KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMO"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMOR (Philemonn inornatus) DI LANSKAP CAMPLONG KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR BLASIUS PAGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUTT PERTANIAN BOGOR BOGOR 20122

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini. Bogor, Februari 2012 Blasius Paga NRP E

3 ABSTRACT BLASIUS PAGA. Habitat Characteristics of Timor Friarbird Philemon inornatus in Camplong Landscape Kupang District, East Nusa Tenggara Under supervision of YENI ARYATI MULYANI and LILIK BUDI PRASETYO Abstract Timor Friarbird (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) is one of the six endemic birds of Timor and is a protected species. The population of bird is suspected to have been decreasing over the past six years along with the decreasing of the quantity and quality of physical and biotic factors of its habitat. Knowledge on landscape spatial pattern could be used to evaluate the quantity and quality of habitat. This research aimed at identifying spatial habitat characteristics of Timor Friarbird based on dominant factors of physical and biotic habitat components. Principle Component Analysis (PCA) on the physical habitat factors showed that variables that have strong correlation with the presence of the bird were Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, distance from secondary forest, distance from bush, distance from cashew plantation, distance from crop plantation, and distance from roads. The biotic factors that have strong correlation with the presence of Timor Friarbird were the total number of plant species, number of plants used for food and cover, and mean height of trees. Height of poles was the only variable that has no correlation with the presence of Timor Friarbird. The most dominant physical and biotic factors that influent the presence of Timor Friarbird at a site are the density of foraging trees, slope, distance from the river, the distance from secondary forest, the density of cover pole and the distance from road. The estimation population of Timor Friarbird in Camplong region is low; this might be caused by low feeding tree density, high rates of poaching, the uneven distribution of feed vegetation and the flowering season, habitat degradation due to illegal logging, grazing cattle in the wild, and invasion of siam weed or chromolaena (Chromolaena odorata). The results of land cover classification at Camplong region based on Landsat_5 Thematic Mapper (TM) image with ArcGIS 9.3 and Erdas 9.1 obtained 11 land cover classes, with shrub as the dominant class. Keyword: Philemon inornatus, Habitat Spatial Characteristics, PCA, Population, Land Cover

4 RINGKASAN BLASIUS PAGA, Karakteristik Habitat Burung Cikukua timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan LILIK BUDI PRASETYO Cikukua timor (Philemon inornatus, G. R. Gray, 1846) merupakan salah satu jenis burung endemik Pulau Timor dengan status dilindungi menurut Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga dalam enam tahun terakhir ( ) terus menunjukkan penurunan jumlah populasi. Faktor penyebab penurunan jumlah populasi Cikukua timor di lanskap ini diduga akibat illegal hunting dan berbagai tekanan habitat seperti; illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran dan invasi spesies Chromolaena odorata. Informasi mengenai habitat Cikukua timor pada saat ini masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi spasial Cikukua timor berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, kemudian mencari hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap keberadaannya dan menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Penelitian ini dilaksanakan di lanskap Camplong, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur ( , ,5 LS, , ,8 BT). Penelitian berlangsung selama lima bulan, mulai Juli-Agustus 2010 dan Mei-Juli Kegiatan penelitian diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yang berasal dari komponen habitat fisik dan biotik dengan membuat desain garis transek dan grid menggunakan program Hawth s Analysis Tools_3 for ArcGis, kemudian ditumpangtindihkan (overlay) ke dalam peta lokasi penelitian Camplong. Transek pengamatan populasi berjumlah 11 transek dan total grid pengamatan spasial sebanyak 176 grid, masing-masing berukuran 500 x 250 m 2. Hasil desain grid tersebut ditransfer ke dalam GPS (Global Position System), kemudian titik ini akan menjadi titik-titik koordinat yang dapat membantu pengamat dalam menandai dan mengidentifikasi tipe-tipe habitat. Desain garis transek digunakan sebagai pedoman dalam pengamatan data populasi Cikukua timor dengan metode distance sampling. Data titik koordinat perjumpaan Cikukua timor dan titik koordinat lapangan lainnya digunakan dalam pengolahan data spasial keberadaan Cikukua timor terhadap semua peubah fisik yang dianalisis menggunakan software ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1. Hasil analisis dengan kedua software ini diperoleh nilai peubah-peubah bebas (X) yang berpengaruh terhadap peubah tak bebas (Y) yaitu jumlah kehadiran individu Cikukua timor di tiap titik perjumpaan.

5 Peubah bebas komponen habitat fisik meliputi; Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), slope, elevasi, jarak dari hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, pemukiman, sungai dan jalan, sedangkan peubah dari komponen habitat biotik meliputi; jumlah total spesies vegetasi, tinggi dan kerapatan dari setiap tingkat pertumbuhan vegetasi (pohon, tiang dan pancang), jumlah spesies pakan dan cover, dan jumlah tumbuhan pakan dan cover. Hubungan diantara variabel dari masing-masing komponen habitat fisik dan biotik dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan biplot. Hasil PCA menunjukkan ada korelasi yang kuat diantara variabel komponen 1 dan 2, selanjutnya semua variabel komponen habitat fisik dan biotik dilakukan analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise untuk mendapatkan peubah yang paling dominan berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor. Cikukua timor ditemukan di 6 dari 11 tipe habitat di lanskap Camplong. Jumlah titik perjumpaan pada tiap tipe habitat bervariasi yaitu; hutan primer 11 titik, hutan sekunder 5 titik, belukar 8 titik, kebun jambu mete 6 titik, kebun palawija 7 titik, dan permukiman 3 titik. Tipe-tipe habitat yang tidak ditemukan Cikukua timor dalam studi ini yaitu; savana, hutan tanaman, mamar (hutan adat) semak dan lahan kosong. Hasil PCA dengan biplot diperoleh total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 54,40%. Ada delapan faktor yang memiliki korelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor meliputi; NDVI, slope, jarak dari hutan sekunder, jarak dari belukar, jarak dari kebun jambu mete, jarak dari kebun palawija, dan jarak dari jalan. Nilai vektor ciri, komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar pada faktor jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647), dan NDVI (0.350). Komponen 1 memiliki nilai eigenvalue (akar ciri) lebih besar (31,51%) dari pada komponen 2 (22,90%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor. Hasil PCA faktor dominan dari komponen habitat biotik Cikukua timor, diperoleh 11 faktor yang berada pada komponen 1 dan 2 yang menunjukkan korelasi positif terhadap kehadiran burung ini. Faktor-faktor tersebut meliputi; jumlah spesies pakan dan cover, jumlah individu pakan dan cover, jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik perjumpaan, tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon. Total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Beberapa faktor dari komponen habitat biotik yang memiliki korelasi yang kuat terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; jumlah spesies pakan dengan jumlah individu pakan, jumlah spesies cover dengan jumlah individu cover, dan kerapatan pakan tingkat pohon dengan kerapatan cover. Hasil regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap faktorfaktor pembentuk model karakteristik habitat Cikukua timor menghasilkan model sebagai berikut: Ln Y = 0, ,531 Ln X 20 (Kerapatan Pohon Pakan) + ( 0,160) Ln X 24 (Kerapatan Tiang Cover) + 0,158 Ln X 10 (Jarak dari Sungai) + ( 0,188) Ln X 11 (Jarak dari Jalan) + 0,269 Ln X 2 (Slope) + ( 0,0740) Ln X 5 (Jarak dari Hutan Sekunder) Faktor-faktor pembentuk model tersebut merupakan faktor-faktor dominan yang menentukan kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Faktor yang paling

6 menentukan kehadiran Cikukua timor di suatu lokasi adalah kerapatan pohon pakan pada R-Sq (adj) = 68,2% dengan nilai P = 0,001. Analisis dugaan populasi di lanskap Camplong seluas 2470,11 ha memperoleh kepadatan 0,5755 ekor/ha. Nilai kepadatan populasi Cikukua timor pada masing-masing tipe habitat sebagai berikut; 0,0592 individu/ha berada pada tipe habitat belukar atau 10,29%, 0,0164 individu/ha di permukiman atau 2,85%, 0,1892 individu/ha di kebun palawija atau 18,92% dan 0,3107 di kebun jambu mete atau 54%. Hasil analisis tutupan lahan di lanskap Camplong menunjukkan habitat belukar merupakan tipe tutupan lahan paling mendominasi di lanskap Camplong sebesar 16,5% (406,53 ha) dari total luas 2470,11 ha. Dominasi tutupan lahan belukar menggambarkan terjadi perubahan pola penggunaan lahan dari yang sebelumnya lahan berhutan dengan vegetasi berkayu rapat menjadi lahan terbuka dengan sedikit pepohonan, dan atau areal bekas budidaya pertanian berpindah (shifting agriculture). Praktek shifting agriculture merupakan salah satu ciri khas pengolahan lahan budidaya pertanian oleh masyarakat tradisional di Pulau Timor dan masih terus berlanjut hingga saat penelitian ini dilakukan. Kata Kunci: Karakteristik habitat, Philemon inornatus, PCA, Populasi, Tutupan lahan.

7 @ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KARAKTERISTIK HABITAT BURUNG CIKUKUA TIMOR (Philemon inornatus) DI LANSKAP CAMPLONG KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR BLASIUS PAGA Tesis sebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar Magister Sainspada Program StudiKonservasiBiodiversitasTropika SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, M.S

10

11 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan kasih karunia-nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi kuantitatif dengan judul Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan habitat burung Cikukua timor di Pulau Timor. Bogor, Februari 2012 Blasius Paga

12 RIWAYAT HIDUP Blasius Paga dilahirkan pada Tanggal 29 April 1973 di Bela, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nage Keo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai anak ke-tujuh dari delapan bersaudara pasangan Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Ibu Margaretha Dee. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD Katolik Lere, Nage Keo) Tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama (SMPK St. Petrus Kolilewa, Nage Keo) Tahun 1991, dan Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) Negeri So e Tahun 1994, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH), Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Malang (IPM) pada Tahun 1995, dan menyelesaikan studi pada Tahun Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar tetap di Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang sejak tahun 2003, dan pada tahun 2009 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) di Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti pendidikan Magister, penulis mengikuti berbagai kegiatan seminar nasional dan internasional pada bidang keanekaragaman hayati (KEHATI) terutama untuk konservasi satwa (burung dan primata), tumbuhan dan ekosistem hutan. Penulis berkesempatan mengikuti kegiatan Training of Trainers (TOT) Indonesian Bird Banders di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (14-21 Mei 2011), yang diadakan atas kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia dibawah pelaksanaan Indonesian Bird Banding Scheme (IBBS) - Research Center for Biology LIPI and Australian Bird & Bat Banding Scheme (ABBBS) DSECPaC Australia. Penulis aktif mengikuti kegiatan bird banding di lingkungan kampus IPB bersama Bird Banding Club IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada bidang Konservasi Biodiversitas Tropika, penulis melakukan penelitian, Karakteristik Habitat Burung Cikukua Timor (Philemon inornatus) di Lanskap Camplong Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur dibawah bimbingan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Fokus kajian penelitian adalah pada bidang ekologi burung dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

13 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besaarnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc, dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc sebagai komisi pembimbing atas pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis ini. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, M. S. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. 2. Dr. Richard A. Noske yang telah memberikan banyak saran dan informasi baik secara lisan maupun tulisan terkait dengan penelitian burung-burung di Timor. 3. Bapak Alan J. Leishman yang telah memberikan banyak saran dan informasi tulisan berupa referensi yang terkait dengan penelitian ini. 4. Dr. Colin Richard Trainor B. Appl. Sci (Hons.), M. Sc. yang telah banyak memberikan saran, referensi dan hasil karya disertasinya untuk membantu penelitian ini. 5. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah mendanai pendidikan S2 melalui beasiswa BPPS. 6. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M, Zuhud, M. S sebagai Ketua Program Studi dan sekaligus menjadi penguji luar dari program studi pada saat ujian tesis. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, D.E.A (Mantan Ketua Program Studi KVT) dan seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Pak Mohamad Sofwan Hidayat, Umi, dan Bunga). 7. Keluarga tercinta isteriku Ika Kristinawanti,S. Hut (Kandidat Master), anakanakku Maria Dominique Graceila Dee Goa Paga (Grace) dan Dominico Graceino Wani Dee Goa Paga (Cein), Bonafentura Ue (Fenti) atas doa dan motivasinya bagi penulis. Khusus Bapak Ignasius Goa (Alm.) dan Mama Margaretha Dee, Bapak MA. Suparman dan Ibunda Sri Subandiyatmi saya sampaikan terima kasih tak terhingga atas berkat curahan kasih sayang telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Seluruh saudara-saudaraku yang selalu mendoakan perjuangan studiku; Aplonia Wea dan Martinus Pale sekeluarga, Flavianus Gati dan BernadetaTolo sekeluarga, Saverinus Mbeu, Raimunda Ngguwa dan Remigius Ndiwa sekeluarga, Emilianus Meo dan Meri sekeluarga, Pasifikus Pawe dan Heni sekeluarga di Kalimantan, Adik Oswaldus Ema dan Iren, Oyot dan Diah sekeluarga, Eron dan Nova. Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi dari Kakak David Jemu dan Florida Budhe sekeluarga, Kae Rance dan Deli sekeluarga, Ambros Raga dan Medy sekeluarga, Mikael Unu sekeluarga, Om Wenselaus Tue dan Tanta Ansela Lengga sekeluarga, Om Tobias Siga dan Tanta Ima sekeluarga, Keluarga Besar Lere dan Lamina di Kupang, Keluarga Besar Bogor terutama Mersi Poi dan Beni sekeluarga dan Kae Mikael Bela. Suster Imeldine, KFS (Kae Doro) dan Sr. Wilfrid, KFS (Ivona Leka) di Kalimantan, Pater Kris

14 Sambu SVD, Pater Dominikus Kaju Deo, SVD dan Keluarga Besar Decolores Kupang. 8. Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam NTT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian tesis ini di kawasan TWA Camplong. Terima kasih untuk Bapak Dadang Suryana dan staf BKSDA Kupang yang telah membantu penulis selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 9. Bapak Ora Yohanes beserta staf Bidang KSDA I NTT di Soe (Bp. Yulius Nai, Bp Noh Liu Kae, Bp Apolos Manu, Argen) yang telah membantu memfasilitasi sarana dan prasarana penelitian di lapangan. 10. Bapak Ande Nakmofa dan Mama Mina sekeluarga, Adik Marten Bani dan Yetri Nabut yang setia telah menyumbangkan tenaga dan waktu untuk membantu pengumpulan data penelitian di lapangan. 11. Khusus untuk Mas Arif Budi Prasetyo, Farikhin, Beby dan Pak Chandra Jawer, dan Irham Fauzi, saya sampaikan terima kasih atas bantuannya dalam pengolahan data spasial. 12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan KVT 2009: Edwin Wira Pradana, S.Si dan Maharani Anischan, S.Si (Kandidat Master), Andi Muhammad Khadifi S.Hut, M.Si, Astri Yuliawati S.Si, M.Si, Ir. Syamsul Hidayat M.Si, Agung Nugroho, S. Si, rekan-rekan KVT S (Kandidat Doktor; Ir. Ivan Yusvinur, M.Si, Ir Mufti Sudibyo, M.Si, Ir U. Mamat Rahmat, M.Si, Pak Muin), dan KVT S (PakWenda Yandra Komara, Deden, Dewi, Ozi, Yayuk, Elia), Dede Aulia Rahman, S.Hut, M.S, terima kasih untuk kebersamaan dan motivasi yang telah membantu penulis selama pendidikan ini. 13. Saudara seperantauan: Fabianus Ranta, S.Hut, M. Si sekeluarga, Dedi Hutapea SP, M.Si, Mochamad Idham Shilman, S.Pi, M.Si, dan Al Azhar S.Pi, M.Si. Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih Bogor, Februari 2012 Blasius Paga

15 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN.. Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran II. TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Cikukua Timor Jenis-Jenis Burung Cikukua dan Gambaran Ringkas Morfologinya Klasifikasi Cikukua Timor Daerah Penyebaran Cikukua Timor.... Karakteristik Burung Pemakan Nektar Teritori Famili Meliphagidae Perilaku Habitat. Preferensi Habitat Kesesuaian Habitat.. Seleksi Habitat. Struktur dan Komposisi Vegetasi Kerapatan. Principal Component Analysis (PCA)/Analisis Komponen Utama. Populasi... Lanskap. Sistem Informasi Geografis (SIG)... Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).. Representasi Data Spasial Pemanfaatan SIG untuk Konservasi III. KONDISI UMUM LOKASI Letak Kondisi Fisik Luas dan Status Kawasan Topografi Hidrologi Geologi dan Tanah.. 31 i v vi xi i

16 3.2.5 Iklim Aksesibilitas Biologi Flora Fauna.. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya IV. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan..... Metode Pengumpulan Data Studi Literatur Orientasi Lapangan Persiapan Desain Peta Kerja Penelitian Observasi Lapangan Pengumpulan Data Spasial Pengumpulan Data Populasi Pengumpulan Data Karakteristik Habitat Cikukua Timor Wawancara Interpretasi Peta Pembuatan Peta Dasar Digital Pengambilan Data Luas Penutupan Lahan. Metode Analisis Data Analisis Faktor-Faktor Dominan Komponen Habitat Cikukua Timor Analisis Kerapatan Vegetasi Principal Component Analysis (PCA) Analisis Komponen Utama Analisis Penentuan Peubah Paling Dominan Analisis Kepadatan Populasi Analisis Penutupan Lahan Analisis Keterkaitan Jarak (distance) V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Titik Perjumpaan Identifikasi Komponen Habitat Fisik (Analisis Spasial) Nilai Normalized Different Vegetation Index (NDVI) Kemiringan Lereng (Slope) Ketinggian Tempat (Elevation) Jarak dari Beberapa Faktor Spasial Identifikasi Komponen Habitat Biotik Tumbuhan Sumber Pakan dan Cover Sebaran Vertikal Kerapatan Vegetasi Analisis PrincipalComponent Analysis (PCA) Komponen Habitat Fisik ii

17 Komponen Habitat Biotik Peubah Determinan Kehadiran Cikukua Timor Dugaan Populasi Analisis Penutupan Lahan Interpretasi Peta Pembahasan Karakteristik Habitat Fisik dan Biotik Peubah Determinan Dominan Habitat Cikukua Timor Populasi Cikukua Timor Penutupan Lahan Lanskap Camplong Gangguan Habitat Cikukua Timor Implikasi Bagi Konservasi Habitat Cikukua Timor Populasi Cikukua Timor VI. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 127 DAFTAR PUSTAKA 129 LAMPIRAN iii

18 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG 27 3 Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan peta topografi berskala 1: dan interval kontur 25 meter berdasarkan P.32MENHUT-II/ Jenis-jenis sumber tumbuhan pakan dan cover cikukua timor pada Mei- Juli Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen abiotik/fisik 77 6 Vektor ciri dari PCA Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen biotik Vektor ciri dari PCA Luas masing-masing tipe habitat di lanskap Camplong iv

19 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia 9 4 Peta Kawasan TWA Camplong dan sekitarnya Lokasi Penelitian Burung Cikukua Timor di lanskap Camplong Desain penempatan garis transek dan grid di lanskap Camplong Bentuk pengambilan sampel jarak menggunakan transek Diagram alur metode penelitian Diagram distribusi perjumpaan aktivitas Cikukua timor di tiap tipe habitat Diagram distribusi jumlah titik kehadiran Cikukua timor di tiap tipe habitat Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai NDVI Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai kemiringan lereng Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang nilai elevasi Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari belukar Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari (a) kebun jambu mete, (b) kebun palawija Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari permukiman Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua Timor pada berbagai rentang jarak dari sungai Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari jalan v

20 20 Diagram sebaran dan persentase pakan; (a) sebaran titik perjumpaan jenis tumbuhan sumber pakan di tiap tipe habitat (Mei-Juli), (b) persentase sumber jenis pakan Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan jenis tumbuhan cover pada tiap tipe habitat (Mei-Juli) Diagram sebaran vertikal vegetasi pada; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang dan (c) tingkat pancang pada setiap titik perjumpaan Cikukua timor Diagram distribusi jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada 71 berbagai klasifikasi tinggi keberadaannya saat beraktivitas.. 24 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor di berbagai 71 klasifikasi tinggi total vegetasi.. 25 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor pada berbagai 72 klasifikasi tinggi bebas cabang vegetasi 26 Diagram kerapatan vegetasi titik perjumpaan pada tiap tingkatan 73 pertumbuhan di tiap tipe habitat 27 Kerapatan tumbuhan pakan tiap tingkat pertumbuhan vegetasi (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang Kerapatan tumbuhan cover tiap tingkat pertumbuhan vegetasi; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat fisik Cikukua timor Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat biotik Cikukua timor Diagram persentase estimasi kepadatan populasi burung Cikukua timor Peta penutupan lahan di lanskap Camplong Peta NDVI Peta ketinggian tempat Peta kemiringan lahan Peta jarak dari sungai Peta Jarak dari hutan primer Peta jarak dari hutan sekunder Peta jarak dari belukar Peta jarak dari pemukiman Peta jarak dari jalan Peta jarak dari kebun jambu mete Peta jarak dari kebun palawija Peta jarak dari sungai Burung P.inornatus sedang mengambil serangga (insekta) pada lubang batang kapuk hutan hutan G. malabarica. 103 vi

21 46 Perilaku menelisik Cikukua Timor di bawah lapisan tajuk S. oleosa di daerah edge tipe habitat hutan primer TWA Camplong Tunggak penebangan liar vegetasi sumber pakan nektar Cassia sp di kawasan TWA Camplong Kegiatan perburuan illegal dengan alat berburu modern (senapan angin) dan perburuan tradisional (ketapel) vii

22 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Jenis-jenis vegetasi yang teramati pada 40 titik presence Cikukua timor (Observasi Mei-Juli 2011) Jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dimanfaatkan oleh cikukua timor Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pohon menggunakan plot lingkaran dengan luas 1000 m 2 (jari-jari 17,8 m) pada titik perjumpaan burung Cikukua Timor di setiap garis transek dan grid pengamatan Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat tiang menggunakan plot lingkaran dengan luas 100 m 2 (jari-jari 5,64 m) pada titik perjumpaan burung cikukua timor di setiap garis transek dan grid 149 pengamatan 5. Rekapitulasi analisis vegetasi tingkat pancang menggunakan plot lingkaran dengan luas 25 m 2 (jari-jari 1,13 m) pada titik perjumpaan Cikukua timor atan Rekapitulasi estimasi kepadatan populasi Cikuku timor menggunakan distance sampling berdasarkan data garis transek Analisis estimasi kepadatan populasi Cikukua timor menggunakan distance sampling dengan data garis transek Nilai hasil interpretasi peta tematik faktor fisik pada 40 titik perjumpaan burung Cikukua timor di lanskap Camplong Nilai pada berbagai veriabel faktor biotik pada seluruh titik perjumpaan Cikukua timor di lanskap Camplong Hasil analisi regresi linear berganda dengan prosedur stepwise 159 terhadap peubah determinan kehadiran Cikukua timor di lanskap Camplong. 11 Hasil PCA faktor fisik habitat Cikukua timor Hasil PCA terhadap faktor biotik Cikukua timor Hasil klasifikasi tutupan lahan lanskap Camplong. 167 viii

23 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, dan Sumba). Pulau Timor memiliki 28 spesies burung endemik Nusa Tenggara dan dari jumlah tersebut terdapat tujuh jenis burung endemik Pulau Timor (Noske & Saleh 1997). Menurut Sujatnika et al. (1995), Trainor (2002), dan Alves (2007) di Pulau Timor terdapat enam jenis burung endemik dan salah satu jenis burung endemik tersebut adalah burung Cikukua timor (Philemon inornatus, G.R.Gray. 1846) yang merupakan anggota suku Meliphagidae. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua jenis dari famili Meliphagidae tergolong dalam status dilindungi. Cikukua timor juga dikategorikan sebagai burung sebaran terbatas (Restricted Range/RR), artinya burung yang memiliki distribusi secara global di alam kurang dari km 2. Populasi Cikukua timor di lanskap Camplong diduga terus menunjukkan penurunan populasi dalam enam tahun terakhir ( ). Indikasi ini dapat diketahui dari semakin berkurangnya tingkat perjumpaan Cikukua timor di alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Camplong. Sebelum tahun 1990-an burung ini merupakan burung yang umum ditemukan. Menurut Henriques dan Narciso (2010) Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang terancam punah (endangered). Menurut Sujatnika et al. (1995) hutan gugur-daun di TWA Camplong telah mengalami proses kerusakan dan gangguan, sedangkan Noske dan Saleh (1996) mengatakan bahwa faktor keterancaman utama burung-burung hutan di Timor berasal dari kerusakan habitat, tekanan perburuan, dan mungkin dari tekanan penggembalaan. Beberapa faktor penyebab kerusakan habitat yaitu; praktek illegal loging, kebakaran hutan, penggembalaan ternak secara liar, pembukaan dan pelebaran jalan dalam kawasan TWA Camplong, praktek pembukaan lahan budidaya pertanian dengan pembakaran. Berbagai aktivitas tersebut telah

24 2 mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk lanskap kawasan sehingga kualitas maupun kuantitas habitat Cikukua timor di lanskap Camplong semakin berkurang. Kumara (2006), menjelaskan bahwa perubahan suatu lanskap kawasan dapat diketahui dengan kuantifikasi pola spasial lanskap yang merupakan hal penting dalam pengelolaan kawasan. Pada bentuk lanskap yang berubah, setiap spesies termasuk Cikukua timor akan mencari patch-patch habitat yang memiliki karakteristik habitat tertentu untuk mendapatkan kebutuhan hidup agar tetap bertahan hidup (survive) dan bereproduksi. Oja et al. (2005) dan Nursal (2007) menyatakan bahwa habitat yang sesuai bagi suatu spesies dicirikan oleh kehadiran spesies tersebut serta tersedianya kebutuhan untuk mampu bertahan hidup dan berhasil bereproduksi dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Sujatnika et al. (1995), kegiatan survei dan inventariasi tentang status habitat dan spesies satwaliar di Timor dan Wetar belum banyak diketahui. Hingga tahun 1995 tidak ada studi ekologi yang telah dilakukan untuk mendata burung-burung hutan di Timor (Noske & Saleh 1996). Khusus informasi mengenai habitat Cikukua timor hingga tahun 2011 masih terbatas pada sebaran berdasarkan altitude dan tipe hutan (Trainor 2002; 2008). Menurut Aarts (2008), pengelolaan dan konservasi populasi satwa membutuhkan informasi tentang dimana dan mengapa satwa tersebut ada, serta dimana lagi mereka mampu hidup. Informasi ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data penggunaan ruang, hubungan data posisional untuk kondisi umum lingkungan dan memanfaatkan hasil model statistik untuk memprediksi penggunaan wilayah geografis lainnya. Pencapaian tujuan tersebut dapat ditempuh melalui kajian spasial berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Kajian spasial merupakan salah satu kegiatan penting untuk memahami karakteristik faktor-faktor habitat baik fisik (abiotik) maupun biotik yang dibutuhkan oleh Cikukua timor. Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam serta membantu proses perancangan kawasan agar mewakili komunitas hayati yang ada, bahkan menampilkan kawasankawasan yang berpotensi untuk mencari spesies langka maupun dilindungi.

25 3 Aplikasi SIG akan mampu memberikan informasi ilmiah tentang tipe habitat dan karakteristik atribut-atribut habitat yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi Cikukua timor. Data dan informasi ini diharapkan dapat membantu pengelola merancang strategi pengelolaan untuk menjamin suksesnya konservasi in-situ Cikukua timor pada masa mendatang di lanskap Camplong Perumusan Masalah Lanskap Camplong merupakan salah satu habitat penting Cikukua timor di Pulau Timor. Wilayah tutupan hutan alam yang cukup luas hanya dijumpai di dalam kawasan TWA Camplong. Taman Wisata Alam Camplong ditetapkan sebagai hutan wisata Tanggal 12 Desember 1983 oleh Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor: 89/Kpts/UMK/83 berdasarkan hasil Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan luas 696,60 ha. Aktivitas masyarakat di dalam (enclave) maupun di luar kawasan TWA Camplong diduga memberikan tekanan terhadap keutuhan kawasan dan berpotensi mengubah bentuk lanskap yang ada di ekosistem hutan. Habitat berpotensi secara kualitas dan kuantitas untuk burungburung endemik termasuk Cikukua timor akan berkurang. Akibatnya beberapa komponen habitat fisik dan biotik tidak mampu menyediakan kebutuhan hidup yang optimal untuk survive dan bereproduksi dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini dapat pula berdampak pada penurunan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Satwa yang hidup pada habitat yang terbatas akan memilih karakteristik habitat tertentu yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya. Moris (1987) menyatakan pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwa liar, karena mereka dapat bergerak secara mudah dari suatu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi dan menempati tempat baru yang menguntungkan. Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa rumusan pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan upaya pelestarian Cikukua timor di lanskap Camplong dapat dirangkai sebagai berikut ; 1. Apa faktor-faktor dominan komponen habitat (fisik/abiotik dan biotik) yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor? 2. Berapa dugaan kepadatan populasi Cikukua timor pada saat dilakukan penelitian ini?

26 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1. Karakteristik habitat Cikukua timor berdasarkan faktor-faktor (peubah) dominan komponen habitat fisik dan biotik yang berpengaruh terhadap keberadaan Cikukua timor. 2. Menduga kepadatan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong pada saat dilakukan penelitian ini Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa ketersediaan data dan informasi karakteristik habitat dan dugaan populasi Cikukua timor sehingga dapat membantu pengelola dalam merancang strategi konservasi in-situ di lanskap Camplong Kerangka Pemikiran Cikukua timor merupakan salah satu dari enam jenis burung endemik Timor yang dapat dijumpai di kawasan TWA Camplong dan sekitarnya yang tergabung dalam lanskap Camplong. Diduga populasi dan sebaran Cikukua timor di lanskap Camplong hingga tahun 2011 terus mengalami penurunan akibat berbagai tekanan perubahan lanskap dan habitat serta aktivitas perburuan illegal. Lanskap Camplong memiliki berbagai tipe ekosistem penting bagi kehidupan Cikukua timor. Berbagai tipe ekosistem tersebut sebagian besar berada di dalam kawasan TWA Camplong. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan TWA Camplong hanya memiliki luas 696,6 ha, namun di dalamnya terdapat tipe-tipe ekosistem penting. Beberapa tipe ekosistem tersebut yaitu; hutan selalu hijau, hutan gugur daun (deciduous forest), savana yang didominasi tegakan kayu putih (Eucalyptus alba), hutan tanaman jati Tectona grandis, flamboyan Delonix regia, johar Cassia siamea, plot percontohan jambu mete, dan mamar (hutan adat). Secara umum lanskap Camplong terbagi dalam tiga tipe ekosistem hutan yaitu ekosistem hutan musim

27 5 yang dicirikan oleh pepohonan yang tidak tinggi (15-20 m) dan memiliki banyak percabangan, ekosistem hutan savana dan ekosistem hutan tanaman. Karakteristik tipe habitat yang demikian dapat merepresentasikan karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk tetap survive dan bereproduksi ke generasi selanjutnya di Pulau Timor. Kekhasan ekosistem seperti ini berperan penting untuk mendukung keberadaan satwa seperti Cikukua timor dan berbagai jenis burung lainnya. Wilayah berhutan yang berpotensi sebagai habitat Cikukua timor sangat terbatas di lanskap Camplong. Beberapa tahun terakhir hingga 2011, beberapa tipe habitat yang berpotensi bagi Cikukua timor di lanskap Camplong telah mengalami perubahan tipe tutupan lahan. Diduga beberapa tutupan lahan berhutan dan savana telah berubah menjadi tutupan lahan semak dan belukar yang didominasi oleh vegetasi invasi yaitu Chromolaena odorata. Perubahan tutupan lahan yang potensial bagi satwa berdampak mengurangi ketersediaan tipe habitat sebagai tempat mencari makan (foraging site) dan cover. Perubahan tutupan lahan dapat mendorong satwa seperti Cikukua timor untuk berada pada titik-titik konsentrasi tertentu, sehingga memudahkan pemburu dalam melakukan aktivitas berburu secara liar (illegal hunting) di dalam dan di luar kawasan hutan. Kondisi demikian berkontribusi terhadap trend penurunan pertumbuhan dan perkembangan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Keberadaan ekosistem hutan di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama angin dan curah hujan), geologi dan tanah. Vegetasi umumnya tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan di celah-celah batu yang didominasi bebatuan karang. Iklim sangat kering, angin bertiup kencang, topografi berbukit-bukit curam, dan sumber air tanah terbatas. Faktor-faktor tersebut merupakan unsur pendorong praktek pertanian tebas bakar oleh masyarakat setempat dan masyarakat Timor pada umumnya. Kondisi ini mempengaruhi kestabilan ekosistem hutan, savana, semak, belukar dan lahan budidaya setempat sebagai habitat Cikukua timor. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa pada dasarnya pengelolaan habitat merupakan inti dari pelestarian satwaliar. Di alam, satwaliar akan melakukan tindakan untuk memilih karakteristik habitat yang sesuai untuk memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan

28 6 bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya. Karakteristik habitat yang dibutuhkan dapat dihasilkan melalui kajian spasial dengan memanfaatkan perangkat SIG. Sinclair et al.(2006) menjelaskan bahwa SIG memungkinkan pengguna untuk mengidentifikasi dan mengukur hubungan timbal balik spasial antara variabel yang sangat sulit untuk tampil di lapangan. Kombinasi kompleks variabel kategori dan kontinu dapat segera diakomodasi menggunakan metode ini. SIG dapat digunakan untuk mencari, memanipulasi, dan menganalisis data habitat yang disukai. SIG merupakan terobosan teknologi dalam analisis kebutuhan habitat satwaliar yang mengubah cara kita berpikir tentang konservasi dan isu-isu manajemen. Hal ini menjadi dasar pelaksanaan penelitian karakteristik habitat Cikukua timor di lanskap Camplong. Gambar kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. Cikukua timor Populasi dan sebaran menurun Perubahan lanskap dan habitat Identifikasi Presence Cikukua timor Identifikasi komponen habitat (makro) dan komponen habitat (mikro) Abiotik Biotik Air Topografi Jarak dari beberapa tipe ekosistem Vegetasi Manusia Spesies Lain Analisis SIG Karakteristik habitat Cikukua timor Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

29 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio-ekologi Cikukua timor Jenis-jenis Cikukua dan gambaran ringkas morfologinya Terdapat enam jenis burung Cikukua yang tergolong dalam genus Philemon di daerah Walacea (Coates et al. 2000), yaitu: (1) Cikukua kecil (P. citreogularis), yang merupakan burung penetap (ada sepanjang tahun dan berbiak) di Nusa Tenggara (Kisar-Moa). Burung ini memiliki ukuran tubuh 25 cm, dan bagian pipi yang gundul berwarna abu-abu kebiruan. Burung-burung remaja memiliki tenggorokan bernuansa kuning; (2) Cikukua timor, yang merupakan burung endemik kawasan Wallacea dan memiliki sebaran di Timor (Nusa Tenggara Timur). Burung ini memiliki ukuran tubuh 24 cm, memiliki mata polos, kulit di sekeliling mata agak gundul, dan sekilas nampak hampir mirip dengan Cikukua tanduk (P. buceroides); (3) P. buceroides, merupakan penetap di Nusa Tenggara. Hal yang dapat membedakan dengan P. inornatus adalah ukuran tubuh yang lebih besar (29-33 cm), berwarna kecoklatan kusam, bagian bawah lebih pucat, muka dan sisi kepala gelap dan gundul, paruh hitam besar dengan kenop pada paruh khas, pada Cikukua tanduk remaja memiliki punggung bersisik putih, tenggorokan dan dada agak kuning, kenop pada paruh samar-samar dan P.b. buceroides terdapat di NTT; (4) Cikukua hitam (P. fuscicapillus) terdapat di Maluku bagian Utara, memiliki ciri berukuran tubuh 30 cm, bercak-mata gundul merah-jambu, paruhnya kokoh, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak mirip dengan kepudang halmahera (Oriolus phaeochromus), (5) Cikukua seram (P. subcorniculatus) di Maluku sebarannya terbatas sampai di Seram, memiliki ukuran tubuh 35 cm, berwarna coklat zaitun, bagian bawah lebih pucat, muka gundul gelap bercak-mata bervariasi coklat kekuningan hingga kemerahan, leher belakang abu-abu, dada kekuningan, kenop pada paruh tidak jelas, sekilas nampak seperti kepudang seram (Oriolus bouroensis); (6) Cikukua maluku (P. moluccensis) di Nusa Tenggara (Tanimbar) dan Maluku (Buru dan Kei) memiliki ciri ukuran tubuh cm, berwarna coklat, bagian bawah dan leher belakang lebih pucat, bercak-muka gundul kehitaman, burung remaja memiliki ciri sisi

30 8 tenggorokan bagian bawah agak kuning, P. m. moluccensis (Buru), tidak ada kenop pada paruh, tenggorokan keputih-putihan, alis pucat, sekilas nampak seperti kepudang muka hitam (Oriolus bouroensis). a. Cikukua timor b. Cikukua tanduk Gambar 2 Perbedaan Cikukua timor dengan Cikukua tanduk Klasifikasi Cikukua timor Sistematika Cikukua timor sebagai berikut; Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Aves Ordo : Passeriformes Famili : Meliphagidae Genus : Philemon Spesies : Philemon inornatus (G.R Gray, 1846) Nama Daerah : Cikukua timor (Indonesia); koakiko (Kupang-Timor), Lorikeet (Timor Leste). Nama Inggris : Timor Friarbird/Plain friarbird (Sukmantoro et al. 2007) Daerah penyebaran Cikukua timor Burung ini merupakan jenis endemik Timor. Burung Cikukua timor hidup pada ketinggian dari permukaan laut (Coates et al. 2000). Status Cikukua timor dalam kategori Endemic Bird Areas (EBAs) adalah RR (Restricted-range) ditemukan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest)

31 9 (Trainor 2002). International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources (IUCN) memasukkan status keterancaman spesies Cikukua timor yang terkategori Least Concern (LC) Ver 3.1. (BirdLife International, 2009). Status LC menunjukkan bahwa keberadaan populasi burung Cikukua timor di alam masih umum ditemukan dan tidak terancam kepunahan maupun kategori mendekati kepunahan atau Near Treatened (NT). Laporan IUCN ini berdasarkan data Coates dan Bishop (1997), bahwa ukuran populasi secara global tidak dihitung, tapi keberadaan spesies ini tersebar luas dan umum ditemukan di Timur Leste (http: //www. iucnredlist. org/apps/redlist/details, 2011 [19 Februari 2011]). Habitat Cikukua timor dan Cikukua tanduk sama-sama di hutan tropis (Tropical Forest), daerah berhutan (Woodland), dan perkebunan (Plantation), dan dikategorikan sebagai common resident (cr) (Trainor et al. 2008). Trainor (2002) juga menyatakan Cikukua timor hidup di habitat hutan muson (monsoon forest). Cikukua tanduk atau Helmeted Friarbird P. buceroides merupakan burung yang umum di savana dataran rendah, memiliki distribusi di bagian Barat atau Utara Wallacea (yang terhubung dengan pulau dan yang bertautan dengan benua Asia Selatan-Timur (Trainor et al. 2008). Gambar 3 Peta Pulau Timor, wilayah garis perbatasan dan penyebaran burung di Timor Leste dan Timor Barat, Indonesia (Sumber: Trainor et al. 2008) Karakterisitik Burung Pemakan Nektar Suku Meliphagidae (isap madu) termasuk ke dalam burung Australo- Papua yang besar. Terwakili dengan baik di Indonesia bagian Timur, tetapi jarang mencapai kawasan Sunda. Suku burung ini beragam, mulai dari jenis berukuran

32 10 besar seperti burung Cikukua yang mengisi relung rangkong sampai berukuran kecil mengisi relung yang sama dengan Pijantung dan Burung madu (MacKinnon et al. 2010) Penampakan umumnya tidak mencolok. Paruhnya ramping, tajam dan melengkung ke bawah. Memakan nektar, buah-buahan dan serangga. Sarangnya dibuat berbentuk mangkuk. Satu-satunya wakil dari suku ini adalah isap-madu Indonesia (Lichmera limbata), khas untuk anggota yang berukuran kecil dalam suku ini (MacKinnon et al. 2010). Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.peran tersebut tercermin dari posisi tropik yang ditempatinya. Sebagai contoh, burung pemakan nektar dan buah berperan dalam proses penyerbukan buah dan penyebaran biji (Partasasmita 2009). Deliso (2008) menjelaskan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi populasi burung kolibri (hummingbird) di Monteverde, Pegunungan Tilaran, Costa Rica. Perubahan iklim telah mempengaruhi tanaman penghasil nektar. Kolibri telah mengalami efek kompleks pada komunitas tumbuhan melalui penyerbukan. Selanjutnya, nektar dan produksi bunga mempengaruhi perilaku, ukuran populasi, dan siklus kehidupan burung. Variabel iklim yang mencakup curah hujan, temperatur dan penutupan awan mempengaruhi produksi nektar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan yang menurun, terjadinya peningkatan suhu dan penutupan awan telah berdampak langsung kepada populasi kolibri dan tanaman yang mendukung kehidupannya. Famili kolibri lebih memilih jenis tumbuhan yang menghasilkan bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar. Kolibri mengunjungi bunga di hari pertama bunga tersebut mekar dengan jumlah kunjungan sebanyak tiga kali secara bertahap. Selain itu, tanaman yang berukuran besar dengan bunga lebih banyak, dan jumlah nektar lebih besar, menerima kunjungan lebih banyak per tanaman dan per bunga dibandingkan tanaman kecil dengan beberapa bunga saja. Honeyeaters dapat memakan serangga kecil atau serbuk sari ketika mereka mengunjungi bunga yang berukuran kecil. Honeyeaters cenderung makan di daerah hutan yang memilliki ciri-ciri tersendiri (discrete) karena mereka memiliki kepentingan makanan yang sama (Castro & Robertson 1997). Honeyeaters

33 11 ataupun hummingbirds (Fam.Trochilidae) mendapatkan lebih banyak airnya dari nektar yang mereka konsumsi dan kadang-kadang asupan air yang berlebihan diperoleh melalui nektar (Nicolson 2006). Rata-rata, bunga untuk burung pemakan nektar mengandung 75-80% air (Nicolson 2006). Tumbuhan yang terbanyak menyediakan sumber nektar untuk honeyeaters di Australia berasal dari famili Myrtaceae (10 genus; pohon dan semak belukar), Proteaceae (7 genus: pohon dan semak), Loranthaceae (6 genus: hemisparasites); Rutaceae (6 genus; pohon dan semak), Epacridaceae (5 genus; semak), dan famili penting lainnya yaitu Myoporacea, Haemodoracea, dan Fabacea di Australia Selatan-Timur (Ford et al. 1979) Teritori Famili Meliphagidae Maher dan Lott (1995) menyatakan bahwa definisi teritori secara konseptual kebanyakan berbeda antara satu dengan yang lainnya dari tiga tipe yaitu; (1) daerah pertahanan, (2) daerah eksklusif, (3) dominan lokasi spesifik. Teritori pada burung paling umum didefinisikan secara konseptual sebagai areal pertahanan. Penelitian burung kebanyakan terkait dengan penandaan teritori dengan nyanyian. Nyanyian merupakan cara relatif lebih mudah untuk mengukur dan mengidentifikasi teritori; pada habitat yang visibilitas yang rendah, mengukur jumlah nyanyian lebih mudah daripada menghitung jumlah pergerakan penyusupan melalui vegetasi. Graf (2008) menyatakan bahwa teritori berkaitan erat dengan seleksi habitat, karena burung teritorial harus mencari patch yang belum digunakan oleh pesaing sejenis atau lain atau harus merebut suatu wilayah yang sudah digunakan oleh individu atau pasangan lainnya. Teritorialitas biasanya ditunjukkan dengan respon agresifitas terhadap individu lain yang melibatkan penggusuran (displacing), berburu (chasing) atau membentur (striking) dan beberapa respon yang lebih lemah seperti nyanyian dan atraksi lainnya. Menetapkan dan mempertahankan wilayah merupakan pendekatan untuk mengamankan ketersediaan sumberdaya yang terbatas seperti makanan, lokasi bersarang dan kawin.

34 Perilaku Penelitian di wilayah Armidale, New South Wales (NSW), selama lebih dari 8 tahun dengan melakukan pencincinan burung (banded birds) oleh Ford tahun 1999 diketahui bahwa aktivitas organisasi sosial burung P. corniculatus, seringkali kelihatan dilakukan oleh seekor, berpasangan atau bersama-sama (flocks) (Clements 2000). Menurut Sukarsono (2009), perilaku sosial menyediakan banyak manfaat. Banyak binatang lebih sukses dalam menemukan makanan jika mereka mencarinya secara berkelompok, terutama jika sumbersumber daya makanan hanya terdapat di tempat tertentu. Jika lebih banyak individu bekerja sama, maka akan ada satu atau lebih kesempatan mereka menemukan makanan. Tracey et al. (2007) Noisy friarbirs dapat bermigrasi dan kebanyakan populasi Noisy friarbirs terlihat bergerak mengembara (nomadic) mengikuti kualitas nektar terbaik dari pohon dan belukar yang sedang berbunga. Noysi friarbird tercatat melakukan berpindah terjauh 510 km dari selatan Mudgee ke Mita-Mita di timur laut Victoria. Noisy friarbirs makan bersama kelompok lorikeets, red wattlebirds (Anthochaeracarunculata) dan honeyeaters (Melipagidae) lain sampai berkompetisi secara intensif pada saat kekurangan pakan. Secara umum friarbird makan dalam kelompok kecil yang ribut, tidak lebih dari 20 induvidu, tapi berkelompok lebih besar dapat terjadi sekitar sumber pakan (Tracey et al. 2007) Satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya (Alikodra 2002). Bailey (1984) menyatakan bahwa satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, pendeteksian adanya bahaya, dan untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Banyak hewan tinggal dalam kelompok sosial yang dilakukan juga untuk perlindungan. Beberapa binatang membentuk kelompok sosial untuk membuat

35 13 perjalanan mereka lebih mudah, seperti Angga kenada dan spesies burung lain secara tipikal terbang dengan formasi V (Sukarsono 2009). Populasi satwaliar mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hirarki dan teritorial. Sistem hirarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984) Habitat Morrison (2005) menyatakan bahwa istilah habitat terkait pada konfigurasi spesifik dari komponen lingkungan (misalnya, vegetasi, permukaan batuan, air) yang digunakan satwa pada setiap titik waktu. Habitat merupakan konsep spesifik suatu spesies, dimana setiap spesies hewan menggunakan suatu kombinasi dari komponen lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, tidak ada daerah spesifik habitat yang baik atau buruk, kecuali jika dinilai dalam hubungannya dengan spesies tertentu. Jadi apa yang baik untuk satu spesies mungkin tidak baik bagi spesies lain. Kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar disebut habitat (Alikodra 2002). Menurut Krebs (1978); Leksono (2007), habitat merupakan lingkungan dimana spesies berada atau habitat adalah bagian biosfer dimana organisme dapat hidup, baik secara permanen maupun temporer. Menurut Bailey (1984), habitat suatu organisme pada umumnya mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme yang menghuninya. Kebutuhan habitat dari suatu spesies satwaliar adalah faktor yang menentukan kesejahteraan bagi suatu jenis satwa. Tersedianya kebutuhan habitat suatu jenis satwa selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kesehatan dari satwa. Persyaratan hidup setiap organisme merupakan kisaran faktor-faktor ekologi yang ada dalam habitat dan diperlukan oleh setiap organisme untuk mempertahankan hidupnya. Persyaratan habitat terdiri dari pakan, penutupan tajuk dan faktor lain yang dibutuhkan oleh satwaliar untuk bertahan

36 14 hidup serta untuk keberhasilan proses reproduksi. Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra 2002). Berdasarkan segi komponennya, habitat terdiri dari komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik dan biotik ini membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Faktor-faktor dari komponen fisik yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar antara lain; (a) air dimana ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal, dan iklim tidak hanya menentukan kuantitas total air yang tersedia per tahun, tetapi juga keadaan hujan yang merata sepanjang tahun atau hanya beberapa bulan saja, (b) radiasi surya diubah dengan cara kimia setelah sampai di permukaan bumi untuk dipergunakan oleh berbagai organisme, (c) temperatur dimana berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kematian suatu organisme, dan secara umum temperatur berpengaruh terhadap perilaku satwaliar, ukuran tubuh ataupun bagian-bagiannya, (d) panjang hari dimana aktivitas satwaliar banyak tergantung pada panjang hari, terutama jenis satwa yang aktif pada siang hari (diurnal) dan berlindung pada malam hari, jenis satwaliar yang aktif pada malam hari (nocturnal), dan beberapa jenis aktif pada waktu senja ataupun fajar (crepuscular), (e) aliran dan tekanan udara berperan sangat penting bagi beberapa jenis satwaliar seperti jenis elang, mempengaruhi tingkat kandungan air dan kelembaban relatif tanah, mempunyai kekuatan sebagai perusak, perbedaan tekanan udara berdasarkan perbedaan ketinggian dapat menyebabkan perbedaan bentuk kehidupan, dimana semakin tinggi suatu tempat akan semakin rendah tekanan udaranya, sehingga mempersulit proses respirasi satwaliar, (f) tanah yang terbentuk sebagai hasil interaksi proses geologis, iklim, dan biologis, secara umum tipe tanah berpengaruh terhadap tipe vegetasi, sehingga dapat menentukan struktur kehidupan satwaliar yang menempatinya (Alikodra 2002). Faktor-faktor dari komponen biotik terdiri dari kuantitas dan kualitas makanan, pemangsaan (predasi) dan penyakit (Bailey 1984). Satwaliar memerlukan kuantitas dan kualitas makanan yang berbeda menurut jenis, perbedaan jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan kondisi geografis. Alikodra (2002) menyatakan bahwa adanya asosiasi antara mangsa

37 15 (prey) dan pemangsa (predator) menunjukkan bahwa populasi mangsa akan ditentukan oleh ukuran populasi predator, dan populasi predator akan ditentukan oleh ketersediaan mangsa Preferensi Habitat Habitat preferensi mencerminkan integrasi beberapa faktor lingkungan pada beberapa skala spasial, dan individu mungkin memiliki lebih dari satu pilihan untuk mengoptimalkan fitness melalui strategi seleksi habitat. Penilaian kualitas habitat untuk strategi manajemen idealnya harus mencakup analisis beragam konsekwensi fitness pada berbagai tingkatan spasial ekologi yang relevan (Chalfoun & Martin 2007). Preferensi habitat didorong oleh interaksi yang kompleks antara pola-pola perilaku, persyaratan biologis dan kondisi lingkungan (Ersts & Rosenbaum 2003). Menurut Celuch dan Zahn (2008) secara umum, tujuan untuk menentukan preferensi habitat suatu spesies adalah untuk mengevaluasi kualitas habitat yang memiliki kontribusi terhadap kelangsungan hidup dari populasi tersebut. Penggunaan habitat menjadi selektif jika satwa membuat pilihan dibandingkan mengembara dengan sembarangan di luar lingkungannya. Penilaian kualitas suatu habitat berdasarkan pada pemahaman bahwa preferensi dan seleksi adalah terkait dengan fitness dan karena itu preferensi dapat diduga dari pola pemanfaatan yang diamati. Mengidentifikasi atribut-atribut habitat yang mempengaruhi pemilihan habitat dan meningkatkan fitness adalah hal penting untuk pengelolaan yang efektif (Chalfoun & Martin 2007). Leksono (2007) menjelaskan fitness adalah ukuran atau kemampuan kontribusi genetis individu untuk generasi berikutnya. Individu memiliki fitness yang tinggi jika mereka meningggalkan banyak keturunan. Individu dapat lebih sesuai dengan lingkungan jika; (a) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (b) memiliki kesintesaan (lama hidup) yang lama, (c) memiliki keduanya Kesesuaian Habitat Habitat yang sesuai adalah tempat yang mampu menyediakan kondisi yang dibutuhkan oleh satwa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam

38 16 jangka waktu yang cukup lama (Nursal, 2007). Menurut Odum (1993), proses identifikasi kesesuaian habitat satwaliar dilakukan berdasarkan kajian dan penilaian atas kebutuhan hidup satwaliar tersebut. Hal ini tidak dapat lepas dari hukum minimum Leibig dan hukum toleransi Shelford. Hukum minimum Leibig menyatakan bahwa untuk dapat bertahan dan hidup di dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan penting yang diperlukan untuk pertumbuhan dan berkembangbiak. Keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan keadaan. Di bawah keadaan-keadaan mantap, bahan penting yang tersedia dalam jumlah paling mendekati jumlah minimum genting yang diperlukan akan cenderung merupakan pembatas. Hukum toleransi Shelford menyatakan bahwa kehadiran dan keberhasilan suatu organisme atau golongan organisme bergantung pada lengkapnya kompleks keadaan. Ketiadaan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara kualitatif atau kuantitatif dari salah satu beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut. Keadaan manapun yang mendekati atau melampaui batas-batas toleransi dinamakan sebagai yang membatasi atau faktor pembatas. Kebutuhan hidup minimal bagi setiap spesies satwaliar berbeda-beda satu sama lain (Odum 1993), atau dapat dikatakan bahwa setiap organisme mempunyai habitat yang sesuai dengan kebutuhannya (Indriyanto 2006). Perbedaan tersebut mengakibatkan tidak seluruh wilayah kawasan hutan secara potensial sesuai bagi setiap spesies satwaliar. Oleh karena itu masing-masing spesies memperlihatkan perbedaan dalam lokasi keberadaannya, sehingga masing-masing spesies memiliki relung atau ruangan habitat yang berbeda (Odum 1993). Selanjutnya Indriyanto (2006) menjelaskan jika terjadi gangguan pada habitat, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menghuninya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar kisaran faktor-faktor ekologi yang diperlukan oleh setiap organisme di dalamnya, maka organisme itu dapat mati atau migrasi ke tempat lain.

39 Seleksi Habitat Johnson (1980) mendefinisikan seleksi sebagai proses dimana satwa secara nyata memilih suatu sumberdaya atau habitat; dan menurut Bailey (1984), seleksi habitat merupakan spesialisasi. Bagi suatu spesies, memilih habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kesesuaian dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia. McComb (2007) menyatakan bahwa seleksi habitat adalah sekumpulan perilaku kompleks tentang suatu spesies yang dibangun diantara individu-individu di dalam populasi untuk kelangsungan fitnes. Moris (1987) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan suatu hal penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru yang menguntungkan. Menurut Morris (1987), faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat. Satwaliar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif. Beberapa organisme tidak dapat menempati range pontensialnya, meskipun secara fisik mereka dapat mencapai daerah tersebut. Dengan demikian, individu-individu tersebut tidak hidup di habitat tertentu dan distribusi dari spesies mungkin dibatasi oleh faktor perilaku pemilihan habitat (Leksono 2007). Menurut Johnson (1980), hadirnya populasi atau individu tergantung pada kriteria biologi dan fisik serta kriteria ini untuk membangun habitat. Penggunaan habitat atau Habitat use merupakan penggunaan dari salah satu komponen-komponen ini, sedangkan seleksi habitat ( Habitat selection ) merupakan proses dimana satwa memilih komponen apa yang digunakan. Pemilihan komponen diatur dalam urutan hirarkis dengan urutan pertama adalah jangkauan geografis, kedua adalah home range (daerah jelajah) individu dalam jarak geografis, ketiga adalah penggunaan komponen dalam home range dan keempat adalah representasi dari bagian komponen home range yang secara aktual digunakan oleh individu seperti

40 18 jika urutan ke-tiga merupakan suatu tempat mencari makan, urutan ke-empat adalah makanan yang dikonsumsi. Moris (1987) menyatakan bahwa beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni;(1) ketersediaan mangsa (pakan), (2) menghindari pesaing, dan (3) menghindari predator (Moris 1987; Leksono (2007). Graf (2008) menjelaskan bahwa pemilihan habitat adalah keputusan berbagai aspek yang harus dilakukan oleh burung. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan tempat untuk berkembangbiak, kawin dan mencari makan. Beberapa faktor dari bagian habitat burung adalah struktur atribut lanskap seperti air, jurang, hutan primer, atau semak atau padang rumput, kepadatan dan semak-semak yang tidak tinggi, dekat dengan lokasi mencari makan dan peluang bersarang, ketersediaan pakan, keberadaan predator (pemangsa), mudah melakukan pertahanan (keamanan), kemungkinan survive bagi keturunannya, perubahan iklim mikro, dan jarak ke pemukiman. Bermacam-macam faktor ini menunjukkan bahwa hal tersebut sangat mahal bagi burung untuk menjelajahi seluruh wilayah untuk mengecek semua faktor ini atau setidaknya ada faktor penting untuk burung. Leksono (2007) menjelaskan dua pendekatan untuk mempelajari seleksi habitat; pertama pendekatan proksimal yakni melihat pemilihan habitat sebagai mekanisme perilaku dan mempertanyakan dalam rangka fisiologi bagaimana hewan memilih habitatnya, kedua pendekatan ultimate atau pendekatan evolusi yakni melihat alasan adaptif untuk pemilihan habitat dan signifikansi evolusioner dari perilaku yang terlibat. McComb (2007) menjelaskan bahwa perilaku seleksi habitat juga telah memungkinkan setiap spesies memilih habitat dengan cara yang memungkinkan untuk mengurangi kompetisi memperoleh sumber daya dengan spesies lain. Jadi, tekanan seleksi evolusioner pada setiap spesies, baik abiotik dan biotik, telah menyebabkan spesies tersebut mengembangkan strategi yang berbeda untuk kelangsungan hidup yang berkaitan dengan seleksi habitat dan dinamika populasi.

41 19 Beberapa spesies yang memiliki habitat generalis, dapat menggunakan sumber daya makanan dan cover yang luas. Spesies generalis cenderung mudah beradaptasi dan terdapat dalam berbagai macam kondisi lingkungan. Spesies-spesies yang lain memiliki habitat spesialis. Spesies spesialis beradaptasi bertahan hidup di hutan dengan memanfaatkan penggunaan sekumpulan sumber daya yang sempit, sumber daya bagi mereka beradaptasi lebih baik untuk digunakannya daripada kebanyakan spesies yang lain Struktur dan Komposisi Vegetasi Struktur fisik hutan terbentuk oleh adanya perbedaan tinggi pohon menurut jenis, umur dan sifat tumbuhnya. Kondisi ini membentuk stratifikasi menjadi relung ekologi tertentu bagi suatu jenis satwa (Duma 2007). Analisis struktur fisik vegetasi hutan, Soerianegara dan Indrawan (1998) membedakan stadium tumbuh vegetasi sebagai berikut; (a) semai (seedling) mulai dari kecambah sampai tinggi 1,5 m, (b) pancang (sapling) tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm, (c) tiang (pole) tumbuhan berkayu dengan diameter 10 - < 20 cm, dan (d) pohon dewasa yang berdiameter yang berdiameter 20 cm Kerapatan Kerapatan atau densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume atau merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto 2006). Salah satu unsur habitat yang paling umum diukur adalah kerapatan yang meliputi; pohon, tiang, pancang, semak atau semai dan tanaman lain (McComb 2007). Menurut Arrijani et al. (2006), nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu. Oleh karena itu nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut pada suatu lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat memberikan gambaran tentang bagaimana distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya, sedangkan pola sebaran dapat ditentukan dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan varians populasi secara keseluruhan. Perbedaan nilai

42 20 kerapatan masing-masing jenis disebabkan oleh reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Indriyanto (2006), menyatakan densitas pada umumnya berhubungan dengan kelimpahan berdasarkan penaksiran kualitatif seperti sangat jarang, jarang, banyak, dan sangat banyak.kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Menurut Bibby et al. (2000), menghubungkan distribusi burung secara langsung dengan pohon dan jenis tumbuhan yang ada di suatu tempat memang sangat ideal. Kelimpahan pohon yang sedang berbuah mungkin dapat dihubungkan dengan kelimpahan jenis burung pemakan buah-buahan Principal Component Analysis (PCA) Secara teknis, Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Kompunen Utama (AKU) merupakan suatu teknik mereduksi data multivariate (banyak data) yang mencari untuk mengubah (mentransformasi) suatu matrik data awal/asli menjadi suatu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal. Banyaknya faktor (komponen) yang dapat diekstrak dari data awal/asli ialah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit mungkin komponen/faktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli/awal katakan lebih dari 80% (Supranto 2004). Di dalam aplikasi data penginderaan jauh (inderaja), PCA merupakan salah satu metode statistika yang digunakan untuk menggali informasi dari data citra inderaja, terutama dalam hubungannya dengan multidimensi peubah (Adiningsih et al.2004). Principal Component Analysis digunakan untuk menguji hubungan antara beberapa variabel kuantitatif. Teknik ini sangat baik dalam mendeteksi hubungan linear antara plot-plot pada berbagai komposisi jenis, kepadatan dan cover. Principal Component Analysis telah digunakan sebagai cara terbaik melakukan analisis awal dari skema klasifikasi vegetasi dalam mempersiapkan membangun peta vegetasi. Komponen utama dihitung berdasarkan kombinasi linear dari variabel-variabel yang digunakan dalam analisis, dengan koefisien yang sama untuk eigenvector dari korelasi atau matriks kovarian. Komponen utama diurutkan berdasarkan urutan eigenvalue, dimana

43 21 sama dengan komponen varian. Bila diterapkan dengan benar, PCA sangat kuat untuk analisis awal dataset vegetasi, terutama untuk analisis komunitas tumbuhan. Hal ini merupakan langkah awal yang efektif sebagai cara untuk mengklaster plotplot survei yang memiliki komposisi, kepadatan atau cover yang serupa (Department of The Army USA 1999). Syartinilia (2008) menjelaskan bahwa korelasi berbasis PCA menggunakan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) dilakukan pada variabel lingkungan dalam rangka untuk mengukur pola lanskap yang independent satu sama lainnya. Secara matematis, PCA, melibatkan eigen analisis dari persamaan matriks simetris atau koefisien korelasi antara variabel-variabel geografis untuk menghasilkan serangkaian eigenvalues dan eigenvector yang saling berhubungan. Komponen utama diakhiri dengan dirotasi menggunakan metode varimax untuk membantu interpretasi cara penyelesaian faktor. Kemudian komponen-komponen diinterpretasikan dengan menggunakan komponen yang dimasukkan (korelasi antara komponen utama dan setiap variabel asli). Khera et al. (2009) menggunakan PCA dengan program XLSTAT (Versi ) untuk menganalisis distribusi burung pada 19 ruang hijau dan menentukan ukuran ruang hijau dan spesies tumbuhan berkayu yang mempengaruhi kelimpahan spesies burung di Delhi, India. Data matrik PCA terdiri dari 19 lokasi x 56 jenis burung. Nilai rata-rata sejumlah individu dicatat dari tiap spesies yang digunakan dalam matriks. Dua sumbu utama dihubungkan dengan variabel-variabel habitat seperti ukuran ruang hijau, keanekaragaman dan kepadatan spesies tumbuhan menggunakan korelasi Pearson. Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan bagaimana ukuran komunitas burung secara keseluruhan dipengaruhi oleh ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan vegetasi berkayu, jumlah spesies burung dan keragamannya berkurang dengan ukuran ruang hijau. Hasil analisis dengan PCA menunjukkan bahwa spesies burung cenderung lebih memilih hutan dengan semakin bertambahnya ukuran ruang hijau, keragaman dan kepadatan semak belukar.

44 Populasi Populasi didefinisi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individuindividu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu (Anderson, 2002). Dalam pengelolaan satwaliar, Alikodra (2002) memberikan batasan populasi menjadi kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Dalam ilmu dinamika populasi, Tarumingkeng (1994) mendefinisikan populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Suatu populasi memiliki sifat-sifat khas yaitu; kepadatan (denstitas), laju kelahiran (natalitas) laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), pemencaran (disperse), struktur umur, potensi biotik, sifat genetik, nisbah kelamin dan perilaku (Tarumingkeng 1994; Alikodra 2002). Kepadatan populasi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa parameter demografi antara lain; natalitas, mortalitas, struktur populasi, nisbah kelamin, dan migrasi (Alikodra 2002). Survei memberikan informasi dasar tentang distribusi spesies dan jumlah populasi. Survei mengkaji situasi pada suatu saat tertentu, sedangkan program pemantauan umumnya mendeteksi perkembangan menuju situasi yang telah ditetapkan. Survei berperan penting pada saat merancang jaringan kawasan lindung, menentukan perbatasan kawasan suaka atau batas-batas koridor yang menghubungkan populasi yang terisolasi, dan saat memutuskan di lokasi mana akan dilakukan investasi waktu dan upaya untuk kegiatan perlindungan atau penelitian (Khul et al. 2011) Lanskap Lanskap merupakan suatu konsep ruang yang holistis dan umum, jauh lebih luas daripada komponen-komponen penyusunnya; dataran, tanah, penutup dan penggunaan lahan (Sheil et al. 2004). Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang didalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang

45 23 berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu proses kegiatan di dalam lanskap akan selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan ekologi lanskap (Farina 1998). Perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan Gordon 1986), yaitu; (1) lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia, (2) lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena miss-managamant) misalnya buruknya sistem pengelolaan hutan produksi, (3) lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usahatani yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi; proses perubahan lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap yaitu usaha tani tradisional, kombinasi tradisional dan moderen, dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan bentuk-bentuk permukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu menjadi pedesaan dan perkotaan, (4) lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan manusia, antara lain, kebun dan pekarangan, (5) lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat akivitas manusia Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumber daya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis, memanipulasi dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002; Prahasta 2009). Menurut Ekadinata et al. (2008) sistem SIG adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadannya di permukaan bumi. Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi

46 24 geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa informasi numerik foto, narasi, dan lain sebagainya yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan dan sensus, serta lain-lainnya. Sumber data spasial antara lain mencakup; data grafis peta analog foto udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran dengan menggunakan Global Positioning System (GPS), dan lain-lain (Ekadinata et al. 2008). Menurut Barnes dan Malik (1997), aplikasi SIG telah diadoposi dalam pemodelan ekologi sebagai alat untuk menghasilkan data yang diperlukan pada pemodelan skala ruang dan waktu yang berbeda, dan juga sebagai alat untuk ekstrapolasi hasil dari basis titik menjadi basis spasial (Osborne at al. (2001) Citra Landsat-5 Thematic Mapper (TM) Lo (1995), menjelaskan sensor pada satelit landsat berfungsi sebagai sistem pencitraan, diantaranya adalah kamera Return Beam Vidicon (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Landsat 2 dan 3 adalah RBV dan MSS, sedangkan pada Landsat 4 ditambahkan sistem pencitraan TM yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan dan radiometrik, serta ketelitian geometrik. Thematic Mapper merupakan suatu sensor optik penyinaran yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah. Secara rinci dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Aplikasi prinsip dan saluran spektral Thematic Mapper Saluran Panjang Potensi Pemanfaatan (Band) Gelombang (µm) 1 0,45-0,52 Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan korniver 2 0,52 0,69 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan 3 0,63-0,69 Saluran absorsi klorofil yang penting untuk diskriminasi 4 0,76 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan delineasi badan air 5 1,55 1,75 Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tana, dan juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan 6 10, Saluran inframerah termal penggunaanya untuk analisis pemetaan vegetasi, diskriminasi kelebaban tanah dan pemetaan termal 7 2,08 2,35 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan pemetaan hidrotermal Sumber: Lo (1995).

47 25 Landsat 5, diluncurkan pada bulan Maret 1984, dengan sensor citra-bumi TM. Satelit dan sensor kontinu beroperasi harian, setelah melayani lebih dari 23 tahun. Thematic Mapper memiliki 7 band; 30 m 6 band reflektif dan 120 m satu band thermal. Band-band TM memiliki pusat panjang gelobang kira-kira 0,49, 0,56, 0,66, 083, 1,67, 11,5 dan 2,24 µm (Chander et al. 2007) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Selama bertahun-tahun, berbagai indek vegetasi telah dikembangkan dalam penilaian kuantitatif dan kualitatif dari parameter bio-fisik vegetasi. Sensor dengan band spektral pada Red (RED) dan near-infrared (NIR) digunakan untuk memonitoring vegetasi karena band-band tersebut merupakan indikator kuat dari jumlah biomasa hijau aktif photosintesis (Tucker 1979 diacu dalam Chander & Groeneveld, 2009). Hasilnya telah digunakan secara luas ketika membuat NDVI, yang didefinisikan sebagai (NIR-RED)/(NIR + RED). Teillet et al (1997) meringkas efek dari spektral, karakteristik spasial dan radiometrik pada NDVI dari daerah berhutan. Vegetasi merupakan suatu yang penting dan elemen dinamis dalam siklus hidrologi. Penggunaan citra satelit pada areal yang bervegetasi umumnya menunjukkan nilai yang tinggi disebabkan oleh reflektansinya yang tinggi pada inframerah dekat dan reflektansi yang rendah pada sinar tampak. Hal sebaliknya terjadi dimana air, awan dan salju mempunyai nilai reflektansi yang tinggi terhadap sinar tampak (merah) dari pada reflektansi inframerah dekat, sehingga menunjukkan nilai indeks vegetasi yang negatif. Pada batuan dan lahan atau tanah kosong menghasilkan indeks vegetasi mendekati nol, karena pada kedua band (kanal) reflektansi yang terjadi hampir sama (Yin & Williams 1997). Budi (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai NDVI maka biomassa akan meningkat secara logistik. Sesuai dengan penyataan Barret dan Curtis (1992) diacu dalam Budi (2000), bahwa hubungan NDVI dengan biomassa tidak berbentuk linear (tidak konsisten). NDVI telah menjadi indeks popular untuk estimasi LAI (Leaf Area Index) di seluruh ekosistem yang beragam. Namun, sebagian besar studi tersebut untuk memperkirakan LAI menggunakan NDVI yang terkait dengan sistem vegetasi semi-arid dan pertanian dimana penutupan

48 26 kanopi kurang dari 100%. Studi terbaru menunjukkan bahwa NDVI banyak tidak sensitif terhadap nilai-nilai LAI khususnya pada ekosistem hutan yang memiliki kanopi yang rapat dimana nilai LAI relatif tinggi (Chen & Cihlar 1996; Turner et al. 1999). Menurut Prahasta (2009) vegetasi memiliki spektral signature yang unik dan memungkinkan bagi dipakainya untuk membedakan tipe-tipe landcover pada image near-infrared. Pantulannya akan bernilai rendah pada domain spektrum biru dan merah, karena penyerapan klorofil untuk fotosintesa. Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau dan meningkatkan warna hijau pada unsur yang bersangkutan.bentuk spektrum pantulan juga dapat dipakai untuk mengidentifikasi tipe atau kelas vegetasi Representasi Data Spasial Data spasial perlu dikonversi ke dalam format dijital untuk dapat dipergunakan dalam data SIG. Dalam format digital, terdapat dua model representasi data (struktur data grafis) yaitu model vektor dan raster. Kedua model mampu menyimpan detil informasi tentang lokasi serta atributnya. Pada model vektor, posisi suatu obyek didefinisikan oleh rangkaian koordinat X dan Y. Dalam menggunakan model vektor, obyek-obyek dan informasi di permukaan bumi dilambangkan sebagai titik, garis, atau polygon (Ekadinata et al. 2008) Pada model raster, data spasial diorganisasikan dalam sel (grid cells) atau pixel.piksel adalah unit dasar yang digunakan untuk menyimpan informasi secara eksplisit. Masing-masing pixel mewakili luasan tertentu di permukiman bumi. Pada dasarnya dalam pemodelan raster, permukaan bumi yang dimodelkan menjadi matriks dua dimensi yang terdiri dari sel-sel yang sama besar (Ekadinata et al. 2008) Pemanfaatan SIG untuk Konservasi Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa SIG yang terdiri atas berbagai tahapan, termasuk menyimpan, menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam peta, termasuk peta jenis vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, sebaran spesies, kawasan yang dilindungi, permukiman manusia dan pola ekstrasi sumber daya alam. Kumara (2006) menjelaskan keunggulan-keunggulan SIG sebagai sebuah perangkat sistem yang

49 27 sudah dioperasikan dengan kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan, memunculkan kembali, mentransformasi dan menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan tertentu, telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar pemetaan, namun juga pemanfaatannya dibidang pengelolaan sumber daya alam maupun konservasi. Menurut Sinclair et al. (2006) SIG merupakan sarana yang menghubungkan informasi geografis yang kompleks dari struktur fisik, relief topografi, fitur biologis, dan elemen lanskap buatan manusia ke dalam data base komputerisasi. Hal ini memungkinkan pengguna dengan cepat menyaring informasi spasial yang kompleks dalam konteks visual. Osborne et al. (2001) menggunakan SIG dan penginderaan jauh untuk membuat pemodelan penggunaan habitat pada skala lanskap. Beberapa penelitian habitat menggunakan SIG dengan metode dan perangkat lunak yang bervariasi Tabel 2. Tabel 2 Penelitian tentang habitat burung menggunakan SIG Lokasi Habitat Propinsi Toledo, Spanyol Castello, Iberian Paninsula Osca, Hungaria TN.Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara Software SIG Arc-View Sofware Analisis spasial dengan ESRI, Inc Arview GIS 3.2.Logistic Regression GPS pathfinder office 2.90 dan ArcView 3.2 ARgis 9.3, Erdas Imagine 9.1, Regresi Logistic Hasil Penelitian Model preferensi habitat untuk sarang elang (Owls Bubo Bubo): topografi yang bersifat irregular, dekat sungai dapat diartikan baik untuk dipilih sebagai kawasan lindung bagi lokasi sarang atau kawasan dengan ketersedian mangsa yang tinggi. Pemodelan preferensi habitat breeding Bonelli s eagle (Hieraaetus fasciatus) dalam hubungan dengan topografi, gangguan, iklim, penggunaan lahan pada skala spasial berbeda: spesies ini nampak suka menyebar di hutan, lahan bersemak belukar, dan areal pertanian. Preferensi habitat Sylviidae warblers di lahan basah terfragmentasi; pola distribusi dan ukuran home range tampak berbeda diantara kelompok studi, pemilihan habitat ternyata menjadi skala keputusan yang sangat kecil Analisis kesesuian habitat burung maleo (Macrocephalon maleo): model kesesuaian burung maleo di TNBNW adalah model dengan veriabel bebas ketinggian tempat, jarak dari sungai, NDVI layak diterapkan. Sumber Ortego dan Diaz (2004) Lopez et al. (2006) Preiszner dan Csorgi (2008) Ambagau (2011)

50 III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Letak Lanskap Camplong terletak 45 km sebelah Timur Laut Kota Kupang. Secara administratif pemerintahan, lanskap Camplong termasuk dalam Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Lanskap Camplong memiliki kawasan TWA Camplong yang di kelilingi oleh beberapa desa yaitu; Desa Camplong I, Camplong II, Naunu, Silu dan Oebola Dalam yang merupakan desa enclave seluas 51,5 ha. Berdasarkan administrasi kehutanan, kawasan TWA Camplong ini terletak di wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II Camplong, Bidang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) I Soe, Balai Besar KSDA NTT. Berdasarkan letak geografis, lanskap Camplong terletak pada , ,5 LS dan , ,8 BT, sedangkan kawasan TWA Camplong ini berada antara Bujur Timur dan Lintang Selatan Kondisi Fisik Luas dan status kawasan Luas lanskap Camplong dalam penelitian ini yaitu 2470,11 ha yang terbagi ke dalam dua bentuk kawasan yaitu kawasan hutan TWA Camplong (696,60 ha) dan bukan kawasan hutan (1773,51ha). Kawasan TWA Camplong ditetapkan sebagai taman wisata dimulai 11 Mei 1929 oleh Keresidenan Timor melalui keputusan Nomor: 180 sebagai hutan tutupan yang terpelihara seluas kurang lebih 475 ha. Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 183/Kpts/UM/3/1980, Tanggal 17 Maret 1980 menetapkan kawasan hutan Camplong tergabung dalam kelompok hutan Sisimeni Sanam. Pada tanggal 30 Maret 1982, Gubernur NTT menunjuk kawasan hutan ini sebagai Taman Wisata melalui Keputusan Nomor: 46/BKLH/1982 seluas ± 2000 ha, tetapi hasil pengukuran defenitif oleh Balai Planologi Kehutanan IV, Tanggal 8 Juni 1982, disahkan oleh Menteri Pertanian RI Tanggal 25 Desember 1982 seluas 696,60 ha. (BKSDA VII Kupang 1996).

51 30 Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tanggal 12 Desember 1983, Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor: 89/KPTS/UM/83 menetapkan kawasan ini sebagai hutan wisata. Berdasarkan Keputusan Gubernur NTT No. 64 Tahun 1996 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi NTT, Tanggal 23 Juli 1996 menetapkan luas kawasan TWA Camplong adalah 696,60 ha. Peta kawasan TWA Camplong tersaji pada Gambar 4. Gambar 4 Peta Kawasan Taman Wisata Alam Camplong dan sekitarnya Topografi Hasil klasifikasi peta penutupan lahan lanskap Camplong dalam penelitian ini diperoleh data letak lanskap Camplong pada ketinggian m dpl, bertopografi datar sampai sangat curam dengan kemiringan lereng antara 0 > 45% Hidrologi Lanskap Camplong memiliki beberapa jaringan sungai dan sumber mata air yang dijadikan sebagai sumber air minum maupun untuk kebutuhan hidup

52 31 lainnya oleh penduduk sekitar Camplong sampai dengan Naibonat (ibukota baru Kabupaten Kupang). Beberapa sungai (kali) yang berada di lanskap Camplong yaitu; kali Naunu, Kiuana, Tuana, Nefolina, Oetune, Oebola, Puamnasi, Oelpuah, Fatumetan, Oetobe, Oelhaubaat. Khusus di dalam kawasan TWA Camplong, pada tahun 1955 muncul mata air sebanyak sembilan lokasi, padahal sebelumnya hanya terdapat satu sumber mata air. Beberapa sumber mata air dapat mengalir sepanjang tahun (tidak pernah kering) yaitu mata air Oenaek (sumber mata air terbesar yang digunakan untuk kolam renang dan air minum), Oetakmanu dan Oehaubaat. Beberapa sumber mata air keluar dari celah-celah batu-batuan dan akar-akar pohon seperti sumber mata air Oenaek, Oebola, Oepua, Oetakmanu dan Oenaunu Geologi dan Tanah Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Skala 1: (Direktorat Geologi Bandung 1965), secara umum kawasan TWA Camplong dan sekitarnya mempunyai formasi geologi dari jenis batuan; deret sonebait dan ofu, neogen, alluvial undah dan terumbu koral dan paleogen (BKSDA VII Kupang 1996). Berdasarkan peta tanah Indonesia skala 1: (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1968 diacu dalam BKSDA VII Kupang 1996), jenis tanah yang terdapat di lanskap Camplong adalah jenis aluvial dengan bentuk dataran mediteran dan tanah-tanah komplek dengan bentuk pegunungan komplek. Tanah Timor termasuk ke dalam margalitis soil yang dicirikan dengan kelabilan, mudah tererosi, kelabilan mudah tererosi, drainase kurang baik serta mudah merekah pada musim panas (BKSDA VII Kupang 1996) Iklim Berdasarkan peta tipe iklim skala 1: verhadelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika tahun 1952, wilayah Timor pada umumnya termasuk lanskap Camplong, berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson, tergolong dalam tipe iklim D dan E. Berdasarkan data dari Stasiun Mateorologi dan Geofisika Lasiana menunjukkan bahwa jumlah curah hujan sekitar 1330 mm/tahun (rata-rata 110,8 mm) dengan jumlah hari hujan kurang lebih 101 hari (rata-rata 8,33 hari). Distribusi bulan basah antara November

53 32 sampai April dan bulan kering terjadi pada Mei Oktober. Suhu udara berkisar antara 20 o -32 o C (BKSDA VII Kupang 1996) Aksesibilitas Aksesibilitas ke lanskap Camplong seperti jaringan jalan negara, dan sarana transportasi tersedia cukup memadai sehingga dapat ditempuh selama satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat dan roda dua melewati ruas jalan Kupang Soe Atambua Dili. Taman Wisata Alam Camplong memiliki beberapa obyek wisata alam yang telah dikembangkan diantaranya adalah; kolam sumber mata air dan gua alam. Beberapa potensi obyek wisata belum dikelola dengan baik seperti tipe-tipe ekosistem hutan (hutan alam, hutan gugur daun, savana dan hutan tanaman), obyek wisata kera ekor panjang, bird watching terutama burung-burung endemik Timor dan Nusa Tenggara. Fasilitas pendukung kegiatan wisata yang terdapat di dalam kawasan TWA Camplong meliputi; (a) kolam renang, (b) jalur penjelajahan hutan/lintas alam, dan fasilitas ini sudah umum dilakukan oleh pengunjung untuk kegiatan pendidikan dan penelitian, lintas alam (kalangan peneliti, mahasiswa, pramuka, pencinta alam, TNI, wisatawan domestik dan mancanegara), (c) bumi perkemahan dilengkapi dengan fasilitas berupa papan intepretasi wisata, pondok berkemah, dan toilet, (d) koleksi satwa yang menampung beberapa satwa di antaranya buaya air tawar dan ular phiton. Masyarakat yang bermukim di enclave adalah kelompok masyarakat asli Timor yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Penduduk yang bermukim di sekitar kawasan TWA Camplong merupakan gabungan kelompok masyarakat asli Timor dan pendatang dari berbagai daerah di NTT, Jawa, dan Bugis Biologi Flora Flora yang tumbuh di lanskap Camplong sangat dipengaruhi oleh ekosistem lingkungan tempat tumbuhnya. Secara garis besar, ekosistem lanskap Camplong hanya meliputi ekosistem daratan. Namun secara fisiografis, ekosistem

54 33 daratan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe ekosistem sebagai berikut; (1) Tipe ekosistem hutan musim Vegetasi hutan musim dicirikan oleh pohon-pohon yang tidak tinggi (berkisar m), banyak percabangannya dan pada musim kering menggugurkan daunnya. (2) Ekosistem hutan savana Savana terdapat di sekitar Oelkuku yang didominasi oleh lontar (Borasus sp), dan gewang (Corypha gebanga), serta kayu putih (Eucalyptus alba), asam jawa (Tamarindus indica), akasia (Cassia fistula), dan kesambi (Schleichera oleosa), kabesak putih/pilang (Acasia leucocephala) mendominasi sekitar Desa Silu. (3) Ekosistem hutan tanaman Jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada tipe ekosistem ini meliputi jati (Tectona grandis), johar (Cassia siamea), dan flamboyan (Delonix regia) (BKSDA VII Kupang 1996). Paga et al. (2007) menyatakan bahwa di kawasan TWA Camplong terdapat keanekaragaman tumbuhan obat yang tinggi. Di kawasan ini ditemukan 85 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdiri dari tingkat vegetasi semai, pancang, tiang dan pohon. Tumbuhan obat tingkat pohon ditemukan 37 jenis dengan spesies dominan yaitu taduk (Alstonia scholaris), kenanga (Cananga odorata), dan kesambi (Schleichera oleosa). Tumbuhan obat tingkat tiang sebanyak 32 jenis yang didominasi oleh spesies jambu biji/oben (Psidium guajava), kenanga (Cananga odorota), dan kanunak (Cordia subcrodata). Tumbuhan obat tingkat pancang sebanyak 38 jenis yang didominasi oleh spesies bambu (Bambusa multipleks), bijaema (Elaeocarpus petiolatus), dan kanunak. Tumbuhan obat tingkat semai sebanyak 27 jenis yang didominasi oleh spesies kirinyu/sufmuti (Chromolaena odorata), bijaema (Elaeocarpus petiolatus), dan tisel/johar hutan (Cassia sp) Fauna Timor merupakan pulau terbesar di Nusa Tenggara dengan luas km 2. Pulau Timor memiliki kekayaan spesies burung endemik dan sebaran

55 34 terbatas yang tinggi. Sujatnika et al. (1995) menyatakan bahwa Pulau Timor memiliki 32 spesies burung; Trainor (2002) menyatakan ada 31 jenis burung yang terdapat di pulau ini dan enam diantaranya endemik Pulau Timor, Rombang et al. (2000) mencatat 30 jenis burung sebaran terbatas yang terdapat di kawasan TWA Camplong, diantaranya; walik ratu, (Ptilinopus regina), tekukur (Streptopelia chinensis), ayam hutan (Gallus gallus), anis timor (Zoothera peronii), merpati hitam Timor (Turacoena modesta), srigunting wallacea (Dicrurus densus). Paga et al. (2006) melaporkan terdapat enam jenis burung endemik Pulau Timor di kawasan TWA Camplong yaitu; Sikatan timor/black-banded Flycatcher (Ficedula timorensis), Opior Timor/Spotbreasted White-eye (Heleia muelleri), Mizomela timor/red-rumped Myzomela (Myzomela vulnerata), Celucuk timor/buffbanded Bushbird (Buettikoferella bivtitata), Cikukua timor, dan Isap madu timor/yelloweared Honeyeater (Lichmera flavicans). Jenis satwa lainnya yang terdapat pada lanskap Camplong yaitu; mamalia terdiri dari Kera ekor panjang (Macaca fascilularis), Musang (Paradoxurus hermaphrodites), Kucing hutan (Prionailurus planices), Babi hutan (Sus scrofa), (b) reptilia terdiri dari Biawak timor (Varanus timorensis), Tokek (Gecko-gecko), dan ular Sanca timor atau ular Phiton timor (Python timorensis) Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Lanskap Camplong termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Luas wilayah Kecamatan Fatuleu adalah 400,29 km 2 dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2010 sekitar jiwa yang tersebar di 10 desa. Rata-rata kepadatan penduduk 58 jiwa/ km 2 (BPS Kecamatan Fatuleu 2010). Sebagian besar wilayah desa di lanskap Camplong berbatasan langsung dengan kawasan TWA Camplong. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Camplong adalah; Camplong I memiliki luas 20 km 2 dengan jumlah penduduk 4615 jiwa, Camplong II (48,63 km 2 ) dengan jumlah penduduk 2823 jiwa, Naunu (11,23 km 2 ) dengan jumlah penduduk 2009 jiwa, Silu (130,07 km 2 ) dengan jumlah penduduk 4055 jiwa, Oebola (40,85 km 2 ) dengan jumlah penduduk 1764 jiwa, Oebola Dalam (19 km 2 ) dengan jumlah penduduk 1000 jiwa, dan Desa Kaumasi (8,60 km 2 ) (BPS Kecamatan Fatuleu 2010).

56 35 Penduduk di lanskap Camplong sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani (ladang/kebun) dan peternak. Lahan pertanian sawah dan kebun dilakukan dengan pengelolaan secara tradisional, demikian pula pada usaha peternakan seperti sapi, babi dan kambing masih dilakukan dengan sistem penggembalaan secara liar baik di dalam maupun di luar kawasan hutan TWA Camplong. Fasilitas peribadatan berupa gereja dan mesjid dapat dijumpai pada beberapa desa-desa yang berbatasan dengan kawasan hutan TWA Camplong. Penganut agama Kristen Protestan lebih dominan dari pada Katolik dan Islam. Bahasa yang digunakan di daerah ini adalah bahasa Timor sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam lingkungan budaya mereka, tapi bila berkomunikasi dengan pihak luar, maka masyarakat lokal menggunakan bahasa Indonesia. Adat istiadat yang berlaku di daerah ini adalah adat Timor yang dapat ditemukan dalam upacara perkawinan, upacara keagamaan dan lain-lainnya. Pengaruh bekas keturunan bangsawan/raja-raja atau kevektoran masih terasa di masyarakat, sehingga masyarakat tetap menghargai mereka sebagai pemimpin adat dalam menggerakkan pembangunan di desa. Kebiasaan makan sirih pinang sebagai tanda persaudaraan dan penghormatan kepada tamu yang datang sangat bermakna (BKSDA VII Kupang 1996).

57 IV V. METO ODOLOG GI PENEL LITIAN 4.1. Lokaasi dan Waaktu Pennelitian diilaksanakan n di lanskkap Campllong, Kabu upaten Kuupang, Provinsi Nusa N Tenggara Timur (10 ( , ,5 LS dan n , ,8 BT). Waktu W penellitian berlanngsung selaama lima bulan b mulaii dari Juli-Agusttus 2010 (oobservasi pra-penelitia p an) dan Meei-Juli 2011 (pengumppulan data spasial, populasii dan karaktteristik habitat burung Cikukua timor). Gambbaran 5 umum lokkasi kegiatann penelitiann tersaji pada Gambar 5. Gaambar 5 Lookasi peneliitian Cikukuua timor di lanskap Caamplong Alat dan d Bahan n Alaat yang diggunakan daalam penelitian antaraa lain; teroopong binokkuler, GPS Garm min 76 CSxx, kamera Nikon N SLR D3100 Kitt with AF-S S DX VR mm dengaan Tamron for f Nikon Lenses L AF mm m F/4-5.6 Di D LD Macrro 1:2 Telephoto o Zoom, pitaa ukur (1,5 cm, c 10 m, 50 5 m), clino ometer, dan kalkulator Casio C fx-3650p Super-FX. Perangkaat lunak kkomputer yang y digunnakan melliputi; 3 ERDASS Image verrsi 9.1, ArcGis versi 9.3, Global Mapper Veersion Arcview 3.2, 12, peranngkat lunaak pengolahan data untuk analisis a koomponen utama u

58 38 (Pastprogram, Minitab 14 dan SSPS statistik 16), Hawth s Analysis Tools_3 for ArcGis untuk mendesain penempatan titik-titik pada kombinasi garis transek dan grid (kotak) yang memuat informasi titik koordinat lapangan. Bahan yang digunakan meliputi perlengkapan analisis vegetasi, buku identifikasi flora, tally sheet, dan alat tulis. Jenis data untuk mendukung analisis karakteristik spasial habitat meliputi; peta kawasan TWA Camplong, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/peta kontur, citra Landsat _5 L _ (Path 111 dan Row 067), citra digital Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) ASTER DEM (Digital Elevation Map) S07 E105 resolusi spasial 30 meter, ASTER GDEM (Global Digital Elevation Map) Versi_1, peta digital kawasan TWA Camplong (skala 1:20.000, Dephut), data koordinat sampel titik observasi lapangan dalam GPS Metode Pengumpulan Data Studi literatur Studi literatur bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi umum habitat Cikukua timor, bio-ekologi, penyebaran dan kondisi populasi Cikukua timor berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di Pulau Timor (Timor Leste dan Indonesia). Selain itu juga untuk mendapatkan peta-peta yang diperlukan dalam pengolahan data, meliputi citra Landsat_5 TM, peta RBI Camplong-Naikliu (meliputi jalan, sungai/hidrologi, batas administrasi Camplong-Naikliu), dan peta kontur (format SRTM) Orientasi lapangan Kegiatan orientasi lapangan merupakan kegiatan pra-penelitian (survei pendahuluan) untuk mendapatkan gambaran awal kondisi umum lokasi penelitian dan keadaan populasi Cikukua timor di lanskap Camplong. Tahapan kegiatan : 1. Melakukan tracking areal dengan GPS untuk mengetahui titik pal-batas kawasan dan luas total lokasi penelitian. 2. Mengidentifikasi tipe-tipe ekosistem yang ada dalam lanskap Camplong. 3. Wawancara dengan masyarakat dan petugas setempat untuk menggali informasi lokasi konsentrasi keberadaan Cikukua timor dan jenis-jenis sumber pakan.

59 39 4. Mencatat titik koordinat perjumpaan langsung dengan Cikukua timor ke dalam GPS. 5. Mengumpulkan peta kawasan TWA Camplong (peta digital), peta kawasan (hard copy), pustaka yang terkait dengan penelitian jenis cikukua lainnya Persiapan desain peta kerja penelitian Berpedoman pada peta TWA Camplong yang telah dilakukan registrasi image dan digitasi, selanjutnya melakukan desain peta kerja penelitian sebagai berikut; 1. Desain peta kerja Membuat desain kombinasi garis transek dan grid dalam lokasi penelitian seluas 2470,11 ha untuk membantu pengamat dalam mengidentifikasi lokasi titik kehadiran burung. Garis transek adalah metode tanpa plot, pengamat berjalan sepanjang garis lurus dengan panjang diketahui, baik yang ditempatkan secara acak maupun sistematis di kawasan survei (Khul et al. 2011), sedangkan grid merupakan plot yang berbentuk kotak yang berfungsi sebagai unit areal pengamatan terkecil dari suatu obyek. Penempatan kombinasi garis transek dan grid dilakukan secara sistematis dengan jarak antar garis transek 500 m. Pengumpulan data populasi dilakukan dengan metode distance sampling menggunakan garis transek. Desain penempatan garis transek dilakukan dengan menempatkan titik awal garis transek pengamatan secara acak sesuai dengan informasi distribusi burung yang telah diperoleh pada tahap pra-penelitian, sehingga akan menghasilkan perkiraan kepadatan yang tidak bias. Menurut Khul et al. (2011) salah satu asumsi penting yang mendasari teori pengambilan contoh distance sampling adalah garis transek terletak secara acak sehubungan dengan distribusi satwa atau obyek terkait. Letak garis transek terdistribusi pada seluruh tipe habitat di lanskap penelitian Camplong (hutan alam, hutan sekunder, savana, hutan tanaman, hutan adat/mamar, semak, belukar, kawasan pertanian, areal permukiman enclave). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tingkat kepadatan burung pada masing-masing tipe habitatnya. Desain penempatan garis transek di lapangan seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

60 40 Gambar 6 Desain penempatan garis transek dan grid di lanskap Camplong. Desain kombinasi garis transek dan grid dilakukan dengan program Hawth s Analysis Tools_ 3 for ArcGis, kemudian ditumpangtindihkan (overlay) dalam peta kawasan Camplong. Program Hawth s Analysis Tools-3 for ArcGis dapat membantu menentukan titik-titikk koordinat yang diletakkan secaraa sistematiss pada garis transek. Hasil desain program ini diperoleh 11 transek dan 176 grid pengamatan berukuran 500 x 250 m 2. Hasil desain kombinasi garis transek dan grid ditranfer ke dalam GPS. Pertemuan titik- pengamat dalam menandai dan mengidentifikasii tipe-tipe habitat. Panjang kawasan penelitian (East - West) 5100 m (5,1 km) sedangkann lebarnya (North South) yaitu 4100 m (4,1 km). 2. Pada tiap ujung garis transek terluar diambil jarak 50 meter sebagai titik titik pada tiap grid akan menjadi titik-titik koordinat yang dapat membantu terluar wilayah pengamatan. Hal inii mengingat apabila ditemukan titik perjumpaan burung pada sepanjang garis transek terluar makaa akan dilakukan pengamatan vegetasi dengan ukuran jari-jari 17,8 m (ukuran representatif tingkat pohon 20 m x 50 m). Pada garis transek terdapatt titik-titik yang berjarak 250 m (diletakan secara sistematis) yang dijadikan sebagai titik koordinat. Titik koordinat ini berfungsi untuk membantu pengamat menentukan arah tegak lurus garis transek, terutama pada pengamatan

61 41 populasi berdasarkan distance sampling, menandai dan mengindentifikasi tipe-tipe habitat di lapangan. Letak grid membantu pengamat dalam menentukan letak titik koordinat perjumpaan burung dengan suatu garis transek terdekat Observasi lapangan Observasi lapangan dimaksudkan untuk mengumpulkan data dan informasi secara langsung tentang karakteristik spasial habitat Cikukua timor. Kegiatan observasi lapangan dilakukan dalam tiga tahap yaitu; (1) pengumpulan data spasial titik presence Cikukua timor, (2) pengumpulan data populasi Cikukua timor, dan (3) pengumpulan dan pengukuran data karakteristik habitat biotik Cikukua timor Pengumpulan data spasial Data spasial yang dikumpulkan berupa titik perjumpaan langsung (lokasi data presence) di wilayah studi. Waktu pengamatan dilakukan dari pukul WITA. Data titik presence ditentukan berdasarkan pola-pola aktivitas perilaku sebagai berikut; 1. Perilaku makan dan minum (ingestive), yaitu cakupan aktivitas mencari makanan dan minum, mengambil dan memasukan ke dalam mulut dan mengolahnya. 2. Perilaku kawin, yaitu aktivitas untuk menemukan pasangan agar mampu bereproduksi (Sukarsono 2009). 3. Bersarang, yaitu suatu kegiatan dalam proses reproduksi, sebagai jaminan akan berhasilnya proses pengeraman dan pemeliharaan anak. Sarang berfungsi sebagai tempat menampung telur untuk mempertahankan panas telur dan anak setelah menetas, menyembunyikan isi sarang dari serangan atau gangguan predator, perlindungan terhadap hujan atau terik matahari. 4. Perilaku beristirahat/tidur, yaitu mencakup aktivitas mencari tempat berlindung termasuk mencari perlindungan dari (tubuh) individu lain. 5. Perilaku sosial, yaitu interaksi diantara individu, secara normal di dalam spesies yang sama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Perilaku sosial

62 42 berkembang diantaranya karena adanya kebutuhan untuk reproduksi dan bertahan dari predator (Sukarsono 2009). Penentuan lokasi presence dilakukan melalui pengamatan langsung di sepanjang garis transek dan di dalam grid. Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi; 1. Pengamat menjelajahi seluruh areal tipe ekosistem secara acak untuk mendapatkan titik presence yang sesuai dengan pola perilaku yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Informasi titik keberadaan burung dari hasil wawancara dengan petugas dan masyarakat lokal agar memudahkan memperoleh titik perjumpaan Cikukua timor pada lokasi-lokasi konsentrasi aktivitas burung. 2. Mengambil data spasial baik pada saat pengambilan data populasi (garis transek) maupun pada waktu penjelajahan di setiap habitat (grid) 3. Mencatat setiap titik presence ke dalam GPS dan mengisi semua informasi spasial ke dalam tally sheet. 4. Mencatat kondisi umum lokasi penelitian seperti potensi gangguan (perambahan kawasan, pembalakan liar, perburuan, kebakaran, dan keberadaan predator alami serta kondisi sarang Cikukua timor) Pengumpulan data populasi Pengumpulan data populasi Cikukua timor dengan metode pengambilan sampel jarak jauh (distance sampling) menggunakan garis transek. Pengamat yang menerapkan teknik sampling jarak jauh mengikuti serangkaian garis transek (Bibby et al. 2000; Khul et al. 2011). Garis transek lebih baik digunakan jika sasaran yang diteliti merupakan jenis yang relatif mudah diidentifikasi tetapi mungkin lebih banyak bergerak di habitat-habitat yang hampir sama dan kepadatannya rendah (Bibby el al. 2000). Cikukua timor tergolong jenis burung yang banyak bergerak ketika mencari makan dan mempunyai suara yang menyolok serta ukuran tubuh yang cukup besar (24 cm). Berpedoman pada desain awal penempatan garis transek, selanjutnya dilakukan tahapan pengumpulan data populasi menggunakan distance sampling di sepanjang garis transek tersebut sebagai berikut: 1. Melakukan pengamatan dan pengumpulan data populasi

63 43 Pengamatan dan pungumpukan data populasi dilakukan dengan berjalan pada kecepatan konstan di sepanjang garis transek. Panjang transek pengamatan disesuaikan dengan ukuran panjang masing-masing tipe habitat di lanskap Camplong yaitu 0,5 4 km. Bibby et al. (2000) menyatakan jika memerlukan perkiraan yang presisinya (kedekatan perkiraan dalam suatu sampel satu dengan pengulangan sampel lainnya) yang tinggi di daerah atau habitat yang diketahui dengan baik, mungkin akan lebih baik jika transeknya banyak tetapi pendek, disarankan kira-kira 4 km. Pada setiap transek dibagi menjadi sejumlah interval jarak (250 m) di sepanjang transek tersebut, agar dapat membantu pengamat untuk mengikuti jalur yang benar dan memberikan kesempatan untuk mengumpulkan informasi mengenai habitat pada bagianbagian transek yang diamati. Garis transek pengamatan populasi yang terletak tepat di batas wilayah (edge) antara dua tipe habitat diupayakan digeser sejauh 50 m dari edge. Jarak ini mempertimbangkan ukuran jarak pandang terjauh untuk melihat burung dengan jelas antara pengamat dengan keberadaan burung. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih pengumpulan data populasi antara tipe-tipe habitat yang berbeda. Melakukan wawancara dengan petugas dan masyarakat lokal untuk mengetahui titik keberadaan sarang, pakan, aktivitas sosial dan beristirahat Cikukua timor. Pengamat mengambil data populasi di sepanjang wilayah garis transek dengan jarak pandang 50 m di kedua sisi (kiri-kanan transek), memeriksa ke setiap sisi garis transek yang dijalani dan membuat perkiraan jarak tegak lurus dari garis transek ke titik perjumpaan dimana setiap kontak dengan burung terjadi di sepanjang transek. Menurut Khul et al. (2011) asumsi penting dalam pengambilan distance sampling adalah; (1) semua satwa atau obyek yang berada langsung di atas atau pada garis transek atau tidak harus dideteksi, (2) jarak ke satwa terdeteksi dicatat di lokasi awal mereka, sebelum mereka bergerak menuju atau menjauh dari pengamat, (3) penampakan adalah peristiwa independen atau bukan karena campur tangan pengamat misalnya dengan menggiring satwa ke suatu daerah tertentu, (4) jarak dan/atau sudut diukur secara akurat dan tepat. Ada dua cara memperkirakan jarak; (1) membuat perkiraan jarak langsung antara burung dan garis, atau (2) dapat

64 44 memperkirakan jarak antara pengamat dan burung, dan sudut pengamat tertentu dari garis transek (Gambar 7). 50 m S Z d L P θ 50 m 4,1km Gambar 7 Bentuk pengambilan sampel jarak menggunakan transek. Keterangan: L = panjang transek (arah transek) Z= jarak pengamat pertama kali mendeteksi/melihat ke satwa (burung) P = posisi pengamat S= posisi obyek (Cikukua timor yang terlihat dengan perilaku tertentu) θ = sudut antara arah satwa dengan arah jalur transek d = perkiraan jarak (Prependicular distance) dari transek dihitung dengan cara; d = Z Sin θ 2. Mencatat waktu setiap kontak (mulai-akhir), kemudian menghitung jumlah populasi burung yang dijumpai di sepanjang garis transek. Burung yang dihitung adalah burung yang sedang melakukan perilaku tertentu yang telah ditetapkan dalam penelitian ini. Menurut Bibby et al. (2000), jika burung terlihat di udara, maka burung ini perlu dimasukkan dalam perhitungan dan perkiraan jaraknya dibuat dari titik mulai terbang tegak lurus ke garis transek. Mencatat waktu dalam suatu hari untuk setiap kontak. 3. Memperkirakan jarak yang tepat ke titik kontak individu burung yang tegak lurus ke garis transek. Menurut Bibby et al. (2000), tehnik ini secara statistik merupakan pendekatan yang kuat untuk sampel jarak sepanjang transek. 4. Mencatat informasi penunjang seperti bentuk kontak (suara, kontak fisik langsung) ketinggian kontak (tinggi total pohon, tinggi bebas cabang, tinggi keberadaan dari permukaan tanah, letak keberadaan pada posisi lapisan tajuk dan ukuran kelompok). 5. Semua data dicatat ke dalam tally sheet pengumpulan data metode garis transek dengan variabel jarak (Variabel Distance Line Transect/VDLT). 6. Menghitung panjang transek tiap tipe habitat menggunakan program ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1 melalui tahapan supervised classification, masing-masing

65 45 tipe habitat dipisahkan atau diklasifikasikan berdasarkan peta citra Landsat TM Pengumpulan data karakteristik habitat 1. Identifikasi komponen habitat fisik Komponen habitat fisik yang diamati dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel (covariate) antara lain; tutupan vegetasi atau NDVI, ketinggian tempat (elevasi), kemiringan lereng (slope), jarak ke hutan primer, sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, permukiman, jalan, dan sungai (sumber air). Data mengenai kemiringan dan ketinggian diperoleh dari peta Aster DEM dan GPS. Normalized Difference Vegetation Index merupakan sebuah indeks yang menyediakan metode standar dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi antara gambar satelit yang dapat digunakan sebagai sebuah indikator biomassa relatif dan derajat kehijauan (Lillesand & Kiefer 1990). Rumus untuk menghitung NDVI pada peta adalah sebagai berikut : NIR Band - Red Band Band 4 - Band 3 NDVI= atau NIR Band + Red Band Band 4 + Band 3 Peta jaringan jalan dan sungai/hidrologi (sumber air) diperoleh dari peta RBI, peta lokasi penelitian diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan. Jarak ke hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, permukiman, jalan, dan sungai (mata air/kali), diperoleh dari euclidean distance. Caranya adalah merubah data raster menjadi data vektor (polygon) tiap peta tipe tutupan lahan kemudian dilanjutkan dengan proses spatial analysis tools, distance, dan euclidean distance (ArcGis 9.3). 2. Identifikasi komponen habitat biotik Komponen habitat biotik Cikukua timor yang diamati meliputi struktur dan komposisi vegetasi sebagai pakan dan cover (tempat istirahat/tidur, dan beraktivitas sosial). Struktur dan komposisi vegetasi yang diamati hanya terbatas pada tingkat pertumbuhan vegetasi yang digunakan Cikukua timor yaitu; tingkat pohon, tiang dan pancang. Tahapan kegiatan identifikasi komponen habitat biotik meliputi;

66 46 1) Mengamati, mengukur struktur dan komposisi vegetasi menggunakan petak tunggal berbentuk lingkaran di setiap titik presence. Luas areal pengamatan untuk tingkat pohon adalah jari-jari 17,8 m (1000 m 2 ), tiang berjari-jari 5,64 m (100 m 2 ) dan pancang berjari-jari 2,8m (25 m 2 ). Data karakterstik habitat biotik berfungsi iuntuk mengetahui hubungan yang lebih rinci antara habitat dan Cikukua timor. 2) Mengukur peubah biotik meliputi; a) Jumlah jenis dan jumlah individu tumbuhan pakan dan cover. Menginventarisasi jumlah total spesies tumbuhan, jumlah jenis dan jumlah individu tumbuhan pakan dan cover (pohon, tiang, dan pancang). Sebaran vertikal meliputi tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon, tiang, pancang, aspek-aspek tinggi vegetasi yang dimanfaatkan oleh Cikukua timor untuk beraktivitas (tinggi total, tinggi bebas cabang, dan tinggi keberadaan burung saat terlihat pertama kali beraktivitas (makan, beristirahat dan sosial). Pengukuran tinggi menggunakan sunto clinometer. b) Kerapatan tumbuhan pakan dan cover dilakukan dengan mendata jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis dalam tiap petak dari tingkat pohon, tiang dan pancang Wawancara Wawancara dengan masyarakat lokal dan pengelola TWA Camplong untuk mengetahui tingkat gangguan manusia terhadap keberadaan burung Cikukua timor di lanskap Camplong. Teknik wawancara mennggunakan metode wawancara langsung tidak terstruktur (tidak menggunakan quesioner). Informasi yang dikumpulkan meliputi kegiatan manusia yang berdampak langsung pada kerusakan habitat dan penurunan populasi Cikukua timor yaitu; (1) lokasi dan waktu kejadian peristiwa kebakaran, penebangan liar, pengembalaan liar, (2) jumlah pemburu yang ditemukan selama berlangsungnya penelitian ini, (3) faktor spesies lain meliputi data jenis-jenis predator, dan kompetitor dalam pemanfaatan pakan (nektarivora).

67 Interpretasi peta Sebelum interpretasi peta, terlebih dahulu dilakukan koreksi geometrik, baik terhadap peta rupa bumi maupun citra Landsat TM-5. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1. Data masing-masing variabel diperoleh dengan cara menumpangtindihkan (overlay) titik presence dengan peta tematik masing-masing variabel. Interpretasi peta bermanfaat untuk mendapatkan data setiap variabel menggunakan perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 dengan metode zonal attributes. Data hasil interpretasi seluruh variabel merupakan data kontinu atau data yang diperoleh dari hasil pengukuran Pembuatan peta dasar digital Pembuatan peta digital, peta dasar (jaringan sungai/sumber air dan kolam, sistem lahan, tanah dan topografi) dilakukan dengan menggunakan Program ArcGis 9.3 dengan urutan proses sebagai berikut; digitasi peta, editing peta kemudian pemberian attribute atau label pada peta dan terakhir adalah transformasi dengan memasukkan referensi geografis bumi menjadi koordinat Universal Transverse Mercator (UTM) atau Latitude-Longitude (Lat-lon) Pengambilan data luas penutupan lahan Pengumpulan data penutupan lahan di lapangan dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat sebanyak mungkin pada setiap tipe-tipe ekosistem yang ada di lanskap Camplong. Lokasi penelitian ini merupakan salah satu kawasan dengan tipe ekosistem yang lengkap sehingga dianggap dapat merepresentasikan habitat Cikukua timor di Pulau Timor pada umumnya dan Timor Barat pada khususnya. Aspek ini dapat mendukung kesimpulan akhir karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor untuk kelangsungan hidupnya secara lestari. Selanjutnya data titik perjumpaan digabungkan dengan titik-titik koordinat lapangan lainnya untuk dilakukan analisis penutupan lahan. Tipe penutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah11 kelas sebagai berikut;

68 48 1. Hutan primer, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi pohon dengan diameter lebih dari 20 cm dan belum pernah atau sedikit mengalami kegiatan penebangan. Biasanya merupakan wilayah adat atau hutan adat yang penebangan pohonnya digunakan hanya untuk keperluan kampung dan desa. 2. Hutan sekunder/bekas tebangan, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi dengan diameter di atas 20 cm dan pernah mengalami penebangan secara intensif dan sedang mengalami regenerasi. 3. Savana, yaitu penutupan lahan berupa padang rumput yang didominasi pohon kayu putih (Eucalyptus alba). 4. Hutan tanaman, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi tanaman dari hasil kegiatan reboisasi. 5. Hutan adat (mamar), yaitu penutupan lahan yang berupa hutan tanaman yang ditanam di sekitar sumber mata air yang berada dekat permukiman penduduk. 6. Belukar, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi strata pohon setinggi lebih dari 3 m dan atau diameter pohon di bawah 20 cm serta biasanya merupakan bekas areal pertanian yang ditinggalkan masyarakat. 7. Semak, yaitu penutupan lahan berupa vegetasi dari tingkat tumbuhan bawah dan semai dengan ketinggian di bawah 1,5 m. 8. Kawasan pertanian, yaitu penutupan lahan berupa ladang/kebun atau lahan budidaya pertanian masyarakat. 9. Kawasan terbangun, yaitu kawasan penutupan lahan berupa jalan atau bangunan. 10. Kawasan perairan, yaitu kawasan penutupan lahan berupa kolam atau sungai. 11. Lahan kosong, yaitu kawasan penutupan lahan tanpa atau sedikit vegetasi Metode Analisis Data Analisis faktor-faktor dominan komponen habitat Dalam penelitian ini, faktor-faktor dominan komponen habitat Cikukua timor hanya dibatasi pada beberapa peubah yang diduga berperan signifikan dalam menyusun karakteristik habitat yang dibutuhkan Cikukua timor. Semua peubah dari komponen habitat fisik dan biotik dianalisis menggunakan PCA. Beberapa peubah yang diduga memiliki peran yang berpengaruh terhadap karakteristik habitat Cikukua timor yaitu:

69 49 1. Komponen habitat fisik meliputi peubah-peubah: a. NDVI (X 1 ); NDVI merupakan indeks yang membandingkan tingkat kehijauan vegetasi sebagai indikator biomassa relatif dan merepresentasikan penutupan tajuk yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang untuk mencari makan, berlindung, dan bersarang. NDVI berasal dari peta indeks vegetasi. b. Kemiringan lereng atau slope (X 2 ) dan ketinggian tempat atau elevasi (X 3 ); kedua faktor ini merupakan representasi dari komponen fisik yang mendukung relung habitat Cikukua timor secara fungsional dalam penyediaan pakan dan cover. Kelerengan dalam satuan persen (%) berasal dari peta slope dengan teknik ekstraksi data dari analisis topografi kemiringan lereng, sedangkan ketinggian tempat dalam satuan meter bersumber dari koordinat titik lapangan yang diambil menggunakan GPS. c. Jarak dari hutan primer (X 4 ), hutan sekunder (X 5 ), dan belukar (X 6 ); hutan primer, hutan sekunder, belukar merepresentasikan lokasi untuk mencari makan, sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan hutan primer, hutan sekunder, dan belukar dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) d. Jarak dari perkebunan jambu mete (X 7 ) dan kebun palawija (X 8 ) merepresentasikan lahan budidaya sebagai lokasi untuk mendapatkan sumber pakan, aktivitas sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan perkebunan jambu mete dan kebun palawija dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance). e. Jarak dari permukiman (X 9 ), jarak dari permukiman merepresentasikan faktor gangguan dari aktivitas manusia, sumber pakan, aktivitas sosial dan beristirahat. Data ini dalam satuan meter, berasal dari peta tutupan lahan permukiman dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) f. Jarak dari sungai atau sumber air (X 10 ); faktor jarak dari sumber air merepresentasikan kebutuhan Cikukua timor untuk berlindung (istirahat dan berinteraksi sosial) mengingat vegetasi di sekitar sumber mata air

70 50 tumbuh lebih rapat, struktur tajuk tinggi, dan tingkat kelembaban tinggi. Jarak dari sumber air dalam satuan meter, berasal dari peta sungai (RBI hidrologi Naikliu-Camplong) dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance) g. Jarak dari jalan (X 11 ), jarak dari jalan merepresentasikan tingkat gangguan terhadap aktivitas makan, bersarang dan beristirahat. Jarak dari jalan dalam satuan meter, berasal dari peta jalan (RBI jalan Naikliu-Camplong) dengan teknik ekstraksi data (analisis spasial dengan sistem Euclidean Distance). 2. Komponen habitat biotik meliputi peubah-peubah: a. Jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik presence (X 12 ) Variabel ini merepresentasikan keanekaragaman jenis tumbuhan pada masing-masing titik presence yang didiuga berpengaruh terhadap tingkat kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Jumlah total individu dalam setiap titik presence sebagai representasi kerapatan vegetasi pada lokasi tersebut, diperoleh dari perhitungan penutupan tajuk melalui peta NDVI. b. Tinggi vegetasi tiap titik presence Tinggi vegetasi merepresentasikan kebutuhan pemanfaatan ruang (struktur) untuk mencari makan dan cover. Data yang diamati adalah tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon (X 13 ), tiang (X 14 ) dan pancang (X 15 ), tinggi saat dijumpai pertama kali terlihat melakukan perilaku tertentu (terlihat beraktivitas) yang telah ditentukan dalam penelitian ini, tinggi total vegetasi, dan tinggi pangkal tajuk atau bebas cabang, (satuannya adalah meter). c. Jumlah jenis (X 16 ) dan individu (X 17 ) tiap tumbuhan pakan Jumlah jenis merepresentasikan keanekaragaman jenis dari komposisi vegetasi pakan. Jumlah individu mewakili tingkat kelimpahan masingmasing jenis tumbuhan pakan pada tiap titik presence. Data yang diamati adalah jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis pakan. d. Jumlah jenis (X 18 ) dan individu (X 19 ) tiap tumbuhan cover Jumlah jenis merepresentasikan keanekaragaman jenis dari komposisi vegetasi cover, sedangkan jumlah individu mewakili tingkat kelimpahan

71 51 masing-masing jenis tumbuhan cover pada tiap titik presence. Data yang diamati adalah jumlah jenis dan jumlah individu tiap jenis cover. e. Kerapatan vegetasi pakan per satuan ruang (ha) dari tingkat pohon (X 20, tiang (X 21 ), dan pancang (X 22 ). Kerapatan cover meliputi; tingkat pohon (X 23 ), tiang (X 24 ), dan pancang (X 25 ) Analisis kerapatan vegetasi Nilai-nilai kerapatan ini dapat dinyatakan dalam nilai mutlak maupun nilai relatif, yang dirumuskan oleh Soerinegara dan Indrawan (1998) sebagai berikut; Kerapatan = Kerapatan Relatif (KR)= Jumlah individu suatu jenis total luas petak contoh(ha) Kerapatan individu suatu jenis Kerapatan seluruh spesies x 100% Hasil pengamatan faktor fisik dan biotik dibuat dalam distribusi frekwensi yang dilakukan dengan formula Sturges; K = 1 + 3,3 log n, dimana n = jumlah data, menghitung panjang kelas interval (P) = Rentangan (R)/Jumlah kelas (Usman dan Akbar 2006; Ridwan, 2009) Principal Component Analysis Principal Component Analysis adalah metode analisis multi peubah yang bertujuan memperkecil dimensi peubah asal sehingga diperoleh peubah baru (komponen utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah asal (Morrison 2005). Tujuan utama PCA adalah untuk menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian data asli dengan sedikit mungkin komponen utama yang disebut faktor (Supranto, 2004). Bibby et al. (2000) menjelaskan bahwa pengukuran beberapa variabel habitat yang dihasilkan berkorelasi antara satu habitat dengan habitat yang lain merupakan hal umum yang terjadi. Cara untuk mengatasinya adalah dengan mengurangi dimensi varibel-variabel habitat. Principal Component Analysis merupakan pendekatan yang umum dipakai. Keluarannya adalah suatu kumpulan variabel yang diberi bobot berdasarkan penjumlah-penjumlah variabel aslinya, menerangkan tingginya variasi pada variabel aslinya yang satu sama lainnya independent.

72 52 Hasil PCA diperoleh melalui perangkat software Minitab 14, Pastprogram, dan SPSS 16, serta Microsoft Excel_2010 dan tahapannya sebagai berikut; 1. Menentukan nilai masing-masing variabel fisik yang di peroleh dari hasil analisis data spasial menggunakan ArcGis 9.3 dan ERDAS 9.1, selanjutnya dimasukkan dalam perangkat lunak Microsoft excel Menentukan nilai masing-masing variabel biotik yang diperoleh dari hasil perhitungan jumlah total spesies vegetasi, jumlah spesies dan individu vegetasi pakan dan cover, tinggi rata-rata dan kerapatan vegetasi. 3. Mentransformasi setiap nilai variable Y dan X dari komponen habitat fisik maupun biotik dengan Logaritma Normal (Ln). Data variabel asli yang menunjukkan tidak semetris akan memperlihatkan perbedaan nilai antara variabel yang terlalu jauh, sehingga perlu ditransformasi agar menghasilkan jarak rentang nilai antar variabel tidak jauh berbeda atau menjadi simetris. Ainnudin (1989), menyatakan data asli seringkali tidak menunjukkan pola simetris, dan jarak antara nilai yang kecil dan nilai yang besar agak melebar dari semestinya. Bentuk transformasi dapat memperbaiki kesimetrisan data, transformasi akar-dua masih memperlihatkan adanya pengaruh terbesar, sedangkan dengan transformasi logaritma pengaruh tersebut hilang. Transformasi logaritma lebih kuat akibatnya daripada transformasi akar. Priyatno (2011) menyatakan bahwa analisis regresi linear berbentuk Logaritma Natural (Ln) bertujuan untuk meniadakan atau meminimalkan adanya pelanggaran asumsi normalitas dan linearitas pada model regresi. Langkahnya adalah dengan mentransformasi atau mengubah tiap data variabel ke bentuk logaritma natural, hal ini agar data menjadi normal atau mendekati normal. 4. Menentukan nilai eigenvalue dan persentase keragaman (variance) pada tiap komponen dengan menggunakan matrix correlation, Jolliffe cut-off 0,7, kemudian membuat biplot untuk mengetahui letak masing-masing variabel pada komponen 1 dan 2, sehingga dapat diketahui korelasi di antara variabel tersebut. Pengolahan PCA menggunakan software Pastprogram dan/atau Minitab 14.

73 53 5. Mereduksi variabel asli dari komponen habitat fisik maupun biotik menjadi beberapa komponen baru dalam bentuk component matrix. Tiap komponen baru tersebut mengandung informasi letak distribusi variabel asli dengan nilai variannya. Jumlah komponen utama yang digunakan sudah memadai jika total keragaman minimal 70% (Jolliffe 2002), sehingga dapat dinyatakan telah representative untuk melihat hubungan yang kuat antara variabel terhadap kehadiran Cikukua timor. Semua komponen ini dihasilkan dari hasil PCA menggunakan SPSS Analisis penentuan peubah paling dominan Hasil PCA mampu menunjukkan adanya korelasi diantara variabel baik pada komponen habitat fisik maupun biotik. Korelasi diantara peubah dalam hasil PCA belum dapat menentukan faktor-faktor dominan dari komponen habitat fisik dan biotik yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada banyak variabel yang memiliki korelasi yang kuat di antara mereka, sehingga terjadi multikolinearitas. Oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan analisis regresi linear berganda yang diawali dengan prosedur stepwise. Menurut Irawan dan Astuti (2006), analisis ini cocok terhadap variabel yang multikolinearitas (varibel bebasnya saling berkorelasi). Oleh karena terdapat variabel bebas yang saling berkorelasi, maka tidak semua variabel bebas hasil analisis regresi stepwise masuk dalam model. Hal ini disebabkan, variabel bebas lain yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel tidak bebas sudah diwakilinya. Semua peubah fisik dan biotik dari komponen 1, 2, 3 dan 4, hasil PCA dimasukkan dalam analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise. Hal yang mendasarinya adalah semua komponen baru tersebut sudah memadai karena total keragaman yang diperoleh telah mencapai minimal 70% (Jolliffe 2002). Analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise dapat menjadi alat statistik yang mampu menentukan peubah-peubah yang paling dominan mempengaruhi kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Menurut Supranto (2004), pemilihan prosedur stepwise ini dimaksudkan untuk menghasilkan model regresi berganda terbaik. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut;

74 54 dimana; Y b o b 1 ε i X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 X 12 X 13 X 14 X 15 X 16 X 17 X 18 X 19 X 20 X 21 X 22 X 23 X 24 X 25 Y = b 0 +b 1 X 1 +b 2 X 2 + +b 25 X 25 + ε i = Jumlah individu Cikukua timor yang pada suatu titik kehadiran burung = Nilai intersep = Nilai koefisien regresi ke-i = Peubah acak ke-i = NDVI = Slope = Elevasi = Jarak dari Hutan Primer (JHP) = Jarak dari Hutan Sekunder (JHS) = Jarak dari Belukar (JBlkr) = Jarak dari Kebun Jambu Mete (JKbJM) = Jark dari Kebun Palawija (JKbPj) = Jarak dari Permukiman (JPmk) = Jarak dari Sungai (JS) = Jarak dari Jalan (JJ) = Jumlah total Spesies tumbuhan (Jml Sp) = Tinggi rata-rata Pohon (T. Phn) = Tinggi rata-rata Tiang (T. Tng) = Tinggi rata-rata Pancang (T. Pcg) = Jumlah spesies Pakan (Jml Sp Pkn) = Jumlah Individu Pakan (Jml Ind Pkn) = Jumlah Spesies Cover (Jml Sp Cvr) = Jumlah individu Cover (Jml ind Cvr) = Kerapatan Pohon Pakan (D.Phn Pkn) = Kerapatan Tiang Pakan (D.Tng Pkn) = Kerapan Pancang Pakan (D.Pcg Pkn) = Kerapatan Pohon Cover (D.Phn Cvr) = Kerapatan Tiang Cover (D.Tng Cvr) = Kerapatan Pancang Cover (D.Pcg Cvr) H0 = tidak ada faktor-faktor dominan dari komponen habitat (fisik dan biotik) yang mempengaruhi kehadiran burung pada suatu tempat H1 = ada faktor-faktor dominan dari komponen habitat (fisik dan biotik) yang mempengaruhi kehadiran burung pada suatu tempat Keputusan yang diambil adalah jika nilai P 0.05, maka tolak H0 (terima H1), begitupun sebaliknya, jika nilai P > 0,05 maka terima H0 (tolak H1) Analisis kepadatan populasi Data dugaan kepadatan populasi yang diambil dengan metode distance sampling menggunakan garis transek dianalisis menurut formula Greenwood dan Robinson (Sutherland 2006) sebagai berikut; D = 2n/π (X ) /(2L) Keterangan: D = Dugaan kepadatan burung pada seluruh transek pada tiap tipe habitat n = Jumlah total pendeteksian burung

75 55 Xi = Perkiraan jarak pendeteksian burung pada garis transek, dimana Xi = d d = Perkiraan jarak (distance) dari transek yang dihitung berdasarkand = Z Sin θ Z = Jarak pengamat pertama kali mendeteksi/melihat ke satwa (burung) L = Panjang transek Analisis penutupan lahan Analisis penutupan lahan ini dilakukan untuk mengoreksi dan mengetahui kondisi penutupan lahan yang sebenarnya setelah pengamatan dan pengambilan titik lokasi serta data lapangan lainnya. Analisis dilakukan melalui interpretasi terkontrol melalui penetapan training area hasil pengamatan lapangan terhadap citra Landsat-5 TM. Selanjutnya dilakukan tahapan pengolah citra melalui langkah-langka sebagai berikut; (1) melakukan konversi atau impor individual band, (2) melakukan penggabungan antar band (layer stacking), (3) geokoreksi peta citra Landsat-5 TM dengan referensi peta jaringan sungai atau jalan melalui proses pengumpulan Ground Control Points (GCPs), transformasi dan resampling, (4) interpretasi peta citra Landsat-5 TM ke dalam 11 kelas penutupan lahan (isodata) Analisis keterkaitan jarak (distance) Analisis keterkaitan jarak lokasi keberadaan Cikukua timor terhadap jarak dari permukiman, jalan, hutan alam, hutan sekunder, sekunder, perkebunan jambu mete dan kebun palawija (lahan budidaya), dan sumber air dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 melalui proses Spatial Analyst Tools, distance dan Euclidean distance. Analisis keterkaitan jarak ini, dilakukan untuk mengetahui jarak keberadaan Cikukua timor terhadap pusat atau aktivitas manusia yang dapat berpengaruh kehidupan satwa ini di alam. Secara keseluruhan alur metode penelitian tersaji pada Gambar 8.

76 56 Peta Dasar Digitalisasi Citra Satelit Data sekunder Sistem lahan,tanah dan topografi Jaringan sungai (Sumber air) Geokoreksi Citra Wilayah pengamatan Reklasifikasi Superfvised Classification Cek Lapangan Tidak Akurasi Titik Pengamatan Burung Analisis Tumpang Susun Penutupan Lahan Peta Penutupan Lahan Euclidean distance Analisis Keterkaitan Jarak Principal Component Analysis Karakteristik Habitat Cikukua timor Gambar 8 Diagram alur metode penelitian.

77 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Hasil penelitiann terbagi dalam tujuh bagian utama yaitu hasil identifikasi komponenn habitat fisik (analisis spasial), hasil identifikasi komponen habitat biotik, hasil PCA, hasil analisis peubah determinan kehadiran Cikukua timor, hasil analisis dan dugaan populasi berdasarkan jarak sampling (distance sampling), hasil analisis penutupan lahan dan interpretasi peta lanskap Camplong. Frekuensi perjumpaan Cikukua timor diklasifikasikan dalam enam ketegori, dengan variasi rentang nilai sesuai dengann nilai maksimum dan minimum yang didapatkan dari hasil pengukuran lapangan. Rekapitulasi data pada tiap peubah disajikan dalam bentuk tabel jumlah jenis vegetasi pakan dan cover dan diagram batang, meliputi; jumlah perjumpaan pada tiap tipe habitat, bentuk aktivitas, sebaran vertikal terdiri dari tinggi rata-rata vegetasi pohon, tiang, pancang, tinggi bebas cabang, tinggi rata-rata dan kerapatan vegetasi pohon, tiang, dan pancang Titik Perjumpaan Jumlah titik perjumpaan (presence points) ) yang didapatkan dalam observasi Cikukua timor adalah 40 titik. Keseluruhan jumlah dataa perjumpaan ini digunakann dalam menganalisis karakteristik komponen habitat fisik dan biotik Cikukua timor. Determinan titik-titik perjumpaan (presence) diperoleh berdasarkan pola-pola perilaku yang teramati dalam penelitian ini yaitu; makan, beristirahat/tidur, dan sosial, sedangkan perilaku kawin dan bersarang tidak ditemukan dalam penelitian ini (Gambar 9) Aktivitas Cikukua timor Sosial Istirahat & Tidur makan Gambar 9 Diagram habitat. Tipe Habitat distribusi perjumpaan aktivitas Cikukua timor di tiap tipe

78 58 Gambar 9 menunjukkan ada 11 tipe habitat dalam wilayah studi, tetapi hanya dijumpai enam tipe habitat yang digunakan Cikukua timor untuk melakukan aktivitas makan, sosial dan beristirahat/tidur. Tipe-tipe habitat yang tidak dimanfaatkan Cikukua timor adalah; savana, hutan tanaman, mamar, semak, dan lahan kosong. Tipe habitat dengan tingkat perjumpaan aktivitas tertinggi adalah belukar. Padaa habitat ini Cikukua timor dapat memperoleh tumbuhan sumber pakan, sosial, dan istirahat/tidur. Menurut Trainor (2008), habitat Cikukua timor dan cikukua tanduk sama-sama di hutan tropis (Tropical Forest), daerah berhutan (Woodland), dan perkebunan (Plantation). Cikukua timor teramati melakukan aktivitas makan di semua tipe habitat yang dijumpai dalam observasi ini yaitu; hutan primer, sekunder, belukar, perkebunan jambu mete, kebun palawija, dan permukiman. Aktivitas sosial Cikukua timor hanyaa dijumpai pada tiga tipe habitat meliputi belukar, perkebunan jambu mete dan kebun palawija. Aktivitas istirahat/tidur hanya dijumpai pada tipe habitat hutan primer dan belukar. Pada Gambar 10 di bawah ini, menunjukkan bahwa Cikukua timor lebih banyak dijumpai pada hutan primer (11 titik) dan kurang (3 titik) dijumpai pada kawasan permukima an. Secara umum nampak variasi jumlah titik perjumpaan tidak jauh berbeda di antara tipe habitat, terutama tipe habitat yang letaknya saling berdekatan seperti belukar dengan kebun palawija, kebun jambu mete dengan kebun palawija, belukar dengan kebun jambu mete. 11 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Hutan Primer Hutan Sekunder Belukar Kebun Jambu Mete Kebun Palawija Pemukiman Gambar 10 Diagram distribusi jumlah titik perjumpaan Cikukua timor di tiap tipe habitat.

79 Identifikasi komponenn habitat fisik Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Nilai NDVI di lanskap Camplong berada pada rentang nilai -0,32 hingga 0,73 (Lampiran 7). Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks yang tinggi mumnya merupakan utupan vegetasi yang memiliki tingkat kesehatan yang tinggi atau vegetasi dengann kanopi yang baik. Nilai indeks yang mendekati 0 umumnya berhubungan dengann tutupan awan, sedangkan nilai indeks yang <0 umumnya merupakan badan air atau wilayah tanpa vegetasi (Jaya, 2010; Justice et al diacu dalam Roger et al. 2007). Jaya (2010) menjelaskan tutupan vegetasi yang lebat cenderung mempunyai nilai NDVI mendekati satu, sedangkan tutupan badan air umumnya bernilai -1. Nilai lahan kosong (tanah kosong) umumnya mempunyai nilai nol. Besarnya nilai NDVI dari suatuu kondisi tutupan vegetasi sangat bergantung pada tutupan vegetasi itu sendiri serta kondisi permukaan tanah yang ada di bawah vegetasi yang direkam. Titik-titik perjumpaan Cikukua timor di lanskap Camplong terletak pada rentang nilai NDVI 0,16 0,30 sebanyak 4 titik hingga rentang nilai 0,61-0,73 sebanyak 1 titik. Titik kehadiran burung tertinggi terletak pada nilai NDVI 0,46-0,60 sebanyak 21 titik (52%), pada rentang nilai NDVI yang semakin tinggi (0,61-0,73) nampak tingkatt perjumpaan menurunn drastis yaitu satu titik saja (Gambar 11). Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor ,32-0 0,1-0,15 0,,16-0,30 0,31-0,45 0,46-0,60 0,61-0,,73 Nilai NDVI Gambar 11 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai rentang nilai NDVI. pada Kemiringan n lereng Wilayah studi Cikukua timor di lanskap Camplong memiliki tingkat kemiringan lereng dari 0-3% hingga > 40% %. Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.32/MENHUT-II/ /2009

80 60 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Pembagian kelas kelerangan tersebut tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Pembagian kelas kemiringan lereng berdasarkan peta topografi berskala 1: : dan interval kontur 25 meter berdasarkan P.32 MENHUT- II/2009 Kelas Lereng Kemiringan lereng (%) Deskripsi) Datar II 3-8 Datar III 8-15 Landai IV Bergelombang V Curam VI >40 Sangat Curam Gambar 12 di bawah ini, menunjukkan bahwa pola distribusi frekuensi perjumpaan Cikukua timor sangat bervariasi mulai dari datar (0-8%) sampai sangat curam (>40%). Titik kehadiran Cikukua timor dapat ditemukan pada berbagai sebaran kemiringan lereng tersebut. Pada kemiringan lereng 3-8% (datar) dan 8-15% (landai) titik perjumpaan Cikukua timor lebih banyak (22 atau 55%), sedangkann pada kemiringan lereng 0-3%, 15-25% (bergelombang) dan > 40% (curam) tingkat kehadiran burung ini rendah antara 7,5% -15% (3-6 titik ). Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Kemiringan Lereng (%) >40 Gambar 12 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai rentang kemiringan lereng. pada Ketinggian tempat Lanskap Camplong terletak pada sebaran elevasi m dari permukaan laut (dpl), dan titik perjumpaan Cikukua timor dapat ditemui di semua tingkat ketinggian tempat dalam wilayah studi. Pada ketinggian m dpl jumlah kehadiran Cikukua timor rendah (2,5-7,5% atau 1-3 titik), sedangkan di ketinggian m dpl jumlah kehadiran burung cederung semakin meningkat (15-30 % atau 6-12 titik) (Gambar 13).

81 61 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Distribusi Elevasi (m dpl) Gambar 13 Diagram sebaran data jumlah berbagai rentang nilai elevasi. titik perjumpaan Cikukua timor pada Jarak dari beberapa faktor spasial 1. Jarak dari hutan primer dan sekunder Hasil klasifikasi peta penutupan lahan di lanskap Camplong didapatkan luas hutan primer 285,3 ha dan hutan sekunder seluas 135,18 ha. Kehadiran Cikukua timor di hutan primer beradaa pada rentang jarak m dan jarak dari hutan sekunder antara m. Pada jarak yang semakin dekat (0-365 m) dengan hutan primer jumlah titik perjumpaan Cikukua timor cenderung lebih banyak (15 titik), dan semakin jauh dari hutan primerr titik perjumpaan burung semakin berkurang (2 titik) (Gambar 14a) ). Distribusi kehadiran Cikukua timor pada hutan sekunder lebih fluktuatif antara rentang jarak m sampai m dijumpai 6-12 titik (15-30%), sedangkan pada jarak m hanya dijumpai 2-5 titik (5-12%) (Gambar 14b). Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Hutan Primer (m) (a) Jarak dari Hutan Sekunder (m) (b) Gambar 14 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai rentang jarak (a) hutan primer dan (b) hutan sekunder. pada 2. Jarak dari belukar

82 62 Hasil klasifikasi peta penutupan lahan lanskap Camplong, sebaran Cikukua timor berdasarkan jarak dari belukar dapat dijumpai pada rentang jarak dari m. Pada jarak yang semakin dekat (0-88 m) dengan kawasan belukar jumlah titik perjumpaan Cikukua timor cenderung lebih tinggi (47% atau 19 titik). Kehadiran burung semakin menurunn (27,5%) pada jarak m dan semakin jauh dari areal belukar kehadiran Cikukua timor cenderung berfluktuatif menurun antara 2,5-10% (1-4 titik) (Gambar 15) 19 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Belukar (m) Gambar 15 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua pada berbagai rentang jarak dari belukar. timor 3. Jarak dari perkebunan (kebun jambu mete) dan palawija Berdasarkan hasil klasifikasi peta penutupann lahan lanskap Camplong, diperoleh kehadiran Cikukua timor di kebun jambu mete berada pada jarak m, dan jarak dari kebun palawija adalah m. Padaa kawasan kebun jambu mete, jumlah titik perjumpaan Cikukua timor paling banyak (70%) ditemukan pada jarak m, dan pada jarak yang semakin jauh dari kebun jambu mete jumlah perjumpaan Cikukua timor semakin menurun (7,5-15 %) (Gambar 16a). Kehadiran Cikukua timor di kawasan kebun palawija paling banyak (45%) berada pada jarak m, sedangkan pada jarak > 102 m, jumlah titik perjumpaan berfluktuatif antara 2 hingga 8 titik (5-20%) (Gambar 16b).

83 63 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor 28 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Kebun Jambu Mete (m) (a) Jarak dari Kebun Palawija (m) (b) Gambar 16 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor di berbagai rentang jarak dari; (a) kebun jambu metee dan (b) kebun palawija. Kawasan perkebunan jambu mete memiliki kanopi yang rapat sehingga mampu menyediakan fungsi shelter dan aktivitas sosial Cikukua timor. Kerapatan kanopi berkaitan erat dengan nilai NDVI. 4. Jarak dari permukiman Hasil klasifikasi peta penutupan lahan terhadap jarak dari permukiman diperoleh rentang jarak antara 0-576,28 m. Sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor tertinggi (32,5%) terletak pada jarak 0-97 m. Pada rentang jarak > m dari permukiman, jumlah titik kehadiran Cikukua timor menunjukkan kecenderung menurun. Tingkat perjumpaannya berfluktuasi antara 1-8 titik (2,5-20%) (Gambar 17). 13 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Pemukiman (m) Gambar 17 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor pada berbagai rentang jarak dari permukiman.

84 64 5. Jarak dari sungai Keberadaan Cikukua timor terhadap jarak dari sungai berdasarkan hasil klasifikasi peta penutupan lahan lanskap Camplong ditemukan pada rentang jarak ,6 m. Sebaran jumlah titik kehadiran Cikukua timor paling tinggi (35% atau 14 titik) ditemukan pada jarak m. Pada rentang jarak > m titik kehadirannya nampak menurun dengan titik perjumpaan terendah (2,5%) terdapat pada rentang jarak m (Gambar 18). 14 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Sungai (m) Gambar 18 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai rentang jarak dari sungai. pada Daerah riparian memiliki vegetasi yang selalu hijau, sedikit vegetasi pohon dengan tinggi < 20 m, dan cover yang tidak terlalu rapat. Wilayah seperti ini hanyaa dalam jarak yang tidak terlalu jauh (3-264 m) dari badan sungai. 6. Jarak dari jalan Berdasarkan hasil klasifikasi peta penutupann lahan lanskap Camplong, keberadaan Cikukua timor terhadap jarak dari jalan ditemukan pada rentang jarak m. Sebaran jumlah titik perjumpaan Cikukua timor tertinggi (57,5% atau 23 titik) ditemukan pada jarak 3-37 m. Pada rentang jarak m tingkat kehadirannya cenderung menurun (12,5-22,5%), dan pada rentang jarak > m jumlah titik perjumpaan Cikukua timor sangat rendah (2,5-5%) (Gambar 19).

85 65 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jarak dari Jalan (m) Gambar 19 Diagram sebaran data jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai rentang jarak dari jalan. pada Identifikasi komponen habitat biotik Komponen habitat biotik yang diamati mencakup struktur dan komposisi vegetasi yang diduga merupakan peubah determinann kehadiran Cikukua timor. Diduga determinan struktur dan komposisi vegetasi pada tiap titik kehadiran burung meliputi peubah; (1) jumlah spesies tumbuhan pakan dan cover, (2) jumlah individu tiap spesies pakan dan cover, (3) tinggi vegetasi meliputi tinggi rata-rata tiap tingkatan vegetasi, tinggi total, tinggii bebas cabang dan tinggi keberadaan burung saat terlihat pertama kali melakukan aktivitas perilaku tertentu di tiap titik perjumpaan, dan (4) kerapatan vegetasi tiap titik perjumpaan, kerapatan vegetasi pakan dan cover. Variabel-variabel determinan komponen biotik diperoleh dari observasi langsung pada tiap titik presence Cikukua timor di setiap tipe habitat yang dijumpai Tumbuhan sumber pakan dan cover Jumlah spesies dan individu tumbuhan pakan, cover bervariasi di tiap titik kehadiran Cikukua timor. Jumlah spesies tumbuhan yang teramati dalam penelitian ini (Mei-Juli) yaitu 58 spesies (Lampiran 1) ), terdapat 12 spesies dari 8 famili yang berfungsi sebagai sumber pakan Cikukua timor, dan 12 spesies dari 7 famili sebagai cover. Spesies tumbuhan sumber pakan yang memiliki jumlah titik perjumpaan terbanyak adalah Gmelina arborea (Famili Verbenaceae) dan Eucalyptus alba (Famili Myrtaceae), sedangkan jenis tumbuhan cover yang paling banyak digunakan untuk aktivitas sosial yaitu Anacardium occidentale (Famili Anacardiaceae) (Tabel 4).

86 66 Tabel 4 Jenis-jenis sumber tumbuhan pakan dan cover Cikukua timor pada Mei- Juli Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Ʃ titik Pemananfaatan Presence Pk Cv Pakan Cv Jml Presence Habitat Tisel/ johar hutan Cassia sp Fabaceae 1 - Nektar 23 Pmk Turi /gala-gala Sesbania grandiflora L Fabaceae 2 - Nektar 8 KPw & Pmk Faloak Sterculia comosa Wallich Sterculiaceae 3 - Nektar 15 HP, B, KbPj Gmelilna Gmelina arborea Roxb Verbenaceae 4 - Nektar 23 KbPj, KbJm, Kayu Putih Eucalyptus alba Myrtaceae 4 2 Nektar Sosial 21* HS Kapok hutan Gossampinus malabarica Nektar, Bombacaceae 5 1 Merr insekta Istirahat 31* HP, B Beringin Ficus benjamina L. Moraceae 1 - Buah 12 HP Nisum Myristica sp Annonaceae 2 1 Buah Istirahat 3* HP, Pmk Gamal Gliricidia sepium Fabaceae 2 Insekta 55 HS, B Lamtoro Leucaena glauca Benth Fabaceae 1 2 Insekta Sosial 17* KbPj Kleop/Kulah Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae 1 - Insekta 1 HP Bafikanu/ Fianaok Macaranga tanaria L. Euphorbiaceae 1 - Insekta 1 B Beringin/ Nekun Fecus religosa L. Moraceaea - 2 Istirahat 4 HP, B Kesambi Schleichera oleosa Merr Sapindaceae - 1 Istirahat 40 HP Kabesak hitam Acasia catechu Willd Fabaceae - 1 Istirahat 7 B Kedondong Istiraha, Spondias sp Anacardiaceae - 2 pagar Sosial 6 B Ara/bubuk Ficus glomerata Robox Moraceae - 1 Sosial 2 B Jambu Mete Anacardium occidentale Anacardiaceae - 3 Istirahat, Sosial 3 KbJm Johar Cassia siamea Lamk. Fabaceae - 1 Sosial 8 KbPj Nikis/bunik Cassia fistula Linn. Caesalpinoideae - 1 Sosial 3 KbPj Jumlah Keterangan: *) tumbuhan yang digunakan sebagai sumber pakan dan cover; Pk = Pakan; Cv = Cover; Pmk = Permukiman (Kawasan Terbangun); KbPj = Kebun Palawija; KbJm= Kebun Jambu mete; HP = Hutan Primer; HS = Hutan Sekunder; B = Belukar 1. Jenis tumbuhan sumber pakan Jumlah jenis tumbuhan sumber pakan yang dijumpai di lokasi studi sebanyak 12 jenis (Tabel 4). Sebaran jenis tumbuhan sumber pakan Cikukua timor dijumpai di enam tipe habitat dengan jumlah perjumpaan sebanyak 20 titik. Persentase perjumpaan tumbuhan sumber pakan pada masing-masing tipe habitat yaitu; 30% berada di hutan primer, 25% berada di kebun palawija, 20% ditemukan di hutan sekunder, 5% masing-masing di areal belukar dan kebun jambu mete, 15% di kawasan terbangun, dan 3,70% di kebun jambu mete. Perjumpaan Cikukua timor tertinggi berada pada hutan primer dan terendah di kawasan permukiman (Gambar 20a).

87 67 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Persentase Pakan Cikukua timor ,,93 % 11,11 % 62,96% Nektar Buah Nektar Insekta Buah Tipe Habitat Gambar 20 Diagram sebaran dan persentase pakan; (a) sebaran titik perjumpaan jenis tumbuhan sumber pakan di tiap tipe habitatt (Mei-Juli), (b) persentase sumber jenis pakan. Pada Gambar 20a, menunjukka an bahwa jumlah total titik perjumpaan tumbuhan sumber pakan pada hutan primer cenderung lebih banyak (6 titik) dibandingkan dengan tipe habitat lainya. Tumbuhan sumber pakan nektar dapat ditemukan di semua tipe habitat, sedangkan tumbuhan sumber pakan buah ditemukan hanya di dua tipe habitat yaitu hutan primer dan kawasan permukiman. Pada Gambar 20b, terlihat Cikukua timor cenderung lebih banyak memakan nektar 62,96%, sedangkan makan insekta 25,93% dan makan buah 11,11%. Variasi sebaran tumbuhan sumber pakan nektar berdasarkan jumlah titik perjumpaannya (n=17) seperti tersaji pada Gambar 20a, terlihat di kebun palawija cenderung lebih banyak dijumpai (n=5 atau 29,41% %) daripadaa tipe habitat lainnya. Pada tipe habitat kebun palawija, jenis G. arborea merupakan jenis tumbuhan sumber pakan nektar yang lebih dominan dijumpai (3 titik). Di hutan sekunder jenis E. alba merupakan jenis yang memiliki perjumpaan terbanyak (4 titik), sedangkan di hutan primer jenis G. malabarica (Famili Fabaceae) merupakan tumbuhan pakan nekar yang paling dominan (3 titik) dijumpai. Cikukua timor dapat juga memakan insekta berupa ulat-ulat kecil, serangga, atau larva (tak teridentifikasi spesifikasi jenis) yang berada pada dahan yang telah kering dan lapuk seperti G. malabarica, lubang-lubang pelepah buah Delonix regia (Fabaceae) yang telah kering dan di pucuk-pucuk

88 68 tumbuhan seperti Gliricidia sepium (Fabaceae), Leucaena glauca (Fabaceae), Vitex pubescens (Verbenaceae/Lamiaceae), Macaranga tanarius (Euphorbiaceae). 2. Jenis tumbuhan cover Jumlah jenis tumbuhan cover yang ditemukan di lokasi studi sebanyak 12 jenis (Tabel 4). Jenis tumbuhan cover Cikukua timor berhasil diidentifikasi pada 18 titik dari total 40 titik perjumpaan, terdistribusi padaa lima dari enam tipe habitat (Gambar 21). Di kawasan permukiman tidak ditemukan Cikukua timor melakukan aktivitas sosial dan istirahat/tidur. 3 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Istirahat Sosial Hutan Primer Hutan Sekunder Belukar Kebun Jambu Mete Tipe Habitat Kebun Palawija Pemukiman Gambar 21 Diagram sebaran jumlah titik perjumpaan jenis tumbuhan cover pada tiap tipe habitat (Mei-Juli). Persentase perjumpaan jenis tumbuhan cover pada masing-masingg tipe habitat kecuali permukiman yaitu; belukar 33,33%, kebun palawija 22%, kebun jambu mete dan hutan primer masing-masing 16,67%, hutan sekunder 11,11%. Variasi sebaran tumbuhan cover berdasarkan frekuensi titik perjumpaannya (Gambar 21), terlihat bahwa tipe habitat belukar dan kebun palawija merupakan tipe habitat yang paling umum ditemukan aktivitas istirahat dan sosial. Pada tipe habitatt lainnya jarang ditemukan tumbuhan cover Cikukua timor. Tipe habitat dengan ketersediaan tumbuhan cover yang lengkap, baik untuk aktivitas sosial maupun beristirahat hanya dijumpai di kawasan belukar, sedangkan pada tipe habitat lainnya hanya ditemukan aktivitas sosial saja. Di kawasan belukar, jenis Spondias sp cenderung lebih umumm ditemukan jika dibandingkan dengan jenis E. alba, F. religosa (Famili

89 69 Moraceae), Acasia catechu (Famili Mimosoideae), F. glomerata. Jenis tumbuhan cover yang cenderung paling umum ditemukan di kebun palawija adalah L. glauca, sedangkan jenis lainnya seperti Cassia siamea (Fabaceae) dan C. fistula jarang ditemukan (Tabel 4). 3. Jumlah individu spesies tumbuhan sumber pakan Jumlah tumbuhan sumber pakan yang dijumpai dalam wilayah studi yaitu 210 individu yang berasal dari 12 spesies tumbuhan (Tabel 4). Tumbuhan sumber pakan dengan persentase jumlah individu tertinggi adalah G. sepium (26,19%) dan G. malabarica (14,38%), sedangkan terendah adalah jenis V. pubescens dan M. tanaria (0,48%). 4. Jumlah individu tiap spesies tumbuhan cover Jumlah tumbuhan cover yang dijumpai dalam wilayah studi adalah 145 individu berasal dari 12 spesies tumbuhan (Tabel 4). Tumbuhan cover dengan persentase jumlah individu tertinggi yaitu Schleichera oleosa (Famili Sapindaceae) (27,59%) dan G. malabarica (21,38%), sedangkan terendah adalah F. glomerata (1,38%) Sebaran Vertikal 1. Tinggi rata-rata vegetasi Berdasarkan sebaran vertikal (tinggi rata-rata vegetasi), Cikukua timor dapat dijumpai pada tiga strata pertumbuhan vegetasi yaitu pohon, tiang dan pancang. Tidak semua plot (N= 40 plot) ditemukan strata pertumbuhan vegetasi yang lengkap. Vegetasi tingkat pohon dijumpai di 34 plot (titik perjumpaan), tingkat tiang dijumpai di 37 plot dan vegetasi tingkat pancang ditemukan pada 30 plot. Ada enam plot tidak memiliki vegetasi tingkat pohon (rentang tinggi 0-6 m), tiga plot tidak ditemukan vegetasi tingkat tiang (rentang tinggi 0-2 m), dan 10 plot tidak dijumpai vegetasi tingkat pancang (rentang 0-1 m). Sebaran vertikal vegetasi pada tiap tingkat pertumbuhan di tiap titik perjumpaan Cikukua timor tersaji pada Gambar 22.

90 70 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor Tinggi Vegetasi (m) a. Tingkat Pohon Tinggi Vegetasi (m) (b) Tingkat Tiang 10 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor ,01-2 2,01-3 3,01-4 4,01-5 Tinggi Vegetasi (m) ( c) Tingkat Pancang 5,01-6 Gambar 22 Diagram sebaran vertikal vegetasi pada; (a) tingkat pohon, (b) tingkatt tiang dan (c) tingkat pancang pada setiap titik perjumpaan Cikukua timor. Sebaran tinggi rata-rataa vegetasi dari berbagai strata pertumbuhan pada tiap titik perjumpaan Cikukua timor bervariasi. Karakteristik sebaran vertikal untuk vegetasi tingkat pohon 7-37 m, tingkat tiang 4-15 m dan tingkat pancang 1,5-6,0 m. Jenis-jenis vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang tersaji pada Lampiran 3,4 dan Tinggii vegetasi tempat beraktivitas a. Tinggi keberadaan Cikukua timor beraktivitas Tinggi keberadaan Cikukua timor saat pertama kali terlihat melakukan aktivitas makan, sosial maupun beristirahat cenderung lebih banyak ditemukan pada rentang tinggi vegetasi 5,76 hingga 10,01 m dengan jumlah 14 perjumpaan (Gambar 23) ).

91 71 10 Jumlah Titik Perjumpaan Cikukua timor ,5-5,75 5,76-10,01 10,02-14,27 14,28-18,53 18,54-22,79 22,79-27,04 Tinggi Vegetasi (m) Gambar 23 Diagram distribusi jumlah titik perjumpaan Cikukua timor berbagai klasifikasi tinggi keberadaannya saat beraktivitas. pada Tinggi keberadaan Cikukua timor saat beraktivitas pada rentang nilai yang semakin rendah (1,5-5,75 m dan 5,76-10,01 m), tingkat perjumpaan burung cenderung lebih banyak (10-14 titik). Pada rentang nilai 10,02-27,04 m, tingkat perjumpaan relatif stabil yaitu 7 perjumpaan. Pada rentang nilai yang semakin tinggi yaitu 18,54-27,04 m, nampak tingkat frekuensi perjumpaan semakin rendah (2 perjumpaan saja) (Gambar 23). Jenis-jenis vegetasi yang dimanfaatkann oleh Cikukua timor untuk beraktivitas tersaji pada Lampiran 2. b. Tinggi total vegetasi saat beraktivitas Cikukua timor beraktivitas pada rentang tinggi vegetasi 5-4 m. Frekuensi perjumpaan tertinggi (27,5%) berada pada selang tinggi vegetasi m. Pada selang tinggi vegetasi tertinggi (30-34 m), terlihat distribusi jumlah perjumpaan cenderung menurunn (5%) (Gambar 24). Jumlah titik perjumpaan Cikukua timor Selang tinggi total vegetasi perjumpaan Cikukua timor (m) Gambar 24 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor di berbagai klasifikasi tinggi total vegetasi.

92 72 Jenis-jenis vegetasi yang berada pada rentang tinggi antara m meliputi; S. comosa, E. alba, G. malabarica, Sesbania grandiflora (Famili Fabaceae), C. siamea, G. sepium, G. arborea, F. benjamina, dan V. pubescens, sedangkan jenis vegetasi untuk rentang kelas lainnya tersaji dalam Lampiran 2. c. Tinggi bebas cabang Ketinggian cabang pertama vegetasi mum disebut sebagai tinggi bebas cabang. Perjumpaan Cikukua timor pada tinggi bebas cabang 0,8 m hingga 4,3 m cenderung lebih tinggi ditemukan (27 titik perjumpaan). Pada kelas tinggi bebas cabang lainnya mulai rentang 4,4-7,9 m hingga 18,8-22,3 m, tingkat perjumpaannya cenderung lebih rendah yaitu 2-4 perjumpaan saja (Gambar 25). 27 Jumlah titik perjumpaan Cikukua timor ,8-4,3 4,4-7,9 8,0-11,5 11,6-15,1 15,2-18,1 18,8-22,3 Selang tinggi bebas cabang vegetasi (m) Gambar 25 Diagram distribusi jumlah perjumpaan Cikukua timor berbagai klasifikasi tinggi bebas cabang vegetasi. pada Jenis-jenis vegetasi yang berada pada rentang kelas tinggi bebas cabang antara 0,8-4,3 m digunakan Cikukua timor sebagai tempat beraktivitas untuk mendapatkan sumber pakan dan cover. Jenis vegetasi tersebut meliputi; A. occdentale, Cassia sp, Sterculia comosa (Sterculiaceae), F. racemosa, G. arborea, L. glauca, C. siamea, E. alba, G. sepium, F. benjamina, A. catticu, Spondias sp, M. tanarius, C. fistula, V. pubescens. Jenis vegetasi pada rentang tinggii bebas cabang antara 4,4-7,9 m hingga 18,8-22,3 m tersaji pada Lampiran 2

93 Kerapatan vegetasi 1. Kerapatan vegetasi tiap tipe habiat Kerapatan vegetasi untuk pertumbuhan tingkat pohon, tiang dan pancang di berbagai tipe habitat perjumpaan Cikukua timor nampak sangat bervariasi. Semua titik presence Cikukua timor pada enam tipe habitat memiliki tingkatt pertumbuhan vegetasi yang lengkap, mulai tingkat semai sampai pohon (Gambar 26). Pohon Tiang Pancang Kerapatan (batang/ha) Hutan Primer Hutan Sekunder Belukar Kebun Jambu Metee Kebun Palawija Pemukiman Tipe habitat Gambar 26 Diagram kerapatan vegetasi titik perjumpaan pada tiap tingkatan pertumbuhan di tiap tipe habitat. Tingkat kerapatan vegetasi untuk tiap tingkat pertumbuhan vegetasi sebagai berikut; kerapatan pohon 49,25 batang/haa ( 50 batang/ha), kerapatan tiang 392,5 batang/ha ( 393 batang/ha), dan kerapatan pancang 1320 batang/ha (Lampiran 5). Gambar 26, menunjukkan tipe habitat hutan primer memiliki kerapatan pohon lebih tinggi (21 batang/ha atau 42,5%) daripada tipe habitat lainnya. Lima jenis vegetasi tingkat pohon yang memiliki kerapatan tertinggi adalah; G. malabarica 6,5 batang/ha, S. oleosa 5,8 batang/ha, E. alba 5,3 batang/ha, G. arborea 3,3 batang/ha, dan F. benjamina 3 batang/ha. Semua jenis ini teridentifikasi sebagai tumbuhan sumber pakan, beristirahatt dan sosial (Tabel 4), sedangkann kerapatan vegetasi terendah tingkat pohon (1 batang/ha) berada pada tipe habitat perkebunan jambu mete. Ada 28 spesies yang memiliki tingkat kerapatan pohon terendah adalah 0,25 batang/ha

94 74 diantarannya; A. leucophloea, Corypha utan, D. regia, F. ampelas, (Lampiran 3). Kerapatan vegetasi tingkat tiang tertinggi (85 batang/ha) berada di tipe habitat hutan primer dan belukar (Gambar 28). Lima jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi meliputi; S. oleosa 42,5 batang/ha, A. catechu dan G. sepium masing-masing 40 batang/ha, G. arborea dan A. occidentale masing-masing 32,5 batang/ha. Tingkat kerapatan tiang terendah (40 batang/ha) berada di kawasan permukiman dan kebun palawija. Ada 6 jenis vegetasi tingkat tiang yang memiliki kerapatan terendah (2,5 batang/ha) yaitu; Bauhinia aculeate (Famili Leguminosae), C. fistula, C. javanica, Ziziphus mauritiana (Famili Rhamnaceae), F. religosa, dan M. tanarius (Lampiran 4). Kerapatan pancang tertinggi (390 batang/ha) berada di tipe habitat belukar (Gambar 26). Jenis-jenis vegetasi pancang yang memiliki kerapatan tertinggi meliputi; G. sepium 470 batang/ha, Cassia sp 170 batang/ha, 70 batang/ha C. wightii dan L. glauca dan 60 batang/ha untuk jenis A. accidentale, Z. timorensis dan C. subcordata. Tingkat kerapatan pancang terendah (30 batang/ha) berada di kawasan permukiman. Jenis-jenis vegetasi dengan tingkat kerapatan terendah meliputi; Plectronia sp, Sekit, Kotkotos, Citrus hystrix (Famili Rutaceae), Cananga odorata (Famili Annonaceae) (Lampiran 5). 2. Kerapatan vegetasi pakan Kerapatan vegetasi merupakan perbandingan jumlah individu suatu jenis terhadap luas areal yang ditempatinya. Jumlah jenis vegetasi pakan tingkat pohon dan tiang masing-masing ada delapan spesies, sedangkan tingkat pancang sebanyak tujuh spesies. Jenis vegetasi pakan yang memiliki kerapatan tertinggi tingkat pohon adalah G. malabarica (6,5/ha), sedangkan G. sepium memiliki kerapatan 40 batang/ha untuk tiang dan pancang 450 batang/ha. Jenis vegetasi pakan yang memiliki kerapatan terendah pada tingkat pohon adalah Myristica sp (0,75 batang/ha), tingkat tiang adalah M. tanaria (2,5 batang/ha), dan tingkat pancang adalah S. comosa, G. arborea dan G. malabarica masing-masing 20 batang/ha (Gambar 27).

95 75 Kerapatan Pohon Pakan (batang/ha) 6,5 5,25 2,5 3,25 3 0, ,25 0 Cassia sp Sesbania S grandiflora Sterculia comosa Gmelina arborea Eucalyptus alba G.malabarica Ficus benjamina Myristica sp Gliricidia sepium Leucaena glauca Vitex pubescens Macaranga tanaria (a) Jenis vegetasi Pohon Cassia sp Sesbania grandiflora Sterculia comosa Kerapatan Pakan (batang/ha) 450 Kerapatan Pakan (batang /ha) 32, ,57,, Gmelina arborea Eucalyptus alba G.malabarica ,5 0 2,5 Ficus benjamina Myristica sp Gliricidia sepium Leucaena glauca Vitex pubescens Macaranga tanaria (b) Jenis Vegetasi Tiang Cassia sp Sesbania grandiflora Sterculia comosa Gmelina arborea Eucalyptus alba G.malabarica Ficus benjamina Myristica sp Gliricidia sepium Leucaena glauca Vitex pubescens Macaranga tanaria (c) Jenis Vegetasi Pancang Gambar 27 Kerapatan tumbuhan pakan tiap tingkat pertumbuhan vegetasi; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang. 3. Kerapatan vegetasi cover Jumlah jenis vegetasi cover strata pohon yaitu 11 jenis, strata tiang 9 jenis, dan strata pancang 5 jenis (Gambar 28). Jenis vegetasi cover yang memiliki tingkat kerapatan tertinggi untuk strata pohon adalah G. malabarica (6,5 batang/ha), strata tiang S. oleosa (42,5 batang/ha) dan strata pancang L. glauca (70 batang/ha), sedangkan kerapatan vegetasi cover terendah untuk strata pohon adalah F. glomerata (0,5 batang/ha), strata tiang F. religosa dan C. fistula masing-masing 2,5 batang/ha, dan strata pancang G. malabarica dan C. siamea masing-masing 20 batang/ha. Jenis lain yang memiliki nilai kerapatan nol merupakan jenis vegetasi yang tidak dijumpai. Kerapatan tumbuhan cover tiap tingkat pertumbuhan vegetasi pada masing-masingg titik perjumpaan Cikukua timor ditunjukkann pada Gambar 28.

96 76 Kerapatan Cover (batang/ha) 6,5 5,,7 5,25 1,75 1,5 0,750,75 1,25 0,5 0,7 75 1,25 0 Kerapatan Cover (batang/ha) 42, , ,5 10 2, ,5 Ficus religosa Myristica sp Schleichera oleosa Acasia catechu Gossampinus malabarica Spondias sp Eucalyptus alba Ficus glomerata Anacardium occidentale Cassia siamea Cassia fistula Leucaena glauca Ficus religosa Myristica sp Schleichera oleosa Acasia catechu Gossampinus malabarica Spondias sp Eucalyptus alba Ficus glomerata Anacardium occidentale Cassia siamea Cassia fistula Leucaena glauca (a) Jenis Vegetasi Pohon (batang/ha) (b) Jenis Vegetasi Tiang (batang /ha) Kerapatan Cover (batang/ha) Ficus religosa Myristica sp Schleichera oleosa Acasia catechu Gossampinus malabarica Spondias sp Eucalyptus alba Ficus glomerata Anacardium occidentale Cassia siamea Cassia fistula Leucaena glauca (c) Jenis Vegetasi Pancang Gambar 28 Kerapatan tumbuhan cover pada tiap tingkatt pertumbuhan vegetasi; (a) tingkat pohon, (b) tingkat tiang, dan (c) tingkat pancang Principal Component Analysis Komponen habitat fisik Hasil PCA dengan biplot diperoleh faktor-faktor dominan komponen habitat fisik yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; NDVI, slope, elevasi, distance dari hutan primer, sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, permukiman, sungai dan jalan. Hasil PCA menunjukkan total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 54,,40%, dan dari hasil tersebut diperoleh delapan faktor yang memiliki korelasi positif, dan 3 faktor yang berkorelasi negatif terhadap kehadiran Cikukua timor. Delapan

97 77 faktor yang berkorelasi positif meliputi; NDVI, slope, jarak dari hutan sekunder, jarak dari belukar, jarak dari kebun jambu mete, palawija, dan jarak dari jalan, sedangkan tiga faktor yang berkorelasi negatif meliputi; jarak dari hutan primer, jarak dari sungai, dan elevasi (Gambar 29). Komponen 2 (22,90%) Elevasi JBlkr JS JPmk KbPj 0.6 JJ Slope KbJm 27 NDVI JHP JHS Komponen 1 (31,51%) Gambar 29 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat fisik Cikukua timor Keterangan: = titik perjumpaan Cikukua timor; JHP = Jarak dari Hutan Primer, Jarak dari Hutan Sekunder, JS =Jarak dari Sungai, KbJm = Kebun Jambu Mete, KbPk, Kebun Palawija, JPmk= Jarak dari Permukiman, JBklr = Jarak dari Belukar, JJ = Jarak dari Jalan. Berdasarkan hasil analisis faktor dari prosedur PCA diperoleh nilai total varian yang dapat dijelaskan sebesar 77,83% dengan jumlah matriks komponen (vektor ciri) sebanyak empat komponen (Tabel5). Tabel 5 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen fisik Komponen Utama Akar Ciri Total % Keragaman % Kumulatif

98 78 Tabel 6 Vektor ciri dari PCA Variabel Komponen Utama NDVI Slope 0.723* Elevasi Jarak dari Hutan Primer Jarak dari Hutan Sekunder * Jarak dari Belukar Jarak dari Kebun Jambu Mete Jarak dari Kebun Palawija Jarak dari Permukiman Jarak dari Sungai * Jarak dari Jalan 0.825* Keterangan: *) Faktor determinan kehadiran Cikukua timor di suatu tempat. Tabel 6 menunjukkan bahwa komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647) NDVI (0.350). Komponen 2 menjelaskan varian terbesar pada faktor elevasi (0.744), jarak dari belukar (0,740), jarak dari sungai (0,691) dan permukiman (0.568). Komponen 1 memiliki nilai eigen value (akar ciri) lebih besar (31,51%) dari pada komponen 2 (22,90%), sehingga dapat dinyatakan bahwa komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor. Variabel komponen habitat fisik yang berkorelasi positif dengan nilai vektor ciri terbesar pada komponen 1, 2, dan 4 akan digunakan dalam menentukan faktor yang berpengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor di suatu lokasi Komponen habitat biotik Hasil PCA dengan biplot diperoleh beberapa faktor dominan komponen habitat biotik yang diduga berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; jumlah spesies pakan cover, jumlah individu pakan dan cover, jumlah total spesies tumbuhan pada tiap titik perjumpaan, tinggi rata-rata vegetasi tingkat pohon, tiang dan pancang pada setiap titik kehadiran Cikukua timor. Hasil PCA menunjukkan bahwa total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Hampir semua faktor dari komponen habitat biotik dalam penelitian ini

99 79 memiliki korelasi di antara variabel kecuali faktor tinggi rata-rata vegetasi tingkat tiang dan pancang yang memiliki korelasi negatif (Gambar 30). Komponen 2 (20,10%) Jml Ind Cvr Jml Sp Cvr T.Tg D.Tg Cvr D.Ph Cvr 0.8 D.Pcg 20 Cvr Jml Tot Sp 25 T.Pcg T.Ph D.Pcg Pkn D.Ph Pkn D. Tg Pkn 19 Jml Sp Pkn Jml Ind Pkn Komponen 1 (28,38%) Gambar 30 Posisi berbagai faktor dominan komponen habitat biotik Cikukua timor. Keterangan: = titik perjumpaan Cikukua timor, Jml Sp = Jumlah Total Spesies,Jml ind Cvr= Jumlah Individu Cover, Jml Sp Cvr = Jumlah SpesiesCover, Jml Sp Pkn = Jumlah Spesies Pakan, Jml Ind Pkn = Jumlah Individu Pakan, DPh Pkn = Density (kerapatan) Pohon Pakan, DTg Pkn = Density Tiang Pakan, DPcg Pkn = Density Pancang Pakan, DPh Cvr = Density Pohon Cover; DTg Cvr = Density Tiang Cover, DPcg Cvr = Density Pancang Cover, TPh = Tinggi Rata-Rata Pohon, TTg = Tinggi Rata-Rata Tiang, TPcg = Tinggi Rata-Rata Pancang, Sp = Spesies. Korelasi negatif yang terjadi masih mengindikasikan ada pengaruh dari faktor tersebut terhadap kehadiran burung, tapi interpretasi ini dapat dijelaskan setelah memperoleh besaran nilai pengaruh dominannya dalam analisis regresi linear berganda. Supranto (2004) menjelaskan bahwa regresi linear berganda bertujuan untuk memperkirakan nilai variabel dependen (Y), kalau nilai variabel independen (bebas) X sudah diketahui nilainya. Ada beberapa faktor yang memiliki korelasi yang kuat yaitu; jumlah spesies pakan dengan jumlah individu pakan, jumlah spesies cover dengan jumlah individu cover, dan kerapatan pakan tingkat pohon dengan kerapatan cover tingkat pohon.

100 80 Berdasarkan hasil analisis faktor dari prosedur PCA diperoleh nilai total varian yang dapat dijelaskan sebesar 71,13% dengan jumlah matriks komponen (vektor ciri) sebanyak empat komponen (Tabel 7). Tabel 7 Keragaman total yang dijelaskan oleh setiap komponen biotik Akar Ciri Komponen Utama Total % Keragaman % Kumulatif Tabel 8 Vektor ciri dari PCA Komponen Utama Jumlah toal spesies Tinggi rata-rata pohon Tinggi rata-rata tiang Tinggi rata-rata pancang Jumlah spesies pakan Jumlah individu pakan Jumlah spesies cover Jumlah spesies cover Kerapatanpohon pakan 0.568* Kerapatan pohon cover Kerapatantiang pakan Kerapatan tiang cover 0.546* Kerapatanpancang pakan Kerapatan pancang cover Keterangan: *) Faktor determinan kehadiran Cikukua timor di suatu tempat Tabel 8, menunjukkan bahwa komponen 1 dapat menjelaskan varian terbesar jumlah spesies pakan (0,834), jumlah individu pakan (0,806), jumlah total spesies tumbuhan (0,784), tinggi rata-rata pohon, kerapatan pohon pakan, dan kerapatan pohon cover. Komponen 2 menjelaskan varian terbesar jumlah individu cover, jumlah spesies cover, tinggi rata-rata tiang, dan kerapatan tiang cover. Komponen 1

101 81 memiliki nilai eigenvalue (akar ciri) lebih besar (28%) dari pada komponen 2 (20,29%), sehingga dapat dinyatakan komponen 1 berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu lokasi Peubah determinan kehadiran Cikukua timor Peubah determinan yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat tertentu dilakukan dengan analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise. Hasil regresi terbaik diperoleh pada nilai R-square (75,0%) dan R-square Adj. (68,2%). Nilai tersebut didapatkan setelah dilakukan beberapa percobaan terhadap variabel Y dan variabel bebas X sebanyak 25 peubah dan jumlah data pengamatan dari 40 menjadi 34 titik presence Cikukua timor. Tujuan percobaan untuk mendapatkan model terbaik yang ditunjukkan oleh sebaran titik-titik presence Cikukua timor yang tepat dan tidak jauh dari garis regresi sehingga menghasilkan sebaran data yang normal. Titik-titik yang tersebar jauh dari garis regresi menunjukkan adanya distribusi data yang tidak normal atau ada data pencilan. Santoso (2010) menyatakan bahwa sebuah data yang berdistribusi normal akan membentuk distribusi data yang berbentuk lonceng (bell shaped), tidak menceng ke kiri atau ke kanan. Salah satu cara untuk mengatasi data yang tidak normal adalah dengan menghilangkan data yang dianggap penyebab tidak normalnya data. Dalam penelitian ini ditemukan data yang tidak normal yaitu data titik presence Cikukua timor yang berada pada titik perjumpaan 5, 10, 14, 19, 26 dan 33. Diduga disebabkan karena letak keberadaan titik yang berdekatan antara satu dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan informasi data yang hampir sama. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise, dari 25 peubah fisik dan biotik, ada 18 peubah tereleminasi dari model regresi dikarenakan adanya multikolinearitas. Model merupakan simplifikasi atau penyederhanaan dari proses yang terjadi di alam. Analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise menghasilkan model regresi dengan tujuh variabel yang tidak terjadi multikolinearitas (Lampiran 10). Dari ke-tujuh variabel pembentuk model tersebut, variabel jarak dari belukar tidak merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kehadiaran Cikukua timor pada suatu tempat, karena memililki nilai P (0,096) > 0,05. Ada enam faktor dari hasil analisis regresi linear berganda

102 82 yang menunjukkan pengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor yaitu; kerapatan pohon pakan dan tiang cover, slope, jarak dari jalan, sungai, dan hutan sekunder. Model regresi berganda yang berpengaruh terhadap kehadiaran Cikukua timor sebagai berikut: Ln Y = 0, ,531 Ln X 20 (Kerapatan Pohon Pakan) + ( 0,160) Ln X 24 (KerapatanTiang Cover) + 0,158 Ln X 10 (Jarak dari Sungai) + ( 0,188) Ln X 11 (Jarak dari Jalan) + 0,269 Ln X 2 (Slope) + ( 0,0740) Ln X 5 (Jarak dari Hutan Sekunder) R-Sq = 75,0% R-Sq(adj) = 68,2% Model regresi menunjukkan bahwa; a. Konstanta sebesar 0,867 artinya jika kerapatan pohon pakan, kerapatan tiang cover, jarak dari sungai, jarak dari jalan, slope, dan jarak dari hutan sekunder, nilainya 0, maka jumlah individu kehadiran Cikukua timor nilainya sebesar 0,867 (dalam satuan logaritma natural). b. Koefisien regresi peubah density (kerapatan) pohon pakan sebesar 0,531 berarti jika kerapatan pohon pakan mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,531 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan pohon pakan (jumlah pohon pakan semakin banyak per satuan luas), tingkat kehadiran Cikukua timor pun semakin tinggi. c. Koefisien regresi peubah kerapatan tiang cover sebesar -0,160 berarti jika kerapatan tiang cover mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,160 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hal ini menjelaskan bahwa kerapatan tiang cover semakin rendah (jumlah tiang cover semakin sedikit per satuan luas), tingkat kehadiran Cikukua timor pun semakin tinggi. d. Koefisien regresi peubah jarak dari sungai sebesar 0,158 berarti jika jarak dari sungai mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,158 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi dapat

103 83 diinterpretasikan bahwa semakin jauh jarak dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. e. Koefisien regresi peubah jarak dari jalan sebesar -0,188 berarti jika jarak dari jalan mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,188 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin dekat jarak dari jalan, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. f. Koefisien regresi peubah slope sebesar 0,269 berarti jika slope mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami peningkatan sebesar 0,269 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Nilai regresi ini menjelaskan bahwa semakin besar persentase tingkat kemiringan lereng, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. g. Koefisien regresi peubah jarak dari hutan sekunder sebesar -0,0740 berarti jika jarak dari hutan sekunder mengalami kenaikan satu satuan, maka jumlah individu pada tiap titik kehadiran Cikukua timor akan mengalami penurunan sebesar 0,0740 satuan dengan asumsi variabel independen lainnya bernilai tetap. Hasil regresi menunjukkan bahwa jarak semakin dekat ke hutan sekunder, tingkat kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. Menurut Santoso (2001), untuk regresi dengan lebih dari dua variabel bebas digunakan Adjusted R 2 sebagai koefisien determinasi, dan Adjusted R Square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan. Berdasarkan output R- Square diperoleh angka Adjusted R Square sebesar 68,2%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa persentase sumbangan variabel independen yaitu jarak dari hutan sekunder, jarak dari sungai, tinggi rata-rata pancang dan kerapatan pohon pakan berpengaruh terhadap jumlah kehadiran Cikukua timor pada suatu titik sebesar 68,2%, atau variabel bebas yang digunakan dalam model mampu menjelaskan 68,2 %, variasi dependen (Y); sedangkan sisanya 31,8% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. Faktor lain tersebut meliputi gangguan dari manusia, invasi spesies C. odorata, predator dan kompetisi mendapatkan sumberdaya pakan dan cover. Gangguan dari manusia

104 84 yang berpotensi menimbulkan tekanan terhadap habitat adalah pembakaran hutan, illegal logging untuk kayu bangunan dan kayu bakar, pemangkasan tumbuhan pakan ternak, penggembalaan ternak secara liar dan perluasan jaringan jalan dalam kawasan, illegal hunting Dugaan populasi Data populasi Cikukua timor di jumpai pada 8 dari 11 transek pengamatan yang tersebar pada empat tipe habitat yaitu; belukar, kebun jambu mete, kebun palawija dan permukiman (Gambar 31). Persentase Estimasi Kepadatan Populasi (%) 10,29% 54,00% 32,87 2,85% Belukar Kebun Jambu Kebun Palawija Metee Gambar 31 Diagram persentasee estimasi kepadatan lanskap Camplong. Pemukiman populasi Cikukua timor di Jumlah individu tiap kelompok perjumpaan antara 1-4 ekor. Jumlah total populasi Cikukua timor yang teramati dalam penelitian ini berjumlah 71 ekor, dengan rata-rata tiap perjumpaan 1,775 individu atau antara satu sampai dua ekor. Estimasi kepadatan populasi di wilayah studi seluass 2470,11 ha yaitu 0,5755 ekor/ha Gambar 31 menunjukkann bahwa distribusi dugaan populasi Cikukua timor pada masing-masing tipe habitat yang dijumpai diperoleh nilai kepadatan populasi sebagai berikut; 0,0592 individu/ha terdapat di tipe habitat belukar, 0,0164 individu/ha di permukiman, 0,1892 individu/ha di kebun palawijaa dan 0,3107 di kebun jambu mete Analisis penutupan lahan Hasil analisis klasifikasi penutupan lahan di lanskap Camplong diperoleh 14 kelas penutupan lahan. Kelas penutupan lahan terluas (16,5%) adalah belukar dan semak (14,3%), sedangkan kelas penutupan lahan yang memiliki luasan paling kecil adalah awan (0,1 ha) dan badan air (0,6 ha) (Tabel 9).

105 85 Tabel 9 Luas L masingg-masing tippe habitat di d lanskap Camplong C No T Tipe Hab Tipe bitat Luass (Ha) Persentase (%) 1 Hutan Primeer 2885,3 11,6* 2 Hutan Sekunnder 1355,18 5,5* 3 16,5** Belukar 4066,53 4 7,5** 1844,23 Kawasan Perrtanian Palawiija 5 3,8** Kawasan Perrtanian Mete 944,32 6 6,4** Permukimann 1588,94 7 7,2 Savana 1766, ,3 Hutan Tanam man 3522,08 9 7,7 Mamar 1900, ,2 3255,89 Semak 11 2,1 Lahan Kosonng dan lain-laain 522,2 12 0,6 Badan Air 144, ,1 Awan 2,, ,3 Jalan (desa dan d negara) 577, ,1 Lain-Lain (U Unclassified) 622,64 Total 24770, Keterangan:: *) = tipe haabitat perjumppaan titik sebaaran spasial Cikukua C timor; **)= tipe habitat h perjumppaan titik sebaaran spasial daan data perjum mpaan populassi Cikukua tim mor Gambarr 32 Peta peenutupan lahhan di lanskkap Camplong In nterpretasii peta Peta P tematikk masing-maasing variabbel yang diiinterpretasi merupakann peta resolusi 30 (Gambaar 33-44).Niilai hasil intterpretasi peeta tematik seluruh varriabel fisik disaajikan pada Lampiran 8. 8

106 86 Gaambar 33 Peeta NDVI. Gambar 34 Peta kettinggian tem mpat.

107 87 Gambarr 35 Peta kem miringan laahan. Gambarr 36 Peta jarrak dari sunngai.

108 88 Gambar 37 Peta jarak dari hutan primer. Gambar 38 Peta jarak dari hutan sekunder.

109 89 Gambar 39 Peta jarak dari belukar. Gambar40 Peta jarak dari permukiman.

110 90 Gambaar 41 Peta jaarak dari jallan. Gaambar 42 Peeta jarak darri kebun jam mbu mete.

111 91 G Gambar 43 Peta P jarak dari d kebun palawija. p Gambarr 44 Peta jarrak dari sunngai Pem mbahasan Karrakteristik habitat fissik dan biotik Di lanskap Camplong, ditemukan d eenam tipe habitat h perjuumpaan akttivitas Cikukua timor t berdaasarkan periilaku makaan, istriahat//tidur, dan sosial. Ke-enam

112 92 tipe habitat tersebut yaitu; hutan primer, hutan sekunder, belukar, kebun jambu mete, kebun palawija, dan permukiman. Menurut Coates et al. (2000), Cikukua timor menghuni hutan primer dan hutan monsoon sekunder, hutan terbuka, semak terbuka, kadang lahan budidaya yang pohonnya sedikit; Trainor (2002), di Timor Leste, Cikukua timor ditemukan hidup di daerah berhutan, perkebunan di tipe hutan tropis kering (tropical dry forest). Beberapa jenis cikukua memiliki kesamaan/perbedaan habitat yang ditempatinya. Jenis Helmeted Friarbird P. buceroides lebih banyak menempati hutan dekat pantai, wilayah berhutan dan mangrov di zona tropika, tapi kadang-kadang dijumpai di daerah yang berbatasan dengan bukit di kaki gunung (foothills), berjarak 600 m dari permukaan laut (Woinarski et al. 1988; Woinarski 1993; McLean 1995). Perbedaan habitat bukan merupakan faktor penting bagi burung-burung di Timor (Noske dan Saleh 2000). Cikukua timor mampu hidup pada berbagai tipe habitat dengan karakteristik tertentu sesuai yang dibutuhkannya. Habitat yang dibutuhkan Cikukua timor adalah tipe habitat yang memiliki berbagai jenis tumbuhan sumber pakan nektar tingkat pohon, buah dan insekta, tipe habitat yang memiliki beberapa jenis tumbuhan cover tingkat tiang yang memiliki kanopi yang rapat dengan satu strata saja, dan tipe habitat yang lebih terbuka dengan sedikit pepohonan. Kemampuan hidup yang tinggi pada berbagai tipe habitat dengan karaktersitik tersebut dapat dinyatakan Cikukua timor tidak memiliki tipe habitat spesifik atau dapat pula disebut spesies generalis. Sekalipun habitat Cikukua timor bersifat generalis, namun untuk dapat tetap survive dan terjaminnya fitness, keberadaan hutan tetap menjadi habitat penting untuk mendapatkan kebutuhan pakan terutama pohon-pohon penghasil nektar dan tiang cover. Hasil observasi membuktikan bahwa kehadiran Cikukua timor pada suatu titik berkorelasi dengan ketersediaan faktor dominan komponen habitat fisik dan biotik (Gambar 29 dan 30). Cikukua timor lebih banyak mencari makan di kawasan hutan primer (30%) kebun palawija (25%) dan hutan sekunder (20%) (Gambar 20). Henriques dan Narciso (2010) menyatakan bahwa di Timor-Leste tumbuhan hutan merupakan sumber penting bagi satwa mancari makan. Ada 5 tipe habitat di kawasan ini yang tidak dijumpai kehadiran Cikukua timor, diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya;

113 93 1. Vegetasi sumber pakan yang berada pada lokasi ini tidak sedang dalam periode berbunga seperti tegakan flamboyan D. regia, nderas Erythrina variegate (Fabaceae). Semua tumbuhaan ini tumbuh menyebar di seluruh lanskap Camplong baik dalam kawasan hutan TWA Camplong maupun daerah permukiman dan mamar. 2. Tipe habitat semak dan lahan kosong pada umumnya kurang atau bahkan tidak terdapat vegetasi tingkat pohon baik sebagai sumber pakan maupun cover. 3. Sebagian besar areal savana di lanskap Camplong telah diinvasi tumbuhan C. odorata. Spesies ini tumbuh sangat rapat sehingga menyebabkan vegetasi lain tumbuh tertekan dan bahkan mati. Pada areal seperti ini akan terbentuk tipe habitat semak C. odorata yang hampir tidak memiliki tumbuhan sumber pakan dan cover. Hasil PCA terhadap faktor-faktor dari komponen habitat fisik menunjukkan komponen 1 memiliki nilai varian yang lebih tinggi (31,51%) sehingga berpengaruh lebih besar terhadap kehadiran Cikukua timor jika dibandingan dengan komponen 2 (20,29%). Ada empat faktor dari komponen 1 yang diduga memiliki pengaruh lebih besar dengan menunjukkan besarnya nilai varian yaitu; jarak dari jalan (0,825), jarak dari kebun palawija (0,770), slope (0,723), jarak dari kebun jambu mete (0.647), dan NDVI (0.350). Ke-empat faktor ini memiliki korelasi kuat terhadap kehadiran Cikukua timor. Pada umumnya jalan dibangun pada tempat-tempat yang memiliki kemiringan lereng datar hingga landai, dan memudahkan aksesibilitas masyarakat ke areal budidaya pertanian baik palawija maupun kebun jambu mete. Vegetasi sekitar jalan dan kebun palawija cenderung lebih terbuka karena hanya memiliki sedikit pepohonan. Coates et al. (2000) menyatakan bahwa Cikukua timor kadang menghuni lahan budidaya yang memiliki sedikit pepohonan. Cikukua timor di Timor Leste merupakan salah satu dari beberapa spesies yang mendiami ekosistem alami dan semi alami yang berisi beberapa spesies dari pohon palem, delapan spesies bambu dan empat spesies rotan (Henriques & Narciso 2010). Salah satu jenis Philemon di Australia yaitu P. citreogularis memiliki penyebaran di Australia dan New Guinea, banyak hidup di zona tropis pada

114 94 hutan eukaliptus terbuka dan daerah berhutan, tapi juga umum di daerah semiarid, kurang sering terdapat di sub-tropis dan daerah sub-humid (Clements 2000). Hasil analisis spasial dengan citra Landsat_5 TM terhadap NDVI menunjukkan bahwa titik kehadiran Cikukua timor tertinggi (52%) ditemukan pada nilai NDVI 0,46-0,60. Faktor NDVI dalam hasil PCA menunjukkan korelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan Cikukua timor cukup nyata terhadap vegetasi dengan kanopi yang cukup baik. Ketergantungan ini diduga berkaitan erat dengan kebutuhan pakan dan cover bagi Cikukua timor. Normalized Difference Vegetation Index adalah gambaran tingkat kehijauan dan kandungan biomassa relatif suatu vegetasi, sehingga hasil NDVI yang didapat menunjukkan hubungan positif terhadap kepadatan dan kekayaan vegetasi, dan secara statistik NDVI berkorelasi signifikan dengan kepadatan dan kekayaan spesies burung (McFarland et al. 2011). Budi (2000) menjelaskan bahwa nilai indeks vegetasi dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan vegetasi lebih baik. Selama ini penggunaan nilai NDVI dianggap mampu menjelaskan dengan baik karakteristik vegetasi yang diamati seperti kerapatan, biomassa dan LAI (Leaf Area Index). Variasi nilai NDVI merepresentasikan tingkat variasi karakteristik tutupan vegetasi pada ekosistem setempat. Lanskap Camplong memiliki variasi tipe tutupan vegetasi yang tergambar dari lima tipe ekosistem yaitu; (1) tipe ekosistem hutan musim yang ditandai oleh pohon-pohon yang tidak tinggi (15-30 m), memiliki banyak percabangan dan pada musim kering menggugurkan daunnya, (2) ekosistem hutan savana yang berada di sekitar Oelkuku yang di dominasi lontar Borasus sp, gewang Corypha gebanga, serta E. alba, dan diantara tumbuhan ini terdapat juga Tamarindus indica, C. fistula, S. oleosa, dan A. leucocephala yang mendominasi di sekitar desa Silu; (3) ekosistem hutan tanaman berupa tegakan Tectona grandis (Verbenaceae), C. siamea dan D. regia, (4) ekosistem hutan tanaman campuran (mamar) yang ditanam sekitar sumber mata air dengan jenis vegetasi utama adalah kelapa Cocos nucifer, pinang Areca catechu, enau Arenga pinnata pisang Musa spp, (5) tanaman perkebunan (jambu mete) dan palawija.

115 95 Di hutan sekunder Cikukua timor dapat ditemukan pada jarak m dan tingkat kehadirannya tertinggi pada jarak m. Hutan sekunder umumnya terdiri dari beberapa pohon berukuran diameter > 20 cm seperti E. alba dan C. siamea, beberapa vegetasi tingkat tiang seperti Cassia sp dan G. sepium. Jarak semakin dekat dengan belukar, kecenderungan titik kehadiran Cikukua timor semakin tinggi (47,5% atau 19 titik), sedangkan semakin jauh dari areal belukar titik kehadiran cenderung berfluktuatif menurun antara 2,5-10% (1-4 titik). Hubungan kehadiran Cikukua timor terhadap faktor jarak dari elevasi nampak berkorelasi negatif. Burung Cikukua timor dapat ditemui pada semua rentang ketinggian tempat dari m dpl. Trainor (2008) menyatakan bahwa di Timor Leste, Cikukua timor ditemukan pada elevasi m dpl. Ini mengindikasikan bahwa Cikukua timor mempunyai wilayah home range yang luas. Kehadiran Cikukua timor pada berbagai variasi ketinggian sangat berkaitan erat dengan kondisi vegetasi pakan dan cover yang ada di lanskap ini. Waterhause et al. (2002), menyatakan bahwa kepadatan dari atribut struktur tegakan hutan seperti diameter setinggi dada (Diameter at Breast Height atau DBH, volume dan tinggi kanopi) berkorelasi dengan elevasi, menandakan variasi struktur tegakan di sepanjang tinggi (gradient) elevasi. Struktur dan komposisi vegetasi di lanskap Camplong kurang menampakkan perbedaan yang besar pada setiap gradient elevasi. Lanskap Camplong terletak pada gradient elevasi < 1000 m dpl sehingga tergolong dalam kelas sebaran vegetasi dataran rendah. Dalam kategori klasifikasi ekosistem hutan berdasarkan ketinggian tempat dari permukan laut untuk wilayah ekosistem hutan musim (monsoon) lanskap Camplong tergolong dalam zona 1. Zona 1 dapat disebut juga dengan hutan musim bawah karena terletak pada ketinggian m dpl. Spesies vegetasi pada zona hutan musim bawah diantaranya adalah T. grandis, A. leucophloea, Actinophora fragran, D. regia, Azardoiraetha indicus, dan Caesalpinia digyna. Di Nusa Tenggara dijumpai E. alba, cendana Santalum album sebagai spesies yang menjadi ciri khas hutan musim (Indriyanto 2006). Berdasarkan jarak dari sungai, nampak faktor ini berkorelasi negatif terhadap kehadiran Cikukua timor, tetapi bukan berarti tidak berpengaruh

116 96 terhadap kehadiran Cikukua timor. Hubungan yang dapat dijelaskan bahwa wilayah yang terletak pada jarak yang semakin jauh dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor akan semakin berkurang. Sungai-sungai di lanskap Camplong umumnya terdiri dari sungai-sungai kecil yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama kali, dan tidak selalu ada air sepanjang tahun, menjelang musim panas (April/Mei) sampai akhir musim kemarau (November/Desember) badan sungai/kali menjadi kering. Hasil PCA memperlihatkan hubungan kehadiran Cikukua timor ditinjau dari jarak ke hutan primer memberikan korelasi yang negatif, padahal hasil observasi menunjukkan bahwa pada jarak yang semakin dekat (0-731 m) dengan hutan primer tingkat kehadiran burung semakin tinggi (27,5-35%), dan semakin jauh dari hutan primer tingkat kehadiran Cikukua timor secara nyata berkurang (Gambar 14a). Hutan primer memiliki karakteristik struktur tajuk yang rapat dan berlapis-lapis, yang terbentuk oleh berbagai strata pertumbuhan vegetasi dari tingkat pancang, tiang hingga pohon. Stratifikasi pertumbuhan vegetasi demikian akan membentuk strata lapisan tajuk bertingkat dan rapat. Diduga Cikukua timor kurang bahkan tidak membutuhkan kondisi stratifikasi tajuk rapat dan berlapislapis sehingga menghambat pergerakan Cikukua timor yang memiliki ukuran tubuh cukup besar (24 cm). Aktivitas makan Cikukua timor di hutan primer hanya ditemukan pada pohon pakan yang memiliki tinggi 7-27 m (Gambar 24a). Cikukua timor dapat ditemukan di daerah permukiman penduduk. Hasil analisis spasial dengan euclidean distance diketahui perjumpaan Cikukua timor tertinggi (32,5%) terletak pada jarak 0-97 m dari permukiman. Hasil PCA menunjukkan bahwa jarak dari permukiman berkorelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Informasi yang dapat diambil dari keberadaan Cikukua timor dekat dengan permukiman yaitu; (1) diduga Cikukua timor tidak terganggu dengan keberadaan manusia selama tidak ada aktivitas manusia yang mengganggu kehadirannya di daerah permukiman seperti kegiatan perburuan liar dan merusak tempat pakan dan cover, (2) keberadaan pohon sumber pakan yang ditanam oleh masyarakat seperti S. Grandiflora dan G. sepium, dan vegetasi yang tumbuh alami seperti Cassia sp, S. comasa, dan G. malabarica. Dalam observasi ini, titik perjumpaan Cikukua timor di kawasan permukiman cenderung lebih

117 97 banyak berada dekat dengan pohon pakan dan sumber air (sungai di Naunu dan sumur di Haulasi). Vegetasi sumber pakan Cikukua timor di daerah permukiman pada umumnya di tanam sebagai tanaman pakan ternak dan juga bermanfaat sebagai tanaman obat dan sayuran seperti bunga S. grandiflora. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel jarak dari belukar bukan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kehadiran Cikukua timor pada suatu titik. Sekalipun bukan merupakan faktor penentu kehadirannya namun keberadaan beberapa pohon pakan dan cover di tipe habitat ini diduga menjadi second habitat yang dapat mendukung keberadaan Cikukua timor di lanskap Camplong. Tipe habitat belukar memiliki tutupan lahan terluas (406,53 ha atau 16,5%) dari total luas lanskap Camplong (2470,11 ha). Scott et al. (2003) menjelaskan bahwa kepadatan burung di kanopi dan tinggi belukar (tall shrub) menunjukkan peningkatan secara signifikan dengan peningkatan cover belukar. Pada umumnya wilayah belukar bersifat lebih terbuka, sedikit vegetasi strata pohon dan tiang dengan tinggi >1,5 m, yang terbentuk dari areal bekas pertanian berpindah. Kerapatan vegetasi pohon dan tiang umumnya rendah pada areal belukar, sehingga terbentuk ruang kosong yang luas diantara pepohonan dan tiang. Kondisi ini memungkinkan pergerakan Cikukua timor lebih leluasa untuk melakukan aktivias mencari makan nektar, insekta, dan buah, beraktivitas sosial setelah aktivitas makan pagi (antara pukul atau > WIB) dan sebelum makan pada sore (pukul WIB), dan menghindari diri dari predator. Ketersediaan ruang terbuka yang luas pada areal belukar memudahkan Cikukua timor untuk menangkap insekta yang sedang terbang, dan aktivitas ini dapat dilakukan secara single (tunggal) atau berkelompok. Menurut Clements (2000) P. buceroides melakukan aktivitas mencari makan secara berkelompok dapat lebih dari 20 ekor pada sumber daya yang kaya makanan. Organisasi sosial, secara normal ditemukan berpasangan (dua ekor secara bersama-sama), tapi sering mencari makan sendiri untuk periode yang panjang. Hasil PCA terhadap komponen habitat biotik, diketahui total nilai keragaman yang mampu dijelaskan oleh komponen 1 dan 2 yaitu 48,29%. Ada 11 dari 14 faktor yang memberikan korelasi positif dan tiga faktor berkorelasi negatif terhadap kehadiran Cikukua timor (Gambar 30). Komponen 1 memiliki

118 98 eigen value lebih tinggi (28,00%) dari pada komponen 2 (20,29), sehingga dapat dinyatakan bahwa kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat lebih ditentukan oleh komponen 1. Nilai terbesar akar ciri (vektor ciri) menunjukkan besarnya pengaruh faktor tersebut terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada empat faktor komponen 1 yang memiliki pengaruh lebih besar berdasarkan nilai terbesar akar ciri (vektor ciri) yaitu; jumlah spesies pakan (0,834), jumlah individu pakan (0,806), jumlah spesies tumbuhan (0,784), dan tinggi rata-rata pohon (0,622). Korelasi yang semakin kuat diantara faktor baik fisik maupun biotik terhadap kehadiran Cikukua timor mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan kehadirannya di lanskap Camplong semua faktor ini harus tersedia dalam kualitas dan kuantitas habitat yang sesuai dengan titik-titik sebaran Cikukua timor di kuadran 1 dan 2. Khera et al. (2009) menyatakan kepadatan burung yang ditemui mempunyai korelasi positif signifikan dengan kerapatan pohon berukuran medium. Kemungkinan yang dapat dijelaskan bahwa pohon berukuran medium memberikan tempat perlindungan (shelter) dan keperluan mencari makan (foraging) terbaik dari burung jika dibandingkan dengan pohon besar dan kecil Peubah determinan dominan habitat Cikukua timor Berdasarkan hasil PCA terhadap komponen habitat fisik, ada delapan faktor yang berkorelasi positif dan tiga faktor berkorelasi negatif (Gambar 29), sedangkan pada komponen habitat biotik hampir semua faktor berkorelasi positif kecuali tinggi rata-rata pancang dan tinggi rata-rata tiang. Dalam analisis regresi linear berganda dengan prosedur stepwise terhadap semua variabel komponen habitat fisik, ditemukan semua variabel pada komponen 4 dan beberapa faktor pada komponen 1, 2, dan 3 dari analisis faktor pada vektor ciri PCA (Lampiran 11), tidak ada yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada empat faktor dari komponen habitat fisik yang menjadi determinan dominan kehadiran Cikukua timor adalah slope dan jarak dari jalan (komponen 1), jarak dari sungai (komponen 2), dan jarak dari hutan sekunder (komponen 3). Pada komponen habitat biotik, diketahui semua variabel yang berada pada komponen 2, 3 dan 4 tidak ada satu pun yang memberikan pengaruh dominan terhadap kehadiran burung, sedangkan pada komponen 1 hanya ada dua variabel

119 99 yaitu kerapatan pohon pakan dan tiang cover yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor. Ada beberapa variabel komponen habitat fisik dan biotik yang tidak menunjukkan pengaruh dominan terhadap kehadiran burung disebabkan karena terjadi multikolinearitas diantara variabel-variabel tersebut, sehingga dalam prosedur stepwise faktor-faktor yang saling berkorelasi akan tereduksi dan menghasilkan faktor yang tidak saling berkorelasi. Menurut Supranto (2004), variabel baru yang disebut faktor dalam analisis faktor dengan Principal component dapat dipergunakan untuk melakukan analisis regresi linear berganda, sebagai variabel bebas yang tidak lagi mengalami multicollinearty yang merupakan salah satu syarat dalam analisis regresi linear berganda. Dalam analisis regresi linear berganda menghasilkan enam faktor determinan dominan yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu lokasi, yaitu; kerapatan pohon pakan (0,531), slope (0,269), jarak dari sungai (0,158), jarak dari hutan sekunder (-0,0740), kerapatan tiang cover (-0,160), dan jarak dari jalan (-0,188). Seperti telah disebutkan di atas, diketahui faktor pada komponen habitat fisik memberikan kontribusi lebih banyak (4 faktor) terhadap kehadiran Cikukua timor, sedangkan komponen habitat biotik hanya ada dua faktor yang berpengaruh dominan terhadap kehadiran Cikukua timor. Namun demikian, faktor kerapatan pohon pakan merupakan faktor yang paling menentukan kehadiran Cikukua timor. Hal ini karena memberikan kontribusi koefisien regresi terbesar (0,5313) pada R 2 Adjusted = 68,2%, sehingga memiliki pengaruh paling dominan terhadap kehadiran Cikukua timor dibandingkan dengan faktor lain pembentuk model. 1. Kerapatan pohon pakan Komponen habitat fisik dan biotik yang paling dominan berpengaruh signifikan terhadap kehadiran Cikukua timor di suatu tempat adalah kerapatan pohon pakan (0,5313) dengan nilai P = 0,001. Jenis G. malabarica merupakan jenis pohon pakan yang memiliki tingkat kerapatan tertinggi (6,5 batang/ha). Cikukua timor merupakan jenis nektarivora yang memiliki perilaku foraging di enam tipe habitat (observasi Mei-Juli). Burung ini lebih banyak makan nektar (62,96%), insekta di dedaunan dan lubang-lubang kayu serta pelepah buah

120 100 (25,93%) dan buah (11,11%). Higgins et al. (2000) menyatakan P. corniculatus mencari tempat makan di pohon, terutama pada bunga dan daun, dari 123 observasi kegiatan; 53,3% terdapat pada bunga, 22,6% di antara dedaunan, 4,9% di cabang, 0,8% pada batang-batang pohon, 0,8% pada bagian bawah batang (ground), dan 6,6% di udara. Tracey et al. (2007) menyatakan P. corniculatus sebagian besar makan nektar, tapi juga makan buah, bunga, tepung sari (pollen), biji, insekta, lerps, manna, honeydew, dan kadang-kadang telur burung dan sarang (nestlings). Pohon dan belukar yang memiliki banyak nektar dicari dan dipertahankan secara agresif. Kemungkinan yang dapat dijelaskan dari pengaruh kerapatan pohon pakan terhadap kehadiran Cikukua Timor adalah jenis burung ini merupakan jenis nektarivora (jenis burung dengan makanan utamanya berupa nektar/madu), sehingga keberadaan pohon penghasil nektar dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi sangat menentukan kehadirannya.walaupun Cikukua timor tidak memiliki habitat yang spesifik dan termasuk dalam spesies generalis, namun kerapatan pohon pakan sangat menentukan dalam habitat yang ditempatinya. Kerapatan pohon pakan nektar berperan penting pada daerah kering seperti di kawasan ini, karena mampu menyuplai kebutuhan air bagi burung melalui nektar yang dikonsumsinya, disamping untuk mendapatkan karbohidrat dan protein. Indriyanto (2006) menyatakan bahwa pada musim kemarau, terutama akhir musim kemarau, banyak pohon yang mulai berbunga. Transpirasi melalui bunga sangat kecil, sehingga tidak mengganggu keseimbangan air dalam tumbuh tumbuhan. Kerapatan pohon pakan erat kaitannya dengan tinggi dan diameter pohon pakan. Observasi lapangan menunjukkan bahwa tingkat kerapatan pohon pakan di kawasan ini tergolong rendah. Namun demikian dapat dijumpai banyak pohon pakan berdiameter besar antara 0,278-2,120 m dan tinggi pohon m (Lampiran 1 dan 2). Sebaran pohon pakan Cikukua timor dapat tergambar dari kerapatan pohon yang lebih banyak (42%) ditemukan pada tipe habitat hutan primer (Gambar 28). Pohon pakan yang berdiameter besar dan tinggi >15 m seperti G. malabarica, G. arborea, E. alba dan Ficus sp dapat dijumpai beraktivitas makan berkelompok di pagi ( WITA). Tinggi rata-

121 101 rata vegetasi tingkat pohon di lanskap Camplong antara m (32,5%), tingkat tiang antara 6-11 m (47,5%), dan pancang 0-1 m (75%). Tinggi keberadaan Cikukua timor saat dijumpai pada berbagai variasi tinggi vegetasi lebih banyak (35%) dijumpai pada ketinggian 5,76-10,01 m, sedangkan pada ketinggian 18,54 27,04 m frekuensi perjumpaannya sangat kurang (2,5%) (Gambar 24). Diduga bahwa Cikukua timor umum beraktivitas pada ketinggian 1,5 hingga 18 m, dan ketinggian ideal bagi mereka beraktivitas adalah 5-10 m. Cikukua timor cenderung menghindari beraktivitas harian pada ketinggian lebih dari 27 m. Philemon corniculatus di Australia, memiliki distribusi tempat mencari makan pada tinggi 0-1 m sebesar 0,8%; 1-2 m sebesar 5,0%; 3-5 m sebesar 14,2 %, 6-9 m sebesar 27,5%; m sebesar 36,7%, dan > 15 m sebesar 15% (Clements 2000). Hasil PCA menunjukkan bahwa tinggi pohon berkorelasi positif terhadap kehadiran Cikukua timor. Graf (2008), menyatakan burung famili Meliphagidae seperti jenis bellbirds (Anthornis melanura) di New Zealand, pada habitat primer yang berukuran paling kurang 10 ha dengan pohon-pohon tinggi (lebih dari 8 m) dapat memenuhi semua kebutuhan untuk mencari makan (sedikitnya lima jenis makanan yang disukai), bersarang dan kebutuhan sosial dan lain-lainnya. Habitat sekunder berukuran lebih kecil dengan ukuran patch antara 1-10 ha, namun memenuhi kriteria yang sama sebagai habitat primer dan memenuhi persyaratan mencari makan, bersarang untuk beberapa pasangan breeding. Jarak maksimum dari habitat sekunder ke satu patch primer yaitu 500 m. Menurut Clements (2000) jenis Philemon melakukan aktivitas foraging arboreal, kebanyakan mencari makan di kanopi, tapi kadang-kadang di sub kanopi atau belukar (shrub), banyak mencari makan di berbagai bunga dari bermacam-macam jenis pohon, juga makan pada daun di bagian dalam dan luar daun, dan kadang-kadang menyambar insekta yang sedang terbang. Ford (1985) mencatat bahwa beberapa spesies burung menemukan makanan utamanya di hutan eukaliptus dan areal berhutan di layer semak dan belukar. Spesies-spesies tersebut seperti honeyeaters melakukan eksploitasi sumber daya nektar ketika tersedia di stratum semak dan belukar. Wykes (1985), honeyeaters mungkin lebih bergantung pada sumberdaya nektar selama musim

122 102 dingin. Beberapa spesies lebih menyukai untuk mengeksplotasi nektar dari jenisjenis bunga semak termasuk Eastern Spunebill, Red Wattlebird, Yellow-faced Hoeyeater, Yellow-tufted Honeyeater, Lewin s Honeyeater, New Holland Honeyeater dan Crescent Honeyeater. Penampakan paruhnya yang panjang, ramping tajam dan melengkung ke bawah dapat mempermudahnya untuk mengambil nektar yang letaknya agak dalam pada bunga yang memiliki ukuran petal (daun bunga) dan korola yang besar. Selain memakan nektar dan buah, Cikukua timor juga dapat memakan insekta yang terdapat pada pucuk-pucuk tumbuhan seperti gamal G. sepium dan dedaunan seperti jati T. grandis, lubang-lubang batang kayu yang telah kering seperti kepok hutan G. malabarica. Cikukua timor dapat mengambil insekta yang berada pada lubang kayu dan pelepah buah yang telah kering. Kemampuan mematuk lubang-lubang kayu yang telah kering seperti pada bagian batang utama pohon, cabang/dahan dan tangkai buah (pelapah) seperti pada pelepah buah D. regia menunjukkan bahwa paruh Cikukua timor cukup kokoh dan kuat. Touke dan Ford (2007) menyatakan bahwa friarbirds mampu membawa mangsa berukuran besar untuk anaknya, termasuk insekta yang berukuran jauh lebih besar seperti kumbang (Christmas beetles), sejenis jangkrit (cicadas), dan capung (dragon flies). Hinggins et al. (2001) diacu dalam Tokue dan Ford (2007), menjelaskan bahwa panjang paruh (bill length) Noisy Friarbird P. corniculatus (New South Wales,Australia) yaitu kurang lebih 33 mm, Tracey et al. (2007) menyatakan P. corniculatus berukuran besar (30-35 cm dari kepala sampai ekor). Menurut Noske dan Saleh (2000), relung yang tidak terisi oleh burung hutan timor (dan mungkin juga Wallacea) adalah pencari makan pada batang/kulit kayu. Timor praktis tidak memiliki burung pelatuk yang merupakan burung khas Sunda (kecuali Picoides moluccensis (Picidae) yang distribusinya sampai ke Alor) dan mungkuk Australo-Papua. Tidak adanya burung spesialis batang ini setara dengan miskinnya keterwakilan jenis-jenis ini di hutan basah Irian yang kaya akan burung. Di Irian relung ini diisi oleh burung cendrewasih dan jenis lainnya (Beehler 1982 diacu dalam Monk et al. 1997; 2000). Dalam observasi ini ditemukan, relung ini dimanfaatkan oleh Cikukua timor (Gambar 45).

123 103 Gambar 45 Cikukua timor sedang mengambil serangga (insekta) pada lubang batang kapuk hutan G. malabarica. Ada dua jenis dari Timor yang mencari serangga sebagai makanannya di cabang-cabang pohon adalah jenis margalis. Kedua jenis tersebut adalah Phylloscopus presbytes yang merupakan burung endemik Nusa Tenggara (NT), dan yang lebih spesialis adalah Heleia muelleri yang merupakan burung endemik Timor. Heleia muelleri sering mencari ulat dan laba-laba yang merupakan makanannya pada timbunan daun-daun yang telah gugur seperti juga dilakukan oleh Colluricincla megarhycha (Pachycephalidae) yang hidup di Australia tropis dan Irian (Beehler, 1982; Crome, 1978 diacu dalam Monk et al, 1997; 2000) ). Cikukua timor lebih cenderung mengunjungi tumbuhan berbunga dengan warna yang mencolok seperti bunga S. grandiflora yang berwarna merah, bunga Cassia sp yang berwarna kuning, G. arborea dengan bunga dominan warna kuning dan merah, bunga G. malabarica yang berwarna merah. Ketika tiba G. malabarica berbunga, jenis Cikukua timor dan Cikukua tanduk lebih banyak mengunjungi tumbuhan ini dibandingkann dengan jenis tumbuhan berbunga lainnya. Hal ini karena G. malabarica memiliki bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar dibandingkan jenis bunga lainnya. Deliso (2008) menjelaskan Famili Kolibri (hummingbird) seperti burung kolibri (hummingbird) di Monteverde, Pegunungan Tilaran, Costa Rica lebih memilih jenis tumbuhan yang menghasilk kan bunga dengan tempat daun bunga (petal) dan bukaan diameter korola yang lebih besar. Tanaman yang berukuran besar dengan bunga lebih banyak, dan jumlah nektar lebih besar, menerima kunjungann lebih banyak per tanaman dan per bunga dibandingka an tanaman kecil

124 104 dengan beberapa bunga saja. Bunga yang dihasilkan pada hutan musim, sering berukuran lebih besar dan memiliki warna yang terang, dan berbeda jika dibandingkan dengan bunga yang dihasilkan oleh pepohonan di hutan hujan tropis (pohon yang selalu hijau atau evergreen) (Indriyanto, 2006) Aktivitas mencari makan Cikukua timor pada umumnya dilakukan secara berkelompok. Induk Cikukua timor selalu secara bersama anaknya mencari makan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan ditemukan dua pasang induk sedang membawa anaknya mencari makan. Hal ini dipertegas oleh pendapat Tokur dan Ford (2007) bahwa induk friarbirds secara bersama-sama mencari makan untuk anaknya dan mungkin melokalisir wilayah mencari prey/mangsa, dan kemudian kembali merawat anaknya di sarang secara bersama-sama. Friarbirds memberi makanan anaknya yang masih muda di pagi hari dan dilanjutkan pada sore hari. Aktivitas makan Cikukua timor di lokasi studi cenderung lebih banyak dilakukan pada pagi dan sore hari. Pagi hari Cikukua timor lebih banyak melakukan aktivitas makan yang bersumber dari nektar dibandingkan dengan memangsa serangga dan mengkonsumsi buah. Castro dan Robertson (1997) menyatakan bahwa burung dapat mencari makanan yang pontensial ketika bunga memiliki sejumlah besar nektar misalnya di pagi hari atau dapat secara selektif mencari makan pada bunga yang lebih kaya nektarnya. Pada sore hari, Cikukua timor cenderung memilih pakan serangga kecil yang masih tumbuh pada fase ulat. Hasil analisis vegetasi pada lokasi perjumpaan dengan Cikukua timor menunjukkan bahwa spesies dengan kerapatan tertinggi untuk vegetasi tingkat pohon adalah G. malabarica, G. arborea, dan F. benjamina, tingkat tiang meliputi S. oleosa, A. catechu, G. sepium, G. arborea, dan A. occidentale, tingkat pancang meliputi G. sepium, Cassia sp, C. wightii, L. glauca, A. accidentale, Z. timorensis, dan C. subcordata (Gambar 28). Pola struktur vegetasi sering digunakan sebagai dasar untuk mengklasifikasi habitat dan struktur komunitas burung (Holmes and Robinson, 1981; Rice et al diacu dalam Neave 1996). Struktur fisik (phisiognomi) vegetasi dipandang sebagai komponen habitat penting untuk burung pada dua aspek yaitu langsung dengan penyediaan pakan, shelter dan sumberdaya bersarang, dan secara tidak langsung, menyediakan tanda-tanda

125 105 pontensial tentang permulaan dari kondisi yang sesuai untuk kesuksesan breeding (Nix, 1976; Wiens dan Rotenberry, 1981 diacu dalam Neave 1996). 2. Slope Variabel kemiringan lereng merupakan faktor penentu kedua yang mempengaruhi kehadiran Cikukua timor di suatu tempat dengan nilai koefisien regresi = 0,269 dan nilai P = 0,000. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin tinggi slope (kemiringan lereng), semakin tinggi pula tingkat kehadiran Cikukua timor. Hasil observasi memperlihatkan bahwa pada kemiringan lereng < 3% kehadirannya rendah (7,5%), sedangkan kehadiran Cikukua timor tertinggi (25-30%) dijumpai pada kemiringan lereng 3-15% (datar sampai landai), dan kemiringan lereng 15 - > 40% (bergelombang sampai sangat curam) kehadiran Cikukua timor cenderung fluktuatif antara 3-15% (Gambar 12). Fisher (2012), menyatakan bahwa daerah Kecamatan Fatuleu Barat didominasi oleh dataran rendah, namun memiliki beberapa bukit curam. Kecamatan Fatuleu Barat merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Fatuleu yang berpusat di Camplong. Wilayah Fatuleu Barat dan Camplong memiliki kemiringan lereng yang hampir sama karena berada dalam suatu lanskap yang berdekatan dan menyatu dalam satu lanskap Fatuleu. Kehadiran Cikukua timor pada berbagai tingkat kemiringan lereng berkaitan erat dengan distribusi vegetasi pakan yang berada pada tempat tersebut. Vegetasi pakan Cikukua timor tersebar luas di seluruh variasi kemiringan lereng di lanskap ini, dan faktor kemiringan lereng bukan menjadi faktor pembatas penyebaran tumbuhan pakan dan cover karena wilayah studi berada dalam elevasi yang sama. Pada umumnya slope bukan menjadi faktor pembatas distribusi jenis vegetasi, dan faktor pembatas kehadiran suatu spesies tumbuhan umumnya adalah elevasi. Hanski dan Tiainen (1989) menyatakan bahwa variabel slope tidak berpengaruh terhadap ketersediaan pakan burung, dan kepadatan rata-rata burung nampak meningkat pada kemiringan lereng. Di duga kehadiran Cikukua timor pada kemiringan lereng yang bergelombang sampai sangat curam disebabkan karena ketersediaan pakan yang rendah di daerah datar dan landai, dan rendahnya kompetisi memperoleh sumberdaya pakan pada kemiringan lereng tersebut. Di lanskap Camplong, jarak yang berdekatan (kurang dari 1 km) antara tempat datar

126 106 dan sangat curam bukan menjadi faktor pembatas untuk mendapatkan sumberdaya pakan dan cover. Perbedaan jarak yang tidak berjauhan antara datar dan sangat curam berkaitan dengan luas home range Cikukua timor untuk mencari makan. Hasil penelitian Southerton et al. (2004) Noisy Friarbird P. corniculatus di Australia, ketika mencari makan di musim berbiak, Friarbird dapat menjelajahi areal sejauh lebih dari 1 km, dan sinyal radio transmiter terdeteksi sampai 3 km, sedangkan pada jarak 9 km dari sarang sudah ada individu lain yang mencari makan. Dikatakan teritori honeyeater bisa hanya satu pohon saja, tetapi untuk mencari makan bisa beberapa kilometer. Boulton et al. (2003) menjelaskan bahwa batas teritori sepasang breeding honeyeaters (berukuran 0,07-0,40 ha). Perilaku teritori dan ukuran teritori bellbirds tergantung pada banyak faktor seperti ketersediaan pakan, tahapan siklus reproduksi, ketersediaan tempat sarang dan fitness individu. 3. Jarak dari sungai Letak keberadaan sungai memberikan pengaruh signifikan nyata terhadap kehadiran Cikukua timor sebesar 0,158 dengan nilai P sebesar 0,118. Hasil regresi menunjukkan bahwa semakin jauh dari sungai, tingkat kehadiran Cikukua timor akan semkin tinggi. Sekalipun semakin jauh jarak dari sungai kehadiran Cikukua timor semakin tinggi, namun hanya pada jarak m (jarak optimal) dapat ditemukan tingkat kehadiran Cikukua timor yang tinggi. Apabila jarak dari sungai > 778 m, maka tingkat kehadiran Cikukua timor semakin berkurang (Gambar 18). Kemungkinan yang dapat dijelaskan pada hubungan antara jarak dari sungai dengan titik kehadiran Cikukua timor adalah kondisi vegetasi di daerah riparian pada umumnya lebih hijau sepanjang tahun, pertumbuhan vegetasi yang lebih rapat dari pada daerah yang jauh dari riparian. Sungai-sungai di lanskap Camplong sebagaimana daerah lain di Pulau Timor pada umumnya, dimusim kemarau panjang (7-8 bulan) kebanyakan sungai tampak kering. Pada musim kemarau daerah sekitar sungai-sungai musiman ini (badan sungai memiliki air hanya pada musim penghujan saja) nampak selalu hijau dan memiliki kanopi cukup rapat. Fenomena seperti ini mungkin terjadi karena daerah riparian pada umumnya memiliki persediaan air tanah yang masih mencukupi untuk pertumbuhannya di musim kemarau.

127 107 Jenis Noisy friarbird P. corniculatus di Australia dan New Guinea dapat ditemukan pada daerah semi arid, temperate, sub-tropikal, sub-lembab (subhumid) dan zona tropikal, meluas sampai zona arid sepanjang sungai-sungai besar (White 1946; Lamm & Wilson 1966; Schmidt 1987; McFarland 1984, 1988; Leishman 1994; McLean 1995 diacu dalam Clements 2000). Menurut Hinggins et al. (2001) diacu dalam Tokue dan Ford (2007), P. corniculatus mendiami wilayah berhutan meliputi wilayah hutan yang didominasi oleh sungai Red Gum, terkadang dengan jenis eukaliptus lainnya seperti Black Box atau Coolibah, dan tumbuhan bawah pada umumnya dari jenis akasia, sering dekat dengan lahan basah (wetlands). P. citreogularis di Australia memiliki penyebaran luas sampai zona arid dan sepanjang zona anak sungai (watercourse) (Clements 2000). Hasil PCA menunjukkan jarak dari sungai kurang berkorelasi terhadap kehadirannya, tetapi hasil analisis regresi menunjukkan faktor ini turut berpengaruh terhadap kehadiran burung. Informasi PCA dapat dijelaskan oleh hasil analisis regresi linear berganda bahwa semakin jauh jarak dari sungai, maka kehadiran Cikukua timor semakin tinggi. Titik-titik kehadiran Cikukua timor masih dijumpai di sepanjang daerah riparian yaitu pada jarak m dari sungai. Sepanjang daerah riparian terdapat areal berhutan dengan sedikit vegetasi pohon dan tiang yang memiliki cover cukup rapat. Pada kondisi seperti ini Cikukua timor masih dapat dijumpai jika ketersediaan faktor dominan dari komponen habitat biotik dalam kualitas dan kuantitas habitat yang optimal dan tak terganggu. Scott et al. (2003) menjelaskan bahwa kepadatan burung di kanopi menunjukkan peningkatan secara signifikan dengan peningkatan cover pohon. Menurut Graf (2008) kanopi yang tinggi berpontensi lebih disukai oleh burung bellbirds. Vegetasi riparian yang selalu hijau dengan kanopi yang cukup rapat diduga berperan penting untuk Cikukua timor sebagai tempat beristirahat dan beraktivitas sosial, dan juga mungkin aktivitas makan jika tersedia pohon pakan. Pada umumnya daerah sekitar riparian dengan kondisi vegetasi yang demikian akan membentuk iklim mikro yang lebih sejuk dengan temperatur udara stabil. Data Stasiun Klimatologi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat-NTT,

128 108 Pulau Timor pada umumnya dan khususnya lanskap Camplong tergolong dalam tipe iklim E (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan rata-rata tahunan < 2000 mm per tahun. Bulan basah hanya berlangsung 3-4 bulan (Desember/Januari sampai Maret/April) dan bulan kering berlangsug selama 8-9 bulan (April/Mei hingga November/Desember). Suhu pada bulan Mei-Juli, daerah Naibonat dan sekitarnya termasuk lanskap Camplong (berjarak ± 5 km dari Naibonat) memiliki suhu rata-rata bulanan C. Daerah sekitar riparian memiliki suhu lebih stabil karena kelembaban yang tinggi akibat penutupan kanopi tajuk yang cukup rapat dengan satu strata saja. Hasil observasi lapangan ditemukan beberapa kelompok Cikukua timor melakukan aktivitas sosial di sekitar sungai Nefolina dan sungai Laukfui, Oelbani di wilayah desa Naunu, kali kering dan sekitar sumur di Tuanamolo, sungai Tobe. Di sekitar (57 m) dari sungai Laukfui ditemukan tempat beristirahat (tidur) di pohon G. malabarica. Di sekitar kali kering dan sumur di Tuanamolo ditemukan sekelompok Cikukua timor (lima ekor dewasa dan satu ekor anak yang baru berlatih terbang) sedang melakukan aktivitas makan nektar di pohon S. comosa. Daerah dengan tipe iklim E seperti di lanskap Camplong, wilayah riparian memiliki peran sangat signifikan terhadap ketersediaan pohon sumber pakan dan cover. Menurut Nicolson (2006) dalam musim kemarau yang panas honeyeaters membutuhkan asupan air tambahan untuk menjaga keseimbangan air yang cukup. Teritori yang dekat dengan anak sungai atau penyediaan air lainnya, lebih cocok dibandingkan dengan daerah kering. Umumnya vegetasi daerah riparian di lanskap Camplong tidak tinggi dan kondisinya sedikit terbuka dengan satu strata kanopi. Struktur floristik vegetasi yang demikian diduga menjadi habitat yang preferred oleh Cikukua timor dari pada kawasan hutan primer yang memiliki tingkat kanopi yang rapat dengan lebih dari satu strata kanopi. Vickery (1984) diacu dalam Indriyanto (1996) menyatakan bahwa ekosistem hutan musim didominasi oleh spesies pohon yang menggugurkan daun di musim kemarau yang disebut hutan gugur daun (deciduous forest), umumnya hanya memiliki satu lapisan tajuk atau satu stratum dengan tajuk-tajuk pohon yang tidak saling tumpang tindih, sehingga sinar matahari dapat masuk sampai ke lantai hutan, apalagi saat sedang gugur daun. Hal itu memungkinkan tumbuh dan

129 109 berkembangnya berbagai spesies semak dan herba yang menutupi lantai hutan secara rapat. 4. Jarak dari hutan sekunder Hasil regresi linear berganda menunjukkan jarak dari hutan sekunder diperoleh nilai koefisien regresi -,0740 dengan nilai P = 0,028. Model regresi berganda dengan prosedur stepwise menunjukkan variabel ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor pada suatu tempat. Nilai koefisien regresi jarak dari hutan sekunder menjelaskan bahwa semakin dekat dengan hutan sekunder tingkat kehadiran Cikukua timor semakin banyak. Hasil analisis spasial (euclidean distance) memperlihatkan Cikukua timor lebih banyak dijumpai pada jarak m (Gambar 14b). Pada umumnya hutan sekunder di lanskap Camplong merupakan areal yang sedang mengalami proses regenerasi vegetasi dari areal bekas penebangan dan kebakaran. Luas hutan sekunder di kawasan ini yaitu 135,18 ha (5,5%) (Tabel 9 dan Gambar 31). Vegetasi yang dominan di areal hutan sekunder adalah E. alba, C. siamea, Cassia sp (tisel/johar hutan) dan G. sepium, dan semak C. odorata. Kemungkinan yang dapat dijelaskan bahwa Cikukua timor diduga prefer terhadap areal yang bersifat lebih terbuka dengan beberapa vegetasi pohon seperti E. alba, beberapa vegetasi tingkat tiang dan pancang seperti C. siamea dan G. sepium. Salah satu jenis burung isap madu di Australia Barat Daya merupakan burung khas Eucalyptus dan kayu putih Melaleuca (Myrt.), namun mereka terkadang mengunjungi hutan monsoon (Noske dan Saleh (2000). Coates et al. (2000), Trainor (2008) menjelaskan bahwa Cikukua timor dapat menghuni hutan monsoon sekunder, hutan terbuka, semak terbuka. Di Australia dan New Guinea, jenis Noisy friarbird P. corniculatus kebanyakan mendiami hutan sclerophyll kering dan hutan eukaliptus, tapi kadangkadang di semak belukar daerah pesisir pantai, heathlands, paperbarks dekat lahan basah (wetlands) dan hutan sclerophyll basah, jarang tercatat di tipe lain dari daerah berhutan dan hutan hujan(clements 2000). 5. Kerapatan strata tiang cover Hasil analisis regresi berganda dengan prosedur stepwise menunjukkan bahwa kerapatan tiang cover berpengaruh nyata terhadap kehadarian P. inonatus.

130 110 Kerapatan tiang cover berkontribusi terhadap kehadiran Cikukua timor dengan nilai koefisien regresi -0,169 dengan nilai P = 0,003. Nilai regresi menjelaskan bahwa semakin rendah kerapatan vegetasi tingkat tiang, maka tingkat kehadiran Cikukua timor pada suatu titik akan semakin tinggi. Jumlah total kerapatan vegetasi strata tiang di lanskap Camplong adalah 392,5 batang/ha. Kerapatan total strata tiang cover adalah 177,5 batang/ha, jenis cover pada strata tiang yang memiliki kerapatan tertinggi (42,5 batang/ha) adalah S. oleosa (Gambar 23). Kerapatan vegetasi berkaitan erat dengan ketersediaan cover bagi satwa di wilayah yang ditempatinya. Pada tipe habitat yang memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi akan berkorelasi linear dengan ketersediaan cover yang tinggi pula pada habitat tersebut. Namun bagi Cikukua timor, kehadirannya semakin tinggi pada tempat yang memiliki kerapatan strata tiang cover yang semakin rendah, misalnya pada tipe habitat belukar, kebun jambu mete, dan kebun palawija. Cikukua timor cenderung lebih banyak melakukan aktivitas sosial dan beristirahat pada tipe habitat yang memiliki tingkat kerapatan cover strata tiang yang lebih terbuka (kurang rapat). Hasil observasi menunjukkan bahwa pada cover yang kurang rapat seperti di tegakan S. oleosa, sinar matahari dapat menembus lapisan tajuknya yang tipis (satu strata) saja. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah lapisan tajuk yang tipis mampu membantu Cikukua timor untuk melakukan aktivitas mencari makan insekta di antara dedaunan, menelisik dan berjemur, serta beraktivitas sosial seperti bernyanyi bersahutan, memantau dan menghindari diri dari predator. Menurut Sukarsono (2009), perilaku sosial berkembang diantaranya karena adanya kebutuhan untuk reproduksi dan bertahan dari predator. Aktivitas menelisik dan berjemur merupakan bentuk perilaku memelihara diri yang dilakukan pada saat beristirahat, dan aktivitas ini bertujuan untuk membersihkan diri dari kotoran yang berada pada bulu sayap, kepala, dada, dan ekor setelah melakukan makan insekta diantara dedauan. Aktivitas menelisik Cikukua timor menggunakan paruh dan menggosokkan bagian kepalanya pada dahan/batang kayu yang ditempatinya. Aktivitas menelisik berlangsung antara 5-15 menit. Dalam observasi ini, teramati aktivitas menelisik Cikukua timor di

131 111 daerah edge hutan primer yang berbatasan dengan hutan tanaman jati dan negara trans Pulau Timor di TWA Camplong (Gambar 47). jalan Gambar 46 Perilaku menelisik Cikukua timor di bawah lapisan tajuk S. oleosa di daerah edge tipe habitat hutan primer TWA Camplong. Kerapatan cover berkiatan erat dengan tinggi vegetasi. Cikukua timor lebih banyak (47%) berada di strata tiang pada tinggi rata-rata 6-8 m (Gambar 23b). Pada ketinggian tiang tersebut, Cikukua timor melakukan aktivitas makan dan beraktivitas sosial. Sebaran tumbuhan tingkat tiang umumnya berada pada daerah dengan kanopi lebih terbuka dekat tepi (edge) hutan primer, belukar, hutan sekunder, hutan tanaman jati, kebun jambu mete, kebun palawija, dan sekitar riparian. Di daerah dengan kondisi seperti ini memungkinkan burung melakukan aktivitas harian yang lebih leluasa untuk bergerak mencari makan dari satu lokasi ke lokasi lain yang berdekatan, beraktivitas sosial, dan memantau keberadaan predator yang menjadi ancamann baginya. Cikukua timor dalam aktivtas harian bersifat kelompok, sehingga membutuhkan ruang terbuka yang cukup luas sebagai tempat beraktivitas sosial. Isacch et al. (2005) menyatakan bahwa struktur vegetasi dan komposisi spesies tumbuhan memperlihatkan karakteristik konfigurasi lingkungan fisik terestrialnya, dimanaa telah terbukti penting di dalam menentukann kepadatan dan distribusi burung. Struktur vegetasi dan komposisi floristik diasumsikan menjadi faktor proximate utama yang menentukan dimanaa dan bagaimana burung mempergunakan sumberdaya dan mempengaruhi sumber daya. Faktor proximate

132 112 tidak secara langsung berhubungan dengan kelangsungan hidup individu tetapi diandalkan sebagai penduga adanya faktor ultimate, misalnya struktur vegetasi tertentu yang menunjukkan kemungkinan besar ditemukan makanan atau pelindung. Faktor ultimate adalah faktor yang berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup individu (makanan, air dan pelindung) (Basuni 1988). Tingkat pertumbuhan tiang lebih umum berada pada tipe-tipe habitat yang sedang mengalami suksesi vegetasi pada areal bekas lahan budidaya, penebangan liar, dan kebarakan hutan. Kondisi lahan yang demikian tersebar dalam bentuk fragmen-fragmen habitat. Perjumpaan aktivitas Cikukua timor (makan, istirahat dan tidur) umumnya berada pada areal yang berbentuk fragmen-fragmen habitat. Keberadaan pohon dan tiang dengan tinggi antara 7-32 m dan diameter >20 cm di tiap tipe habitat yang dijumpai, diduga berfungsi sebagai koridor antara tipe habitat tersebut sehingga terbangun konektivitas antara satu sama lainnya. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa 80% aktivitas Cikukua timor (makan, sosial dan beristirahat) berada pada vegetasi pohon. Philemon corniculatus di Australia umumnya hidup di hutan eukaliptus, terutama eukaliptus dengan tumbuhan bawah berupa rumput dan semak-semak yang menyebar. Umumnya berdiam di wilayah berhutan yang sehat hampir tak dipengaruhi oleh kerusakan, tapi juga biasa di patch-patch kecil dan wilayah hutan yang terfragmentasi (Higgins et al. 2001). Martensen et al. (2008) menyatakan bahwa ukuran fragmen yang besar dan tingkat konektivitas yang tinggi merupakan komponen kunci untuk mempertahankan spesies dalam fragmen. Konektivitas merupakan hal terpenting dari wilayah fragmen. Lanskap dengan konektivitas yang tinggi, dimana fragmen yang dekat satu sama lain dan atau terhubung oleh koridorkoridor, memberikan kemungkinan bagi burung untuk menggunakan lebih dari satu fragmen untuk mendapatkan sumberdaya yang diperlukan untuk bertahan hidup (Lees dan Peres 2008). 6. Jarak dari jalan Kehadiran Cikukua timor pada suatu suatu lokasi turut ditentukan oleh faktor jarak dari jalan. Hasil analisis regresi menunjukkan koefisien regresi sebesar -0,188 dengan nilai P = 0,001 (Lampiran 10). Interpretasi hasil regresi dapat diuraikan bahwa semakin dekat dengan jalan, tingkat kehadiran Cikukua

133 113 timor akan semakin tinggi. Hasil studi menunjukkan jarak kehadiran Cikukua timor dari jalan yaitu m, dan tingkat kehadiran Cikukua timor tertinggi (57,5%) berada rentang jarak 3-37 m dari jalan. Pada jarak > 142 m dari jalan tidak ditemukan kehadiran Cikukua timor (Gambar 19). Kehadiran Cikukua timor dekat dengan jalan diduga karena: 1. Cikukua timor merupakan spesies generalis, pada umumnya spesies generalis memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap tekanan lingkungan fisik dan biotik yang tinggi seperti yang terjadi di lanskap ini. Menurut Valido et al. (2004) spesies generalis memiliki sebaran yang luas dan spesies yang sangat umum dengan interaksi penyerbukan yang tinggi serta dapat bertindak sebagai sebagai spesies kunci (keystone species). 2. Cikukua timor merupakan spesies yang dekat dengan manusia, sehingga kehadiran manusia selama tidak melakukan aktivitas menggangu atau mengacam kehadirannya tidak menjadi faktor pembatas kehadirannya. 3. Distribusi pohon pakan dan tiang cover banyak tersedia di sekitar jalan baik di dalam maupun luar kawasan hutan, lahan budidaya masyarakat dan permukiman. Pada umumnya jalan dibangun dekat dengan tempat aktivitas manusia seperti dekat areal budidaya dan permukiman. Umumnya di areal budidaya dan permukiman banyak di tanam tanaman sumber pakan ternak yang berpotensi sebagai sumber pakan Cikukua timor seperti E. variegate, S. glandiflora, dan L. glauca. Lokasi sekitar jalan di kawasan hutan TWA Camplong banyak tanaman sumber pakan dan cover Cikukua timor seperti S. oleosa, G. malabarica, dan E. alba. 4. Jalan pada umumnya dibangun di daerah yang datar dan landai, dan Cikukua timor nampak lebih menyukai (prefered) daerah kemiringan datar dan landai yang memiliki banyak ketersediaan kebutuhan sumber pakan dan cover Populasi Cikukua timor Dugaan populasi Cikukua timor di wilayah studi menggunakan metode distance sampling (pengambilan contoh jarak jauh). Menurut Khul et al. (2011), metode ini paling banyak digunakan saat ini, dan telah dijelaskan secara menyeluruh oleh Buckland et al. 1993, 2001, 2004). Pengambilan sampel jarak jauh dapat didasarkan baik pada deteksi satwa sendiri atau pada tanda-tanda

134 114 keberadaan satwa (juga disebut isyarat) seperti sarang dan kotoran pada transek yang telah ditetapkan (Khul et al. 2011). Pendeteksian satwa dalam penelitian ini berdasarkan penemuan langsung baik dengan kontak fisik maupun suara burung Cikukua timor. Tanda lain selain kedua bentuk kontak tersebut, seperti sarang dan kotoran (feces) tidak lakukan dalam pengamatan ini karena tidak dapat didentifikasi secara jelas di lapangan. Saat penelitan ini berlangsung (Mei-Juli) tidak ditemukan sarang, karena waktu berbiak diperkirakan telah berlangsung antara dua atau tiga bulan sebelumnya (Februari-April). Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu (identifikasi komponen habitat biotik), ditemukan dua pasang induk dengan jumlah anak masing-masingnya satu ekor. Pasangan induk Cikukua timor pertama ditemukan pada tipe habitat permukiman di Oel haulasi, dalam lingkungan pekarangan (luas ± 3000 m 2 ), koordinat S ,4 dan E ,7, elevasi 264 m dpl. Pasangan induk Cikukua timor kedua ditemukan pada tipe habitat belukar di Tuanamolo, koordinat S ,8 dan E ,5. Data pengamatan populasi Cikukua timor pada satu tipe habitat perjumpaan dikelompokkan secara terpisah dengan tipe habitat lainnya. Menurut Sutherland (2006), asumsi distance sampling bahwa kepadatan satwa adalah konstan dalam sekitar areal garis transek atau titik dan ini memberikan suatu estimasi kepadatan tersebut. Variasi kecil pada kepadatan sekitar garis transek tunggal tidak menyebabkan banyak bias dalam menduga kepadatan rata-rata, tetapi jika habitat yang secara jelas heterogen, dengan bagian-bagian habitat bervariasi dapat diamati secara terpisah. Hal ini sangat penting dalam metode distance karena seperti halnya kepadatan satwa berbeda dalam habitat yang berbeda, kemampuan pendeteksiannya mungkin akan berbeda. Berdasarkan hasil analisis kepadatan populasi menggunakan distance sampling dapat dinyatakan bahwa tingkat kepadatan populasi di lokasi penelitian terkategori rendah dengan nilai total kepadatan pada berbagai tipe habitat tersebut yaitu 0,5755/ha. Kepadatan populasi terendah (0,0164 atau 2,85%) terdapat di wilayah permukiman dan tertinggi (0,3107 atau 54,28%) di kawasan perkebunan jambu mete. Menurut Coates et al. (2000) burung ini merupakan burung endemik yang tersebar luas di Pulau Timor mulai dari wilayah Timor Barat, Indonesia

135 115 sampai Timor Leste sampai kawasan Wallacea. Cikukua timor di Timor Leste mempunyai kelimpahan terkategori common redisent (cr) (Trainor et al. 2008). Tingkat populasi Cikukua timor yang rendah di kawasan ini dapat diduga disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut; 1. Kerapatan pohon pakan rendah Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kerapatan pohon pakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kehadiran Cikukua timor. Kerapatan pohon pakan di lanskap Camplong (Mei-Juli) tergolong rendah (6,5 batang/ha), sehingga diduga sebagian populasi Cikukua timor menyebar untuk mencari sumber daya pakan dan cover di tempat lain. Fenomena ini bertujuan untuk menghindari kompetisi dalam memperoleh sumber pakan. Jumlah jenis vegetasi pakan yang sedang berbunga tersedia dalam jumlah yang sedikit, yaitu; 8 jenis pakan tingkat pohon, 8 jenis pakan tingkat tiang dan 7 jenis pakan tingkat pancang (Gambar 21). Semua jenis vegetasi pakan ini mulai berbunga pada awal sampai pertengahan musim panas (April-Juli). Pada bulan Juli ditemukan tumbuhan G. malabarica mulai berbunga dan mungkin akan berakhir sampai bulan September. Menurut Wiens (1989), lingkungan fisik menentukan batas distribusi pada banyak biota. Woinarski et al. (1988)diacu dalam Neave (1996), menjelaskan bahwa perubahan musiman pada vegetasi, secara phenologi saat berbunga dan berbuah, dapat meningkatkan distribusi kepadatan burung, khususnya spesies nekatrivora yang memiliki mobilitas tinggi. 2. Distribusi dan musim berbunga vegetasi sumber pakan Sebaran dan kerapatan vegetasi pakan Cikukua timor hanya terdistribusi pada tempat-tempat tertentu saja atau tidak merata di seluruh tipe habitat di lanskap Camplong. Setiap jenis tumbuhan memiliki periodisasi masa berbunga yang tidak sama, sehingga hanya ada sebagian saja tumbuhan yang memiliki masa berbunga pada bulan Mei sampai Juli (Gambar 21). Neave et al. (1996), menyatakan struktur, komposisi floristik dan berbunga dari vegetasi dapat mempengaruhi distribusi burung menurut ruang dan waktu. Variabel yang terkait dengan kebutuhan habitat yang lebih spesifik dari burung adalah floristik vegetasi dan posisi topografi. Variabel-variabel

136 116 tersebut mungkinn menggambarkan kelembaban tanah dan kandungan nutrisi substrat pada habitat yang disukai. 3. Kerusakan habitat Banyak vegetasi sumber pakan ditemukan ditebang terutama Cassia sp untuk dijadikan sumber kayu bakar. Fenomena penebangan vegetasi sumber pakan inii lebih banyak dijumpai di dalam kawasan TWA Camplong (Gambar 47). Gambar 47 Tunggak penebangan liar vegetasi sumber pakan nektar Cassia sp di tipe habitat hutan primer TWA Camplong. Pada saat penelitiann ini ditemukan sebanyak 20 titik perjumpaan penebangan vegetasi sumber pakan. Setiap titik tersebut dapat dijumpai lebih dari 10 pohon yang ditebang dengan berbagai modus seperti langsung ditebang atau diawali pengulitan pohon, jika telah kering akan ditebang. Disamping itu, praktek penggembalaan ternak sapi secaraa liar di dalam kawasan telah terjadi bertahun-tahun dan diduga berkontribusi besar terhadap rendahnya regenerasi tumbuhan sumber pakan, karena diinjak dan dimakan. Penggembalan ternak dalam kelompok yang besar (> 20 ekor per kelompok) dapat mengakibatkan terjadi pemadatan tanah sehingga pertumbuhan tingkat semai menjadi ertekan bahkan tak dapat tumbuh dengan baik. Peningkatan tekanan penggembalaan di dalam kawasan hutan mengarah kepada penurunan kepadatan dan keragaman tumbuhan di kawasan ini. Invasi spesies C. odorata pada areal terbuka bekas kebakaran, penebangan liar, dan penggembalaan liar telah menyebabk an pertumbuhan tingkat semak dan pancang tumbuhan lain menjadi tertekan dan bahkan mati.

137 117 Kondisi ini menyebabkan proses suksesi pada areal-areal tersebut tak dapat berlangsung sampai tingkat klimaks. 4. Perburuan liar (illegal hunting) Tingkat perburuan illegal sangat marak terjadi di dalam dan luar kawasan TWA Camplong. Perburuan illegal diduga menjadi faktor yang paling besar berpengaruh terhadap penurunan populasi burung ini di lanskap Camplong. Hasil wawancara dengan masyawakat lokal dan petugas TWA Camplong menyatakan tingkat perburuan illegal di kawasan ini sangat marak terjadi setelah bergulirnya era reformasi pada tahun 1998 sampai saat ini. Hasil observasi selama kegiatan penelitiann berlangsung menunjukkan bahwaa dalam seminggu dapat diketemukan 3-4 pemburu illegal bersenapan angin dan ketapel (alat berburu tradisional) sedang melakukan perburuan di dalam dan luar kawasan hutan(gambar 48). a. Kota peluru senjata angin b. Pemburu bersenjata anginn ketapel Gambar c. Pemburuu tradisional menggunakan ketapel 48 Kegiatan perburuan illegal dengan alat berburu modern (senapan angin) dan perburuan tradisional (ketapel). Motivasi perburuan liar didorong oleh penyaluran hobi berburu dan hasil buruan dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Umumnya pemburu berasal dari usia remaja sampai dewasa produktif yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan sebagiannyaa berprofesi sebagai penggembala ternak sapi yang menggembalakan ternaknya secara liar di dalam kawasan hutan TWA Camplong.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Chandra Pangihutan Simamora 111201111 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bio-ekologi Cikukua timor 2.1.1. Jenis-jenis Cikukua dan gambaran ringkas morfologinya Terdapat enam jenis burung Cikukua yang tergolong dalam genus Philemon di daerah Walacea

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lindung sebagai kawasan yang mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, sumber plasma nutfah serta fungsi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017 ANALISIS TUTUPAN VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN JUMLAH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI AREAL RESTORASI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Oleh : MARLINANG MAGDALENA SIHITE 131201122/MANAJEMEN

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Liana Liana merupakan tumbuhan yang berakar pada tanah, tetapi batangnya membutuhkan penopang dari tumbuhan lain agar dapat menjulang dan daunnya memperoleh cahaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN NDVI DAN KRITERIA BAKU DI KAWASAN HUTAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN NDVI DAN KRITERIA BAKU DI KAWASAN HUTAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN NDVI DAN KRITERIA BAKU DI KAWASAN HUTAN KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI YOHANES GINTING 101201064 PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000).

I. PENDAHULUAN. terancam sebagai akibat kerusakan dan fragmentasi hutan (Snyder et al., 2000). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung paruh bengkok termasuk diantara kelompok jenis burung yang paling terancam punah di dunia. Sebanyak 95 dari 330 jenis paruh bengkok yang ada di Indonesia dikategorikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Januari 2010 Februari 2010 di Harapan Rainforest, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci