BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Cinta Pengertian Cinta Cinta adalah hubungan sehat antara sepasang manusia yang melibatkan perasaan saling menghargai, menghormati, dan mempercayai (Alwisol, 2009). Ada dua jenis cinta (dewasa) menurut Maslow yakni Deficiency atau D-love dan Being atau B-love. Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya, hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat seseorang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, lebih memperoleh daripada memberi. Sedangkan B-love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan orang itu. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang. Berbeda dengan skala cinta Rubin (dalam Sears, Freedman, & Peplau, 1985) yang mengkonsepkan cinta sebagai suatu 14

2 sikap terhadap orang lain, sebagai suatu himpunan pikiran yang khusus tentang orang yang dicintai. Menurut Rubin, ada tiga tema yang tercermin dalam pernyataan-pernyataan pada skalanya. Tema pertama, yang disebut Rubin sebagai kasih sayang (attachment), merupakan perasaan membutuhkan dan mendesak. Contoh pernyataan tentang tema ini adalah, Rasanya sulit bagi saya untuk hidup tanpa. Pernyataan ini mencerminkan kesadaran seseorang tentang ketergantungannya pada orang lain untuk mendapatkan ganjaran yang berharga. Tema yang kedua adalah keinginan untuk memberi perhatian pada seseorang seperti tergambar dalam pernyataan, Saya ingin melakukan segala sesuatu untuk. Hasrat untuk mengatakan kesejahteraan seseorang dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhannya merupakan inti dari tema ini. Tema ketiga menekankan pada rasa percaya dan pengungkapan diri. Dalam The Psychology of Love, Sternberg & Barners sebagai editor memberikan kesimpulan yang menarik mengenai taxonomi dari cinta. Menurut mereka tidak ada satu definisi atau single definition yang berguna dan akurat mengenai arti cinta itu. Cinta memang pada dasarnya unik karena kompleksitas keadaan-keadaan yang dirasakan dan dipikirkan oleh individu ketika mengalami hal yang disebut dengan cinta. Sehingga taxonomi dari cinta dikembalikan menjadi definisi yang diartikan, dibuat dan dinilai oleh individu kepada pasangannya. 15

3 Teori Segitiga Cinta Robert Sternberg (The Triangular Theory of Love) Robert Sternberg dalam bukunya tentang The Triangular Theory of Love atau yang biasa dimaknai dengan Segitiga Cinta Sternberg menunjukkan bahwa ternyata cinta memiliki tiga dimensi, yakni intimacy, passion, dan decision dan (atau) commitment. KEINTIMAN Menyukai Cinta Romantis Cinta Persahabatan Cinta Sempurna GAIRAH Cinta Gila Cinta Bodoh KOMITMEN Cinta Kosong Figur 2.1 Segitiga Cinta Sternberg Intimacy. Unsur emosional, melibatkan pengungkapan diri, yang mengarah ke keterikatan, kehangatan, dan rasa percaya. Dimensi ini tertuju pada kedekatan perasaan antara dua orang dan kekuatan yang mengikat mereka untuk bersama. Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional saat kedua pihak saling mengerti, 16

4 terbuka dan saling mendukung, dan dapat berbicara apa pun tanpa merasa takut ditolak. Mereka mampu untuk saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat atau berbuat kesalahan. Passion. Unsur motivasional, didasari oleh dorongan yang mentranslasi rangsangan fisiologis menjadi hasrat seksual. Dimensi passion menekankan pada intensnya perasaan dan keterbangkitan yang muncul dari daya tarik fisik dan daya tarik seksual. Pada jenis cinta ini, seseorang mengalami ketertarikan fisik secara nyata, selalu memikirkan orang yang dicintainya sepanjang waktu, melakukan kontak mata secara intens saat bertemu, mengalami perasaan indah seperti melambung ke awan, mengagumi dan terpesona dengan pasangan, detak jantung meningkat, mengalami perasaan sejahtera, ingin selalu bersama yang dicintai, memiliki energi yang besar untuk melakukan sesuatu demi pasangan mereka, merasakan adanya kesamaan dalam banyak hal, dan tentu saja merasa sangat berbahagia. Decision dan (atau) Commitment. unsur kognitif, merupakan keputusan untuk mencintai dan bertahan dengan sang kekasih. Pada dimensi ini, seseorang berkeputusan untuk tetap bersama dengan seorang pasangan dalam hidupnya. Komitmen dapat bermakna mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk menjaga suatu hubungan tetap langgeng, melindungi hubungan tersebut dari bahaya, dan memperbaiki bila hubungan dalam keadaan kritis. Pada dimensi 17

5 ini, seseorang mulai memikirkan tentang pernikahan. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah karena adanya cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan. Pasangan memiliki hasrat untuk membagi dirinya dalam hubungan yang berlanjut dan hangat (Turner & Helms, 1995). Setiap komponen ini akan berada pada sisi dari segitiga yang akan menggambarkan cinta dari dua individu yang dibagi. Setiap komponen dapat bervariasi dalam hal intensitasnya, mulai dari rendah hingga tinggi, sehingga memungkinkan terbentuknya segitiga yang bervariasi ukuran dan bentuknya. Dalam kenyataannya, dapat terjadi bentuk yang tidak dapat tergambarkan karena adanya salah satu komponen yang sangat rendah atau bahkan semuanya tidak ada. Berdasarkan tingkatan dari tiap komponen, kita dapat melihat beberapa tipe cinta dari tabel berikut, yaitu: Tabel 2.1 Tipe Cinta Robert Sternberg Unsur Keintiman Gairah Komitmen Tipe Tidak ada cinta (Non Love) Menyukai (Liking) Cinta Gila (Infatuation) Cinta Kosong (Empty Love) Cinta Romantis (Romantic Love) Cinta Persahabatan (Companionate Love) Cinta Bodoh (Fatuous Love) Cinta Sempurna (Consummate Love) 18

6 Penjelasan dari tabel di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Tidak ada cinta. Jika tidak terdapat ketiga komponen, yaitu intimacy, passion, dan commitment, maka cinta juga tidak ada. Hubungan jenis ini dapat diterima pada hubungan-hubungan yang superficial, seperti perkenalan, bukan pertemanan. 2. Menyukai, jika intimacy tinggi, namun passion dan commitment sangat rendah. Hubungan jenis ini dapat ditemui dalam pertemanan dengan kedekatan yang nyata dan kehangatan yang tidak membangkitkan gairah atau harapan bahwa kita akan menghabiskan sisa hidup kita dengan orang tersebut. Jika teman kita membangkitkan gairah dan kita merasakan kehilangan yang luar biasa jika ia pergi atau menghilang, maka hubungan tersebut tidap dapat digolongkan ke dalam tipe cinta ini. 3. Cinta Gila. Gairah yang kuat dalam ketiadaan intimacy dan decision atau commitment merupakan ciri dari jenis hubungan ini, yaitu saat seseorang mengalami rangsangan dari orang lain yang sulit mereka kenali. Contohnya, jika kita mengidam-idamkan seseorang yang satu sekolah dengan kita, namun kita jarang atau bahkan tidak pernah berbicara dengannya dan tidak punya kesempatan untuk mengenalnya. Kita tertarik, namun kita tidak berani untuk mendekat. Sternberg menjelaskan bahwa pada cinta ini terjadi pengalaman cinta pada pandangan pertama yang ditandai 19

7 dengan munculnya derajat passion yang tinggi, yaitu dari ketertarikan dan psychophysiological arousal. 4. Cinta Kosong. Komitmen tanpa intimacy atau passion disebut dengan cinta kosong. Dalam budaya barat, hal ini dapat dilihat dalam hubungan yang mengalami burned-out di mana kehangatan dan gairah telah mati dan keputusan untuk bersama atau komitmenlah yang merupakan satu-satunya hal yang tertinggal. Kondisi ini juga biasa terjadi pada pernikahan yang dijodohkan. Namun, dalam beberapa budaya lainnya, sebuah hubungan dapat saja dimulai dari cinta kosong. 5. Cinta Romantis. Ketika intimacy dan passion ada secara bersamaan, maka seseorang akan merasakan cinta romantis. Salah satu cara untuk membayangkan mengenai cinta romantis adalah sebagai kombinasi dari menyukai dan cinta gila. Orang sering kali berkomitmen terhadap romansa mereka, namun Sternberg berargumen bahwa komitmen bukanlah hal yang menggambarkan karakteristik dari cinta romantis. Sebagai contoh, sebuah hubungan cinta lokasi dapat menjadi sangat romantis, bahkan ketika mereka mengetahui hubungan tersebut akan berakhir ketika mereka sudah tidak berada dalam satu lokasi. Cinta ini terjadi karena level keintiman emosi yang tinggi, selain itu pasangan merasakan kedekatan dan konektivitas satu dengan yang lainnya. 20

8 6. Cinta Persahabatan. Intimacy dan komitmen bersatu untuk membentuk cinta untuk pasangan dekat atau cinta persahabatan. Sepasang individu berusaha untuk menjaga pertemanan hingga jangka panjang. Tipe dari hubungan ini dapat diidentifikasikan dengan pernikahan yang langgeng dan bahagia di mana gairah pasangan muda yang dulu ada secara bertahap semakin padam. 7. Cinta Bodoh. Keberadaan passion dan komitmen yang disertai dengan ketiadaan intimacy yang dinamakan cinta bodoh akan menghasilkan pengalaman yang tidak bijak atau tidak masuk akal. Hubungan ini dapat terjadi pada hubungan yang singkat di mana sepasang individu menikah secara cepat dengan dasar gairah yang luar biasa, namun belum memahami pasangannya secara menyeluruh. 8. Cinta Sempurna. Pada cinta ini, ketiga komponen terpenuhi dengan derajat yang seimbang. Kondisi ini dinamakan complete. Hal ini merupakan tipe cinta yang selalu dicari oleh semua orang, namun Sternberg (1987) mengungkapkan bahwa hal ini serupa dengan menurunkan berat badan: mudah untuk dilakukan dalam waktu sesaat, namun sulit untuk mempertahankan sepanjang waktu. Maka, cinta yang complete agak sulit untuk dicapai oleh pasangan. 21

9 Saat orang-orang diminta mendefinisikan elemen-elemen yang merupakan bumbu dasar cinta, mayoritas dari mereka menyetujui bahwa perasaan cinta merupakan gabungan dari hasrat (passion), keintiman (intimacy), dan komitmen (Aron dan Westbay, 1996; Lemieux dan Hale, 2000; Sternberg, 1997). Terdapat dua jenis cinta yang terkait dengan unsur-unsur cinta Sternberg (intimacy, passion, and commitment). Para psikolog yang meneliti perasaan cinta membedakan passionate love (cinta romantik), yang dicirikan oleh adanya emosi keintiman yang kuat dan ketertarikan seksual yang tinggi, dengan companionate love (cinta persahabatan) yang dicirikan oleh adanya afeksi, rasa percaya, dan perasaan tentram kala bersama orang yang dicintai (Hatfield dan Rapson, 1996). Passionate love merupakan situasi saat seseorang mengalami hasrat yang sangat kuat dan tidak bisa dijelaskan logika, jatuh cinta pada pandangan pertama, serta merupakan tahap awal dari hubungan cinta. Oleh Berscheid dan Walter hal ini dinamakan cinta birahi. Menurutnya (1985), cinta birahi dilukiskan sebagai keadaan emosional yang menggebu-gebu: perasaan seksual dan perasaan yang lembut, relasi dan rasa nyeri, kecemasan dan perasaan lega, altruism, dan kecemburuan, yang muncul bersama dalam suatu kegalauan perasaan. Emosi memainkan peranan utama dalam cinta birahi. Orang sering digoyahkan oleh nafsu yang tidak terkendalikan, yang mengarahkan mereka pada orang yang dicintai. 22

10 Keterbangkitan jasmaniah yang merupakan bahan bakar nafsu dalam jenis cinta ini, dapat muncul dari berbagai sumber. Nafsu seksual, kecemasan akan adanya kemungkinan penolakan, terlalu bergembira karena berkenalan dengan seseorang, frustasi karena gangguan dari luar, rasa marah sehabis bertengkar dengan kekasihnya, dapat menimbulkan keadaan emosi yang kuat dalam cinta birahi. Menurut Berscheid (1983), dorongan cinta birahi yang tidak terkendalikan dapat menjadi pembenaran yang tepat untuk melakukan perilaku yang umumnya tidak dapat diterima secara sosial seperti menjalin hubungan seksual di luar nikah. Mereka akan mengatakan tidak mampu mengendalikan diri sebagai usaha membela diri. Elemen lain dari cinta birahi adalah perasaan terhanyut bersama orang lain. Mereka terobsesi oleh pikiran-pikiran tentang orang cinta. Munculah kecenderungan untuk menganggap orang yang dicintai sebagai orang yang sempurna, melihat orang tersebut hanya dari segi yang indah dan sempurna. Banyak yang mengatakan bahwa cinta semacam ini akan muncul dengan tiba-tiba dan kemudian hilang begitu saja. Jenis cinta ini sangat kuat tetapi mudah hancur. Pada cinta persahabatan diartikan sebagai afeksi yang kita rasakan terhadap seseorang yang kehidupannya saling berjalin dengan kehidupan kita (Berscheid & Walter, 1978: 177). Ini merupakan bentuk cinta yang lebih praktis dan mengutamakan rasa saling mempercayai, saling memperhatikan, dan tenggang rasa terhadap 23

11 kekurangan dan keunikan pasangannya. Nada emosional dalam bentuk cinta ini lebih moderat. Kehangatan dan afeksi lebih sering muncul daripada nafsu yang menggebu. Kelley (1983) mengatakan, cinta persahabatan akan tumbuh perlahan-lahan sehingga kedua pihak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang memuaskan. Dia juga menduga, bentuk cinta ini lebih sering muncul dalam hubungan yang adil, di mana kedua pihak merasa sama-sama memperoleh keuntungan yang kurang lebih setara. Banyak orang merasa yakin bahwa bentuk cinta ini merupakan landasan yang kokoh bagi suatu hubungan jangka panjang. Model cinta birahi dan cinta persahabatan menunjukkan adanya gambaran yang berbeda-beda tentang pengalaman cinta. Orang mempunyai anggapan yang berbeda tentang mana yang terbaik atau yang paling tepat di antara keduanya. Perbedaan yang menyolok di antara keduanya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menarik tentang pengalaman-pengalaman emosi yang dialami seseorang dalam hubungan yang erat. Mengapa tahap awal hubungan romantis biasanya dicirikan oleh adanya emosi yang ekstrim sedangkan tahap selanjutnya ditandai oleh ketenangan dan kelunakan emosional? Pada sebagian besar hubungan berjalan beberapa tahun dan sebaliknya keintiman justru meningkat. Keintiman didasari oleh pengetahuan yang mendalam mengenai pasangan kita, yang didapat secara bertahap, sedangkan 24

12 passion mencapai puncaknya pada tahapan awal suatu hubungan, saat kedua orang memulai membuka dirinya masing-masing, dan passion akan mencapai titik terendahnya saat kedua orang tersebut memiliki pengetahuan yang maksimal mengenai kepercayaan dan kebiasaan pasangannya, saat mereka cenderung merasa tidak ada satu hal pun yang dapat mereka pelajari lagi mengenai pasangan mereka. Faktorfaktor biologi seperti sistem opiat yang dimiliki oleh otak dapat memberikan kontribusi untuk passion pada masa awal, namun sebagian besar psikolog meyakini bahwa faktor yang berkontribusi pada hubungan cinta jangka panjang dan bersifat intim lebih berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, temperamen, keseimbangan kekuatan serta kepribadian yang dimiliki oleh suatu pasangan, dan bukan semata-mata dipengaruhi hormon. Berscheid (1983) berpendapat bahwa sejalan dengan waktu, hal-hal yang pada mulanya terasa baru dan mengejutkan dalam suatu hubungan, perlahan-lahan akan memudar. Idealisasi tentang pasangannya akan mulai terbentuk pada kenyataankenyataan tentang ketidaksempurnaan manusia. Pasangan ini mulai mengembangkan bentuk interaksi yang rutin, dan pola kehidupan bersama menjadi semakin mantap. Namun, Berscheid juga berpendapat bahwa sejalan dengan berlanjutnya hubungan dan tumbuhnya interdependensi, potensi timbulnya emosi yang kuat akan semakin meningkat. Semakin kuat ketergantungan kita, pada orang lain, semakin besar pengaruh orang 25

13 tersebut dalam kehidupan kita. Namun, berlawanan dengan kenyataan itu, karena pasangan yang sudah membina hubungan untuk waktu yang cukup lama telah belajar untuk menata pola kegiatan mereka, biasanya frekuensi aktual dari emosi yang kuat menjadi rendah. Seperti yang dikatakan oleh Wade dan Tavris (2007) bahwa passionate love dapat menghilang atau berevolusi menjadi companionate love. Sternberg (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) membagi companionate love menjadi dua komponen: intimacy (keintiman) dan commitment (komitmen). Keintiman mengacu pada kehangatan, kedekatan, dan sharing dalam suatu hubungan. Sedangkan, komitmen mengacu pada intens atau niat untuk mempertahankan hubungan meskipun muncul kesulitan-kesulitan. Sternberg (1988) juga mengatakan bahwa keintiman maupun komitmen merupakan komponen yang cenderung stabil dalam suatu hubungan cinta. Sedangkan hasrat cenderung berfluktuasi dan tidak stabil. Keutamaan dari setiap elemen tersebut bervariasi tergantung pada lama sebentarnya sebuah hubungan. Pada hubungan yang baru dibangun, khususnya pada hubungan yang romantis hasrat cenderung mendominasi. sedangkan pada hubungan yang telah lama terjalin, keintiman dan komitmen lebih mendominasi. Tidak hanya itu, faktor usia juga memiliki faktor dalam mempengaruhi kehadiran unsur-unsur cinta dalam suatu hubungan. Hubungan romantis cenderung menjadi lebih kuat dan lebih dekat sepanjang masa remaja (Bouchey & Furman, 2003). Di usia 16 tahun, remaja lebih 26

14 banyak berinteraksi dan berpikir mengenai pasangan romantis dibandingkan dengan orang tua, teman atau saudara kandung (Bouchery & Furman, 2003). Pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal, hubungan romantis mulai untuk menjadi sumber kebutuhan emosional yang dapat diberikan oleh hubungan ini dan hanya ketika hubungan tersebut berorientasi untuk jangka panjang (Furman & Wehner, 1997). 2.2 Waria Pengertian Waria Menurut Poerwadarminta (dalam Rahayuningsih, 2007) mengartikan waria adalah laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya. Atmojo (dalam Rahayuningsih, 2007) berpendapat bahwa waria (wanita pria) adalah laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita. Sejalan dengan pendapat Poerwadarminta dan Atmojo, menurut Rais (2012) bahwa waria adalah laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan; laki-laki yang mempunyai perasaan dan bertingkah laku seperti perempuan. Pada istilah sehari-hari, mereka inilah yang sering disebut sebagai waria, wadam, banci, bencong, ataupun istilah semacam itu (Fusiah Fitri & Julianti Widury, 2005). Secara umum bisa diartikan bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia terlahir dengan jenis kelamin laki-laki namun memiliki kecenderungan 27

15 sikap, sifat, kepribadian dan hasrat seperti seorang perempuan, dan untuk memenuhi hasratnya sebagai seorang perempuan maka dalam kehidupan sosialnya dia mengambil peran sebagai perempuan, mulai dari cara berpakaian, cara berjalan dan tingkah laku selayaknya perempuan ( Istilah waria diberikan bagi penderita transeksual yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya. Namun, kelompok ini menurut Yash (2003) sulit untuk dijelaskan secara tepat. Karena dari sejumlah pengamatan dan wawancara pada waria yang pernah dilakukan olehnya di Yogyakarta, terbukti dari penuturan mereka bahwa mereka tidak memenuhi kriteria untuk transeksual. Diantaranya adalah pengakuan mereka bahwa mereka tidak merasa terganggu dengan penampilan/penampakan genital eksternal mereka, dan oleh karena itu mereka tidak menginginkan untuk melenyapkannya. Lebih jauh lagi, mereka sadar bahwa mereka dilahirkan sebagai laki-laki, meski berpenampilan dan berperilaku sebagai perempuan. Terdapat kemungkinan bahwa kelompok ini dapat disebut sebagai kelompok transgenderis. Mereka memenuhi ciri-ciri kelompok ini yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin berdasarkan genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara lengkap. Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah 28

16 antara Gender Motivated Transvestit dan Transeksual. Gender Motivated Transvestit ini dapat merupakan sebuah bentuk gender dysphoria, dan dapat juga tidak. Sekali lagi, bagaimanapun juga transvestite berbeda dengan transeksual; karena transvestite selalu memiliki identitas utama laki-laki, meski kadang-kadang melarikan diri kearah alter ego perempuannya, sementara transeksual laki-laki ke perempuan selalu memiliki identitas perempuan. Menurut Yash (2003) ciri lain kelompok waria adalah bahwa mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untuk dicantumkan berjenis kelamin waria. Hal ini juga sesuai dengan ciri kelompok transgender yang menginginkan adanya jenis kelamin ketiga. Berbeda dengan transeksual yang jelas merasa bahwa diri mereka anggota salah satu gender yang ada, yakni laki-laki, atau perempuan, dan bukan yang lain. Menurut diagnosis medis konvensional, transeksualisme adalah salah satu bentuk Gender Dysphoria (kebingungan gender). Gender Dysphoria adalah sebuah term general bagi mereka yang mengalami kebingungan atau ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Bentuk yang lebih ringan dari kondisi ini menyebabkan perasaan sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin yang didasarkan pada genital fisik, akan tetapi hanya kadang-kadang ada, atau tidak sempurna. Transeksualisme adalah bentuk yang paling berat dari kondisi ini. 29

17 Transeksual adalah masalah identitas gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang apakah dirinya laki-laki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh seorang transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang dikenakan kepadanya berdasarkan genital fisiknya. Berdasarkan pendapat-pendapat para tokoh diatas, tampaknya tidak semua waria dapat dimasukkan dalam kelompok transeksual. Paling tidak dapat dikatakan bahwa tidak semua waria adalah transseksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individuindividu transseksual terdapat didalam komunitas kelompok waria ini. Kondisi yang cenderung memiliki kemiripan ini membuat kondisi waria dan transeksual mudah tertumpangtindih karena kemiripan penampakannya. Sehingga, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa waria adalah seorang individu yang secara lahiriah dia terlahir dengan jenis kelamin laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita dan tidak merasa terganggu dengan penampilan atau penampakan genital eksternal mereka, dan oleh karena itu mereka tidak menginginkan untuk melenyapkannya Kriteria Waria Waria adalah istilah yang sering kali hendak menjelaskan fenomena transeksualisme. Sehingga, di identikan dengan transeksual. Kriteria Gangguan transeksual dalam DSM IV-TR adalah: 30

18 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu: A. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan bahwa ia adalah lawan jenis B. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis C. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus-menerus berfantasi menjadi lawan jenis D. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan jenis E. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis 3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis 4. Rasa tidak nyaman yang terus-menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut A. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya: pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai permainan stereotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan cara duduk; yakin bahwa penis akan tumbuh; merasa tidak suka dengan 31

19 payudara yang membesar dan menstruasi; merasa benci/tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional B. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam satu hal diantaranya: keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi; yakin bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah 5. Tidak sama dengan kondisi fisik antarjenis kelamin 6. Menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan Penyebab Waria Terdapat beberapa kemungkinan faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi waria. Adanya faktor biologis memiliki pengaruh pada hormonal. Menurut Green dan Blanchard (dalam Gunawan, 2002) anak perempuan yang memproduksi androgen secara berlebihan, lebih menyukai permainan yang kasar dengan kontak fisik. Mereka juga tidak menyukai boneka serta ingin dianggap tomboi. Sedangkan anak laki-laki yang kurang memproduksi hormon androgen, merasa perlu berupaya keras untuk bergabung dalam kegiatan olah raga, terutama yang bersifat kompetitif. Mereka juga cenderung untuk menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik (Wolman, 1977). Gender confusion akan timbul ketika terjadi produksi yang 32

20 abnormal dari hormon-hormon ini oleh otak. Keabnormalan yang timbul selama kehidupan fetal dan post-natal ini, mungkin akan terefleksikan pada masa dewasa (Yash, 2003). Faktor penyebab kedua adalah lingkungan atau teori pembelajaran sosial. Dalam Gunawan (2002) teori pembelajaran sosial memfokuskan pada perbedaan penguatan yang diberikan orang tua untuk jenis kelamin yang berbeda. Orang tua atau anggota keluarga lain yang dekat dengan anak menjadi figur teladan bagi pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Teladan dari tokoh-tokoh lain merupakan contoh pelengkap. Penguatan itu bertujuan untuk membentuk sikap maskulin atau feminin (Green & Blanchard, 1995; Nealle, Davidson & Haaga, 1996; Wolman, 1977). Yash (2003) menyatakan, bahwa menurut teori lingkungan ini sekse di mana anak dibesarkan dan konsistensi yang mengikutinya adalah peramal terbaik dari identitas gendernya di masa depan. Dan faktor kemungkinan selain biologis dan lingkungan menurut Hidayanto (2010) adalah psikogenik. Seseorang menjadi waria juga ada yang disebabkan oleh faktor psikologis, dimana pada masa kecilnya, anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis kelamin yang lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim keluarga yang tidak harmonis yang mempengaruhi perkembangan psikologis anak maupun keinginan orang tua memiliki anak perempuan namun kenyataannya anaknya 33

21 adalah seorang laki-laki. Kondisi tersebut, telah menyebabkan perlakuan atau pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan telah membentuk perilaku laki-laki menjadi feminin bahkan kewanitaan Waria dalam Pandangan Masyarakat Menurut Ramadhani (2012) eksistensi waria yang merupakan bagian dari fenomena transgender, istilah umum untuk menggambarkan aktivitas peran gender yang berkebalikan dengan nilai gender konvensional telah melekat secara historikal di Tanah Air. Di Makasar, misalnya, ada yang disebut bissu, sosok spiritual yang berperilaku feminin, kontras dengan fisiknya yang laki-laki. Mereka sangat dihormati dan menjadi bagian penting dalam sebuah ritual budaya bugis. Tidak semua orang bisa menerima keberadaan waria. Para bissu di Makasar pun pernah mengalami masa-masa sulit: dicemooh, dianggap murtad, dan tidak sedikit pula yang dibunuh. Waria dipandang abnormal, nyeleneh, tabu, dan melanggar norma-norma. Banyak yang akhirnya diusir dari keluarga dan putus sekolah. Karena tak memiliki keterampilan memadai dan ada desakan kebutuhan finansial, maka tidak sedikit yang terjun ke dunia prostitusi alias nyebong atau jual diri. Sektor formal seperti kerja kantoran, sulit untuk menerima mereka. 34

22 Keberadaan waria belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat, meski sebenarnya menjadi waria adalah satu proses historis yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga seseorang benar-benar dapat mempresentasikan secara total perilakunya sebagai waria. Perilaku waria, dengan identitas laki-laki dengan dandanan perempuan, di pandang masyarakat sebagai perilaku menyimpang secara kultural maupun dalam praktik-praktik relasi seksualnya. Menurut Koeswinarno (2004) sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individual maupun sosial. Secara individu antara lain, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis. Hal ini menimbulkan konflik psikologis dalam dirinya. Mereka mempresentasikan perilaku yang jauh berbeda dengan laki laki normal, tetapi bukan sebagai perempuan yang normal pula. Permasalahannya tidak sekadar menyangkut masalah moral dan perilaku yang dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan memerlukan penyaluran (Kartono, 1989: 257).Namun demikian, berbagai dorongan seksual waria belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat. Secara normatif, tidak ada kelamin ketiga di antara laki laki dan perempuan. Salah satu dorongan seksual yang dianggap menyimpang dari nilai dan tradisi adalah masalah relasi seksual yang dilakukan oleh 35

23 waria. Seperti halnya relasi seksual yang dilakukan oleh kaum homoseksual dan lesbian, waria juga mengalami konflik yang sama dengan manusia normal lainnya, yang pada suatu fase tertentu memerlukan penyaluran (Lerner dan Spanier, 1980: ). Di lain pihak, akibat penyimpangan perilaku yang mereka tunjukkan sehari-hari juga dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan. Belum semua anggota masyarakat, termasuk keluarga mereka sendiri, dapat menerima kehadiran seorang waria dengan wajar sebagaimana jenis kelamin lainnya. Kehadiran seorang waria di dalam sebuah keluarga sering kali dianggap sebagai sebuah aib, sehingga waria senantiasa mengalami tekanan-tekanan sosial. Di dalam pergaulan mereka juga menghadapi konflik-konflik dalam berbagai bentuk dari cemoohan, pelecehan hingga pengucilan. Konflik-konflik di atas menyebabkan dunia waria semakin terisolasi dari lingkungan sosial, sementara waria dituntut harus tetap mampu survive dalam lingkungan yang mengisolasikan dirinya itu. Dengan sendirinya konflik konflik itu pulalah yang pada gilirannya menjadi realitas objektif kehadiran waria. Akibat masalah masalah tersebut persoalan dunia waria akhirnya berada dalam konteks sulitnya mensosialisasikan perilaku mereka di dalam lingkungan sosial. Uraian tersebut menunjukkan bagaimana sebenarnya seorang dihadapkan kepada kenyataan, bahwa mereka harus mampu menjadi waria, bukan laki laki atau perempuan. 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cinta (Love) 1. Pengertian Cinta Chaplin (2011), mendefinisikan cinta sebagai satu perasaan kuat penuh kasih sayang atau kecintaan terhadap seseorang, biasanya disertai satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok remaja akhir terlibat dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok remaja akhir terlibat dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok remaja akhir terlibat dalam interaksi sosial. Salah satu faktor yang melatar belakangi seorang individu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sejarah manusia, belum. ditemukan seorang manusia yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sejarah manusia, belum. ditemukan seorang manusia yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam sejarah manusia, belum ditemukan seorang manusia yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia juga mahluk yang memiliki keterikatan dengan hadirnya orang lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia juga mahluk yang memiliki keterikatan dengan hadirnya orang lain BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap manusia pada hakikatnya dilahirkan tidak hanya sebagai mahluk yang hidup berdiri sendiri saja atau mahluk individual. Namun, pada dasarnya manusia juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim

BAB I PENDAHULUAN. pada rentang usia tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Santrock mengatakan bahwa individu pada masa dewasa awal yang berada pada rentang usia 19 39 tahun mulai membangun sebuah relasi yang intim dengan individu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

KETERTARIKAN ANTAR PRIBADI

KETERTARIKAN ANTAR PRIBADI KETERTARIKAN ANTAR PRIBADI Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id www.uny.ac.id 1 Afiliasi : Asal Mula Ketertarikan Akar afiliasi pada saat infancy 6 hal penting yang dapat diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di tengah perkembangan jaman yang semakin maju dan sarat perubahan di segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan teknologi semakin canggih membuat komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin canggih dan berbagai sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan pria. Istilah lain waria adalah wadam atau wanita adam. Ini bermakna pria atau adam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan hal yang umumnya akan dilalui dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan hal yang umumnya akan dilalui dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Pernikahan merupakan hal yang umumnya akan dilalui dalam kehidupan ini. Sebagian besar manusia dewasa, akan menghadapi kehidupan pernikahan. Sebelum memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini keragaman fenomena sosial yang muncul di kota-kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini keragaman fenomena sosial yang muncul di kota-kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini keragaman fenomena sosial yang muncul di kota-kota besar di Indonesia semakin kompleks dan berkembang dengan cepat, bahkan lebih cepat dari tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Kepuasan dalam Hubungan Romantis

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Kepuasan dalam Hubungan Romantis BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan dalam Hubungan Romantis 1. Definisi Kepuasan dalam Hubungan Romantis Hubungan romantis merupakan aktivitas bersama yang dilakukan oleh dua individu dalam usaha untuk saling

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kebanyakan orang-orang hanya melihat dari kulit luar semata. Lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang Orientasi Seksual a. Pengertian Orientasi Seksual Setiap individu memiliki suatu ketertarikan, baik secara fisik maupun emosional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun Surabaya pada bulan Juli-Oktober 2012 pada pelajar SMA dan sederajat yang berusia 15-17 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends

Bab 4. Simpulan dan Saran. disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends Bab 4 Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis data yang penulis lakukan pada bab analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Ruka Kishimoto dalam serial drama Jepang Last Friends merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah bagi diri anda sendiri? 2. Bagaimana anda menggambarkan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat pederitanya merasa bahwa identitas gendernya (sebagai laki-laki atau perempuan) tidak sesuai dengan anatomi biologisnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya. Kehidupan waria sama dengan manusia lainnya. Selaras dengan kodrat manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan.

Bab 5. Ringkasan. Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Adapun tujuan dan metode penelitian juga tercantum dalam pendahuluan. Bab 5 Ringkasan 5.1 Ringkasan Isi Skripsi Mengenai Analisis Psikologi Transgender Pada Tokoh Ruka Kishimoto Dalam Serial Drama Jepang Last Friends. Dalam bab ini, penulis akan menjabarkan ringkasan dari

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI MODUL PERKULIAHAN HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cinta 1. Pengertian Cinta Stenberg (1988) mengatakan cinta adalah bentuk emosi manusia yang paling dalam dan paling diharapkan. Manusia mungkin akan berbohong, menipu, mencuri

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. BAB I PENDAHULUAN. 1

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. BAB I PENDAHULUAN. 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. i ii BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB II LANDASAN TEORI II.A DEFINISI CINTA.. 5 II.B KOMPONEN-KOMPONEN CINTA II.B.1 Keintiman (Intimacy).. 6 II.B.2 Gairah (Passion). 8 II.B.3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam hidupnya akan selalu berkembang dan harus melalui tahap-tahap perkembangannya. Akibat dari perkembangan tersebut, manusia akan mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Seksual. laku individu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Seksual. laku individu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual 1. Definisi Perilaku Seksual Sarwono (2005) mengungkapkan bahwa perilaku seksual adalah tingkah laku individu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi pada nilai, norma sosial, serta pola interaksi dengan orang lain. Pada perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abraham Maslow (1970) dalam Hergenhanh (1980) mengatakan bahwa. tinggi. Abraham Maslow (1970) dalam Hergenhanh (1980) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. Abraham Maslow (1970) dalam Hergenhanh (1980) mengatakan bahwa. tinggi. Abraham Maslow (1970) dalam Hergenhanh (1980) menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, manusia merupakan makhluk yang memiliki berbagai macam kebutuhan, misalnya kebutuhan yang sifatnya fisik seperti sandang, pangan, dan papan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Pernikahan pada dasarnya menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang terus berkembang selalu membawa pengaruh positif dan negatif. Dampak perkembangan yang bersifat positif selalu dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masa dewasa merupakan masa dimana setiap individu sudah mulai matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock (dalam Jahja, 2011), rentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di dunia ini dimana manusia memiliki akal, pikiran, dan perasaan. Manusia bukanlah makhluk individual yang

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk yang tidak pernah berhenti berubah, semenjak pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan baik dalam kemampuan fisik maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a mixed methods

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a mixed methods BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah a mixed methods research designs yaitu prosedur penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan, dan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Adapun

Lebih terperinci

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM

SEX EDUCATION. Editor : Nurul Misbah, SKM SEX EDUCATION Editor : Nurul Misbah, SKM ISU-ISU SEKSUALITAS : Pembicaraan mengenai seksualitas seringkali dianggap sebagai hal yang tabu tidak pantas dibicarakan dalam komunitas umum bersifat pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana pada masa ini akan terjadi perubahan fisik, mental, dan psikososial yang cepat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang mengungkapkan konsep mengenai dispositional optimism, yaitu. Selligman (2006) mengungkapkan konsep learned helplessness

BAB II LANDASAN TEORI. yang mengungkapkan konsep mengenai dispositional optimism, yaitu. Selligman (2006) mengungkapkan konsep learned helplessness BAB II LANDASAN TEORI A. OPTIMISME 1. Definisi Optimisme Carver dan Scheier (dalam Snyder, 2003) menyatakan bahwa optimisme merupakan pandangan seseorang mengenai masa depannya. Pandangan ini tentu saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama, kognitif dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mendapatkan pasangan hidup yang terbaik, tentu menjadi harapan setiap manusia. Pasangan hidup saling membutuhkan kasih sayang, perhatian dan kecukupan pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. remaja dan yang terakhir adalah masa dewasa. Di dalam masa dewasa, setiap

Bab 1. Pendahuluan. remaja dan yang terakhir adalah masa dewasa. Di dalam masa dewasa, setiap Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Setiap individu tentunya akan mengalami pertambahan usia. Pertambahan usia setiap individu itu akan terbagi menjadi masa kanak kanak kemudian masa remaja dan yang terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan salah satu proses yang biasanya dijalani individu sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan pasangan. Pada masa pacaran, individu saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut adalah suatu proses yang alami yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Lansia ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan kehidupan seksual. Gelaja-gelaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PASSIONATE LOVE PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PASSIONATE LOVE PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PASSIONATE LOVE PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan individu tidak lepas dari pencarian identitas dan jati diri. Pencapaian kebermaknaan hidup dapat diartikan lebih luas sebagai usaha manusia untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu proses penyatuan dua individu yang memiliki komitmen berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang sastra dan budaya. Selain itu, Jepang juga melahirkan banyak penulis berbakat. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd Pertumbuhan : Perubahan fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berjalan normal pada anak yang sehat dalam perjalanan

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa pemilihan yang akan menentukan masa depan seseorang. Tidak sedikit dari remaja sekarang yang terjerumus dalam berbagai permasalahan.tidak

Lebih terperinci

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : ANDRI SUCI LESTARININGRUM F 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada umumnya memiliki perilaku yang berbeda-beda sesuai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada umumnya memiliki perilaku yang berbeda-beda sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada umumnya memiliki perilaku yang berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing-masing. Perilaku adalah merupakan perbuatan atau tindakan dan perkataan seseorang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang indah, tetapi tidak setiap remaja dapat menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang beberapa permasalahan

Lebih terperinci