INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO SADEWI MAHARANI A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO SADEWI MAHARANI A"

Transkripsi

1 INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO i SADEWI MAHARANI A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ii RINGKASAN SADEWI MAHARANI. Induksi Keragaman Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro. (Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA). Induksi mutasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman. Induksi mutasi melalui iradiasi sinar gamma yang dikombinasikan dengan kultur in vitro efektif untuk memperbaiki karakter suatu spesies dan memacu keragaman genetik yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan pemuliaan konvensional (persilangan buatan). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev), meningkatkan keragaman genetik serta mendapatkan mutan krisan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pemuliaan krisan lebih lanjut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Perlakuan iradiasi sinar gamma dilakukan di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Pengamatan stomata dilaksanakan di Laboratorium Mikro Teknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga November Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama adalah dua varietas krisan, yaitu Puspita Nusantara dan Dewi Ratih. Faktor kedua adalah lima dosis iradiasi sinar gamma, yaitu 0 (kontrol), 20, 40, 60, dan 80 Gy. Sumber eksplan yang digunakan untuk iradiasi sinar gamma adalah tunas pucuk krisan berumur 1 minggu setelah tanam (MST). Keragaan eksplan yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma seragam dengan rataan tinggi 1 cm, 2-3 daun, warna daun dan batang hijau, belum bertunas, belum berakar, dan belum berkalus. Media yang digunakan untuk perbanyakan tunas sebelum iradiasi adalah MS0, sedangkan media setelah perlakuan iradiasi adalah MS+1 ppm BAP.

3 iii Perlakuan iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata menghambat pertumbuhan tanaman krisan in vitro. Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, secara nyata semakin menghambat pertambahan tinggi tunas, pembentukan daun dan tunas pada kedua varietas, kecuali jumlah akar. Jumlah akar dipengaruhi oleh varietas krisan. Jumlah kloroplas dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi sinar gamma, sedangkan jumlah dan ukuran stomata berupa panjang dan lebar dipengaruhi oleh faktor tunggal dari varietas dan dosis iradiasi. Varietas Puspita Nusantara memiliki jumlah stomata yang lebih sedikit (13.96 stomata) dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih (19.25 stomata), tetapi memiliki panjang (46.14 µm) dan lebar (32.98 µm) stomata yang lebih besar jika dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih (37.60 dan µm). Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma maka ukuran panjang dan lebar stomata akan mengalami peningkatan. Nilai LD 50 planlet krisan varietas Dewi Ratih berada pada dosis Gy, sedangkan varietas Puspita Nusantara pada dosis Gy. Berdasarkan keragaman fenotipik, dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy pada kedua varietas krisan in vitro memiliki keragaman yang besar. Dosis 20 Gy dapat meningkatkan keragaman (bentuk, ukuran, dan warna daun) krisan. Dosis iradiasi 20 Gy menghasilkan 6 mutan (putatif) pada varietas Dewi Ratih dan 7 mutan (putatif) pada varietas Puspita Nusantara. Ciri mutan yang dihasilkan adalah daun kecil dan pinggir daun tidak bergerigi, perubahan warna batang menjadi kemerahan, kerdil, membentuk roset, dan menghasilkan daun variegata yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pemuliaan krisan lebih lanjut.

4 INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO The Variation Induction of Two Varieties of Chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev) with Gamma Irradiation by In Vitro Sadewi Maharani 1, Nurul Khumaida 2 1 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB Abstract The research aims were to study the effect of gamma irradiation doses on Chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev) and increasing the genetic diversit. The research were conducted at IPB Tissue Culture Laboratory, BATAN Laboratory, and IPB Micro Tehnique Laboratory, during February November This research used completely randomized design with two factors. The first factor is varieties of Chrysanthemum, including Dewi Ratih and Puspita Nusantara. The second factor is five doses of gamma irradiation (0, 20, 40, 60, 80 Gy). The result showed that the interaction between varieties with doses of gamma irradiation affected growth of plants and the number of chloroplast in guard cell. The number and size (length and width) of stomata were influenced by a varieties and and irradiation dose as a single factor. Increasing doses of gamma irradiation could increase the length and width of stomata. LD 50 of krisan planlets were obtained Gy for Dewi Ratih and Gy for Puspita Nusantara. The gamma radiation dose 20 Gy produced 13 potential mutant on Dewi Ratih and Puspita Nusantara varieties. Putative mutants characteristic showed small leaves and no serrated, reddish stems, stunted, rosette, and variegata leaves. Keywords: Chrysanthemum, Dewi Ratih, Puspita Nusantara, gamma irradiation, mutation

5 INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO iv Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor SADEWI MAHARANI A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 v Judul Nama NIM : INDUKSI KERAGAMAN DUA VARIETAS KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev) DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO : SADEWI MAHARANI : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi NIP Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP Tanggal lulus :

7 vi RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah pada 18 April Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Agus Munandar dan Ibu Sri Yustiaty. Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1994 di SD Negeri Inpres Palu. Penulis melanjutkan sekolah di SD Kintelan II pada tahun 1999, Yogyakarta. Setelah lulus tahun 2000, penulis melanjutkan studi di SMP 1 Palu hingga tahun Penulis menyelesaikan studi di SMA 1 Palu pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Setelah satu tahun melalui Tingkat Persiapan Bersama (TPB), tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama di IPB penulis mengikuti magang di Indoflowers Nursery selama satu bulan.

8 vii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Induksi Keragaman Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro. Iradiasi sinar gamma terhadap dua varietas krisan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keragaman genetik pada tanaman, khususnya tanaman hias. Variasi yang dihasilkan akibat iradiasi diharapkan akan menghasilkan mutan krisan yang unik dan berbeda dengan induknya sehingga akan memperkaya koleksi plasma nutfah tanaman hias. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Dewi Sukma, SP, MSi dan Dr. Ir. Desta Wirnas, MSi sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Dr. Dewi Sukma, SP. MSi sebagai pembimbing akademik yang telah memberi arahan dan bimbingan akademik. 4. Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI) atas bantuan penyediaan bahan penelitian berupa planlet krisan varietas Dewi Ratih dan Puspita Nusantara. 5. Staf Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman dan Mikro Teknik Departemen Agronomi dan Hortikultura atas bantuan dan kerja samanya. 6. Kedua orang tua yang selalu memberikan semangat kepada penulis dan semua keluarga yang telah memberikan bantuan dorongan yang tulus. 7. Kukuh Roxa, Megaria, Ester Yentina, Eka Sari, Anif, dan semua rekan AGH atas bantuan dan motivasinya. Semoga karya ilmiah ini berguna bagi semua pihak yang membutuhkan dan sebagai informasi untuk penelitian selanjutnya. Bogor, April 2011 Penulis

9 viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan... 4 Varietas Krisan... 8 Kultur Jaringan Tanaman... 9 Induksi Mutasi pada Tanaman Hias Iradiasi Sinar Gamma Stomata Kloroplas BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Persentase Eksplan Bertunas, Eksplan Berakar, dan Eksplan Berkalus.. 29 Tinggi Tunas Jumlah Daun Jumlah Tunas Jumlah Akar LD 50 pada Krisan In Vitro Keragaman Morfologi Tanaman Jumlah Stomata dan Jumlah Kloroplas pada Sel Penjaga Krisan In Vitro setelah Iradiasi Sinar Gamma KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix x xii

10 ix DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Jumlah dan persentase eksplan bertunas, eksplan berakar, dan eksplan berkalus pada 12 MSI Interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi terhadap tinggi tunas krisan pada 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 MSI Faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap tinggi tunas krisan pada 1, 2, 3, dan 4 MSI Interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi terhadap jumlah daun tanaman krisan pada 2, 3, 4, 5, dan 6 MSI Faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah daun tanaman pada 1, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 MSI Interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi terhadap jumlah tunas pada 1, 2, 3, dan 12 MSI Faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah tunas tanaman pada 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 MSI Interaksi antara varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah akar pada 1, 2, dan 3 MSI Faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah akar tanaman krisan pada 4, 6, 8, 10, dan 12 MSI Jumlah planlet hidup hingga 14 MSI Keragaman morfologi planlet krisan hasil iradiasi sinar gamma Koefisien keragaman fenotipik peubah yang diamati Faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah dan ukuran stomata krisan... 53

11 x DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Tipe Floret pada Krisan Bentuk Bunga Krisan Varietas Krisan Alat yang Digunakan dalam Penelitian Alur Kegiatan Penelitian Kondisi Eksplan Krisan In Vitro sebelum Perlakuan Iradiasi (1 MSI) Kondisi Eksplan Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara yang Terkontaminasi Keragaan Akar Krisan In Vitro Varietas (A) Puspita Nusantara dan (B) Dewi Ratih pada Dosis 20 Gy saat 7 MSI Kondisi Eksplan Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih pada Beberapa Dosis Iradiasi saat 2 MSI Planlet Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara saat 8 MSI LD50 Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih LD50 Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara Morfologi Daun Planlet Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara (PN) dan Dewi Ratih (DR) pada Dosis 0 Gy dan 20 Gy saat 12 MSI Mutan (putatif) Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih pada Dosis 20 Gy Mutan (putatif) Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada dosis 80 Gy Ukuran Daun Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada Dosis 0 Gy saat 4 MSI Warna Kalus Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara saat 3 MSI Struktur Stomata Krisan In Vitro Kontrol Varietas Puspita Nusantara Stomata Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih... 51

12 xi 20. Stomata Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara Jumlah Kloroplas Krisan In Vitro... 52

13 xii DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Komposisi Media Murashige-Skoog (MS) Sidik Ragam Tinggi Tunas Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Jumlah Daun Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Jumlah Tunas Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Jumlah Akar Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Jumlah Stomata Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Jumlah Kloroplas Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Panjang Stomata Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Sidik Ragam Lebar Stomata Krisan In Vitro Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma... 67

14 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) atau dikenal juga dengan seruni merupakan salah satu jenis tanaman hias populer yang digunakan sebagai bunga potong dan tanaman pot. Tanaman ini mempunyai bentuk mahkota yang beragam dan warna bunga yang bervariasi. Selain digunakan sebagai tanaman hias, krisan juga berpotensi digunakan sebagai tanaman obat tradisional. Krisan adalah komoditas penting dalam perdagangan tanaman hias dunia. Tanaman ini merupakan tanaman subtropis, namun telah banyak dikembangkan di daerah tropis, salah satunya di Indonesia. Daerah sentra produsen krisan di Indonesia antara lain Cipanas, Cisarua, Batu, Nangkojajar, Sukabumi, Lembang, Bandungan, dan Brastagi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi tanaman krisan di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun untuk memenuhi permintaan konsumen yang juga semakin meningkat. Tahun 2007 produksi krisan sebesar tangkai dan terus meningkat hingga mencapai tangkai pada tahun Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya permintaan konsumen terhadap tanaman hias adalah keragaman bentuk dan warna bunga. Hal ini menuntut para pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang mempunyai bentuk serta warna bunga yang lebih beraneka ragam. Varietas baru tersebut dapat diperoleh secara konvensional melalui persilangan buatan, namun membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dilakukan induksi mutasi sebagai salah satu upaya untuk menginduksi keragaman genetik tanaman dalam waktu yang lebih singkat. Induksi mutasi bertujuan untuk memperoleh krisan yang unik, baik bentuk maupun warna bunga karena selain kualitas dan mutu, tanaman hias akan bernilai ekonomis tinggi apabila memiliki keunikan tersendiri. Mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom yang bersifat mewaris (Poespodarsono, 1988). Induksi mutasi dapat dilakukan dengan penggunaan mutagen fisik, mutagen kimia

15 2 atau mutagen biologis. Perlakuan induksi mutasi dengan menggunakan mutagen fisik lebih efektif daripada menggunakan mutagen kimia. Kultur jaringan (in vitro) merupakan suatu teknik menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman pada lingkungan aseptik dengan menggunakan media buatan untuk berkembang menjadi tanaman sempurna. Induksi mutasi melalui kultur in vitro efektif untuk membantu pemuliaan baik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif maupun secara generatif karena dapat memperbaiki karakter suatu spesies dan memacu keragaman genetik yang lebih tinggi. Perubahan karakter dan perubahan genetik dapat terjadi pada fase sel maupun kalus pada tahap kultur in vitro karena adanya sel-sel yang mengalami mutasi. Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur jaringan adalah keseimbangan antara zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan hara yang dalam jumlah sedikit (<1 µm) dapat mendorong, menghambat dan merubah proses fisiologis tanaman. ZPT pada tanaman terdiri dari enam kelompok yaitu auksin, giberilin, sitokinin, etilen, asam absisat (ABA), dan retardan dengan ciri khas serta berpengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis tanaman. Menurut Wattimena (1998), sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah benzil amino purin (BAP) karena sifatnya lebih stabil, tidak mahal, mudah tersedia, bisa disterilisasi, dan efektif. Sinar gamma merupakan salah satu mutagen fisik yang lebih banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman. Menurut Crowder (2006), sinar gamma mempunyai energi iradiasi tinggi, yaitu di atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya. Ionisasi menyebabkan basa-basa dalam DNA salah berpasangan sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen. Rantai kromosom yang terputus akibat iradiasi pengion dapat mengubah struktur kromosom. Adanya perubahan atau kerusakan pada tingkat molekuler inilah yang dapat menyebabkan munculnya keragaman pada tanaman yang diiradiasi (Van Harten, 1998). Dosis iradiasi sinar gamma untuk meningkatkan keragaman tanaman berbeda-beda untuk setiap tanaman. Broertjes dan Van Harten (1988) melaporkan

16 3 bahwa kisaran dosis iradiasi sinar gamma pada berbagai jenis tanaman hias yang telah dicobakan berada pada selang yang cukup lebar, yaitu antara Gray. Pada tanaman krisan, sekitar 50% varietas yang ada adalah hasil induksi mutasi. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman genetik dua varietas krisan secara in vitro. 2. Meningkatkan keragaman genetik krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev). 3. Mendapatkan mutan krisan yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pemuliaan krisan lebih lanjut. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Terdapat dosis iradiasi yang dapat meningkatkan keragaman genetik dua varietas krisan secara in vitro. 2. Terdapat perbedaan respon dua varietas krisan terhadap perlakuan iradiasi yang diberikan. 3. Terdapat interaksi antara varietas krisan dengan dosis iradiasi sinar gamma 4. Terdapat mutan krisan yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pemuliaan krisan lebih lanjut.

17 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) berasal dari dataran Cina dan merupakan tanaman semusim atau tahunan yang sangat menarik dengan beragam jenis, bentuk, ukuran, dan warnanya. Krisan dapat disebut tanaman semusim bila siklus hidupnya selesai setelah bunga dipanen. Hal ini berbeda dengan krisan tahunan yang perlu dilakukan pemangkasan untuk menumbuhkan tunas-tunas baru agar dapat tumbuh kembali (Allard, 1960). Secara taksonomi, krisan dklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonaceae Ordo : Asterales (Compositae) Famili : Asteraceae Genus : Chrysanthemum/ Dendranthema Spesies : Dendranthema grandiflora Tzvelev Krisan merupakan tanaman herba atau semak. Menurut Cahyono (1999) bunga krisan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe spray dan standard. Tipe spray yaitu dari satu cabang tanaman tumbuh beberapa cabang bunga lateral (10-20 kuntum). Bunga terminal dari tipe ini akan tumbuh lebih cepat dibandingkan bunga lateral. Berbeda dengan tipe spray, pada tipe standard dari satu cabang hanya tumbuh satu bunga. Setiap bunga krisan terdiri atas banyak bunga yang disebut floret. Menurut Kofranek (1980) floret pada krisan terdiri atas dua tipe, yaitu ray floret dan disc floret yang berada di tengah bunga (Gambar 1). Floret yang terdapat pada bagian luar disebut ray floret. Floret yang terdapat pada bagian dalam disebut disk floret. Ray floret pada umumnya hanya mengandung pistil dan tidak mempunyai stamen dan polen, sedangkan disk floret mengandung dua alat reproduktif sehingga mempunyai banyak kemungkinan untuk menghasilkan biji.

18 5 A Gambar 1. Tipe Floret pada Krisan: (A) Ray Floret dan (B) Disc Floret Sumber: www. plantzafrica.com Bentuk bunga krisan berdasarkan perbedaan mahkotanya yang beragam. Variasi bentuk bunga tersebut antara lain single, anemone, pompon, decorative, spider, dan large-flowered incurve (bunga besar). Karakteristik bunga single adalah pada tiap tangkai hanya terdapat satu kuntum bunga, piringan bunga sempit, dan susunan mahkota bunga hanya satu lapis (Gambar 2a). Pada bunga anemone, bentuk bunga mirip bunga single tetapi piringan dasar bunga lebar dan tebal (Gambar 2b). Bunga pompon, bentuk bunga bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke semua arah, dan piringan dasar bunga tidak tampak (Gambar 2c). Bentuk bunga decorative bulat mirip pompon, tetapi mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek, dan bagian tepi memanjang (Gambar 2d). Bunga spider, mahkota relatif panjang seperti tabung dan melengkung di ujung (Gambar 2e). Pada bunga besar setiap tangkai terdapat satu kuntum bunga berukuran besar dengan diameter lebih dari 10 cm. Piringan dasar tidak tampak dan mahkota bunga memiliki banyak variasi, antara lain melekuk ke dalam atau keluar, pipih, panjang, berbentuk sendok, dan lain-lain (Gambar 2f) (Purwanto dan Martini, 2009). B

19 6 A B C D E F Gambar 2. Bentuk Bunga Krisan: (A) Single, (B) Anemone, (C) Pompon, (D) Decorative, (E) Spider, dan (F) Bunga Besar Sumber: (A) (B dan D) (C) (E) (F)

20 7 Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek (short day plant) yang membutuhkan panjang hari dengan batas kritis jam. Krisan akan tetap tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterima lebih dari batas kritisnya dan akan terinduksi ke fase generatif (inisiasi bunga) bila panjang hari yang diterima kurang dari batas kritisnya. Di Indonesia panjang hari dan panjang malam hampir sama yaitu 12 jam sehingga diperlukan penambahan cahaya dengan tujuan memperpanjang fase vegetatif agar bagian vegetatif tanaman dapat tumbuh kuat dan dapat mengatur ketinggian tanaman. Oleh sebab itu, perlu bantuan cahaya dari lampu TL dan lampu pijar. Menurut Marwoto (1999), penyinaran paling baik di tengah malam antara jam dengan lampu 150 watt untuk areal 9 meter persegi, dan lampu dipasang setinggi 1.5 meter dari permukaan tanah. Krisan berasal dari daerah subtropis sehingga suhu yang terlalu tinggi merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Suhu terbaik untuk pertumbuhan krisan di daerah tropis adalah C (siang hari) dan 18 C (malam hari) dengan kelembaban udara 70-80% (Rukmana dan Mulyana, 1997). Toleransi kisaran suhu untuk tetap tumbuh baik adalah antara C. Suhu yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan sehingga menimbulkan pertumbuhan vegetatif yang berkepanjangan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan memudar. Bunga krisan dibudidayakan oleh petani kecil hingga pengusaha besar pada lahan dengan ketinggian meter di atas permukaan laut (m dpl). Tanaman ini tumbuh baik pada tanah dengan drainase baik, tekstur liat berpasir dengan ph sedikit asam ( ) dan mengandung bahan organik tinggi. Tanaman krisan tidak tahan terhadap hempasan angin dan curah hujan secara langsung, sehingga perlu ditanam di bawah naungan. Rukmana dan Mulyana (1997) menyatakan bahwa hujan deras yang langsung menerpa tanaman krisan menyebabkan tanaman mudah roboh, rusak, dan kualitas bunganya rendah. Krisan yang ditanam di dalam rumah kaca dengan intensitas cahaya dan transpirasi yang tinggi akan menghasilkan bunga dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang ditanam di luar rumah kaca.

21 8 Varietas Krisan Varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang dibudidayakan di Indonesia merupakan jenis krisan lokal, yaitu krisan yang berasal dari luar negeri tetapi telah lama dan beradaptasi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) telah merakit sekitar 24 varietas baru seperti Puspita Nusantara, Sakuntala, Dewi Ratih, Dewi Sartika, Pitaloka, Nyi Ageng Serang, Puspita Pelangi, dan Puspita Asri. A B Gambar 3. Varietas Krisan: (A) Dewi Ratih dan (B) Puspita Nusantara Sumber: Krisan varietas Dewi Ratih (Gambar 3A) dengan dirilis tahun 2000 dengan tim pemulia Budi Marwoto, Jan de Jong, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga spray yang mempunyai warna bunga pita ungu dengan bentuk bunga tunggal. Tinggi tanaman mencapai cm, bentuk daun lonjong menjari, lekukan dangkal, tepi bergerigi. Diameter bunga berukuran 6.5 cm dengan panjang tangkai cm. Umur tanaman hari. Inisiasi bunga terjadi hari setelah hari panjang. Lama kesegaran bunga dalam vas (vase life) 14 hari. Varietas ini adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi 2). Krisan varietas Puspita Nusantara (Gambar 3B) dengan nama genus Chrysanthemum morifolium Ramat dirilis tahun 2003 dengan tim pemulia Budi 2) [19 Desember 2009]

22 9 Marwoto, Lia Sanjaya, dkk. Varietas ini memiliki tipe bunga spray dengan bentuk bunga tunggal. Tinggi tanaman cm, tidak menyemak, warna batang hijau. Warna hijau daun bagian atas sedang, warna permukaan bawah daun kuning hijau. Varietas Puspita Nusantara adalah hasil persilangan antara Town Talk dan Saraswati. Umur tanaman krisan varietas Puspita Nusantara hari. Inisiasi bunga 33 hari setelah penyinaran buatan dihentikan. Varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit tanaman induk produktif yaitu penyakit karat. Adaptif pada dataran medium dan dataran tinggi. Lama kesegaran bunga dalam vas (vase life) selama 14 hari 2). Kultur Jaringan Tanaman Pemuliaan konvensional melalui persilangan buatan dapat menghasilkan populasi F1 yang memiliki kombinasi sifat positif dari kedua tetuanya. Namun, untuk mendapatkan suatu kombinasi sifat yang diinginkan harus dibentuk populasi persilangan yang sangat banyak, terlebih bila para pemulia berhadapan dengan komoditas tanaman hias poliploid, seperti krisan. Dengan demikian untuk menghasilkan varietas unggul, maka frekuensi persilangan harus ditingkatkan. Menurut Sanjaya, et. al. (2004), persilangan konvensional membutuhkan tenaga kerja, waktu dan biaya yang sangat besar. Selain itu, krisan mempunyai sistem self incompability tinggi yang menyebabkan banyak persilangan antar individu di dalam dan di luar kerabat tidak sukses. Keberhasilan hibridisasi berkisar 5% sampai 50% persilangan dalam kerabat yang kompatibel. Oleh karena itu, induksi mutasi secara in vitro merupakan alternatif yang digunakan pemulia tanaman untuk meningkatkan keragaman tanaman. Menurut Gamborg (1991) kultur jaringan (in vitro) merupakan suatu teknik menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Sel yang berasal dari spesies tanaman dikulturkan secara aseptik pada media kultur berupa media padat atau cair. Media kultur terdiri atas komponen utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, gula sebagai sumber karbon, vitamin, dan zat pengatur tumbuh. Komponen lain berupa senyawa nirogen organik, berbagai asam organik, dan metabolit yang dapat meningkatkan ketahanan sel.

23 10 Dasar teori kultur jaringan adalah totipotensi sel, dimana setiap sel memiliki kemampuan membentuk tanaman lengkap. Keberhasilan dalam metode in vitro dipengaruhi oleh media kultur yang digunakan. Media kultur yang umum digunakan adalah Murashige dan Skoog (Lampiran 1). Media MS mengandung jumlah hara anorganik yang layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur. Menurut Wattimena et al. (2011), teknik kultur jaringan memiliki beberapa manfaat dalam pemuliaan tanaman, yaitu 1) manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia tertentu dan meregenerasikan jaringan tertentu seperti endosperm (3n); 2) produksi tanaman haploid dan dihaploid yang homogenus melalui kultur antera atau mikrospora; 3) polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang secara normal mengalami abortif; 4) hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplas; 5) induksi variasi somaklonal; dan 6) transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu yang diinginkan. Selain itu, teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk produksi metabolit sekunder seperti shikonin, saponin, dan lain-lainya. Menurut Maluszynki et al. (1995), induksi mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro efektif untuk membantu pemuliaan baik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif maupun secara generatif karena dapat memperbaiki karakter suatu spesies dan memacu keragaman genetik yang lebih tinggi. Perubahan karakter dan perubahan genetik dapat terjadi pada fase sel maupun kalus pada tahap kultur in vitro karena adanya sel-sel yang mengalami mutasi. Metode in vitro tidak hanya digunakan dalam perbanyakan tanaman secara cepat dan masal, namun juga dilakukan untuk eliminasi virus, produksi bahan metabolit sekunder, preservasi atau penyimpanan plasma nutfah dan perbaikan tanaman. Iradiasi pada kultur in vitro memberi peluang terjadinya mutasi dengan laju mutasi lebih tinggi dibandingkan tanaman yang diperbanyak melalui biji (Welsh, 1991). Materi genetik atau bahan tanaman (eksplan) yang digunakan pada perlakuan iradiasi dalam kultur jaringan berasal dari bahan yang sel-selnya sedang aktif membelah (meristematik), seperti kalus, benih, mata tunas, ovul, dan batang atas tanaman (Mariska et al., 1996).

24 11 Induksi Mutasi pada Tanaman Hias Variasi genetik mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan keragaman genetik suatu tanaman. Crowder (2006) menyatakan bahwa variasi genetik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi. Salah satu metode yang dianggap efektif untuk menimbulkan keragaman, khususnya pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah melalui induksi mutasi, karena dapat mengubah satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya. Menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, tetapi lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif tumbuh dan membelah (jaringan meristem) seperti tunas. Allard (1960) menyatakan bahwa mutasi dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutagen fisik yang berupa iradiasi dan mutagen kimia adalah agen-agen mutasi yang potensial untuk menginduksi mutasi buatan. Kedua mutagen tersebut dapat menyebabkan perubahan kromosomal, seperti pemotongan dan perubahan susunan kromosom sehingga menyebabkan perubahan genetik yang lebih akurat. Menurut Welsh (1991), mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan nukleotida DNA yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dosis mutagen yang diberikan. Makin tinggi dosis mutagen, makin besar peluang kemungkinan terjadi mutasi, tetapi juga dapat menyebabkan kematian sel tanaman. Perlakuan mutagen akan mengubah genotip dalam pola acak. Perubahan gen dipengaruhi oleh dosis mutagen, umur dan tipe jaringan, serta faktor fisik (kelembaban dan suhu). Menurut Poespodarsono (1988), terjadinya mutasi pada suatu populasi akan menyebabkan keragaman pada populasi tersebut. Pemuliaan dengan mutasi memilki beberapa kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk bekerja pada gen spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh melalui proses mutasi. Akan tetapi bagi komoditas tanaman hias, bentuk

25 12 mutan apapun asalkan unik, menarik, dan stabil akan dapat dijadikan varietas baru yang menguntungkan di pasaran. Induksi mutasi pada tanaman hias telah dilakukan sejak tahun Namun, mutasi induksi baru diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1967 sejak berdirinya Instalasi Sinar 60 Co di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan berkembang secara intensif pada tahun 1972 (Soedjono, 2003). Saat ini pengembangan induksi mutasi pada tanaman hias, khususnya krisan diarahkan untuk memperoleh tanaman baru yang mempunyai tipe, bentuk, dan warna bunga yang berbeda dengan induknya, umur berbunga relatif pendek, produktivitas bunga yang tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Perkembangan mutan komersial telah banyak dilaporkan selama 30 tahun terakhir. Pada tanaman krisan, sekitar 50% varietas yang ada adalah hasil induksi mutasi. Iradiasi Sinar Gamma Mutagen dikelompokkan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutasi yang banyak dilakukan adalah menggunakan mutagen fisik dengan iradiasi atau penyinaran, terutama yang diaplikasikan pada tanaman hias. Sinar gamma merupakan mutagen fisik yang lebih sering digunakan oleh pemulia tanaman untuk meningkatkan keragaman genetik. Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu nm dengan sumber utama iradiasi adalah isotop Cobalt-60 ( 60 Co). Sinar gamma dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak mempunyai massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi iradiasi tinggi, yaitu di atas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang dilewatinya (Crowder, 2006). Penggunaan eksplan dari bagian tanaman yang bersifat meristematik, yaitu sel yang sedang aktif tumbuh dan membelah akan lebih sensitif terhadap iradiasi. Hasil penelitian Handayani (2006) menunjukkan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan iradiasi pada tanaman antara lain

26 13 genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia perkembangan sel tanaman, temperatur dan dosis iradiasi. Gen merupakan sasaran dari iradiasi. Menurut Aisyah (2006), iradiasi mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektronelektron dari atomnya. Ionisasi dari iradiasi sinar gamma terjadi menyebar sepanjang jalur ionisasi partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom (seperti partikel alpha) terlempar akibat iradiasi, ionisasi menjadi lebih rapat terkonsentrasi di daerah tersebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan molekul-molekul di sepanjang jalur ion yang tertinggal karena iradiasi. Pengelompokan baru ini menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada mutasi gen atau pada kerusakan atau pengaturan kembali kromosom. Pada proses ionisasi, terbentuk radikal positif dan eletron bebas. Elektron terperangkap, dan ion radikal yang sangat tidak stabil dan reaktif dapat bereaksi dengan molekul lain. Elektron bebas yang berada dalam larutan air akan mempolarisasi molekul air menjadi elektron terhidrasi. Radikal bebas yang berasal dari larutan akhirnya akan berekombinasi membentuk molekul yang stabil. Molekul oksigen bereaksi dengan radikal bebas hasil iradiasi membentuk peroxyradicals. Ionisasi menyebabkan basa-basa dalam DNA salah berpasangan. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi gen. Perlakuan dengan iradiasi pengionisasi paling sering menghasilkan mutasi-mutasi dengan dengan cara menginduksi delesi kecil pada DNA (Poespodarsono, 1988). Van Harten (1998) menambahkan bahwa rantai kromosom yang terputus akibar iradiasi pengion dapat mengubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi, dan translokasi). Ionisasi yang terjadi pada atau di dekat kromosom dapat mengakibatkan terputusnya ikatan kimia sehingga terjadi perubahan di dalam inti sel, baik perubahan struktur gen, delesi gen atau sekuen-sekuen DNA, patahnya sentromer, kehilangan atau penambahan kromosom, dan sebagainya. Adanya kerusakan pada tingkat molekuler inilah yang dapat menyebabkan munculnya keragaman pada tanaman yang diiradiasi. Keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui iradiasi sinar gamma, tetapi memerlukan dosis iradiasi yang bebeda-beda untuk setiap tanaman.

27 14 Satuan dosis iradiasi sinar gamma yang umum digunakan adalah rad per detik (radiation absorbed dose) atau Gray (Gy) per detik, yaitu jumlah dosis terserap per satuan waktu. 1 rad = 100 erg/g = 10 joule/kg; 1 Gy = 100 rad = 0.1 krad. Herison et al. (2008) menyatakan bahwa dosis iradiasi untuk meningkatkan keragaman tanaman dipengaruhi oleh radiosensivitas, yaitu tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi yang berbeda-beda untuk setiap tanaman. Tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal (LD 50 ). LD 50 merupakan dosis yang dapat mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang mendapat perlakuan iradiasi. Mutasi yang diharapkan terletak pada kisaran LD 50 atau tepatnya pada dosis sedikit di bawah LD 50. Broertjes dan Van Harten (1988) melaporkan kisaran dosis iradiasi sinar gamma pada berbagai jenis tanaman hias yang telah dicobakan berada pada selang yang masih cukup lebar, yaitu antara gray. Datta (2001) menemukan dosis optimum stek pucuk tanaman krisan yang menghasilkan frekuensi mutan tertinggi terdapat pada dosis 25 Gy dan Gy untuk krisan in vitro. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wulandari (2001), diperoleh bahwa dosis optimum untuk meningkatkan keragaman morfologi tanaman krisan adalah pada dosis 10 Gy dengan persentase kemunculan mutan tertinggi pada dosis 20 Gy. Stomata Stomata merupakan suatu celah pada jaringan epidermis yang berfungsi selama proses fotosintesis. Stomata dibatasi oleh dua sel penjaga yang di dalamnya mengandung kloroplas. Sel penjaga mengontrol diameter stomata dengan cara mengubah bentuk yang akan menyempitkan atau melebarkan celah di antara kedua sel tersebut. Ketika sel penjaga mengambil air melalui osmosis, sel penjaga akan membengkak. Ketika sel kehilangan air, menjadi lembek, serta mengkerut, sel-sel tersebut akan mengecil secara bersamaan kemudian menutup ruangan diantaranya (Campbell, 2004). Padney (1982) menyatakan bahwa stomata berfungsi sebagai pengatur penguapan, pengatur masuknya CO 2 dari udara dan keluarnya O 2 ke udara selama berlangsungnya fotosintesis. Penyebaran stomata untuk setiap daun bervariasi,

28 15 di permukaan epidermis atas, bawah atau berada di kedua permukaannya. Menurut Purwanti (2007), stomata terdapat di kedua permukan daun, tetapi umumnya terdapat pada permukaan bawah dan jumlahnya lebih banyak daripada permukaan atas. Tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan kutikula dan dinding sel lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil, serta tekstur daun keras. Stomata eksplan yang dihasilkan secara in vitro memiliki panjang dan lebar yang relatif sama karena aktifitas respirasi tinggi (Namli dan Ayaz, 2007). Kloroplas Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi. Energi iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008). Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga menentukan tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai jumlah kloroplas sel penjaga sebanyak 11 12, yaitu sekitar dua kali lipat dari tanaman haploidnya dengan jumlah 6 7. Pada umumnya, perubahan genetik yang mencakup perubahan tingkat ploidi, dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel yang tinggi. Poliploidi merupakan gejala yang umum dan tersebar luas dalam tumbuhan. Hasil penelitian Perwati (2009) tentang analisis derajat plodi pada Adiantum raddianum menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan penambahan ukuran sel. Bertambahnya ukuran sel merupakan refleksi dari bertambahnya ukuran vakuola dan kandungan air yang semakin banyak. Selain itu diketahui bahwa terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring meningkatnya derajat ploidi. Suryo (2007) menyatakan bahwa tanaman poliploid mempunyai kromosom yang lebih banyak dari pada diploidnya. Sifat umum dari tanaman

29 16 poliploid adalah tanaman lebih kekar, bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar (akar, batang, daun), sel-selnya (sel epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih besar. Selain itu, pada kebanyakan spesies tangkai dan helaian daun menjadi lebih tebal.

30 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi sinar gamma dilakukan di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Pengamatan stomata dilakukan di Laboratorium Mikro Teknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga November Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplan steril dari dua varietas krisan, yaitu Dewi Ratih dan Puspita Nusantara yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI). Media dibedakan menjadi dua, yaitu media perbanyakan dan media perlakuan. Komposisi media yang digunakan untuk perbanyakan adalah MS0, sedangkan komposisi media setelah perlakuan adalah MS dengan tambahan ZPT berupa 1 ppm BAP, agar sebagai bahan pemadat media dan sukrosa sebagai sumber karbohidrat. Bahan lain yang digunakan adalah alkohol 70%, aquades, spirtus, chlorox, karet, wrap, dan tisu. Bahan untuk pengamatan stomata adalah selotip dan preparat. Alat yang digunakan terdiri atas peralatan gelas, alat untuk sterilisasi, dan alat-alat lain. Peralatan gelas meliputi botol kultur, botol ukur, gelas piala, erlenmeyer, labu takar, cawan petri, dan gelas ukur. Alat untuk sterilisasi yaitu autoklaf, Laminar air flow cabinet, lampu bunsen, pinset, gunting, dan scalpel. Alat-alat lainnya adalah ph meter, timbangan analitik, plastik transparan, karet gelang, sprayer, rak kultur, serta alat pendukung untuk pengamatan. Iradiasi sinar gamma dilakukan di dalam radiator Gamma Chamber 4000A (Gambar 4A)). Alat untuk pengamatan stomata adalah mikroskop cahaya (Gambar (4B)) dan silet.

31 18 A B Gambar 4. Alat yang Digunakan dalam Penelitian; (A) Gamma Chamber 4000A dan (B) Mikroskop Cahaya Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua faktor yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah varietas krisan, yaitu Puspita Nusantara dan Dewi Ratih. Faktor kedua adalah dosis iradiasi yang terdiri atas lima taraf, yaitu 0 (kontrol), 20, 40, 60, dan 80 Gy. Terdapat 10 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi terdiri atas 10 ulangan sehingga terdapat 100 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas dua planlet sehingga terdapat 200 planlet. Model linear aditif rancangan percobaan yang digunakan: i = 1, 2 j = 1, 2, 3, 4, 5 Yij = μ + α i + β j + (αβ) i j + ε i j k = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 Yij = Nilai pengamatan pengaruh faktor varietas ke-i, faktor dosis iradiasi kej, dan ulangan ke-k µ = Rataan umum hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan α i β j = Pengaruh faktor varietas ke-i = Pengaruh faktor dosis iradiasi ke-j (αβ) i j = Pengaruh interaksi faktor varietas ke-i dengan faktor dosis iradiasi ke-j ijk = Galat percobaan

32 19 Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan uji F. Jika berbeda nyata, maka akan dilakukan uji lanjut dengan DMRT pada dosis 5%. Keragamaan fenotipik (σ 2 f) dihitung melalui perbandingan antara ragam fenotipik (σ 2 f) dengan standar deviasi ragam fenotipik (Sd σ 2 f) dari variabel yang diamati. Nilai ragam fenotipik dihitung berdasarkan Steel and Torie (1995) sebagai berikut: σ 2 f = Keterangan: σ 2 f = ragam fenotipik X i = nilai rata-rata genotipe ke-1 n = jumlah genotipe yang di uji Standar deviasi ragam fenotipik (Sd σ 2 f) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Sd σ 2 f = σ Kriteria terhadap keragaman dihitung sebagai berikut: σ 2 f 2* Sd (σ 2 f) luas σ 2 f < 2* Sd (σ 2 f) sempit Pelaksanaan Penelitian Pelaksaan penelitian terdiri atas lima tahap, yaitu tahap persiapan, perbanyakan planlet, perlakuan iradiasi sinar gamma, penanaman eksplan setelah iradiasi, dan pengamatan stomata serta kloroplas (Gambar 5). 1. Tahap Persiapan a) Sterilisasi Alat dan Media Sterilisasi bertujuan untuk membersihkan alat dan media yang akan digunakan dalam penelitian. Peralatan tanam dan botol kultur yang telah dicuci bersih dimasukkan ke dalam autoklaf dengan tekanan 17.5 psi (pound per square inch) dan suhu 121 o C. Sterilisasi peralatan dilakukan selama 30 menit, sedangkan sterilisasi media dilakukan selama 15 menit. Laminar air flow cabinet dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan dengan tisu untuk menjaga agar laminar tetap steril. Alat dan bahan-

33 20 bahan yang akan digunakan juga disemprotkan dengan alkohol 70% sebelum dimasukkan ke dalam laminar. b) Pembuatan Media Perbanyakan dan Media Perlakuan Media perbanyakan yang digunakan adalah media MS0 dengan komposisi sesuai standar (Lampiran 1). Tahap awal adalah pembuatan larutan stok yang terdiri atas laruran stok A, B, C, D, E, F, Vitamin, dan Myo-Inositol untuk volume larutan 1 liter. Sukrosa ditambahkan sebagai sumber energi dan agar sebagai bahan pemadat media. ph media diatur hingga mencapai 5,8 dengan menambahkan HCI atau NaOH. Media kultur yang digunakan setelah perlakuan iradiasi adalah MS padat yang ditambahkan 1 ppm BAP. ph media diatur hingga mencapai 6. Media dimasukkan ke dalam botol kultur lalu ditutup dengan plastik bening dan diberi label sesuai perlakuan. Botol kultur yang telah berisi media disterilisasi dengan autoklaf pada tekanan 17.5 psi dan suhu 121 o C selama 20 menit, kemudian disimpan di ruang kultur. 2. Perbanyakan Eksplan Perbanyakan eksplan dengan tunas dilakukan selama delapan minggu menggunakan media MS0. Setiap satu botol kultur terdiri atas lima eksplan krisan. Perbanyakan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet yang telah disterilisasi dengan alkohol 70% dan disinari dengan UV selama satu jam. Alat yang digunakan disterilisasi dengan alkohol 70% terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam laminar. Setelah eksplan krisan mencukupi 200 eksplan, lalu dilakukan persiapan untuk perlakuan iradiasi sinar gamma, yaitu penyeragaman tinggi dan jumlah daun pada media MS0. Eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk dari eksplan krisan dengan panjang 0.5 cm dengan 2-3 daun. Setiap satu botol kultur hanya terdiri dari dua eksplan krisan. Eksplan yang telah ditanam di dalam botol kultur, lalu ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet gelang. Setelah itu, botol kultur dipindahkan ke ruang kultur (suhu 16 o C) selama 1 minggu.

34 21 3. Perlakuan Iradiasi Sinar Gamma Eksplan krisan yang telah berumur 1 MST (minggu setelah tanam) dengan tinggi 1 cm diberi perlakuan iradiasi. Iradiasi dilakukan di Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Iradiasi (PATIR) dengan menggunakan alat Gamma Chamber 4000A pada dosis 20, 40, 60 dan 80 Gy, kecuali eksplan yang akan dijadikan kontrol (0 Gy). 4. Penanaman Eksplan Setelah Iradiasi Tunas pucuk krisan yang telah diiradiasi sesuai dosis perlakuan segera disubkultur pada media perlakuan berupa MS dengan tambahan 1 ppm BAP, pada hari yang sama. Hal ini disebabkan karena media yang terkena iradiasi bersifat toksik bagi tanaman. Setiap satu botol kultur hanya terdiri dari dua eksplan krisan agar tidak terjadi persaingan nutrisi antar eksplan dan memudahkan dalam pengamatan. Subkultur dilakukan setelah 10 MSI (minggu setelah iradiasi) dengan cara memindahkan eksplan ke media baru dengan komposisi yang sama dengan media perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mencukupi hara yang dibutuhkan oleh tanaman karena nutrisi yang ada pada media sebelumnya telah diserap tanaman. 5. Pengujian Stomata dan Kloroplas Pengamatan stomata dilakukan saat 14 MSI (minggu setelah iradiasi) di Laboratorium Mikro Teknik. Pengamatan stomata dilakukan dengan menggunakan 10 daun sebagai ulangan untuk masing-masing perlakuan iradiasi, kecuali perlakuan di atas 20 Gy. Stomata yang diamati adalah stomata yang berada di permukaan bawah daun. Setiap ulangan berasal dari planlet yang berbeda. Daun yang digunakan untuk pengamatan stomata adalah daun tua yang berada di bagian bawah dari planlet. Stomata dan kloroplas diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali dengan luas bidang pandang 0.28 mm 2. Alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 5.

35 22 Pengamatan Pengamatan dilakukan pada 0-12 MSI terhadap dua peubah, yaitu: 1. Kuantitatif, pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali dari 0-12 MSI. Variabel yang diamati antara lain : Persentase kontaminasi Pengamatan dilakukan pada 1 MSI terhadap tanaman dan media yang terkontaminasi oleh cendawan atau bakteri. Waktu munculnya tunas, akar, dan kalus pertama Pengamatan dilakukan pada 1 hari setelah iradiasi (HST) untuk mengetahui waktu terbentuknya tunas, akar, dan kalus pertama kali. Tinggi tunas Tinggi tunas diukur dari permukaan media sampai titik tumbuh tanpa mengeluarkan planlet dari botol kultur. Jumlah dan persentase eksplan bertunas Pengamatan dilakukan untuk melihat jumlah dan persentase eksplan yang membentuk tunas. Jumlah dan persentase eksplan berkalus Pengamatan dilakukan untuk melihat jumlah dan persentase eksplan yang membentuk kalus. Jumlah dan persentase eksplan berakar Pengamatan dilakukan untuk melihat jumlah dan persentase eksplan yang membentuk akar. Jumlah tunas Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tunas yang dibentuk oleh setiap eksplan. Jumlah daun Pengamatan dilakukan terhadap jumlah daun yang telah membuka sempurna yang dibentuk oleh setiap eksplan. Jumlah akar Pengamatan dilakukan terhadap jumlah akar yang dibentuk oleh setiap eksplan.

36 23 Jumlah stomata dan kloroplas Jumlah stomata dan kloroplas diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 400 kali dengan luas bidang pandang 0.28 mm 2. Stomata yang diamati berasal dari permukaan bawah daun. Kloroplas yang diamati merupakan jumlah kloroplas di dalam dua sel penjaga. 2. Kualitatif, pengamatan dilakukan setiap dua minggu sekali sejak 1-12 MSI saat eksplan di dalam botol. Variabel yang diamati antara lain : Perubahan warna, ukuran, dan bentuk daun Pengamatan dilakukan secara visual terhadap warna dan ukuran daun tanpa mengeluarkan tanaman dari botol kultur. Pengamatan terhadap perubahan bentuk daun, yaitu bergerigi, bergelombang atau perubahan lain. Perubahan warna batang Perubahan warna kalus

37 Stok planlet krisan varietas Dewi Ratih dan varietas Puspita Nusantara 24 Perbanyakan planlet Persiapan alat Persiapan media dan bahan tanam Perbanyakan tunas di media dasar (MS0) Perlakuan iradiasi sinar gamma pada tunas in vitro Inkubasi di ruang kultur Subkultur eksplan setelah iradiasi ke media perlakuan Pengamatan: - Jumlah dan persentase kontaminasi - Waktu munculnya akar, tunas, dan kalus pertama - Tinggi planlet - Jumlah dan persentase eksplan berkalus, berakar, dan bertunas - Perubahan warna dan ukuran daun - Perubahan warna batang - Perubahan warna kalus - Jumlah stomata dan kloroplas Gambar 5. Alur Kegiatan Penelitian

38 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian diawali dengan perbanyakan planlet krisan dari kedua varietas yang diuji, yaitu varietas Dewi Ratih dan varietas Puspita Nusantara. Perbanyakan dilakukan dengan menggunakan satu buku tunas, dimana di dalam setiap botol kultur terdiri dari lima eksplan krisan. Media perbanyakan yang digunakan berupa media dasar, yaitu MS0 (Lampiran 1). Penyimpanan eksplan hasil perbanyakan dilakukan di dalam ruang kultur yang bersuhu o C dengan pencahayaan penuh selama 24 jam. Eksplan yang digunakan untuk perlakuan iradiasi sinar gamma berupa tunas pucuk yang berumur 1 minggu setelah tanam (MST). Keragaan eksplan seragam dengan rataan tinggi 1 cm, 2-3 daun, warna daun dan batang hijau, belum bertunas, belum berkalus, dan belum berakar (Gambar 6). Tunas yang telah diiradiasi dipindahkan ke media perlakuan, yaitu MS ditambah 1 ppm BAP. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah dari 0 MSI (minggu setelah iradiasi) hingga 12 MSI selama satu minggu sekali. A B Gambar 6. Kondisi Eksplan Krisan In Vitro (A) Varietas Dewi Ratih dan (B) Puspita Nusantara sebelum Perlakuan Iradiasi (1 MSI)

39 Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Varietas, Dosis Iradiasi, dan Interaksinya terhadap Beberapa Peubah Krisan In Vitro 26 Peubah Tinggi Tunas Jumlah Daun Jumlah Tunas Jumlah Akar Umur Dosis Iradiasi Interaksi KK Varietas (MSI) (Gy) (V x D) (%) 1 tn tn tn tn tn tn tn ** tn * ** tn * ** * * ** * tn ** * tn ** * * ** ** * ** ** * ** ** ** ** ** ** tn tn ** ** * ** ** * ** ** ** ** ** ** ** ** ** tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn ** * * * ** * * ** ** tn ** tn tn ** tn tn ** tn * ** tn * ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** * ** ** ** ** tn ** ** tn ** ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn ** tn tn 91.52

40 Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Varietas, Dosis Iradiasi, dan Interaksinya terhadap Beberapa Peubah Krisan In Vitro (Tabel Lanjutan) Peubah Keterangan: tn = tidak berpengaruh nyata (p > 5%) * = berpengaruh nyata (p < 5%) ** = berpengaruh sangat nyata (p < 1%) Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1), varietas dan dosis iradiasi berpengaruh nyata terhadap beberapa peubah yang diamati. Varietas berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas dan jumlah tunas pada beberapa umur tanaman. Pada peubah jumlah daun, varietas berpengaruh sangat nyata dari 1-6 MSI, sedangkan pada peubah jumlah akar, varietas berpengaruh sangat nyata dari 1-12 MSI. Varietas juga berpengaruh nyata terhadap jumlah, panjang, dan lebar stomata. Umur (MSI) Varietas Dosis Iradiasi (Gy) Dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas, jumlah daun, jumlah tunas, jumlah kloroplas, jumlah stomata, serta panjang dan lebar stomata. Pada peubah peubah jumlah tunas, dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata pada 2-12 MSI. Berbeda halnya dengan jumlah akar, dosis iradiasi yang diberikan hanya berpengaruh sangat nyata pada 1 MSI dan selanjutnya tidak berpengaruh nyata pada peubah tersebut. Hal ini diduga karena iradiasi yang diberikan tidak merusak atau mengganggu pembelahan sel pada akar. Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi antara varietas krisan dengan dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan. Interaksi berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tunas saat 5-12 MSI dan jumlah daun saat 2-6 MSI. Pada peubah jumlah tunas dan jumlah akar, interaksi hanya berpengaruh nyata hanya pada awal pertumbuhan tanaman, yaitu 1-3 MSI, namun selanjutnya tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata. Pada peubah jumlah tunas, interaksi kembali berpengaruh saat 12 MSI. Selain itu, interaksi antara varietas juga berbeda nyata pada peubah jumlah kloroplas krisan in vitro. Interaksi (V x D) KK (%) Jumlah kloroplas 14 tn ** ** Jumlah stomata 14 ** ** tn Panjang stomata 14 ** ** tn Lebar stomata 14 ** ** tn

41 28 Eksplan setelah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma umumnya mengalami penghambatan pertumbuhan, berbeda dengan dosis 0 Gy yang digunakan sebagai kontrol. Beberapa eksplan dengan perlakuan dosis di atas 20 Gy bahkan mengalami perubahan warna daun dari hijau menjadi kecoklatan (browning) dan kemudian terserang mikroorganisme. Kontaminasi mulai terlihat pada 4 MSI, dengan persentase yang semakin meningkat setiap minggu. Tingkat kontaminasi pada varietas Dewi Ratih dan Puspita Nusantara adalah sebesar 14%. Berdasarkan pengamatan selama penelitian berlangsung, kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Planlet masih bisa diselamatkan apabila cendawan atau bakteri belum menyerang bagian dari eksplan. Eksplan tersebut harus disterilisasi kembali dengan menggunakan chlorox 5% dan disimpan di ruang kultur. Namun, sebagian besar cendawan dan bakteri menyerang bagian bawah eksplan sehingga tidak dapat diselamatkan (Gambar 7). A B Gambar 7. Kondisi Eksplan Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara yang Terkontaminasi (A) Cendawan dan (B) Bakteri saat 4 MSI *Tanda panah menunjukkan kontaminan Eksplan yang telah disterilisasi dapat menjadi steril kembali atau kemungkinan lainnya adalah eksplan menjadi mati karena tidak tahan terhadap bahan sterilan berupa chlorox 5%. Banyaknya kerusakan pada sel menyebabkan semakin rendahnya peluang suatu tanaman untuk hidup. Eksplan yang telah mati, baik akibat cendawan dan bakteri dinyatakan sebagai data hilang dan tidak akan diamati pada minggu selanjutnya. Penularan kontaminasi oleh mikroorganisme dalam kultur jaringan dapat menyebabkan

42 pertumbuhan eksplan terhambat, pembentukan akar terganggu, mengakibatkan penularan pada kultur steril. 29 Persentase Eksplan Bertunas, Eksplan Berakar, dan Eksplan Berkalus Tunas pucuk (shoot tip) eksplan krisan yang telah diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis Gy memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan eksplan, baik pada varietas Dewi Ratih maupun varietas Puspita Nusantara. Peningkatan dosis iradiasi yang diberikan umumnya menghambat pembentukan tunas, akar, dan kalus serta pertumbuhan eksplan krisan (Tabel 2). Tabel 2. Jumlah dan Persentase Eksplan Bertunas, Eksplan Berakar, dan Eksplan Berkalus Krisan In Vitro pada 12 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi (Gy) Jumlah Eksplan Hidup Jumlah Eksplan Bertunas Jumlah Eksplan Berakar Jumlah Eksplan Berkalus (100) 8 (62) 10 (77) (100) 10 (56) 10 (56) (50) 10 (50) 12 (60) (11) 6 (33) 4 (22) (75) 2 (25) 3 (38) (100) 6 (50) 12 (100) (50) 12 (100) 12 (100) (75) 8 (100) 8 (100) (50) 8 (100) 8 (100) (0) 10 (100) 10 (100) Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan persentase Tabel 2 menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma menyebabkan jumlah dan persentase eksplan bertunas, berakar, dan berkalus pada varietas Dewi Ratih menjadi lebih rendah dibandingkan dengan dosis 0 Gy (kontrol). Tunas pertama pada varietas Dewi Ratih, baik 0, 20, 40, dan 60 Gy terbentuk saat 2 MSI, sedangkan perlakuan 80 Gy tunas mulai terbentuk saat 4 MSI. Akar dan kalus pada eksplan varietas Dewi Ratih mulai terbentuk saat 2 MSI untuk semua perlakuan. Peningkatan dosis iradiasi sinar gamma semakin menghambat pembentukan akar dan kalus varietas Dewi Ratih, kecuali pada dosis 20 Gy. Pada varietas Puspita Nusantara, iradiasi yang diberikan tidak menghambat eksplan membentuk akar dan kalus, sedangkan tunas yang dibentuk

43 30 oleh eksplan yang diberi iradiasi sebesar Gy mengalami penghambatan pertumbuhan. Pada perlakuan 80 Gy terdapat beberapa ulangan dimana tunas yang terbentuk tidak mengalami perkembangan hingga pada akhir pengamatan eksplan tersebut mati. Sihombing (2004) melaporkan bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma eksplan krisan dengan dosis krad (1 krad=10 Gy) menyebabkan waktu inisiasi akar lebih lama dan pada dosis yang lebih tinggi mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tunas lateral dan terjadi klorosis. Menurut Maluszynski et al. (1995), energi yang diserap oleh jaringan tanaman akan menyebabkan sintesis auksin endogen tanaman terganggu, sehingga dalam pertumbuhan tanaman mengalami hambatan. Soedjono (2003) menambahkan dosis iradiasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan sel jaringan tanaman rusak dan mengakibatkan sterilitas. Iradiasi sinar gamma Gy tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar dan kalus pada varietas Puspita Nusantara. Selain itu, akar lebih cepat terbentuk dan berukuran kecil/tipis saat awal pertumbuhan, bila dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih (Gambar 8). Hal ini diduga karena radiasi bersifat acak (Allard, 1960) dan setiap spesies tanaman memiliki tingkat sensitivitas terhadap iradiasi sinar gamma yang berbeda (Datta, 2001). A B Gambar 8. Keragaan Akar Krisan In Vitro Varietas (A) Puspita Nusantara dan (B) Dewi Ratih pada Dosis 20 Gy saat 7 MSI Tinggi Tunas Tinggi tunas diukur dari permukaan media sampai titik tumbuh tertinggi. Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis iradiasi sinar gamma dengan varietas krisan terhadap peubah tinggi tunas pada 5-12 MSI. Interaksi

44 31 antara varietas dengan dosis iradiasi sinar gamma mempengaruhi tinggi tunas krisan saat 5-12 MSI. Perlakuan terbaik diperoleh pada kombinasi perlakuan varietas Puspita Nusantara-0 Gy yang berbeda nyata dengan semua perlakuan, yaitu 5 cm. Tabel 3. Interaksi antara Varietas dengan Dosis Iradiasi terhadap Tinggi Tunas Krisan In Vitro pada 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi (Gy) Umur (MSI) cm b 1.16 b 1.31 b 1.39 b 1.50 b 1.68 b 2.17 b 2.29 b bc 0.89bc 0.89bc 0.91bc 0.92 b 0.97bc 1.21 c 1.33 c c 0.73 c 0.74 c 0.80 c 0.81 b 0.80 c 0.85 c 0.88 c c 0.74 c 0.74 c 0.76 c 0.76 b 0.78 c 0.79 c 0.81 c c 0.72 c 0.75 c 0.76 c 0.76 b 0.81 c 0.83 c 0.85 c a 1.86 a 2.35 a 2.59 a 3.25 a 4.15 a 4.50 a 5.00 a bc 1.07bc 1.05bc 1.12bc 1.23 b 1.33bc 1.46bc 1.78bc bc 0.90bc 0.92bc 0.93bc 0.92 b 0.93bc 0.98 c 0.91 c c 0.70 c 0.71 c 0.75 c 0.79 b 0.81 c 0.91 c 0.91 c c 0.75 c 0.77 c 0.77 c 0.79 b 0.80 c 0.83 c 1.01 c Interaksi V x D * * * * ** ** ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Pertumbuhan tinggi tunas varietas Puspita Nusantara lebih cepat jika dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih. Pada akhir pengamatan, rataan tinggi tunas varietas Puspita Nusantara mencapai 5 cm, sedangkan varietas Dewi Ratih hanya 2.29 cm (Gambar 9). Datta (2001) menyatakan bahwa antar spesies atau bahkan antar galur dalam satu varietas yang sama memiliki tanggap yang berbeda terhadap perlakuan iradiasi. hal itu terjadi karena masing-masing spesies, galur atau varietas memiliki kandungan air, oksigen dan bahan-bahan lain yang jumlahnya tidak sama.

45 Tabel 4. Tinggi Tunas Krisan In Vitro Pengaruh Faktor Tunggal Varietas dan Dosis Iradiasi pada 1, 2, 3, dan 4 MSI Varietas Dosis Iradiasi (Gy) Perlakuan Umur (MSI) cm Dewi Ratih b Puspita Nusantara a Uji F tn tn tn * a 1.17 a b 0.86 b b 0.79 b b 0.68 b b 0.71 b Uji F tn tn ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) tn = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas dan dosis iradiasi secara tunggal berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas krisan in vitro ditunjukkan saat tanaman berumur 3-4 MSI. Varietas Puspita Nusantara nyata lebih tinggi dan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih. Tinggi tunas kedua varietas mulai berbeda nyata saat tanaman berumur 4 MSI. Dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas saat 3-4 MSI. Tinggi tunas kedua varietas semakin terhambat seiring peningkatan dosis iradiasi yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari pertambahan tinggi tunas setiap minggu. Perlakuan 0 Gy (kontrol) pada dua varietas berbeda nyata dengan perlakuan 20, 40, 60, dan 80 Gy, artinya dosis iradiasi berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Semakin tinggi dosis iradiasi, maka pertumbuhan tinggi tunas semakin terhambat (Gambar 10). 32 a b c d e Gambar 9. Kondisi Eksplan Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih pada Beberapa Dosis Iradiasi saat 2 MSI *a-e : berturut-turut dosis iradiasi 0, 20, 40, 60, dan 80 Gy

46 33 Eksplan yang diiradiasi dengan dosis 20 Gy pada kedua varietas pertumbuhannya masih cukup baik, berbeda dengan perlakuan di atas 20 Gy. Perlakuan 40, 60, dan 80 Gy mengakibatkan penghambatan pertambahan tinggi dari 1 MSI hingga 12 MSI jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Sihombing (2004) juga menunjukkan hal yang sama bahwa semakin tinggi dosis iradiasi, planlet krisan menjadi lebih pendek dan berbeda nyata dengan kontrol. Pada dosis yang 1.5 krad, tinggi tunas hanya 1.99 cm, sementara pada kontrol mencapai 5.40 cm. Pengaruh iradiasi sinar gamma adalah terjadinya penghambatan pada pembelahan dan pertambahan jumlah sel. Hal tersebut terjadi karena mutasi menyebabkan penurunan kemampuan sekumpulan sel pada daerah meristem yang juga dapat menyebabkan meningkatnya aktifitas sekumpulan sel lainnya sehingga pertumbuhan eksplan menjadi terganggu (Ichikawa dan Ikosima, 1967). Namun, penghambatan pertumbuhan suatu tanaman tidak selalu berarti negatif karena dapat menimbulkan keragaman baru bagi tanaman tersebut dalam hal ukuran tanaman, yaitu diperoleh ukuran tanaman yang lebih kecil (kerdil). Jumlah Daun Daun yang diamati adalah daun yang telah terbuka sempurna. Interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah daun pada 2 dan 3 MSI serta berpengaruh sangat nyata pada 4 hingga 6 MSI (Tabel 5). Namun demikian, setelah 6 MSI tidak terdapat interaksi antara keduanya. Jumlah daun terbanyak pada 2 hingga 6 MSI diperoleh pada kombinasi perlakuan varietas Puspita Nusantara-0 Gy, yang berbeda nyata dengan semua perlakuan, yaitu daun.

47 Tabel 5. Interaksi antara Varietas dengan Dosis Iradiasi terhadap Jumlah Daun Krisan In Vitro pada 2, 3, 4, 5, dan 6 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi Umur (MSI) (Gy) bc 6.25 b 7.40 b 8.45 b 9.70 b bcd 5.05 bcd 6.22 bc 7.17 bc 8.61 b cd 4.05 cd 4.10 d 4.25 d 4.50 c d 3.85 d 4.00 d 4.00 d 4.15 c cd 4.35 cd 4.35 cd 4.55 d 4.60 c a 10.35a 13.39a 14.22a 15.89a bc 6.00 b 7.67 b 8.72 b 9.61 b bc 5.50 bc 5.50 cd 5.50 cd 5.45 c bcd 5.15 bcd 5.20 cd 5.35 cd 5.30 c b 6.00 b 6.06 bc 6.06 cd 6.06 c Interaksi V x D * * ** ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata 34 Peningkatan dosis iradiasi menghambat terbentuknya daun pada kedua varietas krisan yang diuji (Tabel 5). Planlet yang diiradiasi 20 Gy masih dapat membentuk daun dengan baik namun peningkatannya hanya 50% dari peningkatan jumlah daun pada kontrol setiap minggunya. Pertambahan daun mulai terhambat pada dosis 40 Gy sampai 80 Gy, bahkan dosis iradiasi 80 Gy pada varietas Puspita Nusantara menyebabkan tanaman tidak dapat membentuk daun dan cabang baru. Daun pada perlakuan tersebut menjadi berwarna kuning kemudian layu dan akhirnya mengalami kematian. Lamsejaan et al. (2000) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa perlakuan iradiasi terhadap biakan krisan dalam botol kultur dengan dosis di atas 3.0 krad telah menyebabkan kematian eksplan. Menurut PPIN BATAN (2008) kematian tanaman setelah iradiasi dapat terjadi karena adanya efek deterministik akibat iradiasi sinar gamma. Efek deterministik adalah efek yang disebabkan karena kematian sel akibat iradiasi.

48 Tabel 6. Jumlah Daun Krisan In Vitro Pengaruh Faktor Tunggal Varietas dan Dosis Iradiasi pada 1, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 MSI Umur (MSI) Perlakuan Dewi 3.88 b Ratih Varietas Puspita 5.27 a Nusantara Uji F ** tn tn tn tn tn tn Dosis Iradiasi (Gy) a a a a a a b b b b b b c 4.92 c 5.03 c 5.06 c 5.39 c 5.14 c c 4.78 c 4.81 c 4.87 c 5.04 c 4.92 c c 5.37 c 5.45 c 5.92 c 5.64 c 5.39 c Uji F tn ** ** ** ** ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) tn = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Tabel 6 menunjukkan bahwa saat tanaman berumur 1 MSI, varietas merupakan faktor tunggal yang mempengaruhi jumlah daun tanaman, dimana jumlah daun pada varietas Puspita Nusantara lebih banyak dan berbeda nyata dengan varietas Dewi Ratih, yaitu 5.27 daun. Namun saat tanaman berumur 7-12 MSI jumlah daun dipengaruhi oleh dosis iradiasi sinar gamma. Dosis iradiasi mengakibatkan pertumbuhan jumlah daun menjadi terhambat dibandingkan dosis 0 Gy. Dosis iradiasi yang diberikan mengakibatkan keragaman jumlah daun krisan jika dibandingkan dengan dosis 0 Gy (Gambar 11). Dalam pengamatan jumlah daun dapat terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan pengamatan pada minggu sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya daun yang gugur dan mati (berwarna kecoklatan) akibat perlakuan iradiasi sinar gamma yang diberikan seperti yang terjadi pada perlakuan 80 Gy varietas Puspita Nusantara saat 12 MSI. Sihombing (2004) melaporkan bahwa seiring dengan peningkatan dosis iradiasi, jumlah daun planlet krisan cenderung lebih sedikit dibanding dengan kontrol. Penurunaan jumlah daun tersebut mulai terlihat dan berbeda nyata dengan kontrol mulai dosis 1.0 krad. Menurut Sigurbjornsson (1983) iradiasi dapat menyebakan pembelahan sel menjadi terhambat yang selanjutnya dapat 35

49 menghambat proses pembentukan organ. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kerusakan pada sel meristem pada tanaman. 36 Jumlah Tunas Tunas yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah tunas baru yang dibentuk oleh eksplan. Tunas pada varietas Dewi Ratih dengan dosis Gy mulai terbentuk saat 2 MSI, tetapi pada dosis 80 Gy tunas mulai terbentuk saat 4 MSI. Pada varietas Puspita Nusantara, tunas terbentuk sejak 1 MSI untuk semua perlakuan dengan jumlah tunas tertinggi terdapat pada dosis 0 Gy, tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 40 Gy (Tabel 7). Namun pertumbuhan tunas pada dosis 40 Gy tidak berkembang dengan baik, sehingga pada pengamatan selanjutnya jumlah tunas dosis 40 Gy nyata lebih rendah dibandingkan dosis 0 Gy. Tabel 7. Interaksi antara Varietas dengan Dosis Iradiasi terhadap Jumlah Tunas pada 1, 2, 3, dan 12 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi (Gy) Umur (MSI) b 0.30 bc 0.35 b 2.50 a b 0.60 b 0.75 a 1.61 ab b 0.35 bc 0.35 b 0.55 c b 0.1b c 0.1 b 0.1 c b 0.00 b 0.00 b 0.75 bc a 1.15 a 1.40 a 2.00 a b 0.30 bc 0.30 b 0.58 c a 0.60 b 0.60 b 1.00 bc b 0.40 bc 0.40 b 0.63 c b 0.20 bc 0.20 b 0.00 c Interaksi V x D * * ** * Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Tabel 7 menunjukkan bahwa interaksi antara varietas krisan dengan dosis iradiasi yang diberikan berpengaruh nyata saat 1, 2, dan 12 MSI dan berpengaruh sangat nyata hanya pada 3 MSI. Saat 3 MSI, jumlah tunas varietas Puspita Nusantara-0 Gy, yaitu 1.40 tunas tidak berbeda nyata dengan varietas Dewi Ratih- 20 Gy, yaitu 0.71 tunas. Namun pada akhir pengamatan, jumlah tunas kontrol

50 37 pada kedua varietas berbeda nyata dengan perlakuan lain, yaitu 2.50 tunas pada varietas Dewi Ratih dan 2 tunas pada varietas Puspita Nusantara. Dosis iradiasi 20 Gy pada varietas Dewi Ratih menunjukkan bahwa pada 2 MSI jumlah tunas tidak berbeda nyata dengan kontrol dan 40 Gy. Namun tunas berhenti berkembang sejak 8 MSI hingga 12 MSI. Iradiasi diduga menyebabkan kerusakan fisiologis pada sel-sel di dalam jaringan yang tidak dapat memperbaiki diri sehingga pertumbuhan tunas menjadi terhambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tunas yang dihasilkan oleh tanaman hasil iradiasi lebih beragam dari kontrol. A B Gambar 10. Planlet Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada Dosis (A) 0 Gy dan (B) 20 Gy saat 8 MSI *Bar = ± 2 cm Jumlah tunas terbanyak dihasilkan oleh varietas Dewi Ratih-0 Gy, yaitu 2.5 tunas, namun tidak berbeda nyata dengan jumlah tunas pada varietas Dewi Ratih-20 Gy dan varietas Puspita Nusantara-0 Gy, masing-masing 1.61 dan 2 tunas. Beberapa ulangan pada Puspita Nusantara-20 Gy dapat membentuk tunas dengan jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan 0 Gy (Gambar 12). Menurut Van Harten (1998) dosis iradiasi yang rendah dapat memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan tunas karena dosis rendah dapat menyebabkan degradasi auksin sehingga menggeser keseimbangan hormonal ke arah yang mendorong pertumbuhan. Tabel 8 menunjukkan faktor tunggal varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah tunas tanaman. Varietas hanya berpengaruh nyata saat 7-8 MSI, dimana jumlah tunas varietas Dewi Ratih nyata lebih banyak dibandingkan varietas

51 Puspita Nusantara, yaitu 0.93 tunas. Dosis iradiasi sinar gamma mempengaruhi jumlah tunas yang dibentuk oleh tanaman saat 4-11 MSI. Semakin tinggi dosis iradiasi maka pembentukan tunas semakin terhambat. Hasil penelitian Pulungan (2010) menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma Gy menghambat pembentukkan tunas baru pada planlet Anthurium Wave of Love. Varietas Dosis Iradiasi (Gy) Tabel 8. Jumlah Tunas Krisan In Vitro Faktor tunggal Varietas dan Dosis Iradiasi pada 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 MSI Perlakuan Umur Dewi Ratih a 0.93 a Puspita Nusantara b 0.63 b Uji F tn tn tn * * tn tn tn a 1.55 a 2.03 a 2.17 a 2.25 a 2.25 a 2.30 a 2.30 a b 0.94 b 1.06 b 1.19 b 1.25 b 1.25 b 1.25 b 1.25 b bc 0.53bc 0.55 c 0.61 c 0.55 c 0.55 c 0.58 c 0.58 c c 0.23 c 0.23 c 0.23 c 0.28 c 0.22 c 0.21 c 0.21 c c 0.11 c 0.13 c 0.24 c 0.26 c 0.26 c 0.27 c 0.27 c Uji F ** ** ** ** ** ** ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) tn = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Jumlah tunas pada varietas Puspita Nusantara-80 Gy mengalami penurunan sejak 2 MSI dan saat 12 MSI. Pada perlakuan tersebut hanya beberapa ulangan yang membentuk tunas, namun tunas yang dibentuk tidak mengalami perkembangan pada minggu-minggu selanjutnya dan berangsur-angsur mengalami kematian. Hal inilah yang menyebabkan saat 12 MSI jumlah tunas pada perlakuan ini menjadi nol. Dengan demikian, dosis iradiasi yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada tanaman. 38 Jumlah Akar Akar mulai dibentuk saat planlet berumur 1 MSI pada varietas Puspita Nusantara, namun pada varietas Dewi Ratih akar baru terbentuk setelah 2 MSI.

52 Interaksi antara varietas dengan dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar pada 1 hingga 3 MSI (Tabel 9). Perlakuan terbaik saat 1-3 MSI diperoleh pada kombinasi perlakuan varietas Puspita Nusantara-80 Gy, yaitu 2.7 akar. Akar yang dibentuk pada varietas Puspita Nusantara-80 Gy berbeda nyata dengan perlakuan lain saat 1 dan 2 MSI, tetapi saat 3 MSI jumlah akar tidak berbeda nyata dengan perlakuan 60 Gy, yaitu 2.1 akar. Tabel 9. Interaksi antara Varietas dan Dosis Iradiasi terhadap Jumlah Akar pada 1, 2, dan 3 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi (Gy) Umur (MSI) e 0.7 cd 0.7 cd e 0.7 cd 0.8 cd e 0.4 d 0.4 d e 0.4 d 0.4 d e 0.1 d 0.1 d d 1.20 c 1.40 bc cd 1.35 bc 1.35 bc b 2.05 ab 2.05 ab bc 1.95 ab 2.10 a a 2.60 a 2.70 a Interaksi V x D ** ** ** Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata 39 tidak Faktor tunggal dari varietas dan dosis iradiasi terhadap jumlah akar disajikan pada Tabel 10. Dosis iradiasi tidak mempengaruhi pertumbuhan akar, namun varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah akar. Jumlah akar varietas Puspita Nusantara nyata lebih banyak dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih. Pada akhir pengamatan, jumlah akar varietas Puspita Nusantara mencapai 3.41, sedangkan varietas Dewi Ratih hanya 0.76.

53 Tabel 10. Jumlah Akar Krisan In Vitro Faktor Tunggal Varietas dan Dosis Iradiasi pada 4, 6, 8, 10, dan 12 MSI Perlakuan Umur (MSI) Dewi 0.49b 0.49b 0.57b 0.60b 0.67b 0.67b 0.76b 0.76b 0.76b Ratih Varietas Puspita 2.83a 2.84a 2.90a 2.93a 3.36a 3.33a 3.40a 3.42a 3.41a Nusantara Uji F ** ** ** ** ** ** ** ** ** Dosis Iradiasi (Gy) Uji F tn tn tn tn tn tn tn tn tn Ket: 1) Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada dosis 5% 2) tn = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Perbedaan respon terhadap iradiasi sinar gamma yang diperlihatkan kedua varietas sangat terkait dengan karakter masing-masing varietas krisan, dimana antar varietas krisan yang berbeda memiliki tingkat radiosensitivitas yang berbeda pula dalam mengabsorbsi sinar gamma sehingga memberikan perubahan dalam sel akibat iradiasi sinar pengion tersebut yang berbeda pula (Van Harten, 1998). Herison et al. (2008) menambahkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat radiosensitivitas suatu tanaman adalah faktor genetik tanaman tersebut. Menurut (Moore, 1979) iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan pada meristem yang menghasilkan organ tanaman. Kerusakan tersebut menyebakan menurunnya kandungan indole acetic acid (IAA) karena pengambatan enzim indola acetaldehyde dehidrogenase yang sangat radio sensitif. Lebih lanjut dikemukakan oleh Salisbury dan Ross (1995) bahwa auksin yang berasal dari batang (auksin indogen) dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan akar. Perlakuan iradiasi sinar gamma dapat menurunkan kadar auksin tanaman, sehingga akhirnya menghambat terbentuknya akar tanaman. Tanaman yang diiradiasi sinar gamma dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan menurunnya kandungan auksin tanaman. 40

54 41 LD 50 pada Krisan In Vitro Tingkat radiosensitivitas suatu tanaman terhadap iradiasi sinar gamma dapat diketahui dengan nilai Lethal Dosis (LD 50 ) dari tanaman tersebut (Herison, et al., 2008). Semakin rendah LD 50 suatu tanaman, maka semakin tinggi tingkat radiosensitivitasnya. Tabel 11 memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan, cenderung menurunkan persentase tanaman hidup pada dua varietas krisan in vitro. Persentase krisan in vitro hidup terkecil dihasilkan oleh dosis iradiasi 40, 60, dan 80 Gy. Hal ini sesuai dengan Van Harten (1998) bahwa dosis iradiasi yang tinggi dapat menurunkan kemampuan hidup tanaman. Tabel 11. Jumlah Planlet Krisan In Vitro yang Hidup hingga 14 MSI Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi Jumlah planlet Jumlah planlet Mati karena (Gy) awal hidup Iradiasi (65) 0 (0) (50) 8 (40) (0) 17 (85) (0) 18 (93) (0) 20 (100) (60) 0 (0) (50) 7 (35) (10) 15 (75) (0) 20 (100) (20) 16 (80) Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan persentase Pada dosis 0 Gy, kematian planlet disebabkan karena kontaminasi akibat cendawan dan bakteri, sedangkan pada dosis iradiasi 20, 40, 60, dan 80 Gy kematian planlet sebagian besar disebabkan oleh pengaruh iradiasi sinar gamma. Kematian akibat iradiasi ditandai dengan pertumbuhan planlet terhambat dan bagian/seluruh bagian planlet berubah warna menjadi berwarna coklat kehitaman. Kematian tanaman setelah iradiasi dapat terjadi karena adanya efek deterministik akibat iradiasi sinar gamma. Efek deterministik adalah efek yang disebabkan karena kematian sel akibat paparan radiasi (PPIN BATAN, 2008). Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima tanaman di atas dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah iradiasi. Tingkat

55 keparahan efek deterministik akan meningkat bila dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang Kematian Planlet Akibat Iradiasi (%) y = -0,0184x 2 + 2,7364x - 1,7143 R² = 0, Dosis Iradiasi (Gy) Gambar 11. LD50 Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih 120 Kematian Planlet Akibat Iradiasi (%) y = -0,0223x 2 + 2,9107x - 4,8571 R² = 0, Dosis Iradiasi (Gy) Gambar 12. LD 50 Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara Berdasarkan Gambar 11 dan 12 diketahui bahwa pola respon persentase kematian eksplan akibat iradiasi pada kedua varietas planlet krisan berupa respon kuadratik. Nilai LD50 varietas Dewi Ratih sebesar Gy, sedangkan varietas Puspita Nusantara sebesar Gy.

56 43 Keragaman Morfologi Tanaman Pengamatan secara visual menunjukkan beberapa eksplan yang diiradiasi mengalami perubahan ukuran dan warna daun. Herawati dan Setiamihardja (2000) menyatakan bahwa mutasi adalah perubahan susunan atau konstruksi dari gen maupun kromosom suatu individu tanaman sehingga memperlihatkan penyimpangan (perubahan) dari individu asalnya dan bersifat turun-temurun. Mutasi pada tanaman dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada bagian tanaman baik bentuk maupun warnanya juga perubahan pada sifat-sifat lainnya. Perubahan morfologi planlet mulai terlihat saat 5 MSI. Dosis 20 Gy menghasilkan 6 mutan (putatif) pada varietas Dewi Ratih dan 7 mutan (putatif) pada varietas Puspita Nusantara (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan Herison et. al. (2008) bahwa keragaman tertinggi berada di sekitar atau sedikit di bawah nilai LD 50. Hasil penelitian Wulandari (2001) juga menunjukan persentase kemunculan mutan tertinggi pada tanaman krisan terdapat pada dosis 20 Gy. Tabel 12. Keragaman Morfologi Planlet Krisan In Vitro Hasil Iradiasi Sinar Gamma Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis Iradiasi (Gy) Keragaman yang terjadi Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan persentase Jumlah mutan (putatif) 0 Daun besar 2 (15) 20 Pinggir daun tidak bergerigi dan ukuran daun lebih kecil 3 (30) 20 Batang berwarna hijau kemerahan 1 (10) 20 Kerdil dan membentuk roset 1 (10) 20 Variegata 1 (10) Jumlah 8 (35) 0 Daun besar 2 (16.67) 20 Pinggir daun tidak bergerigi dan ukuran daun lebih kecil 4 (33.33) 20 Batang berwarna merah kehijauan 1 (8.33) 20 Kerdil dan membentuk roset 1 (8.33) 20 Variegata 1 (8.33) Jumlah 9 (41) Ukuran daun pada kedua varietas yang diiradiasi dengan dosis 20 Gy menjadi lebih kecil dibandingkan dengan kontrol dan pinggir daun menjadi tidak

57 44 bergerigi (Gambar 13). Ukuran daun pada varietas Dewi Ratih lebih kecil jika dibandingkan dengan varietas Puspita Nusantara. Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki perbedaan fenotipe dan genotipe. Perbedaan varietas cukup besar mempengaruhi perbedaan sifat dalam tanaman. Puspita Nusantara 0 Gy 20 Gy Dewi Ratih 0 Gy 20 Gy Gambar 13. Morfologi Daun Planlet Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara (PN) dan Dewi Ratih (DR) pada Dosis 0 Gy dan 20 Gy saat 12 MSI *Bar = ± 4.5 cm Planlet hasil iradiasi 20 Gy juga menghasilkan warna daun yang lebih pucat (daun variegata). Wulandari (2001) melaporkan pada penelitian krisan, daun varietas Dewi Sartika yang diiradiasi dengan dosis 15 Gy menjadi variegata, yaitu daun berwarna hijau dan kuning pada setiap helainya. Warna kuning muncul pada salah satu atau kedua tepinya, ataupun pada bagian tengahnya. Menurut Soedjono (2003) iradiasi mengakibatkan warna hijau menjadi hijau muda (lebih pucat). Semakin tinggi dosis iradiasi warna hijau semakin menguning dan memutih. Warna batang pada kedua varietas mengalami perubahan warna tetapi hanya terdapat 1 mutan pada masing-masing varietas pada dosis 20 Gy. Hal ini sesuai dengan Herawati dan Setiamihardja (2000) yang menyatakan bahwa perlakuan iradiasi pada dosis tertentu dapat menyebabkan perubahan warna pada tanaman baik pada daun maupun batang. Mutan krisan yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.

58 45 A B C D Gambar 14. Mutan (putatif) Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih pada Dosis 20 Gy; (A) batang kemerahan, (B) ukuran daun lebih kecil, (C) daun variegata, dan (D) membentuk roset Pada perlakuan Gy yang mengalami perubahan warna daun dan batang dari hijau menjadi kecoklatan, namun akhirnya mengalami kematian (Gambar 15). Van Harten (1998) menyatakan bahwa jaringan tanaman sebagian besar mengandung air, sehingga apabila diiradiasi maka bagian yang paling banyak terkena iradiasi adalah air yang kemudian terurai menjadi H 2 O + dan e -. Selanjutnya akan membentuk radikal bebas kemudian tergabung dan menghasilkan racun peroksida. Apabila radikal bebas dan peroksida bereaksi dengan molekul lain akan membentuk senyawa yang akan mempengaruhi sistem biologi tanaman. Kematian sel tanaman yang berakibat kepada kematian eksplan karena iradiasi bisa secara langsung yaitu rusaknya DNA, maupun tak langsung yaitu adanya pengaruh toksik dari radikal bebas ion H 2 O 2 dan OH - yang dihasilkan dari radiolisis air. Gaul (1977) menyatakan bahwa kerusakan fisiologis yang

59 46 disebabkan oleh pengaruh iradiasi sinar gamma, seperti pertumbuhan yang terhambat dan letalitas hanya terjadi pada generasi M 1 atau MV 1, sedangkan pada generasi selanjutnya hanya terjadi perubahan genetik saja. A B Gambar 15. Mutan (putatif) Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada dosis 80 Gy *Tanda panah menunjukkan daun (A) dan batang (B) yang mengalami perubahan warna Perubahan morfologi juga terjadi pada perlakuan kontrol (Gambar 16). Dua ulangan pada masing-masing varietas mengalami perubahan ukuran daun. Daun yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan daun krisan normal. Keragaman pada planlet kontrol terjadi akibat adanya keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Wattimena et al., 1992). Variasi ini berasal dari keragaman genetik dari eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur in vitro. A B Gambar 16. Ukuran Daun Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada Dosis 0 Gy (A) normal dan (B) membesar saat 4 MSI

60 47 Krisan hasil perlakuan iradiasi sinar gamma memberikan respon yang berbeda-beda. Pengaruh yang ditampilkan bersifat individual, namun terdapat gambaran umum perubahan terhadap beberapa peubah hasil perlakuan radiasi sinar gamma (Tabel 13). Tabel 13. Koefisien Keragaman Fenotipik Peubah yang Diamati Peubah Tinggi tunas Jumlah daun Jumlah tunas Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis iradiasi (Gy) Kisaran Rataan σ 2 f Sd (σ 2 f) 2* Sd (σ 2 f) Kriteria Keragaman sempit sempit sempit sempit sempit luas sempit sempit sempit sempit luas luas sempit sempit sempit luas luas sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit

61 48 Tabel 13. Koefisien Keragaman Fenotipik Peubah yang Diamati (Lanjutan) Peubah Jumlah akar Jumlah stomata Panjang stomata Lebar stomata Jumlah kloroplas Varietas Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dewi Ratih Puspita Nusantara Dosis iradiasi (Gy) Kisaran Rataan σ 2 f Sd (σ 2 f) 2* Sd (σ 2 f) Kategori Keragaman sempit sempit sempit sempit sempit luas sempit luas sempit sempit luas luas luas luas sempit sempit sempit sempit luas luas luas luas sempit luas luas sempit luas luas luas luas luas sempit sempit luas

62 49 Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa keragaman fenotipik luas terdapat pada peubah jumlah daun, jumlah stomata, panjang dan lebar stomata, serta jumlah kloroplas pada dosis 20 Gy, sedangkan pada peubah lain keragaman fenotipik yang dihasilkan sempit. Hal ini menunjukan bahwa dosis 20 Gy pada kedua varietas krisan in vitro memiliki keragaman yang besar, sesuai dengan kisaran nilai LD 50 yang diperoleh pada varietas Dewi Ratih (22.22 Gy) dan Puspita Nusantara (22.85 Gy). Semakin kecil dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan, maka perubahan yang yang dihasilkan akan semakin spesifik. Warna Kalus Kalus dihasilkan pada semua perlakuan dari kedua varietas, baik kontrol maupun yang mengalami iradiasi sinar gamma. Kalus mulai terbentuk saat 4 MSI dengan struktur yang berbeda antara kontrol dengan eksplan yang mengalami iradiasi. Umumnya struktur kalus yang terbentuk pada percobaan ini kompak dan mempunyai warna yang berbeda. Kalus yang dibentuk pada kontrol lebih besar dan berwarna hijau, pada perlakuan 20 Gy ukuran kalus lebih kecil. Perubahan warna kalus menunjukkan terjadinya suatu proses morfogenesis. Umumnya kalus yang siap beregenerasi ditandai dari perubahan warna kalus menjadi hijau yang mengindikasikan terjadinya rangsangan pembentukan klorofil pada sel- sel kalus (Wattimena et al., 1992). Sedangkan pada perlakuan 40, 60, dan 80 Gy ukuran kalus kecil dan berwarna kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi tinggi dapat menyebabkan browning pada kalus yang mengindikasikan kalus tidak beregenerasi bahkan mati (kalus berwarna hitam) (Gambar 17).. a b Gambar 17. Warna Kalus Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada Dosis (A) 20 Gy dan (B) 80 Gy saat 3 MSI *Tanda panah menunjukkan perbedaan warna kalus

63 50 Kalus yang dibentuk varietas Puspita Nusantara lebih besar jika dibandingkan dengan varietas Dewi Ratih. Selain itu, pada varietas Puspita Nusantara kalus tidak hanya terbentuk di bagian bawah eksplan tetapi juga terbentuk di ujung akar dengan ukuran kecil dan tunggal. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan kemampuan eksplan membentuk kalus dan daya regenerasi kalus antara bagian-bagian dari jaringan eksplan. Jumlah Stomata dan Jumlah Kloroplas pada Sel Penjaga Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) In Vitro setelah Iradiasi Sinar Gamma Menurut Campbell (2004) stomata merupakan suatu celah pada jaringan epidermis yang berperan dalam proses fotosintesis. Stomata dibatasi oleh dua sel penjaga yang mengandung kloroplas (Gambar 18). A B C Gambar 18. Struktur Stomata Krisan In Vitro Kontrol Varietas Puspita Nusantara; (A) sel penjaga, (B) kloroplas, (C) dan bukaan stomata Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi. Selain lebih sederhana dari sisi teknis, jumlah kloroplas sel penjaga dilaporkan lebih stabil dalam menggambarkan latar belakang genetik dan menentukan tingkat ploidi suatu tanaman (Saria et al. 2000). Pengamatan stomata hanya dilakukan pada beberapa perlakuan iradiasi sinar gamma seperti yang disajikan pada Gambar 19 dan 20. Hal ini disebabkan karena saat analisis stomata dilakukan pada 14 MSI banyak ulangan dari perlakuan yang mengalami browning dan mati akibat perlakuan iradiasi yang diberikan, khususnya dosis 60 dan 80 Gy sehingga menyebabkan banyak ulangan yang dianggap hilang.

64 51 A B Gambar 19. Stomata pada Daun Krisan In Vitro Varietas Dewi Ratih pada Dosis (A) 0 Gy dan (B) 20 Gy A B C D Gambar 20. Stomata pada Daun Krisan In Vitro Varietas Puspita Nusantara pada Dosis (A) 0 Gy, (B) 20 Gy, (C) 40 Gy, dan (D) 80 Gy

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Krisan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) berasal dari dataran Cina dan merupakan tanaman semusim atau tahunan yang sangat menarik dengan beragam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro

Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Varietas Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro J. Hort. Indonesia 4(1):34-43. April 2013. Induksi Keragaman dan Karakterisasi Dua Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara In Vitro The Variation Induction and Characterization

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Krisan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Krisan 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Krisan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) termasuk dalam klasifikasi kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, kelas Dicotiledonae, ordo Asterales,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Kondisi laboratorium tempat dilakukan percobaan memiliki suhu berkisar antara 18-22 0 C dan kelembaban mencapai 90%. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA Latar Belakang IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL PADA STEK PUCUK ANYELIR (Dianthus caryophyllus) DAN UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan Perbaikan sifat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Februari 2016 yang bertempat di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi Varietas Asal yang Digunakan. : Pita : 5.85 kurang lebih 1.36 cm. : 227 kurang lebih helai

Lampiran 1. Deskripsi Varietas Asal yang Digunakan. : Pita : 5.85 kurang lebih 1.36 cm. : 227 kurang lebih helai LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Varietas Asal yang Digunakan a. Puspita Nusantara Tahun : 2002 Asal Persilangan Diameter Batang Diameter Bunga Diameter Bunga Tabung Jumlah Bunga Jumlah Bunga Tabung : Tawn

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus. 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 STUDI 1: REGENERASI TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI KALUS YANG TIDAK DIIRADIASI SINAR GAMMA Studi ini terdiri dari 3 percobaan yaitu : 1. Percobaan 1: Pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Agustus 2016 di Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 9 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai pada bulan Juni 2015 sampai Februari 2016 dan dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. III. BAHA DA METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. Jendral Besar Dr. Abdul Haris asution Gedung Johor Medan Sumatera Utara, selama

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro 11 agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA) dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air kelapa. Bahan untuk mengatur ph yaitu larutan

Lebih terperinci

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan in. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Sei Putih Medan Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI IAA, IBA, BAP, DAN AIR KELAPA TERHADAP PEMBENTUKAN AKAR POINSETTIA (Euphorbia pulcherrima Wild Et Klotzch) IN VITRO Oleh : Pratiwi Amie Pisesha (A34303025) DEPARTEMEN AGRONOMI DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari Bulan November 2011

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2014 di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas

Lebih terperinci

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN PEMBAGIAN KULTUR JARINGAN Kultur organ (kultur meristem, pucuk, embrio) Kultur kalus Kultur suspensi sel Kultur protoplasma Kultur haploid ( kultur anther,

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO SRI IMRIANI PULUNGAN A24051240 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan Oktober

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Anthurium Wave of Love Tanaman Anthurium Wave of Love termasuk ke dalam famili Araceae, berbatang sukulen dan termasuk tanaman perennial. Ciri utama famili

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO ABSTRAK Ernitha Panjaitan Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMI Medan Percobaan untuk mengetahui respons

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013

Lebih terperinci

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Nikman Azmin Abstrak; Kultur jaringan menjadi teknologi yang sangat menentukan keberhasilan dalam pemenuhan bibit. Kultur jaringan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Tanaman Kopi. Rina Arimarsetiowati 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118

Kultur Jaringan Tanaman Kopi. Rina Arimarsetiowati 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118 Kultur Jaringan Tanaman Kopi Rina Arimarsetiowati 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118 Kultur jaringan merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif dalam

Lebih terperinci

PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN

PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN Laporan Pratikum Dasar-Dasar Bioteknologi Tanaman Topik 2 PERBANYAKAN CEPAT TANAMAN DENGAN TEKNIK KULLTUR JARINGAN Oleh : Jimmy Alberto ( A24050875 ) Agronomi dan Hortikultura 9 PENDAHULUAN Latar Belakang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA.1 Kacang Panjang.1.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Panjang Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus L) tergolong dalam famili Iridaceae yang mempunyai jenis 180 jenis. Tanaman gladiol ditemukan di Afrika, Mediterania, dan paling banyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui pengaruh

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Bulan November 2015 hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sub Divisio : Angiospermae : Dicotyledonae : Asterales : Asteraceae / Compositae Genus ` : Dendranthema Spesies

TINJAUAN PUSTAKA. Sub Divisio : Angiospermae : Dicotyledonae : Asterales : Asteraceae / Compositae Genus ` : Dendranthema Spesies TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Krisan Tanaman krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) atau dikenal dengan nama Seruni atau Bunga emas termasuk ke dalam famili Compositae/Asteraceae yang berasal dari daratan

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN (Apium graveolens L. Subsp. secalinum Alef.) KULTIVAR AMIGO HASIL RADIASI DENGAN SINAR GAMMA COBALT-60 (Co 60 ) Oleh Aldi Kamal Wijaya A 34301039 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari sekian banyak tumbuhan berbunga

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Gladiol Genus Gladiolus yang tergolong dalam famili Iridaceae ini mempunyai 180 jenis (Herlina, 1991). Tanaman gladiol berasal dari Afrika Selatan dan menyebar di Asia dan

Lebih terperinci

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian,

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian, Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian,, Medan dan diharapkan dapat pula berguna bagi pihak-pihak membutuhkan. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO Oleh Riyanti Catrina Helena Siringo ringo A34404062 PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan

BAB I PENDAHULUAN. anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggrek merupakan jenis tanaman hias yang digemari konsumen. Jenis anggrek yang mendominasi pasar adalah anggrek impor, yaitu Dendrobium dan Phalaenopsis dari Negara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian yang bersifat eksperimen karena pada penelitian menggunakan kontrol yaitu pada medium Murashige-Skoog

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sistematika Ilmiah dan Botani Tanaman Krisan. Klasifikasi ilmiah tanaman krisan menurut Direktorat Jendral Hortikultura

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sistematika Ilmiah dan Botani Tanaman Krisan. Klasifikasi ilmiah tanaman krisan menurut Direktorat Jendral Hortikultura II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika Ilmiah dan Botani Tanaman Krisan Klasifikasi ilmiah tanaman krisan menurut Direktorat Jendral Hortikultura (2013) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Sub divisi

Lebih terperinci

TEKNIK STERILISASI DAN RESPON PERTUMBUHAN EKSPLAN TANGKAI BUNGA ANGGREK Phalaenopsis sp. DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2i-P SECARA IN VITRO

TEKNIK STERILISASI DAN RESPON PERTUMBUHAN EKSPLAN TANGKAI BUNGA ANGGREK Phalaenopsis sp. DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2i-P SECARA IN VITRO TEKNIK STERILISASI DAN RESPON PERTUMBUHAN EKSPLAN TANGKAI BUNGA ANGGREK Phalaenopsis sp. DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH 2i-P SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh: NI PUTU ANJANI 0605105002 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var

PENDAHULUAN. stroberi modern (komersial) dengan nama ilmiah Frageria x ananasa var PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman stroberi telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi bukan jenis yang dikenal saat ini. Stroberi yang dibudidayakan sekarang disebut sebagai stroberi modern (komersial)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut:

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani ubikayu: taksonomi dan morfologi Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Laporan Pratikum Dasar-Dasar Bioteknologi Tanaman Topik 1 PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Arya Widura Ritonga ( A24051682 ) Agronomi dan Hortikultura 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kultur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

KULTUR JARINGAN TANAMAN

KULTUR JARINGAN TANAMAN KULTUR JARINGAN TANAMAN Oleh : Victoria Henuhili, MSi Jurdik Biologi victoria@uny.ac.id FAKULTAS MATEMATIKA DA/N ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 Kultur Jaringan Tanaman Pengertian

Lebih terperinci

Tentang Kultur Jaringan

Tentang Kultur Jaringan Tentang Kultur Jaringan Kontribusi dari Sani Wednesday, 13 June 2007 Terakhir diperbaharui Wednesday, 13 June 2007 Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 15 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eskperimental yang menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: 1. Faktor pertama: konsentrasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor yang pertama

Lebih terperinci

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun 93 PEMBAHASAN UMUM Perbaikan sifat genetik dari tanaman dapat melalui pemuliaan, baik konvensional maupun modern (Soedjono 2003). Bahan tanaman yang digunakan didapatkan dengan cara meningkatkan keragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu rumput-rumputan. Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Botani Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L) Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman berumur pendek. Tumbuhnya bersifat menyemak dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan Sejumlah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur adalah suhu, cahaya, karbondioksida, oksigen, etilen, dan kelembaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. mudah diperbanyak dan jangka waktu berbuah lebih panjang. Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan cara generatif dan vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif biasanya dilakukan melalui biji dan mengalami penyerbukan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal Januari 2011 Maret 2011

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal Januari 2011 Maret 2011 BAB III METODE PENELITIAN 3. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal Januari 0 Maret 0 yang berlokasi di Laboratorium Genetika dan Fisiologi Kultur Jaringan (Genetic and Physiology

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci