SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F"

Transkripsi

1 SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR Oleh : ROSARIA F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ROSARIA F Dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1985 Di Serang Banten Tanggal lulus: 12 Juli 2007 Bogor, 25 Juli 2007 Menyetujui, Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

3 STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ROSARIA F DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

4 Rosaria. F Studi Keamanan Cabe Giling di kota Bogor. Dibawah Bimbingan Prof. Dr. Winiati P. Rahayu. RINGKASAN Masalah keamanan pangan selalu menarik perhatian masyarakat dan orangorang yang terkait dalam bidang pangan. Bahan baku dapat menjadi salah satu aspek yang dapat menimbulkan masalah keamanan pangan dan cabe merupakan bahan baku yang banyak digunakan untuk pengolahan pangan. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling sehingga dapat diketahui risiko keamanan pangannya. Berdasarkan survei terhadap 20 orang pedagang, umumnya cabe giling yang beredar di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah dan penambahan garam, dan air. Namun berdasarkan analisis keamanan cabe giling menunjukkan bahwa selain penambahan garam NaCl yang berkisar 4,7-6,9 (%b/b), seluruh sampel cabe giling juga positif mengandung natrium benzoat yang berkisar ppm. Terdapat sekitar 33.3% pedagang yang menambahkan natrium benzoat melebihi batas maksimum yang diizinkan. Selain penggunaan benzoat yang melebihi batas, 36% sampel cabe giling positif mengandung Rhodamin B yang merupakan pewarna yang dilarang digunakan untuk pangan. Cabe giling memiliki kadar air 71,6 86,8% (b/b) dan ph 4,7-5.6 sehingga memungkinkan sejumlah mikroba dapat tumbuh pada medium tersebut. Hasil analisis mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba pada cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor berkisar antara 7.9 x x 10 7 koloni/g. Sedangkan untuk jumlah kapang dan kamir berkisar 9.5 x x 10 5 koloni/g, bakteri pembentuk spora berkisar 1.2 x x 10 4 koloni/g, jumlah S. aureus berkisar 5.2 x x 10 4 koloni/g, koliform < MPN/g dan hasil kualitatif E. coli menunjukkan 62.5% sampel positif E. coli. Cabe giling di pasar tradisional sering kali tidak habis terjual dalam satu hari karena hanya 25% pedagang yang mengaku cabe gilingnya habis terjual tiap hari. Cabe giling yang tersisa tersebut biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Sebanyak 85% pedagang menyimpan sisa cabe giling hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es, sedangkan 15% pedagang menyimpannya dalam lemari es dan 5% pedagang mengaku membiarkan menyimpannya dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es. Umumnya (70%) pedagang mengaku cabe giling yang mereka jual dapat bertahan 2 hari, dan 15% pedagang mengatakan cabe giling yang mereka jual dapat bertahan hingga >8 hari. Pada studi penyimpanan, cabe giling dengan penambahan garam 6% hanya bertahan 1 hari, sedangkan dengan penambahan benzoat 500 ppm cabe giling masih bagus hingga 5 hari, dan penambahan benzoat 1000 ppm dapat memperpanjang daya tahan cabe giling hingga 12 hari.

5 KATA PENGANTAR Bismillahirromanirrohim, Alhamdulillah penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Shalawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, SAW, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir, yang berjudul: STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Pihak-pihak tersebut antara lain: 1. Ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan penulis. 2. Bapak Dr. Sukarno, MS dan Ibu Ir. Elvira Syamsir, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Bapak H. Rusdi Sayuti dan Ibu Hj. Komala (Ayah-Bunda), Agus, Agung, yang selalu memberikan dukungan moril dan materil yang tak terhingga selama ini. 4. Saudara Azis Mustiko atas perhatian dan dorongan semangat kepada penulis. 5. Laboran dan Pusatakawan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 6. KRUCIL: Rucit, Nisa, Epen, Irma, Abdy, Ika, Iin, Dini, Wati, Dian, Indach, dan teman-teman ITP 40, 41, 39. Terima kasih banyak atas kebersamaan dan kekompakannya selama ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dan telah banyak mendukung penulis selama ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Juli 2007 Penulis

6 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI.. ii DAFTAR TABEL. iv DAFTAR GAMBAR. v DAFTAR LAMPIRAN. vi I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... B. TUJUAN... II. TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L. )... B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH... C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Bahan Pengawet Bahan Pewarna... III. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU B. BAHAN DAN ALAT... C. METODE PENELITIAN Kerangka Penelitian Studi Pendahuluan Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial Studi Penyimpanan Analisis

7 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor Produksi Cabe Giling Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling 4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar.. B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL 1. Keamanan Kimiawi Cabe Giling Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling... C. STUDI PENYIMPANAN V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA 65 LAMPIRAN... 70

8 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia cabe merah segar... 5 Tabel 2. Zat warna yang diizinkan di Indonesia Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform Tabel 6. Uji jenis koliform Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling Tabel 9. Hasil kualitatif Rhodamin B Tabel 10. Mutu mikrobiologi cabe giling Tabel 11. Pengamatan visual cabe giling hari ke Tabel 12. Pengamatan visual kerusakan cabe giling selama penyimpanan.. 57

9 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian Gambar 2. Diagram alir pembuatan cabe giling kontrol Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual Gambar 6. Daya tahan cabe giling Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar 32 Gambar 9. Jumlah total mikroba selama penyimpanan Gambar 10. Pengamatan kerusakan cabe giling selama penyimpanan.. 59 Gambar 11. Jumlah kapang kamir selama penyimpanan Gambar 12. Jumlah bakteri pembentuk spora (koloni/g) selama penyimpanan Gambar 13. Nilai ph cabe giling selama penyimpanan Halaman

10 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuisioner untuk pedagang cabe giling Lampiran 2. Identitas Pedagang cabe giling yang bersedia jadi responden Lampiran 3. Data hasil kuisioner Lampiran 4. Identitas cabe giling komersial yang menjadi sampel analisis keamanan Lampiran 5. Hasil uji one way cabe giling komersial Lampiran 6a. Kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B Lampiran 6b. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling A Lampiran 6c. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling B Lampiran 6d. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling C Lampiran 6e. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling D Lampiran 6f. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling E Lampiran 6g. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling F Lampiran 6h. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling G Lampiran 6i. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling H Lampiran 6j. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling I Lampiran 6k. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling Lampiran 6l. J Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling K Lampiran 6m. Kurva serapan maksimum analisis Rhodamin B untuk cabe giling L Lampiran 7. Hasil pengamatan TPC (koloni/g) cabe giling Lampiran 8. Hasil pengamatan Kapang dan kamir (koloni/g) cabe giling Lampiran 9. Hasil pengamatan S. aureus (koloni/g) cabe giling Lampiran 10. Hasil pengamatan Koliform (MPN/g) dan E coli (kualitatif) cabe giling 86 Lampiran 11. Hasil pengamatan Bakteri pembentuk spora cabe giling Lampiran 12. Pengamatan nilai ph cabe giling selama penyimpanan Halaman

11 Lampiran 13 Hasil uji one way cabe giling selama penyimpanan Lampiran 14. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (tanpa penambahan Na-benzoat) selama penyimpanan Lampiran 15 Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 500 ppm) selama penyimpanan Lampiran 16. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling (+ Na-benzoat 1000 ppm) selama penyimpanan. 91 Lampiran 17. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling G selama penyimpanan Lampiran 18. Hasil pengamatan mikrobiologi cabe giling K selama penyimpanan... 93

12 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini masalah keamanan pangan sangat menarik perhatian masyarakat dan orang-orang yang terkait dalam bidang pangan. Penyebab potensial utama masalah pangan terletak pada kenyataan bahwa sebelum mencapai konsumen, umumnya pangan terlebih dahulu melalui mata rantai produksi dan rantai pendistribusian yang kompleks serta panjang. Berita media massa seringkali memuat terjadinya kasus keracunan pangan serta penggunaan bahan kimia berbahaya yang membahayakan kesehatan. Menurut Rahayu (2006), kasus keracunan pangan yang paling sering dilaporkan di Indonesia tahun adalah keracunan akibat pangan rumah tangga, pangan jajanan, dan pangan olahan. Dari pengujian terhadap sampel pangan yang dilakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2006 diketahui bahwa (87.69%) sampel memenuhi syarat (MS) dan (12.31%) sampel tidak memenuhi syarat (TMS). Pangan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena menggunakan: pemanis buatan (31%) dan benzoat (7.93%) melebihi batas yang dipersyaratkan; penyalahgunaan: formalin (8.88%), boraks (8.05%), dan pewarna bukan untuk makanan (12.67%); cemaran mikroba (19.10%); dan TMS lainnya (12.13%) (Badan POM, 2007). Salah satu bahan pangan yang dapat menimbulkan masalah dalam hal keamanan pangan adalah bumbu. Salah satu jenis bumbu yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah cabe giling yang terbuat dari cabe merah. Cabe giling merupakan salah satu bentuk olahan cabe merah yang banyak dijual di sejumlah pasar di kota Bogor. Cabe giling banyak digunakan para ibu rumah tangga maupun pedagang pangan olahan karena praktis. Cabe giling merupakan hasil olahan cabe yang digiling menggunakan mesin giling dengan penambahan bahan-bahan lain seperti garam, dan sedikit air (Setiadi, 1987). Beberapa pedagang cabe giling bahkan telah menambahkan zat

13 pewarna kedalam dagangannya. Berdasarkan penelitian Djarisnawati et al. (2004), 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B untuk memperoleh keseragaman warna produk. Cabe giling yang beredar di kota Bogor biasanya dipasarkan dalam bentuk curah dan dijual secara eceran dalam wadah bak plastik yang terbuka atau dikemas dalam kantung plastik berbagai ukuran. Keadaaan seperti ini selain memungkinkan tumbuhnya mikroba penyebab kebusukan, juga memungkinkan tumbuhnya beberapa jenis mikroba yang dapat menimbulkan penyakit. Berdasarkan risiko keamanan dari cabe giling yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, perlu dilakukan studi keamanan cabe giling yang beredar di masyarakat untuk mengetahui keamanan cabe giling komersil di kota Bogor. Pada studi ini telah dilakukan survei lapang terhadap pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor untuk mengetahui kondisi umum proses pengolahan cabe giling di kota Bogor, dengan demikian dapat diupayakan membuat cabe giling yang aman dan memiliki daya tahan yang lama. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan kimia dan mikrobiologi cabe giling yang dijual pedagang di kota Bogor. Selain itu dilakukan pula penelitian tentang penggunaan bahan pengawet yang aman untuk cabe giling. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi keamanan konsumen cabe giling dan memberikan rekomendasi bagi produsen cabe giling untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk cabe giling di pasar.

14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. GAMBARAN UMUM CABE MERAH DAN CABE GILING (Capsicum annum L.) Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran dan rempah-rempah yang banyak dikonsumsi masyarakat. Tanaman cabe merah diperkirakan memiliki ±20-30 spesies. Berdasarkan tingkat kematangannya cabe merah dibagi menjadi dua, yaitu buah muda atau cabe hijau dan buah tua atau cabe merah. Sedangkan berdasarkan morfologinya cabe dibedakan menjadi cabe besar panjang (C. annum var. longum), cabe keriting (C. annum sp.), cabe bulat pendek (C. annum var. abbreviate), paprika (C. annum var. grosum), cabe rawit (C. frutescens), C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinese (Rukmana dan Yuniarsih, 2005). Produksi cabe merah di Indonesia seluruhnya merupakan hasil usaha rakyat. Daerah yang banyak ditanami cabe adalah Yogyakarta, Wonosobo, Pekalongan, dan Cirebon. Komoditi cabe di kota Bogor menempati 13,26% luas tanam dari jumlah produksi tanaman hortikultura di kota Bogor. Luas areal tanaman cabe merah di kota Bogor pada tahun 2005 adalah Ha dengan jumlah produksi sebanyak ton (BPS, 2006). Selama sepuluh tahun terakhir peningkatan permintaan cabe oleh konsumen rumah tangga mencapai 6.2% per tahun dan permintaan diperkirakan akan semakin meningkat ditahun-tahun mendatang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berbagai industri pengolahan pangan dan sasaran ekspor (Rukmana dan Yuniarsih, 2005). Dalam dunia perdagangan, cabe merah dipasarkan dalam bentuk seperti cabe merah segar, cabe giling, cabe kering, oleoresin, saus cabe, macam-macam sambal dan acar dalam botol. Pada industri obat-obatan, cabe merah terutama digunakan untuk campuran dalam pembuatan obat gosok untuk menghilangkan rasa gatal dan pegal, dan menghilangkan rasa lesu (Rukmana dan Yuniarsih, 2005).

15 Pengolahan pangan dapat menghasilkan produk yang lebih praktis digunakan, mudah dalam pengangkutan dan penyimpanan (Syarief dan Halid, 1993). Salah satu contoh produk olahan cabe adalah cabe giling. Ditinjau dari kepraktisannya, cabe giling relatif lebih praktis digunakan dibanding cabe segar. Selain itu dengan mengolah cabe segar tersebut menjadi cabe giling akan lebih mudah dalam hal pengangkutan dan penyimpanan (Hardiansyah, 2003). Cabe giling yang dijual dipasar ada dua jenis, yaitu cabe giling halus dan cabe giling kasar. Cabe giling halus diperoleh dari penggilingan cabe hingga semua komponen cabe halus dan tidak tampak sedikitpun sisa hancuran biji cabe tersebut, sedangkan cabe giling kasar masih mengandung biji cabe utuh. Cabe giling kasar biasanya dibuat tanpa penambahan air. Pembuatan cabe giling halus dan kasar hanya berbeda pada pengaturan jari-jari mesin penggiling cabe yang digunakan (Lubis, 2000). Penentuan mutu cabe giling masih merujuk pada syarat mutu cabe segar dan saus cabe karena hingga saat ini belum ada syarat mutu produk cabe giling menurut Standar Nasional Indonesia. Syarat mutu saus cabe yang baik menurut SNI adalah mengandung jumlah padatan sebesar 20-40%, tidak mengandung logam berbahaya (Pb, Hg, Cu, dan Zn), kadar kotoran maksimum 1%, bau dan rasa normal dan khas cabe, secara mikroskopis tidak mengandung kapang, dan apabila menggunakan pengawet dan pewarna sesuai dengan yang diizinkan. Berdasarkan penelitian Lubis (2000), cabe giling halus yang diberi perlakuan panas oven microwave (selama dua menit) dan autoklaf (121 0 C, tekanan 15 psi selama 15 menit) serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% masih menunjukkan mutu mikrobiologis yang lebih baik dibandingkan dengan cabe giling kasar dengan perlakuan penambahan natrium benzoat yang sama selama penyimpanan 35 hari. Sedangkan hasil penelitian Sayekti (1998), cabe giling yang dibuat dengan penambahan 0.05% natrium benzoat, 0.8% asam asetat, 0.15% asam askorbat, dan 0.15% natrium bisulfit dapat bertahan hingga 56 hari.

16 B. KOMPOSISI KIMIA DAN KONDISI MIKROBIOLOGI CABE MERAH Komposisi buah cabe segar yang baru dipetik ditentukan oleh spesies, cara perawatan tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan tingkat kematangan saat dipanen. Selanjutnya perubahan kimia relatif terjadi setelah pemanenan selama pematangan, pengeringan, pengolahan dan penyimpanan (Setiadi, 1987). Kondisi ini terefleksi dalam unsur penyusun pokok (komposisi kimia) yang relatif beragam. Komposisi kimia cabe merah segar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia cabe merah segar * Komponen Komposisi (% bb) Kadar Air Kadar Karbohidrat Kadar Pati Kadar Protein Kadar Total Abu 5-6 Kadar Komponen volatil Kadar Komponen nonvolatil Kadar Asam Askorbat * (Setiadi, 1987) Warna merah pada cabe disebabkan adanya pigmen karotenoid yaitu capsanthin, capsorubin, lutein, zeaxanthin, caroten, dan kriptoxantin (Prabaningrum et al., 1996). Menurut Reeves (1987), sekitar 60% dari total karotenoid pada cabe merah tersusun atas capsanthin. Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang larut dalam lemak dan dapat mengabsorpsi cahaya tampak pada panjang gelombang nm. Pigmen karotenoid mudah teroksodasi oleh cahaya, udara, dan panas sehingga menyebabkan memudarnya warna pada buah dan sayur (Kanner et al., 1977). Jumlah dan perbandingan komponen karotenoid pada cabe bervariasi, tergantung kematangan, varietas, agroteknik, dan klimatologi (Purseglove et al., 1981). Komponen rasa pedas cabe yang utama adalah capsaicin dan dihidrocapsaicin (1.5% b/b), dan beberapa komponen lain yaitu homocapsaicin, nordihidrocapsaicin, dan homodihidrocapsaicin dalam konsentrasi sangat kecil. Capsaicin pada cabe juga dapat berfungsi sebagai

17 antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Purseglove et al., 1981). Menurut penelitian Dewanti (1984), bubuk cabe merah tanpa biji dapat menghambat pertumbuhan L. fermentum pada konsentrasi 1 mg/l dan pada konsentrasi 3 mg/l dapat menghambat B. subtilis, tetapi bubuk cabe merah tanpa biji tidak dapat menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus. Sayuran merupakan bahan pangan yang sering terkontaminasi oleh tanah dan kotoran. Kontaminasi dapat terjadi selama pemanenan, pengangkutan maupun pemasaran. Penanganan pascapanen cabe merah di Indonesia masih tergolong sederhana. Selama pemanenan, cabe sering ditempatkan di tanah sehingga cabe menjadi kotor akibat tanah yang melekat. Kontaminasi dapat pula berasal dari tempat yang digunakan selama pengangkutan dan tempat-tempat penjualan cabe. Menurut Feng (1997), sayuran segar umumnya mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar koloni/g termasuk koliform fekal 10 4 koloni/g dan koliform non-fekal sebanyak koloni/g. Sedangkan jumlah kapang dan kamir pada sayuran segar adalah 10 5 koloni/g (Lund, 2000). Sedangkan menurut penelitian Isyanti (2001), jumlah mikroba pada sayuran segar di Bogor Barat adalah koloni/g. Ruslan (2003) melaporkan jumlah mikroba pada sayur olahan pada gado-gado di Bogor Barat menunjukkan angka koloni/g. Syarat mutu cabe yang baik tidak mengandung jumlah mikroba lebih dari 10 5 koloni/g dan tidak mengandung mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella, dan Streptococcus (Prajnanta,1995). Mikroba yang banyak ditemukan pada cabe adalah Bacillus subtilis, koliform, dan Clostridium perfringens. Sedangkan kapang yang banyak terdapat pada cabe adalah Aspergillus sp., Rhizopus, Penicillium, dan Absidia (Feng, 1997). Salah satu syarat mutu produk olahan cabe antara lain SNI , menyebutkan syarat mutu untuk saus cabe adalah maksimal total mikroba 10 5 kol/g, koliform 10 2 MPN/g, S. aureus 10 MPN/g, serta tidak mengandung E. coli dan Salmonella. Sedangkan untuk bubuk cabe kering, pikel cabe, cabe giling, oleoresin dan lainnya belum memiliki standar mutu nasional.

18 Beberapa saus cabe yang beredar di masyarakat masih belum memenuhi standar. Menurut penelitian Wati (1997), sebanyak 60% saus cabe di supermarket di Bogor ternyata belum memenuhi standar SNI (tentang saus cabe) karena mengandung total mikroba lebih dari 10 5 koloni/g dan mengandung S. aureus lebih dari 10 MPN/g. Agustina (2002) melaporkan saus cabe di beberapa kantin sekolah di Bogor tidak memenuhi standar karena masih mengandung E. coli 1.3 x 10 1 koloni/g dan berpeluang 50% mengandung Salmonella. C. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan bukan merupakan ingredien khas pangan, memiliki atau tidak nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam proses pembuatan, pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Tujuan penggunaan BTP dalam pangan diantaranya adalah untuk mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan, meningkatkan palatabilitas pangan, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik, serta menghemat biaya. Berdasarkan fungsinya, bahan tambahan pangan dapat dikelompokkan menjadi antioksidan, antikempal, asidulan, enzim, pemanis buatan, pemutih dan pematang, penambah gizi, pengawet, pengemulsi dan pemantap, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, sekuestran, serta BTP lain. 1. Bahan Pengawet Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mudah rusak. Bahan ini berfungsi menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Bahan pengawet yang digunakan untuk pangan sangat beragam jenisnya dan dipengaruhi keadaan produk atau bahan yang akan diawetkan.

19 Umumnya, bahan pengawet yang sering digunakan sebagai pengawet pangan adalah garam dapur, asam dan garam benzoat, sorbat, propionat, asetat, etilen oksida (Winarno, 1990). Berdasarkan batasan konsentrasi penggunaannya, bahan pengawet terbagi menjadi golongan GRAS (Generally Recognize As Safe) dan mempunyai nilai ADI (Acceptable Daily Intake). Golongan GRAS merupakan zat yang relatif aman dan tidak berefek toksik misalnya garam, gula, dan asam cuka, sedangkan golongan lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake) memiliki ketetapan batas penggunaan harian demi menjaga dan melindungi kesehatan konsumen (Winarno, 1990). Bahan pengawet yang sering digunakan untuk mencegah kerusakan oleh mikroba dan memperpanjang umur simpan produk cabe giling adalah garam dapur (NaCl) dan benzoat (Lubis, 2000). a. Garam Dapur (NaCl) Garam dapur selain bertujuan memberi rasa asin pada pangan, mampu mengurangi kelarutan oksigen dan mempengaruhi A w suatu substrat dengan mekanisme penyerapan air dari media sehingga mengontrol pertumbuhan mikroba. Sifat antimikroba garam dapur dikontribusikan oleh ion klorida. Menurut Soekarto (1985), penggunaan garam untuk memberi rasa asin pada pangan biasanya digunakan 1-2% (b/v), sedangkan untuk pengawetan digunakan garam dapur sebanyak 5-15% (b/v). Ketahanan mikroba terhadap garam NaCl sangat bervariasi. Konsentrasi NaCl yang relatif rendah akan memacu pertumbuhan mikroba sedangkan konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhannya. Menurut Fardiaz (1992), penggunaan garam dapur sebanyak 10% dapat menghambat semua galur Clostridium botulinum. Kadar garam 10% setara dengan A w Bakteri koliform tidak tumbuh pada kadar garam yang cukup tinggi. Nilai A w minimum untuk beberapa galur koliform adalah Berdasarkan penelitian Lubis (2000), penambahan garam dapur pada konsentrasi 6% pada cabe giling sudah

20 mampu memenuhi fungsi garam sebagai pengawet dengan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri pembentuk spora. Rasa asin pada kadar tersebut pun dapat diterima panelis. b. Asam Benzoat Asam benzoat (C 6 H 5 COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya dan sering digunakan pada bahan pangan yang asam. Bahan ini efektif digunakan untuk mencegah pertumbuhan kamir dan bakteri. Benzoat efektif pada ph dan menjadi kurang efektif pada ph >4.5 (Winarno, 1997). Menurut Lewis (1989), mekanisme aktivitas benzoat sebagai pengawet adalah kemampuan asam benzoat melisis membran sel mikroba sehingga menghambat aktivitas metabolisme sel, mengganggu penggunaan asetat sehingga tidak terbentuk energi untuk metabolisme, serta kemampuan asam benzoat melepaskan koenzim dengan enzim sehingga enzim menjadi inaktif. Benzoat lebih sering digunakan dalam bentuk garamnya karena kelarutan benzoat lebih besar dalam bentuk garamnya. Menurut Lewis (1989), kelarutan garam Na-benzoat pada suhu 25 0 C dalam air sebesar 50 g/100ml, sedangkan kelarutan asam benzoat dalam air hanya 0.34 g/100ml. Garam benzoat dalam bahan pangan akan terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Natrium benzoat lebih efektif membunuh kamir dibandingkan dengan bakteri. Kebutuhan Na-benzoat pada ph agar efektif adalah sebesar %, sedangkan pada ph sebesar % (Lewis, 1989). Asam benzoat memiliki toksisitas yang rendah bagi hewan dan manusia karena asam benzoat dalam tubuh mengalami mekanisme detoksifikasi, sehingga tidak terjadi pemupukan di dalam tubuh. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh (Winarno, 1997). Batas maksimum penggunaan natrium benzoat dalam bentuk tunggal (penggunaan tidak

21 dikombinasikan dengan jenis bahan pengawet lain) untuk produk saus, sirup, acar timun, keju, dan pangan lain kecuali daging, ikan, dan unggas diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.722/Menkes/Per/IX/1988 adalah 1000 ppm. Pemakaian natrium benzoat yang berlebihan selain dapat mengakibatkan bau menyengat yang tidak enak dan rasa pahit juga dapat menimbulkan keracunan yang ditandai gejala pusing, mual dan muntah (Davidson et al.,1993). 2. Bahan Pewarna Zat warna yang terdapat pada pangan dapat berasal dari: (a) pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan, sebagai contoh klorofil yang memberi warna hijau, karoten yang memberi warna jingga sampai merah, dan mioglobin yang memberi warna merah pada daging, (b) reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan sehingga akan memberikan warna cokelat sampai kehitaman, contohnya pada kembang gula karamel, atau pada roti bakar, (c) reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi, reaksi ini memberikan warna gelap misalnya pada susu bubuk yang disimpan lama, (d) reaksi senyawa organik dengan udara (oksidasi) yang menghasilkan warna hitam, misalnya warna gelap atau hitam pada permukaan buah-buahan yang telah dipotong dan dibiarkan di udara terbuka beberapa waktu, dan (e) penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1997). Penggunaan zat pewarna dalam pangan umumnya ditambahkan untuk menyeragamkan warna dan menambah daya tarik dan penerimaan suatu bahan pangan. Penggunaan zat pewarna dalam pangan perlu diwaspadai karena hanya zat pewarna yang diizinkan saja yang boleh digunakan. Peraturan mengenai bahan pewarna sintetis yang diizinkan untuk pangan dan minuman di Indonesia diatur dalam Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan bahan pewarna yang dilarang digunakan di Indonesia diatur dalam Peraturan Menkes RI No. 239/Menkes/Per/V/85 dapat dilihat pada Tabel 3.

22 Menurut Winarno (1993), lebih dari 90% zat pewarna yang digunakan untuk pangan adalah zat pewarna sintetik dan ironisnya sering kali masih ditemukan produk pangan dan minuman yang mengandung zat pewarna nonpangan. Pemakaian zat pewarna yang tidak diizinkan ini akan membahayakan kesehatan. Bahan pewarna yang demikian disebut bahan kimia berbahaya (Winarno, 1990). Tabel 2. Zat warna yang diizinkan di Indonesia Warna Nama Batas pemakaian (ppm) Merah Oranye Hijau Biru Kuning Kuning Ungu Hijau Coklat Erythrosin Sunset yellow FCF Fast green FCF Brilliant Blue FCF Tartrazine Quineline FCF Violet GB Food green S Chocolate Brown Hr secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetik non pangan berwarna merah yang banyak disalahgunakan dalam pengolahan bahan pangan. Hasil penelitian Djarisnawati et al. (2004) menunjukkan 63% cabe giling yang dijual di pasar tradisional di DKI Jakarta positif menggunakan Rhodamin B. Hastuti (2005) melaporkan 70% terasi yang digunakan pedagang di lingkar kampus IPB Darmaga Bogor positif mengandung Rhodamin B. Penelitian yang dilakukan Hasanah (2005) menunjukkan kandungan Rhodamin B sebesar mg/100g dan 1.56 mg/100g pada makanan jajanan makaroni dan sosis di Sekolah Dasar di Bogor Tengah. Rhodamin B memiliki rumus molekul C 28 H 31 N 2 O 3 Cl dan berat molekul 479. Rhodamin B berbentuk kristal hijau atau serbuk ungukemerahan, dapat larut dalam air, alkohol, HCl, dan NaOH dan menghasilkan warna merah kebiruan dan berflouresensi kuat (Sihombing, 1987). Zat warna ini memiliki banyak sinonim nama antara lain: D & C Red no.19, Food Red 15, Briliant Pink B, ADC Rhodamin B, dan Rheonine B (Anonim, 2006).

23 Tabel 3. Zat warna sintetik yang dilarang di Indonesia Nama pewarna Ammaranth Auramin Black 7984 Butter Yellow Chocolate Brown FB Metanil Yellow Oil Orange SS Fast Yellow AB Nama pewarna Oil Yellow OB Orchil & Oreein Orange G Orange GGN Rhodamin B Sudan I Magenta Violet GB Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang zat warna, Rhodamin B dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Rhodamin B no. Indeks (C. I. Food red 15) bersifat karsinogenik dan menyerang hati. Rhodamin B bersifat toksik, menghambat pertumbuhan mencit, menyebabkan diare, urin berflouresensi, bahkan dapat menyebabkan kematian lebih awal sekalipun dosis yang digunakan cukup rendah (0.117 mg/kg berat badan) (Basrah, 1987). Umumnya pewarna ini digunakan untuk pewarna kertas, wol, dan sutra. Rhodamin B tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan mengendap secara utuh dalam hati sehingga lambat laun dapat menyebabkan kerusakan hati. Rhodamin B juga menyebabkan kanker hati pada mencit (16.6%), kanker limfa pada tikus (8.3%), dan dilatasi kantung kemih pada tikus (11.1%) (Samsudin, 2004). Menurut Sihombing (1987), tikus yang diberi 1 g Rhodamin B ke dalam setiap 3 kg makanan menunjukkan perubahan prilaku tikus yang abnormal. Tikus tersebut menjadi cenderung agresif dan menunjukkan tanda-tanda kanibal, diskolorasi dan degradasi warna rambut dan kulit menjadi kemerah-merahan dan kasar. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Hokoriku Jepang, efek Rhodamin B pada kosmetik dapat menghambat proliferasi fibroblas pada kultur sistem. Rhodamin B pada takaran 25 µg/ml secara signifikan menyebabkan pengurangan sel setelah 72 jam dalam kultur. Rhodamin B juga dapat mengurangi jumlah sel vaskuler endothelial pembuluh darah sapi dan sel otot polos pada pembuluh darah hewan berkulit duri setelah 72 jam dalam kultur (Anonim, 2006).

24 III. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di kota Bogor dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan (Januari-Mei 2007). B. BAHAN DAN ALAT Bahan yang diteliti adalah cabe merah giling halus komersial dari pasar-pasar tradisional di kota Bogor, sedangkan untuk membuat cabe giling kontrol dibutuhkan cabe merah segar, garam dapur, natrium benzoat, dan air. Bahan- bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah aquades, larutan standar Rhodamin B, amonium hidroksida 2% dalam etanol, dietil eter, NaOH 10%, HCl 0.1 M, K 2 CrO 4 5%, larutan AgNO M, NaCl, klorofom, NaOH 10%, alkohol, fenolftalin, NaOH 0.05 M. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah larutan pengencer NaCl 0.85%, 5% alfa naftol dalam 40% KOH, indikator merah metil, pereaksi Kovacs dan media pertumbuhan mikroba (Plate Count Agar, Acidified Potato Dextrose Agar, Vogel Johnson Agar, Brilliant Green Lactose Bile Broth, Eosin Methylen Blue Agar, Trypthone Broth, medium Koser Sitrat, dan medium MR-VP). Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan mikrobiologi antara lain: kertas Whatmann No.4, labu pemisah, rotary evaporator, penangas air, cawan aluminium, cawan porselen, desikator, penangas air, labu takar, oven, phmeter Beckmann, spektrofotometer UV 2010, dan alat-alat gelas lainnya.

25 C. METODE PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian Studi Pendahuluan Perumusan masalah dan tujuan penelitian Studi pustaka Pengambilan data pasar di kota Bogor Penyusunan kuisioner (Lampiran.1) Jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor Survei Kondisi Pedagang Pengumpulan data dengan kuisioner Analisis data Penentuan pedagang Keamanan Cabe Giling Komersil Sampling Analisis Analisis mikrobiologi Analisis kimia total mikroba (TPC), kapang dan kamir, kadar air, kadar NaCl, S. aureus, E. coli dan koliform, kadar natrium benzoat, bakteri pembentuk spora Rhodamin B, nilai ph Studi Penyimpanan Mutu cabe giling komersial cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm cabe giling kode G dan kode K (natrium benzoat di bawah batas maksimum, tidak mengandung Rhodamin B dan E.coli) Pengamatan kerusakan selama penyimpanan suhu ruang (Analisis: ph, TPC, kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora)

26 Penyusunan Laporan Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian 2. Studi Pendahuluan Penelitian dimulai dengan studi pendahuluan yang mencakup perumusan masalah dan tujuan penelitian, serta pencarian literatur yang relevan dengan cabe. Selanjutnya dilakukan survei awal untuk mengetahui jumlah pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor. Menurut data Badan Pusat Statistik (2006), pasar tradisional yang terdapat di wilayah kota Bogor ada tujuh yakni Pasar Bogor, Pasar Kebon Kembang, Pasar Jambu Dua, Pasar Sukasari, Pasar Gunung Batu, Pasar Padasuka, dan Pasar Merdeka. Berdasarkan observasi yang dilakukan di tujuh pasar tradisional di kota Bogor diperoleh data jumlah pedagang cabe giling di kota Bogor adalah 30 pedagang yang tersebar di tujuh pasar tradisional di kota Bogor. Pedagang yang didata adalah pedagang cabe giling yang berada di dalam kawasan gedung utama pasar. 3. Survei Kondisi Pedagang Cabe Giling Pada tahap ini dilakukan survei untuk mengetahui kondisi pasar secara umum melalui pengisian kuisioner (Lampiran 1) dan wawancara terhadap 20 orang pedagang cabe giling yang bersedia menjadi responden. Pengumpulan data meliputi profil pedagang (usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin), skala usaha (jangka waktu menekuni usaha cabe giling, kapasitas produksi, pemasaran), dan kondisi sanitasi cabe giling di pasar. Data identitas pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Lampiran 2, sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor dan jumlah pedagang yang bersedia menjadi responden dapat dilihat pada Tabel Keamanan Pangan Cabe Giling Komersial Penentuan sampel yang dianalisis berdasarkan keterwakilan tiap pasar dan daya simpan cabe giling yang mereka jual. Data ini diperoleh dari hasil

27 survei (Lampiran 3) sehingga ditentukan pedagang yang akan dijadikan sebagai sampel akan mewakili tiap pasar di kota Bogor dengan daya simpan yang berbeda-beda. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran 4. Pengambilan sampel dilakukan dua kali ulangan untuk masing-masing pedagang dengan selang waktu antara ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah dua minggu dari pengambilan sampel ulangan pertama pada pedagang yang sama. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari (± pukul WIB). Sampel dibawa dari pasar ke Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan menggunakan es batu dan rice bucket. Untuk analisis Rhodamin B dilakukan pengambilan sampel untuk ulangan ke-3 yang dilakukan pada akhir bulan Mei karena variasi data pada ulangan ke-1 dan ke-2 yang tinggi. Analisis keamanan meliputi analisis ph, kadar natrium benzoat, kandungan zat pewarna Rhodamin B, kadar air serta uji mikrobiologi (jumlah total mikroba (TPC), kapang dan kamir, bakteri pembentuk spora, Staphylococcus aureus, E. coli dan koliform). Analisis dilakukan duplo untuk setiap ulangan. Tabel 4. Data sebaran pedagang cabe giling di kota Bogor Nomor Lokasi Berjualan Pedagang Cabe Giling responden 1 Pasar Bogor Pasar Kebon Kembang Pasar Padasuka Pasar Sukasari Pasar Gunung Batu Pasar Jambu dua Pasar Merdeka 2 2 Total Studi Penyimpanan Pada tahap ini dilakukan pengamatan kerusakan cabe giling komersial. Sampel yang dipilih untuk diamati adalah sampel cabe giling kode G dan kode K (Lampiran 4) karena memiliki mutu yang lebih baik (penggunaan kadar natrium benzoat masih dalam batas yang diizinkan, tidak

28 mengandung Rhodamin B dan E. coli) dibandingkan dengan cabe giling lainnya. Sampel ini dibandingkan dengan cabe giling yang dibuat tanpa penambahan natrium benzoat, dan dengan penambahan natrium benzoat 500 dan 1000 ppm. Pembuatan cabe giling dilakukan seperti pada Gambar 2. Penyimpanan dilakukan pada suhu kamar pada wadah tertutup. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dihentikan sampai cabe giling tidak dapat diterima lagi secara organoleptik (visual: mulai terbentuk kapang di permukaan atau lendir; aroma: mulai tercium bau busuk seperti asam atau apek). Parameter kerusakan yang diamati adalah nilai ph, total mikroba, jumlah kapang kamir, dan bakteri pembentuk spora. Analisis dilakukan duplo. Cabe merah segar Disortasi Natrium benzoat 0, 500, 1000 ppm Dicuci Digiling halus 5 % air, 6% NaCl (b/b) Cabe merah giling Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan cabe giling 6. Analisis a. Nilai ph (Apriyantono et al., 1989) Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 ml aquades kemudian diaduk hingga homogen. Pengukuran ph dilakukan menggunakan alat phmeter Beckmann. b. Kadar Natrium benzoat (Apriyantono et al., 1989) Natrium benzoat dianalisis secara kuantitatif. Prinsip analisis adalah menghitung ppm natrium benzoat dari hasil titrasi NaOH standar terhadap

29 residu asam benzoat yang diekstrak dari larutan natrium benzoat yang diasamkan dengan HCl berlebih. 1) Persiapan sampel 25 g sampel ditempatkan ke dalam gelas piala 250 ml dan ditambahkan 4 g NaCl. Gelas piala dibilas dengan larutan NaCl jenuh (26% b/v) dan ditambahkan NaOH 10% hingga ph menjadi alkali (diukur dengan phmeter menunjukkan nilai ph ±8.0). Kemudian ditempatkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan hingga tanda tera dengan larutan NaCl jenuh. Kemudian dibiarkan semalaman dalam shaker suhu ruang. Larutan disaring dengan kertas Whatmann No.4. 2) Penetapan sampel Filtrat contoh dipipet sebanyak 50 ml dan ditempatkan dalam labu pemisah. Kemudian dinetralkan dengan penambahan HCl (diukur dengan phmeter menunjukkan nilai ph ±7.0), kemudian ditambahkan 2.5 ml HCl. Larutan yang telah dinetralkan diekstrak menggunakan klorofom beberapa kali dengan volume kloroform 30, 30, dan 25 ml. Lapisan klorofom yang terbentuk dipisahkan dari emulsi. Kemudian ekstrak kloroform diuapkan dalam waterbath hingga kloroform menguap dan diperoleh residu asam benzoat. Residu asam benzoat dilarutkan dalam 50 ml alkohol, ditambahkan 15 ml aquades dan 1-2 tetes fenolftalin kemudian dititrasi dengan NaOH 0.05 N. Kadar natrium benzoat (ppm Na-benzoat anhidrat) dihitung dengan rumus = Vtiter x N NaOH x BM Na-benzoat x V 1 x 10 6 V 2 x berat sampel (gram) Keterangan: Vtiter = Volume NaOH titran yang digunakan (liter) N NaOH = Normalitas NaOH yang digunakan (0.05 N) BM Na-benzoat = Bobot Molekul natrium benzoat (144) V 1 = Volume larutan persiapan sampel (ml) 10 6 = Faktor konversi bilangan ppm V 2 = Volume penetapan sampel (ml)

30 c. Kadar Air (Harjadi, 1993) Cawan dikeringkan pada oven suhu C selama 30 menit. Kemudian ditimbang setelah sebelumnya didinginkan dalam desikator terlebih dahulu. Sebanyak tiga gram contoh dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada oven suhu C selama tiga jam. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh dikeringkan kembali selama menit, lalu contoh ditimbang kembali hingga diperoleh berat relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang g). Kadar air dihitung sebagai persentase kehilangan berat contoh. d. Kadar NaCl (Apriyantono et al., 1989) Kadar NaCl dianalisis dengan metode Mohr. Metode ini dilakukan dengan mentitrasi sampel kering hasil pengabuan dengan titran perak nitrat (AgNO 3 ). Cawan dikeringkan pada suhu C selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang dan dimasukkan kedalam cawan, kemudian dikeringkan pada suhu C selama enam jam atau hingga diperoleh abu putih. Contoh didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang tetap. Abu ditempatkan dalam cawan dan dibilas dengan ml aquades. Kemudian larutan abu tersebut dipindahkan kedalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 1 ml larutan K 2 CrO 4 5%. Titrasi dengan larutan AgNO M hingga larutan sampel berwarna oranye merah. Kadar NaCl (%b/b) dihitung dengan rumus = M AgNO 3 x V AgNO 3 x BM NaCl x 100% berat sampel (gram) Keterangan: M AgNO 3 = Molaritas AgNO 3 yang digunakan (0.1 M) V AgNO 3 = Volume AgNO 3 yang terpakai sebagai titran (liter)

31 BM NaCl = Bobot Molekul NaCl (58.4) e. Zat pewarna Rhodamin B (Metode Analisis 16/MM/00 PPOMN-BPOM) Prinsip analisis dengan metode ini adalah ekstraksi zat warna Rhodamin B dalam sampel. Ekstrak diidentifikasi dengan membandingkan profil kurva serapan maksimum sampel dengan kurva serapan maksimum larutan standar Rhodamin B. 1) Persiapan larutan standar Rhodamin B 0.01 gram Rhodamin B (BM= 479) dilarutkan dalam 100 ml HCl 0.1 N sehingga diperoleh larutan standar Rhodamin B 2.09 x 10 4 M (±200 ppm Molaritas). Larutan ini diencerkan hingga 5 ppm agar tidak terlalu pekat sehingga serapan larutan dapat terbaca alat spektrofotometer. 2) Penentuan sampel 20 gram sampel dilarutkan dalam 50 ml larutan NH 4 OH 2% dalam etanol, didiamkan kemudian disaring. Cairan diuapkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh filtrat. Filtrat dilarutkan dalam aquades 30 ml, ditambahkan NaOH 10%, dan diekstraksi menggunakan eter 30 ml. Ekstrak eter dicuci dengan 20 ml NaOH 5% dan dilakukan pengekstrakan menggunakan eter 30 ml sekali lagi. Kemudian ekstrak dicuci dengan 20 ml HCl 0.1 N hingga lapisan asam berwarna merah. 3) Pengukuran spektrofotometri Lapisan berwarna merah diukur absorbansinya untuk memperoleh kurva serapan maksimumnya dengan alat spektrofotometer HITACHI UV 2010 pada setiap panjang gelombang (scanning) dengan interval nm, sehingga diketahui daerah spektrum yang diserap. Profil serapan maksimum sampel dibandingkan dengan profil serapan maksimum larutan standar Rhodamin B. Sampel positif mengandung Rhodamin B jika profil serapan maksimum sampel sama dengan profil serapan larutan standar Rhodamin B. f. Analisis mikrobiologi (BAM, 2002)

32 Contoh sebanyak 25 g diencerkan dengan 225 pelarut garam fisiologis (NaCl 0.85%) kemudian dilakukan pengenceran menjadi beberapa seri pengenceran. Hasil pengenceran contoh dipipet satu ml dan dipupuk dengan media sebanyak ±10 ml. Untuk uji bakteri pembentuk spora, sampel dari pengenceran 10-1 dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80 0 C selama 15 menit. Setelah dibuat seri pengenceran yang sesuai, dilakukan pemupukan dengan media Plate Count Agar (untuk uji total mikroba dan uji bakteri pembentuk spora), media Vogel Johnson Agar (untuk uji Staphylococcus aureus), dan media Acidified Potato Dextrose Agar (untuk uji total kapang dan kamir). Kemudian cawan diputar membentuk angka delapan. Diamkan hingga agar membeku kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung berdasarkan Standard Plate Count. Untuk analisis koliform dan E. coli analisis terdiri dari uji penduga, penguat dan pelengkap. 1) Uji penduga Untuk uji penduga, sampel dari pengenceran 10-1 dibuat menjadi pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4 kemudian dipupuk menggunakan media Brilliant Green Lactose Bile Broth dalam tabung reaksi yang berisi tabung durham. Selanjutnya media tersebut diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 2 hari. Jumlah tabung positif (keruh atau terbentuk gas didalamnya) selanjutnya dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri. 2) Uji penguat Tabung positif pada uji penduga dipilih dan diambil 1-2 ose kemudian digoreskan pada media Eosin Methylene Blue (EMB) dalam cawan petri. Selanjutnya cawan diinkubasikan pada suhu 37 0 C selama 2 hari. Koloni koliform fekal (E. coli) berwarna gelap dengan sinar hijau metalik (keemasan) berdiameter mm, sedangkan koloni koliform non-fekal memiliki diameter lebih besar ( mm) dan berwarna merah muda dan bagian tengahnya gelap (seperti mata ikan). 3) Uji pelengkap

33 Uji pelengkap dilakukan dengan uji IMViC untuk mengetahui jenis koliform dalam sampel. Koloni fekal dan non-fekal disuspensikan kedalam 2 ml larutan pengencer. Selanjutnya 0.5 ml suspensi bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam tabung masing-masing berisi media Tryptone Broth, media Kosser sitrat, dan medium MR-VP. Tabel 5. Uji IMViC terhadap koliform Uji Medium Pereaksi Reaksi Positif Indol Trypthone Broth Kovacs Merah Merah metil MR-VP Merah metil Merah Voges Proskauer MR-VP 5% alfa naftol dan 40% KOH Merah tua Sitrat Koser Sitrat Keruh Semua tabung diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 2 hari kecuali satu tabung MR-VP diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya dilakukan uji IMViC dengan menambahkan pereaksi seperti yang tertera pada Tabel 5. Sedangkan untuk uji jenis koliform dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Uji jenis koliform Jenis koliform Koliform E. coli (Fekal) E.aerogenes (Nonfekal) Indol + - Merah metil + - Voges Proskauer - + Sitrat - +

34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI UMUM PEDAGANG CABE GILING DI KOTA BOGOR 1. Profil dan Skala Usaha Pedagang Cabe Giling di Kota Bogor Berdasarkan data hasil survei pada para pedagang cabe giling, pedagang cabe giling di kota Bogor didominasi pria (85%) dan sisanya (15%) berjenis kelamin wanita. Sebagian besar (50%) pedagang cabe giling di pasar tradisional di kota Bogor memiliki pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum. Persentase tingkat pendidikan pedagang cabe giling dapat dilihat pada Gambar 3. Data hasil kuisoner selengkapnya disajikan pada Lampiran 3. Tidak Tamat SD 15% SMU 50% SD 25% SMP 10% Gambar 3. Tingkat pendidikan pedagang cabe giling Pengalaman pedagang cabe giling dalam menjalankan usahanya bervariasi. Sebanyak 40% pedagang baru berjualan cabe giling kurang dari 5 tahun (Gambar 4). Pedagang umumnya berjualan mulai dari pagi atau dinihari hingga sore. Namun adapula yang berjualan mulai dari dinihari hingga malam hari, bahkan ada pedagang cabe giling yang berjualan 24 jam. Pedagang yang berjualan 24 jam berlokasi di Pasar Bogor dan Pasar Anyar karena kedua pasar tergolong pasar yang cukup besar dan banyak pedagang grosir sehingga roda perekonomian berjalan sehari semalam tanpa henti.

35 5-10 tahun 35% < 5 tahun 40% > 10 tahun 25% Gambar 4. Jangka waktu menekuni usaha berjualan cabe giling Volume cabe giling yang dijual pedagang perhari cukup variatif. Sebanyak 60% pedagang menjual cabe giling lebih dari 10 kg per hari, sedangkan 35% pedagang menjual cabe giling 5-10 kg per hari, dan 5% pedagang menjual cabe giling kurang dari 5 kg per hari. Hal ini menunjukkan konsumsi cabe giling di kota Bogor cukup banyak, bisa mencapai lebih dari 275 kg per hari atau lebih dari 2 kwintal per hari. Hal ini membuktikan cabe giling merupakan salah satu komoditi yang banyak digunakan sebagai bahan berbagai jenis bumbu masakan disamping konsumsi cabe segar. Harga cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berfluktuatif mengikuti harga cabe utuh. Harga cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor berkisar lebih dari Rp per kg (35%), Rp Rp per kg (60%), dan Rp per kg (5%). Perbedaan harga dapat disebabkan karena perbedaan varietas cabe yang mereka gunakan, dan dapat pula menjadi indikator baik tidaknya mutu bahan baku yang mereka pergunakan. Dengan biaya bahan baku yang lebih rendah, dapat menekan harga jual cabe giling. Dengan melihat harga jual cabe giling per kg maka dapat diperkirakan omset penjualan cabe giling di kota Bogor minimal mencapai Rp per hari. Hal ini menunjukkan cabe giling merupakan salah satu komoditi sehari-hari yang cukup berkontribusi dalam perekonomian masyarakat kota Bogor.

36 2. Produksi Cabe Giling Pedagang cabe giling di kota Bogor memproduksi sendiri cabe giling yang mereka jual. Berdasarkan hasil survei, cabe giling yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor berbahan baku utama cabe merah yang diolah dengan penambahan air dan garam (Tabel 7). Tabel 7. Bahan baku yang digunakan pedagang cabe giling Bahan baku selain cabe Respon responden Garam dapur Air Pengawet Pewarna Lainnya 100% 60% Seluruh pedagang (100%) selain menggunakan cabe merah juga menggunakan bahan baku garam. Garam yang digunakan umumnya garam kasar, karena alasan lebih ekonomis dibanding garam halus (garam meja). Menurut Nasoetion dan Karyadi (1988), garam kasar dibuat tanpa proses pemurnian (refining) yang baik dan umumnya dilakukan secara sederhana sehingga seringkali terdapat kontaminasi fisik seperti pasir, kotoran plastik, dan bebatuan kecil. Hal ini dapat berdampak pada cabe giling yang dibuat karena bahan baku yang baik dapat menghasilkan produk yang baik. Tujuan utama pedagang menambahkan garam untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual namun tidak memberi rasa yang terlalu asin. Meski demikian para pedagang umumnya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak (g/kg) jumlah garam yang mereka tambahkan. Hal ini disebabkan ketidakbakuan satuan pengukuran yang mereka gunakan. Mereka umumnya menambahkan garam dalam takaran sendok makan bahkan tak jarang beberapa dari mereka menambahkan garam dengan tangan. Lain halnya dengan 30% pedagang yang mengetahui penambahan garam yang mereka lakukan karena mereka menggunakan garam dalam kemasan ukuran tertentu sehingga ukuran penambahan garam dapat dinyatakan dalam jumlah yang jelas. Mereka mengaku penambahan berkisar berkisar g/kg cabe (0.5-10%).

37 Sebanyak 60% pedagang menambahkan air pada cabe giling yang mereka jual. Alasan mereka menambahkan air adalah untuk mempermudah proses penggilingan dan memperoleh cabe giling yang tidak terlalu bulky, diperoleh rendemen lebih banyak dan menguntungkan mereka. Dari 60% jumlah pedagang yang menambahkan air tesebut sekitar 33.3% menambahkan air dengan takaran tertentu, yakni berkisar ml/kg cabe yang digiling. Sedangkan sisanya (40%) pedagang tidak menambahkan air pada cabe gilingnya karena merasa cabe sudah cukup berair saat penggilingan dan mereka justru beranggapan penambahan air akan menghasilkan cabe giling yang encer. Berdasarkan wawancara dan pengamatan, air yang digunakan untuk campuran maupun mencuci berasal dari PDAM. Berdasarkan pengamatan hampir seluruh pedagang memiliki mesin penggiling di kios mereka, sehingga penggilingan cabe giling dilakukan di pasar dan menggunakan air yang tersedia dari pengelola pasar, kecuali pedagang di Pasar Sukasari menggiling cabe gilingnya ditempat penggilingan karena tidak memiliki mesin penggilingan sendiri. Pedagang cabe giling (90%) menjual cabe gilingnya dengan cara dicurah dalam wadah dan baru ditempatkan di kantung plastik saat konsumen membeli. Wadah tempat cabe giling tersebut biasanya terbuat dari plastik seperti stoples atau bak plastik tanpa ditutup. Hal ini dapat memberi peluang besar terjadi kontaminasi baik kontaminasi fisik seperti debu, maupun kontaminasi biologi seperti bakteri, kapang, kamir, serta parasit. Terlebih lagi melihat kondisi lokasi pasar tradisional yang becek dan lembab, penetrasi sinar matahari kurang serta ventilasi udara yang kurang baik dapat memperbesar peluang kontaminasi terjadi. Sedangkan 10% pedagang lainnya menjual cabe giling sudah dalam kemasan kantung plastik berbagai ukuran. Hal ini disebabkan karena mereka sudah memiliki pelanggan tetap dan pembelian berdasarkan pesanan. Cabe giling di pasar tradisional (75%) seringkali tidak habis terjual dalam satu hari, dan hanya 25% cabe giling yang habis terjual tiap harinya. Pedagang tersebut umumnya (80%) menyimpan sisa cabe giling yang tersisa

38 di kios mereka hanya dalam wadah tertutup tanpa diberi es (Gambar 5). Umumnya wadah yang digunakan para pedagang untuk menyimpan cabe giling yang tersisa adalah ember plastik atau stoples bertutup. Meski penempatan cabe giling dalam wadah tertutup dapat mengurangi kontaminasi debu, mikroba, serta parasit selama penyimpanan, namun kondisi suhu ruang dan tanpa diberi es tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk selama penyimpanan, sehingga cara ini kurang efektif menghambat kerusakan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), penyimpanan pangan pada suhu rendah dapat mengendalikan pertumbuhan mikroba. Kendala pedagang tidak melakukan penyimpanan suhu rendah dikarenakan para pedagang tidak memiliki lemari es di kios mereka. Alternatif yang dapat diupayakan adalah sebaiknya pedagang menyimpan cabe giling tersebut di dalam kantung plastik dan dimasukkan kedalam wadah yang berisi es, sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling. Gambar 5. Cara penyimpanan cabe giling yang tidak habis terjual Sebanyak 15% pedagang membawa cabe giling sisa ke rumahnya untuk disimpan dalam lemari es. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga mutu cabe giling agar tidak mudah rusak. Tindakan ini sudah tepat dilakukan pedagang karena proses pendinginan dapat memperlambat reaksi-reaksi dalam bahan pangan, begitu pula dengan proses perkembangbiakan mikroba menjadi terhambat. Hampir semua lemari es dioperasikan pada suhu C dan dapat dipakai sebagai tempat penyimpanan jangka pendek (Gaman dan Sherrington, 1981). Sedangkan 5% pedagang membiarkan cabe giling yang

39 tersisa dalam wadah yang digunakan sebagai tempat menyajikannya tanpa ditutup dan tanpa diberi es (Gambar 5). Penyimpanan di tempat terbuka ini dapat menyebabkan cabe giling mudah terkontaminasi dan menjadi lebih cepat rusak. Cabe giling yang tersisa biasanya disimpan untuk dijual esok harinya. Tindakan ini dilakukan para pedagang untuk menghindari kerugian dibandingkan jika mereka harus membuang cabe giling setiap kali tidak terjual habis dalam satu hari. Sebanyak 35% pedagang menjual cabe giling sisa tersebut dengan cara mencampurkannya dengan cabe giling yang baru dan segar. Rasio antara campuran cabe giling baru dan cabe giling sisa relatif tidak dapat dipastikan setiap harinya karena tergantung cabe giling yang tersisa dan kapasitas wadah tempat menjual cabe giling tersebut. Rasio pencampuran bisa mencapai 1:1 jika masih banyak cabe giling yang tersisa dan memenuhi setengah bagian wadah dan untuk memenuhi wadah tersebut berarti penambahan cabe giling baru pun setengah dari wadah tersebut. Sedangkan 65% pedagang menjual sisa cabe giling tersebut tanpa dicampur dengan cabe giling yang baru dan segar, mereka baru akan memproduksi kembali cabe giling jika cabe giling sisa sudah habis terjual. Sebaiknya pedagang tidak mencampur antara cabe giling sisa dan cabe giling yang baru untuk dijual kembali karena hal ini dapat menurunkan mutu cabe giling yang baru secara keseluruhan. Cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor menurut pedagang dapat bertahan 2 hingga lebih dari 8 hari. Umumnya (70%) cabe giling dapat bertahan hingga 2 hari, dan hanya 15% cabe giling yang dapat bertahan lebih dari 8 hari (Gambar 6). Meski demikian para pedagang ini sangat jarang menyimpan dan menjual cabe giling tersebut hingga lebih dari 3 hari karena mereka khawatir mengalami kerugian. Mereka akan mengurangi produksi jika merasa masih memiliki banyak stok cabe giling. Mereka membuat cabe giling sesuai kondisi pasar. Mereka menyediakan cabe giling secukupnya dan baru akan menambah kuantitas produksi mereka jika persediaan yang di display sudah sedikit atau habis sama sekali.

40 2 hari 70% 4 hari 10% 8 hari 5% > 8 hari 15% Gambar 6. Daya tahan cabe giling versi pedagang Perbedaan daya tahan cabe giling di pasar dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya cara penanganan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, dan pemasaran yang dilakukan masing-masing pedagang. Kandungan nutrisi pada cabe serta kondisi pasar tradisional yang kondusif terhadap kontaminasi dapat menjadi faktor penyebab kerusakan cabe giling sehingga cabe giling tidak dapat bertahan lama. Penanganan bahan baku dan proses pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe giling sehingga dapat memperpanjang daya tahan cabe giling. Penelitian Lubis (2000) menunjukkan cabe giling yang dibuat dengan pemanasan microwave selama dua menit dan autoclave serta penambahan natrium benzoat 0.05, 0.75, dan 0.1% dapat bertahan hingga 35 hari. 3. Upaya Pedagang Untuk Menjamin Keamanan Cabe Giling Berdasarkan tingkat pendidikan (Gambar 1), sebagian besar pedagang diperkirakan sudah mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan para pedagang dalam kuisioner mengenai upaya menjaga kebersihan cabe giling yang mereka jual. Usaha para pedagang dalam menjaga kebersihan cabe giling antara lain dengan menggunakan bahan baku yang segar dan bersih, mencuci tangan, membersihkan kios/tempat mereka berjualan, membersihkan alat seperti mesin penggiling cabe, sendok, wadah penampung dan bahan utama

41 yaitu cabe yang akan digiling. Meski demikian, upaya-upaya pembersihan yang mereka lakukan masih kurang tepat karena belum memenuhi cara sanitasi yang benar. Menurut Winarno (1993), semua peralatan yang mempunyai peluang bersentuhan dengan bahan pangan harus selalu dijaga dalam keadaan bersih. Peralatan-peralatan seperti bejana, pisau, penggilingan, pengaduk, talenan, panci dan piring perlu digosok, dicuci dengan detergen dan air hangat kemudian dibilas dengan air bersih, sedangkan para pedagang hanya menggunakan air tanpa sabun untuk membersihkan alat karena mereka beranggapan residu sabun akan meninggalkan aroma sabun pada cabe giling mereka, selain itu dapat membuat alat cepat berkarat. Begitu pula saat mereka mencuci tangan, mereka melakukannya tanpa sabun. Gambar 7 menunjukkan sebagian besar (85%) pedagang sudah membersihkan alat dan bahan sebelum berjualan. Sebelum berjualan 85% Sesudah berjualan 5% Bila terlihat kotor 10% Gambar 7. Waktu pedagang membersihkan alat dan bahan Umumnya (80%) pedagang membersihkan alat seperti sendok, pengaduk, wadah bak plastik dan bahan dengan air tergenang yang ditempatkan dalam wadah seperti bak plastik atau ember, kecuali mesin penggiling dibersihkan dengan cara menyiramnya dengan air yang dialirkan dari kran melalui selang-selang yang tersedia, sisanya (20%) membersihkan alat dan bahan dengan langsung mengalirkan air dari selang tersebut atau menyiramkan air dengan gayung ke alat dan bahan yang akan dicuci. Tindakan pedagang yang mencuci dengan air tergenang dapat dikatakan kurang tepat, karena air yang tergenang ini dapat menjadi sumber

42 kontaminasi bagi peralatan. Penanganan air pencuci yang baik sangat diperlukan karena itu sebaiknya pedagang menggunakan air yang dialirkan langsung dari kran atau dialirkan (disiram) menggunakan gayung dan menggunakan sabun untuk mencuci peralatan, atau jika tetap menggunakan air tergenang maka sebaiknya air pencuci sering diganti untuk mengurangi peluang terjadinya kontaminasi. Frekuensi penggunaan air tersebut harus dibatasi hanya untuk sekali penggunaan saja dan jumlah air harus menggenangi seluruh bagian bahan atau alat yang dicuci. 4. Upaya Pengelola Pasar Dalam Memantau Keadaan Pasar Selama ini pihak pengelola pasar dianggap kurang memberi perhatian berupa pemantauan keadaan atau kondisi pasar dan para pedagang. Sebanyak 45% pedagang merasa tidak ada perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar, sebaliknya 40% pedagang merasa pihak pengelola pasar sudah rutin memantau dan memperhatikan keadaan pasar. Respon pedagang terhadap perhatian pihak pengelola pasar dapat dilihat pada Gambar 8. Perhatian pihak pengelola pasar hanya sebatas ajakan dan himbauan menjaga kebersihan pasar. Namun tidak mengontrol pelaksanaan kebersihan pasar. Rendahnya perhatian pengelola pasar terhadap kondisi sarana dan prasarana di pasar tercermin dari kondisi pasar yang becek, gelap dan lembab. Kondisi pasar yang kurang mendapat perhatian pengelola pasar juga tercermin dari konstruksi kios yang buruk seperti lantai yang kotor dan tak bersemen, kurangnya ventilasi udara dan penetrasi sinar matahari, dan lubang-lubang pada atap dan meja pada bangunan kios-kios di pasar, pembuangan sampah sembarangan, dan selokan yang tersumbat. Hal ini seharusnya membuat pihak pengelola lebih peduli dan membenahi penyediaan sarana dan prasarana di pasar. Selain itu pihak pengelola perlu bertindak tegas dalam menertibkan banyaknya pedagang yang berjualan disepanjang jalan atau pelataran kios yang semakin membuat kondisi pasar menjadi tidak teratur, padat, dan pengap.

43 Kadangkadang 15% Tidak 45% Ya 40% Gambar 8. Perhatian pengelola pasar untuk memantau keadaan pasar Penyuluhan tentang keamanan pangan pernah dilakukan pihak pengelola pasar. Hal ini diakui oleh 10% pedagang yang mengaku pernah dilakukan penyuluhan keamanan pangan dan kebersihan, yakni saat marak kasus pengawet formalin dan borak di Indonesia kurang lebih dua tahun silam. Namun baik 90% pedagang yang menyatakan tidak pernah ada penyuluhan, maupun 10% pedagang yang menyatakan pernah ada penyuluhan, tidak pernah mengikuti penyuluhan tersebut dengan alasan tidak sempat dan tidak tertarik karena penyampaian materi penyuluhan yang kurang menarik. Pihak pengelola pasar seharusnya lebih giat memberikan penyuluhan tentang keamanan pangan agar mutu cabe giling secara umum dapat lebih ditingkatkan. Penyuluhan sebaiknya dilakukan dengan penyampaian materi yang lebih atraktif dan menarik, agar pedagang bersedia mengikuti penyuluhan dan memotivasi pedagang untuk selalu menjaga mutu dan keamanan cabe giling serta kebersihan lingkungan pasar. B. KEAMANAN PANGAN CABE GILING KOMERSIAL Cabe giling dapat dikatakan sebagai produk setengah jadi karena untuk mengkonsumsinya perlu pengolahan lebih lanjut. Penanganan cabe giling komersial mulai dari pra pengolahan hingga penjualan masih tergolong sederhana. Pengolahan tanpa pemanasan dapat menimbulkan risiko kontaminasi mikroba yang tinggi dan dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan konsumen. Analisis keamanan cabe giling dilakukan terhadap cabe giling dari 12 pedagang yang mewakili sampel cabe giling di setiap pasar dan

44 mewakili daya tahan cabe giling yang beredar di pasar tradisional di kota Bogor. Identitas sampel dapat dilihat pada Lampiran Keamanan Kimiawi Cabe Giling Komposisi kimia dapat menjadi salah satu indikator mutu suatu produk. Sifat kimia bahan pangan sering mengalami perubahan-perubahan baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan selama penanganan pengolahan hingga dikonsumsi. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan. Mutu kimiawi cabe giling yang diamati pada penelitian ini meliputi ph, kadar air, kadar garam, serta bahan tambahan lainnya yang diperkirakan digunakan pedagang. Hasil pengamatan mutu kimiawi cabe giling dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Mutu kimiawi cabe giling Sampel Nilai ph Kadar NaCl Kadar Air Kadar Natrium (% b/b) (% bb) benzoat (ppm) A 5.6 ± ± ± ± 232 B 4.8 ± ± ± ± 24 C 5.5 ± ± ± ± 64 D 5.2 ± ± ± ± 19 E 4.7 ± ± ± ± 168 F 5.4 ± ± ± ± 60 G 4.7 ± ± ± ± 80 H 5.4 ± ± ± ± 115 I 4.9 ± ± ± ± 89 J 5.0 ± ± ± ± 66 K 5.1 ± ± ± ± 6 L 4.7 ± ± ± ± 80 Rata-rata 5.1 ± ± ± ± 84 Hingga saat ini belum ada standar yang mengatur mutu cabe giling. Syarat mutu cabe giling yang baik masih merujuk pada mutu cabe utuh dan saus cabe karena definisi cabe giling mirip dengan definisi saus cabe menurut SNI yaitu hasil olahan cabe yang sudah matang dan

45 baik dengan tambahan bahan-bahan lain dan digunakan sebagai penyedap makanan. a. Nilai ph Hasil pengamatan nilai rata-rata ph cabe giling komersial berkisar (Tabel 8). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), ph cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor seperti perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan hingga tata cara penjualan cabe giling yang dilakukan para pedagang tersebut. Cabe giling merupakan hasil olahan cabe merah (termasuk kelompok sayur-sayuran) sehingga ph cabe giling berada pada kisaran ph sayur-sayuran yang tergolong pangan ph rendah. Menurut Fardiaz (1992), berdasarkan nilai ph dan keasaman, pangan dikelompokkan menjadi pangan berasam rendah (ph >4.5), pangan berasam sedang (ph ), dan pangan berasam tinggi (ph <3.7). Berdasarkan hasil pengamatan nilai ph, cabe giling termasuk kelompok pangan berasam rendah karena memiliki ph >4.5. Mikroba seperti kapang, kamir, bakteri asam laktat, koliform, dan beberapa jenis bakteri lainnya dapat tumbuh pada makanan berasam rendah. Nilai ph cabe giling halus dengan metode microwave dan autoklaf hasil penelitian Lubis (2000) adalah dan Nilai ph tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai ph cabe giling pada penelitian ini. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan varietas cabe yang digunakan, derajat kematangan cabe, dan penanganan selama pengolahan. Pemanasan microwave dan autoklaf dapat mengurangi jumlah mikroba awal pada cabe sehingga aktivitas mikroba yang menghasilkan metabolit dan berakibat penurunan ph dapat direduksi. Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai ph cabe giling hasil penelitian Wati (1997) yaitu , cabe giling ini memiliki nilai ph yang lebih tinggi. Hal ini karena cabe

46 giling hasil penelitian Wati (1997) ditambahkan 57% ml asam asetat 25% (v/v). b. Kadar Garam (NaCl) Garam dapur (NaCl) sudah sejak lama dikenal masyarakat sebagai pemberi rasa asin dan dapat mencegah kebusukan. Garam termasuk bahan pengawet GRAS (Generally Recognize as Safe) sehingga aman dan tidak berefek toksik (Davidson et al., 1993). Kadar garam cabe giling rata-rata berkisar % (b/b) (Tabel 8). Penambahan garam dilakukan para pedagang untuk memperlambat kerusakan cabe giling yang mereka jual tetapi diusahakan tidak menimbulkan rasa yang terlalu asin. Kadar garam yang terdapat pada cabe giling sudah dapat berfungsi sebagai pengawet karena menurut Soekarto (1985), penggunaan garam sebanyak 5-15% dapat berfungsi sebagai pengawet pangan. Menurut penelitian Lubis (2000) penambahan garam 6% terhadap cabe giling dapat diterima panelis. Hal ini juga diakui pedagang yang merasa belum ada konsumen yang mengeluh karena rasa cabe giling yang terlalu asin. Kadar garam tertinggi (6.9% b/b) dimiliki oleh cabe giling D, sedangkan cabe giling dengan kadar garam terendah adalah sampel L (4.7% b/b). Kadar garam yang dimiliki masing-masing sampel ternyata berbeda nyata pada taraf 5%. Hasil ini ditunjukkan oleh hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5). Hal ini dapat disebabkan perbedaan kadar penambahan garam yang dilakukan para pedagang. Pada Tabel 8, nilai standar deviasi kadar garam cabe giling juga menunjukkan nilai yang tinggi (>5%) pada beberapa sampel yaitu B, D, E, F, dan J. Hal ini menunjukkan penambahan garam terhadap cabe giling cukup bervariasi. Hal ini dapat dikarenakan penambahan garam oleh pedagang terhadap cabe giling dilakukan tanpa takaran yang pasti. Berdasarkan survei pada tahap awal, pedagang B, D, E, F, J, dan L merupakan pedagang yang menambahkan garam tanpa takaran tertentu (Lampiran 4). Sedangkan untuk sampel A, C, dan I pedagang mengaku menambahkan garam dengan takaran tertentu yaitu ±100 g/kg cabe utuh yang digiling, sehingga

47 dengan adanya takaran tertentu menyebabkan variasi kadar garam sampel A, C, dan I lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya karena penambahan garam relatif dilakukan dengan terukur. Namun kadar garam yang terukur pada sampel A, C, dan I lebih rendah ( % b/b) dibandingkan pengakuan mereka yang menambahkan garam sebesar 10%. Hal ini dapat disebabkan garam yang ditambahkan memiliki mutu kurang baik sehingga mengandung NaCl yang tidak murni dan masih mengandung mineral dan campuran lainnya yang mungkin berasal dari kontaminan fisik yang dapat menambah bobot garam, sedangkan yang terukur dalam penelitian ini hanya kadar garam NaCl. c. Kadar Air Hasil pengamtan pada Tabel 8 menunjukkan kadar air cabe giling berkisar % (b/b). Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5) menunjukkan kadar air cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan volume penambahan air pada cabe giling yang dijual. Beberapa pedagang mengaku menambahkan air ke dalam cabe gilingnya, kecuali pedagang cabe giling A, I, J, dan L tidak menambahkan air ke dalam cabe giling yang mereka jual (Lampiran 4). Cabe giling yang tidak diberi tambahan air ini memang memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel lainnya. Penambahan air yang dilakukan para pedagang umumnya tidak dengan takaran tertentu. Meski pedagang C menambahkan air pada cabe gilingnya, kadar air terukur cabe giling C menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan cabe giling lainnya yang ditambahkan air dan tidak jauh berbeda dengan kadar air cabe giling tanpa penambahan air. Hal ini dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan dan penambahan air yang dilakukan pedagang C hanya secukupnya (tanpa takaran tetap) dan relatif lebih sedikit dibandingkan penambahan air yang dilakukan oleh pedagang yang lain.

48 Kadar air cabe utuh menurut Setiadi (1987) adalah % (bb). Kadar ini lebih tinggi dibandingkan kadar air cabe giling komersial. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam cabe giling terdapat total padatan yang lebih tinggi dibanding cabe utuh. Padatan ini dapat berasal dari adanya penambahan garam. Selain itu, berdasarkan pengamatan, para pedagang juga menjual bumbu giling lainnya seperti bawang putih giling, bawang merah giling, dan sebagainya. Residu bumbu pada alat penggilingan yang tidak dibersihkan dengan benar dapat menyumbangkan padatan pada cabe giling. Keberadaan residu ini juga terbukti dari beberapa sampel cabe giling yang memiliki aroma bawang putih. Menurut Hartuti dan Sinaga (1994), saus cabe yang dapat diterima secara organoleptik adalah saus yang memiliki viskositas cp dan kadar air lebih kecil dari 83.3% (b/b). Berdasarkan penelitian tersebut maka secara umum cabe giling di kota Bogor dapat diterima secara organoleptik. d. Kadar Natrium Benzoat Natrium benzoat merupakan salah satu pengawet yang umum digunakan di masyarakat sebagai antibasi (Winarno, 1993). Analisis natrium benzoat dilakukan karena produk olahan cabe seperti saus cabe biasa menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Selain itu, berdasarkan survei daya tahan cabe giling yang dapat bertahan hingga lebih dari 8 hari tetapi dengan kondisi penanganan pengolahan yang sangat sederhana maka dalam penelitian ini dilakukan analisis natrium benzoat yang mungkin ditambahkan pedagang. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 8), semua sampel cabe giling komersial positif menggunakan natrium benzoat sebagai pengawet. Kadar benzoat pada cabe giling adalah (ppm). Hasil analisis ini ternyata bertolak belakang dengan jawaban para pedagang pada saat menjawab kuisioner bahwa mereka tidak menggunakan pengawet. Hal ini

49 diperkirakan karena mereka tidak mengetahui bahan yang mereka gunakan adalah salah satu jenis pengawet pangan. Berdasarkan penelitian Indrianti (2001), hanya 10% pedagang pedagang bakso dan mie ayam yang mengetahui tentang bahan pengawet dalam saus cabe, sehingga kemungkinan banyak pula pedagang cabe giling yang tidak mengetahui tentang bahan pengawet. Secara fisik, natrium benzoat mirip dengan garam meja, sehingga kemungkinan pedagang mengenalnya sebagai garam. Natrium benzoat diperjualbelikan secara eceran di pasar, dikemas dalam kantung plastik dan tidak disertai label. Natrium benzoat digunakan pedagang sebagai pengawet diperkirakan karena alasan lebih ekonomis dibandingkan penggunaan garam dapur yang harus ditambahkan dalam jumlah banyak. Selain itu natrium benzoat tidak berbau dan tidak menimbulkan rasa asin seperti halnya jika menggunakan garam NaCl sebagai pengawet. Kontradiksi antara jawaban dan hasil analisis laboratorium mungkin juga disebabkan karena pedagang khawatir jawaban mereka akan merugikan dan mengancam usaha mereka, sehingga mereka lebih memilih jawaban tidak menggunakan pengawet pada cabe gilingnya. Ketika pedagang ditanya apakah menggunakan pengawet dalam cabe giling, pemahaman pedagang tentang pengawet adalah boraks dan formalin yang selama ini ramai diberitakan sebagai pengawet berbahaya, sehingga mereka menjawab tidak menggunakan bahan pengawet dalam cabe giling mereka. Hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5) menunjukkan kadar natrium benzoat cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Pada Tabel 8 terlihat bahwa cabe giling A, B, D, dan I menunjukkan penggunaan benzoat melebihi batas yang diizinkan. Batas penggunaan benzoat yang diizinkan di Indonesia adalah tidak melebihi 1000 ppm (Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988). Penggunaan natrium benzoat yang berlebihan dapat menimbulkan keracunan yang ditandai gejala pusing, mual, dan muntah

50 (Davidson et al., 1993). Pengawasan terhadap penggunaan benzoat pada cabe giling perlu dilakukan secara terpadu antara pedagang, pengelola pasar, dan Dinas Kesehatan kota Bogor agar tidak merugikan konsumen. Nilai standar deviasi yang tinggi (>5%) pada hasil analisis juga menunjukkan penambahan benzoat cukup variatif pada beberapa sampel pada pedagang yang sama, terutama pada pedagang A dan E (Tabel 8). Hal ini dapat disebabkan karena pedagang menambahkan benzoat dengan takaran yang tidak baku melainkan dengan perkiraan seperti halnya yang mereka lakukan ketika menambahkan garam dapur terhadap cabe giling. Penggunaan natrium benzoat sebagai pengawet akan berkorelasi terhadap umur simpan cabe giling. Hal ini dapat terlihat pada Lampiran 4, cabe giling A dan D yang memiliki daya tahan paling lama dibandingkan dengan cabe giling lainnya (lebih dari 8 hari) dikarenakan penambahan natrium benzoat yang tinggi pula. Sebaliknya, pada cabe giling yang berumur simpan lebih pendek dikarenakan kandungan natrium benzoat yang lebih rendah dibandingkan sampel A dan D. Untuk cabe giling I meski kadar natrium benzoat terukur cukup tinggi, namun menurut pengakuan pedagangnya daya tahannya hanya 2 hari dapat disebabkan faktor lain (kondisi pengolahan dan penyimpanan yang kurang baik) yang mempengaruhi daya tahan cabe giling lebih singkat sehingga peran natrium benzoat sebagai pengawet tidak efektif. Kasus penggunaan benzoat yang melebihi batas juga masih ditemukan pada 7.93% pangan yang diuji Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM, 2007). Hal ini menunjukkan perlu diberikan penyuluhan tentang pengetahuan tentang batas penggunaan bahan tambahan pengawet dan pengawasan terhadap produsen pangan agar tidak merugikan konsumen. e. Rhodamin B Rhodamin merupakan pewarna non pangan yang masih sering disalahgunakan oleh masyarakat. Analisis Rhodamin B pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode ekstraksi dan dilanjutkan

51 dengan pengamatan secara spektrofotometri. Rhodamin B merupakan zat pewarna yang dapat larut dalam asam. Sampel diekstrak dengan eter dalam keadaan basa agar Rhodamin B dalam sampel larut dalam fase eter. Rhodamin B yang terlarut dalam fase eter ditambahkan HCI sehingga Rhodamin B akan larut dalam HCl. Lapisan asam yang mengandung Rhodamin B akan berwarna merah muda-agak violet. Kemudian dilakukan pengamatan daerah serapan maksimum panjang gelombang melalui scanning panjang gelombang pada interval nm, dan dibandingkan dengan profil larutan baku Rhodamin B. Hasil positif ditunjukkan dengan tampilan profil yang mirip antara sampel dan larutan standar. Hasil uji kualitatif Rhodamin B pada cabe giling dapat dilihat pada Tabel 9, dan profil hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum sampel secara spektrofotometri selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 9. Hasil uji kualitatif Rhodamin B cabe giling Hasil uji Peluang Sampel penggunaan Rhodamin B Ulangan I Ulangan II Ulangan III (%) A B C D E F G H I J K L sebaran persentase (%) Ket: + = Mengandung Rhodamin B - = Tidak mengandung Rhodamin B

52 Berdasarkan hasil analisis kualitatif, 36% sampel cabe giling positif mengandung pewarna Rhodamin B. Penggunaan zat pewarna ini diduga digunakan pedagang untuk meningkatkan warna merah pada cabe giling agar terlihat lebih menarik karena memudarnya warna cabe giling yang dapat disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe merah yang kurang baik (tidak segar) atau dikarenakan penambahan air yang berlebihan sehingga warna merah memudar. Pada ulangan I menunjukkan 58% sampel positif mengandung pewarna Rhodamin B, sedangkan pada ulangan II dan III sampel yang positif menggunakan Rhodamin B adalah sebesar 25% (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan penambahan Rhodamin B tidak dilakukan kontinu oleh sebagian pedagang. Dari Tabel 9 diketahui sampel B, D, H selalu menggunakan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Sampel C, E, I, dan J menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya dengan frekuensi 33.3%. Pedagang C, E, I, dan J diperkirakan tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe giling secara kontinu (jarang). Sedangkan sampel A, F, G, K, dan L tidak pernah menggunakan Rhodamin B dalam cabe gilingnya. Alasan tingginya jumlah sampel positif Rhodamin B pada ulangan I dapat dipicu oleh harga cabe yang lebih tinggi pada saat pengambilan sampel ulangan I (± Rp /kg) dibandingkan dengan ulangan II (± Rp 8000/kg) dan ulangan III (± Rp /kg). Harga cabe yang tinggi diduga mendorong pemilihan penggunaan bahan baku yang tidak segar (karena harga bahan baku dapat lebih rendah) sehingga menimbulkan warna yang kurang menarik pada cabe giling sehingga pedagang menambahkan pewarna pada cabe giling mereka. Alasan lain penambahan pewarna pada cabe giling diduga karena penambahan air yang berlebihan sehingga mengurangi intensitas warna merah cabe giling dan untuk mengembalikan warna, ditambahkan zat pewarna. Warna cabe giling yang ditambahkan Rhodamin B ini secara visual terlihat merah agak keungu-unguan sedikit. Cabe giling yang menggunakan Rhodamin B dinyatakan tidak aman secara kimiawi karena penggunaan Rhodamin B telah terbukti

53 membahayakan kesehatan. Hasil penelitian Siswati dan Slamet (2000) menunjukkan pemberian Rhodamin B dengan konsentrasi 150, 300, dan 600 ppm berakibat terjadinya kerusakan pada jaringan hati. Kerusakan ditandai dengan terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak, dan sitolisis hingga terjadi perubahan bentuk sel hati menjadi nekrosis, dan disintegrasi jaringan disekitarnya. Selain itu melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 239/Menkes/Per/IX/85 pemerintah melarang penggunaan Rhodamin B dalam pangan. Penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor diperkirakan karena pedagang tidak mengetahui pewarna yang dipakai adalah Rhodamin B. Menurut Hasanah (2005), pewarna yang beredar di masyarakat umumnya tidak berlabel, dan beberapa diantaranya ada yang mengandung Rhodamin B. Rhodamin B pada cabe giling juga ditemukan di pasar tradisional di DKI Jakarta sebesar 63% (Djarisnawati et al., 2004). Djarisnawati et al. (2004) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pedagang dengan penggunaan Rhodamin B, tetapi ada hubungan antara pengetahuan pedagang cabe merah giling tentang bahaya Rhodamin B dengan pemberian zat pewarna. Tingkat pendidikan pedagang baik yang lulusan Sekolah Dasar maupun Perguruan Tinggi tidak mempengaruhi prilaku pedagang dalam menggunakan pewarna pada cabe gilingnya. Sedangkan pengetahuan tentang bahaya Rhodamin B mempengaruhi prilaku pedagang, pedagang yang mengetahui bahaya penambahan Rhodamin B tidak menambahkan Rhodamin B pada cabe gilingnya. Jika dibandingkan dengan prilaku pedagang cabe giling di DKI, maka penyalahgunaan Rhodamin B pada cabe giling di Bogor dapat diperkirakan juga karena pedagang tidak mengetahui bahaya penambahan Rhodamin B pada cabe gilingnya terhadap kesehatan konsumen yang mengkonsumsinya. Penggunaan Rhodamin B dalam pangan tidak hanya disalahgunakan pada cabe giling, beberapa pangan lain yang mengandung Rhodamin B, misalnya kandungan Rhodamin B pada sosis dan makaroni

54 di Bogor yaitu masing-masing 1.56 mg/100g dan mg/100g (Hasanah, 2005), 60% makanan jajanan anak SD di Jakarta (Triana, 2003), 70% terasi di Bogor (Hastuti, 2005), serta sirup, limun, es mambo, bakpao, es cendol, es kelapa, serta beberapa kue basah (Effendy, 2006) menunjukkan belum ada perbaikan yang berarti dalam hal keamanan pangan karena masih saja ditemukan pangan mengandung Rhodamin B. Hal ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih giat lagi oleh pemerintah terhadap keamanan pangan karena bahan kimia berbahaya sehingga dapat menjamin keamanan pangan pada masyarakat. 2. Keamanan Mikrobiologi Cabe Giling Mutu mikrobiologi cabe giling perlu diketahui untuk melihat tingkat cemaran mikroba pada cabe giling, sehingga dapat diketahui risiko keamanannya apabila dikonsumsi. Mutu mikrobiologi yang diamati pada cabe giling meliputi total mikroba, kapang dan kamir, S. aureus, bakteri pembentuk spora, koliform, dan E. coli. Mutu mikrobiologi cabe giling dapat dilihat pada Tabel 10 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran Tabel 10. Mutu mikrobiologi cabe giling Sampel Total mikroba (log 10 kol/g) Kapang dan kamir (log 10 kol/g) S.aureus (log 10 kol/g) Bakteri pembentuk spora (log 10 kol/g) Koliform (MPN/g) A 7.3 ± ± ± ± ± 120 B 5.4 ± ± ± ± ± 2 C 6.5 ± ± ± ± ± 0 D 6.0 ± ± ± ± ± 21 E 4.9 ± ± ± ± 0.6 < 3 ± 0 F 5.3 ± ± ± ± ± 35 G 5.9 ± ± ± ± ± 20 H 6.5 ± ± ± ± ± 6 I 5.6 ± ± ± ± ± 64 J 5.3 ± ± ± ± ± 0 K 6.5 ± ± ± ± ± 32 L 5.1 ± ± ± ± ± 35 Rata-rata 5.8 ± ± ± ± ± 28

55 Berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi, jumlah total mikroba cabe giling di kota Bogor berkisar 7.9 x x 10 7 koloni/g, kapang dan kamir 9.5 x x 10 5 koloni/g, S. aureus 5.2 x x 10 4 koloni/g, bakteri pembentuk spora 1.2 x x 10 4 koloni/g, serta koliform <3-205 MPN/g. Secara umum tidak ada sampel yang memiliki mutu mikrobiologi yang baik karena hampir seluruh sampel memiliki jumlah mikroba yang tinggi, antara lain mengandung S. aureus, total mikroba, dan koliform yang tinggi, serta positif E. coli. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sampel A memiliki mutu mikrobiologi yang paling rendah diantara sampel lainnya, karena mengandung jumlah total mikroba, koliform dan kapang dan kamir lebih tinggi dibandingkan sampel lainnya. Hal ini mengindikasikan penanganan cabe giling oleh pedagang A kurang baik. Letak kios A yang berada disudut pasar yang gelap, berdekatan dengan kios pedagang ayam potong dan kondisi sanitasi kios yang tidak memadai dapat menjadi penyebab tingginya cemaran mikroba. Tingginya jumlah mikroba pada cabe giling dapat disebabkan mutu bahan baku (cabe utuh) yang kurang baik. Menurut Feng (1997), sayuran segar umumnya mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar koloni/g, sedangkan total mikroba cabe giling ada yang mencapai 10 7 koloni/g. Tingginya mikroba juga dapat disebabkan karena kontaminasi silang dari bahan baku. Berdasarkan hasil pengamatan, selain berjualan cabe giling, penjual juga menjual cabe utuh. Penempatan cabe utuh yang berdekatan dengan cabe giling dapat menimbulkan kontaminasi silang dari cabe utuh. Cabe merah umumnya mengandung bakteri seperti Serratia, Klabsiella, Bacillus, Staphylococcus, dan Streptococcus (Feng, 1997). Selain itu, tingginya jumlah mikroba juga dapat disebabkan karena kontaminasi dari pedagang, peralatan, serta air yang digunakan untuk campuran cabe giling maupun mencuci peralatan dan bahan.

56 a. Total mikroba Total mikroba dapat dijadikan indikator kebusukan, sehingga mencerminkan mutu dan sebagai indikator daya simpan bahan pangan. Kontaminasi mikroba pada pangan dapat menyebabkan perubahan kimia dan dapat menimbulkan bau tak sedap akibat aktivitas dan hasil metabolit mikroba kontaminan. Sejauh ini belum ada standar mengenai batas maksimal kandungan total mikroba pada cabe giling. Jika dibandingkan dengan syarat mutu total mikroba saus cabe yang tidak boleh melebihi 1.0 x 10 5 koloni/g (SNI ), maka hanya cabe giling E yang memenuhi syarat tersebut. Kandungan total mikroba yang tinggi pada cabe giling dibandingkan dengan standar saus cabe dikarenakan pengolahan cabe giling tidak mendapat proses panas yang dapat menurunkan jumlah mikroba awal dan tidak ada pengaturan ph seperti halnya pada pengolahan saus cabe. Kisaran ph cabe giling dalam penelitian ini merupakan ph kritis dimana mikroba masih dapat tumbuh. Menurut Syarief dan Halid (1995), umumnya mikroba dapat tumbuh baik pada ph 6-8. Selain itu kondisi suhu tempat berjualan adalah suhu ruang yang merupakan suhu mikroba dapat tumbuh dengan baik. Cara menjual cabe giling yang tidak dikemas dan dicurah dalam wadah bak plastik tanpa tutup juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi dari lingkungan. Menurut New Hampshire Guideline dalam Frazier dan Westhoff (1981), batas maksimal total mikroba yang diizinkan untuk bahan makanan yang tidak dikemas adalah 1.0 x 10 5 koloni/g. Berdasarkan standar tersebut maka hanya cabe giling E (7.9 x 10 4 koloni/g) yang masih memenuhi standar tersebut karena jumlah mikroba pada cabe giling lainnya melebihi 1.0 x 10 5 koloni/g (Tabel 10). Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5), pada taraf 5% jumlah total mikroba cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan komposisi cabe giling (ph, kadar air, kadar garam, dan kadar benzoat) tiap pedagang berbeda pula. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada cabe giling. Kandungan

57 nutrisi yang terkandung dalam cabe dapat menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba. Senyawa antimikroba yang terkandung dalam cabe (capsaicin) diduga mengalami penguapan saat penggilingan sehingga tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada cabe. Menurut Purseglove et al. (1981), capsaicin dapat menguap pada suhu >65 0 C dan menurut Rukmana dan Yunarsih (2005), selama penggilingan cabe merah terjadi kenaikan suhu hingga mencapai C. Penambahan benzoat dan garam NaCl pada cabe giling tidak efektif dalam menekan pertumbuhan mikroba yang terkandung dalam cabe giling. Hal ini dapat terlihat pada sampel A yang mengandung natrium benzoat lebih tinggi (1231 ppm) dibandingkan dengan natrium benzoat sampel L (398 ppm), tetapi total mikroba A (1.9 x 10 7 koloni/g) lebih besar dibanding total mikroba L (1.3 x 10 5 koloni/g). Menurut Davidson et al. (1993), benzoat efektif pada ph , sedangkan ph cabe giling berkisar sehingga peran benzoat sebagai antimikroba tidak optimal. Penambahan natrium benzoat 0.1% dan natrium metabisulfit 0.05% pada cabe giling hasil penelitian Wati (1997) pun tidak cukup efektif mengurangi jumlah total mikroba pada cabe giling (masih mengandung jumlah total mikroba 3.9 x 10 5 koloni/g). Lain halnya dengan hasil penelitian Suyekti (1998), cabe giling yang ditambahkan 0.05% natrium benzoat, 0.8% asam asetat, 0.15% asam askorbat ternyata efektif menghambat mikroba hingga 9.1 x 10 2 koloni/g. Hal ini menunjukkan penambahan asam askorbat secara sinergis meningkatkan efektifitas natrium benzoat dan asam asetat dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada cabe giling. Jumlah mikroba awal yang tinggi pada cabe dapat pula direduksi dengan cara pemanasan. Menurut Bracket (1987), jumlah bakteri pada rempah-rempah menurun selama penggilingan jika terjadi kenaikan suhu hingga C dan selama penggilingan cabe terjadi penurunan jumlah bakteri dari 5.1 x koloni/g menjadi 1.0 x 10 5 koloni/g. Pemanasan dengan microwave selama dua menit menghasilkan cabe giling dengan total mikroba 4.0 x 10 5 koloni/g sedangkan untuk cabe giling halus hasil

58 pemanasan autoklaf mengandung total mikroba <1.0 x 10 4 koloni/g (Lubis, 2000). Tingginya total mikroba pada cabe giling di kota Bogor dapat pula mengindikasikan praktek sanitasi para pedagang yang kurang baik sehingga menyebabkan kontaminasi. Selain itu, kontaminasi juga dapat berasal dari tanah, air, dan debu yang mengkontaminasi cabe giling selama proses pengolahan hingga penyajian. Selama penggilingan kemungkinan dapat terjadi kontaminasi silang dari alat giling yang tidak bersih atau dari udara di sekeliling tempat penggilingan. Kontaminasi silang dapat pula berasal dari bahan baku utama yaitu cabe merah dan air (air yang ditambahkan dalam cabe giling maupun air yang digunakan untuk mencuci bahan dan alat). Meskipun pedagang mengaku mencuci bahan dan alat sebelum berjualan, seharusnya pedagang menggunakan air mengalir untuk mencuci, karena menggunakan air tergenang (dalam wadah) untuk mencuci tidak efektif untuk mensanitasi alat dan bahan karena berpeluang rekontaminasi dari air tersebut. Air yang digunakan pedagang umumnya berasal dari air PDAM yang disediakan pengelola pasar. Penggunaan air PDAM belum memberi jaminan rendahnya kandungan total mikroba pada air yang digunakan karena sangat memungkinkan adanya kontaminasi dari pipa kran yang kurang baik dan kotor. Hasil uji sanitasi air pada usaha katering di Bogor menunjukkan total mikroba air PDAM 1.4 x 10 4 koloni/100ml (Octavia, 2004). Jumlah ini melebihi syarat air minum yang baik menurut SNI tentang air bersih yaitu 1.0 x 10 4 koloni/100ml. Kondisi air seperti ini perlu diwaspadai, sehingga pencucian alat sebaiknya menggunakan sabun atau desinfektan untuk mengurangi jumlah mikroba. b. Kapang dan kamir Para pedagang umumnya menjual cabe giling dalam wadah bak plastik terbuka, hal ini dapat menyebabkan kontaminasi kapang dan kamir dari udara. Jumlah kapang dan kamir pada cabe giling komersial berkisar 9.5 x x 10 5 koloni/g (Tabel 10). Jumlah kapang dan kamir ini lebih

59 tinggi dibandingkan dengan jumlah kapang dan kamir dalam sayuran segar. Menurut Lund (2000), jumlah kapang dan kamir pada sayuran segar adalah 1.0 x 10 5 koloni/g. Jenis kapang yang banyak terdapat pada cabe adalah Aspergillus sp., Rhizopus, Penicillium, dan Absidia (Feng, 1997). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah kapang dan kamir cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang. Jumlah kapang dan kamir cabe giling H mengandung jumlah tertinggi dibandingkan dengan cabe giling yang lain (Tabel 10). Hal ini disebabkan karena tempat berjualan pedagang H hanyalah meja dipan bukan didalam kios sehingga peluang cabe giling terekspos udara yang mengandung spora kapang sangat tinggi. Menurut penelitian Rahayu dan Kuswanti (2002), lingkungan kantin kampus dengan kondisi tempat berjualan semi terbuka memiliki densitas kapang dan kamir yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar densitas kapang dan kamir pada udara di ruang tertutup. Kondisi ruang yang terbuka memungkinkan kotoran dan debu dari luar masuk ke lingkungan pasar melalui udara maupun pengunjung yang datang ke pasar. Kondisi udara di lingkungan pasar umumnya lembab, gelap dan kurang penetrasi cahaya matahari, serta aliran udara yang disebabkan karena adanya gerakan manusia, ventilasi dan proses pernafasan dapat meningkatkan jumlah mikroba di dalam udara. Oleh karena itu udara disekitar tempat berjualan diusahakan mendapat sinar matahari karena sinar matahari langsung dapat membunuh mikroba yang ada di dalam udara sehingga jumlahnya dapat berkurang. Menurut Frazier dan Westhoff (1981), udara tidak mengandung mikroba alami namun pada udara ditemukan adanya mikroba yang berasal dari suspensi benda padat dan pada droplet-droplet air. Spora kapang dapat tumbuh di udara karena ukurannya kecil, tahan terhadap kekeringan, dan biasanya terdapat dalam jumlah besar. Sedangkan kamir yang sering ditemukan di udara adalah kamir yang tidak membentuk spora. Jumlah mikroba di udara tergantung dari banyak faktor seperti adanya aliran

60 udara, sinar matahari, kelembapan, lokasi serta jumlah debu yang tersuspensi di dalam udara (Jennie, 1989). Jumlah kapang dan kamir cabe giling ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kapang dan kamir cabe giling hasil penelitian Wati (1997) yaitu 7.9 x 10 2 koloni/g. Meski cabe giling juga terbukti mengandung natrium benzoat, bahkan beberapa diantaranya dengan kadar yang tinggi, penambahan garam NaCl dan natrium benzoat tidak efektif menghambat pertumbuhan kapang dan kamir pada cabe giling ini. Kapang dan kamir dapat tumbuh pada cabe giling karena kapang dan kamir dapat tumbuh pada kisaran A w dan ph rendah yaitu 0.80 dan 0.88, ph , bahkan beberapa kamir dapat hidup pada ph 3.0 (Syarief dan Halid, 1995) sedangkan ph cabe giling ini berkisar c. Staphylococus aureus Jumlah S. aureus cabe giling komersial di pasar tradisional di kota Bogor berkisar 5.2 x x 10 4 koloni/g (Tabel 10). Jumlah S. aureus pada cabe giling ini lebih tinggi dari batas maksimum S. aureus untuk pangan tak dikemas menurut New Hampshire Guideline, yaitu 1.0 x 10 2 koloni/g (Frazier dan Westhoff, 1981). Adanya bakteri ini mengindikasikan kontaminasi dari pekerja. Selain itu kontaminasi juga dapat berasal dari konsumen yang berlalu-lalang di dalam lingkungan pasar. S. aureus dapat hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin (Gaman dan Sherrington, 1981). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah S. aureus cabe giling komersial berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan higiene pedagang yang berbeda. Kebiasaan buruk pedagang yang melakukan kontak langsung antara jari tangan dan cabe giling saat mengolah cabe giling dapat menyebabkan kontaminasi S. aureus dari jari tangan yang sering memegang berbagai bagian tubuh yang lain. Meski pedagang mengaku

61 telah melakukan sanitasi seperti mencuci tangan sebelum berjualan, namun tindakan ini kurang tepat karena para pedagang tersebut tidak mencuci tangan dengan sabun. Kontaminasi juga dapat berasal dari kulit, dan rambut pekerja yang kotor. Menurut Saksono (1986), bakteri S. aureus dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama pada debu, kotoran, lantai dan dinding. Dengan demikian kemungkinan kontaminasi dari debu dan lantai dapat meningkatkan kontaminasi S. aureus pada cabe giling. Penambahan garam NaCl pada cabe giling ( % b/b) tidak berpengaruh nyata dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena bakteri ini tergolong bakteri yang tahan garam dan dapat tumbuh baik pada medium yang mengandung garam hingga 7.5% NaCl. Selain itu kisaran ph cabe giling pun cocok untuk pertumbuhan S. aureus. Menurut Fardiaz (1983), S. aureus dapat tumbuh pada ph dan tumbuh optimum pada suhu C. Bakteri ini akan terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 10-12%. Sebagian besar galur S. aureus bersifat patogen dan dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas. Keracunan pangan oleh Staphylococcus adalah tipe keracunan yang paling umum. Gejala keracunan enterotoksin diantaranya adalah kejang perut, mual, pusing, muntah disertai diare yang biasa terjadi setelah 2-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh enterotoksin tersebut (Supardi dan Sukamto, 1999). S. aureus dapat meracuni pangan tanpa menyebabkan perubahan warna, flavour, maupun bau (Marriott dan Norman, 1985). Meski S. aureus pada cabe giling tidak memenuhi standar untuk pangan tak dikemas, namun belum tentu menimbulkan keracunan. Menurut Gaman dan Sherrington (1981), enterotoksin S. aureus baru dapat menyebabkan penyakit bila terdapat 1.0 x 10 6 koloni/g. Jumlah S. aureus cabe giling masih berada dibawah jumlah ini, sehingga kemungkinan untuk menimbulkan keracunan rendah.

62 d. Koliform dan E. coli Hasil uji koliform menunjukkan jumlah koliform cabe giling berkisar < MPN/g (Tabel 10). Dari hasil uji penguat diketahui sebagian besar sampel mengandung koliform fekal. Sampel yang positif mengandung koliform fekal dilakukan uji lanjut untuk identifikasi E. coli. Hasil analisis kualitatif E. coli pada cabe giling menunjukkan sebagian besar cabe giling positif mengandung E. coli. Hasil analisis menunjukkan hanya cabe giling D, G, H dan K negatif E. coli, sedangkan pada cabe giling B hasil negatif hanya pada ulangan I. Koliform merupakan petunjuk adanya polusi yang berasal dari kotoran manusia atau hewan dan menunjukkan kondisi sanitasi yang buruk. Berdasarkan batas maksimum koliform yang diperbolehkan untuk pangan tak dikemas menurut New Hampshire Guideline yang diacu dalam Frazier dan Westhoff (1981) yakni 100 MPN/g, maka hanya sampel B, E, G, dan H dan K yang masih memenuhi standar karena jumlah koliformnya masing-masing adalah 3.0 MPN/g, <3.0 MPN/g, 25 MPN/g, dan 24 MPN/g, sedangkan sampel lainnya mengandung koliform >100 MPN/g. Jumlah koliform yang tinggi pada cabe giling kemungkinan besar disebabkan kontaminasi dari air untuk keperluan mencuci peralatan dan bahan baku yang tercemar koliform dan E. coli. Selain itu, tingginya jumlah koliform dapat disebabkan karena kebiasaan pedagang yang melakukan proses mencuci bahan dan alat tidak dengan air mengalir melainkan dalam wadah yang menampung air dalam jumlah terbatas, sehingga menyebabkan kontaminasi silang. Air yang mereka gunakan berasal dari PDAM. Menurut Winarno (1993), air PDAM sering mengalami kontaminasi selama perjalanan yang masuk melalui kebocoran pipa sehingga air comberan dan air buangan lain terserap masuk ke dalam pipa-pipa. Persyaratan Air Bersih dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/PerMenKes /IX/1990 menyebutkan syarat air bersih tidak boleh mengandung bakteri E. coli dan jumlah maksimum koliform air bersih untuk air PAM adalah 10 MPN/100 ml dan untuk air sumur adalah

63 50 MPN/100 ml. Dapat dipastikan air yang digunakan pedagang tidak memenuhi syarat air bersih. Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah koliform cabe giling berbeda nyata antar pedagang yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan kondisi penanganan yang berbeda dari masingmasing pedagang. Tangan pekerja yang tidak bersih juga dapat menjadi faktor kontaminasi koliform dan E. coli. Kebiasaan buruk pedagang yang tidak mencuci tangan memakai sabun setelah buang air besar kemudian mengolah cabe giling dapat menyebabkan cabe giling tercemar E. coli. Keberadaan E. coli pada cabe giling patut diwaspadai karena beberapa galur E. coli merupakan patogen, yang dapat memberikan gejala diare. Contoh bakteri E. coli yang patogen adalah EEC (Enteropatogenic E. coli), ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EIEC (Enteroinvasive E. coli), dan EHEC (Enterohaemorhagic E. coli). Meski demikian, tidak semua E. coli mampu memproduksi toksin yang dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya strain ETEC (Enterotoxigenic E. coli) saja (Fardiaz, 1992). e. Bakteri pembentuk spora Berdasarkan hasil analisis, jumlah bakteri pembentuk spora pada cabe giling berkisar 1.2 x x 10 4 koloni/g (Tabel 10). Setelah pembersihan dan pengolahan pangan, jumlah mikroba dalam rempahrempah menurun dan yang tersisa terdiri dari bakteri pembentuk spora dan kapang (Supardi dan Sukamto, 1999). Berdasarkan analisis ragam sidik pada taraf 5% (Lampiran 5), jumlah bakteri pembentuk spora berbeda nyata antar pedagang satu dan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan mutu bahan baku cabe yang digunakan. Pada saat penggilingan cabe giling, jumlah bakteri dapat tereduksi namun kemungkinan beberapa bakteri yang dapat membentuk spora akan resisten terhadap panas dan akan bergerminasi selama penjualan. Jumlah bakteri pembentuk spora yang tinggi pada cabe giling karena cabe giling ini memiliki kisaran ph dimana bakteri masih dapat tumbuh. Selain itu lingkungan seperti suhu kamar, kondisi lembab juga

64 dapat memberikan kondisi nyaman bagi bakteri untuk tumbuh. Bakteri pembentuk spora dapat tumbuh pada suhu optimum C dan kisaran ph tumbuh Kadar garam cabe giling yang berkisar % (b/b) dapat melindungi resistensi spora terhadap pemanasan. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), kandungan garam 4% dapat melindungi spora yang resisten terhadap pemanasan dan resistensi spora terhadap pemanasan akan menurun jika berada pada kondisi kadar garam >8%. Mikroba pembentuk spora penting diperhatikan karena resisten terhadap panas dan beberapa strain diantaranya bersifat patogen. Spora-spora yang tahan panas mampu bertahan hidup pada suhu pemasakan dan akan bergerminasi saat kondisi dibiarkan hangat atau didinginkan perlahan. Bakteri pembentuk spora patogen yang sering mengkontaminasi bumbu adalah Bacillus cereus (Gaman dan Sherrington, 1981). Bacillus cereus bersifat aerobik, dapat membentuk spora dan memproduksi eksotoksin yang dilepaskan ke pangan. Sumber kontaminasi bakteri ini berasal dari tanah, debu, dan air. Gejala keracunan ditandai muntahmuntah, sakit perut, dan diare. Keracunan akibat Bacillus cereus dapat terjadi jika kandungan bakteri mencapai 10 4 koloni/g (Fardiaz, 1983). Berdasarkan pemaparan kondisi umum pedagang dan keamanan cabe giling, secara umum keamanan pangan cabe giling di kota Bogor masih perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dari lokasi penjualan yang kurang bersih dan upaya menjaga kebersihan cabe giling yang dilakukan pedagang masih sangat sederhana. Untuk memperoleh harga cabe giling yang lebih rendah, biaya produksi ditekan dengan penggunaan bahan baku yang bermutu rendah sehingga harga jualpun rendah. Penggunaan bahan baku yang rendah dapat menurunkan mutu, sehingga umur simpan cabe giling lebih singkat. Volume produksi dan kapasitas penjualan cabe giling per hari yang tidak seimbang terkadang menyebabkan cabe giling sering kali tersisa dan mendorong pedagang menambahkan pengawet ke dalam cabe giling mereka tersebut.

65 Menurut hasil penelitian, masih ditemukan penggunaan bahan pengawet yang berlebihan dan penggunaan Rhodamin B. Hal ini dapat merugikan keamanan konsumen. Secara khusus, cabe giling A yang berasal dari pasar Bogor keamanan pangannya masih rendah ditinjau dari parameter mikrobiologi, dan penggunaan natrium benzoat yang melebihi batas. Sedangkan cabe giling yang memiliki keamanan pangan relatif lebih baik dibandingkan sampel lainnya adalah cabe giling kode G yang berasal dari pasar Padasuka dan kode K dari pasar Jambu Dua karena aman dari segi penambahan natrium benzoat serta bebas dari penyalahgunaan Rhodamin B. Selain itu cabe giling ini juga terbukti tidak mengandung E. coli. Hal ini berkorelasi dengan kondisi penanganan dan tata cara penjualan masing-masing cabe giling tersebut. Adanya kandungan mikroba yang tinggi pada cabe giling dapat mempengaruhi daya tahan cabe giling. Untuk itu diperlukan studi penyimpanan untuk mengetahui daya simpan cabe giling dan membandingkan dengan daya simpan cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat dalam batas aman. C. STUDI PENYIMPANAN Cabe giling di kota Bogor menurut pengakuan pedagang memiliki daya tahan 2-8 hari. Pada studi penyimpanan, cabe giling yang dipilih untuk mewakili studi penyimpanan adalah kode G dan kode K (Lampiran 4), karena cabe giling ini memiliki mutu yang lebih baik dibandingkan dengan cabe giling lainnya. Cabe giling G dan K memiliki kadar natrium benzoat masingmasing sebesar 617 ppm dan 741 ppm, dan menurut pedagangnya tahan disimpan hingga 2 hari. Daya tahan cabe giling tersebut kemudian dibandingkan dengan cabe giling yang dibuat dengan penambahan natrium benzoat 0, 500, dan 1000 ppm, sehingga diperoleh perbandingan berapa lama daya tahan cabe giling sebenarnya. Sebelum dilakukan studi penyimpanan, dilakukan juga trial cabe giling tanpa penambahan garam, ternyata setelah 24 jam sudah berbau asam dan berlendir.

66 Beberapa penelitian yang mengkaji tentang cabe giling selama penyimpanan sudah pernah dilakukan, diantaranya penelitian yang telah dilakukan Lubis (2000), dengan metode microwave dan autoclave dan penambahan NaCl dikombinasikan dengan natrium benzoat dapat meningkatkan daya tahan cabe giling hingga 35 hari. Namun metode ini belum aplikatif diterapkan pada pedagang cabe giling di pasar, mengingat peralatan microwave dan autoclave yang mahal harganya. Kondisi cabe giling pada awal penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Cabe giling umumnya berwarna merah oranye dan beraroma khas cabe. Namun, terdapat perbedaan aroma pada sampel G dan K dibandingkan dengan cabe giling yang lain. Sampel G memiliki aroma tomat, sedangkan sampel K memiliki aroma bawang. Hal ini dapat disebabkan karena pedagang menggunakan alat penggilingan yang juga digunakan untuk menggiling jenis bumbu lain yang mereka jual. Alat giling yang tidak dicuci bersih dapat menimbulkan tercampurnya aroma cabe giling dengan residu aroma bahan yang digiling sebelumnya. Penampakan warna sampel G yang sedikit berbeda dengan warna cabe giling yang lain dapat disebabkan perbedaan varietas cabe yang digunakan atau kemungkinan lainnya adalah pedagang mencampur tomat merah kedalam cabe giling yang dijual agar mendapat keuntungan lebih besar karena penambahan tomat atau bahan pengisi lainnya dapat menambah bobot cabe giling. Hal ini diperkuat dengan terciumnya aroma tomat dan kekentalan cabe giling yang lebih tinggi dibandingkan cabe giling yang lain. Tabel 11. Pengamatan visual cabe giling hari ke-0 Sampel dengan penambahan Na-benzoat (ppm) Pengamatan visual Warna Aroma 0 Merah orange Khas cabe 500 Merah orange Khas cabe 1000 Merah orange Khas cabe Sampel G Merah tua Tomat Sampel K Merah orange Bawang

67 Jumlah total mikroba pada cabe giling selama penyimpanan menunjukkan peningkatan (Gambar 9). Berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf 5% (Lampiran 13), penambahan natrium benzoat tidak berpengaruh nyata dalam menekan pertumbuhan total mikroba pada cabe giling. Hal ini dapat disebabkan karena proses pembuatan cabe giling dilakukan tanpa pemanasan dan tidak ada pengaturan ph. Pada cabe giling tanpa penambahan Na-benzoat kerusakan terjadi pada hari ke-2. Sedangkan pada cabe giling dengan penambahan Na-benzoat 500 ppm mampu bertahan hingga hari ke-5, dan cabe giling dengan penambahan Na-benzoat 1000 ppm dapat bertahan hingga hari ke-12. Penambahan natrium benzoat ke dalam cabe giling menunjukkan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan dapat dihambat sehingga dapat memperlambat kerusakan cabe giling. Daya tahan cabe giling komersial yang diwakili sampel G mengalami kerusakan pada hari ke-3, sedangkan sampel K mengalami kerusakan pada hari ke-6. Meski mengandung natrium benzoat lebih besar dari 500 ppm, cabe giling G dan K ternyata tidak dapat bertahan melebihi cabe giling dengan penambahan natrium benzoat 500 ppm. Jumlah mikroba awal yang tinggi pada cabe giling komersial dan terus meningkat mengakibatkan kerusakan lebih cepat terjadi. Hal ini dapat pula disebabkan karena penggunaan bahan baku cabe yang kurang baik serta penanganan pengolahan yang kurang bersih. Jumlah TPC (log10 kol/g) Waktu simpan (hari) Na-benzoat 0 ppm Na-benzoat 500 ppm Na-benzoat 1000 ppm Cabe giling Komerisal "G" Cabe giling komersial "K" Gambar 9. Jumlah total mikroba selama penyimpanan

68 Selama penyimpanan terjadi perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi pada cabe giling. Perubahan sifat cabe dapat diakibatkan oleh aktivitas enzim dan aktivitas mikroba yang terkandung dalam cabe. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas enzim maupun mikroba dapat mengakibatkan perubahan flavour, tekstur, warna dan aroma. Kerusakan pada cabe giling ditandai dengan tumbuhnya miselium kapang yang berwarna putih dipermukaaan cabe giling dan gelembung gas. Hasil pengamatan kerusakan secara visual dapat dilihat pada Tabel 12. Perubahan warna merah orange menjadi merah pada cabe giling dapat terjadi karena reaksi pencoklatan enzimatik dan aktivitas mikroba selama penyimpanan. Menurut Winarno (1997), pencoklatan yang terjadi pada jaringan tanaman yang hancur dipengaruhi oleh sistem enzim oksidase (polifenolase) dalam jaringan tersebut sehingga disebut reaksi pencoklatan enzimatis. Perubahan warna dapat pula disebabkan karena terbentuknya asamasam organik hasil metabolisme mikroba yang menyebabkan warna menjadi gelap karena asam yang terdisasosiasi dalam bahan pangan akan mempengaruhi kestabilan warna (Syarief dan Halid, 1993). Tabel 12. Pengamatan visual kerusakan cabe giling selama penyimpanan Sampel dengan penambahan Na-benzoat (ppm) Hari ke- Warna dan penampakan Terjadi perubahan Pertumbuhan Kapang 0 2 Merah oranye ++++ (putih di permukaan) Merah tua ++ (putih di permukaan) Merah tua + (putih di permukaan) Sampel G 3 Merah tua ++ dan (hitam di berlendir permukaan) Sampel K 6 Merah tua dan berlendir + (putih di permukaan) Gas Aroma +++ Apek, asam ++ Apek, asam +++ Apek, asam - Busuk ++ Apek, asam

69 Berdasarkan pengamatan dapat disimpulkan bahwa cabe giling mengalami kerusakan saat jumlah total mikroba mencapai 10 7 koloni/g. Kerusakan terjadi karena adanya aktivitas mikroba pembusuk yang menghasilkan gelembung gas, aroma apek dan asam, lendir, serta timbul kapang dipermukaan cabe giling. Bakteri pembusuk yang biasa terdapat pada cabe adalah Bacillus subtilis, Pseudomonas. sp dan Leuconostoc. Gelembung gas yang terbentuk dapat berasal dari CO 2 dan H 2 hasil respirasi bakteri tersebut. Lendir yang terdapat pada sampel G dan K dapat berasal dari aktivitas Pseudomonas sp dan Leuconostoc. Menurut Frazier dan Westhoff (1981), lendir merupakan pembentukan kapsul oleh mikroba dalam bahan pangan yang dapat disebabkan oleh hidrolisis pati dan protein. Leuconostoc tergolong bakteri Gram positif yang dapat memfermentasi gula dan memproduksi asam berlebihan sehingga dapat menurunkan ph medium hingga dibawah 5.0, memproduksi lendir, dan CO 2. Leuconostoc merupakan jenis bakteri yang bersifat heterofermentatif, dan halotoleran. Pseudomonas dapat menggunakan senyawa-senyawa nitrogen sederhana, memproduksi senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan bau busuk, memproduksi lendir, pertumbuhan cepat pada kondisi aerob (Supardi dan Sukamto, 1999). Lendir dapat pula disebabkan adanya kontaminasi Enterobacter aerogenes dari air yang digunakan pedagang. Menurut Fardiaz (1992), Enterobacter aerogenes meski tidak bersifat patogen namun sering menimbulkan lendir pada pangan. Kapang yang tumbuh pada permukaan cabe giling (Gambar 10a) diperkirakan jenis Aspergillus candidus. Menurut Syarief dan Halid (1993), Aspergillus candidus sering ditemukan pada pangan yang rusak dengan ciri warna putih yang timbul di permukaan bahan pangan. Sedangkan lapisan hitam pada cabe giling G (Gambar 10b) diperkirakan akibat pertumbuhan kapang jenis Aspergillus niger yang dapat memiliki spora berwarna hitam dan sering ditemukan pada pangan yang rusak. Perbedaan penampakan kerusakan pada sampel G dapat disebabkan karena mutu bahan baku yang kurang baik. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), A. niger dan A. flavus sering ditemukan pada cabe, lada hitam, dan lada putih.

70 (a) Gambar 10. Pengamatan kerusakan pada cabe giling (a) K dan (b) G (b) Jumlah kapang kamir cabe giling selama penyimpanan menunjukkan peningkatan jumlah kapang kamir diawal penyimpanan dan berangsur-angsur menurun seiring bertambahnya lama penyimpanan (Gambar 11). Jumlah kapang kamir pada cabe giling dengan penambahan natrium benzoat 1000 ppm mengalami fluktuatif. Pada hari ke-2 mengalami kenaikan hingga hari ke-6 kemudian berangsur turun. Jumlah kapang kamir (log10 kol/g) Waktu simpan (hari) Na-benzoat 0 ppm Na-benzoat 500 ppm Na-benzoat 1000 ppm Cabe giling Komerisal "G" Cabe giling komersial "K" Gambar 11. Jumlah kapang kamir cabe giling selama penyimpanan Pengaruh penambahan natrium benzoat pada cabe giling terlihat mampu menghambat pertumbuhan kapang kamir dibandingkan dengan cabe giling tanpa penambahan natrium benzoat (Gambar 11). Menurut Tressler dan Joslyn (1961), natrium benzoat lebih efektif digunakan untuk menghambat kapang dan kamir dibandingkan dengan bakteri. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis ragam pada taraf 5% bahwa penambahan natrium benzoat

SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F

SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR. Oleh : ROSARIA F SKRIPSI STUDI KEAMANAN CABE GILING DI KOTA BOGOR Oleh : ROSARIA F 24103043 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel

III. METODOLOGI. 1. Analisis Kualitatif Natrium Benzoat (AOAC B 1999) Persiapan Sampel III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah saus sambal dan minuman dalam kemasan untuk analisis kualitatif, sedangkan untuk analisis kuantitatif digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saus Sambal Saus Sambal merupakan salah satu jenis pangan pelengkap yang sangat populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI 0129762006), saus sambal didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minuman Sari Buah 1. Definisi Minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Saus Cabai Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang diperoleh dari bahan utama cabai (Capsicum sp) yang matang dan baik, dengan atau tanpa penambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. additive dalam produknya. Zat tambahan makanan adalah suatu senyawa. memperbaiki karakter pangan agar mutunya meningkat.

I. PENDAHULUAN. additive dalam produknya. Zat tambahan makanan adalah suatu senyawa. memperbaiki karakter pangan agar mutunya meningkat. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini banyak terjadi perkembangan di bidang industri makanan dan minuman yang bertujuan untuk menarik perhatian para konsumen. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A

PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A PETUNJUK PRAKTIKUM PENYEHATAN MAKANAN MINUMAN A Cemaran Logam Berat dalam Makanan Cemaran Kimia non logam dalam Makanan Dosen CHOIRUL AMRI JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA 2016

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Keadaan Lokasi Pengambilan Sampel Sampel yang digunakan adalah sampel bermerek dan tidak bermerek yang diambil dibeberapa tempat pasar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bakso Bakso adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok daging dengan penambahan bumbu-bumbu dan bahan kimia lain sehingga dihasilkan produk yang strukturnya kompak atau

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober sampai Desember 2013. Ikan teri (Stolephorus sp) asin kering yang dijadikan sampel berasal dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat dan penurunan mutu produk kopi instan formula a. Kadar air (AOAC, 1995) Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip dari metode

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

PRODUKSI ABON IKAN PARI ( (RAYFISH): PENENTUAN KUALITAS GIZI ABON

PRODUKSI ABON IKAN PARI ( (RAYFISH): PENENTUAN KUALITAS GIZI ABON SEMINAR HASIL PRODUKSI ABON IKAN PARI ( (RAYFISH): PENENTUAN KUALITAS GIZI ABON OLEH : FITHROTUL MILLAH NRP : 1406 100 034 Dosen pembimbing : Dra. SUKESI, M. Si. Surabaya, 18 Januari 2010 LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

PENETAPAN NATRIUM BENZOAT Laporan Praktikum Kimia Pangan

PENETAPAN NATRIUM BENZOAT Laporan Praktikum Kimia Pangan PENETAPAN NATRIUM BENZOAT Laporan Praktikum Kimia Pangan Kelompok 3 Ade Juwita (109096000012) Chitta Putri Noviani (109096000007) Galuh Ilmia Cahyaningtyas (109096000011) Hafiz Akhyar (109096000034) Rahmawati

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Zat Warna Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 2012, pewarna adalah bahan tambahan pangan (BTP) berupa pewarna alami, dan pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan ataudiaplikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret sampai Bulan Juni 2013. Pengujian aktivitas antioksidan, kadar vitamin C, dan kadar betakaroten buah pepaya

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1. BAB III METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN A.1. Alat yang digunakan : A.1.1 Alat yang diperlukan untuk pembuatan Nata de Citrullus, sebagai berikut: 1. Timbangan 7. Kertas koran 2. Saringan 8. Pengaduk 3. Panci

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkarakterisasi simplisia herba sambiloto. Tahap-tahap yang dilakukan yaitu karakterisasi simplisia dengan menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian 3.1.1 Bagan Alir Pembuatan Keju Cottage Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 900 g Susu skim - Ditambahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produksi daging sapi di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 523.927 ton, hasil tersebut meningkat dibandingkan produksi daging sapi pada tahun 2014 yang mencapai 497.670

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo yaitu SMPN 1 Gorontalo, SMPN 2 Gorontalo, SMPN 3 Gorontalo,

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo yaitu SMPN 1 Gorontalo, SMPN 2 Gorontalo, SMPN 3 Gorontalo, 22 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilakukan pada 7 Sekolah Menengah Pertama Kota Gorontalo yaitu SMPN 1 Gorontalo, SMPN 2 Gorontalo,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan di dalam kehidupannya (Effendi, 2012). Berdasakan definisi dari WHO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan di dalam kehidupannya (Effendi, 2012). Berdasakan definisi dari WHO 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makanan Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Pada makanan terdapat senyawa-senyawa yang diperlukan untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak dan dapat memulihkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 di Laboratorium Kimia Instrumen dan Laboratorium Kimia Riset Makanan

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITAN Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang melibatkan 2 faktor perlakuan dengan 3

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian eksperimental yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Universitas

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Universitas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada penjual minuman olahan yang berada di pasar

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada penjual minuman olahan yang berada di pasar BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada penjual minuman olahan yang berada di pasar Sentral Kota Gorontalo. Dari keseluruhan penjual

Lebih terperinci

ANALISIS BAHAN PENGAWET BENZOAT PADA SAOS TOMAT YANG BEREDAR DI WILAYAH KOTA SURABAYA 1

ANALISIS BAHAN PENGAWET BENZOAT PADA SAOS TOMAT YANG BEREDAR DI WILAYAH KOTA SURABAYA 1 ANALISIS BAHAN PENGAWET BENZOAT PADA SAOS TOMAT YANG BEREDAR DI WILAYAH KOTA SURABAYA 1 Ervin Tri Suryandari 2 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang penentuan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2. MATERI DAN METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2.2. Materi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

METODE Lokasi dan Waktu Materi

METODE Lokasi dan Waktu Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Laboratorium mikrobiologi, SEAFAST CENTER, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam HUBUNGAN ANTARA KADAR GARAM DAN KADAR AIR TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA MAKANAN TRADISIONAL RONTO DARI KOTABARU KALIMANTAN SELATAN Meiliana Sho etanto Fakultas Farmasi Meilianachen110594@gmail.com

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Posttest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan Waktu : 60 menit Baca baik-baik soal dibawah ini dan jawablah pada lembar jawab yang telah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive)

Bahan Tambahan Pangan (Food Additive) Bahan Tambahan Pangan (Food Additive) A. Tujuan menambahkan bahan tambahan pangan ke dalam makanan: 1. Meningkatkan mutu pangan 2. Meningkatkan daya tarik 3. Mengawetkan pangan B. Macam-macam Bahan Tambahan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan yaitu dari bulan Oktober 2011 sampai Mei 2012. Lokasi penelitian di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Terpadu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR PENGAWET BENZOAT PADA SAUS TOMAT PRODUKSI LOKAL YANG BEREDAR DI PASARAN KOTA MANADO ABSTRAK

IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR PENGAWET BENZOAT PADA SAUS TOMAT PRODUKSI LOKAL YANG BEREDAR DI PASARAN KOTA MANADO ABSTRAK IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR PENGAWET BENZOAT PADA SAUS TOMAT PRODUKSI LOKAL YANG BEREDAR DI PASARAN KOTA MANADO Jurike Kaunang 1), Fatimawali 1), Feti Fatimah 2) 1) Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium 11 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Pengujian yang

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB II MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB II MATERI DAN METODE PENELITIAN BAB II MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1. Materi Penelitian 2.1.1. Lokasi Sampling dan Waktu Penelitian Dalam penelitian ini sampel diambil dari lokasi-lokasi sebagai berikut: 1. Rumah Pemotongan Hewan

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu dilakukan pada bulan Agustus 2009 Januari 2010 yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu (uji kimia dan mikrobiologi) dan di bagian Teknologi Hasil Ternak (uji organoleptik), Departemen Ilmu Produksi dan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Samarinda, 5 6 Juni 2015 Potensi Produk Farmasi dari Bahan Alam Hayati untuk Pelayanan Kesehatan di Indonesia serta Strategi Penemuannya ANALISIS CEMARAN MIKROBA

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1. Metode Pengumpulan Data 2.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel nasi bungkus diambil dari penjual nasi bungkus di wilayah sekitar kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2014 sampai dengan bulan Januari 2015 bertempat di Laboratorium Riset Kimia Makanan dan Material serta

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 di. Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro, Semarang.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 di. Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro, Semarang. 19 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan Fakultas Peternakan dan Pertanian, dan Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Pretest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan

TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Pretest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan TES KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (Soal Pretest) Mata Pelajaran : IPA Kelas/Semester : VIII/2 Materi Pokok : Makanan Waktu : 60 menit Baca baik-baik soal dibawah ini dan jawablah pada lembar jawab yang telah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung

Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung Lampiran 1. Tatacara karakterisasi limbah tanaman jagung a. Kadar Air Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Masukkan cawan kosong tersebut dalam

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

BAB III METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath, 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: waterbath,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas

METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap: Tahap pertama adalah pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas Teknobiologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bubur kacang hijau Bubur kacang hijau adalah jenis makanan yang dibuat dari bahan pokok kacang hijau dengan perebusan, penambahan bumbu-bumbu dan bahan kimia lain sehingga didapatkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah 30 LAMPIRAN 31 Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah No. Sifat Tanah Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1. C (%) < 1.00 1.00-2.00 2.01-3.00 3.01-5.00 > 5.0 2. N (%)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah :

BAB III METODOLOGI. III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : BAB III METODOLOGI III. 1 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan sabun pencuci piring ialah : III.1.1 Pembuatan Ekstrak Alat 1. Loyang ukuran (40 x 60) cm 7. Kompor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai

I. PENDAHULUAN. Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan minuman sari buah atau nektar, produk roti, susu, permen, selai dan jeli

Lebih terperinci

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan

Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas. KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan 1 Menerapkan Teknik Pengolahan Menggunakan Media Penghantar Panas KD 1. Melakukan Proses Pengolahan Abon Ikan Pengertian Abon Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a natural state or in a manufactured or preparedform, which are part of human diet. Artinya adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental yang dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL ) disusun secara faktorial dengan 3 kali ulangan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian bertempat di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Bahan dan Alat

Lebih terperinci