BAB I PENDAHULUAN. yang terbit pada tahun Caroline adalah nama dari tokoh utama dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. yang terbit pada tahun Caroline adalah nama dari tokoh utama dalam"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Caroline Aux Indes karya Pierre Probst adalah sebuah buku cerita anakanak yang terbit pada tahun Caroline adalah nama dari tokoh utama dalam serial cerita ini. Dia adalah seorang anak perempuan berambut pirang yang mandiri dan menjadi pemimpin bagi kawan-kawannya yang berwujud binatang. Cerita ini mengisahkan petualangan Caroline dan teman-temannya di India untuk memenuhi undangan salah satu kerabat dari sahabat Caroline. Setibanya di India, Caroline bertemu dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh dari India, baik yang berwujud manusia maupun binatang dan bertualang sampai ke dalam hutan belantara yang berbahaya. Dalam petualangan itu, Caroline dan kawan-kawannya tampil menjadi pahlawan yang memberikan jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi tokoh-tokoh dari India, baik yang berasal dari kota yang berperadaban maupun bagi makhluk liar di dalam hutan. Caroline aux Indes dapat kita golongkan sebagai sebuah buku cerita bergambar. Buku cerita bergambar adalah buku yang menampilkan image dan teks yang keduanya saling berkaitan (Mitchell via Nurgiantoro, 2005:153). Atas dasar itu, maka kita bisa menggunakan gagasan Mathew Rampley dalam Visual Rhetroric, yang merunut gagasan Barthes dan Eco, dalam melihat komunikasi visual dalam lensa analisa retoris. Menurutnya, gagasan retorika visual memainkan suatu peran kunci pada suatu alternatif untuk melihat budaya visual 1

2 dalam kaitannya dengan mekanisme sosial dan ideologi dengan didukung konsepkonsep komunikasi (Rampley, 2005: 133). Analisa Barthes tentang image seorang prajurit negro yang menghormat Triwarna dalam Mythologies dijadikan contoh oleh Rampley untuk menjelaskan jalinan erat antara produk visual dengan struktur-struktur sosial dan politik kuasa. Implikasi umum dari esai Barthes itu membawa pemahaman bahwa komunikasi strategis juga memiliki fungsi ideologis dan strategi retoris memiliki peran penting saat struktur-struktur kuasa dan hirarki-hirarki dipancangkan; suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik retorika untuk menata kesadaran audiens dan menutupi operasi kuasa yang terjadi di dalamnya (Rampley, 2005: ). Seperti halnya uraian Barthes dalam Rhetoric of Images 1, retorika dalam komunikasi visual bekerja dengan mengarahkan audiens pada suatu potensi makna dan mengabaikan makna yang lain. Sehingga dengan demikian, retorika memiliki peran penting saat ideologi, diskursus, strukturstruktur kuasa, dan hirarki-hirarki dipancangkan; suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik retorika untuk menata kesadaran. Dalam Caroline aux Indes, kita bisa menemui image-image yang menggambarkan India sebagai suatu wilayah kerajaan yang mirip dengan image istana dan pakaian keluarga kerajaan yang mirip dengan peninggalan istana dan pakaian pada masa dinasti Mughal, dinasti kesultanan islam yang keturunannya (menjelang berakhirnya kekuasaan dinasti tersebut karena kalah melawan Inggris) 1 Barthes, Roland Rhetoric of Images dalam Image Music Text. Fontana Press. London. Halaman

3 menjadi sekutu Perancis di India 2. Dalam seri itu, kita juga menemui beberapa image yang seringkali dikaitkan dengan India, seperti harimau, istana-istana peninggalan masa kolonial dan iring-iringan pawai gajah yang mirip dengan image pada kartu pos seri Colonies Françaises Comptoirs des Indes 3 di tahun 1920-an. Nostalgia kolonial juga hadir dalam image lain dengan sangat kuat, yaitu pada image topi putih yang dikenakan oleh Caroline dan beberapa kawannya. Topi-topi tersebut sangat identik dengan topi yang dikenakan oleh pejabat-pejabat kolonial di tanah jajahan. Dengan demikian, kita bisa melihat latar cerita ini memiliki kaitan dengan sejarah kolonial, secara khusus adalah sejarah koloni Perancis di India. Dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh India, Caroline juga tampil sebagai pahlawan yang memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh India. Dengan pengetahuan, keberanian dan teknologi yang dia bawa dari tanah kelahirannya, Caroline hadir sebagai pahlawan, penolong, dan guru yang mengajarkan suatu tatanan hidup baru bagi beberapa makhluk India, sekaligus menjadi teladan bagi mereka. 2 Penjelasan tentang masa awal koloni Perancis India dan hubungannya dengan penguasa lokal maupun rivalitas dengan kekuatan kolonial Eropa yang lain dapat dilihat dalam Marsh, Kate The French Present in India between 1754 and 1815: From the Beaux Jours du Gouvernement de Dupleix to Annihilation dalam India in The French Imagination: Peripheral Voices, Pickering and Chatto. London. Halaman Penjelasan tentang Sultan Haidar Ali dan sultan Tipu (dua sultan kerajaan Mysore, keturunan dinasti Mughal, yang menjadi sekutu Perancis di India untuk melawan Inggris) dapat ditemui dalam buku yang sama dalam Bab Historical India halaman Koloni Perancis India. 3

4 Gambar 1 : Caroline aux Indes, halaman 3 dan 4. Gambar 2: Istana lama kerajaan Mysore. Foto oleh " Nicholson & Son, Madras, c.1880's Sumber: sultan/mysoretipu/mysoretipu.html 4

5 Gambar 3: Istana Mysore yang dibangun lagi oleh Maharajah dengan desain dari arsitek Inggris pada tahun Sumber: sultan/mysoretipu/mysoretipu.html Gambar 4: Koloni Perancis India (biasa disebut dengan Comptoir des Indes), salah satu bagian dari koleksi kartu bergambar seri Koloni Perancis. Diterbitkan oleh Lion Noir France pada tahun Sumber: COMPTOIRS-DES-INDES,language,F.html 5

6 Gambar 5: Caroline aux Indes, halaman 23 dan 24. Caroline Pejabat Kolonial Inggris di India King George V and Queen Mary in Delhi in King George V, who was Emperor of India from , was the only King- Emperor to visit the colony Press Association. Gambar 6: Caroline mengenakan topi putih yang serupa dengan topi yang dikenakan oleh pejabat-pejabat kolonial di tanah jajahan. 6

7 Dalam penceritaan petualangan Caroline itu, kita bisa pula melihat nostalgia kolonial tentang cara bangsa Eropa mengkonstruksi Timur sebagai yang lain, yang turut membangun opini tentang bangsa Eropa yang superior, maju, manusiawi dengan membandingkannya dengan bangsa-bangsa Timur yang jauh, terbelakang, liar, berbahaya, menakutkan, tetapi sekaligus kaya dan eksotis (Said, 1977: ). Dengan kata lain, Caroline aux Indes dapat kita nyatakan sebagai mediasi bagi ideologi-ideologi kolonial. India sebagai bekas wilayah koloni Perancis menjadikan pengetahuan yang diproduksi tentang India dalam Caroline aux Indes tidak akan bisa polos atau objektif karena diproduksi oleh manusia yang tertanami sejarah kolonial dan relasi-relasi di dalamnya (Loomba, 2000: 46). Dengan demikian, kita juga dapat mempertanyakan mediasi kuasa kolonial dalam karya ini, melalui pembacaan terhadap image-image dan teks-teks yang menunjukkan relasi antara tokoh-tokoh Eropa, tokoh-tokoh India, dan India sebagai latar, relasinya dengan kondisi pasca-kolonial Perancis India. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana penokohan, interaksi yang terjadi diantara mereka, dan konstruksi latar India, yang hadir melalui strategi-strategi retoris dalam image dan teks Caroline aux Indes, mengkonstruksi kesadaran tertentu tentang Caroline dan kawan-kawannya sebagai wakil dari pendatang Eropa, tokoh-tokoh India sebagai penduduk asli tanah jajahan, dan India sebagai tempat terjadinya interaksi mereka. Proses pembacaan ini akan menempatkan teori semiotika sebagai perangkat untuk memahami teks Caroline aux Indes dan teori pasca kolonial untuk memahami teks Caroline aux Indes dalam relasinya dengan kondisi pascakolonial Perancis India. 7

8 Dalam Caroline aux Indes terdapat hal yang juga menarik untuk dicermati, yaitu tentang penokohan tokoh perempuan dalam cerita tersebut. Dalam cerita ini, perempuan hadir dalam dua tokoh yang sangat bertolak belakang. Pertama adalah Caroline yang merupakan perempuan bebas dari negeri maju, seorang petualang yang menguasai dunia dalam ilmu pengetahuan, dan mampu memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh India. Penampilan Caroline juga tampil bukan sebagai anak perempuan kebanyakan yang memakai rok atau baju terusan seperti gambaran umum anak perempuan Perancis pada saat buku ini pertama terbit. Piere Probst, sebagai pengarang, secara sengaja tidak memberikan tokoh ini orang tua. Secara sengaja pula, ia mengakui telah membentuk Caroline sebagai sosok mandiri, muncul dalam pose-pose dan pakaian maskulin berupa kemeja putih dan celana dungaree merah, dan mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapinya atau orang-orang lain yang ditemuinya. Caroline, dalam sebuah artikel yang memuat profil Pierre Probst sebagai pengarang tokoh Caroline, dinyatakan sebagai anak perempuan proto-feminis yang sama dan mampu melakukan hal-hal yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki dewasa 4. Tokoh perempuan kedua yang bertolak belakang dengan Caroline adalah Maharani. Dia adalah perempuan bangsawan India, hidup dalam kemewahan dunia timur yang eksotis, seorang ibu, hidup dalam alam patriarki, tradisional, eksotis, pasif dan tidak bebas. Bertolak belakang dengan Caroline, Maharani hadir 4 Penjelasan tentang profil Pierre Probst dan proses kreatif penciptaan tokoh Caroline dapat dilihat dalam artikel PIERRE PROBST:Author of the Caroline Books, ditulis oleh Pierre Perrone dalam The Independent (London) pada tanggal 21 April Artikel tersebut dapat dibaca secara online dalam 8

9 sebagai perempuan yang pasif dan diam, tidak menyatakan pendapatnya secara langsung, dan tidak terlibat dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan yang ia hadapi. Perbandingan antara penokohan Caroline dengan Maharani ini membawa perbandingan subjek perempuan yang berbeda. Sosok perempuan Barat yang bebas, mandiri, pemberani, mampu melakukan hal-hal yang dilakukan laki-laki, dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan, dihadapkan pada perempuan Timur yang pasif, diam, dan tidak terlibat dalam penyelesaian persoalan yang dihadapinya atau dihadapi orang lain. Perbandingan itu tampak mirip dengan stereotip perempuan dunia-ketiga yang dikritisi oleh pemikir pasca-kolonial sebagai penyokong misi pemberadaban kolonialis Eropa. Stereotip itu dikatakan oleh Sara Suleri justru melayani pembentukan liyan (Suleri via Gandhi, 1998: 83). Perbandingan yang mempertajam perbedaan antara perempuan Timur dengan referen-referen primer feminis Barat justru membangun suatu hirarki kulktural yang implisit bagi perempuan Timur sebagai lawan dari saudari Baratnya. Feminis Barat, dalam stereotip perempuan dunia-ketiga, menciptakan pemisah antara aku yang mampu dengan kamu yang tidak mampu. Dengan kata lain, stereotip perempuan dunia-ketiga hanya melayani kepentingan kampanye keistimewaan perempuan dunia-pertama (Trinh via Gandhi, 1998: 85). Hadirnya perbandingan antara Caroline dengan Maharani yang mirip dengan stereotip perempuan dunia-ketiga mengisyaratkan bahwa Caroline aux Indes juga merupakan situs bagi diskursus feminisme. Dengan demikian, penokohan tokoh perempuan dan pembentukan subjek feminin juga perlu 9

10 dilakukan sebagai bagian dari pemahaman terhadap India sebagai latar cerita ini dalam relasinya dengan kondisi pascakolonial Perancis India Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang saya ajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Pesan literal apakah yang muncul dari penokohan tokoh, interaksi antar tokoh, dan gambaran India sebagai latar terjadinya interaksi antara tokoh Eropa dan tokoh India dalam Caroline aux Indes? 2. Bagaimana bentuk-bentuk strategi retorik digunakan untuk mengkonstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India dalam penokohan tokoh, interaksi antar tokoh, dan gambaran India sebagai latar terjadinya interaksi antara tokoh Eropa dan tokoh India dalam Caroline aux Indes? 3. Bagaimana perempuan Eropa dan India, dan relasi mereka dengan tokoh lain maupun dengan India berpengaruh pada konstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India dalam Caroline aux Indes? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami cara-cara strategi retoris dalam penokohan tokoh, interaksi antar tokoh, dan gambaran tentang India pada Caroline aux Indes mengkonstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India. Selain itu, tujuan lain adalah untuk memahami pengaruh perbandingan tokoh perempuan dan relasinya dengan tokoh-tokoh lain pada konstruksi relasi kuasa dan superioritas Perancis atas India dalam Caroline aux Indes. 10

11 1.4. Tinjauan Pustaka Analisa Barthes dalam Mythology (1972) mengenai sebuah foto seorang prajurit negro berseragam tentara Perancis sedang menghormat ke arah bendera Tri Warna dapat menjadi pijakan awal untuk melihat sisi politik dari suatu image. Dalam analisa tersebut, Barthes mendemonstrasikan suatu diskursus yang bekerja pada sebuah image. Di situ, Barthes melihat suatu narasi tentang kebesaran Imperium Perancis yang menyatakan bahwa seluruh putra Perancis, tanpa diskriminasi warna kulit, berbakti sepenuh hati terhadap Imperium Perancis. Dengan demikian, image tersebut telah menjadi jawaban ampuh terhadap tuduhan atas praktek kolonialisme Prancis, cukup dengan menunjukkan semangat seorang pemuda negro dalam menunjukkan bakti terhadap penjajah -nya (Barthes, 1972:116). Contoh analisa yang dikemukakan Barthes tersebut dapat dikatakan sebagai suatu persinggungan yang jelas antara semiotika dengan isu pascakolonial, dan dapat menjadi suatu dasar bagi penggunaan semiotika terhadap analisis pascakolonial terhadap objek-objek visual. Penjelasan Barthes dalam artikel Rethoric of Images dalam buku Image, Music Text (1977) secara rinci memberikan perangkat analisa dan metode untuk melihat cara tanda-tanda ditata sehingga memberikan suatu jalan yang mulus terhadap konstruksi makna tertentu dan mendorong orang untuk mengabaikan kemungkinan makna yang lain. Uraian Barthes tersebut dapat pula menjadi landasan teoritis bagi upaya penelanjangan operasi-operasi kekuasaan oleh pendatang Eropa dalam cerita bergambar Caroline aux Indes. 11

12 Caroline aux Indes adalah salah satu seri yang sangat populer dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, meskipun hingga saat ini, sejauh penelusuran yang saya lakukan, belum ada karya tulis yang menganalisa cerita bergambar ini secara khusus. Analisa terhadap cerita Caroline aux Indes sebenarnya sudah saya tulis dalam skripsi saya dengan fokus kajian pada perbandingan antara tokoh dan peristiwa dengan dogma-dogma orientalisme tentang India. Hal yang ditawarkan dalam penelitian ini dan belum terdapat dalam penelitian sebelumnya adalah penggunaan teori retorika visual yang dipandang mampu memberikan fokus lebih mendalam dalam persoalan penataan tanda-tanda dan pencarian yang lebih mendalam mengenai relasi kuasa kolonial yang ditata melalui visualitas cerita ini. Selain itu, pada penelitian ini akan dimasukkan hal yang tak tersentuh dalam skripsi tersebut, yaitu perihal visualitas perempuan yang hadir sebagai Caroline, Istri Raja, dan perempuan yang tidak ada, dalam relasinya pada diskursus pasca-kolonialisme. Kajian pascakolonial terhadap cerita anak-anak adalah topik yang tidak banyak ditemukan, sepanjang penelusuran yang saya lakukan. Beberapa penelitian dalam skripsi ataupun tesis banyak ditemui telah menggunakan kajian analisa kritis gender untuk melihat produk-produk kebudayaan yang diperuntukkan bagi anak-anak. Namun demikian, kajian-kajian pascakolonial yang saya temui tampaknya melewatkan perhatiannya terhadap jenis produk kultural tersebut. Padahal, dalam hemat saya produk-produk kultur, dalam hal ini adalah produk visual atau literer, yang diperuntukkan bagi anak-anak adalah suatu situs strategis bagi pewarisan diskursus-diskursus yang melegitimasi operasi kekuasaan 12

13 kolonial. Dengan kajian pascakolonial yang saya terapkan dalam melihat cerita bergambar Caroline aux Indes ini, saya ingin menunjukkan bahwa operasi kekuasaan kolonial dapat mengakar kuat karena direproduksi pada manusia pascakolonial sejak usia yang masih belia melalui cerita-cerita yang ditujukan pada anak-anak. Kajian pascakolonial, sebenarnya telah menjadi salah satu topik yang cukup populer dalam berbagai kajian. Banyak kajian yang dapat ditemukan dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi ataupun penelitian-penelitian. Salah satu tesis yang cukup menarik adalah karya Latupapua (2011), Inferioritas dalam Mimikri : Kajian Pascakolonial TerhadapLirik Lagu-Lagu Populer Maluku Periode Tahun Dalam tesis tersebut, Latupapua menyatakan bahwa Kolonialisme Eropa meninggalkan akibat-akibat di Maluku yang diantaranya adalah kebudayaan hibrid, baik material maupun mental yang menandakan masih kuatnya hegemoni penjajah. Interaksi dengan Belanda dalam pendidikan, agama, pernikahan dan birokrasi kolonial meninggalkan suatu nostalgia mendalam yang berujung pada keterpesonaan pada bangsa Belanda atau bangsa kulit putih pada umumnya. Fenomena keterpesonaan terhadap Barat, terutama Belanda, dalam lirik lagu-lagu Populer Maluku. Sedangkan dalam peniruan atau mimikri yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam narasi yang sekaligus menduduki subjek kolonial, sebagai wujud kehadirannya yang parsial, terdapat beberapa kecenderungan bahwa mimikri dilakukan dalam upaya menyembunyikan inferioritas yang memiliki kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia Ideal. Mimikri yang dilakukan oleh orang-orang Maluku bukan 13

14 dalam rangka resistensi, melainkan suatu manifestasi dari mimpi-mimpi subjek tersebut untuk kembali bersentuhan dan memasuki dunia Belanda sebagai dunia ideal melalui identifikasi diri sebagai Belanda. Else Liliani (2007) dalam Struktur Naratif 9 Oktober 1740: Sebuah Kajian Pascakolonial melihat ambivalensi dalam naskah drama 9 Oktober 1740 karya Remy Silado. Dalam analisanya, ia melihat teks ini menentang kolonialisme tetapi masih terjebak dalam hegemoni kolonial. Ambivalensi yang dinyatakan oleh Liliani terdapat dalam konklusi teks tersebut bahwa kejahatan timbul karena penyalahgunaan kewenangan pejabat kolonial yang korup, bukan karena kolonialisme itu sendiri. Yati Sugiarti (2005) dalam Identitas dan Mimikri dalam Roman Salah Asuhan karya Abdul Moeis membahas persoalan mimikri dan identitas pascakolonial yang lahir dari relasi penjajah-terjajah dan identitas pascakolonial tokoh untuk dapat sejajar dengan penjajah melalui peniruan atau mimikri. Relasi antara terjajah dan penjajah dalam roman dalam penokohan tokoh Hanafi yang menghadapi persoalan dominasi hirarkis, diantaranya adalah posisi Hanafi yang menjadi subjek saat berhadapan dengan Ibunya, Rapiah dan masyarakat Minangkabau tetapi menjadi objek saat berhadapan dengan Corrie dan masyarakat Eropa lainnya. Persoalan identitas yang dihadapi tokoh Hanafi menyangkut empat hal, yaitu pandangan Hanafi terhadap dirinya, pandangan orang lain terhadap Hanafi, keinginan Hanafi untuk menjadi yang lain, dan tindakan-tindakan Hanafi dalam pemenuhan keinginannya menjadi yang lain. Hanafi, dalam pemenuhan keinginannya menjadi yang lain yang setara dengan kaum penjajah, dipandang 14

15 oleh Sugiarti telah melakukan mimikri bahasa, profesi, gaya hidup, sistem kemasyarakatan kaum penjajah, tetapi menjadi asing bagi masyarakat bangsanya sendiri. Tesis lain yang memiliki keterkaitan dalam hal kemiripan tujuan dengan penelitian yang saya lakukan adalah Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer karya Rusdian Noor (2002). Dalam tesisnya, dia menguraikan relasirelasi hirarkis, dominatif dan superior dalam roman Bumi Manusia seperti Barat (Eropa) dengan Timur, Penjajah dengan Terjajah melalui relasi-relasi tokoh-tokoh dalam roman tersebut dan menunjukkan bahwa relasi-relasi tersebut saling mendekonstruksi, membongkar dan menandingi satu sama lain. Faruk (2007) dalam Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia membahas persoalan pascakolonial dalam sastra Indonesia melalui struktur naratifnya. Beberapa karya yang dibahas dalam analisa tersebut diantaranya adalah dua karya terjemahan yang sangat populer pada masa sebelum Perang Dunia II, yaitu Pangeran Monte Cristo karya Alexandre Dumas dan Gembala Domba karya J.F. Oltmans. Dua karya sastra tersebut, dalam hemat saya memiliki kedudukan yang hampir sama dengan seri cerita bergambar Caroline Aux Indes sebagai cerita yang sama-sama ditulis oleh orang Eropa (Barat) yang memuat pertemuan orang-orang Eropa dengan dunia timur. Dalam Pangeran Monte Cristo, Faruk (2007) melihat bahwa novel tersebut menempatkan roh, kecenderungan mental atau jiwa sebagai yang lebih tinggi dan menentukan tubuh. Perempuan dalam novel tersebut cenderung 15

16 ditempatkan sebagai makhluk rohaniah: mempunyai perasaan yang peka dan memiliki ketabahan dalam menghadapi goncangan dan perubahan dunia tetapi cenderung pasif dan tidak ada di mana-mana. Walaupun demikian, cerita dalam novel ini cenderung Eropa sentris sehingga semua hal di atas hanya berlaku bagi orang-orang Eropa, sementara orang-orang yang disebut dari Timur cenderung ditempatkan sebagai tubuh-tubuh tanpa roh yang harganya ditentukan oleh tubuh tanpa kemampuan roh untuk mempengaruhi tubuh mereka itu. Dengan kata lain, orang-orang dari Timur cenderung dibentuk sebagai manusia yang tak seutuh orang Eropa dan tentu saja berada dalam tingkatan hirarki lebih rendah. Dalam Gembala Domba, Faruk (2007) melihat bahwa dalam novel ini terdapat kesadaran yang tinggi tentang diri dan sang lain. Setidaknya ada dua sang lain yang disebut sebagai orang asing dan bangsa kafir, sedangkan tokoh-tokoh protagonis atau masyarakat setempat disebut sebagai orang sini. Sikap diri, orang sini, terhadap dua sang lain tersebut sangatlah berbeda, tokoh Perrol yang menjadi orang asing karena asal-usulnya tidak diketahui tetapi dia bukanlah termasuk bangsa kafir bahkan gemar membunuh orang-orang kafir sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah orang sini juga. Sikap orang sini terhadap orang asing tersebut adalah cenderung takut. Sementara itu, sikap orang sini terhadap bangsa kafir adalah sikap yang cenderung meremehkan tetapi mengagumi, yang menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin memiliki. Sikap ingin meremehkan tersebut berasal dari anggapan bahwa bangsa kafir berasal dari rasras yang sudah ditaklukkan. 16

17 Karya lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah skripsi Paramita Ayuningtyas (2006), Homoseksualitas dan Relasi Kuasa dalam The Other Boat dan Maurice Karya E.M. Foster; Ditinjau dari Teori Pascakolonial dan Politik Seksual, pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam skripsi tersebut, Ayuningtyas menunjukkan bahwa dalam karya-karya sastra tentang kehidupan kaum homoseksualitas tersebut tidak hanya terdapat konstruksi hirarki antara heteroseksualitas dan homoseksualitas dalam masyarakat Inggris, tetapi dalam kehidupan pasangan homoseks juga terdapat relasi hirarkis yang berdasar pada kondisi pascakolonial dalam kasus pasangan berbeda ras. Dengan kata lain, skripsi ini menunjukkan bahwa kondisi pascakolonial dalam teks tersebut, Maurice, merasuk begitu dalam dan memiliki pengaruh kuat pada kehidupan manusia pascakolonial yang pribadi dan tersembunyi. Dari uraian di atas, kita bisa melihat begitu banyak hal yang telah dieksplorasi dalam kajian-kajian pascakolonial terhadap karya berupa novel, cerpen, dan bahkan lirik lagu tetapi hanya sedikit karya untuk anak-anak yang mendapat perhatian peneliti. Serial Tintin karya Herge, terutama seri Tintin au Congo, adalah salah satu dari sedikit karya yang mendapat perhatian peneliti pascakolonial karena menampilkan image yang sangat kental dengan nuansa kampanye kolonial, agenda-agenda misi pemberadaban oleh Belgia di Kongo dan afiliasi Herge dengan sebuah penerbit Katolik pro-kolonial (Nancy Rose Hunt, 2008: 24). Namun demikian, masih banyak karya untuk anak-anak yang belum banyak disentuh penelitian dengan kajian pascakolonial, salah satunya adalah seri 17

18 Caroline. Perhatian pada penelitian terhadap karya Caroline aux Indes diharapkan turut mengisi ruang tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa warisan kolonial sedemikian merasuk dan berakar pada masyarakat pascakolonial karena telah diberikan sejak masa anak-anak. Selain itu, cerita tentang petualang anak-anak Perancis di India tersebut dapat menyegarkan kembali kritik terhadap kecenderungan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam praktik-praktik kolonial. Politik kolonial Perancis di India tentu menghasilkan bentuk yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan politik kolonial penjajah yang lain. Selain itu, kondisi India yang berbeda dengan wilayah jajahan lain juga membuat politik kolonial Perancis di India juga berbeda dengan politik kolonial Perancis di wilayah yang lain Landasan Teori Semiotika dan Retorika Visual Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari segala sistem tanda, apapun substansi dan batas-batasnya. Dalam terminologi Saussurian, Petanda (signifié) dan Penanda (Signifiant) adalah komponen dari tanda (signe), (Roland Barthes, 2007: 35). Dengan kata lain, sebuah signe disusun oleh sebuah Signifié dan sebuah Signifiant. Wilayah yang dihuni signifiant-signifiant merupakan wilayah ekspresi [plan d expression] dan yang dihuni oleh signifié-signifié adalah wilayah isi [plan de contenu] Pada tanda terdapat kesatuan penanda dan petanda yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara Penanda dan Petanda disebut 18

19 dengan Signifikasi. Dengan kata lain Signifikasi adalah tindakan mempertalikan Penanda dengan Petanda (Barthes, 2007 : 38). Tanda semiotis seperti halnya tanda linguistis disusun oleh satu signifiant dan satu signifié. Tetapi Barthes menyatakan bahwa subtansi ekspresi keduanya sangatlah berbeda, banyak sistem semiologis (objek-objek, isyarat, gambargambar) mempunyai substansi ekspresi yang hadir bukan dalam signifikasi-nya : seringkali sistem-sistem ini adalah objek-objek yang memiliki kegunaan tertentu yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan signifikasi : fungsi pakaian adalah untuk melindungi diri dan membungkus badan. Namun, dalam semiologi yang penting bukanlah fungsi kegunaan dari penanda-penanda, melainkan fungsi penandaannya sebagai sebuah kemampuan penanda itu untuk mengangkut pengertian atau sesuatu yang lain dalam dirinya di luar fungsi kegunaannya di atas. Signifikasi Tanda semiotis adalah sebuah akta [tindakan] yang menyatukan signifiant dan signifié-nya, akta yang produknya adalah signe (Barthes, 1985 :46). Barthes memilih model signifikasi Hjemslev dengan sebuah sistem yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1. Ekspresi (E) = Penanda 2. Isi (C) = Petanda 3. Relasi antara E dan C R E (Ekspresi) Konten (Isi/content) 19

20 Dalam bahasa dimungkinkan adanya sistem signifikasi yang lain, dengan komponen yang sama, tetapi yang menumpang pada sistem signifikasi yang ada sebelumnya. Sistem signifikasi yang ada sebelumnya, yaitu tempat menumpangnya yang kedua disebut denotasi, sedangkan yang kedua disebut konotasi dan metabahasa. Sistem konotasi adalah sistem yang didalamnya sistem signifikasi pertama menjadi ekspresinya sedangkan sistem metabahasa adalah signifikasi yang keseluruhan dataran isinya merupakan sistem signifikasi pertama Retorika Visual Retorika adalah suatu jenis wicara kuno yang didesain untuk menggerakkan audiens dan mempersuasi mereka untuk menerima suatu ide tertentu. Dewasa ini, politisi, pengiklan dan kelompok-kelompok propaganda menjadi produsen utama retorika-retorika. Untuk menarik publik, ahli-ahli retorika menggunakan bahasa dalam cara-cara yang berbeda dengan retorika kuno. Mereka menggunakan perangkat-perangkat retoris seperti aliterasi, metafora, simile, personifikasi dan lain-lain untuk membuat ide-ide mereka lebih jelas dan mudah diingat, baik secara verbal maupun visual (Walker & Chaplin, 1997: ). Mathew Rampley melihat retorika visual dengan merunut gagasan retorika visual Roland Barthes. Menurutnya, gagasan retorika visual ini memainkan suatu peran kunci pada suatu alternatif untuk melihat budaya visual dalam kaitannya dengan mekanisme sosial dan ideologi dengan didukung konsep-konsep komunikasi. Dia kemudian mengambil gagasan dari Paul Grice dan memandang 20

21 hubungan antara retorika dan komunikasi sebagai berikut; pertama, retorika bukanlah suatu bentuk komunikasi tertentu, tetapi bahwa semua komunikasi bersifat retoris. Kedua, retorika berjalinan dalam struktur sosial, ekonomi, relasi kultural, dan kuasa (Rampley, 2005: ). Analisa Barthes tentang image seorang prajurit negro yang menghormat Triwarna dalam Mythologies, dijadikan contoh oleh Rampley bahwa komunikasi visual dalam iklan juga berjalinan erat dengan struktur-struktur sosial dan politik kuasa. Implikasi umum dari esai Barthes itu membawa pemahaman bahwa komunikasi strategis juga memiliki fungsi ideologi. Strategi retorik memiliki peran penting saat struktur-struktur kuasa dan hirarki-hirarki dipancangkan; suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik strategi retorik untuk menata kesadaran audiens dan menutupi operasi kuasa yang terjadi di dalamnya (Rampley, 2005: ). Dalam Rhetoric of Images, Barthes menyatakan bahwa dalam image, dia mencontohkan dengan image iklan, terdapat tiga pesan yaitu; image denotasi, pesan literal, dan pesan ketiga yang merupakan pesan konotasi. Image denotasi dan pesan literal ditentukan oleh apa yang tertinggal dalam image saat tanda-tanda dari konotasi secara mental dihapus. Tetapi, sesungguhnya tidaklah mungkin untuk menghapus pesan konotasi karena mereka meresap dalam keseluruhan image, seperti dalam kasus still life composition (l image-fix). Bahkan, tulisan dalam image berkaitan secara langsung pada tingkat pemahaman yang pertama (yaitu bahwa pembaca hanya akan mempersepsikan garis-garis, bentuk-bentuk dan warna-warna) (Barthes, 1977: 33-37). 21

22 Barthes menyatakan bahwa sejak kemunculan buku lazim terjadi keterkaitan antara teks dan image dan pada saat ini, pada level komunikasi massa, pesan linguistik hadir pada setiap image: sebagai judul, caption, pendamping artikel pers, dialog film, strip balon komik. Pada level pesan literal, teks menolong untuk mengidentifikasi secara murni dan sederhana elemen-elemen dari gambar itu sendiri; deskripsi denotasi terhadap image (fungsi denominasi). Teks lingistik menjadi suatu perangkat yang mencegah makna konotasi untuk berkembang. Teks linguistik mengarahkan pembaca pada petanda tertentu dari image, membuatnya menghindari beberapa dan menerima yang lain. Bahasa memiliki fungsi elusidasi (menjelaskan), tetapi penjelasan tersebut adalah penjelasan selektif. Dengan demikian, proses penandaan tersebut memiliki fungsi ideologis. Namun demikian, dalam film, animasi, dan komik ada perbedaan yang mendasar karena fungsi dialog tidak sesederhana fungsi elusidasi. Teks linguistik benar-benar melampaui aksi dengan menghadirkan makna, dalam sekuen-sekuen pesan-pesan, yang tidak dapat ditemukan dalam gambar. Pada strip komik tertentu, yang bertujuan pada pembacaan cepat, fungsi diegesis dipercayakan pada teks linguistik, image mengumpulkan informasi atributif dari suatu tatanan paradigmatik (status stereotip dari karakter-karakter) (Barthes, 1977: 37-41). Retorika image, bagi Barthes, adalah seperangkat retorik yang muncul sebagai aspek signifikasi ideologi yang hadir lewat kode-kode kultural. Retorika terbentuk saat proses pertandaan berelasi dengan penciptaan ideologi, saat sebuah proses yang bersifat kultural menjadi seolah-olah natural. Retorika tidak dapat menghindari variasi atas subtansi mereka (disini mengartiulasikan suara, image, 22

23 pose, pose atau apapun) tetapi tidak sepenuhnya melalui bentuk-bentuk mereka: bahkan dimungkinkan hadirnya suatu bentuk retorika tunggal, bersamaan antara litetarur dan image (Barthes, 1977: 46-51) Kolonialisme, Imperialisme, dan Pascakolonialisme Kolonialisme Ania Loomba menyatakan bahwa kolonialisme dapat diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan tanah dan harta milik orang lain. Akan tetapi praktek kolonialisme ini bukanlah semata ekspansi kekuatan-kekuatan Eropa ke Asia yang dapat disamakan dengan penaklukan wilayah oleh Kekaisaran Romawi yang terbentang dari Armenia sampai laut atlantik, Kekaisaran Mongol di Asia yang membentang dari Timur Tengah sampai wilayah Cina, suku Inca di Amerika Selatan, atau Kekaisaran Cina (Loomba, 2000: 1-2). Praktek kolonialisme pada masa terdahulu pada umumnya ditandai dengan kewajiban daerah taklukan membayar upeti pada kerajaan penakluk, sedangkan kolonialisme Eropa Modern memiliki dua ciri utama. Pertama, daerah-daerah koloni tidak hanya membayar upeti, tetapi struktur perekonomian daerah koloni (dengan manusia dan alamnya) dirombak demi kepentingan Negara induk. Ciri yang kedua adalah daerah-daerah koloni juga menjadi pasar yang dipaksa mengonsumsi produk-produk negara induk (Sutrisno, 2004: 9). Karakteristik kolonialisme Eropa modern menempatkan penjajah maupun negeri terjajah dalam suatu kondisi yang kompleks. Dalam praktek kolonialisme ini terdapat aliran sumberdaya alam dan manusia dari negara induk ke koloni dan juga sebaliknya yang pada intinya adalah Penjajah Eropa menggunakan beragam 23

24 teknik dan pola dominasi, memasuki masyarakat-masyarakat pribumi sedemikian dalam untuk menjamin pertumbuhan kapitalisme dan industri Eropa dalam distribusi yang tidak berimbang dengan masyarakat terjajah (Loomba, 2000: 4). Dengan demikian, kolonialisme dapat dikatakan sebagai anak dari kapitalisme Eropa. Frantz Fanon, dalam Black skin White Mask memberikan argumen bahwa praktek-praktek kolonialisme telah membentuk rasionalisasi terhadap dehumanisasi orang-orang kulit berwarna (Pribumi). Bangsa kulit berwarna dinyatakan sebagai manusia yang tidak setara dengan orang kulit putih (Eropa). Hirarki yang tercipta dalam relasi kuasa antara bangsa penjajah dan terjajah menciptakan inferioritas pada bangsa pribumi sekaligus superioritas pada bangsa kulit putih Eropa. Edward Said dalam Orientalism, menyatakan bahwa hirarki tersebut diproduksi oleh ideologi yang membentuk pengetahuan oleh Barat atas kebudayaan tanah jajahan, terutama dalam disiplin kesarjanaan yang dinamakan Orientalisme yang disokong oleh berbagai tatanan disiplin seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi dan kesusastraan (Said, 1977:122). Dengan demikian, kolonialisme dapat disimpulkan sebagai penaklukan dan penguasaan tanah dan harta penduduk pribumi oleh penjajah Eropa dengan segala praktek untuk mewujudkan dan memeliharanya, meliputi penggunaan kekuatan militer, legitimasi ilmu pengetahuan, perubahan kebudayaan, politik dan struktur sosial. Salah satu praktek untuk mewujudkan kolonialisme itu adalah dengan adanya produksi pengetahuan yang menciptakan relasi hirarkis antara bangsa penjajah yang superior dengan bangsa terjajah yang infeior. 24

25 Diskursus Kolonial dan Orientalisme Chris Barker dan Dariusz Galinski menyatakan bahwa setelah karya-karya Foucault terbit (1972, 1977, 1980) istilah diskursus digunakan untuk mengacu pada bahasa dan praktek yang mengatur cara-cara membicarakan suatu topik, yang membatasi antara yang dapat dikatakan dan yang tidak dapat dikatakan (Barker dan Galinski, 2001:1). Diskursus, menurut Foucault, mengkonstruksi, mendefinisikan dan memproduksi objek pengetahuan dalam suatu cara yang masuk akal. Dia melihat keadaan dan aturan-aturan yang merupakan pernyataanpernyataan yang dikombinasikan dan ditata memerlukan suatu perangkat konsep tertentu untuk mengkonstruksi dan mendefinisikan suatu wilayah pengetahuan atau objek yang berbeda dan membatasinya pada suatu rejim kebenaran tertentu. Lebih lanjut, Foucault menyatakan bahwa makna tidak tumbuh dalam kealamiahan melainkan diatur oleh kuasa yang mengatur tentang tidak hanya apa yang dapat dikatakan di bawah kondisi sosial dan kultural yang menentukannya, tetapi oleh siapa yang dapat berbicara, waktu, dan tempatnya (Barker dan Galinski, 2001:12). Subjek, menurut Foucault, bukanlah sebuah entitas universal yang stabil tetapi suatu dampak dari diskursus yang mengkonstruksi suatu Aku dalam suatu tata bahasa. Subjektivitas dianggap sebagai produksi diskursif dan subjek yang berbicara tergantung pada keberadaan posisi diskursif subjek yang ada sebelumnya, yaitu, ruang-ruang kosong atau fungsi-fungsi dalam diskursus yang menjadi permulaan untuk memahami dunia. Setiap orang perlu mengambil posisi subjek dalam diskursus tertentu untuk memahami dunia dan tampak masuk 25

26 akal bagi orang lain. Suatu posisi subjek adalah perspektif atau perangkat makna diskursif yang ditata dari diskursus yang masuk akal. Berbicara adalah mengambil suatu posisi subjek dan untuk dikenakan pada peraturan kuasa dari diskursus tersebut (Barker dan Galinski, 2001:12). Pemahaman Foucault tentang diskursus memberikan Edward Said, dalam Orientalism, suatu dasar untuk menunjukkan cara pengetahuan tentang Orient atau Timur yang diproduksi dan disirkulasikan di Eropa merupakan suatu ideologi pengiring kuasa kolonial. Orientalism bukanlah tentang kebudayaan non-barat, tetapi mengenai pengetahuan dan pengalaman Barat atas kebudayaan tersebut, terutama dalam disiplin kesarjanaan yang dinamakan Orientalisme, yang diciptakan bersamaan dengan penetrasi Eropa ke Timur-dekat, dengan dijaga dan disokong oleh berbagai tatanan disiplin seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi dan kesusastraan (Loomba, 2000: 43). Istilah orient, atau Dunia Timur, muncul untuk pertama kali di Eropa secara formal dalam keputusan dewan gereja di Vienne tahun 1312 untuk mengadakan kelas bahasa-bahasa timur yang berupa Bahasa Arab, Bahasa Ibrani, Bahasa Yunani dan Bahasa Syria di Paris, Oxford, Avignon dan Salamanca. Sejak kelahirannya, istilah Orient, dunia timur, kemudian berkembang menjadi objek studi yang meliputi geografi, kebudayaan, bahasa dan etnis yang membentang dari Beirut sampai ke Tokyo. Dalam Orientalism, istilah Oriental dalam temuannya dalam teks-teks Barat berarti Timur atau Asia bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara moral, maupun budaya seperti yang ditulis sebagai berikut: 26

27 The choice of Oriental was canonical; it had been employed by Chaucer and Mandeville, by Shakespeare, Dryden, Pope, and Byron. It designated Asia or the East, geographically, morally, culturally (Said, 1977:32). Orientalisme, menurut Said adalah sebuah jalan untuk memahami dunia Timur yang berdasar pada tempatnya yang khusus dalam pengalaman bangsa Barat Eropa (Said, 1977:1). Tesis dasar Said tentang orientalisme adalah pengetahuan Timur dalam teks sastra Eropa, catatan perjalanan, dan teks-teks yang lain, berkontribusi pada penciptaan suatu dikotomi antara Eropa dan Liyannya, suatu dikotomi yang memusat pada penciptaan kebudayaan Eropa dan mengiringi pemeliharaan dan perluasan hegemoni Eropa di atas tanah yang lain. Orientalisme menurut Said (1977) juga dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga yang berfungsi untuk berurusan dengan The Orient dengan membuat pernyataan-pernyataan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, menjadikannya tempat pemukiman, dan memerintahnya. Dengan kata lain, Orientalism adalah cara Barat mencipta sebuah legitimasi untuk mendominasi, merestrukturisasi, mengusai dan kemudian memberikan hukum dan aturan pada bangsa timur. Secara singkat, Said menyatakan bahwa dalam Orientalisme terangkum empat dogma sebagai berikut : one is the absolute and systematic difference between the West, which is rational, developed, humane, superior, and the Orient, which is aberrant, undeveloped, inferior. Another dogma is that abstractions about the Orient, particularly those based on texts representing a classical Oriental civilization, are always preferable to direct that the Orient is eternal, uniform, and incapable of defining itself; therefore it is assumed that a highly generalized and systematic vocabulary for describing the Orient from a Western standpoint is inevitable and even scientifically objective. A fourth dogma is that the Orient is at bottom something either to be feared (the Yellow Peril, the Mongol hordes, the brown dominions) 27

28 or to be controlled (by pacification, research and development, outright occupation whenever possible) (Said, 1977: ). Meskipun Orientalism (1977) memiliki pengaruh yang sangat besar, tetapi juga mendapat kritik baik dari kaum orientalis maupun orang-orang yang bersimpati. Kritik-kritik itu antara lain adalah: a) Orientalisme mengisyaratkan bahwa oposisi biner antara Timur dan Barat telah menjadi suatu bentuk statis tentang diskursus Barat dari Yunani klasik sampai pada masa sekarang (Loomba, 2000: 49). b) Said menghomogenkan Barat yang dengan demikian mengisyaratkan bahwa dia terlalu membesarkan pentingnya aspek sastra, ideologis dan diskursif yang terlalu boros pada persoalan realitas material dan institusional dan oleh sebab itu mengimplikasikan bahwa sebagian besar kolonialisme adalah konstruksi ideologi (Loomba, 2000: 49). c) Said mengabaikan -diri bangsa terjajah dan perlawanan terhadap kolonialisme. Perhatian Said cenderung terpusat pada pemaksaan kuasa kolonial saja (Loomba, 2000: 49). Kritik yang sama juga disampaikan oleh Babha. Menurut Babha, Said hanya menawarkan suatu model relasi kolonial yang statis, kekuatan kolonial dan diskursus seluruhnya dimiliki oleh penjajah dan tidak ada ruang bagi negosiasi atau perubahan (Babha, 1983: 200). Kajian diskursus kolonial, dengan demikian, pada saat ini tidaklah terbatas untuk menguraikan kerja kuasa kajian ini mencoba untuk menempatkan dan menteorikan oposisi, resistensi dan pemberontakan di kalangan terjajah (Loomba, 2000: 52-54). Walaupun pengaruh kuasa penjajah sangat kuat, ruang pikiran, 28

29 perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah tidak dapat sepenuhnya dipahami dan dikuasai oleh pihak penjajah. Hal ini memberi peluang pada masyarakat terjajah untuk memainkan kekuasaan penjajah sebagai suatu bentuk resistensi; hal yang disebut oleh Bill Ashcroft sebagai Empire writes back. Bill Ashcroft menyatakan bahwa karakteristik sastra masyarakat terjajah tidak bisa menghindari keinginan untuk melakukan subversi. Kajian terhadap strategi-strategi subversi penulis pasca-kolonial mengungkapkan konfigurasi dominasi dan respon kreatif pada kondisi itu. Secara langsung maupun tidak, seperti dalam frasa Salman Rushdie empire writes back to the imperial center, subversi terhadap dominasi kolonial tidak semata melalui pernyataan kaum nasionalis yang memproklamirkan kemerdekaan dirinya. Subversi terhadap dominasi kolonial secara radikal juga mempertanyakan dasar-dasar metafisik orang-orang Eropa dan Inggris, yaitu pandangan dunia tentang polarisasi pusat dan periferi, pemerintah dan yang diperintah, penguasa dan yang dikuasai (Ashcroft. et.al, 2004:32). Caroline aux Indes adalah karya yang ditulis oleh penulis Perancis, dengan demikian kita dapat mengambil asumsi bahwa dalam karya itu sematamata adalah tatapan bangsa penjajah terhadap tanah jajahan. Dengan demikian, kita dapat pula berasumsi bahwa dalam Caroline aux Indes tidak terdapat hal yang dimaksud Bill Ashcroft dengan empire writes back. Namun demikian, penelitian ini dapat kita masukkan dalam usaha untuk mempertanyakan stereotip-stereotip warisan kolonial yang masih terus dilestarikan, yaitu pandangan dunia tentang polarisasi pusat dan periferi, pemerintah dan yang diperintah, penguasa dan yang 29

30 dikuasai, superior dengan yang inferior. Penelitian ini dengan demikian adalah bagian dari empire writes back, sebagai pembacaan yang saya lakukan terhadap Caroline aux Indes untuk mempertanyakan hal-hal di atas Kolonialisme dan Kesusastraan Perhatian pada relasi antara kesusastraan dan kolonialisme oleh Ania Loomba dinyatakan telah memprovokasi suatu peninjauan kembali secara serius pada terma-terma berikut : a) Peran penting kesusastraan baik untuk diskursus kolonial maupun anti-kolonial telah mulai dieksplorasi. Sejak jaman Plato, telah ada pemahaman bahwa sastra memediasi antara kenyataan dan hal-hal imajiner. b) Perdebatan antara marxis dan post-strukturalis tentang ideologi meningkatkan usaha untuk mendefinisikan mediasi ini. Jika bahasa dan tanda adalah situs ideologi-ideologi yang berbeda saling bersilangan dan bertempur satu sama lain, dengan demikian teks sastra sebagai rangkaian kompleks bahasa dan tanda dapat diidentifikasi sebagai tempat yang subur bagi suatu interaksi ideologis. c) Sirkulasi teks sastra dalam masyarakat bukan hanya karena kepantasan intrinsiknya, melainkan karena mereka adalah bagian dari institusi lain seperti pasar atau sistem pendidikan. Melalui institusi-institusi ini, mereka memainkan peran penting dalam mengkonstruksi suatu otoritas kultural untuk pengkoloni, baik di 30

31 metropolis maupun dalam negeri-negeri koloni. Meskipun demikian, kesusastraan tidak secara sederhana mencerminkan ideologi dominan tetapi meng-enkode ketegangan-ketegangan, kompleksitas dan nuansa-nuansa dalam budaya kolonial. d) Sastra adalah suatu zona kontak yang penting, menggunakan istilah Mary Louise Pratt, tempat transkulturasi dalam semua kompleksitasnya. Sastra ditulis dalam kedua sisi kolonial sering menyerap, mengalokasikan, dan menuliskan aspek-aspek dari budaya lain, menciptakan genre baru, ide-ide dan identitas dalam prosesnya. e) Sastra juga suatu alat yang penting untuk menempatkan, membalikkan, atau menentang alat dominan dan ideologi kolonial (Loomba, 2000: 70-71). Lebih lanjut, Loomba menyatakan bahwa perjumpaan dengan hal-hal yang terletak di luar batas-batasnya adalah pusat untuk formasi dari setiap kebudayaan: garis-garis yang memisahkan dalam dan luar, diri dan liyan tidaklah tetap tetapi selalu berganti. Dunia baru yang luas yang ditemui oleh penjelajah Eropa diinterpretasikan oleh mereka melalui filter ideologis, atau cara melihat, yang disediakan oleh kebudayaan dan masyarakat mereka. Akan tetapi dorongan untuk berdagang, menjarah dan menaklukkan tanah baru ini juga menyediakan satu kerangka baru yang penting melalui cara mereka membuat interpretasi tanah dan bangsa lain. Dengan demikian, orang-orang Afrika yang hitam dianggap buas karena asosiasi jaman pertengahan dan religiusitas tentang kehitaman dengan 31

32 najis dan kotoran, dan juga karena hal ini menyediakan justifikasi untuk menaklukkan dan memperbudak mereka. Dialektika di atas mempertajam sikap bagi orang luar ataupun budaya Eropa itu sendiri. Sebagai contoh, pemusatan putih pada keelokan bukanlah ide purba yang mengkastakan orang berkulit hitam sebagai kejelekan. Dengan demikian, kontak kolonial tidaklah semata-mata terefleksi dalam bahasa atau penggambaran dalam teks-teks sastra, bukanlah semata-mata latar belakang yang menempel pada drama manusia yang dibuat, tetapi aspek pusat dari hal-hal yang dikatakan teks-teks tersebut tentang identitas, relasi-relasi dan kebudayaan. Akan tetapi, seperti dinyatakan Loomba, perlu dipahami bahwa teks sastra bersifat krusial bagi susunan diskursus kolonial karena mereka bekerja secara imajinatif dan pada seseorang sebagai individu dan tidak secara sederhana merefleksikan ideologi dominan; mereka juga melawan ideologi-ideologi dominan, atau mengandung elemen yang tidak dapat seiring dengan ideologi-ideologi dominan tersebut (Loomba, 2000: 71-74) Imperialisme Lenin dan Kautsky dalam Imperialism, The Highest Stage of Capitalism (1916) menawarkan suatu definisi kontemporer terhadap imperialisme. Imperialisme oleh mereka dipandang sebagai suatu tingkatan dalam perkembangan kapitalisme. Dalam karya tersebut, Lenin menyatakan bahwa pertumbuhan industri di negara-negara Barat telah menimbun modal yang sangat besar. Akan tetapi, modal besar tersebut tidak akan memberikan keuntungan yang besar apabila hanya ditanam di negerinya yang terbatas dalam hal tenaga kerja, 32

33 sumber daya alam dan ketersediaan pasar. Oleh karena itu, negara-negara Barat perlu pindah dan menjajah negara lain yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja tetapi kekurangan modal. Dengan mengikuti argumen Lenin, kehadiran pemerintahan kolonial secara langsung di tanah jajahan tidak lagi diperlukan karena relasi ketergantungan ekonomi, sosial dan kendali atas buruh di tanah jajahan yang juga menjadi pasar bagi industri Eropa sama berharganya dengan harta benda wilayah jajahan (Loomba, 2000: 4-6 dan Schwarz et.al, 2005:28-30). Loomba, dengan mengikuti pendapat Lenin tersebut membuat perbedaan antara kolonisasi dengan imperialisme dalam dunia modern.kolonisasi Menurut Loomba sebagai pengambil-alihan wilayah, penyediaan sumber daya alam, eksploitasi tenaga kerja dan campur tangan terhadap struktur politik dan kebudayaan atas bangsa atau wilayah lain. Sedangkan imperialisme, dikatakan Loomba sebagai suatu sistem global, suatu fenomena yang bermula di metropolis,dan proses-proses yang bertujuan pada dominasi dan kontrol. Negaranegara imperial adalah metropole yang menjadi asal mula aliran kekuatan dan koloni adalah tempat yang dipenetrasi dan dikontrol. Dengan demikian, kita dapat menarik satu pengertian bahwa segala peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari imperialisme adalah kolonialisme dalam pengertian ini, imperialisme dapat berlangsung tanpa memerlukan bentuk formal koloni (Loomba, 2000: 6-7). Dari pernyataan-pernyataan di atas, kita bisa mengambil definisi bahwa Imperialisme adalah fenomena yang bermula dari negara-negara imperial sebagai pusat, sebagai proses-proses yang bertujuan pada dominasi dan kontrol atas 33

34 wilayah lain melalui penetrasi politik, kebudayaan dan ekonomi, demi ketersediaan sumber daya alam, buruh dan pasar bagi industri-industri di negaranegara imperial Pasca-kolonial / Pascakolonial Dasar semantis istilah pascakolonial terlihat mengisyaratkan suatu hubungan dengan proses dekolonisasi, suatu periode setelah berakhirnya pemerintahan kolonial pada suatu wilayah jajahan. Akan tetapi memahami pascakolonial semata-mata dalam hubungannya dengan periode setelah dekolonisasi wilayah jajahan adalah kurang tepat karena masih ada kelanjutan pengaruh kolonialisme oleh agresi Imperial Eropa. Atas dasar tersebut, Bill Ashcroft dalam Empire Write Back, menggunakan istilah pascakolonial untuk mencakup segala kebudayaan yang dipengarui oleh proses imperial sejak masa kolonisasi sampai pada masa sekarang dan memperluasnya sebagai istilah bagi suatu kritisisme lintas-budaya baru yang muncul belakangan dan untuk segala diskursus yang membentuknya setelah periode dominasi imperial Eropa berakhir dan akibat-akibatnya (Ashcroft. et.al, 2004:2). Meskipun kajian mengenai kuasa terhadap masyarakat terjajah telah dimulai sejak akhir tahun 1970-an, dalam teks-teks seperti Orientalism oleh Edward Said serta dalam karya-karya Spivak dan Bhabha, istilah pascakolonial belum digunakan dalam kajian-kajian tersebut. Kajian tentang akibat-akibat kolonial menjadi pusat perhatian dalam karya-karya tersebut. Istilah pascakolonial digunakan pertama kali untuk merujuk pada interaksi kultural 34

menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah

menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah menyebarkan semangat kejantanan dan keberanian revolusi Perancis ke tanahtanah jajahan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pelemahan maskulinitas lakilaki India dalam Caroline aux Indes sebagai bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra yang banyak diterbitkan merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk seni, tetapi sastra juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penjajahan pada periode sebelum terjadinya era modernisme menjadi sebuah rekaman bagi bangsa-bangsa yang akan mulai membentuk identitasnya. Berbicara mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teoretik 1. Teori Poskolonial Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba (2003) berasal dari kata Latin/Romawi colonia yang berarti tanah pertanian

Lebih terperinci

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber: BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca

BAB II LANDASAN TEORI. Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Simbol Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca memiliki pemahaman yang lebih dalam dari segi pemaknaan dan disertai juga adanya wawasan sudut pandang kultural.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya terbatas pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ibunya, dan sekaligus menjadi inti cerita dalam film dari Arab Saudi berjudul

BAB I PENDAHULUAN. ibunya, dan sekaligus menjadi inti cerita dalam film dari Arab Saudi berjudul BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Aku ingin membeli sepeda jadi aku bisa balapan dengan Abdullah... Kalimat di atas merupakan kalimat yang diungkapkan oleh Wadjda kepada ibunya, dan sekaligus

Lebih terperinci

Komunisme dan Pan-Islamisme

Komunisme dan Pan-Islamisme Komunisme dan Pan-Islamisme Tan Malaka (1922) Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009 Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini film dan kebudayaan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Film pada dasarnya dapat mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada suatu scene ada 9 orang perempuan dengan penampilan yang hampir sama yaitu putih, bertubuh mungil, rambut panjang, dan sebagian besar berambut lurus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu cipta karya masyarakat, sedangkan masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam karya sastra. Keduanya merupakan totalitas

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman.

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Tinjauan Buku Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Buku yang berjudul God and the Rethoric of Sexuality ini ditulis oleh Phyllis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI

DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI DESKRIPSI MATAKULIAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU KEPENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI Matakuliah : Agama (Islam, Kristen, Khatolik)* Deskripsi :Matakuliah ini mengkaji tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER)

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER) KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER) Definisi Postkolonialisme Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama susahnya dengan mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menyajikan serangkaian metode dan perspektif yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih tetap ada sampai sekarang ini. Wanita Jepang memiliki citra sebagai seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI Analisis Semiotika John Fiske pada Tayangan TVC Tri Always On versi Perempuan SKRIPSI Diajukan sebagai Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parfum Casablanca merupakan produk perawatan tubuh yang berupa body spray. Melalui kegiatan promosi pada iklan di televisi, Casablanca ingin menyampaikan pesan bahwa

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Film merupakan media komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan sosial maupun moral kepada khalayak dengan tujuan memberikan informasi, hiburan, dan ilmu

Lebih terperinci

Riwayat Hubungan Kerja Oleh: Agusmidah

Riwayat Hubungan Kerja Oleh: Agusmidah Riwayat Hubungan Kerja Oleh: Agusmidah Hubungan kerja dalam arti hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan pada/dibawah pimpinan orang lain/badan telah melewati berbagai fase. Di awali dengan hubungan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. Untuk mempermudah penelitian, maka objek kajian tersebut akan ditelisik dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini media hiburan merupakan hal yang sudah tidak asing lagi untuk diakses, salah satunya adalah permainan (game) baik yang secara tradisional maupun yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab lima ini peneliti memaparkan beberapa kesimpulan mengenai analisis nilai patriarkal dan ketidaksetaraan gender dalam roman L Enfant de sable karya Tahar Ben Jelloun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian terhadap perempuan dalam roman Au Bonheur des Dames karya Émile Zola yang diambil sebagai objek penelitian ini memiliki beberapa implikasi.

Lebih terperinci

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY Faculty of Humanities English Department Strata 1 Program 2012 MAIDS' RESISTANCE THROUGH THE BOOK TO EQUALIZE THE RIGHTS AS POTRAYED IN "THE HELP" MOVIE (2011)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu merupakan fase

BAB I PENDAHULUAN. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu merupakan fase BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lalu merupakan fase awal untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Melalui perjuangan bersenjata

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat

BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat BAB IV KESIMPULAN Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat perempuan mengalami opresi di berbagai aspek kehidupan. Ideologi patriarki tersebar begitu luas dan kekuatannya pun

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media penyampaian informasi. Kekuatan media massa televisi paling mempunyai kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metodologi guna mendapatkan data-data dari berbagai sumber sebagai bahan analisa. Menurut Kristi E. Kristi Poerwandari dalam bukunya yang berjudul Pendekatan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 9 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.3. Saussure: Organisasi Tanda Menurut Saussure, ada dua cara pengoganisasian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor

Lebih terperinci

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang

Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang BAB V KESIMPULAN Permasalahan pertama yang berusaha diungkap melalui penelitian ini adalah membuktikan dan sekaligus mempertegas pernyataan Levi-Strauss, yang mengatakan bahwa mitos asal usul orang Sasak

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi semiotika Modul ke: Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi Fakultas 13Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian

BAB I PENDAHULUAN. genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sekitar yang dituangkan dalam bentuk seni. Peristiwa yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan ekspresi yang kreatif dari sebuah ide, pikiran, atau perasaan yang telah dialami oleh seseorang dan diungkapkan melalui bahasa. Sastra adalah bentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari dengan teknologi yang diciptakan oleh manusia. Kemunculan produkproduk kecantikan masa kini menjanjikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin yang diproduksi oleh Maxima Pictures dengan menggunakan pendekatan signifikansi dua tahap dari Roland

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan informasi dan pengetahuan tentang sejarah, perkembangan, tokoh, hasil karya, beserta aliran yang terdapat dalam karya sastra prancis masih menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karya sastra. Di zaman modern seperti sekarang ini, karya sastra sudah berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. karya sastra. Di zaman modern seperti sekarang ini, karya sastra sudah berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah suatu hal yang yang tidak bisa lepas dari diri seorang manusia, dalam pribadi setiap manusia pasti memiliki rasa cinta atau rasa ingin tahu terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua bangsa di dunia memiliki cerita rakyat. Cerita rakyat adalah jenis sastra oral, berbentuk kisah-kisah yang mengandalkan kerja ingatan, dan diwariskan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan ini akan diberikan gambaran mengenai latar belakang penelitian. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada unsur intrinsik novel, khususnya latar dan objek penelitian

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN Perubahan lingkungan berimplikasi terhadap berbagai dimensi kehidupan termasuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini tentu saja sangat dirasakan oleh perempuan Kamoro yang secara budaya diberi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan masyarakat akan informasi yang terjadi setiap harinya, sudah menjadi kebutuhan penting di setiap harinya. Media massa merupakan wadah bagi semua informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

ANALISIS WACANA KRITIS : ALTERNATIF MENGANALISIS WACANA

ANALISIS WACANA KRITIS : ALTERNATIF MENGANALISIS WACANA ANALISIS WACANA KRITIS : ALTERNATIF MENGANALISIS WACANA Subur Ismail Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta ABSTRAK Analisis Wacana Kritis merupakan salah satu metode yang dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam berekspresi dapat diwujudkan dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sebuah karya sastra baik

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sajian pemberitaan media oleh para wartawan narasumber penelitian ini merepresentasikan pemahaman mereka terhadap reputasi lingkungan sosial dan budaya Kota Yogyakarta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu

Bab I. Pendahuluan. bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat itu bangsa Belanda melalui maskapai dagangnya, VOC, juga bermaksud melakukan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Salah satu persinggahannya adalah

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci