BAB I PENDAHULUAN. Kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan terkait dengan penggunaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan terkait dengan penggunaan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan terkait dengan penggunaan pengaruh untuk mengikuti kemauan salah satu pihak dalam sebuah hubungan bisnis (Ramasheshan et al., 2006; Butaney dan Wortzel, 1988; Kim, 2000). Pola penggunaan kekuasaan dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel mempunyai dua sisi yang menjadi inti perdebatan dalam riset tentang relationship marketing (pemasaran keterhubungan). Kekuasaan bisa menjadi bagian dari strategi perusahaan yang memperkuat hubungan bisnis perusahaan dengan konsumen maupun pemasok, namun demikian kekuasaan juga bisa menyebabkan berakhirnya sebuah hubungan bisnis, jika tidak dikelola dengan baik (El Ansery dan Stern, 1972). Morgan dan Hunt (1994), Kim (2000), Maloni dan Benton (2000) dan Ramaseshan et al., (2006) menyatakan salah satu masalah penting dalam penggunaan kekuasaan sebuah perusahaan terhadap mitra bisnisnya adalah adanya fenomena kesenjangan kekuasaan (power asymmetry). Hingley (2005) mengemukakan bahwa masalah kesenjangan kekuasaan ini harus dipahami dan diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam sebuah hubungan bisnis sehingga masing-masing pihak bisa mengantisipasinya. Suvanto (2012) dalam penelitiannya tentang pola hubungan bisnis antara perusahaan pengolahan makanan dengan pemasoknya di Finlandia menemukan bahwa dalam sebuah hubungan bisnis yang asimetris, kepercayaan kepada mitra bisnis terkait dengan kontrol, ukuran perusahaan dan reputasi mitra bisnis. 1

2 Ryu et al., (2011) menyatakan bahwa dalam kondisi hubungan bisnis dengan kesenjangan kekuasaan, maka komitmen akfektif terhadap hubungan bisnis dari perusahaan yang mengalami eksploitasi akan hilang atau berkurang. Ryu et al.,(2011) menguji hipotesis itu pada hubungan bisnis antara perusahaan pengolahan Amerika Serikat yang mempunyai kekuasaan besar dengan pemasoknya sebuah perusahaan lemah dari Korea Selatan. Hasilnya komitmen afektif terhadap hubungan bisnis dari perusahaan lemah dari Korea Selatan berkurang seiring dengan besarnya pengaruh mitranya perusahaan besar dari Amerika Serikat. Viitaharju dan Lahdesmaki (2012) dalam risetnya dengan latar industri ritel makanan dan pemasoknya di Finladia, mengemukakan bahwa salah satu anteseden dari terjadinya kesenjangan kekuasaan adalah adanya perbedaan persepsi tentang kepercayaan pada mitra bisnis. Kesenjangan kekuasaan dalam jangka panjang juga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dan kontradiksi dalam hubungan bisnis antara peritel dan pemasok (Viitaharju dan Lahdesmaki, 2012). Studi pendahuluan yang dilakukan Setyawan (2007a) dengan latar (setting) industri kerajinan otomotif di Kab Purbalingga menunjukkan bahwa peritel mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan pengrajin. Mereka mempunyai kekuasaan karena menguasai pasar konsumen akhir. Kekuasaan yang dimiliki para peritel otomotif ini meliputi penentuan harga jual, desain dan termin pembayaran sehingga para pengrajin mempunyai posisi tawar menawar yang lemah. Studi lain yang dilakukan Setyawan et al. (2007) dengan latar pengrajin mebel rotan dan eksportir dan pemilik ruang pamer mebel di wilayah Trangsan Sukoharjo, menunjukkan pola yang serupa. Para eksportir dan pemilik ruang pamer mebel adalah penentu dalam berbagai aspek yaitu desain, harga dan termin pembayaran, karena mereka mempunyai akses langsung dengan konsumen akhir. 2

3 Pada sisi lain, studi yang dilakukan oleh Ruiz (2000) dengan latar (setting) penelitian industri mebel di Spanyol menunjukkan pemasok dan pabrikan mempunyai kekuatan penentu dalam hubungan bisnis antara pemasok dengan peritel. Pemasok dan pabrikan mempunyai kemampuan dalam menentukan harga, desain dan struktur distribusi dalam perdagangan mebel dengan peritel. Bigne et al., (2004) dalam studinya dengan latar penelitian industri keramik di Spanyol menunjukkan bahwa kekuatan pemasok yang berasal dari keahlian dan imbalan menjadi sumber dominasi hubungan bisnis antara pabrik keramik dan peritel. Bigne et al.,(2004) menyatakan bahwa dalam pola hubungan bisnis antara pemasok dan pabrikan keramik di Spanyol mempunyai kekuatan kontrol yang dominan dibandingkan dengan peritel karena keahlian mereka tentang produk dan pengetahuan spesifik tentang industri ini. Penelitian ini memfokuskan pembahasannya pada hubungan antara pemasok dan peritel. Industri yang menjadi latar adalah industri ritel yang melibatkan pemasok dengan beberapa karakter kekuasaan, misalnya antara pemasok UMKM dengan peritel perusahaan besar, atau sebaliknya pemasok besar dan peritel UMKM serta pemasok dan peritel yang mempunyai kesamaan karakter kekuasaan. Kondisi kesenjangan kekuasaan antara pemasok dan peritel ini mempunyai dua kemungkinan utama yaitu peritel mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada pemasok atau pemasok yang mempunyai kekuasaan lebih besar daripada peritel. Hunt (1991) menyebutkan bahwa ada tiga dikotomi dalam ilmu pemasaran, yaitu pemasaran makro dan mikro, positif dan normatif dan organisasi profit dan non-profit. Pemasaran makro membahas tentang system pemasaran, dampak dari system pemasaran terhadap masyarakat dan dampak masyarakat terhadap sistem pemasaran. Pemasaran mikro berfokus pada aktivitas pemasaran pada level unit individual dan pemasaran internal dalam 3

4 perusahaan. Pemasaran positif mencoba mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan memahami aktivitas pemasaran dan fenomena yang aktual yang ada. Pemasaran normatif mendeskripsikan apa yang harus dilakukan organisasi atau individu marketing serta apa jenis sistem pemasaran seperti apa yang harus dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pemasaran makro, positif dan dengan latar organisasi profit. Shapiro (2006) menyebutkan bahwa pemasaran makro mengalami kemandegan pertumbuhan karena bidang ini tidak populer bagi para peneliti bidang pemasaran. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu, pertama, bidang pemasaran makro kurang mengalami perkembangan dari sisi rerangka konseptual dan paradigma atau perkembangan teori. Kedua, tema dan konsep dalam pemasaran makro terlalu luas dan beragam, sehingga dianggap tidak memberikan kontribusi pada perkembangan teori (Shapiro, 2006). Grzeskowiak dan Al-Khatib (2009) dalam studinya tentang perilaku mencari kesempatan (opportunism) dalam sebuah rantai pasok dari berbagai industri yang meliputi industry pengolahan, jasa keuangan, farmasi dan ritel. Pola perilaku mencari untung ini menyebabkan inefisiensi dari rantai pasok tersebut sehingga terjadi ketidakpastian biaya dan sistem distribusi menjadi tidak efisien (Grzeskowiak dan Al- Khatib, 2009). Penelitian ini menganalisis sistem distribusi sehingga dikategorikan penelitian pemasaran makro. Penelitian yang dilakukan dengan latar hubungan pemasok dan peritel di beberapa kota besar di Indonesia ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan rerangka konsep sistem distribusi pada industri ritel. Hal ini menjadi urgensi penelitian ini yang termasuk dalam kelompok penelitian pemasaran makro untuk memberikan sumbangan dalam pengembangan teori maupun metodologi. 4

5 Sektor perdagangan menjadi latar yang menarik dalam penelitian ini karena peran sektor ini dalam perekonomian nasional semakin besar. Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan nilai perdagangan besar dan eceran di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun Tabel 1.1 Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Besar dan Eceran Indonesia Tahun (dalam Miliar Rp) Tahun Nilai Transaksi PDB % PDB , , , , , , , , , , ,6 Keterangan: Data tahun diambil dari laporan Asian Development Bank Country Report tahun 2006, data tahun diambil dari Laporan Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Bank Indonesia tahun 2007, data diambil dari Laporan Produk Domestik Bruto Badan Pusat Statistik tahun Berdasarkan data indikator ekonomi dari Bank Indonesia tahun 2007, Asian Development Bank tahun 2006 dan Badan Pusat Statistik tahun 2011 maka sumbangan sektor perdagangan terhadap PDB Indonesia menduduki urutan terbesar ke-2 setelah sektor industri pengolahan. Sumbangan sektor perdagangan terhadap PDB sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 rata-rata mencapai 13 persen, sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 23 persen pada tahun 1987 menjadi hanya 15 persen pada tahun Namun demikian, pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 sumbangan sektor perdagangan besar dan eceran pada PDB Indonesia turun pada kisaran 10 sampai dengan 11 persen. Bisnis ritel Indonesia menunjukkan adanya daya serap tenaga kerja yang tinggi. Saat ini industri ritel Indonesia mampu 5

6 menampung 18,9 juta angkatan kerja, nomor dua setelah industri pertanian (lihat Selain itu dari, 22,7 juta jumlah usaha di Indonesia hampir 10,3 juta atau 45 persen diantaranya adalah bisnis ritel. Bisnis ritel, dalam hal ini supermarket di Indonesia dikuasai oleh empat besar perusahaan yaitu kelompok bisnis Carrefour, Matahari, Hero dan Ramayana. Berdasarkan survei yang dilakukan AC Nielsen (2007), keempat perusahaan tersebut mempunyai pangsa pasar 47 persen dari penjualan supermarket di Indonesia. Temuan ini diperkuat oleh penelitian dari Widjaja (2010) yang mengemukakan bahwa pangsa pasar industri ritel hanya dikuasai beberapa perusahaan. Pangsa pasar minimarket pada tahun 2010 dikuasai oleh dua perusahaan yaitu Alfamart dengan pangsa pasar sebesar 40,8% dan Indomaret menguasai 43,2% pangsa pasar. Perusahaan Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Ramayana dan Yogya secara bersama-sama menguasai 76 % pangsa pasar supermarket. Pangsa pasar hypermarket 50% dikuasai oleh Carrefour, sisanya menjadi milik Hypermart dengan 21% pangsa pasar dan Giant yang menguasai 18,5% pangsa pasar. Penelitian lain yang dilakukan Kurniati dan Yanfitri (2010) menunjukkan bahwa dalam industri manufaktur yang berperan sebagai pemasok bagi industri ritel juga terjadi struktur pasar oligopoli karena fenomena perbedaaan kemampuan perusahaan bertahan dalam pasar kompetitif. Secara umum perusahaan dalam industri manufaktur Indonesia sejak dekade 70-an jumlahnya ribuan, namun demikian terjadi fenomena keluar dan masuk dalam industri ini. Perusahaan yang keluar karena tidak mampu bersaing adalah perusahaan kecil dan para pemain baru juga perusahaan kecil yang tidak mampu bertahan lama. Perusahaan yang bertahan dari tahun 70-an adalah perusahaan manufaktur besar karena kekuatan sumber daya mereka. Penelitian ini mengkonfimasi temuan dari Bird (1999) yang menganalisis rasio konsentrasi industri manufaktur 6

7 Indonesia dengan data tahun dan menemukan bahwa tidak terjadi perubahan perusahaan yang menguasai industri ini dalam jangka waktu 20 tahun terakhir. Bird (1999) mengemukakan bahwa sejak terjadi praktek kartel dan oligopoli dalam industri semen, distribusi pupuk, pemrosesan gula, distribusi beras dan kayu lapis. Kondisi ini secara umum menyebabkan posisi tawar menawar dari masing-masing industri tersebut kuat dalam hubungan bisnis dengan mitra bisnis mereka. Kurniati dan Yanfitri (2010) menambahkan bahwa struktur industri farmasi dan distribusi farmasi menuju pada struktur oligopoli dan kartel yang memperkuat posisi tawar mereka. Soliha (2008) dalam risetnya tentang sumber persaingan industri ritel Indonesia dengan Model Persaingan Industri dari Porter menyimpulkan bahwa kekuatan pemasok dari industri ritel masuk dalam kategori sedang, yaitu mereka mempunyai kekuatan tawar menawar moderat dalam berhubungan dengan peritel. Hal ini berarti kekuasaan dan kontrol dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan dari industri ritel dan manufaktur mempunyai dua kemungkinan yaitu peritel lebih dominan atau pemasok yang lebih dominan dalam penggunaan kekuasaan dan pengaruh terhadap mitra bisnisnya. Kekuasaan dari sebuah perusahaan adalah kemampuannya untuk melakukan kontrol atas kebijakan perusahaan lain atau mitra bisnisnya (Doherty dan Alexander, 2006). Dalam rerangka hubungan bisnis antara peritel dan pemasok, maka kedua pihak mempunyai kekuasaan atas pihak lain, misalnya: kekuasaan dari peritel berupa permintaan peritel untuk mempercepat waktu pengiriman dan peningkatan kualitas produk pemasok, adapun kekuasaan dari pemasok misalnya waktu pembayaran yang dipercepat dan penentuan lokasi rak barang. Isu yang menarik dalam beberapa riset empirik adalah pada saat adanya perbedaan kekuasaan yang dimiliki perusahaan atau kesenjangan kekuasaan (power asymmetry). Kim (2000) mengemukakan bahwa fenomena kesenjangan kekuasaan terjadi karena adanya saling ketergantungan antara dua perusahaan. 7

8 Ramaseshan et al. (2006) meneliti pengaruh penggunaan kekuasaan terhadap kinerja perusahaan dalam hubungan bisnis antara peritel dan pemasok. Dari penelitian-penelitian tersebut hasil akhirnya adalah sebuah hubungan jangka panjang bisnis yang terus menerus, padahal situasinya adalah salah satu pihak menggunakan kekuasaan-nya untuk menekan pihak yang lain. Konsep pemasaran kontemporer yang saat ini sering dipergunakan untuk mengkaji penggunaan kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan atau lebih adalah pemasaran keterhubungan (relationship marketing). Gronroos (1994) mendefinisikan pemasaran keterhubungan sebagai pemasaran untuk menjalin, membina dan menjaga hubungan dengan konsumen dan mitra perusahaan, sebagai sebuah hubungan yang saling menguntungkan, sehingga kepentingan masing-masing pihak tetap terjaga. Morgan dan Hunt (1994) dalam penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh penggunaan kekuasaan dengan pemasaran keterhubungan. Dalam studi pendahuluan tentang pola hubungan pemasok dan peritel, Setyawan (2007a) dengan menggunakan rerangka pemasaran keterhubungan menemukan beberapa hal menarik. Pertama, ada beberapa konstruk yang mempengaruhi lama dan kualitas hubungan bisnis antara pemasok dan peritel yaitu kepuasan, komitmen, loyalitas dan kinerja masing-masing perusahaan. Kedua, adanya penggunaan kekuasaan dari peritel kepada pemasok terutama yang berasal dari perusahaan kecil menengah. Kekuasaan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kepentingan peritel dalam menjalankan bisnisnya. Penggunaan kekuasaan dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel ini ditemukan juga dalam penelitian Ramasheshan et al. (2006). Ramasheshan et al. (2006) mengemukakan peran kekuasaan dan kepuasan sebagai anteseden dalam hubungan antara department store dan penyewanya. Dalam penelitian ini terungkap bahwa masing-masing pihak dari sebuah hubungan bisnis menggunakan kekuasaan untuk 8

9 memperjuangkan kepentingannya, sekaligus juga meningkatkan posisi tawar menawar dalam sebuah hubungan bisnis. Penelitian yang dilakukan Kim (2000) dengan latar industri manufaktur mesin dan peralatan di Amerika Serikat mengemukakan temuan bahwa kekuasaan asimetris antara perusahaan manufaktur mesin dengan para distributornya berdampak pada kualitas hubungan bisnis antar kedua perusahaan tersebut. Kim (2000) menyebutkan bahwa penggunaan kekuasaan koersif dalam hubungan bisnis antara perusahaan manufaktur mesin dengan distributornya mempunyai pengaruh negatif terhadap keberlanjutan hubungan bisnis, sedangkan kekuasaan non koersif berdampak positif terhadap keberlanjutan hubungan bisnis antara perusahaan dengan distributornya. Temuan penting dari penelitian Kim (2000) adalah kesenjangan kekuasaan berpengaruh pada kepercayaan perusahaan pada mitranya sehingga berdampak pada keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri sebuah hubungan bisnis. Konstruk kepercayaan dalam penelitian Kim (2000) mengacu pada teori Pemasaran Keterhubungan yang diajukan oleh Morgan dan Hunt (1994). Studi yang dilakukan Shamdasani et al., (2001) memberikan temuan bahwa pemasok mempunyai keleluasaan untuk mengeksploitasi kondisi kesenjangan kekuasaan. Shamdasani et al., dalam penelitiannya yang berlatar hubungan bisnis antara pemasok dan distributor dalam industri komputer menemukan bahwa pemasok mengekploitasi kesenjangan kekuasaan yang bersumber dari kekuatan koersif dan non koersif untuk mempengaruhi dan mengawasi para distributornya. Dalam kondisi seperti itu, maka pemasok bisa memastikan kinerja keuangan perusahaan mereka membaik karena distributor memenuhi keinginan para pemasok (Shamdasani et al., 2001). 9

10 Studi pendahuluan berikutnya yang dilakukan Setyawan (2007b) dengan latar industri kerajinan otomotif di Kab Purbalingga menunjukkan bahwa peritel mempunyai kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan pengrajin. Mereka mempunyai kekuasaan karena menguasai pasar konsumen akhir. Kekuasaan yang dimiliki para peritel otomotif ini meliputi penentuan harga jual, desain dan termin pembayaran sehingga para pengrajin mempunyai posisi tawar menawar yang lemah. Studi lain yang dilakukan Setyawan et al. (2007) dengan latar pengrajin mebel rotan dan eksportir dan pemilik ruang pamer mebel di wilayah Trangsan Sukoharjo, menunjukkan pola yang serupa. Para eksportir dan pemilik ruang pamer mebel adalah penentu dalam berbagai aspek yaitu desain, harga dan termin pembayaran, karena mereka mempunyai akses langsung dengan konsumen akhir. Dalam empat penelitian tersebut hasil akhirnya adalah sebuah hubungan jangka panjang bisnis yang terus menerus, padahal situasinya adalah salah satu pihak yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk menekan mitra bisnisnya. Pertanyaannya mengapa hubungan bisnis itu terus berlangsung? Wu et al., (2012) menguji teori Komitmen dan Kepercayaan dari Morgan dan Hunt (1994) dengan latar industri berteknologi tinggi di Taiwan. Hasil pengujiannya menunjukkan konstruk komitmen dan kepercayaan konsisten sebagai variabel mediasi utama (key mediating variables) dalam hubungan antara biaya mengakhiri hubungan, keuntungan dari hubungan bisnis, nilai bersama, komunikasi dan perilaku oprtunistik dengan niat untuk mengakhiri hubungan bisnis, kerjasama, konflik fungsional dan ketidakpastian. Namun demikian, penelitian Wu et al., (2012) tidak menggunakan konstruk kekuasaan sebagai variabel anteseden dan tidak menggunakan unit analisis dyadic. 10

11 1.2 PENTINGNYA PENELITIAN Kekuasaan sebagai sebuah konstruk dalam penelitian hubungan antar perusahaan (business to business) diperlakukan secara berbeda-beda dalam proses analisisnya. Ada beberapa peneliti yang percaya bahwa kekuasaan berpengaruh negatif pada proses pertukaran dalam hubungan antar perusahaan. Keefektifan hubungan bisnis antara dua perusahaan ditentukan oleh kerjasama dan kepercayaan, sehingga penggunaan kekuasaan dianggap menganggu hubungan bisnis antar dua perusahaan (Ramaseshan et al., 2006; Too et al., 2001; Kaufman et al., 2006 ). Terjadinya kesenjangan kekuasaan antara dua perusahaan menjurus pada ketidakadilan dalam pola perdagangan, hal ini adalah kondisi yang negatif (Hingley, 2005). Dalam kelompok ini, penerapan kekuasaan dalam sebuah hubungan bisnis harus diantisipasi dengan tercapainya kepuasan (Garbarino dan Johnson, 1999; Geyskens et al., 1999), komitmen (Garbarino dan Johnson, 1999; Gustaffson et al., 2005; Morgan dan Hunt, 1994), kepercayaan (Morgan dan Hunt, 1994; Doney dan Cannon, 1997; Ekelund dan Sharma, 2001), loyalitas (Fitzgibbon dan White, 2005; Fullerton, 2005) dan kinerja strategis (Johnson, 1999; Ruiz, 2000). Pandangan kedua menyatakan bahwa kekuasaan justru merupakan konstruk yang diperlukan dalam sebuah hubungan bisnis. Kondisi ini justru perlu dibangun oleh perusahaan untuk menjaga kelanggengan sebuah hubungan bisnis (Kim, 2000; El Ansery dan Stern, 1972; Butaney dan Wortzel, 1998). Kim (2000) menyebutkan bahwa kesenjangan kekuasaan antara dua perusahaan menyebabkan perusahaan terdorong menggunakan strategi pengaruh (influence strategy) untuk melindungi kepentingannya. Doherty dan Alexander (2006) menyatakan strategi pengaruh dan kontrol terhadap mitra bisnis dengan menggunakan kekuasaan non-koersif (noncoercive power) justru mendorong mitra bisnis untuk memperbaiki kinerja mereka. 11

12 Penelitian ini menitikberatkan pembahasannya pada pengaruh kesenjangan kekuasaan terhadap kinerja perusahaan, dengan beberapa variabel mediasi yang menggunakan rerangka pemasaran keterhubungan. Penelitian ini menguji apakah kesenjangan kekuasaan mendorong perusahaan untuk meningkatkan kinerja strategisnya dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perusahaan puas dan loyal dengan mitra bisnisnya. 1.3 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan menganalisis peran kesenjangan kekuasaan, kepercayaan dan komitmen pada kepuasan, loyalitas dan kinerja strategis perusahaan dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Kesenjangan kekuasaan berperan sebagai variabel penjelas dalam pola hubungan antara pemasok dan peritel. Rerangka analisis dalam penelitian ini menggunakan rerangka teori pemasaran keterhubungan dengan konstruk anteseden kesenjangan kekuasaan dan variabel mediasi kepercayaan dan komitmen. Kinerja strategis yang terdiri dari kinerja ekonomi pemasok, kinerja ekonomi peritel, loyalitas pemasok, loyalitas peritel, kepuasan pemasok dan kepuasan peritel. 1.4 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan tujuan penelitian yang ditentukan maka disusun perumusan masalah penelitian untuk menganalisis hubungan antar variabel di dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk membangun sebuah model perdagangan yang adil antara beberapa perusahaan dengan beberapa karakteristik kekuasaan yang berbeda. Asumsi dasar dari model penelitian ini adalah 12

13 adanya kondisi kesenjangan kekuatan dan kontrol antara pemasok dan peritel yang terlibat dalam sebuah hubungan pertukaran Gap Teoritis Berdasarkan dikotomi dari Hunt (1991), penelitian ini masuk dalam kategori penelitian pemasaran makro karena membahas tentang sistem pemasaran secara umum. Shapiro (2006) mengungkapkan bahwa perkembangan pemasaran makro mengalami stagnasi karena minat peneliti bidang pemasaran pada bidang ini sangat sedikit. Penelitian ini menjawab minimnya penelitian yang memberikan kontribusi pada konstruksi teori bidang pemasaran makro yang terkait dengan jalur distribusi (Lagrossen dan Svenson, 2006; Shapiro, 2006). Penelitian ini menggunakan rerangka teori Komitmen dan Kepercayaan dari Morgan dan Hunt (1994). Dalam penelitiannya, Morgan dan Hunt (1994) menguji teori ini dengan latar hubungan antar perusahaan. Komitmen dan kepercayaan dalam teori tersebut berperan sebagai variabel yang memediasi hubungan antara kekuasaan dengan persetujuan antar perusahaan, niat meninggalkan hubungan bisnis, kerjasama, konflik fungsional dan ketidakpastian. Selanjutnya Ramaseshan et al., (2006) menguji teori komitmen dan kepercayaan ini dengan latar perusahaan ritel di China pada saat menjalin hubungan bisnis dengan penyewa mereka. Quin dan Doherty (2000) melakukan studi eksplorasi tentang kekuasaan dan kontrol dalam industri waralaba di Inggris. Salah satu temuan dalam studi tersebut adalah adanya fenomena kesenjangan kekuasaan antara perusahaan pemilik waralaba dengan pembeli waralaba. Bigne et al., (2004) melakukan studi hubungan bisnis antara pabrik keramik dan distributornya di Spanyol dan menemukan bahwa pola penggunaan kekuasaan yang bersumber pada keahlian menyebabkan posisi tawar menawar pemasok lebih kuat dalam hubungan bisnis dengan distributor. 13

14 Doherty dan Alexander (2006) dengan penelitian mereka tentang penggunaan kekuasaan dan kontrol waralaba internasional di Inggris Raya menemukan bahwa waralaba internasional menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan koersif dan non koersif dalam kontrak bisnis mereka dengan para pemasok lokal. Penggunaan dua jenis kekuasaan ini untuk memastikan bahwa pemasok lokal mampu menjaga standar kualitas sesuai dengan standar yang ditentukan oleh waralaba bersangkutan. Pemasok lokal mempunyai persepsi positif terhadap perjanjian bisnis yang berdasarkan kekuasaan non koersif daripada kekuasaan koersif (Doherty dan Alexander, 2006). Penelitian ini dilakukan berdasarkan adanya celah teoritis tentang fenomena kesenjangan kekuasaan antar perusahaan yang belum terjawab dari penelitian Morgan dan Hunt (1994), Kim (2000), Quin dan Doherty (2000), Bigne et al., (2004) dan Doherty dan Alexander (2006) yang tidak menjelaskan tentang konstruk kesenjangan kekuasaan tetapi terbatas pada konstruk kekuasaan saja dengan berbagai bentuk dan sumbernya Gap Metodologi Riset di bidang pemasaran keterhubungan dihadapkan pada dua argumen utama dalam pengujian model estimasinya, yaitu dengan pendekatan dyadic atau non dyadic (Lindgreen, 2001; Palmer, et al. 2005; Eiriz dan Wilson, 2006). Morgan dan Hunt (1994) dengan risetnya yang menguji konstruk kepercayaan dan komitmen dalam rantai pasok industri otomotif di Amerika Serikat secara implisit menggunakan konstruk kepercayaan berbasis dyad, namun dalam estimasi model tidak dilakukan pengujian dengan unit analisis dyadic. Heide dan John (1988) dan Kim (2000) menggunakan pendekatan dyadic untuk menganalisis hubungan pertukaran antara pemasok dan peritel dalam kerangka pemasaran keterhubungan. 14

15 Kim (2000) berargumentasi, dalam pengujian model pemasaran keterhubungan, sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi dari dua pihak yang terlibat dalam sebuah hubungan bisnis, sehingga dampak hubungan bisnis tersebut bisa dianalisis lebih komprehensif. Namun demikian, Ramaseshan et al., (2006) menyatakan bahwa penelitian tentang pemasaran keterhubungan tetap bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan non-dyadic karena masing-masing pihak dalam sebuah kerjasama bisnis melakukan usaha untuk memperkuat hubungan bisnis dan mendapatkan dampak dari hubungan bisnis tersebut. Celah empiris dari perdebatan tersebut menjadi dasar pengujian empiris penelitian ini. Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan dyadic berdasarkan persepsi kedua pihak dalam hubungan bisnis. Pendekatan dyadic dalam penelitian ini menggunakan metode yang disarankan Kim (2000) yaitu menggunakan perbedaan skor masing-masing konstruk yang dipersepsikan masing-masing pihak dalam sebuah hubungan bisnis. 1.5 PERTANYAAN PENELITIAN Berikut adalah pertanyaan penelitian yang menggambarkan urut-urutan teknis pengujian dalam penelitian ini Apakah kesenjangan kekuasaan berpengaruh pada komitmen pemasok dan peritel dalam hubungan bisnis mereka? Apakah kesenjangan kekuasaan berpengaruh pada kepercayaan pemasok-peritel dalam hubungan bisnis mereka? Apakah komitmen pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada loyalitas mereka dalam hubungan bisnis? 15

16 1.5.4 Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada loyalitas mereka dalam hubungan bisnis? Apakah komitmen pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kepuasan mereka dalam hubungan bisnis? Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kepuasan mereka dalam hubungan bisnis? Apakah komitmen pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kinerja ekonomi pemasok-peritel? Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kinerja ekonomi pemasok-peritel? 1.6 MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis Berdasarkan klasifikasi dari Hunt (1994) penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pemasaran makro. Shapiro (2006) menyebutkan bahwa perkembangan penelitian di bidang pemasaran makro sangat lambat karena banyak peneliti pemasaran tidak berminat mendalami bidang ini. Penelitian ini menjelaskan dan mengkonfirmasi Teori Komitmen dan Kepercayaaan sebagai dasar dari Pemasaran Keterhubungan yang dikemukakan oleh Morgan dan Hunt (1994). Debat teoritis dari penelitian ini adalah adanya perbedaan pendapat tentang posisi konstruk kesenjangan kekuasaan. Posisi teoritis pertama menganggap bahwa kesenjangan kekuasaan dianggap mempunyai dampak negatif pada kinerja perusahaan yang tereksploitasi dalam sebuah hubungan bisnis, karena kesenjangan kekuasaan hanya menguntungkan bagi perusahaan yang dominan dalam hubungan bisnis (Ramaseshan et al., 2006; Too et al., 2001; Kaufman et al., 16

17 2006 ). Hingley (2005) secara eksplisit menyebutkan bahwa kesenjangan kekuasaan mendorong terjadinya fenomena ketidakadilan perdagangan. Posisi teoritis kedua adalah kesenjangan kekuasaan berpengaruh positif pada kinerja perusahaan. Pendapat ini didukung oleh El Ansery dan Stern (1972), Butaney dan Wortzel (1998), Kim (2000) dan Doherty dan Alexander (2006). Argumen posisi teoritis kedua ini adalah kesenjangan kekuasaan mendorong perusahaan yang dominan untuk menggunakan strategi pengaruh untuk kepentingan bersama (Kim, 2000). Doherty dan Alexander (2006) memberikan contoh secara eksplisit dalam hubungan antara waralaba asing dengan pemasoknya di Inggris. Perusahaan waralaba menggunakan kekuasaan non-koersif untuk mendorong pemasoknya memenuhi standar kualitas yang disepakati dan pada akhirnya para pemasok mampu memperkuat standardisasi produknya (Doherty dan Alexander, 2006). Kontribusi teoritis dari penelitian ini adalah memperkuat posisi pertama yaitu kesenjangan kekuasaan berpengaruh negatif pada kesenjangan kekuasaan dan kinerja perusahaan. Hal ini didasari temuan dalam studi pendahuluan dengan latar industri ritel dan industri mebel di Jawa Tengah yaitu posisi perusahaan yang tereksploitasi tidak diuntungkan dari sisi pertumbuhan perusahaan dalam jangka panjang (Setyawan, 2007b; Setyawan et al, 2007). Studi lain yang dilakukan Bird (1999) dan Kurniati dan Yanfitri (2010) menunjukkan 80 persen industri di Indonesia mempunyai struktur pasar oligopoli atau dikuasai oleh beberapa perusahaan besar saja, sehingga kekuasaan secara umum berada di tangan pemain utama dalam industri tersebut. Hal ini menjadi alasan dari posisi riset ini yang bertujuan memperkuat argument bahwa kesenjangan kekuasaan berpengaruh negatif pada kinerja perusahaan yang tereksploitasi. Kontribusi teoritis dari penelitian ini adalah melengkapi argumen dari teori Kekuasaan dan Pemasaran Keterhubungan dalam kondisi struktur pasar yang cenderung oligopoli. 17

18 Palmer et al.,(2005) mengklasifikasikan aliran pemikiran dalam penelitian keterhubungan menjadi tiga yaitu Anglo Australian. aliran pemikiran Nordic, Industrial Marketing and Purchasing (IMP) dan Aliran pemikiran Nordic menitikberatkan pada diskusinya pada kualitas pelayanan untuk meningkatkan kualitas hubungan bisnis dan memperkuat loyalitas. Aliran IMP menekankan pembahasan pada karakteristik khusus dan faktor-faktor yang menyebabkan keberlanjutan dari hubungan bisnis antar organisasi. Aliran pemikiran ini didominasi oleh riset dengan latar business to business (B2B). Aliran pemikiran Anglo Australian menekankan diskusinya pada kualitas dan layanan konsumen (Palmer et al., 2005). Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis pada aliran pemikiran IMP dengan melakukan analisis karakteristik hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Penelitian ini juga memberikan kontribusi teoritis pada aliran IMP dengan penggunaan unit analisis dyadic dalam pengujian model estimasinya. Lindgreen (2001) menyebutkan bahwa dalam penelitian pemasaran keterhubungan, konstruk komitmen dan kepercayaan mempunyai sifat dyadic secara alamiah. Kontribusi teoritis dari penelitian ini memperkuat konsep dyadic dari konstruk kepercayaan dan komitmen yang merupakan dasar dari Teori Pemasaran Keterhubungan Manfaat Praktis dan Kebijakan Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi dalam industri ritel dan industri pengolahan yang menjadi pemasok bagi industry ritel. Manfaat praktis bagi pelaku industri adalah manajer atau pemilik memahami dan menggunakan strategi pengaruh bagi mitra bisnis mereka. Perbedaan kekuasaan antar perusahaan yang menjalin hubungan bisnis adalah sesuatu yang tidak terhindarkan karena ada kalanya sebuah perusahaan harus menjalin hubungan bisnis dengan mitra bisnis perusahaan besar untuk meningkatkan kinerja ekonominya. Pemahaman, identifikasi dan kemampuan menggunakan strategi pengaruh akan memperkuat posisi tawar menawar pelaku 18

19 bisnis terhadap mitra bisnis mereka. Hal ini bisa menghindarkan pebisnis dari resiko tereksploitasi oleh kekuasaan mitra bisnis yang dominan. Pemerintah sebagai penyusun dan penegak regulasi bisnis bisa mengambil manfaat dari penelitian ini. Penelitian ini bisa menjadi dasar bagi pemangku kebijakan untuk menyusun dan menegakkan sebuah kebijakan sebagai dasar bagi kemitraan bisnis antara perusahaan besar dan UMKM. Dalam penelitian ini ada tiga kemungkinan pola hubungan bisnis antar perusahaan dilihat dari ukuran perusahaan, yaitu hubungan bisnis antar perusahaan besar, antara perusahaan besar dan UMKM dan antar perusahaan UMKM. UMKM beresiko tereksploitasi oleh perusahaan besar karena disparitas kekuasaan antar dua perusahaan tersebut. Eksploitasi ekonomi dalam jangka panjang terhadap UMKM bisa mengganggu perkembangan bisnis UMKM bersangkutan. Dalam pola hubungan bisnis seperti ini, pemerintah bisa menyusun dan menegakkan regulasi yang melindungi UMKM dari praktek perdagangan yang mengeksploitasi mereka. 19

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN Pemasaran keterhubungan yang diukur dengan dua konstruk yaitu komitmen dan

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN Pemasaran keterhubungan yang diukur dengan dua konstruk yaitu komitmen dan BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN 5.1 SIMPULAN 5.1.1 Pemasaran keterhubungan yang diukur dengan dua konstruk yaitu komitmen dan kepercayaan berperan sebagai variabel mediasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang baik, dan bisa menciptakan kepercayaan pada pembeli.

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang baik, dan bisa menciptakan kepercayaan pada pembeli. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Masyarakat kini dimanjakan oleh kehadiran berbagai pusat perbelanjaan. Hal ini terlihat dari semakin banyak bermunculannya ritel baik yang berskala kecil sampai skala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Loyalitas pelanggan juga merupakan penentu utama dalam memprediksi

BAB I PENDAHULUAN. Loyalitas pelanggan juga merupakan penentu utama dalam memprediksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggan setia dalam organisasi bisnis merupakan aset kompetitif. Loyalitas pelanggan juga merupakan penentu utama dalam memprediksi pangsa pasar dan tingkat keuntungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tiap tahun naik sekitar 14%-15%, dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. tiap tahun naik sekitar 14%-15%, dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perdagangan pada pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan dan persaingan yang sangat ketat. Pada saat ini perkembangannya diperkirakan tiap tahun

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian Industri ritel memegang peranan penting dalam perekonomian suatu negara., terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seiring dengan pesatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia saat ini mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia saat ini mengalami perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang menjanjikan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 yang mencapai 237.641.326 jiwa menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bidang usaha namun juga terjadi lintas sektor. Setiap badan usaha harus

BAB I PENDAHULUAN. atau bidang usaha namun juga terjadi lintas sektor. Setiap badan usaha harus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Persaingan bisnis tidak saja terjadi antar perusahaan dalam suatu industry atau bidang usaha namun juga terjadi lintas sektor. Setiap badan usaha harus memiliki keunggulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih cenderung berbelanja ditempat ritel modern. Semua ini tidak lepas dari pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. lebih cenderung berbelanja ditempat ritel modern. Semua ini tidak lepas dari pengaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergeseran minat belanja dari ritel tradisional ke ritel modern semakin berkembang dari tahun ketahun. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan jumlah konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin signifikan dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin signifikan dilihat dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan industri ritel nasional yang semakin signifikan dilihat dari indikasi pertumbuhan ritel modern yang keberadaannya semakin populer sebagai tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis ritel di Indonesia pada saat ini semakin cepat salah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis ritel di Indonesia pada saat ini semakin cepat salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan bisnis ritel di Indonesia pada saat ini semakin cepat salah satunya disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang jumlahnya terus meningkat. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mendapatkan poin saat berbelanja di ritel tersebut. tahun 1990-an. Perkembangan bisnis Hypermarket merek luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. akan mendapatkan poin saat berbelanja di ritel tersebut. tahun 1990-an. Perkembangan bisnis Hypermarket merek luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara mengenai ritel di Indonesia, industri ini telah dimulai di Indonesia sejak era 1970-an yang masih merupakan era peritel tradisional. Pada era ini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kotler (2009 ; 215) : Eceran (retailing)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kotler (2009 ; 215) : Eceran (retailing) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Tantangan era globalisasi serta kondisi perekonomian yang kondusif memberikan suatu peluang bagi para pelaku bisnis untuk terus berinovasi dan berkreasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dengan pendapatan kelas

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dengan pendapatan kelas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dengan pendapatan kelas menengah terus meningkat. Menurut AC Nielsen 2013, Pertumbuhan masyarakat kelas menengah Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini biasanya didapatkan dari berhutang kepada pihak luar seperti bank.

BAB I PENDAHULUAN. ini biasanya didapatkan dari berhutang kepada pihak luar seperti bank. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada pelaksanaan suatu usaha, sumber modal sangat diperlukan agar terciptanya kelancaran suatu usaha. Sumber modal dibagi menjadi dua, yaitu sumber modal dari dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minimarket, supermarket dan hypermarket terus meningkat, hal ini diiringi

BAB I PENDAHULUAN. minimarket, supermarket dan hypermarket terus meningkat, hal ini diiringi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan industri ritel modern di Indonesia dengan format minimarket, supermarket dan hypermarket terus meningkat, hal ini diiringi pula dengan persaingan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat saat ini mulai dirasakan oleh Indonesia. Pertumbuhan tersebut meliputi berbagai macam sektor, tidak terkecuali dari sektor ritel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik daripada pesaingnya. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memberikan kepuasan

BAB I PENDAHULUAN. baik daripada pesaingnya. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memberikan kepuasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam era modernisasi saat ini persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun pasar internasional sangat ketat. Perusahaan yang ingin berkembang dan bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat para pelaku bisnis harus mampu bersaing. Persaingan yang terjadi tidak

BAB I PENDAHULUAN. membuat para pelaku bisnis harus mampu bersaing. Persaingan yang terjadi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dan persaingan dalam bisnis yang semakin lama semakin ketat membuat para pelaku bisnis harus mampu bersaing. Persaingan yang terjadi tidak hanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia menempati urutan kedua se- Asia Pasifik, dengan angka pertumbuhan 14%-15% per tahun. Hanya di bawah India yang ritelnya tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dengan tujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dengan tujuan mensejahterahkan masyarakat dan mengurangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor yang memiliki prospektif peluang besar dimasa sekarang maupun

BAB I PENDAHULUAN. sektor yang memiliki prospektif peluang besar dimasa sekarang maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan dunia bisnis yang terjadi seperti saat ini, para pelaku bisnis dituntut untuk memiliki strategi agar tetap dapat bertahan dalam menghadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasar ritel di Indonesia merupakan pasar yang memiliki potensi besar

BAB I PENDAHULUAN. Pasar ritel di Indonesia merupakan pasar yang memiliki potensi besar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasar ritel di Indonesia merupakan pasar yang memiliki potensi besar dikarenakan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia. Di era globalisasi sekarang ini, pasar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Industri ritel merupakan industri yang strategis dalam perekonomian Indonesia. Dalam konteks global, potensi pasar ritel Indonesia tergolong cukup besar. Di Indonesia sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para peritel asing. Salah satu faktornya karena penduduk Indonesia adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. para peritel asing. Salah satu faktornya karena penduduk Indonesia adalah negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bisnis ritel mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peritel asing yang ingin memasuki pasar Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bisnis Ritel di Indonesia makin hari dirasakan semakin berkembang dan persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan zaman yang semakin modern membuat persaingan ritel semakin meningkat, bahkan kini bisnis ritel mulai menjalar ke kotakota kabupaten, terutama supermarket

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Carrefour, Hero, Superindo, Hypermart, dan lainnya. Dengan adanya berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Carrefour, Hero, Superindo, Hypermart, dan lainnya. Dengan adanya berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan bisnis saat ini, membuat persaingan bisnis ritel menjadi semakin ketat. Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), bisnis ritel atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian Profil Perusahaan PT Trans Retail Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian Profil Perusahaan PT Trans Retail Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian 1.1.1 Profil Perusahaan PT Trans Retail Indonesia PT Trans Retail Indonesia atau Carrefour adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa retail/bergerak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha retail banyak bermunculan sebagai akibat tuntutan gaya hidup (perilaku) masyarakat yang mulai berubah. Perubahan yang dimaksud yakni konsumen yang semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan juga menghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi konsumen. juga teknologi (Ferrell, Hirt, & Ferrell, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. dan juga menghasilkan inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi konsumen. juga teknologi (Ferrell, Hirt, & Ferrell, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha kecil tidak dapat dipandang sebelah mata karena keberadaannya yang turut menyokong perekonomian suatu negara. Usaha kecil memiliki banyak peranan, diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang menghidupi banyak orang dan memberi banyak keuntungan bagi sementara orang lainnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Domestik Bruto (PDB) dan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

BAB I PENDAHULUAN. Domestik Bruto (PDB) dan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan bisnis ritel modern, saat ini semakin berkembang pesat.di Indonesia. Industri ritel memberikan kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum bidang usaha ritel atau pengecer modern di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum bidang usaha ritel atau pengecer modern di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum bidang usaha ritel atau pengecer modern di Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari jumlah dan variasi ritel modern yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis ritel di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis ritel di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bisnis ritel di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan informasi dari www.sentananews.com (2015) Abdullah Mansuri selaku ketua umum Ikatan Pedagang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan banyaknya produk yang ditawarkan oleh pihak pemasar kepada

BAB I PENDAHULUAN. dengan banyaknya produk yang ditawarkan oleh pihak pemasar kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dunia pemasaran dewasa ini sangat pesat, yang ditunjukkan dengan banyaknya produk yang ditawarkan oleh pihak pemasar kepada konsumen. Kemudahan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ekonomi Indonesia. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ekonomi Indonesia. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri ritel Indonesia merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) yang selama ini banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin modern perkembangan zaman menyebabkan timbulnya berbagai. usaha bisnis yang tentu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin modern perkembangan zaman menyebabkan timbulnya berbagai. usaha bisnis yang tentu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin modern perkembangan zaman menyebabkan timbulnya berbagai usaha bisnis yang tentu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Salah satu bisnis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui peningkatan sarana dan prasarana berfasilitas teknologi tinggi maupun

BAB I PENDAHULUAN. melalui peningkatan sarana dan prasarana berfasilitas teknologi tinggi maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha saat ini telah membawa para pelaku dunia usaha pada persaingan yang sangat ketat untuk memperebutkan konsumen. Berbagai pendekatan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I 2015 menjadi 4,67% pada kuartal II Hal ini disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. I 2015 menjadi 4,67% pada kuartal II Hal ini disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Tahun ini pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami perlambatan dibandingperiode yang sama di tahun lalu, yaitu melemah dari 5,12% pada kuartal I 2015 menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri ritel merupakan salah satu industri yang cukup kuat untuk bisa bertahan dalam segala situasi dan kondisi ekonomi apapun, dalam krisis ataupun keadaan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan disingkat bisnis ritel adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa kepada perorangan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin berkembang dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan industri ritel nasional yang semakin berkembang dengan pesat, dilihat dari indikasi pertumbuhan ritel modern yang keberadaannya semakin populer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persaingan bisnis ritel dewasa ini semakin meningkat. Peningkatan persaingan bisnis ritel dipicu oleh semakin menjamurnya bisnis ritel modern yang sekarang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat banyak, pembayaran yang praktis dengan sistem kasir, ruangan ber-

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat banyak, pembayaran yang praktis dengan sistem kasir, ruangan ber- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bisnis ritel (pengecer) mini market pada 5 (lima) tahun terakhir ini berkembang dengan sangat cepat. Rak-rak yang tersusun rapi, variasi produk yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan. Industri ritel dibagi menjadi 2 yaitu ritel tradisional dan ritel

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan. Industri ritel dibagi menjadi 2 yaitu ritel tradisional dan ritel 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan industri ritel belakangan ini menunjukkan kemajuan yang begitu berarti ditandai dengan makin banyaknya toko ritel modern di perkotaan. Industri ritel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara, sehingga merupakan harapan bangsa dan memberikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendahuluan Menghasilkan pelanggan yang puas saat ini tidaklah cukup. Bagi kelangsungan bisnis, menciptakan pelanggan yang loyal menjadi agenda penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam keadaan perekonomian yang semakin sulit ini banyak terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam keadaan perekonomian yang semakin sulit ini banyak terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam keadaan perekonomian yang semakin sulit ini banyak terjadi persaingan di berbagai bidang kehidupan, termasuk didalamnya persaingan dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari profit orientied kepada satisfied oriented agar mampu

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari profit orientied kepada satisfied oriented agar mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan di bidang perekonomian selama ini telah banyak membawa dampak positif dalam bidang usaha dimana perusahaan-perusahaan mengalami perkembangan pesat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan toko ritel berkembang sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya peritel asing yang ingin mencoba memasuki pasar Indonesia, ditambah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi di Kawasan Asia sangat diperhitungkan saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi di Kawasan Asia sangat diperhitungkan saat ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi di Kawasan Asia sangat diperhitungkan saat ini, terutama pertumbuhan negara-negara seperti China, India, Indonesia, Vietnam, dan Korea

Lebih terperinci

SUKSES BISNIS RITEL MODERN

SUKSES BISNIS RITEL MODERN RINGKASAN BUKU: SUKSES BISNIS RITEL MODERN Oleh: IR. R. SERFIANTO D. PURNOMO CITA YUSTISIA SERFIYANI, SH ISWI HARIYANI, SH, MH Penerbit: PT. ELEX MEDIA KOMPUTINDO (GRAMEDIA GROUP) Tahun Terbit : Februari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara- negara ASEAN yang lain. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia telah

I. PENDAHULUAN. negara- negara ASEAN yang lain. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia telah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah memasuki perdagangan bebas lebih awal dibandingkan negara- negara ASEAN yang lain. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia telah menandatangani Letter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Bisnis ritel modern di Indonesia tetap menunjukkan pertumbuhan di

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Bisnis ritel modern di Indonesia tetap menunjukkan pertumbuhan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis ritel modern di Indonesia tetap menunjukkan pertumbuhan di tengah persaingan yang ketat. Indonesia dengan jumlah populasi sebanyak 220 juta jiwa (BPS, 2010) merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Semakin hari kecenderungan masyarakat dalam berbelanja menjadi lebih rasional, cerdas, serta tegas di mana loyalitas masyarakat semakin sulit untuk dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dalam melaksanakan kegiatan pemasaran, perusahaan mengkombinasikan empat variabel yang sangat mendukung didalam menentukan strategi pemasaran, kombinasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjadi pasar yang sangat berpotensial bagi perusahaan-perusahaan untuk

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjadi pasar yang sangat berpotensial bagi perusahaan-perusahaan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, maka Indonesia dapat menjadi pasar yang sangat berpotensial bagi perusahaan-perusahaan untuk memasarkan produk-produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi Indonesia. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi Indonesia. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industri ritel merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Industri ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dampak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket,

BAB I PENDAHULUAN. menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007, toko modern atau yang sekarang biasa disebut pasar modern adalah pasar dengan sistem pelayanan mandiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat sebagian besar rakyat Indonesia terjun ke bisnis ritel. Bisnis ritel

BAB I PENDAHULUAN. membuat sebagian besar rakyat Indonesia terjun ke bisnis ritel. Bisnis ritel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri ritel merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Karakteristik industri ritel yang tidak begitu rumit membuat sebagian besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di era yang modern, pertumbuhan ekonomi terus berkembang seiring

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di era yang modern, pertumbuhan ekonomi terus berkembang seiring BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era yang modern, pertumbuhan ekonomi terus berkembang seiring perkembangan yang disertai dengan kemajuan teknologi. Segala kemudahan yang diciptakan oleh manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung ke konsumen akhir untuk keperluan konsumsi pribadi dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung ke konsumen akhir untuk keperluan konsumsi pribadi dan/atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perdagangan eceran (retailing) adalah perpenjualan barang atau jasa secara langsung ke konsumen akhir untuk keperluan konsumsi pribadi dan/atau keluarga. Salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pusat perbelanjaan moderen merupakan tempat berkumpulnya. pedagang yang menawarkan produknya kepada konsumen.

I. PENDAHULUAN. Pusat perbelanjaan moderen merupakan tempat berkumpulnya. pedagang yang menawarkan produknya kepada konsumen. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pusat perbelanjaan moderen merupakan tempat berkumpulnya pedagang yang menawarkan produknya kepada konsumen. Pasar ini terdiri dari sekelompok lokasi usaha ritel dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan ini untuk mengembangkan usahanya, termasuk negara Indonesia. Di

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan ini untuk mengembangkan usahanya, termasuk negara Indonesia. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak beredarnya isu mengenai investasi besar besaran yang akan memasuki wilayah Asia Tenggara pada awal tahun 2015, banyak perusahaan menggunakan kesempatan ini untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bergerak dibidang perdagangan eceran (retail) yang berbentuk toko,

BAB I PENDAHULUAN. yang bergerak dibidang perdagangan eceran (retail) yang berbentuk toko, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dibidang ekonomi selama ini telah banyak membawa perkembangan yang pesat dalam bidang usaha. Dengan banyaknya perkembangan di bidang usaha banyak bermunculan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel moderen di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel moderen di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel moderen di Indonesia cukup pesat, di mana hal ini juga didukung oleh pertumbuhan jumlah ritel yaitu mencapai 18.152

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang memerlukan barang untuk kebutuhan pribadi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang memerlukan barang untuk kebutuhan pribadi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya setiap orang memerlukan barang untuk kebutuhan pribadi dan kebutuhan rumah tangga yang mereka beli di tempat berbelanja yang dikenal dengan nama pasar,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan bisnis ritel di Indonesia secara langsung memberikan banyak alternatif bagi konsumen untuk memilih tempat berbelanja yang sesuai dengan selera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjual. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008

BAB I PENDAHULUAN. penjual. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasar merupakan tempat berlangsungnya transaksi antara pembeli dan penjual. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan faktor-faktor utama pendorong terjadinya globalisasi.

BAB I PENDAHULUAN. transportasi merupakan faktor-faktor utama pendorong terjadinya globalisasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan di bidang teknologi dan informasi, komunikasi, serta transportasi merupakan faktor-faktor utama pendorong terjadinya globalisasi. Globalisasi telah mendorong

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN PERTEMUAN PERTAMA. 6/11/2013

ANALISIS PEMASARAN PERTEMUAN PERTAMA. 6/11/2013 ANALISIS PEMASARAN PERTEMUAN PERTAMA 1 Definisi Pemasaran A. Pengertian Pemasaran Menurut WY. Stanton Pemasaran adalah sesuatu yang meliputi seluruh sistem yang berhubungan dengan tujuan untuk merencanakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, peneliti akan menyimpulkan hasil penelitian ini ke dalam poin-poin sebagai berikut: 1. Private label memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, bisnis kian berfluktuasi dan persaingan bisnis semakin ketat. Fluktuasi bisnis ini disebabkan oleh ketidakpastian lingkungan bisnis dan stabilitas perekonomian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah TINJAUAN PUSTAKA Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dari berbagai negara termasuk industri yang bergerak di bidang jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dari berbagai negara termasuk industri yang bergerak di bidang jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi sekarang ini, persaingan di berbagai industri semakin ketat tidak hanya bersaing dengan perusahaan dalam negeri tetapi juga dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Usaha ritel di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat beberapa tahun terakhir ini. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis semakin pesat membuat orang berpikir lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis semakin pesat membuat orang berpikir lebih 48 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dunia bisnis semakin pesat membuat orang berpikir lebih kreatif untuk membuat cara yang lebih efektif dalam memajukan perekonomian guna meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan fungsi dan peran supply chain management (SCM) pada. sebuah perusahaan agar menjadi lebih efisien dan produktif?

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan fungsi dan peran supply chain management (SCM) pada. sebuah perusahaan agar menjadi lebih efisien dan produktif? BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ide penelitian ini berawal dari pertanyaan Bagaimana cara meningkatkan fungsi dan peran supply chain management (SCM) pada sebuah perusahaan agar menjadi lebih efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minimarket baru dari berbagai perusahaan ritel yang menyelenggarakan programprogram

BAB I PENDAHULUAN. minimarket baru dari berbagai perusahaan ritel yang menyelenggarakan programprogram BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bisnis Ritel di Indonesia makin hari dirasakan semakin berkembang dan persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia memiliki bermacam-macam ketentuan pajak untuk para

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia memiliki bermacam-macam ketentuan pajak untuk para BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia memiliki bermacam-macam ketentuan pajak untuk para wirausahawan yang ada di Indonesia. Menurut Hendrati dan Muchson (2010), wirausahawan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala aspek parameter daya saing untuk memperkuat daya saing industri

BAB I PENDAHULUAN. segala aspek parameter daya saing untuk memperkuat daya saing industri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daya saing industri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daya saing ekonomi suatu bangsa. Daya saing industri harus melibatkan segala aspek parameter

Lebih terperinci

Judul : Pengaruh Retail Marketing Mix

Judul : Pengaruh Retail Marketing Mix Judul : Pengaruh Retail Marketing Mix Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan (Studi pada Indomaret Denpasar Barat) Nama : Made Arly Dwi Cahyana Nim : 1215251165 ABSTRAK Loyalitas pelanggan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia diwajibkan untuk saling membantu satu sama lain,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia diwajibkan untuk saling membantu satu sama lain, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia diwajibkan untuk saling membantu satu sama lain, begitu pula untuk mendapatkan kebutuhan hidup mereka. Salah satu kegiatan manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usaha atau bisnis ritel di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usaha atau bisnis ritel di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha atau bisnis ritel di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat beberapa tahun terakhir ini, dengan berbagai format serta jenisnya. Di tengah kondisi perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai upaya dilakukan perusahaan perbankan untuk tetap bertahan hidup (survive) di masa setelah krisis yang berkepanjangan ini dalan menghadapi persaingan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eceran terus berkembang seiring dengan keinginan dan selera pelanggan dan

BAB I PENDAHULUAN. eceran terus berkembang seiring dengan keinginan dan selera pelanggan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan perekonomian saat ini diikuti juga berkembanganya berbagai tempat berbelanja modern. Dalam bidang usaha perdagangan eceran (retailing)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidupnya, untuk berkembang dan mendapatkan laba adalah pemasaran. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidupnya, untuk berkembang dan mendapatkan laba adalah pemasaran. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pemasaran Salah satu kegiatan pokok perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang dan mendapatkan laba adalah pemasaran. Kegiatan pemasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membeli barang yang berbeda pada satu tempat. Banyak tempat ritel menawarkan

BAB I PENDAHULUAN. membeli barang yang berbeda pada satu tempat. Banyak tempat ritel menawarkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bisnis ritel yang ada di Kota Negara mengalami perkembangan yang sangat cepat. Perkembangan tersebut dikarenakan pelanggan ritel yang lebih suka membeli

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan sehari-hari adalah kebutuhan yang krusial dan harus dipenuhi setiap harinya. Kebutuhan sehari-hari atau yang biasa disebut FMCG (Fast Moving Consumer Goods)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa pusat-pusat pertokoan, plaza, minimarket baru bermunculan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. berupa pusat-pusat pertokoan, plaza, minimarket baru bermunculan di berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini persaingan terjadi cukup ketat pada berbagai sektor industri. Namun hal ini tidak menyurutkan pertumbuhan pembangunan sektor industri di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya Negara Indonesia yang dapat dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya Negara Indonesia yang dapat dilihat dari segi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Semakin berkembangnya Negara Indonesia yang dapat dilihat dari segi perekonomian dan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunya, membuat Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan muncul dan tumbuhnya berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan muncul dan tumbuhnya berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan muncul dan tumbuhnya berbagai perusahaan yang masing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekonomi kreatif yang digerakkan oleh industri kreatif, didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehadiran private label dinilai sebagai keharusan bagi peritel seiring dengan semakin ketatnya persaingan, sebagaimana dinyatakan oleh Adrianto (Head of External Communication

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi sangat menjanjikan suatu peluang dan tantangan bisnis baru bagi perusahaan yang beroperasi dan berproduksi di Indonesia. Era globalisasi juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dewasa ini perkembangan ritel di Indonesia sangat pesat, banyak ritel yang mulai bemunculan. Perkembangan ritel di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. munculnya pasar tradisional maupun pasar modern, yang menjual produk dari

BAB I PENDAHULUAN. munculnya pasar tradisional maupun pasar modern, yang menjual produk dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berkembangnya bisnis ritel di Indonesia disebabkan oleh semakin luasnya pangsa pasar yang membuat produsen kesulitan untuk menjual produknya langsung ke

Lebih terperinci