PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS"

Transkripsi

1 9 PERUBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM DENGAN AGEN INHALASI TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai derajat Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Ilmu Biomedik Oleh : Tri Widhiyono Pamugkas S PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2 10 PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Penulis menyatakan dengan sebenarnya bahwa : 1. Tesis yang berjudul : PENGARUH AGEN INHALASI ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM SECARA TIMES SERIES PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perudang-undangan (Permendiknas No 17, tahun 2010). 2. Publikasi dari sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan Prodi Kedokteran Keluarga UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku. Surakarta,. Juni 2016 Tri Widhiyono Pamungkas

3 11 S DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. LEMBAR PENGESAHAN.. PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR LAMPIRAN.. ABSTRAK. ABSTRACT. i ii iii iv vi ix x xi xii xiii xiv BAB I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah.. 1 B. Rumusan Masalah... 5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan Khusus

4 12 D. Manfaat Penelitian.. 1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis. 3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Magnesium a. Definisi b. Keseimbangan Magnesium Normal c. Konsentrasi Magnesium Plasma. d. Peran Magnesium e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium... f. Toksisitas Magnesium. 2. Pengaruh Isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum Definisi General anesthesia Anestesi Inhalasi... a. Farmakokinetik... b. Mekanisme Aksi. 5. Isofluran a. Definisi b. Sifat Fisik dan Kimia.. c. Efek Pada Sistem Organ. d. Biotransformasi dan Toksisitas.. 6. Sevofluran. a. Definisi b. Sifat Fisik dan Kimia.. c. Efek Pada Sistem Organ. d. Biotransformasi dan Toksisitas

5 B. Kerangka Konsep 48 C. Hipotesis. 49 BAB III METODE PENELITIAN. 50 A. Jenis Penelitian 50 B. Tempat dan Waktu Penelitian C. Populasi dan Subjek Penelitian. 1. Populasi Target 2. Subjek Penelitian. 3. Besar Subjek Penelitian D. Teknik Pengambilan Sampel. 52 E. Variabel Penelitian F. Definisi Operasional Variabel Penelitian.. 1. Anestesi Umum Isofluran Sevofluran

6 14 4. Magnesium Serum G. Instrumen Penelitian H. Perijinan Penelitian 1. Ethical Clearance 2. Ijin Subjek Penelitian I. Alur Penelitian J. Langkah Penelitian 58 K. Teknik Analisis. 59 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian.. 1. Karakteristik Subjek Penelitian Uji Normalitas Data. 3. Analisis Bivariat B. Pembahasan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 70 B. Saran.. 71 DAFTAR PUSTAKA... 72

7 15 LAMPIRAN. 77 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.. LEMBAR PENGESAHAN.. PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR LAMPIRAN.. ABSTRAK. ABSTRACT. i ii iii iv vi ix x xi xii xiii xiv BAB I. PENDAHULUAN 1 E. Latar Belakang Masalah.. 1 F. Rumusan Masalah... 5 G. Tujuan Penelitian 6

8 16 3. Tujuan Umum Tujuan Khusus.. H. Manfaat Penelitian.. 4. Manfaat Teoritis 5. Manfaat Praktis. 6. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga BAB II. TINJAUAN PUSTAKA D. Kajian Teori 7. Magnesium g. Definisi h. Keseimbangan Magnesium Normal i. Konsentrasi Magnesium Plasma. j. Peran Magnesium k. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium... l. Toksisitas Magnesium. 8. Pengaruh Isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum Definisi General anesthesia Anestesi Inhalasi... c. Farmakokinetik... d. Mekanisme Aksi. 11. Isofluran e. Definisi f. Sifat Fisik dan Kimia.. g. Efek Pada Sistem Organ. h. Biotransformasi dan Toksisitas Sevofluran. e. Definisi

9 17 f. Sifat Fisik dan Kimia.. g. Efek Pada Sistem Organ. h. Biotransformasi dan Toksisitas E. Kerangka Konsep 48 F. Hipotesis. 49 BAB III METODE PENELITIAN. 50 L. Jenis Penelitian 50 M. Tempat dan Waktu Penelitian N. Populasi dan Subjek Penelitian. 4. Populasi Target 5. Subjek Penelitian. 6. Besar Subjek Penelitian O. Teknik Pengambilan Sampel. 52 P. Variabel Penelitian 52 Q. Definisi Operasional Variabel Penelitian.. 52

10 18 5. Anestesi Umum Isofluran Sevofluran 8. Magnesium Serum R. Instrumen Penelitian S. Perijinan Penelitian 3. Ethical Clearance 4. Ijin Subjek Penelitian T. Alur Penelitian U. Langkah Penelitian 58 V. Teknik Analisis. 59 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN C. Hasil Penelitian.. 4. Karakteristik Subjek Penelitian Uji Normalitas Data. 6. Analisis Bivariat D. Pembahasan BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan 70 D. Saran.. 71

11 19 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. 77 DAFTAR SINGKATAN Ach Acetylcholine ATP Adenosin Tri Phosphate ACE Angiotensin Converting Enzyme AV Node Atrio Ventricular Node ICU Intensive Care Unit IVRA Intravenous Regional anesthesi NMDA N-Methyl-D-Aspartate NMJ Neuoromuscular Junction SA Node Sino Atrial Node VF Ventricular Fibrillation VT Ventricular Tachycardia...

12 20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian Lampiran 2 Persetujuan mengikuti penelitian/informed consent Lampiran 3 Pemberian informasi tentang penelitian klinis, pemeriksaan klinis atau uji klinis Lampiran 4 Checklist pengawasan penelitian di RSUD Dr.Moewardi Lampiran 5 Surat pengunduran diri sebagai subyek penelitian Lampiran 6 Laporan Insiden (internal) Lampiran 7 Surat pernyataan kesanggupan menanggung semua biaya penelitian Lampiran 8 Surat pernyataan selesai pengambilan data Lampiran 9 Ethical clearance Lampiran 10 Hasil Penelitian... 86

13 21 ABSTRAK Tri Widhiyono Pamungkas, S , PENGARUH AGEN INHALASI ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM SECARA TIME SERIES PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM.Tesis. Pembimbing I : Suradi, Pembimbing II : Mulyo Hadi Sudjito. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Minat Utama Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Latar Belakang: Pemberian anestesi umum diantaranya isofluran dan sevofluran dapat menimbulkan berbagai efek yang berkaitan dengan fungsi kardiovaskuler, neuromuskuler, dan homeostasis, termasuk perubahan kadar magnesium serum. Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan pengaruh antara isofluran sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum selama 30 menit, 60 menit dan 90 menit. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan analisis bivariat yang melibatkan 32 pasien yang menjalani anestesi umum dan sesuai dengan kriteria penelitian. Subyek dibagi menjadi dua kelompok, 16 pasien dengan pemberian isofluran dan 16 pasien dengan pemberian sevofluran. Dari masing-masing kelompok diukur kadar magnesium serum sebelum dan 30 menit, 60 menit dan 90 menit setelah pemberian agen anestesi umum lalu dibandingkan di antara empat kelompok. Analisis bivariat dengan paired sample t-test dan digunakan untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium sebelum dan setelah pemberian agen setelah paparan 30 menit, 60 menit dan 90 menit serta perbedaan kadar magnesium antara keempat kelompok tersebut. Hasil: Analisis bivariat dengan paired sample t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi umum pada kelompok isofluran setelah 30 menit (p=0,031), setelah 60 menit (p=0,001) dan setelah 90 menit (p=0,001) dan pada kelompok sevofluran setelah 30 menit (p=0,031), setelah 60 menit (p=0,001) dan setelah 90 menit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada penurunan kadar magnesium serum antara pemberian isofluran dan sevofluran pada paparan anestesi selama 30 menit, 60

14 22 menit dan 90 menit. Penurunan kadar magnesium serum pada kelompok isofluran lebih besar dibandingkan kelompok sevofluran. Kata kunci : Isofluran, sevofluran, kadar magnesium serum, anestesi umum ABSTRACT Tri Widhiyono Pamungkas, S , EFFECT INHALED AGENTS ISOFLURANE AND SEVOFLURANE IN TIME SERIES TO MAGNESIUM SERUM LEVELS IN PATIENTS UNDERGOING GENERAL ANESTHESIA. Thesis Advisor I : Suradi, Advisor II : Mulyo Hadi.Sudjito. Magister Study Program of Family Medicine. Main interest: Biomedical Science. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Background : Administration of general anesthesia including isoflurane and sevoflurane can cause a variety of effects related to cardiovascular function, neuromuscular, and homeostasis, including changes in serum magnesium levels. Aims : To prove the differences of isoflurane and sevoflurane effects on serum magnesium levels in patients undergoing general anesthesia for 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes. Methods : This study is an observational analytic study using bivariate analysis involving 32 patients who underwent general anesthesia and met the criteria of the study. The subjects were divided into two groups, 16 patients with the administration of isoflurane and 16 patients with the administrations of sevoflurane. From each group, serum magnesium levels were measured prior to and 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes after administration of general anesthetic agents, then the levels were compared between the two groups. Bivariate analysis with paired sample t-test was used to determine the differences in magnesium levels before, 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes after administration of the agent as well as differences in magnesium levels between the four groups. Results : Bivariate analysis with paired sample t-test shows significant differences between serum magnesium levels before and 30 minutes after administration of general anesthetic agents in the isoflurane group (p=0,031), after

15 23 60 minutes (p=0,001) and after 90 minutes (p=0,001) and 30 minutes after administration of general anesthetic agents in the sevoflurane group (p=0,031), after 60 minutes (p=0,001) and after 90 minutes (p=0,001).. Conclusion: There is significant difference in serum magnesium levels decrease between isoflurane and sevoflurane administration. Decreased levels of serum magnesium in the isoflurane group is larger than sevoflurane group. Keywords : Isoflurane, sevoflurane, serum magnesium level, general anesthesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu peningkatan kualitas pelayanan kesehatan telah menjadi orientasi sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan kesehatan termasuk pelayanan anestesi dibutuhkan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan. Demi meningkatkan efisiensi tanpa mengabaikan keamanan dan keselamatan pasien maka dalam pemberian pelayanan anestesi khususnya anestesi umum, dimana penggunaan agen anestesi inhalasi tertentu yang dapat mempercepat masa perawatan pasca anestesi umum di ruang pemulihan dengan masa pemulihan yang cepat maka efisiensi waktu dan kenyamanan dapat

16 24 dirasakan oleh pasien maupun keluarganya( Sarif, Abdul Majid, Eko Suryani, 2012). Anestesi umum/general anesthesia, merupakan salah satu bentuk dari pembedahan yang paling sering dilakukan dan banyak menimbulkan komplikasikomplikasi pasca operasi (Sjamsuhidajat, Jong, 2005). Saat ini anestesi umum sudah banyak berkembang yang terlibat dalam berbagai prosedur medis terbaru dengan jumlah prosedur pembedahan yang terus meningkat dan membutuhkan keterlibatan peran dari anestesi umum tersebut. Anestesi umum telah banyak digunakan sebagai prosedur diagnostik invasif minimal dan terapeutik yang memerlukan imobilisasi dan sedasi dalam pada pasien. Adanya kondisi ini, penekanan terhadap efektivitas biaya, pemulihan segera, kepuasan pasien, dan minimalisasi efek samping menjadi sangat penting, meskipun banyak laporan mengenai efek anestesi umum terhadap timbulnya depresi kardiopulmonal hingga kematian, tetapi pada kenyataannya kejadian ini terus berkurang hingga mencapai 1 per pasien sehat. Mengingat ada banyak efek samping dari anestesi umum, pemilihan agen inhalasi yang bekerja cepat dan memiliki sedikit efek samping harus dipertimbangkan dan terus diteliti (Campagna, Miller, Phil, Forman. 2003). Anestesia yang dilakukan di negara-negara berkembang antara tahun 2001 sampai 2011 melaporkan bahwa tingkat morbiditas serta mortalitas terkait anestesia yang tinggi, yaitu 2,4 3,3 per anestesia (Bharti, Batra, Kaur, 2009). Sebuah penelitian di Brazil telah mengonfirmasi bahwa terjadi nol morbiditas serta mortalitas terkait per anestesia (Braz, Braz, Mo dolo,

17 25 Nascimento, Brushi, Carvalho, 2006). Penelitian di Nigeria menerangkan bahwa 270 anak yang dijadikan subjek penelitian hanya 65 pasien yang mengalami komplikasi pasca-anestesia dengan tiga pasien mengalami keterlambatan pulih sadar (Edomwonyi, Ekwere, Egbekun, Eluwa, 2006). Keterlambatan pulih sadar terjadi ketika pasien gagal mendapatkan kembali kesadaran dalam waktu menit setelah anestesia, merupakan efek residual dari obat anestesia, sedatif, serta analgesik. Keterlambatan pulih sadar dapat terjadi sebagai akibat overdosis obat absolut atau relatif atau potensiasi obat anestesia dengan obat lainnya. Kemungkinan penyebab lain adalah hipotermia, gangguan metabolik berat, atau stroke perioperasi (Butterworth, Mackey. Wasnick,2013). Anestesi umum inhalasi saat ini masih banyak digunakan karena kemudahan dalam pemberian secara inhalasi dan kemudahan dalam mengawasi munculnya efek samping. Metode pemberian yang unik dan tidak ditemui pada agen anestesi lain membuat agen ini memiliki keuntungan seperti lebih cepatnya agen berada dalam darah arteri karena alirannya langsung ke sirkulasi pulmonal (Morgan at al. 2013). Agen anestesi inhalasi poten yang paling sering digunakan pada prosedur pembedahan dewasa adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen inhalasi yang paling sering digunakan pada anakanak (Ebert et al. 2009). Sebelumnya halotan dan enfluran disertai dengan nitrous oxide (N 2 O) merupakan agen anestesi utama, tetapi selama beberapa dekade terakhir isofluran, desfluran, dan sevofluran telah menggantikan posisi halotan dan enfluran karena terdapat banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa ketiga

18 26 agen tersebut dimetabolisme secara lebih aman oleh hepar dan memiliki efek samping serta toksisitas yang lebih kecil. Hingga saat ini ketiga agen tersebut menjadi pilihan utama agen anestesi inhalasi (Saber at al. 2009). Isofluran dan sevofluran memerlukan dosis secara tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan pasien (Deckardt et al. 2007). Dosis anestesi yang kurang atau terlalu dalam dapat menimbulkan efek pada kardiopulmonal, neuromuskular, dan gangguan homeostasis. Gangguan yang dapat muncul antaralain atrial fibrilasi, aritmia ventrikuler, takikardi, serta hipereksitasibilitas neuromuskular (Behne et al. 2003). Dari beberapa gangguan pemberian agen inhalasi juga tidak lepas dari peranan ion-ion dalam tubuh. Ada beberapa teori yang menyatakan bahwa pemberian anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya, Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa mekanisme. Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon et al. 2009). Magnesium merupakan kation terbanyak kedua dalam intraseluler dan kation terbanyak keempat dalam tubuh. Magnesium berperan penting secara fisiologis dalam berbagai fungsi tubuh. Peran ini berkaitan dengan dua kemampuan magnesium, yaitu kemampuannya membentuk krelasi dengan ligan

19 27 anionik intraseluler yang penting, terutama ATP, dan kemampuannya berkompetisi dengan kalsium untuk mengikat reseptor pada protein dan membran. Magnesium juga penting dalam sintesis asam nukleat dan protein, serta bekerja spesifik pada organ seperti sistem neuromuskuler dan kardiovaskuler. Lebih dari 500 enzim pada tubuh membutuhkan peran dari magnesium (Swaminatahan, 2003). Hipomagnesemia atau defisiensi magnesium dalam serum yang salah satunya ditimbulkan oleh pemberian isofluran dan sevofluran, dapat menimbulkan berbagai efek dan komplikasi yang berkaitan dengan fungsi cardiovaskuler, neuromuskuler, dan fungsi homeostasis (Seo, Park, 2008). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui peranan pemberian isofluran dan sevofluran terhadap perubahan kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum. Berdasarkan temuan dan pendapat dari beberapa peneliti yang telah dijabarkan di atas maka menarik untuk diteliti pengaruh pemberian agen inhalasi terhadap kadar magnesium serum terutama perbedaan kadar magnesium serum sebelum dan setelah pemberian agen anestesi inhalasi, yaitu isofluran dan sevofluran, serta membandingkan kadar magnesium serum pada kedua kelompok tersebut. B. Rumusan Masalah a. Apakah terdapat perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum selama 30 menit. b. Apakah terdapat perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian

20 28 isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum selama 60 menit. c. Apakah terdapat perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum selama 90 menit. C. Tujuan Penelitian. 1. Tujuan Umum. a. Untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 30. b. Untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 60. c. Untuk mengetahui perbedaan kadar magnesium serum setelah pemberian isofluran dan sevofluran pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke Tujuan Khusus. a. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian isofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 30. b. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian isofluran

21 29 terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 60. c. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian isofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 90. d. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 30. e. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 60. f. Untuk mengetahui dan mengevaluasi pengaruh pemberian sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 90. g. Untuk mengetahui dan mengevaluasi perbedaan antara kedua kelompok. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 30. b. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke 60. c. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang perbedaan pengaruh antara isofluran dan sevofluran terhadap kadar magnesium

22 30 serum pada pasien yang menjalani anestesi umum setelah menit ke Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut. b. Bagi klinisi hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk memilih agen anestesi inhalasi yang paling aman yang dapat memperkecil efek samping pada pasien selama dan setelah prosedur anestesi. 3. Manfaat Bagi Kesehatan Kedokteran Keluarga a. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan pengaruh anestesi umum terhadap kadar magnesium. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi dokter keluarga dalam upaya menerangkan makna klinis magnesium terhadap tubuh. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Magnesium a. Definisi Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Magnesium merupakan kation terpenting keempat didalam tubuh dan kedua terbesar di intraseluler setelah kalium (Jahnen-Descent et al. 2012).

23 31 Magnesium adalah ion dengan jumlah berlimpah dalam tubuh manusia dan memainkan peranan penting dalam berbagai fungsi seluler, seperti penyimpanan, metabolisme, dan pembentukan energi. Magnesium berfungsi sebagai kofaktor untuk berbagai proses biologis, termasuk sintesis protein, fungsi neuromuskular, dan stabilisasi asam nukleat. Magnesium merupakan komponen intrinsik dari adenosin 5- triphosphatases dan regulator endogen beberapa elektrolit (Herroeder dkk, 2011). b. Keseimbangan Magnesium Normal Rata-rata intake magensium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d ( mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 1-2% magensium total berada dalam cairan ekstraseluler, 67% berada dalam tulang, 31% berada dalam intraseluler (Seo et al. 2008). Dari seluruh intake magnesium, hanya 30-40% yang diserap, terutama di usus halus bagian distal. Gambar 2.1. Distribusi bentuk kimiawi magnesium dalam serum. Dari total magnesium tubuh, 67% ditemukan dalam tulang dan jaringan keras, 31% ditemukan dalam sel, dan sekitar 2% ditemukan dalam serum (Seo et al. 2008). Ekskresi utama magnesium melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. 25% dari total magnesium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proksimal,

24 32 sedangkan 50-60% sisanya direabsorbsi di bagian tebal pada lengkung Henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Absorbsi magnesium pada intestinal distimulasi oleh 1,25-dihydroxyvitamin D. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume expansion, hiperaldosteronisme, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik, deplesi fosfat, dan alkohol (Akhtar et al. 2011). Gambar 2.2. Keseimbangan magnesium dalam tubuh (Jahnen-Descent et al. 2012) c. Konsentrasi Magnesium Plasma Magnesium (Mg 2+ ) plasma selalu diregulasi antara 1,7 dan 2,1 meq/l (0,7 1 mmol/dl atau 1,7 2,4 mg/dl). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal (absorbsi), tulang (penyimpanan), dan ginjal (ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi (Akhtar et al. 2011). d. Peran Magnesium

25 33 Magnesium merupakan penanda penting yang berfungsi sebagai kofaktor dalam banyak enzim pathway. Magnesium memodulasi dan mengontrol masuknya kalsium sel dan pelepasan kalsium dari membran sarkoplasma dan reticularendoplasma. Kontrol transportasi kalsium ini bertanggung jawab untuk banyak berperan terhadap fisiologis, di antaranya yang mengendalikan aktivitas neuron, rangsangan jantung, transmisi neuromuskuler, kontraksi otot, tonus vasomotor, tekanan darah dan aliran darah perifer. Peran fisiologis magnesium seperti calcium channel blocker di otot polos, otot rangka, dan sistem konduksi. Peranan magnesium juga sebagai analgesik seperti pada blok reseptor NMDA (Akhtar et al. 2011). Magnesium sangat kuat mempengaruhi fungsi transportasi ion membran sel jantung dan penting untuk mengaktivasi sekitar 300 sistem enzim, termasuk sebagian besar enzim yang dilibatkan dalam metabolisme energi. Adenosin trifosfat (ATP) menjadi fungsional apabila dikelasi menjadi magnesium. Ion ini merupakan pengatur sel yang penting untuk akses kalsium kedalam dan aksi kalsium didalam sel. Magnesium mengatur tingkat kalsium intraseluler dengan mengaktivasi pompa membran didalam sel yang mengekstrusi kalsium dan bersaing dengan kalsium memperebutkan saluran transmembran yang dengan begitu kalsium ekstraseluler memperoleh akses ke bagian dalam sel. Magnesium merupakan antagonis fisiologis alami dari kalsium. Pelepasan presinaptik asetilkolin tergantung kepada aksi magnesium. Magnesium dapat memberikan efek analgesik dengan beraksi sebagai reseptor antagonist N-methyl-D-aspartate (NMDA). Meskipun demikian, pemberian magnesium IV perioperatif (50 mg/kg IV yang dikuti oleh 15 mg/kg/jam) tidak memiliki efek terhadap nyeri pasca operasi. Magnesium menghasilkan vasodilasi sistemik dan koroner, menghambat fungsi platelet dan mengurangi cedera reperfusi (Morgan et al. 2013). 1) Peran Magnesium pada Jantung

26 34 Magnesium merupakan oligoelemen yang memiliki pengaruh penting pada fungsi miokard dan sistem pembuluh darah perifer. Magnesium mempengaruhi tekanan darah dengan memodulasi tonus dan struktur pembuluh darah melalui efeknya pada berbagai reaksi biokimia yang mengendalikan kontraksi/dilatasi, pertumbuhan/ apoptosis, diferensiasi dan inflamasi pembuluh darah. Magnesium bertindak sebagai antagonis kanal kalsium, menstimulasi produksi prostasiklin dan nitrit oksida vasodilator. Magnesium juga merubah respon pembuluh darah terhadap agen vasokonstriktor (Akhtar et al. 2011). Berbagai gangguan ritme, khususnya Torsade de points, ada hubungannya dengan hipomagnesemia. Magnesium intravena telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi berbagai tipe aritmia yang berbeda. Magnesium memiliki aksi elektrofisiologi yang luas pada sistem konduksi jantung meliputi pemanjangan waktu pemulihan sinus node dan penurunan automatisitas, konduksi AV node, konduksi antegrade dan retrograde pada jalur aksesoris, dan konduksi His-ventrikuler. Magnesium intravena juga dapat melakukan homogenisasi repolarisasi ventrikuler transmural. Karena aksi elektrofisiologinya yang unik dan luas, magnesium intravena dilaporkan berguna dalam mencegah fibrilasi atrium dan aritmia ventrikel setelah operasi jantung dan toraks dalam menurunkan respon ventrikel pada fibrilasi atrium onset akut, termasuk pada pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White, dalam terapi aritmia supraventrikel dan aritimia ventrikel akibat digoksin, takikardi atrium multifokal, serta takikardi ventrikel polimorfik (Torsade de points) atau fibrilasi ventrikel akibat overdosis obat. Namun, magnesium intravena tidak berguna pada takikardi ventrikel monomorfik dan fibrilasi ventrikel yang tidak mempan terhadap syok. Studi RCT yang besar dibutuhkan untuk mengkonfirmasi apakan magnesium intravena dapat memperbaiki

27 35 outcome pasien dalam kejadian aritmia yang berbeda-beda (Dina et al. 2014). Magnesium direkomendasikan untuk takikardi ventrikel tanpa pulsasi atau fibrilasi yang menyerupai Torsade de points. Mekanisme aksi magnesium pada Torsade de points masih belum jelas tapi diduga untuk memperpendek potensial aksi melalui kanal potasium miokard. Direkomendasikan dosis sebesar 1 hingga 2 gram dilarutkan dalam 10 ml dekstrose 5% dan diberikan selama 5 hingga 20 menit. Pemberian yang cepat akan menimbulkan hipotensi, yang reversibel dengan pemberian kalsium (Nidhi et al. 2011). Sifat antihipertensi magnesium berhubungan dengan sifat blokade kanal kalsium yang dimilikinya. Status magnesium memiliki efek langsung terhadap kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah dan regulasi penempatan seluler kation lain yang penting pada tekanan darah-rasio sodium : potasium seluler (Na:K) dan kalsium intraseluler (ica 2+ ). Sebagai hasilnya, magnesium nutrisional memiliki dampak langsung dan tak langsung pada tekanan darah pada kejadian hipertensi (Cunha et al. 2012). Telah terbukti bahwa suplementasi magnesium pada pasien anak-anak yang menjalani operasi jantung akan mencegah timbulnya takikardi ektopik jungsional (Dina et al. 2014). 2) Hipertensi Pulmonal dan Magnesium (Akhtar et al. 2011) Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonal rata-rata yang lebih dari 25 mmhg saat istirahat dan lebih dari 30 mmhg ketika beraktivitas. Magnesium merupakan vasodilator poten dengan demikian memiliki potensi untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal yang tinggi akibat hipertensi pulmonal persisten (PPHN). Strategi pencarian standar pada Cochrane Neonatal Review Group (CNRG) digunakan untuk mengetahui peran Mg. Dilakukan pencarian randomized maupun

28 36 quasi-randomized trial yang relevan pada COCHRANE CENTRAL dan MEDLINE (1966 hingga 20 April 2007). Magnesium sulfat dapat mendilatasi konstriksi otot pada arteri pulmonal. Namun, aksi ini tidak spesifik dan ketika diberikan melalui infus, malah akan bertindak pada otot lain di tubuh termasuk arteri lain. Ini berarti bahwa bahkan jika ditemukan efektif untuk hipertensi pulmonal, aksi yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lain bisa menimbulkan masalah. Review ini menemukan bahwa penggunaan magnesium sulfat untuk PPHN masih belum diuji dalam RCT. Untuk dapat membuktikan manfaatnya, maka diperlukan RCT. 3) Peran Dalam Obstetri (Douglas et al. 2013) Mg berperan dalam manajemen preeklamsia dan eklamsia. Magnesium mencegah atau mengontrol kejang dengan memblok transmisi neuromuskuler dan menurunkan pelepasan asetilkolin pada terminal saraf motoris. Efek antihipertensinya dikarenakan sifatnya pada blokade kanal kalsium. Eklamsi dan preeklamsi merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas selama kehamilan, kelahiran dan puerperium. Pencegahan timbulnya kejang pada preeklamsi dan kejang rekuren pada eklamsi merupakan aspek manajemen yang penting. Sejumlah antikonvulsan penting digunakan untuk mengontrol kejadian eklamsi dan untuk mencegah kejang di kemudian hari. Di Amerika Utara, magnesium sulfat parenteral merupakan drug of choice untuk pencegahan dan terapi kejang pada eklamsi. Magnesium sulfat tampaknya bertindak sebagai vasodilator serebral (khususnya pada pembuluh darah dengan diameter kecil) pada pasien dengan preeklamsi. Dengan potensinya untuk meringankan iskemi serebral, vasodilatasi ini dapat membantu menjelaskan kenapa magnesium sulfat memiliki sifat anti kejang pada preeklamsi. Namun, aturan dosis dan

29 37 efektivitasnya masih empiris, karena tidak ada RCT yang menunjukkan apakah magnesium sulfat berguna dan berapa level terapetiknya untuk dapat mencegah kejang, tapi nilai sebesar 3-6 mg% dianggap sebagai terapetik. Pemberian magnesium pada pasien obstetri dengan risiko kelahiran preterm akan memberikan neuroproteksi pada bayi preterm sebagaimana terbukti pada banyak studi. Penggunaan magnesium untuk terapi kelahiran preterm masih belum seberapa terbukti. Magnesium sulfat kadang digunakan sebagai tokolitik untuk memperlambat kontraksi uterin selama kelahiran preterm. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak menghentikan kelahiran preterm dan dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayi. Karena magnesium sulfat merelaksasikan hampir sebagian besar otot, bayi yang terpapar magnesium melebihi periode waktu tertentu akan terlihat lemah ketika lahir. Efek ini biasanya akan menghilang ketika obat ini telah dibersihkan dari sistem sirkulasi bayi. Pemberian magnesium sulfat tidak boleh dilakukan pada wanita dengan kondisi medis yang dapat memberat akibat efek samping di atas, termasuk wanita dengan miastenia gravis (gangguan otot) atau distrofi otot. 4) Peran Magnesium di ICU Defisiensi magnesium sering terjadi pada penyakit kritis dan berhubungan dengan tingginya mortalitas dan outcome klinis yang buruk di ICU. Sebuah studi retrospektif dilakukan pada 100 pasien berusia 16 tahun dan dirawat di ICU bedah medis pada Rumah Sakit Universitas selama periode 2 tahun. Observasi dilakukan pada kadar magnesium serum total ketika masuk, sejumlah uji laboratorium terkait magnesium, kebutuhan akan ventilator, durasi ventilasi mekanis, lama waktu rawat inap/icu, dan demografi pasien secara umum. Dapat disimpulkan bahwa

30 38 berkembangnya hipomagnesemia selama dirawat di ICU berhubungan dengan prognosis yang mengkhawatirkan. Pengawasan kadar magnesium serum berdampak pada prognosis dan efek terapetiknya juga (David et al. 2011). 5) Magnesium dan Tetanus Penyebab kematian tersering seseorang dengan tetanus berat tanpa ventilasi mekanis adalah gagal napas terkait spasme, sementara pada pasien dengan ventilasi adalah disfungsi otonom terkait tetanus. Sebuah randomized double blinded placebo controlled study dilakukan untuk menemukan apakah infus magnesium sulfat kontinyu akan menurunkan perlunya ventilasi mekanis dan apakah akan memperbaiki kontrol spasme otot dan instabilitas otonom. Tidak ada perbedaan dalam kebutuhan ventilasi mekanis antara individu yang dirawat dengan magnesium dan plasebo (OR 0,71, 95% CI 0,36-1,40; p=0,324), tingkat survival juga sama pada kedua kelompok. Namun, dibandingkan dengan kelompok plasebo, pasien yang mendapat magnesium akan secara signifikan lebih sedikit memerlukan midazolam (7,1 mg/kg per hari (0,1-47,9) vs 1,4 mg/kg per hari (0,0-17,3); p=0,026) dan pipecuronium (2,3 mg/kg per hari (0,0-33,0) vs 0,00 mg/kg per hari (0,0-14,8); p=0,005) untuk mengontrol spasme otot dan takikardi yang terjadi. Individu yang mendapat magnesium akan 3,7 (1,4-15,9) kali lebih tidak membutukan verapamil untuk mengatasi instabilitas kardiovaskuler dibanding pada kelompok plasebo. Insidensi kejadian tidak diinginkan pada kedua kelomopok tidaklah berbeda. Dapat disimpulkan bahwa infus magnesium tidak menurunkan kebutuhan ventilasi mekanis pada orang dewasa dengan tetanus berat tapi memang menurunkan kebutuhan akan obat-obatan lain untuk mengontrol spasme otot dan instabilitas kardiovaskuler (Emily et al. 2010). 6) Magnesium dan Asma (Gautam et al. 2013)

31 39 Pada asma alergi didapatkan peningkatan stimulasi IgE yang menimbulkan pelepasan histamin. Histamin menyebabkan bronkospasme melalui kontraksi otot polos yang diperantarai kalsium. Magnesium merupakan antagonis bronkospasme karena memiliki sifat blokade kanal kalsium. Eksaserbasi asma bisa sering dan dengan derajat keparahan mulai ringan hingga status asmatikus. Penggunaan magnesium sulfat (MgSo 4 ) merupakan satu dari sejumlah pilihan terapi yang bisa diberikan selama eksaserbasi akut. Di saat efektivitas magnesium sulfat intravena telah dibuktikan, masih sedikit yang diketahui mengenai magnesium sulfat inhalan. RCT didapatkan dari Cochrane Airways Group Asthma and Wheeze. Penelitian ini disuplemen dengan penelitian yang ditemukan dalam daftar referensi studi yang diterbitkan. Studi-studi ini ditemukan menggunakan teknik pencarian elektronik ekstensif, begitu juga tinjauan mengenai gray literature dan conference proceedings. Didapatkan enam penelitian yang melibatkan 296 pasien. Empat penelitian membandingkan antara nebulasi MgSO 4 disertai β-2 agonis dengan β-agonis. Dua studi membandingkan MgSO 4 dengan β-2 agonis saja. Tiga studi hanya melibatkan orang dewasa dan dua studi hanya melibatkan pasien pediatri. Tiga studi melibatkan pasien dengan asma berat. Secara keseluruhan, ada perbedaan signifikan pada fungsi paru antar pasien yang mendapat terapi nebulasi MgSO 4 disertai β-2 agonis, namun lama rawat inap pada kedua kelompok tidak jauh beda. Analisis subgrup tidak menunjukan perbedaan signifikan pada perbaikan fungsi paru antara orang dewasa dan anak, atau antara asma berat, ringan maupun sedang. Simpulan terkait terapi dengan nebulasi MgSO 4 saja sulit dibuat karena masih sedikitnya penelitian di bidang ini. Nebulasi MgSO 4 disertai β-2 agonis pada terapi eksaserbasi asma akut tampaknya memiliki manfaat terkait perbaikan fungsi paru

32 40 dan terdapat kecenderungan pada waktu rawat inap yang lebih baik. Heterogenitas antar penelitian yang dilibatkan dalam tinjauan ini membuat tidak bisa menarik simpulan yang lebih definitif. Lima randomised placebo controlled trials yang melibatkan total 182 pasien telah didapatkan. Mereka membandingkan magnesium sulfat intravena dengan plasebo dalam terapi pasien pediatri dengan serangan asma sedang hingga berat di IGD, dengan terapi tambahan berupa inhalasi β-2 agonis dan steroid sistemik. Magnesium sulfat intravena memberikan manfaat tambahan pada asma akut sedang hingga berat pada anak yang diterapi dengan bronkodilator dan steroid. 7) Magnesium dan Respon Intubasi Laringoskopik Peran magnesium dalam menurunkan respon intubasi telah berkembang. Magnesium memiliki sifat vasodilatasi langsung pada arteri koroner dan magnesium juga dapat menghambat pelepasan katekolamin, sehingga menurunkan efek hemodinamik selama intubasi endotrakea. Magnesium juga merupakan antagonis fisiologi dari kalsium, yang memainkan peran penting pada pelepasan katekolamin dalam responnya terhadap stimulasi simpatetik. Puri et al menemukan magnesium lebih baik dalam menurunkan respon tekanan pada intubasi endotrakeal begitu juga dalam menimbulkan perubahan ST yang lebih rendah pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang akan menjalani operasi CABG (Dina et al. 2014). Sebuah studi dilakukan untuk menemukan dosis optimal magnesium yang menyebabkan penurunan respon kardiovaskuler setelah laringoskopi dan intubasi endotrakeal (Dina et al. 2014). Dalam sebuah RCT double blind, 120 pasien ASA I berusia tahun, yang merupakan kandidat operasi elektif, dipilih dan diklasifikasikan dalam enam grup (masing-masing 20 pasien). Denyut nadi dan tekanan darah diukur dan direkam pada lima

33 41 menit sebelum pemberian obat, berdasarkan kelompok yang berbeda. Pasien yang mendapat magnesium sulfat sama dalam semua grup dan denyut nadi serta tekanan darah diukur dan direkam sebelum intubasi dan juga pada 1, 3 dan 5 menit setelah intubasi (sebelum insisi). Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tekanan daarah, denyut nadi, Train of Four (TOF), dan komplikasi antara kelompok yang mendapat magnesium tapi perbedaan signifikan pada parameter ini tampak antara magnesium dan lidokain (Dina et al. 2014, Nidhi et al. 2011). Dapat disimpulkan bahwa preterapi dengan dosis magnesium berbeda memiliki efek penurunan yang aman pada respon kardiovaskuler yang lebih efektif daripada preterapi dengan lidokain (Dina et al. 2014). 8) Magnesium dalam Menurunkan Kebutuhan Analgesik Terapi nyeri selama dan setelah operasi yang efektif merupakan komponen pemulihan penting karena berfungsi untuk menumpulkan refleks otonom, somatik, dan endokrin yang berpotensi timbulnya penurunan morbiditas perioperatif. Telah banyak diketahui untuk menerapkan pendekatan polifarmakologi pada terapi nyeri postoperasi, karena belum ada agen khusus yang diketahui menghambat nosisepsi tanpa menimbulkan efek samping (Mahendra et al. 2013). Magnesium merupakan calcium channel blocker dan antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate non-kompetitif (NMDA). Magnesium sulfat telah terbukti sebagai ajuvan untuk analgesi intra dan postoperasi pada proses operasi yang berbeda termasuk ginekologi, ortopedi, toraks dan lain-lain. Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa magnesium sulfat perioperatif akan menurunkan kebutuhan anestesi dan memperbaiki analgesi postoperatif. Namun, beberapa studi telah menyimpulkan bahwa

34 42 magnesium memiliki efek yang terbatas bahkan sama sekali tidak ada (Christopher et al. 2010). 9) Intravenous Regional Anesthesia (IVRA) Menggunakan Lidokain dan Magnesium (Akhtar et al. 2011) IVRA merupakan salah satu bentuk anestesi regional paling sederhana dengan keberhasilan yang tinggi. Namun, IVRA terbatas pada nyeri torniket dan IVRA tidak mampu menghasilkan analgesi postoperatif. Untuk memperbaiki kualitas blok, memperpanjang analgesi postdeflasi, dan menurunkan nyeri torniket, aditif berbeda telah digabungkan dengan anestesi lokal dengan keberhasilan yang terbatas. Mekanisme aksi magnesium sebagai ajuvan IVRA bersifat multifaktorial. Mekanisme aksi magnesium selain yang disebutkan di atas juga telah banyak diteliti. Studi melaporkan bahwa magnesium memiliki efek vasodilatasi yang dipicu oleh endothelium-derived nitic oxide. Nitrit oksida menyebabkan aktivasi guanil siklase dan meningkatkan siklik guanin monofosfat, yang memperantarai relaksasi otot polos vaskuler. Nitrit oksida juga merupakan inhibitor poten adesi netrofil pada endotel pembuluh darah.

35 43 Tabel 2.1. Manfaat magnesium (Douglas et al. 2013) Sistem Manfaat Mekanisme Respirasi Eksaserbasi akut asma Relaksasi otot polos bronkial Antagonis kalsium Aktivasi adenylate cyclase pelepasan neurotransmitter terminal saraf motorik Jantung Aritmia ventrikuler terinduksi digoksin VT/VF/ Torsade de pointes yang refrakter terhadap terapi Depresan miokard direk Memperpanjang konduksi SA dan AV periode refraktori AV node lain Neurologi Spinal cord injury Traumatic cord injury pelepasan Ach pada NMJ Antagonis kalsium Gastrointestinal Antasid Agen netralisasi Metabolik Reseksi feokromasitoma Osteoporosis Calcium channel blocker Supresi pelepasan katekolamin Obstetrik Preeklamsia Neuroproteksi fetal preterm Antagonis kalsium Antagonis NMDA kadar ACE Anestesi Analgesia Antagonis NMDA Mengurangi respon intubasi Lainnya Tetanus Pencegahan noise-related hearing loss Premenstrual syndrome Antagosis kalsium Antagonis NMDA ACh: acetylcholine, NMJ: neuromuscular junction, ACE: angiotensin converting enzyme, NMDA: N-methyl D-aspartate, VT: ventricular tachycardia, VF: ventricular fibrillation, SA: sinoatrial, AV: atrioventricular

36 44 e. Gejala Klinis Ketidakseimbangan Magnesium Serum Defisiensi magnesium disebabkan oleh multifaktorial. Defisiensi magnesium ditemukan pada 7-11% pasien rawat inap dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit lainnya seperti potasium dan fosfat pada 40% kasus dan sisanya sodium dan kalsium. Absorbsi magnesium dan kalsium saling berhubungan, maka defisiensi keduanya sering ditemukan bersama-sama. Hipokalsemia meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH). Hipomagnesemia mengganggu pelepasan PTH yang dipicu hipokalsemia, dapat dikoreksi dalam beberapa menit dengan infus magnesium. Magnesium juga diperlukan untuk sensitivitas jaringan target terhadap PTH dan metabolit vitamin D. Selain interaksi dengan kalsium, magnesium memiliki efek yang besar pada regulasi pergerakan sodium dan potasium transmembran. Hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D menstimulasi penyerapan kembali (reabsorbsi) magnesium di ginjal dan usus halus, dimana insulin dapat menurunkan ekskresi magnesium di ginjal dan meningkatkan pengambilan tingkat sel (David et al. 2011). Definisi hipomagnesemia adalah suatu keadaan dimana kadar magnesium plasma kurang dari 0,7 mmol/l dan disebabkan terutama oleh asupan diet yang inadekuat dan atau ekskresi dari ginjal dan sistem gastrointestinal. Gejala klinis secara signifikan terlihat pada keadaan dimana kadar magnesium serum dibawah 0,5 mmol/l yang sering kali berhubungan dengan diare, muntah-muntah, penggunaan diuretik kuat dan thiazide, ACE inhibitor, cisplatin, aminoglikosida, atau penggunaan obat-obat nefrotoksik, dan beberapa kelainan endokrin seperti penyakit paratiroid, hiperaldosteronisme, dan kronik alkoholisme. Diabetes mellitus sangat kuat berhubungan dengan hipomagnesemia, kemungkinan karena peningkatan ekskresi urin. Hipomagnesemia juga dapat terjadi pada pasien-pasien perioperatif dan sering ditemukan pada pasien yang menjalani prosedur operasi

37 45 kardiotorak atau operasi abdominal mayor dan toroidektomi (Akhtar et al. 2011). Defisiensi magnesium sering berdampak pada gangguan jantung dan neuromuskular. Gejala klinis termasuk mual muntah, kelemahan otot, kejang, fasikulasi otot, dan perubahan pada gambaran EKG seperti perpanjangan PR interval, QT interval, penyusutan gelombang T, aritmia seperti Torsades de pointes. Hipomagnesemia juga sering kali berhubungan dengan gangguan elektrolit sebagai hipokalemia dan hipokalsemia (David et al. 2011).

38 46 Tabel 2.2. Penyebab hipomagnesemia (Swaminathan 2003) Penyebab Redistribusi magnesium Gastrointestinal Renal loss Penyakit ginjal Endokrin Diabetes mellitus Alkoholisme Obat-obatan Contoh Refeeding dan terapi insulin Hungry bone syndrome Koreksi asidosis Transfusi darah massif Katekolamin eksesif Intake yang berkurang (defisiensi nutrisi) Absorbsi yang berkurang (diare kronik, sindroma malabsorbsi) Penurunan reabsorbsi sodium Infus salin Diuretik Post renal obstruction Post renal transplantation Dialisis Gagal ginjal akut Hiperparatiroid Hiperkalsemia maligna Hiperaldosteronisme Hipertiroidisme Diuretik, sitotoksik, antibiotik (aminoglikosida, OAT), imunosupresan, β adrenergic agonist,

39 47 Tabel 2.3. Gambaran klinis hipomagnesemia (Swaminathan 2003) Gambaran klinis Gangguan elektrolit Neuromuskular dan SSP Kardiovaskuler Komplikasi defisiensi magnesium Lainnya Hipokalemia Hipokalsemia Spasme carpopedal Muscle cramp Muscle weakness, fasikulasi, tremor Vertigo Nistagmus Depresi, psikosis Atrial takikardi, fibrilasi Aritmia supraventrikuler Aritmia ventrikuler Torsade de pointes Sensitivitas digoksin Perubahan homeostasis glukosa Aterosklerosis Hipertensi Infark miokard Osteoporosis Migrain Asma f. Toksisitas Magnesium Toksisitas magnesium sangat jarang terjadi kecuali pada kasus tertentu dimana gagal ginjal mencegah eksresi urin (misal, pada situasi dimana obat mengandung magnesium diberikan pada pasien dengan disfungsi ginjal). Gejala seperti depresi SSP, paralisis otot skelet, dan pada kasus ekstrim berupa koma dan kematian. Seiring meningkatnya magnesium plasma melebihi 4 meq/l, refleks tendon dalam adalah yang pertama kali menurun dan kemudian menghilang seiring kadar plasma mendekati 10 meq/l. Pada level ini dapat terjadi paralisis

40 48 respiratorik. Henti jantung juga dapat disebabkan oleh kadar magnesium plasma yang rendah. Konsentrasi magnesium serum lebih dari 12 meq/l juga bisa berakibat fatal. Antidotum toksisitas magnesium adalah kalsium glukonat (10% dalam 10 ml larutan selama 10 menit) melalui injeksi intravena perlahan. Pasien akan memerlukan monitoring EKG selama dan setelah injeksi karena berpotensi timbul aritmia. Resusitasi dan ventilator harus tersedia selama dan sesudah pemberian magnesium sulfat dan kalsium glukonat (Akhtar et al. 2011). Tabel 2.4. Kadar dan toksisitas magnesium (Douglas et al. 2013) Kadar magnesium serum Efek (mmol/l) 1 Kadar plasma normal 2-3 Level terapetik 5 Hilangnya reflek tendon dalam (tanda klinis pemberian yang tidak adekuat), parestesia fasial, drowsiness, nausea 6-8 Kelemahan otot berat, depresi nafas, depresi SSP 7 Abnormalitas konduksi jantung (termasuk bradikardi, pelebaran kompleks QRS, complete heart block) >12 Henti jantung 5. Pengaruh Isofluran dan Sevofluran Terhadap Magnesium Serum Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemberian anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran memiliki efek potensial terhadap parameter laboratorium, salah satunya adalah efek terhadap penurunan kadar ion magnesium dalam serum. Dalam penelitiannya, Deckardt et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian isofluran dapat menyebabkan penurunan kadar magnesium serum melalui beberapa

41 49 mekanisme. Dalam tinjauannya, Wakabayashi (2010) juga menerangkan bahwa isofluran dapat menurunkan kadar magnesium serum. Selain berpengaruh pada kadar magnesium serum, isofluran juga dapat menyebabkan hiperglikemia akut setelah 20 menit pemberian. Efek hiperglikemia ini disebabkan karena isofluran dapat menghambat sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Dari beberapa jurnal diketahui bahwa hiperglikemia berhubungan erat dengan penurunan kadar magnesium serum (Liamis et al. 2014). Pemberian sevofluran juga dapat menurunkan kadar magnesium serum total yang disebabkan karena perpindahan magnesium ke intraseluler akibat efek langsung agen anestesi terhadap membran sel itu sendiri (Kweon et al. 2009). Pengaruh isofluran dan sevofluran tersebut tidak lepas dari mekanisme aksi dari anestesi umum inhalasi yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi beberapa parameter laboratorium. Telah diketahui sebelumnya bahwa prinsip utama mekanisme aksi anestesi inhalasi adalah menginduksi transmisi inhibisi dan menghambat transmisi ekstasi pada neuron (Morgan et al. 2013). Terdapat banyak jalur bagi anestesi inhalasi untuk menjalankan mekanisme tersebut. Anestesi inhalasi bekerja dengan mengaktivasi reseptor neurotransmiter inhibisi seperti GABA A dan glisin, serta mengaktivasi kanal ion kalium sehingga menyebabkan influk kalium dan terjadi hiperpolarisasi pada level presinapsis dan postsinapsis. Selain itu, anestesi inhalasi juga bekerja dengan menghambat transmisi eksitasi melalui inhibisi terhadap asetilkolin nikotinik neuronal, reseptor glutamat (NMDA dan AMPA), kanal ion natrium, dan kalsium sehingga mencegah timbulnya depolarisasi neuron (Perouansky et al. 2009). Salah satu target kerja anestesi inhalasi seperti yang dijelaskan di atas adalah reseptor glutamat. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi natrium dan kalsium. Reseptor ini secara fisiologis memiliki peran dalam area memori dan

42 50 pembelajaran di dalam hipocampus. Selain konduksi natrium dan kalsium, ikatan reseptor glutamat juga meningkatkan konduksi magnesium (Dilger 2002, Campagna et al. 2003). Ketika agen anestesi inhalasi diberikan, maka terjadi hambatan pada reseptor glutamat. Dengan begitu, tidak terbentuk ikatan pada reseptor glutamat sehingga neurotransmisi akan terhambat karena hilangnya konduksi natrium dan kalsium, begitu juga dengan konduksi magnesium. Hilangnya konduksi magnesium akan membuat magnesium tetap berada di dalam sel dan tidak bisa berpindah menuju ekstrasel. Kondisi ini menyebabkan penurunan kadar magnesium ekstrasel yang berpengaruh pada penurunan kadar magnesium serum (Traynelis et al. 2010). Mekanisme inilah yang menjelaskan pengaruh pemberian anestesi inhalasi baik isofluran dan sevofluran terhadap penurunan kadar magnesium serum. Selain mekanisme langsung di atas, terdapat mekanisme tidak langsung yang dapat menjelaskan pengaruh pemberian anestesi inhalasi baik isofluran dan sevofluran terhadap penurunan kadar magnesium serum. Isofluran telah lama diketahui dapat menginduksi hiperglikemia akut (Wakabayashi 2010). Kondisi hiperglikemia ini kemudian menyebabkan penurunan kadar magnesium serum pada pasien dengan pemberian isofluran dan sevofluran. Peningkatan kadar glukosa setelah pemberian isofluran disebabkan karena adanya penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, peningkatan produksi glukosa hepar, dan penurunan respon insulin terhadap glukosa. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi setelah pemberian isofluran sebesar 1,5 MAC (Akavipat et al. 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Zuurbier et al. (2008) mencoba membandingkan pengaruh berbagai agen anestesi seperti ketamin, isofluran, dan sevofluran terhadap peningkatan glukosa dalam plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketamin dan isofluran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap timbulnya hiperglikemia, sedangkan sevofluran juga menimbulkan hiperglikemia tetapi tidak cukup signifikan.

43 51 Penyebab utama dari hiperglikemia ini adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Terdapat dua mekanisme utama yang dianggap menjadi penyebab penurunan sekresi insulin yaitu jalur K- ATP dependent dan jalur α-2 adrenergik. Anestesi inhalasi memiliki salah satu mekanisme aksi dengan target pada kanal ion kalium, termasuk kanal ion K- ATP dependent. Anestesi inhalasi dalam hal ini isofluran dan sevofluran bekerja dengan meningkatkan aktivitas K- ATP dependent. Aktivasi kanal ini akan membuka kanal K- ATP pada mitokondria pakreas sehingga menyebabkan perubahan metabolisme mitokondria. Efek yang terjadi pada perubahan metabolisme mitokondria itu adalah menurunnya sekresi insulin dari sel beta pankreas sehingga terjadi hiperglikemia akut. Agen anestesi lain seperti ketamin memiliki mekanisme aksi dengan meningkatkan aktivitas α-2 adrenergik. Peningkatan aktivitas pada reseptor ini akan menyebabkan produksi glukosa endogen pada sel hepar sehingga terjadi hiperglikemia akut selama pemberian agen anestesi. Namun mekanisme ini tidak ditemukan pada isofluran ataupun sevofluran. Dengan begitu kedua agen inhalasi ini mempengaruhi kadar glukosa plasma melaui jalur K- ATP dependent. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tanaka et al. (2009) dan Behdad et al. (2014) dimana pada penelitiannya subyek yang memperoleh isofluran menunjukkan peningkatan glukosa plasma secara signifikan. Peningkatan ini berkaitan dengan jalur K- ATP dependent yang bekerja pada sel beta pankreas. Insulin merupakan modulator penting bagi magnesium intraseluler. Dalam penelitian in vitro dan in vivo, insulin memodulasi pergeseran magnesium dan mengatur konsentrasi magnesium dengan stimulasi pompa ATPase membran plasma serta uptake magnesium eritrosit (Takaya et al. 2004). Penurunan sekresi insulin akibat pemberian agen inhalasi dapat menyebabkan gangguan pada regulasi tersebut dan menimbulkan penurunan kadar magnesium serum. Insensitivitas terhadap insulin berefek pada transport magnesium intraseluler. Selain itu, penurunan kadar magnesium serum pada kondisi hiperglikemia akut juga disebabkan oleh

44 52 adanya peningkatan diuresis osmotik sehingga menimbulkan penurunan absorbsi magnesium oleh tubulus ginjal dan peningkatan ekskresi magnesium melalui ginjal (Dasgupta et al. 2012). 2. Definisi General Aenesthesia. Kata anestesi ditemukan oleh Oliver Wendell Holmes yang artinya menggambarkan keadaan tidak sadar sementara karena obat yang dimasukkan ke dalam tubuh yang bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri selama pembedahan (Latief, 2002). General Aenesthesia adalah anestesi yang dilakukan dengan memblok pusat kesadaran otak untuk menghilangkan kesadaran, menimbulkan relaksasi dan hilangnya rasa. Metode pemberian anestesia umum adalah dengan inhalasi dan intravena. Semua zat general aenesthesia menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. General aenesthesia dapat menekan pernapasan yang pada anestesi dalam terutama ditimbulkan oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan eter (Dobson, 1994). Antikolinergik untuk menghindari hipersekresi bronkus dan kelenjar liur terutama pada anesthesia inhalasi. 3. Anestesi Inhalasi Anestesi inhalasi banyak digunakan dalam praktik anestesi umum karena kemudahan dalam pemberian dan kemudahan dalam mengawasi efeknya (tanda klinis dan konsentrasi tidal akhir). Anestesi inhalasi biasanya diberikan sebagai maintenance anestesi umum tetapi juga dapat digunakan sebagai induksi, terutama pasien pediatri. Pada konsentrasi yang berbeda, anestesi inhalasi dapat menginduksi efek berbeda yang penting secara klinis. Konsentrasi yang rendah dapat menginduksi amnesia, euforia, analgesia, hipnosis, eksitasi, dan hiperefleks. Konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan sedasi dalam, relaksasi otot, dan hilangnya respon motorik serta otonom terhadap stimulus noksius.

45 53 Agen anestesi utama yang sering digunakan saat ini adalah isofluran, desfluran, dan sevofluran. Sevofluran merupakan agen anestesi inhalasi yang paling banyak digunakan pada anak-anak (Ebert et al. 2009). Dosis anestesi inhalasi biasanya ditetapkan dalam MAC (minimum alveolar concentration) (Saifee et al. 2007). Beberapa agen inhalasi dapat memberikan efek proteksi miokard sehingga mencegah timbulnya iskemia yang diperlukan oleh banyak pasien yang menjalani anestesi umum (Campagna et al. 2003). g. Farmakokinetik (Saifee et al. 2007) 1) Penentu Kecepatan Onset dan Offset Konsentrasi anestesi alveolar (F A ) dapat berbeda secara signifikan dari konsentrasi anestesi inspirasi (F I ). Laju peningkatan rasio kedua konsentrasi ini (F A /F I ) menentukan kecepatan induksi anestesi umum. Dua proses yang berlawanan, hantaran anestesi menuju dan berasal dari alveoli menentukan nilai F A /F I saat waktu pemberian. Penentu uptake antaralain: a) Koefisien partisi darah-gas. Daya larut yang rendah akan menyebabkan uptake anestesi yang lebih rendah menuju aliran darah, sehingga meningkatkan laju peningkatan F A /F I. Daya larut agen inhalasi biasanya meningkat pada kondisi hipotermia dan hiperlipidemia. b) Konsentrasi anestesi inspirasi. Konsentrasi ini dipengaruhi oleh ukuran sirkuit, laju inflow fresh gas, dan absorbsi anestesi inhalasi oleh komponen sirkuit. c) Ventilasi alveoli. Peningkatan ventilasi per menit, tanpa perubahan proses lain yang berefek pada hantaran atau uptake anestesi, meningkatkan F A /F I. d) Efek konsentrasi. Saat F I meningkat, laju peningkatan F A /F I juga meningkat. e) Efek gas kedua. Ini merupakan outcome langsung dari efek konsentrasi. Ketika nitrit oksida dan agen inhalasi poten

46 54 diberikan bersama, uptake nitrit oksida meningkatkan konsentrasi gas kedua (seperti isofluran) dan meningkatkan input gas kedua tambahan menuju alveoli melalui perubahan volume inspirasi. f) Curah jantung. Peningkatan curah jantung (dan juga aliran darah pulmonal) akan meningkatkan uptake anestesi dan menurunkan laju peningkatan F A /F I. Penurunan curah jantung akan memberikan efek sebaliknya. g) Gradien antara darah vena dan alveoli. Uptake anestesi dalam darah akan menurun saat gradien tekanan parsial anestesi antara alveoli dan darah menurun. 2) Distribusi dalam Jaringan Tekanan parsial anestesi inhalasi dalam darah arteri biasanya mendekati tekanan alveoli. Tekanan parsial arteri dapat secara signifikan lebih kecil, namun, saat abnormalitas ventilasiperfusi tampak nyata (seperti shunt), terutama dengan agen anestesi yang tidak mudah larut. Laju ekuilibrasi tekanan parsial anestesi antara darah dan sistem organ tertentu tergantung pada faktor berikut: a) Aliran darah jaringan. Ekuilibrasi lebih cepat terjadi pada jaringan yang memperoleh perfusi lebih besar. Sistem organ dengan perfusi tinggi memperoleh sekitar 75% curah jantung, organ ini meliputi otak, ginjal, jantung, hepar, dan kelenjar endokrin serta disebut sebagai kelompok kaya pembuluh darah. Sisa curah jantung menuju ke otot dan lemak. b) Daya larut pada jaringan. Untuk tekanan parsial anestesi arterial yang diberikan, agen anestesi dengan daya larut jaringan tinggi lebih lambat untuk melakukan ekuilibrasi. Daya larut antar agen anestesi bervariasi. c) Gradien antara darah arteri dan jaringan. Hingga ekuilibrasi tercapai antara tekanan parsial arteri dalam darah dan jaringan

47 55 tertentu, gradien menyebabkan uptake anestesi oleh jaringan. Laju uptake akan menurun ketika gradien menurun. 3) Eliminasi a) Ekshalasi merupakan jalur dominan eliminasi. Setelah penghentian agen, jaringan anestesi dan tekanan parsial alveoli menurun dengan proses yang berlawanan saat anestesi pertama diberikan. b) Metabolisme. Agen anestesi inhalasi mengalami beberapa derajat metabolisme hepar yang berbeda (halotan 15%, enfluran 2-5%, sevofluran 1,5%, isofluran < 0,2%, desfluran < 0,2%). Ketika konsentrasi agen muncul, metabolisme dapat berefek pada konsentrasi alveoli karena saturasi enzim hepar. Setelah penghentian agen, metabolisme dapat berkontribusi dalam menurunkan konsentrasi alveoli, tetapi efek tidak signifikan secara klinis. c) Anesthetic loss. Anestesi inhalasi dapat hilang secara perkutan atau melalui membran visceral, meskipun dapat diabaikan. h. Mekanisme Aksi Anestesi mengubah aktivitas neuron dengan berinteraksi secara langsung dengan sejumlah kanal ion. Selama aktivasi, kanal mengubah eksitabilitas elektrik neuron dengan mengkontrol aliran depolarisasi (eksitasi) atau hiperpolarisasi (inhibisi). Anestesi umum secara utama beraksi dengan meningkatkan sinyal inhibisi atau menghambat sinyal eksitasi (Garcia et al. 2010). Komponen anestesi spesifik bekerja dengan beberapa outcome yang diharapkan terjadi pada pasien (Villars et al. 2004), antaralain: Unconsciousness. Jaringan kesadaran dan kewaspadaan meliputi korteks cerebri, thalamus, dan formatio reticularis. Area ini memiliki densitas tinggi reseptor penting terhadap anestesi seperti reseptor γ- aminobutyric acid subtipe A (GABA A ), N-methyl-D-aspartate (NMDA), dan asetilkolin (ACh).

48 56 Amnesia. Area yang memegang peran ini adalah hypocampus, amygdala, dan korteks prefrontalis. Blok memori implisit merupakan target anestesi. Jalur memori menggunakan reseptor NMDA dan non- NMDA yang berespon pada glutamat neurotransmiter dan interneuron serotonergik. Imobilitas. Hilangnya respon motorik berkaitan dengan hilangnya refleks yang dimediasi oleh corda spinalis. Terjadi penurunan transmisi ascenden menuju otak. Pada corda spinalis, neuron sensorik dan motorik merupakan target anestesi. Reflek spinal melibatkan reseptor GABA A, glutamat, baik NMDA serta α-amino-5-methyl-3- hydroxy-4-isoxazole propionic acid (AMPA), dan kainite. Analgesia. Impuls nosioseptif ditransmisikan dalam corda spinalis, sehingga target anestesi meliputi penumpulan impuls pada level ini. Blok impuls nosioseptif ascenden dapat terjadi pada level reseptor glutamat, GABA, atau μ dalam corda spinalis. 1) Mekanisme Aksi Pada Sistem Saraf a) Corda spinalis Anestesi umum menurunkan transmisi informasi noxius ascenden dari corda spinalis menuju otak (Antognini et al. 2002). Sinyal ascenden dari corda spinalis mempengaruhi aksi hipnosis anestesi dalam otak, dimana sinyal descenden memodifikasi imobilisasi anestesi pada corda spinalis (Campagna et al. 2003). b) Encephalon Di bagian atas corda spinalis, agen inhalasi secara global menurunkan aliran darah dan metabolisme glukosa serta secara selektif mendepresi beberapa area supraspinal. Pemeriksaan tomografi menunjukkan bahwa thalamus dan formation reticularis mesencephalon lebih terdepresi dibandingkan area lainnya (Heinke et al. 2002).

49 57 Target anestesi inhalasi telah berfokus pada struktur dengan fungsi yang sensitif terhadap agen anestesi. Reticularactivating system, thalamus, pons, amygdala, dan hypocampus merupakan bagian yang terlibat dengan kognitif, memori, pembelajaran, fase tidur, dan perhatian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa nucleus tuberomamilaris, area hypocampus termodulasi GABA berkaitan dengan fase tidur pada aksi sedatif beberapa anestesi intravena dan juga inhalasi (Campagna et al. 2003). 2) Mekanisme Aksi Molekuler Hipotesis yang berkembang menyatakan bahwa anestesi inhalasi mempertahankan aktivitas kanal post sinapsis inhibisi (reseptor GABA A dan glisin) dan menghambat aktivitas kanal sinapsis eksitasi (nicotinic acetylcholine, serotonin, dan reseptor glutamat). Aksi anestesi terhadap reseptor GABA A telah mengundang banyak perhatian (Narahashi et al. 2003). a) Jalur Inhibisi Utama GABA. Reseptor GABA A merupakan reseptor neurotransmiter inhibisi yang paling banyak ditemukan di otak. Pada konsentrasi yang efektif secara klinis, anestesi umum meningkatkan sensitivitas reseptor GABA A dan memperpanjang inhibisi oleh lepasnya GABA A. Hal ini menunjukkan inhibisi termediasi reseptor GABA A pada eksitabilitas neuron postsinapsis. Potensi agen inhalasi mempertahankan fungsi reseptor GABA A in vitro berkorelasi dengan imobilitas MAC. Pengamatan ini mendukung peran utama reseptor GABA A dalam anestesi dan hingga saat ini menjadi mekanisme utama seluruh agen anestesi umum inhalasi (Garcia et al. 2010).

50 58 Gambar 2.3. Mekanisme anestesi umum pada reseptor GABA A (Campagna et al. 2003). Glisin. Glisin merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada corda spinalis dan batang otak. Agen anestesi inhalasi yang mengikat reseptor glisin secara signifikan menyebabkan konduksi Cl- dan mendepresi fungsi saraf. Inhibisi termediasi glisin disertai dengan inhibisi termediasi GABA A merupakan inhibisi pada corda spinalis dapat menjelaskan hilangnya refleks spinal di bawah anestesi (Villars et al. 2010). b) Jalur Eksitasi Utama NMDA. Asam amino glutamat dan aspartat merupakan neurotransmiter eksitasi utama pada SSP. Ikatan pada reseptor glutamat akan meningkatkan pembukaan kanal dan mempertahankan neurotransmisi dengan meningkatkan konduksi Na + dan Ca 2+. Di anatara tiga kelas reseptor glutamat (AMPA, NMDA, dan kainite), reseptor NMDA

51 59 memiliki signifikansi paling fungsional dengan anestesi. Reseptor NMDA memiliki peran dalam area memori dan pembelajaran di dalam hypocampus. Agen anestesi terutama ketamin, nitrit oksida, dan xenon bekerja dengan menghambat reseptor NMDA sehingga dapat menghambat transmisi eksitasi sistem saraf (Dilger 2002). Kanal ion K +. Kanal ion K + background membentuk kelompok besar kanal leak K + (TASK dan TREK) dimana aktivasinya akan menyebabkan potensial membran istirahat dan repolarisasi potensial aksi. Kanal ini terbuka oleh anestesi inhalasi dan menginduksi hiperpolarisasi serta mengurangi depolarisasi seluler (Lopes et al. 2003). Asetilkolin. Reseptor ACh nikotinik merupakan kanal kation non spesifik yang dibedakan menjadi dua kelompok, subtipe muskulus yang ditemukan di otot skeletal dan subtipe neuronal yang ditemukan di SSP dan ganglion autonom. Baik reseptor ACh nikotinik dan muskarinik neuronal ditemukan di otak dan corda spinalis. Subtipe spesifik reseptor ACh neuronal diinhibi oleh anestesi inhalasi dan intravena (Perry et al. 2001). Gambar 2.4. Proses transmisi sinapsis (Dalmas 2007)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 56 BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional dengan uji kuantitatif analitik yang membandingkan dua kelompok penelitian, yaitu kelompok isofluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS

PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS PERBEDAAN PENGARUH ANTARA ISOFLURAN DAN SEVOFLURAN TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Preeklamsia berat dan eklamsia merupakan sekumpulan gejala yang dapat terjadi pada kehamilan dan persalinan. Perubahanperubahan ini perlu dikenali dengan baik, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prevalensi hipertensi atau tekanan darah tinggi di Indonesia cukup tinggi. Selain itu, akibat yang ditimbulkannya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hipertensi merupakan

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi kebutuhan jaringan melakukan metabolisme dengan kata lain, diperlukan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Stroke atau yang sering disebut juga dengan CVA (Cerebrovascular Accident) merupakan gangguan fungsi otak yang diakibatkan gangguan peredaran darah otak,

Lebih terperinci

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010

POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 POLA PERESEPAN OBAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DI APOTEK SEHAT FARMA KLATEN TAHUN 2010 Farida Rahmawati, Anita Agustina INTISARI Hipertensi adalah kenaikan tekanan darah arteri melebihi normal dan kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya MAPPING CONCEPT PENGATURAN SIRKULASI Salah satu prinsip paling mendasar dari sirkulasi adalah kemampuan setiap jaringan untuk mengatur alirannya sesuai dengan kebutuhan metaboliknya. Terbagi ke dalam pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi Hipertensi dalam kehamilan Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi DEFINISI Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmhg sistolik atau 90 mmhg diastolik pada dua kali

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokardium disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang

jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008). Menurut data dan pengalaman sebelum adanya pengobatan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia saat ini adalah penyakit gagal jantung (Goodman and Gilman, 2011). Menurut data WHO 2013 pada tahun 2008,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kasus keracunan pestisida organofosfat.1 Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kasus keracunan pestisida organofosfat.1 Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan pestisida secara luas berdampak pada meningkatnya kasus, yakni sebanyak 80% kasus pestisida merupakan kasus pestisida.1 Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer, karena termasuk penyakit yang mematikan tersering tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan

Lebih terperinci

BALANCE CAIRAN. IWL (insensible water loss(iwl) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit diitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafa.

BALANCE CAIRAN. IWL (insensible water loss(iwl) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit diitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafa. SARI CHAERUNISAH 04091401070 BALANCE CAIRAN Balance cairan atau keseimbangan cairan adalah keseimbangan antara pemasukan cairan (intake) dan pengeluaran cairan (output). Masukan cairan orang dewasa normalnya

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya yaitu bedah kardiovaskuler,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum

BAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum mengalami

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh MONITORING EFEKTIVITAS TERAPI DAN EFEK-EFEK TIDAK DIINGINKAN DARI PENGGUNAAN DIURETIK DAN KOMBINASINYA PADA PASIEN HIPERTENSI POLIKLINIK KHUSUS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh YUANITA

Lebih terperinci

G R A C I A C I N T I A M A S S I E P E M B I M B I N G : D R. A G U S K O O S H A RT O R O, S P. P D

G R A C I A C I N T I A M A S S I E P E M B I M B I N G : D R. A G U S K O O S H A RT O R O, S P. P D HIPOKALEMIA GRACIA CINTIA MASSIE PEMBIMBING : DR. AGUS KOOSHARTORO, SP.PD DEFINISI Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah dibawah 3.5 meq/l yang disebabkan oleh berkurangnya

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia 23 BAB 4 HASIL 4.1 Karakteristik Umum Sampel penelitian yang didapat dari studi ADHERE pada bulan Desember 25 26 adalah 188. Dari 188 sampel tersebut, sampel yang dapat digunakan dalam penelitian ini sebesar

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini bertempat di Instalasi Rekam Medik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA

PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) Dept. Obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA GEJALA DAN TANDA

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005)

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi menurut JNC 7 adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmhg. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker dan depresi akan menjadi penyebab utama kematian dan disabilitas. Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada beberapa wanita masa menstruasi merupakan masa-masa yang sangat menyiksa. Itu terjadi akibat adanya gangguan-gangguan pada siklus menstruasi. Gangguan menstruasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi merupakan penyakit yang umum ditemukan di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi merupakan penyakit yang umum ditemukan di masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang umum ditemukan di masyarakat terutama pada usia dewasa dan lansia. Hipertensi dapat terjadi tanpa adanya sebab-sebab khusus (hipertensi

Lebih terperinci

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN SOP ECHOCARDIOGRAPHY N O A B C FASE PRA INTERAKSI TINDAKAN 1. Membaca dokumentasi keperawatan. 2. Menyiapkan alat-alat : alat echocardiography, gel, tissu. 3. Mencuci tangan. FASE ORIENTASI 1. Memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan.pembedahan biasanya diberikan anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ANALGETIK PREEMTIF TERHADAP KEDALAMAN ANESTESI PADA ODONTEKTOMI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

EFEKTIVITAS ANALGETIK PREEMTIF TERHADAP KEDALAMAN ANESTESI PADA ODONTEKTOMI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH EFEKTIVITAS ANALGETIK PREEMTIF TERHADAP KEDALAMAN ANESTESI PADA ODONTEKTOMI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1

Lebih terperinci

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.

mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut. B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. penyakit degeneratif dan man made diseases yang merupakan faktor utama masalah

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. penyakit degeneratif dan man made diseases yang merupakan faktor utama masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terjadinya transisi epidemiologi yang sejalan dengan transisi demografi dan transisi teknologi di Indonesia dewasa ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif memiliki komplikasi dan risiko pasca operasi yang dapat dinilai secara objektif. Nyeri post

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas iskemia miokard disertai elevasi segmen ST yang persisten

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ginjal merupakan salah satu organ utama dalam tubuh manusia yang berfungsi dalam proses penyaringan dan pembersihan darah. Ginjal menjalankan fungsi vital sebagai pengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal luas sebagai penyakit kardiovaskular, merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemukan di masyarakat modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi menurut kriteria JNC VII (The Seventh Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and treatment of High Blood Pressure), 2003, didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

Bagian Anestesesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Bagian Anestesesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado PERBANDINGAN LAJU NADI PADA AKHIR INTUBASI YANG MENGGUNAKAN PREMEDIKASI FENTANIL ANTARA 1µg/kgBB DENGAN 2µg/kgBB PADA ANESTESIA UMUM 1 Kasman Ibrahim 2 Iddo Posangi 2 Harold F Tambajong 1 Kandidat Skripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laringospasme dan batuk merupakan komplikasi setelah ekstubasi pada pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi telah menjadi penyebab kematian yang utama dari 57,356 penduduk Amerika, atau lebih dari 300,000 dari 2.4 milyar total penduduk dunia pada tahun 2005. Selebihnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah keadaan dengan tekanan sistolik di atas 140 mm Hg atau diastolik di atas 90 mm Hg (JNC VII). Hipertensi sampai saat ini masih merupakan masalah besar

Lebih terperinci

GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010

GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010 GAMBARAN KETEPATAN DOSIS PADA RESEP PASIEN GERIATRI PENDERITA HIPERTENSI DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2010 Yetti O. K, Sri Handayani INTISARI Hipertensi merupakan masalah utama dalam kesehatan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS

PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL TERHADAP KADAR MAGNESIUM SERUM PADA PASIEN YANG MENJALANI ANESTESI UMUM TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN Niken Andalasari PENGERTIAN Hipoglikemia merupakan keadaan dimana didapatkan penuruan glukosa darah yang lebih rendah dari 50 mg/dl disertai gejala autonomic dan gejala neurologic.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular yang terdiri dari penyakit jantung dan stroke merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang

Lebih terperinci

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2 Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik Farmakodinamik - 2 1 Mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat Mempelajari mekanisme

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI ANTARA PRIA DAN WANITA PENDERITA DIABETES MELITUS BERUSIA 45 TAHUN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT

JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT A.HIPERKALEMIA a. pengertian JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi b. penyebab 1.pemakaian obat tertentu yang menghalangi pembuangan kalium oleh ginjal misalnya spironolakton

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per 100.000 per tahun. 1 Sekitar 250.000 kejadian fraktur femur terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anestesi intravena total adalah suatu tehnik anestesi yang dilakukan hanya dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat anestesi inhalasi.

Lebih terperinci

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia 4. HASIL Sampel penelitian diambil dari data sekunder berdasarkan studi Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) pada bulan Desember 2005 Desember 2006. Jumlah rekam medis yang didapat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi adalah salah satu penyakit yang paling umum melanda dunia. Hipertensi merupakan tantangan kesehatan masyarakat, karena dapat mempengaruhi resiko penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kraniotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan bedah tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2

BAB I PENDAHULUAN. keadaan cukup istirahat maupun dalam keadaan tenang. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan nasional, khususnya di bidang kesehatan, menghasilkan dampak positif, yakni meningkatnya harapan hidup penduduk di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Adaptasi hewan (kelompok AP,AIS,AIP) Torakotomi (kelompok AP,AIS,AIP) H + 2 H+2 H - 14 H-14 Teranestesi sempurna H Awal recovery H+7 Pengambilan darah simpan 30% total darah (kelompok AP) Post transfusi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh memiliki mekanisme untuk merespon bagian yang mengalami luka. Respon terhadap luka ini terdiri dari proses homeostasis, fase inflamasi, fase proliferatif, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kehamilan 1. Proses Kehamilan Proses kehamilan di dahului oleh proses pembuahan satu sel telur yang bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya akan terbentuk zigot. Zigot

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

Lebih terperinci

TERAPI CAIRAN MAINTENANCE. RSUD ABDUL AZIS 21 April Partner in Health and Hope

TERAPI CAIRAN MAINTENANCE. RSUD ABDUL AZIS 21 April Partner in Health and Hope TERAPI CAIRAN MAINTENANCE RSUD ABDUL AZIS 21 April 2015 TERAPI CAIRAN TERAPI CAIRAN RESUSITASI RUMATAN Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi Mengganti Kehilangan Akut Koreksi 1. Kebutuhan normal 2. Dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera L.) adalah salah satu dari tumbuhan yang paling banyak manfaatnya di dunia, khususnya di daerah tropis seperti di Indonesia. Selain mudah ditemukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci