan terbangun tahun 2003 yaitu ,97 ha, meningkat menjadi ,95 ha pada tahun Lahan terbuka meningkat dari 3.552,73 ha pada tahun 2003, menjadi 8.524,09 ha pada tahun Secara umum di Kabupaten Bandung mengalami penurunan ruang terbuka hijau (hutan, lahan pertanian), sedangkan lahan terbangun cenderung meningkat. Perubahan penutupan wilayah Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan 2008 Jenis Penutupan Lahan 2003 (ha) 2008 (ha) Hutan , ,10 Lahan pertanian , ,87 Lahan terbangun , ,95 lahan terbuka 3.552, ,09

77 57 Setiap jenis penutupan lahan mempunyai nilai albedo yang berbeda. Albedo lahan terbangun sebesar 0,12; albedo tanah terbuka 0,17; albedo hutan 0,15 (Akbari 2008). Nilai albedo masing-masing jenis penutupan lahan menentukan proses absorbsi dan refleksi (pantulan) radiasi. Pada jenis penutupan lahan yang sama misalnya jenis lahan terbangun, maka semakin tinggi nilai albedo, akan semakin tinggi pula radiasi yang direfleksikan ke atmosfer sehingga nilai radiasi neto akan rendah. Radiasi neto yang rendah akan menyebabkan suhu udara juga rendah. Sebaliknya semakin rendah nilai albedo, maka semakin sedikit radiasi yang direfleksikan ke atmosfer, sehingga radiasi neto tinggi. Energi radiasi neto yang tinggi menyebabkan suhu udara menjadi tinggi. Jenis penutupan lahan ruang terbuka hijau berupa lapangan rumput dengan hutan akan memiliki albedo berbeda. Tinggi rendahnya suhu udara tidak hanya ditentukan oleh nilai albedo, tetapi juga ditentukan oleh neraca energi radiasi neto (Arya 2001). Meskipun albedo tanah terbuka (0,17) lebih besar dibandingkan hutan (0,15), tetapi suhu udara di dalam hutan lebih rendah dibandingkan suhu udara tanah terbuka. Radiasi yang direfleksikan lapangan tanah terbuka lebih besar dan menyebabkan radiasi neto lebih kecil, tetapi karena nilai ΔH S (penggunaan energi untuk fotosintesis) dan H L (energi yang digunakan untuk evapotranspirasi) lapangan rumput lebih kecil bahkan mungkin 0, maka energi radiasi neto di tanah terbuka banyak digunakan untuk H G (memanaskan permukaan) dan H (memanaskan udara) sehingga suhu udara di lapangan rumput lebih tinggi dibandingkan hutan. Sebaliknya, energi radiasi neto di hutan lebih banyak digunakan untuk ΔH S dan H L sehingga nilai H (pemanasan udara) lebih kecil. Hal ini menyebabkan suhu udara di hutan lebih rendah (Arya 2001). Masing-masing jenis ruang terbuka hijau mempunyai albedo dan neraca radiasi serta neraca energi yang berbeda sehingga akan menghasilkan suhu udara yang berbeda juga. Pada intensitas radiasi surya yang sama, apabila jatuh di area ruang terbuka hijau, maka suhu udaranya akan lebih rendah dibandingkan dengan area dengan penutupan lahan berupa beton dan aspal. Fungsi ruang terbuka hijau dalam menurunkan suhu udara sangat penting. Hal ini didukung oleh penelitian Mather (1974) yang melakukan pengukuran suhu udara di beberapa jenis permukaan. Secara berurutan suhu udara dari yang terendah sampai suhu udara tertinggi adalah sebagai berikut : hamparan pohon oak (27 ºC), lapangan rumput (31 ºC), dan jalan beton tanpa peneduh tumbuhan (35 ºC). Kecenderungan terjadinya penurunan ruang terbuka hijau,

78 58 dan meningkatnya lahan terbangun serta tanah terbuka di Kabupaten Bandung berpotensi meningkatkan suhu udara Kondisi Pulau Bahang Kota di Wilayah Penelitian Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian (Wilayah I, II dan III) selain dipengaruhi oleh CO 2 juga ditentukan oleh persentase luas lahan terbangun serta ruang terbuka hijau di wilayah penelitian tersebut. Luas keseluruhan wilayah perkotaan dalam penelitian adalah ha. Terdiri dari Wilayah I seluas ha, Wilayah II seluas ha dan Wilayah III seluas ha. Luas area dengan suhu 27 C di Wilayah I adalah seluas 161,59 ha (2,46 %), sedangkan Wilayah II seluas 130,5 ha (0,95 %) dan Wilayah III seluas 81,5 ha (0,91 %). Kondisi pulau bahang kota di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung Area Luas (ha) Persentase Luas Lahan Terbangun (%) Persentase Luas RTH (%) Luas Area > 27 C Wilayah I ,59 ha (2,46 %) Wilayah II ,5 ha (0,95 %) Wilayah III ,5 ha (0,91 %) Suhu Tertinggi ( C) Suhu Terendah ( C) Berdasarkan Tabel 9, menunjukkan bahwa meskipun luas Wilayah I lebih kecil tetapi persentase area dengan suhu 27 C lebih besar dibandingkan dengan Wilayah II dan III. Hal ini disebabkan di Wilayah I memiliki persentase lahan terbangun paling tinggi sedangkan persentase ruang terbuka hijau rendah sehingga radiasi neto yang sampai di permukaan lebih banyak digunakan untuk memanaskan permukaan tersebut serta udara di sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan suhu udara menjadi tinggi. Jumlah radiasi yang sama, suhu udara di sekitar lahan terbangun akan lebih tinggi dibandingkan dengan ruang terbuka hijau karena ruang terbuka hijau memanfaatkan energi radiasi neto tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk fotosintesis serta evapotranspirasi. Hal ini sesuai pernyataan Trewartha dan Horn (1995), bahwa kawasan perkotaan umumnya kurang tumbuhan sehingga evapotranpirasi rendah, sehingga sebagian besar energi radiasi yang diterima akan dikonduksikan ke permukaan dan digunakan untuk memanaskan udara.

79 59 Persentase yang tinggi dari tutupan lahan berbahan beton dan aspal di kawasan perkotaan menyebabkan penyerapan energi radiasi sangat efektif karena bahan tersebut merupakan konduktor panas yang baik. Mather (1974), juga menyatakan bahwa permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Oleh karena itu radiasi surya yang jatuh pada suatu permukaan akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda, dan permukaan berupa beton dan aspal menghasilkan suhu udara yang lebih tinggi dibandingkan permukaan bertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis spasial distribusi suhu udara di area penelitian, diketahui bahwa suhu udara tertinggi di Wilayah I yaitu 29 C (di Kecamatan Margahayu), dan terendah 22 C (Kecamatan Margaasih). Sedangkan suhu udara tertinggi di Wilayah II terukur 28 C (Kecamatan Baleendah) dan terendah 21 C (di Kecamatan Soreang). Suhu udara tertinggi di Wilayah III terukur 27 C (di Kecamatan Rancaekek), dan terendah 20 C (di Kecamatan Majalaya). Dari ketiga wilayah tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan suhu udara di pusat kota dengan wilayah transisi dengan perdesaan. Perbedaan suhu udara pada masing-masing area penelitian mencapai 7 C. Lebih tingginya suhu udara di area perkotaan dibandingkan area perdesaan bervegetasi, didukung oleh penelitian Nichol dan Wong (2005) yang melakukan penelitian dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Hasil penelitian Nichol dan Wong (2005), menjelaskan bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 C lebih tinggi dibandingkan dengan area bervegetasi. Selain Nichol dan Wong (2005), penelitian serupa juga dilakukan oleh Chang et al. (2007) yang melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Trewartha dan Horn (1995), bahwa efek pulau bahang yang terjadi di area perkotaan menyebabkan terjadinya perbedaan energi antara perkotaan dengan perdesaan sehingga menyebabkan perbedaan suhu udara dimana suhu udara area perkotaan lebih tinggi dibandingkan area perdesaan.

80 Distribusi Suhu Udara Berdasarkan peta distribusi suhu udara tahun 2008 di wilayah penelitian, diketahui bahwa di area perkotaan dengan persentase luas lahan terbangun tinggi dan persentase luas ruang terbuka hijau rendah, menyebabkan suhu udara lebih tinggi dibandingkan dengan area yang masih banyak tertutup tumbuhan. Wilayah dengan suhu tinggi di area penelitian di Kabupaten Bandung tersebut terdapat di Kecamatan Margahayu, Margaasih, Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi, Pameungpeuk dan Majalaya. Sebaliknya, berdasarkan peta distribusi suhu udara juga diketahui bahwa wilayah dengan tumbuhan yang masih rapat dan luas suhu udaranya relatif rendah. Area suhu rendah terdapat di wilayah Kabupaten Bandung bagian selatan yaitu di Kecamatan Ciwidey dan Pasir Jambu. Area suhu rendah juga terdapat di sebagian wilayah Kecamatan Pengalengan, Kertasari, Pacet, Ibun, Cimaung, Banjaran dan Arjasari. Peta distribusi suhu udara disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung. Selain Mather (1974), penelitian yang mendukung akan pentingnya pengendalian lahan terbangun dan pulau bahang kota, yaitu dilakukan oleh Weng dan Yang (2004). Weng dan Yang (2004) menganalisis dampak dari percepatan pembangunan kota di Guangzhou terhadap perluasan pulau bahang kota. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa efek termal dari pembangunan perkotaan yang dilakukan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1997, menyebabkan luas pulau bahang kota meningkat sebesar enam kali lipat. Penelitian tersebut juga menjelaskan

81 61 bahwa tumbuhan mempunyai peran penting dalam menurunkan radiasi termal yang dipancarkan ke atmosfer sehingga suhu udara menjadi rendah. Tumbuhan berupa pohon dapat menurunkan suhu udara 2,1 ºC. Penanaman pohon-pohonan di kiri kanan jalan dapat menurunkan suhu 0,9 ºC. Berdasarkan penelitian ini serta berdasar pada penelitian Mather (1974) serta Weng dan Yang (2004), maka pengendalian laju pertumbuhan lahan terbangun di perkotaan harus menjadi perhatian agar tidak terjadi perluasan pulau bahang kota serta peningkatan suhu udara. Selain itu, untuk mengatasi pulau bahang kota agar dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung, maka perlu dilakukan pembangunan ruang terbuka hijau khususnya hutan kota di kecamatan-kecamatan dengan suhu udara tinggi agar terjadi penurunan suhu udara sehingga terjadi ameliorasi (perbaikan) kondisi iklim di area tersebut Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten Bandung Luas total kawasan perkotaan di area penelitian yaitu ha. Di kawasan perkotaan ini memiliki ruang terbuka hijau 42%. Hal ini sudah memenuhi syarat minimal ruang terbuka hijau. Distribusi ruang terbuka hijau belum merata di semua kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau di Wilayah I baru mencapai 29 %. Ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung meskipun telah memenuhi syarat perundangundangan, tetapi karena distribusinya tidak merata dan jenis ruang terbuka hijau berupa pohon (hutan kota) sangat kurang, maka tidak efektif dalam menurunkan efek pulau bahang. Ruang terbuka hijau berupa taman kota dan taman pulau jalan, tidak efektif dalam mengabsorbsi CO 2, menurunkan suhu udara, serta tidak efektif dalam meningkatan kelembaban udara. Ruang terbuka hijau di wilayah Kabupaten Bandung mempunyai berbagai jenis dan kondisi yang bervariasi. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan kota, persawahan, kebun campur, dan hutan. Jenis ruang terbuka hijau berupa hutan terletak di area yang relatif jauh dari pusat kegiatan (perdagangan, industri dan jasa). Ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung disajikan pada Tabel 10.

82 62 Tabel 10 Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung No Lokasi Jenis RTH Jenis Tumbuhan Diameter (cm) Tinggi (m) ILD Bentuk Hutan Kota Kondisi Tumbuhan 1. PT Unilon Hutan Kota Mahoni ,778 Jalur Sehat, 2. Kopo Sayati Hutan Kota Kamboja, palem - 2,5-3 - Jalur - (Jarang) 3. Kawah Putih Hutan Eucalyptus ,419 Mengelompok Sehat 4. Kec. Pasir Jambu Kebun campuran Sawo walanda, waru, sengon ,076 Mengelompok dan Sehat 5. Perumahan Griya Prima Asri 6. Pemda Bandung (Soreang) 7. Depan Hotel Antik (Banjaran) Hutan Kota Hutan Kota Angsana, jambu biji, jambu air, krey payung, karet kerbau, mahkota dewa Bungur, mahoni, angsana, asam kranji, asam kawak, kersen, ketapang, krey payung, palem raja, glodogan tiang, beringin, akasia tersebar ,891 Jalur, tersebar ,644 Mengelompok, tersebar Sehat Sehat Sawah Padi, pisang, kelapa ,000 - Sehat Keterangan : ILD = indeks luas daun Ruang terbuka hijau berupa hutan kota berbentuk jalur terdapat di kawasan industri dengan jenis tumbuhan mahoni dewasa yang ditanam di jalur kanan kiri jalan. Penggunaan jenis tumbuhan mahoni ditujukan untuk dapat menciptakan kenyamanan (iklim mikro) bagi para pekerja. Hal ini berbeda dengan jenis tumbuhan yang dikembangkan di kompleks pertokoan Kopo Sayati, yang lebih menekankan pada fungsi keindahan yaitu penanaman dengan jenis kamboja dan palem. Di Kopo Sayati, komplek pertokoan sudah padat serta bahu jalan juga digunakan untuk pejalan kaki sehingga tumbuhan sudah tidak ada tempat lagi. Tumbuhan di area ini sangat kurang. Kebun campuran merupakan ruang terbuka hijau yang dikembangkan oleh masyarakat di sekitar rumah, terutama untuk daerah yang agak jauh dari pusat kota. Fungsi tumbuhan yang dikembangkan, selain berperan dalam ameliorasi iklim juga diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi, tanaman yang dikembangkan pada kebun campur biasanya berupa tumbuhan pangan dan buah-buahan. Ruang terbuka hijau di kompleks perumahan, terutama berupa hutan kota tipe pemukiman yang bertujuan untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Jenis tumbuhan yang dikembangkan mempunyai fungsi kombinasi antara keindahan dan kenyamanan. Untuk lahan publik seperti di Kompleks Kantor Pemda, jenis ruang

83 63 terbuka hijau yang dikembangkan berupa hutan kota yang mempunyai fungsi dalam menciptakan iklim mikro dan juga diharapkan dapat berfungsi sebagai fasilitas sosial untuk rekreasi (outdoor recreation). Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengembangkan ruang terbuka hijau berupa taman-taman kota. Taman kota ini dapat berupa jalur hijau yang mengikuti jalan, kompleks perkantoran, area pusat kota seperti tercantum pada Tabel 11. Tabel 11 Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung No. Kecamatan Kelurahan/Desa Lokasi Luas (m 2 ) 1. Soreang Desa Soreang Green Strip Soreang 6.056,00 Desa Pamekaran Taman Kota Komplek Pemda 5.000,00 Desa Pamekaran Taman Alun - alun Soreang 5.625,00 2 Ciwidey Ds. Ciwidey Taman Kota Ciwidey ,00 3 Katapang Ds. Cingcin Taman Segitiga Warung lobak II 349,00 4 Cangkuang Ds. Ciluncat Taman Segitiga Warung lobak I 132,00 Taman Kota Baleendah 4.602,00 5 Baleendah Kel. Baleendah Taman Tugu Juang Baleendah 312,00 Green Strip Baleendah 600,00 6 Banjaran Desa Banjaran Taman Alun - Alun Banjaran 5.000,00 TOTAL , Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Perbaikan Iklim Mikro Iklim Mikro Berbagai Jenis Ruang Terbuka Hijau Peran ruang terbuka hijau dalam menurunkan suhu udara dapat diketahui dengan membandingkan suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan sehingga dapat diketahui perbedaan suhu udara di area bervegetasi dengan area yang didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara pada berbagai jenis penutupan lahan disajikan pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, diketahui bahwa suhu udara tertinggi terdapat di Jalan Raya Kopo-Sayati yaitu sebesar 30,6 C. Jalan Raya Kopo- Sayati didominasi oleh lahan terbangun. Suhu udara berikutnya yaitu di area pertokoan (29,5 C), selanjutnya area industri (29,2 C), permukiman (28,2 C), sawah (27,7 C), kebun campur (26,8 C), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung (23,3 C), dan suhu udara terendah terukur di area hutan (19,1 C). Berdasarkan hasil pengukuran suhu udara ini terlihat bahwa ruang terbuka hijau sangat berperan dalam menurunkan suhu udara karena tajuk tumbuhan pada ruang terbuka hijau berperan mengintersepsi radiasi surya sehingga radiasi yang sampai permukaan menurun.

84 64 Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurun (Trewartha & Horn 1980). Suhu Udara Suhu Rata-Rata Rata-Rata (ºC) ( C) Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman Lokasi Gambar 15 Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten Bandung. Peran ruang terbuka hijau dalam mengameliorasi (memperbaiki) iklim, selain melalui penurunan suhu udara, juga perannya dalam meningkatkan kelembaban udara. Berdasarkan pengukuran kelembaban udara secara serentak di beberapa jenis penutupan lahan, diketahui bahwa kelembaban udara dari yang terendah sampai yang tertinggi secara berurutan adalah sebagai berikut : yaitu di sawah (50%), jalan raya Kopo-Sayati (62%), pertokoan (64%), industri (64%), permukiman (68%), kebun campur (70%), hutan kota Pemda Kabupaten Bandung (82%), dan tertinggi di hutan Ciwidey (89%). Hasil pengukuran kelembaban udara disajikan pada Gambar 16. Tumbuhan dapat mengurangi radiasi yang lolos sampai permukaan tanah melalui intersepsi radiasi oleh tajuk. Selain itu tumbuhan juga mempunyai nilai albedo antara 0,15 0,18 sehingga radiasi surya yang datang akan mengalami refleksi (pemantulan) sebesar 15 18%. Pemanasan udara dipengaruhi oleh pemanfaatan radiasi neto. Radiasi neto pada area tertutup vegetasi akan banyak digunakan untuk penguapan tanah (evaporasi) maupun penguapan tumbuhan (transpirasi), serta fotosintesis sehingga energi yang digunakan untuk memanaskan udara rendah. Kondisi ini mengakibatkan suhu udara di area bervegetasi lebih rendah dibandingkan area dengan jenis penutupan lahan lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian Blennow (1998) yang menyatakan bahwa area berhutan dengan kerapatan tinggi, suhu udaranya lebih rendah dibandingkan area tanpa tumbuhan dengan perbedaan suhu udara mencapai 10 ºC.

85 Kelembaban Udara Kelembaban Rata- 80 Rata Udara (%) Rata- Kelembaban Rata (%) Rata-Rata 70 (%) Hutan Hutan Kota Jl. Kopo Sayati Permukiman Lokasi Gambar 16 Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa suhu udara rata-rata di berbagai jenis penutupan lahan berturut-turut dari jenis lahan terbangun, tanah gundul (tanah terbuka), pertanian hortikultura dan hutan adalah 27,07 C; 26,06 C; 25,52 C; dan 23,82 C. Dari berbagai jenis penutupan lahan, hutan mempunyai peran yang signifikan dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya, dari hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyatakan bahwa lahan terbangun menciptakan suhu udara yang tinggi. Berdasarkan analisis kondisi ruang terbuka hijau serta perannya dalam meningkatkan kualitas lingkungan khususnya iklim mikro (suhu dan kelembaban udara), maka penanganan efek pulau bahang akan lebih efisien dan efektif dengan cara melakukan pembangunan hutan kota terutama di area-area dengan konsentrasi CO 2 serta suhu udara tinggi. Adapun bentuk dan struktur hutan kota dapat disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Lahan sempit di kiri kanan jalan dapat dibangun hutan kota berbentuk jalur, sedangkan area dengan lahan yang kurang luas tetapi banyak tersebar di beberapa tempat, dapat dibangun hutan kota berbentuk menyebar dengan strata dua maupun strata banyak. Apabila lahan yang tersedia luas, maka dapat dibangun hutan kota dengan bentuk mengelompok dan berstrata banyak. Rekittke (2009) menyatakan bahwa tumbuhan berupa pohon lebih efektif dalam menangani permasalahan urban heat island di perkotaan, oleh karena itu menyarankan pembangunan perkotaan berbasis kota hijau dapat diarahkan menjadi kota hutan (urban jungle) khususnya untuk kota-kota yang berbatasan dengan kawasan

86 66 konservasi. Rekittke (2009) juga mempunyai pemikiran kota kebun (garden city) menuju kota di dalam kebun (city in the garden) dimana tumbuhan berupa pohon menyebar di area perkotaan dan di sekeliling perkotaan agar iklim mikro perkotaan lebih baik. Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon-pohonan lebih efektif mengatasi efek pulau bahang dan dapat menurunkan suhu udara serta meningkatkan kelembaban udara. Meskipun persentase ruang terbuka hijau di perkotaan sudah cukup tinggi, tetapi apabila terdiri dari lapangan rumput, semak dan kebun, taman kota, taman pulau jalan, tidak akan efektif dalam menangani pulau bahang kota, dan tidak efektif dalam menurunkan suhu udara. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis iklim mikro di beberapa jenis penutupan lahan serta di beberapa bentuk dan strata hutan kota, serta didukung oleh penelitian Weng dan Yang (2004), Rekittke (2009) serta Blennow (1998), dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon-pohonan lebih efektif dalam menangani efek pulau bahang dan dapat memperbaiki kondisi iklim mikro. Iklim Mikro pada Beberapa Bentuk dan Struktur Hutan Kota Iklim mikro (suhu udara dan kelembaban udara) juga diukur pada beberapa bentuk dan struktur hutan kota. Hasil pengukuran iklim mikro disajikan pada Tabel 12. Suhu udara di dalam hutan kota pada hutan kota berbentuk jalur, menyebar maupun bergerombol, terukur lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di luar hutan kota. Sedangkan kelembaban udara di dalam hutan kota pada hutan kota berbentuk jalur, menyebar maupun bergerombol, terukur lebih tinggi dibandingkan dengan di luar hutan kota. Hal ini menunjukkan bahwa hutan kota mempunyai fungsi memperbaiki kondisi iklim mikro khususnya dalam penurunan suhu udara dan peningkatan kelembaban udara. Tabel 12 Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan kota Suhu Udara ( C) Kelembaban Udara (%) Struktur Hutan Kota Di Dalam Di Luar Di Dalam Di Luar Bentuk Hutan Kota : Jalur 29,9 30, Menyebar 24, Bergerombol 23,6 24, Struktur Hutan Kota : Strata Dua 28,2 29, Strata Banyak 23,7 24,

87 67 Suhu udara terendah dari ketiga bentuk hutan kota, adalah yang terukur di hutan kota berbentuk bergerombol, disusul bentuk menyebar, dan suhu udara tertinggi terdapat di hutan kota berbentuk jalur. Hal ini sesuai dengan penelitian Irwan (2005) yang menunjukkan bahwa hutan kota bergerombol menciptakan suhu udara yang lebih rendah dibandingkan bentuk jalur dan menyebar. Berbeda dengan suhu udara, kelembaban udara terendah terukur pada hutan kota berbentuk jalur, disusul hutan kota berbentuk menyebar dan kelembaban udara tertinggi terukur pada hutan kota berbentuk bergerombol. Suhu udara hutan kota berstrata banyak lebih rendah dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua. Sebaliknya, kelembaban udara di hutan kota berstrata banyak lebih tinggi dibandingkan hutan kota berstrata dua. Kaitan antara Indeks Luas Daun dengan Suhu Udara Tingkat kerindangan tumbuhan ditunjukkan dengan nilai Indeks Luas Daun (ILD). Kerindangan tumbuhan sangat menentukan suhu udara di sekitarnya. Semakin rindang, maka semakin banyak radiasi yang diintersepsi sehingga radiasi yang sampai permukaan tanah semakin rendah. Berkurangnya radiasi yang sampai permukaan tanah, menyebabkan pemanasan permukaan dan pemanasan lapisan udara di atasnya juga menurunn sehingga suhu udara di sekitar pohon menjadi rendah. Beberapa contoh hasil pemotretan ILD dengan menggunakan alat hemivericleview disajikan pada Gambar 17, 18 dan Gambar 19. Indeks luas daun 0,076; 0,419; 0,644; 0,778 dan 0,891 menghasilkan kondisi iklim mikro khususnya suhu udara berturut-turut 29,9 ºC; 28,2 ºC; 24,3 ºC; 23,6 ºC; dan 23,6 ºC. Semakin rapat dan rindang, menyebabkan semakin rendah suhu udara di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hardin dan Jensen (2007) mengenai kaitan antara ILD dengan suhu permukaan perkotaan. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa suhu udara di area tanpa tumbuhan (ILD mendekati 0) adalah 39,2 ºC. Sedangkan pada ILD lebih besar yaitu 0,45; suhu udara menurun menjadi 32,1 ºC. Hardin dan Jensen (2007) menyimpulkan bahwa peningkatan ILD akan meningkatkan intersepsi radiasi, pertukaran CO 2 dan menurunkan suhu udara. Oleh karena itu pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau khususnya hutan kota dengan kerindangan tinggi (ILD tinggi) agar efektif dalam menurunkan suhu udara.

88 68 (a) Hutan Kawah Putih Ciwidey (b) Hutan kota di area industri Gambar 17 Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda Kabupaten Bandung. (a) Kebun campur (b) Hutan kota di permukiman Gambar 18 Kerindangan tajuk tumbuhan kebun campur dan hutan kota permukiman. (a) Hutan Kota Pemda (b) Hutan Kota Pemda Gambar 19 Kerindangan tajuk tumbuhan Hutan Kota.

89 69 Peran Hutan Kota dalam Perbaikan Iklim Luas hutan kota di Kabupaten Bandung belum memenuhi peraturan perundangan khususnya Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang mengharuskan luas hutan kota di wilayah perkotaan sekurang-kurangnya 10% dari luas kota. Luas hutan kota di Kabupaten Bandung yaitu seluas ha (9 %). Selain belum memenuhi persyaratan minimal, distribusi hutan kota di Kabupaten Bandung juga belum merata. Luas dan persentase hutan kota di Wilayah I yaitu 297 ha (4,5%), Wilayah II seluas 1202 ha (8,7%), dan Wilayah III belum mempunyai hutan kota. Pemerintah daerah masih lebih fokus pada pembangunan taman kota. Bahkan sejak tahun 2007 taman kotapun belum mengalami penambahan. Taman kota di Kabupaten Bandung saat ini terdapat di Kecamatan Soreang, Ciwidey, Katapang, Cangkuang, Baleendah, dan Banjaran. Total luas taman kota adalah m 2. Penanganan efek pulau bahang akan lebih efektif apabila dilakukan dengan pembangunan hutan kota meskipun perlu juga dilakukan pembangunan taman-taman kota agar nilai estetika kota meningkat. Hutan kota sebaiknya dibangun terutama di area perkotaan dengan emisi CO 2 tinggi dan suhu udara tinggi. Menurut Bernatzky (1978), satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO 2 dari udara dan melepaskan 600 O 2 dalam waktu 2 jam. Penelitian Weng dan Yang (2004), lebih spesifik membandingkan peran taman kota dan hutan kota dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004), diketahui bahwa pembangunan taman-taman kota kurang efektif dalam menangani efek buruk termal dari pembangunan perkotaan dibandingkan dengan hutan kota. Pemilihan Jenis Tumbuhan Pemilihan jenis tumbuhan khususnya untuk pembangunan hutan kota harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada yaitu kondisi tanah dan iklim Kabupaten Bandung. Selain itu, pemilihan jenis juga harus mempertimbangkan tujuan pembangunan hutan kota. Agar CO 2 ambien dapat diabsorbsi oleh tumbuhan, maka perlu dilakukan pemilihan jenis tumbuhan dengan daya rosot gas CO 2 tinggi. Daya rosot CO 2 beberapa jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bandung disajikan pada Lampiran 26.

90 70 Selain daya rosot CO 2, yang harus menjadi pertimbangan apabila akan membangun hutan kota berbentuk jalur di kanan kiri jalan raya, maka harus dipilih jenis tumbuhan yang perakarannya tidak merusak aspal jalan, cabang dan dahannya kuat, dan bukan jenis tumbuhan yang menggugurkan daun pada musim kemarau. Jenis tumbuhan hutan kota untuk jalan tol, dapat dipilih jenis-jenis tumbuhan yang tahan terhadap polutan CO, NO x, partikulat, Pb, dan SO x. Hutan kota di jalan tol selain berfungsi untuk mengabsorbsi polutan udara, juga merupakan peredam kebisingan dan untuk menambah keindahan. Agar hutan kota dapat meredam kebisingan, maka penataan tumbuhan sebaiknya berstrata banyak dari strata paling bawah berupa rumput, kemudian tumbuhan semak (dapat berupa bunga-bungaan), dan pohon. Pemilihan jenis hutan kota berbentuk menyebar dan mengelompok lebih fleksibel. Pemilihan jenis tumbuhan, selain berdasarkan kondisi tanah dan iklim juga sebaiknya merupakan jenis lokal yang sudah mulai langka. Thomashik (2011) menyatakan bahwa pembangunan berbasis green growth, harus mempertimbangkan konservasi kenakekaragaman hayati serta jasa lingkungan. Hutan kota yang dibangun dengan jenis tumbuhan lokal yang sudah mulai langka, dapat meningkatkan jasa lingkungan sekaligus dapat mengkonservasi tumbuhan langka. Elander et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu komponen dari green policy adalah konservasi keanekaragaman hayati. Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan keanekaragaman hayati terutama keanekearagaman hayati yang terancam punah. Pemilihan jenis dalam pengembangan ruang terbuka hijau termasuk hutan kota selain berdasar pada kondisi lingkungan (tanah dan iklim), juga harus mempertimbangkan jenis lokal terutama jenis lokal yang sudah langka. Penentuan Lokasi Ruang Hutan Kota Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota (ruang terbuka hijau) berfungsi untuk mengurangi polusi udara, mengurangi polusi suara, meningkatkan kualitas udara, menurunkan suhu udara, estetika, mengontrol silau dan refleksi radiasi, sebagai tempat rekreasi, untuk relaksasi dan peningkatan kesehatan, sebagai habitat satwa, mengurangi konsumsi energi (listrik), dan meningkatkan nilai properti.

91 71 Fungsi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota akan efektif apabila pembangunan hutan kota tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada. Agar absorbsi polutan udara khususnya CO 2 maksimal maka sebaiknya dibangun di hadap angin, dan terletak diantara sumber emisi polutan dengan permukiman agar aliran udara yang membawa CO 2 tertahan oleh hutan kota yang berfungsi sebagai windbreak sehingga setelah melalui area hutan kota, kecepatan angin dan konsentrasi CO 2 sudah menurun. Windbreak hutan kota ini sangat bermanfaat untuk melindungi penduduk yang tinggal di area permukiman dari pencemar udara yang dapat mengganggu kesehatan. Hasil analisis data kecepatan angin dari tahun 1999 sampai dengan 2008, dapat digambarkan dengan windrose (mawar angin) yang disajikan pada Gambar 20. N NW NE W E Keterangan : : 0 2,5 km/jam : > 2,5 5 km/jam : > 5 km/jam SW SE S Gambar 20 Windrose Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil analisis kecepatan dan arah angin dalam bentuk windrose tersebut, dapat disimpulkan bahwa arah angin di Kabupaten Bandung lebih banyak berasal dari arah barat 43,8%, kemudian dari arah timur 34,5%. Angin yang berasal dari timur laut hanya 8,4%, itupun dengan kecepatan rendah (maksimum 5,0 km/jam). Sedangkan angin yang berasal dari barat laut hanya 2,4%, juga dengan kecepatan rendah (maksimum 5,0 km/jam). Agar manfaat hutan kota dapat maksimal maka sebaiknya hutan kota yang berfungsi sebagai windbreak sebaiknya dibangun dengan desain sebagai berikut :

92 72 1) Hutan kota dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di sebelah timur dan barat sumber polutan. 2) Hutan kota dibangun melintang dari barat ke timur dengan letak di sebelah selatan sumber polutan. Berdasarkan kondisi aliran udara di Kabupaten Bandung, dari kedua desain tersebut, maka desain 1 harus lebih menjadi prioritas karena angin dominan di Kabupaten Bandung berasal dari arah barat dan timur. Desain 1 maupun desain 2 sebaiknya dibangun di Kecamatan Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Cileunyi, Rancaekek, Bojongsoang, Baleendah, Katapang, Banjaran, dan Majalaya Model Kota Hijau Purnomo (2005) menyatakan bahwa untuk mempermudah pengorganisasian model, maka model dibagi menjadi beberapa sub model. Berdasarkan pengoganisasian model, model kota hijau di Kabupaten Bandung dibagi menjadi tiga sub model yaitu sub model sumber pencemar CO 2, sub model suhu udara dan sub model penutupan lahan. Model terdiri dari variabel jumlah kendaraan yang dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat. Selain itu juga terdiri dari variabel jumlah unit industri, variabel jumlah penduduk dan variabel luas penutupan lahan. Luas penutupan lahan terdiri dari ruang terbuka hijau, lahan terbangun dan lahan terbuka Pengorganisasian Model Sub Model Sumber Pencemar CO 2 Variabel sub model sumber pencemar CO 2 terdiri dari variabel sumber emisi CO 2 dari kendaraan bermotor, industri dan penduduk. Sub model sumber pencemar CO 2 disajikan pada Gambar 21. Emisi CO 2 dari Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2008 (sebagai stok awal) berjumlah orang dengan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 1,95 %. Berdasarkan Environmental Protection Agency (2010), dinyatakan bahwa pernapasan manusia mengeluarkan CO 2 1 kg/hari atau sama dengan 0,365 ton/ orang/ tahun. Jika diketahui jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar

93 orang, maka CO 2 yang dikeluarkan penduduk Kabupaten Bandung dari pernapasan kira-kira sebanyak ton/orang/tahun. Bahan bakar fosil yang dikonsumsi penduduk, selain untuk bahan bakar kendaraan bermotor, adalah bahan bakar untuk memasak dan kebutuhan lain. Penduduk memerlukan bahan bakar gas, listrik dan minyak tanah. Berdasarkan laporan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung (2009) dinyatakan bahwa emisi CO 2 dari konsumsi listrik oleh penduduk rata-rata sebesar 1.459,56 kg/rumah tangga/tahun. Total jumlah rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Bandung adalah rumah tangga, sehingga emisi dari konsumsi listrik diperkirakan sebesar kg/rumah tangga/tahun atau ton/tahun. Emisi CO2 dari konsumsi bahan bakar gas adalah 607,68 kg/rumah tangga/tahun, sehingga total sebesar ,3 kg/tahun atau sama dengan ton/tahun. Emisi CO 2 dari konsumsi minyak tanah adalah sebesar 1.039,98 kg/rumah tangga/tahun, sehingga total adalah sebesar ,5 kg/tahun atau ton/tahun. Karbondioksida juga dihasilkan dari sampah. Dalam proses pembusukan dan penguraian sampah, dihasilkan gas methane (CH 4 ). Berdasarkan penelitian dari Suprihatin (2006) menyatakan bahwa 5 juta ton sampah sama dengan 25 m 3, dan menghasilkan 0,5 juta ton methana yang setara dengan12,8 juta ton CO2 dalam memanaskanudara. Rata-rata sampah yang dihasilkan adalah 0,5 kg/orang/hari. Apabila jumlah penduduk Kabupaten Bandung tahun 2008 sebesar orang, maka diperkirakan CO2 yang dihasilkan dari sampah adalah ton/tahun. Sumber CO 2 dari Emisi Kendaraan Bermotor Jumlah kendaraan bermotor roda empat pada tahun 2008 di kabupaten Bandung adalah kendaraan, sedangkan roda dua sebesar kendaraan. Karbondioksida yang diemisikan oleh kendaraan bermotor roda dua rata-rata sebesar 0,35 ton/kendaraan/tahun, sedangkan emisi yang dihasilkan oleh kendaraan roda emat adalah sebesar 1,21 ton/kendaraan/tahun. Maka ada tahun 2008 diperkirakan CO 2 yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat adalah sebesar ton/tahun.

94 74 Sumber CO 2 dari Industri Industri di Kabupaten Bandung khususnya industri besar, dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan. Tercatat ada tahun 1998 terdapat industri besar sebanyak 331 dan pada tahun 2006 menurun menjadi 315. Berdasarkan data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup kabupaten Bandung tahun 2009, konsumsi total bahan bakar oleh industri adalah sebesar ,5 ton. Per liter bahan bakar menghasilkan CO 2 setara 2,33 kg, sehingga total CO 2 yang dihasilkan diperkirakan ton. Laju tumbuh kendaraan roda 4 Laju tumbuh kendaraan roda 2 Laju penurunan Laju peningkatan industrisdg & Besar industri Sdg & Besar Industri Sdg & Besar Laju pertumbuhan penduduk Jumlah Penduduk Bertambah roda 4 Kendaraan 4 Kendaraan 2 Bertambah roda 2 UP down Tambah Jmh KK Produksi sampah CO2 krn kendaraan roda 4 C02 krn kendaraan roda 2 Bahan Bakar Industri Sdg & Besar CO2 Industri Sdg & Besar Pernapasan Kons BBG Kons Bhn Listrik Kons Sampah Minyak tanah Total CO2 Kendaraan Total CO2 Industri Sdg & Besar CO2 Total CO2 penduduk Peningkatan Penurunan Gambar 21 Sub model sumber pencemar CO Sub Model Suhu Udara Suhu udara yang terukur di atmosfer adalah resultan dari keseimbangan energi radiasi surya yang berkaitan dengan albedo dan peran gas rumah kaca khususnya CO 2 yang ada di atmosfer (udara). Masing-masing jenis penutupan lahan mempunyai nilai albedo tersendiri. Tanah terbuka mempunyai albedo sebesar 0,17, sedangkan lahan terbangun mempunyai albedo 0,12 dan ruang terbuka hijau 0,15. Tingginya nilai albedo, menjelaskan bahwa radiasi yang dipantulkan juga besar. Pemanasan udara lebih dipengaruhi oleh jumlah radiasi yang diabsorbsi. Semakin tinggi nilai albedo maka jumlah radiasi yang dipantulkan juga semakin tinggi sedangkan jumlah radiasi yang diserap semakin kecil.

95 75 Meskipun nilai albedo tanah terbuka lebih tinggi dibandingkan ruang terbuka hijau, tetapi radiasi yang diserap lahan terbuka dipergunakan untuk pemanasan permukaan dan udara di atasnya. Maka udara di atas lahan terbuka suhunya tinggi. Tetapi meskipun ruang terbuka hijau albedonya lebih rendah dibandingkan tanah terbuka yang berarti radiasi yang diserap lebih tinggi, tetapi karena radiasi yang diserap tidak hanya untuk memanaskan permukaan, tetapi juga untuk evapotranspirasi, maka sisa energi radiasi untuk pemanasan udara tinggal sedikit sehingga suhu udara di sekitar ruang terbuka hijau suhunya lebih rendah. Albedo lahan terbangun memiliki nilai paling rendah (0,12), artinya jumlah radiasi yang dipantulkan lebih kecil, sedangkan jumlah radiasi yang diserap lebih besar. Energi radiasi yang besar ini digunakan hanya untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya sehingga suhu udara yang terukur akan tinggi. Oleh karena itu semakin luas lahan terbangun, maka suhu udara semakin meningkat, dan semakin luas ruang terbuka hijau, maka suhu udara semakin menurun. Suhu Table 1 Incrase Decrease Suhu udara Graph 1 Persen Albedo TB Albedo Tanah Terbuka Table 2 Persen Albedo LTB Persen Albedo RTH Albedo riil RTH Albedo TB Awal Albedo riil TB Albedo riil LTB Albedo RTH Awal Albedo Lhn terbangun Albedo RTH Albedo LTB Awal Gambar 22 Sub model suhu udara Sub Model Penutupan Lahan Kondisi lingkungan khususnya suhu udara di Kabupaten Bandung sangat dipengaruhi oleh kondisi penutupan lahan. Lahan terbangun sangat berperan dalam pemanasan permukaan dan peningkatan suhu udara sedangkan ruang terbuka hijau berperan dalam penurunan suhu udara. Berdasarkan data tahun 2008, luas lahan terbuka di Kabupaten Bandung adalah sebesar ha, sedangkan lahan terbangun ha dan ruang terbuka hijau sebesar ha. Semakin meningkatnya lahan terbangun dan lahan terbuka

96 76 menyebabkan penurunan luas ruang terbuka hijau. Sub model penutupan lahan disajikan pada Gambar 23. Tanah Terbuka berkurang Laju pertambahan lhn terbangun Luas Lhn Terbangun Absolut Penghijauan RTH Lahan Terbangun in out Luas Total Wilay ah RTH Absolut Gambar 23 Sub model penutupan lahan Gabungan Sub Model Kota Hijau Model utuh kota hijau terdiri dari gabungan sub model. Kondisi riil lingkungan Kabupaten Bandung khususnya suhu udara digambarkan pada model sistem dinamik yang terdiri dari beberapa variabel. Dengan menggabungkan semua variabel, menentukan konstanta yang mempengaruhi nilai dari masing-masing variabel, maka didapat model lengkap yang menggambarkan dinamika sistem yang ada di Kabupaten Bandung. Model kota hijau Kabupaten Bandung, disajikan pada Gambar 24.

97 77

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island)

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DI KABUPATEN BANDUNG Green Open Space Development Based on Distribution of Surface Temperature in Bandung Regency Siti Badriyah Rushayati,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem 2.1.1. Pengertian Pemodelan Sistem Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

AMELIORASI IKLIM MELALUI ZONASI HUTAN KOTA BERDASARKAN PETA SEBARAN POLUTAN UDARA

AMELIORASI IKLIM MELALUI ZONASI HUTAN KOTA BERDASARKAN PETA SEBARAN POLUTAN UDARA AMELIORASI IKLIM MELALUI ZONASI HUTAN KOTA BERDASARKAN PETA SEBARAN POLUTAN UDARA Climate Amelioration by Urban Forest Zonation Based on Air Pollutants Distribution Map Siti Badriyah Rushayati, Endes N.

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KONDISI URBAN HEAT ISLAND DKI JAKARTA. (Characteristics of Urban Heat Island Condition in DKI Jakarta)

KARAKTERISTIK KONDISI URBAN HEAT ISLAND DKI JAKARTA. (Characteristics of Urban Heat Island Condition in DKI Jakarta) KARAKTERISTIK KONDISI URBAN HEAT ISLAND DKI JAKARTA (Characteristics of Urban Heat Island Condition in DKI Jakarta) SITI BADRIYAH RUSHAYATI 1), RACHMAD HERMAWAN 1) 1) Bagian Hutan Kota dan Analisis Spatial,

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung Pulau bahang kota di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh gas rumah kaca khususnya CO, lahan terbangun, dan ruang terbuka hijau di wilayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Mata Kuliah Biometrika Hutan PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Disusun oleh: Kelompok 6 Sonya Dyah Kusuma D. E14090029 Yuri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan suatu tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan manusia. Saat ini kota menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan pemukiman.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

Tugas M.K Biometrika Hutan Hari/jam : Senin, jam MODEL RUANG TERBUKA HIJAU KOTA SEMARANG JAWA TENGAH. oleh: Kelompok 9

Tugas M.K Biometrika Hutan Hari/jam : Senin, jam MODEL RUANG TERBUKA HIJAU KOTA SEMARANG JAWA TENGAH. oleh: Kelompok 9 Tugas M.K Biometrika Hutan Hari/jam : Senin, jam 13.00-16.00 MODEL RUANG TERBUKA HIJAU KOTA SEMARANG JAWA TENGAH oleh: Kelompok 9 Taufiq Hidayat Lili Nurindah S Sukmandari Hersandini Desi Wulan Andrian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA) RAHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG Rina Sukesi 1, Dedi Hermon 2, Endah Purwaningsih 2 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU

MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU MODEL PERTUMBUHAN EKONOMI DUA DAERAH BERDASARKAN MODAL DAN KNOWLEDGE MUHAMMAD TAUFIK NUSA TAJAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

PENGERTIAN GREEN CITY

PENGERTIAN GREEN CITY PENGERTIAN GREEN CITY Green City (Kota hijau) adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan.

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL. Erwin Hermawan. FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (UHI) PADA BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN GLOBAL Erwin Hermawan Abstrak Secara umum, UHI mengacu pada peningkatan suhu udara,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) D216 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Untuk Menyerap Emisi CO 2 Kendaraan Bermotor Di Surabaya (Studi Kasus: Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo) Afrizal Ma arif dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Amalia, S.T., M.T. Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Perubahan komposisi atmosfer secara global Kegiatan

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA)

PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) PENERAPAN MODEL FINITE LENGTH LINE SOURCE UNTUK MENDUGA KONSENTRASI POLUTAN DARI SUMBER GARIS (STUDI KASUS: JL. M.H. THAMRIN, DKI JAKARTA) EKO SUPRIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU FATIMAH AHMAD

PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU FATIMAH AHMAD PEMODELAN HUTAN KOTA UNTUK AMELIORASI IKLIM MIKRO DI KOTA PALU FATIMAH AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN PERUBAHAN SUHU DI KOTA PALU

ANALISIS HUBUNGAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN PERUBAHAN SUHU DI KOTA PALU Jurnal Hutan Tropis Volume 13 No. 2 September 2012 ISSN 1412-4645 ANALISIS HUBUNGAN LUAS RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DAN PERUBAHAN SUHU DI KOTA PALU Relationship Analysis of Green Open Space Area and Temperature

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PEKANBARU

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PEKANBARU ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA PEKANBARU Oleh RISWANDI STEPANUS TINAMBUNAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat dimana mereka dapat bersosialisasi serta tempat melakukan aktifitas sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang aktivitas

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bumi merupakan satu-satunya tempat tinggal bagi makhluk hidup. Pelestarian lingkungan dilapisan bumi sangat mempengaruhi kelangsungan hidup semua makhluk hidup. Suhu

Lebih terperinci

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009

Perubahan Iklim dan SFM. Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Perubahan Iklim dan SFM Dewan Nasional Perubahan Iklim Jakarta, 3 Desember 2009 Dengan menghitung emisi secara netto untuk tahun 2000, perbedaan perkiraan emisi DNPI dan SNC sekitar 8 persen Sekotr lain

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMETAAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT TM 5 (Studi Kasus: Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh : EDEN DESMOND

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci