PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan menyebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Januari 2008 Adrianus Orias Willem Kaya NRP C

3 ABSTRACT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Utilization of Patin Fishbone Powder as Calcium and Phosphorus Sources in Making of Biscuit. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH. The utilization of fisheries resources in fisheries processing industries has not been conducted yet optimally, mainly to utilize their waste such as bone, viscera, and skin. Patin fishbone is a main waste product from patin filleting industry. From the viewpoint of foodstuffs, it s contains a high number of mineral especially Ca and P. These experiments were carried out to study the effect of fishbone powder producing methods i.e. dry and wet methods in correlation to their physicochemical characteristics including the solubility of Ca and P. The physicochemical characteristics of patin fishbone powder were not affected significantly by producing method; however, dry method produced higher percent solubility of Ca and P than wet method. Based on organoleptic test through scoring test, adding 2% (formula A) and 4% (formula B) of patin fishbone powder into biscuit products gave the high average values of appearance, color, flavor, texture and taste; and they also had the higher values of appearance and color in comparison to commercial product. The physicochemical characteristics of biscuit formula A and B were almost same to the commercial product. The highest percent solubility of Ca and P were found in biscuit formula A and control (without adding patin fishbone powder) with values were 95.06% and 74.24% respectively. Consuming 7 pieces of biscuit formula A will contribute Ca and P requirements are 9.01% and 8.34% respectively, whereas biscuit formula B are 14.92% and 18.43%; with assumption all of Ca and P can be absorbed well by human body. Key words: biscuit, calcium, fishbone powder, mineral solubility, phosphorus

4 RINGKASAN ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam industri pengolahan belum dilakukan secara optimal, utamanya dalam memanfaatkan limbah yang dihasilkan seperti tulang, jeroan dan kulit. Tulang patin merupakan limbah utama yang dihasilkan industri pemfiletan ikan patin. Dari sudut pandang bahan bagan, limbah tersebut mempunyai kandungan mineral tinggi terutama Ca dan P. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh metode pembuatan tepung tulang ikan patin yaitu metode kering dan basah dalam kaitannya dengan karakteristik fisikokimianya termasuk kelarutan Ca dan P. Karakteristik fisiko-kimia tepung tulang ikan patin tidak dipengaruhi secara nyata oleh metode pembuatannya, tetapi metode kering menghasilkan persen kelarutan Ca dan P lebih tinggi dibandingkan metode basah. Berdasarkan uji organoleptik dengan uji skoring, penambahan 2% (formula A) dan 4% (formula B) tepung tulang ikan patin kedalam produk biskuit memberikan nilai rata-rata tinggi terhadap parameter penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa; dan juga mempunyai nilai penampakan dan warna lebih tinggi dibandingkan dengan produk komersial. Karakteristik fisiko-kimia biskuit formula A dan B menyerupai produk komersial. Persen kelarutan Ca dan P tertinggi diperoleh pada formula A dan kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) dengan nilai berturut-turut sebesar 95,06% dan 74,24%. Mengkonsumsi 7 keping biskuit formula A dapat menyumbangkan kebutuhan Ca dan P masing-masing sebesar 9,01% dan 8,4%; sedangkan biskuit formula B sebesar 14,92% dan 18,43% dengan asumsi semua Ca dan P dapat diserap dengan baik oleh tubuh. Kata kunci: biskuit, kalsium, tepung tulang ikan, kelarutan mineral, fosfor

5 Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan Karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan Kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

6 PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR DALAM PEMBUATAN BISKUIT ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahnya sehingga penulisan tesis dengan judul Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dra. Ella Salamah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kebijaksanaan dan kesabaran serta masukan mulai dari rencana judul penelitian hingga penulisan tesis ini. Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Pemda Propinsi Maluku atas bantuan dana bagi penulis untuk kelancaran proses penelitian. 3. Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuan dana yang sangat membantu penulis dalam proses penelitian. 4. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana bagi pelaksanaan penulisan tesis. 5. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini. 6. Papa (alm) dan mama tercinta, serta semua kakakku (Nane dan Bung John, Yanni, Heri dan Bung Hengki) dan ketiga keponakanku (Econ, Papit, Ece): terima kasih atas semua doa dan bantuan yang tak putus-putusnya bagi penulis. 7. Teman-teman S2 THP angkatan 05 atas semangat dan kebersamaan yang terjalin erat selama ini. 8. Teman-teman dari Ambon (B Mon, U Ola, Ibu Linda, Nona, Degen, Edi, Max Perwira 12 crew,thya dan B Charles Agape Crew ) untuk segala bantuan dan dukungan dalam proses perkuliahan sampai penulisan tesis ini.

8 9. Teman-teman penghuni Perwira No.12 yang penuh dengan suasana kekeluargaan meskipun dari latar belakang yang berbeda namun tetap kompak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 2008 Adrianus Orias Willem Kaya

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis Kerangka Pemikiran 5 2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Tulang Ikan Tepung Tulang Ikan Kalsium Peranan kalsium pada manusia Sumber kalsium Kebutuhan kalsium Asupan kalsium Penyerapan kalsium Fosfor Biskuit Klasifikasi biskuit Bahan-bahan pembuat biskuit METODOLOGI Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Penelitian pendahuluan Penelitian lanjutan Prosedur analisis Uji organoleptik (Soekarto 1985) Derajat putih (Faridah et al. 2006) 34 xi xii xii

10 Daya serap air (Fardiaz et al. 1992) Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Uji kekerasan (Rangganan 1986) Kadar air (SNI 1992) Kadar abu (SNI 1992) Kadar lemak (SNI 1992) Kadar protein (SNI 1992) Kadar kalsium ( Reitz et al. 1987) Kadar fosfor (Anggraeni 2003) Nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003) Rancangan Percobaan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Penelitian Lanjutan Organoleptik Penampakan Warna Aroma Tekstur Rasa Uji perbandingan pasangan Karakteristik fisik biskuit Karakteristik kimia biskuit Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar kalsium Kadar fosfor Nilai ph Karbohidrat by difference Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit Informasi nilai gizi biskuit SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 70

11 DAFTAR PUSTAKA 71 LAMPIRAN 78

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia Syarat mutu biskuit SNI tahun Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai ph Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial 69

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit 7 2. Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode Tanuwidjaya 2002) Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998) 33 4a. Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) 50 4b. Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp ) Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B 59 11a. Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai ph 67 11b. Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai ph 68

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar penilaian organoleptik Lembar penilaian organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Uji T kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam nilai ph tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Data uji organoleptik penampakan biskuit Data uji organoleptik warna biskuit Data uji organoleptik aroma biskuit Data uji organoleptik tekstur biskuit Data uji organoleptik rasa biskuit Data uji perbandingan pasangan biskuit A Data uji perbandingan pasangan biskuit B Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey 97

15 28. Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam nilai ph biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey Analisis ragam nilai berat biskuit Analisis ragam nilai ketebalan biskuit Analisis ragam nilai diameter biskuit Analisis ragam nilai kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit Tepung tulang ikan patin Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan patin Tulang ikan patin utuh Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran Tulang ikan patin siap olah menjadi tepung Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A Perhitungan kadar protein dan lemak pada biskuit A 110

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit. Seiring dengan berkembangnya industri perikanan, limbah yang dihasilkan dari produksi perusahaan juga meningkat. Dalam usaha pengolahan ikan hampir selalu dihasilkan limbah berupa padatan (tulang, kepala) dan cairan yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak kurang baik terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang berasal dari usaha industri perikanan maupun pengolahan rumah tangga cukup besar, salah satunya adalah tulang ikan. Limbah perikanan yang berasal dari tulang ikan patin sebagai salah satu contoh masih belum diolah dan dimanfaatkan secara maksimal. Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Proses penanganan limbah industri perikanan yang umum dilakukan adalah pengolahan menjadi pakan ternak, penimbunan dan pembakaran. Salah satu unit usaha perikanan yang menghasilkan limbah tulang ikan adalah Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB. Unit usaha ini setiap minggunya mengolah 3 ton ikan patin untuk dijadikan fillet ikan dan menghasilkan 300 kg tulang ikan sebagai salah satu limbahnya (10% dari total berat ikan). Proses penanganan limbah ikan yang dihasilkan oleh unit usaha ini adalah dengan cara penguburan, pembakaran dan diambil oleh masyarakat sekitar untuk dikonsumsi karena pada tulang ikan patin tersebut masih terdapat sisa daging yang dapat dimasak atau digoreng 1. Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan patin yang dilakukan adalah penepungan. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang telah dilakukan oleh Tanuwidjaya (2002) dan Mulia (2004). Tepung tulang ikan adalah suatu 1 Komunikasi pribadi dengan Kepala Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB bulan Oktober 2006

17 produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaup et al. 1991). Aplikasi pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bentuk produk pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya : pemanfaatan tepung tulang ikan patin untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau (Nurdiani 2003); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai bahan tambahan kerupuk (Tabakaka 2004); kajian potensi limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004) dan studi pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Asni 2004). Tepung tulang ikan patin dengan kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat merupakan sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bahan pangan sangatlah dimungkinkan, namun yang harus diteliti lebih mendalam adalah sampai sejauh mana tepung tulang ikan patin tersebut mampu dicerna dan diserap oleh tubuh. Solubilitas tepung tulang ikan patin sangat mutlak diketahui baik dalam bentuk tepung maupun yang telah ditambahkan kedalam bahan pangan. Hal ini dikarenakan seberapa besarpun kandungan mineral yaitu kalsium dan fosfor yang dimiliki oleh bahan pangan tetapi apabila mineral tersebut tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh sangatlah tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh manusia. Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral di dalam tubuh (O Dell 1984; Watzke 1998; Clydesdale 1988; Newman dan Jagoe 1994 ). Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trifosfat (Lovell 1989). Bentuk kompleks ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu sekitar 60-70% (Lutwak 1982). Salah satu dampak dari defisiensi kalsium yang sekarang ini banyak terjadi adalah osteoporosis. Osteoporosis atau yang lebih dikenal dengan nama tulang

18 keropos merupakan suatu penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya kepadatan tulang setelah mencapai usia tua. Pada anak-anak defisiensi kalsium dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang/rickets. Kekurangan kalsium juga dapat menyebabkan osteomalasia, apalagi di Indonesia yang konsumsi kalsiumnya masih sangat rendah, diperburuk dengan pencegahan osteoporosis yang belum intensif. Untuk mencegah kekurangan kalsium perlu konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup. Sumber kalsium yang populer saat ini adalah susu dan produk turunannya seperti keju dan suplemen kalsium. Sangat disayangkan produk-produk tersebut masih mahal dan diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia (Almatsier 2002). Tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. Hal tersebut dapat menjadi sumber alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan kususnya tulang ikan sebagai sumber kalsium dan fosfor. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dengan kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat diterapkan kedalam salah satu bentuk produk pangan yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan bahan pangan yang relatif murah harganya sehingga banyak disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai kalangan 1.2. Perumusan Masalah Pemanfaatan limbah tulang ikan patin belum dilakukan secara optimal dan bertanggung jawab. Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung tulang memiliki kandungan nilai gizi (mineral) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pangan bagi manusia. Kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi yaitu 264,53 mg/g bk dan 88,38 mg/g bk dapat menjadi salah satu sumber mineral yang murah jika dibandingkan dengan sumber kalsium lainnya seperti susu dan produk turunannya yang memiliki harga yang sangat mahal serta berada diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat. Potensi yang

19 bernilai tinggi tersebut dapat membantu masyarakat kecil dan golongan ekonomi lemah dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh sehingga dapat menurunkan dan mengurangi jumlah penderita osteoporosis maupun osteomalasia. Disisi lain penanganan limbah perikanan yang tepat dan berhasil guna dapat meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya serta menyelamatkan lingkungan akibat tidak tertanganinya dengan baik limbah perikanan yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian dirasa perlu untuk dilakukan penelitian pemanfaatan limbah tulang ikan patin yang diolah menjadi tepung tulang dan diaplikasikan kedalam bentuk produk pangan yaitu biskuit. Informasi tentang solubilitas/kelarutan kalsium dan fosfor yang berasal dari tepung tulang ikan patin belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan solubilitas terbaik dari kalsium dan fosfor dengan perlakuan beberapa nilai ph yang berbeda serta aplikasinya dalam produk pangan yaitu biskuit Tujuan dan Manfaat Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuat tepung tulang ikan dengan metode basah dan kering serta menganalisis karakteristik fisika dan kimia tepung tulang ikan patin. 2. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin pada kondisi ph yang berbeda. 3. Membuat biskuit kaya kalsium melalui penambahan tepung tulang ikan patin dan mengetahui karakteristik organoleptik, fisika dan kimia. 4. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor pada biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin. Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi pemanfaatan limbah hasil perikanan yang memiliki nilai gizi tinggi khususnya kalsium dan fosfor yang dapat ditambahkan kedalam produk pangan yaitu biskuit dalam kaitannya dengan nilai kelarutan kedua mineral tersebut sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh.

20 1.4. Hipotesis 1. Tepung tulang ikan patin memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. 2. Pembuatan tepung tulang ikan patin dengan dua metode yang berbeda yaitu metode basah dan kering akan berpengaruh terhadap karakteristik fisiko kimianya termasuk solubilitas kalsium dan fosfor. 3. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin mempunyai kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi. 4. Solubilitas kalsium dan fosfor dalam biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan zat gizi lainnya Kerangka Pemikiran Tulang ikan patin merupakan salah satu limbah hasil perikanan yang belum mendapat perhatian dan penanganan yang optimal. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan potensi yang dimiliki oleh tulang ikan patin yaitu kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi. Tulang ikan memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dan fosfor dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Penyerapan kalsium yang terdapat dalam makanan dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium yang ada dalam makanan dan adanya faktor pendorong dan/atau penghambat terhadap penyerapan kalsium (Miller 1989 dalam Fennema 1996). Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dan kemudian ditambahkan ke dalam produk pangan dapat mengurangi pencemaran lingkungan, meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan yang tidak dapat dimanfaatkan/diolah, dan meningkatkan nilai tambah. Selain itu tingginya kandungan zat gizi khususnya kalsium dan fosfor dapat membantu dan mencegah

21 penyakit osteoporosis dan osteomalasia. Metode pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang ikan patin melalui proses perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium dan fosfor yang tinggi. Kenyataan tersebut memberikan suatu kemungkinan apakah dengan menggunakan metode pengovenan (metode kering) dan metode perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia termasuk solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Salah satu produk pangan yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat adalah biskuit. Pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin akan memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi serta kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi pula, sehingga dapat dijadikan alternatif baru pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

22 Limbah tulang ikan patin Tinggi kandungan kalsium dan fosfor Metode basah (perebusan dengan autoclave) Metode kering (pengovenan) Tepung tulang ikan patin Biskuit kaya kalsium dan fosfor - Meningkatkan nilai tambah (added value) tulang ikan patin - Sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor - Sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia - Mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan - Meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit.

23 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Patin Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu ikan yang rakus terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa mencapai panjang cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum (Khairuman dan Suhendra 2002). Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp) menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Famili : Pangasidea Genus : Pangasius Spesies : Pangasius sp Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997). Ikan patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda seperti kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Pembesaran merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap

24 dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997). Pemanenan ikan patin dilakukan apabila ikan patin telah berumur minimal 6 bulan dengan berat berkisar 1-2,5 kg, dimana pada umur ini biasanya sudah mencapai ukuran siap dikonsumsi. Selama pemanenan berlangsung diusahakan agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen dilakukan dengan tidak hati-hati maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual menjadi rendah. Oleh karena itu pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar (Susanto dan Amri 1997) Tulang Ikan Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik (Lovell 1989). Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis (Navarro 1991 dalam Martinez et al. 1998). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air (Martinez et al. 1998). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral-

25 mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan flour (Winarno 2002). Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17% fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli 1956) Tepung Tulang Ikan Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985) yaitu : 1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang. 2. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung. 3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang. Protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan (steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor. Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan 10,25% fosfor (Morisson 1958). Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh. Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarutpelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno 1985). Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah dicerna dalam bentuk yang sudah terdenaturasi (Alais dan Linden 1991).

26 2.4. Kalsium Mineral merupakan bagian dari unsur pembentukan tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2002). Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca ++ ), dan (3) Kalsium kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain. Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari kalsium (Winarno 2002). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca 3 (PO 4 ) 2.Ca(OH) 2 }. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml (Almatsier 2002).

27 Peranan kalsium pada manusia (a) Pembentukan tulang dan gigi Kalsium di dalam tulang memiliki dua fungsi yaitu : 1) sebagai bagian integral dari struktur tulang ; 2) sebagai tempat menyimpan asupan kalsium darah. Pada tahap pertumbuhan janin manusia dibentuk, matriks sebagai cikal bakal tulang tumbuh. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin. Segera setelah bayi manusia lahir, matriks mulai menguat melalui proses kalsifikasi, yaitu terbentuknya kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium fosfat atau kombinasi fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan hidroksiapatit {(3Ca 3 (PO 4 ) 2.Ca(OH) 2 }. Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama dalam ikatan ini, sehingga keduanya harus berada dalam jumlah yang cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang. Batang tulang yang merupakan bagian matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng, natrium karbonat dan flour disamping hidroksiapatit (Almatsier 2002). Selama pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat. Pada ujung tulang panjang ada bagian yang berpori yang dinamakan trabekula, yang menyediakan kalsium siap pakai guna mempertahankan konsentrasi kalsium normal dalam darah. Selama kehidupan, tulang senantiasa mengalami perubahan, baik dalam bentuk maupun kepadatan, sesuai dengan usia dan perubahan berat badan (Almatsier 2002). Kalsifikasi gigi susu (gigi tidak tetap yang kemudian diganti) terjadi pada minggu kedua puluh tahap janin dan selesai sebelum gigi keluar. Gigi permanen mulai mengalami kalsifikasi saat anak berumur delapan tahun hingga sepuluh tahun. Gigi lengkap pada usia dewasa hanya mengandung 1% jumlah kalsium tubuh (Almatsier 2002). (b) Mengatur pembekuan darah Bila terjadi luka, ion kalsium di dalam darah merangsang pembekuan fosfolipidatromboplastin dari platelet darah yang terluka. Tromboplastin ini mengkatalisis perubahan protrombin, bagian darah normal, menjadi trombin. Trombin kemudian membantu fibrinogen, bagian lain dari darah, menjadi fibrin yang merupakan gumpalan darah (Almatsier 2002).

28 (c) Katalisator reaksi biologis Kalsium berfungsi sebagai katalisator berbagai reaksi biologis, seperti absorpsi vitamin B 12, tindakan enzim pemecah lemak, lipase pankreas, ekskresi insulin oleh pankreas, pembentukan dan pemecahan asetilkolin, yaitu bahan yang diperlukan dalam pemindahan (transmisi) suatu rangsangan dari suatu serabut saraf ke serabut saraf lain. Kalsium yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksireaksi ini diambil dari persediaan kalsium dalam tubuh (Almatsier 2002). (d) Kontraksi otot Pada waktu otot berkontraksi, kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal, otot tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat menimbulkan kejang (Almatsier 2002) Beberapa fungsi kalsium lain adalah meningkatkan fungsi transpor membran sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan transmisi ion melalui membran organel sel (Almatsier 2002) Sumber kalsium Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002). Tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya, memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi. Meskipun tepung ikan ini bisa dijadikan sumber kalsium dan protein bagi negara yang tidak mampu menyediakan susu, kemungkinan penyebarannya pada bahan pangan di Amerika masih kecil dikarenakan masih terdapat masalah sehubungan dengan flavour dan kualitas selama penyimpanan (Guthrie 1975). Bahan pangan dengan kandungan air relatif rendah, kacang almond dan biji-bijian memiliki kandungan kalsium yang baik dalam porsi 100 g. Kelemahan

29 dari produk ini adalah orang jarang mengkonsumsi bahan pangan ini dikarenakan kontribusi kalori yang tinggi, yang terdapat dalam program diet (Guthrie 1975). Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok (Kaup et al. 1991) yaitu : 1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya paling tinggi diantara sumber kalsium lainnya. 2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang masih mengandung flour yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan) dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang ketersediaannya sedang. 3. Hay, yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut. Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah. Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan baik karena berikatan dengan oksalat membentuk garam dan bersifat tidak larut dengan air (Linder 1992). Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982) Kebutuhan kalsium Keperluan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis kelamin. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh orang Indonesia per hari yang ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) disajikan pada Tabel 1. Kalsium pada tubuh terdapat paling banyak di tulang dengan jumlah lebih dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan ini akan berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang dewasa adalah 800 mg per kapita per hari (Hardinsyah dan Martianto 1992). Untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status kalsiumnya dengan hanya mengkonsumsi mg per kapita per hari.

30 Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme kalsium (Muchtadi et al. 1993). Tabel 1 Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia Kelompok umur Kebutuhan Ca (mg)/hari Kebutuhan P (mg)/hari Bayi (bulan) Anak (tahun) Pria (tahun) Wanita (tahun) Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3 Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004). Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin, dan faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan oksalat. Faktor ini menentukan ketersediaan, fungsi tiroid dan paratiroid yang

31 bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1989 dalam Miller 1996 dalam Fennema 1996). Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun. Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml) disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang. Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2002). Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002) Asupan kalsium Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi rendah, sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Almatsier (2002) menambahkan bahwa penyerapan akan meningkat bila kalsium dikonsumsi menurun. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh semakin efisien absorpsi kalsium. Peningkatan kebutuhan terjadi pada masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Hal ini dapat terjadi karena jumlah kalsium terserap tergantung pada interaksi dengan komponen bahan pangan lainnya, dan pada faktor psikologis seperti hormon regulator kalsium dan tingkatan umur. Kemampuan absorpsi lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses penuaan. Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua golongan usia (Allen dan Wood 1994).

32 Asupan kalsium tidak cukup dan penyerapan kalsium oleh tubuh yang rendah hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi osteoporosis dan penyakit lainnya (Blaney et al. 1996). Aktivitas fisik berpengaruh terhadap asupan kalsium. Laktosa meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya bila terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorpsi kalsium, akan tetapi di luar kehamilan, diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran percernaan, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier 2002). Sumber kalsium menjadi berpengaruh terhadap bioavailabilitas karena menentukan dengan apa kalsium harus berikatan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Purac Biochem tahun 1995 mengenai bioavailabilitas 11 produk makanan berbeda, membuktikan bahwa kalsium laktat adalah salah satu sumber kalsium dengan bioavailabilitas terbaik diantara semua produk yang dicobakan (Van Mosevelde 1997) Penyerapan kalsium Saat tubuh sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi optimal, 30-50% kalsium yang dapat dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh, sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30% dianggap baik, dan kadang-kadang penyerapannya hanya mencapai 10%. Pada masa pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75% dari makanan kalsium. Sebelum penyerapan natrium, vitamin D dan satu atau dua protein pengikat kalsium harus tersedia (Guthrie 1975). Penyerapan kalsium dapat terjadi dalam dua jalur transportasi di sepanjang usus. Pertama cara aktif, mudah jenuh dan dengan proses transeluler yang terjadi terutama pada duodenum dan proksimal yeyenum. Kedua cara pasif, tidak mudah jenuh, jalur paraseluler yang terjadi di sepanjang usus halus (Allen dan Wood 1994). Cara pertama diatur oleh vitamin D dan melibatkan protein pengikat kalsium (calbinding) yang tergantung pada vitamin D (CaBP). Kalsium dipompa keluar enterosit menuju darah oleh adenosin trifosfat (ATP) (Allen dan Wood 1994). Untuk penyerapan kalsium dengan cara ini, diperlukan tiga tahap yang

33 berkesinambungan, dan kesemuanya diatur oleh vitamin D. Untuk itu harus ada : 1) asupan dari pinggir bulu-bulu halus; 2) gerakan intraseluler; 3) keluaran pada membran basolateral. Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk membawa kalsium melewati sitoplasma enterosit ke basal membran. Kalsium yang dipompakan dari enterosit ke cairan ekstraseluler membutuhkan ATP dan vitamin D yang mengatur Ca 2+, Mg 2+, ATPase, enzim penghidrolisis ATP dan melepaskan energi untuk memompa Ca 2+ keluar sel, seiring dengan itu magnesiumnya bergerak masuk (Groff dan Gropper 2001). Penyerapan kalsium secara aktif dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu, yaitu status kalsium dan vitamin D, usia, kehamilan dan laktasi (Allen dan Wood 1994). Cara kedua tidak bergantung pada pengaturan oleh vitamin D. Jumlah kalsium yang terserap dengan cara ini tergantung sekali pada jumlah dan nilai kalsium makanan, yaitu di atas 3 mmol atau setara dengan 120 mg/100 ml kemungkinan akan terserap dengan cara ini (Allen dan Wood 1994). Usus besar juga merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya penyerapan kalsium dikarenakan bakteri kolon melepaskan ikatan kalsium dari beberapa serat terfermentasi (fermentable fibers) seperti pektin. Jumlah kalsium yang diserap lewat kolon sekitar 4% setiap hari (Groff dan Gropper 2001). Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, persentase penyerapan kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup, penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium berkisar 30% (Allen dan Wood 1994) Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al dalam Fox 1988). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :

34 (1) Zat organik Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002). (2) Vitamin D Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25(OH)D 3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorpsi dengan cara menurunkan ph di bagian atas duodenum. Asam amino tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu proses absorpsi (Almatsier 2002). (3) Serat makanan Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001). Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium. Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) mendukung pernyataan

35 bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika dibandingkan dengan jenisnya. Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan menciptakan larutan viskous dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap mukosa usus (Groff dan Gropper 2001). Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996) menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium. Selanjutnya serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001). (4) Protein Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al dalam Blaney et al. 1996). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Erdman et al dalam Greger 1999). Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002).

36 (5) Nilai ph dan kelarutan Kalsium membutuhkan ph asam agar dapat berada dalam keadaan larut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Anggorodi (1985) mengatakan bahwa ph usus juga berpengaruh terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada ph di atas 6,5 dan baik diserap pada ph di bawah 6,0 dimana nilai ph tersebut dapat dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium. Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana ph-nya mendekati netral. Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan nilai ph dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al. 1995) Fosfor Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan

37 perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006). Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1: Biskuit Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus. Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI ) seperti terlihat pada Tabel 2.

38 Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI ) tahun 1992 Kriteria uji (Parameter) Kadar air (% b/b) Kadar protein (% b/b) Kadar abu (% b/b) Bahan tambahan makanan - Pewarna dan pemanis buatan Kadar cemaran logam - tembaga (mg/kg) - timbal (mg/kg) - seng (mg/kg) - merkuri (mg/kg) Cemaran mikroba - TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g) - E coli (APM/g) - Kapang (koloni/g) Syarat mutu Maksimum 5,0 Minimum 9,0 Maksimum 1,5 Tidak boleh ada Maksimum 10,0 Maksimum 1,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05 Maksimum 1,0x10 6 Maksimum 20,0 <3 Maksimum 1,0x Klasifikasi biskuit Belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai saling tumpang tindih antar bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu : (1) tekstur dan kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan dan (4) pembentukan produk (Manley 1983). Berdasarkan ekstensibilitas adonannya, biskuit dapat digolongkan menjadi tiga yaitu adonan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak mengembang karena adanya efek dari shortening dan efek pelunakan dari gula. Contoh biskuit dari adonan lunak adalah biskuit buah, biskuit krim dan biskuit jahe. Untuk adonan keras dijumpai pengembangan gluten sampai batas tertentu untuk penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten akan mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh biskuit yang dibuat dari adonan fermentasi adalah biskuit cracker (Booth 1990). Menurut Faridi dan Faubion (1990), crackers umumnya hanya mengandung sedikit gula dan lemak. Pada biskuit fermentasi ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu asin (saltine) dan snack. Klasifikasi lain adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi dan Faubion (1990) ; Booth (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga

39 cara yaitu rotary molded, wire-cut dan pembentukan lembaran (sheeting). Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan. Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI ), biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Cracker adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki tekstur yang berlapis-lapis. Jenis yang ketiga adalah cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Wafer adalah biskuit dari adonan dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga. Klasifikasi beberapa jenis biskuit menurut Manley (1983) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) Klasifikasi Cracker Adonan Adonan lunak keras HF HS Tepung Tepung Lemak Kadar air adonan (%) Kadar air biskuit (%) Suhu adonan ( o C) Komponen penting Waktu pemanggangan (menit) 3 5,5 Ket : HF = kandungan lemak tinggi; HS = kandungan gula tinggi Lemak dan gula Bahan-bahan pembuat biskuit Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tederizing materials) (Matz dan Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu, telur. Bahan pelembut terdiri dari gula, shortening, baking powder, telur. (a) Tepung terigu Untuk mendapatkan biskuit yang baik, maka tepung terigu tipe lunak yang mempunyai kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak adalah yang paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pembentuk tekstur, mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata sebagai pembentuk citarasa (Matz dan Matz 1978).

40 Komposisi gandum bervariasi tergantung jenisnya. Hal ini juga berpengaruh pada kekuatan glutennya. Kekuatan tepung lebih tergantung pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat adalah tepung yang menghasilkan tepung yang sukar meregang dan mempunyai sifat dapat menahan gas yang baik. Umumnya jenis tepung ini cocok untuk pembuatan roti, sedangkan tepung yang lemah cocok untuk pembuatan kue dan biskuit (Gaman dan Sherrington 1990). Menurut Astawan (1999) berdasarkan kandungan gluten (protein) tepung terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut : 1. Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%. Tepung ini digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi. Contohnya adalah terigu Cakra Kembar. 2. Medium hard flour. Tepung jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta biskuit. Contohnya, terigu Segitiga Biru. 3. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya cocok sebagai pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu Kunci Biru. (b) Telur Penggunaan telur dalam pembuatan biskuit terutama berfungsi sebagai pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan kelembutan (Matz dan Matz 1978). Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata diseluruh adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit. (c) Gula Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis biskuit, pelunakan gluten, berperan membentuk flavor dan warna coklat pada biskuit lewat reaksi pencoklatan nonenzimatis selama proses pemanggangan, memperbaiki tekstur dan mempengaruhi pengembangan biskuit (Matz dan Matz 1978).

41 (d) Lemak Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta memberi flavor (Matz 1993). Lemak berfungsi untuk memperbaiki kualitas penerimaan (melezatkan dan menambah nilai gizi), melembutkan, membantu pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung serta memutuskan ikatannya, lemak juga dapat membatasi daya serap air (Kaplan 1971) Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi, rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin juga mengandung emulsi air dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak. Margarin terbuat dari minyak atau lemak nabati, dan bahan tambahan seperti susu bubuk skim atau lemak hewani, air, garam, esens, pewarna dan zat antitengik. Umumnya margarin memiliki kandungan lemak yang sedikit tetapi kandungan airnya sangat banyak (Anonim 2000). Karena minyak nabati umumnya dalam bentuk cair, maka harus dihidrogenasi lebih dulu menjadi lemak padat, yang berarti margarin harus bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah dan segera dapat mencair dalam mulut (Winarno 2002). (e) Susu Penggunaan susu dalam pembuatan produk biskuit berfungsi untuk membentuk flavour, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk tekstur yang baik dan porous, meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein biskuit. Selain itu susu juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan warna coklat pada permukaan biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan kalsiumnya (Anonim 1981). Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa susu adalah suatu emulsi lemak dalam air yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein. Salah satu keuntungan penambahan susu didalam mixed food berfungsi sebagai penguat protein dan lemak, juga mengandung karbohidrat, vitamin (terutama vitamin A dan niasin) serta mineral (kalsium dan fosfor). Penggunaan susu untuk

42 pembuatan biskuit berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi yang dihasilkan (Buckle et al. 1987). (f) Bahan pengembang Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan produk biskuit adalah baking powder dan amonium bikarbonat. Fungsi baking powder dalam adonan adalah untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO 2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartarat, folat dan sulfat (Anonim 1981). Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan pengembang adalah senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan. (g) Air Air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan, selain itu air juga membentuk dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo 1985). Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air yang ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong dan tekstur mudah hancur. Air memungkinkan terbentuknya gluten gandum yang mengandung protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989). (h) Flavor Flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menimbulkan efek sensoris. Flavor dirasakan terutama oleh indera perasa

43 dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik adalah lebih ekonomis, konsentrasi rendah, penyimpanan yang mudah, lebih stabil dan lebih tahan lama (Phillips 1981 diacu dalam Mahani 1999).

44 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2006 sampai dengan Maret Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan dan Unit Poduksi Hasil Perikanan untuk kegiatan preparasi, perebusan tulang, pembuatan biskuit. Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis kadar air dan kadar abu tepung tulang ikan patin. Pilot Plan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk proses penepungan. Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis derajat putih, daya serap air, densitas kamba tepung tulang ikan patin, kekerasan biskuit. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan IPB untuk analisis kadar Ca, P, ph, solubilitas Ca dan P. Laboratorium Kimia Terpadu Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk analisis proksimat biskuit. Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk pengujian organoleptik biskuit 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah tulang ikan patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu Kunci Biru, margarin Blue Band, susu bubuk Frisian Flag, baking powder Pesawat Angkasa, telur, air, vanili. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis fisika dan kimia biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dan tepung tulang ikan patin terdiri atas : H 2 SO 4, alkohol, NaOH, Na 2 S 2 O 3, HCl, HNO 3, HClO 4, akuades, tablet kjeltab, buffer ph 7 dan ph 4, KH 2 PO 4 (standar fosfor), larutan Ca 1000 ppm (standar Ca).

45 Alat yang digunakan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuat tepung tulang ikan patin, alat untuk pembuatan biskuit dan alat analisis fisik-kimia. Alatalat yang digunakan untuk membuat tepung tulang ikan patin adalah baskom, timbangan, ember, pisau, panci, kompor, oven, autoclave, disc mill, ayakan, pengering drum. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah oven, talenan, cetakan, timbangan, baskom, loyang, mixer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisika dan kimia adalah oven, neraca analitik, labu takar, labu Kjeldhal, penangas air, homogenizer merk Nissei AM-3, Atomic Absorption Spectrophotometer merk Shimadzu AA-680, Rheoner merk RE 3350 Yamaden, cawan porselin, kertas saring, Whiteness meter merk Kett Electric C-100-3, gelas ukur, gelas piala, pipet, erlenmeyer, ph meter, alat soxhlet, kapas bebas lemak, tabung reaksi dan sentrifuse Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung tulang ikan patin dan evaluasi sifat fisik-kimia tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Penelitian lanjutan yaitu pembuatan biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dengan lima formulasi yang berbeda. Terhadap kelima formulasi yang dihasilkan, dilakukan analisis yang meliputi uji organoleptik (skoring dan perbandingan pasangan dengan produk komersial), analisis fisik dan kimia Penelitian pendahuluan Limbah tulang ikan patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin FPIK IPB ditimbang berat awal (masih dalam bentuk tulang ikan patin) dan berat akhir (setelah menjadi tepung tulang ikan patin) dengan maksud untuk mendapatkan rendemen. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan tepung tulang ikan patin yang mengacu pada metode Tanuwidjaya (2002) dengan modifikasi. Terhadap tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dilakukan analisis fisik yang terdiri dari derajat putih, densitas kamba, daya serap air dan karakteristik kimia

46 yang terdiri dari kadar air, abu, nilai ph, kalsium, fosfor, solubilitas kalsium dan solubilitas fosfor. Tepung tulang ikan patin yang mempunyai solubilitas tertinggi dipilih untuk digunakan pada pembuatan biskuit. Proses pembuatan tepung tulang ikan patin dapat dilihat pada Gambar Penelitian lanjutan Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan setelah diperoleh tepung tulang ikan patin dengan nilai solubilitas Ca dan P yang tertinggi. Terhadap biskuit hasil formulasi dilakukan uji organoleptik yaitu uji skoring. Dua biskuit dengan nilai tertinggi hasil pengujian organoleptik selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan biskuit komersial. Dua biskuit dengan nilai tertinggi, biskuit kontrol dan biskuit komersial juga dilakukan analisis karakteristik fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan dan karakteristik kimia yaitu kadar air, abu, protein, lemak, kadar kalsium, kadar fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor, nilai ph. Pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin dilakukan sesuai urutan sebagai berikut : margarin dan tepung gula dikocok selama 10 menit kemudian ditambahkan kuning telur dan dikocok lagi selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan tepung terigu, susu, vanili, baking powder, air, tepung tulang ikan patin dengan konsentrasi masing-masing : 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan diaduk selama 2-3 menit sampai terbentuk adonan. Adonan yang terbentuk dicetak dengan menggunakan cetakan kue dan dipanggang pada suhu 150 o C selama 12 menit. Setelah selesai biskuit diangkat dan didinginkan kemudian dikemas dalam toples. Proses pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin dapat dilihat pada Gambar 3.

47 Tulang ikan patin Pencucian dengan air Perebusan pada suhu 100 o C selama 2 jam secara berulang-ulang* Pencucian dan pengecilan ukuran* Metode basah (perebusan dengan autoclave/presto) pada suhu 121 o C selama 1 jam Metode kering (pengovenan) pada suhu 105 o C selama 1,5 jam* Penggilingan kasar Pengeringan dengan menggunakan drum drier Penggilingan sampai halus Pengayakan dengan ayakan ukuran 100 mesh Tepung tulang ikan patin Keterangan : * bagian yang dimodifikasi Gambar 2 Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode Tanuwidjaya 2002).

48 Margarin, tepung gula Pengocokan I (10 menit) * Penambahan kuning telur Pengocokan II (2 menit) Penambahan tepung terigu, tepung tulang ikan patin (0%,2%,4%,6%,8%), susu, vanili, baking powder, air * Pengadukan (2-3 menit) hingga terbentuk adonan * Pencetakan Pemanggangan (suhu 150 o C, selama 12 menit) * Biskuit Keterangan : * bagian yang dimodifikasi Gambar 3 Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998).

49 3.3.3 Prosedur analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi karakteristik fisik tepung tulang ikan patin yang terdiri atas derajat putih, densitas kamba, daya serap air dan karakteristik kimia yang terdiri dari kadar air, abu, nilai ph, kalsium, fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin dilakukan analisis organoleptik yaitu uji skoring dan uji perbandingan pasangan, fisik yaitu pengukuran berat, tebal, diameter, kekerasan dan kimia yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, nilai ph, kadar kalsium, kadar fosfor, solubilitas kalsium, solubilitas fosfor Uji organoleptik (Soekarto 1985) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji mutu dengan menggunakan uji skoring. Uji ini berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji skoring diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji skoring adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap suatu karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dikaitkan dengan skala yang jumlah skalanya tergantung pada tingkat kelas yang dikehendaki. Pengujian organoleptik meliputi : penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur dengan nilai berkisar dari 1 sampai dengan 7. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. Biskuit yang terpilih sebagai biskuit yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan hasil uji skoring selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah dikomersialkan. Pada uji perbandingan pasangan panelis melakukan penilaian melalui formulir isian dengan memberikan nilai berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala yaitu -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3. Lembar uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran Derajat putih (Faridah et al. 2006) Alat yang digunakan adalah whiteness meter. Prinsip pengukuran alat ini adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel dengan sensor foto dioda. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak.

50 Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah tertentu. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel diatas tester. Kemudian wadah berisi sampel berserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO 4 ) dimasukkan ke tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Derajat putih sampel Derajat putih (%) = x 100% Daya serap air metode gravimetri (Fardiaz et al. 1992). Sebanyak 1 g contoh ditimbang kemudian dimasukkan kedalam tabung sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok menggunakan fortex mixer. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Selanjutnya volume supernatan diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Daya serap air dapat dihitung dengan menggunakan rumus : (volume air awal volume supernatan) Daya serap air (%) = x 100% berat kering contoh (g) Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur. Bahan-bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dan dibaca volumenya. Densitas kamba dapat dihitung dengan menggunakan rumus : berat bahan (g) Densitas kamba (g/ml) = volume bahan (ml) Uji kekerasan (Rangganan 1986). Kekerasan merupakan gaya yang dibutuhkan untuk menekan suatu bahan atau produk sehingga terjadi perubahan bentuk yang diinginkan. Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan Rheoner RE 3305 dengan jarak 400X 0,01 mm, sensitifitas 0,2 V, kecepatan 1 mm/s. Sampel ditimbang beratnya dan dimasukkan kedalam suatu wadah yang berbentuk empat persegi panjang (plate yang berlubang dibagian bawahnya).

51 Kemudian sejumlah mata pisau dengan diberi beban 50 kg dimasukkan kedalam sehingga terjadi penekanan, pemotongan terhadap sampel. Selanjutnya pisau naik ke atas dan wadah yang berisi sampel dapat dibuka. Pembacaan nilai kekerasan dapat dilakukan dengan melihat grafik yang terbentuk yaitu dengan membagi peak yang terbentuk dalam kertas grafik dengan milimeter penurunan awal pengujian dan berat sampel. Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah) Kadar air (SNI 1992) Cawan kosong dikeringkan pada suhu o C selama 15 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh sejumlah 5 g dimasukkan dalam cawan yang sudah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kemudian cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu o C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : A B Kadar air (%) = x 100% C Dimana A = Berat cawan + sampel awal B = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan C = Berat sampel Kadar abu (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti 2-3 g contoh, kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Sampel diarangkan hingga tak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550 o C selama 4 jam. Setelah itu didinginkan dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : A B Kadar abu (%) = x 100% C Dimana A = Berat cawan + sampel setelah diabukan B = Berat cawan C = Berat sampel

52 Kadar lemak (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti + 5 g contoh, kemudian dibungkus dengan kertas saring halus bebas lemak dan diikat dengan benang. Contoh dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Labu lemak yang telah dioven 103 o C selama 3 jam, ditimbang. Kemudian dilakukan ekstraksi dengan soxhlet (dipasang alat kondensor di atasnya dan labu lemak di bawahnya). Pelarut dietil eter dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya dan dilakukan refluks minimal selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu soxhlet berwarna jernih, lalu dilakukan destilasi pelarut yang ada didalam labu lemak, pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 o C selama 5 jam, kemudian dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang setelah dingin. Kadar lemak sampel dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar lemak (%) = B A x 100% C Dimana A = Berat labu lemak B = Berat labu lemak beserta lemak C = Berat sampel Kadar protein (SNI 1992) Ditimbang dengan teliti 1-2 g contoh. Kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldhal dan ditambahkan 10 g campuran selen (Kjeltab) serta 30 ml H 2 SO 4 pekat teknis. Setelah itu dipanaskan di ruang asam hingga warna cairan menjadi hijau jernih dan didinginkan. Sampel diencerkan dengan ml akuades dan dipindahkan ke tabung destilasi yang telah diberi batu didih. Setelah itu ditambahkan dengan 12 ml NaOH 30% dan segera disambung dengan alat destilasi dan didestilasikan hingga 2/3 dari cairan tersebut menjadi destilat. Hasil destilasi ditampung dengan gelas erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 10 ml larutan H 3 BO 3 dan 2-3 tetes indikator campuran metil merah dan metil biru. Hasil dari destilasi ini dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N. Blanko juga dikerjakan seperti prosedur di atas.

53 Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus : (ml HCl sampel-ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25 Kadar protein (%) = x 100% Berat sampel (mg) Kadar kalsium metode AAS-wet digestion (Reitz et al. 1987) Pembuatan larutan standar: Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm, dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm dengan memipet 0,2; 0,4; 0,8 larutan stok Ca 1000 ppm, masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan Cl 3 La.7H 2 O (lantan) sebanyak 1 ml ke dalam masing-masing labu takar dan ditambahkan akuades sampai volume tepat 100 ml. Penetapan sampel: Pengabuan basah (wet digestio) menggunakan HNO 3 65%, H 2 SO %, HClO 4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO 3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam. Sampel selanjutnya dipanskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan. Setelah itu ditambahkan H 2 SO 4 (pa = pro analisis) sebanyak 0,4 ml dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi larutan HClO 4 :HNO 3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan selama 15 menit hingga sampel menjadi bening. Sampel ditambahkan dengan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl (pa), setelah bening dipanaskan hingga larut dan didinginkan. Sampel diencerkan sampai volume tertentu (aliquot 100 ml), kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42. Aliqout diambil sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades 4 ml serta lantan 0,05 ml selanjutnya divortex, disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan filtrat dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang (λ) 422,7 nm. Hasil absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah diketahui. Perhitungannya : ( ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel ppm blanko) Ca = x 100% mg sampel FP = faktor pengenceran Ca(mg/100) = % Ca x 1000

54 Kadar fosfor, metode Taussky (Anggraeni 2003) Preparasi larutan: Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60 ml akuades dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H 2 SO 4 pekat secara bertahap dan diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan amonium molibdat ((NH 4 ) 6 MnO 24.4H 2 O) 10% (Larutan A). Sesaat sebelum dianalisis, larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml akuades dan 5 gram FeSO 4.7H 2 O dalam labu takar dan diencerkan hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan B. Pembuatan larutan standar: Sebanyak 4,394 g KH 2 PO 4 dilarutkan dalam akuades sampai 1000 ml agar didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm. Sebanyak 10 ml larutan tersebut kemudian diencerkan dengan penambahan akuades 400 ml sehingga didapatkan konsebtrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml dengan mengambil larutan standar 25 ppm berturut-turut sebanyak 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ml. Masing-masing volume tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades hingga 5 ml, kemudian dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. Penetapan sampel: Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet ke dalam kuvet sebanyak 3 ml dan dibaca pada panjang gelombang 660 nm. Nilai absorbansi larutan standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat persamaan y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk mendapatkan nilai konsentrasi sampel (x) Nilai ph (Apriyantono et al. 1989) Sampel sebanyak 2 g dihancurkan dengan blender lalu didispersikan kedalam 20 ml akuades dan diaduk selama 2 menit. Alat ph meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer ph standar (ph 4 dan ph 7). Setelah itu elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan kedalam sampel yang akan diperiksa. Nilai ph merupakan hasil pembacaan jarum penunjuk pada ph meter selama 1 menit atau sampai angka digital tidak berubah.

55 Mineral terlarut (modifikasi Santoso 2003) Sebanyak 10 g sampel ditambahkan larutan dengan berbagai tingkatan nilai ph (2, 4, 6) sebanyak 40 ml dan dihomogenkan dengan menggunakan mixer pada kecepatan rpm selama 2 menit. Kemudian sampel tersebut diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37 o C selama 2 jam. Selanjutnya sampel disentrifuse pada kecepatan rpm, 2 o C selama 10 menit. Hasil sentrifuse selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no. 42. Hasil saringan tersebut selanjutnya diukur dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) pada panjang gelombang 422,7 nm untuk mengetahui berapa banyak kalsium yang terlarut dan 660 nm untuk fosfor yang terlarut menggunakan spektrofotometer, kemudian dihitung sebagai persentase terhadap total kalsium dan fosfor.

56 3.4. Rancangan percobaan dan analisis data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menghitung data hasil penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktor tunggal yaitu penambahan tepung tulang ikan patin dengan tiga kali ulangan (Steel dan Torrie 1993). Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut : Y ij = μ + A i + ε ij Dimana : Y ij = Respons percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i, ulangan ke-j μ = Pengaruh rata-rata A i = Pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i ε ij = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin taraf ke-i dan ulangan ke-j i = 1,2,3 j = 1,2,3 Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut : W = qα (P,Fe)Sŷ Dimana : q = (Ŷmaks Ŷmin)/ Sŷ P = t adalah banyaknya perlakuan Fe = derajat bebas galat Sŷ = s n Hasil uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik, yaitu Kruskal Wallis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda

57 nyata dalam ranking (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji tersebut adalah sebagai berikut : H = 12 n( n + 1) Rj - 3(n+1) ni T = (t-1) t (t+1) T Pembagi = 1- ( n 1) n( n + 1) H H = pembagi Keterangan : n = total pengamatan n i = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i R j = jumlah ranking dalam perlakuan ke-j T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok (perlakuan) H = terkoreksi. Apabila hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Ri - Rj Z / k( k 1) N( N +1) ni nj Keterangan : Ri = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j N = banyaknya data K = banyaknya perlakuan n i = jumlah data perlakuan ke-i n j = jumlah data perlakuan ke-j

58 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung tulang ikan patin yang bahan bakunya diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB dengan menggunakan dua metode pembuatan yaitu metode kering dan metode basah, kemudian tepung yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dianalisis karakteristik fisik dan kimia serta solubilitas Ca dan P. Metode pembuatan tepung yang menghasilkan nilai tertinggi terhadap solubilitas kalsium dan fosfor dipilih untuk digunakan dalam proses pembuatan biskuit Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi rendemen, derajat putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Karakteristik Metode Pembuatan Metode kering Metode basah Rendeman (%) 81,73 91,83 Derajat putih (%) 62,82 + 0,27 a 62,31 + 0,50 a Daya serap air (%) 48,54 + 0,73 a 62,77 + 1,42 b Densitas kamba (g/ml) 0,80 + 0,01 a 0,79 + 0,02 a Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan patin yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk metode kering sebesar 81,73%; sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Dari hasil tersebut ternyata metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah

59 mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak, sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga sebaliknya. Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989). Semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang dipantulkan di dalam Whiteness-meter (Faridah et al. 2006). Selanjutnya dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifatsifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar, sehingga mengubah warna bahan pangan. Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO 4 ). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih (Lampiran 3). Derajat putih tepung tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan tepung tulang ikan patin. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan,

60 menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan. Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein, disamping itu tergantung juga pada ph dan denaturasi protein (Lin dan Zayes 1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger 1984). Hasil analisis daya serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 4). Daya serap air yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula, yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian luar dari metode kering lebih besar dari metode basah. Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah (Wirakartakusumah et al. 1992). Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba (Lampiran 5). Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas

61 kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi kadar air, abu, kalsium, fosfor, nilai ph sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Tepung tulang ikan patin Tepung tulang ikan Parameter Metode Kering Metode Basah produksi ISA, 2002 Air (%) 6,53 b 4,95 a 3,6 Protein (%) 22,23 a 20,53 a 34,2 Lemak (%) 2,73 a 2,09 a 5,6 Karbohidrat ,5 Abu (%) 56,38 a 58,15 b 33,1 Kalsium(mg/g bk) 264,53 a 244,02 a 11,9% Fosfor (mg/g bk) 88,38 a 71,96 a 11,6% ph 7,56 a 7,88 b - Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan. Nilai aktivitas air (a w ) merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam pertumbuhan mikroorganisme. Masing-masing mikroorganisme membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai a w tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai a w 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih rendah yaitu 0,80-0,87 (Purnomo 1995). Hasil analisis kadar air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah 6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari

62 standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002 yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode kering (Lampiran 6). Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz 1973). Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan 58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 7). Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriyantono et al. 1989). Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf 1990). Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan 244,02 mg/g bk. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium (Lampiran 8). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas (Martinez et al. 1998). Dari hasil yang diperoleh ternyata metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan

63 menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tepung tulang ikan dari sumber yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula, walaupun dalam penelitian ini metode pembuatan tidak berpengaruh nyata. Protein yang terdapat dalam tepung tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut. Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral. Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentukan tulang ikan. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat pada tulang (Muchtadi et al.1993). Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah. Dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula. Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah adalah 3,4:1. Dalam proses absorpsi, Ca dan P saling berpengaruh erat sekali. Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus (di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor (Lampiran 9). Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik (Sediaoetama 2006). Nilai ph sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh. Nilai ph suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan

64 bahwa, kalsium membutuhkan ph asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil analisis nilai ph tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai ph yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 10). Menurut Labuza (1977) dalam Hardman (1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH atau ikatan peptida. Pada ph kurang dari ph isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan terlalu banyak muatan positif dan jika ph lebih besar dari ph isoelektrik terlalu banyak muatan negatif. Perubahan nilai ph/kekuatan ion dapat mengubah distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau mengurangi interaksi protein Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Persen solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dua metode pembuatan tepung tulang ikan patin yang berbeda sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai ph Nilai ph %Ca %P Metode kering Metode basah Metode kering Metode basah 2 1,25 1,07 0,18 0,11 4 0,29 0,39 0,10 0,08 6 0,31 0,38 0,09 0,08 Secara umum persen solubilitas kalsium meningkat seiring dengan menurunnya nilai ph. Pada ph 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 1,25% dan metode basah 1,07%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai ph atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4a).

65 Solubilitas Ca (%) Tingkatan nilai ph Metode kering Metode basah Gambar 4a Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Persen solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin memperlihatkan pola yang sama dengan solubilitas kalsium yaitu persen solubilitas fosfor meningkat seiring dengan menurunnya nilai ph. Pada ph 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk metode kering sebesar 0,18% dan metode basah 0,11%. Persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan meningkatnya nilai ph atau derajat keasaman menjadi rendah (Gambar 4b) Solubilitas P (%) Tingkatan nilai ph Metode kering Metode basah Gambar 4b Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)

66 Solubilitas Ca dan P kedua tepung tulang ikan meningkat secara nyata seiring dengan meningkatnya derajat keasaman (ph rendah), dimana persen solubilitas tertinggi dihasilkan pada ph 2. Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan menggunakan metode kering mempunyai persen solubilitas Ca dan P lebih tinggi dibandingkan dengan metode basah pada tingkatan nilai ph 2. Kondisi diatas sejalan dengan hasil penelitian Yoshie et al. (1997); Santoso et al. (2006) yang masing-masing mempelajari solubilitas mineral seafood dan seaweeds dalam berbagai kondisi keasaman. Hasilnya juga menunjukkan bahwa solubilitas mineral (Ca, Mg, Fe, Zn) tertinggi terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan derajad keasaman/ peningkatan nilai ph dan sebaliknya, demikian pula persen penyerapannya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Muchtadi et al. (1989) tingkat keasaman (ph) usus halus berpengaruh langsung terhadap penyerapan Ca dan P. Meningkatnya keasaman lambung akan meningkatkan kelarutan garam kalsium di dalam usus halus dan meningkatkan absorbsinya. Pada ph alkali, penyerapan akan menurun karena terbentuknya kompleks kalsium fosfat 4.2. Penelitian Lanjutan Pada penelitian lanjutan dilakuan pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering karena memiliki nilai solubilitas kalsium dan fosfor yang tinggi. Formulasi biskuit yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima) yaitu : 0%, 2%, 4%, 6% dan 8%. Biskuit yang dihasilkan kemudian dilakukan pengujian organoleptik dengan menggunakan uji skoring untuk mendapatkan 2 (dua) formulasi terbaik yang selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan produk komersial (Biskuat susu), analisis fisik dan kimia serta analisis solubilitas kalsium dan fosfor Organoleptik Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui

67 penerimaan terhadap suatu produk. Hasil uji organoleptik terhadap 5 (lima) formulasi biskuit yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Parameter Tabel 7 Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin Biskuit K A B C D Penampakan 5,77 5,93 5,56 5,23 5,50 Warna 5,83 5,93 5,56 5,33 5,45 Aroma 5,50 6,63 6,27 5,57 5,63 Tekstur 5,73 6,76 5,96 5,17 5,13 Rasa 5,57 6,63 5,60 5,63 5,57 Keterangan : K : kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) A : Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B : Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C : Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D : Penambahan tepung tulang ikan patin 8% Penampakan Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto 1985). Penampakan suatu produk pangan akan menjadi daya tarik yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya seperti rasa, aroma dan tekstur. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit penambahan tepung tulang ikan patin yang dihasilkan berkisar antara 5,23 sampai 5,93 (agak rapih sampai mendekati rapih). Nilai penampakan tertinggi dari biskuit yang diuji, dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan nilai rata-rata 5,23 (Gambar 5).

68 (a) 5.93(a) 5.56(a) 5.23(a) 5.50(a) Penampakan K A B C D Tingkat penambahan tepung Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) Gambar 5 Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap penampakan biskuit yang dihasilkan (Lampiran 20). Hal tersebut disebabkan karena bentuk dari biskuit yang dihasilkan seragam sehingga meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga pada saat pencetakan biskuit tidak mengalami kesukaran Warna Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man 1997). Sukarni dan Kusno (1980) menyatakan bahwa warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal.

69 Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,33 sampai 5,93 (kuning sampai mendekati kuning kecoklatan). Nilai biskuit yang tertinggi untuk warna dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 5,93 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit C dengan rata-rata nilai 5,33 (Gambar 6) (a) 5.93(a) 5.56(a) 5.33(a) 5.43(a) 5.00 Warna K A B C D Tingkat penambahan tepung Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) Gambar 6 Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap warna biskuit yang dihasilkan (Lampiran 21). Hal tersebut disebabkan karena warna dari biskuit yang dihasilkan hampir seragam yaitu berwarna kuning sampai kuning kecoklatan, meskipun tingkat penambahan tepung tulang ikan patin semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan tidak mengalami perbedaan yang terlalu besar terhadap warna. Warna coklat pada biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis atau reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man 1997).

70 Aroma Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri. Dalam banyak hal, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985). Winarno (2002) menyatakan bahwa aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap aroma biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,50 sampai 6,63 (agak harum sampai harum). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai rata-rata 5,50 (Gambar 7) (a) 6.63(b) 6.27(b) 5.57(a) 5.63(a) 5.00 Aroma K A B C D Tingkat penambahan tepung Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 7 Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata tingkat penilaian panelis terhadap aroma biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A dan B mempunyai nilai rata-rata aroma yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 22). Aroma biskuit yang dihasilkan lebih banyak dipengaruhi oleh adanya susu, margarin, telur serta vanili yang ditambahkan

71 dalam adonan namun dengan penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam formulasi biskuit mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma biskuit. Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patin tidak memberikan bau amis yang berasal dari tulang kepada aroma dari biskuit yang dihasilkan sehingga sangat disukai oleh panelis Tekstur Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, kadang-kadang lebih penting daripada bau, rasa dan warna. Tekstur penting pada makanan lunak dan makanan renyah. Ciri yang paling penting diacu ialah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (de Man 1997). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap tekstur biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,17 sampai 6,76 (agak renyah sampai renyah). Nilai tertinggi biskuit untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,76 sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit D dengan nilai rata-rata 5,13 (Gambar 8). Tekstur (b) 5.73(a) 5.96(a) 5.17(a) 5.13(a) K A B C D Tingkat penambahan tepung Keterangan : - Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 8 Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp).

72 Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata tekstur yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 23). Hal tersebut disebabkan karena penambahan tepung tulang ikan patinnya semakin banyak menghasilkan tekstur biskuit yang semakin keras, hal ini juga berhubungan dengan kandungan kalsium dan fosfor yang besar dalam tepung tulang ikan patin sehingga tekstur biskuit juga akan berubah sesuai dengan banyaknya penambahan konsentrasi tepung. Meskipun demikian tekstur biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan masih dapat diterima oleh panelis dan tidak berbeda nyata dengan kontrol Rasa Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa dan tekstur merupakan keseluruhan rasa atau flavour makanan yang dinilai (Nasution 1980). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap rasa biskuit penambahan tepung tulang ikan yang dihasilkan berkisar antara 5,57 sampai 6,63 (agak enak sampai enak). Nilai tertinggi untuk aroma dicapai oleh biskuit A dengan nilai rata-rata 6,63 sedangkan nilai terendah dicapai oleh formulasi biskuit kontrol dan D dengan nilai rata-rata 5,57 (Gambar 9).

73 (b) (a) 5.60(a) 5.63(a) 5.57(a) 5.00 Rasa K A B C D Tingkat penambahan tepung Keterangan :- Simbol-simbol pada sumbu x merunjuk keterangan pada Tabel 7 - Angka-angka pada histogram yang diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Gambar 9 Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung tulang ikan patin memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk tingkat penilaian panelis terhadap rasa biskuit yang dihasilkan. Biskuit formulasi A mempunyai rata-rata rasa yang tinggi dan berbeda nyata dengan formulasi lainnya (Lampiran 24). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata mempengaruhi rasa dari biskuit yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dari tepung tulang ikan patin mengakibatkan after taste yaitu sedikit terasa berkapur, namun secara keseluruhan rasa biskuit yang dihasilkan masih dapat diterima oleh panelis Uji perbandingan pasangan Uji perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan produk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 2001). Uji perbandingan pasangan dilakukan terhadap 2 (dua) formulasi terbaik yang diperoleh dari uji organoleptik yaitu biskuit formulasi A dan B. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari biskuit yang dibuat dengan biskuit komersial. Biskuit komersial yang dijadikan pembanding adalah Biskuat Susu, yang diproduksi oleh PT. Danone Biscuits Indonesia.

74 Hasil uji perbandingan pasangan memperlihatkan bahwa dari segi penampakan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 1,00 yang berarti biskuit formulasi memiliki penampakan agak lebih rapih dibandingkan dengan biskuit komersial. Demikian pula untuk warna biskuit formulasi A dan B memiliki nilai 2,00 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki warna lebih cerah dari biskuit komersial. Kerenyahan biskuit formulasi A dan B memiliki nilai -0,87 dan -0,70 yang menunjukkan bahwa biskuit formulasi agak kurang renyah dibandingkan dengan biskuit komersial. Biskuit formulasi A dan B memiliki nilai rasa yaitu 0,20 dan 0,40 menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki rasa yang relatif sama dengan biskuit komersial (Gambar 10) Nilai rata-rata perbandingan pasangan Penampakan Warna Kerenyahan Rasa Biskuit A Biskuit B Gambar 10 Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa biskuit formulasi memiliki keunggulan dalam penampakan dan warna, kelemahan dalam kerenyahan sedangkan untuk rasa memiliki kesamaan dengan biskuit komersial Karakteristik fisik biskuit Karakeristik fisik yang dianalisis pada penelitian ini meliputi berat, ketebalan, diameter dan kekerasan biskuit. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit K, dua formulasi biskuit terbaik A dan B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

75 Tabel 8 Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial Parameter Karakteristik Fisik Biskuit Komersial K A B Berat (g) 4,00 + 0,00 a 5,00 + 0,00 b 5,00 + 0,00 b 5,00 + 0,00 b Tebal (mm) 2,00 + 0,00 a 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b 4,00 + 0,00 b Diameter (cm) 4,00 + 0,00 b 3,70 + 0,00 a 3,70 + 0,00 a 3,70 + 0,00 a Kekerasan (gf) 1129,2 + 56,4 a ,1 b ,6 b ,63 b Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Pengukuran berat, ketebalan dan diameter biskuit formulasi dibandingkan dengan biskuit komersial menunjukkan bahwa biskuit formulasi memiliki nilai berat dan ketebalan yang lebih besar sedangkan untuk diameter memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan biskuit komersial (Lampiran 34, 35, 36). Perbedaan berat, tebal dan diameter biskuit formulasi dengan biskuit komersial disebabkan karena pembuatan biskuit formulasi dilakukan secara manual khususnya pada waktu pencetakan dibandingkan dengan biskuit komersial yang menggunakan mesin. Pengukuran kekerasan biskuit dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner dengan satuan gram force (gf). Analisis kekerasan biskuit dengan menggunakan Rheoner terhadap ketiga biskuit hasil penelitian serta biskuit komersial berkisar antara 1129,16 sampai 1440,28 gf. Nilai rata-rata kekerasan biskuit tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 1440,28 gf, sedangkan nilai terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai gf. Tingkat kekerasan biskuit berhubungan erat dengan kadar protein tepung terigu dan tepung tulang ikan patin serta kalsium dan fosfor. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung cap Kunci Biru dengan kadar protein 8%, sedangkan kadar protein tulang ikan patin 22,23%. Matz (1968) menyatakan bahwa tingkat kekerasan biskuit dipengaruhi oleh kadar protein tepung terigu yang digunakan. Analisis ragam terhadap kekerasan biskuit menunjukan bahwa biskuit komersial mepunyai nilai lebih kecil berbeda nyata dengan biskuit formulasi (Lampiran 37). Kandungan mineral terbanyak dalam tepung tulang ikan patin adalah kalsium dan fosfor. Hal tersebut mengakibatkan formulasi biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin memiliki nilai kekerasan yang

76 tinggi. Semakin besar konsentrasi tepung tulang ikan yang ditambahkan maka semakin besar nilai kekerasan yang diperoleh/ tekstur biskuit semakin keras. Ketebalan juga turut berperan terhadap nilai kekerasan biskuit. Semakin tebal biskuit, semakin besar gaya/daya yang diperlukan untuk mengakibatkan hancur/pecah tekstur pada waktu pengujian Karakteristik kimia biskuit Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar air, abu, protein, lemak, nilai ph. Pengujian tersebut dilakukan terhadap biskuit formulasi K, A, B serta biskuit komersial. Hasil analisis karakteristik kimia sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial Parameter Karakteristik Kimia Biskuit Komersial K A B Kadar air (%) 2,64 + 0,07 a 4,53 + 0,07 c 3,58 + 0,27 b 3,92 + 0,05 b Abu (%) 1,77 + 0,08 b 1,06 + 0,12 a 1,54 + 0,13 b 2,09 + 0,07 c Lemak (%) 15,96 + 0,44 a 20,13 + 0,35 b 20,22 + 0,97 b 19,95 + 0,23 b Protein (%) 6,52 + 0,12 a 7,70 + 0,07 b 7,72 + 0,09 b 8,06 + 0,19 bc Kalsium (mg/g bk) 3,50 + 0,10 c 0,92 + 0,07 a 2,13 + 0,09 b 3,54 + 0,20 c Fosfor (mg/g bk) 0,65 + 0,05 a 0,43 + 0,04 a 1,48 + 0,09 b 3,29 + 0,07 c ph 7,70 + 0,09 b 6,37 + 0,02 a 6,45 + 0,02 a 6,44 + 0,03 a Karbohidrat by difference (%) 73,11 + 0,45 b 66,57 + 0,51 a 66,92 + 1,30 a 65,96 + 0,43 a Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Kadar air Air merupakan kandungan penting dalam makanan. Air dapat berupa komponen intrasel dan/ ekstrasel, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan margarin (de Man 1997). Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk.

77 Hasil analisis kadar air biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 2,64% sampai 4,53%. Kadar air tertinggi dicapai oleh biskuit K dengan nilai 4,53% sedangkan kadar air terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 2,64%. Kadar air maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI adalah 5%. Dengan demikian kadar air biskuit A dan B memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 25). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata tidak menyebabkan peningkatan kadar air tetapi menyebabkan terjadinya penurunan kadar air. Hal tersebut mungkin disebabkan karena tepung tulang ikan patin merupakan produk padat kering dengan kadar air yang rendah sehingga pada saat ditambahkan ke dalam adonan tepung tulang ikan patin menyerap air yang ada dalam adonan. Selain itu nilai kadar air juga dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven, jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan serta tingkat kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit Kadar abu Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena ada beberapa mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Sulaeman et al. 1985). Hasil analisis kadar abu biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 1,06% sampai 2,09%. Kadar abu tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 2,09% sedangkan kadar abu terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 1,06%. Kadar abu maksimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI adalah 1,5%. Dengan demikian kadar abu biskuit A memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar abu yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 26). Tepung tulang ikan patin mengandung mineral

78 khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan nilai kadar abu biskuit Kadar lemak Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur C, H dan O yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzene, ether. Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting ialah lemak netral (glycerin) (Sediaoetama 2006). Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering dan roti sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak akan memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit yang renyah (Gaman dan Sherrington 1992). Matz (1978) menyatakan bahwa lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan, kelembutan tekstur dan aroma. Hasil analisis kadar lemak biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 15,96% sampai 20,22%. Kadar lemak tertinggi dicapai oleh biskuit A dengan nilai 20,22% sedangkan kadar lemak terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 15,96%. Kadar lemak minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI adalah 9,5%. Dengan demikian kadar lemak biskuit hasil penelitian dan biskuit komersial memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit A menghasilkan nilai lemak yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit B dan K berbeda nyata dengan biskuit komersial (Lampiran 27). Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin Kadar Protein Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetama 2006). Pada umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 2002).

79 Hasil analisis kadar protein biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 6,52% sampai 8,06%. Kadar protein tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 8,06% sedangkan kadar protein terendah dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai sebesar 6,52%. Kadar protein minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI adalah 9%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi dan biskuit komersial belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B menghasilkan nilai kadar protein yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit A, K berbeda nyata terhadap biskuit komersial (Lampiran 28). Hasil analisis protein tepung tulang ikan patin yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sebesar 22,23%. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit formulasi tepung tulang ikan patin adalah tepung terigu merk Kunci Biru dengan kadar protein 8%. Tepung terigu merk kunci biru tergolong soft flour dengan kadar protein berkisar antara 7-8,5% (Astawan 1999). Peningkatan kadar protein biskuit formulasi disebabkan adanya sumbangan protein dari tepung tulang ikan patin dan susu Kadar Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Lebih dari 99% kalsium ada di dalam tulang dan gigi, yaitu bersama-sama dengan fosfor membentuk kristal larut yang disebut kalsium hidroksiapatit (Ca 3 (PO 4 ) 2 ) 3.Ca(OH) 2 (Muchtadi et al. 1993). Hasil analisis kadar kalsium biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,92 mg/g bk sampai 3,54 mg/g bk. Kadar kalsium tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,54 mg/g bk sedangkan kadar kalsium terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,92 mg/g bk. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung kalsium yang lebih tinggi dan bersama dengan biskuit komersial berbeda nyata terhadap biskuit A dan K (Lampiran 29). Tingginya kadar kalsium disebabkan karena adanya bahan yang mengandung kalsium yang cukup tinggi yaitu susu, tepung terigu (2%) serta tepung tulang ikan patin itu sendiri. Semakin tinggi penambahan

80 konsentrasi tepung tulang ikan patin maka semakin besar kadar kalsium yang dimiliki oleh biskuit formulasi Kadar fosfor Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral), dimana 85% diantaranya terdapat dalam tulang. Fosfor terdapat pada hampir semua bahan pangan sehingga jarang menimbulkan masalah (Muchtadi et al. 1993). Hasil analisis kadar fosfor biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 0,43 mg/g bk sampai 3,29 mg/g bk. Kadar fosfor tertinggi dicapai oleh biskuit B dengan nilai 3,29 mg/g bk sedangkan kadar fosfor terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai sebesar 0,43 mg/g bk. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit B mengandung forfor yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan biskuit A, K dan biskuit komersial (Lampiran 30). Penambahan tepung tulang ikan patin yang mengandung kadar fosfor yang tinggi mengakibatkan kadar fosfor biskuit formulasi juga meningkat Nilai ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Purnawijayanti (2001) menyatakan bahwa, derajat keasaman (ph) yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri perusak dan patogen adalah lebih dari 4,6 sampai dengan ph netral (7). Hasil analisis nilai ph biskuit komersial dan biskuit formulasi berkisar antara 6,37 sampai 7,70. Nilai ph tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 7,70 sedangkan nilai ph terendah dicapai oleh biskuit K dengan nilai 6,37. Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial menghasilkan nilai ph yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 31). Penambahan tepung tulang ikan patin ternyata menyebabkan peningkatan nilai ph biskuit yang dihasilkan, namun masih berada pada kisaran nilai ph asam sehingga dengan kisaran nilai tersebut dapat membantu proses

81 kelarutan kalsium dan fosfor yang sangat membutuhkan suasana asam untuk proses kelarutan dan penyerapannya Karbohidrat by difference Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur; sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisma lemak dan protein (Winarno 2002). Hasil perhitungan kadar karbohidrat biskuit komersial dan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin berkisar antara 65,96% sampai 73,11%. Kadar karbohidrat tertinggi dicapai oleh biskuit komersial dengan nilai 73,11% sedangkan kadar karbohidrat terendah dicapai oleh biskuit B dengan nilai sebesar 65,96%. Kadar karbohidrat minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI adalah 70%. Dengan demikian kadar protein biskuit formulasi belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI Analisis ragam menunjukkan bahwa biskuit komersial memiliki nilai kadar karbohidrat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan ketiga biskuit hasil penelitian (Lampiran 32). Peningkatan konsentrasi tepung tulang ikan patin ternyata tidak sejalan dengan peningkatan nilai karbohidrat. Hal tersebut dikarenakan tepung tulang ikan patin lebih banyak mengandung mineral khususnya kalsium dan fosfor dan karbohidrat yang rendah Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial disajikan pada Tabel 10.

82 Tabel 10 Hasil analisis solubilitas kalsium dan fosfor biskuit tulang ikan patin dan biskuit komersial Nilai %Ca %P ph K A B Komersial K A B Komersial 2 76,68 95,06 88,96 73,23 74,24 20,73 41,47 23, ,07 27,65 17,59 2,54 49,75 19,84 19,84 20, ,07 33,22 20,22 4,00 50,12 20,25 8,56 16,24 Persen solubilitas kalsium biskuit meningkat seiring dengan menurunnya nilai ph. Pada ph 2, persen solubilitas kalsium memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 76,68%, biskuit A 95,06%, biskuit B 88,96% dan biskuit komersial 73,23%. Persen solubilitas kalsium akan menurun seiring dengan peningkatan nilai ph atau derajat keasaman menurun (Gambar 11a). 100 Solubilitas Ca (%) Tingkatan nilai ph A B kontrol komersial Gambar 11a Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai ph Kalsium membutuhkan ph asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002). Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana ph-nya mendekati netral. Hasil analisis nilai ph tepung tulang ikan patin berkisar pada nilai 6 sehingga memudahkan proses penyerapan kalsium. Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk

83 kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982). Persen solubilitas fosfor biskuit memiliki pola yang sama dengan persen kalsium biskuit yaitu meningkatnya persen solubilitas fosfor seiring dengan penurunan nilai ph. Pada ph 2, persen solubilitas fosfor memiliki nilai tertinggi yaitu untuk biskuit K sebesar 74,24%, biskuit A 20,73%, biskuit B 41,47% dan biskuit komersial 23,25%. Pada umumnya persen solubilitas fosfor akan menurun seiring dengan peningkatan nilai ph atau derajat keasaman rendah (Gambar 11 b). Fosfor dapat diabsorpsi secara efisien sebagai fosfor bebas di dalam usus setelah dihidrolisis dan dilepas dari makanan (Almatsier 2002). Solubilitas P (%) Tingkatan nilai ph A B kontrol komersial Gambar 11b Grafik solubilitas fosfor biskuit pada berbagai nilai ph Tingginya solubilitas kalsium dan fosfor biskuit dibandingkan dengan tepung disebabkan karena adanya interaksi zat gizi terutama dengan protein yang berasal dari susu dan telur. Ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral (Yoshie et al. 1997). Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan Ca. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al dalam Blaney et al. 1996). Protein berperan penting dalam penyerapan Ca ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbinding

84 (protein pengikat kalsium). Calbinding berperan sebagai protein transport untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal (Groff dan Gropper 2001) Informasi nilai gizi biskuit Nilai gizi biskuit formulasi berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) ratarata yang dianjurkan untuk per orang per hari untuk usia tahun, berdasarkan diet sebesar 2000 kkal. Informasi nilai gizi biskuit sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial Biskuit Komersial Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 462,16 kkal Gizi %AKG Ca 87,92 mg/100 g bk 10,99% P 17,64 mg/100 g bk 2,94% Protein 1,68 g/100 g bk 2,80% Lemak 4,20 g/100 g bk 4,94% Biskuit Kontrol Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 478,10 kkal Gizi %AKG Ca 30,08 mg/100 g bk 3,89% P 14,35 mg/100 g bk 2,93% Protein 2,45 g/100 g bk 4,08% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82% Biskuit A Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 479,38 kkal Gizi %AKG Ca 72,10 mg/100 g bk 9,01% P 50,05 mg/100 g bk 8,43% Protein 2,45 g/100 g bk 4,08% Lemak 7,00 g/100 g bk 8,23% Biskuit B Takaran saji (7 keping) : 35 g Energi : 475,63 kkal Gizi %AKG Ca 119,35 mg/100 g bk 14,92% P 110,95 mg/100 g bk 18,49% Protein 2,80 g/100 g bk 4,76% Lemak 6,65 g/100 g bk 7,82% Apabila seluruh zat gizi dapat diserap dengan baik oleh tubuh, konsumsi 7 keping (35 g) biskuit formulasi menyumbang kebutuhan kalsium sebesar 9,01% dan fosfor sebesar 8,43% (biskuit A), kalsium sebesar 14,92% dan fosfor sebesar 18,49% (biskuit B). Persentase didasarkan pada AKG zat gizi dengan nilai energi diet sebesar 2000 kkal.

85 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Tepung tulang ikan patin yang dibuat dengan metode kering menghasilkan nilai sebagai berikut : daya serap air 48,54%, densitas kamba 0,80 g/ml, derajat putih 62,82%, kadar air 6,53%, abu 56,38%, ph 7,56, kalsium 264,53 mg/g bk, fosfor 88 mg/g bk, solubilitas kalsium dan fosfor pada ph 2 sebesar 1,25% dan 0,18%. Hasil uji perbandingan pasangan biskuit formulasi terbaik dengan produk biskuit komersial (biskuat), biskuit formulasi memiliki nilai mutu yang lebih baik dari segi penampakan dan warna, rasa tidak berbeda dengan biskuit komersial sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh biskuit formulasi adalah kerenyahan. Hasil analisis fisik dan kimia serta solubilitas kalsium dan fosfor biskuit formulasi terbaik ( A dan B) berdasarkan hasil pengujian organoleptik adalah sebagai berikut : berat 5 g, tebal 4 mm, diameter 3,7 cm, kekerasan 1391,67 gf dan 1440,28 gf; kadar air 3,58% dan 3,92%; abu 1,54% dan 2,09%; lemak 20,22% dan 19,95%; protein 7,72% dan 8,07%; karbohidrat 66,92% dan 65,96%; Ca 2,13 mg/g bk dan 3,54 mg/g bk; P 1,48 mg/g bk dan 3,29 mg/g bk; ph 6,45 dan ph 6,44; solubilitas kalsium dan fosfor terbaik pada nilai ph 2 dengan nilai berturut-turut 95,06% dan 88,96% untuk kalsium dan 20,73% dan 41,47% untuk fosfor. 5.2 Saran a. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari bioavailibilitas mineral kalsium dan fosfor secara in-vitro dengan menggunakan teknik multienzim atau in-vivo dengan hewan percobaan. b. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh metode penepungan dan pengolahan ke dalam bentuk produk pangan terhadap kandungan Ca dan P dalam bentuk ion. c. Perlu dilakukan aplikasi penambahan tepung tulang ikan patin ke dalam bentuk produk lain seperti kerupuk dan keripik.

86 DAFTAR PUSTAKA Alais C, Linden G Food Biochemistry. London: Ellis Harwood. Allen LH, Wood JR Calsium and Phosporus. Dalam Modern Nutrition in Health and Disease ed. 8 vol 1. Shils EM, Olsen JA, Shilke M (eds). Lea & Febringer. USA. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Almond N Biscuits, Cookies and Crackers. London: Apllied Science Publishers. Anggorodi R Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT Gramedia. Anggraeni D Analisa Mineral Plasma Darah. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Anonim Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Jakarta: Penerbit Djambatan. Anonim Pengolahan Limbah. Pertemuan Teknis Pembinaan Mutu Hasil Perikanan dan Latihan Penerapan HACCP. Jakarata: Ditjen Perikanan. Anonim Perbedaan antara Margarine dan Mentega. [5 April 2007]. Anwar F Mempelajari sifat fisik, organoleptik dan nilai gizi protein makanan bayi dari campuran tepung beras konsentrat protein jagung dan tepung tempe [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarwati, Budiyanto S Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Asni Y Studi pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Pangasius hipothalmus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Astawan M Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Blaney S, Zee JA, Mongeau R, Marin J Combined effect of various tiped of dietary fiber and protein on in vitro calsium availability. J. Agric. Food Chem. 44 : Booth RG Snack Food. New York: Van Nostrand Reinhold.

87 [BPPIS] Badan Penelitian Pengembangan Industri Surabaya Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih tepung Tapioka. Surabaya. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton N Food Science. Edisi Kedua. Penerjemah: Purnomo H, Adiono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Charley H Food Science. 2 nd ed. New York: Jhon Wiley and Sons. Clydesdale FM Minerals : Their chemistry and fate in food. Dalam Smith KT. (ed). Trace Mineral in Foods. New York: Marcel Dekker Inc. de Man JM Principles of Food Chemistry. Edisi kedua. Penerjemah: Padmawinata K. Bandung : Penerbit Institut Teknologi Bandung. Desrosier NW The Technology of Food Preservation. Penerjemah: Muljohardjo M. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D Modul Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Faridi H, Faubion JM Dough Rheology and Baked Product Texture. New York: Nostrand Reinhold. Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasri LN Petunjuk Laboratorium: Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fox MRS Nutrient Interaction. New York: Marcel Dekker Inc. Gaman PM, Sherrington KB The Science of Food: An Introduction of Food Science, Nutrition and Microbiology. 3 rd ed. Oxford: Pergamon Press. Greger JL Nondigestable carbohydrates and mineral bioavailability. Am. J. Clin. Nutr : :1434S-1456S. Groff JL, Gropper SS Advanced Nutrition and Human Metabolism. Belmont:Wadsworth/Thomson Learning. Guthrie HA Introductory Nutrition. Saint Louis: Mosby Company. Halver JE Fish Nutrition. New York: Academic Press, Inc. Hardinsyah, Martianto D Gizi Terapan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hardman TM Water and Food Quality. London: Elsevier Apllied Science.

88 Harland FB, Oberleas D Effect of dietary fiber and phytat in the homeostatis and bioavailability of mineral. Di dalam: Spiller AG, editors. Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3 rd Edition. USA: Library of Congress. Iodarine A, Khan MJ, Weber CW In vitro binding capasity of wheat bran, rice bran and oat fiber for Ca, Mg, Cu and Zn alone and in different combination. J Agric. Food Chem. 44: [ISA] International Seafood of Alaska Analysis of Fish Meal. [5 April 2007]. Kaup SM, Greger JL, Lee K Nutritional evaluation with animal model of cottage cheese fortified with calcium and guar gum. J. Food Sci. 56(3) : Kaplan A Element of Food Production and Baking. New York: ITT Educational Service Inc. Karyadi D, Muhilal Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Khairuman, Suhendra Budidaya Patin Secara Intensif. Jakarta: Agro Media Pustaka. Lehninger AL Principles of Biochemistry. Penerjemah: Thenawidjaja M. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lin CS, Zayas JF Functionality of defatted corn germ proteins in a model system: Fat binding capacity and water retention. J. Food Sci. 52: Linder MC Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah : Parakkasi A. Jakarta: UI Press. Lovell T Nutrition and Feeding on Fish. New York: AVI Book Publishing by Van Nostrand Reinhold. Lutwak L Dietary calcium: Source, interaction with other nutrients and relationship to dental, bone and kidney disease. Dalam Beittz DC, Nansen RC (eds). Animal Products in Human Nutrition. New York:Academic Press. Mahani Pembuatan cookies yang diperkaya dengan kalsium [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Manley DJR Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Chichester: Ellis Horwood Limited.

89 Martinez I, Santaella M, Ros G, Periago MJ Content and in Vitro availibility of Fe, Zn and P in homogenized fish-base weaning food after bone addition. Food Chem. 63: Matz SA, Matz TD Cookies and Crackers Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Matz SA Snack Food Technology. 3 rd (edition). Mc Allen, Texas: Pan- Tech International, Inc. Maynard LA, Loosli JK Animal Nutrition. 4 th (edition). New York: Mc Graw Hill Book Company. Miller DD Calsium in the diet: Food source, recommended intake, and nutritional bioavailability. Di dalam : Fennema OR (eds). Food Chemistry. 3 th Edition. New York: Cornell University. Morrison, FB Feed and Feeding. Nineth Edition. Washington DC: The Morrison Research Council, National Academy of Science. Muchtadi TR, Sugiyono Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M Metabolisma Zat Gizi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Mulia Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai altnernatif sumber kalsium dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nasution A Metode Penilaian Cita Rasa I. Bogor: Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Newman MC, Jagoe CH Ligands and the Bioavailibility of Metals in Aquatic Environments. Boca Raton : CRC Press, Lewis Publishers. Nurdiani R Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sutchi) untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. O Dell BL Bioavailability of trace elements. Nutr Rev.42: Piliang WG, Djojosoebagio S Fisiologi Nutrisi,Volume II. Bogor: IPB Press. Purnawijayanti HA Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.

90 Purnomo H Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Jakarata: Penerbit Universitas indonesia (UI Press). Rahayu WP Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rangganan S Hand Book of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Product. New Delhi: Tata Mc Graw Hill Publ. Co. Ltd. Rasyaf M Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP A Simple Wet Oxidation Procedure for Biological Materials. West Lafayette: Animal Science Department. Purdue University. Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. Santoso J Studies on nutritional components and antioksidants activity in several Indonesian seaweeds [disertasi]. Tokyo: Laboratory Chemistry of Food and Nutrition, Department of Food Science and Technology, Tokyo University of Fisheries. Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T Mineral content of Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food Sci. Tech. Res. 12: Sediaoetama AD Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. [SNI] Standar Nasional Indonesia Mutu dan Cara Uji Biskuit. SNI Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Soedarno YE Substitusi parsial tepung terigu dengan tepung asia dan tepung kecamba kacang hijau dalam pembuatan cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekarto ST Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Spiller AG Definition of Dietary Fiber. Di Dalam: Spiller AG, (ed). Handbooks of Dietary Fiber in Human Nutrition 3 rd Edition. USA: Library of Congress. Steel RD, Torrie JH Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah : Sumantri B. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Subasinghe S Inovative and value-added tuna product and markets. Infofish International. Number 1/96. January/February.

91 Sukarni M, Kusno SR Metode Penilaian Citarasa II. Bogor: Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan dan Marliyati SA Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sunaryo E Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Susanto H, Amri K Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya. Tabakaka R Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai bahan tambahan kerupuk [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tanuwidjaya N Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius pangasius Ham Buch) dalam pembuatan mi kering [skripsi]. Karawaci: Universitas Pelita Harapan. Torre M, Rodriquez RA, Calixto-Saura F Interaction of Fe (II) and Fe (III) with high dietary fibre materials: A phsycochemical approach. Food Chem. 5: Urbano MG, Goni I Bioavailability of nutrition in rats fed on edible seaweeds, nori (Porphyra tenera) and wakame (Undaria pinnatifida) as a source of dietary fiber. Food Chem.76: Van Mosevelde B Culinary Curies: Calsium Fortification. [ 15 Desember 2006]. Vail GE, Philips JA, Rust LO, Griswold RM, Justin M Foods. 7 th (eds). Boston: Houngthon Mifflin Company. Watzke HJ Impact of processing on bioavailability examples of minerals in foods. Trends Food Sci. Tech. 8: Whiteley PR Biscuit Manufactory. London: Applied Science Publishing. Widya Karya Pangan dan Gizi Risalah Widya Karya Pangan dan Gizi IV. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Winarno FG, Fardiaz S Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG Limbah Pertanian. Jakarta: Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan.

92 Winarno FG Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM Sifat Fisik Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Yoshie Y, Suzuki T, Clydesdale FM Iron solubility from seafoods with added iron and organic acid under stimulated gastrointestinal conditional. J. Food Quality. 20:

93 Lampiran 1 Lembar penilaian organoleptik Nama panelis : Jenis produk : Biskuit Tgl penilaian : Instruksi : Saudara dimohonkan untuk memberikan penilaian terhadap kelima macam sampel biskuit yang ada sesuai dengan tingkat kesukaan saudara. Isilah nilai tingkat kesukaan pada kolom yang disediakan. Penilaian : Dengan skala 1-7 A. Penampakan B. Warna 7 : Sangat rapih 7 : Coklat 6 : Rapih 6 : Kuning kecoklatan 5 : Agak rapih 5 : Kuning 4 : Biasa 4 : Agak kekuningan 3 : Agak kurang rapih 3 : Agak hangus 2 : Tidak rapih 2 : Hangus 1 : Sangat tidak rapih 1 : Sangat hangus C. Rasa D. Aroma E. Tekstur 7 : Sangat enak 7 : Sangat harum 7 : Sangat Renyah 6 : Enak 6 : Harum 6 : Renyah 5 : Agak Enak 5 : Agak harum 5 : Agak Renyah 4 : Biasa 4 : Biasa 4 : Biasa 3 : Agak kurang Enak 3 : Agak kurang harum 3 : Agak keras 2 : Tidak enak 2 : Tidak harum 2 : Keras 1 : Sangat tidak enak 1 : Sangat tidak harum 1 : Sangat keras Parameter Kode sampel Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Komentar panelis :

94 Lampiran 2 Lembar isian uji organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran). Nama Panelis : Hari/tanggal : Produk : Biskuit Instruksi : Bandingkan Warna, Kerenyahan, Aroma dan Penampakan produk yang disajikan terhadap produk pembanding, berilah tanda X (silang) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. Kode produk : Kode pembanding : Warna Sangat lebih cerah Lebih cerah Agak lebih cerah Tidak berbeda Agak kurang cerah Kurang cerah Sangat kurang cerah Rasa Sangat lebih enak Lebih enak Agak lebih enak Tidak berbeda Agak kurang enak Kurang enak Sangat kurang enak Komentar panelis : Kerenyahan Sangat lebih renyah Lebih renyah Agak lebih renyah Tidak berbeda Agak kurang renyah Kurang renyah Sangat kurang renyah Penampakan Sangat lebih rapih Lebih rapih Agak lebih rapih Tidak berbeda Agak kurang rapih Kurang rapih Sangat kurang rapih

95 Lampiran 3 Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between 0, ,395 2,44 0,193 Group Within 0, ,162 Group Total 1,044 5 Lampiran 4 Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangsius sp) Group Statistics daya_serap_air kriteria kering basah Std. Error N Mean Std. Deviation Mean Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the Difference F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper daya_serap_ Equal varianc assumed Equal varianc not assumed Karena pada Levene s Test for Equality of Variances nilai Sig. > artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H 0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%. Lampiran 5 Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between 0, , ,00 1,000 Group Within 0, , Group Total 0,

96 Lampiran 6 Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics kadar_air kriteria kering basah Std. Error N Mean Std. Deviation Mean Independent Samples Test kadar_ai Equal varianc assumed Equal varianc not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. t-test for Equality of Means Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper Karena pada Levene s Test for Equality of Variances nilai Sig. < artinya asumsi kehomogenan ragam tidak terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances not assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H 0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%. Lampiran 7 Analisis ragam kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics kadar_abu kriteria kering basah Std. Error N Mean Std. Deviation Mean Independent Samples Test kadar_abu Equal variance assumed Equal variance not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. t-test for Equality of Means Mean t df Sig. (2-tailed) Difference 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper Karena pada Levene s Test for Equality of Variances nilai Sig. > artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H 0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.

97 Lampiran 8 Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between ,70 0,451 Group Within Group Total Lampiran 9 Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between 162, ,9 2,01 0,229 Group Within 324,1 4 81,0 Group Total 486,9 5 Lampiran 10 Analisis ragam nilai ph tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Group Statistics ph kriteria kering basah Std. Error N Mean Std. Deviation Mean Independent Samples Test ph Equal variance assumed Equal variance not assumed Levene's Test for Equality of Variances F Sig. t-test for Equality of Means Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper Karena pada Levene s Test for Equality of Variances nilai Sig. > artinya asumsi kehomogenan ragam terpenuhi, sehingga kita pakai Equal variances assumed. Pada t-test for Equality of Means nilai Sig. < 0.05 kesimpulannya tolak H 0 artinya Metode kering dan basah berbeda nyata pada taraf Alpha 5%.

98 Lampiran 11 Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between 2, ,907 6,75 0,122 Group Within 0, ,431 Group Total 3,768 3 Lampiran 12 Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Source of SS df MS F Sig Variation Between 0, ,4032 7,31 0,114 Group Within 0, ,0551 Group Total 0,5135 3

99 Lampiran 13 Data uji organoleptik penampakan biskuit Panelis Biskuit K A B C D K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

100 Lampiran 14 Data uji organoleptik warna biskuit Panelis Biskuit K A B C D K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

101 Lampiran 15 Data uji organoleptik aroma biskuit Panelis Biskuit K A B C D K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

102 Lampiran 16 Data uji organoleptik tekstur biskuit Panelis Biskuit K A B C D K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

103 Lampiran 17 Data uji organoleptik rasa biskuit Panelis Biskuit K A B C D K = Kontrol / tidak ada penambahan tepung tulang ikan patin (0%) A = Penambahan tepung tulang ikan patin 2% B = Penambahan tepung tulang ikan patin 4% C = Penambahan tepung tulang ikan patin 6% D = Penambahan tepung tulang ikan patin 8%

104 Lampiran 18 Data uji perbandingan pasangan biskuit A Panelis Parameter Penampakan Warna Kerenyahan Rasa

105 Lampiran 19 Data uji perbandingan pasangan biskuit B Panelis Parameter Penampakan Warna Kerenyahan Rasa

106 Lampiran 20 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit Rank Penampakan Perlakuan N Mean Rank 0% % % % % Total 150 Test statistics ab Penampakan Chi-square df 4 Asymp.Sig.193 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan Lampiran 21 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit Rank Warna Perlakuan N Mean Rank 0% % % % % Total 150 Test statistics ab Warna Chi-square df 4 Asymp.Sig.173 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan

107 Lampiran 22 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma Perlakuan N Mean Rank 0% 30 59,48 2% ,93 4% 30 68,40 6% 30 59,47 8% 30 65,22 Total 150 Test statistics ab Aroma Chi-square 31,022 df 4 Asymp.Sig.000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan Dependent Variable: aroma Tukey HSD Multiple Comparisons (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 0% 2% -1,133*,236,000-1,78 -,48 4% -,767*,236,012-1,42 -,12 6% -,067,236,999 -,72,58 8% -,133,236,980 -,78,52 2% 0% 1,133*,236,000,48 1,78 4%,367,236,528 -,28 1,02 6% 1,067*,236,000,42 1,72 8% 1,000*,236,000,35 1,65 4% 0%,767*,236,012,12 1,42 2% -,367,236,528-1,02,28 6%,700*,236,028,05 1,35 8%,633,236,061 -,02 1,28 6% 0%,067,236,999 -,58,72 2% -1,067*,236,000-1,72 -,42 4% -,700*,236,028-1,35 -,05 8% -,067,236,999 -,72,58 8% 0%,133,236,980 -,52,78 2% -1,000*,236,000-1,65 -,35 4% -,633,236,061-1,28,02 6%,067,236,999 -,58,72 *. The mean difference is significant at the.05 level.

108 Lampiran 23 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma Perlakuan N Mean Rank 0% % % % % Total 150 Test statistics ab Aroma Chi-square df 4 Asymp.Sig.000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan Dependent Variable: tekstur Tukey HSD Multiple Comparisons (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 0% 2% -1,033*,273,002-1,79 -,28 4% -,300,273,806-1,05,45 6%,567,273,236 -,19 1,32 8%,600,273,186 -,15 1,35 2% 0% 1,033*,273,002,28 1,79 4%,733,273,061 -,02 1,49 6% 1,600*,273,000,85 2,35 8% 1,633*,273,000,88 2,39 4% 0%,300,273,806 -,45 1,05 2% -,733,273,061-1,49,02 6%,867*,273,015,11 1,62 8%,900*,273,011,15 1,65 6% 0% -,567,273,236-1,32,19 2% -1,600*,273,000-2,35 -,85 4% -,867*,273,015-1,62 -,11 8%,033,273 1,000 -,72,79 8% 0% -,600,273,186-1,35,15 2% -1,633*,273,000-2,39 -,88 4% -,900*,273,011-1,65 -,15 6% -,033,273 1,000 -,79,72 *. The mean difference is significant at the.05 level.

109 Lampiran 24 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut multiple comparison Rank Aroma Perlakuan N Mean Rank 0% % % % % Total 150 Test statistics ab Aroma Chi-square df 4 Asymp.Sig.000 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable : Perlakuan Dependent Variable: rasa Tukey HSD Multiple Comparisons (I) Konsentrasi tepung (J) Konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 0% 2% -1,067*,260,001-1,78 -,35 4% -,500,260,308-1,22,22 6% -,067,260,999 -,78,65 8%,000,260 1,000 -,72,72 2% 0% 1,067*,260,001,35 1,78 4%,567,260,192 -,15 1,28 6% 1,000*,260,002,28 1,72 8% 1,067*,260,001,35 1,78 4% 0%,500,260,308 -,22 1,22 2% -,567,260,192-1,28,15 6%,433,260,456 -,28 1,15 8%,500,260,308 -,22 1,22 6% 0%,067,260,999 -,65,78 2% -1,000*,260,002-1,72 -,28 4% -,433,260,456-1,15,28 8%,067,260,999 -,65,78 8% 0%,000,260 1,000 -,72,72 2% -1,067*,260,001-1,78 -,35 4% -,500,260,308-1,22,22 6% -,067,260,999 -,78,65 *. The mean difference is significant at the.05 level.

110 Lampiran 25 Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 5, , ,71 0,000 Group Within 0, ,0212 Group Total 5, Dependent Variable: air Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % * % * % biskuat.95000* % * % % biskuat * %.94333* %.60667* % biskuat * % % * *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

111 Lampiran 26 Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 5, , ,71 0,000 Group Within 0, ,0212 Group Total 5, Dependent Variable: abu Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% %.70667* % * % biskuat %.48000* % * % biskuat * % * % * % biskuat.32333* %.55000* % * *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

112 Lampiran 27 Analisis ragam kadar protein biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 3, , ,68 0,000 Group Within 0, ,0285 Group Total 4, Dependent Variable: protein Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % * % * % biskuat * % % % biskuat * % % % biskuat * % % *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

113 Lampiran 28 Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 38, ,682 49,54 0,000 Group Within 2, ,256 Group Total 40, Dependent Variable: lemak Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % * % * % biskuat * % % % biskuat * % % % biskuat * % % *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

114 Lampiran 29 Analisis ragam nilai ph biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 3, , ,61 0,000 Group Within 0, ,00285 Group Total 3, Dependent Variable: ph Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % * % * % biskuat * % % % biskuat * % % % biskuat * % % *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

115 Lampiran 30 Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 14, , ,45 0,000 Group Within 0, ,0170 Group Total 14, Dependent Variable: kalsium Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung tulang ikan patin biskuat 2% 0% 4% (J) konsentrasi tepung tulang ikan patin 2% 0% 4% biskuat 0% 4% biskuat 2% 4% biskuat 2% 0% *. The mean difference is significant at the.05 level. Mean Difference 95% Confidence Interval (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound * * * * * * * * * * Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

116 Lampiran 31 Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 15, , ,41 0,000 Group Within 0, ,0256 Group Total 15, Dependent Variable: fosfor Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % % * % biskuat.82667* % * % * % biskuat % * % * % biskuat * % * % * *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

117 Lampiran 32 Analisis ragam kadar karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between 100, ,392 56,32 0,000 Group Within 4, ,593 Group Total 104, Dependent Variable: karbohidrat Tukey HSD Multiple Comparisons Mean Difference 95% Confidence Interval (I) biskuit (J) biskuit (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound kontrol A B komersil * A kontrol B komersil * B kontrol A komersil * komersil kontrol * A * B * *. The mean difference is significant at the.05 level.

118 Lampiran 33 Analisis ragam berat biskuit Source of SS df MS F Sig Variation Between 2, , ,00 0,00 Group Within 0, , Group Total 2, Lampiran 34 Analisis ragam ketebalan biskuit Source of SS df MS F Sig Variation Between 9, , ,00 0,00 Group Within 0, , Group Total 9, Lampiran 35 Analisis ragam diameter biskuit Source of SS df MS F Sig Variation Between 0, , ,00 0,00 Group Within 0, , Group Total 0,

119 Lampiran 36 Analisis ragam kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey Source of SS df MS F Sig Variation Between ,10 0,000 Group Within Group Total Dependent Variable: kekerasan Tukey HSD Multiple Comparisons (I) konsentrasi tepung (J) konsentrasi tepung Mean Difference 95% Confidence Interval tulang ikan patin tulang ikan patin (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound biskuat 2% * % * % * % biskuat * % % % biskuat * % % % biskuat * % % *. The mean difference is significant at the.05 level. Keterangan : 0% = Biskuit kontrol (K) 2% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 2% (A) 4% = Biskuit penambahan tepung tulang ikan patin 4% (B)

120 Lampiran 37 Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit 1. Biskuit komersial Nilai kalori = 9 15, = 462,16 kal 2. Biskuit K Nilai kalori = 9 20,14 4 7, , 57 = 478,10 kal 3. Biskuit A Nilai kalori = 9 20,10 4 7, , 92 = 479,38 kal 4. Biskuit B Nilai kalori = 9 19,95 4 8, , 96 = 475,63 kal Dengan demikian nilai kalori kedua formulasi biskuit sesuai dengan standar nilai kalori biskuit yang ditetapkan dalam SNI yaitu sebesar minimum 400 kal/100 g.

121 Lampiran 38 Tepung tulang ikan patin METODE BASAH METODE KERING

122 Lampiran 39 Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan Biskuit K Biskuit A Biskuit B Biskuit C Biskuit D

123 Lampiran 40 Tulang ikan patin utuh Lampiran 41 Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran

124 Lampiran 42 Tulang ikan patin siap diolah menjadi tepung Lampiran 43 Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A Kadar kalsium dalam biskuit A = 2,13 mg / 213 mg/100 g bk Kadar air = 3,58% 100 g berat kering = g berat basah (3,58%bb) Berat basah = 103,58 g Kalsium dalam biskuit A = 213 mg/100 g bk = 213 mg/ 103,58 g biskuit = 2,06 mg/ g biskuit Kadar kalsium biskuit per takaran saji (35 g) = 2,06 mg/ g biskuit x 35 g = 72,10 mg % AKG = (72,10 / 800 mg) x 100% = 9,01%

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik, dan kulit. Seiring

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu jenis organisme laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Berdasarkan data DKP (2005), ekspor rajungan beku sebesar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia belum optimal dilakukan sampai dengan memanfaatkan limbah hasil pengolahan, padahal limbah tersebut dapat diolah lebih lanjut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga yang sehat merupakan kebahagian bagi kehidupan manusia. Hal ini memang menjadi tujuan pokok dalam kehidupan. Soal kesehatan ditentukan oleh makanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung tulang ikan patin yang bahan bakunya diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB dengan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN Wini Trilaksani 1), Ella Salamah 1), dan Muhammad Nabil 2) Abstrak Penelitian tentang pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumbangan zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

Kompartemen cairan di dalam tubuh

Kompartemen cairan di dalam tubuh MINERAL definisi Mineral merupakan bagian dari tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. fungsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Defenisi Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur

BAB I PENDAHULUAN. vitamin dan mineral, sayuran juga menambah ragam, rasa, warna dan tekstur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran segar adalah bahan pangan yang banyak mengandung vitamin dan mineral yang penting untuk tubuh (Ayu, 2002). Di samping sebagai sumber gizi, vitamin dan mineral,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Udang Mantis ( Harpiosquilla raphidea

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Udang Mantis ( Harpiosquilla raphidea 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan jenis udang yang bersifat sebagai predator. Pemberian nama udang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN Oleh : Muhammad Nabil C03400041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA

PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA PENGARUH METODE PENGOLAHAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL REMIS (Corbicula javanica) RIKA KURNIA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Kalsium dibutuhkan di semua jaringan tubuh, khususnya tulang. Sekitar 99% kalsium tubuh berada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kuning melalui proses fermentasi jamur yaitu Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, atau Rhizopus oligosporus. Tempe dikenal sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai beranekaragam biji-bijian kacang polong yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tempe seperti kacang merah, kacang hijau, kacang tanah, biji kecipir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan

BAB I PENDAHULUAN. akan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani siklus hidupnya membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Kebutuhan zat gizi bagi tubuh meliputi kebutuhan akan zat gizi makro dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan peternakan dimasa mendatang bertujuan untuk mewujudkan peternakan yang modern, efisien, mandiri mampu bersaing dan berkelanjutan sekaligus dapat memberdayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ayam Ayam merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino essensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Selain itu serat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan

I. PENDAHULUAN. oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kalsium merupakan salah satu mineral makro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kekurangan asupan kalsium di dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan, terutama berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menunjang kegiatan usaha budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian. (The Tree of Life) atau pohon yang amat

BAB I PENDAHULUAN. seluruh bagian tanaman kelapa mempunyai manfaat yang besar. Demikian. (The Tree of Life) atau pohon yang amat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan komoditas strategis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa

Lebih terperinci

GIZI. Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan

GIZI. Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan GIZI Pentingnya makanan bagi kesehatan Makanan bergizi Syarat dan Nilai makanan sehat Zat makanan yang mengganggu kesehatan Lanjutan Gizi : Arab gizzah : zat makanan sehat Makanan : segala sesuatu yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR UNTUK MENINGKATKAN NILAI GIZI MAKRON KENARI

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR UNTUK MENINGKATKAN NILAI GIZI MAKRON KENARI PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR UNTUK MENINGKATKAN NILAI GIZI MAKRON KENARI AHMAD THALIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koya adalah bubuk atau serbuk gurih yang digunakan sebagai taburan pelengkap makanan (Handayani dan Marwanti, 2011). Bubuk koya ini pada umumnya sering ditambahkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, masalah gizi kurang masih banyak ditemukan, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, masalah gizi kurang masih banyak ditemukan, khususnya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masalah gizi di Indonesia yaitu gizi lebih dan gizi kurang. Sebagai negara berkembang, masalah gizi kurang masih banyak ditemukan, khususnya difisiensi zat gizi mikro.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Gigi merupakan jaringan keras pada rongga mulut yang berfungsi memotong, menghaluskan, dan mencampur makanan (Hall, 2011). Bagian keras dari gigi adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang panjang sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi bukan tanaman asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini tumbuh dan menyebar

Lebih terperinci

Calcium Softgel Cegah Osteoporosis

Calcium Softgel Cegah Osteoporosis Calcium Softgel Cegah Osteoporosis Calcium softgel mampu mencegah terjadinya Osteoporosis. Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang (kepadatan tulang) secara keseluruhan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada garis khatulistiwa. Hal ini mempengaruhi segi iklim, dimana Indonesia hanya memiliki 2 musim

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi dapat digolongkan sebagai minuman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi dapat digolongkan sebagai minuman BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kopi 1. Pengertian kopi Kopi merupakan salah satu minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kopi dapat digolongkan sebagai minuman psikostimulant

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Tepung Daging-Tulang Leher Ayam Pedaging Penelitian tahap pertama ini adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam (TDTLA) Pedaging. Rendemen TDTLA Pedaging

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Serat 2.1.1 Definisi Serat Pangan Definisi fisiologis serat pangan adalah sisa sel tanaman setelah dihidrolisis enzim pencernaan manusia. Hal ini termasuk materi dinding sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lele (Clarias sp.) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersil oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Rasa dagingnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Sumber: Dokumentasi Pribadi) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1033ºK, titik lebur 336,8 ºK, dan massa jenis 0,86 gram/cm 3. Kalium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1033ºK, titik lebur 336,8 ºK, dan massa jenis 0,86 gram/cm 3. Kalium BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kalium 1. Deskripsi Kalium merupakan logam alkali yang sangat reaktif, mempunyai rumus atom K +, berwarna putih perak dan merupakan logam yang lunak. Kalium mempunyai nomor atom

Lebih terperinci

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK Oleh : Titian Rahmad S. H0506010 JURUSAN/PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 MINERAL Mineral merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Derajat Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) benih ikan patin yang dipelihara dengan masa pemeliharaan 30 hari memiliki hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Remis ( Corbicula javanica

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Remis ( Corbicula javanica 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Remis (Corbicula javanica). Remis (Corbicula javanica) merupakan sekelompok kerang-kerangan kecil yang hidup di dasar perairan. Remis (Corbicula javanica

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil olahan fermentasi sudah banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia diantaranya adalah tempe, keju, kefir, nata, yoghurt, dan lainlain. Salah satu yang populer

Lebih terperinci

GIZI WANITA HAMIL SEMESTER VI - 6 DAN 7

GIZI WANITA HAMIL SEMESTER VI - 6 DAN 7 GIZI WANITA HAMIL SEMESTER VI - 6 DAN 7 METABOLISME MINERAL PADA WANITA HAMIL : KALSIUM DAN FOSFOR Selama kehamilan metabolisme kalsium dan fosfor mengalami perubahan. ABSORBSI kalsium dalam darah menurun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berada di dalam jaringan lain dan cairan tubuh yang secara luas didistribusikan ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berada di dalam jaringan lain dan cairan tubuh yang secara luas didistribusikan ke BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kalsium 1. Definisi Kalsium Kalsium adalah elemen mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. terdapat kurang lebih 1.200 gram kalsium, 99% berada di dalam tulang rangka,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian Kandungan Nutrisi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Pakan Penelitian Kandungan nutrisi pakan tergantung pada bahan pakan yang digunakan dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi pakan penelitian dari analisis proksimat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai golongan apapun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. occidentale L.) seluas ha, tersebar di propinsi Sulawesi. Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur,

BAB I PENDAHULUAN. occidentale L.) seluas ha, tersebar di propinsi Sulawesi. Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki areal perkebunan jambu mete (Anacardium occidentale L.) seluas 560.813 ha, tersebar di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu limbah yang dihasilkan dari Rumah Potong Ayam (RPA) adalah ceker

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu limbah yang dihasilkan dari Rumah Potong Ayam (RPA) adalah ceker BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu limbah yang dihasilkan dari Rumah Potong Ayam (RPA) adalah ceker ayam dengan volume limbah cukup banyak.ceker ayam adalah suatu bagian dari tubuh ayam yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 :

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan adalah produk fermentasi berbasis susu. Menurut Bahar (2008 : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konsumsi produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Produk-produk fermentasi dapat berbahan dari produk hewani maupun

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan menggunakan tepung terigu, namun tepung terigu adalah produk impor. Untuk mengurangi kuota impor terigu tersebut

Lebih terperinci

Apa itu Kalsium (Ca)?

Apa itu Kalsium (Ca)? 19 Sumber Makanan yang Mengandung Kalsium Tinggi Selain Susu - Selama ini kita mengenal bahwa susu adalah sumber kalsium tertinggi. Tapi tahukah anda, masih banyak makanan lainnya yang mengandung kalsium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui

Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui Penting Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui 1 / 11 Gizi Seimbang Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui Perubahan Berat Badan - IMT normal 18,25-25 tambah : 11, 5-16 kg - IMT underweight < 18,5 tambah : 12,5-18 kg - IMT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktorfaktor lain menentukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

Gambar 1 Rajungan (Portunus sp.) Sumber: (Lee 2010)

Gambar 1 Rajungan (Portunus sp.) Sumber: (Lee 2010) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Rajungan (Portunus sp.) Rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea yang memiliki tubuh beruas-ruas. Klasifikasi Rajungan (Portunus sp.) menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Serat Di Indonesia sayur cukup mudah diperoleh, petani pada umumnya menanam guna mencukupi kebutuhan keluarga. Pemerintah juga berusaha meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan usaha ternak ayam sangat ditentukan oleh penyediaan pakan yang memadai baik kuantitas maupun kualitas, karena pakan merupakan unsur utama dalam pertumbuhan

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Lukito (2002), adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Pisces

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat kehamilan, terjadi peningkatnya kebutuhan janin untuk masa pertumbuhannya, sebagai respon ibu melakukan perubahan metabolisme secara jumlah maupun intensitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 2002, konsumsi kalsium di kalangan masyarakat baru mencapai rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. pada 2002, konsumsi kalsium di kalangan masyarakat baru mencapai rata-rata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah kesehatan adalah salah satu faktor kehidupan yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut data Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes RI pada 2002, konsumsi kalsium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, pemenuhan zat gizi harus benar benar

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kurang optimal. Oleh karena itu, pemenuhan zat gizi harus benar benar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup, khususnya manusia pasti membutuhkan zat gizi sebagai penunjang kelancaran pertumbuhan dan perkembangan. Apabila zat gizi yang dibutuhkan tidak

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) Sumber : anekailmu48.blogspot.com

Gambar 1. Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) Sumber : anekailmu48.blogspot.com BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) Ikan Jangilus termasuk ke dalam golongan ikan-ikan besar perenang cepat yang mengarungi samudera-samudera besar dunia. Daerah penyebarannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Kadar protein tertinggi terdapat pada pakan perlakuan D (udang rebon 45%) yaitu dengan persentase sebesar 39,11%. Kemudian diikuti pakan perlakuan C (udang rebon 30%)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin Siam Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Suplemen Minuman Berenergi Suplemen minuman berenergi adalah minuman penambah energi termasuk ke dalam kategori suplemen makanan. Suplemen makanan merupakan produk yang dapat

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya.

BAB I PENDAHULUAN. dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran yang sudah lama dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, tetapi belum meluas pembudidayaannya. Salah satu alasan

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia.

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanah atau kelestariannya. Dalam usaha

I. PENDAHULUAN. tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanah atau kelestariannya. Dalam usaha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha pengembangan pertanian selayaknya dilakukan secara optimal tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanah atau kelestariannya. Dalam usaha tersebut, maka produktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini masalah pangan dan gizi menjadi permasalahan serius di

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini masalah pangan dan gizi menjadi permasalahan serius di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini masalah pangan dan gizi menjadi permasalahan serius di Indonesia. Asupan zat gizi yang mempunyai peran penting dalam masalah pangan dan gizi adalah kalsium.

Lebih terperinci

Gambar 1. Cara penggunaan alat pemeras madu. Gambar 2. Alat Pemeras madu. Gambar 3. Alat Penyaring madu Gambar 4. Ruang pengolahan madu 70 %

Gambar 1. Cara penggunaan alat pemeras madu. Gambar 2. Alat Pemeras madu. Gambar 3. Alat Penyaring madu Gambar 4. Ruang pengolahan madu 70 % BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pengabdian yang telah dilakukan yaitu pembuatan alat pemeras madu (Gambar 1 & 2) dan penyaring madu (Gambar 3). Pelaksanaan pembuatan ruang khusus pengolahan madu (Gambar

Lebih terperinci

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol

Lebih terperinci