HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH"

Transkripsi

1 HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH HENDRA GUNAWAN E Sekolah Pascasarjana INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan disertasi yang berjudul : HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Agustus 2010 Yang menyatakan Hendra Gunawan E

3 ABSTRACT HENDRA GUNAWAN. Habitat and Distribution of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) on Fragmented Landscape in Centra Java. Supervised by Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, M.Sc., Prof. Dr. Ir. ANI MARDIASTUTI, M.Sc. and Dr. Ir. AGUS P. KARTONO, M.Si. Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) is limited distributed in Java Island. Its population is continually decreasing so it listed in Red list by the IUCN as critically endangered species. The decrease was mainly caused by fragmentation and degradation of forest. The objectives of this research are to map the distribution, to identify the metapopulation types and habitat characteristics, to measure the fragmentation of natural forest and to build a spatial model of habitat suitability. The Methods were included GPS mapping of population, metapopulation analyses, habitat analyses, fragmentation analyses using patch analyst and spatial modeling of habitat suitability using Arcview 3.2. The results found that there are 48 locations of javan leopards that distributed in five types of forest, i.e. pines plantation (43,8%), teak plantation (27,1%), natural mountain forest (14,5%), mixed plantation forest (8,3%) and natural lowland forest (6,3%). Javan leopard have preference to certain type of forest (P 0,05). Total population estimation of the javan leopard in Central Java was individuals. There are eight components that crucial for habitat of javan leopard and relevant for spatial modeling of habitat suitability, i.e. patch extent, prey, forest vegetation, climate, water, topography, altitude and status of forest. Fragmentation in the last 16 years has reduced 88,0% of total natural forest area in central Java and fluctuate the number of patches, total edge and edge density. Javan leopards are distributed in non-equilibrium metapopulation (31,25%), mainland-islands metapopulation (22,92%), classic metapopulation (10,42%) and patchy metapopulation (35,42%). Spatial model of habitat suitability result 7,67% patches of low suitability, 36,92% patches of moderate suitability and 55,41% patches of high suitability. The validity of the model is 95,83%. Keywords: habitat, distribution, leopard, fragmentation, metapopulation, suitability

4 RINGKASAN HENDRA GUNAWAN. Habitat dan Penyebaran Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, M.Sc., Prof. Dr. Ir. ANI MARDIASTUTI, M.Sc. dan Dr. Ir. AGUS P. KARTONO, M.Si. Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa yang dilindungi dan telah masuk dalam Redlist IUCN dengan kategori Critically Endangered serta termasuk dalam Appendix I CITES. Macan tutul Jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa, Pulau Kangean, Pulau Nusakambangan dan Pulau Sempu. Di Provinsi Jawa Tengah, macan tutul Jawa sedang mengalami kehilangan habitat, degradasi kualitas habitat dan fragmentasi habitat sehingga populasinya terancam punah. Padahal setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) punah, macan tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic level), sehingga merupakan spesies kunci (keystone species) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik habitat dan penyebaran macan tutul jawa di lansekap yang terfragmentasi di Jawa Tengah. Tujuan khususnya adalah : (a) memetakan penyebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan indikator-indikator keberadaannya dan mengetahui indeks seleksi tipetipe hutan yang menjadi daerah penyebarannya; (b) mengidentifikasi karakteristik habitat macan tutul jawa terutama untuk mengetahui faktor-faktor atau komponen habitat yang berpengaruh pada keberadaan satwa tersebut di suatu lokasi; (c) mengetahui tingkat fragmentasi hutan alam melalui pengukuran beberapa parameternya dan memelajari pengaruhnya terhadap sebaran macan tutul jawa; dan (d) membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. Hasil penelitian ini menemukan bahwa macan tutul jawa tersebar di 48 lokasi dalam 15 wilayah KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan berkisar ekor, di mana 77,8% diantaranya tersebar KPH kelas perusahaan pinus dan 22,2% di KPH kelas perusahaan jati. Terdapat 17 lokasi macan tutul jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 94% diantaranya ada di hutan produksi dan 82% merupakan hutan tanaman jati. Sebagian besar (86,67%) lokasi macan tutul yang punah lokal ada di ketinggian m dpl dan 46,67% memiliki topografi datar. Macan tutul jawa melakukan seleksi terhadap habitatnya (P 0,05). Hutan alam dataran rendah paling memiliki indeks seleksi Neu tertinggi (w = 8,5560) atau disukai (prefered), diikuti oleh hutan tanaman campuran (w = 5,8911), hutan alam pegunungan (w = 2,9795) dan hutan tanaman pinus (w = 1,1758). Sementara hutan jati memiliki indeks seleksi Neu kurang dari satu (w = 0,4769) atau tidak disukai. Populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi yaitu non-equilibrium metapopulation (31,25%), mainland-islands metapopulation (22,92%), classic population metapopulation (10,42%) dan patchy population (35,42%). Non equilibrium metapopulation memiliki resiko kepunahan jangka pendek lebih tinggi dibandingkan tipe metapopulasi lainnya akibat adanya konektivitas antar populasi. Macan tutul jawa menempati habitat dengan vegetasi hutan jati (27,1%), hutan pinus (43,8%), hutan tanaman campuran (8,3%), hutan alam dataran rendah (6,3%) dan hutan alam pegunungan (14,6%). Beberapa tempat berlindung macan

5 tutul jawa memiliki kerapatan tumbuhan bawah lebih dari individu per hektar. Mangsa utama (primata dan ungulata) terdapat di semua habitat macan tutul jawa. Indeks keanekaragaman jenis (H ) satwa mangsa di enam lokasi contoh tidak berbeda nyata (P>0,05). Semua habitat macan tutul jawa memiliki sumber air berupa sungai, anak sungai atau mata air. Tipe curah hujan di habitat macan tutul jawa bervariasi dari A sampai E. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan tipe curah hujan (P 0,05). Topografi habitat macan tutul jawa bervariasi dari datar sampai sangat curam. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan topografi (P 0,05). Macan tutul jawa paling menyukai lereng curam (w = 2,04) dan sangat curam (w = 1,74) tetapi tidak menyukai lereng datar (w=0,70). Macan tutul jawa tersebar dari 0 m dpl sampai lebih dari m dpl. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat (P 0,05), ketinggian tempat.lebih dari m dpl memiliki indeks seleksi tertinggi (w = 1,80), sementara ketinggian < 500 m dpl (w = 0,77). Sebagian besar (79,17%) macan tutul jawa ada di hutan produksi, 6,25% di hutan konservasi dan 14,58% di hutan lindung Hutan alam lahan kering yang merupakan tipe vegatasi yang paling disukai oleh macan tutul jawa (w = 8,5560), kondisinya terus mengalami deforestasi yang menyebabkan fragmentasi. Selama 16 tahun ( ) Provinsi Jawa Tengah kehilangan 88,0% ( ,09 ha) hutan alam lahan keringnya atau rata-rata sekitar hektar per tahun. Terfragmentasinya hutan alam diindikasikan oleh dinamika parameternya yaitu jumlah patches, total edge dan edge density. Model kesesuaian habitat macan tutul jawa menghasilkan 7,67% patches berkesesuaian rendah, 36,92% kesesuaian sedang dan 55,41% kesesuaian tinggi. Dari segi luasan, areal yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Model kesesuaian ini memiliki validitas 95,83%.

6 PRAKATA Dengan selesainya disertasi ini, selain bersyukur kepada Allah S.W.T atas lindungan, bimbingan dan pertolongannya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak (perorangan maupun lembaga) yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun material selama penulis menempuh pendidikan S3 hingga selesainya disertasi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ayahnda dan Ibunda (almarhumah) yang senantiasa mendoakan, membimbing dan memberikan dorongan spiritual sepanjang hidup saya. 2. Istri saya, yang telah dengan sabar dan setia selalu ada di sisi saya dalam duka maupun suka sehingga mendorong saya untuk terus berjuang demi keluarga. Anak-anak saya (Adhika, Raditya dan Anindita) sumber semangat dan inspirasi untuk terus bekerja tanpa mengenal lelah. 3. Bapak dan Ibu Mertua, Kakak-kakak dan adik ipar yang ikut repot serta membantu dengan doa dan dukungan moral sehingga studi ini bisa selesai. 4. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra yang memberikan inspirasi dan bersama-sama menentukan bidang keahlian dan judul disertasi yang harus saya ambil. 5. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. selaku anggota pembimbing. 6. Dr. Ir. Burhanudin Masy ud, M.S. dan Prof. Riset. Dr. M. Bismark, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Dr. Ir. Harry Santoso selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. 7. dan Dr. M. Bismark, M.S. selaku dosen penguji. 8. Direksi Perum Perhutani dan instansi vertikalnya (Unit I Jawa Tengah dan KPH- KPH) yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian di wilayah kerjanya. 9. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Jawa Tengah dan jajarannya yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian di wilayah kerjanya. 10. Pusdiklat Kehutanan selaku pengelola Karyasiswa Departemen Kehutanan reguler. 11. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam yang telah memberikan dukungan dana dan fasilitas selama penelitian disertasi ini. 12. Laboratorium Remote Sensing dan GIS (Prof. Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Sc.) yang telah mengijinkan menggunakan fasilitas laboratorium. 13. Eman dan Jaya Atmaja yang telah membantu mengumpulkan data lapangan serta Uus M. Saeful yang telah membantu pengolahan data spasial. 14. Sahabat, handai taulan dan semua yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya disertasi ini. Mudah-mudahan saya dapat membalas semua kebaikan mereka. Apabila saya tidak mampu dan tidak berkesempatan membalasnya, saya mohonkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa kiranya bermurah hati membalas dengan pahala, rejeki, kesehatan, kemudahan dan kebahagiaan kepada mereka. Amin. Bogor, Agustus 2010 Hendra Gunawan i

7 RIWAYAT HIDUP PENULIS Hendra Gunawan, lahir di Banjarnegara tanggal 3 April 1964, adalah putra keempat dari enam bersaudara Keluarga ASWOWIKARTO dan ALIMAH (almarhumah). Masa kecil dan pendidikan dasar (SD dan SMP) ditempuh di Kabupaten Bajarnegara. Penulis menamatkan pendidikan SLTA di SMAN 1 Kota Cirebon tahun Tahun 1988 penulis menamatkan studi S1 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Konservasi Sumbedaya Hutan dan mendapatkan sponsorship dari WWF untuk skripsinya. Tahun 1998 dengan Beasiswa Departemen Kehutanan, penulis menempuh pendidikan S2 di IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan tamat tahun Tahun 2006 penulis kembali mendapat beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk menempuh pendidikan S3 di IPB pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Departemen Konservasi Biodiversitas Tropika dengan disertasi berjudul HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH. Penulis pernah bekerja di sebuah perusahaan Hak Pengusahaan Hutan di Aceh Barat ( ), menjadi dosen luar biasa di Institut Pertanian Malang (1991/1992), menjadi peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar ( ) dan kemudian pindah ke Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam di Bogor (2004 sekarang). Sepanjang karirnya sebagai peneliti, penulis telah menghasilkan lebih dari 100 karya tulis ilmiah dan populer yang diterbitkan dalam jurnal, buletin, majalah maupun prosiding. Sebagian besar karya tulisnya berkenaan dengan konservasi satwaliar, pengelolaan kawasan konservasi serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi. Penulis juga pernah bekerja sebagai peneliti, pengajar, pembimbing dan penguji mahasiswa, narasumber dan anggota tim teknis/ahli pada beberapa lembaga antara lain: Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Balai Diklat Kehutanan, UNHAS, IPB, INHUTANI I, CIFOR, BAPPENAS, BAPLAN, PHKA, dan Badan Litbang Kehutanan. Penulis menikahi Retno Widianingsih dan telah dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra, Pradnya Paramarta Raditya Rendra dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas. ii

8 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i RIWAYAT HIDUP PENULIS ii DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis Kebaruan (Novelty) Pemilihan Lokasi Penelitia.. 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Macan Tutul Taksonomi Deskripisi Fisik Penyebaran Geografis Habitat Daerah Jelajah dan Teritori Makanan dan Kebiasaan Makan Kebiasaan dan Perilaku Perkembangbiakan dan Perilaku Berkembangbiak Masa Hidup Habitat, Relung, Daerah Jelajah dan Teritori Habitat Relung (Niche) Daerah Jelajah dan Teritori Teori Biogeografi Pulau iii

9 2.3. Ekologi Lanskap Matrix Patch Edge Koridor Fragmentasi Mengukur Fragmentasi Metapopulasi Seleksi Habitat Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Alat dan Bahan Prosedur Penelitian Pengumpulan Data Lokasi Indikasi Keberadaan Macan Tutul Struktur Cover Inventarisasi Jenis Mangsa Macan Tutul Jawa Kuesioner Pengolahan Data Sebaran dan Perkiraan Populasi Keanekaragaman Jenis Mangsa Seleksi/Preferensi Habitat Uji Kebebasan Analisis Fragmentasi Identifikasi Tipe-Tipe Metapopulasi Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Macan Tutul IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa Penyebaran Menurut Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Penyebaran Menurut Tipe Hutan Perkiraan Populasi Macan Tutul Jawa iv

10 Populasi yang Mengalami Kepunahan Lokal Seleksi Habitat Karaketristik Habitat Luas Ruang (Space) Habitat Vegetasi Mangsa Sumber Air Iklim Status Fungsi Kawasan Topografi Ketinggian Tempat (Altitude) Fragmentasi Hutan Alam Metapopulasi Model Spasial Kesesuaian Habitat Model Pemanfaatan Habitat Macan Tutul Jawa Model Kerawanan Habitat Macan Tutul Jawa Model Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Macan Tutul Jawa Implikasi Pengelolaan Pengelolaan Habitat Pengelolaan Metapopulasi Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi Penataan Ruang Wilayah Kebijakan Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa 11 Tabel 3.1. Data yang diperlukan dan sumbernya Tabel 3.2. Kriteria tingkat kepercayaan kebenaran laporan keberadaan macan tutul Jawa berdasarkan Laporan Bulanan Margasatwa Resort Pemangkuan Tabel 3.3. Indeks Seleksi Neu Tabel 3.4. Tabel 3.5. Tabel 3.6. Tabel 3.7. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Table 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8. Contoh tabel kontingensi untuk uji kebebasan antara kepunahan lokal dengan ketinggian tempat Argumen ilmiah sebagai pertimbangan dalam pembobotan faktor penyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa. 64 Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa Skoring faktor penyusun model kesesuaian dan keamanan habitat Keberadaan macan tutul jawa menurut wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Sebaran populasi macan tutul jawa menurut unit areal pengelolaan hutan terkecil, satuan ekosistem, ketinggian tempat, kelas lereng dan tipe curah hujan di Provinsi Jawa Tengah Sebaran populasi macan tutul jawa menurut tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah Luas, sebaran dan fungsi kawasan hutan tanaman pinus (Pinus spp.) di Provinsi Jawa Tengah Ketinggian, iklim dan topografi habitat macan tutul di lansekap hutan pinus Kepadatan populasi macan tutul jawa menurut ketinggian di Provinsi Jawa tengah Lokasi yang pernah dilaporkan ada populasi macan tutul jawa tetapi sekarang telah mengalami kepunahan lokal Tabel kontingensi uji kebebasan faktor topografi dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa vi

12 Tabel 4.9. Tabel Tabel kontingensi uji kebebasan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa Tabel kontingensi uji kebebasan faktor tipe hutan (vegetasi) dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa Tabel Rekapitulasi perhitungan χ 2 untuk uji signifikansi seleksi tipe hutan oleh macan tutul jawa Tabel Indeks seleksi Neu untuk habitat macan tutul Jawa di Provinsi Jawa Tengah Tabel Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di enam lokasi contoh Tabel Rekapitulasi Indeks keanekaragaman jenis (H ) dan indeks keseragaman (e) komunitas mangsa macan tutul di tiga tipe habitat di hutan produksi kelas perusahaan Jati Tabel Rekapitulasi indeks keanekaragaman jenis (H ) dan indeks keseragaman (e) mangsa macan tutul di tiga lokasi hutan produksi kelas perusahaan pinus Tabel Rekapitulasi uji t pembandingan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa antar sembilan kombinasi pasangan lokasi Tabel Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas satwa mangsa di enam lokasi contoh habitat macan tutul jawa Tabel Kriteria kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa di wiilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Tabel Rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Tabel Tabel Tabel Kelas tipe curah hujan untuk kesesuaian habitat macan tutul Jawa di 20 KPH Perum Perhutani Uni1 I Jawa Tengah Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara kondisi iklim dengan wilayah sebaran macan tutul jawa Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara kondisi kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa Tabel Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap kondisi kelerengan habitatnya Tabel Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa vii

13 Tabel Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa Tabel Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap ketinggian tempat di atas permukaan laut Tabel Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa Tabel Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah Tabel Luas dan jumlah patches habitat menurut tingkat kesesuaiannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat Tabel Jumlah dan luas patches habitat menurut kelas kerawanannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut tingkat kerawanan habitat Tabel Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal menurut kelas kerawanan habitatnya Jumlah dan luas patches habitat menurut kesesuaian berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya Tabel Jumlah dan luas kantong-kantong habitat menurut kelas pemanfaatan dan kerawanannya viii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. Rumusan masalah penelitian... 5 Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penelitian... 7 Gambar 2.1. Kiri: Macan tutul yang mengalami melanisme; kanan: macan tutul dengan pola warna normal (kanan) Gambar 2.2. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia Gambar 2.3. Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulaupulau besar, dekat Gambar 2.4 Model konseptual pengaruh fragmentasi Gambar 2.5. Tipe-tipe metapopulasi Gambar 2.6. Gambar 2.7. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasipopulasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak pertukaran Penghunian sekumpulan patch hutan yang mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati Gambar 3.1. Lokasi penelitian Gambar 3.2. Urutan tahapan prosedur penelitian Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul serta cara pengukurannya untuk identifikasi individu Prosedur pembuatan model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa Peta indikasi sebaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah tahun Lokasi sebaran populasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di lima tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah.. 74 Perkiraan populasi macan tutul jawa di 15 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ix

15 Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Taksiran minimum dan maksimum sebaran populasi macan tutul jawa menurut kelas perusahaan KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah berdasarkan hasil inventarisasi Proporsi sebaran macan tutul jawa yang punah lokal menurut ketinggian tempat (A) dan kelas lereng (B) Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 40 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Daruponon, KPH Kendal Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara, KPH Kendal Diagram profil hutan tanaman campuran habitat macan tutul di RPH Besokor, KPH Kendal Gambar 4.9. Diagram profil hutan alam dataran rendah sekunder habitat macan tutul jawa di Cagar Alam Pagerwunung, RPH 90 Darupono, KPH Kendal... Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus merkusii umur 33 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat Gambar Diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan habitat macan tutul jawa di Gunung Slamet, RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat Gambar Kerapatan tumbuhan bawah di berbagai tipe hutan habitat macan tutul jawa Gambar Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah Gambar Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di Provinsi Jawa Tengah Gambar Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas ketinggian (altitude) di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah x

16 Gambar Perubahan tutupan hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah (A) tahun 1990; (B) tahun 2000; (C) tahun Gambar Perkembangan luas hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun Gambar Perkembangan jumlah patches hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun Gambar Perkembangan Total Edge (TE) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah Gambar Perkembangan Edge Density hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah Gambar Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa Tengah: (a) sistem tebang habis; (b) perambahan hutan; (c) jaringan jalan raya; (d) jaringan listrik SUTET; (e) pertanian; (f) jaringan irigasi Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Muria dan sekitarnya (KPH Pati) Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di RPH Mandirancan (KPH Banyumas Timur) dan sekitarnya 118 Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di beberapa gunung di Jawa Tengah Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di KPH Kendal dan sekitarnya Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di KPH Kedu Selatan Gambar Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya Gambar Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa Tengah bagian timur Gambar Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat Gambar Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya xi

17 Gambar Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya Gambar Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya Gambar Peta pemanfaatan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah Gambar Peta kerawnan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah Gambar Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah xii

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Posisi geografis (GPS) lokasi indikasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Perkiraan populasi macan tutul jawa di daerah sebarannya di Provinsi Jawa Tengah Daftar populasi macan tutul jawa dan tingkat resiko kepunahan lokalnya Prioritas pengelolaan populasi macan tutul jawa yang memiliki resiko kepunahan lokal tinggi dan sedang. 173 Lokasi indikasi sebaran macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan, kelas kerawanan dan kelas kesesusaian habitatnya di Jawa Tengah xiii

19 2010

20 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

21 HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH HENDRA GUNAWAN E Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

22 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Ujian Terbuka : Dr. Ir. Burhanudin Masy ud, M.S. (Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB) : Prof. Riset. Dr. M. Bismark, M.S. (Peneliti Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam) : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. (Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB) : Dr. Ir. Harry Santoso (Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan)

23 Judul Disertasi : HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH Nama NIM : Hendra Gunawan : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 26 Agustus 2010 Tanggal Lulus :

24 Disertasi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku: yang dengan ketelatenannya mendidikku, dengan kegigihannya mendukungku, dengan kebijaksanaannya membimbingku dan dengan kesabarannya mendoakanku, hingga aku mencapai prestasi ini Dengan dukungan kasih dari: Retno Widianingsih Priyahita Adhika Putera Rendra Pradnya Paramarta Raditya Rendra Sistha Anindita Pinastika Heningtyas Serta doa dari : Gunarso dan Soanah, adik-adikku

25 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan sub spesies macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) yang memiliki morfologi dan genetika sangat berbeda dengan sub spesies lainnya. Sebaran macan tutul jawa sangat terbatas, hanya di Pulau Jawa (Santiapillai & Ramono, 1992; Meijaard 2004), Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982), Pulau Nusakambangan (Gunawan, 1988) dan Pulau Sempu (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996). Macan tutul jawa merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) memasukkan macan tutul jawa ke dalam Redlist dengan kategori Critically Endangered (Ario et al., 2008). Macan tutul jawa juga termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora) (Soehartono & Mardiastuti, 2002). Sebaran dan kelimpahan populasi macan tutul di Pulau Jawa belum pernah diteliti namun diperkirakan terus menerus mengalami penurunan sehingga status kelangkaannya dalam Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) terus meningkat dari Vulnerable (1978) menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994), Endangered (1996) dan akhirnya menjadi Critically Endangered pada 2008 (IUCN-The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008). Perusakan habitat yang mencakup juga hilangnya habitat, degradasi kualitas dan fragmentasi habitat merupakan penyebab paling signifikan dari kepunahan populasi dan spesies (Hanski, 1998). Perusakan habitat banyak disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) seperti pengembangan pertanian, pemukiman, industri, jaringan tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain. Hal tersebut kemudian menyebabkan degradasi habitat (habitat degradation), kehilangan habitat (habitat loss) dan fragmentasi habitat (habitat fragmentation) (Bureau of Land Management, 2004) Fragmentasi habitat terjadi secara evolusi pada suatu lansekap yang dicirikan oleh pengurangan jumlah total ketersediaan habitat yang sesuai (habitat loss) dan isolasi ruang (spatial isolation) kantong-kantong habitat (habitat patches) yang tersisa 1

26 (McGarigal & Marks, 1995). Suatu model dinamika populasi pada habitat yang terfragmentasi pertama dikemukakan oleh Levins (1969b) sebagai teori metapopulasi. Suatu metapopulasi terdiri atas sekelompok populasi dari spesies yang sama yang terpisah secara spasial dan berinteraksi pada beberapa level. Fragmentasi dapat menyebabkan pemecahan suatu populasi menjadi sub-sub populasi dalam pulau-pulau habitat (habitat islands) kecil yang lebih rawan tarhadap kepunahan lokal. Beberapa lokasi sebaran macan tutul jawa diperkirakan telah mengalami penurunan kualitas dan kesesuaiannya sebagai habitat satwa tersebut, bahkan di beberapa lokasi lainnya telah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi sebagai habitatnya. Mengevaluasi habitat-habitat yang masih tersisa dan memperkirakan lokasi-lokasi yang masih memiliki kesesuaian sebagai habitat macan tutul jawa merupakan pekerjaan penting dalam rangka konservasi satwa tersebut. Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi konservasi pada skala lansekap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001). Model kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983). Geographic Information System (GIS), merupakan alat yang handal untuk menilai dan mengevaluasi pola-pola lansekap dan perubahannya pada wilayah yang luas (Sessions et al., 1994). GIS banyak diaplikasikan untuk menilai fragmentasi habitat dan membuat pemodelan distribusi spesies (Apan, 1996; Jorge & Garcia 1997; He et al., 1998). Model-model kesesuaian habitat tersebut didasarkan pada hubungan fungsional antara satwaliar dan variabel-variabel habitat (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981). Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa, sehingga. macan tutul jawa juga merupakan spesies kunci (keystone species) yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Di sisi lain keberadaan macan tutul jawa semakin terancam punah. Informasi tentang macan tutul jawa juga belum banyak terungkap (Ario, 2008), bahkan perkembangan populasi dan penyebarannya selama beberapa 2

27 dekade terakhir di Pulau Jawa tidak terpantau dengan baik. Meijaard (2004) menyarankan agar pengelola kawasan konservasi memberikan perhatian khusus pada macan tutul jawa, antara lain dengan survei satwa tersebut secara menyeluruh sebagai langkah pertama dalam upaya konservasi. Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah menghadapi ancaman lebih besar dibandingkan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten karena hutan yang menjadi habitatnya di Provinsi Jawa Tengah 83,84% merupakan hutan produksi (Perum Perhutani, 2006) yang setiap saat terancam oleh tebang habis atau konversi. Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang tinggi, yaitu pada periode rata-rata ha per tahun. Dari segi luasan, deforestasi di Jawa Tengah ( ) merupakan yang terbesar yaitu 5.073,2 ha atau 80,6% dari total deforestasi di Pulau Jawa (Departemen Kehutanan, 2007a) 1.2 Perumusan Masalah Degradasi kuantitas dan kualitas hutan merupakan akumulasi dampak dari berbagai kegiatan dan perilaku manusia. Sebagai contoh, kebijakan penataan ruang yang tidak mempertimbangkan ekosistem sebagai satu kesatuan dan hanya mempertimbangkan beberapa kepentingan sektoral secara parsial serta kebijakan perolehan pendapatan yang bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam hutan telah mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan, kehilangan dan fragmentasi hutan. Hal ini pada gilirannya akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Ancaman ini semakin nyata dan mengkhawatirkan terutama sejak gerakan reformasi digulirkan dan otonomi daerah diimplementasikan. Di sisi lain, hutan juga mengalami kerusakan dan fragmentasi akibat pembalakan liar dan perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat akibat tekanan ekonomi sejak krisis moneter tahun 1998 yang telah melahirkan jutaan masyarakat miskin dan pengangguran. Tekanan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati satwaliar umumnya dan macan tutul jawa khususnya, bukan hanya disebabkan oleh degradasi hutan yang merupakan habitat utamanya, tetapi juga disebabkan oleh perburuan. Masyarakat memburu dan membunuh macan tutul jawa karena satwa ini masuk kampung memangsa ternak dan dianggap mengancam keselamatan manusia. 3

28 Padahal, perilaku menyimpang dari satwa ini disebabkan oleh kerusakan habitat yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Perburuan juga terjadi pada satwa-satwa yang menjadi mangsa macan tutul jawa, seperti kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), monyet (Macaca fascicularis), kancil (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura) dan lain-lain. Perburuan terhadap satwa mangsa macan tutul jawa dilakukan karena satwa-satwa tersebut dianggap sebagai hama tanaman atau untuk diperdagangkan sebagai tambahan penghasilan. Kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan bersama-sama dengan tekanan sosial-ekonomi serta sikap dan perilaku masyarakat tersebut secara simultan dan akumulatif telah mengakibatkan: (1) hilangnya atau berkurangnya luasan habitat (habitat loss) sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul jawa, (2) degradasi kualitas habitat (habitat degradation) sehingga tidak sesuai lagi bagi macan tutul jawa dan (3) fragmentasi habitat (habitat fragmentation) yang meningkatkan resiko kepunahan macan tutul jawa akibat isolasi dan mekanisme inbreeding. Dampak akhir dari berbagai penyebab tersebut terhadap macan tutul jawa adalah: (1) menurun hingga hilangnya kesesuaian habitat; (2) menurunnya populasi secara regional dan beberapa punah secara lokal, serta (3) berkurangya daerah sebaran dan terisolasinya beberapa populasi. Secara skematis, rumusan masalah macan tutul jawa yang melandasi penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena dapat menghasilkan informasi tentang bagaimana semua faktor penyebab bekerja. Walaupun satwa yang diteliti macan tutul jawa, tetapi hasilnya dapat digeneralisir sebagai permasalahan yang dihadapi oleh semua satwa langka yang terjadi di berbagai daerah. Dengan demikian melalui penelitian ini dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan umum konservasi satwa langka, khususnya di luar kawasan konservasi yang rawan fragmentasi. 4

29 Kebijakan pembangunan tidak berwawasan lingkungan Tekanan Sosial-Ekonomi-Budaya Masyarakat Tata ruang tidak terpadu, konversi dan eksploitasi hutan Perambahan, pembalakan liar dan perburuan macan tutul dan Penurunan kualitas habitat (habitat degradation) Hilangnya habitat (habitat loss) Fragmentasi habitat (habitat fragmentation) Kesesuaian habitat menurun atau hilang (tidak sesuai) Populasi menurun secara regional dan beberapa populasi punah lokal Daerah sebaran berkurang, terfragmentasi dan terisolasi Gambar 1.1. Rumusan masalah penelitian. 1.3 Tujuan Penelitian Peneltian ini memiliki lima tujuan khusus yaitu: a. Memetakan penyebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan indikator-indikator keberadaannya dan mengetahui indeks seleksi tipe-tipe hutan yang menjadi daerah penyebarannya. b. Mengidentifikasi tipe-tipe metapopulasi macan tutul jawa dan menganalisis resiko kepunahan dari masing-masing metapopulasi. c. Mengidentifikasi karakteristik habitat macan tutul jawa terutama untuk mengetahui komponen habitat yang berpengaruh pada keberadaan macan tutul jawa dan relevan sebagai faktor penyusun model kesesuaian habitat. d. Mengetahui tingkat fragmentasi hutan alam melalui pengukuran beberapa parameternya dan mempelajari pengaruhnya terhadap sebaran macan tutul jawa. e. Membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. 5

30 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi daerah penyebaran populasi, seleksi habitat, metapopulasi, tipe-tipe habitat dan karakteristiknya (mangsa, cover, air, iklim, topografi, altitude dan status kawasan), fragmentasi hutan alam dan pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. 1.5 Kerangka Pemikiran Hutan-hutan di Pulau Jawa umumnya dan Jawa Tengah khususnya merupakan habitat utama macan tutul jawa. Dari waktu ke waktu kuantitas dan kualitas hutan ini terus berubah dengan kecenderungan menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh penebangan, kebakaran, perambahan, dan konversi untuk kepentingan pembangunan jalan, irigasi, listrik, pemukiman dan pembangunan non kehutanan lainnya, sehingga menimbulkan dampak primer berupa perubahan lansekap hutan. Lansekap hutan yang sebelumnya utuh dan berkualitas baik, luas dan kompak terus mengalami degradasi kualitas, penurunan luasan dan terfragmentasi. Dampak lanjutan (sekunder) dari degradasi kualitas, penurunan luas dan fragmentasi hutan adalah : (1) tidak sesuai lagi atau berkurang kesesuaiannya sebagai habitat macan tutul jawa; (2) menurunnya populasi macan tutul jawa secara regional dan beberapa mengalami kepunahan lokal; dan (3) berkurangnya daerah penyebaran macan tutul jawa dan beberapa mengalami isolasi populasi. Dari dampak primer dan sekunder tersebut dapat teridentifikasi lima aspek yang relevan dan penting untuk diteliti guna mendukung konservasi macan tutul jawa, yaitu: a. Daerah penyebaran dan seleksi habitat macan tutul jawa b. Metapopulasi c. Karakteristik habitat macan tutul jawa d. Fragmentasi hutan dan kaitannya dengan keberadaan macan tutul jawa e. Model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat disusun suatu rencana tinduk pengelolaan konservasi macan tutul jawa di habitat-habitat yang tersisa sesuai dengan karakteristik habitat dan kelas kesesuaiannya. Kerangka pemikiran penelitian ini secara skematis diperlihatkan pada Gambar

31 Penebangan, Perambahan, Kebakaran Kawasan berhutan Habitat macan tutul jawa Konversi, pembangunan jalan, perkampungan, dll Degradasi Kualitas Hilang atau Luas Berkurang Fragmentasi Kesesuaian habitat macan tutul berkurang atau hilang (tidak sesuai) Populasi macan tutul menurun secara regional dan beberapa punah secara lokal Daerah sebaran macan tutul berkurang dan beberapa terisolasi Tujuan Penelitian Karakteristik Habitat Model Kesesuaian Habitat Penyebaran Populasi Fragmentasi Habitat Keterangan: Penelitian yang diperlukan Analisis Metapopulasi Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penelitian. 1.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang akan diuji atau dibuktikan adalah : a. Dalam penyebarannya, macan tutul jawa melakukan seleksi terhadap komponenkomponen habitat tertentu seperti vegetasi, topografi dan ketinggian. b. Macan tutul Jawa hidup di berbagai tipe habitat yang satu dengan lainnnya memiliki karakteristik fungsi serupa. c. Fragmentasi hutan berpengaruh pada pola penyebaran populasi macan tutul jawa sampai pada punahnya beberapa populasi secara lokal. d. Habitat-habitat macan tutul jawa dapat diklasifikasikan kesesuaiannya dengan pemodelan spasial dan proporsi sebaran populasi macan tutul jawa mengikuti proporsi sebaran kesesuaian habitat. 1.7 Kebaruan (Novelty) Penelitian tentang macan tutul jawa belum banyak dilakukan. Di Institut Pertanian Bogor sampai saat ini baru ada tujuh skripsi S-1 dan satu tesis S-2 tentang 7

32 penelitian macan tutul jawa. Sementara tulisan tentang macan tutul jawa sampai saat ini baru dapat penulis temukan enam judul. Semua penelitian tersebut umumnya mempelajari satu aspek tunggal seperti habitat, sebaran, genetika dan taksonomi. Penelitian macan tutul jawa sebagai disertasi program S-3 di Indonesia khususnya dan Asia umumnya merupakan hal baru. Dari aspek dan cakupan penelitian pun belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, unsur kebaruan dari disertasi ini antara lain mencakup: a. Pemetaan penyebaran macan tutul jawa dengan memanfaatkan teknologi GIS di Jawa Tengah. b. Seleksi habitat oleh macan tutul jawa c. Analisis metapopulasi sebagai dasar prediksi resiko kepunahan d. Identifikasi komponen habitat yang penting bagi macan tutul dan relevan sebagai faktor penyusun model kesesuaian habitat. e. Hubungan antara fragmentasi hutan dengan penyebaran macan tutul jawa di Jawa Tengah f. Pembuatan model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa di Jawa Tengah Pemilihan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian di Provinsi Jawa Tengah didasari pertimbanganpertimbangan sebagai berikut: a. Hutan di Provinsi JawaTengah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju deforestasi ( ) rata-rata hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a). b. Provinsi Jawa Tengah termasuk miskin hutan konservasi, disamping luasannya kecil, lokasinya juga berjauhan (terfragmentasi) dengan luas keseluruhan hanya ha (2,54% dari total luas kawasan hutan yang ada) dan sudah banyak yang mengalami kerusakan akibat penjarahan dan perambahan. c. Hutan produksi di Jawa Tengah luasnya mencapai ha (84,42% dari total luas kawasan hutan di Jawa Tengah) dan semuanya merupakan hutan tanaman dengan jenis utama jati (Tectona grandis) dan pinus (Pinus spp.). Dengan demikian kelestarian satwaliar di Jawa Tengah sangat tergantung pada keberadaan dan cara pengelolaan hutan produksi tersebut. Dengan perkataan lain, hutan produksi di 8

33 Jawa Tengah memiliki peranan yang sangat penting dalam mengkonservasi satwaliar. d. Konservasi satwaliar di hutan produksi bukanlah fokus atau tujuan utama pengelolaan perusahaan (Perum Perhutani), sehingga nasib satwaliar di hutan produksi dari tahun ke tahun dipertanyakan, apalagi sistem tebang habis dengan tanaman buatan setiap saat dapat menghilangkan habitat dan memutus konektivitas antar kantong habitat. e. Dalam rangka pengelolaan hutan lestari, sertifikasi, ecolabel dan HCVF (High Conservation Value Forest) serta implementasi Best Management Practices, maka diperlukan berbagai penelitian yang mendukung program-program tersebut. Penelitian spesies kunci, seperti macan tutul jawa akan sangat bermanfaat bagi pihak pengelola hutan produksi (Perum Perhutani). 9

34 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Macan Tutul Taksonomi Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Spesies macan tutul adalah Panthera pardus Linnaeus, Berdasarkan analisis taksonomi moderen ada delapan atau sembilan sub spesies, salah satunya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) yang hanya terdapat di Pulau Jawa 1. Di beberapa daerah di Indonesia macan tutul dikenal dengan nama lokal, misalnya di Jawa dikenal dengan nama macan, sima, macan tutul, seruni, kombang, gogor, pogoh, bungbak; di Jawa Barat disebut meong hideung, kerud anjing, rimau lalat, meong krut; di Madura dikenal dengan nama macan totol (Direktorat PPA, 1978). Di Indonesia, macan tutul jawa sudah menjadi satwa yang dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970. Pada tahun 1999 status perlindungannya dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Sejak tahun 1978 macan tutul telah dimasukkan ke dalam Red list IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) dengan kategori Vulnerable. Sejak itu kategorinya terus berubah, tahun 1988 menjadi Threatened, tahun 1994 menjadi Indeterminate, pada tahun 1996 menjadi Endangered dan pada tahun 2008 menjadi Critically Endangered (IUCN-The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008) Deskripsi Fisik Wilayah dan habitat memiliki pengaruh pada penampilan macan tutul. Di Afrika, macan tutul yang hidup di daerah berbukit cenderung lebih besar daripada yang hidup di dataran rendah (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Secara umum ukuran tubuh macan tutul jantan % lebih besar daripada betina (Garman, 1997). Ukuran ratarata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 2.1 (Hoogerwerf, 1970)

35 Tabel 2.1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa. Jenis Kelamin Panjang Total (cm)* Tinggi (cm) Berat (Kg) Jantan Betina Sumber : Hoogerwerf (1970) Keterangan : *) diukur dari ujung moncong sampai ke ujung ekor. Macan tutul memiliki cakar yang dapat ditarik masuk, berkait dan tajam. Hal ini memungkinkannya untuk memanjat pohon dengan mudah, merobek daging mangsanya serta menangkap dan menjatuhkan mangsanya. Macan tutul memelihara ketajaman cakarnya dengan mencakar batang kayu yang membantunya melepaskan lapisan kuku bagian luar 2. Warna dasar kulit sangat bervarasi tergantung pada lokasi, mulai dari kuning keemasan di padang rumput terbuka, kuning-krem di daerah padang pasir sampai kuning gelap di pegunungan dan daerah berhutan (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Variasi juga terjadi pada panjang rambut 3. Di daerah tropis rambut mereka cenderung lebih pendek dan lebih halus, sementara di daerah dengan iklim yang lebih dingin rambut mereka lebih panjang dan padat (Guggisberg, 1975; Nowak 1997). Tutul-tutul hitam pada macan tutul tersusun dalam bentuk kembangan (rosette) atau seperti bunga mawar. Bentuk kembangan ini terbatas pada punggung dan rusuk, sedangkan tutul-tutul tunggal terdapat di kepala, kaki, telapak kaki, bagian bawah tubuh yang warna dasarnya putih atau abu-abu dan ekor yang sisi bawahnya berwarna putih (Grzimek, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan macan kumbang (black panther) (Gambar 2.1). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap dan hanya terlihat di bawah cahaya yang kuat (Lekagul & McNeely, 1977; Garman, 1997). Menurut Garman (1997) macan tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di hutan yang lebat dan basah,

36 dimana warna ini bermanfaat dalam perburuan. Di Jawa sebagian besar macan tutul mengalami melanisme 4. Robinson (1969) dalam Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa bila fase tutul kawin dengan fase tutul maka perbandingan anak-anaknya adalah tiga tutul dan satu kumbang, bila fase tutul kawin dengan fase kumbang maka perbandingan anak-anaknya adalah satu tutul dan satu kumbang, dan bila fase kumbang kawin dengan fase kumbang maka seluruh anaknya adalah kumbang. Sumber : UCN - The World Conservation Union (1996) Sumber : brendel/leopard.htm (2007) Gambar 2.1. Kiri: Macan tutul yang mengalami melanisme; kanan: macan tutul dengan pola warna normal (kanan) Penyebaran Geografis Macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas di antara jenis kucing (Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Dari Afrika (melampaui Sahara Tengah), macan tutul menyebar ke Asia Kecil, Afganistan, Turki, Iran, India, Srilanka, Jawa, China termasuk China Utara (Manchuria), hingga Amar Ussuri (Grzimek, 1975; Nowak, 1997; Sanderson, 1972). Ke arah utara macan tutul menyebar ke Rusia Timur Jauh 5. Di Indonesia, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) hanya ditemukan di Pulau Jawa dan Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982). Sisa fosil yang ditemukan menunjukkan umur satu juta tahun (Hemmer & Schutt, 1973). Van Helvoort et al. (1985) memperkirakan macan tutul diintroduksi ke Pulau Kangean yang letaknya

37 lebih jauh dari Jawa dibandingkan Pulau Bali, di mana macan tutul tidak ada. Macan tutul tidak terdapat di Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970). Seidensticker (1986) berspekulasi bahwa macan tutul (dan harimau) mungkin tidak ada di Pulau Borneo karena tidak adanya mangsa utama berupa ungulata besar dan macan tutul tidak ada di Pulau Bali karena adanya harimau Bali dan tidak ada di Sumatra karena melimpahnya anggota Felidae lainnya (tujuh spesies). Pada tahun 1996 ekspedisi yang dilakukan oleh Konservasi Satwa bagi Kehidupan (KSBK) di Cagar Alam Pulau Sempu (Kabupaten Malang) menemukan macan kumbang di pulau seluas 877 ha tersebut (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996). Sumber : Gambar 2.2. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia. Di Jawa Tengah macan tutul terdapat di Randublatung, Pati, Kendal, Semarang, Telawa, Gunung Muria dan Gunung Lawu (Hoogerwerf, 1970). Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1987) daerah penyebaran macan tutul di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: Pulau Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Kebasen, Notog, Jatilawang, Gunung Slamet, Gunung Muria, Gunung Kidul, Gunung Merapi dan Kulon Progo. Di Jawa Timur macan tutul terdapat di Taman Nasional Meru Betiri, TN. Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun dan Gundih. Di Jawa Barat macan tutul terdapat di Cianjur Selatan, Gunung Gede, Gunung Pangrango, Cirebon dan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Suatu 13

38 penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI, PHPA dan JICA berhasil memotret macan tutul di TN. Gunung Halimun (Departemen Kehutanan, 1997). Gunawan (1988) menemukan bukti keberadaan macan tutul berupa feces, jejak dan bekas cakaran di pohon serta garukan di tanah di Cagar Alam (CA) Pringombo (Kab. Banjarnegara), hutan jati BKPH Subah (Kab. Batang), Serang (Kab. Purbalingga) dan CA. Nusa Kambangan Timur (Kab. Cilacap). Sementara Di Gunung Kidul tidak berhasil diperoleh bukti keberadaan macan tutul Habitat Macan tutul menempati berbagai tipe habitat dengan toleransi yang tinggi terhadap variasi iklim dan makanan (Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi. Mereka ditemukan di setiap tipe hutan, savana, padang rumput, semak, setengah gurun, hutan hujan tropis berawa, pegunungan yang terjal, hutan gugur yang kering, hutan konifer sampai sekitar pemukiman (Cat Specialist Group, 2002). Di Asia macan tutul terdapat di hampir semua tipe lingkungan 6. Macan tutul sangat tangguh menghadapi perkembangan pemukiman manusia, akibat meningkatnya kepadatan populasi manusia di sekitar hampir seluruh habitatnya. Macan tutul masih ditemukan di seluruh Jawa meskipun dalam jumlah yang sedikit, padahal pulau ini merupakan salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Macan tutul lebih toleran daripada harimau terhadap temperatur ekstrim dan lingkungan yang kering (Santiapillai & Ramono, 1992), sebagai contoh, mereka lebih umum di hutan monsoon tropika yang kering musiman daripada harimau, yang tergantung pada sumber air permanen (Kleiman & Eisenberg, 1973; Sunquist, 1981; Johnsingh, 1983; Rabinowitz, 1989). Di Afrika macan tutul lebih menyukai semak yang tebal di lingkungan berbatu dan hutan tepi sungai untuk habitat mereka 7. Macan tutul sangat menyukai daerah yang memiliki pohon untuk aktivitas berlindung dan mengintai karena mereka merupakan pemanjat yang menakjubkan html 14

39 Betina harus memiliki tempat untuk bersarang di dalam home range-nya (Bailey, 1993). Tempat bersarang biasanya vegetasi tebal atau singkapan batu. Sarang sangat penting untuk kelangsungan hidup anak-anaknya karena melindung mereka dari pemangsa Daerah Jelajah dan Teritori Macan tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa home range betina. Home range macan tutul umumnya terpusat di sekitar badan air di mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker and Susan, 1991). Home range macan tutul jantan lebih besar karena mangsanya biasanya lebih besar daripada mangsa macan tutul betina (Sunquist, 2001). Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Aspek-aspek seperti pelindung, perburuan serta penyebaran dan kelimpahan mangsa adalah penting dalam menentukan ukuran jelajah karnivora pada umumnya, khususnya Felidae. Semua daerah jelajah memiliki sedikitnya satu badan air dan beberapa lainnya memiliki lebih dari satu badan air, tetapi macan tutul tampaknya tidak menggunakan sungai baik secara eksklusif ataupun sebagai batas alam jelajahnya 10. Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara km 2 dan betina km 2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range berkisar antara km 2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi. Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah ± 492 km 2 dan betina dewasa 489 ± 293 km 2. Sementara di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home range macan tutul betina hanya 6 13 km 2 dan di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka berkisar antara km 2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Penelitian pada sebuah ranch di Laikipia, Kenya seluas 200 km2 menunjukkan bahwa macan tutul betina memiliki home range eksklusif rata-rata 14,0 km² dan

40 beberapa diantaranya overlap dengan betina dewasa muda. Home range macan tutul jantan rata-rata 32,8 km² dan tidak overlap antar sesama jantan tetapi overlap dengan teritori-teritori betina (Mizutani & Jewell, 1998). Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai mendapatkan home range karena yang dewasa mati 11. Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin. Jantan dan betina menandai tertorinya dengan menyemprotkan urin dan meninggalkan tanda cakaran pada batang pohon di pinggiran teritori mereka 12. Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia dan mudah didapat Makanan dan Kebiasaan Makan Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Kebanyakan mangsa macan tutul adalah satwa yang masih anak-anak (infant/juvenile) atau yang sudah tua karena biasanya keadaannya lemah dan mudah ditangkap (Grzimek, 1975). Macan tutul lebih menyukai ungulata dengan berat tubuh 20 sampai 50 kg 13, tetapi kadang-kadang berburu mangsa yang jauh lebih besar 14. Mangsa macan tutul di Jawa antara lain : babi hutan, kijang, rusa, monyet, landak, lutung dan burung (Direktorat PPA, 1978). Menurut Bartels (1929) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa teledu, musang dan owa abu-abu. Grzimek (1975) menyatakan bahwa satwa-satwa kecil seperti kelinci, binatang pengerat, ikan dan burung juga dimangsa macan tutul, bahkan juga buah-buahan yang manis. Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa binatang melata dan ketam, bahkan menurut Schaller (1969) dalam Lekagul & McNeely (1977), macan tutul juga memangsa serangga. Westra (1931) dalam Hoogerwerf (1970) menjumpai macan tutul memburu dan memangsa kelelawar. Sementara menurut Direktorat PPA (1982) macan tutul memangsa penyu laut yang sedang atau baru selesai bertelur di pantai. Di daerah yang kepadatan mangsanya rendah, macan tutul juga

41 memakan landak, trenggiling, burung merak, ayam hutan, monyet di pohon dan anjing yang tersesat di pinggiran desa 15. Bila di lingkungan hidupnya persediaan makanan sudah sangat berkurang, macan tutul kadang-kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa hewan ternak (Direktorat PPA, 1978). Hewan ternak yang sering dimangsa oleh macan tutul adalah unggas dan kambing (Veevers-Carter, 1978). Seperti kebanyakan predator besar, macan tutul dapat menjadi satwa kanibal (Hoogerwerf, 1970). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul di Jawa memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-bagian lunak lainnya. Giginya mengagumkan dan efisien untuk membunuh; taringnya membuat gigitan mematikan dan merobek menembus kulit jangat, sementara molar-nya yang setajam pisau cukur dan lidahnya yang kasar membuat daging cepat tertelan 16. Macan tutul kadang-kadang menyimpan sisa makanannya dengan cara menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah. Sering pula sisa makanannya disimpan di atas pohon untuk menghindari jangkauan binatang pemakan bangkai (Van Dooren, 1949 dalam Hoogerwerf, 1970; Grzimek, 1975). Macan tutul mampu mengangkat mangsa seberat 125 kg (2 3 kali beratnya) ke atas pohon setinggi 5,8 m (Hamilton, 1976). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul kembali ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah dua atau tiga hari, bahkan kadang-kadang lebih. Home (1927) dalam Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa macan tutul kembali ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah lelah dan gagal dalam berburu. Kebiasaan memakan bangkai yang disimpannya memungkinkan macan tutul mudah keracunan (Bailey, 1993) Bailey (1993) menemukan interval rata-rata antara pemangsaan ungulata berkisar 7 13 hari dan konsumsi harian rata-rata macan tutul dewasa jantan adalah 3,5 kg dan betina 2,8 kg. Menurut Hart et al. (1996) komposisi makanan macan tutul terdiri atas 53,5 % ungulata dan 25,4 % primata dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg. Menurut Karanth & Melvin (1995) mangsa macan tutul berimbang antara ungulata dan primata yaitu %. Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk minum. Macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim kering yang panjang Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 17

42 walaupun hanya minum tiap 2-3 hari sekali (Grzimek, 1975). Macan tutul tidak membutuhkan banyak air karena cairan yang terkandung pada mangsanya sudah cukup untuknya Kebiasaan dan Perilaku a. Kebiasaan Macan tutul termasuk satwa yang gemar mengembara dan kurang bersifat menetap, tetapi suka kembali ke tempat persembunyiannya semula (Direktorat PPA, 1978). Macan tutul pemalu, cerdik dan berbahaya, khususnya ketika terluka 18. Seperti halnya harimau loreng (Panthera tigris), macan tutul biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan masa mengasuh anak. Di Jawa tidak ada peneliti yang menyebutkan adanya kelompok macan tutul yang lebih dari dua ekor atau seekor induk yang diikuti oleh lebih dari dua ekor anak (Hoogerwerf, 1970). Walaupun mungkin merupakan pemangsa paling nokturnal, tetapi macan tutul juga berburu di siang hari 19. Di siang hari yang panas, macan tutul berteduh, baik di pohon, gua maupun naungan batu. Pohon dan batu berfungsi ganda sebagai tempat yang baik untuk mengamati areal perburuan dan untuk berlindung. Macan tutul kadang-kadang berjemur matahari pagi 20. Macan tutul membuang kotoran (feces) tanpa disembunyikan, tetapi diletakkan di tempat-tempat terbuka misalnya di atas batu-batu besar (Medway, 1975). Gunawan (1988) mendapati kotoran macan tutul di tengah-tengah persimpangan jalan di hutan jati Perum Perhutani di Subah (Kabupaten Batang) dan batas kawasan Cagar Alam Pringombo (Kabupaten Banjarnegara). Macan tutul adalah perenang yang baik tetapi tidak akan berendam dalam air seperti harimau, bahkan macan tutul menghindari genangan air seperti kucing rumah yang tidak senang menjadi basah 21. Seperti halnya kucing besar lainnya, secara umum macan tutul menghabiskan waktu sekitar dua per tiga waktu untuk istirahat dan

43 mempelajari lingkungannya (Seidentsicker and Susan, 1991). Sebagian besar waktunya untuk berbaring di pohon, di atas batu besar atau di sarangnya 22. Macan tutul adalah satwa arboreal, yang berarti mereka makan, tidur, kawin dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998). Mata mereka sangat spesialis untuk melihat pada malam hari dengan lapisan pemantul di belakang matanya yang disebut tapetum lucidum yang membuat cahaya melewati mata dua kali, menciptakan image yang lebih cemerlang bahkan di cahaya yang redup (Kitchener, 1991). Seperti halnya banyak kucing lainnya, macan tutul menggunakan kumisnya untuk merasakan jalan mereka ketika melewati semak yang lebat di malam yang gelap (La Brasca, 2007). b. Perilaku Berburu Macan tutul merupakan pemburu soliter 23. Pada umumnya macan tutul mencari mangsa pada senja hingga malam hari, jarang mereka berburu pada siang hari (Grzimek, 1975). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), waktu aktif macan tutul mengadakan perburuan adalah antara pukul sampai dan antara pukul sampai 06.00, jadi tidak selalu dalam keadaan gelap. Tidak ada kecenderungan yang kuat baik pada aktivitas nokturnal maupun diurnal (Rabinowitz, 1989). Di Afrika macan tutul berburu pada siang hari untuk menghindari kompetisi dengan singa dan hyena (Guggisberg, 1975; Leyhausen & Tonkin, 1979). Dalam beberapa kasus, macan tutul di Pulau Jawa juga berburu pada siang hari. Macan tutul adalah pemburu dan penyergap yang berburu dengan indera penglihatannya, suaranya dan penciumannya. Macan tutul mengincar atau mengintai mangsanya dari atas pohon atau dari balik semak-semak (Direktorat PPA, 1978). Ketika mengintai, macan tutul merundukkan badannya ke tanah dan ekornya horisontal, sementara matanya melokalisir mangsanya menggunakan penglihatan malamnya yang tajam, berdiam jika mangsanya menengok ke sekitar karena curiga; kemudian macan tutul menyergap dengan tepat dan cepat

44 Macan tutul memburu mangsanya pada jarak pendek (umumnya kurang dari 30 m) dengan meloncat mangsanya disergap dan diterkam bagian tengkuknya 25. Jika mangsa tertangkap, lehernya digigit dan moncongnya dicakar dengan kaki depan serta diserangnya sampai mangsa tidak berdaya (Direktorat PPA, 1978). Mangsa dibunuh dengan mencekik atau menggigit bagian belakang kepala sehingga memutuskan saluran syaraf tulang belakang 26. c. Perilaku Berkomunikasi Macan tutul umumnya pendiam. Karakteristik suaranya paling banyak adalah suara geraman parau, batuk serak berulang-ulang dalam interval, yang mirip dengan suara gergaji mesin (chainsaw). Panggilan serak biasanya dikeluarkan oleh macan tutul jantan untuk mengumumkan teritorinya yang akan dibalas oleh macan tutul lainnya, jika ada individu lain di sekitarnya maka akan terus berulang-ulang mengeluarkan suara tersebut sampai individu lain itu pergi. Macan tutul mempunyai suara individual yang berbeda dan ini mungkin menguntungkan bagi satwa soliter seperti macan tutul untuk mengenali satu dengan lainnya dari kejauhan melalui suara seperti juga mereka saling menghindar satu sama lain. Dua macan tutul jantan teritorial akan selalu saling menggeram. Macan tutul betina akan memanggil bila sedang oestrus. Macan tutul juga dikenal mendengkur selama makan 27. Penandaan teritori oleh macan tutul juga merupakan cara yang penting dalam komunikasi intra spesifik 28. Batas-batas teritori secara teratur ditandai dengan urin, feces, kemunculan/kehadiran, cakaran di tanah dan pohon 29. d. Perilaku Sosial Sistem sosial merupakan cara adaptasi macan tutul, karena macan tutul merupakan karnivora berukuran sedang sehingga tidak memiliki banyak pemangsa dan dapat berburu sendiri dengan efisien. Cara berburu mereka membuat mereka harus hidup menyendiri tanpa tergantung pada saudara kandung atau induknya untuk keberhasilan perkembangbiakan. Tekanan seleksi utama yang membentuk sistem sosial

45 macan tutul adalah lingkungan. Keanekaragaman jenis mangsa macan tutul merupakan penyumbang utama sistem sosial ini. Karena macan tutul tidak tergantung pada satu jenis sumber makanan, maka jumlah pesaingnya sedikit 30. Dalam sistem sosial, macan tutul jantan mempertahankan teritorinya yang dapat mencakup teritori dari dua atau tiga macan tutul betina. Macan tutul jantan mempertahankan teritori dari jantan lain, dan betina mempertahankan teritori dari betina lain. Tampaknya anak betina membangun teritorinya di dalam teritori induknya, sementara anak jantan dikeluarkan dari teritori induk jantan sampai membentuk teritori di luar tempat kelahirannya 31. Karena macan tutul soliter, pertemuan para dewasa dari jenis kelamin yang sama umumnya jarang. Macan tutul dewasa dari jenis kelamin yang sama dan memiliki daerah jelajah bersebelahan atau overlap biasanya saling menghindar, tetapi perkelahian bisa terjadi khususnya untuk memperebutkan mangsa 32. Interaksi antara macan tutul dan spesies pemangsa besar lainnya sangat kompleks (Bertram, 1982). Macan tutul cenderung menghindari daerah kekuasaan harimau 33. Keberadaan pohon atau batu sebagai tempat menyelamatkan diri memungkinkan macan tutul dapat hidup bersama (co-exist) dengan pesaing-pesaing besarnya. Macan tutul dapat masuk dalam teritori singa yang kosong (Bertram 1982). Dimana ada harimau, macan tutul cenderung sedikit (Schaller, 1967; 1972; M.K. Ranjitsinh pers. comm. dalam La Brasca, 2007), tetapi ini bukan aturan yang baku. Di Taman Nasional Chitwan, Nepal, macan tutul dan harimau co-exist dengan cara berburu pada waktu yang berbeda dan mangsa yang berbeda serta menggunakan komplek vegetasi yang berbeda (Seidensticker, 1976). Macan tutul makan mangsa yang lebih kecil (biasanya kurang dari 75 kg) (Seidensticker, 1976; Johnsingh, 1983), pembagian mangsa juga terjadi antara singa dan macan tutul di Serengeti (Bertram, 1982) dan Gir Forest (R. Chellam in litt., 1993 dalam La Brasca, 2007)

46 2.1.8 Perkembangbiakan dan perilaku berkembangbiak a. Sistem Perkawinan dan Perilaku Kawin Sistem perkawinan macan tutul adalah promiscuity yaitu jantan dan betina kawin dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan jangka panjang 34. Betina akan kawin dengan jantan-jantan yang lebih tua yang memiliki home range overlap dengannya. Sistem perkawinan ini berkembang karena betina dapat membesarkan anak-anaknya tanpa bantuan dan perlindungan jantan 35. Macan tutul tidak memiliki musim berkembang biak khusus 36. Jika musim memungkinkan, macan tutul akan kawin sepanjang tahun (Guggisberg, 1975; Kithchener, 1991; Nowak, 1997), tetapi puncaknya selama musim kelahiran mangsa utamanya 37. Seekor betina mengalami oestrus rata-rata tujuh hari (4 14 hari) 38 dengan siklus sekitar 46 hari 39. Betina yang oestrus akan menarik perhatian jantan dangan memanggil, dan akan meninggalkan tanda bau pada pohon atau semak-semak, ia juga menjadi sering mengembara keluar dari home range-nya. Jantan dan betina membentuk asosiasi sementara, dan seekor betina oestrus mungkin dikawini oleh beberapa jantan dalam rentang waktu yang singkat 40. Jantan memiliki ritual perkawinan dengan betina-betina yang memiliki teritori overlap dengan teritorinya (Estes, 1991). Jantan akan mengikuti betina yang birahi dan berkelahi dengan jantan lain untuk mendapatkan hak kawin (Estes, 1991; Nowak, 1997). Macan tutul betina siap dikawini dalam interval 3-7 minggu dan periode ini berlanjut sampai beberapa hari di mana terjadi perkawinan 41. Seekor betina mungkin dirayu oleh beberapa jantan. Jantan yang berhasil akan menggigit bagian belakang leher betina dengan giginya, betina akan menampar jantan ketika kopulasi telah sempurna. Kopulasi sangat sering, dari 70 sampai 100 kali sehari 42. Laman & Cheryl (1997) yang mengamati perilaku kawin macan tutul di Taman Nasional Serengeti, Tanzania menemukan kopulasi sebanyak 13 kali selama satu Information.htm Information.htm

47 setengah jam pengamatan. Semua kopulasi tercatat dan semua dimulai dengan betina berjalan mundur dan maju di depan jantan yang sedang beristirahat, menggosokkan badannya dan menggoyang-goyangkan ekornya di wajah sang jantan. Jantan seringkali menggigit betina di bagian tengkuknya selama interaksi ini. Perkawinan disertai dengan suara geraman, baik dari jantan maupun betina. Puncaknya berlangsung rata-rata tiga detik dengan interval rata-rata antara kopulasi 6,5 menit. Dalam kandang, kopulasi tercatat 100 kali sehari (Kitichner, 1991) dan kopulasi yang terlihat bisa jadi merupakan bagian dari percumbuan 43. Rata-rata lamanya waktu jantan dan betina dewasa bersama adalah 2,1 hari. Ketika betina dan jantan menghabiskan waktu bersama, mereka akan kawin, jantan akan mengikuti betina kemanapun pergi dan kadang-kadang mereka berbagi mangsa buruan 44. Perkawinan berlangsung selama dua atau tiga hari. Interval dengan pekawinan berikutnya dua tahun 45. Setelah musim kawin berakhir, jantan dan betina akan berpisah 46. b. Masa Bunting dan Jumlah Anak Per Kelahiran Macan tutul betina akan mencapai kematangan seksual pada umur rata-rata 33 bulan (30 36 bulan) 47. Seekor betina, pertama melahirkan pada umur 2,5 tahun sampai 3 tahun 48. Masa kehamilan rata-rata 96 hari ( hari) 49. Laporan lain menyebutkan masa kebuntingan macan tutul 3-5 bulan 50. Induk yang bunting mencari gua, celah batu besar, lubang pohon atau semak belukar untuk melahirkan dan membuat sarang (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975). Anak-anak macan tutul dilahirkan dalam gua, lobang pohon, lubang tanah atau tempat berlindung lain yang sesuai 51. Macan tutul umumnya melahirkan dua anak per kelahiran, kadang-kadang tiga atau empat, 52 tetapi juga ada yang melaporkan sampai view/176/ ZOO/AN_TERRA/e_leopardo.html ZOO/AN_TERRA/e_leopardo.html 51 Information.htm

48 enam ekor setiap kelahiran 53. Rasio kelamin dalam setiap kelahiran adalah satu banding satu 54. Angka kematian bayi tinggi sehingga hanya tersisa satu atau dua anak (Guggisberg, 1975; Kithchener, 1991; Nowak, 1997). Menurut Garman (1997) angka kematian anak macan tutul 40-50%, sehingga biasanya jarang dijumpai induk bersama anak lebih dari 1-2 ekor 55. Anak-anak macan tutul lahir dalam keadaan mata tertutup dan lemah dengan berat kurang dari dua pound 56 atau sekitar 0,5 kg 57. Anak macan tutul yang baru dilahirkan berwarna keabu-abuan karena tutul rosette-nya belum tampak jelas 58. Rambutnya lebih panjang dan lebih lembut dibandingkan yang dewasa, warna kulitnya agak abu-abu pucat dengan tutul-tutul kecil yang kurang jelas 59. Mata anak macan tutul terbuka setelah sekitar enam hari 60 sampai 10 hari 61. Anak-anak dapat berjalan setelah 13 hari 62. Macan tutul beranak lagi setelah 15 bulan (jika anak-anaknya mati) sampai lebih dua tahun. Rata-rata umur perkembangbiakan terakhir adalah 8,5 tahun 63. c. Pemeliharaan Anak Macan tutul betina membesarkan anak-anaknya di tempat bersarang dan mengajarinya berburu 64. Mereka disembunyikan sekitar delapan minggu dan induknya akan berhenti berpindah-pindah sampai anak-anak dapat bergabung mengikuti perjalanan 65. Anak macan tutul disusui induknya selama tiga bulan atau lebih 66. Mereka dibimbing makan daging sampai kira-kira umur 10 bulan, ketika mereka begabung dengan induk mereka pada perburuan

49 Anak-anak macan tutul disapih setelah tiga bulan dan mulai bergabung dengan induknya berburu di mana mereka akan belajar untuk bertahan hidup 68. Pada umur lima bulan mereka dapat menangkap hewan kecil dan kebanyakan dapat mencari makan sendiri pada umur satu tahun 69. Anak-anak macan tutul belajar dengan meniru tingkah laku induknya, dan mereka biasanya membunuh mangsa utama pertamanya pada umur 11 bulan, walaupun mereka dapat membunuh hewan kecil seperti garangan atau bangsa pengerat pada umur sekitar empat bulan. Induknya mungkin membawa mangsa hidup atau mati untuk anakanaknya, di mana mereka belajar menerkamnya dan belajar menguasainya dengan cakarnya 70. Betina mungkin pergi meninggalkan anak-anak untuk waktu lama, kadangkadang meninggalkan mereka sampai satu setengah hari sendirian 71. Induk macan tutul memindahkan anak-anaknya ke tempat berlindung baru setiap dua atau tiga hari 72, cara membawanya dengan menggigit tengkuknya dan bahkan bisa membawanya sambil berenang 73. Ketika berpindah dengan anak-anaknya, ekor induk macan tutul melengkung ke atas, menunjukkan warna keputihan bagian bawah ekor yang mungkin berperan sebagai petunjuk bagi anak-anaknya di antara rumput yang tinggi. Pemangsaan pada anak-anak macan tutul, khususnya yang dilakukan oleh macan tutul lain sangat umum terjadi sehingga jarang lebih dari satu atau dua anak yang selamat dan dapat bertahan hidup 74. Pada umur satu tahun, macan tutul muda mungkin dapat menjaga dirinya sendiri tetapi masih bersama induknya sampai umur bulan (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975), ketika mulai perkembangbiakan berikutnya 75. Setelah umur dua tahun menjadi 67 Information.htm Information.htm Information.htm Information.htm

50 dewasa muda (sub-adult) anak-anak macan tutul akan meninggalkan induknya untuk membangun teritori mereka sendiri 76. Anak-anak menjadi dewasa secara seksual sekitar dua setengah tahun 77. Pemencaran mungkin tertunda di wilayah yang melimpah mangsanya, khususnya jika macan tutul lain menghuni habitat di sekitarnya 78. Sistem pemencaran macan tutul muda tampaknya fleksibel dan anak yang masih muda tidak selalu meninggalkan tempat kelahirannya ketika sudah bisa mandiri. Tetapi sebaliknya beberapa jantan muda meninggalkan tempat kelahirannya pada umur bulan (Seidensticker and Susan, 1991). Macan tutul jantan tidak ambil bagian dalam membesarkan anak dan hanya bertemu dengan betina untuk kawin 79. Guggisberg (1975) melaporkan bahwa jantan juga membantu betina yang mengasuh anak-anak seperti dengan memberi mereka hasil buruan. Induk jantan mungkin dijauhkan dari anak-anak oleh betina, tetapi jantan memberikan daging kepada anak-anaknya Masa Hidup Di berbagai negara macan tutul yang hidup dalam kandang dapat mencapai umur tahun. Di alam, umurnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan antara tujuh dan sembilan tahun (Guggisberg, 1975). Menurut Garman (1997) masa hidup macan tutul antara tahun. 2.2 Habitat, Relung, Daerah Jelajah dan Teritori Habitat Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas biotik di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall et al. (1997) yaitu sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang

51 memberikan tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al., 1997). Semua jenis satwa dapat hidup di suatu tempat hanya jika kebutuhan pokoknya seperti makanan, air, dan cover tersedia dan jika satwa memiliki daya adaptasi yang memungkinkannya menghadapi iklim yang ekstrim, kompetitor dan predator (Morrison et al., 1992). Empat komponen dasar habitat adalah makanan, cover, air dan ruang (Shaw, 1985). Komponen habitat paling penting bagi satwa adalah makanan. Ketersediaan (availability) makanan biasanya berubah menurut musim. Bagi karnivora atau jenis pemangsa, ketersediaan makanan berarti ketersediaan satwa mangsa (Shaw, 1985). Kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan oleh setiap satwaliar bervariasi menurut spesies, jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan lokasi geografis (Bailey, 1984). Karnivora mengeluarkan banyak energi untuk mencari, memburu, menangkap dan membunuh mangsa, tetapi diimbangi dengan kandungan energi yang tinggi dari satwa mangsanya. Karena kandungan nutrisi daging mangsa yang lengkap dan mudah dicerna, spesies pemangsa jarang atau tidak pernah mengalami kekurangan gizi dari mangsa alaminya (Shaw, 1985). Masalah nutrisi bagi karnivora adalah masalah kuantitas dan ketersediaan (availability), bukan kualitas makanan (Bailey, 1984). Cover didefinisikan sebagai sumberdaya struktural dari lingkungan yang mendukung perkembangbiakan (reproduksi) dan/atau daya hidup (survival) satwa dengan menyediakan fungsi-fungsi alami untuk spesies tersebut (Bailey, 1984). Cover biasanya digunakan untuk melarikan diri dari predator, walaupun predator yang memburu mangsanya juga memerlukan cover untuk dapat mendekati mangsanya. Cover juga memberikan perlindungan yang penting terhadap iklim yang keras, tempat berteduh dari panas, angin dan hujan atau perlindungan dari udara malam yang dingin (Shaw, 1985). Vegetasi bukan satu-satunya komponen struktural dari lingkungan yang mempengaruhi satwaliar. Badan air yang besar mungkin penting bagi itik penyelam, tebing penting bagi kambing gunung, lereng ke arah selatan penting bagi rusa karena lebih hangat dan makanannya tidak tertutup salju (Bailey, 1984). Cover dari vegetasi 27

52 seringkali lebih penting strukturnya daripada jenisnya. Sebagai pelindung, cover mungkin lebih memberikan kesejahteraan satwa melalui fungsi-fungsi alaminya sebagai tempat berkembang biak, makan, perjalanan, melarikan diri, bersarang dan beristirahat (Bailey, 1984). Komponen struktural dari cover yang penting mungkin bentuk vegetasi (rumput, semak, perdu, pohon), kerapatan vegetasi, kedalaman air, topografi, lereng dan lain-lain. Komponen mikro-klimat yang penting mungkin temperatur, kelembaban, angin, intensitas cahaya dan lain-lain (Bailey, 1984). Air merupakan komponen habitat yang dibutuhkan dalam banyak proses kimia dan fisik di dalam tubuh satwa. Air juga digunakan untuk pendinginan melalui evaporasi di lingkungan yang panas (Bailey, 1984). Kebanyakan satwa memenuhi kebutuhan airnya dengan minum dari air permukaan. Air dapat mempengaruhi satwa secara tidak langsung melalui perubahan di dalam habitat (Shaw, 1985). Respon satwa terhadap kelangkaan air ada tiga macam, menggali dasar sungai (seperti dilakukan gajah), migrasi ke sumber air dan meninggalkan daerah jelajahnya yang kekeringan selama musim kering dan berkumpul di sekitar sumber air. Hal ini dapat menguntungkan bagi satwa predator tetapi juga dapat menjadi media penularan penyakit dan parasit (Bailey, 1984). Satwaliar secara individu membutuhkan berbagai ukuran ruang untuk mendapatkan makanan, cover dan air dengan cukup serta untuk menemukan pasangannya. Populasi satwaliar membutuhkan ruang yang lebih banyak. Ukuran luas yang dibutuhkan oleh suatu spesies tergantung pada ukuran satwa (biasanya semakin besar satwa, membutuhkan ruang semakin luas), makanan (karnivora membutuhkan ruang lebih luas daripada herbivora) dan produktivitas serta keanekaragaman habitat berkaitan dengan kebutuhan habitat dari spesies tersebut (Shaw, 1985) Relung (Niche) Satu hal terpenting dari konsep ekologi adalah relung (niche) atau peran yang dimainkan oleh setiap spesies dalam habitat alaminya. Karena relung lebih berbicara peran daripada tempat, maka hanya dapat digambarkan dengan interaksi antara spesies dan lingkungannya. Bagian paling penting dari relung adalah pemisahan makanan, walaupun relung lain juga penting seperti cara penggunaan cover, air, atau bahkan ruang (Shaw, 1985). 28

53 Konsep relung ekologi berkaitan dengan evolusi, adaptasi dan pembatasan. Ahli ekologi umumnya menggunakan dua definisi relung, satu lebih menekankan pada fungsi satwa, yang kedua menekankan pada sumberdaya habitat. Secara fungsional, relung ekologi adalah peran suatu spesies dalam komunitas biotiknya seperti yang dibedakan oleh penyebaran geografis dan ekologis serta oleh serangkaian adaptasi yang memisahkannya dari semua spesies lainnya. Fungsi makan biasanya menjadi pokok bahasan dalam konsep ini. Dalam karnivora terdapat spesialis pemangsa mamalia besar, mamalia kecil, burung, serangga dan sebagainya (Bailey, 1984). Suatu relung ekologi adalah sekumpulan sumberdaya habitat (makanan, tipe cover, air, dan lain-lain) yang digunakan oleh suatu spesies yang ditentukan oleh wilayah geografis, ekologis dan adaptasinya. Sumberdaya makanan sering menjadi penekanan dalam konsep niche ini, karena penggunaan makanan seringkali lebih mudah diukur dibandingkan penggunaan sumberdaya habitat lainnya. Relung makan (feeding niche) digunakan untuk membatasi definisi pada sumberdaya makanan (Bailey, 1984) Daerah Jelajah dan Teritori Daerah jelajah (home range) adalah daerah yang digunakan oleh individu satwa untuk mendapatkan makanan, pasangan dan memelihara anak (Burt, 1943 dalam Shaw, 1985). Suatu home range adalah daerah yang dijelajahi oleh seekor satwa atau populasi dalam aktivitas normal hariannya. Seekor satwa harus menemukan semua kebutuhan habitatnya di dalam home range-nya, jika tidak, ia akan memperluas home range-nya. Satwa penetap, mungkin hanya memiliki satu home range. Beberapa spesies biasanya memiliki beberapa home range yang digunakan secara musiman. Rute perjalanan atau migrasi antara home range bukan bagian dari home range karena pergerakan sepanjang rute ini bukan aktivitas harian (Bailey, 1984). Ukuran home range bervariasi di antara jenis satwa (Sanderson, 1966 dalam Bailey, 1984). Umumnya karnivora memiliki home range lebih besar daripada herbivora walaupun ukuran tubuhnya sama. Home range jantan sering kali lebih besar daripada betina spesies yang sama. Home range dapat mengecil pada beberapa musim, seperti masa mengasuh anak atau musim salju. Home range di habitat yang baik (kaya) akan lebih kecil daripada di habitat yang buruk (miskin). Home range populasi dengan 29

54 kepadatan tinggi lebih kecil karena mereka menempati habitat yang baik dan karena interaksi sosial mereka mungkin membatasi pergerakan (Bailey, 1984). Teritori (territory) adalah bagian atau keseluruhan dari suatu home range yang dipertahankan dari satwa lain, khususnya dari spesies yang sama. Teritori mungkin dipertahanakan secara individual, pasangan yang sedang berkembang biak, atau kelompok sosial sepanjang tahun atau secara musiman. Sifat teritorial penting dalam pengaturan populasi pada beberapa spesies (Bailey, 1984). Schoener (1968) dalam Shaw (1985) mendefinisikan secara sederhana bahwa teritori adalah daerah ekslusif, bisa secara spasial seperti pada banyak burung atau temporal seperti pada banyak mamalia karnivora 2.3 Teori Biogeografi Pulau Teori Biogeografi pulau pertama dikemukakan oleh MacArthur & Wilson (1967). Dalam teorinya mereka berusaha memprediksi jumlah spesies yang mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru tercipta. Dalam biogeografi pulau dipelajari dan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman spesies dari suatu komunitas tertentu. Dalam konteks ini, pulau dapat berupa areal habitat yang dikelilingi oleh areal lain yang tidak sesuai untuk spesies dalam pulau tersebut; bukan hanya pulau sesungguhnya yang dikelilingi lautan, tetapi juga gunung yang dikelilingi oleh gurun pasir, danau yang dikelilingi daratan, dan fragment hutan yang dikelilingi oleh lansekap yang terganggu oleh manusia. Menurut teori biogeografi, jumlah spesis (jumlah equilibrium) yang terdapat di suatu pulau ditentukan oleh dua faktor, yaitu jarak dari daratan utama dan ukuran pulau. Keduanya akan mempengaruhi laju kepunahan di pulau dan tingkat imigrasi. Pulaupulau yang dekat dengan daratan utama kemungkinan menerima imigran dari daratan utama lebih besar daripada pulau-pulau yang jauh dari daratan utama. Pada pulau-pulau yang lebih kecil peluang kepunahan lebih besar daripada pulau-pulau besar. Pulaupulau besar memiliki jumlah spesies lebih banyak daripada pulau-pulau kecil (MacArhtur & Wilson, 1967). Menurut teori biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967), kekayaan spesies suatu pulau tergantung pada: 30

55 a. Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang terisolasi atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit daripada pulau yang dekat dengan sumber spesies yang mengkolonisasi. Pulau yang lebih jauh, lebih sedikit didatangi pengkoloni dibandingkan pulau yang lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara sumber kolonisasi (daratan utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu loncatan (stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang jauh. Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari sumber kolonisasi, maka pulau yang lebih besar akan memiliki laju kolonisasi yang lebih tinggi karena adanya Target Effect (The bigger targets are easier to hit). b. Luas pulau, karena luas pulau mempengaruhi laju kepunahan. Pulau yang besar memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan pulau yang kecil. Pulau kecil memiliki ukuran populasi yang lebih kecil, lebih sedikit refugia dan memiliki laju kepunahan lebih tinggi. c. Dinamika kolonisasi dan kepunahan, kolonisasi menggantikan spesies yang punah (species turnover). d. Kekayaan spesies mencerminkan suatu kesetimbangan (equilibrium) antara kolonisasi dan kepunahan. Hubungan antara jumlah spesies dan luas pulau digambarkan dengan rumus sebagai berikut: z S = ca... (Formula 2.1) Dimana S = jumlah spesies, A = luas pulau, z dan c adalah konstanta yang diperlukan untuk menyesuaikan data luas (dalam m 2, km 2, dll) dengan jumlah spesies. Hubungan ini dapat dibuat linier dengan menggunakan log sehingga rumusnya menjadi : LogS = Logc+ zloga... (Formula 2.2) Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan utama karena lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang relatif dekat. Laju kepunahan lebih besar pada pulau yang lebih kecil karena populasi-populasi berukuran lebih kecil dan kemungkinan terkena penyakit dan kejadian merugikan lainnya yang lebih besar yang dapat menghabiskan populasi atau menurunkannya sampai tingkat yang tidak 31

56 viable. Hubungan ini merupakan prinsip dasar teori biogeografi pulau seperti dtunjukkan pada (Gambar 2.3) (Mac Arthur & Wilson, 1967). Laju Imigrasi Laju Kepunahan Kecil Dekat Besar Jauh a b c Jumlah spesies pada sebuah pulau Gambar 2.3 Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat. Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lansekap sebagai model bagaimana pulau-pulau habitat kecil dapat berpengaruh buruk pada keragaman hayati habitat aslinya (Harris, 1984). Teori ini sangat penting dalam mendisain kawasan konservasi karena memberikan panduan kuantitatif tentang luas kawasan dan kesinambungan antara kawasan konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik ekologi di wilayah tersebut (Diamond, 1975). 2.4 Ekologi Lansekap Ekologi lansekap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari bagaimana struktur lansekap mempengaruhi kelimpahan dan distribusi organisme. Ekologi lansekap juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, di mana pola di sini khususnya mengacu pada struktur lansekap. Dengan demikian secara lengkap ekologi lansekap dapat didefinisikan sebagai ilmu 32

57 yang mempelajari bagaimana struktur lansekap mempengaruhi (memproses dan membentuk) kelimpahan dan distribusi organisme 81. Ekologi lansekap menekanankan dinamika heterogenitas spasial-temporal dan pengaruhnya pada proses-proses biotik dan abiotik pada lansekap (Forman & Godron, 1986; Turner & Gardner, 1991). Paradigma dinamika metapopulasi menghubungkan proses populasi dengan karakteristik spasial lansekap dan menjadi bagian integral dari ekologi lansekap (Singleton et al., 2002). Teori biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari ekologi lansekap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi. Dalam ekologi lansekap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability). Dalam perkembangannya, ekologi lansekap banyak menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan banyak data habitat yang tersedia (seperti citra satelit dan foto udara) 82. Ada tiga pendekatan pada ekologi spasial, pertama teori ekologi yang mengasumsikan ruang homogen kontinu atau deskrit, kedua ekologi lansekap yang bertujuan menganalisis struktur lansekap sesungguhnya yang kompleks dengan sedikit penekanan pada pemodelan dinamika populasi dan ketiga ekologi metapopulasi yang berada di tengah-tengah, membuat penyederhanaan asumsi bahwa habitat yang cocok (suitable) untuk spesies target terjadi sebagai jejaring (network) dari kantong-kantong habitat (habitat patches) yang ideal dengan luas, derajat isolasi dan kualitas yang bervariasi serta tenggelam di tengah-tengah habitat yang tidak cocok (unsuitable) yang seragam (Hanski, 1998) Matrix Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari suatu lansekap dengan derajat konektivitas yang tinggi. Konektivitas adalah ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubungkan atau berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lansekap berhutan (matrix) dengan lebih sedikit gap dalam tutupan hutan (patch terbuka) akan memiliki konektivitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi penting sebagai jalur (strip) dari suatu tipe khusus dalam lansekap yang berbeda dengan tetangga di kedua sisinya 81 ands-ecol/whatisle.html

58 (Forman, 1995). Suatu jaringan (network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor, sementara mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang membentuk suatu lansekap dalam satu kesatuan (Forman, 1995) Patch Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lansekap didefinisikan sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda dengan sekelilingnya (Forman, 1995). Patch merupakan unit dasar dari lansekap yang berubah dan berfluktuasi, suatu proses yang disebut dinamika patch. Patch memiliki bentuk tertentu dan konfigurasi spasial, serta dapat digambarkan secara komposisi oleh variabel-variabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi pohon, atau ukuran-ukuran serupa lainnya (Forman, 1995) Edge Patch bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas (kabur) (Sanderson & Harris, 2000). Suatu zona yang tersusun atas edge-edge dari ekosistem yang berdekatan (berbatasan) adalah boundary (Forman, 1995). Edge berarti bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya (perimeter), di mana pengaruh-pengaruh dari patch yang berdekatan dapat menyebabkan perbedaan lingkungan antara interior suatu patch dengan tepiannya (edge). Efek tepi (edge effect) ini meliputi pebedaan komposisi spesies atau kelimpahan di bagian luar patch (Forman, 1995). Sebagai contoh, ketika suatu lansekap merupakan sebuah mosaik dari tipe-tipe yang jelas, seperti suatu hutan berdekatan dengan suatu padang rumput, edge-nya adalah lokasi di mana kedua tipe tersebut bergabung. Dalam lansekap yang kontinyu, seperti suatu hutan ke daerah berkayu yang terbuka, lokasi edge pastinya kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal melampaui suatu ambang batas, seperti halnya suatu titik dimana penutupan pohon menurun di bawah 35 persen (Turner & Gardner, 1991) Koridor Koridor merupakan komponen lansekap berbentuk strip atau jalur lahan yang berbeda dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal yang menghubungkan antar patch-patch sehingga berperan sebagai lintasan atau saluran bagi organisme untuk 34

59 bertukar atau berpindah dari suatu patch ke patch yang lain. Koridor dapat menjadi saluran untuk perpindahan, penghalang (barrier) atau penyaring (filter), misalnya untuk aliran gen. Bentuk lain konektivitas habitat adalah batu loncatan (stepping stone) yaitu satu atau lebih kantong habitat (habitat patches) yang secara ekologis terisolasi tapi memberikan sumberdaya dan tempat pengungsian bagi satwa dalam perpindahan menjelajahi suatu lansekap (Forman & Gordon, 1986) Fragmentasi Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe landuse menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil. Fragmentasi juga merupakan suatu hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lansekap. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat (habitat patch) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara kantong-kantong habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada (Wiens, 1995). Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang fragmentasi sebagai hasil (outcome) dan sebagai proses. Hasil (outcome) dari fragmentasi habitat adalah diskontinuitas yang dihasilkan dari serangkaian mekanisme, di dalam distribusi spasial suatu sumberdaya dan kondisi yang ada dalam suatu areal pada skala tertentu yang mempengaruhi penghunian (occupancy), reproduksi atau survival suatu spesies. Proses fragmentasi habitat didefinsikan sebagai serangkaian mekanisme yang mengakibatkan diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat komponen kunci dari dua defininisi tersebut yaitu: (1) diskontinuitas, (2) mekanisme, (3) distribusi spasial dari suatu sumberdaya dalam suatu areal, dan (4) atribut demografik (Franklin et al., 2002). Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967), di mana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002). Fragmentasi penting mendapat perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies dari komunitas, kecenderungan populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Morrison et al., 1992). Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal: (1) spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena 35

60 pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect). Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitat loss), sebaliknya hilangnya habitat dapat dipandang sebagai akibat fragmentasi. Tetapi fragmentasi dapat disertai hilangnya habitat (berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian kantong habitat besar menjadi kantong-kantong habitat berukuran kecil dan lebih terisolasi (Hunter, 1997; Haila, 1999; Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003). Ketika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup (viability) spesies (Haila, 2002; Fahrig, 2003). Meskipun demikian, karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan, maka sangat sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat (Haila, 1999). Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan fragmentasi digabung untuk menggambarkan dan mengkategorikan prosesnya (Franklin et al., 2002; Fahrig, 2003): (1) habitat hilang tanpa fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil; (3) pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan kualitas habitat. Contoh ini berlaku untuk lansekap yang terdiri lebih dari satu habitat dan dikelilingi oleh matrix dalam suatu kesatuan lansekap. Kasus pertama dan kedua berlaku ketika lansekap keseluruhan berisi satu habitat dan tidak ada matrix di sekelilingnya. Dalam kenyataan, kasus dua dan empat merupakan cara yang paling umum untuk habitat terfragmentasi. Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lansekap yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami maupun antropogenik (Forman, 1995). Walaupun demikian, perubahan habitat tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat atau lansekap yang tetap (Forman, 1995). Lanskap berubah melalui lima proses spasial dengan berbagai derajat overlap sepanjang 36

61 periode perubahan lahan (Forman, 1995), dan fragmentasi hanyalah satu outcome. Proses ini dapat diakibatkan oleh penyebab alami dan antropogenik. Perforasi (perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat. Pemotongan (dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama. Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring potongan habitat berlanjut dengan penurunan luas. Erosi habitat (attrition) adalah proses dimana kantong habitat yang tersisa berangsur hilang karena degradasi habitat atau suksesi Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan transmisi, sungai dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan. Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong-kantong habitat (patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek tepi menjadi nyata. Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan berkurang luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi mulai mendominasi lansekap. Attrition merupakan tahap akhir di mana lahan alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di tengah-tengah lansekap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar. Sebaliknya, jika proses gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas habitat berarti tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah tetapi tidak terfragmentasi (Hunter, 1997) Menurut Kupfer et al. (2004) ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati, yaitu: (1) pengaruh perwakilan (sample effect); (2) pengaruh luas (area effect); (3) pengaruh isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh tepi (edge effect). Masing-masing pada gilirannya akan berpengaruh pada sebaran populasi, komunitas dan proses ekosistem (Gambar 2.4). 37

62 . Gambar 2.4. Model konseptual pengaruh fragmentasi. Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh: (1) pengaruh ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3) pengaruh isolasi (Fahrig 2003). Ahli satwaliar harus memperhatikan semua karena ketiganya biasanyaa terjadi dengan fragmentasi habitat dan masing-mas ing memerlukan penanganan yang berbeda (Franklinn et al., 2002; Fahrig, 2003). Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkann keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif ketika : (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat sehingga fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes, 2000). 38

63 2.4.6 Mengukur Fragmentasi Indeks-indeks struktur lansekap seringkali digunakan untuk mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Indeks-indeks telah dikembangkan untuk mengukur tiga aspek struktur lansekap : (1) komposisi lansekap; (2) konfigurasi lansekap; dan (3) bentuk-bentuk patch di dalam lansekap. Komposisi menunjukkan jumlah dari tipe penutupan (cover) yang berbeda yang ditemukan dalam lansekap. Konfigurasi menunjukkan bagaimana patch-patch dari tipe cover yang sama atau berbeda tersusun di dalam lansekap dan hubungannya satu sama lain. Lanskap dengan komposisi sama dapat memiliki konfigurasi yang berbeda, sehingga diperlukan beberapa indeks aspek untuk menggambarkan suatu lansekap. Harus dicatat bahwa beberapa indeks tidak sesuai benar untuk ketiga kategori tersebut 83. Program patch analyst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup handal untuk menghitung statistik fragmentasi, karena merupakan modifikasi dari program Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung statistik spasial, baik file polygon (seperti shape files) maupun file raster (seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999). Empat parameter fragmentasi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Class Area (CA) Class area (luas kelas) bisa dihitung dari data vektor ataupun raster dan memiliki satuan hektar. Nilai luas kelas berkisar > 0 sampai tak terhingga. Nilai Class area akan mendekati 0 seiring tipe patch menjadi semakin jarang di dalam lansekap. Class area = Total area (TA) ketika seluruh lansekap berisi satu tipe patch, yaitu ketika seluruh citra berisi hanya satu patch. Class area sama dengan jumlah luas (m 2 ) seluruh patch dari semua tipe patch dibagi (untuk konversi menjadi hektar) atau diformulakan sebagai berikut: n 1 CA =... Formula 2.3. aij j= dimana a ij luas patch ij (m 2 ), dimana j = 1,..., n patches, dan i = 1,..., m or m tipe patch (class)

64 (2) Number of Patches (NumP) Number of patches (jumlah patch) sama dengan jumlah patch dari semua tipe patch (class). Jumlah patch berkisar dari satu sampai tak terbatas. Jumlah patch sama dengan satu jika lansekap hanya berisi satu patch atau ketika kelas terdiri dari satu patch. Jumlah patch tidak memiliki satuan dan formulanya adalah sebagai berikut: NP = ni... Formula 2.4. dimana ni adalah jumlah patch dalam lansekap dari tipe patch (class) i. (3) Total Edge (TE) Total edge adalah jumlah panjang (m) dari semua segmen edge dari semua tipe patch. Jika ada batas tepi (border) lansekap. TE mecakup segmen boundary lansekap meliputi tipe patch dan hanya menggambarkan edge sebenarnya (disebut contrast weight > 0). Jika suatu lansekap tidak memiliki border, TE mencakup proporsi segmen boundary lansekap yang ditentukan oleh pemakai dari tipe patch yang dimaksud. Tanpa memperhatikan apakah border lansekap ada atau tidak, TE mencakup proporsi segmen edge background yang ditentukan oleh pemakai dari tipe patch dimaksud. TE = 0 ketika tidak ada edge kelas dari lansekap, yaitu ketika seluruh lansekap dan border lansekap, jika ada, berisi tipe patch yang dimaksud dan ketentuan dari pemakai tidak ada boundary lansekap dan background edge diperlakukan sebagai edge. TE bisa dihitung dari data vaktor maupun raster dan satuannya adalah meter, dengan formula sebagai berikut: m' e jk k = 1 TE =... Formula 2.5. dimana e ik adalah panjang total (m) dari edge dalam lansekap antara tipe-tipe patch (kelas-kelas) i dan k; mencakup segmen-segmen boundary lansekap yang menggambarkan pohon edge (tree edge) hanya melibatkan tipe patch i; k = 1,..., m atau m tipe patch (kelas); m adalah jumlah tipe patch (kelas) yang ada di dalam lansekap tidak termasuk border lansekap, jika ada. (4) Edge Density (ED) Edge density (kepadatan edge) sama dengan jumlah panjang (m) dari semua segmen edge meliputi tipe patch yang dimaksud, dibagi dengan total luas lansekap (m 2 ), 40

65 dikalikan dengan (untuk konversi ke hektar). Jika ada border lansekap, ED mencakup segmen boundary lansekap meliputi tipe patch dimaksud dan hanya menggambarkan edge yang sebenarnya (disebut contrast weight > 0). Jika border lansekap tidak ada, ED mencakup proporsi segmen boundary lansekap yang ditetapkan oleh pemakai yang meliputi tipe patch dimaksud. Terlepas dari apakah suatu border lansekap ada atau tidak, ED mencakup proporsi segmen edge background yang ditetapkan oleh pemakai yang meliputi tipe patch dimaksud. ED bisa diperoleh dari data vektor atau raster dengan satuan meter per hektar. Kisaran nilai ED 0 sampai tak terhingga. Formula ED adalah sebagai berikut: m' ejk k = 1 ED = (100)... Formula 2.6. A e ik adalah panjang total (m) edge dalam lansekap antar tipe-tipe patch (kelas) i dan k; meliputi segmen boundary lansekap hanya menggambarkan tree edge meliputi tipe patch i; m adalah jumlah tipe patch (kelas) yang ada dalam lansekap, mencakup border lansakap, jika ada; dan A adalah luas total lansekap. 2.5 Metapopulasi Memahami dan memprediksi respon satwaliar terhadap konfigurasi patch dan fragmentasi pada skala lansekap memerlukan pemahaman tentang dinamika metapopulasi (Morrison et al. 1992). Levins (1970) merupakan orang pertama yang menggunakan istilah metapopulasi dan memperkenalkan konsep metapopulasi sebagai suatu populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap akan mati dan dikolonisasi lagi secara lokal. Ia memperkenalkan model matematik untuk menggambarkan metapopulasi: dp/dt = m p (1 - p) - e p,... (Formula 2.7) di mana p adalah proporsi (fraksi) pusat-pusat populasi (seperti pulau habitat atau patch), m adalah laju migrasi (kolonisasi), dan e adalah laju dimana populasi lokal menjadi punah. Pada equilibrium p*=1 e/m. Metapopulasi akan terjadi (yaitu p* > 0) hanya jika e < m. 41

66 Suatu metapopulasi dapat hidup di suatu wilayah hanya jika laju rata-rata kepunahan lebih kecil dari laju rata-rata migrasi. Populasi-populasi lokal terbangun pada patch habitat tertentu yang bisa ditempati atau kosong pada suatu waktu. Beberapa individu yang menyebar dapat meninggalkan suatu patch pergi untuk mengkolonisasi suatu elemen kosong atau mengisi kembali (reinforce) suatu populasi kecil. Populasi-populasi yang terbentuk di dalam sebuah patch dapat menghilang megikuti kejadian lingkungan (kebakaran, pohon tumbang) atau kejadian demografik (epidemik, penuaan). Model Levins sangat sederhana. Ia memberikan setiap patch nilai yang sama sebagai sumber individu yang menyebar dan memiliki peluang kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal adalah sama di semua patch (Burel dan Baudry, 2003). Model dan konsep Levins telah menjadi metapopulasi klasik. Definisi yang lebih baru dibuat oleh Hanski dan Gilpin (1991), yaitu sekumpulan (set) populasipopulasi lokal yang berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut. Hanski dan Simberloff (1997) mendefinisikan metapopulasi sebagai sekumpulan (set) populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih besar, di mana ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch lain yang memungkinkan. Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan karakteristik spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari sumber individu dan genetik di antara sub populasi. Ini terjadi khususnya ketika habitat berada pada kondisi heterogen pada suatu wilayah, provinsi atau lansekap yang menyebabkan isolasi parsial individu yang berkembangbiak (Morrison et al., 1992). Tidak semua kumpulan kantong-kantong populasi (patchy populations) merupakan metapopulasi (Hanski & Simberloff, 1997), ada tiga tipe metapopulasi yang berbeda menyimpang dari satu atau lebih asumsi metapopulasi model Levins (Harrison & Taylor 1997) (Gambar 2.5). Asumsi metapopulasi model Levins adalah: (1) habitat yang sesuai terjadi dalam patches diskrit di mana perkembangbiakan populasi lokal mungkin ada; (2) semua populasi lokal memiliki resiko kepunahan yang besar. Jika tidak, metapopulasi mainland-islands dapat menjadi bukti karena keberadaan metapopulasi akan tergantung hanya pada keberadaan populasi terbesar; (3) isolasi patches tidak menghalangi rekolonisasi. Jika rekolonisasi tidak dapat terjadi, 42

67 metapopulasi akan berada pada keadaan non equilibrium dan dalam bahaya kepunahan; (4) dinamika di antara populasi lokal tidak seluruhnya sempurna. Jika populasi lokal mengalami proses-proses secara simultan, metapopulasi yang ada akan bergantung hanya pada keberadaan populasi lokal dengan resiko kepunahan terkecil. Classic (Levins) metapopulation Mainland Island metapopulation Nonequilibrium metapopulation Patchy Population Keterangan : patch hitam berpenghuni, patch putih kosong Sumber: Hanski & Simberloff (1997); Harrison & Taylor (1997) Gambar 2.5. Tipe-tipe metapopulasi. Gambar 2.5 dapat dijelaskan sebagai berikut (Harrison & Taylor 1997): Classic metapopulation: suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu resiko kepunahan yang signifikan. Mainland-island: sistem dari habitat patches (islands) berlokasi di dalam jarak sebaran dari suatu habitat yang sangat besar (mainland) di mana populasi lokal tidak akan pernah punah. Nonequilibrium metapopulation: metapopulasi di mana laju kepunahan (jangka panjang) melampaui laju kolonisasi atau sebaliknya; suatu kasus ekstrim di mana 43

68 populasi-populasi lokal berlokasi sangat berjauhan satu sama lain sampai tidak ada migrasi di antara mereka sehingga tidak ada peluang rekolonisasi. Sesungguhnya, mereka mungkin tidak mengambarkan metapopulasi sama sekali, tetapi lebih sebagai kumpulan populasi terisolasi yang tidak saling berinteraksi Patchy population: suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub populasi sangat tinggi sehingga dapat dikatakan secara efektif merupakan satu populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya. Model metapopulasi memandang suatu populasi sebagai sejumlah sub populasi deskrit di dalam kantong-kantong habitat (habitat patches) atau pulau-pulau yang terhubungkan oleh dispersal. Seiring waktu, sub populasi bisa menjadi punah dan dikolonisasi kembali, tetapi metapopulasi yang lebih besar dapat bertahan (Levins, 1969a; 1970). Paradigma dinamika metapopulasi juga serupa dengan model biogeografi pulau dari MacArthur & Wilson (1967) dalam memandang kepunahan dan kolonisasi (Hanski & Gilpin, 1991). Bedanya dalam biogeografi pulau ada daratan utama sebagai sumber kolonisasi sedangkan dalam metapopulasi, kolonisasi terjadi di antara sub populasi (Singleton et al., 2002). Suatu metapopulasi merupakan kumpulan dari populasi-populasi kecil yang menempati sejumlah kantong habitat (Gambar 2.6) 84. Individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, dan populasi dapat menjadi punah di dalam patch individual sebagai akibat dari peluang kejadian (chance events). Sebagai contoh, dua jantan dalam suatu populasi dari enam betina dapat dimakan predator. Jika tidak ada jantan lain yang imigrasi ke dalam patch tersebut dari patch lain, populasi di dalam patch tersebut akan mengalami kepunahan. Populasi-populasi kecil dianggap rawan mengalami tipe peluang kepunahan ini. Tetapi, karena individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, maka patch yang kosong akhirnya akan dikolonisasi dan ditempati lagi di masa mendatang (Gambar 2.7)

69 Sumber : Gambar 2.6. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak pertukaran). Sumber : Gambar 2.7. Penghunian sekumpulan patch hutan yang mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati. Jika laju kolonisasi pada patch-patch kosong lebih tinggi dari laju kepunahan, metapopulasi akan bertahan. Hal ini karena ketika beberapa patch mengalami kepunahan, yang lainnya dikolonisasi. Akibatnya, perpindahan individu-individu antar populasi mengikat semua populasi ke dalam suatu metapopulasi yang dapat bertahan dalam lansekap yang terganggu

70 2.6. Seleksi Habitat Satwaliar mungkin menilai dan memilih habitatnya yang cocok (sesuai) sehingga dapat bertahan hidup dan berkembangbiak yang terbaik dengan melihat faktorfaktor nutrisi dan struktural. Meskipun demikian kebanyakan studi tentang mekanisme seleksi habitat menitik beratkan pada respon satwa terhadap faktor-faktor struktural (Bailey, 1984). Seleksi habitat merupakan spesialisasi, bagi suatu spesies memilih tipe habitat tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi terutama kecocokan dalam penggunaan sumberdaya makanan dan cover dari habitat terpilih. Oleh karena itu seleksi habitat menyerupai isolasi relung dan diperkuat oleh kompetisi interspesifik (Svardson, 1949 dalam Bailey, 1984). Seleksi habitat bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana gigihnya suatu jenis satwa setia pada pilihannya terhadap struktur habitat tertentu. Meskipun belajar, kesan terhadap tempat lahirnya mungkin mempengaruhi preferensi habitat, preferensi ini sangat mungkin adalah bawaan sejak lahir (Bailey, 1984; Robinson dan Bolen, 1984). Dalam seleksi habitat, beberapa vertebrata lebih mementingkan life form atau fisiognomi habitat mereka, daripada keberadaan spesies tumbuhan tertentu. Satwaliar mungkin hanya tergantung pada kebutuhan cover (aspek struktural dari lingkungannya) seperti halnya ketergantungannya pada kebutuhuan mereka akan makanan tertentu. Beberapa spesies adalah generalis, tak tarbatasi oleh ketersediaan bentuk-bentuk cover, sedangkan jenis lainnya spesialis, memiliki kebutuhan cover tertentu saja (Bailey, 1984) Evolusi preferensi habitat ditentukan oleh struktur morfologi dan fungsi-fungsi tingkah laku, kemampuannya memperoleh makanan dan lindungan (shelter) dengan sukses di habitatnya. Faktor-faktor yang mendorong untuk memilih suatu habitat antara lain adalah ciri struktural dari lansekap, peluang mencari makan dan bersarang atau keberadaan spesies lain (Cody, 1985). Studi seleksi habitat di mana menekankan pada ekologi, tingkah laku dan fisiologi akan bermanfaat jika dapat menunjukkan, misalnya, bahwa ciri-ciri habitat tertentu menentukan perbedaan fisiologi antara spesies yang sekerabat atau bahwa suatu spesies mengembangkan tingkah laku tertentu dalam mencari makan sehubungan dengan ciri-ciri struktural tertentu dari habitatnya (Cody, 1985). 46

71 Memahami seleksi habitat merupakan dasar yang penting untuk mengerti sejarah alami satwaliar (Manly et al., 1993). Dengan demikian tidak mengherankan banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mengembangkan perhitungan analisis habitat (Neu et al., 1974; Johnson, 1980; Marcum & Lohftsgaarden, 1980; Aebischer et al., 1993; McCracken et al., 1998). Seleksi habitat ditentukan berdasarkan penggunaan habitat yang tercatat dan penggunaan habitat yang diharapkan sebagaimana ditetapkan sebagai sebuah model null (Johnson, 1980). Jika habitat yang digunakan relatif lebih besar dari yang diharapkan maka habitat tersebut dianggap sangat disukai dan jika habitat yang digunakan relatif lebih sedikit dari yang diharapkan maka habitat tersebut dianggap sebagai kurang disukai. Lebih lanjut, habitat yang digunakan lebih dari yang diharapkan disebut sebagai habitat yang disukai (Preferred habitat) dan habitat yang kurang digunakan dari yang diharapkan disebut sebagai habitat yang dihindari (avoided habitat) (Neu et al., 1974). Banyak perhitungan seleksi habitat mengandalkan klasifikasi lokasi satwaliar berdasarkan tipe habitatnya dan menghitung proporsi penggunaannya (Neu et al., 1974; Johnson, 1980; Aebischer et al., 1993). Teknik seperti ini disebut sebagai pendekatan klasifikasi (classification approaches). Sebaliknya, metode yang didasarkan pada penghitungan jarak Euclidean dari lokasi satwaliar ke habitat fiturnya disebut sebagai pendekatan jarak (distance based approaches) (Krebs, 1999). Metode Neu telah digunakan untuk menghitung indeks seleksi habitat yang kemudian distandarisasi untuk studi perbandingan. Metode ini menggunakan proporsi lokasi ditemukannya satwaliar di dalam tipe-tipe habitat yang diteliti dibandingkan dengan proporsi ketersediaan (availability) tipe-tipe habitat tersebut (Manly et al., 1993). Seleksi habitat diukur menggunakan fungsi-fungsi seleksi sumberdaya (Manly et al., 2002) untuk memperkirakan peluang suatu unit contoh digunakan oleh seekor satwa, sebagai fungsi dari variabel vegetasi habitat (Sawyer et al., 2009). Pengujian signifikansi menggunakan uji Chi-square (χ 2 ) (Fleis, 1981). Chundawat (1990) menentukan preferensi habitat macan tutul salju (Panthera uncia) dengan uji Chi Square seperti yang disarankan Neu et al. (1974). 47

72 2.7. Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Habitat satwaliar terus-menerus mengalami perubahan (dinamis), baik oleh sebab alami maupun akibat kegiatan manusia. Perubahan habitat banyak disebabkan oleh kegiatan manusia yang mengubah tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) seperti pengembangan pertanian, pemukiman, industri, jaringan tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain (Bureau of Land Management, 2004). Pengetahuan hubungan antara penyebaran satwa dengan habitatnya memegang peranan sangat penting dalam merancang pengelolaan spesies terancam punah (Lecis & Noris, 2004). Sementara pengetahuan tentang preferensi habitat juga penting untuk mengetahui distribusi spasial satwa dalam habitat-habitat yang sesuai (Osborne et al., 2001). Habitat yang sesuai (suitable) adalah habitat yang dengan kondisinya mampu menyediakan kebutuhan hidup suatu spesies (Juntti & Rumble, 2006). Kesesuaian habitat saat ini sudah banyak dibuat dalam suatu model menggunakan piranti lunak berbasis komputer. Model kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983). Geographic Information System (GIS), merupakan alat yang handal untuk menilai dan mengevaluasi pola-pola lansekap dan perubahannya pada wilayah yang luas (Sessions et al., 1994). GIS banyak diaplikasikan untuk menilai fragmentasi habitat dan membuat pemodelan distribusi spesies (Apan, 1996; Jorge & Garcia 1997; He et al., 1998). Model-model kesesuaian habitat telah banyak digunakan untuk mengevaluasi habitat satwaliar serta dampak kegiatan manajemen dan pembangunan sejak awal tahun 1980-an. Model-model tersebut didasarkan pada hubungan fungsional antara satwaliar dan variabel-variabel habitat (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981). Pemodelan spasial adalah prosedur analitik yang diaplikasikan dengan Sistim Informasi Geografis (SIG), di mana serangkaian prosedur mensimulasikan kondisi dunia nyata ke dalam SIG dengan menggunakan hubungan spasial dari fitur-fitur geografis (AGI, 2010). Pembuatan pemodelan spasial bertujuan membantu pengambil keputusan ataupun analis untuk memahami, menggambarkan dan memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui penyederhanaan fenomena maupun fitur (Jaya, 2007). Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi 48

73 konservasi pada skala lansekap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001) serta prioritasisasi upaya-upaya konservasi dengan lebih efisien dan efektif (Kushwaha et al., 2004). Kesesuaian habitat dinilai untuk setiap fitur spasial dalam wilayah yang diteliti untuk setiap periode waktu. Salah satu pendekatan umum untuk evaluasi kuantitatif habitat adalah dengan membuat model indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability Index) untuk membangun nilai dari suatu habitat tertentu berdasarkan pada preferensi satwa terhadap penggunaan komponen-komponen habitat (U.S. Fish and Wildlife Service, 1981; Rickers et al,. 1995). McLellan et al. (1995) mengembangkan suatu model HSI untuk caribou gunung berdasarkan elevasi, slope, land cover atau tipe habitat dan umur tegakan dengan notasi sebagai berikut: HSI total = (HSI elevation * HSI slope * HSI habitat unit * HSI stand age ) 1/4... (Formula 2.8) Kesesuaian (suitability) didefinisikan sebagai kemampuan habitat dalam kondisinya saat ini untuk menyediakan kebutuhan hidup suatu spesies. Ini merupakan suatu perkiraan bagaimana suatu kondisi habitat sekarang memberikan kebutuhan hidup tertentu suatu spesies. Rangking kesesuaian diberikan kepada setiap struktur dari setiap tipe vegetasi. Struktur-struktur dengan rangking kesesuaian tertingi menggambarkan kemampuannya untuk beberapa ekosistem tertentu. Untuk membuat kesesuaian, maka diberikan rangking (rating) pada struktur habitat untuk potensinya mendukung spesies tertentu pada musim tertentu. Hal tersebut menggambarkan suatu proporsi dari habitat terbaik yang mencerminkan harapan penggunaan habitat oleh spesies satwaliar (Juntti and Rumble, 2006). Secara numerik, indeks kesesuaian habitat (HSI) dibuat oleh U.S. Fish and Wildlife Service (1980) sebagai berikut : HSI = Study Area Habitat Conditions Optimum Habitat Conditions... (Formula 2.9) Jika kondisi-kondisi aktual identik dengan kondisi-kondisi optimum, maka HSI sama dengan satu. Nilai indeks kesesuaian habitat biasanya dihitung menggunakan formula matematis yang menggambarkan hubungan hipotetik di antara SI individual. Hubungan satwaliar-habitat dapat didukung data empiris, pendapat ahli atau keduanya (U.S. Fish and Wildlife Service 1980; 1981). Secara tradisional model HSI diterapkan pada suatu contoh lokasi dalam tipe-tipe penutupan lahan atau tipe-tipe vegetasi 49

74 dominan. Kualitas habitat pada suatu area merupakan penjumlahan unit-unit habitat yang menggambarkan hasil dari rata-rata nilai HSI di setiap tipe vegetasi dan area dari suatu lahan pada tipe vegetasi tersebut, dijumlahkan seluruh area studi (Larson et al., 2003). 50

75 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan, baik kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa tengah maupun kawasan hutan konservasi yang menjadi wilayah kerja Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Tengah serta Taman Nasional (TN) Gunung Merapi dan TN Guung Merbabu.. Penelitian dimulai dari bulan April 2008 sampai Februari Keterangan : Lokasi sampel Gambar 3.1. Lokasi penelitian. 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan antara lain GPS, kamera, binocular, komputer dengan software Arcview 3.2 (ESRI, 1998); software patch analyst, yang merupakan extension dari ArcView 3.x (Elkie et al., 1999). Bahan-bahan yang digunakan antara lain plastercast (gypsum); alkohol/formalin; peta kawasan hutan Jawa Tengah; peta-peta kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah; laporan margasatwa KPH Perum Perhutani Unit I; laporan margasatwa BKSDA dan Taman Nasional; kuesioner dan peta tutupan lahan Provinsi Jawa Tengah hasil 51

76 interpretasi citra yang dibuat oleh Ditjen Planologi Departemen Kehutanan dengan skala digitasi 1: Prosedur Penelitian Untuk efisiensi dan efektifitas penelitian, maka kegiatan penelitian dirancang dalam rangkaian tahapan yang runtut yang terdiri dari empat tahapan utama yaitu: (1) persiapan; (2) orientasi atau penelitian pendahuluan; (3) penelitian utama serta (4) pengolahan dan interpretasi data (Gambar 3.2). 1 Pengadaan bahan perlengkapan dan peralatan penelitian 2 Pengadaan peta tutupan lahan hasil interpretasi citra Konsultasi KSDA & Perhutani Pengumpulan data sekunder Pengiriman kuesioner ke responden 3 Ground check lokasi macan tutul dari dari kuesionar Survei Presence-Absence macan tutul Inventarisasi satwa mangsa di lokasi contoh Analisis struktur cover Upload data lokasi GPS: Penyebaran macan tutul (ArcView 3.2) Struktur cover habitat macan tutul Keanekaragaman, komposisi, kelimpahan relatif, keseragaman satwa mangsa Iklim; Status kawasan; Tipe hutan; topografi; altitude, air, luas patch 4 Analisis Fragmentasi Peta Penyebaran Analisis Metapopulasi Karakteristik Habitat Keterangan Model Spasial Kesesuaian Habitat Macan Tutul Jawa Output penelitian (tujuan penelitian) Gambar 3.2. Urutan tahapan prosedur penelitian. 52

77 Unit analisis penelitian ini adalah kawasan hutan berdasarkan peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah dari Departemen Kehutanan Tahun 2005 dan status kawasan hutan menjadi salah satu penyusun model kesesuaian habitat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian, tutupan hutan di luar kawasan hutan tidak menjadi bagian dari penelitian ini. Disamping itu juga diasumsikan, areal berhutan di luar kawasan hutan tidak mungkin akan dikelola oleh pemerintah dalam kerangka konservasi macan tutul. Pertimbangan lain adalah sampai saat ini belum ada laporan bahwa areal berhutan di luar kawasan hutan merupakan habitat macan tutul. 3.4 Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan sumbernya disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Data yang diperlukan dan sumbernya. No. Data Sumber 1. Laporan bulanan margasatwa KRPH Perhutani 2. Laporan triwulan margasatwa BKPH Perhutani 3. Laporan Identifikasi High Conservation value Forest (HCVF) di setiap Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) 4. Peta wilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Seluruh KPH di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 5. Peta wilayah kerja KPH Seluruh KPH di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 6. Peta Kelas Perusahaan seluruh KPH Seluruh KPH di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 7. Profil KPH Seluruh KPH di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 8. Peta sebaran keanekaragaman hayati di setiap KPH 9. Laporan bulanan inventarisasi/monitoring satwaliar resor KSDA 10. Laporan tahunan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seluruh KPH di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) 11. Laporan kejadian gangguan satwaliar Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan Seksi Wilayah BKSDA; media masa cetak dan televisi; kuesioner 12. Peta tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit Ditjen Planologi Kehutanan wilayah Jawa Tengah yang telah didijitasi skala 1: Tahun Peta kawasan hutan Jawa Tengah tahun 2005 Ditjen Planologi Kehutanan 53

78 No. Data Sumber 14. Peta iklim Jawa Tengah Ditjen Planologi Kehutanan 15. Lokasi indikasi keberadaan macan tutul Survei lapangan (GPS); kuesioner dan laporan (butir 1, 2, 8 dan 9) 16. Struktur vegetasi habitat macan tutul Lapangan (sampel) 17. Jenis satwa mangsa macan tutul Lapangan (sampel); Laporan butir 1,2 dan Iklim Peta iklim (butir 14) dan profil KPH (butir 7) 19. Status fungsi kawasan Peta kawasan hutan (butir 13) 20. Topografi Peta RBI 1:25000 dari Bakosurtanal 21. Altitude Peta RBI 1:25000 dari Bakosurtanal 22. Ketersediaan air Peta RBI 1:25000 dari Bakosurtanal. Setiap patch yang didalamnya ada sungai atau anak sungai atau badan air lainnya dinilai memiliki sumber air. 23. Luas patch hutan Peta tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit wilayah Jawa Tengah yang telah didijitasi skala 1: Tipe hutan (hutan tanaman dan hutan alam) untuk analisis model kesesuaian habitat 25. Tiipe hutan untuk analisis sekejsi/preferensi habitat (Tanaman pinus, tanaman jati, tanaman campuran, hutan alam dataran rendah, hutan alam pegunungan, Peta tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit wilayah Jawa Tengah yang telah didijitasi skala 1: Peta kelas perusahaan 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan pengamatan lapangan Lokasi Indikasi Keberadaan Macan Tutul Untuk memperoleh data lokasi sebaran macan tutul jawa dilakukan secara bertahap. Pertama berdasarkan laporan margasatwa bulanan dari KRPH lingkup Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Balai KSDA Jawa Tengah. Data tersebut dicek silang dengan data hasil kuesioner. Laporan bulanan margasatwa dan kuesoner memuat informasi utama : lokasi (nomor petak, RPH, BKPH dan KPH; kelompok hutan; desa, kecamatan dan Kabupaten); indikasi keberadaan (perjumpaan langsung, suara, sarang, jejak, feces dan tanda pada sisa mangsa serta bekas cakaran); waktu ditemukan (jam; tanggal; bulan; tahun); aktivitas waktu dijumpai; fase (tutul atau kumbang) dan jenis mangsa yang ada di sekitar temuan macan tutul jawa. Kuesioner digunakan sebagai pembanding (cross check) terhadap laporan bulanan margasatwa RPH) dan informasi tambahan bagi lokasi-lokasi yang tidak pernah dilaporkan adanya macan tutul jawa tetapi diduga masih ada berdasarkan literatur, laporan maupun berita koran. Sasaran kuesioner adalah masyarakat sekitar hutan serta petugas lapangan BKSDA dan petugas lapangan Perum Perhutani. 54

79 Pengumpulan data dimulai dengan menyortir laporan triwulan margasatwa dari BKPH, jika dalam laporan tersebut dilaporakan keberadaan macan tutul jawa di suatu wilayah RPH maka pelacakan dilanjutkan dengan memeriksa laporan bulanan margasatwa dari RPH untuk mengetahui waktu dan tempat penemuan keberadaan macan tutul jawa. Laporan dari RPH ini dikelompokkan menurut tingkat kepastian atau kebenaran laporan berdasarkan kriteria sebagaimana Tabel 3.2. Beberapa lokasi indikasi macan tutul jawa, terutama yang meragukan dilakukan pengecekan ke lapangan (ground check). Pengecekan ke lapangan untuk mencari bukti keberadaan macan tutul jawa, baik langsung maupun tidak langsung melalui keberadaan sarang (breeding site), suara (calls), kotoran (feces), tanda pada mangsa (feeding signs, carrion), jejak (footprints) dan bekas cakaran (van Lavieren, 1982; Alikodra, 1990; Sutherland, 2004). Data posisi GPS lokasi indikasi macan tutul jawa dicatat untuk diupload ke dalam Arcview 3.2. Tabel 3.2. Kriteria tingkat kepercayaan kebenaran laporan keberadaan macan tutul Jawa berdasarkan Laporan Bulanan Margasatwa Resort Pemangkuan. No. Indikasi keberadaan macan tutul jawa berdasarkan laporan bulanan margasatwa 1 Pejumpaan langsung, mendengar suara oleh petugas Perhutani atau BKSDA; cetakan jejak atau sampel feces yang dapat dicek oleh peneliti. 2 Sisa mangsa (ungulata/primata); jejak; cakaran; feces yang ditemukan oleh petugas Perhutani atau KSDA Tingkat kepercayaan kebenaran laporan Sangat dapat dipercaya tanpa perlu dicek ke lapangan. Dapat dipercaya tapi perlu pengecekan silang (cross check) dengan sumber informasi lain di lokasi yang sama 3 Informasi dari masyarakat Kurang dapat dipercaya, perlu pengecekan ke lapangan dan konfirmasi kepada beberapa sumber informasi untuk pembuktian Macan tutul jawa merupakan satwa teritorial, maka lokasi-lokasi yang ditandai melalui pembuangan feces, urin atau cakaran adalah bagian dari habitat macan tutul jawa. Karena habitat utama macan tutul jawa adalah hutan, maka hutan terdekat dengan lokasi penemuan tanda teritorial diidentifikasi sebagai habitat utama macan tutul jawa. Pengenalan jejak macan tutul jawa dan cara pengukurannya seperti ditunjukkan pada Gambar

80 Sumber gambar jejak (inset): Sumber gambar cara pengukuran jejak van Strien (1983) Gambar 3.3. Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul serta cara pengukurannya untuk identifikasi individu Struktur Cover Cover habitat macan tutul jaw hanya akan dilihat strukturnya berupa diagram profil yang menggambarkan stratifikasi tajuk. Untuk itu dibuat suatu bisect dalam suatu jalur contoh (transek) sepanjang m di setiap tipe habitat macan tutul jawa. Bisect ini merupakan suatu lukisan yang memperlihatkan bentuk dan tinggi pohon (Soerianegara dan Indrawan, 1980). Bisect diambil dari jalur yang dianggap mewakili kondisi lapangan. Data yang dicatat adalah jenis pohon, jarak antar pohon (pemetaan pohon), bentuk tajuk, tinggi pohon, tinggi bebas cabang, bentuk percabangan dan proyeksi tajuk Inventarisasi Jenis Mangsa Macan Tutul Jawa Inventarisasi satwa menggunakan metode transek atau jalur. Pengamat berjalan pada suatu jalur penjelajahan dengan arah kompas konsisten memotong kontur atau mengikuti track yang sudah ada seperti sungai atau jalan setapak. Setiap satwa mamalia besar yang terlihat di dalam transek selebar 50 m dicatat jenis, jumlah dan frekuensi perjumpaannya. Jika satwa tidak terlihat maka pengenalan satwa dilakukan melalui beberapa cara diantaranya: jejak, feses, suara, sarang, bau dan tanda-tanda lain yang ditinggalkan (van Lavieren, 1982; Alikodra, 1990; Sutherland, 2004). Inventarisasi satwa hanya dilakukan di lokasi sampel, yaitu yang mewakili tipe hutan tanaman jati, 56

81 hutan tanaman pinus, hutan tanaman campuran, hutan alam dataran rendah dan hutan alam pegunungan Kuesioner Kuesioner dirancang untuk mendapatkan informasi sebagai berikut: 1. Lokasi sebaran macan tutul jawa 2. Tipe-tipe penutupan lahan di habitat macan tutul jawa 3. Kecenderungan populasi macan tutul jawa dalam 10 tahun terakhir 4. Fenomena pemangsaan ternak oleh macan tutul jawa 5. Jenis-jenis satwa mangsa macan tutul jawa dan kecenderungannya dalam 10 tahun terakhir. 6. Lokasi-lokasi yang pernah dihuni macan tutul jawa tetapi sekarang sudah tidak dihuni lagi (punah secara lokal). Sasaran responden adalah KRPH di wilayah Perum Perhutani unit I Jawa Tengah, KRPH di wilayah Balai KSDA Jawa Tengah dan masyarakat sekitar hutan lokasi penelitian. 3.5 Pengolahan Data Sebaran dan Perkiraan Populasi Posisi GPS lokasi indikasi macan tutul jawa di-upload ke dalam file database (*.dbf) di dalam program ArcView 3.2. Selanjutnya data ini akan di-overlay-kan dengan layer penutupan lahan hasil interpretasi citra yang telah di-clip dengan peta kawasan hutan sehingga menjadi peta penyebaran macan tutul jawa menurut tipe tutupan lahan di kawasan hutan. Lokasi indikasi macan tutul jawa berdasarkan laporan margasatwa Perum Perhutani, BKSDA dan kuesioner umumnya memiliki tingkat ketelitian sampai ke nomor anak petak, sehingga langsung diplotkan dalam peta kerja tersebut di lokasi anak petak yang bersangkutan kemudian di-overlay-kan dan digabung dengan hasil dari GPS. Pembuatan peta sebaran indikasi macan tutul dilakukan di Laboratorium GIS dan Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 57

82 Penghitungan populasi macan tutul jawa berdasarkan hasil inventarisasi di suatu lokasi diperkirakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Laporan perjumpaan indikasi macan tutul jawa dari Kepala Resort Hutan Perum Perhutani dan perjumpaan jejak dalam penelitian ini, (2) Asumsi home range seekor macan tutul adalah 600 ha dan tidak overlap dengan individu lain. (3) Seekor jantan dewasa memiliki pasangan kawin seekor betina yang home rangenya sebagian overlap dengannya. (4) Satu betina dapat memiliki 1-2 ekor anak. (5) Jumlah kekayaan jenis mangsa suatu wilayah (6) Kondisi keamanan habitat dari gangguan manusia seperti perambahan dan aktivitas tumpangsari. Perkiraan populasi juga dihitung berdasarkan model pemanfaatan habitat dengan asumsi : (1) Home range seekor individu macan tutul tidak overlap dengan home range individu lain (2) Asumsi home range seekor macan tutul adalah 600 ha pada habitat dengan pemanfaatan tinggi dan 1000 ha pada habitat dengan pemanfaatan rendah sampai sedang. Dengan demikian perkiraan jumlah individu minimal dan maksimal suatu populasi adalah sebagai berikut: Jumlah minimal = Luas Patch (ha) : 1000 (ha)... (Formula 3.1a) Jumlah maksimal = Luas Patch (ha) : 600 (ha)... (Formula 3.1b) Untuk menguji signifikansi perbedaan antara penghitungan populasi berdasarkan inventarisasi dan model pemanfaatan, mula-mula dilakukan uji F untuk mengetahui apakah ragam dua sampel (data dari inventarisasi dan data dari model) sama atau tidak sama. Selanjutnya dilakukan uji t dua sampel dengan ragam sama atau uji t dua sampel dengan ragam tidak sama (dari hasil uji F) (Pollet & Nasrullah, 1994). Semua perhitunagn uji F dan uji t dilakukan menggunakan program Microsoft Excel. Perkiraan kepadatan populasi dihitungberdasarkan formula sebagai berikut: 58

83 Kepadatan = Jumlah individu... (Formula 3.2.) Luasan habitat Luasan habitat yang dimakasud adalah luasan patch di mana individu-individu macan tutul yang diperhitungkan tersebut berada Keanekaragaman Jenis Mangsa Data mangsa macan tutul diolah sehingga memberikan informasi keanekaragaman jenis Shannon (H ), indeks evenness (E), dan indeks kemiripan dua komunitas (indeks Sorensen). Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan rumus dari Shannon (H ) yaitu (Magurran 1988) : H ' = pi log pi dimana ni pi =...(Formula 3.3) N pi adalah perbandingan antara jumlah individu spesies ke i dengan jumlah total individu. Logaritma yang digunakan adalah logaritma dasar 10 atau e. Rumus ini dapat diubah menjadi (Soegianto 1994): ( N log N ni log ni) H ' =... (Formula 3.4) N Untuk mengetahui struktur komunitas satwa mangsa dalam setiap tipe habitat maka dihitung nilai keseragaman antar jenis atau indeks evenness (E) Shannon dengan rumus sebagai berikut (Odum 1994) : H' e =... (Formula 3.5) ln S dimana S adalah banyaknya jenis satwa mangsa pada suatu tipe habitat. Ragam (variance) dari indeks keanekaragaman jenis (H ) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Magurran, 1988): 2 2 pi (ln pi ) ( pi ln pi ) S 1 VarH ' =...(Formula 3.6) 2 N 2N Uji t (t test) untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara dua indeks keanekaragaman jenis (H ) menggunakan rumus sebagai berikut (Magurran, 1988): t H ' H ' 1 2 =... (Formula 3.7) 1/ 2 ( VarH ' 1+ VarH ' 2 ) 59

84 Untuk menghitung derajat bebas (degree of freedom) digunakan rumus sebagai berikut (Magurran, 1988): 2 ( VarH' + VarH' ) df =... (Formula 3.8) [( VarH' ) / N ] + [( VarH' ) / N ] Indeks kemiripan komunitas (similarity index) atau dikenal dengan nama indeks Sorensen antara dua sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut (Odum 1994) : C SI = 2... (Formula 3.9) A+ B dimana SI adalah indeks kemiripan komunitas, A adalah jumlah jenis dalam sampel A, B adalah jumlah jenis dalam sampel B dan C adalah jumlah jenis yang sama pada kedua sampel. Dengan demikian indeks ketidaksamaan adalah 1 - SI. Nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 0-1. Semakin tinggi nilai indeks kemiripan komunitas antara dua sampel maka semakin miriplah kedua sampel tersebut, demikian pula sebaliknya Seleksi/Preferensi Habitat Seleksi habitat oleh macan tutul jawa diukur menggunakan fungsi-fungsi seleksi sumberdaya (Manly et al., 2002) untuk memperkirakan peluang suatu unit contoh digunakan oleh seekor satwa, sebagai fungsi dari variabel vegetasi habitat (Sawyer et al., 2009). Pengujian signifikansi menggunakan uji Chi-square (χ 2 ) (Fleis, 1981). Hipotesis null (Ho) yang akan diuji adalah: macan tutul jawa tidak melakukan seleksi dalam menempati suatu habitat. Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika nilai χ 2 hitung lebih besar daripada χ 2 tabel pada taraf α = 5% (P=0,05). Nilai χ 2 hitung dihitung dengan formula sebagai berikut (Ludwig & Reynolds, 1988): 2 2 ( observed exp ected ) χ hitung =... (Formula 3.10) exp ected Untuk mengetahui sumberdaya yang paling disukai maka dilakukan penghitungan indeks seleksi menggunakan Neu s index dengan formula sebagai berikut (Neu et al., 1974; Bibby et al., 1998) : 60

85 Selection index Standardised index r w =... (Formula 3.11) a w B =... (Formula 3.12) w Jika selection index >1 maka sumberdaya yang bersangkutan disukai karena penggunaaan (usage) lebih besar daripada ketersediaan (availability). Standardised Index memberikan perbandingan antar studi kerena jumlahnya selalu satu. Tabel 3.3. Indeks Seleksi Neu Tipe Habitat Availability Usage Index Proportion (a) Records Proportion (r) Selection (w) Standardised Total Uji Kebebasan Untuk mengetahui apakah kepunahan lokal suatu pupulasi macan tutul tergantung atau ada kaitannya dengan faktor ketinggian tempat, kelerengan atau tipe tutupan lahan, maka dapat dibuat tabel kontingensi berukuran b x k (baris x kolom), dimana b adalah banyaknya kelas dari faktor pertama dan k merupakan kelas dari faktor kedua. Selanjutnya dilakukan uji χ 2. Untuk itu dibuat tabel kontingensi sebagai berikut (Gaspersz, 1991): Tabel 3.4. Contoh tabel kontingensi untuk uji kebebasan antara kepunahan lokal dengan ketinggian tempat. Ketinggian Tempat Bertahan Punah Lokal Jumlah < 500 m dpl O 11 O 12 B m dpl O 21 O 22 B 2 > m dpl O 31 O ij B i Jumlah Ki Bj T Dari tabel kontingensi tersebut dapat dilakukan pengujian apakah ketinggian mempengaruhi kepunahan lokal macan tutul jawa, dengan hipotesis null (Ho): tidak ada 61

86 hubungan antara ketinggian tempat dengan kepunahan lokal macan tutul jawa. Formula untuk mengetahui χ 2 hitung adalah sebagai berikut (Gaspersz, 1991): ( O E ) = 2 ij ij χ... (Formula 3.13) E i, j ij 2 Dimana O ij merupakan frekuensi observasi dan E ij merupakan frekuensi harapan yang dihitung dengan formula sebagai berikut: Bi K j Eij =... (Formula 3.14) T Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika nilai χ 2 hitung lebih besar daripada χ 2 tabel dengan derajat bebas (b-1) (k-1) pada taraf α 5%. Uji kebebasan juga dilakukan untuk menguji kebebasan antara komponen lain dari habitat dengan keberadaan atau kepunahan lokal macan tutul jawa Analisis Fragmentasi Analisis statistik fragmentasi menggunakan extension patch analyst pada software Arcview 3.2. Analisis fragmentasi ini dilakukan di Laboratorium GIS dan Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Evaluasi dilakukan pada skala kelas. Analisis fragmentasi pada penelitian ini hanya untuk melihat fragmentasi pada hutan alam lahan kering. Kelas tutupan lahan lain tidak menjadi bahan kajian. Untuk kepentingan penelitian ini, parameter fragmentasi yang akan dipertimbangkan dan dibandingkan secara temporal adalah: class area (CA), number of patch (NumP); total edge (TE) dan edge density (ED) Identifikasi Tipe-Tipe Metapopulasi Populasi-populasi yang telah dipetakan di atas peta tutupan lahan dipelajari kemungkinan konektifitas antara satu dengan lainnya kemudian dibandingkan dengan gambaran tipe-tipe metapopulasi yang dibuat oleh Hanski & Simberloff (1997) serta (Harrison & Taylor 1997) yaitu classic metapopulation, mainland-island metapopulation, nonequilibrium metapopulation, patchy population (Gambar 2.5) 62

87 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Macan Tutul Pemodelan spasial dilakukan menggunakan fasilitas overlay dengan pembobotan pada program ArcView 3.2. Analisis spasial ini dilakukan di Laboratorium GIS dan Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Model kesesuaian habitat dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor kebutuhan hidup macan tutul jawa yang diperoleh dari berbagai literatur. Pembobotan masing-masing faktor dilakukan secara arbitrary berdasarkan expert judgment. Argumen atau landasan ilmiah penetapan bobot masing-masing faktor disajikan pada Tabel 3.5. Bobot masing-masing faktor penyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa disajikan pada Tabel 3.6. Skoring untuk masing-masing faktor disajikan pada Tabel 3.7. Pembobotan menggunakan metode proporsi/skala (rating method) yaitu dengan cara memberikan langsung bobot secara eksplisit pada setiap faktor dengan mengalokasikan sejumlah nilai yang jika dijumlahkan akan menjadi 100 atau 1,0 (Jaya, 2007). 0< w ij < 100; w ij = 100 untuk semua faktor i....(formula 3.15) Pemodelan spasial kesesuaian habitat yang dibuat termasuk kategori coincidence modeling yang melibatkan overlay poligon (AGI, 2010). Metode ini dilakukan dengan memberikan bobot terhadap peubah yang telah diskala (skoring) sehingga skor total merupakan kombinasi yang linear (Jaya, 2007). atau C = w 1 x 1 + w 2 x w n x n dan 1,00...(Formula 3.17) Di mana C adalah skor komposit untuk suatu unit spasial tertentu dan n adalah jumlah peubah (variabel) w i adalah bobot ke-i dan x i adalah peubah atau variabel ke-i Data luas patch diperoleh dari operasi spasial dalam Arcview 3.2; tipe hutan diperoleh dari interpretasi citra tahun 2006 dari Departemen Kehutanan; topografi, altitude, dan sumber air dari peta RBI Bakosurtanal skala 1: Data satwa diperoleh dari hasil olahan laporan bulanan margasatwa Perum Perhutani di 20 KPH yang kemudian diklasifikasikan dan dispasialkan dalam layer batas KPH. Data tipe curah hujan diperoleh dari masing-masing KPH yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan tipe curah hujan dominan dan dispasialkan dalam layer batas KPH. Data 63

88 status kawasan diperoleh dari peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 dari Departemen kehutanan. Secara skematis, prosedur pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa ditunjukkan pada Gambar 3.4. Tabel 3.5. Argumen ilmiah sebagai pertimbangan dalam pembobotan faktor penyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Faktor/ Aspek Luasan habitat Ketersediaan mangsa Tipe vegetasi (Hutan) Argumen Macan tutul memerlukan luasan ruang yang cukup untuk mencari makan, berkembang biak dan bertahan hidup. Macan tutul hidup dalam home range dan memiliki teritori Macan tutul termasuk satwa yang gemar mengembara dan kurang bersifat menetap Macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia Home range seekor macan tutul jantan di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal yang kaya satwa mangsa adalah 6 63 km 2 ( ha), dan di daerah kering Kalahari 400 km 2. Umumnya berkisar antara km 2 Macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Macan tutul lebih menyukai ungulata dengan berat tubuh 20 sampai 50 kg, tetapi kadang-kadang berburu mangsa yang jauh lebih besar. Mangsa macan tutul di Jawa antara lain : babi hutan, kijang, rusa, monyet, landak, lutung, burung, teledu, musang dan owa abu-abu, binatang pengerat, ikan dan bahkan buah-buahan yang manis. Macan tutul memangsa binatang melata dan ketam, serangga, kelelawar, penyu laut, landak, trenggiling, burung merak, ayam hutan, monyet dan anjing. Komposisi makanan macan tutul terdiri dari 53,5 % ungulata dan 25,4% primata dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg. Mangsa macan tutul berimbang antara ungulata dan primata yaitu 89-98%. Macan tutul dapat beradaptasi dengan baik di berbagai tipe vegetasi, tetapi di Pulau Jawa, macan tutul hanya hidup di hutanhutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman. Referensi Seidentsicker & Susan (1991) IUCN - The World Conservation Union (1996) Bailey (1993) Norton & Lawson (1985) Bothma et al. (1997) Mizutani & Jewell (1998) Direktorat PPA (1978) Grzimek (1975) Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) Seidensticker(2002) Direktorat PPA (1978) Bartels (1929) dalam Hoogerwerf (1970) Grzimek (1975) Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) Schaller (1969) dalam Lekagul & McNeely (1977) Westra (1931) dalam Hoogerwerf (1970) Direktorat PPA (1982) Hart et al. (1996) Karanth & Melvin (1995) IUCN - The World Conservation Union. (1996) Cat Specialist Group (2002) Bothma & Riche (1994) 64

89 Air Faktor/ Aspek Iklim (Tipe Curah Hujan) Status fungsi kawasan Argumen Macan tutul satwa arboreal, menyukai habitat yang ada pohonnya. Macan tutul menggunakan pohon untuk tidur, istirahat, berlindung, mengintai dan menyimpan mangsanya Macan tutul betina menyukai vegetasi lebat untuk bersarang dan melindungi anakanaknya Tipe vegetasi berhubungan dengan keberadaan herbivora yang merupakan mangsa macan tutul. Semakin beragam jenis tumbuhan, semakin beragam pula habitat yang dapat diberikan kepada satwaliar. Walaupun macan tutul dapat bertahan hidup berhari-hari tanpa air, tetapi keberadaan air sangat menguntungkan macan tutul, disamping untuk minum dirinya, air juga dibutuhkan oleh satwa herbivora yang merupakan mangsa macan tutul. Dengan demikian keberadaan air juga akan lebih disukai oleh satwa herbivora dan macan tutul. Macan tutul menyukai hutan tepi sungai Semua jelajah memiliki sedikitnya satu badan air Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk minum. Iklim sangat mempengaruhi habitat satwa herbivora, khususnya ketersediaan air dan pakan yang sebagian besar merupakan tumbuhan bawah. Selanjutnya keberadaan satwa herbivora tersebut berpengaruh pada keberadaan pemangsanya yaitu macan tutul Jawa. Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebaran populasi macan tutul banyak terkonsentrasi di daerah beriklim basah (tipe curah hujan A dan B) Macan tutul pemalu dan secretive sehingga menyukai hidup di kawasan hutan yang terjamin keamanannya dari gangguan kegiatan manusia Hutan-hutan yang relatif kecil kegiatan manusianya berturut-turut adalah hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi tetap Bila keluar kawasan hutan dan masuk kampung macan tutul dianggap musuh oleh Referensi Bailey (1993) Norton and Henley (1987) Hamilton (1976) Alderton (1998) South Africa Wildlife (2009) IUCN - The World Conservation Union. (1996) Bothma & Riche (1994) Grzimek (1975) Norton and Henley (1987) Marker and Dickman (2005) UU No.5/19990 UU No 41/1999 PP No. 68/1998 PP No.34/2002 South Africa Wildlife (2009) Nowak (1997) Guggisberg (1975) IUCN - The World 65

90 Faktor/ Aspek Topografi Ketinggian tempat (Altitude) Argumen Referensi masyarakat dan akan diburu dan dibunuh Conservation Union. (1996) Veevers-Carter (1978) Lekagul & McNeely (1977) Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit dekat dengan tebing untuk berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia. Hutan-hutan yang masih tersisa dan kondisinya baik umumnya ada pada ketinggian > 500 m dpl Semakin tinggi suatu fragment hutan semakin menurun intensitas gangguan manusianya karena umumnya pemukiman terkonsentrasi di dataran rendah. Macan tutul menghindari aktivitas manusia Chundawat (1990) Marker and Dickman (2005) Chundawat (1990) Marker and Dickman (2005) Tabel 3.6. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kategori Variabel/ Faktor yang dipertimbangkan Bobot makro PEMANFAATAN HABITAT Luas 0,35 Mangsa 0,25 Tipe Hutan 0,15 Tipe curah hujan Schmidt-Ferguson 0,05 Badan air 0,05 KERAWANAN HABITAT Topografi 0,06 Ketinggian (Altitude) 0,05 Status fungsi kawasan hutan 0,04 Jumlah 1,00 Tabel 3.6. dapat diturunkan ke dalam formula sebagai berikut: C = 0,35(x 1 ) + 0,25(x 2 ) + 0,15(x 3 ) + 0,05(x 4 ) + 0,05(x 5 ) + 0,06(x 6 ) + 0,05(x 7 ) + 0,04(x 8 ) Di mana C adalah kesesuaian habitat; x 1 adalah luas; x 2 adalah mangsa; x 3 adalah tipe vegetasi hutan; x 4 adalah curah hujan; x 5 adalah sumber air; x 5 adalah topografi; x 7 adalah ketinggian dan x 8 adalah status kawasan hutan. 66

91 Data atribut mangsa Kelas Ketersediaan Mangsa Luas patch Penutupan hutan Kelas kecukupan luas Kelas hutan Potensi Habitat Dimanfaatkan Kelas Pemanfaatan Habitat Badan air Tipe Curah hujan Kelas ketersediaan air Kelas Curah Hujan KELAS KESESUAIAN HABITAT MACAN TUTUL JAWA Status Fungsi Kawasan Kelerengan Ketinggian Kelas fungsi Kelas lereng Kelas ketinggian Kelas Kerawanan Habitat Gambar 3.4. Prosedur pembuatan model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. Pembuatan model hanya dilakukan pada kawasan hutan berdasarkan peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 dari Departemen Kehutanan. Hal ini karena salah satu faktor penyusun model adalah status kawasan hutan. Disamping itu juga diasumsikan, areal berhutan di luar kawasan hutan tidak mungkin akan dikelola dalam kerangka konservasi macan tutul. Validitas model dihitung dengan formula sebagai berikut: Validitas Model = n/n x 100%... (Formula 3.18) Dimana n = jumlah lokasi macan tutul di kelas kesesuaian sedang dan tinggi, dan N = jumlah seluruh lokasi macan tutul yang ditemukan. Kesesuaian model dengan fakta di lapangan juga dapat diuji dengan uji Chi square (χ 2 ) dengan hipotesis null sebagai berikut: Ho: Distribusi proporsi kesesuaian habitat macan tutul jawa sama dengan disribusi proporsi lokasi macan tutul jawa 67

92 Kaidah keputusannya adalah menerima Ho apabila nilai χ 2 hitung lebih kecil daripada χ 2 tabel pada taraf α = 5%. Formula uji Chi kuadrat adalah sebagai berikut (Gazpersz, 1994): ( O E ) = 2 ij ij χ... (Formula 3.19) E i, j ij 2 Dimana O ij adalah proporsi sebaran macan tutul jawa yang diambil dari jumlah lokasi macan tutul menurut tingkat kesesuaiannya dan E ij adalah proporsi luasan habitat menurut tingkat tngkat kesesuaian. Tabel 3.7. Skoring faktor penyusun model kesesuaian habitat. Faktor Skor Kriteria Luasan 10 > ha habitat ha Pemanfaatan Habitat (Habitat Use) Kerawanan Habitat (Habitat Vulnerability) Mangsa Tipe hutan Air Tipe Curah Hujan Status fungsi kawasan 0 < 600 ha 10 Terdapat 6 jenis mangsa utama (primata dan ungulata) 5 Terdapat 4 jenis mangsa utama 1 Terdapat 1-3 jenis satwa mangsa utama 10 Hutan alam 5 Hutan tanaman 10 Ada sumber air di dalam patch 0 Tidak ada sumber air patch 1 D atau E 5 C atau C dan D 10 A atau B Topografi 1 < 15 % 5 15% -25 % 10 > 25% Ketinggian (Altitude) 10 Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam, Hutan Lindung 5 Hutan Produksi Terbatas 1 Hutan Produksi 1 < 500 m dpl m dpl 10 > 1000 m dpl. 68

93 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa Penyebaran Menurut Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Dari 20 KPH yang diteliti terdapat 15 KPH yang wilayahnya masih menjadi daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15 KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah disajikan pada Tabel 4.1. Sebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan lokasi ditemukannya pada unit area pengelolaan hutan terkecil (Resort Pemangkuan Hutan/RPH), satuan ekosistem dan kisaran ketinggian wilayahnya disajikan pada Tabel 4.2. Beberapa titik mungkin overlap atau sebenarnya merupakan satu populasi, misalnya jika dalam satu hamparan hutan yang kompak ditemukan beberapa titik indikasi keberadaan macan tutul seperti di KPH Pekalongan Timur, Pekalongan Barat dan Pemalang. Beberapa titik lainnya tampak secara jelas merupakan satu populasi tersendiri. Populasi ini bisa menjadi bagian dari metapopulasi di suatu wilayah (region) atau populasi yang terisolasi yang tidak memiliki peluang berinteraksi dengan populasi lainnya karena adanya penghalang (barrier) yang tidak dapat dilewati. Contoh populasi yang terisolasi antara lain populasi macan tutul jawa di Pulau Nusakambangan yang tidak terhubung dengan populasi macan tutul jawa di daratan Pulau Jawa seperti populasi macan tutul jawa di Majenang, Pesahangan, Cimanggu dan Mandirancan-Kebasen. Populasi-populasi di puncak-puncak gunung yang di sekililingnya telah berubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman juga menjadi populasi yang terisolasi. Dari Tabel 4.2. tampak bahwa ada sembilan lokasi indikasi macan tutul jawa yang memiliki ketinggian m atau lebih dari permukaan laut. Lokasi-lokasi tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah ditetapkan sebagai hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G. Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.g. Muria. Sementara itu, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004 (Departemen Kehutanan, 2007b). 69

94 Tabel 4.1. Keberadaan macan tutul jawa menurut wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. No. Kesatuan Pemangkuan Hutan Luas (Ha) Tanaman Utama (Kelas Perushaan) 1 Banyumas Barat ,30 Pinus 1,5 Vegetasi Habitat Macan Tutul 2 Banyumas Timur ,00 Pinus Pinus; Hutan alam 2.947,90 Damar 2 pegunungan 3 Kedu Selatan Jumlah Lokasi Temuan Macan Tutul Jawa Campuran; Pinus; Hutan alam dataran rendah ,00 Pinus Campuran; Hutan alam dataran rendah; Jati ,80 Damar 4.263,90 Jati 3 4 Kedu Utara ,00 Pinus Hutan alam pegunungan ,39 Mahoni 4 5 Surakarta ,90 Jati Hutan alam pegunungan ,10 Pinus 6 Semarang ,40 Jati Jati 0 7 Telawah ,70 Jati Jati 1 8 Gundih ,50 Jati Jati 0 9 Purwodadi ,50 Jati Jati 1 10 Blora ,00 Jati Jati 0 11 Randublatung ,10 Jati Jati 1 12 Cepu ,30 Jati Jati 1 13 Kebunharjo ,36 Jati Jati 1 14 Mantingan ,13 Jati Jati 0 15 Pati ,20 Jati 16 Kendal ,70 Jati Hutan alam dataran rendah 1 Jati; Campuran; Hutan alam dataran rendah 3 17 Pekalongan Timur ,40 Pinus Pinus 6 18 Pekalongan Barat ,76 Pinus 5 Pinus Pemalang ,40 Jati Jati 6 20 Balapulang ,13 Jati Jati 0 Keterangan : 1 Pinus merkusii oocarpa Jumlah ,87 Jumlah 48 2 Agathis alba 3 Tectona grandis 4 Swietenia macrophylla 5 Pinus 2 70

95 Tabel 4.2. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut unit areal pengelolaan hutan terkecil, satuan ekosistem, ketinggian tempat, kelas lereng dan tipe curah hujan di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah KPH Unit areal manajemen hutan terkecil 1 Satuan Ekosistem Kompak 2 Ketinggian dpl (m) 5 Kelas Lereng (%) 3 Tipe Curah Hujan 4 Banyumas Timur 1. RPH Mandirancan RPH Mandirancan RPH RPH Kebasen* Kebasen (kecil terisolasi) 25-40% A 2. RPH Tunjungmuli * Gunung Slamet % A Banyumas Barat 3. RPH Pesahangan* RPH Majenang-RPH % B 4. RPH Mejenang* Pesahangan-RPH Dayeuhluhur % B 5. RPH Cimanggu* RPH Cimanggu (kecil terisolasi) 0-8% B 6. Cagar Alam Pulau Nusakambangan Nusakambangan* (kecil terisolasi) 0-8% B Kedu Selatan 7. RPH Pringombo* BKPH Banjarnegara % B 8. RPH Karangsambung BKPH Kebumen % B Kedu Utara 9. RPH Kwadungan Gunung Sindoro > 40% C 10. RPH Kemloko - RPH Gunung Sumbing Kecepit 25-40% C 11. RPH Gempol Gununug Ungaran % C 12. Taman Nasional Gunung Merapi Merapi 25-40% C 13. Taman Nasional Gunung Merbabu Merbabu* 25-40% C 14. RPH Kenjuran Gunung Prahu > 40% C Surakarta 15. BKPH Lawu Utara - Gunung Lawu BKPH Lawu Selatan 15-25% D Telawa 16. RPH Karangwinong* BH Karangsono % C & D Purwodadi 17. BKPH Sambirejo* BKPH Sambirejo % C Randublatung 18. RPH Soko* BH Ngliron % C & D Cepu 19. RPH Cabak BKPH Cabak % C & D Kebonharjo 20. BKPH Ngandang- BKPH Ngandang- Sale BKPH Sale* 0-8% C Pati 21. Bagian Hutan Muria Gunung Muria % A, C, D & E Kendal 22. RPH Darupono* BKPH Boja- Mangkang Kalibodri 0-8% C & D 23. RPH Besokor* RPH Besokor (kecil terisolasi) 8-15% C & D 24. RPH Jatisari Utara* BKPH Subah- Plelen (terfragmentasi jalan provinsi) 0-8% C & D Pekalongan Timur 25. RPH Brondong* Bagian Hutan Paninggaran % D 26. RPH Pedagung* Bagian Hutan Bandar % D 27. RPH Paninggaran* % A & B 28. RPHWinduaji* % A & B 29. RPH Jolotigo* % D 30. RPH Lemah Abang % D Pekalongan Barat 31. RPH Winduasri* Bagian Hutan > 40% D 32. RPH Indrajaya Bantarkawung % B 33. RPH Cikuning* % D 71

96 Wilayah KPH Unit areal manajemen hutan terkecil 1 Satuan Ekosistem Kompak 2 Ketinggian dpl (m) 5 Kelas Lereng (%) 3 Tipe Curah Hujan RPH Kretek* Hutan tanaman BH % B 35. RPH Sirampok* Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet 15-25% B 36. RPH Kalikidang* Hutan tanaman BH % B 37. RPH Igiriklanceng* Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet 15-25% B 38. RPH Dukuh Tengah* Hutan tanaman BH Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet 25-40% B 39. RPH Guci * Hutan tanaman BH % B 40. RPH Karangsari* Bumijawa dan hutan alam Gunung Slamet 0-8% B 41. RPH Kalibakung* RPH Kalibakung (kecil terisolasi) 8-15% B 42. RPH Moga* RPH Moga (kecil terisolasi) > 40% B Pemalang 43. RPH Cipero RPH Bagian Hutan Dukuhrandu* Bantarbolang-Jatinegara- 0-8% A & B 44. RPH Mangunsari* Comal % A & B 45. RPH Kenyere* % A & B 46. RPH Lobongkok % A & B 47. RPH Kejene* % A & B 48. RPH Karangasem* > 40% A & B Keterangan: 1 Satuan areal terkecil yang dapat diidentifikasi sebagai habitat macan tutul Jawa (Smallest unit area that can be identified as habitat of Javan leopard) 2 Unit area hutan yang masih menyambung atau kompak menjadi kesatuan ekosistem integral (Unit of forested area that have continuity or compactness so can be defined as unity of an integrated ecosystem). 3 Kelas lereng di lokasi indikasi keberadaan macan tutul berdasarkan overlay antara peta sebaran indikasi macan tutul dengan peta topografi yang telah diklasifikasi. Klasifikasi lereng berdasarkan: KepMentan No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung Sangat Curam (40 % atau lebih); Curam (25 40 %); Agak Curam (15 25 %); Landai (8 15 %); Datar (0 8 % ) 4 Tipe curah hujan menurut Schmidt dan Ferguson. 5. Hasil pengukuran menggu nakan altimeter pada saat survei lapangan untuk lokasi yang disurvei; berdasarkan peta topografi masng-masing KPH untuk titik indikasi macan tutul yang tidak disurvei. * Berdasrkan survei lapangan. (36 lokasi) Peta indikasi sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah yang diplotkan pada peta kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah disajikan pada Gambar 4.1. Label nomor titik-titik sebaran macan tutul jawa mengacu pada Tabel 4.2 dan titik-titik sebaran macan tutul jawa yang punah mengacu pada Tabel

97 Data indikasi tahun 2009 diplotkan ke peta tutupan lahan tahun 2006 pada kawasan hutan Label nomor titik indikasi sebaran mengacu pada Tabel 4.2 dan indikasi punah lokal Tabel 4.7. Gambar 4.1. Peta indikasi sebaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah tahun

98 Penyebaran Menurut Tipe Hutan Di Provinsi Jawa Tengah, hutan tanaman jati memiliki proporsi luas paling besar yaitu mencakup 55,3% dari total kawasan hutan, diikuti hutan tanaman pinus 36,3%, Hutan alam pegunungan 6,1%, hutan tanaman campuran 1,5% dan hutan alam dataran rendah 0,7% (Perum Perhutani, 2006). Meskipun demikian, dari 48 titik lokasi indikasi sebaran macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan pinus (43,8%) diikuti hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.2. Table 4.3. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah. No. Tipe Hutan Luas (Ha) Persentase Jumlah Lokasi Macan tutul Persentase 1 Tanaman Campuran ,1 1,57 4 8,33 2 Tanaman Jati ,2 55, ,08 3 Tanaman Pinus ,6 36, ,75 4 Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 6,25 5 Hutan Alam Pegunungan ,6 6, ,58 Jumlah ,6 100, ,00 Keterangan: Campuran dari dua atau lebih jenis-jenis : Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain. Gambar 4.2. Lokasi sebaran populasi macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di lima tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah. 74

99 Hutan produksi tanaman pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries dan Pinus oocarpa Schiede ex Schltdl.) tersebar di tujuh wilayah KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah seperti dapat dilihat pada Tabel 4.4. Luas keseluruhan hutan pinus di Provinsi Jawa Tengah adalah ,41 Ha, namun yang masih dikelola oleh Perum Perhutani Ha, sedangkan selebihnya telah diserahkan menjadi Taman Nasional Gunung Merbabu dan Taman Nasional Gunung Merapi. Dari seluruh hutan pinus yang ada di Provinsi Jawa Tengah, sebagian besar merupakan hutan produksi (74,58%) dan 20,81% merupakan hutan lindung, sementara sisanya merupakan bagian dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (4,62%) (Perum Perhutani, 2006). Tabel 4.4. Luas, sebaran dan fungsi kawasan hutan tanaman pinus (Pinus spp.) di Provinsi Jawa Tengah. KPH Luas Hutan Ha Hutan Pinus Fungsi Produksi 1 Lindung 2 Konservasi 3 Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Surakarta , , ,10 31, ,00 68,96 0,00 0,00 Pekalongan Timur Pekalongan Barat Banyumas Barat Banyumas Timur , , ,50 90, ,80 9,07 10,10 0, , , ,55 73, ,11 26,44 55,70 0, , , ,00 99,80 79,30 0,20 0,00 0, , , ,20 64, ,90 35,83 0,00 0,00 Kedu Selatan , , ,80 85, ,20 14,14 0,00 0,00 Kedu Utara , , ,80 55, ,20 44,70 0,00 0,00 Jumlah , , ,95 76, ,51 23,77 65,80 0,03 Sumber : Perum Perhutani. (2006). Keterangan : 1) Termasuk tanaman yang tidak produktif tetapi peruntukannya produksi. 2) Termasuk alur, tetapi tidak termasuk hutan lindung terbatas. 3) Yang sudah menjadi bagian TN. Gunung Merapi dan TN. Gunung Merbabu, dikeluarkan dari wilayah kerja Perum Perhutani. Sebagian besar hutan pinus tersebar di daerah yang memiliki ketinggian di atas 500 m dpl dengan iklim yang relatif basah yaitu berdasarkan tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A atau B. Ada sebagian kecil hutan pinus terletak di ketinggian kurang dari 500 m dpl yaitu di RPH Mandirancan-RPH Kebasen (KPH Banyumas Timur) dan RPH Cimanggu (KPH Banyumas Barat). Sebagian besar (lebih dari 50%) kawasan hutan pinus memiliki topografi bergelombang (15-25%) sampai curam (> 40%) (Tabel 4.5). 75

100 Tabel 4.5. Ketinggian, iklim dan topografi habitat macan tutul jawa di lansekap hutan pinus. KPH Lokasi Macan Tutul Ketinggian m dpl 1. Banyumas Timur RPH Mandirancan RPH Kebasen RPH Tunjungmuli Tipe Curah Hujan Dominan Dominasi topografi wilayah * A 79,65 % agak curam sampai sangat curam 2. Banyumas Barat RPH Pesahangan B 48,62 % agak curam RPH Mejenang sampai sangat curam RPH Cimanggu Kedu Selatan RPH Pringombo B 83,6% agak curam sampai RPH Karangsambung sangat curam 4. Kedu Utara RPH Kwadungan A dan B 93,84% agak curam RPH Kemloko - RPH sampai sangat curam Kecepit RPH Gempol Taman Nasional Merapi Taman Nasional Merbabu RPH Kenjuran Surakarta BKPH Lawu Utara - BKPH Lawu Selatan A 68,36 % agak curam sampai sangat curam 6. Pekalongan Timur RPH Brondong A dan B 68 % agak curam sampai RPH Pedagung sangat curam RPH Paninggaran RPHWinduaji RPH Jolotigo RPH Lemah Abang Pekalongan Barat RPH Winduasri B 85,2 % agak curam RPH Indrajaya sampai sangat curam RPH Cikuning RPH Kretek RPH Sirampok RPH Kalikidang RPH Igiriklanceng RPH Dukuh Tengah RPH Guci RPH Karangsari RPH Kalibakung RPH Moga

101 Menurut Chundawat (1990), salah satu karakteristik habitat yang disukai macan tutul adalah topografi yang curam dengan lereng-lereng yang lebih dari 40% dan patahan tebing. Sementara dataran yang dihuni macan tutul umumnya merupakan dataran di puncak atau punggung bukit yang dekat dengan patahan tebing. Chundawat (1990) mendapati dari 52 lokasi macan tutul salju (Panthera uncia) di Hemis National Park, India, 40% berlereng curam, bahkan dari 52 lokasi tersebut, 57% berada patahan tebing dan 32% berada di dekat patahan tebing. Prefernsi terhadap tempat berlereng curam tampaknya juga dimiliki oleh macan tutul jawa. Berdasarkan Tabel 4.5 terlihat bahwa dari tujuh KPH kelas perusahaan pinus yang menjadi sebaran macan tutul jawa (Banyumas Timur, Banyumas Barat, Kedu Selatan, Kedu Utara, Surakarta, Pekalongan Timur, Pekalongan Barat), enam di antaranya memiliki wilayah dominan (>65%) dengan topografi bergelombang sampai curam. Sementara hanya satu KPH (Banyumas Barat) 48,62 % wilayahnya memiliki topografi bergelombang sampai curam Perkiraan Populasi Macan Tutul Jawa Dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan populasi melalui sensus, tetapi pendugaan populasi dilakukan berdasarkan pendekatan-pendekatan yang ditujukan hanya untuk memberi gambaran umum kelimpahan dan sebaran relatif populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Pendugaan jumlah individu pada setiap populasi dilakukan berdasarkan metode sebagaimana diuraikan pada sub bab Berdasarkan metode tersebut diperoleh perkiraan populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah total terendah 234 ekor dan tertinggi 383 ekor (Lampiran 2). Populasi tertinggi terdapat di KPH Pekalongan Barat, diikuti Pekalongan Timur dan Kedu Utara (Gambar 4.3). KPH Pekalongan Barat dan KPH Pekalongan Tmur merupakan kelas perusahaan pinus, sedangkan KPH Kedu Utara merupakan kelas perusahaan pinus dan kayu rimba (mahoni, damar dan puspa). 77

102 Gambar 4.3. Perkiraan populasi macan tutul jawa di 15 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Berdasarkan tutupan vegertasi hutan yang dominan, 77,8% populasi macan tutul jawa tersebar di kelas perusahaan pinus dan sisanya 22,2% tersebar di kelas perusahaan jati (Gambar 4.4). Hal ini dapat menjadi indikasi awal bahwa lansekap hutan pinus memiliki kesesuaian habitat lebih tinggi bagi macan tutul jawa dibandingkan lansekap hutan jati. Dengan perkataan lain hutan tanaman pinus memiliki peranan penting bagi kelestarian macan tutul jawa. Dengan menggunakan formula 3.1a dan formula 3.1b dapat dihitung perkiraan jumlah individu macan tutul jawa pada setiap patch habitat macan tutul jawa berdasarkan model pemanfaatan habitat (Lampiran 2). Dari perhitungan tersebut diperoleh jumlah minimal macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah adalah 240 ekor dan maksimal 400 ekor. Perkiraan jumlah minimal hasil inventarisasi dan hasil perhitungan berdasarkan model pemanfaatan tidak berbeda secara signifikan (t hitung = - 2,1149 < t( 0,05;76 ). Perkiraan jumlah maksimal hasil inventarisasi dan hasil perhitungan berdasarkan model pemanfaatan juga tidak berbeda secara signifikan (t hitung = < t( 0,05;76 ). 78

103 Gambar 4.4. Taksiran minimum dan maksimumm sebaran populasi macan tutul jawa menurut kelas perusahaan KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah berdasarkan hasil inventarisasi. Perkiraan kepadatan populasi macan tutul jawa di Jawa Tengah berdasarkan hasil inventarisasi dan pendekatan model kesesuaian habitat disajikan pada tabel Dari Tabel 4.6 tampak bahwa kepadatan populasi macan tutul di ketinggiann > 500 m dpl hampir dua kali dari kepadatan di daerah dengan ketinggian m dpl. Hal ini juga memperkuat bukti bahwa macan tutul lebih menyukai daerah dengan ketinggian > 500 dpl. Preferensi ini diduga karena faktor keamanan habitat dan ketersediaan mangsa yang lebih baik daripada di daerah dengan ketinggian m dpl. Tabel 4.6. Kepadatan populasi macan tutul jawa menurut ketinggian di Provinsi Jawa tengah. Kepadatan Populasi (Individu per Km 2 ) Metode Penghitungan Ketinggian m dpl Ketinggian >500 m dpl 1. Inventarisasii Minimum Maksimum Model Kesesuaian Habitat Minimum Maksimum

104 Populasi yang Mengalami Kepunahan Lokal Jika dibandingkan dengan sebaran populasi macan tutul jawa pada tahun sebelumnya yang diperoleh dari berbagai sumber literatur, maka ada beberapa lokasi yang sekarang tidak lagi menjadi sebarannya. Ada 15 lokasi macan tutul jawa di Jawa Tengah dan dua lokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diperkirakan telah kehilangan populasinya. Jumlah tersebut cukup signifikan jika dibandingkan dengan lokasi macan tutul jawa yang masih ada saat ini (48 lokasi). Hal ini berarti populasi macan tutul jawa yang diduga telah mengalami kepunahan lokal sekitar 26% dalam kurun waktu sekitar 20 tahun. Lokasi-lokasi sebaran populasi macan tutul jawa yang telah punah secara lokal disajikan pada Tabel 4.7. Kepunahan lokal macan tutul jawa di sebagian besar lokasi terjadi setelah tahun Hal ini diduga ada kaitannya dengan degradasi hutan di Jawa yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun yang menghasilkan euforia berlebihan dalam bentuk penebangan liar dan perambahan hutan untuk bercocok tanam secara besarbesaran. Dari 17 lokasi populasi macan tutul jawa yang punah lokal, 16 diantaranya (94%) merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, hanya satu lokasi merupakan kawasan hutan cagar alam, yaitu Cagar Alam Gunung Clering (1.328,4 ha). Empat belas lokasi (82%) merupakan hutan tanaman jati, dua lokasi (12%) hutan tanaman pinus dan satu lokasi (6%) merupakan hutan alam dataran rendah. Kawasan hutan produksi dengan tanaman jati tampaknya lebih rentan terhadap perambahan yang mengancam keberadaan macan tutul jawa. Hal ini diduga karena: 1. Hutan jati umumnya ada di daerah dataran rendah dengan topografi relatif datar dan landai sehingga menarik untuk bercocok tanam apalagi lokasinya yang dekat dengan pemukiman dan akses jalannya mudah. 2. Kayu jati bernilai ekonomis tinggi dengan akses jalan sampai ke pasar yang sangat mudah (jaringan jalan perhutani terhubung dengan jalan umum). 3. Kegiatan tumpangsari atau PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) secara ekstensif sebagai respon atas krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan berkurangnya ruang habitat satwa mangsa dan meningkatnya intensitas aktivitas manusia yang mengganggu satwaliar, khususnya macan tutul jawa. 80

105 Tabel 4.7. Lokasi yang pernah dilaporkan ada populasi macan tutul jawa tetapi sekarang telah mengalami kepunahan lokal. Lokasi/Wilayah 1. KPH Blora RPH Krocok, BKPH Ngapus, KPH Blora 2. RPH Segorogunung, BKPH Segorogunung, KPH Gundih BKPH Monggot dan BKPH Panunggalan, KPH Gundih 3. Gunung Lasem, KPH Mantingan Tipe Hutan Fungsi Kawasan Kelas Ketinggian (m dpl) Kelas Lereng (%) Perkiraan punah Sumber Informasi Jati HP % 2002* Wakil KKPH/KSKPH Blora (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988) Jati HP % 2006* KSS Perencanaan KPH Gundih (Pers. Comm., 2009) Gunawan (1988) Jati HP % 2003* Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009) 4. BKPH Barisan, KPH Pati Jati HP % Akhir 1990an 5. RPH Pasedan, BKPH Medang, RPH Mantingan 6. Gunung Surojoyo, RPH Ngiri, KPH Mantingan 7. KPH Semarang Resort KSDA Manggal; Gunung Pati; Ngalian (Tugu) 8. Resort KSDA Gunung Clering, Pati Barat Gunawan (1988) Jati HP % 2002 Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009) Jati HP % 2002 Wakil KKPH Mantingan (Pers. Comm., 2009) Jati HP % Akhir an Hoogerwerf (1970) Gunawan (1988) Alam Cagar Alam > 40% 2000 an Gunawan (1988) 9. BH Sragen, KPH Telawa Jati HP % Direktorat Jenderal PHPA (1987) 10. RPH Pagersari, BKPH Baturetno (Kab. Wonogiri), KPH Surakarta Jati HP % BKSDA (pers comm 2008) 11. Notog (RPH Sidamulih), BKPH Kebasen, KPH Banyumas Timur 12. BKPH Jatilawang, KPH Banyumas Timur 13. Karangkobar, KPH Banyumas Timur 14. Kulonprogo, KPH Kedu Selatan Kokap, Kuonprogo, Dishut DIY** 15. RPH Bruno, BKPH Purwareja, KPH Kedu Selatan Jati HP % 2000 Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988) Pinus HP % 2000 Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988) Pinus HP % * Jati Jati HP % Akhir 1990an KBKPH Banjarnegara (Pers. Comm, 2009) Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988) Jati HP % KSS Perencanaan KPH Kedu Selatan (Pers. Comm, 2009) 16. KPH Balapulang Jati HP % 2000 Kasi PSDAH KPH Balapulang (Pers. Comm., 2009); Gunawan (1988) 17. RPH Gubug rubuh, RPH Giring (BDH Playen); RPH Candi (BDH Karangmojo); RPH Kedungmangu (BDH Paliyan) Gunung Kidul, Dinas Kehutanan DIY** Campuran HP % 2000* Direktorat Jenderal PHPA (1987); Gunawan (1988) Keterangan : *) Temuan terakhir berdasarkan informasi Didik Raharyono, Ketua LSM Peduli Karnivora Jawa **) No. 14 dan 17 masuk wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 81

106 Sementara itu, hutan pinus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan hutan jati dalam hal keamanan dari gangguan aktivitas manusia, yaitu antara lain: 1. Umumnya hutan pinus ada di daerah dataran tinggi atau mendekati pegunungan dengan topografi relatif lebih berat, jauh dari pemukiman dan akses jalan lebih rendah sehingga kurang menarik untuk lahan pertanian. 2. Sifat alelopati tegakan pinus dan sifat asam tanahnya membuat kurang disenangi untuk kegiatan tumpangsari. 3. Getahnya disadap setiap hari oleh masyarakat sehingga ketergantungan masyarakat pada keutuhan hutan sangat tinggi dan masyarakat merasa perlu ikut menjaga. 4. Kayu pinus bernilai ekonomis rendah dan akses jalan sampai ke pasar lebih sulit (umumnya jalan setapak untuk patroli dan jauh dari jalan umum). Dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67% berada di daerah dengan ketinggian m dpl dan 46,67% memiliki topografi datar (Gambar 4.5 A dan B). Hal ini sejalan dengan dugaan bahwa kepunahan macan tutul jawa di suatu lokasi berkaitan erat dengan faktor keamanan (tekanan dari penduduk) di sekitar hutan. Gambar 4.5. Proporsi sebaran macan tutul jawa yang punah lokal menurut ketinggian tempat (A) dan kelas lereng (B). Secara statistik hubungan kondisi topografi terhadap kepunahan lokal macan tutul jawa tidak signifikan. Dari Tabel 4.8. diperoleh nilai χ 2 hitung = 5,1368 lebih rendah 82

107 daripada χ 2 (0,05;4), sehingga keputusannya menerima Ho dengan kesimpulan tidak ada hubungan antara kondisi topografi dengan kepunahan lokal macan tutul jawa. Hubungan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal macan tutul jawa adalah signifikan karena χ 2 hitung (= 7,2367) lebih besar daripada χ 2 (0,05;2). Perhitungan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.8. Hubungan ketinggian dengan kepunahan lokal diduga tidak terkait dengan kesesuaian ekologis tetapi berhubungan dengan faktor keamanan. Ada kecenderungan bahwa di satu sisi semakin tinggi tempat, pemukiman semakin jarang di sisi lainnya semakin tinggi tempat kawasan hutan semakin terlindungi karena banyak yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Tabel 4.8. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor topografi dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Kelas Lereng Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Harapan 1 Observasi Harapan 1 Observasi Sangat curam > 40% 5 4, , Curam 25-40% 15 12, , Agak curam 15-25% 4 5, , Landai 8-15% 3 4, , Datar 0-8% 21 21, , Jumlah Observasi Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ 2 hitung = 5,1368 < χ 2 (0,05;4) Tabel 4.9. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Ketinggian Tempat Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Harapan 1 Observasi Harapan 1 Observasi < 500 dpl 25 28, , m dpl 8 8, , > 1000 m dpl 15 11, , Jumlah Observasi Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ 2 hitung = 7,2367 > χ 2 (0,05;2) Sementara faktor tipe hutan (vegetasi) juga berhubungan signifikan dengan kepunahan lokal macan tutul jawa (χ 2 hitung = 13,8646 lebih besar daripada χ 2 (0,05;4). Sebagian besar (76,47%) lokasi kepunahan lokal macan tutul jawa merupakan hutan 83

108 tanaman jati. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Secara ekologis macan tutul dapat hidup di berbagai tipe vegetasi hutan. Hubungan tipe vegetasi hutan dengan kepunahan lokal macan tutul jawa diduga bekerja pada mekanisme pengelolaannya. Sebagai contoh, hutan jati sebagai tipe vegetasi hutan yan paling banyak kehilangan populasi macan tutul jawa dikelola dengan sistem tebang habis dan dalam pemeliharaannya ada kegiatan penjarangan serta tumpangsari. Sistem silvikultur tersebut sangat mempengaruhi keamanan habitat macan tutul jawa, karena dapat berdampak pada pengurangan atau penghilangan habitat, fragmentasi habitat dan penurunan kualitas habitat (seperti menurunnya jumlah mangsa dan kualitas pelindung). Tabel Tabel kontingensi uji kebebasan faktor tipe hutan (vegetasi) dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa. Tipe Hutan Populasi Bertahan Populasi Punah Lokal Jumlah Observasi Harapan 1 Observasi Harapan 1 Observasi Tanaman Jati 13 19, , Tanaman Pinus 21 16, , Tanaman Campuran 4 3, , Hutan Dataran rendah 3 2, , Hutan Pegunungan 7 5, , Jumlah Observasi Keterangan: 1 Dihitung menggunakan Formula 3.13 Dengan menggunakan Formula 3.14 diperoleh nilai χ 2 hitung = 13,8646 > χ 2 (0,05;4) Kepunahan lokal macan tutul jawa di beberapa lokasi diduga kuat banyak dipengaruhi oleh faktor keamanan habitat dan isolasi habitat. Dari Gambar 4.1. tampak bahwa dari 17 lokasi macan tutul jawa yang punah, tujuh (41,28%) diantaranya merupakan populasi yang terisolasi yaitu populasi-populasi di Gunung Clering, Gunung Lasem, Pasedan, Notog, Jatilawang, Gunung Kidul dan Kulonprogo. Sementara 10 lokasi (28,82%) diduga disebabkan oleh faktor keamanan habitat. Perambahan yang ekstensif sejak tahun 2000 diduga menyebabkan hilangnya vegetasi hutan yang penting sebagai tempat berlindung yang aman bagi macan tutul jawa Seleksi Habitat Terkait dengan proporsi sebaran macan tutul jawa di berbagai tipe hutan, diduga macan tutul melakukan seleksi dalam menempati habitatnya. Untuk itu perlu dilakukan uji Chi Square (χ 2 ) dengan hipotesis null (Ho): macan tutul jawa tidak melakukan 84

109 seleksi terhadap habitat yang ditempatinya. Kaidah keputusannya menolak Ho apabila nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel yang berarti macan tutul menyeleksi tipe hutan tertentu sebagai habitatnya. Untuk itu, dari Tabel 4.3 diturunkan perhitungan sebagaimana Tabel Berdasarakan perhitungan pada Tabel 4.11 diperoleh nilai χ 2 hitung = 47,98. Karena nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 (0,05; 4) maka H o ditolak dan kesimpulannya macan tutul jawa menyeleksi habitatnya. Dengan perkataan lain, tipe hutan merupakan faktor yang berpengaruh bagi macan tutul jawa, oleh karena itu dalam pembuatan model kesesuaian habitat, tipe hutan termasuk sebagai faktor penyusun model. Untuk mengetahui tipe hutan yang paling disukai oleh macan tutul jawa maka dilakukan penghitungan indeks seleksi Neu sebagaimana disajikan pada Tabel Dari Tabel 4.12 tampak bahwa hutan alam dataran rendah memiliki nilai indeks seleksi tertinggi (w = 8,5560) diikuti oleh hutan tanaman campuran (w = 5,8911), hutan alam pegunungan (w = 2,9795) dan hutan tanaman pinus (w = 1,1758). Hutan jati walaupun memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak disukai oleh macan tutul jawa karena nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w = 0,4769). Tabel Rekapitulasi perhitungan χ 2 untuk uji signifikansi seleksi tipe hutan oleh macan tutul jawa. Tipe Hutan Luas (Ha) % Frekuensi Observasi (Oi) Frekuensi Harapan (Ei) (Oi-Ei) 2 /Ei Tanaman Campuran ,1 1,57 4 0,75 14,04 Tanaman Jati ,2 55, ,56 6,92 Tanaman Pinus ,6 36, ,40 0,74 Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 0,75 20,68 Hutan Alam Pegunungan ,6 6,13 7 2,94 5,59 Jumlah ,6 100, ,00 47,98 Keterangan: 1 Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain. Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 3 x jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 47,98 > χ 2 (0.05;4) 85

110 Tabel Indeks seleksi Neu untuk habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Tipe Hutan Ketersediaan Hutan Lokasi Macan Tutul Indeks Luas Proporsi Tercatat Proporsi Seleksi Terstandar (Ha) (a) (r) (w) Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 0,71 3 6,25 8,7810 0,4831 Hutan Tanaman Campuran 1) 9.633,1 1,57 4 8,33 5,3223 0,2928 Hutan Alam Pegunungan ,6 6, ,58 2,3783 0,1308 Tanaman Pinus ,6 36, ,75 1,2068 0,0664 Tanaman Jati ,2 55, ,08 0,4894 0,0269 Jumlah ,6 100, ,00 18,1778 1,0000 Keterangan : 1 Campuran dari dua atau lebih jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain Karaketristik Habitat Luas Ruang (Space) Habitat Empat puluh delapan titik indikasi macan tutul jawa tersebar di 30 patches habitat dengan luasan terkecil 619,90 ha yaitu patch hutan Kalibakung, KPH Pekalongan Barat dan terbesar ,30 ha yang merupakan lansekap hutan Brondong- Pedagung-Paninggaran di KPH Pekalongan Timur. Rata-rata luas patches yang dihuni macan tutul jawa adalah 8.008,96 ha. Luas total patches hutan di Provinsi Jawa tengah yang menjadi habitat macan tutul jawa adalah ,86 ha atau hanya 39,05% dari total luas hutan yang ada. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu luas patch minimal yang dianggap mampu mendukung kehidupan macan tutul adalah 600 ha tampaknya benar. Hal ini terbukti dari patch hutan yang ditemukan menjadi habitat macan tutul luasnya lebih dari 600 ha Vegetasi Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.2. macan tutul jawa tersebar di berbagai tipe vegetasi hutan di Jawa Tengah, yaitu di hutan pinus (43,8%), hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%). Vegetasi sebagai cover seringkali lebih penting strukturnya daripada jenisnya. Cover biasanya digunakan oleh predator untuk mengintai mangsa, perlindungan terhadap iklim yang ekstrim, mendukung perkembangbiakan, penjelajahan, melarikan 86

111 diri, bersarang dan beristirahat (Bailey, 1984; Shaw, 1985). Struktur vegetasi yang direspon oleh satwa antara lain bentuk vegetasi, kerapatan (Bailey, 1984) dan persentasi penutupan pohon (Palomares, 2001). Macan tutul jawa adalah satwa arboreal, yang berarti mereka banyak melakukan aktivitas di atas pohon seperti makan, tidur dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998). Dengan demikian struktur vegetasi pohon vertikal (strata) dan horisontal (kerapatan) menjadi penting. Untuk mengetahui struktur vertikal dan horisontal vegetasi habitat macan tutul jawa maka dibuat bisect dari suatu jalur contoh (Soerianegara dan Indrawan, 1980), sepanjang m di setiap tipe habitat macan tutul. Diagram profil vegetasi habitat macan tutul jawa disajikan pada Gambar 4.6 sampai m 20m Tinggi (m) Tanaman Tectona grandis umur 40 tahun Di RPH Darupono m 1a 1a 1a 1a 1a 1a 1a 1a 1a 1a 1a 0m Keterangan: 1. Tectona grandis 1a. Anakan alami Tectona grandis 50m Gambar 4.6. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 40 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Daruponon, KPH Kendal. Gambar 4.6 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 40 tahun di RPH Darupono (KPH Kendal) di sekitar Cagar Alam Pagerwunung Darupono yang merupakan habitat tempat berlindung dan beristirahat macan tutul jawa. Tampak pada diagram profil tersebut banyak terdapat anakan jati yang tumbuh secara alami berasal dari biji-biji jati yang jatuh dan tumbuh dengan sendirinya tanpa dipelihara. Tegakan ini telah dijarangi sebanyak sembilan kali sehingga jarak antar pohon berkisar antara 5 10 m dengan kerapatan berkisar antara pohon per hektar. Tumbuhan bawah 87

112 yang dominan antara lain Eupathorium sp., Oplismenus burmanni, Lantana camara Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi rata-rata kurang dari satu meter. Gambar 4.7. menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman jati umur 30 tahun di RPH Jatisari Utara (KPH Kendal) sekitar Cagar Alam Ulolanang. Tegakan hutan jati ini telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan setempat sehinga relatif tidak ada kegiatan pemeliharaan atau penggarapan tumpangsari. Di tegakan ini juga terdapat banyak anakan jati yang tumbuh secara alami dari biji-biji yang jatuh. Tegakan ini telah mengalami penjarangan tujuh kali sehingga jarak antar pohon berkisar 4-5 m dan memiliki kerapatan sekitar 783 pohon per hektar. Tumbuhan bawah yang dominan antara lain Eupathorium sp., Ischaemum tomorense, Polytrias praemorsa, Oplismenus burmanni, Lantana camara, Panicum uncinatum dan Carallia lucida dengan tinggi ratarata kurang dari 1,5 meter. Disamping itu juga terdapat rotan (Calamus sp.) dan pandan (Pandanus sp.). 30m 20m Tinggi (m) Tanaman Tectona grandis umur 30 tahun Di RPH Jatisari Utara m 1a 2 1a 1a 1a 1a 1a1a 1a 1a 1a 1a 1a 0m Keterangan : 1. Tectona grandis 1a. Anakan alami Tectona grandis 2. Calamus sp. 3. Pandanus sp. 3 50m Gambar 4.7. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara, KPH Kendal. Gambar 4.8 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman campuran di RPH Besokor, KPH Kendal. Petak hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung karena lerengnya yang terjal dengan tebing-tebing tegak dan berlubang yang diduga sebagai persembunyian macan tutul jawa. Hutan tanaman campuran ini sudah menyerupai hutan alam dengan strata yang beragam dan pohon-pohonnya sudah beregenerasi secara 88

113 alami. Beberapa jenis pohon yang ditanam pada petak hutan ini adalah: Swietenia macrophylla, Lagerstroemia speciosa, Cassia siamea, Dracontomelon dao, Pithecelobium jiringa, Pterospermum javanicum dan Spondias pinnata. Beberapa jenis pohon yang tumbuh secara alami antara lain: Garcinia dulcis, Macaranga tanaria, Gluta renghas, Artocarpus elasticus, Ficus altiissima dan Ficus variegata. Tumbuhan bawah pada petak ini sangat rapat dan tingginya mencapai 2 meter atau lebih sehingga sangat cocok menjadi tempat perlindungan dan persembunyian macan tutul jawa. 30m Tinggi (m) 20m 10m 0m Keterangan: 1. Spondias pinnata 7. Pithecelobium jiringa 13. Swietenia macrophylla 2. Ficus variegata 8. Garcinia dulcis 14. Lagerstroemia speciosa 3. Pterocymbium javanicum 9. Butea monosperma 15. Cassia siamea 4. Ficus altiissima 10. Macaranga tanaria 16. Sterculia longifolia 5. Neonauclea obtusa 11. Pterospermum javanicum 17. Dracontomelon dao 6. Artocarpus elasticus 12. Gluta renhas. 100m Gambar 4.8. Diagram profil hutan tanaman campuran habitat macan tutul di RPH Besokor, KPH Kendal. Gambar 4.9 menggambarkan profil vegetasi hutan alam Cagar Alam Pagerwunung di RPH Darupono, KPH Kendal. Vegetasi ini merupakan vegetasi alami dengan jenis-jenis pohon hutan alam dataran rendah. Cagar Alam Pagerwunung diperuntukan bagi konservasi pohon jati alam, namun vegetasi di dalamnya lebih banyak didominasi oleh jenis-jenis selain jati. Vegetasi di cagar alam ini memiliki strata tajuk yang lengkap seperti halnya hutan tropis dataran rendah (5 strata). Beberapa jenis pohon raksasa di hutan ini antara lain: Lithocarpus elegans, Tectona grandis, Artocarpus elastica, Pterospermum javanicum, Toona sureni, Tetrameles nudiflora dan Ficus benjamina. Pada strata di bawahnya antara lain Baccaurea rcemosa, Pithecelobium jiringa, Vitex pubescens, Azedarachta indica dan Cinnamomum sintoc. 89

