BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Hemoglobin Terdapat 3 jenis hemoglobin: hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower 2 dan Hb Portland), hemoglobin fetal (HbF) dan hemoglobin dewasa (HbA dan HbA2). Masing-masing jenis hemoglobin tersebut mempunyai susunan tertentu pada rantai globin dan setiap rantai globin disintesis pada suatu kromosom yang spesifik. Rantai epsilon, beta, gamma, dan delta dibentuk oleh gen yang terletak dalam kromosom 11. Rantai alpha dan zeta dibentuk oleh gen pada kromosom 16 (Ciesla, 2007). Tabel 2.1 Hemoglobin normal manusia pada berbagai fase pertumbuhan Fase Pertumbuhan Komponen hemoglobin Persentase (%) Kehamilan 1-2 bulan Hb Gower 1 Hb Gower 2 Hb Portland Hb F Kehamilan 3 bulan HbF Bayi baru lahir Dewasa (Wahiyidiyat & Amalia, 2012). HbA HbF HbA HbA2 HbA HbA2 HbF ,7 ± 4,2 17,7 ± 4,6 0,25 ± 0, ,5 0,5 Gambar 2.1 Kromosom 11 dan 16 dengan gennya masing masing (Hoffbrand, et al., 2005).

2 2.2 Talasemia Klasifikasi Berdasarkan letak defek dari sintesis rantai globin talasemia dibagi menjadi 2 kelompok (Bakta, 2006) : 1. Talasemia alfa : defek pada sintesis rantai alfa 2. Talasemia beta : defek pada sintesis rantai beta Talasemia-α Talasemia-α dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip dengan gejala klinis yang berbeda (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Secara normal terdapat empat buah gen globin-α, beratnya penyakit secara klinis dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif (Hoffbrand, et al., 2005). 1. Talasemia-2-α trait (-α/αα) Di sebut juga talasemia-α silent carrier. Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai α (-α),yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-α lainnya yang lengkap (αα), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai normal. Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang tidak memberikan gejala dan tanda ( an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini ditemukan pada 15-20% populasi keturunan Afrika (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). 2. Talasemia-1-α trait (-α/-α atau αα/--) Di sebut juga talasemia-α minor. Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk homozigot-α + (-α/-α) atau heterozigot-α 0 (αα/-) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). 3. Hemoglobin H disease (--/-α) Pada penderita ditemukan delesi tiga loki. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit Hb H karena hemoglobin H (β 4 ) dapat dideteksi dalam eritrosit pasien melalui pemeriksaan elektroforesis atau sediaan retikulosit. Pada janin, terbentuk Hb Bart s (γ 4 ) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

3 4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart s (--/--) Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Tidak adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai-α seluruhnya dan karena rantai α esensial penting untuk hemoglobin fetus dan dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk hidup biasanya menyebabkan kematian in utero (hidrops fetalis) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Talasemia-β Talasemia-β dibagi dalam 4 kelompok : 1. Talassemia-β (silent carrier) Merupakan penderita talasemia dengan variasi mutasi β yang heterogen, dimana hanya terjadi sedikit gangguan produksi rantai-β, sehingga hampir tidak ditemukan kelainan hematologis (Atmakusuma, 2009). 2. Talasemia-β minor (trait) Keadaan ini biasanya tanpa gejala, ditandai dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (MCV dan MCH rendah) dan anemia ringan (hemoglobin g/dl). Kadar Hb A2 yang tinggi (>3,5%) memastikan diagnosis (Hoffbrand, et al., 2005). 3. Talasemia intermedia Kasus talasemia dengan derajat keparahan sedang (hemoglobin 7,0-10,0 g/dl) (Hoffbrand, et al., 2005). Penderita talasemia-β intermedia secara klinis dapat berupa asimptomatik, namun kadang-kadang memerlukan transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). 4. Talasemia-β mayor Keadaan ini rata-rata terjadi pada 1 dari 4 anak bila kedua orang tuanya merupakan pembawa sifat talasemia-β. Tidak ada rantai β atau sedikit rantai β yang disintesis. Rantai α yang berlebih berpresipitasi dalam eritroblas dan eritrosit matur, menyebabkan eritropoesis inefektif dan hemolisis berat (Hoffbrand, et al., 2005).

4 2.2.2 Patofisiologi Patofisiologi Talasemia-β Mayor Pada talasemia beta, terjadi kelebihan rantai α yang mengendap pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan sel progenitor pada darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoesis yang tidak efektif, sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat rantai γ, menghasilkan HbF extra uterine. Akibatnya, kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Keadaan ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Kombinasi anemia pada talasemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang, metabolisme rate yang tinggi dan gambaran klinis talasemia β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa, sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme. Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, yang dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi besi dan muatan besi. Beberapa gejala ini bisa diatasi dengan transfusi untuk menekan eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Di dalam tubuh besi terikat oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan, besi ini segera diikat dalam timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak dapat merusak sel. Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh, dan fraksi besi yang tidak terikat transferin dapat terdeteksi di dalam plasma. Hal ini mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di jantung, hati dan kelenjar endokrin sehingga mengakibatkan kerusakan dan gangguan fungsi organ (Permono & Ugrasena, 2012).

5 Tabel 2.2 Patofisiologi Talasemia-β Hal Yang Terjadi Mutasi primer terhadap produksi globin Efek rantai globin berlebihan terhadap survival eritrosit Efek eritrosit abnormal terhadap fungsi organ Metabolisme besi yang abnormal Pengobatan Manisfestasi Sintesis globin tidak seimbang Anemia Splenomegali, hepatomegali dan hiperkoagubilitas Kerusakan jaringan hati, endokrin, miokardium, kulit Muatan besi berlebih, kelainan tulang, infeksi yang ditularkan lewat darah, toksisitas obat (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

6 2.2.3 Manisfestasi Klinis Manisfestasi Klinis Talasemia-β Tabel 2.3 Karakteristik Talasemia-β Mayor Sindrom Gambaran Laboratoris Gambaran Klinis Talasemia-β mayor (Atmakusuma, 2009). Anemia berat, gambaran eritrosit hipokrom, poikilositosis, sel target, sel teardrop, stippled dan bernukleus. HbF dan HbA2 meningkat. HbA tidak ada sama sekali atau mengalami penurunan. Saturasi transferrin > 80%. Biasanya pada pada anak berusia 6 bulan sampai 2 tahun dengan gejala anemia berat. Jika tidak diberikan transfusi akan terjadi hepatosplenomegali, ikterus, dan perubahan tulang. Bentuk wajah khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan fisik juga terhambat. Pada gambaran radiologis menunjukkan gambaran khas hair on end.

7 Gambar 2.2 Gambaran sel target (Krafts, 2009). Gambar 2.3 Gambaran mikrositik hipokrom pada pemeriksaan darah tepi talasemia minor (Drew, 2004). Gambar 2.4 Gambaran hair on end pada penderita talasemia mayor (Hollar, 2001).

8 2.2.4 Diagnosis Algoritma pendekatan diagnosis talasemia Pemeriksaan fisik (Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi) Laboratorium darah dan sediaan apus (Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH) Elektroforesis hemoglobin (Adanya Hb abnormal, termasuk analsis pada ph 6 7 untuk HbH dan Hb Bart s Penentuan HbA2 dan HbF (Untuk memastikan talasemia β) Distribusi HbF intraseluler Sintesis rantai globin Analisis struktural Hb varian (Misal: Hb Lepore) Untuk menegakkan diagnosis pasti talasemia, perlu dilakukan analisis hemoglobin diantaranya dengan elektroforesis hemoglobin atau dengan HPLC ( high performance liquid chromatography) (Vanichsetakul, 2011) Penatalaksanaan 1. Severe beta-talasemia diseases dengan kadar hemoglobin < 7.0 gr/dl atau hematokrit < 20 % Transplantasi sumsum tulang Transfusi darah Terapi kelasi besi

9 Asam folat Splenektomi (Vanichsetakul, 2011) Vitamin C (200 mg perhari) untuk meningkatkan ekskresi besi Terapi endokrin untuk merangsang hipofisis bila pubertas terlambat. Penderita osteoporosis mungkin memerlukan penambahan kalsium, vitamin D dan bisfosfonat. Imunisasi hepatitis B diberikan pada semua pasien non imun. Pada hepatitis C yang ditularkan lewat transfusi, diobati dengan interferon-α dan ribavirin (Hoffbrand, et al., 2005). 2. Moderately severe talasemia disease dengan kadar hemoglobin 7-9 gr/dl atau hematokrit 20-27% Transfusi darah reguler dan kelasi besi pada beberapa kasus tertentu Transfusi darah sewaktu pada saat terjadi krisis hemolisis Splenektomi pada beberapa kasus tertentu (Vanichsetakul, 2011). 3. Mild talasemia diseases dengan kadar hemoglobin >9gr/dl atau hematokrit >27% Transfusi darah sewaktu pada saat krisis hemolisis Asam folat (Vanichsetakul, 2011). 4. Asymptomatic or talasemia trait or carrier tidak membutuhkan terapi spesifik (Vanichsetakul, 2011). Transfusi darah Pemberian transfusi mengurangi komplikasi anemia dan membantu pertumbuhan dan perkembangan. Transfusi dilakukan pada kadar hemoglobin <6 gr/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut. Regimen yang digunakan untuk mempertahankan hemoglobin pada kadar 9,5 gr/dl menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban besi tubuh, dibandingkan dengan regimen transfusi dimana hemoglobin lebih dari 11 gr/dl. Sebelum

10 dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, dan diberikan vaksin hepatitis B (Permono & Ugrasena, 2012). Volume darah yang ditransfusi tergantung dari beberapa faktor diantaranya berat badan, target hemoglobin dan nilai hematokrit darah donor. Secara umum jumlah darah yang ditransfusikan tidak boleh melebihi ml/kg/hari untuk mencegah peningkatan volume darah yang tiba-tiba (Surapon, 2011). Pasien harus diperiksa genotipnya pada permulaan program transfusi untuk mengantisipasi bila timbul antibodi eritrosit terhadap eritrosit yang ditransfusikan (Hoffbrand, et al., 2005). Untuk mencegah reaksi transfusi diberikan darah segar yang telah disaring untuk memisahkan leukosit dan komponen protein plasma (Weatherall, 2010). Kelebihan besi merupakan konsekuensi yang paling penting dari transfusi pada pasien talasemia (Permono & Ugrasena, 2012). Pasien yang menerima terapi transfusi berulang tanpa terapi kelasi besi dapat mengalami berbagai kerusakan jaringan akibat akumulasi besi (Borgna-Pignatti, et al., 2004). Terapi kelasi besi Terapi kelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi. Obat pilihan utama adalah deferoxamine. Deferoxamine diberikan melalui infus dengan pompa portable pada subkutan abdomen, biasanya diberikan pada malam hari selama 8-12 jam. Terapi kelasi dimulai pada saat serum ferritin mencapai 1000 µg/dl atau setelah kali transfusi darah (Weatherall, 2010). Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma merupakan cara tersering yang digunakan untuk estimasi tidak langsung dari simpanan besi tubuh terkait untuk terapi kelasi besi. Interpretasi kadar feritin serum dapat dipegaruhi berbagi kondisi seperti defesiensi askorbat, infeksi akut, inflamasi kronis, dan kerusakan hati, yang semuanya sering terjadi pada pasien talasemia mayor. Oleh karena itu, konsentrasi feritin serum bukan merupakan indikator yang tepat untuk kadar besi dan kepercayaan pada hasil pengukuran dapat menyebabkan manajemen yang keliru pada pasien. Pengukuran konsentrasi besi hati merupakan metode yang paling kuantitatif, spesifik dan sensitif untuk mengukur kadar besi tubuh pada pasien talasemia. Biopsi hati memberikan hasil terbaik untuk evaluasi akumulasi besi pada hepatosit

11 dan sel Kupffer, aktivitas inflamasi dan gambaran histologi hati. Prosedur dilakukan dengan bantuan USG (Permono & Ugrasena, 2012). Dosis awal deferoksamin yang diberikan 20mg/kg selama 5 kali / minggu disertai dengan pemberian vitamin C (Weatherall, 2010). Dengan pemberian kelasi besi yang teratur, harapan hidup penderita talasemia mayor membaik secara nyata. Pada beberapa kasus, terapi kelasi terus menerus yang intensif dengan deferioksamin intravena dapat memperbaiki kerusakan jantung yang disebabkan penimbunan besi. Walaupun demikian, pasien seringkali tidak patuh dan obat tersebut mahal. Lagipula deferioksamin memiliki efek samping, terutama pada pasien dengan kadar feritin rendah, berupa tuli nada tinggi, kerusakan retina, kelainan tulang dan retardasi pertumbuhan (Hoffbrand, et al., 2005). Pasien yang menerima terapi deferioksamin harus menjalani pemeriksaan auditorik dan funduskopi setiap tahun. Mahal dan tidak nyamannya pemberian deferioksamin mendorong penemuan agen kelator besi yang aktif secara oral. Agen ini merupakan 1,2 dimethyl-3 hydroxypyridin-4-one (deferipron,l1), yang dipatenkan tahun 1982 sebagai alternatif deferoksamin untuk pengobatan kelebihan besi kronis. Obat ini dapat diberikan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan deferoksamin. Deferipron kurang efektif bila dibandingkan dengan deferioksamin. Efek samping yang timbul berupa agranulositosis dan neutropenia (Permono & Ugrasena, 2012) Splenektomi Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan darah sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya resiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum operasi, pasien harus diberi vaksin pneumococcal dan Haemophilus influenzae tipe B (Permono & Ugrasena, 2012). Pemberian profilaksis dengan penicillin, amoxicillin, atau erythromycin di rekomendasikan selama dua tahun pertama setelah operasi (Borgna-Pignatti, 2007).

12 Transplantasi sumsum tulang Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien talasemia, membebaskan pasien dari transfusi kronis namun tidak menghilangkan kebutuhan terapi pengikat besi pada semua kasus. Pengurangan konsentrasi besi pada hati hanya ditemukan pada pasein muda dengan bebas besi rendah sebelum transplantasi. Baik flebotomi maupun pemberian deferoksamin jangka pendek aman dan efektif untuk menurunkan besi jaringan pada pasien eks-talasemia dan dapat dimulai 1 jam setelah transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi hati > 7mg/kg berat kering jaringan hati. Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi sumsum tulang (Permono & Ugrasena, 2012) : 1. Tingkat hepatomegali 2. Adanya fibrosis portal pada biopsi hati 3. Efektivitas terapi kelasi besi sebelum transplantasi Pasien yang menjalani transplantasi tanpa faktor diatas (kelas I) memiliki probabilitas overall survival (OS) 93% dan disease free survival (DFS) 91%. Pasien dengan 1 atau 2 faktor resiko (kelas II) memiliki probabilitas OS 87% dan DFS 79%. Sedangkan pasien dengan 3 faktor resiko (kelas III) memiliki probabilitas OS 79% dan DFS 58% (Sayani, et al., n.d) Komplikasi 1. Komplikasi jantung Gagal jantung dan aritmia yang disebabkan kelebihan besi merupakan penyebab kematian utama pada talasemia dengan persentase 60,2% dan 6,8% (Borgna- Pignatti, et al., 2004). 2. Komplikasi hati Gangguan hati merupakan komplikasi yang umum terjadi pasien talasemia dewasa. Penyebab utama berupa infeksi hepatitis B, hepatitis C lewat transfusi

13 darah, kelebihan besi, toksisitas obat dan gangguan empedu akibat batu empedu (Sayani, et al., n.d). 3. Komplikasi endokrin Komplikasi yang umum berupa hipogonadism dan pubertas terlambat. Semua pasien anak harus dievaluasi setiap tahun mulai umur 10 tahun. Hipogonadism pada laki-laki ditandai dengan ukuran testis < 4ml dan pada perempuan ditandai dengan tidak adanya perkembangan payudara sampai umur 16 tahun. (Sayani, et al., n.d). 4. Komplikasi tulang Kelainan tulang pada talasemia umum terjadi dan biasanya multifaktorial, dapat terjadi akibat transfusi inadekuat, kelebihan besi, terapi kelasi besi berlebih dan faktor endokrin lain. Faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Kelainan tulang biasanya bermanisfestasi dalam bentuk deformitas skeletal, kegagalan pertumbuhan, arthropathy, dan fraktur patologis (Sayani, et al., n.d). 5. Infeksi Infeksi merupakan penyebab kematian kedua paling sering pada talasemia-β (Borgna-Pignatti, et al., 2004). Resiko infeksi pada talasemia disebabkan oleh abnormalitas sistem imun yang dapat disebabkan oleh penyakit talasemia itu sendiri ataupun efek dari pengobatan seperti transfusi, splenektomi dan peningkatan besi. Menurut penilitian, pada pasien talasemia terjadi penurunan dari sistem imun berupa defek fagositosis makrofag (Ricerca, et al., 2009). Hal ini berhubungan dengan keadaan hiperaktivitas dari makrofag dalam memfagosit sel sel eritrosit yang lisis (Wiener, et al., 1999). Akibatnya aktivitas makrofag untuk memfagosit mikroorganisme patogen menjadi terganggu. Transfusi darah yang berulang, selain menambah kadar besi dalam tubuh juga meningkatkan resiko penularan infeksi. Secara umum HBV, HCV, HIV, dan sifilis merupakan agen infeksi yang paling sering ditularkan lewat transfusi. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan berupa skrining darah donor dan uji laboratorium (Ricerca, et al., 2009). Peningkatan kadar besi dalam tubuh menyebabkan gangguan fagositosis makrofag, perubahan ekspresi limfosit-t, dan perubahan distribusi

14 limfosit pada berbagai kompartmen di sitem imun. Hal tersebut berhubungan dengan kegagalan limfosit untuk mengeliminasi kelebihan besi pada feritin (Walker & Walker, 2000). 2.3 Virus Hepatitis B Virologi Virus hepatitis B (HBV) termasuk golongan hepadnavirus dan merupakan hepadnavirus yang pertama kali ditemukan. Virus ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang tersusun dari 3200 nukleotida (Arief, 2012). HBV dapat ditemukan dalam 3 morfologi (Levinson, 2008) : 1. Partikel spheris dengan diameter 42 nm disebut juga Dane particle 2. Partikel spheris dengan diameter 22 nm 3. Partikel filamen dengan lebar 22nm Bentuk yang paling banyak ditemukan adalah partikel sferis dan filamen berdiameter 22nm. Partikel sferis dan filamen dengan ukuran 22 nm tersusun dari antigen permukaan HbsAg dan tidak bersifat infeksisus (Levinson, 2008). Bagian dalam dari virion hepatitis adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase,transkiptase dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HbEAg). Antigen ini menunjukkan adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan hati (Arief, 2012).

15 Tabel 2.4 Antigen dan antibodi virus hepatitis B HBV Virus hepatitis B HbsAg Antigen permukaan hepatitis B HbeAg Antigen hepatitis B; menunjukkan replikasi HbcAg Antigen inti hepatitis B Anti-HBs Antibodi terhadap HBsAg. Menunjukkan infeksi HBV masa lalu dan imunitas terhadap HBV Anti-Hbe Antibodi terhadap HbeAg Anti-HBc Antibodi terhadap HbcAg. IgM anti-hbc Antibodi golongan IgM terhadap HbcAg. Menunjukkan infeksi HBV yang baru terjadi positif 4-6 bulan setelah infeksi (Brooks, et al., 2008) Epidemiologi dan Cara Penularan Pada tahun 2000 WHO memperkirakan adanya 400 juta orang pengidap HBV. Prevalensi infeksi HBV ditemukan lebih tinggi pada orang ras hitam dibandingkan orang Hispanik dan kulit putih. Pola prevalensi hepatitis B di bagi menjadi (Pyrsopoulos & Reddy, 2011) : Prevalensi rendah (0,1-2%) termasuk Kanada, Eropa Barat dan New Zealand. Prevalensi sedang (3-5%) termasuk Eropa Utara dan Timur, Jepang, Amerika Selatan dan Asia Tengah. Prevalensi tinggi (10-20%) termasuk Cina, Indonesia, Pulau Pasifik dan Asia Tenggara.

16 Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5 % - 36,2 % (Arief, 2012).. Skrining rutin HbsAg pada darah donor dapat menurunkan insiden penularan infeksi HBV melalui transfusi (Drew, 2004). Penularan infeksi HBV dapat melalui berbagai cara (Sanityoso, 2009) : Melalui darah : penerima transfusi, pasien hemodialisis Transmisi melalui hubungan seksual Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan ulang alat medis yang terkontaminasi, tato, akupuntur Transmisi maternal-neonatal Gejala Klinis Gejala klinis infeksi HBV dapat bervariasi. Masa inkubasinya antara hari (rata- rata 10 minggu) (Drew, 2004). 1. Hepatitis akut Infeksi HBV kadang dapat berupa asimtomatis. Ini terbukti dari tingginya angka karier tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala, gejalanya menyerupai infeksi virus hepatitis lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul berupa flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual muntah, ikterus, hepatomegaly dan berlangsung selama 6-8 minggu. Dari pemeriksaan lab didapatkan peningkatan ALT dan AST sebelum timbul gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus, infeksi HBV dapat didahului gejala nyeri sendi dan lesi kulit (Arief, 2012). 2. Hepatitis kronis Dikatakan hepatitis kronik bila penyakit menetap, dan ditandai dengan terdeteksinya HbsAg selama minimal 6 bulan (Arief, 2012). Hepatitis kronis lebih sering dijumpai pada bayi, kemungkinan karena sistem imun yang belum matang dibandingkan pada orang dewasa (Levinson, 2008). Hepatitis kronis dapat

17 menyebabkan sirosis, gagal hati atau karsinoma hepatoseluler pada 25% pasien. Sebagian besar penderita hepatitis kronis bersifat asimtomatis (Drew, 2004). 3. Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya enselofati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan dan peningkatan kadar aminotransferase (Arief, 2012). 4. Pengidap sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati (Arief, 2012).

18 2.3.4 Diagnosis Dasar diagnosis infeksi HBV adalah diagnosis klinis dan serologi. Tabel 2.5 Interpretasi penanda serologi HBV pada pasien dengan hepatitis HBsAg Anti-HBs Anti-HBc Interpretasi Positif Negatif Negatif Infeksi HBV akut awal Positif Positif/negatif Positif Infeksi HBV akut maupun kronik. Bedakan dengan IgM anti-hbc. Tentukan tingkat aktivitas replikatif dengan HbeAg atau DNA HBV Negatif Positif Positif Menunjukkan infeksi HBV yang lalu dan kekebalan terhadap hepatitis B Negatif Negatif Positif Kemungkinannya mencakup: pernah infeksi HBV, karier HBV; periode window period antara hilangnya HbsAg dan munculnya anti-hbs; atau reaksi positif palsu. Periksa dengan IgM anti-hbc, periksan dengan vaksin HbsAG, atau keduanya. Bila ada, anti-hbe membantu memvalidasi reaktivitas anti-hbc Negatif Negatif Negatif Agen infeksius lain; cedera toksik terhadap hati, penyakit herediter pada hati Negatif Positif Negatif Respon tipe vaksin (Brooks, et al., 2008).

19 Gambar 2.5 Gambaran klinis dan serologis yang terjadi pada pasien dengan infeksi HBV (Brooks, et al., 2008) Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan hepatitis B adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit (Arief, 2012). 1. Istirahat Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat (Mansjoer, et al., 2009). 2. Diet Pada pasien hepatitis akut dan kronis idak ada rekomendasi diet khusus. Usahakan asupan kalori cukup (30-35 kalori/kgbb) dan protein cukup (1g/KgBB). Pasien dengan sirosis dekompensata, dianjurkan asupan Na (1,5 gr/hari), diet tinggi protein dan pada kasus hiponatremia pemberian cairan dibatasi (1,5L/hari) (Pyrsopoulos & Reddy, 2011). 3. Medikamentosa

20 Interferon alfa (IFN-a), lamivudine, telbivudine, adefovir, entecavir, dan tenofovir merupakan obat utama yang diberikan pada hepatitis B (Pyrsopoulos & Reddy, 2011) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin atau imunoglobulin (Levinson, 2008). Vaksin diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid, diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian. Imunglobulin biasanya diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg postiif (Pyrsopoulos & Reddy, 2011). 2.4 Virus Hepatitis C Virologi Virus hepatitis C merupakan virus RNA, termasuk dalam famili flaviviridae. HCV berbentuk sferis dengan diameter nm dan terdiri atas 9413 nukleotida (Arief, 2012). Berdasarkan analisis sekuens RNA, HCV dapat dibedakan menjadi 6 genotip dan lebih dari 70 subtipe (Brooks, et al., 2008). Variasi genom ini memungkinkan HCV dapat menghindari respon imun tubuh dan menyebabkan infeksi yang persisten (Arief, 2012) Epidemiologi dan Cara Penularan Survey epidemiologi memperkirakan terdapat 170 juta pengidap HCV di seluruh dunia (Dhawan, 2013). Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Di Indonesia pada pemeriksaan daroh donor di kota-kota besar didapatkan prevalensi di Jakarta 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan 1,5% dan Bandung 2,7%. Pada penilitian pada subjek yang lebih khusus, didapatkan penderita hemodialisis sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4% dan penderita talasemia yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4% (Arief, 2012). Penularan infeksi HCV melalui berbagai cara (Sanityoso, 2009) :

21 1. Darah (predominan) 2. Transmisi seksual 3. Maternal-neonatal Gejala Klinis 1. Hepatitis C akut Masa inkubasi HCV 2-30 minggu. Penderita biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada gejalanya tidak spesifik yaitu seperti rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga hepatitis C pada fase akut jarang terdiagnosis (Arief, 2012). 2. Hepatitis C kronis Kebanyakan 85% penderita hepatitis C akut akan berkembang menjadi kronik. Gejala yang timbul biasanya tidak sepesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita dapat menunjukkan gejala ekstrahepatik yang meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian dan sistem saraf (Arief, 2012). 3. Sirosis hati Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara 20%-30%. Gejala klinis yang muncul biasanya minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis (Arief, 2012). 4. Karsinoma hepatoseluler Resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada penderita sirosis karena hepatitis berkisar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoseluler berkisar antara tahun (Arief, 2012) Diagnosis Pemeriksaan HCV dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular (Gani, 2009). 1. Pemeriksaan serologis Karena antigen hepatitis C tidak dapat ditemukan pada darah, dilakukan pemeriksaan serologi dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) untuk

22 mendeteksi antibodi terhadap HCV (anti-hcv) (Drew, 2004). Antibodi anti-hcv dapat terdeteksi pada 50-70% pasien saat muncul gejala, sedangkan pada lainnya antibodi dapat muncul terlambat dalam 3-6 minggu (Brooks, et al., 2008). Untuk menghindari false positive perlu di lakukan tes konfirmasi dengan RIBA (recombinant immunoblot assay. Apabila ditemukan positif, dilanjutkan pemeriksaan molekuler dengan PCR (Levinson, 2008). 2. Pemeriksaan molekular Pemeriksaan molekular bertujuan untuk mendeteksi RNA HCV. RNA HCV yang positif menandakan infeksi virus yang aktif (Levinson, 2008). Gambar 2.6 Gambaran klinis dan serologi pada infeksi HCV (Brooks, et al., 2008) Penatalaksanaan Tujuan dari pengobatan infeksi HCV adalah untuk mengeradikasi virus dan mencegah terjadinya sirosis dan karsinoma hepatoseluler (Arief, 2012). Pemberian terapi antivirus ditujukan pada pada penderita hepatitis kronik dan penderita dengan peningkatan serum ALT (Dhawan, 2013). Terapi yang dianjurkan adalah kombinasi interferon dan ribavirin (Arief, 2012).

23 2.4.6 Pencegahan Tindakan pencegahan infeksi HCV yang dapat dilakukan berupa (Brooks, et al., 2008) : 1. Melakukan skrining pada pendonor darah, plasma, organ, jaringan dan semen 2. Inkativasi virus pada produk yang berasal dari plasma 3. Pengadaan penyuluhan dan seminar 2.5 HUMAN IMMUNODEFECIENCY VIRUS (HIV) Virologi HIV termasuk dalam golongan famili retroviridae, anggota genus Lentivirus (Brooks, et al., 2008). Berdasarkan genomnya HIV dibagi menjadi dua grup yaitu HIV-1 dan HIV 2. HIV-1 tersebar diseluruh dunia sedangkan penyebaran HIV-2 hanya terbatas pada Afrika Barat. Virion HIV-1 memiliki diameter 100 nm dan tersusun dari dua molekul RNA yang dinamakan diploid. Genom RNA dibungkus oleh protein nukleokapsid dan kompleks protein RNA nya dibungkus oleh kapsid yang tersusun dari beberapa subunit. HIV mengandung 3 gen struktural utama yaitu: gag, pol dan env. Gen gag berfungsi untuk mengkode protein struktural matrix dan nukleokapsid. Gen pol untuk mengkode enzim reverse tranciptase, polymerase dan integrase yang penting untuk replikasi virus. Gen env berfungsi untuk mengkode glikoprotein gp120 dan gp14 yang akan berikatan dengan protein CD4 dan sel target (Levinson, 2008) Epidemiologi dan Cara Penularan

24 Sindrom AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat pada sekelompok homoseksual yang menderita Kaposi sarkoma dan infeksi oportunistik lainnya yang disertai dengan penurunan CD4+ dan limfosit T (Champoux & Drew, 2004) Menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2008, sebanyak 33,4 juta orang menderita infeksi HIV di seluruh dunia. Angka ini telah mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 (39,5 juta). UNAIDS memperkirakan 2,7 juta orang merupakan penderita baru dan 2 juta orang meninggal akibat AIDS pada tahun 2008 (Bennett, 2013). Dari tahun 1985 sampai 1996,kasus AIDS jarang ditemukan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1999 kasus AIDS mulai meningkat tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui jarum suntik narkotika. Departemen RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara sampai orang (Djoerban & Djauzi, 2009). Titer HIV yang tinggi ditemukan pada darah dan semen. Infeksi HIV ditularkan melalui 3 cara yaitu: melaui kontak seksual, melalui transfusi darah, dan dari ibu ke anak selama masa kehamilan. Adanya penyakit menular seksual lain seperti gonorea, sifilis atau herpes simpleks-2 meningkatkan resiko transmisi HIV sebanyak seratus kali lipat karena inflamasi dan luka lecet mempermudah perpindahan HIV melalui sawar mukosa (Brooks, et al., 2008) Diagnosis Diagnosis infeksi HIV biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan antibodi atau dengan mendeteksi RNA virus. Pemeriksaan antibodi biasanya dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Setelah pemeriksaan ELISA kemudian dilanjutkan dengan Western Blot analysis untuk menyingkirkan kemungkinan false postitive (Levinson, 2008). False positive dapat terjadi pada kondisi autoimun, gagal ginjal, hemodialisis, transfusi darah, vaksin hepatitis B dan rabies. Pada pemeriksaan antibodi, perlu diperhatikan adanya window period yaitu waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi

25 yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan (Mahajan, et al., 2010). Window period pada HIV biasanya berlangsung selama 3-4 minggu setelah infeksi (Brooks, et al., 2008). Analisis PCR dapat digunakan untuk memastikan infeksi HIV pada fase window period ini (Levinson, 2008) Penatalaksanaan Secara umum, penatalaksanaan AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu (Djoerban & Djauzi, 2009) : 1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV) 2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyerta seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toxoplasma, sarkoma kaposi, dan kanker serviks 3. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan keagamaan Pencegahan Ada beberapa jenis program yang direkomendasikan WHO di antaranya (Djoerban & Djauzi, 2009): 1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda 2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran 3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik 4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika 5. Program pendidikan agama 6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual 7. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Etiologi Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (HBV). HBV merupakan famili Hepanadviridae yang dapat menginfeksi manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B terdistribusi di seluruh dunia. Penderita infeksi hepatitis B diperkirakan berjumlah lebih dari 2 milyar orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hemoglobin Darah orang dewasa normal memiliki tiga jenis hemoglobin, dengan komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2. Hemoglobin minor yang memiliki

Lebih terperinci

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013

Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari Juli 2013 Proporsi Infeksi HBV, HCV, dan HIV pada Pasien Talasemia-β Mayor di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2009 - Juli 2013 Oleh : DIADORA 100100068 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Definisi Virus hepatitis adalah gangguan hati yang paling umum dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.(krasteya et al, 2008) Hepatitis B adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis (WHO, 2015). Penularan hepatitis virus

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi

Lebih terperinci

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 VIRUS HEPATITIS B Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage Oleh AROBIYANA G0C015009 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNUVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010 THALASEMIA A. DEFINISI Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) merupakan masalah. kesehatan global, terutama pada daerah berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) merupakan masalah. kesehatan global, terutama pada daerah berkembang. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) merupakan masalah kesehatan global, terutama pada daerah berkembang. Sepertiga dari populasi dunia atau lebih dari dua miliar orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi struktur hemoglobin yang menyebabkan fungsi eritrosit menjadi tidak normal dan berumur pendek.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Talasemia Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara tahun 1925 sampai 1927.

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Anak Dengan Thalasemia Disusun Oleh : Gillang Eka Prasetya (11.955) PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN AKADEMI KESEHATAN ASIH HUSADA SEMARANG 2012 / 2O13 THALASEMIA A.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan.

BAB I PENDAHULUAN. Perbedaan antara virus hepatitis ini terlatak pada kronisitas infeksi dan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. BAB I PENDAHULUAN Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh seperti alkohol, menyaring

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hati Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat rata-rata 1500 gram pada badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat kompleks yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus yang dapat. menyebabkan infeksi kronis pada penderitanya (Brooks et

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus yang dapat. menyebabkan infeksi kronis pada penderitanya (Brooks et BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Virus hepatitis B (VHB) merupakan virus yang dapat menyebabkan infeksi kronis pada penderitanya (Brooks et al., 2008). Virus ini telah menginfeksi lebih dari 350 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Thalassemia Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersering dan terbanyak dari hepatitis akut. Terdapat 6 jenis virus hepatotropik

BAB I PENDAHULUAN. tersering dan terbanyak dari hepatitis akut. Terdapat 6 jenis virus hepatotropik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hepatitis didefinisikan sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan terdapatnya peradangan pada organ tubuh yaitu hati. Hepatitis merupakan suatu proses terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serta diwariskan melalui cara autosomal resesif (Cappillini, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Thalassemia atau sindrom thalassemia merupakan sekelompok heterogen dari anemia hemolitik bawaan yang ditandai dengan kurang atau tidak adanya produksi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelompok kelainan genetik yang diakibatkan oleh mutasi yang menyebabkan kelainan pada hemoglobin. Kelainan yang terjadi akan mempengaruhi produksi

Lebih terperinci

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker oleh dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker Adalah suatu antigen asing a antibodi spesifik thdp antigen tsb. Penanda adanya infeksi, kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelainan genetik dengan pola pewarisan autosomal resesif yang disebabkan karena adanya mutasi pada gen penyandi rantai globin, yaitu gen HBA yang

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan jaringan yang sangat penting bagi kehidupan, yang tersusun atas plasma darah dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Silbernagl & Despopoulos,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hepatitis virus masih menjadi masalah serius di beberapa negara. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan masalah kesehatan di beberapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepatitis 2.1.1. Definisi Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan akut apabila inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis B disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). HBV ditemukan pada tahun 1966 oleh Dr. Baruch Blumberg berdasarkan identifikasi Australia antigen yang sekarang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Hepatitis B 2.1.1. Pengertian Hepatitis merupakan suatu proses peradangan (infeksi) pada jaringan hati yang memberikan gambaran klinis yang khas, dan dapat disebabkan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VHB (Virus Hepatitis B) termasuk dalam anggota famili Hepadnavirus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VHB (Virus Hepatitis B) termasuk dalam anggota famili Hepadnavirus BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B VHB (Virus Hepatitis B) termasuk dalam anggota famili Hepadnavirus yang memiliki 3 jenis antigen spesifik yaitu HBsAg, HBeAg dan HBcAg. Protein pada selubung virus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. THALASSEMIA 2.1.1. Defenisi Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah) yang mengacu pada adanya gangguan sintesis dari rantai globin

Lebih terperinci

HEPATITIS FUNGSI HATI

HEPATITIS FUNGSI HATI HEPATITIS Hepatitis adalah istilah umum untuk pembengkakan (peradangan) hati (hepa dalam bahasa Yunani berarti hati, dan itis berarti pembengkakan). Banyak hal yang dapat membuat hati Anda bengkak, termasuk:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB).

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular. berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Hepatitis B merupakan penyakit infeksi menular berbahaya yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini menginfeksi melalui cairan tubuh manusia secara akut

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Adelia Kartikasari G0008190 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK Endang Retnowati Departemen/Instalasi Patologi Klinik Tim Medik HIV FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 15 16 Juli 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH. Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah. satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas

BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH. Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah. satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas 1 BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG MASALAH Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia meskipun vaksin

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TALASEMIA By Rahma Edy Pakaya, S.Kep., Ns I. DEFINISI Talasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Hepatitis D

Asuhan Keperawatan Hepatitis D Asuhan Keperawatan Hepatitis D Hepatitis D (sering disebut Hepatitis Delta) adalah suatu peradangan pada sel-sel hati yang disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV). Virus Hepatitis D (HDV) adalah virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Penyakit human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu retrovirus yang berasal dari famili

Lebih terperinci

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis

Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Hepatitis: suatu gambaran umum Hepatitis Apakah hepatitis? Hepatitis adalah peradangan hati. Ini mungkin disebabkan oleh obat-obatan, penggunaan alkohol, atau kondisi medis tertentu. Tetapi dalam banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab sekumpulan gejala akibat hilangnya kekebalan tubuh yang disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia Hemolitik Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia hemolitik didefinisikan : kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.bila tingkat kerusakan lebih cepat dan kapasitas sumsum tulang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah dengan nilai MCV lebih kecil dari normal (< 80fl) dan MCH lebih kecil dari nilai normal (

Lebih terperinci

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Thalassemia Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hepatitis B 2.1.1. Definisi Hepatitis B merupakan penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh VHB. Hepatitis B yang berlangsung kurang dari 6 bulan disebut hepatitis B akut

Lebih terperinci

Mengenal Hepatitis C dan B. Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B.

Mengenal Hepatitis C dan B. Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B. Mengenal Hepatitis C dan B Buklet ini ditujukan untuk masyarakat agar lebih mengetahui informasi seputar Hepatitis C dan B. 1 3 Pengantar H E P A T I T I S C 4 5 5 5 6 7 8 10 11 13 14 14 15 15 16 16 17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang. paling sering disebabkan oleh infeksi virus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang. paling sering disebabkan oleh infeksi virus. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang paling sering disebabkan oleh infeksi virus. Secara khusus hepatitis B yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Pasien HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Anemia Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki

Lebih terperinci

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS (Aquired Immune Deficiency Sindrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Penyebab AIDS adalah virus yang mengurangi kekebalan tubuh secara perlahan-lahan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting yang turut. menunjang dinamika dunia kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting yang turut. menunjang dinamika dunia kesehatan. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transfusi darah merupakan bagian penting yang turut menunjang dinamika dunia kesehatan. Apabila berjalan dengan baik, transfusi dapat menyelamatkan nyawa pasien dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang menyebabkan seseorang dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang menderita penyakit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TALASEMIA 2.1.1. Definisi Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah herediter dimana tubuh mensintesis subunit α atau β-globin pada hemoglobin dalam jumlah yang abnormal (lebih sedikit). 1,2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS BAB 2 TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS 2.1 Pengenalan Singkat HIV dan AIDS Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, HIV adalah virus penyebab AIDS. Kasus pertama AIDS ditemukan pada tahun 1981. HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Epidemiologi Dasar RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT ANDREAS W. SUKUR PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Website: https://andreaswoitilasukur.wordpress.com/ Email : andreaswoitila@gmail.com Riwayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting dalam. pelayanan kesehatan modern. Jika digunakan secara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Transfusi darah merupakan bagian penting dalam. pelayanan kesehatan modern. Jika digunakan secara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transfusi darah merupakan bagian penting dalam pelayanan kesehatan modern. Jika digunakan secara benar, transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa dan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak dengan penyakit kronis lebih rentan mengalami gangguan psikososial dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit neurologi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia terinfeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB). Diperkirakan juta diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia terinfeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB). Diperkirakan juta diantaranya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Hepatitis B merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB). Diperkirakan 400-450 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepar merupakan organ atau kelenjar terbesar dari tubuh yang berfungsi sebagai pusat metabolisme, hal ini menjadikan fungsi hepar sebagai organ vital. Sel hepar rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan,

BAB I PENDAHULUAN. macam, mulai dari virus, bakteri, jamur, parasit sampai dengan obat-obatan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hepatitis merupakan infeksi yang dominan menyerang hepar atau hati dan kemungkinan adanya kerusakan sel-sel hepar. Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut, kronis dan juga kematian. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan di PMI antara lain mencakup pengerahan donor, penyumbangan darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan, dan penyampaian darah kepada pasien. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia bisa terjadi pada segala usia. Indonesia prevalensi anemia masih tinggi, insiden anemia 40,5% pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi

BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang disebabkan karena kelainan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini dibatasi pada pemeriksaan HBsAg strip test pada perawat di RSI PKU Muhammadiyah Palangka Raya.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini dibatasi pada pemeriksaan HBsAg strip test pada perawat di RSI PKU Muhammadiyah Palangka Raya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekitar 8,98 juta kasus hepatitis di Asia dengan kematian sekitar 585.800 kematian (WHO, 2011.b). Di Asia Tenggara ditemukan kejadian hepatitis B sekitar 1.380.000

Lebih terperinci