BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Asertivitas 1. Pengertian Asertivitas Menurut kamus Webster Third International asertivitas berasal dari kata kerja assert (sadar) berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang, atau tegas (Fensterheim & Baer, 1980). Rathus dan Nevid (1995), mendefinisikan perilaku asertif sebagai tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran dengan apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok. Individu yang asertif juga menggunakan kekuatan pengaruh sosial untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Alberti dan Emmons (2002), perilaku asertif adalah perilaku individu yang bisa melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, menegakkan hak-hak pribadinya tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain, serta mampu untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya secara nyaman. Hal ini sebagaimana Lazarus (Fensterheim & Baer, 1980) menyatakan tingkah laku yang tegas timbul sebagai aspek kebebasan emosional yang 11

2 12 menyangkut usaha membela hak-hak yang dimiliki. Ini meliputi (1) mengetahui hak-hak pribadi; (2) berbuat sesuatu untuk itu; (3) melakukan hal ini dalam rangka usaha mencapai kebebasan emosional. McBride (1998) menyebutkan bahwa asertif merupakan pertengahan antara sikap agresif dan pasif. Menjadi asertif berarti memiliki keyakinan dan kepercayaan diri, berpendapat dengan tidak merugikan dan merendahkan orang lain, mampu menyesuaikan diri dan menggunakan bahasa tubuh yang tepat pada setiap situasi, mampu berbicara pada diri sendiri atau orang lain, menghormati diri sendiri dan orang lain dengan setara, mampu mengatakan tidak tahu atau tidak mengerti, serta memiliki tujuan yang jelas. Sebaliknya bersikap tidak asertif berarti tidak mau mendengar apa yang dikatakan orang lain, melakukan sesuatu dengan caranya sendiri, memperlakukan orang lain tanpa rasa hormat, melakukan bullying, takut dengan situasi sulit, terlihat tunduk, selalu menanggapi situasi dengan cara yang sama. Menurut Burley-Allen (1995) asertivitas didasarkan pada hak-hak alami kita sebagai manusia; dapat diperlakukan dengan hormat, menjadi diri sendiri, dan memiliki nilai-nilai kita sendiri. Setiap dari kita memiliki ruang pribadi yang unik yang harus dihormati oleh orang-orang yang berinteraksi dengan kita begitupun sebaliknya kita menghormati hak orang lain. Elemen penting lainnya dari asertif adalah tanggung jawab; terutama tanggung jawab untuk diri sendiri. Ini berarti menetapkan batas untuk

3 13 mengurus diri sendiri, tetap menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang kita lakukan. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asertivitas adalah kemampuan individu untuk mempertahankan hak-hak yang dimilikinya serta keberaniannya untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, menjadi diri sendiri, dengan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan dan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain. 2. Aspek-aspek Asertivitas Fensterheim dan Baer (1980) menyatakan asertivitas meliputi empat aspek, yaitu : a. Mampu mengemukakan dirinya sendiri Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan, pendapat dan keinginan melalui kata dan tindakan. Misalnya: inilah diri saya, inilah yang saya rasakan dan saya inginkan. b. Mampu berkomunikasi dengan orang lain Orang asertif dapat berkomunikasi dengan orang lain dari semua tingkatan, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan keluarga. Dalam berkomunikasi ia relatif terbuka, jujur, dan sebagaimana mestinya. c. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup Orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat selalu menang, maka ia menerima keterbatasannya, akan tetapi ia

4 14 selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaikbaiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif (pasif) selalu menunggu terjadinya sesuatu. d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya Karena sadar bahwa ia tidak dapat selalu menang, ia menerima keterbatasannya. Namun demikian ia tetap berusaha mencapai sesuatu dengan usaha sebaik-baiknya, sehingga baik ia berhasil ataupun gagal, ia tetap memiliki harga dirinya. 3. Pola Perilaku Asertif Berikut merupakan keseluruhan pola perilaku gaya asertif (Burley- Allen, 1995) antara lain : a. Isyarat Nonverbal 1) Gerakan :menjangkau, terbuka 2) Ekspresi wajah :penuh perhatian, tertarik, responsif, kongruen dengan apa yang diungkapkan 3) Kontak mata :langsung, kontak mata yang baik 4) Postur :santai, terbuka 5) Nada suara :sedang, volume sesuai 6) Kecepatan bicara :moderat, bervariasi tergantung pada situasi b. Perilaku Individu yang asertif akan tahu apa yang dibutuhkan dan mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, berorientasi pada tindakan, tegas, percaya diri, bertanggung jawab, memiliki harapan

5 15 yang realistis, menekankan sifat positif diri dan orang lain, cukup adil, konsisten, proaksi, mengambil tindakan yang tepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan tanpa melanggar hak orang lain. c. Isyarat verbal Kata-kata yang digunakan biasanya seperti saya memilih untuk apa saja pilihan kita?, mari membicarakannya, saya setuju bahwa saya bisa saja mengambil tindakan lain. d. Motto dan Beliefs Gaya asertif memiliki keyakinan meliputi : bersedia untuk belajar dari kesalahan, mengoreksi kesalahan, mempercayai diri sendiri dan orang lain, mengetahui ketegasan itu tidak berarti selalu menang; tetapi menangani situasi seefektif mungkin, menghargai diri sndiri dan orang lain, memberikan penguatan positif untuk diri sendiri dan orang lain, "saya memiliki hak dan begitu juga orang lain, menghakimi tidak akan meningkatkan keefektifan saya. e. Karakteristik Karakteristik dari gaya asertif antara lain : Tidak menghakimi, mengamati perilaku daripada memberi label, menerima dan menghormati diri sendiri dan orang lain, pemaaf, pengertian, mempercayai diri sendiri dan orang lain, penuh kasih, antusias, percaya diri, sadar diri, konsep diri dan harga diri positif, tanggung jawab, toleran, sabar, terbuka, fleksibel, serba bisa, gigih,

6 16 menyenangkan, rasa humor, tahu apa yang dia inginkan dan mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, tegas, inisiatif. f. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah dengan gaya asertif antara lain : win-win solution, negosiasi, tawar-menawar, kompromi, memecahkan masalah dengan menjelajahi alternatif, siap menghadapi masalah, tidak membiarkan perasaan negatif, mengklarifikasi kesalahpahaman, belajar keterampilan pemecahan masalah. g. Feelings felt Beberapa perasaan yang menggambarkan gaya asertif seperti sukacita, antusiasme, kegembiraan, kesejahteraan. h. Gaya komunikasi Individu asertif memiliki cara berkomunikasi antara lain : efektif, pendengar yang aktif, positif citra diri, menyatakan batasan, harapan, mengatakan tidak terhadap permintaan yang tidak masuk akal, mendengarkan dengan pengertian tanpa menilai, menunjukkan keseimbangan komunikasi verbal dan nonverbalnya, dua arah, mendorong umpan balik, langsung, openminded, mengungkapkan diri secara langsung, jujur, dan sesegera mungkin tentang perasaan dan keinginan, menyatakan sesuatu dengan jelas, memeriksa perasaan orang lain.

7 17 i. Efek Gaya asertif memiliki efek terhadap diri sendiri seperti : meningkatkan harga diri dan percaya diri, menghasilkan banyak energi, merasa puas, merasa baik tentang diri sendiri. Adapun efeknya pada orang lain seperti : meningkatkan harga diri dan percaya diri, merasa termotivasi dan dipahami, semangat tinggi, merasa didengarkan dan diakui, tahu di mana posisi mereka. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertivitas menurut Rathus & Nevid (1980), antara lain: a. Jenis kelamin Wanita pada umumnya lebih sulit bertingkah laku asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki. Wanita diharapkan lebih banyak menurut dan tidak boleh mengungkapkan pikiran dan perasaannya bila dibandingkan dengan laki-laki, artinya pengkondisian budaya untuk wanita cenderung membuat wanita menjadi lebih sulit mengembangkan asertivitasnya. b. Harga diri Harga diri seseorang turut mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki harga diri yang tinggi, memiliki kekhawatiran sosial yang rendah sehingga ia mampu mengungkapkan pendapat dan perasaannya tanpa merugikan dirinya maupun orang lain.

8 18 c. Kebudayaan Tuntutan lingkungan menentukan batasan-batasan perilaku masingmasing anggota masyarakat sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial seseorang. d. Tingkat pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin luas wawasan berpikirnya sehingga kemampuan untuk mengembangkan diri lebih terbuka. e. Situasi-situasi tertentu disekitarnya Kondisi dan situasi dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara bawahan terhadap atasannya, ketakutan yang tidak perlu (takut dinilai kurang mampu), situasi-situasi seperti kekhawatiran mengganggu dalam keadaan konflik. Adapun Rathus dan Nevid (1980) juga mengungkapkan beberapa faktor-faktor yang dapat menghambat munculnya asertivitas antara lain : a. Pengaruh budaya dan relasi sosial setempat. Dalam suatu kebudayaan tertentu, individu diharuskan untuk lebih menerima dan selalu setuju dengan pendapat orang lain, sehingga dalam sistem masyarakat ini tidak ada kesempatan untuk memunculkan tingkah laku asertif. b. Pandangan-pandangan yang menyesatkan tentang cara-cara atau etika bertingkah laku, seperti:

9 19 1) Mitos rendah hati (Myth of modesty), sehingga individu tidak terbiasa menerima pujian atau kritik yang akhirnya individu tersebut menjadi risi atau salah tingkah. 2) Mitos sahabat karib (Myth of good friends), yang berpandangan bahwa teman baik sudah mengetahui apa perasaan dan pikiran individu sehingga individu merasa tidak perlu lagi menyatakan pikiran dan perasaannya. Hal tersebut sering menimbulkan kesalahpahaman karena persepsi yang berbeda tentang suatu hal. c. Konflik-konflik pribadi 1) Pola asuh yang salah atau tidak menguntungkan, dimana hal ini membuat tidak adanya kesempatan untuk mengembangkan tingkah laku asertif. 2) Perkembangan kepribadian terhambat, sehingga individu belum mencapai taraf kedewasaan tertentu. 3) Pengaruh peer group, individu akan bertingkah laku cenderung sama dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peer group nya, agar ia diterima dalam kelompok tersebut sehingga bila dalam kelompok tersebut tidak ada kesempatan untuk mengembangkan asertivitas maka individu tersebut akan bertingkah laku non-asertif. d. Sasaran bertingkah laku non-asertif adalah untuk menyenangkan atau memuaskan orang lain, menghindari celaan orang lain dan

10 20 menghindari konflik. Individu yang non-asertif mengarah pada kehidupan mengingkari diri sendiri yang menyebabkan mereka menderita dalam hubungan interpersonal. Kadang-kadang juga menimbulkan konsekuensi emosional dan fisik, misalnya selalu cemas, tegang, bingung dan merasa tidak nyaman dalam menjalin relasi sosial sedangkan tingkah laku agresif selalu berkesan superioritas dan tidak adanya respek terhadap orang lain. Dengan berprilaku agresif berarti menempatkan keinginan, kebutuhan dan hak diatas milik orang lain. Tidak seorang pun senang bergaul dengan tukang gertak, sehingga didalam relasi interpersonalnya mereka selalu terbentur dan mempunyai masalah relasi sosial. B. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Dariyo (2004) mengemukakan bahwa para ahli perkembangan sepakat dimana pola asuh orang tua amat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Menurut Santrock (2002), pola asuh merupakan cara orang tua terhadap anak-anak mereka yang menghadapi masa remaja untuk tumbuh menjadi individu yang matang secara sosial. Sedangkan menurut Grusec (Rathus, 2007), pola asuh merupakan pandangan tradisional di mana anak akan memperoleh nilai-nilai dan standar perilaku. Baumrind (Marini & Andriani, 2005) mengatakan pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara

11 21 orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Selanjutnya pola asuh menurut Gunarsa (2000) merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga normanorma yang berlaku di masyarakat, agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara orang tua berinteraksi terhadap anak mereka dengan mengajarkan norma-norma masyarakat yang bertujuan agar anak dapat mencapai kematangan sosial dan yang mana hal ini sangat dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak nantinya. 2. Jenis dan Dampak Pola Asuh Orang Tua Baumrind (Papalia, Olds dan Feldman, 2008; Dariyo, 2004) membagi pola asuh orang tua menjadi tiga yakni otoritarian, permissif dan otoritatif. a. Pola Asuh otoritarian (Parent Oriented) Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Gaya pengasuhan ini juga memandang pentingnya kontrol dan kepatuhan. Mereka mencoba membuat anak menyesuaikan diri dengan serangkaian standar perilaku. Orang tua bertindak semena- mena dan cenderung menghukum secara keras atas pelanggaran yang dilakukan anak, tanpa dapat dikontrol oleh

12 22 anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang di perintahkan oleh orang tua. Mereka menjadi terlepas (detached) dan kurang hangat dibandingkan orang tua lain. Dalam hal ini anak seolah-olah menjadi robot, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut, kurang percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi di sisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba (alcohol or drug abuse). Dari segi positifnya, anak yang di didik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal ini tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. b. Pola Asuh Permisif. Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang di lakukan oleh anak di perbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Mereka menghargai ekspresi diri dan regulasi diri. Mereka mengizinkan anak utuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Mereka hangat, tidak mengontrol, tidak menuntut dan jarang menghukum.

13 23 Anak mereka cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang di inginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturanaturan sosial yang berlaku. Anak menjadi cenderung tidak dewasa - sangat kurang kontrol diri dan kurang eksplorasi. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya. c. Pola Asuh Otoritatif Dalam pola asuh ini, kedudukan orang tua dan anak sejajar. Orang tua menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan batasan sosial. Mereka memiliki keyakinan diri akan kemampuan mereka membimbing anak tetapi mereka juga menghormati independensi keputusan, ketertarikan, pendapat, dan kepribadian anak. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak di beri kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang di lakukan oleh anak tetap harus di bawah pengawasan orang tua dan dapat di pertanggung jawabkan secara moral. Mereka mencintai dan menerima, tetapi juga menuntut perilaku yang baik, kokoh dalam mempertahankan standar dan memberi hukuman dengan bijaksana dan terbatas ketika hal itu memang dibutuhkan. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi

14 24 seorang individu yang mempercayai orang lain, independen, terkontrol, asertif, bertanggung jawab terhadap tindakantindakannya, tidak munafik, berisi, dan jujur. Anak-anak juga tampaknya merasa aman ketika mengetahui bahwa mereka dicintai dan dibimbing secara hangat. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus di pertimbangkan anak-orang tua. d. Pola Asuh Situasional Dalam kenyataannya, sering kali pola asuh tersebut tidak di terapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes dan di sesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Sehingga sering kali muncullah tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut di terapkan secara luwes (Dariyo, 2004). 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Orang Tua Seperti semua sikap, sikap orang tua terhadap anak merupakan hasil belajar. Hurlock (1978) menyebutkan faktor-faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari, yang paling umum di antaranya adalah : a. Konsep anak idaman yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai romantisme, dan didasarkan atas gambar anak

15 25 ideal orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua, orang tua merasa kecewa dan mulai bersikap menolak. b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Orang tua yang sebagai anak keluarga besar, dulu diharuskan ikut mengasuh adik-adiknya mungkin mempunyai sikap yang kurang positif terhadap semua anak, termasuk anaknya sendiri, berbeda dengan orang tua yang sebagai anak mempunyai pengalaman yang bahagia dengan saudara kandungnya. c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri. d. Orang tua yang menyukai peran orang tua, merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka. e. Bila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya jauh lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.

16 26 f. Orang tua yang merasa puas dengan jenis kelamin, jumlah, dan ciri-ciri watak anaknya mempunyai sikap yang lebih menguntungkan dari orang tua yang tidak puas. g. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga sesudah bertahun-tahun menikmati pola yang egosentris akan menentukan bagaimana sikap orang tua terhadap anak yang menyebabkan diperlukannya pergeseran dalam peran ini. h. Jika alasan untuk mempunyai anak adalah mempertahankan perkawinan yang retak dan hal ini tidak berhasil, sikap terhadap anak akan sangat kurang positif dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkan anak untuk memperbesar kepuasan mereka dengan perkawinan mereka. i. Cara anak bereaksi terhadap orang tua mempengaruhi sikap orang tua terhadapnya. Jika anak menunjukkan cinta kasihnya dan bergantung pada orang tuanya, reaksi orang tua terhadap mereka sangat berbeda dari pada bila anak itu mandiri dan lebih akrab dengan orang lain daripada dengan mereka. C. Remaja 1. Definisi Remaja Remaja (adolescentia) disebut sebagai masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya

17 27 perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Alberty (dalam Saefullah, 2012) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai awal masa dewasa. Para ahli perkembangan umumnya sepakat dengan rentangan masa remaja yang berlangsung dari usia tahun sampai dengan tahun (Saefullah, 2012). Pada rentangan periode ini (sekitar 6-7 tahun) terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para ahli mengklasifikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian, yaitu : (1) remaja awal (11-13 tahun s.d tahun); dan (2) remaja akhir (14-16 tahun s.d tahun). Saefullah (2012) juga menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja. 1. Freud menafsirkan masa remaja sebagai masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif. 2. Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi mengisi. 3. Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.

18 28 4. Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai masa pembentukan sikap- sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu. 5. G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa strom and drang (badai dan topan). Saefullah (2012) juga mengungkap definisi remaja menurut WHO yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan individu dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya (fisik) sampai ia mencapai kematangan seksual serta mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Di sini terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri. 2. Tugas Perkembangan Remaja Terdapat beberapa tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Dariyo, 2004) yaitu sebagai berikut : a. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis. Diketahui bahwa perubahan fisiologis yang di alami oleh individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis (seksual), namun bila di penuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah remaja mengalami dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri (adjustment) dengan baik.

19 29 b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita. Dalam hal ini, seorang remaja di harapkan dapat bergaul dan menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang di dasarkan atas saling menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya, tanpa menimbulkan efek samping yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai suatu hal yang amat penting, karena dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan nanti. c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang lain. Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, di bandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orang tua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya (peergroup), di bandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya. d. Remaja bertugas untuk menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan

20 30 formal maupun non-formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian yang professional. Oleh Schaie (Dariyo, 2004) masa tersebut di istilahkan sebagai masa aquisitif yakni masa di mana remaja berusaha untuk mencari bekal pengetahuan dan keterampilan/keahlian guna mewujudkan cita-citanya, agar menjadi seorang ahli yang professional di bidangnya. Warga Negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat. Karena itu, adalah hal yang wajar, agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri secara matang dengan sebaik-baiknya. e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis. Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan menguasai ilmu dan keahlian tersebut, ialah untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat menutupi diri sendiri maupun keluarganya nanti. Sebab keinginan terbesar seorang individu (remaja) adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung dari orang tua secara psikis maupun secara ekonomis (keuangan). Karena itu, seringkali remaja mengambil keputusan dengan cara bekerja paruh baya, disela-sela jam belajarnya (part-timer),

21 31 misalnya menunggu toko, memberi les privat untuk pelajaran SD/SMP, dan sebagainya. 3. Karakteristik Masa Remaja Periode ini dinilai sangat penting, bahkan Erik Erikson (Saefullah, 2012) menyatakan bahwa seluruh masa depan individu sangat bergantung pada penyelesaian krisis pada masa ini. Sebagai periode yang paling penting, masa remaja memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan perkembangan lainnya, yaitu sebagai berikut : a. Masa Remaja adalah Periode yang Penting Dianggap masa yang penting karena memiliki dampak langsung jangka panjang dari yang terjadi pada masa ini. Selain itu perkembangan fisik dan psikologis individu yang cepat pada masa ini juga berdampak penting. Kondisi ini yang menuntut remaja untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan sikap, nilai-nilai, dan minat yang baru. b. Masa Remaja adalah Masa Peralihan Periode ini menuntut anak untuk meninggalkan sifat kekanakkanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola perilaku sebelumnya. c. Masa Remaja adalah Periode Perubahan Terdapat lima karakteristik perubahan yang khas dalam periode ini, yaitu (a) peningkatan emosionalitas, (b) perubahan cepat

22 32 yang menyertai kematangan seksual, (c) perubahan tubuh, minat, dan peran yang dituntut oleh lingkungan yang menimbulkan masalah baru, (d) karena perubahan minat dan pola perilaku, terjadi pula perubahan nilai, (e) kebanyakan remaja merasa ambivalen terhadap perubahan yang terjadi. d. Masa Remaja adalah Usia Bermasalah Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yaitu pada saat anak-anak, sebagaian masalah diselesaikan oleh orangtua atau guru, sedangkan pada masa ini, remaja dituntut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena dituntut untuk mandiri, mereka sering menolak untuk dibantu oleh orangtua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. e. Masa Remaja adalah Masa Pencarian Identitas Diri Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara, dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. f. Masa Remaja adalah Usia yang Ditakutkan Masa remaja sering ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran negatif yang ada di benak masyarakat mengenai perilaku remaja memengaruhi cara mereka berinteraksi. Hal ini membuat remaja merasa takut untuk

23 33 menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orangtua ataupun guru untuk memecahkan masalahnya. g. Masa Remaja adalah Masa yang Tidak Realistis Remaja memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka inginkan dan bukan sebagai dia sendiri. Hal ini terlihat pada aspirasinya. Aspirasi yang tidak realistis ini tidak sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi bagi keluarga dan teman. Semakin tidak realistis aspirasi mereka, akan semakin marah dan kecewa apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai. h. Masa Remaja adalah Ambang dari Masa Dewasa Pada saat remaja mendekati masa ketika dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotipe remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa sering tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memerhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa, seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan, bahkan melakukan hubungan seksual.

24 34 D. Kerangka Pemikiran Remaja di Pondok Pesantren Pola Asuh Orang Tua (Baumrind) : 1.Otoritatif (authoritative) 2.Otoritarian (authoritarian) 3.Permisif (permissive) Asertivitas (Fensterheim & Baer ): 1.Mampu mengemukakan perasaan dan pendapat 2.Mampu berkomunikasi 3.Mempunyai pandangan aktif tentang hidup 4.Bertindak dengan cara yang dihormati Dari gambar diatas dijelaskan bahwa pola asuh orang tua yang terbagi menjadi tipe otoritatif, otoritarian dan permisif diduga memiliki hubungan dengan tinggi rendahnya asertivitas yang dimiliki remaja dalam penelitian ini. Merujuk pada kesepakatan para ahli perkembangan dimana dikatakan bahwa pola asuh orang tua dapat amat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak (Dariyo, 2004). Tidak terkecuali pula peran pola asuh ini dalam mempengaruhi perkembangan asertivitas seseorang. Sebagaimana Harris (dalam Prabana, 1997) mengatakan bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orangtua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang pada akhirnya menentukan

25 35 pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak. Rathus dan Nevid (1995) juga menjelaskan bahwa pola asuh yang salah atau tidak menguntungkan menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat munculnya asertivitas. Artinya pola asuh yang tidak menguntungkan disini ialah pola pengasuhan yang tidak memberi kesempatan pada anak mereka untuk mengembangkan tingkah laku asertif. Sehingga asertivitas pun tidak dapat muncul dalam diri seseorang tersebut. Penelitian Jenaabadi, Pourghaz, dan Efteghari (2014) menemukan adanya hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada siswa di sekolah menengah atas. Dalam penelitiannya pola asuh otoritatif diyakini menjadi pilihan yang lebih tepat dari dua tipe pola asuh lainnya. Dimana orang tua otoritatif memiliki tuntutan yang wajar terhadap anak dengan tetap bertoleransi, menerima dan memberi kehangatan pada anak. Anak-anak dari orang tua yang berwibawa ini akan memiliki tingkat kompetensi kognitif dan sosial yang lebih tinggi, serta interaksi yang lebih baik dengan orang lain termasuk pula dalam mempengaruhi perilaku asertifnya. Hal ini sebagaimana Marini dan Andriani (2005) yang meneliti mengenai asertivitas remaja ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua. Dimana dalam penelitiannya ia juga menemukan hal yang sama, subjek dengan pola asuh authoritative cenderung lebih asertif dibandingkan subjek dengan pola asuh authoritarian, permissive dan uninvolved.

26 36 Hal ini jelas sebagaimana telah lebih dulu dinyatakan Baumrind (dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2008) yang mengklasifikasikan dampak-dampak yang berbeda dari perbedaan gaya pengasuhan orangtua. Ia menekankan adanya keuntungan bila seseorang diasuh dalam tipe pengasuhan otoritatif. Dimana anak dengan pola asuh ini akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, independen, terkontrol, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, serta menjadi lebih asertif. Selaras dengan hal tersebut, penelitian Seyrdowleh, Barmas, dan Asadzadeh (2014) juga menemukan pentingnya peranan pola asuh dalam mempengaruhi asertivitas atau sikap ketegasan anak. Dimana melalui dukungan yang diberikan seperti pada orang tua demokratis, anak menjadi mampu untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka. Sehingga gaya pengasuhan demokratis ini diyakini dapat menjadikan seorang anak lebih tegas atau asertif. Berbeda dengan gaya otoriter dimana pola pengasuhan ini menyebabkan permusuhan antara orang tua dan anak-anak mereka dengan tidak adanya dukungan efektif dari orang tua yang pada akhirnya menyebabkan anak memiliki asertivitas yang cenderung rendah. Gaya pengasuhan memang merupakan faktor penentu yang efektif memainkan peran penting dalam perkembangan anak. Dari ketiga tipe gaya pengasuhan berbeda yang diadopsi oleh orang tua hal ini secara signifikan berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan pengurangan kecemasan individu (Dabiri, 2011). Maka berdasarkan beberapa penelitian-penelitian terdahulu, peneliti berasumsi bahwa pola asuh baik otoritatif, otoritarian dan

27 37 permisif ketiganya memiliki kaitan masing-masing dengan asertivitas remaja Sehingga diduga ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan asertivitas remaja di Pondok Pesantren. E. Hipotesis Berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada remaja di Pondok Pesantren Daarul Rahman. 2. Hipotesis alternatif (H0) : Tidak terdapat hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada remaja di Pondok Pesantren Daarul Rahman.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja a. Pengertian Kepercayaan Diri Salah satu aspek kepribadian yang menunjukkan sumber daya manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang dalam hidup bermasyarakat dan sebagai prasyarat kehidupan. Pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang dalam hidup bermasyarakat dan sebagai prasyarat kehidupan. Pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat dan sebagai prasyarat kehidupan. Pada dasarnya manusia telah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist &

BAB I PENDAHULUAN. kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist & BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist & Feist, 2006), remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan begitu banyak perguruan tinggi seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional mengharapkan upaya pendidikan formal di sekolah mampu membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang sehat dan produktif. Pribadi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Emosi Chaplin (2011) mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) perkembangan, proses mencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pola Asuh Orangtua a. Pengertian Dalam Kamus Bahasa Indonesia pola memiliki arti cara kerja, sistem dan model, dan asuh memiliki arti menjaga atau merawat dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Diet 1. Pengertian Perilaku Diet Perilaku diet adalah pengurangan kalori untuk mengurangai berat badan (Kim & Lennon, 2006). Demikian pula Hawks (2008) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal di Indonesia merupakan rangkaian jenjang pendidikan yang wajib dilakukan oleh seluruh warga Negara Indonesia, di mulai dari Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi caloncalon intelektual. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menghadapi lingkungan yang memiliki perbedaan pola pikir, kepribadian serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak Dalam kehidupan berkeluarga, ayah biasanya diidentikkan sebagai orang tua yang banyak meninggalkan rumah, menghukum, mempunyai pengetahuan yang lebih luas, berkedudukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang menarik untuk dikaji, karena pada masa remaja terjadi banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan, baik bagi remaja itu

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini ingin mengetahui gambaran pola asuh yang diberikan oleh orang tua pada remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Masa remaja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia diharapkan mampu mengatasi segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian Sebelum dilakukannya penelitian, peneliti terlebih dahulu menyusun proposal penelitian dan mencari alat ukur yang sesuai yang dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini masih terdapat orang - orang tidak mampu untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa:

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja Menurut Havighurst (dalam Syaodih. 2009.: 161) mengatakan bahwa: Definisi tugas perkembangan adalah suatu tugas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi BAB 2 TINJUAN PUSTAKA 2.1 Kepribadian Secara umum kepribadian (personality) suatu pola watak yang relatif permanen, dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari pelaporan penelitian yang membahas tentang latar belakang penelitian yang dilakukan, adapun yang menjadi fokus garapan dalam penelitian ini adalah masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINNJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINNJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINNJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan remaja dalam penerapan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung kepada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Sosialisasi Anak Prasekolah 1. Pengertian Sosialisasi Sosialisasi menurut Child (dalam Sylva dan Lunt, 1998) adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk kemajuan pembangunan. Salah satu lembaga pendidikan yang penting adalah perguruan tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan pendapatnya, berani tampil di muka umum, memiliki kepedulian sosial, dan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencapai tujuan. Komunikasi sebagai proses interaksi di antara orang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencapai tujuan. Komunikasi sebagai proses interaksi di antara orang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Komunikasi sebagai usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan mengunakan bahasa atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah periode perubahan dimana terjadi perubahan tubuh, pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU ASERTIF 1. Pengertian Perilaku Asertif Kata asertif berasal dari bahasa Inggris assertive yang berarti tegas dalam pernyataannya, pasti dalam mengekspresikan dirinya atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Istilah pubertas juga istilah dari adolescent yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci