PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS"

Transkripsi

1 PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Oleh Batara S PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2015 to user

2

3

4

5 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur kepada Allah S.W.T. atas segala kekuatan, kemudahan, dan anugerah hingga terwujudnya karya ini yang berjudul: Perbedaan Pengaruh Antara Isofluran dan Sevofluran Terhadap Kadar Magnesium Serum pada Pasien yang Menjalani Anestesi Umum. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini, 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs. MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Prof. Dr. Hartono, dr, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S, selaku Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik Universitas Sebelas Maret. 5. Dr. Hari Wujoso, dr, Sp.F., MM, selaku pembimbing statistik dan penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingan yang diberikan dalam rangka penyusunan tesis ini. 6. Dr. Soetrisno, dr, Sp.OG., (K), selaku penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingan yang diberikan dalam rangka penyusunan tesis ini. 7. Sugeng Budi Santosa dr, Sp.An., KMN selaku Kepala SMF Anestesi dan Terapi Intensif FK UNS/RSDM dan selaku pembimbing substansi, atas kesediaannya meluangkan waktu dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini dan yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 8. Purwoko, Sp.An., dr, KAKV, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi commit Intensif to FK user UNS/RSDM. Terima kasih telah

6 memberikan kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 9. Guru-guruku yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNS. 10. Kedua orang tua penulis, Bapak Tatag Dalwono dan Ibu Titik Yuliati serta orang tua mertua Bapak Wisnu Untoro dan Ibu Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan, bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan. 11. Istri tercinta dan tersayang, Maytia Pratiwisitha, yang tak pernah lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan perhatiannya, selama penulis menjalani pendidikan, serta anakku Sabrina Mutiara Pratiwi, yang menjadikan hidup lebih berwarna. 12. Kakak kandung yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 13. Teman-teman Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif yang memberikan perhatian dan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. Surakarta, Agustus 2015 Penulis Batara

7 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.... DAFTAR ISI.. DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.. ABSTRAK. ABSTRACT. i ii iii iv vii viii ix x xi BAB I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah.. 1 B. Rumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan Khusus D. Manfaat Penelitian.. 1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis. 3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 6 A. Kajian Teori 1. Anestesi Inhalasi... a. Farmakokinetik... b. Mekanisme commit Aksi to. user

8 2. Isofluran 17 a. Definisi 17 b. Sifat Fisik dan Kimia c. Efek Pada Sistem Organ. 21 d. Biotransformasi dan Toksisitas Sevofluran. 22 a. Definisi 22 b. Sifat Fisik dan Kimia.. 24 c. Efek Pada Sistem Organ. 26 d. Biotransformasi dan Toksisitas Magnesium 27 a. Definisi 27 b. Keseimbangan Magnesium Normal 29 c. Konsentrasi Magnesium Plasma d. Peran Magnesium 47 e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium... f. Toksisitas Magnesium Pengaruh Isofluran dan Sevofluran Terhadap Magnesium Serum B. Kerangka Konsep 54 C. Hipotesis. 55 BAB III METODE PENELITIAN. 56 A. Tempat dan Waktu Penelitian.. 56 B. Jenis Penelitian.. 56 C. Populasi dan Subjek Penelitian. 1. Populasi Target 2. Subjek Penelitian. 3. Besar Subjek Penelitian D. Teknik Pengambilan Sampel. 58

9 E. Variabel Penelitian 58 F. Definisi Operasional Variabel Penelitian Anestesi Umum Isofluran Sevofluran Magnesium Serum... G. Instrumen Penelitian.. 62 H. Perijinan Penelitian Ethical Clearance Ijin Subjek Penelitian.. 64 I. Alur Penelitian J. Langkah Penelitian 66 K. Teknik Analisis. 67 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian.. 1. Karakteristik Subjek Penelitian Uji Normalitas Data. 3. Uji Kesetaraan Data. 4. Analisis Bivariat B. Pembahasan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 79 B. Saran.. 79 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 86

10 DAFTAR TABEL Tabel 1. Peran kanal ion sensitif anestesi. 16 Tabel 2. Efek fungsional anestesi inhalasi terhadap kanal ion 17 Tabel 3. Koefisien partisi gas isofluran 18 Tabel 4. Sifat fisik dan kimia isofluran 19 Tabel 5. Nilai MAC isofluran Tabel 6. Koefisien partisi gas sevofluran. 23 Tabel 7. Sifat fisik dan kimias evofluran. 24 Tabel 8. Nilai MAC sevofluran 24 Tabel 9. Manfaat magnesium Tabel 10. Penyebab hipomagnesemia 46 Tabel 11. Gambaran klinis hipomagnesemia. 47 Tabel 12. Kadar dan toksisitas magnesium 48 Tabel 13. Karakteristik subjek penelitian Tabel 14. Uji normalitas data kadar magnesium serum. 71 Tabel 15. Uji normalitas data perubahan kadar magnesium serum Tabel 16. Uji kesetaraan sebelum perlakuan (pretes) 72 Tabel 17. Perbedaan kadar magnesium isofluran dan sevofluran 73 Tabel 18. Data perubahan kadar magnesium isofluran dan sevofluran Tabel 19. Uji Mann Whitney perubahan setelah pemberian isofluran dan sevofluran

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Mekanisme anestesi umum pada reseptor GABA A. 13 Gambar 2. Proses transmisi sinapsis. 15 Gambar 3. Rumus molekul isofluran 18 Gambar 4. Rumus molekul sevofluran. 22 Gambar 5. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum.. 28 Gambar 6. Keseimbangan magnesium dalam tubuh. 29 Gambar 7. Kerangka konsep. 54 Gambar 8. Alur penelitian. 65 Gambar 9. Perubahan kadar magnesium serum 75

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Informed consent. 86 Lampiran 2. Lsmpiran 3. Lembar ethical clearance Rekapitulasi hasil penelitian magnesium (isofluran) Lampiran 4. Rekapitulasi hasil penelitian magnesium (sevofluran).. 90 Lampiran 5. Hasil uji statistik. 92

13 ABSTRAK Batara, S , Perbedaan Pengaruh Antara Isofluran dan Sevofluran Terhadap Kadar Magnesium Serum Pada Pasien yang Menjalani Anestesi Umum. Tesis. Pembimbing I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K)., Pembimbing II: Sugeng Budi Santoso, dr., Sp.An-KMN. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Minat Utama Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Latar Belakang: Pemberian anestesi umum diantaranya isofluran dan sevofluran dapat menimbulkan berbagai efek yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskuler, neuromeuskuler, dan homeostasis, termasuk perubahan kadar magnesium serum. Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan pengaruh antara isofluran sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan analisis bivariat yang melibatkan 32 pasien yang menjalani anestesi umum dan sesuai dengan kriteria penelitian. Subyek dibagi menjadi dua kelompok, 16 pasien dengan pemberian isofluran dan 16 pasien dengan pemberian sevofluran. Dari masing-masing kelompok diukur kadar magnesium serum sebelum dan 30 menit setelah pemberian agen anestesi umum lalu dibandingkan di antara kedua kelompok. Analisis bivariat dengan paired sample t-test dan Mann-Whitney U test digunakan untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium sebelum dan setelah pemberian agen serta perbedaan kadar magnesium antara kedua kelompok. Hasil: Analisis bivariat dengan paired sample t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi umum pada kelompok isofluran (p=0,000) dan pada kelompok sevofluran (p=0,000). Uji Mann-Whitney U test juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perubahan kadar magnesium antara kedua kelompok (p=0,000). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada penurunan kadar magnesium serum antara pemberian isofluran dan sevofluran. Penurunan kadar magnesium serum pada kelompok isofluran lebih besar dibandingkan kelompok sevofluran. Kata kunci : Isofluran, sevofluran, kadar magnesium serum, anestesi umum

14 ABSTRACT Batara, S , The Differences of Isoflurane and Sevoflurane Effects on Serum Magnesium Levels in Patients Undergoing General Anesthesia. Thesis. Advisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A(K)., Advisor II: Sugeng Budi Santoso, dr., Sp.An-KMN. Magister Study Program of Family Medicine. Main interest: Biomedical Science. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Background : Administration of general anesthesia including isoflurane and sevoflurane can cause a variety of effects related to cardiovascular function, neuromuscular, and homeostasis, including changes in serum magnesium levels. Aims : To prove the differences of isoflurane and sevoflurane effects on serum magnesium levels in patients undergoing general anesthesia. Methods : This study is an observational analytic study using bivariate analysis involving 32 patients who underwent general anesthesia and met the criteria of the study. The subjects were divided into two groups, 16 patients with the administration of isoflurane and 16 patients with the administrations of sevoflurane. From each group, serum magnesium levels were measured prior to and 30 minutes after administration of general anesthetic agents, then the levels were compared between the two groups. Bivariate analysis with paired sample t- test and Mann-Whitney U test was used to determine the differences in magnesium levels before and after administration of the agent as well as differences in magnesium levels between the two groups. Results : Bivariate analysis with paired sample t-test shows significant differences between serum magnesium levels before and after administration of general anesthetic agents in the isoflurane group (p = 0.000) and sevoflurane group (p = 0.000). Mann-Whitney U test also shows a significant difference of the serum magnesium level changes between the two groups (p = 0.000). Conclusion: There is significant difference in serum magnesium levels decrease between isoflurane and sevoflurane administration. Decreased levels of serum magnesium in the isoflurane group is larger than sevoflurane group. Keywords : Isoflurane, sevoflurane, serum magnesium level, general anesthesia

15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anestesi umum saat ini telah banyak berkembang dan terlibat dalam berbagai perkembangan prosedur medis terbaru. Jumlah prosedur pembedahan terus meningkat dan membutuhkan keterlibatan peran dari anestesi umum. Anestesi umum juga telah banyak digunakan untuk prosedur diagnostik invasif minimal dan terapeutik yang memerlukan imobilisasi dan sedasi dalam pada pasien. Pada kondisi ini, penekanan terhadap efektivitas biaya, pemulihan segera, kepuasan pasien, dan minimalisasi efek samping sangatlah penting. Meskipun banyak laporan mengenai efek anestesi umum terhadap timbulnya depresi kardiopulmonal hingga kematian, pada kenyataannya, kejadian ini terus berkurang hingga mencapai 1 per pasien sehat. Mengingat ada banyak efek samping dari anestesi umum, pemilihan agen inhalasi yang bekerja cepat dan memiliki sedikit efek samping harus dipertimbangkan dan terus diteliti (Campagna et al. 2003). Anestesi umum inhalasi masih banyak digunakan saat ini karena kemudahan dalam pemberiannya yaitu secara inhalasi dan kemudahan dalam mengawasi efek samping yang dapat muncul. Metode pemberian yang unik dan tidak ditemui pada agen anestesi lain membuat agen ini memiliki keuntungan seperti lebih cepatnya agen berada dalam darah arteri karena alirannya langsung ke sirkulasi pulmonal (Morgan et al. 2013). Agen anestesi

16 inhalasi poten yang paling sering digunakan pada prosedur pembedahan dewasa adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen inhalasi yang paling sering digunakan pada anak-anak (Ebert et al. 2009). Sebelumnya, halotan dan enfluran disertai dengan nitrous oxide (N2O) merupakan agen anestesi utama, tetapi selama beberapa dekade terakhir isofluran, desfluran, dan sevofluran telah menggantikan posisi halotan dan enfluran karena terdapat banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa ketiga agen tersebut dimetabolisme secara lebih aman oleh hepar dan memiliki efek samping serta toksisitas yang lebih kecil. Hingga saat ini ketiga agen tersebut menjadi pilihan utama agen anestesi inhalasi (Saber at al. 2009). Walaupun agen anestesi inhalasi utama saat ini dianggap paling aman untuk prosedur anestesi umum, agen yang dirasa memuaskan belum ada. Isofluran dan sevofluran memerlukan dosis secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan pasien (Deckardt et al. 2007). Dosis anestesi yang kurang atau terlalu dalam dapat menimbulkan efek pada kardiopulmonal, neuromuskular, dan gangguan homeostasis. Gangguan yang dapat muncul antaralain atrial fibrilasi, aritmia ventrikuler, takikardi, serta hipereksitasibilitas neuromuskular (Behne et al. 2003). Beberapa gangguan pemberian agen inhalasi juga tidak lepas dari peranan ion-ion dalam tubuh. Terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa pemberian anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya,

17 Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa mekanisme. Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon et al. 2009). Magnesium merupakan kation terbanyak kedua dalam intraseluler dan kation terbanyak keempat dalam tubuh. Magnesium berperan penting secara fisiologis dalam berbagai fungsi tubuh. Peran ini berkaitan dengan dua kemampuan magnesium, yaitu kemampuannya membentuk kelasi dengan ligan anionik intraseluler yang penting, terutama ATP, dan kemampuannya berkompetisi dengan kalsium untuk mengikat reseptor pada protein dan membran. Magnesium juga penting dalam sintesis asam nukleat dan protein, serta bekerja spesifik pada organ seperti sistem neuromuskuler dan kardiovaskuler. Lebih dari 500 enzim pada tubuh membutuhkan peran dari magnesium (Swaminathan 2003). Hipomagnesemia atau defisiensi magnesium dalam serum yang salah satunya ditimbulkan oleh pemberian isofluran dan sevofluran, dapat menimbulkan berbagai efek dan komplikasi yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskuler, neuromuskuler, dan fungsi homeostasis (Seo et al. 2008). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui peranan pemberian isofluran dan sevofluran terhadap perubahan kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.

18 Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian agen inhalasi terhadap kadar magnesium serum terutama perbedaan kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi inhalasi, yaitu isofluran dan sevofluran, serta membandingkan kadar magnesium serum pada kedua kelompok tersebut. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk menganalisis dan mengevaluasi perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. 2. Tujuan Khusus a. Untuk menganalisis dan mengevaluasi pengaruh pemberian isofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. b. Untuk menganalisis dan mengevaluasi pengaruh pemberian sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum.

19 c. Untuk menganalisis dan mengevaluasi perbedaan antara kedua kelompok. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah dalam upaya menerangkan perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan untuk penelitian lebih lanjut. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi klinisi untuk memilih agen anestesi inhalasi yang paling aman sehingga dapat memperkecil efek samping yang dapat timbul pada pasien selama dan setelah prosedur anestesi. 3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga a. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan pengaruh anestesi umum terhadap kadar magnesium. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan makna klinis magnesium terhadap tubuh.

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Anestesi Inhalasi Anestesi inhalasi banyak digunakan dalam praktik anestesi umum karena kemudahan dalam pemberian dan kemudahan dalam mengawasi efeknya (tanda klinis dan konsentrasi tidal akhir). Agen anestesi utama yang sering digunakan saat ini adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen anestesi inhalasi yang paling banyak digunakan pada anak-anak (Ebert et al. 2009). Anestesi inhalasi biasanya diberikan sebagai maintenance anestesi umum tetapi juga dapat digunakan sebagai induksi, terutama pasien pediatri. Dosis anestesi inhalasi biasanya ditetapkan dalam MAC (minimum alveolar concentration) (Saifee et al. 2007). Pada konsentrasi yang berbeda, anestesi inhalasi dapat menginduksi efek berbeda yang penting secara klinis. Konsentrasi yang rendah dapat menginduksi amnesia, euforia, analgesia, hipnosis, eksitasi, dan hiperefleks. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan sedasi dalam, relaksasi otot, dan hilangnya respon motorik serta otonom terhadap stimulus noksius. Beberapa agen inhalasi dapat memberikan efek proteksi miokard sehingga mencegah timbulnya iskemia yang diperlukan oleh banyak pasien yang menjalani anestesi umum (Campagna et al. 2003).

21 a. Farmakokinetik (Saifee et al. 2007) 1) Penentu Kecepatan Onset dan Offset Konsentrasi anestesi alveolar (FA) dapat berbeda secara signifikan dari konsentrasi anestesi inspirasi (FI). Laju peningkatan rasio kedua konsentrasi ini (FA/FI) menentukan kecepatan induksi anestesi umum. Dua proses yang berlawanan, hantaran anestesi menuju dan berasal dari alveoli menentukan nilai FA/FI saat waktu pemberian. Penentu uptake antaralain: a) Koefisien partisi darah-gas. Daya larut yang rendah akan menyebabkan uptake anestesi yang lebih rendah menuju aliran darah, sehingga meningkatkan laju peningkatan FA/FI. Daya larut agen inhalasi biasanya meningkat pada kondisi hipotermia dan hiperlipidemia. b) Konsentrasi anestesi inspirasi. Konsentrasi ini dipengaruhi oleh ukuran sirkuit, laju inflow fresh gas, dan absorbsi anestesi inhalasi oleh komponen sirkuit. c) Ventilasi alveoli. Peningkatan ventilasi per menit, tanpa perubahan proses lain yang berefek pada hantaran atau uptake anestesi, meningkatkan FA/FI. d) Efek konsentrasi. Saat FI meningkat, laju peningkatan FA/FI juga meningkat. e) Efek gas kedua. Ini merupakan outcome langsung dari efek konsentrasi. Ketika nitrit oksida dan agen inhalasi poten

22 diberikan bersama, uptake nitrit oksida meningkatkan konsentrasi gas kedua (seperti isofluran) dan meningkatkan input gas kedua tambahan menuju alveoli melalui perubahan volume inspirasi. f) Curah jantung. Peningkatan curah jantung (dan juga aliran darah pulmonal) akan meningkatkan uptake anestesi dan menurunkan laju peningkatan FA/FI. Penurunan curah jantung akan memberikan efek sebaliknya. g) Gradien antara darah vena dan alveoli. Uptake anestesi dalam darah akan menurun saat gradien tekanan parsial anestesi antara alveoli dan darah menurun. 2) Distribusi dalam Jaringan Tekanan parsial anestesi inhalasi dalam darah arteri biasanya mendekati tekanan alveoli. Tekanan parsial arteri dapat secara signifikan lebih kecil, namun, saat abnormalitas ventilasiperfusi tampak nyata (seperti shunt), terutama dengan agen anestesi yang tidak mudah larut. Laju ekuilibrasi tekanan parsial anestesi antara darah dan sistem organ tertentu tergantung pada faktor berikut: a) Aliran darah jaringan. Ekuilibrasi lebih cepat terjadi pada jaringan yang memperoleh perfusi lebih besar. Sistem organ dengan perfusi tinggi memperoleh sekitar 75% curah jantung, organ ini meliputi otak, ginjal, jantung, hepar, dan kelenjar

23 endokrin serta disebut sebagai kelompok kaya pembuluh darah. Sisa curah jantung menuju ke otot dan lemak. b) Daya larut pada jaringan. Untuk tekanan parsial anestesi arterial yang diberikan, agen anestesi dengan daya larut jaringan tinggi lebih lambat untuk melakukan ekuilibrasi. Daya larut antar agen anestesi bervariasi. c) Gradien antara darah arteri dan jaringan. Hingga ekuilibrasi tercapai antara tekanan parsial arteri dalam darah dan jaringan tertentu, gradien menyebabkan uptake anestesi oleh jaringan. Laju uptake akan menurun ketika gradien menurun. 3) Eliminasi a) Ekshalasi merupakan jalur dominan eliminasi. Setelah penghentian agen, jaringan anestesi dan tekanan parsial alveoli menurun dengan proses yang berlawanan saat anestesi pertama diberikan. b) Metabolisme. Agen anestesi inhalasi mengalami beberapa derajat metabolisme hepar yang berbeda (halotan 15%, enfluran 2-5%, sevofluran 1,5%, isofluran < 0,2%, desfluran < 0,2%). Ketika konsentrasi agen muncul, metabolisme dapat berefek pada konsentrasi alveoli karena saturasi enzim hepar. Setelah penghentian agen, metabolisme dapat berkontribusi dalam menurunkan konsentrasi alveoli, tetapi efek tidak signifikan secara klinis.

24 c) Anesthetic loss. Anestesi inhalasi dapat hilang secara perkutan atau melalui membran visceral, meskipun dapat diabaikan. b. Mekanisme Aksi Anestesi mengubah aktivitas neuron dengan berinteraksi secara langsung dengan sejumlah kanal ion. Selama aktivasi, kanal mengubah eksitabilitas elektrik neuron dengan mengkontrol aliran depolarisasi (eksitasi) atau hiperpolarisasi (inhibisi). Anestesi umum secara utama beraksi dengan meningkatkan sinyal inhibisi atau menghambat sinyal eksitasi (Garcia et al. 2010). Komponen anestesi spesifik bekerja dengan beberapa outcome yang diharapkan terjadi pada pasien (Villars et al. 2004), antaralain: Unconsciousness. Jaringan kesadaran dan kewaspadaan meliputi korteks cerebri, thalamus, dan formatio reticularis. Area ini memiliki densitas tinggi reseptor penting terhadap anestesi seperti reseptor γ- aminobutyric acid subtipe A (GABAA), N-methyl-D-aspartate (NMDA), dan asetilkolin (ACh). Amnesia. Area yang memegang peran ini adalah hypocampus, amygdala, dan korteks prefrontalis. Blok memori implisit merupakan target anestesi. Jalur memori menggunakan reseptor NMDA dan non- NMDA yang berespon pada glutamat neurotransmiter dan interneuron serotonergik. Imobilitas. Hilangnya respon motorik berkaitan dengan hilangnya refleks yang dimediasi oleh corda spinalis. Terjadi penurunan

25 transmisi ascenden menuju otak. Pada corda spinalis, neuron sensorik dan motorik merupakan target anestesi. Reflek spinal melibatkan reseptor GABAA, glutamat, baik NMDA serta α-amino-5-methyl-3- hydroxy-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan kainite. Analgesia. Impuls nosioseptif ditransmisikan dalam corda spinalis, sehingga target anestesi meliputi penumpulan impuls pada level ini. Blok impuls nosioseptif ascenden dapat terjadi pada level reseptor glutamat, GABA, atau μ dalam corda spinalis. 1) Mekanisme Aksi Pada Sistem Saraf a) Corda spinalis Anestesi umum menurunkan transmisi informasi noxius ascenden dari corda spinalis menuju otak (Antognini et al. 2002). Sinyal ascenden dari corda spinalis mempengaruhi aksi hipnosis anestesi dalam otak, dimana sinyal descenden memodifikasi imobilisasi anestesi pada corda spinalis (Campagna et al. 2003). b) Encephalon Di bagian atas corda spinalis, agen inhalasi secara global menurunkan aliran darah dan metabolisme glukosa serta secara selektif mendepresi beberapa area supraspinal. Pemeriksaan tomografi menunjukkan bahwa thalamus dan formation reticularis mesencephalon lebih terdepresi dibandingkan area lainnya (Heinke et al. 2002).

26 Target anestesi inhalasi telah berfokus pada struktur dengan fungsi yang sensitif terhadap agen anestesi. Reticularactivating system, thalamus, pons, amygdala, dan hypocampus merupakan bagian yang terlibat dengan kognitif, memori, pembelajaran, fase tidur, dan perhatian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa nucleus tuberomamilaris, area hypocampus termodulasi GABA berkaitan dengan fase tidur pada aksi sedatif beberapa anestesi intravena dan juga inhalasi (Campagna et al. 2003). 2) Mekanisme Aksi Molekuler Hipotesis yang berkembang menyatakan bahwa anestesi inhalasi mempertahankan aktivitas kanal post sinapsis inhibisi (reseptor GABAA dan glisin) dan menghambat aktivitas kanal sinapsis eksitasi (nicotinic acetylcholine, serotonin, dan reseptor glutamat). Aksi anestesi terhadap reseptor GABAA telah mengundang banyak perhatian (Narahashi et al. 2003). a) Jalur Inhibisi Utama GABA. Reseptor GABAA merupakan reseptor neurotransmiter inhibisi yang paling banyak ditemukan di otak. Pada konsentrasi yang efektif secara klinis, anestesi umum meningkatkan sensitivitas reseptor GABAA dan memperpanjang inhibisi oleh lepasnya GABAA. Hal ini menunjukkan inhibisi termediasi reseptor GABA A pada

27 eksitabilitas neuron postsinapsis. Potensi agen inhalasi mempertahankan fungsi reseptor GABAA in vitro berkorelasi dengan imobilitas MAC. Pengamatan ini mendukung peran utama reseptor GABAA dalam anestesi dan hingga saat ini menjadi mekanisme utama seluruh agen anestesi umum inhalasi (Garcia et al. 2010). Gambar 1. Mekanisme anestesi umum pada reseptor GABAA (Campagna et al. 2003). Glisin. Glisin merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada corda spinalis dan batang otak. Agen anestesi inhalasi yang mengikat reseptor glisin secara signifikan menyebabkan konduksi Cl- dan mendepresi fungsi saraf.

28 Inhibisi termediasi glisin disertai dengan inhibisi termediasi GABAA merupakan inhibisi pada corda spinalis dapat menjelaskan hilangnya refleks spinal di bawah anestesi (Villars et al. 2010). b) Jalur Eksitasi Utama NMDA. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi Na + dan Ca 2+. Di anatara tiga kelas reseptor glutamat (AMPA, NMDA, dan kainite), reseptor NMDA memiliki signifikansi paling fungsional dengan anestesi. Reseptor NMDA memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hypocampus. Agen anestesi terutama ketamin, nitrit oksida, dan xenon bekerja dengan menghambat reseptor NMDA sehingga dapat menghambat transmisi eksitasi sistem saraf (Dilger 2002). Kanal ion K +. Kanal ion K + background membentuk kelompok besar kanal leak K + (TASK dan TREK) dimana aktivasinya akan menyebabkan potensial membran istirahat dan repolarisasi potensial aksi. Kanal ini terbuka oleh anestesi inhalasi dan menginduksi hiperpolarisasi serta mengurangi depolarisasi seluler (Lopes et al. 2003).

29 Asetilkolin. Reseptor ACh nikotinik merupakan kanal kation non spesifik yang dibedakan menjadi dua kelompok, subtipe muskulus yang ditemukan di otot skeletal dan subtipe neuronal yang ditemukan di SSP dan ganglion autonom. Baik reseptor ACh nikotinik dan muskarinik neuronal ditemukan di otak dan corda spinalis. Subtipe spesifik reseptor ACh neuronal diinhibi oleh anestesi inhalasi dan intravena (Perry et al. 2001). Gambar 2. Proses transmisi sinapsis (Dalmas 2007)

30 Tabel 1. Peran kanal ion sensitif anestesi (Campagna et al. 2003) Kanal Ion Peran Seluler Peran Fisiologis Ligand-gated Reseptor GABA A Reseptor glisin Reseptor asetilkolin Reseptor glutamat NMDA AMPA Tipe lain Kanal kalium Kanal background non-voltage-gated Meningkatkan permeabilitas Cl-, hiperpolarisasi membran, inhibisi eksitabilitas Meningkatkan permeabilitas Cl-, hiperpolarisasi membran, inhibisi eksitabilitas Permeabilitas tinggi terhadap kation monovalen dan kalsium, rilis neurotransmiter Neurotransmiter eksitasi cepat Konduksi kation kalsium dan magnesium Konduksi kation kalsium dan magnesium Modulasi eksitabilitas dan potensial resting sel Peningkatan aktivitas berkaitan dengan anxiolisis, sedasi, amnesia, dan myorelaksasi, aksi antikonvulsi Reflek spinal Berkaitan dengan memori dan nosisepsi. Persepsi, pembelajaran, memori, nosiosepsi Persepsi, pembelajaran, memori Peran tidak spesifik Voltage-activated Pemulihan potensial aksi Konduksi saraf, potensial aksi jantung Non-voltage dependet/ ATPactivated Sensor glukosa pada sel beta pankreas

31 Tabel 2. Efek fungsional anestesi inhalasi terhadap kanal ion (Campagna et al. 2003) Kanal Ion Efek anestesi inhalasi GABAA Peningkatan Reseptor glisin Peningkatan Reseptor asetilkolin nikotinik neuronal Inhibisi kuat Reseptor glutamat NMDA AMPA Inhibisi Inhibisi Kanal kalium background Peningkatan Kanal kalium voltage-activated Inhibisi Kanal kalium ATP-activated Peningkatan Kanal natriumvoltage-activated Inhibisi lemah Kanal kalsium voltage-activated Inhibisi lemah 2. Isofluran a. Definisi Isofluran termasuk dalam golongan halogenated ether dan digunakan sebagai agen anestesi inhalasi. Agen ini biasa digunakan secara terpisah atau dikombinasikan dengan nitrit oksida, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Isofluran merupakan agen anestesi volatil yang termasuk dalam halogenated methylethyl ethers dengan kelompok difluoromethyl dan kelompok fluorinated ethyl. Pada isofluran, salah satu atom fluor pada kelompok ethyl diganti dengan chlor. Agen ini memiliki rumus molekul C3H2F5ClO dan berat molekul sebesar 184,5 (Saber et al. 2009, Morgan et al. 2013).

32 Gambar 3. Rumus molekul isofluran b. Sifat Fisik dan Kimia Isofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Bau isofluran cukup menusuk dan tercium seperti bau eter yang apak. Isofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009). Tabel 3. Koefisien partisi gas isofluran (Edmont et al. 2009) Jaringan Koefisien Partisi Gas (suhu 37 C) Darah-gas 1,4 Otak-darah 1,6 Hepar-darah 1,8 Renal-darah 1,2 Otot-darah 2,9 Lemak-darah 45 Jantung-darah 2,2

33 Tabel 4. Sifat fisik dan kimia isofluran (Saber et al. 2009) Sifat Fisik dan Kimia Nilai Titik didih ( C) 48,5 Tekanan vaporasi tersaturasi pada 32 C 32 Densitas gas (kg/m3) 1 MAC fluran dalam 25% oksigen dan 75% nitrogen pada suhu 0 C 1,35 Tabel 5. Nilai MAC (minimum alveolar concentration) isofluran (Ebert et al., 2009) MAC Nilai MAC dalam oksigen, tahun pada suhu 37 C 1,17 MAC dalam 60-70% nitrit oksida 0,56 MAC > 65 tahun (%) 1,0 c. Efek pada Sistem Organ (Morgan et al. 2013) 1) Kardiovaskuler Isofluran menyebabkan depresi jantung minimal invivo. Curah jantung dipertahankan dengan peningkatan denyut jantung karena pemeliharaan parsial dari baroreflek karotis. Stimulasi ringan -adrenergik meningkatkan aliran darah otot rangka, menurunkan resistensi vaskuler, dan tekanan darah arterial lebih rendah. Peningkatan konsentrasi isofluran yang cepat memicu peningkatan sementara denyut jantung, tekanan darah arterial, dan kadar norepinefrin dalam plasma. Isofluran nyaris tidak sepoten nitrogliserin atau adenosin sebagai dilator. Dilatasi arteri koroner yang normal secara teoritis mengalihkan aliran darah dari lesi stenotik yang terfiksir. Terdapat perdebatan menyangkut apakah

34 sidroma penyakit koroner ini menyebabkan iskemia myokardium regional selama episode takikardia atau penurunan tekanan perfusi. Walaupun hasil beberapa penelitian kebanyakan negatif, beberapa ahli anestesi tetap menghindari penggunaan isofluran pada pasien dengan penyakit arteri koroner. 2) Respirasi Depresi pernafasan selama anestesi isofluran mirip dengan obat anestesi yang mudah menguap lainnya, kecuali takipnea jarang ditemukan. Efek yang saling berhubungan biasa ditemukan pada penurunan ventilasi permenit. Bahkan kadar rendah isofluran (0.1 MAC) mengurangi respon ventilasi normal terhadap terjadinya hipoksia dan hiperkapnia. Walaupun kecenderungan obat ini untuk mengiritasi reflek jalan nafas atas, isofluran dipertimbangkan sebagai bronkodilator yang baik, tetapi tidak sepoten halotan. 3) Cerebral Pada konsentrasi yang lebih besar daripada 1 MAC, isofluran meningkatkan CBF dan tekanan intrakranial. Efek ini diperkirakan kurang diketahui pada isofluran dibanding dengan halotan dan dibalikkan dengan hiperventilasi. Sebaliknya pada halotan, hiperventilasi tidak harus dilakukan sebelum penggunaan isofluran untuk mencegah hipertensi intrakranial. Isofluran mengurangi kebutuhan oksigen metabolisme otak, dan pada 2 MAC meghasilkan EEG yang diam silent. Supresi EEG mungkin

35 menyediakan beberapa tingkat perlindungan otak selama episode iskemia cerebral. 4) Neuromuskuler. Isofluran merelaksasi otot skeletal. 5) Renal. Isofluran menurunkan aliran darah ginjal, kecepatan filtrasi glomerulus, dan jumlah urin yang dihasilkan. 6) Hepar Aliran darah hepar total (aliran arteri dan vena porta) berkurang selama anestesi isofluran. Suplai oksigen hepatik mungkin lebih baik dipertahankan dengan isofluran daripada dengan halotan, akan tetapi, perfusi arteri hepatika dan saturasi oksigen vena hepatika perlu dihemat. Pemeriksaan fungsi liver hanya terpengaruh secara minimal. d. Biotransformasi dan Toksisitas Isofluran dimetabolisme menjadi asam trifluoroasetat. Walaupun kadar cairan flouride serum mungkin meningkat, nefrotoksisitas sangat jarang sekali ditemukan bahkan dengan keberadaan enzim penginduksi. Sedasi yang diperpanjang (>24 jam pada isofluran %) pada pasien yang sakit kritis menghasilkan peningkatan kadar flouride dalam plasma (15 50 mol/l) tanpa adanya bukti gangguan ginjal. Sama dengan hal itu, sampai 20 MACjam isoflurane memicu kadar flouride sampai melebihi 50 mol/l tanpa terdeteksi adanya gangguan fungsi ginjal. Metabolismenya yang

36 terbatas juga meminimalisasi risiko yang mungkin berupa disfungsi hepar yang signifikan (Morgan et al. 2013). 3. Sevofluran a. Definisi Sevofluran termasuk dalam golongan halogenated ether dan digunakan sebagai agen anestesi inhalasi. Agen ini biasa digunakan secara terpisah atau dikombinasikan dengan nitrit oksida, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Sevofluran merupakan agen anestesi volatil yang masuk dalam kelompok polyfluorinated methyl isopropyl ether. Agen ini memiliki rumus molekul C4H3F7O dan berat molekul sebesar 200,1 (Saber et al. 2009, Morgan et al. 2013). Gambar 4. Rumus molekul sevofluran b. Sifat Fisik dan Kimia Sevofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Sevofluran memiliki bau yang paling tidak menusuk di antara ketiga agen inhalasi utama (isofluran, desfluran, dan sevofluran). Bau sevofluran tercium menyenangkan seperti bau kloroform. Sevofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui

37 mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009). Peningkatan yang cepat dan tidak tajam pada konsentrasi obat anestesi di alveoli menyebabkan sevofluran sebagai pilihan yang paling bagus untuk induksi anestesi yang cepat dan lembut pada anakanak dan pasien dewasa. Pada kenyataannya, induksi inhalasi dengan sevofluran 4-8% dalam 50% campuran nitrit oksida dan oksigen dapat dicapai kira-kira dalam 1-3 menit. Demikian juga, daya larut dalam darah yang rendah mengakibatkan penurunan konsentrasi obat anestesi di alveoli yang cepat yang tidak terus-menerus dan timbulnya lebih cepat dibandingkan isofluran (walalupun tidak dipindahkan lebih awal dari unit perawatan post anestesi) (Morgan et al. 2013). Tabel 6. Koefisien partisi gas sevofluran (Edmont et al. 2009) Jaringan Koefisien Partisi Gas (suhu 37 C) Darah-gas 0,65 Otak-darah 1,7 Hepar-darah 1,8 Renal-darah 1,2 Otot-darah 3,1 Lemak-darah 48 Jantung-darah 1,1

38 Tabel 7. Sifat fisik dan kimia sevofluran (Saber et al. 2009) Sifat Fisik dan Kimia Nilai Titik didih ( C) 58,5 Tekanan vaporasi tersaturasi pada 32 C 21,3 Densitas gas (kg/m3) 1 MAC fluran dalam 25% oksigen dan 75% nitrogen pada suhu 0 C 1,45 Tabel 8. Nilai MAC (minimum alveolar concentration) sevofluran (Ebert et al. 2009) MAC Nilai MAC dalam oksigen, tahun pada suhu 37 C 1,8 MAC dalam 60-70% nitrit oksida 0,66 MAC > 65 tahun (%) 1,45 c. Efek pada Sistem Organ (Morgan et al. 2013) 1) Kardiovaskuler Sevofluran mendepresi ringan kontraktilitas miokardium. Resistensi vaskular sistemik dan penurunan tekanan darah arterial berkurang lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Oleh karena sevofluran menyebabkan sedikit, jika ada, peningkatan denyut jantung, curah jantung tidak dipertahankan sebaik dengan isofluran atau desfluran. Tidak ada bukti yang menghubungkan sevofluran dengan sindrom coroner. Sevofluran dapat memperpanjang interval QT, nilai penting klinisnya tidak diketahui.

39 2) Respirasi Sevofluran mendepresi pernafasan dan menyebabkan bronkospasme sama seperti pada penggunaan isoflurane. 3) Cerebral Sama dengan isofluran dan desfluran, sevofluran menyebabkan sedikit peningkatan CBF dan tekanan intrakranial pada normokarbia, walaupun beberapa penelitian menunjukkan penurunan aliran darah otak. Konsentrasi yang tinggi dari sevofluran (>1.5 MAC) dapat menganggu autoregulasi CBF, kemudian menyebabkan penurunan CBF selama hipotensi hemoragik. Efek pada autoregulasi ini nampak kurang dibahas dibandingkan isoflurane. Kebutuhan oksigen metabolisme otak menurun, dan dilaporkan terdapat kejang. 4) Neuromuskular Sevofluran menghasilkan relaksasi otot yang cukup untuk intubasi pada anak-anak setelah induksi anestesi. 5) Ginjal Sevofluran sedikit menurunkan aliran darah ginjal. Metabolismenya menjadi substansi dihubungkan dengan gangguan fungsi tubulus ginjal yang didiskusikan selanjutnya. 6) Hepar Sevofluran menurunkan aliran darah vena porta, tetapi meningkatkan aliran darah arteri hepatika, sehingga

40 mempertahankan aliran darah total hepar dan pengangkutan oksigen. d. Biotransformasi dan Toksisitas Enzim mikrosomal pada hati P-450 (khususnya isoform 2E1) memetabolisme sevofluran dengan kecepatan seperempat kali (5%) dibanding halotane (20%), tetapi 10 atau 25 kali dibanding isofluran atau desfluran dan dapat diinduksi dengan preterapi etanol atau fenobarbital. Potensi nefrotoksik dari akibat peningkatan inorganik fluorida (F ) didiskusikan sebelumnya. Konsentrasi serum fluorida lebih dari 50 mol/l kira-kira pada 7% pasien yang menerima sevofluran, tetapi secara klinis disfungsi ginjal yang signifikan tidak dihubungkan dengan anestesia sevofluran. Secara keseluruhan kecepatan metabolisme sevofluran 5%, atau 10% dibanding isofluran. Namun, tidak ada hubungan puncak kadar fluorida setelah penggunaan sevofluran dan abnormalitas apapun yang menyangkut ginjal (Morgan et al. 2013). Alkali seperti barium hidroksida limun atau soda limun (tetapi bukan kalsium hidroksida) dapat mendegradasi sevofluran, memproduksi hasil akhir nefrotoksik yang telah terbukti (komponen A, fluoromethyl-2,2-difluoro-1-[trifluoromethyl]vinyl ether). Akumulasi dari komponen A meningkatkan peningkatan temperatur gas pernafasan, anestesi aliran rendah, penyerap barium hidroksida kering (baralyme), konsentrasi sevofluran yang tinggi, dan durasi anestesi

41 yang lama. Kebanyakan penelitian tidak menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal yang terdeteksi post operasi yang mengindikasikan toksisitas atau cedera. Namun, beberapa klinisi merkomendasikan aliran udara bersih paling tidak 2 l/menit untuk anestesi yang berlangsung lebih dari beberapa jam dan sevofluran tidak digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal sebelumnya (Morgan et al. 2013). 4. Magnesium a. Definisi Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Magnesium merupakan kation terpenting keempat didalam tubuh dan kedua terbesar di intraseluler setelah kalium (Jahnen-Descent et al. 2012). b. Keseimbangan Magnesium Normal Rata-rata intake magensium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d ( mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 1-2% magensium total berada dalam cairan ekstraseluler, 67% berada dalam tulang, 31% berada dalam intraseluler (Seo et al. 2008). Dari seluruh intake magnesium, hanya 30-40% yang diserap, terutama di usus halus bagian distal.

42 Gambar 5. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum. Dari total magnesium tubuh, 67% ditemukan dalam tulang dan jaringan keras, 31% ditemukan dalam sel, dan sekitar 2% ditemukan dalam serum (Seo et al. 2008). Ekskresi utama magnesium melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. 25% dari total magnesium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% sisanya direabsorbsi di bagian tebal pada lengkung Henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Absorbsi magnesium pada intestinal distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume expansion, hiperaldosteronisme, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik, deplesi fosfat, dan alkohol (Akhtar et al. 2011).

43 Gambar 6. Keseimbangan magnesium dalam tubuh (Jahnen-Descent et al. 2012) c. Konsentrasi Magnesium Plasma Magnesium (Mg 2+ ) plasma selalu diregulasi antara 1,7 dan 2,1 meq/l (0,7 1 mmol/dl atau 1,7 2,4 mg/dl). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal (absorbsi), tulang (penyimpanan), dan ginjal (ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi (Akhtar et al. 2011). d. Peran Magnesium Magnesium merupakan penanda penting yang berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak enzim pathway. Magnesium memodulasi dan mengontrol masuknya kalsium sel dan pelepasan kalsium dari membran sarkoplasma dan reticularendoplasma. Kontrol

44 transportasi kalsium ini bertanggung jawab untuk banyak berperan terhadap fisiologis, di antaranya yang mengendalikan aktivitas neuron, rangsangan jantung, transmisi neuromuskuler, kontraksi otot, tonus vasomotor, tekanan darah dan aliran darah perifer. Peran fisiologis magnesium seperti calcium channel blocker di otot polos, otot rangka, dan sistem konduksi. Peranan magnesium juga sebagai analgesik seperti pada blok reseptor NMDA (Akhtar et al. 2011). Magnesium sangat kuat mempengaruhi fungsi transportasi ion membran sel jantung dan penting untuk mengaktivasi sekitar 300 sistem enzim, termasuk sebagian besar enzim yang dilibatkan dalam metabolisme energi. Adenosin trifosfat (ATP) menjadi fungsional apabila dikelasi menjadi magnesium. Ion ini merupakan pengatur sel yang penting untuk akses kalsium kedalam dan aksi kalsium didalam sel. Magnesium mengatur tingkat kalsium intraseluler dengan mengaktivasi pompa membran didalam sel yang mengekstrusi kalsium dan bersaing dengan kalsium memperebutkan saluran transmembran yang dengan begitu kalsium ekstraseluler memperoleh akses ke bagian dalam sel. Magnesium merupakan antagonis fisiologis alami dari kalsium. Pelepasan presinaptik asetilkolin tergantung kepada aksi magnesium. Magnesium dapat memberikan efek analgesik dengan beraksi sebagai reseptor antagonist N-methyl-D-aspartate (NMDA). Meskipun demikian, pemberian magnesium IV perioperatif (50 mg/kg IV yang dikuti oleh 15 mg/kg/jam) tidak memiliki efek

45 terhadap nyeri pasca operasi. Magnesium menghasilkan vasodilasi sistemik dan koroner, menghambat fungsi platelet dan mengurangi cedera reperfusi (Morgan et al. 2013). 1) Magnesium merupakan oligoelemen yang memiliki pengaruh penting pada fungsi miokard dan sistem pembuluh darah perifer. Magnesium mempengaruhi tekanan darah dengan memodulasi tonus dan struktur pembuluh darah melalui efeknya pada berbagai reaksi biokimia yang mengendalikan kontraksi/dilatasi, pertumbuhan/ apoptosis, diferensiasi dan inflamasi pembuluh darah. Magnesium bertindak sebagai antagonis kanal kalsium, menstimulasi produksi prostasiklin dan nitrit oksida vasodilator. Magnesium juga merubah respon pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor (Akhtar et al. 2011). Berbagai gangguan ritme, khususnya Torsade de points, ada hubungannya dengan hipomagnesemia. Magnesium intravena telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi berbagai tipe aritmia yang berbeda. Magnesium memiliki aksi elektrofisiologi yang luas pada sistem konduksi jantung meliputi pemanjangan waktu pemulihan sinus node dan penurunan automatisitas, konduksi AV node, konduksi antegrade dan retrograde pada jalur aksesoris, dan konduksi His-ventrikuler. Magnesium intravena juga dapat melakukan homogenisasi repolarisasi ventrikuler transmural.

46 Karena aksi elektrofisiologinya yang unik dan luas, magnesium intravena dilaporkan berguna dalam mencegah fibrilasi atrium dan aritmia ventrikel setelah operasi jantung dan toraks dalam menurunkan respon ventrikel pada fibrilasi atrium onset akut, termasuk pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White, dalam terapi aritmia supraventrikel dan aritimia ventrikel akibat digoksin, takikardi atrium multifokal, serta takikardi ventrikel polimorfik (Torsade de points) atau fibrilasi ventrikel akibat overdosis obat. Namun, magnesium intravena tidak berguna pada takikardi ventrikel monomorfik dan fibrilasi ventrikel yang tidak mempan terhadap syok. Studi RCT yang besar dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apakan magnesium intravena dapat memperbaiki outcome pasien dalam kejadian aritmia yang berbeda-beda (Dina et al. 2014). Magnesium direkomendasikan untuk takikardi ventrikel tanpa pulsasi atau fibrilasi yang menyerupai Torsade de points. Mekanisme aksi magnesium pada Torsade de points masih belum jelas tapi diduga untuk memperpendek potensial aksi melalui kanal potasium miokard. Direkomendasikan dosis sebesar 1 hingga 2 gram dilarutkan dalam 10 ml dekstrose 5% dan diberikan selama 5 hingga 20 menit. Pemberian yang cepat akan menimbulkan hipotensi, yang reversibel dengan pemberian kalsium (Nidhi et al. 2011).

47 Sifat antihipertensi magnesium berhubungan dengan sifat blokade kanal kalsium yang dimilikinya. Status magnesium memiliki efek langsung terhadap kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah dan regulasi penempatan seluler kation lain yang penting pada tekanan darah-rasio sodium : potasium seluler (Na:K) dan kalsium intraseluler (ica 2+ ). Sebagai hasilnya, magnesium nutrisional memiliki dampak langsung dan tak langsung pada tekanan darah pada kejadian hipertensi (Cunha et al. 2012). Telah terbukti bahwa suplementasi magnesium pada pasien anak-anak yang menjalani operasi jantung akan mencegah timbulnya takikardi ektopik jungsional (Dina et al. 2014). 2) Hipertensi Pulmonal dan Magnesium (Akhtar et al. 2011) Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata yang lebih dari 25 mmhg saat istirahat dan lebih dari 30 mmhg ketika beraktivitas. Magnesium merupakan vasodilator poten dengan demikian memiliki potensi untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal yang tinggi akibat hipertensi pulmonal persisten (PPHN). Strategi pencarian standar pada Cochrane Neonatal Review Group (CNRG) digunakan untuk mengetahui peran Mg. Dilakukan pencarian randomized maupun quasi-randomized trial yang relevan pada COCHRANE CENTRAL dan MEDLINE (1966 hingga 20 April 2007). Magnesium sulfat dapat mendilatasi konstriksi otot pada arteri

48 pulmonal. Namun, aksi ini tidak spesifik dan ketika diberikan melalui infus, malah akan bertindak pada otot lain di tubuh termasuk arteri lain. Ini berarti bahwa bahkan jika ditemukan efektif untuk hipertensi pulmonal, aksi yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lain bisa menimbulkan masalah. Review ini menemukan bahwa penggunaan magnesium sulfat untuk PPHN masih belum diuji dalam RCT. Untuk dapat membuktikan manfaatnya, maka diperlukan RCT. 3) Peran Dalam Obstetri (Douglas et al. 2013) Mg berperan dalam manajemen preeklamsia dan eklamsia. Magnesium mencegah atau mengontrol kejang dengan memblok transmisi neuromuskuler dan menurunkan pelepasan asetilkolin pada terminal saraf motoris. Efek antihipertensinya dikarenakan sifatnya pada blokade kanal kalsium. Eklamsi dan preeklamsi merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas selama kehamilan, kelahiran dan puerperium. Pencegahan timbulnya kejang pada preeklamsi dan kejang rekuren pada eklamsi merupakan aspek manajemen yang penting. Sejumlah antikonvulsan penting digunakan untuk mengontrol kejadian eklamsi dan untuk mencegah kejang di kemudian hari. Di Amerika Utara, magnesium sulfat parenteral merupakan drug of choice untuk pencegahan dan terapi kejang pada eklamsi. Magnesium sulfat tampaknya bertindak sebagai

49 vasodilator serebral (khususnya pada pembuluh darah dengan diameter kecil) pada pasien dengan preeklamsi. Dengan potensinya untuk meringankan iskemi serebral, vasodilatasi ini dapat membantu menjelaskan kenapa magnesium sulfat memiliki sifat anti kejang pada preeklamsi. Namun, aturan dosis dan efektivitasnya masih empiris, karena tidak ada RCT yang menunjukkan apakah magnesium sulfat berguna dan berapa level terapetiknya untuk dapat mencegah kejang, tapi nilai sebesar 3-6 mg% dianggap sebagai terapetik. Pemberian magnesium pada pasien obstetri dengan risiko kelahiran preterm akan memberikan neuroproteksi pada bayi preterm sebagaimana terbukti pada banyak studi. Penggunaan magnesium untuk terapi kelahiran preterm masih belum seberapa terbukti. Magnesium sulfat kadang digunakan sebagai tokolitik untuk memperlambat kontraksi uterin selama kelahiran preterm. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak menghentikan kelahiran preterm dan dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi. Karena magnesium sulfat merelaksasikan hampir sebagian besar otot, bayi yang terpapar magnesium melebihi periode waktu tertentu akan terlihat lemah ketika lahir. Efek ini biasanya akan menghilang ketika obat ini telah dibersihkan dari sistem sirkulasi bayi. Pemberian magnesium sulfat tidak boleh dilakukan pada

50 wanita dengan kondisi medis yang dapat memberat akibat efek samping di atas, termasuk wanita dengan miastenia gravis (gangguan otot) atau distrofi otot. 4) Peran Magnesium di ICU Defisiensi magnesium sering terjadi pada penyakit kritis dan berhubungan dengan tingginya mortalitas dan outcome klinis yang buruk di ICU. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 100 pasien berusia 16 tahun dan dirawat di ICU bedah medis pada Rumah Sakit Universitas selama periode 2 tahun. Observasi dilakukan pada kadar magnesium serum total ketika masuk, sejumlah uji laboratorium terkait magnesium, kebutuhan akan ventilator, durasi ventilasi mekanis, lama waktu rawat inap/icu, dan demografi pasien secara umum. Dapat disimpulkan bahwa berkembangnya hipomagnesemia selama dirawat di ICU berhubungan dengan prognosis yang mengkhawatirkan. Pengawasan kadar magnesium serum berdampak pada prognosis dan efek terapetiknya juga (David et al. 2011). 5) Magnesium dan Tetanus Penyebab kematian tersering seseorang dengan tetanus berat tanpa ventilasi mekanis adalah gagal napas terkait spasme, sementara pada pasien dengan ventilasi adalah disfungsi otonom terkait tetanus. Sebuah randomized double blinded placebo controlled study dilakukan untuk menemukan apakah infus

51 magnesium sulfat kontinyu akan menurunkan perlunya ventilasi mekanis dan apakah akan memperbaiki kontrol spasme otot dan instabilitas otonom. Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan ventilasi mekanis antara individu yang dirawat dengan magnesium dan plasebo (OR 0,71, 95% CI 0,36-1,40; p=0,324), tingkat survival juga sama pada kedua kelompok. Namun, dibandingkan dengan kelompok plasebo, pasien yang mendapat magnesium akan secara signifikan lebih sedikit memerlukan midazolam (7,1 mg/kg per hari (0,1-47,9) vs 1,4 mg/kg per hari (0,0-17,3); p=0,026) dan pipecuronium (2,3 mg/kg per hari (0,0-33,0) vs 0,00 mg/kg per hari (0,0-14,8); p=0,005) untuk mengontrol spasme otot dan takikardi yang terjadi. Individu yang mendapat magnesium akan 3,7 (1,4-15,9) kali lebih tidak membutukan verapamil untuk mengatasi instabilitas kardiovaskuler dibanding pada kelompok plasebo. Insidensi kejadian tidak diinginkan pada kedua kelomopok tidaklah berbeda. Dapat disimpulkan bahwa infus magnesium tidak menurunkan kebutuhan ventilasi mekanis pada orang dewasa dengan tetanus berat tapi memang menurunkan kebutuhan akan obat-obatan lain untuk mengontrol spasme otot dan instabilitas kardiovaskuler (Emily et al. 2010). 6) Magnesium dan Asma (Gautam et al. 2013) Pada asma alergi didapatkan peningkatan stimulasi IgE yang menimbulkan pelepasan histamin. Histamin menyebabkan

52 bronkospasme melalui kontraksi otot polos yang diperantarai kalsium. Magnesium merupakan antagonis bronkospasme karena memiliki sifat blokade kanal kalsium. Eksaserbasi asma bisa sering dan dengan derajat keparahan mulai ringan hingga status asmatikus. Penggunaan magnesium sulfat (MgSo4) merupakan satu dari sejumlah pilihan terapi yang bisa diberikan selama eksaserbasi akut. Di saat efektivitas magnesium sulfat intravena telah dibuktikan, masih sedikit yang diketahui mengenai magnesium sulfat inhalan. RCT didapatkan dari Cochrane Airways Group Asthma and Wheeze. Penelitian ini disuplemen dengan penelitian yang ditemukan dalam daftar referensi studi yang diterbitkan. Studi-studi ini ditemukan menggunakan teknik pencarian elektronik ekstensif, begitu juga tinjauan mengenai gray literature dan conference proceedings. Didapatkan enam penelitian yang melibatkan 296 pasien. Empat penelitian membandingkan antara nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis dengan β-agonis. Dua studi membandingkan MgSO4 dengan β-2 agonis saja. Tiga studi hanya melibatkan orang dewasa dan dua studi hanya melibatkan pasien pediatri. Tiga studi melibatkan pasien dengan asma berat. Secara keseluruhan, ada perbedaan signifikan pada fungsi paru antar pasien yang mendapat terapi nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis, namun lama rawat inap pada kedua kelompok tidak jauh beda. Analisis subgrup tidak

53 menunjukan perbedaan signifikan pada perbaikan fungsi paru antara orang dewasa dan anak, atau antara asma berat, ringan maupun sedang. Simpulan terkait terapi dengan nebulasi MgSO4 saja sulit dibuat karena masih sedikitnya penelitian di bidang ini. Nebulasi MgSO4 disertai β-2 agonis pada terapi eksaserbasi asma akut tampaknya memiliki manfaat terkait perbaikan fungsi paru dan terdapat kecenderungan pada waktu rawat inap yang lebih baik. Heterogenitas antar penelitian yang dilibatkan dalam tinjauan ini membuat tidak bisa menarik simpulan yang lebih definitif. Lima randomised placebo controlled trials yang melibatkan total 182 pasien telah didapatkan. Mereka membandingkan magnesium sulfat intravena dengan plasebo dalam terapi pasien pediatri dengan serangan asma sedang hingga berat di IGD, dengan terapi tambahan berupa inhalasi β-2 agonis dan steroid sistemik. Magnesium sulfat intravena memberikan manfaat tambahan pada asma akut sedang hingga berat pada anak yang diterapi dengan bronkodilator dan steroid. 7) Magnesium dan Respon Intubasi Laringoskopik Peran magnesium dalam menurunkan respon intubasi telah berkembang. Magnesium memiliki sifat vasodilatasi langsung pada arteri koroner dan magnesium juga dapat menghambat pelepasan katekolamin, sehingga menurunkan efek hemodinamik selama intubasi endotrakea. Magnesium juga merupakan antagonis

54 fisiologi dari kalsium, yang memainkan peran penting pada pelepasan katekolamin dalam responnya terhadap stimulasi simpatetik. Puri et al menemukan magnesium lebih baik dalam menurunkan respon tekanan pada intubasi endotrakeal begitu juga dalam menimbulkan perubahan ST yang lebih rendah pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang akan menjalani operasi CABG (Dina et al. 2014). Sebuah studi dilakukan untuk menemukan dosis optimal magnesium yang menyebabkan penurunan respon kardiovaskuler setelah laringoskopi dan intubasi endotrakeal (Dina et al. 2014). Dalam sebuah RCT double blind, 120 pasien ASA I berusia tahun, yang merupakan kandidat operasi elektif, dipilih dan diklasifikasikan dalam enam grup (masing-masing 20 pasien). Denyut nadi dan tekanan darah diukur dan direkam pada lima menit sebelum pemberian obat, berdasarkan kelompok yang berbeda. Pasien yang mendapat magnesium sulfat sama dalam semua grup dan denyut nadi serta tekanan darah diukur dan direkam sebelum intubasi dan juga pada 1, 3 dan 5 menit setelah intubasi (sebelum insisi). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tekanan daarah, denyut nadi, Train of Four (TOF), dan komplikasi antara kelompok yang mendapat magnesium tapi perbedaan signifikan pada parameter ini tampak antara magnesium dan lidokain (Dina et al. 2014, Nidhi et al. 2011).

55 Dapat disimpulkan bahwa preterapi dengan dosis magnesium berbeda memiliki efek penurunan yang aman pada respon kardiovaskuler yang lebih efektif daripada preterapi dengan lidokain (Dina et al. 2014). 8) Magnesium dalam Menurunkan Kebutuhan Analgesik Terapi nyeri selama dan setelah operasi yang efektif merupakan komponen pemulihan penting karena berfungsi untuk menumpulkan refleks otonom, somatik, dan endokrin yang berpotensi timbulnya penurunan morbiditas perioperatif. Telah banyak diketahui untuk menerapkan pendekatan polifarmakologi pada terapi nyeri postoperasi, karena belum ada agen khusus yang diketahui menghambat nosisepsi tanpa menimbulkan efek samping (Mahendra et al. 2013). Magnesium merupakan calcium channel blocker dan antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate non-kompetitif (NMDA). Magnesium sulfat telah terbukti sebagai ajuvan untuk analgesi intra dan postoperasi pada proses operasi yang berbeda termasuk ginekologi, ortopedi, toraks dan lain-lain. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa magnesium sulfat perioperatif akan menurunkan kebutuhan anestesi dan memperbaiki analgesi postoperatif. Namun, beberapa studi telah menyimpulkan bahwa magnesium memiliki efek yang terbatas bahkan sama sekali tidak ada (Christopher et al. 2010).

56 9) Intravenous Regional Anesthesia (IVRA) Menggunakan Lidokain dan Magnesium (Akhtar et al. 2011) IVRA merupakan salah satu bentuk anestesi regional paling sederhana dengan keberhasilan yang tinggi. Namun, IVRA terbatas pada nyeri torniket dan IVRA tidak mampu menghasilkan analgesi postoperatif. Untuk memperbaiki kualitas blok, memperpanjang analgesi postdeflasi, dan menurunkan nyeri torniket, aditif berbeda telah digabungkan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang terbatas. Mekanisme aksi magnesium sebagai ajuvan IVRA bersifat multifaktorial. Mekanisme aksi magnesium selain yang disebutkan di atas juga telah banyak diteliti. Studi melaporkan bahwa magnesium memiliki efek vasodilatasi yang dipicu oleh endothelium-derived nitic oxide. Nitrit oksida menyebabkan aktivasi guanil siklase dan meningkatkan siklik guanin monofosfat, yang memperantarai relaksasi otot polos vaskuler. Nitrit oksida juga merupakan inhibitor poten adesi netrofil pada endotel pembuluh darah.

57 Tabel 9. Manfaat magnesium (Douglas et al. 2013) Sistem Manfaat Mekanisme Respirasi Eksaserbasi akut asma Relaksasi otot polos bronkial Antagonis kalsium Aktivasi adenylate cyclase pelepasan neurotransmitter terminal saraf motorik Jantung Neurologi Aritmia ventrikuler terinduksi digoksin VT/VF/ Torsade de pointes yang refrakter terhadap terapi lain Spinal cord injury Traumatic cord injury Depresan miokard direk Memperpanjang konduksi SA dan AV periode refraktori AV node pelepasan Ach pada NMJ Antagonis kalsium Gastrointestinal Antasid Agen netralisasi Metabolik Obstetrik Reseksi feokromasitoma Osteoporosis Preeklamsia Neuroproteksi fetal preterm Calcium channel blocker Supresi pelepasan katekolamin Antagonis kalsium Antagonis NMDA kadar ACE Anestesi Analgesia Antagonis NMDA Mengurangi respon intubasi Lainnya Tetanus Pencegahan noise-related hearing loss Premenstrual syndrome Antagosis kalsium Antagonis NMDA ACh: acetylcholine, NMJ: neuromuscular junction, ACE: angiotensin converting enzyme, NMDA: N-methyl D-aspartate, VT: ventricular tachycardia, VF: ventricular fibrillation, SA: sinoatrial, commit AV: to user atrioventricular

58 e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium Serum Defisiensi magnesium disebabkan oleh multifaktorial. Defisiensi magnesium ditemukan pada 7-11% pasien rawat inap dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit lainnya seperti potasium dan fosfat pada 40% kasus dan sisanya sodium dan kalsium. Absorbsi magnesium dan kalsium saling berhubungan, maka defisiensi keduanya sering ditemukan bersama-sama. Hipokalsemia meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH). Hipomagnesemia mengganggu pelepasan PTH yang dipicu hipokalsemia, dapat dikoreksi dalam beberapa menit dengan infus magnesium. Magnesium juga diperlukan untuk sensitivitas jaringan target terhadap PTH dan metabolit vitamin D. Selain interaksi dengan kalsium, magnesium memiliki efek yang besar pada regulasi pergerakan sodium dan potasium transmembran. Hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D menstimulasi penyerapan kembali (reabsorbsi) magnesium di ginjal dan usus halus, dimana insulin dapat menurunkan ekskresi magnesium di ginjal dan meningkatkan pengambilan tingkat sel (David et al. 2011). Definisi hipomagnesemia adalah suatu keadaan dimana kadar magnesium plasma kurang dari 0,7 mmol/l dan disebabkan terutama oleh asupan diet yang inadekuat dan atau ekskresi dari ginjal dan sistem gastrointestinal. Gejala klinis secara signifikan terlihat pada keadaan dimana kadar magnesium serum dibawah 0,5 mmol/l yang

59 sering kali berhubungan dengan diare, muntah-muntah, penggunaan diuretik kuat dan thiazide, ACE inhibitor, cisplatin, aminoglikosida, atau penggunaan obat-obat nefrotoksik, dan beberapa kelainan endokrin seperti penyakit paratiroid, hiperaldosteronisme, dan kronik alkoholisme. Diabetes mellitus sangat kuat berhubungan dengan hipomagnesemia, kemungkinan karena peningkatan ekskresi urin. Hipomagnesemia juga dapat terjadi pada pasien-pasien perioperatif dan sering ditemukan pada pasien yang menjalani prosedur operasi kardiotorak atau operasi abdominal mayor dan toroidektomi (Akhtar et al. 2011). Defisiensi magnesium sering berdampak pada gangguan jantung dan neuromuskular. Gejala klinis termasuk mual muntah, kelemahan otot, kejang, fasikulasi otot, dan perubahan pada gambaran EKG seperti perpanjangan PR interval, QT interval, penyusutan gelombang T, aritmia seperti Torsades de pointes. Hipomagnesemia juga sering kali berhubungan dengan gangguan elektrolit sebagai hipokalemia dan hipokalsemia (David et al. 2011).

60 Tabel 10. Penyebab hipomagnesemia (Swaminathan 2003) Penyebab Redistribusi magnesium Gastrointestinal Renal loss Penyakit ginjal Endokrin Contoh Refeeding dan terapi insulin Hungry bone syndrome Koreksi asidosis Transfusi darah massif Katekolamin eksesif Intake yang berkurang (defisiensi nutrisi) Absorbsi yang berkurang (diare kronik, sindroma malabsorbsi) Penurunan reabsorbsi sodium Infus salin Diuretik Post renal obstruction Post renal transplantation Dialisis Gagal ginjal akut Hiperparatiroid Hiperkalsemia maligna Hiperaldosteronisme Hipertiroidisme Diabetes mellitus Alkoholisme Obat-obatan Diuretik, sitotoksik, antibiotik (aminoglikosida, OAT), imunosupresan, β adrenergic agonist,

61 Tabel 11. Gambaran klinis hipomagnesemia (Swaminathan 2003) Gambaran klinis Gangguan elektrolit Neuromuskular dan SSP Kardiovaskuler Komplikasi defisiensi magnesium Lainnya Hipokalemia Hipokalsemia Spasme carpopedal Muscle cramp Muscle weakness, fasikulasi, tremor Vertigo Nistagmus Depresi, psikosis Atrial takikardi, fibrilasi Aritmia supraventrikuler Aritmia ventrikuler Torsade de pointes Sensitivitas digoksin Perubahan homeostasis glukosa Aterosklerosis Hipertensi Infark miokard Osteoporosis Migrain Asma f. Toksisitas Magnesium Toksisitas magnesium sangat jarang terjadi kecuali pada kasus tertentu dimana gagal ginjal mencegah eksresi urin (misal, pada situasi dimana obat mengandung magnesium diberikan pada pasien dengan disfungsi ginjal). Gejala seperti depresi SSP, paralisis otot skelet, dan pada kasus ekstrim berupa koma dan kematian. Seiring meningkatnya magnesium plasma melebihi 4 meq/l, refleks tendon dalam adalah

62 yang pertama kali menurun dan kemudian menghilang seiring kadar plasma mendekati 10 meq/l. Pada level ini dapat terjadi paralisis respiratorik. Henti jantung juga dapat disebabkan oleh kadar magnesium plasma yang rendah. Konsentrasi magnesium serum lebih dari 12 meq/l juga bisa berakibat fatal. Antidotum toksisitas magnesium adalah kalsium glukonat (10% dalam 10 ml larutan selama 10 menit) melalui injeksi intravena perlahan. Pasien akan memerlukan monitoring EKG selama dan setelah injeksi karena berpotensi timbul aritmia. Resusitasi dan ventilator harus tersedia selama dan sesudah pemberian magnesium sulfat dan kalsium glukonat (Akhtar et al. 2011). Tabel 4. Kadar dan toksisitas magnesium (Douglas et al. 2013) Kadar magnesium serum Efek (mmol/l) 1 Kadar plasma normal 2-3 Level terapetik 5 Hilangnya reflek tendon dalam (tanda klinis pemberian yang tidak adekuat), parestesia fasial, drowsiness, nausea 6-8 Kelemahan otot berat, depresi nafas, depresi SSP 7 Abnormalitas konduksi jantung (termasuk bradikardi, pelebaran kompleks QRS, complete heart block) >12 Henti jantung

63 5. Pengaruh Isofluran dan Sevofluran Terhadap Magnesium Serum Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya, Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa mekanisme. Dalam tinjauannya, Wakabayashi (2010) juga menerangkan bahwa isofluran dapat menurunkan kadar magnesium serum. Selain berpengaruh pada kadar magnesium serum, isofluran juga dapat menyebabkan hiperglikemia akut setelah 20 menit pemberian. Efek hiperglikemia ini disebabkan karena isofluran dapat menghambat sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Dari beberapa jurnal diketahui bahwa hiperglikemia berhubungan erat dengan penurunan kadar magnesium serum (Liamis et al. 2014). Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon et al. 2009). Pengaruh isofluran dan sevofluran tersebut tidak lepas dari mekanisme aksi dari anestesi umum inhalasi yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi beberapa parameter laboratorium. Telah diketahui sebelumnya bahwa prinsip utama mekanisme aksi anestesi inhalasi adalah menginduksi transmisi inhibisi dan menghambat transmisi ekstasi pada

64 neuron (Morgan et al. 2013). Terdapat banyak jalur bagi anestesi inhalasi untuk menjalankan mekanisme tersebut. Anestesi inhalasi bekerja dengan mengaktivasi reseptor neurotransmiter inhibisi seperti GABAA dan glisin, serta mengaktivasi kanal ion kalium sehingga menyebabkan influk kalium dan terjadi hiperpolarisasi pada level presinapsis dan postsinapsis. Selain itu, anestesi inhalasi juga bekerja dengan menghambat transmisi eksitasi melalui inhibisi terhadap asetilkolin nikotinik neuronal, reseptor glutamat (NMDA dan AMPA), kanal ion natrium, dan kalsium sehingga mencegah timbulnya depolarisasi neuron (Perouansky et al. 2009). Salah satu target kerja anestesi inhalasi seperti yang dijelaskan di atas adalah reseptor glutamat. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi natrium dan kalsium. Reseptor ini secara fisiologis memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hipocampus. Selain konduksi natrium dan kalsium, ikatan reseptor glutamat juga meningkatkan konduksi magnesium (Dilger 2002, Campagna et al. 2003). Ketika agen anestesi inhalasi diberikan, maka terjadi hambatan pada reseptor glutamat. Dengan begitu, tidak terbentuk ikatan pada reseptor glutamat sehingga neurotransmisi akan terhambat karena hilangnya konduksi natrium dan kalsium, begitu juga dengan konduksi magnesium. Hilangnya konduksi magnesium akan membuat magnesium tetap berada di dalam sel dan tidak bisa berpindah

65 menuju ekstrasel. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar magnesium ekstrasel yang berpengaruh pada penurunan kadar magnesium serum (Traynelis et al. 2010). Mekanisme inilah yang menjelaskan pengaruh pemberian anestesi inhalasi baik isofluran dan sevofluran terhadap penurunan kadar magnesium serum. Selain mekanisme langsung di atas, terdapat mekanisme tidak langsung yang dapat menjelaskan pengaruh pemberian anestesi inhalasi baik isofluran dan sevofluran terhadap penurunan kadar magnesium serum. Isofluran telah lama diketahui dapat menginduksi hiperglikemia akut (Wakabayashi 2010). Kondisi hiperglikemia ini kemudian menyebabkan penurunan kadar magnesium serum pada pasien dengan pemberian isofluran dan sevofluran. Peningkatan kadar glukosa setelah pemberian isofluran disebabkan karena adanya penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, peningkatan produksi glukosa hepar, dan penurunan respon insulin terhadap glukosa. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi setelah pemberian isofluran sebesar 1,5 MAC (Akavipat et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Zuurbier et al. (2008) mencoba membandingkan pengaruh berbagai agen anestesi seperti ketamin, isofluran, dan sevofluran terhadap peningkatan glukosa dalam plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketamin dan isofluran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap timbulnya hiperglikemia, sedangkan sevofluran juga menimbulkan hiperglikemia tetapi tidak cukup signifikan.

66 Penyebab utama dari hiperglikemia ini adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Terdapat dua mekanisme utama yang dianggap menjadi penyebab penurunan sekresi insulin yaitu jalur K-ATP dependent dan jalur α-2 adrenergik. Anestesi inhalasi memiliki salah satu mekanisme aksi dengan target pada kanal ion kalium, termasuk kanal ion K-ATP dependent. Anestesi inhalasi dalam hal ini isofluran dan sevofluran bekerja dengan meningkatkan aktivitas K-ATP dependent. Aktivasi kanal ini akan membuka kanal K-ATP pada mitokondria pakreas sehingga menyebabkan perubahan metabolisme mitokondria. Efek yang terjadi pada perubahan metabolisme mitokondria itu adalah menurunnya sekresi insulin dari sel beta pankreas sehingga terjadi hiperglikemia akut. Agen anestesi lain seperti ketamin memiliki mekanisme aksi dengan meningkatkan aktivitas α-2 adrenergik. Peningkatan aktivitas pada reseptor ini akan menyebabkan produksi glukosa endogen pada sel hepar sehingga terjadi hiperglikemia akut selama pemberian agen anestesi. Namun mekanisme ini tidak ditemukan pada isofluran ataupun sevofluran. Dengan begitu kedua agen inhalasi ini mempengaruhi kadar glukosa plasma melaui jalur K-ATP dependent. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tanaka et al. (2009) dan Behdad et al. (2014) dimana pada penelitiannya subyek yang memperoleh isofluran menunjukkan peningkatan glukosa plasma secara signifikan. Peningkatan ini berkaitan dengan jalur K-ATP dependent yang bekerja pada sel beta pankreas.

67 Insulin merupakan modulator penting bagi magnesium intraseluler. Dalam penelitian in vitro dan in vivo, insulin memodulasi pergeseran magnesium dan mengatur konsentrasi magnesium dengan stimulasi pompa ATPase membran plasma serta uptake magnesium eritrosit (Takaya et al. 2004). Penurunan sekresi insulin akibat pemberian agen inhalasi dapat menyebabkan gangguan pada regulasi tersebut dan menimbulkan penurunan kadar magnesium serum. Insensitivitas terhadap insulin berefek pada transport magnesium intraseluler. Selain itu, penurunan kadar magnesium serum pada kondisi hiperglikemia akut juga disebabkan oleh adanya peningkatan diuresis osmotik sehingga menimbulkan penurunan absorbsi magnesium oleh tubulus ginjal dan peningkatan ekskresi magnesium melalui ginjal (Dasgupta et al. 2012).

68 B. Kerangka Konsep Anestesi Umum Inhalasi Sevofluran Isofluran Memfasilitasi transmisi inhibisi (hiperpolarisasi) Danmenghambat transmisi eksitasi (depolarisasi) Aktivasi reseptor GABA A Menghambat reseptor glutamat Aktivasi reseptor glisin Menghambat asetil kolin Aktivasi kanal ion K + Menghambat konduksi kation Mg 2+ Aktivasi kanal K + ATP dependent Mitokondria pankreas Menghambat perpindahan Mg 2+ intrasel menuju ekstrasel Hiperglikemia sekresi insulin sel β pankreas osmotik diuresis absorbsi Mg 2+ renal Insensitivitas insulin transport Mg 2+ intrasel Keterangan: : mempengaruhi : yangditeliti Mg2+ intrasel dan Mg2+ ekstrasel Gambar 7. Kerangka konsep kadar magnesium serum

69 C. Hipotesis Pemberian isofluran lebih menurunkan kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum dibandingkan dengan sevofluran

70 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Parahita Surakarta yang dimulai pada bulan Mei hingga Juli B. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran dan kelompok sevofluran terhadap kadar magnesium serum (Sastroasmoro 2008). C. Populasi dan Subjek Penelitian 1. Populasi Target Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi. 2. Subjek Penelitian Pasien pembedahan elektif dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. commit Moewardi to user yang memenuhi kriteria inklusi dan

71 kriteria eksklusi. a. Kriteria inklusi 1) Pasien pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II 2) Usia17-60 tahun 3) Indeks massa tubuh (IMT) 18,5-24,9 kg/m 2 4) Tanda vital dalam batas normal 5) Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal 6) Bersedia sebagai subjek penelitian b. Kriteria eksklusi 1) Pasien dengan riwayat alkoholisme 2) Pasien dengan riwayat diabetes mellitus 3) Pasien dengan riwayat jantung 4) Pasien dengan riwayat penyakit ginjal 5) Pasien dengan riwayat penyakit endokrin seperti hipertiroid, hiperparatiroid, hiperaldosteronisme 6) Pasien pembedahan jantung 7) Pasien dengan alergi isofluran dan sevoluran 8) Kehamilan 9) Penggunaan obat seperti diuretik, sitotoksik, agonis β adrenergik, obat anti tuberkulosis 3. Besar Subjek Penelitian Menurut Supranto (2000), untuk penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap, acak kelompok, atau faktorial, secara sederhana

72 dapat dirumuskan sebagai berikut: (t-1)(r-1) > 15 Dimana: t = banyaknya kelompok perlakuan r = jumlah replikasi perlakuan Pada penelitian ini terdapat dua kelompok perlakuan yaitu kelompok isofluran dan sevofluran (t=2), maka jumlah perlakuan yang perlu dilakukan untuk setiap kelompok adalah: (2-1)(r-1) > 15 (r-1) > 15 r > 16 Dari rumus didapatkan r > 16, sehingga jumlah subjek total yang diperlukan pada penelitian ini minimal sebesar 32 orang yang dibagi ke dalam kelompok isofluran (16 orang) dan kelompok sevofluran (16 orang). D. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik concecutive sampling dimana semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan ke dalam penelitian hingga jumlah yang dibutuhkan terpenuhi (Sastroasmoro 2008). E. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Isofluran dan sevofluran 2. Variabel terikat : Kadar magnesium serum

73 3. Variabel luar a. Terkendali : 1) Usia 2) Klasifikasi status fisik ASA 3) Alkoholisme 4) Glukosa darah 5) Penyakit ginjal 6) Penyakit jantung 7) Penyakit endokrin 8) Indeks massa tubuh 9) Obat-obat yang mempengaruhi penelitian b. Tidak terkendali : 1) Stres operatif F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Anestesi umum Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, terjadi pula hilangnya kesadaran. Obat anestesi umum bekerja dengan menghambat transmisi eksitasi dan meningkatkan transmisi inhibisi. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena (Garcia et al. 2010). Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi di antaranya adalah N2O dan larutan

74 yang mudah menguap seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin (Ebert et al. 2009). Anestesi inhalasi biasanya diberikan sebagai maintenance tetapi dapat juga digunakan sebagai induksi. Dosis biasanya ditetapkan dalam MAC (minimum alveolar concentration) (Saifee et al. 2007). Alat ukur anestesi inhalasi : Vaporizer dalam mesin anestesi Satuan anestesi inhalasi : Volume % Alat ukur anestesi intravena Satuan anestesi intravena : Spuit 10 cc : ml/kgbb 2. Isofluran Isofluran merupakan agen anestesi volatil yang termasuk dalam halogenated methylethyl ethers dengan kelompok difluoromethyl dan kelompok fluorinated ethyl. Pada isofluran, salah satu atom fluor pada kelompok ethyl diganti dengan chlor. Agen ini memiliki rumus molekul C3H2F5ClO dan berat molekul sebesar 184,5 dalton. Isofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Bau isofluran cukup menusuk dan tercium seperti bau eter yang apak. Isofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009). Isofluran diberikan sebagai maintenance anestesi dengan dosis sebesar 1

75 MAC yaitu 0,8 1,2 vol% dan dikombinasi dengan O2 : N2O = 50% : 50%. Alat ukur : Vaporizer dalam mesin anestesi Satuan : Volume % 3. Sevofluran Sevofluran merupakan agen anestesi volatil yang masuk dalam kelompok polyfluorinated methyl isopropyl ether. Agen ini memiliki rumus molekul C4H3F7O dan berat molekul sebesar 200,1 dalton. Sevofluran merupakan cairan volatil yang stabil, jernih, dan tidak berwarna pada suhu ruangan serta tidak mudah terbakar atau meledak. Sevofluran memiliki bau yang paling tidak menusuk di antara ketiga agen inhalasi utama (isofluran, desfluran, dan sevofluran). Bau sevofluran tercium menyenangkan seperti bau kloroform. Sevofluran diberikan ke pasien secara inhalasi melalui mesin anestesi langsung menuju ke sistem pernafasan dan diserap oleh sirkulasi pulmonal (Saber et al. 2009). Sevofluran diberikan sebagai maintenance anestesi dengan dosis sebesar 1 MAC yaitu 1 2 vol% dan dikombinasi dengan O2 : N2O = 50% : 50%. Alat ukur : Vaporizer dalam mesin anestesi Satuan : Volume % 4. Magnesium Serum Magnesium merupakan kation terbanyak kedua dalam intraseluler dan kation terbanyak keempat dalam tubuh. Magnesium berperan penting secara fisiologis dalam berbagai fungsi tubuh. Peran ini antaralain

76 membentuk kelasi dengan ligan anionik intraseluler yang penting, terutama ATP, berkompetisi dengan kalsium untuk mengikat reseptor pada protein dan membran, sintesis asam nukleat dan protein, serta bekerja spesifik pada organ seperti sistem neuromuskuler dan kardiovaskuler. (Swaminathan 2003). Kadar magnesium serum (sampel darah beku 5 ml) diukur 2 kali (sebelum intervensi dan 30 menit setelah intervensi) pada kedua kelompok perlakuan yang akan diperiksa di Laboratorium Parahita Surakarta menggunakan metode colorimeter and point dengan alat ukur Cobas. Nilai normal kadar magnesium serum yang ditetapkan adalah 1,7 2,4 mg/dl. Satuan Skala pengukuran : mg/dl : rasio G. Instrumen Penelitian 5. Identitas pribadi Lembar kuisioner yang berisi data pribadi dari populasi. Lembar ini selain bertujuan untuk mengetahui identitas pribadi responden, juga berfungsi untuk menyeleksi responden. b) Rekam medis pasien Instrumen ini digunakan untuk memastikan bahwa individu yang akan menjadi sampel merupakan pasien pembedahan elektif dengan anestesi umum dan untuk mengetahui riwayat medis pasien. c) Lembar informed consent penelitian

77 d) Monitor vital sign otomatis Instrumen ini digunakan untuk mengawasi perubahan hemodinamik yang terjadi selama prosedur pembedahan dengan menggunakan anestesi umum. e) Mesin anestesi Instrumen ini digunakan untuk mengontrol aliran gas-gas yang diinginkan, mengurangi tekanannya bila diperlukan ke dalam tingkat yang aman, menguapkan anestesi volatil menjadi campuran gas akhir, dan menyalurkan gas-gas tersebut ke sirkuit pernapasan yang tersambung dengan jalan napas pasien. f) Vaporizer Instrumen ini dgunakan untuk menguapkan anestetik volatil sebelum dihantar ke pasien. Vaporizer mempunyai tombol pengatur konsentrasi yang dengan tepat menambahkan agen anestesi volatil tercampur dengan aliran gas dari seluruh pengukur aliran. Agen anestesi inhalasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Agen anestesi inhalasi isofluran 1 MAC (0,8 1,2 vol%) b. Agen anestesi inhalasi sevofluran 1 MAC (1 2 vol%) g) Endotracheal tube h) Spuit 5 ml i) Spuit 10 ml j) Fentanyl 10 µg/ml k) Propofol 10 mg/ml

78 l) Midazolam 1 mg/ml m) Atracurium 10 mg/ml n) Tabung Vacutainer tutup warna ungu o) Mesin analisis Cobas H. Perijinan Penelitian 1. Ethical Clearance Penelitian perlu mendapatkan ijin penelitian setelah dilakukan pengkajian oleh tim komite medis RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan prinsip tidak melanggar etika praktik kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada manusia. 2. Ijin Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan atas persetujuan pasien atau keluarga terhadap informed consent yang diajukan peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.

79 I. Alur Penelitian Populasi target Subjek penelitian (min. n=32) Kriteria inklusi dan Subjek K1 (min. n=16) Subjek K2 (min. n=16) Premedikasi: Midazolam 0,07 mg/kgbb IV Fentanyl 2 µg/kgbb IV Induksi: Propofol 1,5 mg/kgbb Atracurium 0,5 mg/kgbb Data dasar (T1) Premedikasi: Midazolam 0,07 mg/kgbb IV Fentanyl 2 µg/kgbb IV Induksi: Propofol 1,5 mg/kgbb Atracurium 0,5 mg/kgbb Data dasar (T1) Maintenance: Isofluran 1 MAC (0,8 1,2 vol%) O2 : N2O = 50% : 50% selama 30 menit Data kedua (T2) Maintenance: Sevofluran 1 MAC (1-2vol%) O2 : N2O = 50% : 50% selama 30 menit Data kedua (T2) Gambar 8. Alur penelitian K1 : Kelompok pemberian isofluran K2 : Kelompok pemberian sevofluran Analisis data T1 : Kadar magnesium serum sebelum intervensi T2 : Kadar magnesium serum setelah intervensi

80 J. Langkah Penelitian Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah mendapat ijin dari Komite Medik melalui tahapan sebagai berikut : 1. Pasien ASA I dan II yang tiba di kamar operasi yang dijadwalkan untuk dilakukan operasi dengan anestesi umum dilakukan monitoring standar. Sebelumnya pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan dipasang infus. 2. Dilakukan identifikasi identitas (nama, jenis kelamin, umur), berat badan, status fisik (ASA), dan monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, suhu). 3. Setelah subjek penelitian dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, subjek dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pemberian isofluran minimal sebanyak 16 orang dan kelompok pemberian sevofluran minimal sebanyak 16 orang. 4. Pada masing-masing kelompok, subjek diinjeksikan midazolam 0,07 mg/kgbb sebagai premedikasi dan fentanyl 2 µg/kgbb intravena sebagai analgetik fasilitas intubasi. 5. Dilakukan induksi anestesi menggunakan propofol 1,5 mg/kgbb IV dan dilumpuhkan dengan atracurium 0,5 mg/kgbb IV sebelum intubasi. 6. Diambil sampel I darah vena sebanyak 5 ml untuk memperoleh data dasar dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan. 7. Intubasi endotrakeal dilakukan.

81 8. Subjek diberi maintenance melalui mesin anestesi berupa isofluran 1 MAC yaitu 0,8 1,2 vol% (kelompok isofluran) dan sevofluran 1 MAC yaitu 1 2 vol% (kelompok sevofluran) serta O2 : N2O = 50% : 50%. 9. Setelah 30 menit pemberian maintenance, diambil sampel II darah vena sebanyak 5 ml untuk memperoleh data kedua dan dimasukkan ke dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan. 10. Seluruh sampel darah kemudian dibawa ke Laboratorium Parahita Surakarta untuk diolah. 11. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan teknik analisis data yang telah dipilih. K. Teknik Analisis Teknik analisis yang digunakan adalah analisis bivariat (Tumbelaka 2008) dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Uji normalitas data kadar magnesium serum sebelum dan setelah perlakuan dengan Shapiro-Wilk test karena n<50 (Budiarto 2004). Apabila data tidak terdistribusi normal, maka dilakukan transformasi data untuk mengubah data sehingga dapat terdistribusi normal (Ghozali 2005). 2. Analisis statistik bivariat berupa paired sample t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian isofluran atau sevofluran pada masing-masing kelompok jika distribusi data normal. Jika distribusi data tidak normal

82 maka digunakan uji alternatif yaitu Wilcoxon Signed Rank Test pada masing-masing kelompok perlakuan. 3. Analisis statistik bivariat berupa independent t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara kadar magnesium serum setelah perlakuan pada kedua kelompok yaitu kelompok pemberian isofluran dan kelompok pemberian sevofluran jika distribusi data normal. Jika distribusi data tidak normal maka digunakan uji alternatif yaitu Mann- Whitney U test. Semua uji menggunakan kriteria α = 0, Hasil statistik akan ditampilkan dalam bentuk tabel. 5. Perhitungan statistik menggunakan software SPSS 17.

83 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik concecutive sampling untuk membandingkan dua kelompok penelitian pada pasien yang menjalani operasi elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh pemberian isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum dengan jumlah sampel sebesar 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana kelompok penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu kelompok perlakuan isofluran dan kelompok perlakuan sevofluran dengan masing-masing sampel sebesar 16. Kedua kelompok kemudian diukur jumlah kadar magnesium serum saat sebelum terpapar anetesi inhalasi dan 30 menit setelah terpapar anestesi inhalasi. 1. Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 32 pasien ASA I dan II didapatkan gambaran karakteristik subjek penelitian sebagai berikut. 69

84 Tabel 13. Karakteristik subjek penelitian Parameter Minimum Maximum Mean + SD Frekuensi(%) Usia (tahun) , ,31 IMT (kg/m 2 ) 19,5 25,7 22,66 + 1,91 GDS (g/dl) , ,76 Jenis kelamin Laki-laki 14 (43,75%) Perempuan 18 (56,25%) ASA ASA I 21 (65,63%) ASA II 11 (34,37%) Sumber : Data primer, 2015 Berdasarkan tabel 13 diketahui bahwa usia responden paling muda 18 tahun dan paling tua dengan usia 65 tahun, dengan rata-rata usia 45, ,31 tahun. Indeks massa tubuh (IMT) pasien paling kecil 19,5 kg/m 2 dan paling besar adalah 25,7 kg/m 2 dengan rata-rata 22,66 + 1,91 kg/m 2. Gula darah sewaktu (GDS) pasien paling rendah sebesar 101 gr/dl dan paling tinggi sebesar 175 gr/dl dengan rata-rata 137, ,76 gr/dl. Responden dengan jenis kelamin laki-laki ada 14 pasien (43,75%), kemudian responden dengan jenis kelamin perempuan ada 18 pasien (56,25%), jadi sebagian besar responden dengan jenis kelamin perempuan. Responden dengan status fisik ASA I ada 21 pasien (65,63%), dan responden dengan status fisik ASA II ada 11 pasien (34,37%), jadi sebagian besar responden dengan status fisik ASA I.

85 2. Uji Normalitas Data Data laboratorium pada penelitian yang merupakan kadar magnesium serum pada pasien kelompok isofluran dan kelompok sevofluran diamati dan dilihat normalitas datanya sebagai penentu uji analisis statistik yang digunakan sebagai pengujian hipotesis. Data dianalisis dengan program SPSS Statistik Uji normalitas data penelitian dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel < 50. Adapun tabel uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Uji normalitas data kadar magnesium serum Kelompok Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistik df Sig. Statistik Df Sig. Isofluran Pretes * Sevofluran Pretes Isofluran Postes * Sevofluran Postes * Tabel 14 menjelaskan data kadar magnesium serum pada penelitian ini pada kelompok perlakuan isofluran pretes, isofluran postes, sevofluran pretes dan sevofluran postes diperoleh nilai p > 0.05 pada Shapiro-wilk, sehingga data berdistribusi normal, dan untuk selanjutnya digunakan uji analisis dengan parametrik yaitu paired sample t-test.

86 Tabel 15. Uji normalitas data perubahan kadar magnesium serum Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistik df Sig. Statistik df Sig. Isofluran Sevofluran Tabel 15 menjelaskan data penelitian perubahan kadar magnesium serum pada isofluran diperoleh nilai P pada shapiro-wilk sebesar dan pada sevofluran sebesar 0.006, dimana nilai p kedua perlakuan tersebut lebih kecil dari 0.05 sehingga data tidak berdistribusi normal dan uji analisis yang digunakan adalah non parametrik yaitu Mann-Whitney U test.. 3. Uji Kesetaraan Data Penelitian Uji kesetaraan data adalah syarat untuk melihat data pretes, dimana data yang akan.digunakan sebagai penelitian harus sama atau setara pada penyebarannya sebelum postes. Adapun uji kesetaraan data dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16. Uji kesetaraan sebelum perlakuan (pretes) Kelompok N Mean Std. deviasi T test p-value Isofluran 16 2,2625 0, ,608 Sevofluran 16 2,2062 0,25425 Berdasarkan tabel 16 diketahui bahwa nilai p = 0,608 > 0,05 yang artinya tak ada perbedaan yang signifikan antara kadar magnesium serum

87 pada kelompok perlakuan dengan isofluran dan pada kelompok sevofluran sebelum perlakuan, sehingga data baik (setara). 4. Analisis Bivariat a. Uji Perbedaan Sebelum dan Setelah Perlakuan Analisis statistik bivariat berupa paired sample t-test dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian isofluran atau sevofluran pada masing-masing kelompok. Tabel 17. Perbedaan antara kadar magnesium serum isofluran dan sevofluran Model Isofluran N Mean Std. Deviasi t test P-value Pair 1 Pretes 16 2,2625 0,35190 Postes 16 1,9000 0, Model Pair 2 Sevofluran Pretes 16 2,2062 0,25421 Postes 16 2,0875 0, Berdasar tabel 17 diketahui bahwa nilai rata-rata kadar magnesium isofluran pretes sebesar 2,2625 ± 0,35190 dan isofluran postes sebesar 1,9000 ± 0,43512 perolehan nilai p = 0,000 < 0,05, sedangkan nilai rata-rata kadar magnesium sevofluran pretes sebesar 2,2062 ± 0,25421 dan sevofluran postes sebesar 2,0875 ± 0,25265 dengan perolehan p = < 0.05 yang artinya ada perbedaan yang

88 bermakna pada kadar magnesium isofluran dan sevofluran pretes dan postes. b. Uji Perbedaan Perubahan Kadar Magnesium Isofluran dan Sevofluran Tabel 18. Data perubahan kadar magnesium isofluran dan sevofluran PRETES POSTES Perubahan Isoflura n Sevoflura n Isoflura n Sevoflura n Isoflura n Sevoflura n Sumber: Data primer, 2015 Berdasar tabel 18, perolehan nilai rata-rata perubahan pada kelompok isofluran dan sevofluran digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata dan mengetahui perbedaan antara kadar magnesium serum kedua kelompok. Untuk mengetahui perbedaan tersebut

89 digunakan uji Mann-Whitney U test karena data tidak berdistribusi normal. Tabel 19. Uji Mann Whitney perubahan setelah pemberian isofluran dan sevofluran Kelompok N Mean Std. deviasi U test p-value Sevofluran 16 0,1188 0, ,000 Isofluran 16 0,3625 0,22472 Berdasar tabel 19 diketahui bahwa nilai rata-rata perubahan kadar magensium serum kelompok sevofluran sebesar 0,1188 ± 0,04031 dan kelompok isofluran sebesar 0,36251 ± 0,22472 sedangkan nilai p = 0,000 < 0,05 yang artinya ada perbedaan yang bermakna antara kelompok isofluran dan kelompok sevofluran pada perubahan kadar magnesium serum Perubahan Isofluran Perubahan Sevofluran Gambar 9. Perubahan kadar magnesium serum

90 B. PEMBAHASAN Pada uji perbedaan kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian isofluran dan kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian sevofluran diperoleh hasil yang bermakna, karena pengaruh isofluran dan sevofluran tersebut tidak lepas dari mekanisme aksi dari anestesi umum inhalasi yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi beberapa parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya, Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa mekanisme. Dalam tinjauannya, Wakabayashi (2010) juga menerangkan bahwa isofluran dapat menurunkan kadar magnesium serum. Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon et al. 2009). Salah satu target kerja anestesi inhalasi adalah reseptor glutamat. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi natrium dan kalsium. Reseptor ini secara fisiologis memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hipocampus. Selain konduksi natrium dan kalsium, ikatan reseptor glutamat juga meningkatkan konduksi magnesium (Dilger

91 2002, Campagna et al. 2003). Ketika agen anestesi inhalasi diberikan, maka terjadi hambatan pada reseptor glutamat. Dengan begitu, tidak terbentuk ikatan pada reseptor glutamat sehingga neurotransmisi akan terhambat karena hilangnya konduksi natrium dan kalsium, begitu juga dengan konduksi magnesium. Hilangnya konduksi magnesium akan membuat magnesium tetap berada di dalam sel dan tidak bisa berpindah menuju ekstrasel. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar magnesium ekstrasel yang berpengaruh pada penurunan kadar magnesium serum (Traynelis et al. 2010). Mekanisme inilah yang menjelaskan pengaruh pemberian anestesi inhalasi baik isofluran dan sevofluran terhadap penurunan kadar magnesium serum. Hasil penelitian untuk membuktikan bahwa pemberian isofluran lebih menurunkan kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum dibandingkan dengan sevofluran telah terbukti kebenarannya, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis uji Mann Whitney Sample Tes diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara kelompok terpapar isofluran dengan kelompok terpapar sevofluran dimana kelompok isofluran mempunyai nilai rata-rata kadar magnesium yang lebih tinggi penurunanya (0,3625) dibanding kadar magnesium pada kelompok sevofluran (0,1188). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa isofluran telah lama diketahui dapat menginduksi hiperglikemia akut (Wakabayashi 2010). Kondisi hiperglikemia ini kemudian menyebabkan penurunan kadar magnesium serum pada pasien dengan pemberian isofluran.

92 Penelitian yang dilakukan oleh Zuurbier et al. (2008) mencoba membandingkan pengaruh berbagai agen anestesi seperti ketamin, isofluran, dan sevofluran terhadap peningkatan glukosa dalam plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketamin dan isofluran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap timbulnya hiperglikemia, sedangkan sevofluran juga menimbulkan hiperglikemia tetapi tidak cukup signifikan. Penyebab utama dari hiperglikemia ini adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Insulin merupakan modulator penting bagi magnesium intraseluler. Dalam penelitian in vitro dan in vivo, insulin memodulasi pergeseran magnesium dan mengatur konsentrasi magnesium dengan stimulasi pompa ATPase membran plasma serta uptake magnesium eritrosit (Takaya et al. 2004). Penurunan sekresi insulin akibat pemberian agen inhalasi dapat menyebabkan gangguan pada regulasi tersebut dan menimbulkan penurunan kadar magnesium serum. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada variabel bebas yang tidak bisa dikendalikan yaitu stres operatif. Stres operatif yang dihadapi oleh pasien yang menjadi subjek penelitian ini dapat mempengaruhi kadar glukosa darah selama periode operasi. Peningkatan glukosa secara signifikan dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum secara tidak langsung pada pasien yang menjalani anestesi umum (Wakabayashi 2010).

93 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data penelitian yang telah ditampilkan pada bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Terdapat perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar magnesium serum antara pemberian isofluran dan pemberian sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penurunan kadar magnesium serum pada kelompok dengan pemberian isofluran lebih besar dibandingkan pada kelompok dengan pemberian sevofluran. 2. Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian isofluran. 3. Terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian sevofluran. B. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran yang dapat diberikan oleh peneliti: commit 79 to user

94 1. Sevofluran telah terbukti lebih baik dalam mempertahankan kadar magnesium serum dibanding isofluran, maka sevofluran dapat digunakan sebagai pilihan utama agen inhalasi dalam anestesi umum 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian isofluran dan sevofluran terhadap magnesium serum secara biomolekuler sehingga dapat memperkuat hasil penelitian ini. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian isofluran dan sevofluran terhadap parameter laboratorium lainnya. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan agen anestesi umum lainnya sehingga dapat mengetahui efek berbagai agen anestesi umum terhadap kadar magnesium serum. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengendalikan variabel perancu yang tidak dapat dikendalikan pada penelitian ini.

95 DAFTAR PUSTAKA Akavipat P., Polsayom N., Pannak S., Punkla W Blood glucose level in neurosurgery. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 41(3): Akhtar M., Hameed U., Hamid M Magnesium, a drug of diverse use. Journal of The Pakistan Medical Assosiation. 61: Antognini J.F., Cartens E In vivo characterization of clinical anaesthesia and its components. Br J Anaesth. 71: Behdad S., Mortazavizadeh A., Ayatollahi V., Khadiv Z., Khalilzadeh S The Effects of Propofol and Isoflurane on Blood Glucose during Abdominal Hysterectomy in Diabetic Patients. Diabetes Metab J. 38: Behne M., Wilke H.J., Harder S Clinical pharmacokinetics of sevoflurane. Clin Pharmacokinet. 36 (1): Budiarto, Eko Biostatika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Campagna J.A., Miller K.W., Phil D., Forman S.A Mechanisms of actions of inhaled anesthetics. N Engl J Med. 348: Chang C.H., Nam S.B., Han D.W., Lee H.K., Shin C.S. Lee J.S Changes in ionized and total magnesium concentration during spinal surgery. Korean J Anesthesiol. Vol. 52.S Christhoper L., Lionel D., Christoph C., Martin R Magnesium as an adjuvant to postoperative analgesia. International Anesthesia Research Society. 104(6): 1532 Cunha A.R., Umbelino B., Correia M.L., Neves M.F Magnesium and vascular changes in hypertension. International Journal of Hypertension. 105: 1-7.

96 Dahlan S Uji Chi-Square (Hipotesis Komparatif Kategorik Tidak Berpasangan Tabel 2x2). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: SalembaMedika. Pp: Dalmas O New and notable: magnesium selective ion channel. Biophysical Journal. 93: Dasgupta A., Sarma D. Saikia U.K Hypomagnesemia in type 2 diabetes mellitus. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. 16(6): David W., Susanne H., Mariane E., Stefan G., Markus W Magnesium essential for anesthesiologist. American Society of Anesthesiologist. 114(4): 971. Deckardt K., Weber I., Kaspers U., Hellwig J., Tennekes H., van Ravenzwaay B The effects of inhalation anaesthetics on common clinical pathology parameters in laboratory rats. Food and Chemical Toxicology. 45: Dilger J The effects of general anaesthetics on ligand-gated ion channels. J Anaesth. 125: Dina S., Shorbagy M., Saleh M Treacheal intubation in pediatric surgeries without muscle relaxing using magnesium sulphate as an adjuvant. Ain- Shams Journal of Anesthesiology. 7: Douglas J., Dean C Magnesium and the obstetric anesthetist. International Journal of Obstetric Anesthesia.22: Ebert T.J., Schmid P.G Inhaled anesthesia. In: Barash P.G., Cullen B.F., Stoelting R.K.,Cahalan M.K., Atock M.C. Handbook of Clinical Anesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Edmont I., Edger I Inhaled anesthesia: uptake and distribution. In: Miller R.D. Miller s Anesthesia Seventh Edition. USA: Elsevier. Emily S Tutorial of the week: Magnesium and anesthesia. Royal Albert Edward Infirmary.

97 Garcia P.S., Kolesky S.E., Jenkins A General anesthetic action on GABAA receptors. Current Neuropharmacology. 8: 2-9. Gautam P., Madhumita M., Abhiram M., Debabanhi B., Abhisa B., Arunima M., Samvit S Effect of magnesium sulphate on hemodynamic response to endotracheal intubation. International Journal of Pharmacology and Theraupetics.3: 73. Ghozali I Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, pp: Heinke W., Schwarzbauer C In vivo imaging of anesthetic acton in humans; approaches with positron emission tomography (PET) and functional magnetic resonance imaging (fmri). Br J Anaesth. 89: 112:122. Jahnen-Dechent W., Ketteler M Magnesium basics. Clin Kidney J. 5(1): Kweon T.D., Chang D.J., Bae S.J., Kim Y., Shin C.S Effects of various anesthetic induction agents on magnesium and calcium concentration. Korean J Anesthesiol. 56(3): Liamis G., Liberopoulos E., Barkas F., Elisat M Diabetes mellitus and electrolyte disorders. World J Clin Cases. 2(10): Lopes C., Franks N., Lieb W Actions of general anesthetics and arachnoid pathway inhibitors on K+ currents activated by volatile anesthetics. Br J Pharmacol. 125: Mahendra K., Neha D., Rautela, Sethi Effect of magnesium sulphate on postoperative pain following spinal anesthesia. Medical English Journal of Anesthesiology.22: 251. Morgan, E.G., Mikhail M.S., Butterworth J.K., Mackey D.C., Wasnick D.J Inhalation anesthetics. In: Clinical anesthesiology 5 th edition. Ohio: The McGraw-Hill Companies. Narahashi T., Aistrup G.L., Lindstrom J.M Ion channel modulation as the basis for general anesthesia. Toxicol Lett. 367:

98 Nidhi B., Neerja B., Seema P Minimal effective dose os magnesium sulfate for attenuation os intubation response in hypertensive patient. Journal of Clinical Anesthesia. 25: Perouansky M., Pearce R.A., Hemmings H.C Inhaled anesthetics: mechanism of action. In: Miller R.D. Miller s Anesthesia Seventh Edition. USA: Elsevier. Perry E., Wlker M., Grace J., Perry R Acetylcholine in mind: a neurotransmitter correlate of consciousness? Trends Neurosci. 22: Saber AT., Hougaard K.S Isoflurane, sevoflurane, and desflurane. The Nordic Expert Group for Criteria Documentation of Health Risks from Chemicals.Vol 43(9): Saifee O., Solt K Intravenous and inhalation anesthetics. In: Dunn P.F. Clinical Anesthesia Procedurs of the Massachusetts General Hospital 7 th edition. USA: Lippincott William & Wilkins. Pp: Sastroasmoro S Pemilihan Subyek Sampel. In: Sastroasmoro S. dan Ismael S. (ed). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed. 3. Jakarta: SagungSeto, p: 88. Seo W.J., Park T.J Magnesium metabolism. Electrolite & Blood Pressure. Vol. 6, pp: Supranto J Teknik Sampling Untuk Survei dan Eksperimen. Jakarta: Rineka Cipta. Swaminatahan R Magnesium metabolism and its disorders. Clin Biochem Rev. Vol 24: Takaya J., Higashino H., Kobayashi Y Intracellular magnesium and insulin resistance. Magnesium Research. 17(2). Tanaka K., Kawano T., Tomino T., Kawano H., Okada T., Oshita S Mechanisms of Impaired Glucose Tolerance and Insulin Secretion during Isoflurane Anesthesia. Anesthesiology. 111:

99 Traynelis S.F., Wollmuth L.P., McBain C.J., Menniti F.S., Vance K.M., Ogden K.K Glutamate receptor ion channels; structure, regulation, and fuction. Pharmacological Review. 62(3). Tumbelaka A.R., Riono P., Wirjodiarjo M., Pudjiastuti P., Firman K Pemilihan Uji Hipotesis. In: Sastroasmoro S. dan Ismael S. (ed). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed.3. Jakarta: Sagung Seto, pp: Villars P.S., Kanusky J.T., Dougherty T.B Stunning the neural nexus: mechanisms of general anesthesia. AANA Journal. 72(3): Wakabayashi K Stress, anesthesia, and blood hormone level. Gunma: Shibayagi s Academic Information. Zuurbier C.J., Keijzers J.M., Koeman A., Van Wezel H.B., Hollman M.W Anesthesia s Effects on Plasma Glucose and Insulin and Cardiac Hexokinase at Similar Hemodynamics and Without Major Surgical Stress in Fed Rats. Anesth Analg. 106:

100 Lampiran 1. Lembar informed consent

101 Lampiran 2. Lembar ethical clearance

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 56 BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran

Lebih terperinci

PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS

PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS 9 PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Preeklamsia berat dan eklamsia merupakan sekumpulan gejala yang dapat terjadi pada kehamilan dan persalinan. Perubahanperubahan ini perlu dikenali dengan baik, karena

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT Kanal ion Peran penting kanal ion dalam sel adalah : 1. transport ion 2. pengaturan potensi listrik di membrane sel 3. signaling sel (kanal

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK DAN TINGKAT KESADARAN PASCA PEMAKAIAN ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN PADA OPERASI MAYOR DI DAERAH ABDOMEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokardium disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut. B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum

BAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum mengalami

Lebih terperinci

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit: Pengertian cairan tubuh total (total body water / TBW) Pembagian ruangan cairan tubuh dan volume dalam masing-masing ruangan Perbedaan komposisi elektrolit di intraseluler

Lebih terperinci

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron Gamaliel Septian Airlanda Prinsip Dasar Jalannya Rangsang a) Resting Membrane Potensial b) Potensial Membrane c) Potensial aksi d) Sifat elektrik pasif membrane

Lebih terperinci

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI

PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI PERBEDAAN PERUBAHAN TEKANAN DARAH ARTERI RERATA ANTARA PENGGUNAAN DIAZEPAM DAN MIDAZOLAM SEBAGAI PREMEDIKASI ANESTESI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Melissa Donda

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang

BAB 5 PEMBAHASAN. Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang BAB 5 PEMBAHASAN Pada penelitian ini yang bermakna sebagai faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak adalah faktor tinggi demam dan faktor usia kurang dari 2 tahun. Dari karakteristik orang tua anak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ALBUMIN EKSTRAK IKAN GABUS MURNI DIBANDING HUMAN

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ALBUMIN EKSTRAK IKAN GABUS MURNI DIBANDING HUMAN PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI ALBUMIN EKSTRAK IKAN GABUS MURNI DIBANDING HUMAN ALBUMIN 20% TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN ph DARAH PADA PASIEN HIPOALBUMINEMIA TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Waktu pulih sadar a. Pendahuluan Pulih sadar merupakan periode di mana pasien masih mendapatkan pengawasan dari ahli anestesi setelah pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II ISI Definisi 1 Anestesi inhalasi adalah salah satu teknik anestesi umum yang

BAB II ISI Definisi 1 Anestesi inhalasi adalah salah satu teknik anestesi umum yang 2.1. Definisi 1 Anestesi inhalasi adalah salah satu teknik anestesi umum yang BAB II ISI dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prevalensi hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokard disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.

Lebih terperinci

PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON)

PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON) Bio Psikologi Modul ke: PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON) 1. Penemuan Transmisi Kimiawi pada Sinapsis 2. Urutan Peristiwa Kimiawi pada Sinaps 3. Hormon Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan anestesi. Sejarah membuktikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global,

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat sangat sering terjadi di masyarakat dewasa ini. Di tengah jaman yang semakin global, banyak stresor dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung gagal mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup. Gagal jantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 Neuromuskulator Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 STRUKTUR SARAF 3/12/2015 2 SIFAT DASAR SARAF 1. Iritabilitas/eksisitaas : kemampuan memberikan respon bila mendapat rangsangan. Umumnya berkembang

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROPOFOL 0,5 Mg/KG/BB DENGAN LIDOCAIN 2 Mg/KG/BB DALAM MENCEGAH KEJADIAN SPASME LARING PASCA EKSTUBASI TESIS

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROPOFOL 0,5 Mg/KG/BB DENGAN LIDOCAIN 2 Mg/KG/BB DALAM MENCEGAH KEJADIAN SPASME LARING PASCA EKSTUBASI TESIS PERBEDAAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROPOFOL 0,5 Mg/KG/BB DENGAN LIDOCAIN 2 Mg/KG/BB DALAM MENCEGAH KEJADIAN SPASME LARING PASCA EKSTUBASI TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1 Data Hasil Penelitian Uji perbandingan antara keempat kelompok sebelum perlakuan menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok kontrol adalah

Lebih terperinci

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA Bio Psikologi Modul ke: Konduksi Neural / Sinapsis: 1. Konsep sinapsis 2. Peristiwa kimiawi pada sinapsis 3. Obat-obatan dan sinapsis Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi Psikologi Konsep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Energi Otot Rangka Kreatin fosfat merupakan sumber energi pertama yang digunakan pada awal aktivitas kontraktil. Suatu karakteristik khusus dari energi yang dihantarkan

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil

BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil normal alkohol Saraf 3.50 menit 2.30 menit Otot 3.40 menit 1.20 menit B. Pembahasan Pada praktikum kali ini, praktikan mengamati kontraksi otot gastrocnemius pada

Lebih terperinci

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph

FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph FUNGSI SISTEM GINJAL DALAM HOMEOSTASIS ph Dr. MUTIARA INDAH SARI NIP: 132 296 973 2007 DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN.......... 1 II. ASAM BASA DEFINISI dan ARTINYA............ 2 III. PENGATURAN KESEIMBANGAN

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini bertempat di Instalasi Rekam Medik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya yaitu bedah kardiovaskuler,

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa wanita masa menstruasi merupakan masa-masa yang sangat menyiksa. Itu terjadi akibat adanya gangguan-gangguan pada siklus menstruasi. Gangguan menstruasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal luas sebagai penyakit kardiovaskular, merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat modern

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode anestesi umum dengan menggunakan obat anestesi inhalasi yang saat ini banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia (HFA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Stroke atau yang sering disebut juga dengan CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan gangguan fungsi otak yang diakibatkan gangguan peredaran darah otak,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pemberian cairan diperlukan karena gangguan dalam keseimbangan cairan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pemberian cairan diperlukan karena gangguan dalam keseimbangan cairan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terapi cairan Pemberian cairan bertujuan untuk memulihkan volume sirkulasi darah. 6,13 Pemberian cairan diperlukan karena gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi menurut kriteria JNC VII (The Seventh Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure), 2003, didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera L.) adalah salah satu dari tumbuhan yang paling banyak manfaatnya di dunia, khususnya di daerah tropis seperti di Indonesia. Selain mudah ditemukan,

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot Tinjauan Umum Jaringan Otot Tipe Otot Otot rangka menempel pada kerangka, lurik, dapat dikontrol secara sadar Otot jantung menyusun jantung, lurik, dikontrol secara tidak sadar Otot polos, berada terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Merupakan fungsi integratif Lengkung reflex (reflex arc) adalah jalur

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Elektrolit terdiri dari kation dan anion. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na + ), sedangkan kation

BAB I PENDAHULUAN. lain. Elektrolit terdiri dari kation dan anion. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na + ), sedangkan kation BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cairan tubuh adalah cairan suspense sel di dalam tubuh yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.cairan tubuh merupakan komponen penting bagi cairan ekstraseluler,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menonjol yang disebabkan oleh gagalnya pengaturan gula darah. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. menonjol yang disebabkan oleh gagalnya pengaturan gula darah. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di seluruh dunia, pada tahun 2012 jumlah pasien diabetes mellitus mencapai 371 juta jiwa. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita diabetes totalnya 7,3 juta orang. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstisial (CIS) dan cairan intravaskular. Cairan interstisial mengisi ruangan yang berada di antara sebagian sel tubuh dan menyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan nasional, khususnya di bidang kesehatan, menghasilkan dampak positif, yakni meningkatnya harapan hidup penduduk di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekarang ini hampir semua orang lebih memperhatikan penampilan atau bentuk tubuh, baik untuk menjaga kesehatan ataupun hanya untuk menjaga penampilan agar lebih menarik.

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S PENTINGNYA CAIRAN Dr.Or. Mansur, M.S Dr.Or. Mansur, M.S mansur@uny.ac.id Fungsi air dan elektrolit 1. Mempertahankan keseimbangan cairan 2. Hilangnya kelebihan air terjadi selama aktivitas 3. Dehidrasi

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 Farida Rahmawati, Anita Agustina INTISARI Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arteri melebihi normal dan kenaikan

Lebih terperinci

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN SOP ECHOCARDIOGRAPHY N O A B C FASE PRA INTERAKSI TINDAKAN 1. Membaca dokumentasi keperawatan. 2. Menyiapkan alat-alat : alat echocardiography, gel, tissu. 3. Mencuci tangan. FASE ORIENTASI 1. Memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan tubuh manusia tidak hanya tergantung dari jenis makanan yang dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut aktivitas

Lebih terperinci

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/)

Mekanisme penyerapan Ca dari usus (Sumber: /16-calcium-physiology-flash-cards/) 92 PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa pegagan yang kaya mineral, bahan gizi dan bahan aktif telah lama digunakan untuk tujuan meningkatkan fungsi memori. Hasil analisa kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kewaspadaan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bekerja, belajar, berkendara, maupun aktivitas lainnya. Ketelitian juga dibutuhkan dalam aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGARUH MEDIA YOUTUBE DAN ALAT PERAGA TERHADAP KECEMASAN DAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM KEBUTUHAN DASAR MANUSIA TESIS

PERBEDAAN PENGARUH MEDIA YOUTUBE DAN ALAT PERAGA TERHADAP KECEMASAN DAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM KEBUTUHAN DASAR MANUSIA TESIS PERBEDAAN PENGARUH MEDIA YOUTUBE DAN ALAT PERAGA TERHADAP KECEMASAN DAN PRESTASI KETERAMPILAN LABORATORIUM KEBUTUHAN DASAR MANUSIA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat MagisterKesehatan

Lebih terperinci

1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hai

1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hai ASERING JENIS-JENIS CAIRAN INFUS Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteriis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma. Komposisi:

Lebih terperinci