114 Jenis-jenis pohon kecil (tingkat pancang) antara lain: Eugenia densiflora, Streblus asper, Protium javanicum, Leea indica, Phyllanthus emblica dan Eriglossum rubiginosum. Tumbuhan bawah di cagar alam ini cukup rapat sehingga cocok sebagai tempat bersembunyi atau berlindung macan tutul jawa.. 30m 20m 10m 0m Tinggi (m) Keterangan: 1. Eugenia densiflora 8. Streblus asper 15. Tetrameles nudiflora 22. Azedarachta indica 2. Dracontomelon dao 9. Eriglossum rubiginosim 16. Toona sureni 23. Pterospermum javanicum 3. Garcinia dulcis 10. Leea indica 17. Tectona grandis 24. Cinnamomum iners 6. Protium javanicum 11. Schleichera oleosa 18. Vitex pubescens 25. Actinophora buurmani 4. Lithocarpus elegans 12. Lagerstremia speciosa 19. Artocarpus elastica 26. Calamus sp 5. Ficus benjamina 13. Arenga pinnata 20. Phyllanthus emblica 7. Baccaurea rcemosa 14. Pithecelobium jiringa 21. Cinnamomum sintoc. Gambar 4.9. Diagram profil hutan alam dataran rendah sekunder habitat macan tutul jawa di Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal m Gambar 4.10 menggambarkan profil vegetasi hutan tanaman pinus (Pinus merkusii) berumur 33 tahun yang ditetapkan sebagai hutan lindung di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur. Hutan lindung ini merupakan habitat macan tutul jawa yang tersisa di fragment hutan yang terisolasi. Pada tegakan pinus ini juga terdapat beberapa pohon jati tanaman. Tumbuhan bawah tegakan pinus di RPH Mandicarancan ini relatif jarang, namun banyak dijumpai perdu jenis Ficus spp dan rotan (Calamus sp.). Gambar 4.11 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalonga Barat. Pohon-pohon pinus tersebut memiliki jarak antar pohon sekitar 4-5 m dan masih disadap getahnya. Hutan tanaman pinus ini terletak pada ketinggian sampai m dpl dan berbatasan langsung dengan hutan alam pegunungan Gunung Slamet yang merupkan 90

115 hutan lindung.. Hutan pinus di RPH Dukuh Tengah memiliki tumbuhan bawah yang relatif rapat dengan tinggi sampai 1,5 meter. Berbeda dengan Pinus merkusii, Pinus oocarpa relatif lebih tinggi. 30m Pinus merkusii umur 33 tahun Tinggi (m) 20m 10m m 50m Keterangan: 1. Pinus merkusii 2. Ficus spp. 3. Calamus sp. 4. Tectona grandis Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus merkusii umur 33 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur. 30m Tinggi (m) Pinus oocarpa umur 30 tahun 20m 10m 0m 50m Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Gambar 4.12 menggambarkan diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat. Tegakan pinus ini 91

116 disadap getahnya sehingga terpelihara dengan baik. Tanaman pinus di daerah ini berbatasan langsung dengan hutan lindung yang bervegetasi hutan alam. Vegetasi alami juga terdapat di sepanjang kiri dan kanan sungai. Vegetasi alami tersebut diduga merupakan tempat berlindung dan bersembunyi macan tutul jawa. Tumbuhan bawah di tegakan Pinus oocarpa relatif jarang dengan tinggi sekitar satu meter. Hutan di wilayah RPH Pesahangan berbatasa langsung dengan hutan di wilayah Salem, KPH Pekalongan Barat sehingga merupakan satu bentang lansekap yang tak terpisahkan. 30m Tinggi (m) Pinus oocarpa umur 20 tahun 20m 10m 0m 50m Gambar Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa umur 20 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat. Gambar menggambarkan diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan di Gunung Slamet, di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Vegetasi ini memiliki strata tajuk yang lengkap dan relatif rapat. Tumbuhan bawahnya sangat rapat dengan tinggi mencapai dua meter sehingga sangat cocok sebagai tempat bersembunyi atau berlindung macan tutul jawa. Pohon-pohon raksasa di hutan ini antara lain Podocarpus imbricata, Castanopsis argentea, Glochidion zeylanicum, Quercus blumeana, Sterculia javanica dan Gluta renghas. Tumbuhan bawah yang banyak ditemui adalah pisang hutan (Musa sp.), Pakis tiang (Alsophila glauca) dan rotan (Calamus sp.). Hutan alam Gunung Slamet bersama-sama dengan hutan tanaman Pinus oocarpa di sekitarnya merupakan habitat macan tutul jawa di wilayah RPH Dukuh Tengah. 92

117 30m 20m 10m Tinggi (m) m Keterangan: Alsophila glauca 7. Castanopsis argentea 13. Sterculia javanica 2. Musa sp. 8. Cinnamomum parthenoxylon 14. Schefflera aromatica 3. Ficus fistulosa 9. Glochidion zeylanicum 15. Garcinia dulcis 4. Podocarpus imbricata 10. Mallotus sp. 16. Calamus sp. 5. Laportea ardens 11. Quercus blumeana 17. Gluta renghas 6. Litsea javanica 12. Turpinia sphaerocarpa 70m Gambar Diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan habitat macan tutul jawa di Gunung Slamet, RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat. Perbandingan antara kerapatan tumbuhan bawah di habitat tempat berlindung dan bukan tempat berlindung macan tutul jawa dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.14 tampak bahwa tempat berlindung macan tutul jawa umumnya memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang tinggi yaitu lebih dari individu per hektar. Sementara yang bukan tempat berlindung memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang relatif lebih rendah yaitu kurang dari individu per hektar. Tampaknya kerapatan pohon dan tumbuhan bawah menjadi faktor penting bagi macan tutul jawa dalam pemilihan tempat bersembunyi atau berlindung. Tempat yang memiliki pohon dan tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi umumnya adalah hutan lindung, baik berupa hutan alam maupun hutan tanaman. Hutan tanaman sejenis maupun campuran yang memiliki tumbuhan bawah dengan kerapatan tinggi, sama-sama digunakan sebagai habitat tempat berlindung atau bersembunyi. 93

118 Keterangan Bukan tempat berlindung macan tutul jawa Tempat berlindung macan tutul jawa Gambar Kerapatan tumbuhan bawah di berbagai tipe hutan habitat macan tutul jawa Mangsa a. Keanekaragaman Jenis Mangsa Berdasarkan hasil inventarisasi satwa di enam lokasi contoh ditemukan 21 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa (Tabel 4.13). Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literatur, mangsa utama macan tutul adalah primata dan ungulata maka dari Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa mangsa utama macan tutul jawa yang potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan, kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil. Dengan menggunakan Formula 3.3, Formula 3.5 dan Formula 3.6 maka diperoleh nilai indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H ) dan keseragaman atau evenness (E) serta variance H untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan jati (Tabel 4.14). Untuk mengetahui perbedaan nilai H di antara ketiga lokasi maka dilakukan uji t. Hipotesis (Ho) yang akan diuji adalah tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman jenis (H ) antar lokasi dengan kaidah menerima Ho apabila nilai t hitung kurang dari t tabel pada taraf α = 5%. 94

119 Tabel Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di enam lokasi contoh. No. Jenis Satwa Jumlah individu dijumpai saat inventarisasi (ni) di Lokasi Contoh* A B C D E F 1 Monyet (Macaca fascicularis Raffles, 1821) Lutung (Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812) Owa jawa (Hylobates molloch Audebert, 1798) Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822) Rek-rekan (Presbytis fredericae Sody, 1930) Kukang Jawa (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) Babi hutan (Sus scrofa Linnaeus, 1758) Kijang (Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815) Rusa (Rusa timorensis, Blainville, 1822) Kancil (Tragulus javanicus Osbeck,1765) Lingsang (Prionodon linsang Hardwicke, 1821) Garangan (Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818) Landak (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) Luwak (Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777) Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) Kucing hutan (Prionailurus bengalensis Kerr, 1792) Kelelawar (Pteropus sp.) Cukbo (Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838) Bajing (Callosciurus sp.) Tikus (Rattus rattus Linnaeus, 1758) Tupai (Tupaia sp.) Jumlah total individu (N) Jumlah total jenis (S) *Keterangan: A : Cagar Alam Pagerwunung, Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal B : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran ( m dpl), KPH Kendal C : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara ( m dpl), KPH Kendal D : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet ( m dpl) KPH Pekalongan Barat E : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa ( m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat F : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii ( m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur 95

120 Tabel Rekapitulasi Indeks keanekaragaman jenis (H ) dan indeks keseragaman (E) komunitas mangsa macan tutul di tiga tipe habitat di hutan produksi kelas perusahaan Jati*. No. Lokasi Habitat* Indeks Shannon Keanekaragaman jenis (H ) Keseragaman (E) Variance H 1. Cagar Alam Pagerwunung 2,245 0,792 0, Hutan Lindung Besokor 2,055 0,725 0, Hutan Produksi tanaman jati Jatisari Utara 2,107 0,821 0,01598 *Keterangan: Cagar Alam Pagerwunung : Vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal Hutan Lindung Besokor : Vegetasi tanaman rimba campuran ( m dpl), KPH Kendal Hutan Produksi Jatisari Utara : Vegetasi tanaman jati ( m dpl), KPH Kendal Dengan menggunakan Formula 3.7 dan Formula 3.8 diperoleh nilai t hitung dari pasangan lokasi yang diuji sebagaimana disajikan pada Tabel Berdasarkan uji t antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa yang signifikan antar pasangan lokasi di KPH kelas perusahaan jati yang diperbandingkan. Indeks Shannon untuk keanekaragaman jenis (H ) dan keseragaman (E) serta variance H untuk tiga lokasi contoh di KPH kelas perusahaan pinus disajikan pada Tabel Berdasarkan uji t antar masing-masing lokasi dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa antar pasangan lokasi yang diperbandingkan di KPH kelas perusahaan pinus (Tabel 4.16) Tabel Rekapitulasi indeks keanekaragaman jenis (H ) dan indeks keseragaman (E) mangsa macan tutul di tiga lokasi hutan produksi kelas perusahaan pinus. No. Lokasi Habitat* Indeks Keanekaragaman jenis (H ) Keseragaman (E) Variance H 1. Pekalongan Barat 2,057 0,828 0, Banyumas Barat 1,646 0,792 0, Banyumas Timur 1,834 0,835 0,00734 *Keterangan: KPH Pekalongan Barat : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet ( m dpl) KPH Banyumas Barat : Hutan Produksi dengan tanaman pinus ( m dpl) KPH Banyumas Timur : Hutan Produksi dengan tanaman pinus ( m dpl) 96

121 Berdasarkan pembandingan sembilan kombinasi pasangan lokasi contoh (kelas perusahaan jati dan kelas perusahaan pinus) juga diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan yang signifikan antara semua pasangan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa yang diperbandingkan (Tabel 4.16). Tabel Rekapitulasi uji t pembandingan indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa antar sembilan kombinasi pasangan lokasi. Tipe Habitat Hutan alam dataran rendah 1 Hutan alam pegunungan 2 Hutan Pinus oocarpa 3 Hutan Pinus merkusii 4 Hutan tanaman campuran 5 Hutan alam dataran rendah 1 Hutan alam pegunungan 2 Hutan Pinus oocarpa 3 Hutan Pinus merkusii 4 Hutan tanaman campuran 5 Hutan tanaman jati 6 0,62030 ns 1,51287 ns 1,36320 ns 0,58880 ns 0,43739 ns 1,43974 ns Hutan tanaman jati 6 Keterangan: ns = tidak nyata (not significant) 1 Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal 2 Hutan Lindung RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat 3 RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat 4 RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur 5 Hutan Lindung RPH Besokor, KPH Kendal 6 RPH Jatisari Utara, KPH Kendal 1,78384 ns 0,29433 ns 0,32093 ns -0,66246 ns 1,33567 ns 1,54370 ns 1,32305 ns 1,78783 ns -0,27201 ns Jika masing-masing komunitas satwa mangsa dibandingkan kemiripannya menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Similarity index) seperti pada Formula 3.9, maka diperoleh nilai-nilai indeks kemiripan komunitas sebagaimana disajikan pada Tabel Dalam Tabel 4.17 tersebut tampak bahwa komunitas satwa mangsa di tiga lokasi di dalam kelas perusahaan jati KPH Kendal memiliki indeks kemiripan yang tinggi (0,867 1,000). Demikian juga komunitas satwa mangsa di tiga lokasi dalam kelas perusahaan pinus memiliki indeks kemiripan yang tinggi (0,762 0,824). Perbandingan antar komunitas dari kelas perusahaan yang berbeda menghasilkan nilai indeks kemiripan yang lebih rendah (0,364-0,560). 97

122 Tabel Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas satwa mangsa di enam lokasi contoh habitat macan tutul jawa. Lokasi* Lokasi* A B C D E F A 1,000 0,867 0,552 0,560 0,538 B 0,867 0,552 0,560 0,538 C 0,400 0,381 0,364 D 0,800 0,762 E 0,824 F *Keterangan: A : Cagar Alam Darupono dengan vegetasi hutan dataran rendah sekunder dan jati alam (±50 m dpl), KPH Kendal B : Hutan Lindung Besokor dengan vegetasi tanaman rimba campuran ( m dpl), KPH Kendal C : Hutan Produksi dengan tanaman jati, Jatisari Utara ( m dpl), KPH Kendal D : Hutan Lindung Dukuh Tengah dengan vegetasi hutan hujan pegunungan Gunung Slamet ( m dpl) KPH Pekalongan Barat E : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus oocarpa ( m dpl), RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat F : Hutan Produksi dengan tanaman Pinus merkusii ( m dpl), RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur Nilai indeks kemiripan komunitas yang semakin rendah menunjukan adanya perbedaan yang semakin tinggi dalam struktur jenis-jenis penyusun komunitas tersebut. Meskipun demikian, secara umum semua tipe habitat macan tutul jawa yang diteliti masih memiliki jenis-jenis satwa mangsa utama macan tutul jawa, yaitu primata dan ungulata. b. Klasifikasi Kekayaan Jenis Mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Mengingat bahwa dari segi struktur dan keanekaragaman jenis satwa mangsa di KPH kelas perusahaan jati dan pinus relatif seragam, maka dalam pembuatan pemodelan kesesuaian habitat, faktor satwa mangsa yang dipertimbangkan hanya kekayaan jenis satwa mangsa utama, yaitu primata dan ungulata. Dari data margasatwa Perum Perhutani dan BKSDA Jawa Tengah dibuat rekapitulasi dan klasifikasi kekayaan jenis satwa mangsa menurut wilayah KPH Kekayaan jenis satwa mangsa dikelompokkan menjadi tiga kelas dengan kriteria sebagaimana diuraikan pada Tabel Berdasarkan kriteria pada Tabel diperoleh rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa yang disajikan pada (Tabel 4.19). Terdapat empat KPH yang memiliki kelas kekayaan jenis mangsa tinggi, lima KPH memiliki kekayaan jenis mangsa sedang dan 11 KPH memiliki 98

123 kekayaan jenis satwa mangsa rendah. Kelas keakayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan beberapa faktor lainnya selanjutnya akan digunakan dalam membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa. Tabel Kriteria kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa di wiilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kelas kekayaan jenis mangsa Kriteria 1. Kekayaan Tinggi 6 jenis atau lebih 2. Kekayaan Sedang 4-5 jenis 3. Kekayaan Rendah 3 jenis atau kurang Tabel Rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. No. KPH Jumlah jenis mangsa utama* Ungulata Primata Jumlah Jenis Kategori Kelas Kekayaan 1. Banyumas Barat Tinggi 2. Banyumas Timur Tinggi 3. Pekalongan Timur Tinggi 4. Pekalongan Barat Tinggi 5. Kedu Utara Sedang 6. Kedu Selatan Sedang 7. Semarang Rendah 8. Pemalang Rendah 9. Kendal Sedang 10. Mantingan Rendah 11. Telawa Rendah 12. Surakarta Sedang 13. Gundih Rendah 14. Purwodadi Rendah 15. Pati Rendah 16. Balapulang Rendah 17. Randublatung Rendah 18. Cepu Sedang 19. Blora Rendah 20. Kebonharjo Sedang Keterangan: *) Berdasarkan laporan bulanan margasatwa Perum Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa Tengah 99

124 Sumber Air Hasil evaluasi peta kerja 20 KPH Perum Perhutani dan tutupan lahan hasil interpretasi citra, di 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa memiliki sumber air berupa sungai dan anak sungai yang selalu berair sepanjang tahun. Secara umum ketersediaan air tidak menjadi masalah di habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Secara visual dalam observasi lapangan, tampak bahwa ketersediaan air cenderung lebih melimpah di kawasan hutan kelas perusahaan pinus dibandingkan kelas perusahaan jati. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim dominan di kelas perusahaan pinus adalah iklim basah, menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe curah hujan A dan B. Sementara di kelas perusahaan jati umumnya memiliki ikilim lebih kering yaitu tipe curah hujan C, D dan E. Sumber air lebih penting bagi satwa mangsa macan tutul jawa seperti babi hutan, kijang, kancil, monyet dan lingsang. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tanda-tanda jejak dan feces satwa-satwa tersebut di sekitar sumber air. Karena merupakan tempat berkumpul satwa, maka sumber air juga menjadi tempat mencari mangsa yang mudah bagi macan tutul jawa Iklim Daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah terdiri dari berbagai kondisi iklim. Berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson meliputi tipe A, B, C, D dan E. Untuk keperluan pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa, wilayah 20 KPH Perum Perhutani unit I Jawa tengah dapat diklasifikasikan berdesarkan tipe curah hujan dominannya sebagaimana disajikan pada Tabel Dari Tabel 4.20 tampak bahwa ada tujuh KPH yang memiliki tipe curah hujan dominan A dan B. Ketujuh KPH tersebut merupakan kelas perusahaan pinus, dimana tanaman pinus (Pinus merkusii dan P. oocarpa) menjadi tanaman utama disamping tenaman jenis lain seperti mahoni (Swietenia macrophylla) dan damar (Agathis alba). Sepuluh KPH memiliki tipe curah hujan dominan C dan D, sedangkan tiga KPH memiliki tipe curah hujan D atau E. Iklim tidak berpengaruh langsung pada keberadaan macan tutul jawa, tetapi iklim berpengaruh pada kondisi tumbuhan bawah. Selanjutnya tumbuhan bawah akan mempengaruhi kelimpahan satwa herbivora (Marker and Dickman, 2005) seperti rusa, 100

125 kijang, kancil, babi hutan dan monyet. Satwa herbivora merupakan mangsa macan tutul jawa. Tabel Kelas tipe curah hujan untuk kesesuaian habitat macan tutul Jawa di 20 KPH Perum Perhutani Uni1 I Jawa Tengah. No. KPH Tipe Curah Hujan Dominan Kategori* Skor 1. Banyumas Barat B Tinggi Banyumas Timur A Tinggi Pekalongan Timur A, B Tinggi Pekalongan Barat B Tinggi Kedu Utara A, B Tinggi Kedu Selatan B Tinggi Semarang C dan D Sedang 5 8. Pemalang D Rendah 1 9. Kendal C dan D Sedang Mantingan C dan D Sedang Telawa C dan D Sedang Surakarta A Tinggi Gundih D Rendah Purwodadi C Sedang Pati A, C, D, E Sedang Balapulang D Rendah Randublatung C dan D Sedang Cepu C dan D Sedang Blora C Sedang Kebonharjo C Sedang 5 *) Keterangan : A dan/atau B Kesesuaian Tinggi C dan D Kesesuaian Sedang D dan/atau E Kesesuaian Rendah Diduga ada hubungan antara frekuensi keberadaan macan tutul jawa di suatu wilayah dengan kondisi ikim (tipe curah hujan). Untuk itu perlu dilakkan uji χ 2. Hipotesis null (Ho) yang diuji adalah: tidak ada hubungan antara kehadiran macan tutul jawa di suatu wilayah dengan kondisi iklim. Kaidah keputusannya menolak Ho jika nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan uji χ 2 disajikan pada Tabel

126 Tabel Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara kondisi iklim dengan wilayah sebaran macan tutul jawa. Tipe Curah Hujan Dominan Jumlah KPH Prakiraan Luas (Ha) Proporsi Frekuensi Observasi macan tutul jawa (Oi) Frekuensi Harapan macan tutul jawa (Ei) (Oi-Ei) 2 /Ei AB ,45 0, ,212 CD ,89 0, ,784 D/E ,53 0, ,563 Jumlah ,87 1, ,558 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 6) = kolom 4 x kolom jumlah kolom 5 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 14,558 > χ 2 (0.05;2). Berdasarkan Tabel 4.21 diperoleh nilai χ 2 hitung lebih besar daripada χ 2 tabel sehingga keputusannya menolak Ho dan kesimpulannya ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah. Dalam hal ini tampak bahwa macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim basah (A dan B) (68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%). Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor lingkungan yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap keberadaan satwa mangsa macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora tergantung pada ketersediaan hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan bawah. Kelimpahan tumbuhan bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan setempat Status Fungsi Kawasan Status fungsi kawasan berpengaruh pada intensitas gangguan manusia terhadap kawasan. Kawasan yang berfungsi Hutan Konservasi (HK) seperti taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa relatif lebih aman bagi satwaliar dibandingkan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Hal ini karena dalam pengelolaan hutan konservasi, misalnya taman nasional, tidak diperbolehkan adanya kegiatan yang bersifat eksploitatif, bahkan di zona inti sama sekali tidak boleh ada kegiatan kecuali penelitian (UU No. 5/1990; PP 68/1998). 102

127 Di hutan lindung relatif lebih aman daripada hutan produksi karena di hutan lindung juga ada pembatasan kegiatan pemanfaatan, yaitu hanya diperbolehkan kegiatan yang tidak menebang pohon (PP34/2002). Sementara hutan produksi paling rentan terhadap gangguan manusia, karena ada aktifitas penanaman, pemeliharaan dan penebangan pohon. Di samping itu, sistem pengelolaa hutan produksi dengan program tumpang sari atau PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) membolehkan adanya kegiatan budidaya pertanian di antara tegakan hutan. Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi kesesuaian habitat macan tutul jawa juga ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang mengalami kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya satu yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan hutan tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus (Tabel 4.8). Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58% tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan produksi (Gambar 4.15). Pada penelitian ini tidak ditemukan macan tutul di hutan rakyat. Demikian juga berdasarkan laporan dari Perhutani Unit I dan BKSDA Jawa Tengah tidak ada macan tutul menggunakan habitat hutan rakyat. Hutan Konservasi yang masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam Nusa Kambangan (Barat dan Timur). Hutan konservasi yang tersebar secara mosaik di dalam lansekap hutan produksi, merupakan tempat berlindung dan berkembangbiak yang aman bagi macan tutul jawa. Hal ini seperti yang terjadi di CA Ulolanang dan CA Pagerwunung di KPH Kendal, CA Pringombo di KPH Kedu Selatan, CA Cabak di KPH Cepu dan CA Gunung Butak di KPH Kebonharjo. Dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa, status fungsi kawasan merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan tingkat kerawanan (vulnerability) habitat terhadap gangguan. Hal ini berkaitan dengan intensitas gangguan (disturbance) yang potensial dapat mempengaruhi kesesuaian habitat secara umum (Marker and Dickman, 2005). 103

128 Gambar Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah Topografi Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam. Hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi macan tutul dengan peta topografi yang diklasifikasikan menjadi lima kelas diperoleh sebaran macan tutul jawa menurut kelas lereng sebagaimana disajikan pada Gambar Dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar (43,8%), curam (31,3%) dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai, agak curam dan sangat curam. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kelas lereng dan keberadaan macan tutul jawa maka dilakukan uji χ 2 dengan hipotesis null (Ho) : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi topografi (lereng). Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan χ 2 disajikan pada Tabel

129 Keterangan : Datar = kelerengan 0 8% Curam = kelerengan 25 40% Landai = kelerengan 8-15% Sangat curam = kelerengan > 40% Agak curam = kelerengan 15-25% Gambar Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di Provinsi Jawa Tengah. Tabel Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara kondisi kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas Lereng Luas (Ha) Proporsi Frekuensi Observasi macan tutul jawa (O) Frekuensi Harapan macan tutul jawa (E) (0-E) 2 /E Sangat curam > 40% ,21 0,06 5 2,88 1,56 Curam 25-40% ,61 0, ,36 7,95 Agak curam 15-25% ,80 0,10 4 4,79 0,13 Landai 8-15% ,58 0,06 3 2,97 0,00 Datar 0-8% ,11 0, ,00 2,70 Jumlah ,31 1, Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 12,34 > χ 2 (0.05;4). Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.22 diperoleh nilai χ 2 hitung yang lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Untuk mengetahui kondisi lereng yang paling banyak digunakan maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks neu sebagaimana disajikan pada Tabel

130 Tabel Indeks Neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap kondisi kelerengan habitatnya. Kelas Lereng Availability Proporsi Records Proporsi Indeks Seleksi (a) (r) w Terstandar Curam 25-40% ,61 0, ,31 2,04 0,32 Sangat curam > 40% ,21 0,06 5 0,10 1,74 0,27 Landai 8-15% ,58 0,06 3 0,06 1,01 0,16 Agak curam 15-25% ,80 0,10 4 0,08 0,83 0,13 Datar 0-8% ,11 0, ,44 0,70 0,11 Jumlah , ,32 1,00 Berdasarkan hasil perhitungan indeks seleksi (w) ternyata macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat dengan kondisi lereng curam (w = 2,04) dan sangat curam (w = 1,74). Kondisi datar justru memiliki nilai indeks seleksi kurang dari satu (w = 0,70) yang berarti tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Dengan demikian, benar bahwa macan tutul lebih menyukai kondisi topografi yang berat. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor keamanan habitat, karena pada kondisi toporafi yang berat umumnya tingkat kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan memang kawasan hutan bertoografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Pentingnya faktor topografi juga ditunjukkan pada sub bab dan Gambar 4.16 dimana dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar hutan (tekanan dari penduduk). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa topogrofi kemirinagn lereng ) merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Untuk keperluan pemodelan, kelerengan dikelompokkan ke dalam tiga kelas sebagaimana Tabel

131 Tabel Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas lereng Kategori Kesesuaian Skor Datar Landai 0-15% Rendah 1 Agak curam 15-25% Sedang 5 Curam sangat curam >25% Tinggi Ketinggian Tempat (Altitude) Berdasarkan hasil intersect antara titik-titik lokasi indikasi keberadaan macan tutul dengan peta ketinggian (altitude) di atas permukaan laut (dpl), dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ada di ketinggian m dpl (52,1%) diikuti ketinggian lebih dari m dpl (31,3%) dan ketinggian m dpl (16,7%) (Gambar 4.17) Gambar Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas ketinggian (altitude) di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa maka dilakukan uji χ 2 dengan hipotesis null (Ho) : tidak ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat (altitude). Kaidah keputusannya menolak Ho jika χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α 5%. Hasil perhitungan χ 2 disajikan pada Tabel

132 Tabel Hasil perhitungan χ 2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa. Kelas ketinggian Availability Proporsi (%) Frekuensi observasi macan tutul jawa (O) Frekuensi harapan amcan tutul jawa (E) (O-E) 2 /E m dpl ,19 0, ,39 1, m dpl ,76 0,15 8 7,29 0,07 > 1000 m dpl ,36 0, ,32 5,36 Jumlah ,31 1, ,12 Keterangan: Frekuensi Harapan macan tutul (kolom 5) = kolom 3 x kolom jumlah kolom 4 (Gaspersz, 1994). Menggunakan Formula 3.10 diperoleh χ 2 hitung = 7.12 > χ 2 (0.05;2). Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.25 diperoleh nilai χ 2 hitung yang lebih besar dari χ 2 tabel pada taraf α = 5%, maka kesimpulannya menolak Ho atau berarti ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat. Untuk mengetahui kondisi ketinggian tempat yang paling banyak digunakan (prefered) maka dilakukan uji lanjutan dengan menghitung nilai indeks Neu sebagaimana disajikan pada Tabel Tabel Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap ketinggian tempat di atas permukaan laut. Kelas ketinggian Proporsi Proporsi Indeks Seleksi tempat Availability (a) Records (r) w Terstandar > ,36 0, ,31 1,80 0, ,76 0,15 8 0,17 1,10 0, ,19 0, ,52 0,77 0,21 Jumlah ,31 1, ,00 3,67 1,00 Meskipun dalam berbagai literatur disebutkan bahwa sebaran macan tutul tidak dibatasi oleh ketinggian tempat, namun macan tutul jawa ditemukan banyak menggunakan daerah ketinggian. Dari Tabel 4.26 tampak bahwa lokasi dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl memiliki indeks seleksi kurang dari satu (w = 0,77), artinya tidak banyak digunakan atau tidak disukai. Sementara indeks seleksi tertinggi adalah pada ketinggian lebih dari m dpl (w = 1,80) atau paling disukai. 108

133 Hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap gangguan. Dalam hal ini kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan. Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah ketinggian lebih dari m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung, khususnya di gunung-gunung seperti Gunung Slamet, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Lawu dan Gunung Muria serta merupakan taman nasional yaitu TN Gunung Merapi dan TN Gunung Merbabu Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu dari enam provinsi di Indonesia yang memiliki proporsi tertinggi rumah tangga rawan pangan yang berkisar antara 37,3 54,2% (Salem et al., 2005). Pada tahun 2008, dari jiwa penduduk Jawa tengah, 17,23% ( jiwa) di antaranya merupakan penduduk miskin (Munhur, 2009). Oleh karena itu, Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang tinggi, yaitu antara tahun rata-rata ha per tahun. Dari segi luasan, deforestasi di Jawa Tengah ( ) 5.073,2 ha merupakan yang terbesar (80,6%) dari total deforestasi di Pulau Jawa) (Departemen Kehutanan, 2007a). Pentingnya faktor ketinggian tempat (altitude) juga diuraikan pada subab dan Gambar 4.2. di mana dari 15 populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 86,67% berada di daerah dengan ketinggian m dpl. Hal ini diduga berkaitan erat dengan faktor kerawanan terhadap tekanan dari penduduk di sekitar hutan yang lebih tinggi di daerah dataran rendah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketinggian tempat merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Walaupun berbagai literatur menyebutkan bahwa ketinggian tempat bukan merupakan faktor pembatas, namun dalam penelitian ini terbukti macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat di tempat-tempat ketinggian. Untuk keperluan penyusunan model kesesuaian habitat, ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi tiga kelas seperti disajikan pada Tabel

134 Tabel Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan model kesesuaian habitat macan tutul jawa. Kelas Ketinggian tempat Kategori Kesesuaian Skor < 500 m dpl Rendah m dpl Sedang 5 > m dpl. Tinggi Fragmentasi Hutan Alam Kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah seluas ,89 ha, sebagian besar (83,84%) merupakan hutan tanaman, sementara sisanya (16,16%) merupakan hutan alam (Perum Perhutani, 2006). Hutan alam di Jawa Tengah tersebar secara mosaik di antara hutan tanaman dan berfungsi sebagai kantong-kantong habitat perlindungan macan tutul jawa. Dari panelitian ini juga terbukti bahwa hutan alam merupakan tipe tutupan lahan paling disukai oleh macan tutul jawa dengan nilai indeks seleksi Neu (w) 8,5560. Di sisi lain, dari tahun ke tahun hutan alam di Provinsi Jawa Tengah terus mengalami deforestasi dan fragmentasi. Dalam kurun waktu 16 tahun ( ) provinsi ini telah kehilangan hutan alamnya seluas ,09 Ha atau 88,0%. Puncak laju deforestasi di Provinsi Jawa Tengah terjadi antara tahun yaitu seluas hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a). Secara umum sisa-sisa hutan alam di Pulau Jawa ada di sekitar puncak-puncak gunung yang pada umumnya jauh dari jangkauan manusia dan sulit diakses oleh masyarakat untuk pertanian dan pemukiman. Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, sisa-sisa hutan alam di gunung-gunung di Jawa Tengah juga mengalami fragmentasi sehingga terjadi kehilangan habitat (habitat loss) dan isolasi habitat (isolation). Sebagai contoh, Gunung Muria telah kehilangan hutan alamnya 85,50%, kemudian disusul oleh Gunung Slamet (83,91%), Gunung Lawu (77,51%) dan Gunung Ungaran (75,33%). 110

135 1990 A 2000 B 2006 C Gambar Perubahan tutupan hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah (A) tahun 1990; (B) tahun 2000; (C) tahun

136 Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang tersisa di gunung-gunung lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Gunung-gunung tersebut merupakan daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah (Gunawan, 1988). Proses fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai bagi satwaliar atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat (Hunter, 1997). Dengan demikian, keberadaan macan tutul jawa menjadi semakin terancam kelestariannya. Dari Gambar 4.19 dan Gambar 4.20 tampak jelas perubahan jumlah fragment (patches) hutan maupun luas hutan. Jumlah fragment dan luas yang menurun menunjukkan telah terjadi fragmentasi habitat dan kehilangan habitat (habitat loss). Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih ,51 Ha yang tersebar dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi ,23 Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan kering yang tersisa tinggal ,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun 46,6% dari tahun Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas ,09 Ha (88,0%) atau rata-rata hektar per tahun. Fragmentasi hutan alam lahan kering di Jawa Tengah juga dapat diihat dari parameter Total Edge (TE). Total edge hutan alam lahan kering yang terus menurun dari tahun 1990 sampai tahun 2006 menunjukkan bahwa fragmentasi disamping memecah patches hutan juga diikuti oleh hilangnya patches hutan tersebut. TE tahun 1990 adalah 42,43 km menurun menjadi 15,08 km pada tahun 2000 dan pada tahun 2006 total edge hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah menjadi 8,75 km (Gambar 4.21). Edge Density (ED) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah juga menurun dari tahun yang juga menunjukkan bahwa fragmentasi bukan saja memecah patches tetapi juga disusul dengan hilangnya patches. ED pada tahun 1990 adalah ,78 m 2 /ha kemudian menurun menjadi ,70 m 2 /ha pada tahun 2000 dan menjadi ,62 m 2 /ha pada tahun 2006 (Gambar 4.22). 112

137 Luas (Ha) Gambar Perkembangan luas hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun Jumlah Patches Gambar Perkembangan jumlah patches hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah dari tahun

138 Gambar Perkembangan Total Edge (TE) hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah. Gambar Perkembangan Edge Density hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah. Pada skala fragment (patch) hutan individual, hilangnya vegetasi hutan dan fragmentasi dapat memiliki pengaruh luas pada survival populasi, interaksi ekologi dan keanekaragaman hayati (Fahrig & Grez, 1996). Seiring fragment hutan mengecil, populasi cenderung lebih rentan untuk punah karena resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik (Gilpin, 1987; Goodman, 1987). Ketika fragment-fragment hutan menjadi terisolasi tanpa adanya ketersambungan di antara mereka, migrasi organisme bisa terhalangi (Kareiva, 1987). Fragment hutan yang kecil juga memiliki 114

139 ratio edge:interior yang lebih tinggi. Untuk spesies hutan interior (seperti macan tutul jawa), hal ini juga berarti kehilangan habitat lebih luas daripada luas fragment sebenarnya yang hilang (Wilcove et al., 1986; Williams-Linera, 1990). Besarnya pengaruh tergantung pada pola kehilangan hutan pada skala lansekap yang akan menentukan jumlah fragment yang tersisa, ukurannya, bentuknya, jarak antara fragment dan kondisi matrix habitat di sekitarnya (Groom & Schumaker, 1993). Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992), ada empat cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi. Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai spesies satwaliar generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat karena fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes, 2000). Untuk kasus di Provinsi Jawa Tengah tampaknya hilangnya habitat lebih berperan bagi kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat tidak saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya, irigasi, waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET). 115

140 a KPH Kendal b KPH Pemalang c Alas roban KPH Kendal d KPH Kendal e Besokor, KPH Kendal f KPH Pemalang Gambar Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa Tengah: (a) sistem tebang habis; (b) perambahan hutan; (c) jaringan jalan raya; (d) jaringan listrik SUTET; (e) pertanian; (f) jaringan irigasi Metapopulasi Fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong habitat (patches) yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang menyebar di Provinsi Jawa Tengah dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti yang diklasifikasikan oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic metapopulation; (2) mainland-island metapopulation; (3) non equilibrium metapopulation; dan (4) patchy population. 116

141 1. Non equilibrium population Contoh metapopulasi tipe non equilibrium di Provinsi Jawa Tengah adalah populasi di Gunung Muria (KPH Pati), populasi di Mandirancan dan sekitarnya (di KPH banyumas Timur dan Banyumas Barat), populasi di Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran dan Gunung Sindoro; serta populasi di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo. D E F A B C Gambar Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Muria dan sekitarnya (KPH Pati). Di Gunung Muria dan sekitarnya (Gambar 4.24), fragmentasi menyebabkan kantong-kantong habitat terpisah cukup jauh dan ada penghalang berupa pemukiman di antara kantong habitat tersebut. Populasi di patch Gunung Muria (A) yang sebelumnya mungkin merupakan sumber (mainland) bagi patches di sekitarnya (B, C, D, E, F) telah terpisah jauh akibat fragmentasi oleh pemukiman. Akibatnya populasi Gunung Muria tidak dapat melakukan kolonisasi terhadap patches tersebut. Populasi macan tutul di kantong habitat C (Gunung Clering) mengalami kepunahan lokal pada tahun 2000an akibat perambahan hutan dan tidak ada konektifitas untuk migrasi ke patches lain serta tidak adanya rekolonisasi dari Gunung Muria karena tidak ada konektifitas. Populasi macan tutul jawa di Mandirancan (C) dan sekitarnya (Gambar 4.25), terfragmentasi dan terpisah jauh dengan populasi di Notog (D), Jatilawang (B), RPH 117

142 Kretek (E), Cimanggu (F) dan Nusakambangan (A). Populasi Mandirancan berdekatan dengan populasi Notog namun terfragmentasi secara alami oleh Sungai Serayu dan jalan raya Purwokerto-Cilacap. Sementara populasi Nusakambangan terfragmentasi secara alami oleh Segara Anakan sehinga terpisahkan dari populasi macan tutul di daratan Pulau Jawa. Populasi Cimanggu dan Kretek terpisahkan dari populasi lainnya oleh jalan raya dan pemukiman yang berkembang di sekitar hutan. Dengan kondisi demikian, populasi-populasi tersebut diperkirakan rentan terhadap kepunahan, bahkan populasi Notog dan Jatilawang telah mengalami kepunahan lokal. Dalam metapopulasi ini, populasi Mandirancan, Cimanggu dan Nusakambangan diperkirakan tidak akan bertahan lama. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konektifitas dengan populasi lain dan luasan habitat yang kecil, yaitu Nusakambangan 952 ha, Mandirancan 1.228,4 ha dan Cimanggu 1.750,8 ha. Sementara Populasi RPH Kretek diperkirakan dapat bertahan karena memiliki habitat yang lebih luas dan adanya kemungkinan rekolonisasi dari Gunung Slamet. F E B D C A Gambar Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di RPH Mandirancan (KPH Banyumas Timur) dan sekitarnya. Pada Gambar 4.26 tampak bahwa populasi macan tutul jawa di Gunung Sindoro (D), Gunung Sumbing (C), Gunung Ungaran (F), Gunung Merapi (A) dan Gunung Merbabu (B) dapat dianggap sebagai populasi tunggal yang terisolasi karena tidak ada 118

143 konektifitas satu sama lain. Dalam beberapa tahun mendatang, meskipun terisolasi, populasi ini diperkirakan masih dapat bertahan karena luasan habitatnya cukup luas sekitar 5000 ha atau lebih dan jumlah individu dalam populasi tersebut diperkirakan masih cukup banyak. Populasi macan tutul jawa di puncak-puncak gunung juga relatif sedikit mendapat tekanan atau gangguan dari manusia. E F D C B A Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di beberapa gunung di Jawa Tengah. Populasi macan tutul jawa di Gunung Lawu (B), Gunungkidul (C), Kulonprogo (D) dan Gunung Merapi (A) terpisah jauh, mungkin sejak lama (Gambar 4.27). Populasi-populasi tersebut tidak memiliki konektifitas satu sama lain sehingga tidak ada migrasi untuk kolonisasi atau rekolonisasi. Akibatnya populasi Gunungkidul dan Kolonprogo telah mengalami kepunahan lokal dan tidak akan pernah mendapat rekolonisasi dari populasi Gunung Merapi maupun Gunung Lawu. Populasi Gunung Lawu dan Gunung Merapi menjadi populasi tunggal yang terisolasi. Meskipun terisolasi, kedua populasi tersebut diperkirakan akan dapat bertahan dalam beberapa dekade mendatang karena berada di kawasan hutan yang terlindungi (Taman Nasional Gunung Merapi dan Hutan Lindung Gunung Lawu) yang memiliki luasan cukup besar serta tekanan penduduk yang kecil karena berada di puncak-puncak gunung yang bertopografi berat. 119

144 A B D C Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo. Tipe non equilibrium metapopulation juga terjadi pada populsi di KPH Kendal dan sekitarnya (Gambar 4.28). Populasi Subah (A), Besokor (B) dan Darupono (C) terpisah cukup jauh dan tidak ada konektifitas satu sama lain sehingga tidak dapat saling bertukar individu. Demikian juga dengan populasi di Gunung Prahu (F) dan Gunung Ungaran (D) di KPH Kedu Utara. Kelima populasi tersebut tidak terhubungkan satu sama lain sehingga dalam jangka panjang rentan terhadap kepunahan lokal. Populasi yang diperkirakan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah populasi Darupono, Gunung Ungaran dan Gunung Prahu karena memiliki luasan habitat yang relatif besar (Darupono ,14 ha; Gunung Prahu ,32 ha; Gunung Ungaran 4.711,97 ha). Disamping itu, kantong habitat di Gunung Ungaran dan Gunung Prahu merupakan hutan lindung sehingga relatif lebih aman dibandingkan populasi di hutan produksi (A, B, C). 120

145 A C B F D Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di KPH Kendal dan sekitarnya. Populasi yang paling rawan menghadapi kepunahan lokal dalam waktu dekat adalah populasi Besokor. Hal ini disebabkan oleh luasan habitat yang kecil (692,1 ha) dan tidak memiliki konektifitas dengan populasi Subah karena fragmentasi oleh pertanian dan jalan raya Semarang Pekalongan serta terfragmentasi dengan populasi Darupono oleh lahan pertanian dan jalan raya Weleri-Temanggung. Sementara populasi Subah memiliki luasan yang lebih besar (2.422,77 ha). Populasi non equilibrium lainnya yang ditemukan di Jawa Tengah adalah kumpulan populasi di KPH Kedu Selatan (Gambar 4.29). Populasi Pringombo (B) terpisah jauh dengan populasi Karangsembung (A) dan populasi Bruno (C). Populasi Bruno telah mengalami kepunahan lokal dan tampaknya sulit mendapatkan kolonisasi kembali dari populasi Pringombo maupun Karangsembung karena jaraknya jauh dan adanya fragmentasi hutan. Populasi Pringombo dan Karangsembung tampakanya memiliki resiko kepunahan lokal yang sama besar karena tekanan penduduk dan kerusakan hutan akibat perambahan yang terjadi setelah gerakan reformasi tahun

146 B A C Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di KPH Kedu Selatan. 2. Mainland-island metapopulation Mainland-island metapopulation merupakan sistem dari habitat patches (islands) berlokasi di dalam jarak sebaran dari suatu habitat yang sangat besar (mainland) di mana populasi lokal tidak akan pernah punah (Harrison & Taylor 1997). Tipe metapopulasi Mainland-island bisa digambarkan dengan populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya (Gambar 4.30). Populasi macan tutul jawa di Gunung Slamet merupakan mainland population yang menjadi sumber kolonisasi bagi patches hutan di sekitarnya seperti patch hutan RPH Kretek (B), Balapulang (C); Kalibakung (D) Moga (E) dan Paninggaran (F). 122

147 C D E F B A Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di Gunung Slamet dan sekitarnya. Populasi Balapulang (C) telah mengalami kepunahan lokal akibat perambahan hutan dan tidak ada rekolonisasi dari Gunung Slamet karena tidak ada konektifitas akibat fragmentasi. Sementara populasi Moga (E) terisolasi dari mainland Gunung Slamet (A) dan populasi Paninggaran (F). Beberapa tahun mendatang populasi yang rentan mengalami kepunahan lokal adalah populasi Moga karena terisolasi dan luasannya kecil (2.513,6 ha) dan populasi Kalibakung (D) yang luasnya hanya 619,9 ha. Sementara patch hutan Balapulang (C) masih bisa diharapkan menerima migrasi dari populasi Kalibakung (D) jika ada koridor untuk migrasi. 3. Classic (Levins) Metapopulation Classic metapopulation merupakan suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu resiko kepunahan yang signifikan (Harrison & Taylor 1997). 123

148 Populasi-populasi di Jawa Tengah bagian Timur (KPH Semarang, Telawa, Gundih, Purwodadi, Blora, Randublatung, Cepu dan Kebonharjo) dapat menggambarkan tipe Classic metapopulation (Gambar 4.31) memiliki resiko kepunahan lokal yang sama signifikannya karena memiliki kondisi hutan yang sama dan tingkat ancaman yang relatif sama. Beberapa populasi telah mengalami kepunahan lokal namun masih ada harapan direkolonisasi oleh populasi yang masih ada di dekatnya. Populasi Gunung Lasem (M) dan Pasedan (L) mungkin akan sulit untuk mendapatkan rekolonisasi dari populasi Kebonharjo (G) karena tidak ada konektifitas. Sementara populasi Kebonharjo (G) masih ada konektifitas dengan populasi Cepu (F) dan Randublatung (E). J K M L G H I F A C D E B Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa Tengah bagian timur. Populasi Karangsono, Telawa (C) dapat menjadi sumber kolonisasi populasi yang telah punah lokal di Gunung Pati, Semarang (A), Sragen, Telawa (B) dan Segorogunung, Gundih (D). Populasi Cepu (F) juga memiliki konektifitas dengan 124

149 Populasi Segorounung (D) tetapi jaraknya cukup jauh. Populasi Barisan, Pati (J), Ngiri, Mantingan (K) dan Krocok, Blora (H) hanya memiliki konektifitas dengan populasi Sambirejo, Purwodadi (I). Sementara populasi Kebonharjo (G) tidak memiliki konektifitas dengan ketiga populasi yang telah mengalami kepunahan lokal tersebut (J, K, H) sehingga tidak bisa diharapkan mengkolonisasi ketiga patches hutan yang telah kehilangan macan tutul jawa tersebut. Dengan demikian populasi Karangsono, Telawa (C) dan populasi Sambirejo, Purwodadi (I) memiliki peranan yang sangat penting untuk melakukan kolonisasi kembali bekas-bekas kantong habitat macan tutul jawa yang telah kosong di sekitarnya. opulasi Kebonharjo, Cepu dan Randublatung diperkirakan masih akan bertahan dalam waktu yang lama ke depan karena ketiganya memiliki konektifitas sehinga dapat saling bertukar individu. 4. Patchy population Patchy population adalah suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub populasi sangat tinggi sehingga dapat dapat dikatakan secara efektif merupakan satu populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya (Harrison & Taylor 1997). Patchy population dapat digambarkan oleh metapoulasi di kelompok hutan Salem (KPH Pekalongan Barat) yang menyambung dengan kelompok hutan Majenang (KPH Banyumas Barat) (Gambar 4.32). Populasi macan tutul di Majenang (A) dan Pesahangan (B) di KPH Banyumas Barat serta populasi di Indrajaya (C), Winduasri (E) dan Cikuning (D) di KPH Pekalongan Barat saling terhubung sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran individu. Lansekap hutan masih tersambungkan meskipun ada fragmentasi oleh pemukiman dan lahan pertanian. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang. Hal ini disebabkan hutannya merupakan tanaman pinus yang disadap getahnya sehingga relatif tidak ada kegiatan penebangan dan sebagian merupakan hutan lindung, seperti di Indrajaya (C) dan Cikuning (D). 125

150 E D C A B Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat. Patchy population juga ada di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya (Gambar 4.33). Patchy population yang pertama adalah populasi macan tutul jawa di Brondong (A), Lemahabang (B) dan Pedagung (C) di KPH Pekalongan Timur yang masih terhubungkan satu sama lain. Patchy population kedua terdiri dari populasi macan tutul jawa di Jolotigo, Pekalongan Timur (D), Cipero, Pemalang (G), Winduaji, Pekalongan Timur (F) dan Paninggaran, Pekalongan Timur (E) yang masih saling terhubungkan sehingga dapat saling migrasi. Sementara di sekitarnya ada populasi kecil, yaitu Lobongkok, Pemalang (H) seluas 1.463,1 ha dan Moga, Pekalongan Barat (I) seluas 2.513,6 ha yang terisolasi dari kedua kelompok patchy population tersebut. Kedua populasi kecil dan terisolasi tersebut diperkirakan akan mengalami kepunahan lokal dalam beberapa tahun mendatang apabila tidak ada konektifitas ke populasi lain di dekatnya. 126

151 A B D C H I E F G Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH Pekalongan Timur dan sekitarnya. Tipe patchy population juga ada di KPH Pemalang dan sekitarnya (Gambar 4.34). Populasi macan tutul jawa di Mangunsari (A), Karangasem (D), Kenyere (C) dan Kejene (E) di KPH Pemalang serta populasi di Gunung prahu (B) di KPH Kedu Utara saling terhubungkan satu sama lain sehingga arus pertukaran individunya lancar. Metapopulasi ini diperkirakan akan terus bertahan. Metapopulasi tersebut tidak memiliki konektifitas ke populasi di Karangkobar (F) yang telah mengalami kepunahan lokal beberapa tahun yang lalu. Populasi di Gunung Sindoro (G) juga terfragmentasi dari patchy population tersebut. 127

152 E C D F A B G Keterangan : Patch tidak pernah dilaporkan dihuni Patch pernah dilaporkan dihuni Patch dihuni saat ini Gambar Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya. Dari analisis terhadap metapopulasi, populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam kelompok populasi yang membentuk non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi (lokasi indikasi macan tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11 populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari seluruh populasi dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42% dari seluruh populasi (Tabel 4.28). Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa tersebut tampak bahwa non equilibrium metaoipulation cukup besar (31,25%). Hal ini tentu mengkhawatirkan kelestarian macan tutul jawa di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut 128

153 rentan terhadap kepunahan lokal akibat tidak adanya konektifitas untuk migrasi antar populasi Tabel Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah. Tipe Metapopulasi Jumlah Jumlah Proporsi (%) Kelompok populasi 1. Non Equilibrium Metapopulation ,25 2. Mainland-Islands Metapopulation ,92 3. Classic Metapopulation ,42 4. Patchy Population ,42 Jumlah ,00 Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainlandislands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah populasipopulasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH Pekalongan Barat- KPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur (Brondong Paninggaran dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya. Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk pemukiman, jalan dan lahan pertanian. Berdasarkan analisis metapopulasi tersebut dapat dibuat peta resiko kepunahan lokal macan tutul jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar Dari Gambar 4.35 tampak ada delapan populasi (17%) yang memiliki resiko kepunahan lokal tinggi. Hal ini disebabkan oleh luas habitatnya yang kecil dan terisolasi atau terdegradasi berat. Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal sedang dan 21 populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Lampiran 3). 129

154 Gambar Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya 130

155 4.6. Model Spasial Kesesuaian Habitat Berdasarkan delapan komponen habitat macan tutul jawa yang telah dikaji dan dievaluasi pada sub bab 4.3 (Karakteristik Habitat) dapat dibuat pemodelan spasial kesesuaian habitat menggunakan program ArcView 3.2. Kesesuaian habitat dibangun dari dua kelompok komponen habitat, yaitu komponen yang terkait dengan kebutuhan hidup macan tutul (pemanfaatan habitat) dan komponen yang terkait dengan keamanan dari gangguan (disturbance) (kerawanan habitat). Komponen yang yang terkait dengan kebutuhan hidup macan tutul jawa adalah : (1) luas (ruang); (2) mangsa; (3) vegetasi pelindung (cover); (4) air dan (5) iklim. Sementara komponen yang terkait dengan kerawanan habitat terhadap gangguan didekati dengan: (1) status kawasan hutan; (2) topografi dan (3) ketinggian dari permukaan laut (altitude) Model Pemanfaatan Habitat Macan Tutul Jawa Hasil overlay lima faktor pemanfaatan habitat (luasan, mangsa, tipe hutan, badan air dan curah hujan) memberikan hasil seperti ditunjukan pada Gambar Secara kuantitatif jumlah dan luasan kantong habitat (habitat patches) menurut kelas pemanfaatannya disajikan pada Tabel Tabel Luas dan jumlah patches habitat menurut kelas pemanfaatannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Kelas Pemanfaatan Habitat Kisaran Total Skor Jumlah Patches Proporsi (%) Luas Total (Ha) Proporsi (%) Tinggi 5,83-8, , ,63 42,96 Sedang 3,17-5, , ,66 49,97 Rendah 0,5-3, , ,25 7,07 Jumlah , ,54 100,00 Dalam Tabel tampak bahwa sebagian besar (64,00%) kantong habitat (habitat patches) hutan di Provinsi Jawa Tengah memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi sebagai habitat macan tutul jawa. Hanya sebagian kecil patches hutan yang memiliki kelas pemanfaatan rendah (7,58%) dan selebihnya (28,41%) memiliki kelas pemanfaatan sedang. Menurut luasnya, habitat yang memiliki pemanfaatan tinggi 42,96%, sedang 49,97% dan rendah 7,07% Secara umum kawasan berhutan di Jawa Tengah masih memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi dan sedang sebagai habitat macan tutul jawa. Hal ini juga berarti masih memiliki kesesuaian yang tinggi bagi 131

156 habitat macan tutul jawa. Kantong-kantong habitat yang memiliki pemanfaatan rendah, terutama disebabkan oleh luasan yang kecil (<600 ha) dan ketiadaan satwa mangsa utama. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat disajikan pada Tabel Dari Tabel 4.30 tampak bahwa distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa mengikuti pola distribusi kelas pemanfaatan habitat (Tabel 4.30), yaitu macan tutul jawa terkonsentrasi di kantong-kantong habitat (patches) dengan kelas pemanfaatan tinggi (68,75%), diikuti kelas pemanfaatan sedang (29,17%) dan hanya 2,08% berada di habitat dengan kelas pemanfaatan rendah. Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan habitat. Kelas Pemanfaatan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Rendah 1 2,08 Sedang 14 29,17 Tinggi 33 68,75 Jumlah ,00 Untuk menguji hipotesis null (Ho): ditribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti disribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat maka dilakukan uji proporsi (χ 2 ). Kaidah keputusannya adalah menerima Ho jika χ 2 hitung kurang dari χ 2 tabel pada taraf α = 5%. Dengan menggunakan formula 3.20 diperoleh nilai χ 2 hitung = 5,86 lebih kecil daripada χ 2 (0,05;2), sehingga keputusannya menerima Ho yaitu distribusi proporsi lokasi indikasi macan tutul mengikuti distribusi proporsi kelas pemanfaatan habitat. Dengan demikian kesimpulannya adalah model pemanfaatan habitat sesuai dengan kondisi sebaran populasi aktual di lapangan saat ini. Dengan menggunakan formula 3.19 diperoleh validitas model 97,92%. Hal ini juga menunjukkan bahwa model yang dibuat dapat diandalkan untuk kondisi saat ini di Jawa Tengah. 132

157 Gambar Peta pemanfaatan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 133

158 Model Kerawanan Habitat Macan Tutul Jawa Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia, patches hutan di Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit yang memiliki kelas kerawanan rendah (aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%. Sementara selebihnya memiliki kerawanan tinggi atau tidakn aman (40,74%) dan sedang (42,36%). Berdasarkan luasnya, areal berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman untuk habitat macan tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya memiliki tingkat kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%) (Tabel 4.31). Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Jawa Tengah disajikan pada Gambar Tabel Jumlah dan luas patches habitat menurut kelas kerawanannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Kelas Kerawanan Habitat Kisaran Total Skor Jumlah Patches Proporsi (%) Luas Total (Ha) Proporsi (%) Rendah 1,07-1, , ,10 11,07 Sedang 0,63-1, , ,23 19,73 Tinggi 0,20-0, , ,20 69,19 Jumlah , ,54 100,00 Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut tingkat kerawanan habitatnya disajikan pada Tabel Dari Tabel 4.32 tampak bahwa distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa 40,74% berada di kantong-kantong habitat (patches) dengan tingkat kerawanan tinggi (tidak aman), 42,36% di habitat dengan tingkat kerawanan sedang dan hanya 1,7% berada di habitat dengan kerawanan rendah (aman). Hal ini menunjukan bahwa macan tutul jawa dalam kondisi terancam karena sebagian besar habitatnya tidak aman. Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kerawanan habitat. Kelas Kerawanan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Tinggi 21 43,75 Sedang 17 35,42 Rendah 10 20,83 Jumlah ,00 134

159 Uji χ 2 terhadap model dilakukan dengan hipotesis null (Ho) : distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa mengikuti distribusi proporsi kelas kerawanan habitat. Dengan menggunakan formula menghasilkan nilai χ 2 hitung =0,030 (kurang dari χ 2 (0,05;2)) sehingga keputusannya menerima Ho dan dapat disimpulkan model keamanan habitat tersebut sesuai dengan fakta di lapangan saat ini. Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal berada di lokasi dengan kerawanan habitat tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di lokasi dengan tingkat keamanan sedang (Tabel 4.33). Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal menurut kelas kerawanan habitatnya. Kelas kerawanan Jumlah Lokasi Indikasi Proporsi (%) Tinggi 10 66,67 Sedang 5 33,33 Rendah 0 00,00 Jumlah 15* 100,00 *Hanya yang di Jawa Tengah (dua lokasi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta) 135

160 Gambar Peta kerawnan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 136

161 Model Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Macan Tutul Jawa Hasil overlay antara model pemanfaatan dan model kerawanan habitat menghasilkan kesesuaian habitat yang disajikan pada Tabel dan Gambar Pada Tabel tampak bahwa 7,67% patches hutan kelas kesesuaian habitat rendah, 36,92% memiliki kelas kesesuaian sedang dan 55,41% memiliki kesesuaian tinggi. Sementara dari segi luasan, areal berhutan yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Tabel Jumlah dan luas patches habitat menurut kesesuaian berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun Kelas Kesesuaian Habitat Kisaran Total Skor Jumlah Patches Proporsi (%) Luas (Ha) Proporsi (%) Tinggi 6, , ,58 30,86 Sedang 3,8-6, , ,73 61,24 Rendah 0,7-3, , ,23 7,90 Jumlah , ,54 100,00 Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya disajikan pada Tabel Dari Tabel 4.35 tampak bahwa lokasi indikasi macan tutul terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan kelas kesesuaian rendah (4,16%). Tabel Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas kesesuaian habitatnya. Kelas Kesesuaian Lokasi Indikasi Proporsi (%) Rendah 2 4,16 Sedang 20 41,67 Tinggi 26 54,17 Jumlah ,00 137

162 Gambar Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah. 138

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan sub spesies macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) yang memiliki morfologi dan genetika sangat berbeda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Macan Tutul

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Macan Tutul 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Macan Tutul Macan tutul Jawa termasuk binatang bertulang belakang dengan klasifikasi sebagai berikut (Gunawan, 1988; Anonim, 1978; dan McNeely, 1977): Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu

BAB I. PENDAHULUAN. bagi makhluk hidup. Keanekaragaman hayati dengan pengertian seperti itu BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu lingkup pengelolaan lingkungan hidup adalah keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan suatu fenomena alam mengenai keberagaman makhluk hidup,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 3.1. Lokasi penelitian.

III. METODOLOGI. Gambar 3.1. Lokasi penelitian. III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan, baik kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa tengah maupun kawasan hutan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH

KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH KOMUNITAS BURUNG DI KEPULAUAN KARIMUNJAWA JAWA TENGAH: APLIKASI TEORI BIOGEOGRAFI PULAU MARGARETA RAHAYUNINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh: ERWIN EFENDI

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Singkat Perum Perhutani dan KPH Banyumas Barat Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbasis sumberdaya hutan yang diberi tugas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Jl. Raya Darmaga, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680; Telp /

Jl. Raya Darmaga, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680; Telp / HABITAT MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI LANSEKAP HUTAN TANAMAN PINUS (Habitat of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809) in Pine Plantation Forest Landscape* Oleh/By :

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 165; Telp , ; Fax Bogor HABITAT MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI LANSKAP HUTAN PRODUKSI YANG TERFRAGMENTASI (Habitat of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809) In the Fragmented Production Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Macan Tutul 2.1.1 Taksonomi Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Spesies macan tutul adalah Panthera pardus Linnaeus, 1758.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA Arahan Dalam EU RED Terkait Sumber Biofuel Ramah Ligkungan - Penggunaan biofuel harus bersumber dari penggunaan

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN.

ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. ANALISIS BIAYA PENGOLAHAN GONDORUKEM DAN TERPENTIN DI PGT. SINDANGWANGI, KPH BANDUNG UTARA, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT BANTEN. Dwi Nugroho Artiyanto E 24101029 DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT PEMBAHASAN ROAD MAP PUSAT KAJIAN ANOA DAN PEMBENTUKAN FORUM PEMERHATI ANOA Manado,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Kotak Pos 165, Bogor Telp. (0251) , , Fax.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Kotak Pos 165, Bogor Telp. (0251) , , Fax. PREFERENSI HABITAT MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI JAWA BAGIAN BARAT (Habitat Preference of the Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier 1809) in Western Java) Hendra Gunawan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci