KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 ABSTRACT RITA TRI PUSPITASARI. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) at Coastal Forest Ujung Genteng, Sukabumi-West Java. Supervised by Nampiah Sukarno, Kartini Kramadibrata, dan Dede Setiadi. Indonesia is one of the countries that has a megadiversity of microorganisms and has a large area of coastal forests. However, research on microbial diversity particularly AMF as one of the dominant microbes in a coastal forest ecosystems has not been done extensively. The main objective of this research was to study the diversity and distribution of AMF in coastal forest and to analyse effects of salinity on the fungal and plant community at Coastal Forest Ujung Genteng Cape, Sukabumi - West Java. This research was carried out in two parts: field, green house and laboratorium experimental activities. Field experimental activities were conducted for vegetation analysis, collecting of plant root system, rhizosphere soils from tree and pole phase,. seedling of understorey plants for fungal colonization analysis, isolation and identification of AMF and soil characteristics, include salinity. Green house and laboratorium activities were carried out for isolation, identification and colonization analysis of AMF. Field research location was divided into three zones, first zone was 0 70 m distance from coastal area (P), second zone was m distance from coastal area (T), and third zone was 141 m distance from coastal until forest up to area in the center (H). Twenty three AMF species from 45 plant rizosphere were identified. The fungi belong to 5 species of Acaulospora, 2 species of Gigaspora, 13 species of Glomus, 1 species of Paraglomus and 2 species of Scutellospora. Glomus geosporum was the most dominant AMF in the ecosystem with the value of frequency was 16.49% %. Glomus etunicatum, Acaulospora foveata, A. longula, A. scrobiculata, A. tuberculata, and Scutellospora auriglobosa were the AMF that had frequency higher than other species but less than G. geosporum in the field. Results from vegetation analysis indicated that Ujung Genteng Coastal Forest had 68 plant species belonging to 40 families. Dysoxylum parasiticum and Piper cf. baccatum were dominant plants in the ecosystem. The plant community measured at the three zones experimental sites were differed. The similarity index value of the plant community (Is) between coastal P) and center (T) area was 35.42%, between center (T) and forest center (H) was 32.53%, and between coastal edge (P) and forest center (H) was 27.04%. There was no correlation between diversity of plant and diversity of AMF onserved. Diversity of AMF were influenced with all interaction environment factors especially salinity. Two species of AMF had a narrow distribution and found only in a rhizosphere of one plant species. Glomus sp 5. found only in Guettarda speciosa rhizosphere and Glomus sp6. in Salacia sp. rhizosphere. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF were , and , respectively. The salinity at Ujung Genteng Cape was falled in moderate degree with the value of µs/cm. The salinity influenced the diversity of AMF and plant community structures. Nineteen species were identified from P zone, 17 species from T zone and 14 species from H zone, with the index diversity values of AMF (D) were , and , respectively.

3 KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan dan Ilmu Pengetahuan Alam SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

4 Judul Tesis : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat Nama : Rita Tri Puspitasari NIM : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nampiah Sukarno Ketua Dr. Kartini Kramadibrata Anggota Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS. Anggota Diketahui Ketua Departemen Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dedi Duryadi S., DEA Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 29 Desember 2005 Tanggal Lulus :

5 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NIM : Rita Tri Puspitasari : G Program Studi : Biologi (BIO) dengan ini menyatakan bahwa tesis dengan judul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat adalah benar-benar merupakan hasil penelitian yang saya lakukan di bawah bimbingan Komisi Pembimbing saya, dan belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Penelitian tersebut dilakukan di Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat, dan di Laboratorium Mikologi IPB serta di Laboratorium Mikoriza Herbarium Bogoriense sejak Februari 2003 sampai dengan Juli Bogor, Desember 2005 Rita Tri Puspitasari G

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga penulisan Tesis yang berjudul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat berhasil diselesaikan. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada: Ibu Dr. Ir. Nampiah Sukarno, Ibu Dr. Kartini Kramadibrata dan Bapak Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS. selaku pembimbing, yang telah banyak memberi arahan sejak penulisan proposal, penelitian hingga penulisan tesis ini selesai. Serta Ibu Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. sebagai penguji yang telah memberi koreksi dan masukan. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberi izin untuk studi lanjut. Pimpinan Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program studi Biologi, atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti program S2 ini. Kepala Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dan Kepala Laboratorium Mikologi IPB yang telah memberi fasilitas penelitian. Staf pengajar dan pegawai di lingkungan Program Studi Biologi, FMIPA IPB. Teman-temanku: Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.Si. yang telah memberi masukan dan dukungan, Rida Oktorida, S.Si, Ijoh, Hadi Prastyo, S.Si, Yenni Lucia, SP, M.Si., Bapak Ujang Hapid, Nury Nuryada Aradea, S.Si. yang telah membantu selama di laboratorium,vivi Sumarna, S.Si pemandu saat survey, dan Nurhasanah, S.Si, M.Si. serta Ir. Elfarisna, M.Si. yang telah memberi semangat dan bantuan selama penulisan. Ayahanda Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Ibunda Hj. Hafni Zahara yang telah memberi nasehat, semangat dan doa. Khususnya pada suamiku Ir. Tejo Padmono dan anak-anakku tercinta, Poppy, Affan dan Sekar atas segala dukungan semangat, kesabaran, pengertian dan doa sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Desember 2005 Rita Tri Puspitasari

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 31 Mei 1966 dari Ayah Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir dan Ibu Hj. Hafni Zahara. Penulis merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Pada tanggal 12 Januari 1991 penulis menikah dengan Ir.Tejo Padmono dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Aphrodita Puspateja (Poppy) (14 tahun), Affan Ibrahim Puspateja (11½tahun), dan Aulia Sekar Puspateja (9 tahun). Tahun 1979 penulis lulus SD Negeri II Laboratorium IKIP Jogjakarta, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Jogjakarta lulus tahun 1982, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 6 Jogjakarta lulus tahun Penulis masuk Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga tahun Penulis memilih sub Program Mikrobiologi Industri, Program Studi Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi dan lulus Sarjana Biologi tahun Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studi di Program Pascasarjana IPB, FMIPA Program Studi Biologi, sub Program Mikrobiologi dengan beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta selama 1 tahun, selanjutnya BPPS sampai selesai. Tahun 1990 penulis pertama kerja di perusahaan advertising di Jakarta dan merangkap mengajar di Universitas Surapati Jakarta sampai tahun Dan sejak tahun 1992 penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta sampai sekarang. Selama menjadi staf pengajar, penulis menjabat sebagai Kepala Laboratorium dari tahun dan tahun menjabat sebagai Sekretaris Jurusan.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.... ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Pendekatan... 3 Hipotesis... 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain... 6 Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA) Kolonisasi.. 10 Proses Infeksi CMA Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora. 15 Cendawan Mikoriza Arbuskula Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara.. 20 Keanekaragaman CMA dan Keanekaragaman Tumbuhan pada berbagai Ekosistem Peranan CMA dalam Komunitas Tumbuhan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Analisa Data Analisa Pendukung.. 33 Penyimpanan Spesimen HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Vegetasi.. 34 Keanekaragaman CMA Hubungan antara CMA dan Vegetasi.. 75 PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN. 98 DAFTAR PUSTAKA. 100

9 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang pada zona 0-70 m dari pantai (P) daerah Ujung Genteng Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di m dari pantai (T) daerah Ujung Genteng Nilai penting spesies tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 141 m dari pantai sampai tengah hutan (H) daerah Ujung Genteng Identitas spora CMA yang berhasil diisolasi dari vegetasi di Ujung Genteng Seri pengamatan dan jumlah spesies CMA hasil identifikasi 76 6 Frekuensi mutlak dan frekuensi relatif keterdapatan setiap spesies CMA 77 7 Nilai penting tumbuhan, dan kerapatan, kekayaan serta keragaman CMA di lapang pada rizosfer tumbuhan 80 8 Spesies tumbuhan, kekayaan, kerapatan dan keragaman CMA pada biakan pot dengan inang tumbuhan anakan 81 9 Sifat tanah Semenanjung Ujung Genteng Indeks Keragaman CMA pada Zona P, T, dan H ix

10 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan cendawan lain berdasarkan urutan gen SSU rrna (Walker dan Schüβler 2004) Bagan alir penelitian Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengamatan di hutan pantai Ujung Genteng, Desa Batu, Kabupaten Sukabumi Spora Acaulospora foveata Spora Acaulospora longula Spora Acaulospora scrobiculata Acaulospora tuberculata Spora Acaulospora cf. undulata Spora Gigaspora cf. gigantea Spora Gigaspora ramisporophora Glomus clavisporum Glomus cf. deserticola Spora Glomus etunicatum Glomus geosporum Glomus cf. microaggregatum Glomus rubiforme Spora Glomus tortuosum Glomus sp Spora Glomus sp x

11 20 Spora Glomus sp Glomus sp Kelompok Glomus sp Spora Glomus sp Spora Paraglomus occultum Scutellospora cf. auriglobosa Spora Scutellospora cf. heterogama Frekuensi relatif keterdapatan spesies CMA di lapang, biakan pot dan anakan Perbandingan kerapatan spora dan persentase kolonisasi akar dari lapang, dan biakan pot Perbandingan kerapatan spora dan persentase kolonisasi akar dari lapang, biak pot dan anakan dengan spesies tumbuhan yang sama Sebaran CMA dan tumbuhan di Ujung Genteng Kerapatan spesies CMA berdasarkan pembagian zona di pantai 87 xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran seluruh Semenanjung Hasil Analisa Vegetasi Metoda Garis Menyinggung Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 0-70 m dari pantai Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran m dari pantai Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 141 m dari pantai sampai tengah hutan Persentase kolonisasi CMA di lapang, biakan pot dan anakan Sebaran CMA dan Tumbuhan di Semenanjung Ujung Genteng Gambar Biakan Pot Gambar Kolonisasi CMA Gambar Tumbuhan di Tepi Pantai Gambar Tumbuhan di Tengah Hutan Gambar Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi Jawa Barat Pembuatan Larutan Stock Johnson Nutrient Solution 120 xii

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam ekosistem alami, cendawan mikoriza terutama cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan cendawan tanah yang paling dominan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Hal ini disadari tidak saja oleh peneliti-peneliti dalam bidang mikrobiologi tetapi juga oleh peneliti-peneliti dalam bidang ekologi tumbuhan. Interaksi simbiosis mutualisme antara tumbuhan dan CMA ini merupakan bagian penting dalam ekosistem karena tumbuhan merupakan sumber utama penghasil karbon bagi mikroorganisme tanah termasuk CMA. Cendawan mikoriza arbuskula merupakan cendawan simbion obligat sehingga seluruh kebutuhan unsur karbonnya sangat bergantung pada tumbuhan. Sebaliknya, CMA mempunyai kemampuan untuk menyerap nutrisi dan air dari tanah dalam jumlah yang cukup besar dan mentransfernya kepada tumbuhan. Eratnya hubungan interaksi antara tumbuhan dengan CMA memungkinkan adanya peranan yang sangat besar dari tumbuhan dalam menentukan struktur keanekaragaman dan fungsi CMA dalam komunitas alami tersebut. Hal sebaliknya juga mungkin dapat terjadi yaitu keanekaragaman CMA merupakan faktor penentu dalam terpeliharanya keanekaragaman tumbuhan dalam komunitas alami (Johnson et al. 2005). Cendawan mikoriza arbuskula selain mempunyai peranan penting dalam penyerapan nutrisi terutama P, juga mempunyai peran penting lainnya dalam ekosistem yaitu membantu meningkatkan resistensi tumbuhan terhadap faktor lingkungan yang ekstrim seperti kekeringan, salinitas dan kemasaman, kandungan logam berat dan bahan toksik lainnya pada tanah serta serangan hama dan

14 penyakit pada tumbuhan. Struktur keanekaragaman tumbuhan pada suatu ekosistem dapat terjaga dengan adanya simbiosis ini melalui mekanisme transfer nutrisi. Transfer nutrisi dilakukan oleh jaringan miselia atau hifa-hifa CMA dari satu akar tumbuhan dewasa ke akar tumbuhan anakannya. Jaringan miselia ini tidak saja berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi dari dalam tanah, tetapi juga membantu mengalokasikan unsur karbon dari tumbuhan induk kepada anakannya. Mekanisme ini berperan sangat penting dalam membantu proses kelangsungan hidup suatu spesies tumbuhan terutama bagi anakan yang tumbuh dibawah kanopi yang cukup rapat. Sinar matahari yang sampai ke dasar hutan sangat rendah sehingga menghambat proses fotosintesa. Simbiosis mutualisme antara tumbuhan dan CMA tersebut selain dapat menjaga kesuburan tanah, dan nutrisi tumbuhan, juga dapat memelihara stabilitas dan biodiversitas komunitas tumbuhan (Smith & Read 1997). Hutan pantai semenanjung Ujung Genteng merupakan salah satu hutan pantai yang masih tersisa di pulau Jawa. Ekosistem hutan pantai ini terletak di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat. Posisi Semenanjung menghadap ke Samudra Hindia, dikelilingi batu karang yang cukup landai, dan jauh menjorok ke laut. Oleh karena areal hutan dikelilingi laut, maka ekosistem hutan tersebut dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas tanah mempengaruhi penyerapan hara karena cekaman salinitas dapat menurunkan kemampuan tumbuhan dalam menyerap air, dan ion serta dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia tanah, menurunkan potensial osmotik larutan tanah yang mengganggu penyerapan hara. Jika hal tersebut terjadi dalam jangka maka berdampak negatif panjang akan mempunyai efek merugikan 2

15 terhadap produktivitas tumbuhan pada ekosistem tersebut (Al-Karaki 2000 dan Sumner 2000). Tumbuhan bermikoriza umumnya memiliki toleransi lebih baik terhadap salinitas tanah sehingga pemanfaatan CMA dapat menjadi suatu pilihan dalam menanggulangi masalah rendahnya produktivitas tumbuhan di tanah salin. Namun penelitian terhadap peranan CMA pada tanah salin belum banyak dilakukan di Indonesia. Begitu pula penelitian tentang keanekaragaman CMA dengan faktorfaktor yang berkaitan di ekosistem hutan pantai, terutama keanekaragaman vegetasi tumbuhan yang tumbuh di atasnya dan sifat-sifat tanah khususnya salinitas belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian mengenai keanekaragaman CMA di hutan pantai ini perlu dilakukan. Luaran dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai keanekaragaman CMA di Indonesia, khususnya di Semenanjung Ujung Genteng yang dalam jangka panjang data ini dapat memberikan tambahan informasi untuk pemanfaatan CMA yang potensial sebagai sumber pupuk hayati yang dapat beradaptasi pada kondisi salin. Tujuan Penelitian Mempelajari keanekaragaman dan sebaran CMA pada tumbuhan hutan pantai dan hubungannya dengan sifat-sifat tanah, khususnya salinitas di Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Pendekatan 1. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA langsung dari rizosfer berbagai jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi di lapang. 3

16 2. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA dari berbagai tumbuhan dari lapang setelah dibiakan dalam pot menggunakan inang Pueraria phaseoloides dan Shorghum sp. 3. Mengamati perbedaan populasi, keragaman dan kolonisasi CMA pada biakan pot menggunakan inang anakan / tumbuhan bawah dari lapang. 4. Hubungan keragaman tumbuhan dan keragaman CMA Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara keragaman tumbuhan dengan CMA. 2. Perbedaan sifat tanah, khususnya salinitas mempengaruhi keanekaragaman, sebaran, kolonisasi CMA dan jenis vegetasi tumbuhan di atasnya. 4

17 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Lokasi Penelitian Secara geografis daerah penelitian terletak antara 07 o 15 Lintang Selatan 106 o 15 Bujur Timur. Lokasi penelitian berada di Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat (Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga Bogor 2003). Semenanjung Ujung Genteng posisinya menghadap ke Samudra Hindia, dikelilingi batu karang yang cukup landai, dan jauh menjorok ke laut. Semenanjung ini merupakan tempat penunjang pangkalan Radar AURI Surade, dengan luas area hutan kurang lebih 34.7 Ha dari luas Desa Gunung Batu Ha. Kondisi Lahan Pantai semenanjung berpasir putih dengan kandungan pasir berkisar dari 43.98% sampai %, jenis tanah litosol, ditengah hutan tanah banyak bercampur dengan karang laut. Tanah mempunyai ph agak alkalis sampai alkalis. Salinitas berkisar antara 420 sampai μs/cm (moderat sampai salin). Iklim Menurut Schmidt dan Ferguson kawasan Semenanjung Ujung Genteng termasuk ke dalam tipe iklim A. Curah hujan rata-rata tahunan mm dengan jumlah hari hujan 186 per tahun. Temperatur rata-rata tahunan relatif merata sepanjang tahun yaitu berkisar antara 19.6 o C sampai 31.6 o C,. Kelembaban nisbi bulanan rata-rata berkisar antara 75% sampai 95% (Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga Bogor 2003).

18 TINJAUAN PUSTAKA Salinitas Tanah dan Beberapa Sifat Tanah lain Tanah yang disebut tanah salin ialah tanah yang mempunyai nilai salinitas lebih dari 4 mmho/cm. Secara alternatif, jika tanah dinyatakan dalam konteks konsentrasi garam, tanah bergaram/salin ialah tanah yang mengandung garam lebih dari 0.1% (1000 ppm) (Tan 1991). Sedangkan salinitas air untuk irigasi lahan pertanian dibagi menjadi 4 kelas, yaitu salinitas rendah (0-0.4 ds/m), salinitas moderat ( ds/m), salinitas tinggi ( ds/m) dan salinitas sangat tinggi ( ds/m) (Sumner 2000). Di daerah pantai, limpasan air laut ke daratan/tanah akan menyebabkan tanah tersebut mempunyai salinitas tinggi. Selain itu tanah salin dapat juga terdapat pada tanah yang secara alami memang mempunyai deposit garam. Air tanah salin biasanya mengandung mg/l bahan terlarut (EC ds/m), sementara air laut konsentrasi bahan terlarutnya ialah mg/l dan Laut Mati di Israel mengandung kadar garam mg/l (hipersalin) (Sumner 2000). Membandingkan hasil-hasil penelitian tentang salinitas tanah cukup rumit karena adanya perbedaan dalam metode pengukuran salinitas tersebut (Bernstein 1981). Salinitas tanah akan menjadi masalah jika konsentrasi natrium klorida (NaCl), natrium karbonat (NaCO 3 ), natrium sulfat (Na 2 SO 4 ) atau garam-garam dari magnesium (Mg) terdapat dalam jumlah yang berlebih. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya salinitas pada suatu areal. Sebagai contoh, kandungan garam-garam yang tertinggal dalam larutan tanah dapat mencapai 4-10 kali lebih tinggi pada tanah-tanah beririgasi akibat adanya proses evapotranspirasi (Poljakoff-Mayber & Gale 1975).

19 Al-Karaki (2000) melaporkan bahwa apabila terjadi cekaman salinitas yang tinggi pada tumbuhan pertanian, Lycopersicum esculentum Mill cv. Pello, Arachis hypogaea cv. JL 24 (Gupta & Krisnamurthy 1996), dan Lactuca sativa (Ruiz- Lazano et al. 1996) akan menyebabkan terjadi penurunan kandungan P. Namun pemberian CMA pada lahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panennya (Al-Karaki et al. 2001; Ruiz-Lazano et al. 1996). Salinitas tanah tidak hanya bergantung pada konsentrasi garam dalam tanah, tetapi juga pada volume air dalam tanah. Salinitas pada tanah bertekstur kasar akan meningkat sampai 5 kali lipat dibandingkan dengan tanah yang bertekstur halus (Bernstein 1981, Hardjowigeno 1995). Tumbuhan yang hidup di tanah salin dapat mengalami berbagai macam tekanan fisiologis karena pengaruh racun dari ion sodium dan klorida yang terdapat dalam tanah salin. Ion tersebut dalam jumlah tinggi pada tumbuhan akan menghancurkan struktur enzim dan makromolekul lainnya, merusak organel sel, mengganggu fotosintesis dan respirasi, dan menghambat sintesis protein. Selain itu, tingginya salinitas akan menurunkan permeabilitas akar terhadap air dan mengakibatkan penurunan laju masuknya air ke dalam tumbuhan (Marschner 1995), sehingga produktivitasnya menurun. Salinitas tanah akan menghambat pembentukan akar-akar baru dan mengganggu peyerapan air karena tingginya tekanan osmotik larutan tanah. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan tumbuhan mengalami kekeringan dan kekurangan kalium. (Jacobby 1999). Nilai ph tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tumbuhan. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tumbuhan pada ph tanah sekitar netral, karena pada ph tersebut kebanyakan 7

20 unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah alkalis, unsur P difiksasi oleh Ca sehingga tidak dapat diserap tumbuhan, sedangkan pada tanah masam unsur P diikat (difiksasi) oleh Al (Sumner 2000). Menurut Leiwakabessy et al. (2003), reaksi tanah (ph) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap retensi P. Ketersediaan fosfat tanah tertinggi terjadi pada selang ph Pada ph yang lebih rendah aktifitas fosfat berkurang karena mengalami retensi oleh R 2 O 3 sedangkan ph di atasnya retensi terjadi oleh ion-ion Ca dan Mg. Namun apabila ion Na yang dominan terdapat pada tanah tersebut seperti pada tanah-tanah salin atau alkalin, maka retensi fosfat rendah. Simbiosis Mikoriza Arbuskula (MA) Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dengan perakaran tumbuhan. Istilah mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu kata Myces yang berarti cendawan dan Rhiza yang berarti akar (Smith & Read 1997). Dalam simbiosis ini cendawan mendapatkan unsur karbon dari tumbuhan, sedangkan tumbuhan mendapatkan air dan nutrisi terutama P dari cendawan. Berdasarkan struktur cendawan yang dibentuk dalam akar dan jenis tumbuhan inang, maka mikoriza dikelompokkan ke dalam 2 golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Di dalam kelompok endomikoriza terdapat enam subtipe yaitu : mikoriza arbuskula, mikoriza ektendo, mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza erikoid dan mikoriza anggrek (Smith & Read 1997). Mikoriza arbuskula (MA) atau sering juga disebut mikoriza vesikula arbuskula (MVA) merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai pada kondisi alami dan mengkolonisasi sekitar 80% spesies tumbuhan yang ada di dunia. Mikoriza 8

21 arbuskula dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan yang termasuk dalam Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta dan Bryophyta kecuali pada famili tumbuhan dari Cruciferae, Cyperaceae, Chenopodiaceae, Brasicaceae dan tumbuhan bermikoriza lain (Smith & Read 1997). Mikoriza arbuskula mempunyai karakteristik yang khas yaitu: a). perakaran yang terkena infeksi tidak membesar, b). cendawan tidak membentuk struktur lapisan hifa pada permukaan akar, c). hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan interseluler, d). membentuk struktur khusus berupa sistem percabangan hifa di dalam akar yang disebut arbuskula, e). beberapa membentuk struktur vesikula (Harley & Smith 1983). Nama vesikula arbuskula merupakan derivat dari karakter stukturnya, arbuskula dan vesikula. Namun karena tidak semua CMA mempunyai struktur vesikula maka sebagian ahli mikoriza menyebutnya sebagai mikoriza arbuskula (MA). Mayoritas, sekitar 80% MA membentuk arbuskula dan vesikula, sedangkan lainnya hanya membentuk arbuskula tetapi tidak membentuk vesikula (Smith & Read 1997). Mikoriza arbuskula mempunyai tiga komponen penting, yaitu: akar, struktur cendawan dalam sel akar dan miselium ekstraradikal dalam tanah. Dalam asosiasinya dengan tumbuhan, MA membentuk organ pada bagian dalam dan bagian luar akar tumbuhan. Beberapa organ yang terbentuk di dalam akar yaitu hifa internal, vesikula, hifa gelung, arbuskula dan spora, sedangkan organ MA yang terdapat pada bagian luar akar yaitu hifa eksternal dan spora. Arbuskula berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara cendawan dan sel inang. Vesikula mengandung butiran-butiran lemak dan berfungsi sebagai cadangan makanan bagi cendawan. Pendapat lain mengatakan bahwa vesikula 9

22 ialah organ istirahat karena jumlah selnya akan meningkat pada saat tumbuhan menua atau saat tumbuhan akan mati (Abbot & Robson 1982; Bonfante-Fosolo 1984). Adanya simbiosis mutualisma antara CMA dengan perakaran tumbuhan dapat membantu pertumbuhan tumbuhan menjadi lebih baik, terutama pada tanahtanah marjinal. Hal ini disebabkan MA efektif dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro (Karagiannidis et al. 1995), kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002). Sebagai contoh Phythoptora parasitica menurun pada akar yang diinokulasi cendawan mikoriza (Cordier 1998), MA juga dapat meningkatkan ketahanan tumbuhan inang dari kekeringan (Munyanziza et al. 1997; Kling & Jakobsen 1998) dan membantu pertumbuhan tumbuhan inang pada lahan yang tercemar logam berat (Munyanziza et al. 1997). Mikoriza arbuskula dapat pula menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti auksin, sitokinin dan giberelin yang ditransfer kepada tumbuhan inangnya (Marschner 1995). Ludwig-Muller (2000) melaporkan bahwa peningkatan persentase kolonisasi akar jagung setelah diinokulasi oleh Glomus intraradices berkaitan dengan sintesis IBA. Kolonisasi Kolonisasi akar dipengaruhi oleh suhu, cahaya, eksudat akar dan kondisi fisiologis propagul. Suhu mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap perkecambahan spora, pertumbuhan hifa, kolonisasi dan sporulasi dibanding dengan faktor-faktor lainnya (Bendavid-Val et al. 1997; Muin 2003). Suhu yang tinggi umumnya menghasilkan kolonisasi yang lebih tinggi. Perkecambahan arbuskula maksimum terjadi pada suhu mendekati 30 o C namun kolonisasi 10

23 miselium pada permukaan akar paling baik diantara o C, suhu o C merupakan kondisi yang terbaik bagi CMA untuk meningkatkan kolonisasi pada akar tumbuhan (Estaun, Camprubi & Calvet 1996). Cahaya juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kolonisasi CMA (Hayman 1974). Kolonisasi cendawan pada akar anakan ramin sangat rendah jika anakan ramin disemaikan pada intensitas cahaya kurang dari lux atau lebih dari lux (Muin 2003). Munculnya kolonisasi dapat berubah-ubah menurut musim, tipe tanah, kandungan air tanah, konsentrasi P, komposisi komunitas dan spesies tumbuhan (Allosopp 1998). Smith & Read (1997) menyatakan bahwa kolonisasi akar oleh CMA dapat berasal dari tiga sumber inokulum yaitu spora, potongan akar yang terinfeksi dan hifa secara keseluruhan yang disebut propagul. Proses Infeksi CMA Secara umum proses infeksi CMA pada akar tumbuhan melewati empat tahap, yaitu 1) induksi perkecambahan propagul dan pertumbuhan hifa, 2) kontak antara hifa dan permukaan akar serta pembentukan apresorium, 3) penetrasi hifa ke dalam akar, dan 4) perkembangan struktur arbuskula internal untuk selanjutnya terjadi simbiosis yang fungsional (Bonfante & Perotto 1995). Infeksi diawali dengan perkecambahan propagul dan dilanjutkan pertumbuhan hifa. Dalam proses selanjutnya terjadi kontak antara hifa dengan permukaan akar inang yang akan menghasilkan apresoria. Kemudian terjadi infeksi jaringan akar dan membentuk hifa interseluler dan intraseluler, hifa eksternal, hifa koil, arbuskula dan tidak semua MA membentuk vesikula. Jaringan pembuluh dan meristem resisten terhadap infeksi CMA, hanya jaringan akar 11

24 spesifik seperti epidermis dan korteks yang dapat dikolonisasi. Hal ini disebabkan CMA tidak mempunyai enzim yang dapat mendegradasi lignin dan suberin yang merupakan penyusun meristem. (Bonfante & Perotto 1995). Senyawa seperti CO 2, eksudat akar tumbuhan dan faktor lingkungan lainnya dapat menstimulasi perkecambahan propagul CMA. Eksudat akar tumbuhan inang berupa flavonoid dapat menstimulir perkecambahan spora CMA dan pertumbuhan hifa (Giovanneti et al. 1993a; 1993b). Isoflavon dapat menginduksi pertumbuhan hifa, percabangan, dan diferensiasi serta penetrasi sel ke inang. Propagul cendawan akan berkecambah pada saat spora, molekul lipid, protein, glikogen yang terkandung di dalam spora terhidrolisis membentuk senyawa yang kaya akan energi, sehingga dapat digunakan untuk aktivitas metabolisme dan sintesis DNA (Becard et al. 1995). Penetrasi CMA ke jaringan inang dilakukan secara enzimatis maupun secara mekanis. Awalnya apresorium menekan dengan tekanan yang tinggi pada jaringan akar yang diinfeksi. Tekanan mekanis tersebut menyebabkan cendawan mampu menembus sel khususnya melalui pembentukan kaki penetrasi. Melanin merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam meningkatkan tekanan hidrostatik. Tekanan hidrostatik komponen dinding sel tersebut disebabkan karena melanin menangkap cairan dalam apresoria sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan gradien osmose dan penyerapan air (Bonfante & Perotto 1995). Pembentukan apresorium dapat dianggap sebagai tanda keberhasilan CMA menginfeksi inangnya, seperti halnya cendawan patogen membentuk haustorium menginfeksi inangnya. 12

25 Penetrasi CMA ke akar, tumbuhan melakukan serangkaian mekanisme pertahanan yang hampir sama dengan mekanisme apabila terjadi infeksi patogen pada tumbuhan. Mekanisme ini melewati beberapa tahapan yaitu pengenalan signal, transduksi signal dan aktivasi gen pertahanan (Garcia-Garrido & Ocampo 2002). Tumbuhan mempunyai pertahanan diri dengan mengkodekan gen yang dapat menghasilkan enzim pendegradasi dinding cendawan seperti kitinase dan β- 1,3 glukanase, serta enzim yang terlibat dalam biosintesis fitoaleksin seperti fenilalanin ammonia liase. Namun pertahanan tumbuhan sebagai inang dapat ditekan dilawan dengan penyebaran hifa cendawan sehingga CMA tetap dapat berinteraksi dengan tumbuhan. Serangkaian mekanisme pertahanan tumbuhan yang lainnya yaitu mengakumulasi protein yang dapat menekan aktivitas patogen. Enzim yang berkaitan dengan pertahanan tumbuhan seperti kitinase dapat dilawan dengan penyebaran hifa cendawan tersebut. Kitinase berperan dalam melawan cendawan patogen yaitu dengan reaksi hidrolisis (Pozo et al. 2002) Apresorium adakalanya bercabang sebelum penetrasi ke dalam epidermis. Setelah melewati epidermis umumnya hifa bercabang dalam berbagai arah, kadang-kadang tumbuh secara lateral (intraseluler) diantara sel-sel lapisan berikutnya sebelum masuk ke dalam sel korteks (Widden 1996). Penetrasi CMA melalui apresoria kemudian membentuk hifa koil di dalam sel-sel korteks dan berkembang menuju sel-sel korteks didekatnya menjadi arbuskula (Cooke, Widden & O Halloran 1993). Arbuskula merupakan struktur utama dalam kompleks simbiosis tumbuhan dan cendawan simbion tersebut. Arbuskula terbentuk setelah hifa mengalami percabangan dikotomi berkali-kali dan akhirnya tampak sebagai massa protoplas 13

26 berbutir-butir yang bercampur dengan protoplas sel inang. Analisa morfologi dan morfometrik menunjukkan bahwa arbuskula melengkapi perkembangannya dalam 2.5 sampai 4 hari (Alexander et al. 1989). Struktur hidup arbuskula relatif singkat berkisar antara 4 sampai 15 hari, bahkan dalam tumbuhan legum hanya 2-5 hari (Cooke, Widden & O Hallora 1993). Di dalam arbuskula terjadi pertukaran metabolisme antara tumbuhan inang dan cendawan simbion. Pembentukan arbuskula diawali dari suatu struktur batang, kemudian mengalami percabangan hifa dan tipe percabangannya dipengaruhi oleh tumbuhan inang (Cooke, Widden & O Halloran 1993). Balestrini et al. (1992) melaporkan bahwa dengan terbentuknya arbuskula dalam sel korteks inang maka terjadi invaginasi plasmalema tumbuhan, fragmentasi vakuola, hilangnya amiloplas dan kenaikan jumlah organel seperti aparatus golgi. Adanya cendawan juga mempengaruhi posisi nukleus tumbuhan yang bergerak dari posisi tepi ke posisi sentral pada sel yang terinfeksi. Pada saat akar dikolonisasi CMA dan membentuk hifa koil, hifa interseluler atau arbuskula, plasmalema inang mengalami invaginasi dan proliferasi di sekitar perkembangan cendawan. Material apoplas yang terletak antara membran plasma tumbuhan yang mengalami invaginasi dan permukaan sel cendawan memberikan suatu ruang baru yang disebut ruang interfase. Membran cendawan merupakan bagian yang penting karena pada membran ini terjadi transfer dua arah antara tumbuhan dan cendawan. Ruang interfase merupakan suatu ekspresi struktural terjadinya simbiosis yaitu tempat terjadinya pertukaran hara dua arah. Invaginasi membran perifungi disekitar arbuskula menunjukkan adanya aktivitas H + /ATPase, jadi kemungkinan membran di sekitar cendawan (perifungi) sangat berperan untuk transpot hara. Adanya aktivitas 14

27 H + /ATPase mencirikan simbiosis mutualisma sebagaimana juga dijumpai pada membran tumbuhan yang berbintil akar dan hal ini tidak dijumpai pada membran sekitar haustoria, tempat interaksi patogen tumbuhan (Bonfante & Perotto 1995). Vesikula merupakan organ penyimpanan karbon untuk cendawan, dan vesikula ini juga menunjukkan awal infeksi baru. Vesikula merupakan struktur berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk dari hifa internal yang membengkak (Bonfante-Fosolo 1984). Pertumbuhan Hifa Eksternal dan Produksi Spora Adanya hifa eksternal memungkinkan tumbuhan mengeksploitasi volume tanah lebih besar. Friese & Allen (1991) melaporkan bahwa eksploitasi fisik pada absorbsi unsur hara difasilitasi oleh kecilnya diameter hifa yaitu berkisar 2-15 µm dengan rata-rata 3-4 µm. Tipisnya hifa dengan diameter kurang dari 10 µm lebih cocok untuk memanfaatkan P yang terdapat di ruang pori mikro tanah yang tidak dapat dicapai oleh akar dan rambut akar, sehingga dapat mengatasi keterbatasan difusi Pi yang lambat dalam tanah. Selain itu, hifa juga dapat menyerap air. Sehingga hifa eksternal dapat meningkatkan potensi sistem perakaran untuk mengabsorbsi unsur hara dan air. Beberapa studi menunjukkan bahwa daerah deplesi sekitar akar tumbuhan, lebih besar pada tumbuhan yang bermikoriza daripada tumbuhan yang tidak bermikoriza (Smith & Read 1997). Pertumbuhan dan perkembangan hifa eksternal mikoriza arbuskula sangat berbeda-beda tergantung pada jenis tanah, tumbuhan dan cendawannya. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan cendawan dalam tanah dapat mencapai 80 sampai 134 kali panjang akar yang dapat dikolonisasinya. Selain itu, cendawan dapat pula tampak kurang berkembang (Bonfante-Fosolo 1984). Ditinjau dari morfologinya, 15

28 miselium eksternal ini dapat tumbuh dan menuju ke permukaan akar untuk membentuk unit kolonisasi. Semua organisme merespon pengaruh temperatur. Hifa ekstraradikal miselia dari Glomus caledonium semuanya tidak dapat tumbuh pada suhu 10 o C namun dapat tumbuh baik pada suhu 25 o C (Gavito 2003). Pada suhu 0 o C G. intraradices tidak mampu mengabsorbsi P namun dapat aktif kembali mengangkut P pada suhu 15 o C (Wang et al. 2002) Banyaknya miselium eksternal ini sangat bervariasi, dapat sangat banyak pada beberapa contoh tanah atau bahkan menutupi akar namun tidak sampai membentuk selubung cendawan seperti pada ektomikoriza (Harley & Smith 1983). Selain miselium, CMA membentuk struktur lain yang dikenal sebagai spora, dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok, atau di dalam suatu sporokarp tergantung jenis cendawannya. Miselium eksternal merupakan hal yang penting dalam produksi spora CMA, karbohidrat banyak di translokasikan ke tempat tersebut. Spora CMA dalam tanah merupakan bagian dari cendawan di luar akar penyusun biomassa (Smith & Read 1997). Menurut Sieverding (1991) sporulasi CMA di dalam tanah terjadi pada ph sekitar 3.8 sampai 8.0. Toleransi dan kemampuan tumbuhan untuk tumbuh pada kondisi ph yang tidak menguntungkan ada kemungkinan karena asosiasi kolonisasi CMA dengan akar dan kemampuan CMA beradapatasi terhadap kondisi tersebut. Sieverding et al. (1989) menemukan bahwa tanah maksimum mengandung 28 spora / g tanah pada Cassava dan biomassanya di atas 919 kg/ha. Biakan pot dari hasil isolasi individu spesies cendawan dapat diperoleh informasi yang 16

29 banyak, dapat menghasilkan cendawan dengan sporulasi yang lebih cepat, dan lebih banyak. (Brundrett 1996). Cendawan Mikoriza Arbuskula Menurut klasifikasi dari Morton & Benny (1990) cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan cendawan simbion obligat, mempunyai hifa aseptat, dan reproduksinya dilakukan secara aseksual. CMA digolongkan dalam filum Zygomycota kelas Zygomycetes dengan ordo Glomales. Dasar utama pembedaan adalah perkembangan, morfologi, dan struktur dinding pada globos zigospora, azigospora, klamidospora dan sporangianya. Cendawan-cendawan yang dimasukkan ke dalam ordo Glomales, ialah anggota genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocystis, Acaulospora, dan Entrophospora. Menurut laporan Schüβler et al. (2001), cendawan mikoriza arbuskula (CMA) tidak digolongkan ke dalam Zygomycota lagi berdasarkan urutan gen SSU rrna tapi digolongkan dalam filum baru, yaitu Glomeromycota (Gambar 1). Filum Gambar 1 Struktur taksonomi secara umum pada CMA dan kaitannya dengan Cendawan lain berdasarkan urutan gen SSU rrna (Walker & Schüßler 2004). 17

30 ini mempunyai Kelas Glomeromycetes dengan 4 ordo, yaitu Glomerales, Diversisporales, Archaeosporales, dan Paraglomerales. Ordo Glomerales dengan famili Glomeraceae. Ordo Diversisporales terdiri dari 4 famili, yaitu Gigasporaceae, Diversisporaceae, Acaulosporaceae dan Pacisporaceae. Ordo Archaeosporales terdiri dari 2 famili, yaitu Archaeosporaceae dan Geosiphonaceae. Ordo Paraglomerales mempunyai famili Paraglomeraceae (Walker & Schüßler 2004). Pacisporaceae pada Schüβler et al. (2001) belum tercantum. Ekologi dan Fisiologi CMA pada Kondisi Salin Hetrick (1984) mengatakan CMA dapat dijumpai di hampir semua jenis tanah, dari tanah masam sampai alkalin. Namun demikian komposisi kelimpahan spesies CMA dan derajat kolonisasinya berubah dengan adanya peningkatan salinitas tanah. Kim & Weber (1985) menyatakan bahwa CMA ditemukan pada vegetasi halofit pada tanah yang memiliki salinitas tinggi, namun kolonisasi akar oleh CMA menurun sejalan dengan kenaikan salinitas berdasarkan kandungan sodium tanah. Pendapat yang sama juga dilaporkan oleh Delvian (2003) bahwa keberadaan dan kelimpahan CMA di hutan pantai berhubungan negatif dengan tingkat salinitas tanah. Penurunan tingkat salinitas tanah akan meningkatkan kepadatan spora dan persentase kolonisasi CMA pada akar tumbuhan. Ragupathy & Mahadevan (1991) meneliti penyebaran CMA pada kawasan pantai menyebutkan bahwa pengurangan salinitas berhubungan erat dengan peningkatan kepadatan spora atau dengan kata lain salinitas menekan infeksi mikoriza dan pembentukan sporanya. 18

31 Pada percobaan yang dilakukan oleh Juniper & Abbot (2004) diperoleh bahwa, pengaruh NaCl pada pertumbuhan hifa G. decipiens dan S. calospora bersifat dapat balik. Hifa yang berasal dari perkecambahan spora pada pasir dengan kandungan NaCl 300 mmol/l NaCl pertumbuhannya bertambah setelah dipindahkan ke lingkungan yang kadar salinnya lebih rendah. Tetapi hifa dari perkecambahan spora yang di tumbuhkan pada pasir nonsalin pertumbuhannya melambat setelah dipindahkan ke lingkungan salin. Morfologi hifa antara G. decipiens yang ditumbuhkan di substrat salin dan nonsalin berbeda. Panjang hifa yang dihasilkan oleh A. laevis, G. decipiens dan S. calospora berkurang dengan bertambahnya konsentrasi NaCl. Diameter hifa G. decipiens bertambah dengan semakin bertambahnya kadar NaCl. Hifa G. decipiens menebal dengan adanya NaCl, sitoplasmanya kosong dan septatnya banyak. Coperman et al. (1996) menduga bahwa terdapat perbedaan sifat dan efisiensi pada setiap spesies CMA yang disebabkan oleh faktor genetik CMA itu sendiri. Menurut Ruiz-Lozano & Azcon (2000) bahwa perbedaan spesies CMA dan ekosistem asalnya akan menghasilkan respon pertumbuhan yang berbeda. Contohnya pada keadaan ekosistem yang salin dua jenis CMA dibandingkan, ternyata mempunyai respon yang berbeda. Glomus sp. melindungi tumbuhan dari cekaman salinitas didasarkan pada perkembangan akar, sedangkan Glomus deserticola berdasarkan perbaikan nutrisi tumbuhan. Menurut Delvian (2003) efektivitas kerja CMA jauh lebih baik pada kondisi cekaman salinitas. Pada kondisi tanpa cekaman salinitas peningkatan tinggi tumbuhan bermikoriza dengan nilai 85.78%, sedangkan pada kondisi tumbuhan yang tercekam salinitas terjadi peningkatan tinggi sebesar %. 19

32 Peranan CMA dalam Penyerapan Unsur Hara Cendawan mikoriza arbuskula mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tumbuhan inang. Seperti dijelaskan oleh Marschner (1995) simbiosis mikoriza arbuskula membentuk jalinan hifa secara intensif sehingga tumbuhan bermikoriza akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Fosfat adalah salah satu unsur hara utama yang dapat diserap oleh tumbuhan bermikoriza. Fosfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tumbuhan, tetapi ketersediaannya pada tanah-tanah tertentu terbatas, sehingga seringkali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tumbuhan. Cara yang umum untuk mengatasi hal ini salah satunya yaitu memberikan input energi yang tinggi berupa pemupukan fosfat. Untuk mengurangi input kimia tersebut yang relatif mahal, maka aplikasi inokulum CMA dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan dan dikembangkan. Unsur makro lainnya yang dapat diserap oleh MA ialah N dan K. Pada tumbuhan bermikoriza NH4 + dan - mungkin NO 3 meningkat. Unsur K konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak bermikoriza (Sieverding 1991; Read & Smith 1997). Anakan ramin yang terkolonisasi CMA tanpa dipupuk, rata-rata meningkatkan N sebanyak 57,3%, P sebanyak 145,7%, K sebanyak 200,2% dan Mg sebanyak 220,5% (Muin 2003). Meningkatnya fosfor dalam tumbuhan mempengaruhi aktivitas fotosintesis karena laju fotosintesis yang lebih tinggi pada tumbuhan yang bermikoriza berhubungan dengan meningkatnya unsur hara P (Guillemin et al. 1996). 20

33 Selain unsur makro, CMA juga dapat membantu penyerapan unsur hara mikro seperti Cu, Zn, S, Mo dan B. (Sieverding 1991; Read & Smith 1997). Mg konsentrasinya pada tumbuhan bermikoriza lebih tinggi dari pada tumbuhan tidak bermikoriza. Penyerapan Ca terlihat dipengaruhi oleh interaksi dengan unsur-unsur nutrisi yang lain. Mikroelemen esensial bagi tumbuhan seperti Fe, Mn dan Cl secara umum juga ditemukan lebih tinggi konsentrasinya pada tumbuhan yang berasosiasi dengan cendawan tersebut. Muin (2003) melaporkan bahwa anakan ramin yang terkolonisasi CMA menyerap unsur hara mikro Mn, Fe dan Zn lebih banyak dibanding tumbuhan yang tidak terkolonisasi CMA. Serapan Fe meningkat sejalan dengan dosis fosfat alam yang diberikan. Na, Co dan Si tidak esensial untuk pertumbuhan tumbuhan, namun mereka cenderung kadang-kadang diserap tumbuhan yang bermikoriza. Beberapa logam berat dan beracun seperti Cd, Ni, Sr, Pb dan Cs serta beberapa non nutrisi seperti Br dan I juga mungkin dapat diserap (Read & Smith 1997; Sieverding 1991) Secara umum unsur-unsur yang tidak mobil seperti P, Zn dan Cu meskipun berada di daerah rizosfer, sulit diserap oleh tumbuhan. Namun dengan adanya simbiosis CMA pada tumbuhan unsur-unsur tersebut dapat dengan baik diserap oleh tumbuhan (Read & Smith 1997). Mikoriza arbuskula dapat melakukan beberapa cara untuk meningkatkan penyerapan nutrien dari dalam tanah dengan cara memperluas area permukaan dan jangkauan karena adanya hifa eksternal yang berukuran lebih kecil (1/10) dibandingkan dengan akar. Mikoriza arbuskula mampu mempercepat pergerakan P ke akar melalui peningkatan afinitas P ke akar sehingga mengurangi konsentrasi 21

34 ambang yang diperlukan P untuk berdifusi, dan merubah lingkungan organik rhizosfer secara kimia misalnya melalui pelepasan asam organik, dan peningkatan aktivitas fosfatase, serta meningkatkan produksi fitohormon yang dapat merubah fenotipe akar yaitu dengan pembentukan akar dengan nodus yang lebih tinggi juga dapat membuat umur akar menjadi lebih lama sehingga meningkatkan kapasitas penyerapan hara total (Orcutt & Nielsen 2000). Mikoriza arbuskula juga mengakibatkan terjadinya akumulasi asam-asam amino, protein, klorofil dan kandungan gula dibandingkan dengan tumbuhan nonmikoriza (Mathur & Vyas 2000). Pertumbuhan dan fungsi mikoriza tergantung pada suplai karbon sebagai derivat fotosintesis dari tumbuhan inang. Cendawan mikoriza menerima karbohidrat dari tumbuhan inang sebanyak 4-14% dari total karbon hasil fotosintesis (Clark 1997). Allsopp (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menurunkan kapasitas fotosintesis tumbuhan akan berpengaruh terhadap fungsi MA, karena cendawan sebagai pasangan tumbuhan dalam bersimbiosis sangat tergantung pada karbon yang dihasilkan tumbuhan tersebut. Keanekaragaman CMA dan Keanekaragaman Tumbuhan pada berbagai Ekosistem Cendawan mikoriza arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya sangat luas di alam, dapat diisolasi mulai dari daerah tropis, savana, hutan hujan, pantai, tanah gambut, tanah asam, tanah salin, tanah ber-sodium, tanah kapur, bukit batu, padang pasir, atau daerah-daerah kering lainnya, juga tempat-tempat terganggu (Brundrett et al. 1999; Ervayenri 1998; Delvian 2003; Landwehr et al. 2002; Widiastuti 2004). Berbagai seri komunitas yang bervariasi diteliti oleh 22

35 Heijden (1998) hasilnya menunjukkan bahwa keragaman jenis CMA dapat mempengaruhi biomassa tumbuhan, biomassa cendawan, keanekaragaman jenis tumbuhan dan tumbuhan yang mengandung P. Studi-studi tentang keanekaragaman CMA pada tanah salin menunjukkan bahwa Glomus merupakan genus dari CMA yang dominan (Delvian 2003, Landwehr et al. 2002, Purwanto 1999, Ragupathy dan Mahadevan 1991). Pada ekosistem gambut genus yang banyak ditemukan yaitu Glomus dan Acaulospora (Muin 2003; Ekamawanti 1999). Oehl et al. (2003) melaporkan bahwa intensifikasi pertanian akan mempengaruhi kelimpahan CMA dan struktur komunitasnya. Komunitas CMA berubah tidak hanya keanekaragamannya namun juga aspek fungsionalnya (kecepatan berkolonisasi dan kecepatan sporulasi pada biakan pot). Ekosistem yang tergenang merupakan tempat dengan ketersediaan oksigen di daerah perakaran dengan jumlah sedikit. Cendawan mikoriza arbuskula merupakan organisme aerob, sehingga ketersediaan oksigen akan mempengaruhi formasi CMA di ekosistem tersebut. Contohnya pada ekosistem hutan rawa jumlah spora dan persentase kolonisasi lebih rendah dari pada ekosistem terestrial atau tanah kering (Khan 1993). Disamping peranannya terhadap tumbuhan inang, CMA memegang peranan penting dalam ekosistem terrestrial. Tidak hanya keberadaanya, tetapi secara genetik dan diversitas fungsional sangat penting. Keragaman CMA menentukan struktur komunitas tumbuhan dan produktivitas ekosistem (Tilman et al. 2001). Cendawan mikoriza arbuskula berhubungan erat dengan perubahanperubahan ekologi dan faktor biotik dan abiotik. Ada kemungkinan bahwa jenis 23

36 tertentu mempunyai relung ekologis yang sangat khusus yang tidak umum, seperti halnya organisme lain, sehingga konsekuensinya, keanekaragaman komunitas CMA ini mungkin sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Fitter et al. 2004). Pada beberapa keadaan, kekayaan tumbuhan berhubungan dengan kekayaan spesies CMA sementara itu keragaman mikoriza sangat erat kaitannya dengan fungsi pada lingkungan setempat. Tumbuhan tidak banyak mempunyai pengaruh pada keanekaragaman CMA dan keanekaragam CMA mampu membantu kearah pemeliharaan sekumpulan tumbuhan yang berbeda (Johnson et al. 2005). Peranan CMA dalam Komunitas Tumbuhan Peranan yang paling menonjol dari CMA dibanding dengan tipe-tipe cendawan mikoriza lainnya dalam komunitas tumbuhan, yaitu kemampuannya untuk berasosiasi dengan sekitar 80% jenis tumbuhan. Sehingga CMA berperan penting dalam mempertahankan stabilitas keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tumbuhan ke akar tumbuhan yang lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut dengan bridge hypha (Allen & Allen 1992). Distribusi kepadatan CMA di komunitas alam biasanya dapat dilihat bagian per bagian dengan skala yang terukur. Tetapi bila diteliti lebih lanjut, CMA sebenarnya mempunyai pola infeksi yang kompleks. Variasi infeksi akar tumbuhan oleh CMA di alam berbeda dengan berbedanya tempat dan waktu (Fitter & Merryweather (1992). Hal tersebut dapat dilihat pula dalam penelitian Delvian (2003) bahwa pembentukan spora CMA bersifat musiman dan setiap jenis CMA memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan musim. Dan penelitian Widiastuti & Kramadibrata (1992) menunjukkan adanya perbedaan lokasi rizosfer 24

37 menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi CMA. Perubahan vegetasi dalam merespon perubahan lingkungannya mungkin mempunyai peranan yang besar dalam menentukan struktur komunitas CMA. Dan dari bukti-bukti menunjukkan bahwa CMA rentan terhadap perubahan lingkungan biotik maupun abiotik (Fitter et al. 2004). Sehingga peranan CMA dalam komunitas tumbuhan sangat erat kaitannya dengan perubahan lingkungannya. Jaringan hubungan hifa mikoriza yang saling berkaitan dari dua sistem akar atau lebih dapat mentransfer karbon atau nutrien dari satu tumbuhan ke tumbuhan yang lain. Bertambahnya jumlah spesies CMA, frekuensi hubungan, jumlah tumbuhan maupun jumlah spesies tumbuhan akan semakin menambah kompleksitas hubungan tersebut. Kompleksitas juga akan bertambah dengan adanya organisme-organisme lain yang berinteraksi di dalam tanah seperti cacing tanah, nematoda dan bakteri (Simard & Durall 2004). Menurut Fitter et al. (2004) mungkin keanekaragaman komunitas CMA dapat berfungsi sebagai peyangga ekosistem melawan pengaruh-pengaruh buruk dari perubahan lingkungan. 25

38 BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian di laksanakan di Ujung Genteng-Sukabumi, di rumah kaca Gunung Gede, di laboratorium Mikologi Gunung Gede dan di laboratorium Sitologi dan Mikroriza Herbarium Bogoriense-LIPI, Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Februari 2003 sampai Juli B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah/pasir dan akar yang diambil dari hutan semenanjung Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, zeolit, PVLG, hara Johnson, sukrosa, aquades, alkohol 50 dan 70%, benih Puerarea phaseoloides dan Sorghum sp., KOH 2%; 2,5% dan 10%, HCl 1% dan 2%, Clorox, gliserin 50%, pewarna biru tripan. Alat yang digunakan adalah kompas, ph tanah, pengukur tinggi pohon, plastik, koran, label, karet gelang, patok, pemukul, tali rafia, jerigen, spidol permanen, tustel, bak semai, pot, sendok tanah, cangkul, golok, saringan tanah bertingkat ukuran 750, 250, 100 dan 50 μm, sentrifus, mikroskop stereo dan mikroskop binokuler, cawan petri, gelas obyek, gelas penutup, pinset spora, pinset, erlenmeyer, pipet, botol film, sarung tangan dan tabung reaksi. C. Metode Penelitian Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu : 1. Kegiatan di lapang meliputi analisa vegetasi, pengambilan contoh tanah dari rizosfer, akar dan anakan/tumbuhan bawah yang digunakan untuk

39 biakan pot cendawan (trapping) dan analisa sifat-sifat tanah khususnya salinitas. 2. Kegiatan di rumah kaca dan di laboratorium meliputi isolasi dan identifikasi CMA, yang menggunakan perbanyakan biakan pot dan persentase kolonisasi CMA pada akar tumbuhan. Bagan alir penelitian yang dilakukan seperti tersebut, dapat dilihat pada Gambar 2. C.1. Di Lapang C.1.1. Analisa Vegetasi Analisa vegetasi dimulai dengan melakukan pengukuran terhadap fase pohon dengan keliling batas tinggi dada / 1,30 m (О > 62,8 cm) dan tiang (О : 31,4 62,8 cm) juga (О < 6,28 cm) anakan dan tumbuhan bawah. Metode kuadran (Cox 1972) digunakan untuk menghitung nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indek nilai penting jenis pohon dan tiang. Metode garis menyinggung digunakan untuk analisa vegetasi fase anakan dan tumbuhan bawah. Penentuan tumbuhan dominan dilakukan berdasarkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting jenis. Fase sapihan tidak diamati karena fase sapihan banyak dimanfaatkan penduduk untuk kayu bakar, sehingga pada populasi setiap jenis tumbuhan, fase ini dapat dikatakan sangat sedikit dan hanya ada di tengah hutan, yaitu daerah yang jarang dijamah oleh penduduk. Pembagian wilayah penelitian dilakukan berdasarkan keadaan lingkungan dan arah angin. Wilayah zona Barat menghadap teluk, sebagian pasir lebih menjorok ke laut, pasir lebih halus, dan kondisi laut lebih dalam. Zona Timur 27

40 Penentuan Lokasi Penelitian Lapang : 1. Analisa vegetasi, 2. Pengambilan contoh tanah, akar, anakan dan tumbuhan bawah Anakan dan tumbuhan bawah Biakan Pot dengan inang anakan dan tumbuhan bawah dari lapang Identifikasi Tumbuhan Biakan pot dengan inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. 1) 2) 3) Akar 1) 2) 3) Tanah 1) 3) 2) Pengamatan Kolonisasi Data Analisa Vegetasi 1) 2) 3) Penyaringan dengan saringan bertingkat Analisa sifat kimia tanah 1) 2) 3) Identifikasi CMA Analisa hasil penelitian Keterangan : 1) lapang, 2) biakan pot, 3) anakan Gambar 2 Bagan Alir Penelitian. 28

41 menghadap laut lepas Samudera Hindia, karang lebih menjorok ke laut, pasir lebih kasar, landai dan lebih dangkal dengan air menggenang bila air surut. Zona tengah hutan memiliki suatu spesies tumbuhan yang rapat/mendominasi zona tersebut. Selanjutnya areal penelitian dibagi menjadi 5 zona, yaitu Pantai Barat (PB), Tengah Barat (TB), Tengah Hutan (TH), Tengah Timur (TT) dan Pantai Timur (PT). Pembagian zona tersebut berlaku untuk melihat sebaran CMA dan Tumbuhan. Pembagian zona untuk melihat perbedaan komunitas tumbuhan dan hubungannya dengan CMA, areal penelitian dibagi menjadi 3 zona, yaitu 0-70 m dari pantai (P), m dari pantai (T) dan 141 m dari pantai sampai tengah hutan (H). C.1.2. Pengambilan Contoh Tanah, Akar untuk Pohon dan Tiang, serta Anakan dan Tumbuhan Bawah Teknik pengambilan contoh tanah dan akar dari berbagai tipe vegetasi dan zonasi mengikuti metode kuadran untuk analisa vegetasi dengan berpedoman pada peta areal yang akan dianalisa. Langkah awal pengambilan contoh dilakukan dengan membuat transek, yaitu garis lurus yang memotong areal yang diamati. Selanjutnya menentukan satu titik sebagai pedoman untuk membuat garis tegak lurus terhadap transek. Sehingga terbentang garis dari arah Utara, Selatan, Barat dan Timur (Gambar 3). Akhirnya dari garis transek tersebut diperoleh 24 titik masing-masing 4 kuadran. Pengambilan contoh tanah dan akar diambil berdasarkan kuadran yang telah ditentukan, dibeberapa titik sekitar tumbuhan tersebut. Akar sebanyak 5-10 g dan tanah sebanyak g diambil dari daerah rizosfer. Daerah rizosfer yang dimaksud ialah bagian ujung akar tumbuhan yang berada di bawah kanopi terluarnya dengan kedalaman kurang lebih 20 cm. Apabila pada suatu titik transek mempunyai tumbuhan yang 29

42 sama pada kuadrannya, maka hanya dipilih salah satu tumbuhan untuk diambil contoh tanah dan akarnya. Contoh tumbuhan yang tidak diketahui nama ilmiahnya di ambil sebagai contoh untuk identifikasi. Beberapa tumbuhan (anakan dan tumbuhan bawah) dalam keadaan hidup diambil sebagai contoh untuk biakan pot cendawan. Akar yang diambil sebagian disimpan sementara dalam alkohol 50% setelah dicuci bersih, selama perjalanan dari lapang ke laboratorium. Ujung Genteng U Kabupaten Sukabumi Samudera Hindia Keterangan : = garis transek kuadran = garis menyinggung Tenda o Samudera Hindia Gambar 3 Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengamatan di hutan pantai Ujung Genteng, Desa Batu, Kabupaten Sukabumi. C.2. Percobaan di Rumah Kaca dan Laboratorium Sebanyak 79 contoh tanah rizosfer pohon dan tiang serta akarnya berasal dari 24 titik metoda kuadran dibawa ke rumah kaca dan laboratorium. Selain itu, juga diperoleh beberapa jenis tumbuhan anakan dan tumbuhan bawah yang digunakan untuk inang dalam biakan pot anakan. 30

43 Kegiatan penelitian di rumah kaca dan laboratorium meliputi penghitungan jumlah spora, identifikasi CMA dan mengamati persentase kolonisasi. Identifikasi CMA saat ini hanya dapat dilakukan dengan menggunakan spora. Di alam pada umumnya CMA memproduksi spora dalam jumlah sangat sedikit sehingga teknik penyuburan dengan biakan pot perlu dilakukan. Contoh tanah, akar dan tumbuhan bawah yang didapat dari lapang digunakan untuk biakan pot cendawan. Tumbuhan inang yang digunakan untuk biakan pot ialah Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. Biakan pot dipelihara di rumah kaca kurang lebih 12 bulan, dengan pemberian pupuk Johnson tanpa P. Setelah 12 bulan dilakukan analisa biakan pot dengan menghitung jumlah spora, identifikasi spora dan persentase kolonisasi CMA. Untuk mendapatkan spora, tanah disaring dengan saringan bertingkat (Brundett et al. 1994). Selain dari biakan pot, spora dari tanah yang diambil langsung dari lapang juga disaring, untuk dihitung jumlah spora dan diidentifikasi CMAnya. Spora yang baik dipilih dan diletakkan pada kaca obyek dengan media PVLG untuk selanjutnya diidentifikasi (Schenck & Perez. 1990). Akar baik yang diperoleh dari lapang maupun hasil biakan pot dianalisa peresentase kolonisasi CMAnya. Analisa kolonisasi cendawan pada akar dilakukan setelah proses pewarnaan dengan biru tripan (Brundrett et al. 1996).) Secara garis besar teknik pewarnaan akar yang diperoleh dari lapang dilakukan dengan cara : akar dicuci, direndam dalam KOH 10% semalam, kemudian KOH dibuang, dan dicuci dengan air mengalir. Apabila akar masih berwarna gelap maka dilakukan proses pemutihan dengan Clorox 0,01% selama beberapa saat. Selanjutnya direndam dalam HCl 2% selama 12 jam. Setelah itu HCl dibuang, dan terakhir akar diwarnai dengan pewarna biru tripan. Akar selanjutnya disimpan dalam asam gliserol 50% sampai dilakukan pengamatan dan penghitungan 31

44 persentase kolonisasi. Teknik pewarnaan akar tumbuhan yang berasal dari kultur pot yaitu Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. dilakukan dengan menggunakan metoda Koske dan Gemma (1989). Metode tersebut dilakukan untuk mencegah kerusakan akar, karena akar tumbuhan inang tersebut lebih kecil dan halus daripada akar tumbuhan dari hutan. Teknik pewarnaan akar tersebut dilakukan dengan cara : akar dicuci, dimasukkan dalam KOH 2,5% dan direbus pada suhu o C sampai akar menjadi bersih kurang lebih menit. Selanjutnya KOH dibuang, dicuci air mengalir, kemudian direndam dalam HCl 1% selama 12 jam. Setelah itu HCl dibuang, dan terakhir akar diwarnai dengan pewarna biru tripan. Akar selanjutnya disimpan dalam asam gliserol 50% sampai dilakukan pengamatan dan penghitungan persentase kolonisasi. Penghitungan kolonisasi CMA pada akar menggunakan Metoda Visual Assay, dan dilanjutkan dengan Metoda slide (Giovanneti dan Mosse 1980). Kolonisasi ditandai adanya minimal salah satu struktur berikut ini, yaitu entry point, hifa internal, arbuskula, vesikula atau koil. Persen kolonisasi CMA dihitung dengan rumus : Jumlah akar yang terkolonisasi % Kolonisasi CMA = X 100% total panjang akar Data persen kolonisasi, keanekaragaman dan jumlah spora CMA di lapang dan biakan pot dibandingkan dan dihubungkan dengan data lainnya. D. Analisa Data Frekuensi relatif setiap jenis spora CMA yang ditemukan dihitung dan dibandingkan antara contoh dari lapang dan biakan pot. Frekuensi relatif jenis CMA dihitung dengan rumus : 32

45 Σ titik jenis A ditemukan Frekuensi jenis A = x 100% Σ titik keseluruhan Frekuensi jenis A Frekuensi relatif jenis A = x 100% Σ frekuensi keseluruhan Selain kerapatan spora CMA setiap 100 g -1 tanah kering, dihitung kekayaan (R), dimana R = jumlah jenis yang ditemukan pada sampel), dan keragaman CMA (D). Keragaman CMA (D) dihitung dengan rumus : S D = Log N dimana : S = jumlah total spesies pada sampel N = jumlah total spora pada sampel E. Analisa Pendukung Analisa pendukung terdiri dari 2, yaitu Identifikasi Tumbuhan dan analisa beberapa sifat tanah. Tumbuhan yang belum teridentifikasi nama ilmiahnya diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, LIPI, Bogor. Analisa sifat tanah yaitu ph, jenis tanah, salinitas, P total, P tersedia dan tekstur tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor. F. Penyimpanan Spesimen Sebagian besar spesimen disimpan di Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sebagian lagi disimpan di laboratorium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. 33

46 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Vegetasi A.1. Hasil Dari keseluruhan hasil analisa vegetasi di hutan pantai Semenanjung Ujung Genteng, ditemukan 68 spesies tumbuhan yang terdiri dari 40 famili. Ke 68 spesies tumbuhan tersebut terdiri dari 32 spesies fase pohon dan tiang dari 20 famili, serta 51 spesies anakan dan tumbuhan bawah dari 35 famili. Hasil analisa vegetasi hutan secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1 dan 2. Tumbuhan fase pohon dan tiang secara keseluruhan pada Lampiran 1 terdiri dari 32 spesies tumbuhan. Tiga spesies tumbuhan diantaranya merupakan tumbuhan yang mempunyai indeks nilai penting (NP) tertinggi, yaitu Dysoxylum parasiticum (Meliaceae), Syzygium javanicum (Myrtaceae), dan Guettarda speciosa (Rubiaceae) dengan nilai masing-masing 38.35%, 23.08% dan 17.40%. Frekuensi ke 3 spesies tersebut juga merupakan spesies yang tercatat mempunyai nilai lebih tinggi dari tumbuhan lain ialah D. parasiticum, S. javanicum, G. speciosa dengan nilai masing-masing 13.7%, 9.59 % dan 8.22%. Dua puluh satu famili tumbuhan fase pohon dan tiang seluruh Semenanjung, terdapat 4 famili yang mempunyai sebaran paling luas (Lampiran 1). Ke 4 famili tersebut ialah Moraceae (4 spesies), Euphorbiaceae (3 spesies), Lauraceae (3 spesies), dan Rubiaceae (3 spesies). Dan dari seluruh tumbuhan yang terdiri dari 41 famili yang tercatat di seluruh semenanjung, famili-famili yang anggotanya lebih dari 3 yaitu dari Moraceae (5 spesies), Euphorbiaceae (4 spesies), Fabaceae (4 spesies), dan Lauraceae (4 spesies).

47 Tumbuhan fase anakan dan tumbuhan bawah pada Lampiran 2 terdiri dari 51 spesies tumbuhan. Terdapat 3 spesies tumbuhan yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi (NP), yaitu Piper cf. baccatum (Piperaceae), Nephrolepis radicans (Davaliaceae), dan Syzygium javanicum (Myrtaceae) yang masingmasing mempunyai nilai 57.64%, 31.78% dan 31.78%. Sedangkan frekuensi spesies yang tercatat mempunyai nilai lebih tinggi dari tumbuhan lain ialah Piper cf. bacatum (F=20.65%) dan S. javanicum ( F=12.08%). Pandanus tectorius (Pandanaceae) merupakan spesies tumbuhan yang relatif banyak di semenanjung Ujung Genteng, walaupun tidak termasuk kategori pohon/tiang/anakan/tumbuhan bawah. Tumbuhan tersebut tercatat sebanyak 15 pada 6 titik pada metoda kuadran, lebih banyak dari S. javanicum yang mempunyai frekuensi dan NP tertinggi setelah D. parasiticum (Lampiran 1). Berdasarkan komunitas tumbuhan yang dibagi dalam 3 zona, pada zona 0-70 m dp (P) (Tabel 1) terdapat 14 spesies tumbuhan fase pohon dan tiang dengan 3 spesies tumbuhan yang memiliki peran besar ialah Pongamia pinnata (Fabaceae), Terminalia cattapa (Combretaceae), Erythrina orientalis (Fabaceae) dengan nlai masing-masing 37.55%, 28.22% dan 27.34%. Dari ke 3 tumbuhan tersebut P. pinnata dan E. orientalis memiliki sebaran lebih luas (frekuensi lebih tinggi) dengan nilai yang sama yaitu 12% dari pada T. cattapa (8%) atau tumbuhan lain di zona P. Hasil analisa vegetasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Pada ekosistem zona m dp (T) (Tabel 2) terdapat 19 spesies tumbuhan fase pohon dan tiang dengan 3 spesies tumbuhan yang memiliki peran besar ialah Dysoxylum parasiticum (Meliaceae), Salacia sp. (Hippocraticaceae), 35

48 dan S. javanicum (Myrtaceae). Ketiga tumbuhan tersebut masing-masing memiliki indeks nilai penting (NP) 36.52%, 29.36% dan 27.53%. Sebaran ke 3 tumbuhan tersebut D. parasiticum merupakan tumbuhan yang memiliki sebaran paling luas dengan frekuensi % di zona T (Lampiran 4). Tabel 1 Nilai penting jenis tumbuhan fase pohon dan tiang pada zona 0-70 m dari pantai (TH) daerah Ujung Genteng Fase Nilai Penting No. Suku Nama Jenis Pertumb. (NP) (%) 1 Fabaceae Pongamia pinnata (L.) Pierre Pohon Combretaceae Terminalia cattapa L. Pohon Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr Pohon Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis(bl.) Borss. Pohon Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. Pohon Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon Apocynaceae Cerbera manghas L. Pohon Apocynaceae Rauvolfia reflexa T.& B. Pohon Malvaceae Thespesia populnea Solland. ex Correa Pohon Rubiaceae Morinda citrifolia L. var bracteata (Roxb.) Hook.f. Tiang Moraceae Ficus septica Burm. f. Pohon Ebenaceae Diospyros maritima Bl. var calycina K.&V. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon 8.91 Pada zona 141 mdp sampai tengah hutan (H) (Tabel 3) terdapat 13 spesies tumbuhan fase pohon dan tiang yang memiliki peran besar dalam ekosistem ini ialah D. parasiticum (Meliaceae), S. javanicum (Myrtaceae) dan Micromelum minutum (Rutaceae). Ketiga tumbuhan tersebut masingmasing memiliki indeks nilai penting (NP) 82.05%, 40.69% dan 31.02%. Diantara ke 3 spesies tumbuhan tersebut D. parasiticum mempunyai sebaran paling luas 36

49 dengan nilai frekuensi 21.82% di zona H. Hasil analisa vegetasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 5. Tabel 2 Nilai penting jenis tumbuhan fase pohon dan tiang zona di m dari pantai (T) daerah Ujung Genteng Fase Nilai Penting No. Suku Nama Jenis Pertumb. (NP) (%) 1 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Hippocraticaceae Salacia sp. Pohon Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. Pohon Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. Pohon Clusiaceae Calophyllum inophyllum Mohd. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr Pohon Arecaceae Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl. Tiang Lauraceae Cryptocarya ferrea Bl. Pohon Combretaceae Terminalia cattapa L. Pohon Euphorbiaceae Macaranga tanarius L. Pohon Malvaceae Hibiscus tiliaceus L.ssp.similis(Bl.)Borss. Pohon Lauraceae Cryptocarya nitens K.& V. Pohon Euphorbiaceae Bischofia javanica Bl. Pohon Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell. Pohon Myrtaceae S. pseudoformosum (King) Merr. & Perry Pohon Gnetacea Gnetum latifolium Bl. Tiang Oxalidaceae Averrhoa bilimbi L. Pohon Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon 8.86 Dari zona T, zona H maupun secara keseluruhan Semenanjung D. parasiticum mempunyai nilai NP dan frekuensi yang tertinggi. Jadi tumbuhan inilah yang mempunyai peranan paling besar di Hutan pantai Semenanjung Ujung Genteng. Hasil perhitungan indeks nilai kemiripan komunitas (I S ) pada ke 3 zona tersebut di atas. menunjukkan bahwa zona P dan T mempunyai nilai I S 35.42%. zona T dan H memiliki nilai I S 32.53% sedangkan P dan H nilai I S nya 27.04%. 37

50 Karena nilai I S kurang dari 50% maka secara umum jenis tumbuhan fase pohon dan tiang pada ke 3 zona tersebut tidak menunjukkan nilai kemiripan komunitas satu dengan yang lain. Sebaran tumbuhan diseluruh semenanjung disajikan pada Gambar 9. bersama dengan sebaran CMA. Tabel 3 Nilai penting jenis tumbuhan fase pohon dan tiang zona di 141 m dari dari pantai sampai tengah hutan (H) daerah Ujung Genteng Fase Nilai Penting No. Suku Nama Jenis Pertumb. (NP) (%) 1 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. Pohon Rutaceae Micromelum minutum (Forster.f.)W.R.A. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon Ebenaceae Diospyros maritima Bl. Pohon Rubiaceae Morinda citrifolia L. var bracteata (Roxb.) Hook.f. Tiang Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon Moraceae Maclura cochinchinensis Lour. Tiang Meliaceae Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. Pohon Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell. Pohon Euphorbiaceae Bridelia insulana Hance. Pohon Moraceae Ficus ampelas Burm. f. Pohon Lauraceae Cinnamomum inners Reinw. Tiang 7.32 A.2. Pembahasan Tumbuhan fase pohon Dysoxylum parasiticum dan tumbuhan bawah Piper cf. bacatum merupakan dua tumbuhan yang memiliki sebaran paling luas yang ditunjukkan dengan frekuensi keterdapatan yang paling tinggi dibanding dengan tumbuhan lainnya. Tumbuhan tersebut juga merupakan tumbuhan yang paling berperan dalam ekosistem hutan pantai Ujung Genteng karena memiliki nilai NP tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ke 2 tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang paling toleran terhadap kondisi 38

51 salin dan kondisi lingkungan lainnya yang terdapat pada Semenanjung tersebut. Semenanjung Ujung Genteng merupakan hutan pantai. Pada penelitian ini dijumpai 14 spesies tumbuhan fase pohon dan tiang yang tumbuh pada zona 0-70 m dp (P), dan terdapat 2 spesies tumbuhan di tepi pantai yang tercatat relatif banyak di dalam kuadran/di luar kuadran. Tumbuhan yang ditemukan di tepi pantai tersebut yaitu Pongamia pinnata, Cerbera manghas, Ipomea pes-caprae, Hibiscus tiliaceus dan Pandanus tectorius serta Soneratia pinnata yang berada di luar kuadran menurut (Pramudji & Purnomo 2003) ialah anggota dari tumbuhan yang biasa tumbuh di pesisir. Pramudji & Purnomo (2003) melaporkan bahwa tumbuhan pesisir di Indonesia yang teridentifikasi diketahui 27 spesies, sehingga hutan pantai Ujung Genteng memiliki keanekaragaman tumbuhan daerah pesisir yang rendah. Begitu pula bila dibandingkan dengan data yang dilaporkan oleh Arisandi (2002, 2004) yang melaporkan bahwa tumbuhan mangrove / pesisir di daerah Timur Surabaya terdapat 15 spesies dan tumbuhan pesisir di hutan mangrove muara sungai Wonorejo dan Wonokromo terdapat 12 spesies. Dari data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Semenanjung Ujung Genteng tidak hanya mempunyai tumbuhan khas daerah pesisir, namun juga tumbuhan terestrial yang toleran terhadap kondisi setempat. Curah hujan rata-rata tahunan di daerah ini tinggi yaitu mm, termasuk ke dalam tipe iklim A, dengan hujan selama 186 hari per tahun. Tingginya curah hujan menyebabkan kandungan salinitas di daerah terestrial Semenanjung relatif rendah karena proses pencucian oleh air hujan. Hal ini 39

52 juga didukung dengan data kandungan garam di Semenanjung. Kandungan garam pada bagian tengah hutan relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian pantainya (Tabel 9). Selain itu air sumur hanya berjarak sekitar 20 m dari garis pasang normal rasanya tawar, bahkan pada saat pasang maksimal yaitu pada saat terjadi angin besar, air laut dapat sampai ke sumur tersebut. Angin besar dapat terjadi pada saat musim penghujan sekitar bulan Nopember sampai April. Jadi kemungkinan air tanah di daerah tersebut secara umum tawar, sehingga ikut mempengaruhi salinitas tanah dan vegetasi di atasnya. Suatu komunitas dikatakan mirip kalau nilai I S antara 75% -100%. Nilai I S di di Semenanjung Ujung Genteng kurang dari 40% antar ke tiga zona, dan perbedaan komunitas tumbuhan antar zona tersebut diduga karena lingkungan pada ke 3 zona tersebut berbeda, terutama kadar garamnya. 40

53 B. Keanekaragaman CMA B.1. Hasil Identifikasi dan Deskripsi CMA Hasil seluruh pengamatan identifikasi ditemukan 23 spesies CMA, yang terdiri dari 5 spesies dari genus Acaulospora, 2 spesies dari Gigaspora, 13 spesies dari Glomus, 1 spesies dari Paraglomus dan 2 spesies dari Scutellospora. Identitas CMA yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Identitas spora CMA yang berhasil diisolasi dari vegetasi di Ujung Genteng No. Spesies CMA Warna Bentuk Permukaan Ukuran (µm) 1. Acaulospora foveata Kuning kecokelatan Bulat-agak bulat Berperhiasan x Acaulospora longula Bening Bulat Halus x Acaulospora scrobiculata Bening-kuning Bulat-agak bulat Berperhiasan x Acaulospora tuberculata Kuning kecokelatan Bulat-agak bulat Berperhiasan x Acaulospora cf. undulata putih Bulat-agak bulat Berperhiasan x Gigaspora cf. gigantea kuning keemasan Bulat-agak bulat halus x Gigaspora ramisporophora kuning-kecokelatan Bulat-agak bulat Halus x Glomus clavisporum Kuning-cokelat sporokarp Halus x Glomus cf. deserticola cokelat muda Bulat-agak bulat Berperhiasan x Glomus etunicatum kuning-cokelat merah Agak bulat-lonjong Halus x (-207) 11. Glomus geosporum cokelat-kemerahan Bulat-agak bulat Halus x Glomus cf. microaggregatum Kuning pucat-cokelat Agak bulat Halus x Glomus rubiforme kuning-coklat muda Agak bulat-lonjong Halus x Glomus tortuosum cokelat Bulat Bermantel x Glomus sp1. kuning-kecokelatan agak bulat Halus x Glomus sp2. kuning-cokelat muda Bulat-agak bulat Halus x Glomus sp3. cokelat muda Bulat-agak bulat Halus x Glomus sp4. Cokelat Bulat-agak bulat Berperhiasan x Glomus sp5. cokelat muda Bulat-agak bulat Berperhiasan x Glomus sp6. Kuning Bulat-agak bulat Halus x Paraglomus occultum Bening-putih Bulat-agak bulat Berperhiasan x Scutellospora auriglobosa kuning keemasan Bulat-agak bulat Halus x Scutellospora heterogama Cokelat Bulat Berperhiasan x

54 Nomor spesimen dalam deskripsi ke 23 jenis CMA yang diidentifikasi di bawah ini, dengan kode RTP. RTP 1-79 merupakan spesimen spora CMA langsung dari tanah lapang, RTP merupakan spesimen spora CMA dari biakan pot dengan inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp., dan RTP merupakan spesimen spora CMA dari biakan pot dengan inang anakan atau tumbuhan bawah. Nama tumbuhan dengan kode # menandai bahwa CMA tersebut berasosiasi dengan tumbuhan anakan / tumbuhan bawah. Adapun deskripsi dari ke 23 spesies CMA yang ditemukan di Ujung Genteng adalah sebagai berikut : 1. Acaulospora foveata Trappe & Janos Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning sampai cokelat, berukuran x µm (Gambar 4). Tidak ditemukan sel induk spora. Dinding spora terdiri atas dua kelompok dinding, yaitu A dan B. Kelompok dinding A mempunyai dinding berlapis, berwarna cokelat sampai merah, tebal µm, mempunyai perhiasan seperti kawah tersusun padat, rapat dan berbentuk tidak beraturan. Diameter kawah 5-8 µm dengan kedalaman 2-5 µm. Kelompok dinding B ialah dinding membran, bening sampai kuning, tebalnya 3-7 µm. Muronimnya ialah A(L o )B(M). Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Bischofia javanica Bl. #, Bridelia insulana Hance, Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Cerbera manghas L. #, Cinnamomum inners Reinw. ex. Bl., Cryptocarya ferrea Bl., Cryptocarya nitens K. & V., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. #, Erythrina orientalis (L.) Murr. #, Ficus amplas Burm. f., F. septica Burm. f. #, F. variegata Bl., Gnetum latifolium Bl., Guettarda speciosa L., Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Lantana camara L. #, Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner, Morinda citrifolia L. var. 42

55 bracteata (Roxb.) Hook. f., Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pandanus tectorius Soland. ex. Park. #, Piper cf baccatum Bl. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre, Syzygium javanicum Miq., dan S. pseudoformosum (King) Merr. # Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 1-6, 8-11, 13, 15-19, 21, 23-25, 27-29, 31-33, 35-37, 40, 42-44, 46, 47-48, 50, 62, 66, 67, 69, 80, 83, 91, 93, 95, 97, 115, 128, 135, 142, 148, 162, 166, 169, 171, 173, dan a 60µm 15 µm Gambar 4 Spora Acaulospora foveata, 4a perbesaran perhiasan 2. Acaulospora longula Spain et Schenck Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, bening, berukuran x µm (Gambar 5). Tidak ditemukan sel induk spora. Dinding spora tidak memiliki perhiasan. Dinding spora terdiri atas dua kelompok dinding, yaitu A dan B. Kelompok dinding A terdiri dari 2 dinding unit, bening, tebal 4-6 µm. Kelompok dinding B ialah dinding lapis, bening, tebalnya 1-2 µm dan dinding membran <1 µm. Muronimnya ialah A(UU)B( LM). Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ardisia humilis Vahl. #, Bischofia javanica Bl. #, Bridelia insulana Hance, Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Cerbera manghas L. #, Cryptocarya ferrea Bl., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm., Flagellaria indica L. #, Ficus amplas Burm. f., Gnetum latifolium Bl., Guettarda speciosa L #., Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss., Lantana camara L. #, Nephrolepis sp. #, Pandanus tectorius Soland. ex. Park. #, Piper cf. baccatum Bl. #, 43

56 Pongamia pinnata (L.), Planchonella obovata (R. Br) Pierre #, Scindapsus hederaceus Schott. #, Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch., Syzygium javanicum Miq. #, S. pseudoformosum (King) Merr. #, Thespesia populnea Soland. ex. Correa., dan Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch. # Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 2-5, 8-10, 16-17, 20-23, 25, 33, 36-39, 41, 44, 48, 53, 61, 66, 69, 80, 84-85, 87-88, 93, 97-98, 100, 102, 106, , , , , 123, 126, 127, , 135, 137, 140, 142, , , , 165, 167, 169, , dan a dl 15 µm 30 µm Gambar 5 Spora Acaulospora longula, 5a dinding lapis (dl) 3. Acaulospora scrobiculata Trappe Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, bening sampai kuning, berukuran x µm (Gambar 6). Tidak ditemukan sel induk spora. Dinding spora terdiri atas dua kelompok dinding, yaitu A dan B. Kelompok dinding A ialah dinding unit, bening sampai kuning, tebal 4-6 µm. Dinding tersebut memiliki perhiasan yang berbentuk tonjolan tumpul dengan diameter 1-2 µm yang tersebar merata. Kelompok dinding B ialah dinding unit, kuning, tebalnya 1-2 µm dan membran, bening, tebalnya +1µm. Muronimnya ialah A(U o )B(UM). Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Averrhoa bilimbi L., Calophyllum inophyllum L., Cinnamomum inners Reinw. ex. Bl., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum gaudichaudianum (A. Juss.) Miq., D. parasiticum (Osb.) Kosterm. #, Ficus amplas Burm. f., F. septica Burm. f., F. variegata Bl., 44

57 Guettarda speciosa L., Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner, Micromelum minutum (Forst. f. ) W & A., Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pandanus tectorius Soland. ex. Park., Pongamia pinnata (L.) Pierre, Syzygium javanicum Miq., S. pseudoformosum (King) Merr. #, Terminalia catappa L., dan Thespesia populnea Soland. ex. Correa Contoh spesimen yang diperiksa : RTP1-11, 13, 15-21, 23-25, 27-29, 31-32, 35-37, 38-39, 40, 44, 46, 47-53, 55-58, 60, 62-65, 67-73, 79-80, 83-88, 91, 94, 96, 102, 104, , 113, 116, 120, 123, 127, 129, 135, , , 152, 154, 175, 176 dan µm Gambar 6 Spora Acaulospora scrobiculata 4. Acaulospora tuberculata Janos & Trappe Spora tunggal, bulat, kuning sampai kuning cokelat, berukuran x µm (Gambar 7). Sel induk spora bening sampai kekuningan. Dinding spora terdiri atas tiga kelompok dinding, yaitu A, B, dan C. Kelompok dinding A ialah dinding unit, kuning muda hingga kuning kecokelatan, tebal dinding 4-6 µm, terdapat perhiasan berupa tonjolan halus, seperti duri, rapat dan seragam, tinggi tonjolan ini +1 µm. Kelompok dinding B ialah unit, bening hingga kuning, tebal 3-5 µm. Kelompok dinding C ialah unit, bening hingga kuning tebal 2-3 µm, membran, bening hingga kuning, tebal + 1 µm. Muronimnya ialah A(U o )B(U)C(UM). 45

58 Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Bischofia javanica Bl., Buchanania arborescens (Bl.) F., Cinnamomum inners Reinw. ex. Bl., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm., Erythrina orientalis (L.) Murr., Ficus septica Burm. f. #,F. variegata Bl., Gnetum latifolium Bl., Guettarda speciosa L., Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Macaranga tanarius L., Morinda citrifolia L. var. bracteata (Roxb.) Hook. f., Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pongamia pinnata (L.), Rauvolfia reflexa T & B., dan Syzygium javanicum Miq. Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 1, 8-10, 13, 17-21, 24, 28, 29, 33, 36, 42, 44, 48, 53, 54, 55, 62, 67, 71, 81-82, 84-85, 87-88, 91, 93-94, 97-98, 100,103, , 114, 117, , 123, 127, 130, 139, 142, 146, 149, 152, 155, 166 dan b 7a si s 50 µm 20 µm Gambar 7 Acaulospora tuberculata, 7a spora (s) dengan sel induk spora(si), 7b Perbesaran dinding spora dan perhiasan spora 5. Acaulospora cf. undulata Sieverding Spora tunggal, bulat sampai agak bulat tidak beraturan, putih, berukuran x µm (Gambar 8). Tidak ditemukan sel induk spora. Dinding spora terdiri atas dua kelompok dinding, yaitu A dan B. Kelompok dinding A ialah dinding unit, bening sampai putih, tebal 4-6 µm. Dinding tersebut memiliki perhiasan berkerut-kerut seperti bola golf. Kelompok dinding B ialah dinding unit, hialin sampai putih, tebalnya 1-2 µm. Muronimnya ialah A(U o )B(U). 46

59 Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Bischofia javanica Bl. #, Ficus septica Burm. f. #, Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. #, Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, dan Syzygium pseudoformosum (King) Merr. # Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 83, 86, 88, 92, 93, 96, 104, 108, 113, 116, 135, 150, 166, 169, dan µm Gambar 8. Spora Acaulospora cf. undulata 6. Gigaspora cf. gigantea Nicolson & Gerdemann Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning keemasan, berukuran x µm (Gambar 9). Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding, yaitu dinding unit, bening sampai kekuningan, dengan tebal 4-5 µm dan dinding lapis, bening sampai kekuningan dengan tebal 6-7 µm. Muronimnya ialah A (UL). Suspensor bening berukuran x µm. Sel pelengkap berduri (ekinulat) atau berpapil halus. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Averrhoa bilimbi L *)., Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm., Erythrina orientalis (L.) Murr., Guettarda speciosa L. *), Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss., dan Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch. #. Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 4, 9, 16, 21, 24, 27, 31 *),33, 51 *), 53, 76, 80, 91, 96, 104, 115, 123, 125, , 145 dan 165. Keterangan : *) ditemukan sel pelengkap berduri 47

60 9a sp 9b pd 15µm 70 µm Gambar 9a Spora Gigaspora cf. gigantea, suspensor (sp), 9b. Sel pelengkap berduri (pd) pada Gigaspora spp. 7. Gigaspora ramisporophora Spain, Sieverding & Schenck Spora tunggal, berbentuk bulat sampai agak bulat, kuning sampai coklat, berukuran x µm (Gambar 10). Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding, yaitu dinding unit, bening dengan tebal 4-5 µm, dinding lapis, kuning kecokelatan dengan tebal 4-5 µm dan dinding perkecambahan germinal, kuning kecokelatan dengan tebal +2 µm. Muronimnya ialah A (ULG). Suspensor kuning berukuran x µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Bischofia javanica Bl., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm., Erythrina orientalis (L.) Murr., Hernandia peltata Meissn., dan Rauvolfia reflexa T & B. Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 16, 26, 28, 55, 63 dan μm sp Gambar 10 Spora Gigaspora ramisporophora, suspensor (sp) 48

61 The new 8. Glomus clavisporum Trappe = Sclerocystis microcarpus Iqbal & Bushra Sporokarp agak bulat sampai bulat, kuning dengan ujung kuning sampai cokelat, terlihat sporokarp yang pecah dengan pleksus hifa di bagian tengahnya (Gambar 11 ). Sporokarp berukuran x µm. Spora seperti gada, berukuran x µm. Tebal dinding spora dibagian ujung lebih tebal, berukuran µm. Dinding spora dibagian samping tebal 1-4 µm. Muronimnya A(L). Hifa penyangga kekuningan, berdiameter 4-5 µm, dan tebal dinding + 2µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ficus sp. #, Nephrolepis sp. #, Pandanus tectorius Soland. ex. Park., Syzygium javanicum Miq. #, dan S. pseudoformosum (King) Merr. & Perry. # Spesimen yang diperiksa : RTP1, 30, 59, 72, 80, 102, 138, 149, 150, 159, 160, 167 dan a ph 11b s 40 μm 10 μm Gambar 11 Glomus clavisporum, 11a Sporokarp dengan pleksus hifa (ph), 11b spora (s) 49

62 9. Glomus deserticola Trappe, Bloss & Menge Spora tunggal atau berkelompok 2-3 spora, bulat sampai agak bulat, cokelat muda, berukuran x µm (Gambar 12). Dinding spora berupa satu kelompok dinding (A) terdiri atas lapisan permukaan spora berupa peridium, cokelat muda, tebal +1 µm. Dinding selanjutnya adalah dinding lapis, cokelat muda sampai cokelat, tebal 2-4 µm. Muronimnya ialah A(PL). Hifa peyangga cokelat muda sampai cokelat, diameternya 4-8 µm dan tebal dinding +1 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Morinda citrifolia L. var. bracteata (Roxb.) Hook. f., Pandanus tectorius Soland. ex. Park., Planchonella obovata (R. Br) Pierre #, dan Thespesia populnea Soland. ex. Correa. Spesimen yang diperiksa :RTP 9, 38, 48, 62, 79, 98, 110, 114 dan µm Gambar 12 Glomus cf. deserticola 50

63 10. Glomus etunicatum Becker & Gerdemann Spora tunggal, agak bulat sampai lonjong, kuning sampai cokelat kemerahan, berukuran x (-207)µm (Gambar 13.). Permukaan spora halus, tanpa perhiasan spora. Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding (A), yaitu dinding unit, bening, tebal +1 µm, dinding lapis, kuning sampai merah, tebal 7-12 µm. Muronimnya ialah A(UL). Hifa peyangga kuning, berdiameter 6-16 µm dan tebal dinding 4-10 µm, tampak struktur menyerupai corong yang keluar dari spora menuju hifa pada tempat peyangga spora. Terdapat perbedaan warna yang kontras di daerah pangkal tempat hifa peyangga dan spora, spora berwarna lebih tua dari hifa peyangganya. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Cinnamomum iners Reinw. ex Park. #, Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum arborescenss Miq. #, D. gaudichaudianum (A. Juss.) Miq., D. parasiticum (Osb.) Kosterm., Ficus sp. #, F. septica Burm. f. #, Guettarda speciosa L. #, Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss., Micromelum minutum (Forst. f. ) W & A., Morinda citrifolia L. var. bracteata (Roxb.) Hook. f., Nephrolepis sp. #, Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pandanus tectorius Soland. ex. Park. #, Planchonella obovata (R.Br.) Pierre. #, Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre., Rauvolya sumatrana Jack., Salacia sp., Scindapsus hederacens Schott. #, Syzygium javanicum Miq. #, S. pseudoformosum (King) Merr. #, Terminalia cattapa L., dan Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch. #. 51

64 Spesimen yang diperiksa : RTP 8-9, 17, 19-21, 23, 25, 27, 29-30, 34-36, 39, 43, 45-46, 48-49, 51, 53, 57, 58-59, 61, 64, 69, 71, 75, 80-83, 85-86, 88, 96-98, 106, 108, 114, , 129, 138, 140, , , , , , 176 dan μm Gambar 13 Spora Glomus etunicatum 11. Glomus geosporum (Nicolson & Gerdemann)Walker Spora tunggal atau membentuk sporokarp yang tidak kompak (loose sporocarp) (Gambar 14). Spora bulat, agak bulat, sampai agak lonjong, kuning kecokelatan, cokelat tua sampai cokelat kemerahan, berukuran x µm. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora ialah satu kelompok dinding (A) terdiri atas dinding unit, bening tebal +1 µm, dinding lapis, cokelat tua sampai merah tebal 4-15 µm, serta dinding membran yang kadang terlihat jelas membentuk septa dipangkal hifa peyangga, warna kuning kecokelatan, tebal +1 µm. Muronimnya ialah A(ULM). Hifa peyangga kuning sampai cokelat, diameternya µm dan tebal dinding 2-12 µm. Dinding hifa peyangga makin dekat dengan spora makin tebal, dan semakin cokelat. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ardisia humilis Vahl. #, Averrhoa bilimbi L., Bischofia javanica Bl. #, Bridelia insulana Hance, Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell., Calophyllum inophyllum L., Cerbera manghas L. #, 52

65 Cinnamomum inners Reinw. ex. Bl. #, Cryptocarya ferrea Bl., C. nitens K. & V., Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., Dysoxylum arborescenss Miq. #, D. gaudichaudianum (A. Juss.) Miq., D. parasiticum (Osb.) Kosterm. #, Erythrina orientalis (L.) Murr. #, Ficus ampelas Burm. f., F. septica Burm. f. #, F. variegata Bl., Flagellaria indica L. #, Gnetum latifolium Bl., Guettarda speciosa L. #, Hernandia peltata Meissn. #, Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Lantana camara L. #, Maclura conchinchinensis Lour, Micromelum minutum (Forst. f. ) W & A., Morinda citrifolia L. var. bracteata (Roxb.) Hook. f., Nephrolepis sp. #, Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pandanus tectorius Soland. ex. Park #, Piper cf baccatum Bl. #, Planchonella obovata (R. Br) Pierre #, Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre, Rauvolfia reflexa T & B., Scaevola taccada (Gaertn.) #, Scindapsus hederacens Schott. #, Syzygium javanicum Miq. #, S. pseudoformosum (King) Merr. #, Terminalia catappa L., Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch. #, dan Thespesia populnea Soland. ex. correa. Spesimen yang diperiksa : RTP 1-25, 27-33, 35-36, 39-49, 51-53, 55-75, 77-78, 80-82, 84-92, , 108a-b, , , 124, , , , , , 159, dan a 14b 125 μm 90 μm s Gambar 14 Glomus geosporum, 14a Sporokarp, 14b Spora tunggal (s ) 53

66 12. Glomus cf. microaggregatum Koske, Gemma & Olexia Sporokarp lonjong, kuning pucat, berukuran x µm. Spora bulat sampai agak bulat, kuning pucat sampai kecokelatan, berukuran x µm (Gambar 15). Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora berupa satu kelompok dinding (A) terdiri atas dua dinding unit, hialin sampai cokelat muda, masing-masing tebalnya +1 µm. Muronimnya ialah A(UU). Hifa hialin sampai kuning, diameternya 2-3 µm dan tebal dinding <1µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ficus septica Burm. f. #, Ficus variegata Bl., Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss., Nephrolepis sp. #, Planchonella obovata (R. Br) Pierre #, dan Syzygium javanicum Miq. # Spesimen yang diperiksa : RTP 13, 14, 61, 80, 85, 94, 95, 113, 123, 134, 140, 149, 150, 152, 159, 161, 166 dan a. 15b s 25μm 15 μm Gambar 15 Glomus cf. microaggregatum,15a Sporokarp, 15b Spora (s) 54

67 13. Glomus rubiforme (Gerdemann & Trappe) Almeida & Schenck = Sclerocystis rubiformis Gerdemann & Trappe = Sclerocystis pachycaulis Wu & Chen Sporokarp lonjong, kuning, berukuran x µm. Spora oval sampai lonjong, kuning, berukuran x µm (Gambar 16). Permukaan spora halus, tanpa perhiasan spora. Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding A, yaitu dinding unit, tebal 1-2 µm, bening sampai kuning dan dinding lapis cokelat dengan tebal 1-2 µm. Tebal dinding spora seluruhnya 2-4 µm. Muronimnya adalah A(UL). Hifa peyangga kuning, berdiameter 6-9 µm, dan tebal dinding 1-3 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ardisia humilis Vahl., Bischofia javanica Bl. #, Cerbera manghas L. #, D. parasiticum (Osb.) Kosterm. #, Erythrina orientalis (L.) Murr. #, Ficus septica Burm. f. #, F. variegata Bl., Ficus sp. #, Flagellaria indica L. #, Hernandia peltata Meissn. #, Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Maclura cochinchinensis Lour., Nephrolepis sp. #, Planchonella obovata (R. Br) Pierre #, Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre, Scindapsus hederacens Schott. #, Syzygium javanicum Miq. #, S. pseudoformosum (King) Merr. #, dan Tetrastigma lanceollarium (Roxb.) Planch. #, Spesimen yang diperiksa : RTP 13-14, 36, 39, 50, 61, 78, 81, 83, 85-87, 92-94, 96-98, 105, , , 121, 125, 127, 129, , , , 142, 146, , 150, 152, , , 169, 172, dan

68 16. 50μm Gambar 16 Glomus rubiforme 14. Glomus tortuosum Schenck & Smith Spora tunggal, bulat, cokelat, berukuran x µm (Gambar 17). Permukaan spora mempunyai perhiasan spora, berupa lapisan tebal seperti mantel kuning kunyit, dengan tebal µm, dinding spora terdiri dari 1 kelompok dinding, bening, dengan tebal 2-6 µm. Muronimnya A(L). Hifa peyangga bening sampai kekuningan, berdiameter 5-16 µm, dan tebal dinding 1-2 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Averrhoa bilimbi L., Guettarda speciosa L., Syzygium javanicum Miq., dan S. pseudoformosum (King) Merr. Spesimen yang diperiksa : RTP 8, 31, 44, 59 dan µm Gambar 17. Spora Glomus turtuosum 56

69 15. Glomus sp1. Sporokarp lonjong tidak beraturan, kuning sampai kuning kecokelatan, berukuran x µm (Gambar 18). Spora agak bulat, lonjong, lonjong agak tidak beraturan. Kuning sampai cokelat terang, berukuran x µm. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora ialah satu kelompok dinding A terdiri atas dinding lapis, warna kuning sampai cokelat muda, tebal 4-7 µm. Muronimnya ialah A(L). Hifa peyangga kuning cerah, diameternya 7-10 µm, dan tebal dinding 4-6 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ardisia humilis Vahl. #, Ficus septica Burm. f., Ficus sp. #, Guettarda speciosa L. #, Nephrolepis sp., Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pongamia pinnata (L.) Pierre, Scindapsus hederacens Schott. #, dan Syzygium javanicum Miq. Spesimen yang diperiksa : RTP 8, 19, 27, 39, 72, 83, 86-88, 91, 93, 95, 98, 102, 103, 112, 115, 122, 130, 138, 160, 171, 172 dan a 18b s 25μm 12 μm Gambar 18 Glomus sp1., 18a Sporokarp 18b Spora (s) 57

70 16. Glomus sp2. Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning, berukuran x µm (Gambar 19.). Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora ialah satu kelompok dinding A berupa dinding lapis, kuning sampai cokelat muda, tebal µm. Muronimnya ialah A(L). Hifa peyangga kuning, berdiameter µm, dan tebal dinding 2-3 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Ardisia humilis Vahl. #, Bischofia javanica Bl., D. parasiticum (Osb.) Kosterm., Erythrina orientalis (L.) Murr. #, Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre, Syzygium javanicum Miq. #, dan S. pseudoformosum (King) Merr. # Contoh spesimen yang diperiksa : RTP 4, 11, 28, 33, 36, 43, 67, 75, 80, 151, 159, , 179 dan μm Gambar 19. Spora Glomus sp Glomus sp3. Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning kecokelatan, berukuran x µm (Gambar 20.). Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding A, yaitu dinding evanescent tebal 3-4 µm, dinding lapis berwarna cokelat dengan 58

71 tebal 7-11 µm, dan dinding membran tebal 2-4 µm. Muronimnya adalah A(ELM). Hifa berwarna bening, dengan diameter hifa peyangga 4-6 µm, dan tebal dinding +1µm. Banyak spora pada preparat tak mempunyai hifa peyangga, mungkin karena hifa terlalu kecil dan mudah lepas. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss., Maclura cochinchinensis (Lour) Corner, Pandanus tectorius Soland. ex. Park, Syzygium javanicum Miq., dan S. pseudoformosum (King) Merr. Spesimen yang diperiksa : RTP 30, 37, 50, 55, 59, 61, 65, 116, 138 dan µm Gambar 20. Spora Glomus sp Glomus sp4. Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, cokelat sampai cokelat kemerahan, berukuran x µm (Gambar 21). Permukaan dinding spora kasar. Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding tebal 3-7 µm, dinding lapis berwarna cokelat dengan tebal µm. Muronimnya adalah A(UL). Hifa peyangga bening sampai kekuningan, berdiameter 3-15 µm, dan tebal dinding 1-2 µm. 59

72 Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Rauvolfia reflexa T & B., Scindapsus hederacens Schott. #, Syzygium javanicum Miq. #, dan S. pseudoformosum (King) Merr. #. Spesimen yang diperiksa : RTP 18, 29, 80, 83, 84 86, 92, 96, 103, 125, 136, 138, 149, 150,152, 159, 172, a s 21b 30 µm ds 10 µm Gambar 21 Glomus sp4., 21a spora (s), 21b Dinding spora (ds) 19. Glomus sp5. Spora berkelompok, berbentuk bulat sampai agak bulat, cokelat, berukuran x µm (Gambar 22.). Permukaan spora berperhiasan, berupa tonjolantonjolan yang tidak rapat, tingginya 5-10 µm dan diameter 3-5 µm. Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding A, yaitu dinding lapis berwarna cokelat dengan tebal 3-4 µm. Muronimnya adalah A(Lo). Hifa peyangga kuning, berdiameter 4-6 µm, dan tebal dinding +1µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Guettarda speciosa L. Spesimen yang diperiksa : RTP 77 60

73 µm Gambar 22 Kelompok spora Glomus sp Glomus sp6. Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning, berukuran x µm (Gambar 23.). Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora ialah satu kelompok dinding A, yaitu dinding lapis, kuning, tebal 4-5 µm. Muronimnya ialah A(L). Hifa peyangga hialin sampai kuning pucat, berdiameter 4-6 µm dan tebal dinding 1-2 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Salacia sp. Spora ini, meskipun hanya ditemukan dalam satu contoh tanah dari lapang, tetapi dalam 100 g contoh tanah kering mengandung 50 buah spora. Spesimen yang diperiksa : RTP µm Gambar 23. Spora Glomus sp6. 61

74 21. Paraglomus occultum (Walker) Morton & Redecker = Glomus occultum Walker Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, bening sampai putih, berukuran x µm (Gambar 24). Dinding spora ialah satu kelompok dinding A terdiri atas evanescent dengan tebal 0-5 µm, dinding unit, bening, tebalnya 2-5 µm dan dinding lapis, bening tebalnya 1-4 µm. Dinding spora muda evenescent setelah tua berangsur hilang, lihat Gambar 16a dan 16b. Muronimnya A(EUL). Hifa bening, berdiameter 3-4 µm, dan tebal dinding <1 µm. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Pongamia pinnata (L.) Pierre., Syzygium javanicum Miq. #, dan Thespesia populnea L., Spesimen yang diperiksa : RTP 36, 39, 92, 115, 118 dan a 24b 20 µm s 25µm h Gambar 24 Spora Paraglomus occultum, 24a Spora muda (sm), 24b Spora tua (st) 62

75 22. Scutellospora cf. auriglobosa (Hall) Walker & Sander Spora tunggal, bulat sampai agak bulat, kuning sampai kuning keemasan, berukuran x µm (Gambar 25). Spora mempunyai kelompok dinding, A, B dan C. Dinding kelompok A terdiri dari 2 dinding, yaitu dinding unit, kuning keemasan, tebal 1-5 µm dan dinding lapis, kuning, tebal 8-12 µm. Dinding B merupakan dinding membran, bening, tebal +1 µm. Dan dinding C terdiri 2 dinding yaitu dinding coriaceous, bening, tebal 2-3 µm, dan dinding membran, bening, tebal +1 µm. Permukaan spora halus tanpa perhiasan. Perisai perkecambahan dijumpai pada banyak spora. Muronimnya A(UL) B(M) C(CM). Suspensor bening sampai kuning keemasan berukuran x µm. Sel pelengkap seperti payung atau ber-papil banyak. Sel pelengkap ditemukan di rizosfer : F. septica Burm. f. dan Guettarda speciosa L. Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Bischofia javanica Bl. #, Diospyros maritima Bl. var. calycina K & V., D. parasiticum (Osb.) Kosterm., Erythrina orientalis (L.) Murr., Ficus septica Burm. f. #, Ficus sp. #, Hernandia peltata Meissn., Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis (Bl.) Borss. #, Morinda citrifolia L. var. bracteata (Roxb.) Hook. f., Nephrolepis sp. #, Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl., Pandanus tectorius Soland. ex. Park, Piper cf. baccatum Bl. #, Pongamia pinnata (L.) Pierre, Salacia sp., Terminalia catappa L., Thespesia populnea Soland. ex correa, Syzygium javanicum Miq. dan S. pseudoformosum (King) Merr. #. Spesimen yang diperiksa : RTP 8, 16, 19, 22, 24, 26-29, 31, 33-34, 36-37, 41, 43, 44, 48, 55, 64, 66-69, 78-80, 83, 87-88, 91-93, 100, , 108a-b, , , 120, 122, 124, 126, 128, 129, 130, 132, 136, 138, 142, 146, 148, 150, 153, 154, 160, , 169, 173,

76 25a 25b 25c 25d 25e 100 µm s sp 70µm pk ds 100 µm 10µm Gambar 25 Scutellospora auriglobosa, 25a Spora (s), suspensor (sp), 25b perisai perkecambahan (pk), 25c kelompok dinding spora (ds) 25d dan 25e Sel pelengkap Scutellospora spp. bentuk payung dan ber- papil banyak (spl) spl 23. Scutellospora cf. heterogama (Nicol. & Gerd.) Gerd. & Trappe Spora tunggal, bulat, coklat, berukuran x µm (Gambar 26). Spora mempunyai kelompok dinding, A dan B. Dinding kelompok A terdiri dari 2 dinding, yaitu dinding unit, coklat kemerahan, dengan permukaan mempunyai perhiasan, berupa tonjolan-tonjolan pendek yang tidak sama besar dan relatif rapat, kasar, tebal 1-2 µm dan dinding lapis, coklat, tebal 4-8 µm. Dinding B merupakan dinding membran, bening, tebal +1 µm. Suspensor bening berukuran x µm. Perisai perkecambahan dijumpai pada sporanya. Muronimnya A(UoL) B(M) Spora CMA ini ditemukan di rizosfer : Cryptocarya ferrea Bl., C. nitens K. & V. dan Rauvolfia reflexa T & B. Spesimen yang diperiksa : RTP 6, 18, 22 dan µm. Gambar 26 Spora Scutellospora heterogama 64

77 B.2. Pembahasan Identifikasi dan Deskripsi CMA Hasil penelitian keaneragaman CMA dari Ujung Genteng ditemukan 23 spesies, terdiri dari 5 spesies dari genus Acaulospora, 2 spesies dari genus Gigaspora, 13 spesies dari genus Glomus, 1 spesies dari genus Paraglomus dan 2 spesies dari genus Scutellospora. Identifikasi ke 23 spesies CMA dalam penelitian ini berasal dari 45 rizosfer spesies tumbuhan yang ada di hutan pantai Ujung Genteng. Ke 45 spesies tumbuhan tersebut merupakan sebagian dari 68 spesies tumbuhan yang masuk dalam plot analisa vegetasi. Spora yang diidentifikasi berasal dari tanah lapang, biakan pot dengan inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp., dan inang anakan. Biakan spora dalam pot bertujuan untuk mengetahui tahap-tahap perkembangannya sehingga memudahkan dalam identifikasi. Identifikasi menggunakan pedoman buku identifikasi Schenck & Perez (1990), yang memaparkan genus Acaulospora, Enthrophospora, Gigaspora, Glomus, Sclerocystis, dan Scutellospora. Semua genus tersebut tergolong Glomeraceae ordo Glomerales filum Zygomycota. Selain itu digunakan pustaka laporan revisi Almeida & Schenck (1990), laporan Schüßler et al. (2001) dan Walker & Schüßler (2004). Schüßler et al. (2001) melaporkan bahwa pembuatan pohon filogeni berdasarkan urutan gen SSU rrna dari cendawan, ternyata CMA berbeda dengan Zygomycota lainnya. Sehingga CMA tidak lagi dimasukkan dalam Zygomycota tetapi lebih sesuai dimasukkan dalam filum cendawan baru yaitu Glomeromycota. Dalam filum baru ini menjadi 10 genus yaitu Acaulospora, 65

78 Archaeospora, Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus, Diversispora, Pacispora, Paraglomus dan Scutellospora (Walker & Schüßler 2004). Almeida & Schenck (1990) melaporkan perbedaan Sclerocystis dan Glomus. Sclerocystis sporanya tersusun radial, diatur lapisan per lapisan memanjang dari dalam keluar dengan pleksus hifa sebagai pusat sedangkan Glomus sporanya tersusun mengelilingi pleksus hifa sebagai pusat. Schüßler et al. (2001) dan Walker & Schüßler (2004) melaporkan bahwa berdasarkan urutan gen SSU rrna dari cendawan, semua Sclerocystis dimasukkan dalam Glomus. Walaupun masih ada kontroversial dalam pemindahan genus tersebut. Berdasarkan sistem klasifikasi Walker & Schüßler (2004), CMA yang diperoleh dalam penelitian ini, semua spesies yang termasuk Acaulospora dikelompokkan dalam famili Acaulosporaceae ordo Diversisporales, genus Gigaspora dan Scutellospora termasuk dalam famili Gigasporaceae ordo Diversisporales, dan genus Paraglomus termasuk dalam famili Paraglomaceae ordo Paraglomales. Glomus termasuk dalam ordo Glomales dengan 3 kelompok famili, yaitu kelompok 1, Glomus yang termasuk famili Glomaceae yaitu G. clavisporum, G. deserticola, G. cf. microaggregatum, G. rubiforme dan G. tortuosum. Kelompok 2, Glomus yang termasuk famili Glomus grup A yaitu G. geosporum, sedangkan G. etunicatum merupakan kelompok 3 termasuk dalam famili Glomus grup B. Jumlah spesies CMA yang ditemukan di semenanjung Ujung Genteng tergolong tinggi yaitu 23 spesies atau 11,62% dari 198 spesies yang tercantum dalam daftar Glomeromycota species list (AMF-phylogeny 2005). Keragaman spesies CMA tersebut lebih tinggi dari keragaman jenis CMA di hutan pantai 66

79 Leuweung Sancang yang ditemukan oleh Delvian (2003) yang menjumpai ada 13 spesies CMA, yang terdiri dari 8 spesies Glomus, 1 spesies Sclerocystis, 3 spesies Acaulospora dan 1 spesies Gigaspora. Demikian pula jika dibandingkan dengan penelitian Kramadibrata (1993) di DAS Cisadane (19 jenis) yang merupakan vegetasi alami. Sedangkan pada pertanian monokultur seperti perkebunan kakao ditemukan 15 jenis (Cuenca & Maneses 1996) dan kebun kelapa sawit ditemukan 10 jenis (Widiastuti 2004). Rekaman spesies CMA dari hutan pantai Ujung Genteng merupakan catatan baru bagi Indonesia. Demikian pula rizosfer tumbuhan yang berasosiasi dengan spesies CMA diungkapkan dalam penelitian ini. Jenis tumbuhan yang beranekaragam mempunyai peluang untuk menempati rizosfer yang sama. Kecuali dengan ekosistem buatan yang didominasi hanya oleh satu spesies tanaman ataupun beberapa spesies tanaman/tumbuhan tertentu. Namun tidak mungkin menentukan secara mutlak satu persatu spesies CMA tertentu berasosiasi dengan spesies tumbuhan tertentu dari tanah rizosfer tumbuhan di Hutan pantai Semenanjung Ujung Genteng. Penelitian menumbuhkan anakan / tumbuhan bawah sebagai inang CMA dalam biakan pot, dapat menjadi petunjuk tumbuhan tersebut benar-benar terisolir dari yang lainnya. Sehingga dapat ditentukan tumbuhan dalam biakan pot tersebut berasosiasi dengan spesies CMA tertentu. Spora Acaulospora foveata yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Janos & Trappe (1982), namun ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran yang telah dilaporkan. Janos & Trappe (1982) melaporkan ukuran diameter spora spesies ini (-410) x (-480) μm, Schenck (1984) 67

80 (135-)250(-300) μm, Prastyo (2004) x μm, Aradea (2004) x μm, Lucia (2005) x μm, dan INVAM (2005) μm, sedangkan spora yang diperoleh berukuran x µm. Perbedaan ukuran spora ini diduga karena adanya perbedaan tekstur dan kondisi tanah saat pengambilan contoh tanah. Sel induk spora dari A. foveata pada penelitian ini tidak ditemukan, dan dinding spora yang teramati mempunyai dua macam dinding, tetapi INVAM (2005) melaporkan bahwa A. foveata memiliki sel induk spora bening dan memiliki tiga macam dinding. Spora Acaulospora longula yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Schenck et al. (1984), dan ukurannya relatif sama dengan ukuran yang telah dilaporkan, yaitu (60)70 90 (-110) µm, sedangkan spora yang diperoleh berukuran x µm. Dalam penelitian ini tidak ditemukan sel induk spora dari A. longula. Menurut Schenck et al. (1984) sel induk spora terdapat di daerah hifa terminal, setelah spora matang sel induk spora menjadi kosong. Ukuran antara spora A. longula, A. mellea dan A. morrowae sering sulit dibedakan, tetapi warna dari ke 3 spora tersebut berbeda. Warna A. longula bening sampai kuning pucat, A. mellea kuning kecokelatan, dan A. morrowae kuning terang. Warna dan ukuran spora A. trappei dan A. longula sama, namun dinding A. longula lebih tebal (2,5-5 µm) dari A. trappei (1,2-3 µm) (Schenck et al. 1984). Schenck et al. (1984) melaporkan spora CMA A. longula yang berasosiasi dengan inang dari biakan pot yang berasal dari rizosfer P. phaseoloides, rumput-rumputan dari Carimagua, Colombia. 68

81 Spora Acaulospora scrobiculata yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Trappe (1977), namun ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran yang telah dilaporkan, yaitu x μm. Prastyo (2004) melaporkan spora A. scrobiculata dari rizosfer bambu berukuran x μm, Lucia (2005) melaporkan A. scrobiculata dari rizosfer manggis berukuran x μm, dan INVAM (2005) μm, maka spora yang diperoleh relatif lebih besar ukurannya, yaitu x µm. Perbedaan ukuran spora ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan tekstur dan kondisi tanah saat pengambilan contoh tanah. Sel induk spora A. scrobiculata pada penelitian ini tidak ditemukan, namun INVAM (2005) melaporkan bahwa spora ini memiliki sel induk spora bening. Spora Acaulospora tuberculata yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk yang hampir sama seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Janos & Trappe (1982), namun ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran yang telah dilaporkan. Janos & Trappe (1982) melaporkan ukuran spora spesies ini x μm. Prastyo (2004) melaporkan A. tuberculata dari rizosfer bambu berukuran x μm, dan Lucia (2005) melaporkan spesies yang sama dari rizosfer manggis berukuran x μm, maka spora yang diperoleh secara umum relatif lebih besar ukurannya, yaitu x µm. Sel induk spora dari A. tuberculata pada penelitian ini ditemukan bening sampai kekuningan, namun INVAM (2005) melaporkan bening, berukuran µm. Janos & Trappe (1982) melaporkan 69

82 bahwa A. tuberculata ini berasosiasi dengan berbagai spesies pohon di daerah tropis di Amerika Tengah. Spora Acaulospora cf. undulata yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Sieverding (1988), namun ukuran sporanya relatif lebih besar x µm, sedangkan Sieverding (1988) melaporkan spesies ini berukuran μm. Sieverding (1988) melaporkan bahwa spora ini memiliki sel induk spora bening, namun pada penelitian ini tidak ditemukan berukuran µm. Spora Gigaspora cf. gigantea yang berhasil diisolasi mempunyai warna kuning keemasan hampir sama sampai agak lebih gelap dengan bentuk yang sama seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Nicolson & Gerdemann (1968). Ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil ( x µm) dibandingkan dengan ukuran yang telah dilaporkan, yaitu x μm. Bila dibandingkan dengan INVAM (2005) warna, bentuk dan ukuran spora termasuk dalam kisaran yang dilaporkan, yaitu µm. Bulbous suspensor INVAM (2005) berukuran µm, dan pada spora yang ditemukan di Semenanjung Ujung Genteng berukuran x µm. Ditemukan 2 sel pelengkap berduri, diduga berasal dari Gigaspora spp. Spora Gigaspora ramisporophora yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Spain et al. (1989). Ukuran spora yang diperoleh x µm, masih dalam kisaran yang sama dengan pertelaan Spain et al. (1989), yaitu (96-) (567) µm dan pertelaan Lucia (2005), yaitu x µm. Suspensor yang diperoleh berukuran x µm dan tidak bercabang, relatif lebih kecil 70

83 atau sama dengan laporan Spain et al. (1989), yaitu (32-)40-60(72) x (50-) µm, dan dapat bercabang 2-3. Menurut Spain et al. (1989) dinding spora terdiri dari satu kelompok dinding, dengan bagian luar berupa dinding unit, dinding tengah berupa dinding lapis dan dinding bagian dalam berupa dinding perkecambahan. Spain et al. (1989) menggambarkan dinding ke 3 merupakan lapisan dalam dari 2 dinding lapis dan dinding perkecambahan merupakan bagian dari dinding tersebut. Dalam pengamatan ini ditemukan 1 kelompok dinding yang terdiri dari 2 macam dinding, yaitu unit dan lapis. Spora Glomus clavisporum pertama kali dipertelakan oleh Iqbal & Bushra (1980) bernama Sclerocystis microcarpus. Spora yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali. Glomus clavisporum sebelumnya termasuk dalam Sclerocystis karena terlihat mempunyai pleksus hifa. Revisi dari Almeida & Schenck (1990) menyebutkan bila sporanya tersusun mengelilingi pleksus hifa sebagai pusat, maka dimasukkan dalam Glomus bukan Sclerocystis. Selanjutnya dalam identifikasi Sclerocystis microcarpus lebih sesuai sebagai Glomus clavisporum. Penggolongan genus Sclerocystis dalam genus Glomus didukung laporan Schüßler et al. (2001) maupun Walker & Schüßler (2004). Spora Glomus cf. deserticola yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Trappe et al. (1984), yaitu (47-) x (38-) µm, sedangkan yang diperoleh x µm. Spora Glomus etunicatum yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Becker & 71

84 Gerdemann (1977), ukuran yang dipertelakan tersebut (-162) µm, Prastyo (2004) 48-77(-156) x 48-77(-156) µm, Lucia (2005) x µm, (INVAM 2005) µm dan Widiastuti (1992) x µm. Spora yang diperoleh relatif sama sampai lebih besar, yaitu x (-207)µm. Dinding spora yang diamati mempunyai dinding 2 lapis, sama dengan yang dilaporkan INVAM (2005). Spora Glomus geosporum yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, dan bentuk seperti yang dipertelakan oleh Walker (1982) yaitu µm, INVAM (2005) µm, dan yang diperoleh relatif lebih kecil, x µm. Namun ukuran spora G. geosporum yang diperoleh relatif lebih besar dari Prastyo (2004) 48-77(-112) x 48-77(-112) µm dan Lucia (2005) x µm. Dinding spora yang diamati mempunyai 3 lapis dinding, sama dengan yang dilaporkan INVAM (2005). Walker (1982) mendeskripsikan G. geosporum warnanya hampir sama dengan G. constrictum tetapi akan terlihat berbeda kalau spora yang di amati dalam jumlah banyak. Spora G. geosporum berwarna dari oranye sampai cokelat tetapi G. constrictum didominasi warna merah kecokelatan sampai hitam. G. constrictum dan G. macrocarpum kadang-kadang membentuk spora yang tidak kompak (loose aggregates) sedangkan G. geosporum membentuk ektokarpik dan spora tunggal di dalam tanah (INVAM 2005). Spora Glomus cf. microaggregatum yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Koske et al. (1986). Ukuran yang dipertelakan pertama kali yaitu (15-)30(-50) x (15-)30(- 72

85 40) µm dan ukuran yang diperoleh masih dalam kisaran yang dipertelakan tersebut, yaitu x µm. Glomus rubiforme yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Gerdemann & Trappe (1974) sebagai Sclerocystis rubiformis dan Sclerocystis pachycaulis oleh Wu & Chen (1966). Menurut Almeida & Schenck (1990), bila dibandingkan dengan S. pachycaulis dan S. indica, S. rubiformis mempunyai variasi karakter yang banyak, sehingga mereka dianggap sama sebagai S. rubiforme. Revisi dari Almeida & Schenck (1990) menyebutkan bahwa bila sporanya tersusun mengelilingi pleksus hifa sebagai pusat, maka dimasukkan dalam Glomus bukan Sclerocystis. Spora yang ditemukan berukuran x µm lebih besar dari Lucia (2005) yaitu berukuran x µm. Spora Glomus tortuosum yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Schenck & Smith (1982). Ukuran spora yang diperoleh x µm, relatif lebih kecil dibanding dengan pertelaan pertama, yaitu (120-)160(-210) µm, dan INVAM (2005) µm. Dinding spora yang diamati mempunyai 1 dinding lapis, sama dengan yang dilaporkan INVAM (2005). Glomus sp1., Glomus sp2., Glomus sp3., Glomus sp4., Glomus sp5. dan Glomus sp6. belum dapat didentifikasi sampai tingkat spesies karena spora yang ditemukan tidak memiliki struktur lengkap. Spora Paraglomus occultum yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna, ukuran dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Walker (1982) sebagai Glomus occultum. Ukuran Glomus yang dipertelakan Walker 73

86 (1982) x µm, INVAM (2005) µm, Lucia (2005) x µm, sedangkan ukuran yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran yang dipertelakan tersebut, yaitu x µm. Glomus occultum berdasarkan penelitian Morton & Redecker (2001) berubah genusnya menjadi Paraglomus. Perubahan genus ini berdasarkan sekuen rdna yang dapat menunjukkan jarak filogeni yang ternyata jauh dengan Glomus yang lain, meskipun morfologi dan profil asam lemaknya sama. Kombinasi sekuen rdna, profil asam lemak, reaksi imunologi melawan antibodi monoklonal spesifik, dan morfologi CMA digunakan sebagai dasar untuk membedakan Archaeospora dan Paraglomus. Dalam penelitian ini identifikasi menggunakan pertelaan morfologi, tidak berdasarkan sekuen rdna. Namun untuk menjaga konsistensi klasifikasi dalam laporan ini, maka Glomus occultum dimasukkan dalam Paraglomus occultum. Spora Scutellospora cf. auriglobosa yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan oleh Walker & Hall (1991). Ukuran spora yang diperoleh x µm, relatif lebih kecil dari pertelaan pertama Hall (1977) yaitu (-520)x (-520) µm dan Walker & Hall (1991) x µm. Dinding spora mempunyai 3 kelompok dinding, seperti yang dilaporkan Walker & Hall (1991). Spora Scutellospora heterogama yang berhasil diisolasi mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Nicolson & Gerdemann (1968). Ukuran spora yang diperoleh x µm, relatif lebih besar dari laporan Nicolson & Gerdemann (1968) pada spora yang berbentuk bulat berukuran µm dan µm ( Gerdemann & Trappe 74

87 1986). Dinding spora mempunyai 2 kelompok dinding, seperti yang dilaporkan (Gerdemann & Trappe 1986), sementara INVAM (2005) melaporkan ada 3 lapisan dinding. C. Hubungan antara CMA dan Vegetasi C.1. Hasil Keberadaan CMA Dari pengamatan seluruh contoh tanah yang diambil dari daerah rizosfer tumbuhan yang tumbuh di Semenanjung Ujung Genteng, ditemukan 23 spesies CMA, terdiri dari 5 spesies dari Acaulospora, 2 spesies dari Gigaspora, 13 spesies dari Glomus, 1 spesies dari Paraglomus dan 2 spesies dari Scutellospora. Untuk memudahkan pengamatan, penelitian terhadap keanekaragaman CMA dibagi menjadi 3 seri pengamatan, dan hasilnya disajikan sebagai berikut (Tabel 5) : 1. Pengamatan terhadap 79 contoh tanah rizosfer dari 33 spesies tumbuhan dari fase pohon dan tiang serta Pandanus tectorius ditemukan 22 spesies CMA. 2. Pengamatan terhadap 79 contoh tanah yang telah dilakukan pada biakan pot dengan inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. ditemukan 20 spesies CMA. 3. Pengamatan terhadap 24 contoh biakan pot dengan fase anakan dan tumbuhan bawah sebagai inang ditemukan 19 spesies CMA. Tabel 5 Seri pengamatan dan jumlah spesies CMA hasil identifikasi No. Contoh yang diamati Jumlah hasil Jumlah tanah rizosfer Asal Inang identifikasi CMA 1 79 Lapang 33 spesies Biakan pot Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp Biakan pot anakan 24 spesies anakan/tumbuhan bawah 19 75

88 Dari 23 spesies CMA yang berhasil diidentifikasi dari seluruh pengamatan tersebut di atas, jumlah spesies dari biakan pot (trapping) 20 spesies CMA berhasil di biakkan dengan inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp.. Mayoritas CMA yang ditemukan dari lapang mampu bersimbiosis, dengan ke 2 inang tersebut kecuali Gigaspora ramisporophora, Glomus sp5. dan Glomus sp6. (Tabel 6). Hal sebaliknya juga terjadi yaitu cendawan tersebut tumbuh pada biakan pot. Hal ini diduga karena jumlah spora CMA sedikit, atau belum/tidak membentuk spora di lapang sehingga tidak terwakili pada saat penyaringan. Sebagai contoh cendawan tersebut yaitu A. undulata. Namun CMA ini pada saat di biakan dalam pot ternyata mempunyai spora yang cukup banyak, sehingga di tanah diduga propagul CMA selain spora cukup banyak, dan dapat tumbuh dengan baik menghasilkan spora. Beberapa spesies CMA yang teridentifikasi dari lapang dan biakan pot berbeda, yaitu 22 dan 20 spesies. Pada biakan pot menggunakan inang anakkan ditemukan 19 spesies CMA, lebih sedikit dibanding dari lapang dan biakan pot. Ditinjau dari rizosfer spesies tumbuhan yang diamati, pada biakan pot anakan hanya 24 spesies tumbuhan, sedangkan di lapangan pengamatan dilakukan pada 33 spesies tumbuhan. Perbedaan jumlah spesies tumbuhan yang diamati tidak mempengaruhi jumlah spesies CMAnya, namun terlihat adanya perbedaan frekuensi pada setiap spesies CMA yang bersimbiosis. Dari Tabel 6 maupun Gambar 27 dapat di lihat bahwa G. geosporum merupakan CMA yang memiliki derajat penyebaran paling luas dari ketiga seri penelitian. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai kisaran frekuensi yang tinggi, yaitu 16,49 23,67%. Cendawan berikut ini memiliki toleransi cukup baik pada 76

89 kondisi setempat dengan nilai frekuensi di atas 5% pada tanah asal lapang yaitu A. foveata, G. etunicatum, A. scrobiculata, A. tuberculata, A. longula, dan Scutellospora auriglobosa. Tabel 6 Frekuensi mutlak dan frekuensi relatif keterdapatan setiap spesies CMA Lapang Biak Pot Anakan No. Spesies CMA Frekuensi (%) Frekuensi (%) Frekuensi (%) Mutlak Relatif Mutlak Relatif Mutlak Relatif 1 Acaulospora foveata Acaulospora longula Acaulospora scrobiculata Acaulospora tuberculata Acaulospora cf. undulata Gigaspora cf. gigantea Gigaspora ramisporophora Glomus clavisporum Glomus cf. deserticola Glomus etunicatum Glomus geosporum Glomus cf. microaggregatum Glomus rubiforme Glomus tortuosum Glomus sp Glomus sp Glomus sp Glomus sp Glomus sp Glomus sp Paraglomus occultum Scutellospora auriglobosa Scutellospora heterogama Jumlah Perbandingan perubahan komposisi CMA antara tumbuhan dewasa dan anakan, terlihat adanya suksesi dari CMA tersebut (Gambar 27). Sebagai contoh frekuensi tingkat genus, Acaulospora foveata merupakan CMA yang memiliki frekuensi paling tinggi dari spesies Acaulospora yang lain di lapang (dewasa) dan biakan pot. A. longula lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Acaulospora 77

90 25 20 Frekuensi Relatif Spesies CMA Lapang Biakan Pot Anakan Gambar 27 Frekuensi relatif keterdapatan spesies spesies CMA di lapang, biakan pot dan anakan. yang lain pada fase anakan. Sedangkan CMA yang memiliki penyebaran paling luas ialah G. geosporum (F=23.67%). Pada CMA genus Glomus suksesi yang cukup jelas terjadi ialah pada spesies G. rubiforme. Cendawan ini memiliki frekuensi yang berbeda pada fase tumbuhan dewasa (fase pohon/tiang) dan biakan pot dengan fase anakan. Pada fase tumbuhan dewasa dengan biakan pot frekuensinya lebih rendah dibanding anakan. Dengan nilai di bawah 5% berubah menjadi di atas 10%. Sebaliknya Gigaspora pada fase anakan frekuensinya lebih rendah dari fase pohon, sedangkan Scutellospora pada anakan frekuensinya lebih rendah dari fase pohon atau biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorgum. Pada penelitian ini juga terlihat ada dua kelompok spesifisitas kolonisasi CMA yaitu yang memiliki spesifisitas rendah dan spesifik. Spesifisitas kolonisasi rendah sangat dominan, sedangkan yang mempunyai spesifisitas spesifik tinggi atau hanya dijumpai pada beberapa spesies saja yaitu Glomus sp5. yang spesifik pada Guettarda speciosa dan Glomus sp6. yang spesifik pada Salacia sp. 78

91 Vegetasi Tumbuhan dan Hubungannya dengan Kekayaan, Kerapatan dan Keragaman CMA di Lapang Nilai kerapatan, kekayaan, dan indeks keragaman CMA disajikan pada Tabel 7, kerapatan merupakan jumlah spora CMA per 100 g tanah kering udara dalam komunitas. Kekayaan spesies merupakan jumlah spesies tertentu yang bersimbiosis dengan tumbuhan tertentu. Indeks keragaman CMA merupakan perbandingan antara total jumlah spesies pada contoh tanah dan logaritma jumlah total spora pada contoh tanah. Nilai kerapatan, kekayaan dan indeks keragaman CMA dari Tabel 7 masingmasing rhizosfer spesies tumbuhan ternyata tidak berhubungan dengan indeks nilai penting (NP) tumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa NP yang tinggi pada suatu spesies tumbuhan tidak menunjukkan tingginya kerapatan, kekayaan dan keragaman CMA di rizosfer tumbuhan tersebut, atau sebaliknya. Contohnya Oncosperma tigillarium dengan kekayaan CMA 9 namun bukan merupakan tumbuhan dengan NP tinggi. Analisa vegetasi selengkapnya untuk tumbuhan fase pohon dan tiang disajikan pada Lampiran 1. Indeks nilai keragaman CMA (D) dengan kekayaan dan kerapatan yang rendah serta jumlah contoh tanah rizosfer hanya 1, diduga tidak dapat menggambarkan dengan baik keragaman CMA pada tumbuhan tersebut. Contohnya Cerbera manghas dan Macaranga tanarius. Dari seluruh areal penelitian didapatkan nilai kekayaan CMA berkisar antara 1 sampai 9, kerapatan rata-rata CMA sebesar dan indeks keragaman CMA berkisar 0.6 sampai 6.6 (Tabel 7). Tabel 7 kekayaan dan indeks keragaman CMA untuk setiap rizosfer tumbuhan beragam dengan berbedanya titik lokasi spesies tumbuhan. Sebagai contoh, dari data 10 titik yang berbeda pada tumbuhan D. parasiticum diperoleh 79

92 kekayaan CMA yang sangat bervariasi yaitu berkisar dari 1 sampai dengan 8 dan keragamannya antara 0.6 sampai dengan 4.4. Tabel 7 Nilai penting tumbuhan, dan kerapatan, kekayaan serta keragaman CMA di lapang pada rizosfer tumbuhan Kekayaan Kerapatan No. Nama Tumbuhan Indeks Nilai spora CMA Indeks Penting (NP) CMA ( 100 g -1 ) Keragaman Tumbuhan(%) tanah kering CMA (D) 1 Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm Syzygium javanicum Miq Guettarda speciosa L Salacia sp Pongamia pinnata (l.) Pierre Hernandia peltata Meissn Terminalia cattapa L Morinda citrifolia L var.bracteata (Roxb) Hook.f Erythrina orientalis (L.) Murr Ficus variegata Bl Micromelum minutum (Forst. f.) W & A Hibiscus tiliaceus L. ssp.similis (Bl.) Borss Calophyllum inophyllum L Diospyros maritima Bl. var calycina K &V Cerbera manghas L Rauvolfia reflexa T & B Dysoxylum gaudichaudianum (A. Juss.) Miq Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl Cryptocarya ferrea Bl Thespesia populnea Solland ex. Correa Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner Ficus septica Burm. F Cinnamomum inners Reinw. ex.bl Macaranga tanarius L Cryptocarya nitens K.&V Bischofia javanica Bl Bridelia insulana Hance Syzygium pseudoformosum (King) Merr.&Perry Gnetum latifolium Bl Averrhoa bilimbi L Ficus ampelas Burm.f Pandanus tectorius Soland. ex Park Rata-rata

93 Hasil analisa vegetasi anakan dan tumbuhan bawah diperoleh 52 jenis tumbuhan (Lampiran 2). Sebanyak 35 spesies tumbuhan fase anakan dan tumbuhan bawah dari total 52 jenis tumbuhan dijadikan sebagai inang biakan spora. Tetapi dalam pemeliharaan, anakan tumbuhan tersebut sebagian mati, sehingga hanya tersisa 24 jenis tumbuhan (Tabel 8). Kematian tumbuhan diduga karena faktor lingkungan di rumah kaca berbeda, dan tidak sesuai untuk pertumbuhan anakan. Tabel 8 Spesies tumbuhan, kekayaan, kerapatan dan keragaman CMA pada biakan pot dengan inang tumbuhan anakan Kerapatan spora Indeks No. Nama Tumbuhan Kekayaan CMA ( 100 g -1 ) Keragaman CMA (R) tanah kering CMA (D) 1.Syzygium pseudoformosum (King)Merr.&Perry Syzygium javanicum Miq Hibiscus tiliaceus L. ssp.similis (Bl.) Borss Ficus septica Burm. F Planchonella obovata (R.Br.) Pierre Scindapsus hederaceus Schott Nephrolepis radicans (Burm.f) Kuhn Bischofia javanica Bl Lantana camara L Tetrastigma lanceolarium (Roxb.) Planch Cerbera manghas L Ardisia humilis Bl Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm Ficus sp Pandanus tectorius Soland. ex Park Piper cf. baccatum Bl Erythrina orientalis (L.) Murr Guettarda speciosa L Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br Flagellaria indica L Hernandia peltata Meissn Dysoxylum arborescens ( Bl.) Miq Cinnamomum iners Reinw. ex Bl Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb Rata-rata

94 Data yang diperoleh dari tumbuhan fase anakan yang digunakan sebagai inang biakan spora hasilnya berupa kekayaan, kerapatan dan indeks keragaman CMA yang dapat dilihat pada Tabel 8. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa semakin meningkatnya kekayaan spora CMA suatu tumbuhan, maka akan mempunyai kecenderungan kerapatan sporanya juga semakin meningkat pada setiap 100 g tanah kering daerah rizosfernya. Dari Tabel 7 dan 8 secara umum terlihat bahwa pembiakan spora CMA dengan inang anakan lebih tinggi rata-ratanya (239.5) dari rata-rata kerapatan spora dari lapang (33.13). Secara umum biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. mempunyai rata-rata kerapatan spora (243.1) lebih tinggi dari biakan anakan maupun lapang (Gambar 28 dan 29). Kerapatan Spora CMA dan Persen Kolonisasi Gambar 28 menunjukkan perbedaan dari biakan pot dengan inang anakan pada persentase kolonisasi dan kerapatan spora CMA rizosfer tumbuhan yang sama dari lapang dan biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. Nama spesies tumbuhan pada Gambar 28 sesuai dengan nomor urut nama tumbuhan pada Tabel 7. Kerapatan spora umumnya berkorelasi dengan persen kolonisasi. Gambar 29 menunjukkan data persentase kolonisasi dan kerapatan spora dari 6 spesies tumbuhan yang sama dari lapang, biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. serta biakan pot dengan inang anakan. Pada penelitian ini secara umum diperoleh persen kolonisasi dari lapang lebih rendah dari biakan pot (Gambar 28 dan 29). Hal yang sama juga terjadi dengan kerapatan sporanya. Hal ini menunjukkan bahwa persen kolonisasi berkorelasi positif dengan jumlah spora yang dihasilkan. Gambar 28 terlihat menunjukan adanya 82

95 perkecualian beberapa tumbuhan yang mempunyai kerapatan spora yang sangat rendah, walaupun kolonisasi cukup tinggi. Sebagai contoh dalam penelitian ini ialah pada tumbuhan Macaranga tanarius dan Hibiscus tiliaceus diperoleh kerapatan spora rendah yaitu dibawah 10 namun kolonisasinya relatif tinggi yaitu 64.4% dan 46.6% Kerapatan spora (100g -1 ) tanah kering % Kolonisasi Spesies Tumbuhan Spora lapang Spora pot Kolonisasi lapang Kolonisasi pot 0 Gambar 28 Perbandingan kerapatan spora dan persen kolonisasi akar dari lapang, dan biakan pot. Dari Gambar 28 dan 29 tersebut menunjukkan persentase kolonisasi dan kerapatan spora meningkat dengan pembiakan pot. Persentase kolonisasi pada biakan pot dengan inang anakan secara umum lebih baik dari pada persentase kolonisasi akar di lapang dan biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. 83

96 Kerapatan spora CMA (100g -1 ) tanah kering Spesies Tumbuhan % Kolonisasi Spora lapang Spora anakan Kolonisasi pot Spora pot Kolonisasi lapang Kolonisasi anakan Keterangan: 1 Cerbera manghas 2 Erythrina orientalis 3 Hernandia peltata 4 Dysoxylum parasiticum. 5 Syzygium javanicum 6 Pandanus tectorius Gambar 29 Perbandingan kerapatan spora dan persentase kolonisasi akar dari lapang, biak pot dan anakan dengan spesies tumbuhan yang sama. Sebaran CMA, Tumbuhan dan Lingkungannya Data lingkungan dilengkapi data analisa sifat tanah disajikan pada Tabel 9. mayoritas ph tanah agak alkalis kecuali bagian pantai timur bersifat alkalis. Salinitas (DHL) di daerah pantai barat dan timur berkadar garam tinggi sedangkan bagian lain, lebih masuk ke dalam hutan salinitasnya moderat. P tersedia seluruhnya sangat rendah sedangkan P total sangat tinggi. Umumnya tanah berpasir dengan kisaran sampai Tanah berpasir tersebut banyak mengandung hancuran batu karang sampai ke tengah hutan. Pada Gambar 30 terlihat bahwa Acaulospora foveata, A. longula, A. scrobiculata, dan A. tuberculata memiliki sebaran yang luas yaitu ditemukan pada semua lokasi, sedangkan A. undulata merupakan satu spesies dari Acaulospora yang terdapat di zona TB. G. cf. deserticola, G. etunicatum, G. geosporum dan S. auriglobosa menyebar di semua lokasi. Spesies CMA yang dapat hidup di 84

97 semua lokasi diduga merupakan spesies yang toleran terhadap keadaan lingkungan setempat khususnya salinitas. G. clavisporum, G. tortuosum, Glomus sp1., Glomus sp3., Glomus sp4. dan Glomus sp5. hanya di temukan di tempattepat tertentu, sebarannya tidak luas, sehingga diduga spesies-spesies ini peka terhadap kondisi lingkungannya atau spesifik seperti pada Glomus sp5. dan Glomus sp6. G. cf. microagregatum dan G. rubiforme hanya terdapat di lokasi pantai bagian barat saja (PB), P. occultum hanya ada di pantai saja (PT dan PB). spesies tersebut sebarannya tidak luas dan tergolong tahan terhadap salinitas. Dua spesies Scutellospora yang ditemukan yaitu S. auriglobosa dan S. heterogama memiliki sebaran yang berbeda. S auriglobosa menyebar di semua lokasi sedangkan S. heterogama hanya ditemukan di zona PT dan TH. Tabel 9 Sifat tanah Semenanjung Ujung Genteng (Analisa laboratorium Tanah IPB 2003) PH 1:1 DHL Bray I HCl 25% Tekstur (%) No. Tempat H 2 O KCl (μs/cm) P(tersedia) P(total) Pasir Debu Liat (ppm) (ppm) 1 Pantai Barat (PB) 7.56 aa t 3.4 sr st Tengah Barat (TB) 7.91 aa m 5.7 sr 90.3 st Tengah Hutan (TH) 7.81 aa m 5.4 sr 88.7 st Tengah Timur (TT) 7.73 aa m 8.2 sr 220 st Pantai Timur (PT) 8.63 a t 3.3 sr st Keterangan : P 2 O 5 Bray I (P tersedia) : < 10 = sr, = r, = s, = t, >35= st P 2 O 5 HCl 25% (P total) : <10 = sr, = r, = s, = t, >60 = st ph H 2 O : <4.5 =sm, =m, =am, =n, =aa, > 8.5 =a Salinitas : ds/m=r, ds/m=m, ds/m=t, ds/m=st, (ds/m = 1000μs/cm) (sr=sangat rendah, r=rendah, s=sedang, t=tinggi, st=sangat tinggi, m=moderat) (sm=sangat masam, m=masam, am=agak masam, n=netral, aa=agak alkalis, a=alkalis) (Hardjowigeno 1995 dan Sumner 2000) 85

98 Nilai kemiripan komunitas (I S ) hasil analisa vegetasi tidak ada kemiripan komunitas tumbuhan antar zona (P), (T) dan (H). Zona-zona tersebut bila dihubungkan dengan sebaran tumbuhan dan sebaran CMA Gambar 30, sebaran CMA hampir sama, berarti keanekaragaman CMA tidak ada pengaruhnya terhadap komunitas tumbuhan. Perbedaan komunitas tumbuhan diduga disebabkan oleh lingkungan setempat terutama salinitas. Ketidak miripan antar komunitas tumbuhan yang dipengaruhi oleh lingkungan diduga juga mempengaruhi keberadaan CMA. PB TB TH TT PT CMA Tumb CMA Tumb CMA Tumb CMA Tumb CMA Tumb U PB TB TH TT PT Keterangan : 1. Nomor disesuaikan tabel 4 untuk CMA dan Tabel 7 untuk nomor tumbuhan 2. Nomor, nama untuk CMA dan tumbuhan selengkapnya di Lampiran 6 3. PB=Pantai Barat, TB=Tengah Barat, TH=Tengah Hutan, TT=Tengah Timur, PT= Pantai Timur Gambar 30 Sebaran CMA dan Tumbuhan di Ujung Genteng. Sifat-sifat tanah terutama salinitas pada Tabel 9 bila dihubungkan dengan Gambar 30 menunjukkan bahwa nilai DHL (salinitas) tinggi maka keragaman tumbuhannya rendah, dan keragaman CMA tinggi. Sebaliknya apabila DHL turun 86

99 maka keragaman tumbuhan menjadi relatif tinggi tetapi tidak berpengaruh terhadap keragaman CMA (bisa tinggi / rendah). Selain DHL, tekstur tanah juga mempengaruhi keanekaragaman CMA dan tumbuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang mempengaruhi keanekaragaman CMA adalah DHL dan kondisi lingkungan keseluruhan yang didalamnya terjadi interaksi antar komponen biotik dan abiotik dari ekosistem hutan pantai tersebut. Gambar 31 menunjukkan bahwa di zona H saja yang mempunyai kerapatan spora CMA beberapa spesies di atas 5, yaitu A. foveata, G. clavisporum, G. etunicatum dan G. geosporum. Bahkan G. geosporum di zona H kerapatan sporanya paling tinggi diantara yang lain, yaitu 33 spora per 100 g tanah kering. 35 Kerapatan spora CMA (100g-1) tanah kering Spesies CMA P T H Keterangan : P = 0 71 m dp, T = m dp >H = 141 m dp Gambar 31 Kerapatan spesies CMA berdasarkan pembagian zona dari pantai. 87

100 Tabel 10 Indeks Keragaman CMA pada Zona P, T dan H Zona P Zona T Zona H No. Nama Tumbuhan Indeks Keragaman CMA (D) 1 Cerbera manghas L Diospyros maritima Bl. var calycina K &V Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm Erythrina orientalis (L.) Murr Ficus septica Burm. F Ficus variegata Bl Guettarda speciosa L Hernandia peltata Meissn Hibiscus tiliaceus L. ssp.similis (Bl.) Borss Morinda citrifolia L var.bracteata (Roxb) Hook.f Pongamia pinnata (l.) Pierre Rauvolfia reflexa T & B Terminalia cattapa L Thespesia populnea Solland ex. Correa Averrhoa bilimbi L Bischofia javanica Bl Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell Calophyllum inophyllum L Cryptocarya ferrea Bl Cryptocarya nitens K.&V Gnetum latifolium Bl Macaranga tanarius L Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl Salacia sp Syzygium javanicum Miq Syzygium pseudoformosum (King) Merr.&Perry Bridelia insulana Hance Cinnamomum inners Reinw. ex.bl Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss) Miq Ficus ampelas Burm.f Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner Micromelum minutum(forst. f.) W & A Kisaran

101 Zona P dan T hanya G. geosporum yang memiliki kerapatan spora di atas 10, lebih tinggi dari kerapatan spesies spora yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa G. geosporum mendominasi zona P dan T. Oleh karena itu secara keseluruhan G. geosporum merupakan CMA yang mempunyai peran paling besar di ekosistem Ujung Genteng. Dari pembagian zona menjadi 3 bagian, CMA di zona P diperoleh 19 spesies CMA, di zona T diperoleh 17 spesies CMA dan di zona H diperoleh 14 spesies CMA. Dan dari Tabel 10 diperoleh kisaran indeks keragaman CMA untuk ke 3 zona yaitu zona P berkisar 0.73 sampai 6.64, zona T memiliki kisaran 0.73 sampai 6.50 dan zona H mempunyai kisaran 1.18 sampai Nilai kisaran indeks keragaman CMA di zona P dan T lebih lebar dari H, sedangkan di zona P indeks keragaman CMAnya mempunyai kisaran yang hampir sama dengan zona T. Sehingga secara keseluruhan menunjukkan bahwa keanekaragaman CMA di dalam hutan Semenanjung Ujung Genteng lebih rendah dibanding pantai, namun kerapatan sporanya secara umum di dalam hutan lebih tinggi dibanding area pantai. 89

102 C.2. Pembahasan Dalam penelitian ini ditemukan 23 spesies CMA. Jumlah tersebut bila dibandingkan dengan spesies CMA di dunia dalam daftar AMF-phylogeny (2005) berjumlah sekitar 198 spesies, maka jumlah CMA di Ujung Genteng tergolong tinggi. Van der Heijden et al. (1998) lebih lanjut menjelaskan bahwa semakin tingginya keragaman CMA maka struktur keragaman tumbuhan akan terjaga. Beberapa spesies CMA tidak dijumpai pada saat contoh tanah dari lapang disaring, tetapi pada saat ditumbuhkan pada biakan pot ternyata spesies tersebut teridentifikasi. Hal ini diduga karena jumlah spora dari spesies CMA tersebut sedikit, atau belum/tidak membentuk spora sehingga tidak terwakili pada saat penyaringan, contohnya ialah A. undulata. Pada contoh tanah dari lapang cendawan tersebut mempunyai kecenderungan sedikit atau tidak membentuk spora, karena untuk membentuk spora perlu energi yang besar. Selain itu dalam asosiasinya tumbuhan mendorong CMA untuk menyerap nutrien di lapang sehingga pembentukan hifa eksternal lebih dominan dari pada pembentukan spora (Smith & Read 1997). Sebaliknya dapat terjadi pada contoh tanah dari lapang ditemukan spesies CMA tertentu namun pada saat dibiakkan dalam pot tidak ditemukan lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh propagul atau spora CMA yang terlalu sedikit pada contoh tanah, sehingga ketika ditumbuhkan tidak tumbuh memperbanyak diri. Secara umum G. geosporum merupakan CMA yang paling dominan dan mempunyai peranan paling besar di ekosistem Ujung Genteng. Spesies CMA ini mampu tumbuh dengan baik mulai dari tepi pantai sampai tengah hutan. G. geosporum juga berasosiasi dengan paling banyak spesies tumbuhan dibanding CMA 90

103 yang lain. Disamping itu G. geosporum mampu berasosiasi dengan tumbuhan pada berbagai kondisi, yaitu kondisi di lapang, biakan pot maupun anakan. Karena kemampuannya tersebut berarti CMA ini sangat toleran terhadap berbagai macam kondisi, termasuk kondisi tanah salin atau kondisi tanah berkarang di Hutan Pantai Semenanjung Ujung Genteng. Tanah yang banyak mengandung karang di Ujung Genteng berarti di daerah tersebut banyak mengandung kapur atau sodium. Hal yang sama juga disampaikan oleh Landwerh et al. (2002) yang melaporkan bahwa spesies CMA tersebut merupakan cendawan yang tumbuh dominan di tanah salin, sodium dan gipsum di benua Eropa. Menurut Siguenza et al. (1996) dan Delvian (2003), jenis CMA yang ada pada tanah salin kebanyakan ialah Glomus spp. Secara umum dari penelitian ini Glomus spp. juga lebih banyak jumlah spesies dan kerapatan sporanya per 100 g tanah kering. Selain G. geosporum yang dominan di Ujung Genteng, beberapa spesies CMA yang memiliki sebaran cukup luas di lapang ialah Acaulospora foveata, A. longula, A. srobiculata, A. tuberculata, Glomus etunicatum dan Scutellospora auriglobosa. Ke enam spesies CMA ini setelah ditumbuhkan dalam biakan pot mampu tumbuh dengan baik, menghasilkan spora lebih tinggi dari pada spesies CMA yang lain. Oleh karena itu ke enam spesies CMA ini dan tentunya G. geosporum berpotensi menjadi CMA untuk diteliti bahkan dikembangkan lebih lanjut sebagai isolat di lahan bersalinitas, berkapur atau kering. Kekayaan dan indeks keragaman (D) pada biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. atau biakan pot dengan inang anakan mempunyai kisaran yang hampir sama dibanding lapang. Kerapatan spora pada kedua biakan pot 91

104 tersebut jauh lebih banyak dibanding langsung dari lapang. Spora yang dihasilkan dari biakan pot diharapkan dalam keadaan yang lebih baik dan dapat diketahui tahaptahap perkembangannya sehingga memudahkan dalam identifikasi. Tumbuhan mikotrofik seperti P. phaseoloides dan Sorghum sp. secara umum cukup efektif untuk memperbanyak spora beberapa kali lipat dibanding tanah yang diambil dari lapang. Kerapatan spora umumnya berkorelasi dengan persen kolonisasi. Pendapat yang sama juga dilaporkan oleh Lim (1987) dan Giovanneti (1985), yang menyatakan bahwa kerapatan spora CMA pada Aglaonema connadatum, Clidemia hirta, dan Ammophila arenaria kecenderungan berkorelasi positif dengan persen kolonisasi. Kolonisasi dengan inang anakan pada umumnya lebih baik dari pada di lapang dan biakan pot dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. Hal ini dimungkinkan karena dengan anakan, CMA lebih sesuai dengan kehidupan aslinya di Ujung Genteng, dengan inang yang sama. Biakan pot yang ditumbuhkan selama 12 bulan dengan inang P. phaseoloides dan Sorghum sp. lebih banyak menghasilkan spora dari pada inang anakan. Hal ini disebabkan umur Sorghum sp. yang terbatas, hanya 3 bulan, meskipun dengan pemangkasan tumbuhan tersebut dapat tumbuh kembali. Namun karena fotosintat yang dihasilkan oleh tumbuhan sempat terhenti karena tumbuhan tua dan dipangkas, maka CMA akan lebih banyak membentuk spora dari pada berkolonisasi seperti pada biakan pot dengan inang anakan. Pada tumbuhan yang telah tua, MA akan mengalihkan fotosintat untuk pembentukan spora CMA dari pada untuk berkolonisasi (Smith & Read 1997). 92

105 Scutellospora heterogama pada penelitian ini ditemukan di daerah pantai Timur (PT) dan dan tengah hutah (TH). Di P mempunyai ciri khas pasir lebih kasar dan berkarang, sedangkan TH pasir lebih halus dan banyak karang. Pada penelitian ini didapatkan bahwa semua lokasi berpasir dengan kisaran sampai % (Tabel 9). Hal ini diduga berkaitan dengan ukuran rata-rata spora S. heterogama yang lebih besar dari S. auriglobosa, maka S. heterogama memerlukan relung ruangan lebih besar pada butiran pasir / karang. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith & Read (1997) yang menyatakan bahwa Scutellospora spp. menyukai habitat berpasir semua lokasi. Salinitas mempunyai pengaruh yang reversibel terhadap pertumbuhan hifa CMA (Juniper & Abbot 2004) sehingga diduga meskipun tanah di Ujung Genteng tergolong salin sampai moderat, tetapi karena daerah tersebut mempunyai curah hujan tinggi yaitu tipe A, dengan 186 hari hujan per tahun, maka salinitas cepat tercuci. Selanjutnya pengaruh buruk dari keadaan salin yang sifatnya reversibel dengan cepat menjadi lebih baik. Oleh karena keadaan lingkungannya cukup mendukung untuk pertumbuhan CMA, maka keragaman CMA di Ujung Genteng tergolong tinggi. Keanekaragaman CMA yang lebih tinggi di pantai Ujung Genteng, diduga berkaitan dengan pentingnya suatu tumbuhan untuk berasosiasi dengan CMA dalam menanggulangi pengaruh buruk salinitas, sehingga lebih banyak diperlukan asosiasi dengan banyak spesies CMA. Hal ini diduga keragaman CMA sangat erat dengan fungsinya dalam ekosistem setempat (Johnson 2005). Hasil analisa indeks kemiripan komunitas (I S ) menunjukkan bahwa tumbuhan di tepi pantai berbeda jenisnya dengan yang ada di wilayah lebih dalam. Ketidak 93

106 miripan antar komunitas tumbuhan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan yang ternyata juga mempengaruhi keanekaragaman CMA. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitter et al. (2004), yang menyatakan bahwa cendawan mikoriza arbuskula berhubungan erat dengan perubahan-perubahan lingkungan. Di tengah hutan kadar salinitas rendah, sehingga kerapatan CMA yang dapat tumbuh dengan baik juga meningkat. Pendapat ini didukung oleh Johnson (2005), Allen et al. (1995), Merrywether & Fitter (1998) yang melaporkan bahwa keragaman tumbuhan tidak berkorelasi dengan keanekaragaman dan spesifisitas CMA. Dari penelitian ini terbukti bahwa faktor lingkungan khususnya salinitas yang lebih dominan dalam menentukan keanekaragaman CMA di hutan pantai Ujung Genteng. Menurut pendapat Tilman et al. (2001) keragaman CMA menentukan struktur komunitas tumbuhan dan produktivitas ekosistem. Dalam penelitian ini struktur komunitas tumbuhan lebih dipengaruhi oleh salinitas / lingkungan, dibanding oleh keanekaragaman CMA. 94

107 PEMBAHASAN UMUM Keanekaragaman CMA yang berasosiasi dengan berbagai tumbuhan di Hutan Pantai Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi baru pertama kali dilaporkan. Demikian pula rizosfer tumbuhan yang berasosiasi dengan spesies CMA diungkapkan dalam penelitian ini. Dysoxylum parasiticum merupakan tumbuhan yang mempunyai peranan penting dan mendominasi hutan pantai Semenanjung Ujung Genteng. Tumbuhan ini tumbuh mulai dari tepi pantai (P), tengah (T) sampai hutan (H). Dalam penelitian ini D. parasiticum tumbuh di banyak titik kuadran, sehingga tanah rizosfer yang terwakili oleh tumbuhan ini relatif banyak dibanding tumbuhan lain, yaitu 9 dari 79 jumlah contoh tanah. Namun kekayaan dan kerapatan spora setiap tumbuhan D. parasiticum yang diperoleh dari berbagai titik kuadran sangat beragam. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman CMA tidak bergantung pada spesies tumbuhan, namun lebih bergantung pada faktor lain, seperti sifat-sifat tanah. Menurut hasil penelitian Delvian (2003) keanekaragaman spora CMA selalu berubah dengan perubahan waktu pengamatan, jenis inang dan tingkat salinitas. Setiap jenis CMA membentuk spora pada saat yang berbeda, tergantung siklus hidupnya dan responnya terhadap pertumbuhan tumbuhan inang serta perubahan kondisi lingkungan. Smith & Read (1997) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi tumbuhan inang juga akan mempengaruhi CMA sebagai simbionnya. Perbedaan salinitas mempengaruhi ketidakmiripan tumbuhan pada zonazona di Hutan Pantai Ujung Genteng. Antara CMA dengan tumbuhan terdapat

108 hubungan saling ketergantungan dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang marjinal bagi tumbuhan seperti halnya di tepi pantai yang mempunyai kadar salinitas yang tinggi, maka hubungan CMA inang menjadi sangat kuat. Menurut Brundrett (1996) salinitas tanah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya aktivitas CMA selain faktor ph tanah, kekeringan, perubahan iklim yang ekstrim dan kurangnya tumbuhan inang. Simbiosis CMA dengan akar tumbuhan dapat memperbaiki pertumbuhan tumbuhan pada kondisi cekaman salinitas bahkan meningkatkan toleransi tumbuhan terhadap kadar garam dalam tanah (Al-Karaki 2000; Gupta & Krisnamurthy 1996; Ruiz-Lazanon et al. 2000). Indeks nilai keragaman CMA dan jumlah spesies CMA di zona tepi pantai (P) lebih tinggi dari pada zona-zona yang lain diduga berkaitan dengan kondisi cekaman salinitas tersebut. Pada kondisi salin tumbuhan cenderung berasosiasi dengan berbagai spesies CMA untuk kelangsungan hidupnya. Menurut Delvian (2003) efektivitas kerja CMA jauh lebih baik pada kondisi cekaman salinitas. Marcum melaporkan (1999) bahwa tumbuhan bermikoriza akan menyerap Na dan ditahan di dalam akar dan tidak ditranslokasikan ke tajuk. Lebih lanjut Coperman et al. (1996) melaporkan bahwa CMA yang tidak berasal dari tanah salin bila ditumbuhkan di daerah salin akan cenderung meningkatkan kadungan Cl - daun sedangkan CMA yang berasal dari tanah salin akan melakukan hal sebaliknya. Nilai tertinggi kekayaan spesies CMA pada tumbuhan di Ujung Genteng yaitu 9 pada D. parasiticum. Hal ini diduga bahwa tingginya keragaman spesies CMA berkaitan dengan inang dan kondisi lingkungan. Semakin banyak spesies CMA yang dapat berasosiasi diduga akan meningkatkan kemampuan tumbuhan 96

109 inang tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi tanah salin di Semenanjung Ujung Genteng. Mikoriza arbuskula dapat menjadi peyangga lingkungan inang yang tidak menguntungkan. Asosiasi tersebut tidak hanya melibatkan tumbuhan dan CMA saja, namun ada interaksi yang melibatkan lingkungan secara keseluruhan. Menurut Fitter et al. (2004) CMA berhubungan erat dengan perubahan-perubahan ekologi dan faktor biotik dan abiotik. Ada kemungkinan bahwa spesies tertentu mempunyai relung ekologis yang sangat khusus yang tidak umum, seperti halnya organisme lain, sehingga konsekuensinya, keanekaragaman komunitas CMA ini mungkin sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Pada beberapa keadaan, kekayaan tumbuhan berhubungan dengan kekayaan spesies CMA sementara itu keragaman mikoriza sangat erat kaitannya dengan fungsi pada lingkungan setempat (Johnson et al. 2005). 97

110 SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan penelitian di hutan pantai Ujung Genteng dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat 23 spesies CMA, 5 spesies dari Acaulospora, 2 spesies dari Gigaspora, 13 spesies dari Glomus, 1 spesies dari Paraglomus dan 2 spesies dari Scutellospora. 2. Glomus geosporum adalah CMA yang dominan, paling tinggi frekuensinya ( %) dari ketiga seri penelitian. Selain itu, Glomus etunicatum, Acaulospora foveata, A. longula, A. scrobiculata, A. tuberculata, dan Scutellospora auriglobosa frekuensi keterdapatannya lebih tinggi dari spesies yang lain di lapang namun lebih rendah dari G. geosporum. 3. Ditemukan 68 spesies tumbuhan dari 40 famili dengan Dysoxylum parasiticum dan Piper cf. bacatum sebagai tumbuhan yang paling dominan dan penyebarannya paling luas. 4. Tidak ada kemiripan komunitas tumbuhan pada masing-masing zona. Nilai kemiripan komunitas (Is) antara tepi pantai (P) dan tengah (T) yaitu 35.42%, antara tengah (T) dan tengah hutan (H) 32.53%, dan antara tepi pantai (P) dan tengah hutan (H) yaitu 27.04%. Tidak ada kemiripan komunitas tumbuhan tersebut karena adanya perbedaan sifat tanah (salinitas) dari ketiga zona. 5. Kandungan salinitas tanah di Ujung Genteng tergolong salin sampai moderat dengan kadar garam µs/cm. 6. Tidak ada hubungan antara keanekaragaman tumbuhan dengan keanekaragaman CMA. 7. Keanekaragaman CMA disebabkan adanya interaksi dengan faktor lingkungan secara keseluruhan terutama salinitas.

111 8. G. geosporum, G. etunicatum, S. auriglobosa dan G. cf. deserticola toleransinya luas terhadap keadaan lingkungan setempat khususnya salinitas. 9. Spesifisitas kolonisasi CMA pada tumbuhan umumnya rendah, sedangkan yang mempunyai spesifisitas tinggi hanya dijumpai pada beberapa spesies saja yaitu Glomus sp5. yang spesifik pada Guettarda speciosa dan Glomus sp6. yang spesifik pada Salacia sp. 10. Perbedaan salinitas menyebabkan keanekaragaman CMA yaitu di tepi pantai (P) 19 spesies CMA, di tengah (T) 17 spesies CMA dan di hutan (H) 14 spesies CMA, dengan indeks keragaman CMA di tepi pantai (P) berkisar , di tengah (T) berkisar dan tengah hutan (H) berkisar Saran Analisa tumbuhan bawah dalam zonasi 0-70, dan >140 m dari pantai perlu dilakukan untuk melihat hubungan keanekaragaman CMA dan tumbuhan tersebut. Glomus geosporum sangat berpotensi diteliti lebih lanjut efektifitasnya untuk penerapan di daerah salin. berkapur atau kritis. Isolat lain yang cukup berpotensi untuk diteliti lebih lanjut yaitu G. Etunicatum, A. foveata, A. longula, A. scrobiculata, A. tuberculata dan S. auriglobosa. 99

112 DAFTAR PUSTAKA Abbott LK & Robson AD. 1982; The role of VA mycorrhizae fungi in agriculture and the selection of fungi for inoculation. Aust J Agric Res 33 : Alexander T, Toth R, Meier R, & Weber HC Dynamics of arbuscule development and degeneration in onion, bean, and tomato with reference to vesicular arbuscular mycorrhizas in grasses. Can J Bot 67: Al-Karaki GN Growth of mycorrhizal tomato and mineral acquisition under salt stress. Mycorrhiza 10: Al-Karaki GN, Hammad R & Rusan M Response of two cultivars differing on salt tolerance to inoculation with mycorrhizal fungi under salt stress. Mycorrhiza 11:43-47 Allen EB & Allen MF Development of mycorrhizal patches in a succesional arid ecosystem. Di dalam : Read DJ, Fitter AH, & Alexander IJ, editor. Mycorrhizas ini Ecosystems. CAB International. Walling ford, UK. hlm Allsopps N Effect of defoliation on the arbuscular mycorrhizas of three parennial pasture and rangeland grasses. Plant and Soil 202: Almeida RT & Schenck NC A revision of the genus Sclerocystis (Glomaceae, Glomales). Mycologia 82: AMF-Phylogeny Glomeromycota spesies list. [25 Nov 2005] Aradea NN Mikoriza arbuskula pada Iwul (Orania sylvicola). Floribunda 2(6): Arisandi P Mangrove, akar kehidupan bagi kehidupan laut. Ecological Observation And Wetlands Conservation. [23 Nov 2005] Arisandi P Mangrove pantai Surabaya terancam punah. Ecological Observation And Wetlands Conservation. [23 Nov 2005] Balestrini R, Berta G, & Bonfante P The plant nucleus in mycorrhizal roots: Positional and structural modifications. Biol cell 75 : Becard G, Taylor LP, Douds DD Jr, Pfeffer PE & Doner LW Flavonoid are not necessary plant signal compounds in arbuscular mycorrhizal symbioses. Molec. Plant Microbe Inter 2: Becker WN & Gerdemann JW Glomus etunicatus sp. nov. Mycotaxon 6: Bendavid-Val R, Rabinowitch HD, Katan J, Kapulnik Y Viability of VA mycororrhizal fungi following soil solarization and fumigation. Plant and Soil 195: Bernstein L Effects of salinity and sodicity on plant growth. Annu Rev Phytol 13: Bidartondo MI, Redecker D, Hijri I, Wiemken A, Bruns TD, Dominguez L, Sersic A, Leake JR, & Read DJ Epiparasitic plants specialized on arbuscular mycorrhizal fungi. Nature 419: Bonfante P & Perotto S Strategies of arbuscular mycorrhizal fungi when infecting host plants. New Phytol 130:3-21

113 Bonfante-Fosolo P Anatomy and morphology of VA Mycorrhizae. Di dalam : VA mycorrhizae. Powell CL & Bagyaraj DJ, editor. Florida : CRC Press. hlm Brundrett MC, Bougher N, Dells B, Grove & Malajczuk N Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. Canberra : ACIAR. Brundrett MC, Melville L & Peterson RL Practical methods in mycorrhizal research. Canada : Mycologue Publ. Brundrett MC, Jasper DA & Ashwath N Glomalean mycorrhizal fungi from tropical Australia (II. The effect of nutrient levels and host spesies on the isolation of fungi). Mycorrhiza 8 : Brundett MC, & Walker C Understanding the diversity of Glomelean fungi in tropical Australian habitats. Di dalam : Proceedings of International Conference on Mycorrhizas in sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems. Bogor Okt hlm Clark RB Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root colonization, and host plant growth and mineral acquisition at low ph. Plant and Soil 192 : Cooke MA, Widden P & O Halloran I Development of vesiculararbuscular mycorrhizae in sugar maple (Acer saccharum) and effects of base-cation ammendment on vesicle and arbuscle formation. Can J Bot 71 : Coperman RH, Martin CA, & Stutz JC Tomato growth in response to salinity and mycorrhizal fungi from saline or non-saline soils. Hort Science 31: Cordier Cell defense responses associated with localized and systemic resistance to Phytopthora parasitica induced in tomato by mycorrhizal fungus. Molecular Plant-Microbe Interaction 11: Cox GW Laboratory Manual of General Ecology. Ed ke 2. Iowa : Wim. C. Brown Co. Publ. Dubuoue. Cuenca G, & Meneses E Diversity paterns of arbuscular mycorrhizal fungi associated with cacao in Venezuela. Plant Soil. 183: Delvian Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutan pantai dan potensi pemanfaatannya (Studi kasus di hutan cagar alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ekamawanti HA Biodiversity of arbuscular mycorrhizal fungi in peat ecosystems in west Kalimantan. Di dalam : Proceedings of International Conference on Mycorrhizas in sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems. Bogor Okt hlm Ervanyenri Studi keanekaragaman dan potensi inokulan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di lahan gambut (Studi kasus di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Estaun V, Camprubi A, Calvet C Effects of temperature on colonisation and development of two isolates of Glomus mossae. Di dalam : Ascon- Aguilar C, Barea JM, editor. Proceedings of the Fourth European Symposium on mycorrhizas; European Commission Directorate-General 101

114 XII, Science, Research and Development. Granada July hlm Fitter AH, Heinemeyer A, Husband R, Olsen E & Ridgway KP, dan Staddon PL Global environmental change and the biology of arbuscular mycorrhizas : gaps and challenges. Can J Bot 82: Friese CF, & Allen MF The spread of VA mycorrhizal fungal hyphae in the soil: Inoculum types and external hyphal architecture. Mycologia 83: Garcia-Garido JM & Ocampo JA Regulation of the plant defence response in arbuscular mycorrhizal symbiosis. J Exp Bot 53 : Gavito ME, Schweiger P, & Jakobsen I P uptake by mycorrhizal hyphae: effect of soil temperature and atmosheric CO 2 enrichment. Global Change Biol 9: Gerdemann JW & Trappe JM The Endogonaceae in the Pacific Northwest. Mycologia Memoir No pp. Giovanneti M, Avio L, Sbrana C & Citernesi AS. 1993a. Factors affecting appresorium development in the vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae (Nicol. & Gerd.) Gerd. Trappe. New Phytol 123: Giovanneti M, Avio L, Sbrana C, Citernesi AS & Logi C. 1993b. Differential hypha morphogenesis in arbucular mycorrhizal fungi during pre-infetion stages. New Phytol 125: Giovanneti M & Mosse B An evaluation of technique for measuring vesicular-arbuscular mycorrhizal infection in roots. New Phytol 84: Giovanneti M Seasonal variations of vesicular-arbuscular mycorrhizas and endogonaceous spores in a maritime sand dune. Trans Brit Mycol Soc 84: Guillemin JP, Lemoine MC, Gianinazzi-Pearson V, Gianinazzi S Influence of arbuscular and ericoid mycorrhiza formation on level of photosynthetic pigments in host plants. Di dalam : Azcon-Aguilar C. Barea JM, editor. Mycorrhizas in integrated systems from genes to plant development. Di dalam : Proceedings of the fourth European Symposium on Mycorrhizas. European Commision Directorate-General XII, Science, Research and Development. Granada July hlm Gupta R & Krisnamurthy KV Response of mycorrhizal and nonmycorrhizal Arachis hypogaea to NaCl and acid stress. Mycorrhiza 6: Gupta RK Drought response in fungi and mycorrhizal plants. Di dalam Arora D.K. Rai, B. Mukerji, K.G. dan Knudsen, G.R, editor. Handbook of Applied Micology Vol.1 Soil and Plants. New York : Marcel Dekker. hlm Hall IR Species and mycorrhizal infection of New Zealand Endogonaceae. Trans Br Mycol Soc 68: Hardjowigeno S Ilmu tanah. Jakarta : PT Media Tama Sarana Perkasa. Harley JL. & Smith SE Mycorrhorizal symbiosis. London-New York : Academic Press. 102

115 Hayman DS Endogone spore numbers in soil and vesicular arbuscular mycorrhiza in wheat as influenced by season and oil treatment. Trans Br Mycol Soc 54: Heijden MGA van der, Boller T, Wiemken A, & Sanders IR Different arbuscular mycorrhizal fungal species are potential determinants of plant community structure. Plant Ecology 79: Heijden MGA van der et al Mycorrhizal fungal diversity determines plant biodiversity, ecosystem variability and productivity. Nature 396: Hetrick BAD Ecology of vesicular-arbuscular mycorrhiza fungi. Di dalam : Powell CL and Bagyaraj DJ, editor. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza.. Florida : CRC Press. hlm INVAM Classification. [Nov 2004 & Nov 2005] Iqbal SH & Bushra P Some spesies of Sclerocystis (Endogonaceae) from Pakistan. Trans Mycol Soc Japan 21: Jacobby B Mechanisms involved in salt tolerance of plant and crop stress, Ed ke 2. New York: Marcel Dekker, Inc. Johnson D, Ijdo M, Genney DR, Anderson IC & Alexander IJ How do plants regulate the function, community structure, and diversity of mycorrhizal fungi?. J Exp Bot 56(417): Janos DP & Trappe JM, Two new Acaulospora species from tropical America. Mycotaxon 15: Juniper S & Abbot LK A change in the concentration of NaCl in soil alters the rate of hyphal extension of some arbuscular mycorrhizal fungi. J Bot 82: Karagiannidis N, Nikolaou N & Mattheou A Influence of 3 vesicular arbucular mycorrhizal species on the growth and nutrient uptake of grapevine rootstocks and one table grape cultivar. Vitis 34(2): Khan AG Occurrence and importance of mycorrhizae in aquatic trees of New South Wales, Australia. Mycorrhiza 3: Kim CK & Weber DJ Distribution of VA mycorrhizal spore population and infectivity of saffron (Croccus sativus) in Iran. New Phytol 88: Kling M & Jakobsen I Arbucular mycorrhiza in soil quality assessment. Ambio 27(1): Koske RE, Gemma JN, & Olexia PD Glomus microaggregatum, a new species in the Endogonaceae. Mycotaxon 26: Koske RE &.Gemma JE A modified procedure for staining roots to detect VA mycorrhizas. Mycol Res 92(4): Kramadibrata K Jenis-jenis jamur Glomales dari DAS Cisadane. J Mikrobiol Indones 2(2): Landwehr M, Hildebrandt U, Wilde P, Nawrath K, Toth T, Biro B & Bothe H The arbuscular mycorrhizal fungus Glomus geosporum in European saline, sodic and gypsum soils. Mycorrhiza. 12(4) : Leiwakabessy FM, Wahjudin UM, & Suwarno Kesuburan tanah. Bogor : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Lucia Y Cendawan Mikoriza arbuskula pada rizosfer tanaman manggis dan peranannya terhadap pertumbuhan bibit manggis (Garcinia mangostana L.). [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 103

116 Ludwig-Muller J, Kaldorf M, Sutter EG, Epstein E Indole-3 butyric acid (IBA) is enhanced in young maize (Zea mays L.) roots colonized with the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus intraradices. Plant Sci 125: Marcum KB Salinity tolerance in turf grasses. Di dalam : Handbook of plant and crop stress. Inc. New York : Marcel Dekker. hlm Marschner H Mineral nutrition of higher plants.. London. San Diego. New York. Boston Sydney. Tokyo. Toronto : Academic Press. Harcourt Brace & Company Mathur N, & Vyas A Influence of arbuscular mycorrhizae on biomass production, nutrient uptake and physiological changes in Ziziphus mauritiana Lam. under water stress. J Arid environ 45: Meryweather J & Fitter A The arbuscular mycorrhizal fungi of hyacinthoides non-scripta. I. Diversity of fungal taxa. New Phytol 138(1): Morton JB & Benny GL Revised classification of arbuscular mycorrhizal fungi (Zygomycetes): a new order, Glomales, two new suborders, Glomineae and Gigasporineae, and two new families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an emendation of Glomaceae. Mycotaxon 37: Morton JB & Redecker D Two new families of Glomales, Archaeosporaceae and Paraglomaceae, with two new genera Archaeospora and Paraglomus, based on concordant molecular and morphological characters. Mycologia 93(1): Muin A Pertumbuhan anakan ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) dengan inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada berbagai intensitas cahaya dan dosis fosfat alam. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munyanziza E, Kehri HK & Bagyaraj DJ Agricultural intensification, in soil biodiversity and agro-ecosystem function in the tropic : the role of mycorrhiza in crops and trees. Appl Soil Ecol 6(1): Nicolson TH & Gerdemann JW Mycorrhizal Endogone spesies. Mycologia 60: Oehl F, Sieverding E, Ineichen K, Mäder P, Boller T & Wiemken A Impact of land use intensity on the spesies diversity of arbuscular mycorrhizal fungi in agroecosystems of Central Europe. Appl Environ Microbiol 6(5): Orcutt DM & Nielsen ET The Physiology of Plants under stress : soil and biotic factors. New York : John Wiley & Sons, Inc. Pang PC, & Paul A Effect of VAM on 14 C and and 15 N ditribution in nodulated faba beans. Can J Soil Sci 60: Poljakoff-Mayber A & Gale J Morphological and anatomical changes in plants as a response to salinity stress. Di dalam : Plants in saline environments. New York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. hlm Pozo MJ, Cordier C, Dumas-Gaudot, Gianinazzi S, Barea JM.& Aquilar CA Localized versus systemic effect of arbuscular mycorrhizal fungi on 104

117 defence responses to Phytophtora infection in tomato plants. J Exp Bot 53 : Pramudji & Purnomo LH Mangrove sebagai tanaman penghijauan pantai. Jakarta : LIPI, Pusat Penelitian Oceanografi. Prastyo H Cendawan Mikoriza arbuskula pada bambu. [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Purwanto A Studi hubungan salinitas dengan kelimpahan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada lahan hutan pantai dan hutan mangrove di cagar alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Ragupathy S, & Mahadevan A VAM distribution influenced by salinity gradient in coastal tropical forest. Di dalam : Soerjanegara I & Supriyanto, editor. Proceeding of second Asian Conference on Mycorrhiza. Bogor : BIOTROP Special Publication. No. 42. SEAMEO BIOTROP. hlm Redhead JD Endotrophic mychorrhizas in Nigeria : Species of the Endogonaceae and their distribution. Trans Brit Myc Soc 69: Ruiz-Lazano JM, Azcon R & Gomez M Alleviation of salt stress by arbuscular-mycorrhizal Glomus spesies in Lactuca sativa plants. Physiol Plant 95: Ruiz-Lazano JM & Azcon R Symbiotic efficiency and infectivity of an autochthonous arbuscular mycorrhizal Glomus sp. from saline and Glomus deserticola under salinity. Mycorrhiza 10: Schenk NC & Perez Y Manual for identification of VA mycorrhizal fungi. Ed ke 3. INVAM. University of Florida. Gainesville. hlm 286. Schenk, NC & Smith GS Additional new unreported species of mycorrhizal fungi (Endogonaceae) from Florida. Mycologia 74: Schenk NC, Spain JL, Sieverding E & Howeler RH Several new and unreported vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi (Endogonaceae) from Colombia. Mycologia 76: Sieverding E Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agrosystems. Germany : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). Sieverding E Two new species of vesicular arbuscular mycorrhizal fungi in the endogonaceae from tropical highlands of Africa. Angew Botanik 62: Sieverding E, Toro and Mosquera O Biomass production and nutrient concentrations in spores of VA mycorrhizal fungi. Soil Biol Biochem. 21:69-72 Simard SW, & Durall DM Mycorrhizal networks : a review of their extent, function, and importance. Can J Bot 82: Smith SE & Read DJ Mycorrhizal Symbiosis. London : Academic Press. Spain, J.L, E. Sieverding, & N.C. Schenk Gigaspora ramisporophora : A new species with novel sporophores from Brazil. Mycotaxon 34: Sumner ME Handbook of soil science. Washington, DC : CRC Press. Schüßler A, Schwarzott D, Walker C A new fungal phylum, the Glomeromycota: phylogeny and evolution. Mycol Res 105: Tan KH Principles of soil chemistry. New York : Amcel Dekker, Inc. 105

118 Tilman D, Reich PB, Knops J, Wedin D, Mielke T, & Lehman C Diversity and productivity in long-term grassland. Science 294: Trappe JM, Bloss HE, & Menge JA Glomus deserticola sp. nov. Mycotaxon 20 : Trappe JM Three New Endogonaceae: Glomus constricius, Sclerocystis clavispora, and Acaulospora scrobiculata. Mycotaxon 6: Walker C & Schüßler A Nomenclatural clarifications and new taxa in the Glomeromycota. Mycol Res 108: Walker C Species in the Endogonaceae: A new species (Glomus occultum) and a new combination (Glomus geosporum). Mycotaxon 15: Walker C & Hall I.R Lectotypification of Scutellospora auriglobosa (Glomales). Mycol Res 95(4): Wang B, Funakoshi DM, Dalpe Y, & Hamel C Phosphorus absorption and translocation to host plants by arbuscular mycorrhizal fungi at low rootzone temperature. Mycorrhiza 12: Wani SP, McGill WB & Tewari JP Mycorrhizal and common root infection and nutrient accumulation in barley grown on breton loam using N from biological fixation or fertilizer. Bio Fert Soils 12(1): Widden P The morphology of vesicular-arbuscular mycorrhizae in Clintonia borealis and Mediola virgiana. Can J Bot : Widiastuti H Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit pada tanah masam sebagai dasar pengembangan teknologi aplikasi dini. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widiastuti H & Kramadibrata K Jamur mikoriza bervesikula arbuskula di beberapa tanah masam dari Jawa Barat. Menara perkebunan 60:9-20. Wu CG & Chen ZC The Endogonaceae of Taiwan: I. A preliminary investigation on Endogonaceae of bamboo vegetation at Chi-Tou areas, Central Taiwan. Taiwania 31: Young A Tropical soil and soil survey. Cambridge : Cambridge University Press. 106

119 LAMPIRAN 1 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran seluruh Semenanjung Tipe vegetasi : pantai berpasir Jumlah Titik : 24 Titik Lokasi Pengamatan : Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat Fase pertumbuhan : Pohon(O > 62.8 cm) dan Tiang( O cm) Tgl. Pengamatan : 1-10 Februari 2003 No. Suku Nama Botani Fase Jumlah Juml Kerapatan Dominasi Frekuensi NP Jenis Tumb. tumbuh (N) Titik K(I) KR(i) KM(i) DM(i) DR(i) FM(i) FR(i) (%) 1 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. pohon Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. pohon Rubiaceae Guettarda speciosa L. pohon Hippocraticaceae Salacia sp. pohon Fabaceae Pongamia pinnata (l.) Pierre pohon Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. pohon Combretaceae Terminalia cattapa L. pohon Rubiaceae Morinda citrifolia L var.bracteata (Roxb) Hook.f. tiang Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr. pohon Moraceae Ficus variegata Bl. pohon Rutaceae Micromelum minutum (Forst. f.) W & A. pohon Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. ssp.similis (Bl.) Borss pohon Clusiaceae Calophyllum inophyllum L. pohon Ebenaceae Diospyros maritima Bl. var calycina K &V pohon Apocynaceae Cerbera manghas L. pohon Apocynaceae Rauvolfia reflexa T & B pohon Meliaceae Dysoxylum gaudichaudianum (A. Juss.) Miq. pohon Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell. pohon Arecaceae Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl. tiang Lauraceae Cryptocarya ferrea Bl. pohon Malvaceae Thespesia populnea Solland ex. Correa pohon Moraceae Maclura cochinchinensis (Lour.) Corner tiang Moraceae Ficus septica Burm. F. pohon Lauraceae Cinnamomum inners Reinw. ex.bl. pohon Euphorbiaceae Macaranga tanarius L. pohon Lauraceae Cryptocarya nitens K.&V. pohon Euphorbiaceae Bischofia javanica Bl. pohon Euphorbiaceae Bridelia insulana Hance. tiang Myrtaceae Syzygium pseudoformosum (King) Merr.& Perry pohon Gnetacea Gnetum latifolium Bl. tiang Oxalidaceae Averrhoa bilimbi L. pohon Moraceae Ficus ampelas Burm.f. pohon Jumlah

120 LAMPIRAN 2 : Hasil Analisa Vegetasi Metoda Garis Menyinggung Seluruh Semenanjung Tipe Vegetasi : pantai berpasir Lokasi Pengamatan : Semenanjung Ujung Genteng, Sukabumi-Jawa Barat Fase Pertumbuhan : Anakan dan tumbuhan bawah Jumlah interval : 46 Total seluruh panjang transek : 230 m Panjang Interval : 5 m Tgl. Pengamatan : 11 Februari 2003 No. Nama Botani Fase N I Interval 1/M Kerapatan Dominasi Frekuensi NP Famili Spesies Tumbuhan Pertum tercatat K(i) KR(i) D(i) DR(i) F(i) FR(i) (%) buhan Jenis (n/m) (%) (%) (%) (%) 1 Piperaceae Piper cf. baccatum Bl. T.bwh Davaliaceae Nephrolepis radicans (Burm.f) Kuhn. T.bwh Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. anakan Araceae Scindapsus hederaceus Schott. T.bwh Ebenaceae Diospyros maritima Bl. anakan Vitaceae Tetrastigma lanceolarium (Roxb.) Planch. T.bwh Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. anakan Poaceae Ischaemum muticum L. rumput Myrsinaceae Ardisia humilis Bl. T.bwh Meliaceae Dysoxylum arborescens ( Bl.) Miq. anakan Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell anakan Acanthaceae Lipidagathis javanica Bl.var.parviflora(Bl.)Bremek T.bwh Rubiaceae Guettarda speciosa L. anakan Poaceae Pennisetum purpureum Schumach. rumput Sapotaceae Planchonella obovata (R.Br.) Pierre anakan Myrtaceae Syzygium pseudoformosum (King) Merr. & Perry anakan Davaliaceae Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott. T.bwh Meliaceae Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. anakan Convolvulaceae Ipomoea pes-caprae (L.) R. Br. T.bwh Piperaceae Piper sarmentosum Roxb. ex. Hunter T.bwh Araceae Amorphophallus sp. T.bwh Lauraceae Cinnamomum iners Reinw. ex Bl. anakan Poaceae Axonopus compressus (Swartz.) Beauv rumput Sapindaceae Allophyllus cobbe (L.) Raeusch. T.bwh

121 No. Nama Botani Fase N I Interval 1/M Kerapatan Dominasi Frekuensi NP Famili Spesies Tumbuhan Pertum tercatat K(i) KR(i) D(i) DR(i) F(i) FR(i) (%) buhan Jenis (n/m) (%) (%) (%) (%) 25 Asteraceae Mikania cordata (Burm.f.) B.L. Robinson T.bwh Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr. anakan Asclepiadaceae Tylophora laevis Decne T.bwh Verbenaceae Stachytarpheta sp. T.bwh Rutaceae Micromelum minutum (Forst.f.) W & A. anakan Verbenaceae Lantana camara L. T.bwh Combretaceae Terminalia catappa L. anakan Rubiaceae Morinda citrifolia L var.bracteata (Roxb) Hook. f. anakan Menispermaceae Tinomiscium phytocrenoides Kurz. T.bwh Araceae Colocasia sp. T.bwh Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. anakan Gnetacea Gnetum latifolium Bl. anakan Oleaceae Jasminum sp. T.bwh Fabaceae Pongamia pinnata (L.) Pierre anakan Flagellariaceae Flagellaria indica L. T.bwh Moraceae Ficus sp1. anakan Apocynaceae Rauvolfia reflexa T & B anakan Goodeniaceae Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb. T.bwh Polypodiaceae Phymatosorus sp. T.bwh Euphorbiaceae Suregada glomerulata (Bl.) Baill. T.bwh Dioscoreaceae Dioscorea bulbifera L. T.bwh Leeaceae Leea aequata L. T.bwh Liliaceae Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br. T.bwh Moraceae Ficus sp2. anakan Polypodiaceae Microsorum sp. T.bwh Oxalidaceae Averrhoa bilimbi L. anakan Asteraceae Wedelia biflora (L.) DC. T.bwh Jumlah

122 LAMPIRAN 3 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 0-70 m dari Pantai (P) Tipe vegetasi : pantai berpasir Jumlah Titik : 10 Titik Lokasi Pengamatan : Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat Fase pertumbuhan : Pohon(O > 62.8 cm) dan Tgl. Pengamatan : 1-10 Februari 2003 Tiang( O cm) Kadar garam pantai : μs/cm Fase Jumlah Juml Kerapatan Dominasi Frekuensi NP No. Famili Nama Spesies Tumbuhan pertumb. (N) Titik K(I) KR(i) KM(i) DM(i) DR(i) FM(i) FR(i) (%) 1 Fabaceae Pongamia pinnata (L.) Pierre Pohon Combretaceae Terminalia cattapa L. Pohon Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr Pohon Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis(bl.) Borss. Pohon Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. Pohon Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon Apocynaceae Cerbera manghas L. Pohon Apocynaceae Rauvolfia reflexa T.& B. Pohon Malvaceae Thespesia populnea Solland. ex Correa Pohon Rubiaceae Morinda citrifolia L.var bracteata (Roxb.) Hook.f. Tiang Moraceae Ficus septica Burm. f. Pohon Ebenaceae Diospyros maritima Bl. var calycina K.&V. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon Jumlah

123 LAMPIRAN 4 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran m dari Pantai (T) Tipe vegetasi : pantai berpasir Jumlah Titik : 9 Titik Lokasi Pengamatan : Ujung Genteng. Sukabumi. Jawa Barat Fase pertumbuhan : Pohon(O > 62.8 cm) dan Tgl. Pengamatan : 1-10 Februari 2003 Tiang( O cm) Kadar garam : μs/cm Fase Jumlah Juml Kerapatan Dominasi Frekuensi NP No. Famili Nama Spesies Tumbuhan pertumb (N) Titik K(I) KR(i) KM(i) DM(i) DR(i) FM(i) FR(i) (%) 1 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Hippocraticaceae Salacia sp. Pohon Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. Pohon Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. Pohon Clusiaceae Calophyllum inophyllum Mohd. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon Fabaceae Erythrina orientalis (L.) Murr Pohon Arecaceae Oncosperma tigillaria (Jack) Ridl. Tiang Lauraceae Cryptocarya ferrea Bl. Pohon Combretaceae Terminalia cattapa L. Pohon Euphorbiaceae Macaranga tanarius L. Pohon Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. ssp. Similis (Bl.) Borss. Pohon Lauraceae Cryptocarya nitens K.& V. Pohon Euphorbiaceae Bischofia javanica Bl. Pohon Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell. Pohon Myrtaceae Syzygium pseudoformosum (King) Merr. Pohon Gnetacea Gnetum latifolium Bl. Tiang Oxalidaceae Averrhoa bilimbi L. Pohon Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon Jumlah

124 LAMPIRAN 5 Hasil Analisa Vegetasi Metoda Kuadran 141m dari Pantai - Tengah Hutan (H) Tipe vegetasi : pantai berpasir Jumlah Titik : 9 Titik Lokasi Pengamatan : Ujung Genteng. Sukabumi. Jawa Barat Fase pertumbuhan : Pohon(O > 62.8 cm) dan Tgl. Pengamatan : 1-10 Pebruari 2003 Tiang( O cm) Kadar garam : 630 μs/cm Fase Jumlah Juml Kerapatan Dominasi Frekuensi NP No. Famili Nama Spesies Tumbuhan pertumb. (N) Titik K(I) KR(i) KM(i) DM(i) DR(i) FM(i) FR(i) (%) 1 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. Pohon Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. Pohon Rutaceae Micromelum minutum (Forster.f.)W.&.A. Pohon Moraceae Ficus variegata L. Pohon Ebenaceae Diospyros maritima Bl. Pohon Rubiaceae Morinda citrifolia L.var bracteata (Roxb.) Hook.f. Tiang Rubiaceae Guettarda speciosa L. Pohon Moraceae Maclura cochinchinensis Lour. Tiang Meliaceae D. gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. Pohon Anacardiaceae Buchanania arborescens (Bl.) F. Muell. Pohon Euphorbiaceae Bridelia insulana Hance. Pohon Moraceae Ficus ampelas Burm. f. Pohon Lauraceae Cinnamomum inners Reinw. Tiang Jumlah Keterangan : 1). Kerapatan total seluruh jenis 4). Frekuensi Mutlak jenis i (FMi) 8). Indeks Nilai Penting (NP) KI = Luas area (ha) FM(i) = Σtitik pengamatan yang diduduki jenis i NP = KR(i) + FR (i) + DR (i) d 2 titik pengamatan yg diduduki seluruh jenis (dimana d adalah jarak rata-rata seluruh jenis pohon dari titik pengamatan) 5). Frekuensi Relatif jenis i (FRi) 9). Nilai Kemiripan (Is) FR (i) = FMi Is = 2 W x 100%. dimana : 2). Kerapatan relatif jenis i (KRi) Σtotal FMi a + b KR = Σ individu jenis i x 100% Is = Nilai kemiripan Σ total seluruh jenis 6). Dominasi mutlak Jenis i (DMi) a = Jumlah nilai dari tegakan pertama DM (i) = Σluas bidang dasar jenis i b = Jumlah nilai dari tegakan kedua 3). Kerapatan Mutlak jenis i (KMi) atau Σpenutupan tajuk jenis i W = Jumlah nilai terkecil untuk masing- KM (i) = KRi x Σtotal KRi seluruh jenis masing jenis di dalam kedua tegakan 100 7). Dominasi Relatif Jenis i (DRi) yang diamati DR (i) = DMi x 100% ΣDMi

125 LAMPIRAN 6 Persentase Kolonisasi CMA di Lapang, Biakan Pot dan Anakan No. Famili Nama Botani % kolonisasi CMA Spesies Tumbuhan lapang pot Anakan 1 Anacardiaceae Buchanania arborescens (B.) Bl. 0.0% 25.5% 2 Apocynaceae Rauvolya sumatrana Jack. 5.6% 22.4% 3 Apocynaceae Cerbera manghas L. 0.0% 10.0% 76.2% 4 Araceae Scindapsus hederacens Schott % 5 Arecaceae Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl. 5.9% 24.7% 6 Clusiaceae Calophyllum inophyllum Mohd. 23.1% 34.8% 7 Combretaceae Terminalia cattapa L. 13.3% 31.1% 8 Ebenaceae Diospyros maritime Bl. 16.4% 25.3% 9 Euphorbiaceae Bridelia insulana Hance. 0.0% 13.3% 10 Euphorbiaceae Bischofia javanica Bl. 5.6% 46.9% 11 Euphorbiaceae Macaranga tanarius (L.) Muell.Arg. 20.0% 64.4% 12 Fabaceae Pongamia pinnata (L.) Pierre 27.2% 30.7% 13 Fabaceae Erythrina variegata L. 17.2% 35.7% 60.0% 14 Flagellariaceae Flagellaria indica L. 58.8% 15 Gnetacea Gnetum latifolium Bl. 15.8% 15.0% 16 Hernandiaceae Hernandia peltata Meissn. 22.9% 27.3% 12.5% 17 Hippocraticaceae Salacia sp. 26.7% 0.0% 18 Lauraceae Cryptocarya nitens K.&V. 8.3% 10.0% 19 Lauraceae Cryptocarya ferrea Bl. 6.3% 11.8% 20 Lauraceae Cinnamomum inners Reinw. 23.5% 26.5% 21 Liliaceae Pleomele elliptica (Thunb.) N.E. Br % 22 Malvaceae Thespesia populnea L. 7.8% 42.1% 23 Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. ssp. similis(bl.) Borss. 28.2% 46.6% 24 Meliaceae Dysoxylum parasiticum (Osb.) Kosterm. 21.8% 40.7% 50.0% 25 Meliaceae Dysoxylum gaudichaudianum (A. Juss.) Miq. 20.0% 34.4% 26 Moraceae Ficus ampelas Burm. f. 11.1% 13.3% 27 Moraceae Ficus variegata L. 13.7% 24.4% 28 Moraceae Ficus septica Burm. f. 21.1% 45.6% 29 Moraceae Cudrania cochinchinensis Lour. 20.0% 37.5% 30 Myrsinaceae Ardisia humilis Vahl. 50.0% 31 Myrtaceae Syzygium javanicum Miq. 16.3% 27.6% 63.2% 32 Myrtaceae Syzygium pseudoformosum (King) Merr.& Perry 5.6% 28.9% 33 Oxalidaceae Averrhoa bilimbi L. 5.6% 14.3% 34 Pandanaceae Pandanus tectorius Soland. ex Park. 21.5% 42.8% 94.9% 35 Rubiaceae Guettarda speciosa L. 16.2% 24.0% 36 Rubiaceae Morinda citrifolia L. var bracteata (Roxb.) Hook. f. 19.0% 28.0% 37 Rutaceae Micromelum minutum (Forster.f.) W.&.A. 10.0% 17.7% 38 Sapotaceae Planchonella obovata (R.Br.) Pierre 76.5% 113

126 LAMPIRAN 7 Sebaran CMA dan Tumbuhan di Semenanjung Ujung Genteng Zona No. CMA No. Jenis Tumbuhan Zona No. CMA No. Jenis Tumbuhan PB 1 A. foveata 1 Dysoxylum parasiticum TB 1 A. foveata 1 Dysoxylum parasiticum 2 A. longula 3 Guettarda speciosa 2 A. longula 2 Syzygium javanicum 3 A. scrobiculata 5 Pongamia pinnata 3 A. scrobiculata 4 Salacia sp. 4 A. tuberculata 6 Hernandia peltata 4 A. tuberculata 6 Hernandia peltata 6 G. cf. gigantea 10 Ficus variegata 6 G. cf. gigantea 9 Erythrina orientalis 7 G. ramisporophora 14 Diospyros maritima 7 G. ramisporophora 10 Ficus variegata 9 G. cf. deserticola 15 Cerbera manghas 9 G. cf. deserticola 18 Buchanania arborescens 10 G. etunicatum 16 Rauvolfia reflexa 10 G. etunicatum 19 Oncosperma tigillarium 11 G. geosporum 21 Thespesia populnea 11 G. geosporum 20 Cryptocarya ferrea 12 G. cf. microaggregatum 13 G. rubiforme 26 Cryptocarya nitens 13 G. rubiforme 14 G. tortuosum 27 Bischofia javanica 16 Glomus sp2. 15 Glomus sp1. 30 Gnetum latifolium 18 Glomus sp4 16 Glomus sp2. 31 Averrhoa bilimbi 21 P. occultum 17 Glomus sp3. 33 Pandanus tectorius 22 S. auriglobosa 18 Glomus sp4 19 Glomus sp5. PT 1 A. foveata 20 Glomus sp6. 2 A. longula 3 Guettarda speciosa 22 S. auriglobosa 3 A. scrobiculata 6 Hernandia peltata 4 A. tuberculata 7 Terminalia cattapa TH 1 A. foveata 1 Dysoxylum parasiticum 6 G. cf. gigantea 9 Erythrina orientalis 2 A. longula 2 Syzygium javanicum 7 G. ramisporophora 12 Hibiscus tiliaceus 3 A. scrobiculata 3 Guettarda speciosa 9 G. cf. deserticola 16 Rauvolfia reflexa 4 A. tuberculata 8 Morinda citrifolia 10 G. etunicatum 21 Thespesia populnea 6 G. cf. gigantea 10 Ficus variegata 11 G. geosporum 23 Ficus septica 8 G. clavisporum 11 Micromelum minutum 13 G. rubiforme 33 Pandanus tectorius 9 G. cf. deserticola 14 Diospyros maritime 19 Glomus sp5. 10 G. etunicatum 17 Dysoxylum gaudichaudianum 22 S. auriglobosa 11 G. geosporum 18 Buchanania arborescens 23 S. heterogama 13 G. rubiforme 22 Maclura cochinchinensis 14 G. tortuosum 24 Cinnamomum inners TT 1 A. foveata 2 Syzygium javanicum 15 Glomus sp1. 28 Bridelia insulana 2 A. longula 3 Guettarda speciosa 17 Glomus sp3. 32 Ficus ampelos 3 A. scrobiculata 6 Hernandia peltata 22 S. auriglobosa 33 Pandanus tectorius 4 A. tuberculata 7 Terminalia cattapa 5 A. cf. undulata 10 Ficus variegata Keterangan : 7 G. ramisporophora 12 Hibiscus tiliaceus PB: Pantai Barat 9 G. cf. deserticola 13 Calophyllum inophyllum PT: Pantai Timur 10 G. etunicatum 14 Rauvolfia reflexa TT: Tengah Timur 11 G. geosporum 25 Macaranga tanarius TB: Tengah Barat 22 S. auriglobosa 29 Syzygium pseudoformosum TH: Tengah Hutan

127 LAMPIRAN 8 Gambar Biakan Pot o Biakan Pot dengan Inang Pueraria phaseoloides dan Sorghum sp. Biakan Pot dengan inang anakan / tumbuhan bawah dari Lapang 115

128 LAMPIRAN 9 Kolonisasi CMA Spora CMA dalam jaringan akar Pandanus tectorius Arbuskula pada Planchonella obovata Hifa interpoint pada Pandanus tectorius Koil pada Pandanus tectorius 116

129 LAMPIRAN 10 Gambar Tumbuhan di Pantai Pandanus tectorius Guettarda speciosa Cerbera manghas Soneratia pinnata, tidak ter-plot, hanya <20 pohon Pongamia pinnata Terminalia cattapa 117

130 LAMPIRAN 11 Gambar Tumbuhan di Tengah Hutan Pohon Dysoxylum parasiticum Anakan Dysoxylum parasiticum (1) (2) Tumbuhan bawah : (1) Piper cf. baccatum dan (2) Scindapsus hederacens Pohon Syzygium javanicum roboh karena mencengkeram tanah berkarang rapuh di tengah hutan 118

131 LAMPIRAN 12 Gambar Semenanjung Ujung Genteng dan Base camp Penelitian 119

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI

KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) DI HUTAN PANTAI UJUNG GENTENG, SUKABUMI-JAWA BARAT RITA TRI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 ABSTRACT RITA TRI PUSPITASARI.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi

TINJAUAN PUSTAKA. dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi TINJAUAN PUSTAKA A. Fungi Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting dalam dunia pertanian, karena mikoriza memiliki kemampuan menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007).

TINJAUAN PUSTAKA. endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) pada jenis tanaman. (Harley and Smith, 1983 dalam Dewi, 2007). TINJAUAN PUSTAKA Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman (Brundrett, 1991). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Umumya mikoriza dibedakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa

TINJAUAN PUSTAKA. jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Mikoriza Istilah mikoriza diambil dari Bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur (mykos = miko) dan akar (rhiza). Jamur ini membentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang juga meningkat. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan sebuah istilah yang mendeskripsikan adanya hubungan

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan sebuah istilah yang mendeskripsikan adanya hubungan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Mikoriza merupakan sebuah istilah yang mendeskripsikan adanya hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara akar tanaman dengan fungi tertentu. Melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan suatu bentuk asoasiasi mutualisme antara cendawan (myces)

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan suatu bentuk asoasiasi mutualisme antara cendawan (myces) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Mikoriza merupakan suatu bentuk asoasiasi mutualisme antara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis mikoriza melibatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk kelangsungan hidupnya fungi berasosiasi dengan akar tanaman. Spora berkecambah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza merupakan asosiasi mutualistik antara jamur dengan akar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza merupakan asosiasi mutualistik antara jamur dengan akar BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikoriza Mikoriza merupakan asosiasi mutualistik antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi (Smith dan Read, 1997). Mikoriza banyak mendapat perhatian karena kemampuannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas kakao menempati peringkat ke tiga ekspor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mykes (cendawan) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan

TINJAUAN PUSTAKA. Mykes (cendawan) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Pembagian Mikoriza Kata mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Mykes (cendawan) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah simbiosis mutualistik, hubungan antara fungi dan akar

TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah simbiosis mutualistik, hubungan antara fungi dan akar 14 TINJAUAN PUSTAKA Fungi Mikoriza Arbuskula Mikoriza adalah simbiosis mutualistik, hubungan antara fungi dan akar tanaman. Beberapa fungi membentuk mantel yang melindungi akar, kadangkadang berambut,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mengenal Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) Mikoriza tersebar hampir di seluruh permukaan bumi dan dapat berasosiasi dengan sebagian besar tumbuhan. Menurut Smith dan Read (1997),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A B C

HASIL DAN PEMBAHASAN A B C 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Seleksi Limbah Organik sebagai Media Tumbuh A. niger mampu tumbuh pada semua media. Pertumbuhan spora dan propagul ditandai dengan terbentunya koloni setelah ditumbuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pupuk anorganik telah menjadi tradisi pada sistem. pertanian yang ada pada saat ini. Hal ini mulai dilakukan sejak

I. PENDAHULUAN. Penggunaan pupuk anorganik telah menjadi tradisi pada sistem. pertanian yang ada pada saat ini. Hal ini mulai dilakukan sejak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan pupuk anorganik telah menjadi tradisi pada sistem pertanian yang ada pada saat ini. Hal ini mulai dilakukan sejak revolusi hijau mulai digemakan ke seluruh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dapat bersimbiosis dengan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Namun pada

TINJAUAN PUSTAKA. dapat bersimbiosis dengan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Namun pada TINJAUAN PUSTAKA Sengon (Paraserienthes falcataria) adalah tanaman yang secara alami dapat bersimbiosis dengan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Namun pada kondisi lapangan keaktifan maksimal simbiosis tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ini kemudian disepakati oleh para pakar sebagai titik awal sejarah mikoriza.

TINJAUAN PUSTAKA. ini kemudian disepakati oleh para pakar sebagai titik awal sejarah mikoriza. TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Mikoriza Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berbagai upaya perbaikan tanah ultisol yang mendominasi tanah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Berbagai upaya perbaikan tanah ultisol yang mendominasi tanah di Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Berbagai upaya perbaikan tanah ultisol yang mendominasi tanah di Indonesia berupa konservasi tanah dan air secara fisik, kimia, dan biologi telah banyak dilakukan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dirusak, baik melalui penebangan pohon, perladangan berpindah maupun

TINJAUAN PUSTAKA. dirusak, baik melalui penebangan pohon, perladangan berpindah maupun TINJAUAN PUSTAKA 1. Lahan Produktif dan Lahan Non Produktif Ketika hutan yang merupakan vegetasi klimaks yang asli dan alami dirusak, baik melalui penebangan pohon, perladangan berpindah maupun kebakaran,

Lebih terperinci

MIKORIZA & POHON JATI

MIKORIZA & POHON JATI MIKORIZA & POHON JATI Kelompok 6 Faisal Aziz Prihantoro Aiditya Pamungkas Rischa Jayanty Amelia Islamiati Faifta Nandika Maya Ahmad Rizqi Kurniawan Septa Tri Farisna 1511100001 1511100011 1511100025 1511100027

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu mycos yang berarti cendawan, dan rhiza yang berarti akar. Mikoriza dikenal sebagai jamur tanah, karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Jenis A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan A.chinensis Lamk. dan A. indicus A. Rich. Jabon (A. cadamba Miq.) merupakan pohon yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah. Kelapa sawit menghasilkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembibitan Pembibitan merupakan langkah awal dari seluruh rangkaian kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit, yang sangat menentukan keberhasilan budidaya pertanaman. Melalui tahap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanah hutan di Indonesia pada umumnya berjenis ultisol. Menurut Buckman dan Brady (1982), di ultisol kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman dibatasi oleh faktor-faktor yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang berasal dari

I. PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang berasal dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang berasal dari daratan Afrika. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pertumbuhan tanaman buncis Setelah dilakukan penyiraman dengan volume penyiraman 121 ml (setengah kapasitas lapang), 242 ml (satu kapasitas lapang), dan 363 ml

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi Lahan Gambut. beserta vegetasi yang terdapat diatasnya, terbentuk di daerah yang topografinya

TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi Lahan Gambut. beserta vegetasi yang terdapat diatasnya, terbentuk di daerah yang topografinya 4 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Gambut Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya, terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tanaman monokotil tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tanaman monokotil tidak II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tanaman monokotil tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kopi (Coffea sp.) Kopi di Indonesia dapat tumbuh baik pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl). Beberapa klon tanaman kopi hasil introduksi dari luar negeri dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditi yang sangat

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditi yang sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditi yang sangat penting setelah padi, karena jagung merupakan salah satu tanaman pangan penghasil karbohidrat.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tanaman penutup tanah atau yang biasa disebut LCC (Legume Cover

BAB I. PENDAHULUAN. Tanaman penutup tanah atau yang biasa disebut LCC (Legume Cover BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman penutup tanah atau yang biasa disebut LCC (Legume Cover Crop) merupakan jenis tanaman kacang-kacangan yang biasanya digunakan untuk memperbaiki sifat fisik,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Kedelai. diberi nama nodul atau nodul akar. Nodul akar tanaman kedelai umumnya dapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Budidaya Kedelai Tanaman kedelai dapat mengikat Nitrogen di atmosfer melalui aktivitas bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri ini terbentuk di dalam akar tanaman yang diberi nama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinggi Tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sidik ragam pengamatan tinggi tanaman berpengaruh nyata (Lampiran 7), setelah dilakukan uji lanjut didapatkan hasil seperti Tabel 1. Tabel 1. Rerata tinggi

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berubah kembali ke asal karena adanya tambahan substansi, dan perubahan bentuk

TINJAUAN PUSTAKA. berubah kembali ke asal karena adanya tambahan substansi, dan perubahan bentuk TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan adalah peristiwa perubahan biologis yang terjadi pada makhluk hidup, berupa perubahan ukuran yang bersifat ireversibel. Ireversibel artinya tidak berubah

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yakni perbanyakan inokulum cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. Perbanyakan inokulum

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) dalam produksi semai di daerah-daerah tropis telah banyak diketahui dan diuji. Diantara jenis pohon yang diuji, sebagian besar adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nama mikoriza pertama kali digunakan oleh Frank pada tahun 1885 untuk menunjukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nama mikoriza pertama kali digunakan oleh Frank pada tahun 1885 untuk menunjukkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikoriza 2.1.1 Pengenalan Mikoriza Nama mikoriza pertama kali digunakan oleh Frank pada tahun 1885 untuk menunjukkan suatu struktur yang merupakan gabungan jamur akar pada Cupuliferae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon

TINJAUAN PUSTAKA. bekas tambang, dan pohon peneduh. Beberapa kelebihan tanaman jabon TINJAUAN PUSTAKA Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya, seperti

Lebih terperinci

Tugas Kelompok. Bentuk tersedia bagi tumbuhan Fungsi Gejala Kahat. Kelompok: N, P, K, Ca, Mg, S, B, Cu, Cl, Fe, Mn, Mo, Zn

Tugas Kelompok. Bentuk tersedia bagi tumbuhan Fungsi Gejala Kahat. Kelompok: N, P, K, Ca, Mg, S, B, Cu, Cl, Fe, Mn, Mo, Zn Unsur Hara Tugas Kelompok Bentuk tersedia bagi tumbuhan Fungsi Gejala Kahat Kelompok: N, P, K, Ca, Mg, S, B, Cu, Cl, Fe, Mn, Mo, Zn Unsur hara Esensial Non esensial Mako Mikro Unsur Hara esensial Syarat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

MIKORIZA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY. Mikoriza (Mycorrhizae): Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP.

MIKORIZA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY. Mikoriza (Mycorrhizae): Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY MIKORIZA Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta Jl. Ring Road Utara, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta e-mail: Sumarsih_03@yahoo.com

Lebih terperinci

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN Hubungan air tanah dan Tanaman Fungsi air bagi tanaman Menjaga tekanan sel Menjaga keseimbangan suhu Pelarut unsur hara Bahan fotosintesis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KELAPA SAWIT (STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN) TESIS Oleh NABILAH SIREGAR 117030049/BIO PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur 3

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur 3 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif mencapai 25 30 tahun. Tinggi tanaman monokotil ini dapat mencapai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Jumlah Spora Sebelum Trapping Hasil pengamatan jumlah spora pada kedua jenis lahan sayur dan semak sebelum trapping disajikan pada Tabel 3. Lahan sayuran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Syarat Tumbuh Tanaman Selada (Lactuca sativa L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Syarat Tumbuh Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Syarat Tumbuh Tanaman Selada (Lactuca sativa L.) Tanaman selada (Lactuca sativa L.) merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili Compositae. Kedudukan tanaman selada

Lebih terperinci

II. TNJAUAN PUSTAKA. klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu:

II. TNJAUAN PUSTAKA. klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang cukup dikenal yaitu: 4 II. TNJAUAN PUSTAKA A. Mahoni Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni Jack) merupakan salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasinya termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan penduduk yang besar. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk akan berakibat meningkatnya kebutuhan akan pangan. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum. L) dimanfaatkan sebagai bahan baku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum. L) dimanfaatkan sebagai bahan baku BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tebu (Saccharum officinarum L.) Tanaman tebu (Saccharum officinarum. L) dimanfaatkan sebagai bahan baku utama dalam industri gula. Bagian lainnya dapat pula dimanfaatkan dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Padi sawah dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu : padi sawah (lahan yang cukup memperoleh air, digenangi waktu-waktu tertentu terutama musim tanam sampai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kedelai Varietas Detam-1. Kegunaan utama kedelai hitam di Indonesia yaitu sebagai bahan baku

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kedelai Varietas Detam-1. Kegunaan utama kedelai hitam di Indonesia yaitu sebagai bahan baku II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedelai Varietas Detam-1 Kegunaan utama kedelai hitam di Indonesia yaitu sebagai bahan baku industri kecap. Keuntungannya selain meningkatkan kualitas kecap, juga berpotensi meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan di Indonesia, baik sebagai bahan makanan manusia, pakan ternak maupun bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun belum dibarengi dengan program operasional yang memadai. Melalui program revitalisasi

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA MATERI KULIAH BIOTEKNOLOGI TANAH UPNVY TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. Jurusan Manajemen Sumber Daya Lahan UPN Veteran Yogyakarta Jl. Ring Road Utara, Condongcatur,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Padi Tanaman padi dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan ke dalam divisio Spermatophyta, dengan sub division Angiospermae, termasuk ke dalam kelas monocotyledoneae,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA. 2. Pemilihan mikroba pelarut fosfat CONTOH ISOLAT DARI TANAH VERTISOL GADING GUNUNG KIDUL

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA. 2. Pemilihan mikroba pelarut fosfat CONTOH ISOLAT DARI TANAH VERTISOL GADING GUNUNG KIDUL MATERI KULIAH BIOTEKNOLOGI PERTANIAN UPNVY TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. FP UPN Veteran Yogyakarta Jl. Ring Road Utara, Condongcatur, Sleman, Yogyakarta Telp:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus

BAB I PENDAHULUAN. bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan produk pertanian semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, sehingga bahan pangan yang tersedia harus mencukupi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap trapping mikoriza. jagung pada tiga media tanam yaitu indigenous tanah Mediteran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap trapping mikoriza. jagung pada tiga media tanam yaitu indigenous tanah Mediteran IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap trapping mikoriza Tahap trapping atau perbanyakan mikoriza dilakukan dengan menanam jagung pada tiga media tanam yaitu indigenous tanah Mediteran Gunungkidul, rhizosfer

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi dan akar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi dan akar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi dan akar tumbuhan tingkat tinggi. Bentuk asosiasi yang terjadi antara fungi dengan

Lebih terperinci

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme : TANAH Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah Hubungan tanah dan organisme : Bagian atas lapisan kerak bumi yang mengalami penghawaan dan dipengaruhi oleh tumbuhan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA

TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA MATERI KULIAH BIOLOGI TANAH UPNVY TEKNOLOGI PELARUTAN FOSFAT MENGGUNAKAN MIKROBA Oleh: Ir. Sri Sumarsih, MP. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN Veteran Yogyakarta Jl. Ring Road Utara, Condongcatur,

Lebih terperinci

JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DI LAHAN GAMBUT DESA AEK NAULI, KECAMATAN POLLUNG, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Deni Elfiati Delvian PS KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN USU PENDAHULUAN Mikoriza merupakan bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patologi hutan dari Jerman (Handayanto & Hairiah, 2007). dikelompokkan menjadi ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza/arbuscular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patologi hutan dari Jerman (Handayanto & Hairiah, 2007). dikelompokkan menjadi ektomikoriza (ECM) dan endomikoriza/arbuscular 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Mikoriza adalah asosiasi simbiotik antara akar tanaman dengan jamur (Hajoeningtijas, 2012). Istilah mikoriza (jamur akar) pertama kali diterapkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Manfaat Mikoriza Mikoriza adalah suatu organisme yang hidup secara simbiosis mutualistik antara cendawan dan akar tanaman tingkat tinggi. Bentuk asosiasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merill.), merupakan salah satu sumber protein penting di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman kedelai

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari berbagai jenis makanan

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari berbagai jenis makanan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari berbagai jenis makanan yang salah satunya adalah cokelat. Cokelat dihasilkan dari biji buah kakao yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tumbuhan memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi lingkungan tempat tumbuhan berada selalu mengalami perubahan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Umum Penelitian Pada penelitian ini semua jenis tanaman legum yang akan diamati (Desmodium sp, Indigofera sp, L. leucocephala dan S. scabra) ditanam dengan menggunakan anakan/pols

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah padi dan jagung. Komoditas kedelai saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan pangan dan bahan baku

Lebih terperinci

Gambar 2. Centrosema pubescens

Gambar 2. Centrosema pubescens TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media

Lebih terperinci

SULISTIYOWATI A

SULISTIYOWATI A KOMPATIBILITAS TANAMAN TOMAT DAN CABAI DENGAN KOMBINASI PUPUK ORGANIK DAN HAYATI (CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA) NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : SULISTIYOWATI A 420 090 161 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari areal pertanaman cabai yang menempati areal terluas diantara

Lebih terperinci