Sabtu malam, saat hujan rintik-rintik menyiram kota Samarinda, Mutiah menonton

Transkripsi

1 1 Menyesalah Lebih Dahulu Sabtu malam, saat hujan rintik-rintik menyiram kota Samarinda, Mutiah menonton televisi yang sedang menayangkan bintang film belia nan cantik dalam sebuah acara infotainment. Seperti juga banyak wanita yang lainnya dengan status ibu muda seperti dirinya, menonton televisi adalah bagian terpenting dalam mengisi hari-harinya. Tidak menonton televisi? Bisa ketinggalan zaman. Di televisi banyak sekali informasi yang didapatkan. Mulai dari soal dapur, soal hukum dan terutama hiburan. kata Mutiah menjawab pertanyaan suaminya. Suami Mutiah memang setuju-setuju saja pendapat isterinya. Tapi, kalau yang ditonton lebih banyak hiburan, maka itu lebih banyak mudharatnya. Menurut suaminya, tayangan hiburan dapat membuat penontonnya untuk berprilaku konsumtif. Selain isinya yang kadang kurang mendidik, penontonnya bisa pula ingin meniru tas yang ditenteng, model baju yang dikenakan, gaya rambut, gaya ngomong, gaya canda, yang menurut suaminya tidak semua pantas ditiru. Ini lain,pa! kata Mutiah membela diri. Ini soal sikap dan prinsip hidup. Lihat dia bilang, hidup itu tak usah ngoyo. Mengalir saja... kata Mutiah lagi seraya mengagumi cara artis itu memilih kata saat berwawancara. Pilihan katanya bagus, logikanya terang-benderang. Mutiah lalu meminta suaminya memperhatikan bagaimana artis itu menjawab ketika ditanya tentang kariernya. Bintang muda belia ini mengatakan, Saya bekerja saja. Biarlah hidup mengalir apa adanya, bagai air.

2 2 Benarkah ucapan artis itu? Bijakkah menjalani hidup ini seperti air. Biarkan hidup ini mengalir seperti air? Di mana bagusnya? Di mana benarnya? Kalau hidup harus seperti air yang mengalir maka kita tidak boleh menentang arus. Kalau kemudian kita mengikuti arus dan ternyata arus tersebut membawa kita hanyut ke lautan dan kita tidak tahu mau kemana? Sesat kita, Mutiah kata suaminya. Orang orang indonesia akrab dengan pepatah nenek moyang, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Apa yang dikatakan nenek moyang itu sangat berguna dan aktual sepanjang jaman. Dalam kehidupan ini orang harus berhitung sebanyak-banyaknya dan secermatcermatnya supaya saat meniti kehidupan ia penuh perhitungan. Kita tidak bisa mengikuti kehidupan begitu saja sebagaimana ungkapan mengalir seperti air. Nenek moyang mengingatkan kita, jangan terlalu mengikuti arus, karena tidak selamanya arus itu menyelamatkan. Banyak mahluk hidup berjaya dan memperoleh kekuatan dahsyat justru karena melawan arus. Ikan marlin mengembangkan hidupnya dan beranak pinak dengan jalan melawan arus. Ikan gurame menjadi berotot kuat dan berdaging liat karena suka melawan arus. Karena itulah, ungkapan mengalir bagai air itu bagus, tapi dalam situasi tertentu. Dalam situasi lain, melawan arus juga baik. Menurut suaminya, sebagai seorang makhluk yang diberi akal, maka tidak ada satu jalan yang paling baik. Banyak jalan yang berliku. Banyak jalan yang berlubang. Banyak jalan yang buntu. Banyak jalan yang sesat.

3 3 Melawan arus memang melelahkan. Tapi kalau itu harus dilakukan demi kehidupan yang lebih baik, mengapa tidak? Mengikuti arus memang menyenangkan. Tapi kalau arus air malah mengarah ke marabahaya, nestapa, duka dan sengsatra, maka larut karena mengikuti arus jauh lebih berbahaya. Untuk itu, kita harus mampu berhitung secara cermat. Berpikir secara cerdas. Menyesal lebih dahulu, sebab menyesal kemudian tak berguna. Sebagai orang yang beragama kita percaya adanya takdir. Tetapi Tuhan juga mengingatkan akan upaya yang harus dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang terbaik. Kehidupan yang lebih baik tidak akan pernah datang sendiri. Manusia disuruh berusaha. Ada banyak usaha yang bisa dilakukan sepanjang manusia mau menggunakan kemampuannya akalnya untuk berpikir. Dengan berpikir itulah manusia dapat merencanakan segala sesuatu dalam hidupnya. Dengan akal manusia dapat membuat perhitungan. Perhitungan inilah antara lain yang dimaksud dengan menyesal lebih dahulu. Misalnya, kita ingin anak kita tumbuh menjadi manusia yang berahlaq mulia, cerdas otaknya dan cerdas batinnya. Dengan kecerdasan otaknya dia akan mampu mengarungi kehidupan yang serba kompleks. Seruwet apa pun kehidupan dan tantangan yang menghadang serta sejauh apa pun kemajuan jaman, dengan kecerdasannya dia akan mampu beradaptasi hinga kemudian dapat mengarungi kehidupan yang begitu berat dengan langkah yang ringan. Dan kemudian dengan

4 4 kecerdasan batinnya, dia bisa bertahan di tengah badai tantangan, hambatan, dan godaan yang menimpa dia. Tapi untuk bisa seperti itu, setiap orang harus berhitung dahulu. Harus mendesain masa depanya. Haruskah? Ya, karena kalau tidak punya desain, kita akan jauh dari tujuan hidup. Misalnya, kita berada di Jakarta yang terkenal sibuk dan macet. Kita hendak pergi dari kawasan Grogol ke Mangga Dua. Banyak kendaraan umum yang bisa digunakan. Juga ada beberapa jalan alternatif yang bisa dilalui. Kita tentu mulai menghitung-hitung: kalau naik taksi, kira-kira berangkat jam berapa agar tidak terkena macet hingga biaya taksi tidak terlalu mahal. Kalau naik buskota, biaya memang lebih murah, tapi risikonya berdesak-desakan dan ada kemungkinan kecopetan. Naik ojek mungkin lebih lancar, tapi ongkosnya juga tidak murah. Naik mobil sendiri? Kalau punya, iya bisa. Tapi banyak prasyarat yang harus dipenuhi: punya SIM, surat-surat mobil lengkap, dan mobilnya laik jalan. Kalau tidak, bisa ada masalah: ditangkap polisi atau mobil mogok tengah jalan. Cara-cara berhitung seperti itu membuka kesempatan kepada seseorang untuk menentukan pilihan. Seseorang mengambil satu pilihan untuk meniti kehidupan menuju titik yang hendak dia capai. Ini yang disebut menyesal lebih dahulu. Itulah maknanya kenapa nenek moyang kita mengatakan sesal kemudian tidak berguna. Dalam konteks ini, orangtua hendaknya mendampingi dan membimbing putra-putrinya untuk mencapai tujuan yang mereka dicita-citakan.

5 5 Tapi, jangan otoriter. Harus dirundingkan bersama. Misalnya, Nak, kamu ingin sekolah di mana? Ambil jurusan apa? Ikuti keinginan dan kemampuan anak. Jangan pernah mengatakan, Nak, kamu harus masuk sekolah ini, ambil jurusan itu. Karena, belum tentu itu sesuai dengan keinginan dan kemampuan anak. Orangtua yang bijak adalah yang bisa mengarahkan anak-anaknya untuk mencapai tujuannya. Jangan mentang-mentang penguasa lantas memaksa anaknya mengikuti kehendaknya. Misalnya, anak dipaksa kuliah di Jurusan Ekonomi Universitas Indonesia. Pada semenster pertama mungkin anak dapat mengikuti semua pelajaran. Tetapi memasuki semester II, nilainya jeblok karena ia tidak menyukai pelajarannya. Akhirnya, ini yang sering terjadi, anak diam-diam bolos kuliah. Kalaulah kompensasi dari ketidakkuliahannya itu ke hal-hal yang positif, masih lumayan. Kalau malah ke arah negatif, bagaimana? Itulah penjelasan lain dari apa yang dikatakan nenek moyang, sesal kemudian tidak berguna. Kita juga menyaksikan, banyak anak yang tidak sekolah hanya karena persepsi tertentu orangtuanya. Tidak sedikit orangtua berkata kepada anaknya, Lihat si Nanang, lulus SMA hanya jadi tukang kayu. Tuh si Ojan, sarjana, tapi jadi tukang ojek. Lihat juga si Amir, capek-capek sekolah, eh, akhirnya hanya jadi tukang semir. Persepsi orangtua yang seperti ini didasari atas sikap mengambil contoh yang tidak baik. Padahal, orang-orang yang dicontohkan bersifat kasuistis dan tidak dapat membantu anaknya merajut masa depan yang baik. Seharusnya, bila memberi contoh kepada anak, berilah yang baik-baik.

6 6 Orang-orang yang tidak berhitung atau tidak menyesal terlebih dahulu dan tidak mendesain keinginan-keinginan baik untuk jangka pendek atau jangka panjangnya, nantinya akan menyesal. Ini gejala yang banyak terjadi di Indonesia. Perhitungan yang cermat adalah perhitungan yang mampu melihat potensi pada dirinya sendiri. Selain diri sendiri, yang dapat melihat potensi itu adalah orang-orang terdekat, terutama orangtua. Ada sebuah ilustrasi menarik, tentang sebuah keluarga dengan satu anak yang tinggal di desa nelayan. Keluarga ini hidup dari menangkap ikan dan segala sumberdaya kehidupan yang ada di pantai. Di desa tersebut hanya ada SD dan SMP. Bila ingin melanjutkan sekolah ke SMA, harus merantau ke ibukota kecamatan yang jaraknya cukup jauh. Desa tersebut belum dialiri listrik. Sang ayah dan ibu ingin anak mereka yang semata wayang itu hidup lebih baik di masa depan. Tapi caranya, bagaimana? Ya, dengan memberinya bekal pendidikan, yaitu dengan menyekolahkannya. Selama bersekolah, kita titipkan anak kepada guru untuk dididik, sementara kita mendukung dengan membantunya belajar di malam hari. Orangtua anak ini ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya. Untuk bisa belajar di malam hari, anak membutuhkan penerangan yang cukup. Dengan apa? Orangtua ini pun mempertimbangkan dua pilihan: menggunakan lilin atau lampu pelita. Kalau menggunakan lilin, selain cepat habis juga boros. Malah, kalau tidak hati-hati, lilin bisa saja roboh tertiup angin hingga bisa mengakibatkan kebakaran. Maka orangtua ini memilih menyediakan lampu pelita yang agak besar, agar anaknya dapat belajar.

7 7 Saat sang orangtua ini memilih penerangan, ia sudah melakukan perhitungan atau menyesal lebih dahulu. Orangtua ini ingin anaknya tamat SD. Disadari, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tidak bisa langsung dapat ijazah. Sang anak harus melalui kelas satu sampai kelas enam. Ada proses yang harus dijalani. Maka sang orangtua pun turut mendampingi anaknya, juga diberi motivasi agar tahap kelas satu sampai kelas enam dapat dilewati. Orangtua ini tidak pernah hanya mengatakan, Kenapa kamu tidak belajar?! Bapak ini sudah setengah mati cari uang, eh kamu enak-enakan tidak mau belajar! Orangtua ini mengerti, memberi pendidikan kepada anak tidak selesai hanya dengan memberinya uang sekolah, seragam, dan buku-buku. Tetapi harus mendampingi. Sering orangtua ini tidak mengerti pelajaran yang dipelajari sang anak. Tapi ia tidak berhenti memberi motivasi. Minimal dia bertanya, Apa yang kamu pelajari hari ini, nak? ketika sang anak menunjukkan bukunya dan sang ayah tidak mengerti, dengan terbuka sang ayah berkata, Bapak tidak mengerti, nak, karena dulu bapak hanya sampai kelas 2 SD. Coba,coba terangkan kepada bapak, agar bapak jadi tahu masalahnya. Pertanyaan seperti itu sangat berharga bagi sang anak. Anak jadi bersemangat. Anak pun mengeksplorasi dirinya dan menceritakan pelajaran yang baru diterimanya di sekolah. Sang ayah pun belajar dari sang anak. Dan akhirnya keduanya belajar bersama. Ilustrasi di atas menggambarkan langkah-langkah merancang kehidupan masa depan. Saya sering menemukan orangtua yang kebingungan dalam membentuk atau menpersiapkan masa depan anaknya. Ada orangtua yang ingin anaknya menjadi anak

8 8 yang saleh, tapi langkah-langkah yang dilakukan tidak mengarah ke pembentukan karakter anak yang diinginkannya itu. Tontonan dan bacaan anak tidak pernah diseleksi. Lingkungan pergaulannya tidak pernah dievaluasi. Dengan siapa anak bergaul dan apa yang dilakukannya ketika berkumpul dengan teman-temannya, dia tidak tahu. Mana mungkin keinginannya menjadikan anaknya seorang yang saleh terwujud? Maka untuk menciptakan anak yang saleh, kita tidak bisa bersikap masa bodoh. Kalau itu terjadi, maka menyesal kemudian tidak berguna. Di sini kita balikkan, menyesal kemudian tidak berguna menjadi menyesal lebih dahulu. Jadi, hati-hati dengan sikap hidup seperti air mengalir. Kalau airnya membawa kita ke arah pusaran air yang dahsyat, matilah kita. Kalau air melarutkan kita ke lautan dan menjauhkan kita dari pelabuhan, maka perjalan kita pun tak sampai-sampai. Kalau hidup kita diumpamakan berlayar di atas air, maka sebelum berangkat tetapkanlah tujuan, siapkanlah bekal, jangan lupakan pedoman, bacalah cuaca. Kalau sekedar berlayar, bahteramu takkan pernah sampai, karena tak jelas tujuannya, berputar-putar tak tentu arahnya. Kalau tujuan sudah ditetapkan, tapi bekal tak sesuai dengan lama perjalanan, tidak pula dilengkapi dengan pedoman, maka tamatlah riwayatnya, kata Suami Mutiah. Terhadap kata-kata suaminya, Mutiah lebih percaya daripada ucapan artis yang ditontonnya di televisi. Ia lalu mematikan televisi itu, lalu memilih menemani suaminya minum kopi hangat di malam dingin tapi bersahabat. ***

9 9