II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun logika yang jelas dengan urutan yang logis, sedangkan pemodelan merupakan seni karena mencakup bagaimana menuangkan gagasan manusia atas dunia nyata dengan segala keunikannya dalam sebuah model. Sistem sendiri dapat diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari (2007). Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Hartrisari (2007) juga menyatakan bahwa sistem dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Teori sistem erat hubungannya dengan sibernetika dan dinamika sistem (system dynamics), yaitu model-model yang terdiri dari jaringan peubah yang berubah menurut waktu. Sibernetika (cybernetics) yaitu studi tentang organisasi, komunikasi dan kontrol dalam sistem kompleks dengan berfokus pada umpan balik. Teori sistem digunakan dalam sain-sain kompleksitas (sciences complexity). Sedangkan analisis sistim (system analysis) merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip sistem untuk membantu pengambilan keputusan. Purnomo (2005) menjelaskan bahwa pemodelan merupakan aspek penting dari teori sistem, terutama berhubungan dengan pemanfaatan teori sistem dalam aspek yang lebih praktis. Model merupakan abstraksi dari sebuah sistem. Sedangkan sistem adalah dunia nyata, dan model merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya. Model dapat digunakan untuk melakukan beragam percobaan atau perlakuan. Dampak dari percobaan tersebut dapat diprediksi sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

2 9 Model yang dibangun harus diuji sensitivitasnya terhadap stimulus yang diberikan terhadap model tersebut. Jika hasil uji sensitivitas terhadap model utuh maupun terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus, maka dapat dikatakan model yang dibangun tersebut sensitif (Muhammadi et al. 2001). Selain uji sensitivitas, menurut Purnomo (2005), sebelum model digunakan harus dilakukan evaluasi model dengan cara pengamatan kelogisan model, pengamatan perilaku model dan membandingkan dengan konseptualisasi model, serta membandingkan perilaku model dengan data yang didapat dari system (dunia nyata) Penelitian Pemodelan Sistem Dinamik Sistem bersifat dinamis. Dalam sistem, antar komponen berubah menurut waktu. Purnomo (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dinamika sistem adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan umpan balik. Sedangkan pemodelan sistem dinamik merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya, serta model tersebut bersifat dinamis berubah menurut waktu. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pemodelan sistem dinamik, tetapi belum ada pemodelan sistem dinamik yang menggambarkan sistem perkotaan dengan permasalahan pulau bahang kota yang mengaitkan antara sumber-sumber emisi CO 2, albedo, dinamika perubahan luas berbagai jenis penutupan lahan, serta dampaknya terhadap iklim mikro perkotaan khususnya suhu udara. Fong et al. (2006) melakukan penelitian menggunakan model sistem dinamik baru terbatas untuk menduga konsumsi energi di perkotaan. Model terdiri dari empat sub model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi. Berdasarkan simulasi model, diketahui bahwa pendorong utama terjadinya peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di perumahan, dan konsumsi energi aktivitas komersial. Anand et al. (2005) melakukan penelitian lebih spesifik yaitu memprakirakan emisi CO 2 dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menghitung dan melakukan mitigasi terhadap emisi CO 2 dari aktivitas industri semen di India. Anand at al. (2005) memprediksi emisi CO 2 dua puluh tahun ke depan dengan baseline tahun Berdasarkan model tersebut dijelaskan bahwa variabel populasi manusia

3 10 sangat mempengaruhi permintaan dan produksi semen. Semakin meningkat jumlah manusia, maka semakin meningkat pula permintaan akan semen, dan menyebabkan emisi CO 2 semakin meningkat pula. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan emisi CO 2 pada tahun 2020 adalah sebanyak 396,89 juta ton. Dengan menggunakan skenario mitigasi emisi CO 2 yang terdiri dari intervensi kebijakan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk, pembatasan kelebihan produksi semen, melakukan manajemen struktural, efisiensi energi, akan dapat menurunkan emisi CO 2 pada tahun 2020 hingga mencapai 42%. Model sistem dinamik juga digunakan Lee (2005) untuk memprakirakan penyebab dan dampak dari emisi gas rumah kaca di Kota New York. Lee (2005) membuat model sistem dinamik berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh Kota New York. Variabel aktivitas sumber emisi CO 2 dalam model tersebut terdiri dari konsumsi listrik, konsumsi bahan bakar fosil untuk pemanas udara, serta konsumsi bahan bakar transportasi. Simulasi model dibuat untuk memprakirakan emisi gas CO 2 25 tahun ke depan yaitu dari tahun 2005 sampai dengan tahun Emisi gas rumah kaca di Kota New York pada tahun 2005, diperkirakan 58,8 juta metric ton equivalent (mt CO 2 e). Berdasarkan prakiraan model sistem dinamik, pada tahun 2030 emisi gas CO 2 meningkat menjadi 73 juta metric ton. Dengan membuat skenario efisiensi energi dan penurunan konsumsi energi pada level moderat, diperkirakan emisi CO 2 tahun 2005 sebanyak 58 mt CO 2 e, sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan menurun menjadi 54 mt CO 2 e. Apabila menggunakan skenario yang lebih ketat, maka emisi CO 2 dapat ditekan menjadi 43 mt CO 2 e pada tahun 2005, dan 40 mt CO 2 e pada tahun Dahlan (2007) melakukan penelitian mengenai kebutuhan luas hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO 2 antropogenik. Berdasarlan simulasi model, Dahlan (2007) menjelaskan bahwa kebutuhan luas hutan kota di Kota Bogor dengan jenis vegetasi berdaya sink tinggi yaitu berkisar ha. Dalam kurun waktu sampai tahun 2100, diperkirakan lahan terbangun yang dibutuhkan untuk menampung penduduk yaitu 8.032,11 ha (67,78%) dengan bangunan dua lantai, sedangkan luas hutan kota yang dibutuhkan yaitu 1.278,81 ha (10,79%).

4 Kota Hijau (Green City) Kawasan Perkotaan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi Kota Hijau a. Pengertian Kota Hijau Menurut Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan alam. Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota berkelanjutan. Yang dimaksud dengan kota berkelanjutan adalah sebuah kota yang dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini dengan generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) juga mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan ekonomi yang berkeseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kota berkelanjutan. Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota yang berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut : 1) merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan kebutuhan akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat permukiman dan area dekat

5 12 transportasi, 2) Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan, 3) Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah), 4) Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5) Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna, 6) Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan, 7) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak berbahaya bagi lingkungan, 8) Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam, 9) Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan lingkungan. b. Permasalahan dalam Mewujudkan Kota Hijau Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau adalah disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota. Pulau bahang kota telah terjadi di beberapa kota di dunia, salah satunya adalah pulau bahang kota yang terjadi di Guangzhou. Weng dan Yang (2004) menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terus meningkatnya luas suhu udara tinggi di area perkotaan. Luas suhu udara tinggi yang terus meningkat ini terkait dengan terus meningkatnya populasi penduduk sehingga meningkatkan luas lahan terbangun, industri dan transportasi, serta merubah tata kota dan lingkungan fisik Kota Guangzhou. Emisi CO 2 dari berbagai aktivitas di perkotaan serta semakin meningkatnya lahan terbangun dan menurunnya ruang terbuka hijau di Kota Guangzhou, menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota. Masalah pulau bahang kota juga disebabkan oleh adanya pengembangan kota yang tidak berdasarkan keberlanjutan ekologi perkotaan. Sektor ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan, lingkungan hidup tidak menjadi perhatian penting. Berbagai aktivitas di perkotaan menyebabkan terus meningkatnya emisi CO 2 dan peningkatan suhu udara. Berdasarkan penelitian Wang (2009) di China mengenai analisis permasalahan perencanaan urban green space system. Masalah lingkungan di Cina diakibatkan karena kesalahan pada level perencanaan yang tidak mementingkan lingkungan sehingga pelaksanaan pembangunan perkotaan lebih fokus pada sektor

6 13 ekonomi sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup termasuk pemanasan di perkotaan. c. Pengelolaan Kota dalam Mewujudkan Kota Hijau Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang saat ini dikenal dengan pembangunan berbasis green growth. World Wide Fund for Nature dan PricewaterhouseCoopers (2011), mendefinisikan green growth sebagai sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth menurut World Wide Fund for Nature (WWF) dan PricewaterhouseCoopers (PWC), dilaksanakan berdasar pada lima pilar penting berikut : a. Pertumbuhan ekonomi b. Perbaikan kondisi sosial c. Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan d. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global e. Penurunan emisi gas rumah kaca. Sektor ekonomi sangat penting dalam menggerakkan pembangunan perkotaan. Ekonomi yang sehat akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya harus ditingkatkan. Selain sektor ekonomi dan kondisi sosial masyarakat, yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya memberikan harga (value) tinggi pada sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada. Sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Keanekeragaman hayati vegetasi ruang terbuka hijau mempunyai jasa lingkungan melalui perannya dalam mengabsorbsi dan mengadsorbsi berbagai polutan udara, memperbaiki iklim mikro perkotaan, meningkatkan estetika lingkungan, mengurangi kebisingan (Dahlan 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan jasa lingkungan serta perbaikan habitat di perkotaan. Agar sebuah kota dapat melakukan pembangunan berkelanjutan, maka selain melakukan perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga harus meningkatkan kemampuan adaptasi kota tersebut terhadap perubahan iklim global. Penurunan emisi gas rumah kaca harus dimasukkan dalam perencanaan dan

7 14 pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada Gambar 2. Emisi gas rumah kaca Adaptasi terhadap perubahan iklim global Nilai sumberdaya alam Adaptasi dan mitigasi Green Growth Pertumbuh-an rendah karbon Pertumbuhan berkeseimbangan Ekonomi Keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan Pemberdayaan masyarakat & habitat Sosial dan pengurang-an kemiskinan Sumber : WWF dan PWC (2011) Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) Pengertian Pulau Bahang Kota Tursilowati (2002), Voogt (2002), Hidayati (1990), Santosa (1998) serta Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota), temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural. Irwan (2008) meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan (ke arah Bogor). Irwan (2008) juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1 3 C. Berdasarkan penelitian Effendy (2007), dijelaskan bahwa pulau bahang kota (UHI) yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan populasi (17%). Sedangkan pulau

8 15 bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya ruang terbangun (15%), diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya kendaraan (14%), serta semakin padatnya populasi (13%). Selain Jakarta dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun (22%0, padatnya populasi (19%), serta padatnya kendaraan (17%) Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati (1990), dan Santosa (1998) membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 1 C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca (CO 2, N 2 O, CFC, CH 4 ) dan persentase luas lahan terbangun di perkotaan. a. Emisi Gas Rumah Kaca Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara). Menurut Soedomo ( 2001), pembakaran bahan bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian penggunaan gas bumi. Dahlan (2007) menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di Kota Bogor adalah 134,19 liter bensin/orang/tahun ; 33,55 liter solar/orang/tahun; 6,24 liter diesel/orang/tahu; 84,17 liter minyak tanah/orang/tahun; 5,14 kg LPG/orang/tahun; dan 0,28 m 3 gas/orang/tahun. Berdasarkan simulasi model emisi gas CO 2 di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun Sedangkan Soedomo (2001) dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton /tahun. Jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca absolut dari hasil kegiatan antropogenik (kegiatan yang dilakukan oleh manusia) di Indonesia disajikan pada

9 16 Tabel 1. Emisi gas absolut di Indonesia adalah sebesar 96,08 juta metrik ton pada tahun 1980; 154,016 juta metrik ton pada tahun 1985; dan 202,47 juta metrik ton pada tahun Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang terbesar jumlah emisi absolutnya. Chloro fluoro carbon belum dapat diperkirakan secara pasti sehingga belum dimasukkan dalam perhitungan. Pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, batubara) menyebabkan emisi CO 2 dan peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO 2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO 2. Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Suhu udara selain ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, juga dipengaruhi oleh variabilitas output total energi matahari. Variabilitas energi matahari menghasilkan perubahan-perubahan dalam intensitas surya yang diterima di puncak atmosfer bumi serta mengakibatkan variasi iklim termasuk suhu udara (Trewartha & Horn 1980). Trewartha dan Horn (1980) juga menyatakan bahwa variasi iklim juga dipengaruhi oleh posisi matahari dan bumi. Jarak terjauh antara matahari dan bumi selama peredarannya (aphelion) dan jarak terdekat antara matahari dan bumi (perihelion), menentukan intensitas radiasi matahari dan suhu udara di permukaan bumi. Meskipun suhu udara ditentukan oleh variabilitas output total radiasi matahari akibat aktivitas matahari serta posisi matahari dan bumi, tetapi suhu udara yang terukur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, termasuk gas CO 2. Peningkatan konsentrasi CO 2 menyebabkan kenaikan suhu udara secara signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 3 dan 4. Efek pulau bahang yang terjadi di beberapa kota di dunia akan meningkatkan pemanasan global, begitu pula pemanasan global yang terjadi saat ini juga mempengaruhi proses pemanasan yang terjadi di perkotaan. Oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi dan adaptasi lokal dari masing-masing kota agar pemanasan di tingkat lokal maupun global dapat dikendalikan.

10 17 Sumber : Keeling et al dalam IPCC 2007 Tahun Gambar 3 Rata-rata CO 2 di Hawai. Sumber : Brohan et al. (2006), Smith and Reynolds (2005), Hansen et al., (2001) and Lugina et al. (2005) dalam IPCC (2007) Gambar 4 Hasil observasi temperatur global. Tahun b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota.

11 18 Neraca Radiasi dan Neraca Energi Arya (2001) menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut : R S (1 α) + R L - R L = R N = H + H L + H G + ΔH S Keterangan : R S : Radiasi gelombang pendek yang masuk α : Albedo R L : Radiasi gelombang panjang yang datang R L : Radiasi gelombang panjang yang keluar R N : Radiasi neto H : Panas terasa (sensible heat) H L : Panas laten (latent heat) H G : Flux panas permukaan ΔH S : Perubahan panas tersimpan (energy storage) Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang pendek (3-2 µm) yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut (Geiger et al. 1961). Energi dari radiasi neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas permukaan dan perubahan panas tersimpan. Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi (Arya 2001), maka area yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai H L (energi yang digunakan untuk evapotranspirasi) dan ΔH S (energi yang digunakan untuk fotosintesis) tinggi, sedangkan nilai H dan H G, sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan H G tinggi karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara (panas terasa). Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi. Masing-masing jenis penutupan lahan yang ada di perkotaan mempunyai kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya (albedo) yang berbeda-beda. Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto (R N ) akan semakin tinggi sehingga mengakibatkan suhu permukaan tersebut serta suhu udara di sekitarnya rendah. Sebaliknya, semakin sedikit radiasi yang dipantulkan, maka radiasi

12 19 neto akan semakin tinggi (sebagai contoh benda berwarna hitam) sehingga suhu permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi. Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan (H G ), sehingga kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda. Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton lebih rendah (Mather 1974). Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun (bangunanbangunan beton serta jalan-jalan beraspal) yang mendominasi area tersebut. Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau. Penelitian Xiao dan Weng (2007) mengenai pengaruh jenis penutupan lahan serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun, Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara area perkotaan (area dengan dominansi lahan terbangun) dengan perdesaan (area yang didominasi ruang terbuka hijau). Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dua kota yang lain. Hasil penelitian Akbari (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada siang hari di musim panas, suhu udara di kota bisa mencapai 2,5 Kelvin (K) lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena lebih banyak lahan terbangun dan jalan-jalan

13 20 dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 %. Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga ditemukan dalam penelitian Tursilowati (2002) yang menunjukkan adanya perluasan pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota (daerah dengan suhu tinggi C) pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira ha atau 4.47% per tahun, sedangkan di Semarang ha atau 8,4% per tahun, dan di Surabaya ha atau 4,8% per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih ha (0,36%), Semarang ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha (1,69%). Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis penginderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan lahan hutan (29,88 C), diikuti dengan lahan pertanian (30,96 C) dan suhu permukaan tertinggi terukur pada tanah tandus (32,94 C). Hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 C pada tahun 1989 menjadi 34,75 C pada tahun Sarkar (2004) juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan GIS (Geographic Information System). Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan menggunakan composite band (6 red, 4 green dan 4 blue). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa urban heat island (pulau bahang kota) merupakan masalah yang timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Effendy (2007) yang mengkaji keterkaitan antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island di wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Variabel yang dianalisis adalah perubahan indeks kenyamanan dan neraca energi permukaan khususnya terhadap fluks LE (latent

14 21 heat flux) dan H (sensible heat flux). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor adalah sebesar 30%, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di bawah 30%. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35%. Rata-rata wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) mempunyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28% Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer (penguapan). Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan transpirasi (Mather 1974). Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin) juga ditentukan oleh jenis vegetasi. Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir, menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang. Vegetasi memiliki peran penting dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya lahan terbangun dan lahan terbuka menyebabkan peningkatan suhu udara. Hal ini didukung oleh pendapat Trewartha dan Horn (1995) yang menyatakan bahwa kawasan perkotaan umumnya sangat kurang vegetasi. Kondisi ini menyebabkan evaporasi rendah, dan mengakibatkan sebagian besar energi radiasi yang diterima dikonduksikan ke permukaan serta digunakan untuk memanaskan udara sehingga suhu udara meningkat.

15 Ruang Terbuka Hijau Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau sangat menentukan kondisi pulau bahang kota, terutama berperan dalam mengurangi gas CO 2 melalui proses fotosintesis, serta dalam proses evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan suhu udara perkotaan. Pengertian ruang terbuka hijau berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi Hutan Kota sebagai Bagian dari Ruang Terbuka Hijau Hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau. Hutan kota menurut Irwan (2008) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Sedangkan Grey dan Deneke (1978), hutan kota merupakan kawasan vegetasi berkayu yang luas, terbuka bagi masyarakat umum, mudah dijangkau oleh penduduk kota, dan dapat memenuhi fungsi perlindungan kelestarian tanah, tata air, ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, dinyatakan bahwa luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luas kota. Menurut Dahlan (1992), hutan kota mempunyai fungsi dan peranan sebagai sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida, penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan

16 23 penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameliorasi iklim, pengelolaan sampah (sebagai penyerap dan penyekat bau, pelindung tanah dari dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya), pelestarian air tanah, penapis cahaya silau. Selain itu hutan kota berperan dalam meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Bentuk dan Struktur Hutan Kota Hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya. Bentuk hutan kota dibedakan berdasarkan bentuk sebarannya yaitu bergerombol, menyebar, dan memanjang (jalur). Menurut Irwan (2008), berdasarkan bentuknya hutan kota dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu vegetasi yang terkonsentrasi pada satu areal dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan. 2. Bentuk menyebar, adalah hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, vegetasi tumbuh menyebar, terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. 3. Bentuk jalur, vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya. Selain berdasarkan bentuknya, hutan kota dikelompokkan berdasarkan strukturnya yang dibedakan menurut strata (lapisan) tajuk (Irwan 2008). Menurut strukturnya, hutan kota dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : 1. Hutan kota berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lain. 2. Hutan kota berstrata banyak, komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanaman rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam. Fakuara (1987) memperkirakan kebutuhan luas hutan kota, menggunakan metode jumlah O 2 yang diperlukan oleh manusia dan kendaraan bermotor. Selain itu kebutuhan luas hutan kota juga diprediksi dari proses fotosintesis yang menghasilkan

17 24 O 2, sehingga dengan menghitung kemampuan vegetasi dalam menghasilkan O 2 per satuan luas, maka didapat kebutuhan luas hutan kota sesuai dengan kebutuhannya terhadap O 2. Dahlan (2007) menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan perannya sebagai sink gas CO 2 anthropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik. Model yang dibuat didasarkan pada emisi CO 2 yang dihasilkan Kota Bogor dari tahun ke tahun, dan didasarkan atas daya rosot gas CO 2 vegetasi. Dari model ini Dahlan (2007) dapat memprediksi kebutuhan luas hutan kota sampai tahun Fungsi Ruang Terbuka Hijau Proses fotosintesis yang terjadi pada vegetasi, selain memerlukan air (H 2 O) dan radiasi matahari serta klorofil, juga membutuhkan CO 2. Dalam proses fotosintesis dihasilkan karbohidrat yang kemudian disebarkan serta tersimpan di seluruh bagian vegetasi (daun, batang, ranting, akar, bunga, buah). Proses penyimpanan (penimbunan) karbohidrat (C 6 H 12 O 6 ) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh karena itu ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, mempunyai fungsi sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Bernatzky (1978) menjelaskan, bahwa satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO 2 dari udara dan melepaskan 600 O 2 dalam waktu 2 jam. Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun kota kebun bernuansa hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan akan meningkat karena vegetasi mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerap partikel logam dari industri, penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor dan penyerap dan penjerap debu semen. Selain itu vegetasi juga dapat menyerap gas beracun dan gas karbon dioksida. Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota berfungsi sebagai kontrol refleksi (silau) dari radiasi yang sampai permukaan perkotaan, peredam kebisingan, absorbsi polutan udara, serta dapat menjadi habitat satwaliar. Kondisi perkotaan dengan konsentrasi polutan udara dan suhu yang tinggi dapat ditanggulangi dengan penanaman vegetasi berupa ruang terbuka hijau termasuk hutan kota. Vegetasi berfungsi dalam mengintersepsi radiasi matahari sehingga dapat menurunkan intensitas radiasi matahari di dekat permukaan. Intensitas radiasi yang

18 25 rendah di dekat permukaan akan menyebabkan pemanasan udara juga menurun sehingga suhu udara juga akan turun. Chang et al. (2007) melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol dan Wong (2005) dalam penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 C lebih tinggi dibandingkan dengan area perkotaan bervegetasi. Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan area bervegetasi. Nichol dan Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi. Kemampuan vegetasi khususnya hutan kota dalam menurunkan suhu udara, dipengaruhi oleh bentuk dan struktur dari hutan kota tersebut. Irwan (2008), menyatakan bahwa hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua yang berbentuk jalur, dapat menurunkan suhu udara sebesar 1,43 % dan menaikkan kelembaban udara 1,77 %, sedangkan yang berbentuk menyebar menurunkan suhu udara 3,60 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 %, dan yang berbentuk bergerombol menurunkan 3,18 % dan menaikkan kelembaban udara 2,20 %. Irwan (2008) juga menyebutkan bahwa hutan kota berstrata banyak dengan bentuk menyebar, dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,28 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 %, sedangkan yang berbentuk bergerombol menurunkan suhu udara 3,04 % dan kelembaban udara 2,20 %. Effendy (2007) menyatakan bahwa model persamaan ruang terbuka hijau dan suhu udara mempunyai hubungan terbalik dimana setiap laju pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).

19 Manfaat Ruang Terbuka Hijau Manfaat dari ruang terbuka hijau menurut Brack (2002) yaitu dapat menjaga kondisi iklim ekstrim perkotaan, menanggulangi pulau bahang kota, meningkatkan kenyamanan, kesehatan, keindahan, kualitas udara, mengurangi konsumsi listrik untuk pemanasan dan pendinginan, meningkatkan nilai properti, mempunyai nilai ekonomi, serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Brack (2002) melakukan penelitian mengenai manfaat hutan kota di dataran Canberra, Australia. Pembangunan hutan kota di dataran Canberra dengan penanaman secara besar-besaran yang dilakukan sejak tahun 1911 yang sebelumnya merupakan area terbuka akibat pembukaan lahan untuk ternak domba, telah memberikan manfaat meningkatkan nilai estetika dan memperbaiki kondisi iklim ekstrem. Brack (2002) menghitung nilai ekonomi pohon dengan mengestimasi ukuran pohon selama Komitmen Kyoto periode 5 tahun ke depan dengan menggunakan metode Decision Information System for Managing Urban Trees (DISMUT). Dari perhitungan tersebut diperkirakan pohon di area tersebut mempunyai nilai karbon sebesar US $ juta selama periode atau $ 66 - $ 223/penduduk Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Manusia sebagai bagian dari ekosistem sangat menentukan kondisi keseimbangan ekosistem perkotaan. Hal ini dijelaskan oleh Chiras (1985) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya : jumlah penduduk, konsumsi perkapita sumberdaya alam, teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kebijakan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat menentukan kondisi lingkungan. Kondisi sosial dan tingkat ekonomi yang tinggi disertai pola konsumsi modern yang boros mengakibatkan masalah lingkungan lebih berat. Kearifan tradisional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem sudah bukan menjadi budaya masyarakat perkotaan. Hal ini mengakibatkan berbagai aktivitas manusia hanya terfokus pada pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian fungs dan manfaatnya. Chiras (1985) juga menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi permintaan (demand) akan sumberdaya alam termasuk kebutuhan akan energi bahan bakar fosil (batubara, minyak, gas). Semakin tinggi kondisi sosial ekonomi masyarakat cenderung akan semakin meningkatkan kebutuhan perkapita akan sumberdaya alam serta meningkatkan limbah dan pencemaran lingkungan.

20 27 Untuk mewujudkan sebuah kota menjadi kota hijau, harus diselaraskan antara peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman, persepsi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kondisi lingkungan. Pernyataan Chiras (1985) ini didukung oleh Tashiro (2009) yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan kota hijau perlu kerjasama dengan membuat jaringan yang baik dengan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi, budaya, estetika serta aspek mental msayarakat. Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya perlu mendengar masukan serta peran masyarakat agar kota hijau dapat terlaksana dengan baik Kebijakan Kota Hijau Analisis Kebijakan Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota sering tanpa dasar analisis kebijakan yang berorientasi pada akar masalah yang dihadapi kota tersebut sehingga kebijakan yang diterapkan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Dunn (2003) memperkenalkan analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah agar kebijakan yang dibuat sesuai sasaran. Tahapan analisis kebijakan menurut Dunn (2003) yaitu : perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Berikutnya adalah peramalan (prediksi) yaitu informasi mengenai konsekuensi dimasa datang dari penerapan alternatif kebijakan. Kemudian rekomendasi (preskripsi) yang merupakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah. Ketika kebijakan dilaksanakan, perlu dilakukan pemantauan (deskripsi) yang merupakan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Komponen penting lainnya adalah evaluasi yaitu informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Hampir sama dengan pendapat Dunn (2003), Parsons (2001) juga menyatakan bahwa analisis kebijakan terdiri dari analisis determinasi kebijakan, analisis isi kebijakan, monitoring dan evaluasi, informasi untuk kebijakan dan advokasi kebijakan. Determinasi kebijakan adalah analisis yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat). Isi kebijakan merupakan deskripsi kebijakan termasuk perbaikan dan kaitan dengan kebijakan terdahulu. Monitoring dan evaluasi merupakan penilaian kinerja kebijakan yang

21 28 terkait dengan tujuan dan dampak kebijakan. Informasi untuk kebijakan adalah hasil analisis untuk memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pembuatan kebijakan. Sedangkan advokasi kebijakan merupakan hasil riset dan argumen yang digunakan untuk menentukan agenda kebijakan. Prediksi merupakan salah satu tahapan analisis kebijakan yang diperkenalkan Dunn (2003). Tujuan dari prediksi adalah untuk mendapatkan informasi tentang perubahan di masa depan beserta konsekwensi atas kebijakan yang diterapkan sehingga dapat merencanakan dan menetapkan kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada. Dunn (2003) juga menyatakan bahwa model sistem dinamik dapat digunakan untuk memprediksi kondisi di masa depan Pelaksanaan Kebijakan Kota Hijau Kebijakan Kota Hijau di Swedia Elander dan Lundgren (2005) menginformasikan bahwa kebijakan kota hijau telah diterapkan di kota-kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo, dan Orebro). Kota-kota tersebut telah mengadopsi kebijakan kota hijau (green policy), termasuk kebijakan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam pelaksanaannya, pemerintah lokal Swedia membentuk jaringan kerjasama diantara instansi pemerintah, politikus, dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan kerjasama ini dihasilkan prioritas masalah yang harus segera ditangani untuk dapat diputuskan sebagai kebijakan pemerintah daerah. Permasalahan yang dihadapi kota-kota di Swedia adalah semakin menurunnya luas ruang terbuka hijau akibat berubah menjadi bangunan, jalan, dan lahan terbangun lain yang merupakan dampak dari semakin meningkatnya jumlah penduduk. Pencemaran udara dan material tutupan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan abosorbsi energi panas sehingga meningkatkan suhu udara, keawanan, dan presipitasi. Sebaliknya menyebabkan menurunnya kelembaban udara serta kecepatan angin (Elander dan Lundgren 2005). Kota Stockholm Stockholm merupakan merupakan kota terbesar di Swedia yang mengalami defisit perumahan sehingga permintaan akan tempat tinggal serta tekanan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan tinggi. Untuk mengatasinya, pemerintah daerah mewajibkan intitusi pemerintah melakukan pembangunan dengan

22 29 berdasar pada green policy. Pemerintah daerah juga mengangkat tenaga profesional yang kompeten di bidang ekologi yang disebar pada beberapa institusi. Selain itu juga untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dan sedang dilaksanakan, pemerintah daerah juga menjaring masukan melalui pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar dengan para ahli dan NGOs (Non Governmental Organization). Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, selain melakukan sosialisasi program, juga dengan cara membuat beberapa kompetisi misalnya kompetisi halaman warga terbaik dengan kriteria keanekaragaman tanaman yang ditanam di halaman. Kompetisi ini merupakan kerjasama diantara pemerintah daerah dengan perusahaan perumahan. Kota Goteborg Goteborg merupakan kota terbesar kedua di Swedia, merupakan kota dagang dan industri. Di kota ini masih banyak sabuk hijau (green belt) dan taman-taman. Tetapi Kota Goteborg juga mengalami masalah mengenai penurunan luas ruang terbuka hijau akibat meningkatnya lahan terbangun termasuk meningkatnya kebutuhan akan jalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah mewajibkan program kota hijau untuk menjadi kebijakan beberapa institusi pemerintah daerah. Kantor perencanaan perkotaan; kantor konservasi lingkungan hidup; kantor museum, taman dan sumberdaya alam, telah memasukkan konsep kota hijau dalam perencanaan dan pelaksanaan programnya. Bahkan perusahaan real estate dan partai dalam kampanyekampanyenya telah memasukkan konsep kota hijau. Organisasi voluntary (suka rela) di Kota Goteborg, bersama-sama kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup, membentuk kerjasama permanen dan ad hoc pada saat muncul masalah lingkungan yang dihadapi kota tersebut. Kota Malmo Malmo adalah kota ketiga terbesar di Swedia. Kota tersebut disebut sebagai kota taman, di perbatasan kota dikelilingi area pertanian. Pembangunan terus berjalan dengan memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau dikembangkan menurut karaktaristik kondisi alam daerah setempat. Daerah (district) membuat peta derajat kelangkaan species di daerah masing-masing, tetapi pelaksanaan kebijakan daerah masih belum memenuhi harapan. Diskusi mengenai isu hijau (green issues) antara masyarakat, NGOs, dengan pemerintah daerah, hanya bersifat sporadis dan konsep hijau tidak menjadi fokus debat dalam kampanye politik.

23 30 Banyak perkantoran dan juga partai kekurangan ahli lingkungan hidup. Meskipun demikian, pemerintah saat ini mempunyai target untuk mewujudkan Kota Malmo sebagai kota kebun (the city gardener). Kota Orebro Orebro merupakan kota ketujuh terbesar di Swedia. Sekeliling kota terdapat area pertanian lahan datar serta hutan yang tersisa berupa hutan berdaun lebar serta hutan yang saat-saat tertentu menggugurkan daun. Kota Orebro sebelumnya merupakan sebuah kota kecil industri, berkembang menjadi pusat perdagangan, pendidikan, rumah sakit, dan transportasi. Pemerintah daerah bersama dewan kota meletakkan konsep hijau dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan demikian semua perkantoran pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut. Saat ini pemerintah kota mengembangkan perencanaan hijau terhadap lansekap kota, mendukung konsep kota hijau berdasarkan tiga dasar yaitu sosial, budaya dan ekologi. Departemen yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan konsep hijau yaitu Departemen Teknik dan Departemen Perencanaan Kota. Dalam proses penyusunan perencanaan, ahli ekologi dan ahli biologi, pada tahun 2997 ditransfer dari Kantor Jasa Lingkungan Hidup ke Departemen Perencanaan Kota. Non Governmental Organization sangat aktif berperan dalam penyusunan perancanaan. Masyarakat merasakan manfaat dan menghargai nilai dari lingkungan yang dikelola dengan baik. Secara umum keempat kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo,Orebro) mempunyai sistem perencanaan hijau (green policy), melaksanakan pembangunan hijau, serta mempunyai peraturan legal serta personil untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hijau meskipun pada masing-masing kota mempunyai variasi kebijakan yang berbeda-beda Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina Pemerintah Daerah Kota Guangzhou telah mengadopsi konsep kota hijau dalam melaksanakan pembangunan. Untuk mewujudkan kota hijau, pemerintah daerah membuat green policy untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi yaitu adanya pulau bahang kota (urban heat island). Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) akibat terus meningkatnya lahan terbangun. Pada tahun 1960, lahan terbangun di Kota Guangzhou seluas 64,2 km 2, meningkat menjadi 159,6 km 2 pada

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9)

BAB I PENDAHULUAN. dan pemukiman. Sebagaimana kota menurut pengertian Bintarto (1977:9) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan suatu tempat yang menjadi pusat dari berbagai kegiatan manusia. Saat ini kota menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan pemukiman.

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU 3.1. Tinjauan Tema a. Latar Belakang Tema Seiring dengan berkembangnya kampus Universitas Mercu Buana dengan berbagai macam wacana yang telah direncanakan melihat

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Pulau Bahang Kota di Kabupaten Bandung Pulau bahang kota di Kabupaten Bandung dipengaruhi oleh gas rumah kaca khususnya CO, lahan terbangun, dan ruang terbuka hijau di wilayah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS 4.1 Analisis Pengaruh Peningkatan Penjualan Kendaraan Bermotor terhadap Peningkatan Emisi CO 2 di udara Indonesia merupakan negara pengguna kendaraan bermotor terbesar ketiga

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bumi merupakan satu-satunya tempat tinggal bagi makhluk hidup. Pelestarian lingkungan dilapisan bumi sangat mempengaruhi kelangsungan hidup semua makhluk hidup. Suhu

Lebih terperinci

LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE)

LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE) Magister Desain Kawasan Binaan (MDKB) LANSKAP PERKOTAAN (URBAN LANDSCAPE) Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Siti Nurul Rofiqo Irwan, SP., MAgr, PhD. Pendahuluan Tujuan : Memberi pemahaman tentang: - Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN PERUBAHAN IKLIM JOHNY S. TASIRIN ILMU KEHUTANAN, UNIVERSITAS SAM RATULANGI Seminar Benang Merah Konservasi Flora dan Fauna dengan Perubahan Iklim Balai Penelitian Kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam Kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI

MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI MODEL KOTA HIJAU DI KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT SITI BADRIYAH RUSHAYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRACT SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Green City Model of Bandung Regency West

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kota adalah pusat pertumbuhan yang ditandai dengan perkembangan jumlah penduduk (baik karena proses alami maupun migrasi), serta pesatnya pembangunan sarana dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Amalia, S.T., M.T. Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Perubahan komposisi atmosfer secara global Kegiatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi.

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses. infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses meningkatnya suhu

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kaum Petani dengan kultur agraris khas pedesaan Indonesia bermukim di perumahan dengan bentuk bangunan yang mempunyai tata ruang dan tata letak sederhana. Hampir seluruh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji

I PENDAHULUAN. (Dipayana dkk, 2012; DNPI, 2009; Harvell dkk 2002; IPCC, 2007; Sudarmadji 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim telah dirasakan pada hampir seluruh wilayah di dunia dan salah satu dampak yang dirasakan oleh manusia adalah pemanasan global (Dipayana dkk, 2012; DNPI,

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 F. Iklim 2.9. Kondisi Iklim di Provinsi DKI Jakarta Dengan adanya perubahan iklim menyebabkan hujan ekstrem di Ibu Kota berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air, dimana tanah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU Cecep Kusmana Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI. Lampiran A.3

LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI. Lampiran A.3 Lampiran A.3 155 LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI Bacalah wacana dibawah ini! kemudian diskusikanlah bersama teman kelompokmu. Efek Rumah Kaca: Fakta atau Fiksi? Makhluk hidup memerlukan energi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota ( Permasalahan Lingkungan Kota 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... 1 Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tujuan... 5 1 DAFTAR ISI Kata Pengantar... 1 Daftar Isi... 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 3 1.2 Permasalahan... 4 1.3 Tujuan... 5 BAB II PEMBAHASAN/ISI 2.1 Hakikat Penghijauan Lingkungan... 6 2.2 Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER VII Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami iklim Junghuhn dan iklim Schmidt Ferguson. 2. Memahami

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Pengertian 2 Global warming atau pemanasan global adalah proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Suhu rata-rata global permukaan bumi telah 0,74 ± 0,18 C (1,33 ±

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

APA ITU GLOBAL WARMING???

APA ITU GLOBAL WARMING??? PEMANASAN GLOBAL APA ITU GLOBAL WARMING??? Pemanasan global bisa diartikan sebagai menghangatnya permukaan Bumi selama beberapa kurun waktu. Atau kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut

Lebih terperinci

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut. PERKEMBANGAN PENDUDUK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN A. PENYEBAB PERKEMBANGAN PENDUDUK Pernahkah kamu menghitung jumlah orang-orang yang ada di lingkunganmu? Populasi manusia yang menempati areal atau wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

Wiwi Widia Astuti (E1A012060) :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK

Wiwi Widia Astuti (E1A012060) :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK Nama NIM Tugas :Wiwi Widia Astuti :E1A012060 :Pengetahuan Lingkungan ABSTRAK Dalam beberapa tahun terakhir, isu pemanasan global semakin sering dibicarakan baik dalam skala kecil sampai tingkat internasional.

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect) PEMANASAN GLOBAL Efek Rumah Kaca (Green House Effect) EFEK RUMAH KACA Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

No pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan. Penerapan prinsip Keuangan Berkelanjutan sebagai per

No pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan. Penerapan prinsip Keuangan Berkelanjutan sebagai per TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6149 KEUANGAN OJK. Efek. Utang. Berwawasan Lingkungan. Penerbitan dan Persyaratan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 281) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

PENGERTIAN GREEN CITY

PENGERTIAN GREEN CITY PENGERTIAN GREEN CITY Green City (Kota hijau) adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

Oleh: ANA KUSUMAWATI

Oleh: ANA KUSUMAWATI Oleh: ANA KUSUMAWATI PETA KONSEP Pencemaran lingkungan Pencemaran air Pencemaran tanah Pencemaran udara Pencemaran suara Polutannya Dampaknya Peran manusia Manusia mempunyai peranan dalam pembentukan dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Luas Hutan Kota di Kotamadya Jakarta Selatan Berdasarkan Peraturan Penentuan luas hutan kota mengacu kepada dua peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu menurut PP No 62 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci