MANAJEMEN WISATA PENDAKIAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO (TNGGP) JAWA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MANAJEMEN WISATA PENDAKIAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO (TNGGP) JAWA BARAT"

Transkripsi

1 MANAJEMEN WISATA PENDAKIAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO (TNGGP) JAWA BARAT Oleh: Idris Humaedi Rizki Kurnia Tohir Reza Imam Pradana E E E DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr.Wb. Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan kekuatan dan hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Manajemen Wisata Pendakian Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat. Shalawat dan salam semoga tercurah pula kepada Rasulullah Muhammad SAW, dan para sahabat. Teriring doa dan harap semoga Allah meridhoi upaya yang kami lakukan. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas perbaikan mata kuliah Rekreasi Alam Dan Ekowisata. Dalam makalah ini dikemukakan identifikasi bagaimana manajemen pengelolaan pendakian TNGGP. Penulis mengucapkan terimakasih kepada tim dosen mata kuliah Rekreasi Alam dan Ekowisata yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Penulis berharap makalah ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada umumnya bagi masyarakat sehingga dapat menjadi solusi dalam menanggulangi kebakaran hutan. Wassalamu alaikum Wr.Wb. Bogor, 18 Desember 2013 Penulis

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan... 2 II. PEMBAHASAN 2.1 Kondisi umum kawasan Mekanisme Pengelolaan Wisata Pendakian Di TNGGP Identifikasi Manajemen Wisata Pendakian Di TNGGP Analisis Pengelolaan Wisata Pendakian Di TNGGP III. PENUTUP 3.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 22

4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki taman nasional sebanyak 38 lokasi yang tersebar hampir di seluruh propinsi Indonesia. Taman nasional tersebut mencakup total luas kawasan 14,22 juta hektar atau sekitar 60 persen luas keseluruhan kawasan konservasi di Indonesia. Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi dan peranan paling lengkap dan penting jika dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya (Saparjadi, 1998). Adapun fungsi taman nasional adalah untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan taman nasional biasanya lebih fokus pada pengembangkan wisata berbasis pendidikan dan lingkungan yang lestari. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah salah satu taman nasional yang memiliki kawasan pegunungan dengan dua puncak pegunungan yaitu puncak Gunung Gede 2958 mdpl dan puncak Gunung Pangrango 3019 mdpl. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memberikan daya tarik wisata pendakian puncak gunung, selain itu keanekaragaman jenis hayati di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sangat tinggi diantaranya jenis flora, fauna yang unik menambah nilai daya tarik wisata. Wisata pendakian ini menjadi salah satu wisata yang populer di kawasan ini.

5 Tingginya antusiasme wisatawan untuk melakukan wisata pendakian puncak Gunung Gede Pangrango maka pengelolaan wisata ini harus benar-benar baik. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis mengidentifikasi bagaimana pengelolaan dan manajemen terhadap wisata pendakian di TNGGP untuk mendukung kelestarian objek wisata pucak Gunung Gede Pangrango. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi mekanisme pengelolaan wisata pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. b. Mengidentifikasi manajemen wisata pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. c. Menganalisis pengelolaan wisata pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

6 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Pada tanggal 6 Maret 1980 Menteri Pertanian melaui SK Menteri Pertanian No. 36/Mentan/X/1982, menetapkan bahwa kawasan Gunung Gede Pangrango dengan luas ha termasuk cagar alam, hutan alam, dan taman hutan disekitarnya adalah Kawasan Taman Nasional. Untuk meningkatkan luas kawasan konservasi, pada tahun 2003 melalui SK Menteri Kehutanan No. 174/KPTS-II/2003 dilakukan perluasan dari ha menjadi ha. Perluasan dilakukan mengingat kawasan disekitar TNGGP merupakan habitat dan daerah jelajah beberapa jenis satwa langka dan dilindungi seperti Surili, Owa jawa, Macan Tutul dan beberapa jenis burung yang perlu dilindungi dan dilestarikan (Hartono, 2008) Lokasi, dan Batas Kawasan Secara geografis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak antara BT dan LS. Secara administratif termasuk dalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. batas-batasnya adalah Utara: Cianjur

7 dan Bogor; Barat: Sukabumi dan Bogor; Selatan: Sukabumi; Timur: Cianjur (Hartono, 2008) Lingkungan fisik Berdasarkan peta tanah provinsi Jawa Barat dari lembaga penelitian tanah Bogor, kawasan taman nasional gunung gede pangrango terdiri dari jenis tanah regosol dan litosol yang mudah erosi, jenis tanah asosiasi andosol dan regosol yang peka terhadap erosi, jenis tanah latosol coklat merupakan tanah yang subur dan paling dominan di TNGGP (Mota, 2002). TNGGP merupakan daerah beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara mm/tahun. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson tipe iklim kawasan ini termasuk tipe iklim A. Temperatur di cibodas antara o C pada siang hari dan malam hari berkisar 0-5 o C. Kelembaban udara berkisar antara 80-90%, dan di daerah ini bertiup angin munson. Sistem hidrologi TNGGP ini terdiri dari sungai sungai yang umumnya membentuk pola radial, dan laju aliran relatif stabil (Mota, 2002). Kawasan ini merupakan pemasok air yang banyak, terihat dari debit air sekitar 8 milyar liter per tahun (Hartono, 2008) Bentuk Topografi dan Geologi Gunung Gede dan Pangrango merupakan alur gunung berapi yang terbentuk dari aktivitas lapisan kulit bumi secara terus menerus. Secara umum batuan pada kawasan ini terdiri dari batuan vulkanik (Mota, 2002). Ketinggian Gunung Gede (2958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3019 m dpl).

8 Keadaan topografi di TNGGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3000 m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai didalam kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong Potensi Wisata Berdasarkan pemaparan Haryanto Wahyu Sukotjo staff balai taman nasional gunung gede pangrango dalam kegiatan pekan ilmiah kehutanan 2003 menyebutkan bahwa potensi wisata di TNGGP terdiri dari: a. Potensi Flora - Tumbuhan unik dan langka (edelweis, kantong semar, dan raflesia) - Berbagai jenis anggrek - Berbagai jenis palm - Pohon-pohon dengan ukuran besar seperti rasamala dan puspa. b. Potensi Fauna - Jenis mamalia langka seperti macan tutul dan owa - Berbagai jenis burung seperti elang jawa dan anis gunung - Berbagai jenis katak yang unik dan menarik seperti katak bintik merah dan Katak Bertanduk c. potensi kekhususan alam

9 - Air terjn Cibeureum Cibodas, Cibeureum, Selabintana, Air terjun sawer, Bere, Air terjun Cipadaraten - Danau Telaga biru dan Danau Situgunung - Rawa Denok - Air panas - Puncak Gunung Gede dan Pangrango - Kawah Rau Lanan, Wadon, dan Kawah Baru - Alun-alun Suryakencana dan Mandalawangi - Bumi perkemahan Bobojong, pondok Halimun dan Barubolang - Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (Atraksi Canopy Walk) 2.2 Mekanisme Pengelolaan Wisata Pendakian Di TNGGP Mekanisme pengelolaan wisata pendakian di TNGGP berbentuk prosedur dan SOP yang tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Nomor: Sk. 34 /11-Tu/1/2010 Tentang Perubahan Surat Keputusan Kepala Balai Besar Nomor Sk. 84 /11-Tu/1/2009 Tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosedur dan SOP yang di keluarkan oleh balai untuk mengatur wisata pendakian supaya aman dan tidak menimbulkan dampak negatif. Prosedur dan SOP pendakian lebih mengarah kepada keselamatan pengunjung dan perlindungan ekosistem pegunungan. Prosedur pendakian ini terdiri dari: prosedur alur perizinan, prosedur pelaksanaan pendakian. Untuk SOP pendakian

10 sendiri terdiri dari: peralatan dan pakaian yang harus dibawa dan dipakai, larangan larangan. 2.3 Identifikasi pengelolaan/manajemen wisata pendakian di TNGGP A. Prosedur Pendakian Kuota Jumlah pengunjung pendakian di TNGGP ditetapkan dengan sistem kuota yaitu sebanyak 600 orang/hari dengan rincian pada masing-masing pintu masuk pendakian sebagai berikut: 1. Pintu Masuk Mandalawangi Cibodas 300 orang/hari 2. Pintu Masuk Gunung Putri 200 orang/hari 3. Pintu Masuk Selabintana 100 orang/hari Pengajuan Ijin Pendakian Perijinan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pertama kali oleh para calon pendaki di kawasan TNGGP. Perijinan ini bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada pengunjung dan merupakan keabsahan sebagai pengunjung TNGGP. Perijinan

11 untuk pendakian di Balai Besar TNGGP dilaksanakan dengan sistem Booking (Reservasi). Booking dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu : secara online, langsung, dan menggunakan fax-telepon. Pengurusan SIMAKSI Setiap calon pendaki yang telah mengajukan ijin pendakian (booking) harus mengurus SIMAKSI pendakian di loket perijinan di Kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas maksimal 1 hari sebelum hari H pendakian dan SIMAKSI pendakian hanya berlaku untuk satu (1) kali masuk. Persyaratan Untuk dapat memperoleh SIMAKSI pendakian di TNGGP, maka setiap calon pendaki harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :Fotokopi identitas resmi (KTP/Kartu Pelajar/ KTM/ SIM/ Pasport), Bagi calon pendaki yang berusia kurang dari 17 tahun, disamping identitas diri bersangkutan harus pula menyertakan Surat Ijin Orang Tua/Wali yang ditandatangani diatas materai senilai Rp. 6000, serta dilengkapi fotocopy KTP dari orang tua/wali; Jumlah anggota pendaki dalam SIMAKSI adalah 1 kelompok minimal 3 (tiga) orang dan maksimal 10 (sepuluh) orang. Perubahan/Pembatalan SIMAKSI Pendakian Perubahan jadwal pendakian, penambahan ataupun pengurangan calon pendaki dapat dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sebelum tanggal pendakian

12 (H-5) dan setelah itu tidak bisa di ganggu gugat. Karena terkait dengan kuota dan pembukuan pada sistem booking; Pembatalan oleh calon pendaki dapat diterima, tetapi karcis masuk dan asuransi yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan (segala biaya menjadi resiko pendaki); Pembatalan SIMAKSI pendakian dapat dilakukan jika terjadi Force Majeur, yaitu terjadinya bencana alam, seperti gunung meletus, angin kencang, hujan lebat,kebakaran hutan dan lain-lain yang dapat mengancam keselamatan pendaki, sehingga TNGGP perlu menutup kegiatan pendakian tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dalam hal ini, tiket masuk dan asuransi yang telah diterima pendaki dapat ditarik dan diuangkan kembali. Apabila pendaki tidak memenuhi peraturan sesuai juknis ini dan pengisian data yang tidak benar maka SIMAKSI akan dibatalkan. Tiket Masuk Tiket pendakian di TNGGP dikenakan sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1998 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Departemen Kehutanan. Tiket berlaku untuk usia 5 tahun ke atas; Harga tiket dikenakan sebesar yaitu Rp ,- per hari per orang untuk pendaki domestik dan Rp ,- per hari per orang untuk pendaki mancanegara; Setiap pendaki (domestik dan mancanegara) diwajibkan membeli asuransi sebesar Rp ,- per orang. Tes Tertulis

13 Sebelum melaksanakan pendakian, para calon pendaki diwajibkan untuk mengikuti tes tertulis tentang pengetahuan pendakian di Visitor Center dan atau Information Center BBTNGGP. Apabila dari hasil tes tersebut calon pendaki dinyatakan tidak lulus maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan melakukan pendakian pada saat itu. Pendampingan Pendampingan dilakukan oleh porter, pemandu maupun interpreter yang berasal dari Forum Interpreter dan atau Pemandu yang memiliki lisensi TNGGP. Wisatawan wajib didampingai apabila tidak sesuai standard pendakian TNGGP, dan tidak wajib Pendampingan apabila Wisatawan merupakan anggota dari organisasi Pecinta Alam dengan bukti keanggotaan atau pengalaman berstandar pendakian gunung. Batas Lama Pendakian Batas lama pendakian yang diijinkan di TNGGP adalah 2 (dua) hari dan 1 (satu) malam, Jika ada tujuan khusus seperti penelitian, pengambilan foto, pembuatan video / film, dan lain-lain, akan melakukan pendakian lebih dari ketentuan maka harus ada ijin khusus dari Kepala Balai Besar TNGGP. Sanksi

14 Bila pendaki melanggar ketentuan batas lama pendakian maka dianggap melanggar dan akan dikenakan sanksi berupa denda 10 kali lipat tiket per 1 hari keterlambatan. Penutupan Pendakian Penutupan jalur pendakian merupakan salah satu bentuk pengelolaan pendakian yang dilakukan dalam rangka pemulihan (recovery) ekosistem, Penutupan jalur pendakian secara rutin direncanakan dilakukan selama 2 kali dalam 1 tahun, Bulan Agustus selama 1 bulan penuh (1 Agustus-31Agustus) sebagai antisipasi bahaya kebakaran akibat musim kemarau, dan bulan Januari s/d Maret (1 Januari 31 Maret) antisipasi cuaca dingin akibat musim hujan yang disertai angin yang dapat membahayakan para pendaki. Selain penutupan rutin terdapat juga penutupan Insidentil Yaitu penutupan pendakian yang dilakukan sewaktu-waktu oleh Balai Besar TNGGP bila terjadi bencana alam sebagai antisipasi pengunjung dari bahaya kecelakaan B. Pelaksanaan Pendakian Simaksi Setelah calon pendaki mendapatkan SIMAKSI pendakian, selanjutnya calon pendaki dapat melakukan kegiatan pendakian pada hari/tanggal yang telah ditetapkan dengan melapor di pintu masuk sesuai yang tercatat pada SIMAKSI Pendakian dengan menunjukkan surat ijin pendakian (lembar putih dan merah), pengecekan barang bawaan dan pengecekan data yang tertera pada surat ijin oleh

15 petugas, Petugas memberi informasi tentang peraturan/tata tertib pendakian. SIMAKSI pendakian lembar putih berikut karcis masuk dan asuransi diberikan kembali kepada pendaki sebagai bukti yang sah selama aktifitas pendakian, sedangkan lembar merah disimpan di pintu masuk sebagai arsip setelah dilakukan pencatatan pada buku register pendakian (masuk). Saat Pendakian Dalam rangka pengamanan pengunjung pendakian dan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1. Setiap pendaki harus menggunakan pakaian dan sepatu khusus untuk standar pendakian. 2. Pendaki harus tetap berjalan pada jalur yang telah ditentukan. Tidak diijinkan berjalan di luar jalur, membuat jalur baru dan atau membuat jalur pintas. 3. Kemping hanya dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan yaitu Kandang Batu, Kandang Badak, Alun- Alun Mandalawangi, Alun-Alun Barat dan Timur dan Cigeber. 4. Kemping selain dilokasi pada no. 3 diatas tidak diijinkan dan akan dianggap illegal bila dilakukan. Bila hal ini dilakukan, maka akan ditindak oleh petugas sesuai sanksi yang berlaku. 5. Saat pendakian dan kemping, pengunjung tidak diijinkan membuat api dari kayu untuk memasak, perapian dan tujuan lainnya. Pengunjung pendakian disarankan untuk membawa parafin, kompor gas / minyak tanah untuk keperluan memasak.

16 6. Setiap rombongan pendaki diwajibkan membawa 1 kantong sampah untuk memasukkan sampah setelah pendakian. 7. Sampah-sampah pendaki harus dibawa kembali dan ditempatkan pada pembuangan sampah di pintu keluar. Selesai Pendakian Menunjukkan surat ijin pendakian (lembar putih) berikut karcis masuk dan asuransi sebagai bukti keabsahan administrasi. Menunjukkan Form Pemeriksaan dan Pencatatan Barang Bawaan yang dapat menghasilkan sampah untuk diperiksa bersama-sama dan mencocokkan dengan sampah y ang dibawa oleh masingmasing pendaki. Petugas meneliti dan mengecek data yang tertera pada surat ijin dan Kegiatan pendakian selesai sejak pendaki menyampaikan SIMAKSI pendakian lembar putih kepada petugas pintu keluar. C. Petugas Pelayanan Pendakian 1. Petugas Perijinan/Pelayanan Pendakian 2. Petugas Pemungut Tiket Masuk 3. petugas pintu masuk 4 Petugas Pintu Keluar 5. Petugas Poskodal 6. Volunteer D. Peraturan Pendakian

17 Peraturan pendakian merupakan rambu-rambu yang harus diikuti oleh pendaki saat berada di dalam kawasan TNGGP, meliputi Larangan dan Sanksi yang dikenakan bila melanggar peraturan pendakian, larangan tersebut terdiri dari: 1. Mengambil, memetik, memotong tumbuhan dan atau bagian-bagiannya serta benda-benda lainnya dan membawa ketempat lain. 2. Menangkap, melukai dan atau membunuh satwa yang ada dalam kawasan. 3. Dilarang membawa binatang kedalam maupun keluar kawasan. 4. Membawa minuman keras atau beralkohol. 5. Membawa obat-obatan terlarang yang termasuk dalam daftar G Departemen kesehatan, seperti putau, heroin,leksotan, ekstasi, ganja dan lain-lain yang sejenis dan Berbahaya. 6. Membawa alat musik dan alat bunyi-bunyian lainnya seperti gitar, piano, seruling, harmonika, peluit, serta alat-alat lain jika dibunyikan akan mengganggu ketenangan kehidupan flora dan fauna. 7. Membawa alat elektronik seperti radio komunikasi (Handy Talky), radio, tape, walkman, gamewatch, wireless dan lain-lain, kecuali jam tangan, telepon seluler (ponsel) dan kamera saku. 8. Membawa senjata api, senapan angin dan senjata tajam seperti golok, pisau. 9. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk berburu seperti senjata angin, panah, ketepel, tombak, jerat lem atau kurungan, dan lain-lain. 10. Membawa bahan detergen dan bahan pencemaran lainnya, seperti odol, sabun, shampoo, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut dapat membahayakan bagi lingkungan sekitar.

18 12. Melakukan vandalisme, berupa perusakan fasilitas wisata, membuat coretan dan tempel menempel pada fasilitas wisata. 13. Membuang sampah dalam kawasan dan tidak membawa turun kembali sampah bawaannya ke luar kawasan. 14. Membuat api unggun dan atau perapian di dalam kawasan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kebakaran hutan. 15. Melakukan pendakian sendiri. E. Prosedur Keselamatan Pendaki Demi kenyamanan dan keamanan, setiap pendaki diwajibkan membawa peralatan standard minimal berupa: 1. Tenda kedap air, dengan frame/ tiang besi/alumuniumnya (dilarang tenda tidak dengan tiang). Flysheet hanya digunakan sebagai peralatan tambahan. 2. Ransel/carier dengan spesifikasi kuat dan kondisi baik (jahitan, resleting, pengikat), nyaman dipakai,kapasitas 40 lt atau lebih, tidak mengganggu pergerakan; Tas berukuran kecil hanya digunakan untuk peralatan tambahan. 3. Matras, minimal terbuat dari bahan evaspon, ketebalan min 3 mm, lebar min 40 cm, panjang min 180 cm, dapat digulung dan memakai pengikat, ringkas. 4. Kantong tidur (Sleeping bag), minimal mampu menahan suhu 10O Celcius. 5. Sarung tangan dengan spesifikasi jari-jari tangan tertutup,sesuai dengan ukuran tangan menutup/melebihi pergelangan tangan. 6. Kaos kaki diutamakan bahan semi wool, kuat dan tebal,bahan bukan nylon dan membawa cadangan ( 2 Ps).

19 7. Baju lapangan tangan panjang, mudah kering (menyerap keringat)serta tidak terlalu longgar/ketat. 8. Celana lapangan dengan spesifikasi bahan tidak terbuat dari jeans, mempunyai saku tambahan (saku samping),tidak terlalu longgar/ketat. 9. Pakaian tidur/training/sweater/kaos tangan panjang yang bersifat menghangatkan (1 Stel). 10. Balaclava / kupluk diutamakan bahan semi wool/polar. 11. Sepatu olahraga/lapangan, minimal sepatu militer, kuat, nyaman dengan membawa tali sepatu cadangan (1 Ps). 12. Jas hujan, minimal jenis ponco terdapat lubang untuk kepala,jenis bahan tidak mudah sobek/berserat/plastic. 13. Lampu senter, minimal menggunakan 2 buah baterai besar,diberi tali gantungan dengan bohlam cadangan (1 buah), baterai cadangan (2 buah). 14. Peralatan masak : minimal misting / nasting lengkap dengan spesifikasi bahan aluminium dan memakai pembungkus, parafin atau kompos gas kecil. 15. Perbekalan logistik, untuk 2 hari 1 malam dengan volume disesuaikan dengan jumlah anggota kelompok. 16. Obat-obatan pribadi (alat P3K). 2.4 Analisis Pengelolaan Wisata Pendakian Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Aturan manajemen/ pengelolaan wisata pendakian di TNGGP yang tertuang dalam Surat keputusan balai TNGGP tentang petunjuk teknis

20 pelaksanaan pendakian memiliki beberapa kelebihan dalam hal pengelolaannya, tetapi dalam pelaksanaan nya tidak semua prosedur tersebut dilaksanakan dan diterapkan sesuai dengan SK tersebut yang menjadi kekurangan dari pengelolaan. A. Prosedur Pendakian Dalam hal pengajuan izin pendakian dilakukan dengan cara booking dengan 3 cara hal ini menjadi kelebihan pengelolaan karena memudahkan dalam proses pengajuan perizinan. Kekurangan dari prosedur pendakian ini seperti prosedur jumlah anggota dari 1 kelompok maksimal 10 orang yang pada kenyataannya masih terdapat anggota dari 1 kelompok itu yang lebih dari 10 orang. Pelaksanaan tes tertulis sebelum wisatawan melakukan pendakian nyata tidak dilakukan di TNGGP ini. Pendampingan wisatawan tidak terlaksana dengan baik. Dalam kenyataannya setelah wisatawan mendapatkan SIMAKSI wisatawan bisa langsung melakukan pendakian dengan pemeriksaan prosedur dan sop yang minim oleh petugas. Sistematika cara booking sudah berjalan dengan baik, semua turan yang ada sudah dijalankan dengan baik. Seperti batas pembuatan SIMAKSI yang harus dilakukan maksimal H-7 sebelum dilakukannya pendakian. Cara bookingnya sendiri juga sudah berjalan dengan baik dalam hal caranya, yaitu bisa secara langsung datang ke posko pembuatan SIMAKSI atau dengan cara booking. Namun untuk KTP atau tanda pengenal sendiri dalam kenyataannya masih bisa dipalsukan dan tidak sesuai dengan aslinya.

21 B. Pelaksanaan Pendakian Pelaksanaan pendakian pada kenyataannya hanya terdiri dari pemeriksaan berkas SIMAKSI, pemeriksaan barang bawaan dengan hanya menanyakan kepada wisatawan tidak dengan pemeriksaan mendetail, dan pemberian info tentang sampah yang harus di bawa kembali. Aturan yang dibuat sebelum pendakian sangat sistematis, namun pada kenyataannya tidak terlalu dijalankan oleh pihak petugas TNGGP-nya itu sendiri. Untuk juknis yang dibuat saat keluar dari Kawasan TNGGP semua SOP yang tertera semuanya dilaksanakan oleh petugas. Seperti pengecekan jumlah anggota, pengecekan sampaah bawaan dari kawasan TNGGP. Aturan yang diberikan saat melakukan pendakian tidak terlalu mendapatkan pengawasan dari pihak petugas. Karena petugas hanya ada di posko masuk TNGGP saja. SOP yang ada saat melakukan pendakian, kembali kepada kesadaran masing-masing pendaki demi keselamatan mereka. Seperti untuk tempat kemping, pada aturan yang berlaku hanya ada 6 kawasan. Namun masih ada saja pendaki yang melakukan pembuatan tempat kemping yang illegal, seperti dipuncak gunung gede. C. Petugas Pelayanan Petugas perizinan/pelayanan pendakian yang ada di TNGGP sudah berjalan sesuai fungsinya, yaitu salahsatunya adalah yang mengurusi SIMAKSI. Namun masih ada point tugas yang memang tidak mereka laksanakan, seperti pendampingan bagi pendaki yang independent.

22 Petugas pemungut tiket masuk dan petugas pintu masuk dipegang oleh satu orang. Hal itu tidak masalah, karena termasuk mengefisienkan sumberdaya yang ada. Namun untuk pelaksanaan tugasnya itu sendiri masih ada saja yang belum dilaksanakan. Seperti pengecekan antara form bawang bawaan dengan barang yang benar-benar dibawa. Hal itu tidak dilakukan, hanya ditanyakan saja kepada para pendakinya. Pemberian cap/tagging (terdapat dalam juknis) juga tidak dilaksanakan oleh pihak petugas. Pengecekan peralatan pendakian juga hanya sebatas melihat dengan kasat mata saja, tidak dilakukan penmeriksaan mendetail tentang hal itu. Padahal sangat penting untuk dilaksanakan demi keselamatan pendaki. Petugas pintu keluar sama saja tugasnya seperti petugas pintu masuk. Hanya berbeda saat pengecekan jumlah terakhir anggota pendaki saat keluar dari kawasan. Untuk petugas poskodal sendiri tidak diketaui kinerja dilapang seperti apa, karena tidak ditemukan adanya poskodal yang berisi para petugasnya. Kemudian untuk volunteer sendiri tidak ditemukan adanya volunteer, namun dari juknis yang ada untuk volunteer tugasnya yaitu membantu para petugas. Baik itu petugas pintu masuk, pintu keluar ataupun petugas poskodal.intinya membantu petugas setempat untuk melaksanakan kerjanya. D. Peraturan Pendakian Dalam peraturan pendakian terdapat larangan dan sanksi bagi para pelanggranya. Utnuk larangan yang ada bisa terbilang ketat, namun pengawasan dari pihak TNGGPO masih kurang. Hal itu bisa dimaklumi karena tidak mungkin

23 jika kawasan TNGGP tersebut harus terawasi secara penuh oleh pihak petugas. Namun hal kecil yang bisa diantisipas masih kurang bisa diperhatikan. Pemeriksaan barang bawaan misalnya yang dilakukan hanya secraa simbolik saja. Sama juga perihal aturan baranag yang harus dibawa oleh para pendaki. Pada juknis yang ada, dicantumkan berbagai macam peralatan keperluan pendaki yang sangat lengkap. Namun sama halnya dengan aturan larangan yang ada, pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak petigas TNGGP tidak dilakukan sampai harus membongkar barang bawaan. Hanya ditanyakan kepada para pendakinya saja. Padahal hal itu sangat penting untuk diperhatikan karena menyangkut keselematan pendaki yang menjadi tanggung jawab pihak petugas itu sendiri. Untuk sanksi yang diberikan sangat ketat, karena langsung berhubungan dengan Undang-Undang serta peraturan pemerintah. Namun tetap saj dalam pelaksaannya kembali kepada ksedaran pendaki, karena dari pihak petugas TNGGP juga memmpunyai keterbatasan kemampuan untuk mengawasi semua kawasan TNGGP. E. Peraturan Pendakian dan Keselamatan Pendaki Kelebihan pada manajemen pendakian sangat detail terutama dalam prosedur keselamatan pendakian, tetapi kekurangannya adalah dalam hal pengecekan peralatan yang di bawa oleh wisatawan dan larangan-larangan kurang mengatur wisatawan.

24 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi dan peranan paling lengkap dan penting jika dibandingkan

25 dengan kawasan konservasi lainnya. Pengembangan wisata di taman nasional sebagai pemanfaatan dari ekosistem yang ada seperti wisata pendakian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tingginya minat pengunjung untuk aktifitas pendakian, memberikan dampak negatif yang nyata terhadap ekosistem kawasan TNGGP. Dampak negatif tersebut terjadi di sepanjang jalur pendakian, Sehingga Pengelolaan objek wisata pendakian di gunung gede pangrango wajib untuk dikelola secara baik. Mekanisme pengelolaan wisata pendakian di tuangkan dalam Surat Keputusan balai TNGGP tentang petunjuk teknis pendakian, tetapi dalam pelaksanaannya belum semua aturan yang tertera dalam Surat Keputusan Balai di terapkan. 3.2 Saran Pengelolaan wisata pendakian hendaknya lebih di tingkatkan, dengan memperketat prosedur pendakian, peningkatan kemampuan sumber daya pengelola, dan melakukan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran wisatawan terhadap pentingnya ekosistem hutan. DAFTAR PUSTAKA

26 Basuni Sambas, Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyannga Kawasn Konservasi (Studi Kasus Di Tnggp Jawa Barat). Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Mota Aristides V.D.S, Pengembangan Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Dalan Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Tnggp). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hartono Ernawati E. Stategi Taman Naional Gunung Gede Pangrango Dalam Pengembangan Promosi Ekowisata. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sukotjo Haryanto Wahyu,2003. Pengelolaan Pariwisata Alam Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Prosiding. Seminar Ekowisata Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional Saparjadi Koes, Pola Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia. Lokakarya. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 34 /11-TU/1/2010 TENTANG

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 34 /11-TU/1/2010 TENTANG SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 34 /11-TU/1/2010 TENTANG PERUBAHAN SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR NOMOR SK. 84 /11-TU/1/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peraturan Pendakian

Lampiran 1. Peraturan Pendakian 93 Lampiran 1. Peraturan Pendakian 1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diberlakukan bagi pendaki gunung

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 84 /11-TU/1/2009 TENTANG

SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 84 /11-TU/1/2009 TENTANG SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor: SK. 84 /11-TU/1/2009 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAYANAN PENDAKIAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEPALA BALAI BESAR

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO No. SK.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Outline Sejarah Potensi TNGGP Permasalahan Contoh pengelolaan di Korea Upaya LOKASI TNGGP Bogor Cianjur TNGGP 22.851 ha Sukabumi Sejarah TNGGP 1. Pengumuman 1980, 15.196 ha

Lebih terperinci

Perlengkapan pribadi untuk pendakian antara lain:

Perlengkapan pribadi untuk pendakian antara lain: Perlengkapan Dasar dan Persiapan Perjalanan Keberhasilan seseorang dalam melakukan perjalanan ditentukan oleh perencanaan dan persiapan sebelum melakukan perjalanan. Gagal dalam melakukan sebuah perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang bersedia mengeluarkan uang untuk mengisi waktu luang (leisure) dalam rangka menyenangkan diri

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

AKTIVITAS LUAR KELAS MATERI POKOK KEMAH OLEH PRODI PJKR FIK UNY

AKTIVITAS LUAR KELAS MATERI POKOK KEMAH OLEH PRODI PJKR FIK UNY AKTIVITAS LUAR KELAS MATERI POKOK KEMAH OLEH NURHADI SANTOSO PRODI PJKR FIK UNY Tata Cara Berkemah Yang Baik Untuk suatu perkemahan yang baik, pentahapan yang harus ditempuh adalah: A. Persiapan 1. Penentuan

Lebih terperinci

Berkemah merupakan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman baru di alam terbuka dan menambah rasa percaya diri Berkemah merupakan kegiatan yang

Berkemah merupakan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman baru di alam terbuka dan menambah rasa percaya diri Berkemah merupakan kegiatan yang Berkemah merupakan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman baru di alam terbuka dan menambah rasa percaya diri Berkemah merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengenal dan menikmati keindahan alam secara

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.7/IV-Set/2011 Pengertian 1. Kawasan Suaka Alam adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan manfaat, antara

Lebih terperinci

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kawasan Perluasan TNGGP Kawasan perluasan TNGGP berada disebelah luar mengelilingi kawasan TNGGP lama sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

Tetapi pemandangan sekitar yang indah dan udara yang begitu sejuk membuat para wisatawan tak jemu dengan perjalanan yang cukup menguras tenaga.

Tetapi pemandangan sekitar yang indah dan udara yang begitu sejuk membuat para wisatawan tak jemu dengan perjalanan yang cukup menguras tenaga. Wisata Alam merupakan salah satu pilihan wisata yang menarik bagi para wisatawan, baik wisatawan asing maupun wisatawan lokal. Bagi sebagian orang, wisata alam bisa di jadikan sebagai alternatif untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA

RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, obyek wisata yang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak 4.1.1. Sejarah, Letak, dan Luas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditetapkan pada tanggal 28 Februari 1992 dengan Surat Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keindahan alam di Indonesia menjadi salah satu faktor yang menggerakkan naluri wisatawan nusantara untuk menikmati keindahannya. Olahraga alam bebas seperti mendaki

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi pariwisata yang cukup menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kabupaten Cianjur memiliki

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6186/Kpts-II/2002,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6186/Kpts-II/2002, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6186/Kpts-II/2002, tanggal 10 Juni 2002. Selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1994 TENTANG PERBURUAN SATWA BURU PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa satwa merupakan sebagian sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Wilayah Kabupaten Cianjur. : Wilayah Kabupaten Sukabumi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. : Wilayah Kabupaten Cianjur. : Wilayah Kabupaten Sukabumi 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 1. Lokasi Penelitian Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol merupakan suatu kawasan yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KEPUTUSAN BUPATI NOMOR 16 TAHUN 2002 T E N T A N G PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI MASUK OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI Menimbang

Lebih terperinci

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut.

Karena hal-hal diatas tersebut, kita harus mencari cara agar hewan dan tumbuhan tetap lestari. Caranya antara lain sebagai berikut. JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SD VI (ENAM) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Kehadiran hewan dan tumbuhan itu sesungguhnya dapat menjaga keseimbangan alam. Satu makhluk

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI TEMPAT WISATA Sejarah Taman Wisata Alam Mangrove Pantai Indah Kapuk. lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

BAB II DESKRIPSI TEMPAT WISATA Sejarah Taman Wisata Alam Mangrove Pantai Indah Kapuk. lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. BAB II DESKRIPSI TEMPAT WISATA 2.1. Sejarah Taman Wisata Alam Mangrove Pantai Indah Kapuk Menurut Undang-undang, Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya.

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya. I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu. Kawasan ini mempunyai nilai alam dengan ciri yang menonjol atau ciri khas tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 Tentang : Perburuan Satwa Buru Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 13 TAHUN 1994 (13/1994) Tanggal : 16 APRIL 1994 (JAKARTA) Sumber : LN 1994/19; TLN NO. 3544

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri pariwisata merupakan sektor bisnis yang bergerak dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Industri pariwisata merupakan sektor bisnis yang bergerak dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri pariwisata merupakan sektor bisnis yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa. Produk yang ditawarkan berupa atraksi wisata, tempat hiburan, sarana

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah dan Status Kawasan Pemeritah Hindia Belanda pada tahun 1889 menetapkan Kebun Raya Cibodas dan areal hutan diatasnya seluas 240 ha sebagai contoh flora pegunungan

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG

KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG KEADAAN UMUM KABUPATEN SINTANG Geografis dan Administrasi Kabupaten Sintang mempunyai luas 21.635 Km 2 dan di bagi menjadi 14 kecamatan, cakupan wilayah administrasi Kabupaten Sintang disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu Saudara-saudara

Lebih terperinci

TENTANG. yang. untuk. dalam. usaha

TENTANG. yang. untuk. dalam. usaha 1 B U P A T I B A L A N G A N PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN, PENGENDALIAN SERTA PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGUSAHAAN DAN PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGUSAHAAN DAN PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGUSAHAAN DAN PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009).

serta menumbuhkan inspirasi dan cinta terhadap alam (Soemarno, 2009). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Alam Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, pasal

Lebih terperinci