STRATEGI PENGENDALIAN HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST
|
|
- Erlin Kartawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 STRATEGI PENGENDALIAN HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS Anis Nurwidayati 1 1 Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala Jl. Masitudju No 58 Labuan Panimba, Labuan 94352, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia Abstract Schistosomiasis is snails intermediated disease that infects humans and other mammals. Schistosomiasis distributed in various parts of Asia, Africa and America. Schistosomiasis in Indonesia is only found in the highlands of Napu, Lindu and Bada, Central Sulawesi. Intermediate snail of schistosomiasis in Indonesia is Oncomelania hupensis lindoensis. Schistosomiasis control strategies in many countries are generally conducted by controlling intermediate snail using mechanic ways, molluscicide, and biological control. Development of vaccines and better diagnostic techniques are expected to help reduce infection in humans. Some basic research about molecular aspect of schistosomiasis have been conducted to understand the interactions between snails and parasites, as well as the identification of genes that are expected to lead the snail resistant to infection. Key words: Schistosomiasis, snail, molluscicides STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST Abstrak Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit yang diperantarai oleh keong yang menginfeksi manusia dan hewan mamalia lain. Schistosomiasis tersebar di berbagai wilayah kawasan Asia, Afrika dan Amerika. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di dataran tinggi Napu, Lindu dan Bada, Sulawesi Tengah. Keong perantara schistosomiasis di Indonesia adalah Oncomelania hupensis lindoensis. Strategi pengendalian schistosomiasis di berbagai negara pada umumnya dilakukan dengan pengendalian keong perantaranya, baik secara mekanik, kimia dan biologi. Pengembangan vaksin dan teknik diagnosis yang lebih baik diharapkan dapat membantu pengurangan infeksi pada manusia. Beberapa penelitian dasar bidang molekuler telah dilakukan untuk memahami interaksi antara keong dan parasit, serta identifikasi gen yang diharapkan dapat menyebabkan keong resisten terhadap parasit. Kata kunci: Schistosomiasis, keong, moluskisida Naskah masuk: tanggal 23 Maret 2015; Review I: tanggal 23 Maret 2015; Review II: tanggal 3 Desember 2015; Layak terbit: tanggal 31 Desember 2015 Alamat korespondensi: anisnurw21@gmail.com 38
2 PENDAHULUAN Schistosomiasis merupakan penyakit parasit paling mematikan kedua setelah malaria. Penyakit ini menimbulkan dampak kerugian ekonomi dan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang. 1 Schistosomiasis menginfeksi 230 juta orang di 77 negara dengan 600 juta orang berisiko terinfeksi. Penyakit ini tersebar di negaranegara berkembang baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina, Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja. 2 Beberapa spesies cacing schistosoma yang menginfeksi manusia telah diketahui, yang mana tergantung pada jenis keong perantara yang berbeda beda. Schistosoma haematobium menyebabkan schistosomiasis urinaria di Afrika, Timur Tengah dan Mediterania bagian timur. Empat spesies cacing yang lain menyebabkan schistosomiasis intestinal, yaitu S. intercalatum terjadi di sepuluh negara di kawasan hutan hujan di Afrika, S. mansoni ditemukan di lebih dari 52 negara di Afrika, Karibia, Mediterania bagian timur, Amerika Latin; S. japonicum dan S. mekongi ditemukan di Asia dan kawasan pasifik. 3 Keong Biomphalaria alexandrina merupakan hospes perantara spesifik dari S.mansoni di wilayah Mesir. Keong perantara schistosomiasis di kawasan Asia yaitu Oncomelania hupensis di China, Neotricula aperta di kawasan Sungai Mekong (Vietnam, Laos, Thailand), Oncomelania quadrasi di Filipina, Oncomelania hupensis lindoensis di Indonesia. 2 Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan cacing trematoda darah Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong Oncomelania hupensis lindoensis. Schistosomiasis sering disebut juga sebagai demam keong di daerah endemis di Indonesia. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten Poso. 4 Gambar 1. Persebaran daerah endemis schistosomiasis di Indonesia (Sumber: Balai Litbang P2B2 Donggala) 39
3 Secara klinis schistosomiasis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu : Stadium I, dimulai sejak masuknya serkaria ke dalam kulit sampai cacing menjadi dewasa, termasuk perpindahan schistosomula (cacing Schistsoma muda) melalui paru paru ke sistem portal. 4 Pada stadium ini dapat dibedakan menjadi tiga gejala, yaitu : a. Gejala kulit dan alergi Berupa ruam pada kulit, kemerahan dengan rasa gatal dan panas di tempat serkaria masuk. Gejala ini timbul beberapa jam setelah infeksi. Gejala ini akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Setelah itu muncul gejala alergi berupa demam, urtikaria serta pembengkakan. b. Gejala paru paru Berupa batuk kadang disertai dahak, kadang dengan sedikit bercampur darah. c. Gejala toksemia Mulai muncul antara minggu ke dua sampai minggu ke delapan setelah infeksi.gejalanya berupa demam tinggi, lemah, malaise, anoreksi, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh, diare, sakit perut, hati dan limpa membesar dan nyeri pada perabaan. 4 Stadium II, dimulai saat peletakan telur dalam pembuluh darah dan dikeluarkannya menembus mukosa usus. Gejala berupa lemas, malaise, demam, berat badan menurun, mulai terjadi pembengkakan hepar (hepatomegali), pembengkakan limpa (spleenomegali). Gejala ini timbul pada 6-8 bulan setelah infeksi. 4 Stadium III, terjadi pada stadium lanjut, lebih dari delapan bulan setelah infeksi. Kelainan berupa pembentukan jaringan ikat menetap akibat terperangkapnya telur di jaringan hati. Gejala berupa sakit perut, disentri, pelebaran pembuluh darah perut, pembengkakan / asites, anemia. 4 Pengobatan penduduk merupakan kegiatan pokok pada pengendalian schistosomiasis. Adapun kriteria pemberian pengobatan schistosomiasis adalah sebagai berikut: Pengobatan massal dilaksanakan bila prevalensi skistosomiasis di desa > 1%. Pengobatan ini dilaksanakan setiap 6 bulan diberikan kepada penduduk umur 5 tahun ke atas. Pada balita hanya diberikan pada individu yang positif. Pengobatan ditunda pada wanita hamil, wanita menyusui dan yang sakit berat. 2 Pengobatan selektif dilakukan bila prevalensi di bawah 1 %. Pengobatan diberikan setiap 6 bulan pada penduduk yang positif dan serumah. Pengobatan perorangan diberikan pada fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium. Obat yang digunakan yaitu praziquantel dengan dosis 30 mg/kg BB/dosis diberikan 2 dosis dalam satu hari, total 60 mg/kg/bb. Jarak pemberian dosis pertama dengan dosis kedua adalah 4-6 jam. Obat diminum sesudah makan. Selain obat praziquantel disediakan juga obat penawar karena obat praziquantel menimbulkan efek samping antara lain, demam, sakit kepala, pusing, mual, dan lain-lain 5. Dalam tulisan ini penulis ingin mendeskripsikan tentang berbagai strategi pengendalian keong perantara schistosomiasis di beberapa negara. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya pengendalian keong perantara schistosomiasis di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan beberapa strategi pengendalian keong perantara schistosomiasis, meliputi pengelolaan lingkungan, penggunaan moluskisida baik moluskisida kimia dan tanaman serta pengendalian secara biologis. METODOLOGI Metode penulisan ini menggunakan penelusuran literatur dengan menelaah buku, artikel dan jurnal ilmiah khususnya dalam hal pengendalian keong perantara schistosomiasis. HASIL Penyebab schistosomiasis di Indonesia adalah cacing trematoda Schistosoma japonicum. Telur S. japonicum dikeluarkan bersama dengan tinja 40
4 penderita, kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus tubuh keong Oncomelania hupensis lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus kulit manusia dan atau mamalia. S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika dan vena mesenterika. 4 Prevalensi kasus schistosomiasis di Lindu tahun yaitu 1,4%, 2,32%, 3,21%, 2,67%, 0,76%, 0,71%. Proporsi kasus schistosomiasis di Napu tahun yaitu 2,44%, 3,8%, 4,78%, 2,15%, 1,44%, 2,24%. Survei keong tahun 2012 menunjukkan infection rate masih tinggi yaitu 1,79% di Napu dan 2,53% di Lindu. 6 Hospes perantara schistosomiasis adalah keong O.h.lindoensis yangbersifat amfibious. Keong perantara ini hidup tersebar luas di daerah endemis tetapi tidak merata, terbatas pada tempat-tempat tertentu yang disebut daerah fokus. Hospes definitif schistosomiasis adalah manusia dan hewan mamalia. Terdapat 13 mamalia yang diketahui terinfeksi oleh schistosomiasis antara lain : sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalusbubalis), kuda (Equus cabalus), anjing (Canis familiaris), babi (Sus sp), musang (Vivera tangalunga), rusa (Cervus timorensis), berbagai jenis tikus (Rattus exulans, R. marmosurus, R. norvegicus, R. palellae). 7 BAHASAN Pengendalian Keong Perantara Schistosomiasis di Indonesia Pengendalian keong perantara schistosomiasis Oncomelania hupensis lindoensis, merupakan salah satu usaha pemutusan mata rantai penularan schistosomiasis. Mengingat pentingnya peran keong O.h.lindoensis dalam rantai penularan schistosomiasis, maka pengendalian keong perantara ini harus dilakukan. Pengendalian terhadap keong perantara ini dimaksudkan untuk menekan serendah-rendahnya populasi keong O. h lindoensis dan menekan angka infectionrate pada keong perantara menjadi 0% sehingga tidak menjadi masalah lagi dalam penularan schistosomiasis di Indonesia. 5 Untuk melakukan pengendalian keong schistosomiasis harus mempertimbangkan sifat keong yang amfibious dan jenis daerah tempat hidup keong. Pada umumnya daerah tersebut berupa daerah yang selalu basah sepanjang tahun, becek, dibawah pohon besar atau dibawah semak-semak, padang rumput bekas sawah yang selalu basah. Cara pengendalian keong perantara schistosomiasis di Indonesia dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Pengendalian secara kimiawi menggunakan zat kimia untuk membunuh keong. Pengendalian secara mekanis dimaksudkan untuk merubah habitat yang menguntungkan bagi kehidupan keong perantara menjadi daerah yang tidak menguntungkannya dan akhirnya keong itupun mati. Pengendalian secara mekanik dapat dilakukan antara lain dengan penimbunan habitat keong perantara, pengeringan/pembakaran habitat keong perantara. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan mengubah cara mengolah sawah, misalnya dengan intensifikasi pertanian, memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi, mekanisasi pertanian. 5 Pengendalian keong O.h. lindoensis di Sulawesi Tengah secara kimiawi saat ini digunakan zat kimia Niclosamide (Bayluscide). Zat kimia ini bersifat racun terhadap keong, telur dan anak keong perantara schistosomiasis maupun terhadap telur dan serkaria cacing S.japonicum. Penyemprotan moluskisida dilakukan di habitat keong secara periodik dan rutin. Dosis yang dianggap efektif saat ini adalah 0,2 gram/m 2. 5 Pengendalian Keong Perantara Schistosomiasis di Negara Lain Pengendalian dengan Pengelolaan Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran keong yang diperkirakan dapat dimodifikasi untuk pengendalian keong dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sebagai berikut: 41
5 a. Komposisi kimia air Kimia air yang dimaksud adalah konsentrasi kalsium, jumlah total kimia terlarut dalam air dan oksigen terlarut. Kepadatan semua spesies keong sangat rendah dalam air dengan kadar garam tinggi, kepadatan keong tinggi di air dengan kadar garam sedang, dan kembali rendah di air dengan konsentrasi kalsium rendah. Efek konsentrasi NaCl dan aspek salinitas terhadap keong air tawar telah diteliti oleh Madsen tahun Penelitian tersebut menunjukkan bahwa salinitas yang tinggi menyebabkan berkurangnya kepadatan keong perantara schistosomiasis, sedangkan tahap bebas dari schistosoma masih dapat bertahan hidup. 8 Kadar oksigen menjadi faktor penting dalam distribusi spesies dalam habitat. Keong membutuhkan kadar oksigen yang cukup banyak untuk bertahan hidup. Keberadaan tanaman di permukaan air dapat mengurangi kemampuan keong dapat mendapatkan oksigen. 8 b. Suhu Suhu dapat membatasi kelangsungan hidup keong Biompahalaria glabrata. Keong B.glabrata akan mati pada musim dingin dan suhu pada malam hari mencapai di bawah titik beku. 10 Penelitian oleh Coelho dan Bezerra menunjukkan pengaruh suhu pada perkembangan infeksi S. mansoni pada keong B. glabrata. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan secara langsung antara suhu dan tingkat infeksi pada keong, yaitu pada suhu yang lebih rendah menunjukkan tingkat infeksi S. mansoni pada keong yang lebih rendah. Suhu yang diujikan adalah 15, 20, dan 30 C. 11 Penelitian serupa oleh Yang et al tahun di China menunjukkan korelasi positif antara suhu dengan perkembangan S. japonicum dalam keong Oncomelania hupensis. Perkembangan stadium S. japonicum dalam keong paling cepat terjadi pada suhu 30 C. c. Tanaman Air Keragaman spesies keong air tawar paling tinggi pada umumnya berasosiasi dengan tanaman air, baik di permukaan maupun yang melayang dalam air. Terdapat simbiosis antara keong dengan tanaman air yang berlangsung pada waktu yang lama. Tanaman air menyediakan naungan bagi keong dari radiasi matahari dan aliran air, sebagai sumber makanan, dan tempat meletakkan telur keong. 13 d. Pengendalian secara mekanik Pengendalian secara mekanik yang dilakukan di Indonesia dapat berupa upaya, diantaranya perbaikan dan pembuatan saluran air, pembersihan saluran air dari rumput untuk memperlancar aliran air, pengeringan daerah fokus keong, dan pemanfaatan lahan fokus keong menjadi lahan produktif. 13 Pengendalian dengan Moluskisida a. Moluskisida kimia Moluskisida disebut sebagai sebuah upaya pengendalian populasi keong yang efektif dan berperan penting dalam pengendalian schistosomiasis. Moluskisida yang digunakan dalam pengendalian keong perantara schistosomiasis adalah niclosamide. Niclosamide merupakan garam ethanoalmine dengan rumus kimia 2 5-dichloro-4 -nitrosalicylanilide, yang diproduksi dengan nama komersial Bayluscide. Penggunaan moluskisida sintetik memiliki kekurangan yaitu kecenderungan bersifat toksik terhadap lingkungan, ikan, biota mikroskopis (zooplankton dan fitoplankton), dan mempengaruhi vegetasi di habitat keong perantara schistosomiasis. 14 b. Moluskisida berbahan tanaman Kekurangan moluskisida sintetik mendorong penelitian tentang tanaman yang berpotensi sebagai moluskisida alternatif selain niklosamide. Penggunaan tanaman bermoluskisida diharapkan lebih sederhana, murah, dan lebih ramah lingkungan. Berbagai tanaman yang memiliki kandungan sebagai moluskisida ditemukan dari anggota family Solanaceae, Phytolaccaceae, Fabaceae, Rubiaceae, dan Euphorbiaceae. 15 Berbagai spesies tanaman yang memiliki kandungan moluskisida terhadap keong perantara schistosomiasis (Bulinus africanus dan Biomphalaria glabrata) antara lain Phytolacca dodecandra (L Herit) Balanites aegyptiaca, Sapindus saponaria, Swartzia madagascarensis, Jatropha curcas, Riccinus communis Agave filifera, Ammi 42
6 majus, Canna Indica, Jatropha curcas, Dyzygotheca elegantissima, Anagalis arvensis, Solanum dubium, G.officinalis, A.stylosa, Euphorbia splendens. 16,17 Penelitian tentang biji jarak merah di Napu, Sulawesi Tengah didapatkan hasil yaitu ekstrak metanolik biji jarak merah memiliki potensi sebagai moluskisida. 18 Uji Phorbol Esters (PE) dari biji jarak pagar terhadap keong (Physa fontinalis) menunjukkan peningkatan tingkat kematian keong uji seiring dengan peningkatan konsentrasi PE rich fraction, dengan nilai LC50=0,33 mg/l. Pengujian phorbol esters standard pada konsentrasi 1 mg/l PEs menghasilkan kematian keong sebesar 100%. 19 Rug dan Ruppei (2000) melaporkan bahwa minyak kasar biji jarak pagar dan ekstrak methanol dari minyak jarak pagar menunjukkan toksisitas terhadap keong (Biomphalaria glabrata) dengan nilai LC50 sebesar 50 mg/l dan 5 mg/l. nilai LC 100 sebesar 100 mg/l untuk minyak kasar dan 25 mg/l untuk ekstrak methanol dari minyak. Liu (1997) melaporkan bahwa ekstrak methanol biji jarak pagar menyebabkan kematian keong O. hupensis sebesar 50% pada konsentrasi 10 mg/l. 20,21 Pengendalian Secara Biologi Penelitian untuk mencari alternatif pengendalian keong perantara shistosomiasis menggunakan agen biologi telah banyak dilakukan di berbagai negara, diantaranya menggunakan itik, keong kompetitor, bakteri, trematoda parasit, dan lain sebagainya. Agen biologi yang paling banyak diteliti adalah itik (Cairina moschata), ikan Tilapia spp., Sargochromis codringtonii, Astronotus ocellatus, krustasea golongan Ostracoda sebagai predator keong perantara schistosomiasis mansoni, serta keong Bullinus tropicus, Pomacea haustrum, Helisoma duryi sebagai kompetitor keong perantara schistosomiasis mansoni di Zimbabwe dan Brazil. Bakteri Bacillus pinotti telah diteliti bersifat patogen terhadap keong Biomphalaria glabrata. 22,23 Pengendalian secara biologi yang lain adalah penggunaan trematoda parasit pada keong Biomphalaria glabrata, yaitu Ribeiroia guadeloupensis. 24 Ikan dari jenis Trematocranus placodon telah digunakan untuk pengendalian keong perantara schistosomiasis secara biologi, dan diperkirakan keong merupakan makanan yang disukai ikan tersebut. 25 Penelitian ini menunjukkan potensi penggunaan ikan tilapia untuk pengendalian keong Biomphalaria yang merupakan hospes perantara S.mansoni. 26 KESIMPULAN Pengendalian keong perantara schistosomiasis merupakan aspek penting dan efektif dalam pengendalian schistosomiasis. Pengendalian keong dapat dilakukan dengan berbagai strategi, mulai manipulasi faktor lingkungan keong, pengelolaan daerah fokus keong, penggunaan moluskisida kimia dan hayati, serta secara biologi. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas strategi yang dapat diaplikasikan di daerah endemis schistosomiasis di Indonesia, sebagai alternatif upaya pengendalian keong selain yang telah dikerjakan selama ini oleh Program Pengendalian Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala atas dukungan dalam penyusunan tulisan. Terimakasih kepada Mitra Bestari dan Dewan Redaksi Buletin Spirakel atas saran dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Engels D L, Chitsulo A, Montresor and L Savioli. The global epidemiological situation of schistosomiasis and new approaches to control and research. Acta Trop. 2002; 82:
7 2. World Health Organization. Schistosomiasis Fact Sheet. Geneva Available at: 3. Utzinger J, SH Xiao, J Keiser, Z J. Chen and M Tanner. Current progress in development and use of artemether for chemoprophylaxis of major human Schistosoma parasites. Curr. Med. Chem. 2001; 8: Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. Petunjuk Teknis Pemberantasan Schistosomiasis. Jakarta Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Prevalensi Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. Program Pemberantasan Schistosomiasis. Palu Sudomo M. Penyakit parasitik yang kurang diperhatikan di Indonesia. In: Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Badan Litbangkes. Jakarta, 2008; Madsen, H. The effect of sodium chloride concentration on growth and egg laying of Helisoma duryi, Biomphalaria alexandrina and Bulinus truncates. J. Moll. Stud. 1990;56: Brown, D. Freshwater snails of Africa and their medical importance. 2nd Edn. London: Taylor and Francis Ltd Pitchford RJ. Temperature and schistosome distribution in south Africa. South African J.Sci. 1981; 77: Coelho JR and Bezerra FS. The effect of temperature change on the infection rate of Biomphalaria glabrata with Schistosoma mansoni. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2006; 101: Yang GJ, Utzinger J, Sun LP, Hong QB, Vounatsou P, Tanner M and Zhou XN. Effect of temperature on the development of Schistosoma japonicum within Oncomelania hupensis, and hibernation of O.hupensis. Parasitol. Res. 2007; 100: Thomas JD. An evaluation of the interaction between freshwater pulmonate snail hosts of human schistosomes and macrophytes. Phil. Trans. R. Soc. 1987; 315: Ojewole JAO. Indigenous plants and Schistosomiasis control in South Africa: molluscicidal activity of some zulu medicinal plants. Boletin Latino americano y del Caribe de Plantas Medicinales y Aromaticas. 2004; 3(2): Lemma A, Yau P. Studies on the molluscicidal properties of Endod (Phytolacca dodecandra). II: Comparative toxicity of various molluscicides to fish and snails. Ethiop. Med. J. 1974; 12: Rawi SM, Al-Hazmi, Nassr Mal MSF. Comparative Study Of The molluscicidal activity of some plant extracts on the snail vector of Schistosoma mansoni, Biomphalaria alexandrina. International Journal of Zoological Research. 2011;7(2): Bakry FA. Use of some plant extracts to control Biomphalaria alexandrina snails with emphasis on some biological effects. World Applied Science Journal. 2009;3 (1): Nurwidayati A, Veridiana NN, Octaviani, Yudith L. Efektivitas ekstrak biji jarak merah (Jatropha gossypiifolia L), jarak pagar (J.curcas), dan jarak kastror (Riccinus communis) famili Euphorbiaceae terhadap hospes perantara Schistosomiasis, keong Oncomelania hupensis lindoensis. Balaba. 2014; 10(1). 19. Devappa RK, Rajesh SK, Kumar V, Makkar HPS, Becker K. Activities of Jatropha curcas phorbol esters in various bioassays. Ecotoxicol. Environ. Saf. 2011; 11(02): Doi: /j.ecoenv Rug M, Ruppei A. Toxic activities of the plant Jatropha curcas against intermediate snail hosts and larvae of schistosomes. Trop. Med. Intern. Hlth. 2000; 5:
8 21. Liu SY, Sporer F, Wink M, Jourdane J, Henning R, Li YL, Ruppei, A. Anthraquinones in Rheum palmatum and Rumex dentatus (Polygonaceae), and phorbol esters in Jatropha curcas (Euphorbiaceae) with molluscicidal activity against the schistosome vector snails Oncomelania, Biomphalaria, and Bulinus. Trop. Med. Int. Health. 1997; 2: Chimbari MJ, Ndela B. A preliminary assessment of the potential of the muschovy duck (Cairina maschata) as a biocontrol agent of schistosomiasis intermediate host snails. Journal of Parasitology Research Available from: Souza. Molluscicide control of snail vectors of Schistosomiasis. Mem Inst Oswaldo Cruz. 1995; 90(2): Available from: 90%28f2%29_ pdf. 24. Pointier JP and Jourdane J. Biological control of the snail hosts of schistosomiasis in areas of low transmission: the example of the Carribean area. Acta Tropica. 2000; 77: Evers BN, Masden H, McKaye KM and Stauffer JR. The schistosome intermediate host, Bulinus nyassanus, is a preferred food for the cichlid fish, Trematocranus placodon, at Cape Maclear, Lake Malawi. Ann. Trop. Med. Parasitol. 2006; 100: Kloos H, Pasoos LK, Lo Verde P, Oliveira RC and Gazzinelli A. Distribution and Schistosoma mansoni infection of Biomphalaria glabrata in different habitats in a rural area in the Jequitinhonha Valley, Minas Gerais, Environmental and epidemiological aspects. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2004; 99:
MODIFIKASI LINGKUNGAN UNTUK PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DAERAH ENDEMIS SULAWESI TENGAH
MODIFIKASI LINGKUNGAN UNTUK PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DAERAH ENDEMIS SULAWESI TENGAH THE ENVIRONMENTAL MODIFICATION TO SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN ENDEMIC AREAS, CENTRAL SULAWESI Anis Nurwidayati*
Lebih terperinciTHE EFFECTIVENESS OF DUCKS RELEASE AS SNAILS CONTROL IN THE AREA OF SCHISTOSOMIASIS IN NAPU, POSO DISTRICT, CENTRAL SULAWESI PROVINCE
Efektivitas Pelepasan Itik Dalam Pengendalian Keong Oncomelania hupensis... (Anis Nurwidayati 1, Jastal 1, Gunawan 1, Murni 1 ) Efektivitas Pelepasan Itik dalam Pengendalian Keong Oncomelania hupensis
Lebih terperinciBalai Litbang P2B2 Donggala Jalan Masitudju no 58, Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia 2
Penentuan Senyawa Phorbol Ester pada... (Anis Nurwidayati 1, Ani Isnawati 2, Rosmini 1, Rina Isnawati 1, Ade Kurniawan 1 ) Penentuan Senyawa Phorbol Ester pada Biji Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L)
Lebih terperinciReceived date: 18/2/2014, Revised date: 22/4/2014, Accepted date: 24/4/2014
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 9-14 EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI JARAK MERAH (Jatropha gossypiifolia), JARAK PAGAR (J. curcas) DAN JARAK KASTOR (Riccinus communis) FAMILI EUPHORBIACEAE TERHADAP HOSPES
Lebih terperinciLABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI
LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan
Lebih terperinciSpot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province
Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 5, No. 3, Juni 2015 Hal : 115-120 Penulis : 1. Anis Nurwidayati 2. Yusran Udin 3. Risti 4. Hasrida
Lebih terperinciKEGIATAN YANG DILAKSANAKAN
KEGIATAN PENELITIAN Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang
Lebih terperinciARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni**
ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni** THE TRANSMISSION OF SCHISTOSOMIASIS IN DODOLO AND MEKARSARI VILLAGES OF
Lebih terperinciKontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti)
Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti) KONTRIBUSI HEWAN MAMALIA SAPI, KERBAU, KUDA, BABI DAN ANJING DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU
Lebih terperinciANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK
ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 Rasyika Nurul 1, Muh. Jusman Rau 2, Lisdayanthi Anggraini 2 1.Bagian Promosi Kesehatan, Program Studi
Lebih terperinciPENGUJIAN EKSTRAK BIJI JARAK MERAH
Pengujian Ekstrak Biji Jarak Merah... (Anis Nurwidayati, et. al) PENGUJIAN EKSTRAK BIJI JARAK MERAH (Jatropha Gossypiifolia L) TERHADAP KEONG PERANTARA SCHISTOSOMIASIS, Oncomelania hupensis lindoensis
Lebih terperinciBIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM
BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM Anis Nurwidayatir, Phetisya PFSr, htan Tr' Ristil,Balai Litban gp\b?donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan' Kementerian
Lebih terperinciINFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH
INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH Infection Rate of The Intermediate Host and The Prevalence of Schistosoma Japonicum reservoirs
Lebih terperinciMujiyanto* ), Jastal **)
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM IDENTIFIKASI FOKUS BARU SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH Mujiyanto* ), Jastal **) *) Balai
Lebih terperinciVariasi Genus Keong di Daerah Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Sulawesi Tengah
Variasi Genus Keong di Daerah Fokus Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Sulawesi Tengah Snail Genera Variation in Focus Area Of Schistosomiasis Intermediate Snail in Lindu Plateau,
Lebih terperinciTATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :
Revisi Halaman 1. Pengertian Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). 2. Tujuan Prosedur ini sebagai acuan dalam
Lebih terperinciSituasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah
http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v45i4.7570.215-222 Situasi Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah... (Junus Widjaja, Hayani Anastasia, at.al) Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di
Lebih terperinciDiterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT
KO-INFEKSI SCHISTOSOMA JAPONICUM DAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH DI DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS KECAMATAN LORE UTARA DAN LORE TIMUR, KAB. POSO, SULAWESI TENGAH Co-infection of Schistosoma japonicum and
Lebih terperinciPrevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung
Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI
Lebih terperinciBalai Litbang P2B2 Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia
Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 42, No. 2, Juni 2014: 79-84 VARIASI GENETIK Oncomelania hupensis lindoensis DENGAN METODE RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA POLYMERASE CHAIN REACTION (RAPD-PCR) DI SULAWESI TENGAH
Lebih terperinciMedia Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013,
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENCEGAH PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DI DUA DESA DI DATARAN TINGGI NAPU KAPUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2010 FACTORS RELATED TO COMMUNITY
Lebih terperinciTREMATODA PENDAHULUAN
TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai
Lebih terperinciHubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah
https://doi.org/10.22435/blb.v13i2.5732.183-190 Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah The Relationship Between Elementary
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lebih dari setengah penduduk menggantungkan hidupnya pada beras yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) di Indonesia merupakan tanaman pangan terpenting karena lebih dari setengah penduduk menggantungkan hidupnya pada beras yang dihasilkan tanaman
Lebih terperinciPOTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH
2004 Yusuf Ridwan Posted 14 December 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2004 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F (Penanggung
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2
ISOLASI PENYEBAB DEMAM KEONG DARI TIKUS LIAR DI SEKITAR DANAU LINDU SULAWESI TENGAH (Isolation of snail fever cause from wild rat located around Lindu lake Central Sulawesi) TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies. DBD adalah
Lebih terperinciKONDISI IKLIM DAN MIKROHABITAT FISIK DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 1 ISBN: 978-02-31-044-0 KONDISI IKLIM DAN MIKROHABITAT FISIK DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH Mujiyanto1,
Lebih terperinciPada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.
SCHISTOSOMIASIS B7 Pendahuluan Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan dari masyarakan. Penyakit infeksi sendiri bisa muncul karena adanya bakteri, virus, kuman, ataupun parasite yang ada disekitar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. serangga yaitu Aedes spesies. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah. penyakit demam berdarah akut, terutama menyerang anak-anak dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit infeksi yang umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis serangga yaitu Aedes spesies.
Lebih terperinciDEFINISI KASUS MALARIA
DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.
Lebih terperinciAplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis Berbasis Molekuler. Mollecular Based Technique Application for Schistosomiasis Diagnosis
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis Berbasis Molekuler Mollecular Based Technique Application for Schistosomiasis Diagnosis Anis Nurwidayati* Balai Litbang P2B2 Donggala, Badan Litbang Kesehatan,
Lebih terperinciINFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012
Infeksi Schistosoma Japonicum... (Made Agus Nurjana, Samarang) INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 THE INFECTION
Lebih terperinciPENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) TERHADAP MORTALITAS KEONG EMAS (Pomacea sp.) DI RUMAH KACA
J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 130 Jurnal Agrotek Tropika 4(2):130-134, 2016 Vol. 4, No. 2: 130 134, Mei 2016 PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha Curcas L.) TERHADAP MORTALITAS KEONG
Lebih terperinciHUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB. SIGI Vail Alfadri A. Mahmud 1, Yusran Haskas 2, Akmal 3 1 2 3 (Alamat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan. tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya, kasus demam berdarah dengue/sindrom renjatan dengue ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia
Lebih terperinciSPIRAKEL - Sarana Penyebaran Informasi Hasil Kegiatan Litbang P2B2 Vol. 7 No.1 Juni 2015 INDEKS SUBJEK
SPIRAKEL - Sarana Penyebaran Informasi Hasil Kegiatan Litbang P2B2 Vol. 7 No.1 Juni 2015 INDEKS SUBJEK Analisis probit 5 Annona squamosa 10 Artemisinin combination treatment 30 Atraktan 8,10 Daya tetas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira Icterohaemorrhagiae
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit yang masih menjadi fokus utama masyarakat Internasional serta merupakan jenis penyakit yang berpotensi mematikan adalah demam berdarah dengue (DBD). World
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan yang dikenal dunia. Filariasis limfatik diidentifikasikan sebagai penyebab kecacatan menetap dan
Lebih terperinciFAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH
Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis... (Rosmini, et. al) FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH Rosmini, Jastal, Ningsi Balai Litbang P2B2 Donggala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi tingginya angka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyamuk adalah serangga yang bentuknya langsing, halus, distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari 3.000 spesies, stadium larva dan pupanya hidup di air (Garcia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kasus DBD di Indonesia pertama
Lebih terperinciPemanfaatan Air Sungai dan Infeksi Schistosoma Japonicum di Napu Poso Sulawesi Tengah Tahun 2006
KESEHATAN LINGKUNGAN Pemanfaatan Air Sungai dan Infeksi Schistosoma Japonicum di Napu Poso Sulawesi Tengah Tahun 2006 M. Edy Hariyanto* Abstrak Penyakit schistosomiasis menempati rengking ke dua setelah
Lebih terperinciProses Penularan Penyakit
Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seluruh bagian dari tanaman ini dimanfaatkan sebagai obat bagi manusia (Deptan,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pare (Momordica ) merupakan tumbuhan dataran rendah yang seluruh bagian dari tanaman ini dimanfaatkan sebagai obat bagi manusia (Deptan, 2002 dalam Irwanto, 2008).
Lebih terperinciPENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id
PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil
Lebih terperinciPENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi
PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah lama dikenal
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tumbuhan semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit genus plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan gigitan nyamuk Anopheles
Lebih terperinciHUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG SKISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH TAHUN 2015
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG SKISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH TAHUN 215 Anggun Wiwi Sulistin*, I Nyoman Widajadnya** *Mahasiswa Program Studi
Lebih terperinciDiagnosis Schistosomiasis dengan Metode Dot Blot
Diagnosis Schistosomiasis dengan Metode Dot Blot... (Samarang, Made Agus Nurjana. et.al) Diagnosis Schistosomiasis dengan Metode Dot Blot The Diagnosis of Schistosomiasis by Dot Blot Method Samarang*,
Lebih terperinciAnalisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita
Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plasmodium merupakan penyebab infeksi malaria yang ditemukan oleh Alphonse Laveran dan perantara malaria yaitu nyamuk Anopheles yang ditemukan oleh Ross (Widoyono, 2008).
Lebih terperinciHafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah
144 J. MANUSIA J. MANUSIA DAN DAN LINGKUNGAN, LINGKUNGAN Vol. 20, No. 2, Juli. 2013: Vol. 144 20, No. - 152 2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN MORFOLOGI SIPUT Ongcomelania hupensis lindoensis SEBAGAI HEWAN RESERVOIR
Lebih terperinciLAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA TAHUN Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala
LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA TAHUN 2015 Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala Tahun 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alllah SWT, karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Jumlah penderita DBD cenderung meningkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan dan berinteraksi, ketiga nya adalah host, agent dan lingkungan. Ketiga komponen ini dapat
Lebih terperinciABSTRACT. Barodji '1, M. Sudomo '1, J. Putrali '1 dan M.A. Joesoef 2, PENDAHULUAN
Bulletin Penelitian Karehatan (Health Studies in Indonesia) PERCOBAAN PEMBERANTASAN HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS (ONCOMELA NZA H UPENSIS L IND OENSZS) DEI'GAN BAY LUSCIDE DAN KOMBINASI PENGERINGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat menyerang organ
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara negara
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciBAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan (membunuh) lebih dari satu juta manusia di
Lebih terperinciPENYAKIT MENULAR. Website:
PENYAKIT MENULAR Penyakit Menular Penyakit menular memberikan Informasi insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit secara klinis dengan/tanpa informasi laboratorium yang digali melalui kuisioner.
Lebih terperinciReview Artikel : Perkembangan Vaksin untuk Schistosoma japonicum. Vaccines Development for Schistosoma japonicum : A Literature Review
Review Artikel : Perkembangan Vaksin... (Anis Nurwidayati) Review Artikel : Perkembangan Vaksin untuk Schistosoma japonicum Vaccines Development for Schistosoma japonicum : A Literature Review Anis Nurwidayati*
Lebih terperinciPEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA
PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA Sudomo, M '. dan Pretty, M.D. ~asono. SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA Abstract. Schistosomiasis in Indonesia existing only in two endemic areas, Lindu and
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang International Labour Organization (ILO), pada tahun 2008 memperkirakan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang International Labour Organization (ILO), pada tahun 2008 memperkirakan ada sekitar 2,34 juta orang meninggal setiap tahun karena kecelakaan kerja dan penyakit akibat
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di negara - negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari World Health
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Salah satu penyakit zoonosis adalah toksoplasmosis yang disebabkan oleh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman industri penting penghasil minyak masak, bahan industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunan kelapa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang ditularkan ke manusia dengan gigitan nyamuk Aedes Aegypty.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai dengan panas tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas disertai bintik-bintik merah pada kulit. Demam Berdarah
Lebih terperinciSAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit menular bahkan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukan Asia menempati urutan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami 2 musim, salah satunya adalah musim penghujan. Pada setiap musim penghujan datang akan mengakibatkan banyak genangan
Lebih terperinciLAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS
LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS Oleh : 1. Drh. Muhlis Natsir NIP 080 130 558 2. Drh. Sri Utami NIP 080 130 559 BALAI
Lebih terperinciPenyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio
Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Pada tahun 2007, infeksi cacing di seluruh dunia mencapai 650 juta sampai 1 milyar orang, dengan prevalensi paling tinggi di daerah tropis. Populasi di daerah pedesaan
Lebih terperinciPada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization atau WHO (2006), mendefinisikan foodborne disease sebagai istilah umum untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vector borne disease merupakan penyakit-penyakit yang ditularkan pada manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda yang dapat menularkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA
BAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA EKOSISTEM: lingkungan biologis yang terdiri dari semua organisme hidup di daerah tertentu, serta semua benda tak hidup (abiotik), komponen fisik dari lingkungan seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah negara berkembang di dunia yang masih berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat ini. Profil Kesehatan Indonesia
Lebih terperinciPOLA PENGOBATAN PENDERITA SCHISTOSOMIASIS (PENYAKIT DEMAM KEONG) DI DESA KADUWAA KECAMATAN LORE UTARA KABUPATEN POSO PROPINSI SULAWESI TENGAH
POLA PENGOBATAN PENDERITA SCHISTOSOMIASIS (PENYAKIT DEMAM KEONG) DI DESA KADUWAA KECAMATAN LORE UTARA KABUPATEN POSO PROPINSI SULAWESI TENGAH Joni Tandi Program Studi S1 Farmasi, STIFA Pelita Mas Palu
Lebih terperinciDemam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Penyakit DBD banyak
Lebih terperinci