KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA"

Transkripsi

1 KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA Oleh Adi Purwandana Laboratorium Oseanografi Fisika, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI-Jakarta ABSTRACT STUDY ON VERTICAL MIXING OF WATER MASSES AND ITS BENEFITS. Vertical mixing of water masses is occurred due to turbulence of water mass parcel with different densities. This parameter is quantified by vertical eddy diffusivity value. The turbulence is affected by disturbance of water mass parcel which is caused by internal wave and/or when its water mass passing topography feature, such as sill. Study on vertical mixing is needed e.g. to quantify transformation of Indonesian Through Flow water mass characteristics, and valuable to estimate fertility of waters. ABSTRAK KAJIAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR DAN MANFAATNYA. Percampuran vertikal massa air disebabkan oleh turbulensi parsel massa air dengan densitas yang berbeda. Parameter ini dikuantifikasi dengan nilai difusivitas eddy vertikal. Turbulensi parsel massa air dapat diakibatkan massa air yang terusik oleh fenomena gelombang internal maupun ketika aliran massa air yang bertemu dengan fitur konfigurasi topografi, seperti sill (ambang). Kajian percampuran massa air bermanfaat di antaranya dalam kuantifikasi perubahan karakteristik massa air Arus Lintas Indonesia dan estimasi tingkat kesuburan suatu perairan. PENDAHULUAN Kajian percampuran massa air merupakan topik penting dalam berbagai isu, mulai dari iklim regional yang berkaitan dengan transfer bahang dan massa air tawar ke lapisan termoklin, yang pada gilirannya mempengaruhi kesetimbangan radiatif-konvektif di atmosfer (Ffield dan Gordon, 199). Kajian percampuran massa air juga penting untuk mendapatkan nilai fluks nutrien serta hubungan tidak langsung antara fluks nutrien dengan pertumbuhan fitoplankton (Cullen et al., 1983). Tulisan ini akan mengkaji konsep dasar percampuran vertikal massa air, hal-hal yang memicunya, serta beberapa manfaat kajiannya. STABILITAS DAN TURBULENSI MASSA AIR Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas, dan tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983). Secara umum, densitas massa air akan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi tidak adanya gangguan, massa air yang memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas tinggi. Adanya gangguan akan berpotensi 9

2 mendistorsi profil tersebut yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur secara vertikal, di mana massa air dengan densitas tinggi berada di atas massa air berdensitas rendah. Parsel massa air dengan ketidakstabilan ini selanjutnya akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990). Fluida dikatakan tidak stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya. Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard, 1983). Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas (E) (Stewart, 00): 1 E..... (1) z di mana ρ adalah densitas (kg m -3 ) dan z adalah kedalaman (m). Fluida dikatakan stabil jika E>0, netral jika E= 0 dan tidak stabil jika E<0. Jika perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan perairan akan semakin stabil. Stabilitas kolom air juga dipengaruhi oleh kondisi stratifikasi (pelapisan) perairan yang dapat memodifikasi dinamika turbulensi. Turbulensi merupakan proses fisika dominan dalam transfer momentum dan bahang, serta dispersi partikel zat terlarut, partikel organik dan anorganik; baik di danau, lautan, samudera, maupun fluida yang menyelimuti bumi dan planet lainnya. Turbulensi secara umum dipahami sebagai keadaan gerak yang aktif, rotasional, berpusar, dan tidak beraturan (Thorpe, 007). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik, serta pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar. Secara sederhana, turbulen eddy dalam kondisi massa air yang terstratifikasi harus dalam kondisi di mana fluida yang berdensitas tinggi berada di atas fluida yang berdensitas rendah, sehingga menghasilkan pembalikan (overturn) (Gambar 1). Proses ini membutuhkan peningkatan energi potensial, di mana usaha yang dilakukan melawan gaya apung untuk dapat mengangkat atau menurunkan fluida. Berdasarkan hukum kekekalan energi, pada akhirnya energi harus dipasok dan hilang dari eddy dalam parsel kolom air tersebut. 10

3 Gambar 1. Pusaran overturning pada bidang batas dua densitas massa air yang berbeda. Pada (b) dan (d), massa air dengan densitas yang lebih rendah terusik ke level di bawahnya dan massa air dengan densitas lebih tinggi terbawa ke atas. Efek keseluruhannya, terbentuk eddy di mana pusat gravitasi fluida terangkat sehingga meningkatkan energi potensial (Thorpe, 007). Turbulensi akan tertekan pada kondisi stratifikasi yang kuat, sehingga dibutuhkan energi turbulen yang lebih besar untuk melawan besarnya gradien vertikal dari densitas (Fer et al., 004). Dalam sudut pandang mendasar, transisi menuju turbulen dalam suatu aliran yang terstratifikasi merupakan kajian yang penting untuk memahami percampuran dan proses dinamik. Dinamika percampuran pada lapisan terstratifikasi stabil dikendalikan oleh kompetisi antara sesar (shear) arus vertikal, sebagai latar dari aliran dengan gaya apung yang dipengaruhi oleh stratifikasi densitas (Martinez et al., 006). Efek apung berperan dalam mereduksi laju pertumbuhan perturbasi/gangguan dan menunda transisi ke arah turbulen, sedangkan shear berperan memasok energi kinetik. Lapisan percampuran pada aliran terstratifikasi terbentuk pada bidang batas (interface) dua aliran horizontal fluida yang sejajar namun dengan kecepatan dan densitas berbeda. Seiring meningkatnya stratifikasi, medan kecepatan akan cenderung mengarah lebih horizontal. Meskipun demikian, adanya disipasi gesekan dengan lapisan-lapisan horizontal di sebelahnya, proses ini akan menguras energi komponen turbulensi terstratifikasi (Riley dan Lelong, 000). Karakteristik stratifikasi massa air dan kemungkinan terjadinya turbulensi, secara kuantitatif dapat diestimasi dari bilangan gradien Richardson (Ri). Gradien Ri diungkapkan sebagai (Kitade et al., 003; Yoshida dan Oakey, 1996): N Ri... () S di mana N dan S berturut-turut adalah frekuensi buoyancy, dan arus shear. Nilai frekuensi buoyancy atau yang juga dikenal sebagai frekuensi Brunt Väisälä dan shear berturut-turut ditentukan melalui hubungan: N g 0... (3) z 11

4 S u v (4) z z dengan g dan ρ adalah percepatan gravitasi bumi (9,7943 m s - ) dan densitas (kg m -3 ), sedangkan ρ 0 merupakan densitas latar (background) perairan. Adapun u dan v berturut-turut adalah komponen zonal dan meridional dari arus (m s -1 ). Gradien Richardson (Ri) mengekspresikan besaran relatif gaya-gaya yang menstabilkan stratifikasi densitas terhadap pengaruh-pengaruh yang mengganggu kestabilan shear arus (Delpeche et al., 010). Representasi nilai gradien Richardson merupakan indikator turbulensi dalam perairan, di mana nilai Ri yang tinggi menunjukkan terjaganya turbulensi. Adapun nilai Ri yang rendah menunjukkan ketertekanan atau kecilnya turbulensi (Pond dan Pickard, 1983). Nilai Ri juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara kuantitatif percampuran antarmuka (interfacial mixing) (Delpeche et al., 010). Nilai Ri yang lebih besar dari 0,5 mengindikasikan kolom air yang stabil (Pickard dan Emery, 1990). Richardson (190) menyatakan bahwa nilai kritis di mana percampuran dapat terjadi pada kondisi terstratifikasi adalah 0<Ri c <1. Namun, dalam kajian teoritis selanjutnya menempatkan nilai kritis ini dalam rentang 0<Ri c <0,5 untuk pertumbuhan ketidakstabilan tercepat (Miles dan Howard, 1964). Delpeche et al. (010) menggunakan batasan pertama agar mencakup semua kondisi percampuran. Bruno et al. (006) menggunakan batasan kedua, di mana jika nilai Ri mendekati 0,5 (nilai kritis) maka mengindikasikan percampuran dimungkinkan terjadi secara reguler dalam suatu porsi kolom air. Pada kasus internal waves (gelombang internal) dengan periode pendek, dapat memungkinkan dihasilkannya nilai Ri di bawah nilai kritis, sehingga peran pasut internal (internal tides) menjadi kurang signifikan atau dapat diabaikan. Nilai Ri hanya mengindikasikan bahwa percampuran antarmuka dapat terjadi dan tidak merefleksikan mekanisme khusus yang melatarbelakanginya (Delpeche et al., 010). Gambar. Plot kejadian overturning parsel massa air (tanda lingkaran hitam) yang relatif sering terjadi pada nilai 0<Ri<0,5. Titik-titik halus adalah plot pengukuran CTD (Alford dan Pinkel, 000). 1

5 PENSKALAAN PERCAMPURAN VERTIKAL MASSA AIR Teori seputar pengadukan turbulen seringkali bergantung pada asumsi-asumsi tentang skala panjang/jarak eddy turbulen. Pada mulanya, teori panjang percampuran secara eksplisit menggunakan ukuran eddy turbulen sebagai variabel mendasar (Dillon, 198). Terdapat dua skala panjang percampuran parsel air yang saling berkaitan. Dua skala ini masing-masing merepresentasikan kondisi yang memicunya, yakni Skala Thorpe yang berhubungan dengan medan densitas, dan Skala Ozmidov yang berhubungan dengan medan aliran/arus. 1. Skala Thorpe (L T ) Thorpe (1977) mengukur profil temperatur di perairan danau dan memperoleh ketidakstabilan dinamik, yang kemudian diasosiasikan sebagai inversi atau pembalikan (overturn), yang merupakan indikasi adanya percampuran vertikal. Metode yang dirintisnya dimulai dengan melakukan penyusunan ulang (reorder) pada profil densitas yang mengandung inversi menjadi profil baru tanpa inversi, atau profil yang monoton. Fluktuasi perpindahan ini merupakan representasi dari eddy, di mana tajam pada batas atas dan bawah, dengan percampuran yang intensif di dalamnya. Dillon (198) mengkonfirmasikan bahwa di perairan laut, ketidakstabilan ini berkaitan dengan disipasi turbulen, yang kemudian digunakan untuk memperkirakan koefisien difusivitas (K Z atau K ρ ). Dengan demikian, perpindahan skala Thorpe sangat berguna untuk menggambarkan jangkauan vertikal peristiwa percampuran. Secara teknis, data mentah tekanan dan densitas dirata-ratakan ke dalam segmen tekanan (dbar) tertentu, dan disusun ulang sehingga perubahan densitas terjadi secara monoton terhadap kedalaman sehingga menghasilkan profil yang stabil secara dinamik. Skala Thrope (L T ) dihitung dengan menggunakan persamaan: L 1 n n T d i i1 1 /.... (5) di mana d adalah jarak di mana setiap segmen densitas bergerak naik atau turun, d i adalah perpindahan skala Thorpe pada kedalaman i, dan n adalah jumlah sampel rentang kedalaman. Setiap nilai L T diperoleh dari hasil perata-rataan n buah sampel pada kedalaman atau lapisan yang diinginkan (Dillon, 198; Finnigan et al., 00; Cisewski et al., 005; Park et al., 008). 13

6 Gambar 3. Perbandingan densitas (atas) dan temperatur (bawah) hasil pengukuran dengan setelah disusun ulang (reorder) yang memperlihatkan adanya ketidakstabilan secara gravitasi parsel massa air yang memicu turbulensi vertikal (tanda panah), yakni perpindahan parsel massa air yang lebih berat (ringan) di bagian atas (bawah) menuju ke bawah (atas) (Purwandana, 01). Secara umum, data CTD lebih jarang digunakan daripada data Mikrostruktur untuk mendapatkan skala Thorpe karena adanya efek getaran kawat, goyangan kapal, dan percampuran oleh rangka CTD. Meskipun demikian, nilai-nilai yang diperoleh dapat dinyatakan valid karena beberapa alasan. Tingkat noise di perairan laut lebih kecil dibandingkan dalam skala laboratorium. Kontaminasi dari rangka dan goyangan kapal dapat direduksi dengan menghilangkan bagian-bagian cast yang terdistorsi oleh gerakan balik ke atas (umumnya ketika CTD diturunkan perlahan ke dasar perairan). Jika penurunan CTD dilakukan terlalu cepat, efek yang timbul adalah pembalikan (overturn) akan tampak tidak berubah terhadap waktu. Dengan demikian, variasi kecepatan penurunan CTD dan diskontinuitas data hanya akan memiliki sedikit pengaruh pada hasil yang didapat (Sherwin dan Turrell, 005). Dengan demikian, data CTD dengan frekuensi standar penurunan (downcast) 4 Hz masih dapat digunakan untuk menghitung 14

7 difusivitas eddy vertikal menggunakan skala Thorpe, dengan prosedur pengolahan sebagaimana dinyatakan Galbraith dan Kelley (1996) serta Gargett dan Garner (008). Seringkali sulit menentukan apakah inversi densitas merupakan overturn dari densitas parsel air yang tidak stabil. Terdapat dua kesulitan, pertama noise acak pada sensor temperatur dan konduktivitas dapat menghasilkan error dan menghasilkan inversi nonfisis. Kondisi ini dapat terjadi pada daerah dengan gradien temperatur rendah, di mana fluktuasi skala kecil yang masuk ke dalam sensor serupa dengan sensitivitas sensor. Kedua, spike salinitas dapat memunculkan inversi spurious (tidak terkendali) pada nilai densitas (Alford dan Pinkel, 000). Spike dapat dideteksi dengan menguji karakteristik massa air pada areadaerah inversi kaitannya dengan keeratan (tightness) hubungan TS (Temperatur-Salinitas) (Galbraith dan Kelley, 1996); atau dengan mensyaratkan perpindahan skala Thorpe yang nonzero pada data temperatur dan densitas (Peters et al., 1995). Galbraith dan Kelley (1996) menyatakan bahwa percampuran turbulen pada daerah yang memiliki gradien TS linier tidak akan mengubah karakteristik TS. Sehingga parsel massa air pada suatu daerah yang mengalami overturn meskipun berubah posisi kedalaman, baik yang mengalami percampuran maupun tidak, tetap akan terletak di sepanjang linearitas diagram TS. Fenomena loop yang keluar dari hubungan linier TS merupakan indikasi ketidaktepatan pengukuran sensor temperatur-konduktivitas yang menghasilkan error pada data salinitas. Namun demikian, metode nonzero perpindahan skala Thorpe dari data densitas dan temperatur lebih umum digunakan, di samping karena masih berkembangnya isu relativitas visual, juga karena adanya kesulitan memantau percampuran berdasarkan ke-eratan TS pada pola hubungan yang tidak linier (Gargett dan Garner, 008).. Skala Ozmidov (L O ) Penggunaan data mikrostruktur atau CTD untuk menghitung difusivitas eddy vertikal memerlukan variabel yang mengkompensasi kondisi medan arus yang melatarbelakangi turbulensi yang terjadi. Adakalanya terdapat perbedaan resolusi vertikal pengukuran antara data hidrografi (temperatur, salinitas, densitas) dengan pengukuran arus. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan Skala Ozmidov, yang telah memperhitungkan kontribusi medan arus yang turut mengendalikan turbulensi. Skala Thorpe memiliki karakteristik yang hampir sama dengan skala Ozmidov. Pada fluida terstratifikasi, suatu parsel fluida yang bergerak dalam jarak vertikal untuk mengubah semua energi kinetiknya menjadi energi potensial, dapat dinyatakan dengan skala Ozmidov (Ozmidov, 1965 in Park et al., 008): L O N 3 1/ (6) di mana ε adalah disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa, dan N adalah frekuensi apung atau frekuensi Brunt Vaisälä. 15

8 Dillon (198) menguji hubungan antara skala Thorpe dengan skala Ozmidov, dan menemukan pola: n LO al T (7) dengan koefisien regresi 0,98 untuk n = 0,95. Selanjutnya, dengan melihat bahwa nilai n yang tidak jauh berbeda dengan 1, diperoleh rasio rata-rata konstanta proporsionalitas: L a O 0, (8) L Ferron et al. (1998) menemukan nilai a = 0,95 (±0,6) di zona patahan Romanche. Adapun kajian terakhir yang dilakukan oleh Stansfield et al. (001) menemukan L O 1,06 L T di Selat Juan de Fuca. T Percampuran massa air dapat terjadi baik secara isopiknal ataupun secara diapiknal. Percampuran yang mentransfer properti fluida antarpermukaan isopiknal yang berdensitas konstan disebut dengan percampuran diapiknal, sedangkan percampuran yang mentransfer properti fluida (temperatur dan salinitas) sejajar permukaan isopiknal (tanpa perubahan densitas) disebut dengan percampuran isopiknal. Kendati demikian, percampuran secara diapiknal pada tahap selanjutnya akan menimbulkan ketidakseimbangan medan tekanan, yang pada akhirnya juga menghasilkan collapse dan penyebaran properti fluida secara isopiknal (Thorpe, 007). Perairan pesisir atau batas-batas lautan dengan daratan merupakan area-area utama percampuran massa air (Munk, 1966). Gregg (1987) menyatakan bahwa adanya percampuran difusif berkaitan erat dengan disipasi energi, sehingga merupakan implikasi adanya keseimbangan antara transfer energi dan modifikasi massa air. Pada perairan landas benua, di mana terdapat tebing dasar laut, terbentuknya gelombang internal dapat disebabkan oleh meningkatnya intensitas arus yang menuju tebing (Bruno et al., 006). Dengan menggunakan nilai konstanta proporsionalitas a, maka nilai koefisien difusivitas dari skala Thorpe dapat diperoleh dari persamaan semi empirik, laju disipasi energi kinetik turbulen per satuan massa (ε) (Ozmidov, 1965 in Park et al., 008): 3 LO N..... (9) Wunsch dan Ferrari (004) menyatakan bahwa tidak semua energi kinetik turbulen digunakan secara aktual untuk mencampur massa air. Sebagian besar energi kinetik turbulen ini akan terdisipasi oleh gesekan kekentalan. Hanya sejumlah fraksi γ yang digunakan untuk mencampur secara vertikal densitas fluida, dan menaikkan pusat massa. Dengan demikian, menurut Park et al. (008) koefisien difusivitas vertikal dihitung sebagai: K..... (10) N 16

9 di mana frekuensi buoyancy lokal atau frekensi Brunt Väisälä (N) diturunkan dari profil densitas hasil penyusunan ulang. Efisiensi percampuran (γ) mengindikasikan efisiensi konversi dari energi kinetik turbulen ke energi potensial sistem, sehingga dapat bervariasi tergantung pada dinamika turbulensi. Fer et al. (004) menetapkan γ = 0,15 dalam perhitungannya, sedangkan Osborn (1980) menetapkan γ = 0,. FENOMENA YANG MEMPENGARUHI PERCAMPURAN MASSA AIR 1. Gelombang Internal Pergerakan-pergerakan dengan skala mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa kilometer dalam arah vertikal di lautan biasanya dikaitkan dengan gelombang internal dan turbulensi dalam tiga dimensi (Riley dan Lelong, 000). Gelombang internal memiliki peran yang sangat penting baik dari sisi oseanografi fisik maupun ekosistem laut, melalui mekanisme seperti percampuran massa air dan transfer bahang dan nutrien kepada lapisan-lapisan yang aktif secara biologis. Fenomena ini dapat mengantarkan pada percampuran massa air, khususnya di mana terdapat interaksi antara gelombang ini dengan topografi, sehingga menghasilkan pantulan dan pecahan gelombang, yang berpotensi bagi redistribusi bahang, garam mineral, maupun nutrien-nutrien (Wallace et al., 008). Interaksi antara gelombang internal dengan dasar perairan dapat memicu terpecahnya gelombang, terbentuknya area dengan shear tinggi yang bersifat lokal dan memicu turbulensi; yang mengarah pada terdisipasinya energi gelombang internal tersebut (Polzin et al., 1997). Sehingga, gelombang internal memainkan peranan penting dalam termodinamika lautan. Gelombang internal akan menjalar secara spasial dan mempertukarkan energi dengan gelombang-gelombang lain melalui interaksi-interaksi gelombang non linier. Proses ini menghasilkan transfer energi dari skala besar ke skala kecil (Winters dan D Asaro, 1997). Proses-proses serupa juga banyak dijumpai pada perairan landas benua (Rippeth dan Inall, 00).. Konfigurasi Topografi Dasar Perairan Berdasarkan kajian model yang dilakukan Ezer (006), topografi ambang berperan vital pada percampuran karena turbulensi aliran dan dinamika arus bawah (downstream). Fenomena ini berkaitan dengan sistem kanal sempit dan asosiasinya dengan gesekan dasar dan shear. Pada akhirnya, terdapatnya fenomena percampuran ini juga memungkinkan adanya pertemuan antarmassa air secara tiba-tiba di lokasi tersebut. Hatayama et al. (003) menguji pengaruh sill (ambang) Dewakang, di bagian selatan Selat Makassar terhadap percampuran vertikal yang terjadi dan menemukan bahwa nilai difusivitas eddy vertikal yang tinggi terjadi pada area di dekat ambang (Gambar 4). 17

10 Gambar 4. Distribusi nilai difusivitas eddy vertikal (K ρ ) di Sill Dewakang (skala dalam m s -1 ). Nilai difusivitas vertikal yang tinggi (tanda panah) terjadi di dekat area sill (Hatayama et al., 004). BEBERAPA MANFAAT KAJIAN PERCAMPURAN MASSA AIR 1. Kuantifikasi Perubahan Karakteristik Massa Air Arlindo Arlindo membawa massa air Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu melalui jalur barat, masuk melalui Laut Sulawesi diteruskan ke Selat Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda. Jalur ini dikenal merupakan jalur transpor utama Arlindo (Ilahude dan Gordon, 1996). Jalur kedua adalah jalur timur, melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera diteruskan ke Laut Banda. Dari perairan dalam lautan Indonesia, massa air akan keluar menuju Samudera Hindia melalui selat-selat utama, seperti Selat Lombok dan selat antara Alor dan Timor (Fieux et al., 1996). Jalur barat merupakan jalur utama yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 10 6 m 3 s -1 ) massa air lapisan termoklin Subtropis Samudera Pasifik Utara (North Pacific Subtropical Water, NPSW) dan lapisan Pertengahan Samudera Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water, NPIW) (Gordon, 005; Gordon et al., 008). Sebagian kecil massa air dari jalur barat selanjutnya keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok sekitar,6 Sv (Sprintall et al., 009), sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Celah Timor. Adapun pada jalur timur, hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al. (009) di Lifamatola menyebutkan bahwa jalur ini membawa sekitar,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Meskipun demikian, belum dapat diestimasi dengan baik jumlah massa air yang dibawa melalui jalur timur ini karena adanya masukan massa air lain pada jalur timur, yakni melalui Laut Halmahera (Gordon, 005). 18

11 Massa air dari jalur barat dan jalur timur selanjutnya bergabung di Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebanyak 4,9 Sv dan Celah Timor sebanyak 7,5 Sv (Sprintall et al., 009). Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Arlindo mengalami perubahan karakter di sepanjang perjalanannya di perairan dalam (interior seas) Indonesia. Hasil pengukuran salinitas massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yakni salinitas massa air NPSW dari 34,90 PSU menjadi 34,54 PSU; dan massa air NPIW dari 34,35 PSU menjadi 34,47 PSU. Perubahan salinitas ini mengindikasikan adanya proses percampuran vertikal yang sangat kuat di perairan Indonesia (Atmadipoera et al., 009). Proses percampuran vertikal yang terjadi dapat disebabkan oleh topografi yang kasar seperti sill (ambang), selat, dan aktivitas gelombang internal. Massa air Pasifik Barat bagian tengah dan tropis atau yang biasa disebut dengan massa air subtropis bawah (subtropical lower water) dikarakterisasi oleh salinitas maksimum yang dangkal (Wyrtki, 1961). Modifikasi massa air dari Pasifik barat secara kuantitatif merupakan representasi dari percampuran vertikal. Ffield dan Gordon (199) menggunakan model adveksidifusi dalam memverifikasi peran percampuran vertikal ini dan menemukan bahwa lautan Indonesia secara spesifik didominasi oleh massa air Pasifik Barat bagian utara, meskipun pada beberapa lokasi seperti di perairan Halmahera bagian timur, Seram, dan Banda dijumpai pula massa air Pasifik Selatan. Jalur utama Arlindo adalah melalui perairan sebelah barat, yakni Laut Sulawesi, Laut Makassar, dan Laut Flores. Reduksi massa air salinitas maksimum Pasifik Barat berkaitan dengan efektivitas fluks salinitas cross-isopycnal. Berger et al. (1988) mengestimasi K ρ pada slope dan ambang di lautan Indonesia sebesar 5 x 10-3 m s -1. Ffield dan Gordon (199) menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center (NODC) untuk mengestimasi nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m s -1. Hatayama (004) menggunakan pemodelan numerik dan menghasilkan nilai maksimum difusivitas vertikal sebesar 6,0 x 10-3 m s -1 di ambang Dewakang. Koch-Larrouy et al. (007) menemukan rata-rata difusivitas vertikal perairan kepulauan Indonesia sebesar 1,5 x 10-4 m s -1 menggunakan model pasang-surut. Suteja (011) mengidentifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Ombai sebesar 7,56 x 10 - m s -1, sedangkan identifikasi difusivitas vertikal rata-rata berdasarkan data observasi di Selat Alor memiliki orde hingga 10-3 m s -1 (Purwandana, 01). Dengan diketahuinya nilai difusivitas eddy vertikal pada jalur Arlindo, maka pada tahap selanjutnya akan memudahkan di antaranya dalam mengestimasi transfer bahang antarlautan, di mana kajian ini akan berguna untuk mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.. Estimasi Tingkat Kesuburan Perairan 19

12 Tingkat kesuburan suatu perairan berkaitan dengan jumlah nutrien yang berada di dalam kolom air. Pergerakan fluida secara vertikal mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan bawah ke lapisan atas yang menyebabkan proses percampuran memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Thorpe, 007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Law et al., 003): n FluksNutrien K..... (11) z dimana Δn merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman Δz (m). Semakin tinggi nilai percampuran vertikal maka akan semakin besar fluks nutrien yang akan terangkat dari lapisan dalam, di mana tipikal nilai nutrien pada lapisan dalam lebih tinggi dibandingkan pada lapisan atas. Suteja (011) berhasil menghitung laju fluks nutrien pada lapisan dalam di Selat Ombai dengan nilai difusivitas vertikal, K ρ sebesar,17 x 10-1 ± 4,75 x 10-1 m s -1 menghasilkan nilai fluks nutrien 8,8 x ,56 x 10-5 m µmol l -1 s -1. PENUTUP Terjadinya percampuran vertikal massa air dilatarbelakangi oleh ketidakstabilan parsel massa air akibat dari aktivitas gelombang internal dan/atau aliran massa air yang berinteraksi dengan konfigurasi topografi dasar perairan. Kuantifikasi parameter ini dapat dilakukan dengan menganalisis data hidrografi. Kajian percampuran vertikal massa air berguna untuk mengidentifikasi seberapa besar tingkat perubahan karakteristik massa air pada suatu perairan. Di samping itu, kaitannya dengan kesuburan perairan, kajian ini bermanfaat untuk mengetahui laju fluks nutrien yang terangkat dari lapisan dalam di suatu perairan. DAFTAR PUSTAKA Alford, M. H. & R. Pinkel Observations of overturning in the thermocline: The context of ocean mixing. J. Phys. Oceanogr. 30: Atmadipoera, A., R. Molcard, G. Madec, S. Wijffels, J. Sprintall, A. Koch-Larrouy, I. Jaya & A. Supangat Characteristics and variability of the Indonesian Throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Res. I 56: Berger, G. W., A. J. Van Bennekom & H. J. Kloosterhuis Radon profiles in the Indonesian archipelago. Neth. J. Sea Res. : Bruno, M., A. Vázquez, J. Gómez-Enri, J.M. Vargas, J. Garcia Lafuente, A. Ruiz-Canavate, L. Mariscal & J. Vidal Observations of internal waves and associated mixing phenomena in the Portimao Canyon area. Deep-Sea Res. II 53: Cisewski, B., V. H. Strass & H. Prandke Upper-ocean vertical mixing in the Antarctic polar front zone. Deep-Sea Res. II 5: Cullen, J. J., E. Stewart, E. Renger, R. W. Eppley & C. D. Winant Vertical motion of the thermocline, nitracline, and chlorophyll maximum layers in relation to currents on the Southern California Shelf. J. Mar. Res. 41:

13 Delpeche, N. C., T. Soomere, & M. J. Lilover Diapycnal mixing and internal waves in the Saint John River Estuary, New Brunswick, Canada with a discussion relative to the Baltic Sea. Estonian J. Eng. 16 (): Dillon, T. M Vertical overturns: a comparison of Thorpe and Ozmidov length scales. J. Geophys. Res. 87 (C1): Ezer, T Topographic influence on overflow dynamics: Idealized numerical simulations and the Faroe Bank Channel overflow. Geophys. Res. Lett. 111, C000, doi:10.109/005jc Fer, I., R. Skogseth & P. M. Haugan Mixing of the Storfjorden overflow (Svalbard Archipelago) inferred from density overturns. J. Geophys. Res. (109): C01005, doi:10.109/003jc Ferron, B., H.. Mercier, K. G. Speer, A. Gargett & K. L. Polzin Mixing in the Romanche fracture zone. J. Phys. Oceanogr. 8: Fieux, M., C. Andrie, E. Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard & J. C. Swallow Hydrological and chlorofluoromethane measurements of the Indonesian throughflow entering the Indian Ocean. J. Geophys. Res. 101 (C5): Ffield, A. & A. L Gordon Vertical mixing in the Indonesian thermocline. J. Phys. Oceanogr. : Finnigan, T. D., D. S. Luther & R. Lukas. 00. Observation of enhanced diapycnal mixing near the Hawaiian Ridge. J. Phys. Oceanogr. 3: Galbraith, P. S. & D. E. Kelley Identifying overturns in CTD profiles. J. Atmos. and Ocean. Tech. 13: Gargett, A., & T. Garner Determining Thorpe scales from ship-lowered CTD density profiles. J. Atmos. Oceanic. Technol. 5: Gordon, A. L Oceanography of the Indonesian Seas and their Throughflow. Oceanography 18: Gordon A. L., R. D. Susanto, A. Ffield, B. A. Huber, W. Pranowo, & S. Wirasantosa Makassar Strait throughflow, 004 to 006. Geophys. Res. Lett. 35: 1-5. Gregg, M. C Diapycnal mixing in the thermocline: A review. J. Geophys. Res. 9: Hatayama, T Transformation of the Indonesian Throughfow water by vertical mixing and it relation to tidal generated internal wave. J. Oceanogr. 60: Ilahude A. G. & A. L. Gordon Thermocline stratification within the Indonesian Seas. J. Geophys. Res. 101: Kitade, Y., M. Matsuyama & J. Yoshida Distribution of overturn induced by internal tides and Thorpe scale in Uchiura Bay. J. Oceanography 59: Koch-Larrouy A., G. Madec, P. Bouruet-Aubertot & T. Gerkema On the transformation of Pacific Water into Indonesian Throughflow water by internal tidal mixing. Geophys. Res. Lett. 34: 1-6. Law, C. S, E. R Abraham, A. J Watson & M. I. Liddicoat Vertical eddy diffusion and nutrient supply to the surface mixed layer of the Antarctic Circumpolar Current. J Geophys Res 108: Martinez, D. M. V., E. B. C. Schettini & J. H. Silvestrini The influence of stable stratification on the transition to turbulence in a temporal mixing layer. J. of the Braz. Soc. of Mech. Sci. & Eng. XXVIII (): 4-5. Miles, J. & L. N. Howard Note on heterogeneous shear flow. J. Fluid Mechanics, 0: Munk, W Abyssal recipes. Deep-Sea Res. 13:

14 Osborn, T. R Estimates of the local rate of vertical diffusion from dissipation measurements. J. Phys. Oceanogr. 10: Park, Y. H. J. L. Fuda, I. Durand, & A. C. N. Garabato Internal tides and vertical mixing over the Kerguelen Plateau. Deep-Sea Res. II 55: Peters, H., M. C. Gregg & T. B. Sanford On the parameterization of equatorial turbulence: Effect of fine-scale variations below the range of the diurnal cycle. J. Geophys. Res. 100 (C9): Pond, S. & G. L. Pickard Introductory dynamical oceanography. nd edition. Pergamon Press. Toronto. Polzin K. L., J. M. Toole, J. R. Ledwell & R. W. Schmitt Spatial variability of turbulent mixing in the Abyssal Ocean. Science 76: Pickard G. L. & W. J. Emery Descriptive Physical Oceanography. An Introduction. Oxford: Pergamon Press. Purwandana, A. 01. Transformasi dan Percampuran Massa Air di Perairan Selat Alor pada Bulan Juli 011. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Richardson, L. F The supply of energy from and to atmospheric eddies. Proc. Roy. Soc. London A97 (686): Riley, J. J. & M. P. Lelong Fluid motions in the presence of strong stable stratification. Annual Review of Fluid Mechanics 3: Rippeth, T. P. & M. E. Inall. 00. Observations of the internal tide and associated mixing across the Malin Shelf. J. Geophys. Res. 107 (C4): Sherwin, T. J. & W. R. Turrell Mixing and advection of a cold water cascade over the Wyville Thomson Ridge. Deep-Sea Res. I 5: Sprintall, J., S. E. Wijffels, R. Molcard, & I. Jaya Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: J. Geophys. Res C Stewart, R. H. 00. Introduction to Physical Oceanography. Texas A & M University: Departement of Oceanography. Suteja, Y Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Thorpe, S. A Turbulence and mixing in a Scottish Loch. Philosophical Transactions of the Royal Society of London Series, A, 86: An Introduction to Ocean Turbulence. Cambridge: Cambridge University Press. Van Aken, H. M., I. S. Brodjonegoro & I. Jaya The deep-water motion through the Lifamatola Passage and its contribution to the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Res. 56: Wallace, M. I., M. P. Meredith, M. A. Brandon, T. J. Sherwin, A. Dale & A. Clarke On the characteristics of internal tides and coastal upwelling behaviour in Marguerite Bay, west Antarctic Peninsula. Deep-Sea Res. II 55: Winters, K. B. & E. A. D Asaro Direct simulation of internal wave energy transfer. J. Phys. Oceanogr. 7: Wunsch, C. & R. Ferrari Vertical mixing energy and the general circulation of the oceans. Ann. Rev. Fluid Mech., 36: Wyrtki, K Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand Naga Report Volume. Yoshida, J. & N. S. Oakey Characterization of vertical mixing at a tidal-front on George Bank. Deep-Sea Res. II 43 (7-8):

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air 7. TINJAUAN PUSTAKA.1 Stabilitas dan Stratifikasi Massa Air Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dengan komposisi properti fisik tertentu, seperti temperatur, salinitas, densitas,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT

PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm. 71-82, Juni 2015 PERCAMPURAN TURBULEN DI SELAT OMBAI TURBULENT MIXING IN OMBAI STRAIT Yulianto Suteja 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera

Lebih terperinci

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor

Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor h ILMU KELAUTAN Maret 214 Vol 19(1):43 54 ISSN 853-7291 Distribusi Percampuran Turbulen di Perairan Selat Alor Adi Purwandana 1*, Mulia Purba 2, dan Agus S. Atmadipoera 2 1 Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA

TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA TRANSFORMASI DAN PERCAMPURAN MASSA AIR DI PERAIRAN SELAT ALOR PADA BULAN JULI 2011 ADI PURWANDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan)

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Turbulensi (Olakan) 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007).

Lebih terperinci

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON)

POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) POLA ARUS DAN TRANSPOR SESAAT DI SELAT ALOR PADA MUSIM TIMUR (CURRENT PATTERN AND SNAPSHOT TRANSPORT WITHIN ALOR STRAIT IN THE EAST MONSOON) Adi Purwandana Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

PROSES PERCAMPURAN TURBULEN DI KANAL LABANI, SELAT MAKASSAR TURBULENT MIXING PROCESSES IN LABANI CHANNEL, THE MAKASSAR STRAIT

PROSES PERCAMPURAN TURBULEN DI KANAL LABANI, SELAT MAKASSAR TURBULENT MIXING PROCESSES IN LABANI CHANNEL, THE MAKASSAR STRAIT Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 8, No. 1, Hlm. 345-355, Juni 216 PROSES PERCAMPURAN TURBULEN DI KANAL LABANI, SELAT MAKASSAR TURBULENT MIXING PROCESSES IN LABANI CHANNEL, THE MAKASSAR STRAIT

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015

KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK PADA BULAN NOVEMBER 2015 JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 425 434 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KARAKTERISTIK MASSA AIR LAPISAN TERCAMPUR DAN LAPISAN TERMOKLIN DI SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm.525-536, Desember 2014 KARAKTERISTIK MASSA AIR DI PERCABANGAN ARUS LINTAS INDONESIA PERAIRAN SANGIHE TALAUD MENGGUNAKAN DATA INDEX SATAL 2010

Lebih terperinci

Suhu rata rata permukaan laut

Suhu rata rata permukaan laut Oseanografi Fisis 2 Sifat Fisis & Kimiawi Air Laut Suhu Laut Suhu rata rata permukaan laut Distribusi vertikal Suhu Mixed layer Deep layer Distribusi vertikal Suhu Mixed Layer di Equator lebih tipis dibandingkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di :

JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman Online di : JOURNAL OF OCEANOGRAPHY. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 33-39 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/joce *) Penulis Penanggung Jawab STUDI STRUKTUR LAPISAN TERMOKLIN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI

PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI i PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN DI SELAT OMBAI YULIANTO SUTEJA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 ii iii PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow

TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia ( Indonesian Seas Throughflow TINJAUAN PUSTAKA Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow) Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data stratifikasi massa air.

3. METODOLOGI. a. Mengetahui keberadaan upwelling dengan melakukan pengambilan data stratifikasi massa air. 17 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian lapangan dilakukan di perairan Selat Alor, Nusa Tenggara Timur pada tanggal -8 Juli 011, dan merupakan bagian dari program Pelayaran Riset Bersama LIPI-DIKTI

Lebih terperinci

Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991

Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991 Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik di Perairan Utara Papua pada Bulan Desember 1991 Adi Purwandana Laboratorium Oseanografi Fisika dan Iklim Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat

3 BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan Tempat 17 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan Kapal Riset Marion

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O-

3. BAHAN DAN METODE. data oseanografi perairan Raja Ampat yang diperoleh dari program terpadu P2O- . BAHAN DAN METODE.1 Waktu dan Tempat Penelitian Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data oseanografi perairan aja Ampat yang diperoleh dari program terpadu PO- LIPI dengan

Lebih terperinci

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007

KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 KONDISI ALIH BAHANG DALAM PROSES INTERNAL MIXING MELALUI TAHAPAN DIFUSI GANDA DAN TURBULENSI DI PERAIRAN RAJA AMPAT PADA NOVEMBER 2007 Oleh: Alfina Khaira C64104058 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

ARUS LlNTAS INDONESIA (ARLINDO)

ARUS LlNTAS INDONESIA (ARLINDO) Oseana, Volume XXIII, Nomor 2, 1998 : 1 9 ISSN 0216 1877 ARUS LlNTAS INDONESIA (ARLINDO) Oleh M. Hasanudin 1) ABSTRACT The flow of water from Pacific to Indian Ocean through Indonesia or us we call The

Lebih terperinci

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK Surya Octagon Interdisciplinary Journal of Technology, September 2015, 101-117 Copyright 2015, ISSN : 2460-8777 Vol.1, No.1 ANALISIS DIAGRAM T-S BERDASARKAN PARAMETER OSEANOGRAFIS DI PERAIRAN SELAT LOMBOK

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ.

DAFTAR PUSTAKA. Aken, H.M. Van.and S. Makarim INSTANT : Observations in Lifamatola Passage. NIOZ. DAFTAR PUSTAKA Aken, H. M. Van, J. Punjanan, dan S. Saimima, 1988. Physical Aspect of The East Flushing of The East Indonesian Basins. Netherlands Journal of Sea Research 22 (4): 315-339 Aken, H. M. Van,

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA

ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA ARLINDO (ARUS LINTAS INDONESIA): KORIDOR PENTING DALAM SISTEM SIRKULASI SAMUDRA RAYA Salah satu topik penelitian osenografi yang banyak mendapat perhatian dalam beberapa dekade terakhir ini adalah Arlindo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 El Niño-Osilasi Selatan (ENSO-El Niño Southern Oscillation). Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.

Lebih terperinci

Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu

Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu ISSN 0853-7291 Suhu dan Salinitas Permukaan Merupakan Indikator Upwelling Sebagai Respon Terhadap Angin Muson Tenggara di Perairan Bagian Utara Laut Sawu Simon Tubalawony 1, Edi Kusmanto 2*, Muhadjirin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS

MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Hal. 92-18, Desember 21 MASSA AIR SUBTROPICAL DI PERAIRAN HAMAHERA SUBTROPICAL WATER MASSES IN HALMAHERA WATERS Hadikusumah Bidang Dinamika Laut

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005

KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 KARAKTER DAN PERGERAKAN MASSA AIR DI SELAT LOMBOK BULAN JANUARI 2004 DAN JUNI 2005 ABSTRAK (Characteristics and Circulation of Water Mass at Lombok Strait in January 2004 and June 2005) Mulia Purba 1 dan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 1-9 ISSN : 2088-3137 ANALISIS MASSA AIR DI PERAIRAN MALUKU UTARA Valdi Muhamad Haikal*, Ankiq Taofiqurohman** dan Indah Riyantini** *) Alumni Fakultas

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF. The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas

RINGKASAN EKSEKUTIF. The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas RINGKASAN EKSEKUTIF The development of a wave-tide-circulation coupled model and its upwelling simulation application in the Indonesian Seas Sebagai negara penghasil ikan yang cukup besar, Indonesia masih

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU

SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 15,2 (21) : 173-184 SIFAT FISIK OSEANOGRAFI PERAIRAN KEPULAUAN TAMBELAN DAN SEKITARNYA, PROPINSI KEPULAUAN RIAU Syaifuddin 1) 1) Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode

Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 013 Transpor Volume Massa Air Di Selat Sunda Akibat Interaksi Enso, Monsun dan Dipole Mode Muhammad Ishak Jumarang 1), Nining Sari Ningsih ) 1) Jurusan Fisika

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGADAAN RESEARCH BUOY TAHUN 2016 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR JAKARTA 2016 1 Kementerian : KELAUTAN DAN PERIKANAN 2 Unit Eselon I/II : Pusat Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN

KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN KAJIAN FLUKS NUTRIEN DAN KANDUNGAN KLOROFIL-A SERTA KETERKAITANNYA DENGAN PROSES PERCAMPURAN DI SELATAN SELAT MAKASSAR KAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI

KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI KARAKTERISTIK, SIRKULASI DAN STRATIFIKASI MASSA AIR TELUK TOMINI KARTIKA RAHMAWATI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013

Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013 ISSN 0853-7291 Struktur Arus dan Variasi Spasial Arlindo di Selat Makassar dari Ewin 2013 Selfrida Missmar Horhoruw 1 *, Agus S. Atmadipoera 1, Mulia Purba 1, Adi Purwandana 2 1 Departemen Ilmu dan Teknolologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN SELATAN PULAU JAWA

KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN SELATAN PULAU JAWA JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 131 143 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN KEDALAMAN MIXED LAYER DAN TERMOKLIN KAITANNYA DENGAN MONSUN DI PERAIRAN

Lebih terperinci

SEBARAN HORIZONTAL SUHU, SALINITAS DAN KEKERUHAN DI PANTAI DUMOGA, SULAWESI UTARA

SEBARAN HORIZONTAL SUHU, SALINITAS DAN KEKERUHAN DI PANTAI DUMOGA, SULAWESI UTARA SEBARAN HORIZONTAL SUHU, SALINITAS DAN KEKERUHAN DI PANTAI DUMOGA, SULAWESI UTARA 1 M. Furqon Azis Ismail dan 2 Ankiq Taofiqurohman S 1 Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN:

Gravitasi Vol.13 No.1 ISSN: Penentuan Koherensi dan Beda Fase Antara Angin dengan Arus 60m dan Arus 60m dengan Arus 100m Menggunakan Korelasi Silang Di Selat Ombai Nusa Tenggara Timur Determination of Coherence and Phase Difference

Lebih terperinci

BAB II TEORI TERKAIT

BAB II TEORI TERKAIT II. TEORI TERKAIT BAB II TEORI TERKAIT 2.1 Pemodelan Penjalaran dan Transformasi Gelombang 2.1.1 Persamaan Pengatur Berkenaan dengan persamaan dasar yang digunakan model MIKE, baik deskripsi dari suku-suku

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan

Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan Jurnal Penelitian Sains Volume 15 Nomer 1(D) 15108 Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan Heron Surbakti Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Sriwijaya, Sumatera

Lebih terperinci

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR

PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR PEMODELAN NUMERIK SIRKULASI ARUS AKIBAT PENGARUH ANGIN DI SELAT MAKASSAR Andi Galsan Mahie* *Jurusan Matematika FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar andi_galsan.yahoo.com Abstract Wind driven ocean circulation

Lebih terperinci

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN 2006-2010 Yosik Norman 1, Nasrul Ihsan 2, dan Muhammad Arsyad 2 1 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Makassar e-mail: yosikbrebes@gmail.com

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT UNTUK MEMANTAU DINAMIKA MASSA AIR PERMUKAAN DI SELAT MAKASSAR

PEMANFAATAN CITRA SATELIT UNTUK MEMANTAU DINAMIKA MASSA AIR PERMUKAAN DI SELAT MAKASSAR Pemanfaatan Citra Satelit untuk Memantau Dinamika Massa Air..........(Pasaribu, R.A.,dkk.) PEMANFAATAN CITRA SATELIT UNTUK MEMANTAU DINAMIKA MASSA AIR PERMUKAAN DI SELAT MAKASSAR (Usage of Satellite Images

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR

STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR Studi Karakteristik Massa Air Untuk Menentukan Shadow Zone Di Selat Makassar (Agustinus..et.al) STUDI KARAKTERISTIK MASSA AIR UNTUK MENENTUKAN SHADOW ZONE DI SELAT MAKASSAR Agustinus¹, Rita Tisiana Dwi²,

Lebih terperinci

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*)

Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar, Azis Rifai, Elis Indrayanti*) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 135-141 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Kajian Lapisan Termoklin Di Perairan Utara Jayapura Herni Cahayani Sidabutar,

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 Trie Lany Putri Yuliananingrum dan Mutiara R. Putri Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS dan DIVERGENSI di PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT

IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS dan DIVERGENSI di PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT DOI: doi.org/10.21009/spektra.011.11 IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS dan DIVERGENSI di PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT Lizalidiawati Fisika FMIPA Universitas Bengkulu,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Iklim, Arus Pasang Surut, dan Gelombang di Selat Lombok Pada sub bab ini dipaparkan mengenai keadaan di kawasan Selat Lombok yang menjadi daerah kajian dalam tugas akhir

Lebih terperinci

Stratifikasi Massa Air di Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara. Stratification of Water Mass in Lasolo Bay, Southeast Sulawesi. Abstrak

Stratifikasi Massa Air di Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara. Stratification of Water Mass in Lasolo Bay, Southeast Sulawesi. Abstrak Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 17-29 Stratifikasi Massa Air di Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara Stratification of Water Mass in Lasolo Bay, Southeast Sulawesi Edi Kusmanto & Dewi Surinati

Lebih terperinci

APLIKASI WAVELET DENOISING PADA SINYAL CTD (CONDUCTIVITY TEMPERATURE DEPTH) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DETEKSI OVERTURN REGION

APLIKASI WAVELET DENOISING PADA SINYAL CTD (CONDUCTIVITY TEMPERATURE DEPTH) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DETEKSI OVERTURN REGION Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 1, Hlm. 241-252, Juni 2014 APLIKASI WAVELET DENOISING PADA SINYAL CTD (CONDUCTIVITY TEMPERATURE DEPTH) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DETEKSI OVERTURN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS DAN DIVERGENSI DI PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT

IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS DAN DIVERGENSI DI PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT IDENTIFIKASI WILAYAH UPWELLING BERDASARKAN VORTISITAS DAN DIVERGENSI DI PERAIRAN SELATAN JAWA HINGGA NUSA TENGGARA BARAT Lizalidiawati Fisika FMIPA Universitas Bengkulu, Jl. W.R. Supratman Kandang Limun,

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI FISIKA PERAIRAN BARAT SUMATERA (PULAU SIMEULUE DAN SEKITARNYA) PADA BULAN AGUSTUS 2007 PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004

KONDISI OSEANOGRAFI FISIKA PERAIRAN BARAT SUMATERA (PULAU SIMEULUE DAN SEKITARNYA) PADA BULAN AGUSTUS 2007 PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004 MAKARA, SAINS, VOL., NO., APRIL : - KONDISI OSEANOGRAFI FISIKA PERAIRAN BARAT SUMATERA (PULAU SIMEULUE DAN SEKITARNYA) PADA BULAN AGUSTUS PASCA TSUNAMI DESEMBER Dewi Surinati Bidang Dinamika Laut, Pusat

Lebih terperinci

Karakteristik Mixed Layer Depth dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Klorofil-a

Karakteristik Mixed Layer Depth dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Klorofil-a ISSN 0853-7291 Karakteristik Mixed Layer Depth dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Klorofil-a Novita Ayu Ryandhini 1*, Muhammad Zainuri 1, A. Rita Tisiana D.K. 2 1 Program Studi Oseanografi, Fakultas

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Hukum Kekekalan Massa Hukum kekekalan massa atau dikenal juga sebagai hukum Lomonosov- Lavoiser adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu sistem tertutup akan konstan

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa)

SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) SIMULASI PENGARUH ANGIN TERHADAP SIRKULASI PERMUKAAN LAUT BERBASIS MODEL (Studi Kasus : Laut Jawa) Martono Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan No 133 Bandung 40173 E-mail

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia

Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia Pengembangan Energi terbarukan dengan identifikasi kecepatan Arus Lintas Indonesia di wilayah Timur Indonesia Abstrak Firman Setiawan, Enjang Hernandhy dan Abrella Qisthy Mahasiswa program sarjana Universitas

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran

Oseanografi Fisis. Massa Air dan Proses Percampuran Oseanografi Fisis 4 Massa Air dan Proses Percampuran Karakteristik Massa Air Pemanasan Pendinginan Pembentukan Es Penguapan Pengenceran Permukaan Laut Massa Air Paling Berat dan Paling Dalam Terbentuk

Lebih terperinci

PERCAMPURAN TURBULEN YANG DIPICU TOPOGRAFI DI PERAIRAN PAPARAN KONTINEN JOGASHIMA, TELUK SAGAMI, JEPANG

PERCAMPURAN TURBULEN YANG DIPICU TOPOGRAFI DI PERAIRAN PAPARAN KONTINEN JOGASHIMA, TELUK SAGAMI, JEPANG Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm. 479-490, Desember 2014 PERCAMPURAN TURBULEN YANG DIPICU TOPOGRAFI DI PERAIRAN PAPARAN KONTINEN JOGASHIMA, TELUK SAGAMI, JEPANG TOPOGRAPHICALLY

Lebih terperinci

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW

KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW KAJIAN ENERGI BARU DARI ARUS LINTAS INDONESIA (ARLINDO) STUDY ABOUT NEW ENERGY FROM INDONESIAN TROUGHFLOW Noir P. Purba, Firman S, dan Rama Wijaya Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

2 yang mempunyai posisi vertikal sama akan mempunyai tekanan yang sama. Laju Aliran Volume Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu juml

2 yang mempunyai posisi vertikal sama akan mempunyai tekanan yang sama. Laju Aliran Volume Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu juml KERUGIAN JATUH TEKAN (PRESSURE DROP) PIPA MULUS ACRYLIC Ø 10MM Muhammmad Haikal Jurusan Teknik Mesin Universitas Gunadarma ABSTRAK Kerugian jatuh tekanan (pressure drop) memiliki kaitan dengan koefisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Panas merupakan suatu bentuk energi yang ada di alam. Panas juga merupakan suatu energi yang sangat mudah berpindah (transfer). Transfer panas disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik

Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Indikasi Fluktuasi Arus Lintas Indonesia di sekitar Selat Makassar Berdasarkan Model Numerik Evie H. Sudjono)*, D. K. Mihardja)** dan N. Sari Ningsih)** *) Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung **) Program

Lebih terperinci

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

Aliran Turbulen (Turbulent Flow) Aliran Turbulen (Turbulent Flow) A. Laminer dan Turbulen Laminer adalah aliran fluida yang ditunjukkan dengan gerak partikelpartikel fluidanya sejajar dan garis-garis arusnya halus. Dalam aliran laminer,

Lebih terperinci

PEMETAAN POLA PERGERAKAN ARUS PERMUKAAN PADA MUSIM PERALIHAN TIMUR-BARAT DI PERAIRAN SPERMONDE

PEMETAAN POLA PERGERAKAN ARUS PERMUKAAN PADA MUSIM PERALIHAN TIMUR-BARAT DI PERAIRAN SPERMONDE PEMETAAN POLA PERGERAKAN ARUS PERMUKAAN PADA MUSIM PERALIHAN TIMUR-BARAT DI PERAIRAN SPERMONDE (Mapping of Sea Surface Current Pattern at Transition Season In Spermonde) Oleh/By : Abd. Rasyid J Sekretaris

Lebih terperinci

OmniAkuatika, 12 (1): 22 29, 2016 ISSN: print / online. Research Article

OmniAkuatika, 12 (1): 22 29, 2016 ISSN: print / online. Research Article OmniAkuatika, 12 (1): 22 29, 2016 ISSN: 1858-3873 print / 2476-9347 online Research Article Identifikasi Penjalaran Gelombang Panjang Samudera Hindia Ke Selat Lombok Berdasarkan Komponen Harmonik Arus

Lebih terperinci

ARUS PANTAI JAWA PADA MUSON BARAT LAUT DAN TENGGARA DI BARAT DAYA SUMATRA JAVA COASTAL CURRENT AT NORTHWEST AND SOUTHEAST MONSOON IN SOUTHWEST SUMATRA

ARUS PANTAI JAWA PADA MUSON BARAT LAUT DAN TENGGARA DI BARAT DAYA SUMATRA JAVA COASTAL CURRENT AT NORTHWEST AND SOUTHEAST MONSOON IN SOUTHWEST SUMATRA ARUS PANTAI JAWA PADA MUSON BARAT LAUT DAN TENGGARA DI BARAT DAYA SUMATRA JAVA COASTAL CURRENT AT NORTHWEST AND SOUTHEAST MONSOON IN SOUTHWEST SUMATRA La Ode Nurman Mbay *) dan I Wayan Nurjaya **) *) Pusat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci