II. TINJAUAN PUSTAKA. 3 Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi,
|
|
- Indra Gunawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelembagaan Menurut Hayami dan Kikuchi (1987) dan Bardan (1989) dalam Peter (2000) kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan merupakan suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya. Kedua: kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (1998) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideology, hukum adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrument yang mengatur individu 3. Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak. Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Shafer dan Smith dalam Pakpahan, 1989), yaitu batas kewenangan (jurisdictional boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang uraiannya adalah sebagai berikut; 1. Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya 9 3 Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi, organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain pemain atau organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North, 1990)
2 10 tersebut harus dikonsumsi secara bersama (kolektif) maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan dari pengguna sumberdaya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaman seperti yang diharapkan ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat (sense of community), eksternalitas (externality), homogenitas (homogenety) dan skala ekonomi (economies of scale). Anwar (2001) menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (suistainability) sumberdaya tersebut dan pembagian (share) manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak. 2. Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan 2) hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. 3. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah perwakilan/repsentasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut. Pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran, bahwa jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai
3 11 kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat. Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau kelembagaan dapat merubah faktor eksternal (eksogen) dalam proses pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal (endogen) dalam pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber interdependensi merupakan karakteristik sumberdaya yang dibicarakan. Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse (Ostrom, 1990) Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1999) untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti
4 12 setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries). Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh bentuk CPRs yang banyak dibahas dalam berbagai literatur, selain sistem irigasi, perikanan (fisheries), dan padang penggembalaan ternak (rangelands) (Ostrom 1999). Deforestasi yang masif di negara-negara tropis dan penggurunan (desertification) wilayah Sahel merupakan contoh- contoh yang digunakan banyak pakar untuk menggambarkan teori tentang CPRs. Menurut Ostrom (1999) sumberdaya hutan dengan berbagai macam atribut yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya yang sulit dikelola secara berkelanjutan, efisien dan adil oleh pemerintah. Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan untuk dapat mengaturnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Ostrom (1990) yang menyatakan: (1) privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, (2) pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan (3) masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak atas kepemilikan suatu sumberdaya air, dicirikan oleh 1) Acces adalah hak untuk memasuki suatu sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) Withdrawal, adalah hak untuk mengambil sumberdaya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan. (3) Management adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) Exclusion,
5 13 adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya. Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama (collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada. Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap (propriator), (3) pengklaim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas (authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah. Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama (CPR) maka Ostrom (1990) menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1) tata batas terdefinisikan dengan jelas, 2) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal, 3) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4) monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik
6 14 terhadap sumberdaya tersebut, 5) terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan 6) mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan mudah diakses, 7) terdapat pengakuan hak dari organisasi lain, 8) Dalam kasus CPR yang luas; organisasi bisa berbentuk beberapa lapisan yang lebih kecil dan berbasis lokal 2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi kehutanan Indonesia karena UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 28 tahun akhirnya digantikan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sampai dengan tahun 2001, rejim pengaturan kehutanan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung lebih banyak di dominasi oleh Keputusan Menteri tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Antara tahun penunjukkan kawasan hutan lindung ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian. Namun antara tahun penetapan dan penunjukkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung dilakukan melalui SK Menteri Kehutanan. Pada tahun 1990 pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Keppres ini menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kawasan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan yang dilindungi adalah hutan lindung. Hutan lindung dianggap merupakan salah satu dari kawasan lindung karena dianggap merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberi perlindungan kepada kawasan disekitar maupun dibawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Oleh karena itu hutan perlu dilindungi. Akan tetapi Keppres No 32 Tahun 1990 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka pengelolaan hutan lindung. Hal tersebut disebabkan karena Keppres tersebut tidak hanya mengatur hutan lindung tetapi juga berbagai kawasan yang masuk sebagai kawasan lindung. Secara nasional ketentuan mengenai pengelolaan hutan lindung diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan No 464/Kpts-II/1995 yang selanjutnya
7 15 dirubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung. Ketentuan ini merupakan satu satunya payung hukum yang mengatur pengelolaan hutan lindung terutama karena UU No 5 Tahun 1967 pada dasarnya hanya menekankan pada pengurusan hutan yang bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar besarnya, namun tidak mengatur pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pasal pasal yang secara jelas mengatur pengelolaan hutan lindung. Demikian pula halnya dengan PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan sebagai salah satu turunan dari UU No 5 tahun 1967 lebih banyak menyinggung tentang perlindungan hutan secara makro, dari pada berisi tentang ketentuan khusus tentang hutan lindung. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung telah diakomodir kepentingan dan peran masyarakat, karena pemerintah menilai masyarakat sangat berkepentingan dengan kawasan hutan. Meskipun demikian mekanisme peran serta masyarakat tidak dijelaskan dalam keputusan ini dan tidak pula disebutkan bahwa hal tersebut akan diatur dalam peraturan tersendiri. Apabila melihat pada pengelolaan secara keseluruhan maka jelas bahwa pendekatan pengelolaan hutan lindung sangat bersifat top down dan kelembagaannya sangat didominasi oleh Departemen Kehutanan. Dengan kata lain sebagian kewenangan pengelolaan hutan lindung masih berada ditangan pemerintah pusat, walaupun telah disebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung berada ditangan pemerintah daerah. Khususnya dibidang kehutanan, terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan harapan bahwa perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi lebih baik dan komprehensif. Walaupun kewenangan pengelolaan atas masing-masing hutan lindung tidak lagi dibawah kendali pemerintah pusat, namun secara nasional pemerintah pusat sebagaimana tercantum pada pasal 2 PP No 38 tahun 2007 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam membuat pedoman.
8 Kerusakan Hutan di Indonesia Degradasi hutan melalui proses alih guna lahan hutan secara proses legal (kebijakan pemerintah) maupun akibat perambahan oleh masyarakat, menjadi suatu dilema yang sangat mengkwatirkan, saat ini degradasi hutan sebesar 1,8 juta Ha per tahun (Dephut,2004). Permasalahan degradasi ini menjadi hal yang sangat penting jadi perhatian semua pihak karena hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Menurut Butler (2007) dalam Mahmuddin (2009), antara tahun , negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi. Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, perkebunan, dan perambahan hutan. Aktivitas manusia yang menyumbang kerusahakan hutan terbesar adalah kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit. Menurut data Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DEPHUT 2006), laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare per tahun pada kurun dan 2,83 juta hektar per tahun pada , namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan mencapai 69,9 juta hektar. Dengan kemampuan merehabilitasi kawasan hutan selama hanya hektar, maka degradasi hutan masih menghantui Indonesia. Sementara untuk 2008, Dephut merencanakan penanaman seluas 1,7 juta hektare dan untuk tahun ini 1,9 juta hektare. Di sisi lain, ancaman degradasi tidak hanya ada di kawasan hutan. Data Ditjen RHL juga menyebutkan luas lahan kritis di luar kawasan hutan pada 2003 sudah mencapai angka 41,5 juta hektar. Dengan luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan sampai akhir tahun ini diperkirakan
9 17 mencapai 110,6 juta hektare, maka total penanaman dalam rangka Gerakan Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mencapai 2,028 juta hektar baru ibarat setitik air di padang tandus. Makin luasnya lahan kritis ini tidak saja merugikan industri pengolahan kayu yang terancam kesulitan memperoleh pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri secara berkesinambungan dan lestari. Degradasi lahan dan hutan juga mengancam kelestarian sumber air, selain menyebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global Dampak Degradasi Hutan Menurut hasil penelitian Ihsanurizal (2005) bahwa dampak langsung dari adanya degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah hilangnya potensi kayu, pengambilan manfaat dari kayu hasil hutan non kayu senilai Rp 24,45 miliar. Akibat dampak ini pula perekonomian di Kalimantan Timur turun sebesar 0,17%. Sedangkan dampak tidak langsung dari degradasi hutan adalah turunnya supply kayu bagi industry kayu, dengan demikian para pekerja yang berhubungan dengan industry sektor kehutanan akan kehilangan sebagian mata pencaharian. Menurut Hutajulu (2010) akibat adanya degradasi hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar di Kabupaten Jayapura, negara kehilangan pendapatan sebesar Rp ,- yang terdiri dari Rp , potensi kehilangan kayu Rp ,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Rp ,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu dan lain sebagainya dengan nilai kerugian sebesar Rp Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat akibat tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni sebesar Rp Degradasi hutan dan ekosistemnya yang terjadi akibat pembalakan liar ternyata juga diiringi dengan menurunnya kemampuan penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam daya beli dan akses terhadap SDAH. Keadaan ini dipersulit dengan minimnya kemampuan pemerintah dalam membangun
10 DKI Bali Riau Kalsel NAD Kalteng Sumut Sulut Sulsel Bengkulu Kaltim Kalbar Sulteng Sultra Maluku Papua PERSEN 18 fasilitas kesehatan dan pendidikan. Menurut Munawar (2010), Degradasi lahan sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Sekalipun hubungan degradasi hutan dan kemiskinan belum tentu berbanding lurus dan kemiskinan bukan tanggung jawab utama sektor kehutanan, kehadiran pengelola hutan komersial secara tidak langsung telah membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang pada mulanya merupakan tempat mereka menggantungkan hidup (Sumarjani, 2006). Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa semakin luas kawasan hutan yang dimiliki oleh suatu wilayah maka angka kemiskinan pun semakin besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini % Kaw asan Hutan/Daratan % Penduduk Miskin/Penduduk Gambar 2. Hubungan antara persentase luas Kawasan Hutan Negara dengan Penduduk Miskin di Beberapa Propinsi (Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006) 2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan
11 19 tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II/ jo No 140/Kpts- II/1998 dan SK Dirjen PHPA No 129/Kpts-DJ-VI/1996 meliputi: 1. Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata dan potensi sumberdaya air 2. Pemancangan dan pemeliharaan batas 3. Perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. Rehabilitasi hutan yang rusak 5. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan 6. Peningkatan peran masyarakat Pasal 24 ayat (1) PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan lindung adalah meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa liar dan budidaya hijauan pakan ternak. Selanjutnya dalam pasal 25 (2) PP No 6/2007 dalam kawasan hutan lindung juga bisa laksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan seperti pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanakeragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan serta penyimpanan karbon. Undang-undang menekankan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung. Dengan demikian maka setiap daerah yang akan melakukan pengelolaan atau tata hutan pada hutan lindung harus mengacu pada ketentuan perundangundangan yang berlaku. Hal penting yang diatur dalam pemanfaatan hutan lindung adalah tidak diijinkan menggunakan alat mekanis dan alat berat, atau membangun sarana dan prasarana permanen yang menyebabkan terganggunya fungsi kawasan.
12 20 Untuk memanfaatkan hutan lindung berupa pemanfaatan hasil hutan non kayu, izin usahanya dapat diberikan pada perseorang atau koperasi. Sementara untuk ijin pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, BUMN dan BUMD. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemberian ijin pemanfaatan hutan lindung diberikan oleh Bupati/Walikota jika wilayah kelola berada pada satu wilayah administrasi. Apabila wilayah kelola berada pada lintas Kabupaten dalam satu propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Gubernur. Sedangkan untuk wilayah hutan lindung yang berada pada 2 wilayah propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Walaupun wewenang pengelolaan hutan lindung telah dimiliki oleh propinsi dan kabupaten/kota menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, namun setiap aspek dan kegiatan terkait yang dikembangkan dan dilaksanakan haruslah mengacu pada kepada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai payung hukum aturan bidang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 yang memberikan landasan operasionalnya. Keharusan untuk mengacu kepada suatu aturan yang lebih tinggi tersebut merupakan doktrin umum tentang produk hukum, yang disebut dengan asas les superior derogate inferiori, dimana aturan yang lebih rendah harus mengacu kepada dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Itulah sebabnya dalam penyusunan Suatu Perda harus mencantumkan peraturan yang relevan sebagai dasar hukum di dalam konsideran yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun tingkatannya sama
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciSERBA SERBI HUTAN DESA (HD)
SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN SARAN
369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71
Lebih terperinciLaporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar
Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciTENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar
Lebih terperinciMata Pencaharian Penduduk Indonesia
Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG
SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH
Lebih terperinciSTUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis,
Lebih terperinciLampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi
I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam
Lebih terperinciPermasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah
Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,
GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang
Lebih terperinci2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN POSO
PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciKeputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri
Lebih terperinciTAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG
TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan
Lebih terperinciPP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)
Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran
Lebih terperinciPenjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Lebih terperinciMenimbang : Mengingat :
Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN, KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan
Lebih terperinciNOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan terjamin kelestariannya dan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciPENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah
PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciVIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH
VIII. STRUKTUR HAK KEPEMILIKAN LAHAN DALAM KAWASAN SUB DAS BATULANTEH Deng Xio Ping suatu ketika pernah mengatakan bahwa the China s problem is land problem, and the land problem is rural problem. Persoalan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Menurut Undang Undang no 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
Lebih terperinci5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,
Lebih terperinciNOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena
Lebih terperinciORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i
ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i Dwi Priyo Ariyanto Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Sumberdaya air saat ini semakin sulit serta mempunyai
Lebih terperincipeningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.
Oleh: Luluk Nurul Jannah Staf P3E Kalimantan P engelolaan hutan selama lima dekade di Indonesia telah mengakibatkan tingkat penggudulan hutan yang tinggi dan konflik sosial antara komunitas, pemerintah,
Lebih terperinciPEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pohon pohon atau tumbuhan berkayu yang menempati suatu wilayah yang luas dan mampu menciptakan iklim yang berbeda dengan luarnya sehingga
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir
Lebih terperinciKebijakan Fiskal Sektor Kehutanan
Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan Prof. Dr. Singgih Riphat Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan PENYUMBANG EMISI CO 2 TERBESAR DI DUNIA Indonesia menempati urutan ke 16 dari 25 negara penyumbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.
Lebih terperinciPembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro
Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor
Lebih terperinci*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat
Lebih terperincitertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang
PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Lebih terperinciPENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,
Lebih terperinciLUAS KAWASAN (ha)
1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I. UMUM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai oleh Allah Yang Maha
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi
Lebih terperinciHUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan
Lebih terperinciMODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR DI PROPINSI GORONTALO) ISWAN DUNGGIO
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR DI PROPINSI GORONTALO) ISWAN DUNGGIO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)
Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
Lebih terperinciPELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI
PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group
Lebih terperinci-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH
-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi.
No.3, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Penyelenggaraan. Sistem Informasi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.02/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM INFORMASI KEHUTANAN
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KEMITRAAN PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI
Lebih terperinciDISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI
PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang
Lebih terperincidan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011
Strategi Nasional, Pengembangan Kelembagaan, dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011 Perhatian khusus terhadap hutan bukan hal baru 2007 2008 2009 Jan 2010 Mei 2010
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBAB II. PERENCANAAN KINERJA
BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa
Lebih terperinciKEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1
KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Lebih terperinci