BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari beberapa karya sastra yang menyikapi kecantikan dengan cara yang cukup

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari beberapa karya sastra yang menyikapi kecantikan dengan cara yang cukup"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya kecantikan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan paten. Kecantikan merupakan sesuatu yang bersifat cair. Konsep mengenai kecantikan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu, konsep ini pun terus berubah dari waktu ke waktu. Seiring dengan gerakan feminisme yang terus berkembang di dunia, kecantikan mulai dilihat secara lebih kritis dan dikaji secara terus menerus. Beberapa pakar berpendapat bahwa konsep mengenai kecantikan yang beredar di masyarakat banyak merugikan kaum perempuan dalam praktiknya sehingga dirasa perlu dikaji ulang. Isu gender yang banyak diangkat dalam karya sastra angkatan tahun 2000 an menjadikan kecantikan sebagai salah satu aspek yang perlu dikaji ulang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya sastra yang menyikapi kecantikan dengan cara yang cukup kritis. Salah satunya adalah cerpen Qurban Iklan karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini bercerita mengenai seorang perempuan yang harus menahan sakit karena ingin memiliki bentuk tubuh yang langsing. Ia harus merasakan derita yang disebabkan oleh tuntutan kecantikan yang diinginkan oleh lingkungannya. Selain itu, cerpen lainnya adalah Tahi Lalat di Punggung Istriku karya Ratih Kumala. Cerpen ini menceritakan 1

2 seorang perempuan yang cemburu karena suaminya lebih mencintai tahi lalat yang dimilikinya daripada dirinya. Bagi suaminya, tahi lalat merupakan kecantikan yang dipuja olehnya. Oleh karena kecemburuannya tersebut, ia pun terpaksa melakukan operasi plastik agar suaminya dapat mencintai dirinya sepenuhnya. Selain dua cerpen tersebut, karya sastra yang mencoba bersikap lebih kritis terhadap konsep kecantikan adalah novel Maya karya Ayu Utami. Ayu Utami mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami. Ia dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November Sepanjang kariernya sebagai seorang penulis, ia telah menulis sepuluh novel, yaitu Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Lalita (2012), Cerita Cinta Enrico (2012), Eks Parasit Lajang (2013), Maya (2013), dan Simple Miracle (2015). Novel pertamanya, yakni Saman, sempat menggegerkan jagad kesusastraan Indonesia karena keberaniannya dalam mengangkat hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Di dalam novel pertamanya tersebut, Ayu Utami mencoba mengizinkan tubuh perempuan untuk berbicara sebagai subjek. Hal ini bertentangan dengan keadaan di dalam masyarakat khususnya Indonesia yang selalu memandang perempuan sebagai objek dan memandang laki-laki sebagai subjek. Novel ini pun menjadi pemenang sayembara novel DKJ pada tahun 1998 dan mendapatkan penghargaan Prince Claus Award pada tahun

3 Novel Maya (2013) merupakan serial novel pertualangan dan teka-teki tentang pusaka nusantara yang melibatkan tokoh-tokoh dari novel Bilangan Fu (2008), yakni Parang Jati, Marja Manjali, dan Sandi Yuda 1. Novel ini merupakan novel ketiga Seri Bilangan Fu yang menghubungkan antara novel dwilogi Saman-Larung dan Seri Bilangan Fu. Tidak seperti novel-novel Seri Bilangan Fu lainnya, novel ini memunculkan kembali tokoh yang terdapat di dalam novel Saman (1998) dan Larung (2001) 2. Novel ini dibagi menjadi tiga bab besar, yaitu bab kini, bab dulu, dan bab sekarang. Secara garis besar, novel ini bercerita tentang Yasmin yang mendapat surat dari Saman setelah dua tahun Saman dinyatakan hilang. Ia pun mendatangi salah satu tokoh spiritual terkenal bernama Suhubudi untuk mendapatkan jawaban atas surat-surat dari Saman dan mendapatkan informasi mengenai keberadaan Saman. Awal pertemuannya dengan Suhubudi membuat Yasmin terlibat dalam suatu kejadian yang merupakan perjalanan batin untuk memahami dirinya sendiri, cintanya, dan negerinya. Berbeda dengan novel Seri Bilangan Fu lainnya, novel ini mencoba mengangkat fenomena mitos kecantikan. Konsep-konsep mengenai kecantikan dipertanyakan kembali di dalam novel ini. Namun, apabila dibandingkan dengan Qurban Iklan karya Djenar Maesa Ayu dan Tahi Lalat di Punggung Istriku karya 1 Oleh karena di novel ini merupakan novel yang menghubungkan dwilogi Saman Larung dengan novel Bilangan Fu, di dalam ini tokoh yang muncul hanya Parang Jati. Hal ini disebabkan oleh latar waktu yang digunakan di dalam novel ini mengacu pada latar waktu ketika Parang Jati masih kecil. 2 Tokoh-tokoh dari novel dwilogi Saman (1998) dan Larung (2001) yang muncul di dalam novel Maya (2013) adalah Yasmin, Larung, dan Saman. 3

4 Ratih Kumala, konsep kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya dapat dikatakan berbeda. Novel ini memperlihatkan bahwa tidak hanya perempuan yang dirugikan oleh adanya konsep kecantikan yang beredar sekarang ini yaitu konsep kecantikan yang memuja kecantikan fisik. Konsep kecantikan ini telah menjadi mitos yang terus mengungkung tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Konsep tentang kecantikan telah menjadi sebuah senjata politis yang digunakan untuk menekan seseorang. Inilah yang disebut oleh Naomi Wolf sebagai mitos kecantikan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba membahas mitos kecantikan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga akan membongkar makna yang terkandung di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel ini 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya b. Mitos kecantikan dalam novel Maya c. Makna di balik mitos kecantikan dalam novel Maya 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini dilakukan untuk menguraikan tiga hal. Pertama, 4

5 penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya. Kedua, menganalisis mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Ketiga, penelitian ini bertujuan untuk membahas makna di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Secara praktis, penelitian ini dilakukan untuk menambah pemikiran mengenai penerapan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf melalui karya sastra. Selain itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tekanan yang disebabkan oleh mitos kecantikan. Penelitian ini juga dilakukan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra, khususnya pada genre prosa. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan teori mitos kecantikan telah dilakukan sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Afiyah dari Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 ini berjudul Pembentukan Kecantikan dalam Novel The Bluest Eye Karya Toni Morisson. Dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf dan dibantu dengan teori pascakolonial, skripsi ini membahas cara pandang tokoh utama melihat konsep kecantikan yang dikontruksikan oleh orang kulit putih, konsekuensi akan cara pandang tokoh utama tersebut, dan dampak dari padanya. Adapun hasil dari tulisan ini adalah kedua tokoh di dalam novel 5

6 ini tidak berhasil membentuk dan menentang konsep cantik yang mereka percayai cukup lama. Akan tetapi, mereka berhasil menjadi pribadi yang berbeda dengan penjajah mereka dahulu. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Nadya Fathalia Mardhani dari Program Studi Sastra Jepang, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Penelian ini berjudul Penindasan terhadap Perempuan melalui Mitos Kecantikan yang Dialami oleh Tokoh Oba Nobuko dalam Drama Rebound Karya Nagumo Seiichi (2013). Dalam penelitian ini, Mardhani meneliti serial drama yang berjudul Rebound karya Nagumo Seiichi. Dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikemukakan oleh Naomi Wolf, Mardhani membahas penindasan terhadap perempuan yang dialami oleh tokoh Oba Nobuko dalam drama Rebound. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki, institusi tempat kerja, dan dokter kecantikan terhadap tokoh Oba Nobuko. Hal ini menyebabkan tokoh Oba Nobuko mengalami rasa lapar dan anoreksia demi menjadikan tubuhnya kurus. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Elmy Selviana Malik dari Program Studi Ilmu Sastra, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan judul Menjadikan Cantik dalam Novel Memoirs of a Geisha Karya Arthur Golden (2014). Dalam tesisnya ini, Malik meneliti novel Memoirs of a Geisha (MOAG) karya Arthur Golden dengan menggunakan teori mitos kecantikan yang dikembangkan oleh Naomi Wolf. Tesis ini membahas dua hal, yakni bentuk-bentuk kecantikan dan kepentingan yang terdapat di dalam novel tersebut. Hasil 6

7 dari penelitian ini adalah ditemukannya keinginan Arthur Golden untuk mengukuhkan citra kecantikan ideal yang berlaku dalam masyarakat patriarki. Perempuan-perempuan dalam novel MOAG diharuskan memenuhi citra wajah cantik agar dapat dihargai dan memperoleh kehidupan yang layak. Perempuan yang dianggap tidak mampu memenuhi citra wajah yang cantik tersebut tidak akan dihargai lingkungannya dan pada akhirnya akan tersisih. Perempuan dalam novel ini juga belum sepenuhnya merasakan kebebasan meskipun mereka telah memasuki ruang publik dengan berprofesi sebagai geisha. Para perempuan geisha ini diharuskan patuh pada PBQ di lingkungan kerjanya. PBQ menuntut perempuan yang berprofesi sebagai geisha dalam novel MOAG untuk menjadi cantik dengan memakai make up khusus geisha, menata rambutnya, dan mengenakan kimono untuk memenuhi kualifikasi kecantikan geisha. Selain itu, mereka yang berprofesi sebagai geisha juga dituntut untuk memiliki sikap dan pembawaan diri yang feminin. Usaha-usaha yang dilakukan perempuan untuk memenuhi kriteria kecantikan dalam novel MOAG membuat mereka tertindas dan terbelenggu meskipun mereka telah bebas dari mistik domestisitas. Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh La Ode Gusman Nasiru dari Program Studi Ilmu Sastra, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dengan judul Redefinisi Perempuan Cantik dalam Cerpen Ratih Kumala dan Agus Noor (2014). Penelitian ini menggunakan teori mitos kecantikan yang dikembangkan oleh Naomi Wolf. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Melalui TPI dan KYJ kedua pengarang berusaha melepaskan diri dari kekangan mitos kecantikan. Akan tetapi, secara tidak sadar mereka malah 7

8 melanggengkannya melalui pembentukan konsep ideal pada tokoh. Terjadi kontestasi antara keinginan pengarang untuk keluar dari lajur mitos kecantikan dan kenyataan bahwa mereka masih terkurung dalam tangkup mitos kecantikan itu sendiri. Benturan-benturan ide tidak hanya terjadi antara pengarang dan mitos kecantikan, tetapi juga antara tokoh dan pengarang. Demi menghadapi kenyataan yang membelenggu dan menindas tubuh mereka, para tokoh berusaha untuk meruntuhkan konsep ideal yang telah diredefinisi oleh pengarang. Hasil akhirnya, kontestasi dan benturan tersebut semakin memperkukuh kenyataan bahwa konsep cantik ideal hanyalah sebentuk ide yang nisbi belaka. Penelitian kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Annisa Lazuardi Rahma dari Program Studi Sastra Prancis, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya dengan judul Mitos Kecantikan dalam Dongeng Bergambar La Belle Au Bois Dormant dan La Belle Et La Bete (2015). Dalam skripsinya ini, Rahma meneliti dua dongeng bergambar, yaitu La Belle Au Bois Dormant karya Charles Perrault dan La Belle et La Bete karya Jeanne Marie Le Prince de Beaumont dengan teori mitos yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Penelitian ini membahas dua hal, yakni makna yang terkandung dalam mitos kecantikan yang ditampilkan dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat Prancis pada abad XVI- XVII yang melandasi perwujudan gambaran kecantikan tokoh utama. Adapun hasil dari penelitian ini adalah mitos kecantikan yang ditampilkan melalui penggambaran nilai-nilai kecantikan tokoh utama. Kecantikan yang dimaksud di sini adalah kecantikan fisik yang meliputi: bentuk wajah, muda, tubuh ramping, tinggi, kulit putih 8

9 mulus, hidung mancung, bibir penuh, dan lain sebagainya. Mitos kecantikan yang ditampilkan tersebut merupakan bentuk perwujudan dari nilai-nilai dominan yang berlaku dalam masyarakat Prancis pada abad XVI-XVII. Nilai yang dominan tersebut adalah pemujaan terhadap nilai-nilai kesempurnaan manusia dan juga pencarian akan keindahan, keagungan, dan kemegahan. Selain itu, penelitian yang berkaitan dengan novel Maya juga pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan oleh Siti Istiqomah dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Penelitian dengan judul Fenomena Batu Akik pada Masa Orde Baru di Masyarakat Gunung Kidul dalam Novel Maya Karya Ayu Utami: Kajian Antropologi Sastra (2015) ini menggunakan teori antropologi sastra sebagai alat bedahnya dan menggunakan metode deskriptif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya budaya-budaya Jawa yang terdapat di dalam novel Maya. Salah satu budaya tersebut adalah adanya fenomena batu akik yang dihubungkan dengan simbol kekuasaan Soeharto. Penulis juga menemukan sebuah resensi novel Maya yang dimuat dalam salah satu surat kabar. Stebby Julionatan menulis artikel mengenai buku ini dalam surat kabar Harian Tribun Jogja edisi 9 Februari Menurutnya, dalam novel ini, Ayu Utami mencoba untuk menggali sejarah-sejarah yang terjadi di Indonesia, mulai dari sejarah mengenai Candi Prambanan sampai kisah runtuhnya masa Orde Baru di Indonesia. Melalui novel ini, Ayu Utami berusaha melawan lupa akan sejarah-sejarah kelam Indonesia. Dari tinjauan pustaka yang telah dilakukan dapat dimungkinkan bahwa penelitian yang membahas perihal mitos kecantikan dalam novel Maya karya Ayu 9

10 Utami belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya. 1.5 Landasan Teori Semiotika Penelitian ini akan menggunakan teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Dalam bukunya yang berjudul Mitologi, mula-mula Barthes menjelaskan perihal mitos. Barthes (2015: ) mengungkapkan bahwa mitos merupakan sebuah sistem komunikasi. Ia merupakan sebuah pesan. Mitos tak bisa menjadi objek, konsep, atau ide, tetapi mitos merupakan cara penandaan itu sendiri. Segala sesuatu dapat menjadi mitos apabila disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara ia mengutarakan mitos itu sendiri. Pada dasarnya, segala sesuatu tidaklah diekspresikan dalam waktu yang bersamaan, tetapi beberapa objek menjadi mangsa wicara mitis untuk sementara waktu, lalu sirna, yang lain menggeser tempatnya dan memperoleh status sebagai mitos (Barthes, 2015: ). Mitos memiliki landasan historis karena mitos merupakan tipe wicara yang dipilih oleh sejarah. Ia tidak mungkin lahir begitu saja. Wicara jenis ini adalah sebuah pesan. Ia tidak terbatas pada wicara lisan saja, tetapi juga bisa terdiri dari berbagai bentuk tulisan atau representasi yang bisa menjadi pendukung wicara mitis. Wicara mitis terbentuk oleh bahan-bahan yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok untuk komunikasi. Itu semua karena bahan dari mitos menggunakan sebuah kesadaran akan penandaan sehingga seseorang bisa berpikir tentang bahan-bahan 10

11 tersebut dengan mengabaikan substansinya. Mitos tidak akan pernah dapat dihancurkan, tetapi mitos dapat ditaklukkan. Barthes (2015:197) mengatakan bahwa teramat sulit menaklukkan mitos dari dalam karena seseorang yang dapat lari dari kuncian satu mitos akan menjadi mangsa mitos yang lainnya. Senjata yang paling ampuh untuk melawan sebuah mitos adalah memitoskan mitos itu kembali dan menghasilkan sebuah mitos artifisial yang baru. Mitos pada dasarnya adalah salah satu wilayah dari sebuah ilmu yang umum, yakni ilmu semiotika. Barthes (2012:v) mengungkapkan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda. Dalam bahasannya mengenai tanda, Barthes mengambil pernyataan Saussure. Menurut de Saussure (1993:147), tanda memiliki tiga wajah, yakni penanda atau citra akustik, petanda atau konsep, dan tanda. Ikatan antara penanda dan petanda tidak bersifat alamiah, tetapi hubungan keduanya merupakan hubungan yang arbitrer. Yang dimaksud arbitrer di sini adalah berdasarkan kesepakatan suatu masyarakat tertentu. Dengan menggunakan konsep yang diambil dari Saussure mengenai tanda tersebut, Barthes mencoba mengembangkannya untuk menganalisis gejala-gejala budaya yang terdapat di dalam masyarakat, seperti majalah, gulat, dan lain sebagainya. Mitos bekerja pada dua tataran sistem, yakni sistem semiotika tingkat pertama dan sistem semiotika tingkat kedua. Jika digambarkan, diagramnya adalah sebagai berikut. 11

12 1. Penanda 2. Petanda Bahasa 3. Tanda 1. Penanda (Bentuk) 2. (Konsep) Mitos 3. (Penandaan) Akan tetapi, untuk menyebut sistem semiotika tingkat kedua, Barthes menggunakan istilah lain, yakni istilah bentuk (form), konsep (concept) dan penandaan (signification). Istilah bentuk (form) sejajar dengan penanda pada tingkat pertama, konsep (concept) sejajar dengan petanda pada tingkat pertama, dan penandaan (signification) sejajar dengan tanda pada tingkat pertama. Sunardi (2004:89) mengungkapkan bahwa pembedaan ini dilakukan oleh Barthes karena proses penandaan (signification) dalam semiotika tidak persis sama. Sistem kedua memang mengambil model tingkat pertama, tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pada sistem kedua. Tanda dalam sistem tataran tingkat pertama dijadikan landasan oleh mitos untuk membentuk sistem semiotik tingkat kedua. Penanda mitos berdiri dalam keadaan rancu. Pada saat yang bersamaan, ia adalah makna sekaligus bentuk. Di salah satu sisi penuh, di lain sisi kosong. Sebagai makna, penanda telah memostulatkan adanya sebuah pembacaan atau pemahaman. Oleh karena itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada tataran sistem semiotika tingkat kedua, Barthes memperkenalkan istilah baru, yakni bentuk (form) dan konsep (concept). Penggunaan istilah baru pada tataran sistem tingkat kedua ini 12

13 bertujuan untuk menghindari kebingungan. Sebab lainnya adalah karena proses pemaknaan dalam sistem semiotik tingkat pertama dan sistem semiotik tingkat kedua tidak sama persis (Sunardi, 2004:89) Mitos Kecantikan Setelah gerakan feminisme melampaui dua gelombang, perempuan telah berhasil mendapatkan hak-hak yang diperjuangkan oleh mereka, yaitu hak berpolitik, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan keluar dari area domestik yang mengungkung mereka. Akan tetapi, setelah perempuan dapat keluar dari wilayah peran yang melabelinya, perempuan masih belum dapat merasakan kebebasan yang diinginkannya. Perempuan masih mempermasalahkan isu yang tidak penting, yakni memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kecantikan fisik (Wolf, 2004:23 24). Hal ini disebabkan oleh adanya kontruksi mengenai kecantikan yang terdapat di masyarakat sehingga membuat perempuan merasa perlu memerhatikan bentuk fisik mereka. Kecantikan bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan paten, bahkan tidak ada penampilan perempuan yang sungguh-sungguh dianggap benar. Semuanya begitu cair bergantung dengan budaya setempat (Wolf, 2004:552). Bukan hanya itu, kecantikan pun berubah dari waktu ke waktu. Perubahan konsep kecantikan berdasarkan waktu ini dapat dilihat dari penelitian Marwick (2005:x) yang mencatat bahwa konsep kecantikan di Eropa pada abad kedua puluh satu berbeda dengan konsep kecantikan pada abad kesembilan belas. 13

14 Kecantikan tidak hanya berkutat pada bentuk fisik perempuan. Akan tetapi, kecantikan juga mencakup pada hal-hal yang berupa nonfisik, seperti kepribadian, tingkah laku, bakat, sikap, dan lain sebagainya. Inilah yang disebut sebagai inner beauty atau kecantikan nonfisik. Kecantikan jenis ini pun dipengaruhi oleh latar budaya yang melingkupinya. Dalam penelitiannya terhadap dunia penyiaran di Amerika, Wolf (2004:70) mengungkapkan bahwa perempuan dituntut untuk tampil cantik dan memiliki perilaku yang cantik. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa kecantikan jenis ini juga menjadi penting bagi perempuan. Perempuan dianggap sempurna ketika ia mempunyai kecantikan secara fisik dan juga nonfisik. Anggapan ini tidak bisa dilepaskan dari anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa kecantikan fisik selalu berbanding lurus dengan kecantikan nonfisik. Perempuan dituntut terus-menerus untuk mendapatkan kedua jenis kecantikan tersebut. Kemudian, tuntutan ini membuat perempuan terjebak dengan apa yang disebut sebagai mitos kecantikan. Mitos kecantikan merupakan alat politis yang digunakan untuk menentang kemajuan perempuan (Wolf, 2004:25). Mitos kecantikan ini bergerak dan memperluas kekuasaannya sehingga menjadi semacam kontrol sosial terhadap perempuan (Wolf, 2004:26). Akan tetapi, mitos ini bukan semata-mata tentang perempuan, tetapi mitos ini lebih cenderung merupakan persoalan institusi lakilaki dan kekuasaan institusional (Wolf, 2004:31 32). Hadirnya mitos kecantikan yang mengontrol perempuan membuat perempuan satu dengan yang lainnya saling cemburu dan bersaing untuk mendapatkan kecantikan yang diinginkannya. Persaingan 14

15 antarperempuan ini telah dijadikan bagian dari mitos yang membuat seolah-olah perempuan terpisah satu sama lainnya (Wolf, 2004:32). Sejak revolusi industri, ide tentang kecantikan pun berkembang bersamaan dengan ide tentang uang sehingga keduanya nyata-nyata menjadi paralel dalam ekonomi konsumen. Ketika perempuan sudah berhasil memasuki dunia kerja, kecantikan berubah menjadi sebuah kekayaan. Mitos kecantikan menjadi material untuk memperlemah posisi kaum perempuan dalam menuntut akses pada kekuasaan. Mitos kecantikan menghubungkan energi yang dimiliki perempuan dengan mesin kekuasaan sembari mengubah mesin tersebut sesedikit mungkin agar dapat mengakomodasi mereka (Wolf, 2004:43 44). Pada dasarnya, dengan menggunakan mitos kecantikan, mesin kekuasaan mengeksploitasi perempuan untuk kepentingan produksi. Ia mendeteksi kontribusi perempuan dalam sebuah kode agar sesuai dengan struktur kekuasaan. Mitos kecantikan juga digunakan untuk melengkapi rasa takut. Dari kacamata kekuasaan, rasa takut ini digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Selain itu, mitos ini pun membuat beberapa kebohongan untuk menggembosi perempuan. Bentuk-bentuk kebohongan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, kecantikan telah didefinisikan sebagai kualifikasi pekerjaan. Kedua, tujuan dari kualifikasi tersebut harus ditutupi. Ketiga, pikiran perempuan terus diinjeksi bahwa kecantikan merupakan suatu hal yang penting baginya (Wolf, 2004:58). Mitos kecantikan mempertentangkan kebebasan baru yang diperoleh perempuan terhadap kehidupan perempuan dengan cara membalikkan batasan sosial secara langsung hanya sebatas tubuh dan wajah perempuan saja (Wolf, 2004:543). 15

16 Dengan melihat hal tersebut dapat dilihat bahwa pihak yang dirugikan adalah perempuan. Perempuan hanya dilihat sebagai sebuah properti yang menjadi berharga ketika ia memiliki fisik yang cantik sedangkan otak dan pemikirannya tidak dianggap ada. Mitos kecantikan melanggengkan adanya anggapan bahwa nilai seorang perempuan adalah kecantikan. Adanya anggapan ini menyebabkan para perempuan menginginkan untuk tampil cantik dan laki-laki mendapatkan perempuan yang cantik. Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang alamiah karena berkaitan dengan hal yang bersifat biologis, seksual, dan evolusioner (Wolf, 2004:29). Di sini terlihat adanya hubungan antara seksualitas dan juga kecantikan. Selama ini, tubuh yang cantik dianggap sebagai tubuh yang dapat memuaskan dalam hal seksualitas, padahal dorongan seksual merupakan sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat (Wolf, 2004:255). Dalam pengamatan Wolf (2004:296) telah terjadi ketidaksimetrian dalam pendidikan seksual yang mempertahankan kekuatan laki-laki dalam mitos kecantikan. Mitos kecantikan juga telah membuat perempuan merasa tidak cantik sehingga kepercayaan diri mereka menjadi lemah, padahal pada dasarnya semua perempuan itu cantik (Wolf, 2004:545). Akan tetapi, perempuan cantik harus merasa yakin dengan kecantikan yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk lepas dari belenggu tersebut, perempuan harus dapat melampaui mitos kecantikan yang ada. Melampaui mitos kecantikan artinya perempuan dapat memisahkan hal-hal yang ada di sekeliling mitos kecantikan dan hal-hal yang memenjarakan perempuan dari mitos sendiri, yaitu seksualitas perempuan, keterikatan antarperempuan, kenikmatan visual, kesenangan sensual dalam material, bentuk, dan warna (Wolf, 2004:545). Oleh karena itu, perlu 16

17 dibuat mitos tandingan untuk melawan mitos kecantikan yang berkembang di masyarakat. Dalam bukunya, Wolf pun mengajak para perempuan untuk melampaui mitos kecantikan. Melampaui mitos kecantikan bukan berarti menyerang para perempuan yang berada dalam posisi untung, tetapi melampaui mitos kecantikan memosisikan perempuan pada kondisi yang lebih percaya diri dengan bentuk tubuh yang dimilikinya. Hal ini ditunjukkan dari keprihatinan Wolf mengenai pengendalian yang dilakukan oleh pelbagai konsep mengenai kecantikan ideal tentang kesempurnaan perempuan. Taktik ini digerakkan dengan cara mengambil apa yang terbaik dari kebudayaan perempuan dan menggabungkannya dengan tuntutan represif dari masyarakat yang didominasi laki-laki (Wolf, 2004:546). Oleh karena itu, perempuan harus dapat mengambil alih dirinya sendiri. Perempuan dituntut untuk menjadi independen. Dengan menjadi independen, perempuan akan terbebas dari mitos kecantikan ketika ia dapat memilih untuk menggunakan wajah, tubuh, dan pakaian sebagai satu bentuk sederhana dari ekspresi diri (Wolf, 2004:505). Hal ini disebabkan oleh subjektivitas manusia dalam memandang suatu penampilan berbeda-beda. Oleh karena itu, penampilan perempuan tidak ada yang sungguh-sungguh benar. Akan tetapi, dewasa ini, mitos kecantikan tidak hanya beroperasi pada perempuan semata. Dalam kata pengantar edisi terbarunya, Wolf (2004:18) mengatakan bahwa serangan mitos kecantikan tidak hanya berhenti menyerang perempuan, tetapi juga menyerang laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki pun saat ini 17

18 menjadi korban dari adanya mitos kecantikan ini. Mitos kecantikan telah bergerak dari sisi dalam subkultur gay menuju ke masyarakat suburban (Wolf, 2004:19). Lakilaki pun banyak yang merasa cemas dan peduli terhadap penampilannya. Mereka banyak yang melakukan fitness untuk membentuk tubuh mereka, mengganti gaya rambut sesuai tren, dan mengikuti model fesyen terkini. Tidak berhenti sampai di situ, penelitian Wolf (2004:19) mengungkapkan bahwa sepertiga pasar operasi kosmetik ditujukan oleh laki-laki Ideologi Dalam bukunya, Mitologi, Barthes (2015: ) menggunakan semiotika sebagai alat untuk melakukan kritik ideologi terhadap budaya massa. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa semiotika dengan ideologi merupakan dua teori yang berbeda. Keduanya pun memiliki metode yang berbeda dalam analisisnya. Oleh karena itu, diperlukan teori ideologi untuk membongkar ideologi yang terdapat di dalam teks. Sebagai salah satu artefak media, novel pun termasuk dalam produk dari ideologi. Tujuan dari analisis ideologi adalah untuk menemukan makna dari sistem keyakinan yang tersembunyi di dalam sebuah teks (Stoke, 2006:83). Analisis ideologi diperlukan untuk mencari makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh teks. Ada banyak pakar yang mengungkapkan definisi mengenai ideologi. Akan tetapi, pada penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep ideologi yang dimaksud oleh Naomi Wolf. Meskipun Wolf tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai ideologi, penulis akan mencoba memformulasikan definisi ideologi yang dimaksud olehnya. 18

19 Meskipun Wolf tidak memberikan definisi secara eksplisit mengenai ideologi, berulang kali Wolf menggunakan istilah tersebut. Wolf (2004:26) mengatakan bahwa ideologi kecantikan merupakan ideologi penghabisan yang masih menyisakan kekuatan untuk mengendalikan para perempuan hingga mereka tidak memiliki kontrol. Ideologi kecantikan ini diyakini oleh masyarakat dan telah menjadi sebuah kontrol sosial. Tidak hanya itu, ideologi ini menciptakan stereotipe-stereotipe tentang kecantikan ideal di dalam masyarakat. Ideologi ini dibentuk oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah media. Dalam pengamatannya terhadap dunia majalah, Wolf (2004: ) mengungkapkan bahwa majalah telah menciptakan makna kecantikan ideal yang hampir seluruhnya artifisial. Kemudian, konsep yang diciptakan oleh majalah ini menjadikan imajinasi tentang kecantikan ideal yang diyakini oleh perempuan dan masyarakat sebagai sesuatu yang sangat penting (Wolf, 2004:116). Para perempuan pun mengamini konsep ini dan ingin menjadikan konsep ini sebagai sesuatu yang nyata. Gagasan yang dibuat oleh majalah tersebut dipercaya dan dipegang teguh oleh para perempuan. Dari pemaparan singkat tersebut, penulis mencoba memformulasikan definisi ideologi yang dimaksud oleh Wolf, yakni sebagai sebuah sistem gagasan yang diyakini dan diharapkan oleh individu atau sekelompok individu tertentu. Penciptaan gagasan ini menggunakan mekanisme tertentu sesuai kepentingan suatu pihak tertentu. Dalam kasus majalah di atas membuktikan bahwa majalah telah menciptakan suatu gagasan tertentu mengenai kecantikan ideal. 19

20 1.6 Metode Penelitian Hal yang dilakukan pertama kali dalam penelitian ini adalah menentukan objek material dan objek formal. Objek material dalam penelitian ini adalah novel Maya karya Ayu Utami sedangkan objek formalnya adalah mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Adapun metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 2001:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Ada dua tahap dalam penelitian ini. Tahap yang pertama adalah tahap pengumpulan data. Pada tahap ini, penulis akan mengumpulkan data-data primer dan data-data sekunder. Data-data primer meliputi berbagai data yang berhubungan dengan kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya baik itu berbentuk dialog antartokoh, deskripsi, maupun narasi. Sementara itu, data-data sekunder diperoleh dari berbagai macam buku-buku, artikel-artikel, dan ulasan-ulasan yang berkaitan dengan konsepkonsep mengenai kecantikan. Data-data sekunder digunakan untuk mendukung proses analisis yang dilakukan terhadap data primer. Tahap yang kedua adalah tahap analisis data. Pada tahap ini, langkah pertama yang akan dilakukan oleh penulis adalah melakukan analisis dengan menggunakan teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mitos terdiri dari dua tataran sistem semiotika. Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah menganalisis sistem semiotika tingkat pertama. 20

21 Tataran ini terdiri atas tanda, penanda, dan petanda. Tanda yang terdapat di dalam sistem ini dijadikan sebagai penanda untuk melakukan analisis terhadap sistem semiotika tingkat kedua. Pada tahap ini, penulis akan melakukan identifikasi terhadap penanda-penanda kecantikan yang terdapat di dalam novel Maya sehingga menciptakan suatu tanda. Setelah itu, dengan menggunakan teori mitos kecantikan akan dianalisis pula tekanan-tekanan yang dialami oleh para tokoh karena adanya mitos kecantikan tersebut. Setelah melakukan analisis pada sistem semiotika tingkat pertama, langkah selanjutnya adalah menganalisis sistem semiotika tingkat kedua. Tataran ini terdiri atas bentuk (yang merupakan tanda pada tingkat pertama), konsep, dan penandaan. Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan makna pada sistem semiotika tingkat kedua. Pada tahap ini, penulis akan mencari makna yang terkandung di balik mitos kecantikan yang terdapat di dalam novel tersebut. Selain itu, penelitian ini juga akan menelusuri ideologi dominan yang terdapat di dalam teks. Penelusuran ideologi dominan dilakukan untuk mencari pesan yang terdapat di dalam novel tersebut. Langkah terakhir adalah menyajikan hasil penelitian. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II adalah penanda-penanda kecantikan dalam novel Maya. Bab III adalah tekanan mitos 21

22 kecantikan di dalam novel Maya. Bab IV adalah makna di balik mitos kecantikan. Bab V adalah kesimpulan. 22

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan tentang perempuan pada saat ini masih menjadi perbincangan yang aktual dan tidak ada habisnya. Permasalahan berkaitan dengan perempuan seperti yang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. kecantikan mengopresi kedua tokoh dengan bentuk intimidasi yang rapi dan

BAB IV PENUTUP. kecantikan mengopresi kedua tokoh dengan bentuk intimidasi yang rapi dan BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Membicarakan dua tokoh dalam tesis ini berarti juga membicarakan bagaimana hubungan mereka sebagai individu hasil kreasi pengarang dengan mitos kecantikan. Melalui tebaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya seni tulis yang diciptakan seorang pengarang sebagai bentuk aspirasi, apresiasi, dan pandangannya terhadap suatu peristiwa dan perasaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 9 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.3. Saussure: Organisasi Tanda Menurut Saussure, ada dua cara pengoganisasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. terlihat. Seperti yang dikutip dalam buku Feminisme : Sebuah Kata Hati bahwa

BAB I. Pendahuluan. terlihat. Seperti yang dikutip dalam buku Feminisme : Sebuah Kata Hati bahwa BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Peralatan sang tuan tidak akan dapat membongkar rumah sang tuan. Audre Lorde. Secanggih apapun kita peralatan yang kita punyai tidak akan dapat membongkar cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada semua masyarakat (Chamamah-Soeratno dalam Jabrohim, 2003:9). Karya sastra merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa peran perempuan pengarang dalam sejarah sastra Indonesia masih sukar untuk dipetakan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang pengarang akan mencoba menggambarkan realitas yang ada ke dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran pribadinya. Dengan kedalaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Citra tokoh..., Vidya Dwina Paramita, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Citra tokoh..., Vidya Dwina Paramita, FIB UI, 2009 12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak dengan segala problematika yang melingkupinya merupakan salah satu topik yang tidak ada habisnya dibahas. Dalam diri seorang anak, melekat hak untuk mendapat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media penyampaian informasi. Kekuatan media massa televisi paling mempunyai kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun lakon. Karya sastra mengungkapkan makna secara tidak langsung. Karya sastra merupakan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat umumnya memahami wacana sebagai perbincangan terkait topik tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah On ne naît pas femme: on le devient seorang perempuan tidak lahir perempuan, tetapi menjadi perempuan ujar Beauvoir dalam bukunya yang terkenal Le Deuxième

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperankan oleh tokoh cerita. Kepribadian yang dimiliki para tokoh dalam cerita

BAB I PENDAHULUAN. diperankan oleh tokoh cerita. Kepribadian yang dimiliki para tokoh dalam cerita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenyataan hidup seseorang dapat ditemui dalam karya sastra yang diperankan oleh tokoh cerita. Kepribadian yang dimiliki para tokoh dalam cerita menarik untuk dikaji.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Novel Surga Yang Tak Dirindukan adalah karya Asma Nadia. Penelitian ini memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pengalaman dan imajinasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil ekspresi isi jiwa pengarangnya. Melalui karyanya pengarang mencurahkan isi jiwanya ke dalam tulisan yang bermediumkan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ekspresi kreatif untuk menuangkan ide, gagasan, ataupun perasaan seseorang dari apa yang dialaminya. Ekspresi kreatif tersebut akan senantiasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada suatu scene ada 9 orang perempuan dengan penampilan yang hampir sama yaitu putih, bertubuh mungil, rambut panjang, dan sebagian besar berambut lurus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu institusi budaya yang mempengaruhi dan dipengaruhi kenyataan sosial. Seorang seniman atau pengarang akan melibatkan sebuah emosi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan. Seorang perempuan berlaku lemah lembut dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksualitas selalu menjadi persoalan menarik dimana ia acap kali dipandang sebagai hal negatif karena kontrol yang dilakukan oleh institusi-institusi di masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memang tidak luput dari masalah. Permasalahan tersebut meliputi masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dan sesama, interaksinya dengan diri

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, suatu metode analisis dengan penguraian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika menyuguhkan suatu karya sastra, dia akan memilih kata-kata yang

BAB I PENDAHULUAN. ketika menyuguhkan suatu karya sastra, dia akan memilih kata-kata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan dunia imajinasi yang memberikan makna tertentu kepada pembaca. Karya sastra mampu mengajak pembaca berimajinasi sesuai dengan konteks

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan, BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra, dalam hal ini novel, ditulis berdasarkan kekayaan pengalaman pengarang mengamati realitas. Pernyataan ini pernah diungkapkan oleh Teeuw (1981:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. Untuk mempermudah penelitian, maka objek kajian tersebut akan ditelisik dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin berkembangnya zaman, semakin beragam pula persoalan yang muncul dan mengemuka. Barangkali, isu perempuan menjadi isu yang tidak pernah habis dibahas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra Bali Modern dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam bentuk puisi, cerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dari luapan emosional. Karya sastra tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif pada sebuah karya seni yang tertulis atau tercetak (Wellek 1990: 3). Sastra merupakan karya imajinatif yang tercipta dari luapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan apa yang ingin diutarakan pengarang. Hal-hal tersebut dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang fenomena kesusastraan tentu tidak lepas dari kemunculannya. Hal ini disebabkan makna yang tersembunyi dalam karya sastra, tidak lepas dari maksud pengarang.

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. memang tidak dijadikan tema utama. Tetapi unsur-unsur kekerasan tersebut seolah

BAB IV KESIMPULAN. memang tidak dijadikan tema utama. Tetapi unsur-unsur kekerasan tersebut seolah BAB IV KESIMPULAN Unsur-unsur kekerasan yang dapat ditemukan dalam sebuah cerita dongeng memang tidak dijadikan tema utama. Tetapi unsur-unsur kekerasan tersebut seolah tidak bisa dilepaskan dari sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai

Lebih terperinci

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Busana adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas. Dari penampilan luar, yang dengannya orang menempatkan diri mereka terpisah dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan masyarakat yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang andal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga di mata suaminya sebagai seorang istri tanpa kehadiran tahi lalat itu.

BAB I PENDAHULUAN. harga di mata suaminya sebagai seorang istri tanpa kehadiran tahi lalat itu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aku sangat jatuh cinta pada istriku karena tahi lalat itu. Aku menangis, tiba-tiba merasa menyesal telah membuang tahi lalat itu. (Ratih Kumala, 2010) Dalam budaya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Di negara-negara yang banyak mengalami pergulatan politik, novel menjadi salah satu media penyampai kritik. Di Indonesia, istilah jurnalisme dibungkam sastra melawan yang dilontarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu BAB IV ANALISIS DATA A. TEMUAN PENELITIAN Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu dengan proses penyeleksian atas tanda-tanda yang ada dengan menggaris bawahi hal-hal tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. sastra memiliki kekhasan dari pengarangnya masing-masing. Hal inilah yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu karya yang sifatnya estetik. Karya sastra merupakan suatu karya atau ciptaan yang disampaikan secara komunikatif oleh penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

PEREMPUAN YANG MERESISTENSI BUDAYA PATRIARKI

PEREMPUAN YANG MERESISTENSI BUDAYA PATRIARKI RESENSI BUKU PEREMPUAN YANG MERESISTENSI BUDAYA PATRIARKI Nia Kurnia Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung 40113, Ponsel: 081321891100, Pos-el: sikaniarahma@yahoo.com Identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir melalui pengarang-pengarang yang cerdas di kalangan masyarakat.sastra muncul karena pengaruh dari zaman ke zaman, mulai dari sastra lama kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio.

BAB I PENDAHULUAN. fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kata fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Inggris fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bandingan melibatkan studi teks-teks antarkultur atau budaya. Terdapat hal penting yang merupakan pola hubungan kesastraan. Bagian tersebut seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan karya seni kreatif yang menjadikan manusia dengan segala kompleks persoalan hidup sebagai objeknya, dan bahasa sebagai mediumnya. Peristiwa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Drama adalah salah satu bentuk sastra yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kumpulan surat Habis gelap Terbitlah Terang ditulis oleh R.A Kartini pada

BAB I PENDAHULUAN. Kumpulan surat Habis gelap Terbitlah Terang ditulis oleh R.A Kartini pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kumpulan surat Habis gelap Terbitlah Terang ditulis oleh R.A Kartini pada tahun 1911. Kumpulan surat tersebut pertama kali dibukukan oleh sahabat pena R.A Kartini yang

Lebih terperinci

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parfum Casablanca merupakan produk perawatan tubuh yang berupa body spray. Melalui kegiatan promosi pada iklan di televisi, Casablanca ingin menyampaikan pesan bahwa

Lebih terperinci

Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu

Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu Oleh: Esa Putri Yohana 1 Abstrak Skripsi ini berjudul Trauma Tokoh Nayla dalam Novel Nayla Karya Djenar Maesa Ayu. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibahas. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibahas. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kajian mengenai bahasa adalah kajian yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan ide

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui berbagai kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai lingkungan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Analisis melalu komponen-komponen visual yang ditemukan pada karakter sticker LINE messenger Chocolatos pada tataran denotatif dan konotatif telah selesai dijelaskan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sisi-sisi kehidupan manusia dan memuat kebenaran-kebenaran kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di dunia sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha

BAB V PENUTUP. Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Karya-karya Suparto Brata yang berjudul Ser! Ser! Plong!, Mbok Randha Saka Jogja, Cocak Nguntal Elo, dan Nona Sekretaris memperlihatkan gagasan tentang kehidupan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Perempuan diberbagai media digambarkan sebagai sosok yang cantik, putih, langsing, dan sangat feminin. Masyarakat memahami konstruksi perempuan yang cantik

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui BAB IV KESIMPULAN 4.1 Simpulan Hasil Analisis Novel Kinanti karya Margareth Widhy Pratiwi merekam fenomenafenomena atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui novelnya yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan makna atau pesan yang terkandung di dalamnya. Tema dan ide cerita dalam novel juga sangat beragam, misalnya, yang

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan makna atau pesan yang terkandung di dalamnya. Tema dan ide cerita dalam novel juga sangat beragam, misalnya, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Novel merupakan salah satu karya sastra yang tidak asing bagi pembaca. Novel hadir sebagai alat untuk merepresentasikan kehidupan manusia. Pengalaman kemanusiaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian

PENDAHULUAN. sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan imajinasi pengarang yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Imajinasi pengarang dituangkan dalam bentuk bahasa yang kemudian dinikmati oleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan

I. PENDAHULUAN. perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Membicarakan masalah perempuan tidak ada habisnya, sejak dulu wacana tentang perempuan menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Terlebih lagi dengan munculnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis danpendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian

Lebih terperinci