UNIVERSITAS INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN BERAT DAN BUTA DI INDONESIA SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA TESIS MUHAMMAD ASRORUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN MATA JAKARTA, 2014

2 UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN BERAT DAN BUTA DI INDONESIA SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata MUHAMMAD ASRORUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN MATA JAKARTA, 2014

3 HALAMAN PER}TYATAAI{ ORISINALITAS Tesisini adalahhasil karya sayasendiri, dan semuasumberbaik yangdikutip maupundirujuk telah sayanyatakandenganbenar. Nama : dr.muhammad Asroruddin NPM : TandaTangan : l( \ \\$Qt" {V Tanggal : Januari20l4

4 HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diaiukan oleh: Nama NPM Program Studi Judul Tesis dr. Muhammad Asroruddin Program Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas Hidup (Vision-related Quality of Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia; Subpenelitian Studi Validasi Data Kebutaan Hasil RISKESDAS 2013 dan ldentifikasi Etiologinya Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar 'Dokter Spesialis Mata' pada Program Studi Dokter Spesialis IImu Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran. Pembimbing Tesis: DEWAN PENGUJI L dr.'llahjono D. Gondhowiardjo, SpM (K), PhD 2. dr.tri Rahayu, SpM (K), FIACLE 3. dr.yenidwi Lestari, SpM, MSc 4. dr.lwan Ariawan, MSPH Ditetapkan di : JakOr{o Tanggal : 16 Jonuo.i lortl Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FKUI J, Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI dr.yudisianil E. Kamal, SpM (K) Dr.dr.Widya Artini, SpM (K) ill

5 KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan oleh-nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak dalam bentuk pemikiran, tenaga, kerjasama, dana, dan segala bentuk dukungan lainnya. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih saya yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr.dr.Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, selaku sosok inspiratif dan pembimbing utama saya, yang di tengah-tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktunya untuk dapat memberikan masukan dan dorongan untuk penelitian ini. 2. dr.tri Rahayu, SpM(K), FIACLE, selaku pembimbing dan pencetus ide penelitian. Terima kasih atas kepercayaan dan kesabarannya dalam membimbing saya menyelesaikan penelitian ini. 3. dr.yeni Dwi Lestari, juga selaku pencetus ide dan pemberi jalan agar saya mau dan berminat untuk mengikuti penelitian ini. Terima kasih atas kesabaran membimbing saya dalam menyelesaikan penelitian di tengahtengah halangan yang banyak menghadang. 4. dr.iwan Ariawan, MSPH, selaku pembimbing statistik saya, yang di tengah kesibukannya mampu memberi saya bimbingan di Jakarta dan UI Depok. 5. Dr.dr.Widya Artini, SpM(K), dr.elvioza, SpM(K), dr.yudisianil, SpM(K), dan dr.tri Rahayu SpM(K), selaku Kepala Departemen, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang terus mendorong saya untuk dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi mata. 6. Prof.dr.Farida Sirlan, SpM(K) dan Dr.Julie D. Barliana, SpM(K), yang juga mewakili PERDAMI selalu memberi saya semangat dan membuka jalan agar penelitian dapat terselesaikan. 7. Rekan-rekan refraksionis, Bapak Buyung, Bapak Rudjito, dan Ibu Erni Harsono yang telah meluangkan waktu menemani saya memeriksa responden di seluruh wilayah Jakarta, dan rekan-rekan residen dan dokter mata di Jawa iv

6 Timur, Yogyakarta, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang telah dengan senang hati membantu penelitian ini berjalan dengan lancar. 8. Seluruf staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata yang telah menuntun dan membekali pengetahuan dan pengalaman yang berharga. 9. Staf tata usaha S2 (Ibu Siti Kholidah dan Mbak Siti Mursidah), staf perpustakaan, staf PERDAMI Jakarta dan PERDAMI Pusat, yang telah memperlancar administrasi penelitian ini. 10. Seluruh rekan-rekan residen, terima kasih atas bantuannya dalam pemeriksaan pasien penelitian. 11. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, dr.habsyiyah, dan teman seangkatan saya: Utami Noor, Sita Paramita, Dian Eka Putri, dan Selvilia Artanti. Terima kasih atas hubungan pertemanan, kekompakan, kerja sama dan canda tawa selama menempuh pendidikan ini. 12. Orang tua saya, Ibu Hj.Kartini Andak, dan saudara-saudara tercinta, atas segala doa dan pengorbananya selama ini. 13. Istriku tercinta Henni Febrianti, ST yang senantiasa setia, tulus dan sabar dalam mendampingi dalam menyelesaikan penelitian ini, dan anakku Nailah Amirah Khairunnisa. Kalian adalah inspirasi, pemberi motivasi dan penyemangatku selama ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Januari 2014 Penulis v

7 HALAMAN PERFTYATAAIi PERSETUJUAII PT'BLIKASI TUGAS AKHIR tintuk KEPENTINGAI\I AKADEn/fl S Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesi4 saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya dr.muhammad Asroruddin Spesialis Mata Ilmu Kesehatan Mata Kedokleran : Tesis Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-*cclusive royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas Hidup (Vision-related Quahy of Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia; Subpenelitian Studi Validasi Data Kebutaan Hasil RISKESDAS 2013 dan ldentifikasi Etiologinya Beserta perangkat yang ada (iika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekseklusif ini berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : Januari 2014 Yang menyatakan vi ( dr.muhammad Asroruddin)

8 ABSTRAK Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas Hidup Terkait Penglihatan (Vision-Related Quality of Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia 1 Muhammad Asroruddin, 1 Tjahjono D Gondhowiarjo, 1 Tri Rahayu, 1 Yeni D Lestari, 2 Iwan Ariawan 1 Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran / Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia. Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus <6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata penyebab, dan kisaran lama kebutaan. Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total (p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan. Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan penglihatan. Kata kunci: kualitas hidup terkait penglihatan, NEI-VFQ25, gangguan penglihatan berat dan buta, penyakit mata. vii

9 ABSTRACT Impact of Visual Impairment and Ocular Morbidity on Vision-Related Quality of Life in Severe Low Vision and Blind Population in Indonesia 1 Muhammad Asroruddin, 1 Tjahjono D Gondhowiarjo, 1 Tri Rahayu, 1 Yeni D Lestari, 2 Iwan Ariawan 1 Department of Ophthalmology Faculty of Medicine University of Indonesia/ Cipto Mangunkusumo Hospital, 2 Faculty of Public Health University of Indonesia Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia. Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25 questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey 2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment. Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages, and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite score of blind was statistically significant lower than severe low vision group (p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not significantly related. Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and onset of visual impairment. Keyword: vision-related quality of life, NEI-VFQ25, severe vision loss and blindness, ocular morbidity. viii

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR.. i ii iii iv vi vii ix xi xii xiii DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesis Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Manfaat bagi institusi Manfaat bagi peneliti Manfaat bagi masyarakat... 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Low Vision dan Kebutaan Patofisiologi Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media) Defisit Lapang Pandangan Sentral Defisit Lapang Pandangan Perifer Kualitas Hidup (Quality of Life) Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas Hidup Penilaian Kualitas Hidup Manfaat Penilaian Kualitas Hidup Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner VFQ Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25. BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP Kerangka Teori Bagan Kerangka Konsep BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Subyek Penelitian Populasi Target ix

11 Populasi Terjangkau Sampel Penelitian Besar Sampel Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Kriteria Drop Out Definisi Operasional Cara Kerja Penelitian Alat dan Bahan Pengumpulan Data Analisis Data Bagan Alur Penelitian Etik Penelitian BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek Skor Kualitas Hidup Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan Gangguan Penglihatan Berat Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment Validitas Kuesioner NEI-VFQ BAB 6 DISKUSI BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 55 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 59 x

12 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian kualitas hidup.. 23 Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat gangguan penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata penyebab. 37 Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan kisaran lama kebutaan.. 39 Tabel 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala berdasarkan tingkat gangguan penglihatan 40 Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata penyebab kebutaan 42 Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada katarak dan glaukoma. 42 Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada responden katarak dan glaukoma pada kelompok buta.. 44 xi

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 5.1. Gambar 5.2. Gambar 5.3. Gambar 5.4. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan 13 Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan berat.. 41 Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak dan glaukoma 43 Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak dan glaukoma setelah dilakukan adjustment terhadap tajam penglihatan. 45 Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi pada kelompok buta.. 45 xii

14 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Approval) 59 Lampiran 2 Formulir Studi Validasi Data Kebutaan RISKESDAS 2013 dan Identifikasi Etiologinya. 60 Lampiran 3 Kuesioner Fungsi Penglihatan NEI-VFQ Lampiran 4 Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) 63 Lampiran 5 Tabel Induk Penelitian. 65 xiii

15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penglihatan (visual impairment) secara umum dapat diartikan sebagai keadaan penurunan fungsi penglihatan secara menetap yang tidak dapat diperbaiki dengan obat-obatan, pembedahan, atau kacamata, atau penyempitan lapang pandangan bilateral yang diakibatkan oleh rusaknya sistem visual karena berbagai sebab. Menurut International Classification of Disease-10, tingkat fungsi penglihatan terbagi menjadi yaitu penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan penglihatan berat, dan buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat digolongkan ke dalam low vision. 1 Jumlah penyandang gangguan penglihatan termasuk low vision di seluruh dunia menurut data World Health Organization (WHO) terbaru adalah sekitar 285 juta orang, dengan sekitar 39 juta orang dari jumlah tersebut mengalami kebutaan. Sebagian besar populasi tersebut (87%) hidup di negara berkembang. 2 Proporsi penyebab low vision dan kebutaan berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat, diperkirakan sebanyak 13,5 juta warga yang berusia di atas 45 tahun (17%) mengalami low vision, yang disebabkan terutama oleh age-related macular degeneration (AMD) sebesar 45%, kemudian oleh glaukoma dan retinopati diabetik. 1,3 Penyebab utama low vision di India adalah retinitis pigmentosa (19%), penyakit makula termasuk AMD (17,7%), retinopati diabetik (13%), dan miopia degeneratif (9%). 4 Survei Kesehatan Indera tahun menunjukkan sebanyak 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan Refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%), dan kelainan kornea (0,10%). Dengan pendekatan penelitian yang berbeda, hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) Departemen Kesehatan tahun 2007 menyatakan bahwa prevalensi kebutaan dan low vision di Indonesia adalah 0,9% dan 4,8%, dengan penyebab terbesar adalah katarak. Prevalensi kebutaan dan low vision di 1

16 2 Provinsi DKI Jakarta adalah 0,5% dan 3,5% dengan penyebab utama adalah katarak dan kelainan refraksi. 6 Saw dkk 7 pada tahun 2003 menyatakan bahwa angka prevalensi low vision bilateral di Indonesia adalah 5,8% dan angka kebutaan bilateral sebesar 2,2%, dengan penyebab utama adalah katarak, gangguan refraksi, dan ambliopia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (quality of life), yang terlihat dari berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living). 1,8 Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, shock dan denial, depresi, dan ketergantungan, serta tingginya risiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, dan penurunan status gizi pada orang tua. 1,3,9-12 Beberapa faktor diduga berperanan dalam penurunan kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan. Faktor tingkat penurunan visus dan lapang pandangan berkaitan dengan penurunan kualitas hidup. Penyebab kebutaan seperti katarak, glaukoma dan gangguan refraktif, serta komorbiditas juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Beberapa penelitian berbasis populasi menemukan bahwa faktor demografi dan sosioekonomi juga berperanan penting dalam berkembangnya gangguan penglihatan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup. Tingkat sosioekonomi masyarakat penting untuk menghitung angka kebutuhan untuk pelayanan dan penatalaksanaan rehabilitatif, untuk mendesain edukasi kesehatan dan program skrining yang lebih inovatif dengan sasaran kelompok subpopulasi tertentu, dan untuk mengidentifikasi ranah penelitian yang diprioritaskan Dampak gangguan penglihatan dan kebutaan umumnya dilakukan secara objektif dengan pemeriksaan tajam penglihatan dan lapang pandangan. Namun, hal tersebut belum dapat secara akurat atau menyeluruh menggambarkan dampak menyeluruh akibat gangguan terkait penglihatan yang dialami oleh pasien. Penilaian yang bersifat subjektif dari sudut pandang pasien seperti kualitas hidup juga diperlukan. Oleh karena itu, kedua aspek penilaian tersebut sangat penting dan bermanfaat untuk

17 3 memberikan penilaian kesehatan mata yang lebih komprehensif. Penilaian kualitas hidup bermanfaat untuk menentukan kebijakan penanganan yang lebih holistik melalui program rehabilitasi untuk kelompok penyandang low vision dan buta. Program ini akan memberikan dampak meningkatnya kualitas hidup penyandangnya setelah rehabilitasi dilaksanakan Berbagai instrumen telah banyak dikembangkan untuk menilai kualitas hidup penyandang gangguan penglihatan dan buta. Instrumen yang saat ini lazim digunakan adalah Visual Function Questionnaire (VFQ) yang dikembangkan oleh National Eye Institute (NEI-VFQ25) yang banyak digunakan di seluruh dunia. Penilaian yang dilakukan adalah kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri pada mata, aktivitas dengan penglihatan dekat, aktivitas dengan penglihatan jauh, fungsi sosial, kesehatan mental, kesulitan berperan dalam masyarakat, ketergantungan, berkendaraan, penglihatan warna, dan penglihatan perifer. Kuesioner yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu, seperti untuk menilai perubahan kualitas hidup sebelum dan setelah intervensi juga telah banyak dikembangkan Penilaian skor quality of life (QoL) sangat bermanfaat untuk menentukan dampak yang dialami pasien dengan gangguan penglihatan. Berbagai penelitian telah membandingkan skor kualitas hidup berdasarkan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan, dan melihat tingkat kualitas hidup pada penyakit mata yang dapat ditangani (avoidable blindness) seperti katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi sebagai penyebab utama. Selain gangguan visus sentral, lapang pandangan perifer juga terganggu pada glaukoma sehingga hal ini diduga memperburuk kualitas hidup pasien dibanding penyakit mata lainnya. Penelitian Broman dkk 24 dan Lin dkk 25 dengan kuesioner VFQ25 menunjukkan bahwa pasien glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang lebih rendah dibanding pasien katarak dan kelainan refraktif. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan studi lebih lanjut bagaimana kualitas hidup berdasarkan jenis penyakit, untuk menjadi masukan bagi penanggulangan kebutaan. Skor kualitas hidup juga penting untuk mengetahui pengaruh tindakan yang dilakukan pada pasien seperti pada pasca penggunaan low vision aids atau pasca operasi katarak. Penilaian kualitas hidup juga bermanfaat untuk membuat rencana

18 4 utama (master plan) penanggulangan kebutaan dan low vision yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan (stakeholder) di suatu wilayah termasuk negara sesuai amanat WHO dan Millenium Development Goals (MDGs) yang tercantum dalam Vision 2020: The Right to Sight PERUMUSAN MASALAH Jumlah angka kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia masih tinggi. Gangguan penglihatan memiliki dampak penurunan kualitas hidup seseorang. Dampak negatif yang muncul adalah terganggunya aktivitas harian yang memerlukan fungsi penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah kualitas hidup (quality of life) lainnya. Dampak lain yang timbul adalah pasien juga akan terisolasi secara sosial dan mengalami gangguan mental. Penilaian kualitas hidup yang terkait kesehatan (health-related quality of life) diperlukan untuk menilai tingkat penurunan kualitas hidup terkait penglihatan (vision-related quality of life) terutama pada penyandang low vision dan buta. Tingkat penurunan visus dan lapang pandangan, jenis penyakit mata yang dimiliki, komorbiditas, serta faktor sosiodemografi dan sosioekonomi dapat mempengaruhi kualitas hidup. Instrumen yang digunakan untuk penilaian kualitas hidup juga harus bersifat valid dan dapat menggambarkan dimensi kualitas hidup yang diinginkan. Selama ini sepengetahuan peneliti masih sangat sedikit penelitian yang menilai kualitas hidup pada subjek dengan gangguan penglihatan dan buta yang berbasis populasi dan berskala nasional, termasuk kualitas hidup berdasarkan penyakit mata penyebab. Berdasarkan permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan (vision-related quality of life) pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab penyakit mata yang mendasarinya seperti katarak, glaukoma, dan penyakit mata lainnya? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup penyandang gangguan penglihatan berat maupun buta?

19 HIPOTESIS Hipotesis penelitian ini adalah kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta karena glaukoma lebih rendah dibanding karena katarak, kelainan refraktif, dan penyakit mata lainnya TUJUAN PENELITIAN Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab penyakit matanya seperti glaukoma, katarak, kelainan refraksi, dan penyakit mata lainnya Tujuan Khusus Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk: 1. Mengetahui perbedaan kualitas hidup pada populasi dengan gangguan penglihatan berat dan buta, baik skor total maupun skor subskala di 5 provinsi di Indonesia. 2. Menilai karakteristik demografis penyandang gangguan penglihatan berat dan buta. 3. Mengetahui penyakit penyebab gangguan penglihatan berat dan buta 4. Menilai hubungan gangguan penglihatan dan penurunan kualitas hidup pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia. 5. Menilai hubungan skor kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan dan buta dengan derajat penurunan visus, jenis penyebab penyakit, dan lama terjadinya gangguan (onset).

20 MANFAAT PENELITIAN Manfaat Untuk Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan informasi yang berharga bagi institusi pendidikan untuk menjadi informasi dan rekomendasi kepada pemangku kebijakan untuk melakukan langkah-langkah strategis penanggulangan kebutaan dan low vision pada golongan dengan gangguan penglihatan berat dan buta Manfaat Untuk Peneliti Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan penelitian serta dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan penelitian selanjutnya di kemudian hari Manfaat Untuk Masyarakat Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pelayanan kesehatan mata berbasis komunitas terutama untuk gangguan penglihatan berat dan buta.

21 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Low Vision dan Kebutaan Pada tahun 1980, WHO mengusulkan 4 istilah yang digunakan untuk mendefinisikan impairment and disability, yang berkaitan pula dengan low vision, yaitu (1) disorder, adalah deviasi anatomi dari normal dan dapat terjadi secara kongenital atau didapat (akuisita), seperti AMD, retinopati diabetik, glaukoma, dan katarak; (2) impairment, adalah hilangnya atau abnormalitas fungsi, baik secara fisiologis maupun psikologis, seperti penurunan tajam penglihatan, penurunan sensitivitas kontras, skotoma sentral, lapang pandang menyempit; (3) disability, adalah halangan atau ketidakmampuan untuk melakukan tugas dengan cara normal, seperti membaca koran, mengenali wajah, dan mengemudi mobil; dan (4) handicap, adalah suatu kerugian yang menghambat atau membatasi seseorang dalam menjalankan peranan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang normal, seperti ketidakmampuan untuk bekerja atau melakukan hobi, dan terhalang interaksi sosialnya. Istilah tersebut saat ini sudah direvisi dan digunakan definisi dan kriteria yang terbaru seiring dengan perkembangan pengetahuan. 26 WHO kemudian membagi kriteria fungsi penglihatan menjadi 4 kelompok yaitu penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan penglihatan berat, dan buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat disebut juga sebagai low vision. WHO mendefinisikan buta legal (legal blindness) sebagai tajam penglihatan dengan koreksi terbaik 20/200 (6/60) atau lebih rendah pada mata terbaik, atau lapang pandang 20 atau lebih buruk pada mata terbaik. Low vision adalah keadaan seseorang yang memiliki gangguan fungsi penglihatan setelah melakukan pengobatan dan/atau koreksi refraksi standar, dan memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/18 (20/60) hingga light perception, atau luas lapang pandang kurang dari 10 dari titik fiksasi, namun masih atau memiliki potensi untuk menggunakan penglihatannya untuk merencanakan atau melakukan suatu pekerjaan. 27 7

22 8 Menurut Revised International Statistical Classification of Diseases, Injuries, and Causes of Death (ICD-10) WHO, gangguan penglihatan mencakup low vision dan kebutaan yang dikategorikan menjadi moderate visual impairment, bila tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (BCVA) kurang dari 20/60 (6/18) hingga 20/200 (6/60); severe visual impairment, bila tajam penglihatan kurang dari 20/200 (6/60) hingga 20/400 (3/60) atau diameter lapang pandang 20 atau lebih rendah; dan buta, bila tajam penglihatan/visus <3/60, atau hilangnya lapang pandangan kurang dari dari 10, pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan. 27 Menurut low vision Consensus Group 28, low vision adalah seseorang yang mengalami kerusakan fungsi visual (impairment of visual function) yang penatalaksanaannya tidak dapat dilakukan dengan pemberian kacamata konvensional, lensa kontak atau intervensi lain dan menimbulkan halangan dalam kehidupan seseorang sehari-hari. Pada tahun 1997, American Optometric Association menambah kriteria low vision yaitu gangguan sensitivitas kontras, warna, dan ocular motility. 29 Kategori gangguan penglihatan 1 6/ /40 2 6/ /60 3 6/ Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD-10 Presenting visual acuity Atau lapang Maksimal Minimal sama atau pandangan kurang dari lebih baik dari sentral 6/ /60 20/ / / / /300(20/1200) 6 Tidak ada persepsi cahaya 6/ /200 3/ /400 1/ /300(20/1200) Persepsi cahaya Diklasifikasi sebagai Gangguan penglihatan ringan Gangguan penglihatan sedang 20 atau Gangguan kurang tapi penglihatan lebih dari 10 bert 10 atau Buta kurang tapi lebih dari 5 5 atau kurang Buta berat Buta total 9 Tidak spesifik Tidak spesifik

23 Patofisiologi Patofisiologi penurunan fungsi visual pada gangguan penglihatan dan buta mencakup tiga hal yang berhubungan dengan proses patologis dari status fungsional pasien, yaitu kekekeruhan media refraksi (cloudy media), defisit lapang pandangan sentral, dan defisit lapang pandangan perifer. Hal ini membantu memperkirakan keluhan dan kesulitan pasien, dan membantu dokter memilih dan menerapkan strategi rehabilitasi. 1, Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media) Untuk membentuk keseluruhan bayangan objek yang jelas di retina, sumber cahaya harus melewati media refraksi yaitu lapisan air mata, kornea, bilik mata depan, pupil, lensa dan vitreous. Penyakit yang mengenai struktur tersebut biasanya menimbulkan gangguan dalam kejelasan objek, sehingga menimbulkan pandangan kabur, penurunan detil penglihatan, dan keluhan silau (glare) yang berarti, dan berkurangnya sensitivitas kontras. 1,30 Contoh kondisi di atas adalah tajam penglihatan yang tak terkoreksi pada kelainan refraksi (refractive errors), penyakit yang mengenai epitel dan stroma kornea (mata kering, distrofi, keratokonus, jaringan parut karena herpes simpleks), midriasis traumatik, katarak, komplikasi bedah LASIK, perdarahan vitreous, dan uveitis posterior. 1, Defisit Lapang Pandangan Sentral Kejelasan pembentukan bayangan objek sentral bergantung pada makula yang intak dan jaras saraf yang mempersarafi pandangan sentral. Gejala yang timbul bergantung dari jumlah, ukuran, lokasi, dan kepadatan skotoma dan dari kemampuan pasien untuk menggunakan titik fiksasi eksentrik (eccentric fixation), yang disebut preferred retinal locus. 1,30 Penyakit-penyakit yang mengenai struktur ini menyebabkan skotoma relatif atau absolut (blind spot) pada titik fiksasi atau fiksasi dekat dan/atau penurunan sensitivitas kontras retina. Penyebab utamanya adalah karena age-related macular

24 10 degeneration (AMD). Penyebab lain adalah macular hole, diabetic macular edema, myopic degeneration, toksoplasmosis dan histoplasmosis, fototoksisitas, reaksi toksik obat, cecocentral scotoma, dan gangguan makula kongenital. 1,30 Gejala yang biasa timbul adalah kesulitan dalam membaca, mengenali wajah orang, dan melakukan setiap pekerjaan yang memerlukan penglihatan secara detil. Kesulitan membaca berarti pandangan yang kabur atau distorted, huruf yang hilang, atau perlunya cahaya lebih terang. Karena konsentrasi sel kerucut paling padat ditemukan di makula, dapat pula terjadi penurunan ketajaman warna. 1, Defisit Lapang Pandangan Perifer Lapang pandangan perifer sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam kehilangan lapang pandang dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit pada retina, nervus optikus, dan sistem saraf pusat. Gejala yang khas timbul pada gangguan ini adalah menabrak objek atau orang dan kesulitan menentukan arah pada daerah yang tidak dikenali, terutama pada pencahayaan yang kurang atau pada saat malam hari, serta kesulitan membaca. Pada gangguan dini tajam penglihatan tidak terganggu, sehingga diperlukan pemeriksaan lapang pandangan dan sensitivitas kontras. 1,30 Gangguan pada kategori ini ditemukan pada pasien retinitis pigmentosa, distrofi retina, ablatio retina, proliferative diabetic retinopathy, glaukoma, neuropati optik iskemik, stroke, trauma, dan tumor. Tindakan panretinal laser photocoagulation dapat menyebabkan kehilangan lapang pandang iatrogenik dan penurunan sensitivitas kontras yang secara bermakna akan membatasi kemampuan melihat pasien pada malam hari. 1, Kualitas Hidup (Quality of Life) Quality of life (QoL) menurut WHO Instrument Group 31 adalah adalah suatu persepsi individu terhadap keberadaan atau posisinya dalam kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di tempat mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kepentingan masing-masing. Quality of life merupakan suatu konsep luas

25 11 yang terpengaruh secara kompleks oleh status kesehatan fisik seseorang, status psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, dan hubungan mereka terhadap lingkungan mereka yang penting. 31 Quality of life memiliki 5 dimensi yang meliputi aspek vision (penglihatan), yang meliputi gejala dan kondisi tertentu, aspek ekonomi yang meliputi biaya finansial dan nonfinansial, aspek sosial (kontak sosial dan hubungan interpersonal), aspek fungsional (self-care, mobilitas, tingkat aktivitas, activity of daily living), serta aspek psikologis dan emosional (fungsi kognitif, kesejahteraan emosi). Meskipun masih ada perbedaan pendapat para ahli mengenai definisi kualitas hidup, namun terdapat konsensus bahwa kualitas hidup yang terkait kesehatan, atau health-related quality of life (HRQOL) berkaitan dengan tingkat fungsi fisik, psikologis dan sosial, dan termasuk kecakapan (ability), hubungan (relationship), perpepsi, kepuasan hidup, dan kesejahteraan. 32 Seiring berjalannya waktu, HRQOL secara subjektif telah diukur dengan bermacam-macam cara. Istilah HRQOL menggambarkan perubahan atau pergeseran yang telah terjadi pada 30 tahun terakhir dimana HRQOL sebelumnya hanya diukur berdasarkan indikator klinis dari hasil (outcome) dari program rehabilitasi. Banyak alat yang telah dikembangkan untuk membuka pandangan pasien sendiri tentang HRQOL. HRQOL mengukur fungsi dan kesejahteraan aspek kesehatan fisik, mental, dan sosial dari kehidupan seseorang, dan menggambarkan pengaruh kondisi kesehatan yang sangat luas secara simultan. Penilaian HRQOL sangat penting untuk dapat menilai kualitas hidup seseorang secara holistik, termasuk pasca program rehabilitasi seperti pada pasca operasi katarak atau pasca pemberian low vision aids. Selain itu, HRQOL juga diperlukan karena tumbuhnya minat dari pemerintah dan perusahaan asuransi kesehatan melihat parameter kualitas pelayanan yang telah dilakukan Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas Hidup Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan

26 12 penglihatan memiliki dampak negatif pada aktivitas harian yang memerlukan fungsi penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah kualitas hidup lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living). Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, shock dan denial, depresi, dan ketergantungan, serta tingginya risiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, dan penurunan status gizi pada orang tua. 1,3,9-12 Gangguan penglihatan memiliki implikasi multidimensional seperti dampak fisik (penurunan tajam penglihatan), fungsional (hambatan mengurus diri sendiri, mobilitas, dan aktivitas harian), dampak sosial (kontak social dan hubungan interpersonal), dan dampak psikologis (status emosional, kesejahteraan, kepuasan hidup, dan kebahagiaan). 32 Seberapa baik seseorang dengan low vision dapat melihat tidak sepenuhnya ditentukan oleh tingkat kehilangan penglihatan. Beberapa faktor yang independen terhadap fisiologi mata mempengaruhi kualitas penglihatan. Hal ini sesuai dengan konsep WHO tentang definisi sehat yang menggunakan istilah biopsikososial untuk menjelaskan keterkaitan faktor fisik, psikologis, dan social untuk menggambarkan bagaimana low vision berdampak pada fungsional sehari-hari. Model yang dikembangkan oleh International Classification of Functioning 34 mencoba menggambarkan berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan seperti terlihat pada Gambar 2.1. Seseorang dengan penglihatan jauh yang terbatas memiliki kesulitan dalam pembelajaran, seperti meniru, memahami komunikasi nonverbal, mengintegrasikan fungsi indera (visual/auditory, visual/tactual, visual/olfactory, visual/gustatory), gangguan mobilitas yang terkait kemandirian (menghindari rintangan di jalan dan mengenai kendaraan bermotor, sepedam atau hewan yang bergerak, mengenali orang, objek, atau tindakan; membaca marka jalan. Seseorang dengan gangguan penglihatan dekat memiliki kesulitan dalam hygiene dan perawatan personal, menyiapkan makanan, mengenakan dan menjaga pakaian, menenun, menjahit, mengukir, dan

27 13 membaca. Seseorang dengan gangguan lapang pandangan memiliki kesulitan dalam menemukan objek dan adanya gangguan mobilitas secara mandiri. 32 Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan 32 Low vision dapat memengaruhi mobilitas dan kemandirian. Meskipun penyandang low vision telah mendapatkan informasi suara, penghidu, dan taktil mengenai lingkungan fisik mereka, namun isyarat visual yang mereka terima biasanya tidak sempurna atau buram. Kemampuan mereka untuk menggunakan informasi ini secara efektif bergantung pada faktor penglihatan, personal, dan lingkungan. Low vision juga secara tidak langsung mempengaruhi mobilitas dengan meningkatnya risiko jatuh dan fraktur pinggul, dan menjadi terlalu berhati-hati karena rasa takut jatuh. Aspek penglihatan yang mempengaruhi mobilitas termasuk kegelapan, cahaya suram, perubahan tatacahaya, daerah tak dikenal, situasi ramai, dan lingkungan seperti swalayan. 32 Penelitian Laitinen 13 di Finlandia menemukan hubungan penurunan tajam penglihatan dengan dampak negatif pada aktivitas harian seseorang. Sekitar 80% orang dengan visus 6/24 atau lebih rendah memiliki setidaknya satu keterbatasan dalam melakukan aktivitas harian bila dibandingkan dengan orang dengan visus lebih

28 14 dari 6/7,5 yang ditemukan pada 48% orang. Peneliti juga menemukan bahwa visus menjadi faktor independen yang kuat terhadap fungsi fisik pada orang yang berusia 55 tahun ke atas. Jika faktor-faktor selain penglihatan sudah dapat dikontrol sebelumnya, orang dengan visus menurun, yaitu kurang dari 6/40 akan mengalami peningkatan risiko terjadinya gangguan atau keterbatasan dalam melakukan aktivitas harian sebesar 3 5 kali bila dibandingkan dengan orang dengan visus yang lebih baik. Bila dibandingkan dengan orang yang memiliki visus normal, bahkan orang dengan visus < 6/12 pun sudah memiliki keterbatasan ADL. Penelitian lain oleh Lamoreux dkk 15 juga menemukan bahwa penurunan visus berbanding lurus dengan penurukan kualitas hidup. Penelitian Langelaan 33 di Belanda menemukan bahwa penurunan kualitas hidup juga berkaitan dengan kelompok usia yang mengalami gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan jarang terjadi pada usia pekerja sehingga dampak secara umum terlihat rendah, namun sebetulnya hal ini berdampak sangat besar pada penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan, pekerjaan kehidupan social, dan kehidupan keluarga. Kegiatan yang sebelumnya dapat dilakukan dengan baik menjadi terhambat seperti berpakaian, makan, menulis, bepergian, dan komunikasi sederhana atau berinteraksi dengan orang lain. Pada usia muda, gangguan penglihatan yang dialami sangat berpengaruh dalam mengejar tujuan hidup, seperti berkeluarga dan membangun karir jika dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang sehat. Masalah kesehatan mental juga dapat terjadi pada kelompok ini, dengan risiko cenderung lebih besar pada usia pekerja. 33 Gangguan penglihatan juga berkaitan dengan beban ekonomi penting sepanjang hidup. Biaya langsung yang berkaitan dengan hal tersebut adalah biaya untuk tatalaksana penyakit mata, fasilitas khusus untuk pendidikan, dan ketidakamanan social. Biaya tak langsung yang berkaitan adalah pengembangan diri yang terganggu, pendapatan menurun, dan penuruan produktivitas pasien itu sendiri maupun orang yang merawat mereka. 33 Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara penurunan kualitas hidup dengan penyakit penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan. Katarak, glaucoma,

29 15 AMD, kelainan refraksi, dan retinopati diabetikum telah banyak diteliti berkaitan dengan kualitas hidup para penderitanya. Dengan menggunakan instrumen yang sesuai misalnya, pada pasien glaukoma akan tampak gangguan kualitas hidup terkait penglihatannya dalam hal tajam penglihatan dekat, lapang pandangan, dan sensitivitas kontras. Aspek kualitas hidup pada pasien dengan AMD yang terganggu adalah general vision, dan kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan penglihatan dekat dan jauh ,35-36 Kesehatan mental pada penyandang gangguan penglihatan dan buta juga mengalami gangguan yang secara subjektif didapatkan dari penilaian menggunakan kuesioner. Cahill dkk 35 menemukan bahwa skor kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan mental lebih rendah bila dibandingkan dengan penyebab gangguan penglihatan lainnya. Peneliti ini juga menemukan orang yang mengalami low vision atau buta lebih lama cenderung memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang lebih singkat atau mendadak mengalami kebutaan. Biaya untuk menyediakan program rehabilitasi low vision masih rendah. Namun melalui program rehabilitasi, dukungan sosial, dan modifikasi lingkungan, banyak isu mobilitas pada low vision dapat diatasi. 13, Penilaian Kualitas Hidup Kualitas hidup yang dipengaruhi kesehatan (health-related quality of life) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Konsep HRQOL digunakan pada ranah kesehatan masyarakat dan kedokteran untuk mengacu pada persepsi seseorang atau kelompok terhadap kesehatan fisik dan mental. 31 Penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan beberapa tahun terakhir telah diterima sebagai cara untuk menilai hasil rehabilitasi. Gagal atau berhasilnya rehabilitasi pada pasien low vision pada umumnya telah dinilai dengan menggunakan pengukuran kemampuan fungsional yang lebih khusus, seperti kecepatan membaca (reading speed) dan frekuensi dan jenis low vision aid yang digunakan. Namun, penilaian ini tidak harus berkaitan dengan kesan subjektif yang

30 16 dialami oleh pasien yang telah direhabilitasi. Persepsi pasien tentang kualitas hidupnya sendiri dapat menjadi salah satu representasi kesan subjektif pasien itu sendiri. 31 Kemampuan seseorang dengan gangguan untuk berfungsi secara mandiri sering dinilai dengan melihat kemampuan mereka untuk melakukan tugas sehari-hari. Aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL) dapat didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilakukan pada kondisi normal sehari-hari, termasuk perawatan diri, aktivitas sosial, mobilitas, melakukan kegitan menyenangkan, dan bekerja. Telah dibuat batasan antara ADL dasar, termasuk pekerjaan perawatan diri yang perlu (seperti makan dan kebersihan diri) dan ADL instrumen (IADL) yang tidak penting secara fundamental tetapi yang memfasilitasi kemandirian dan berfungsi terintegrasi dalam lingkungan (melakukan pekerjaan rumah ringan, menyiapkan makan, minum obat, dan mengurus keuangan pribadi). 31 Selain gangguan fungsional berhubungan dengan kehilangan penglihatan, semakin tampak jelas bahwa dampak psikososial dari gangguan penglihatan juga besar. Insiden depresi pada lansia dengan gangguan penglihatan bervariasi. Cahill 35 menemukan bahwa pasien dengan AMD memiliki tingkat ansietas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien dengan penyebab lain. Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi pengukuran generik dan spesifik. Pengukuran generik menunjuk populasi yang berbeda dan meliputi berbagai isu kesehatan, sedangkan pengukuran spesifik terfokus pada aspek penting dari kualitas hidup yang relevan terhadap subyek yang diteliti sedangkan. Terdapat beberapa alat generik untuk menilai HRQOL seperti Sickness Impact Profile, Medical Outcomes Shortform 36 (SF-36), dan EQ-5D yang sudah dipakai secara luas. Pengukuran QoL spesifik penglihatan yang lain, termasuk kuesioner Low Vision Quality of Life (LVQOL) dan National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah dikembangkan. Kuesioner ini sering mengkombinasikan jenis pengukuran QOL generik dengan domain berhubungan dengan kemampuan fungsional yang terkait penglihatan. 31

31 17 Kuesioner dapat digunakan untuk mengumpulkan banyak data dengan cepat. Kuesioner juga disebut dengan instrumen. Pertanyaan tunggal atau multipel di dalam kuesioner disebut sebagai item. Pasien merespon tiap item dengan jawaban dikotom (misalnya ya atau tidak, benar atau salah) atau dengan penilaian politomus (memilih respon dari daftar kategori respon seperti derajat kesulitan atau kepentingan). Item berhubungan yang menilai variabel yang sama sering dikelompokkan menjadi domain, dimensi atau subskala. Kuesioner juga dapat mengukur dimensi tunggal atau dimesi multipel HRQOL. Dimensi yang sering diukur meliputi fisik (gejala penyakit dan tatalaksana), fungsi (perawatan diri, mobilitas, tingkat aktivitas, dan aktivitas kehidupan sehari-hari), psikologis (fungsi kognitif, status emosi, kesejahteraan, kepuasan hidup dan kebahagiaan) dan sosial (kontak sosial dan hubungan interpersonal) Manfaat Penilaian Kualitas Hidup Penilaian kualitas hidup sangat bermanfaat untuk melihat dampak dan besaran masalah yang terkait gangguan penglihatan dan kebutaan. Penilaian kualitas hidup juga berguna untuk melihat pengaruh rehabilitasi penglihatan sesuai dengan penyebab gangguan penglihatan itu sendiri. Penelitian Aravind Eye Study 14 di India menemukan hubungan skor kualitas hidup total dan subskala dengan tingkat tajam penglihatan, penyakit mata yang mendasari, dan faktor demografi. Penyakit katarak, glaucoma, dan kelainan refraksi berkaitan secara independen terhadap penurunan skor kualitas hidup. Peneliti juga menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan berkaitan dengan skor kualitas hidup, namun tidak berkaitan dengan jenis kelamin, hipertensi, diabetes, dan AMD. Semakin buruk tajam penglihatan maka semakin tinggi defisit pada tiap-tiap subskala skor kualitas hidup yang dinilai. Pasien glaukoma menunjukkan penurunan skor di subskala general vision bila dibandingkan pasien katarak. Di sisi lain, semakin meningkatnya usia akan menurunkan skor kualitas hidup. Selain itu, peningkatan kualitas hidup ditemukan pada golongan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan yang memiliki pekerjaan. 14

32 18 Penelitian Broman dkk 24 dan Lin dkk 25 di Taiwan menemukan bahwa pasien glaukoma, AMD, dan retinopati diabetik memiliki skor total yang lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien dengan kelaian refraksi yang belum terkoreksi dengan menggunakan kuesioner VFQ-25. Penurunan skor kualitas hidup juga berkaitan dengan hipertensi, penyakit jantung, dan arthritis. Penelitian Simangunsong 37 berbasis rumah sakit di RSCM menemukan ada perbedaan kualitas hidup antara pasien dengan glaukoma tahap moderate dan lanjut. Pada penelitian Saw dkk 38 dalam Tanjong Pagar Survey, responden dengan low vision memiliki skor visual function yang lebih rendah dibanding responden tanpa low vision. Responden dewasa yang buta juga memiliki skor visual function yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak buta, dan skor tersebut tetap berbeda signifikan setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia, jenis kelamin dan pendidikan. Berbagai penelitian juga menggunakan indikator QoL untuk menilai dampak program rehabilitasi terhadap peningkatan kualitas hidup termasuk kepuasan pasien. Penelitian Fitriani 39 dan Hapsari 40 di daerah Lombok menemukan bahwa program rehabilitasi gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Oleh karena itu, intervensi yang disease-specific penting dilakukan dalam rangka menurunkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner VFQ-25 National Eye Institute Visual Function Questionnaire 25 (NEI-VFQ25) adalah salah satu kuesioner fungsi visual yang paling banyak digunakan. Berkurang dari format asli versi 51 item, reliabilitas dan validitas NEI VFQ-25 dapat dibandingkan dengan versi yang lebih panjang. Kuesioner ini telah digunakan dalam survey mata berbasis populasi yang besar dan telah divalidasi dalam beberapa bahasa Pengukuran HRQOL harus dilakukan sesingkat mungkin mengingat dampak penelitian akan mempengaruhi tingkat partisipasi responden yang rendah. Sebelum VF-25 diperkenalkan, pada awalnya digunakan VF-51 yang berusaha mengukur

33 19 pengaruh penglihatan pada berbagai dimensi HRQOL seperti kesejahteraan secara emosional dan fungsi social. Namun, beberapa umpan balik dari pengguna menyatakan bahwa versi yang lebih singkat sangat diperlukan untuk riset dan klinis. NEI VFQ memiliki kandungan yang multidimensi, reliabilitas, dan validitas yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat mungkin. 16,18-20 Dua puluh lima pertanyaan dalam NEI VFQ dikelompokkan dalam 12 subskala (termasuk kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri mata, aktivitas dekat, aktivitas jauh, fungsi sosial, kesehatan mental, kesulitan peran, ketergantungan, mengemudi, penglihatan warna, dan lapang pandang perifer). Tiap subskala dihitung berdasarkan metode yang telah dijelaskan oleh pengembang NEI-VFQ dan dapat berkisar dari 0 sampai 100, dimana 0 adalah paling buruk dan 100 menunjukkan tidak ada ketidakmampuan berhubungan dengan penglihatan. 16,18-20 Mangione dkk 18 melakukan pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner VFQ-25, karena kuesioner ini akan memberikan data yang reproducible dan sahih, terutama jika digunakan pada berbagai kondisi dengan berbagai tingkat keparahan penyakit mata. NEI-VFQ25 sensitif terhadap pengaruh katarak senilis, degenerasi macula, kehilangan lapang pandang dan low vision dengan berbagai sebab. Kuesioner ini juga banyak dipilih karena spesifik. 24,25,37 Kuesioner ini memiliki validitas isi yang didapat dari berbagai penelitian dan dari hasil konsultasi terhadap pasien dan ahli low vision. Kuesioner ini memiliki hal-hal (item) yang berkaitan dengan aktivitas harian, fungsi social, dan cara mengatasi vision loss. Kuesioner ini sudah pernah ditranslasikan dan telah divalidasi untuk kepentingan penelitian yang serupa oleh Simangunsong Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25 Jenis variabel dan jumlah pertanyaan yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 adalah seperti berikut (kuesioner terlampir):

34 20 Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 Skala yang dinilai Jumlah pertanyaan Nomor pertanyaan General Health 1 1 General Vision 1 2 Ocular pain 2 4,19 Near activities 3 5, 6, 7 Distance activities 3 8, 9, 14 Vision specific: Social functioning 2 11, 13 Mental health 4 3, 21, 22, 25 Role difficulties 2 17, 18 Dependency 3 20, 23, 24 Driving 3 15c, 16, 16a Color vision 1 12 Peripheral vision 1 10 Langkah pengisian kuesioner dan cara penghitungan skor tercantum di metodologi penelitian.

35 21 BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Teori 1. Prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia cukup tinggi dan meningkat setiap tahun bila dibandingkan negara lain di Asia. 2. Gangguan penglihatan dan kebutaan berdampak pada kualitas hidup yang lebih rendah termasuk aktivitas harian, mental, dan social, bila dibandingkan dengan derajat visus yang lebih baik. 3. Diperlukan program rehabilitasi gangguan penglihatan untuk meningkatkan kualitas hidup seperti program operasi katarak dan pemberian low vision aids. 4. Penilaian kualitas hidup mencakup semua aspek secara komprehensif mulai berkembang, termasuk penilaian subjektif atau sudut pandang pasien terhadap kesehatan dan kesejahteraannya. 5. Jenis penyakit mata, komorbiditas, faktor sosiodemografi, faktor sosioekonomi diduga berperan dalam penurunan kualitas hidup akibat gangguan penglihatan. 6. Penilaian kesehatan dan kecacatan fungsional menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan untuk menilai dampak pelayanan terhadap kualitas hidup. 7. Pengukuran HRQOL didesain secara komprehensif dan didalamnya terdapat penilaian fungsi fisik, psikologis dan sosial serta kesehatan umum. 8. Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi generik atau spesifik. 9. Pengukuran QoL yang spesifik terhadap penglihatan telah banyak dikembangkan, dan disesuaikan dengan kebutuhan. 10. Kuesioner HRQOL berupa Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah dikembangkan dan telah banyak digunakan dalam menilai dampak gangguan penglihatan terhadap HRQOL. 11. Penilaian melalui kuesioner bermanfaat untuk menilai dampak gangguan penglihatan terhadap kualitas hidup, termasuk dampak setelah program rehabilitasi dilaksanakan. 21

36 Bagan Kerangka Konsep Skor Kualitas Hidup Kuesioner NEI-VFQ25 Populasi Gangguan Penglihatan dan Buta: Derajat gangguan penglihatan Penyakit mata penyebab Lama gangguan Skor total Skor subskala: Kesehatan umum Kesehatan penglihatan Nyeri mata Aktivitas dekat Aktivitas jauh Fungsi social Kesehatan mental Kesulitan peran Ketergantungan Penglihatan warna Komorbiditas Faktor sosioekonomi Variabel bebas Variabel tergantung Parameter yang dinilai Parameter yang tidak dinilai Variabel perancu

37 23 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) dengan metode pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara menggunakan kuesioner Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di 5 provinsi di Indonesia pada periode Juli Desember 2013, yang meliputi DKI Jakarta, Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, dengan mengikuti jadwal studi validasi kebutaan RISKESDAS-PERDAMI. Kabupaten/kota yang dipilih adalah kabupaten yang hampir semuanya pernah dilakukan survei kesehatan indera penglihatan pada tahun , dan kabupaten dengan proporsi kebutaan cukup tinggi di provinsi masing-masing berdasarkan data Riskesdas 2007 dengan mempertimbangkan jumlah Blok Sensus (BS) terbanyak seperti berikut: Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian kualitas hidup No Provinsi Kabupaten/Kota 1 DKI Jakarta Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Utara 2 Sumatra Barat Sijunjung Pariaman Solok Tanah Datar Lima Puluh Kota 3 DI Yogyakarta Bantul Gunung Kidul Sleman 4 Jawa Timur Surabaya Malang Jember 5 Sulawesi Selatan Bulukumba Wajo Pinrang Bantaeng 23

38 24 Pemilihan kelima provinsi tersebut sebagai tempat dilaksanakan penelitian didasarkan pada feasibility dan kesanggupan peneliti semata yang disesuaikan dengan jadwal studi validasi. Teknik pengambilan sampel disesuaikan dengan teknik stratified random sampling yang dilakukan oleh RISKESDAS Subyek Penelitian Populasi Target Populasi target pada penelitian ini adalah semua responden gangguan penglihatan berat dan buta yang ditetapkan oleh enumerator RISKESDAS untuk mengikuti studi validasi Populasi Terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua responden yang datang ke tempat pemeriksaan studi validasi RISKESDAS Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah responden gangguan penglihatan berat dan buta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil secara purposive sampling. Subjek penelitian adalah responden buta yang ditetapkan oleh enumerator Riskesdas (enumerator R) dengan visus maksimal (presenting visual acuity) pada mata terbaik < 3/60 dengan pinhole, dan responden gangguan penglihatan berat dengan visus maksimal pada mata terbaik 3/60 hingga <6/60 dengan pinhole dengan jumlah yang sama dengan responden yang dinyatakan buta di semua kota/kabupaten terpilih Besar Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling sesuai dengan jumlah responden dengan presenting visual acuity pada mata terbaik <3/60 dengan pinhole sebagai responden buta dan presenting visual acuity pada mata terbaik 3/60 - <6/60 dengan pinhole sebagai responden gangguan penglihatan berat sesuai hasil pemeriksaan enumerator R. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus

39 25 dua kelompok tidak berpasangan. Besar sampel dihitung berdasarkan nilai simpangan baku skor kualitas hidup dari beberapa penelitian yaitu 20, dan perbedaan skor terkecil yang dianggap bermakna yaitu 10. Rumus yang digunakan seperti berikut: n1=n2= 2 (Zα + Zβ ) S x1-x2 2 Keterangan: α : kesalahan tipe I yang masih dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan α 5% Zα : deviat baku α (dengan α 5%, nilai Zα dua arah 1.96) Β : kesalahan tipe II yang dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan β 20 % Z β : deviat baku β (dengan β 20%, nilai Z β 0.84) S : standar deviasi, nilai S = 20 X 1 - X 2 : selisih rerata skor kualitas hidup yang dianggap bermakna, yaitu 10. Besar sampel minimal yang diperlukan adalah masing-masing 50 responden dengan katarak dan 50 responden dengan glaukoma. Dengan memperhitungkan drop out sebesar 10 persen, maka sampel yang dibutuhkan adalah masing-masing kelompok sebesar 55 responden Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi Semua responden Riskesdas 2013 pada semua blok sensus (BS) terpilih di kecamatan/kabupaten/kota pada 5 provinsi yang berusia 18 tahun ke atas pada saat penelitian. Responden yang memiliki tajam peglihatan < 6/60 dengan pinhole pada mata terbaik pada pemeriksaan tumbling E oleh enumerator PERDAMI (enumerator P) Kriteria Eksklusi Responden yang tidak kooperatif untuk dilakukan penilaian dengan kuesioner dengan berbagai alasan.

40 Kriteria Drop Out Responden dinyatakan drop out jika tidak dapat menyelesaikan penilaian dengan kuesioner dengan berbagai alasan 4.5. Definisi Operasional 1. Visus adalah kemampuan melihat seseorang yang dinilai dan diinterpretasikan dengan cara mengukur kemampuan melihat huruf atau simbol E dalam berbagai ukuran (menggunakan kartu Snellen pada jarak 6 meter, dengan sumber penerangan cahaya matahari atau penerangan yang sesuai pada tiaptiap mata. 2. Gangguan penglihatan berat adalah visus <6/60 tetapi lebih baik atau sama dengan 3/60 pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan (presenting visual acuity). 3. Buta adalah visus <3/60 hingga no light perception pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan (presenting visual acuity). 4. Penyakit mata penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan adalah penyakit yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan oftalmologis lengkap dan pemeriksaan penunjang bila tersedia. 5. Katarak adalah setiap kekeruhan lensa yang dinilai menggunakan kriteria Buratto. 6. Glaukoma adalah suatu neuropati optik yang ditandai dengan defek lapang pandangan yang berkesesuaian dengan peningkatan tekanan intraokuler sebagai faktor resiko. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan tekanan intraokuler >21 mmghg melalui tonometer Schiotz dan/atau aplanasi Goldmann, dan gambaran papil glaukomatosa dengan cup disc ratio vertical (CDR) >0,8 atau selisih asimetri CDR>0,3), 7,41 dan/atau hasil pemeriksaan perimetri dengan Humphrey (jika ada) menunjukkan defek lapang pandangan yang berkesesuaian dengan glaukoma.

41 27 7. Degenerasi makula didefinisikan berdasarkan system klasifikasi oleh The International ARM Epidemiologic Study Group. 8. Komorbiditas adalah setiap riwayat penyakit kronik yang dimiliki oleh responden berdasarkan hasil wawancara oleh enumerator R, dan/atau hasil pemeriksaan penunjang, seperti pengukuran tekanan darah dan kadar gula darah. Komorboditas yang dimiliki dapat berupa diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner, asma, stroke, dan lainnya. 9. Umur responden adalah usia responden yang berusia 18 tahun ke atas, dan dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun) dan usia nonproduktif (>64 tahun) sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 10. Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan. 11. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah dijalani responden. Pendidikan terbagi menjadi 5 yaitu tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah tinggi. 12. Status pendidikan dinyatakan : a. Rendah bila tidak sekolah atau tidak tamat SD atau yang sederajat b. Sedang bila tamat sekolah dasar atau tamat sekolah menengah pertama atau atas atau yang sederajat c. Tinggi bila tamat sekolah tinggi (diploma, akademi, atau universitas) 13. Jenis pekerjaan dikelompokkan ke dalam 7 kelompok yaitu tidak bekerja (termasuk ibu rumah tangga), pegawai (meliputi pegawai negeri sipil dan swasta), Polri/TNI, sekolah/mahasiswa, wiraswasta, nelayan/buruh/petani, dan lainnya. 14. Provinsi meliputi 5 provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan. 15. Pendapatan Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra prestasi, sumbernya berasal dari:

42 28 Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja lembur dan kerja kadang-kadang. Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi, penjualan dari kerajinan rumah. Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah. Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu : Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp ,00 per bulan Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp ,00 s/d Rp ,00 per bulan Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawh antara Rp s/d Rp ,00 per bulan Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp ,00 per bulan. 16. Lama kebutaan/gangguan penglihatan adalah berapa lama gangguan yang dialami yang dinyatakan dengan lama tahun dan bulan. Data kemudian akan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu < 1 tahun, 1-5 tahun, dan >5 tahun Cara Kerja Penelitian Setelah melalui penjaringan responden RISKESDAS, akan diperiksa oleh enumerator P dengan menggunakan tumbling E. Responden yang memenuhi kriteria inklusi akan menjalani studi validasi dan penilaian kualitas hidup dengan cara kerja sebagai berikut: 1. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan a. Petugas pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan adalah seorang refraksionis. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan meliputi pemeriksaan tajam penglihatan tanpa koreksi dan dengan koreksi,

43 29 menggunakan snellen chart, trial frame dan trial lens. Dilakukan pengukuran jarak pupil dengan menggunakan penggaris dan senter pada jarak 30 cm dengan mengarahkan cahaya ke glabela dan responden melihat ke arah cahaya senter. Hasil jarak pupil yang didapat dicantumkan pada kolom PD, dinyatakan dalam millimeter (mm). Pemeriksaan dilakukan pada jarak 6 meter dengan pencahayaan yang cukup (cahaya matahari) dengan posisi responden membelakangi cahaya. b. Tajam penglihatan dicatat dengan notasi 6 meter yakni: 6/6, 6/7.5, 6/9, 6/12, 6/15, 6/20, 6/30, 6/60, 3/60. Bila responden memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/60, maka tajam penglihatan akan dilakukan dengan hitung jari pada jarak 5, 4, 3, 2, dan 1 meter, sehingga notasi akan ditulis berturut-turut sebagai berikut: 5/60, 4/60, 3/60, 2/60, dan 1/60. Hitung jari pada jarak kurang dari satu meter atau hanya bisa melihat lambaian tangan akan dicatat sebagai hand movement atau 1/300. Apabila responden hanya bisa melihat cahaya maka akan dicatat sebagai light perception (LP), lalu ditentukan apakah proyeksinya baik (good projection) atau tidak (wrong projection). Bila responden tidak dapat melihat cahaya, maka akan dicatat sebagai no light perception (NLP) atau tajam penglihatan nol. c. Tajam penglihatan tanpa koreksi mata kanan dan mata kiri yang diperoleh dicatat pada kolom AV sc. Apabila terdapat koreksi lensa maka dicatat sesuai jenis lensa yang digunakan. Apabila digunakan lensa sferis positif maupun negatif, maka ditulis di baris S, dengan didahului tanda + atau sesuai dengan lensa yang digunakan. Apabila digunakan lensa silinder, maka ditulis di kolom C didahului tanda didepan disertai axis yang didapat. d. Setelah pemeriksaan tajam penglihatan selesai, refraksionis memberikan tanda check pada lembar check list untuk baris pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan. Kemudian responden

44 30 diarahkan menuju ke meja pemeriksaan segmen anterior dan posterior yang akan dilakukan oleh dokter spesialis mata. 2. Pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan posterior mata a. Petugas pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan posterior mata adalah perawat mahir mata. b. Responden diperiksa tekanan intraokular dengan menggunakan tonometri Schiotz pada kedua mata dan/atau aplanasi Goldmann. Responden sebelumnya diberi obat tetes Pantocain 0,5% sebagai anestesi topical. Responden diminta berbaring dengan posisi kedua mata terbuka dan melihat lurus ke depan. Mata kanan terlebih dahulu diperiksa. Tonometri schiotz yang sudah dikalibrasi diletakkan di atas kornea responden. Hasil yang ditemukan di cantumkan didalam blok F1 dalam satuan mmhg. Setelah itu pasien akan dilakukan pengukuran ulang dengan tonometri aplanasi Goldmann. Setelah dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list untuk baris pemeriksaan tekanan intraokular. c. Responden diarahkan menuju ke meja pemeriksaan biomikroskopi menggunakan slit lamp untuk pemeriksaan segmen anterior. Pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dapat menyebabkan silau karena penyinaran oleh lampu slitlamp apabila responden melihat langsung ke cahaya slit lamp. Setelah pemeriksaan segmen anterior, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris pemeriksaan segmen anterior. d. Responden kemudian diberi obat tetes mydriasil 1% pada kedua mata, kecuali pada responden yang memiliki tekanan intraokular lebih dari 21 mmhg dan terdapat kekeruhan kornea yang tidak memungkinkan pemeriksaan segmen posterior. Setelah dilakukan penetesan mydriasil 1%, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris penetesan mydriasil 1%.

45 31 e. Pemeriksaan segmen posterior dilakukan dengan menggunakan funduskopi direk, di ruangan dengan pencahayaan redup atau gelap. Setelah melakukan pemeriksaan segmen posterior, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris pemeriksaan segmen posterior. f. Untuk blok E, kolom penyebab penurunan visus pada satu mata, jika ditemukan lebih dari satu kelainan mata pada 1 mata yang sama, maka penentuan penyebab utama penurunan penglihatan meliputi aturan sebagai berikut : i. Pilih kelainan mata yang dipercaya menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Contohnya, katarak grade 1 dengan PDR, maka yang dituliskan sebagai penyebab adalah PDR. Contoh lain, bila terdapat kekeruhan kornea sentral berat dan katarak grade 2, maka penyebab penurunan tajam penglihatannya adalah kekeruhan kornea sentral berat. ii. Pilih penyebab utama/penyebab primer. Sebagai contoh bila terdapat band keratopathy dan katarak sekunder karena uveitis, maka penyebab utamanya adalah inflamasi (uveitis). Contoh lain, mata anoftalmia karena riwayat tumor, maka yang disebutkan adalah tumor. iii. Jika 2 atau lebih kelainan mata yang dinilai sama sama menyebabkan penurunan tajam penglihatan maka dipilih penyebab yang paling bisa diobati. iv. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria diatas, pilih penyebab yang terjadi paling terakhir. Penyebab kedua penurunan tajam penglihatan dicantumkan pada baris kedua kolom penyebab utama penurunan visus pada 1 mata. g. Untuk penentuan penyebab utama penurunan visus pada individu, jika terdapat perbedaan penyebab penurunan tajam penglihatan antara mata kanan dan kiri, maka menggunakan kriteria sebagai berikut :

46 32 i. Dipilih yang paling mudah diobati. Misalnya mata kanan katarak, mata kiri ablasio retina lama, maka dipilih katarak. ii. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria di atas, pilih penyebab yang terjadi paling terakhir. iii. Jika tidak diketahui kapan terjadinya, maka dipilih kelainan pada mata yang paling baik visusnya. h. Untuk kolom G, apabila ditemukan efek samping perlakuan yang terjadi pada responden, maka dicantumkan pada kolom Ya dan disebutkan apa efek sampingnya. Efek samping yang dapat terjadi misalnya reaksi anafilaktik atau glaucoma akut setelah pemberian obat tetes mydriasil 1%. i. Pemeriksa (dokter spesialis mata) mencantumkan namanya, tanggal pemeriksaan serta tanda tangannya pada kolom H. j. Apabila menurut pemeriksa (dokter spesialis mata) perlu dirujuk maka responden diberikan surat rujukan. Apabila di rujuk, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list pada baris rujuk. k. Responden diarahkan ke meja pengisian kuesioner. 3. Pengisian kuesioner Quality of Life (QoL) a. Petugas : 1 orang petugas kuesioner yang telah mendapatkan training untuk mengisi formulir QoL, yaitu kuesioner QoL VF-25. Kuesioner sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan sudah melalui uji validasi. b. Responden yang telah diperiksa kemudian akan dibacakan kuesioner oleh petugas kuesioner dan diisi sesuai jawaban responden c. Petugas member tanda check pada lembar check list baris kuesioner d. Setelah kuesioner terisi, responden diarahkan menuju ke meja persetujuan tindakan. 4. Pemeriksaan akhir a. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memeriksa kelengkapan berkas dan disesuaikan dengan lembar check list.

47 33 b. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memberikan bahan kontak (Rp ,-) dan responden menandatangani tanda terima bahan kontak Pengisian skor dilakukan melalui tiga langkah: Langkah pertama: responden menjawab pertanyaan dengan melingkari jawaban yang tertera pada kuesioner. Dalam penelitian ini peneliti membacakan dan melakukan wawancara untuk menjelaskan maksud dari masing-masing pertanyaan. Metode wawancara dipilih karena sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan yang rendah (<9 tahun pendidikan dasar), sehingga persepsi yang sama dari tiap pertanyaan didapatkan oleh masing-masing responden. Langkah kedua adalah pemberian skor dari masing-masing jawaban. Untuk pertanyaan nomor 1, 3, 4, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 75, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0. Sedangkan untuk pertanyaan nomor 2, jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 80, jawaban 3 = skor 60, jawaban 4 = skor 40, jawaban 5 = skor 20, jawaban 6 = skor 0. Untuk pertanyaan nomor 5 14, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skoor 75, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0, jawaban 6 sebagai missing value. Untuk pertanyaan nomor 17 25, maka jawaban 1 = skor 0, jawaban 2 = skoor 25, jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 75, dan jawaban 5 = skor 100. Langkah ketiga adalah menjumlahkan dan menghitung nilai rerata hasil scoring yaitu skor dari tiap-tiap pertanyaan dalam 1 subskala yang tidak berupa missing value dijumlahkan kemudian dibagi jumlah pertanyaannya. Sebagai contoh, skala near activities: pertanyaan 5 mendapat skor 25, pertanyaan 6 mendapat skor 100, pertanyaan 7 mendapat skor 25, maka rata-rata skor menjadi ( )/3 = 50. Kemudian seluruh skor tiap-tiap subskala masing-masing responden dijumlahkan untuk menjadi skor total.

48 Alat dan Bahan 1. Tumbling E, snellen chart 2. Trial Frame dan Trial lens 3. Tonometri Schiotz 4. Portable slit lamp 5. Funduskopi direk 6. Foto fundus pupil kecil 7. Alat tulis 8. Data subjek yang akan datang ke kecamatan berdasarkan hasil dari enumerator Riskesdas 9. Alat ukur berupa tali/meteran untuk mengukur jarak pemeriksaan tajam penglihatan 10. Pen-light, flash-light, senter 11. Obat tetes midriasil 1%, pantocain 0,5% 12. Formulir laporan enumerator R ke sms center perdami (terkomputerisasi) 13. Formulir pemeriksaan Enumerator P 14. Kuesioner VF-25 1 berkas 15. Check list pemeriksaan 16. Daftar hadir responden 17. Alkohol swab 4.8. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan di provinsi DKI Jakarta, Sumatra Barat, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur, mengikuti jadwal studi validasi yang telah ditentukan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner VFQ-25 asli berbahasa Inggris yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dan dialihbahasakan kembali ke Bahasa Inggris untuk uji komparasi. Setelah uji komparasi, dilakukan uji validasi dengan mengambil sampel ekstrim yaitu populasi dengan penglihatan normal dan dengan gangguan penglihatan berat.

49 Analisis Data Analisis data dimulai dengan melakukan rekapitulasi data hasil uji validasi RISKESDAS Dilakukan pencatatan data identitas, data demografi, jenis penyebab kebutaan, dan skor kualitas hidup. Data kemudian dipindahkan dalam data induk penelitian dan diolah menggunakan program SPSS versi16.0. Data disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi. Perbedaan kualitas hidup antara kelompok gangguan kualitas hidup dan kelompok buta diuji dengan membandingkan rerata skor kualitas hidup masing-masing menggunakan uji statistik yang sesuai Bagan Alur Penelitian Responden dengan usia >18 tahun Visus maksimal mata terbaik < 3/60 dengan pinhole oleh enumerator P Visus maksimal mata terbaik 3/60-6/60 dengan pinhole oleh enumerator P Pemeriksaan oftalmologis lengkap oleh enumerator P Penilaian kualitas hidup dengan kuesioner VFQ-25 oleh enumerator P yang sudah di-training Pengolahan data Etik Penelitian Penelitian ini telah lulus kaji etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan berdasarkan nomor LB.02.01/5.2/KE.402/2013.

50 36 BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek Penelitian dilakukan sejak bulan Juli Desember 2013, bertempat di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan. Dengan metode purposive sampling pada Studi Validasi Kebutaan RISKESDAS 2013 Tahap I dan II, didapatkan sebanyak 145 responden yang masuk dalam kriteria inklusi penelitian dari 353 responden yang dilakukan validasi kebutaan, dari target sampel minimal sebanyak 110 responden. Sebanyak sebelas responden dari jumlah total 145 responden, dieksklusi. Kesebelas responden tersebut tidak dapat dilakukan wawancara terpimpin karena mengalami gangguan pendengaran dan pemusatan perhatian sehingga dikhawatirkan mempengaruhi hasil penelitian. Jumlah seluruh responden yang dapat dilakukan analisis adalah 134 responden. Tabel 5.1 memperlihatkan perbandingan karakteristik subyek pada seluruh responden secara demografis, yang dikelompokkan menjadi kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, dan karakteristik subjek berdasarkan karakteristik penyakit penyebab gangguan penglihatan. Kelompok buta memiliki tajam penglihatan (presenting visual acuity) kurang dari 3/60 (88 responden, 65,7%), sedangkan kelompok gangguan penglihatan berat memiliki tajam penglihatan 3/60 - <6/60 (46 responden, 34,3%). Responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, yaitu 86 responden (64,2%) dan 48 responden (35,8%). Dari seluruh responden yang mengalami kebutaan didapatkan 28 responden (31,8%) berjenis kelamin laki-laki, atau mencapai 20,9% dari seluruh responden penelitian. Pada saat penelitian berlangsung, sebagian responden laki-laki tidak dapat ditemui karena sedang bekerja di luar rumah. Rerata usia responden pada penelitian ini adalah 67,4±12,3 tahun. Usia responden kemudian dikelompokkan lebih lanjut menjadi kelompok usia produktif 36

51 37 (15-64 tahun) dan usia non-produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun). Pada tabel 5.1 terlihat bahwa 46 responden (34,3%) dari seluruh subyek penelitian berada pada kelompok usia produktif, dimana sebanyak 34 responden (73,9%) mengalami kebutaan, atau 25,4% dari seluruh responden. Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat gangguan penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata penyebab (n=134) Variabel Total responden (n=134) Buta (n=88) Gangguan Penglihatan Berat (n=46) Nilai p n % n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 48 35, , ,5 0,181 a Perempuan 86 64, , ,5 Rerata usia (tahun) 67,4 ± 12,3 69,5 (38-95) 67,5 (28-92) 0,173 b Kelompok Usia tahun 46 34, , ,1 0,232 a > 64 tahun 88 65, , ,9 Tingkat Pendidikan Rendah 88 65, , ,9 0,392 a Sedang 43 32, , ,9 Tinggi 3 2,2 2 2,3 1 2,2 Tingkat Pendapatan Rendah 96 71, , ,3 0,462 a Sedang 20 14, ,0 5 10,9 Tinggi 10 7,5 8 9,1 2 4,3 Sangat Tinggi ,7 3 6,5 Lama gangguan (tahun) 6,4±10 2 (0,08-30) 3 (0,08-54) 0,104 b Kisaran lama kebutaan < 1 tahun 37 28, , ,4 1 5 tahun 59 45, , ,9 > 5 tahun 35 26, , ,7 Jenis penyakit mata Katarak 99 73, , ,3 Glaukoma 7 5,2 6 6,8 1 2,2 Kelainan refraksi 9 6,7 4 4,5 5 10,9 Kelainan kornea 5 3,7 5 5,7 0 0 AMD 2 1,5 2 2,3 0 0 Neuropati optik 7 5,2 4 4,5 3 6,5 Retinopati diabetik 1 0, ,2 Ablasio retina 2 1,5 2 2,3 0 0 Kelainan mata lain 2 1,5 2 2,3 0 0 a Uji Chi square b Uji Man Whitney

52 38 Tingkat pendidikan responden yang dibagi menjadi tiga kelompok, menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah (65,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan ini, kebutaan terjadi pada 60 responden, atau sekitar 45% dari total responden. Sebagian besar responden (71,6%) memiliki tingkat pendapatan keluarga yang rendah, dengan 44,8% mengalami kebutaan. Namun demikian, kebutaan dan gangguan penglihatan berat masih ditemukan pada kelompok tingkat pendapatan sangat tinggi yang mencapai 6%. Rerata lama kebutaan atau gangguan penglihatan yang dialami oleh responden adalah 6,4±10 tahun/3(0,08-50 tahun), namun 3 responden tidak menyadari adanya gangguan penglihatan. Kisaran lama kebutaan responden yang dibagi menjadi 3 kelompok terlihat bahwa sebagian responden mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan antara 1 5 tahun, dan sebagian besar termasuk dalam kelompok buta. Selain itu, masih ditemukan responden yang mengalami lama kebutaan lebih dari 5 tahun yaitu sebanyak 25 responden, atau sekitar 19% dari seluruh responden. Tergambar pula bahwa kisaran lama kebutaan yang dialami oleh responden selama lebih dari 5 tahun lebih banyak ditemukan pada kelompok buta. Katarak merupakan penyebab utama kebutaan pada penelitian ini (71,6%), atau 47% dari total responden, dan gangguan penglihatan berat sebesar 26,8%. Penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan lainnya adalah kelainan refraksi (6,7%) dan glaukoma (5,2%). Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua (6%) setelah katarak. Kelainan refraksi merupakan penyebab gangguan penglihatan berat terbanyak kedua (3,7%) setelah katarak. Sebagian besar penyakit mata tersebut (130/134, 97%) merupakan penyakit mata yang dapat ditangani (avoidable blindness), dimana sebanyak 115 responden (85,8%) mengalami gangguan penglihatan yang dapat direhabilitasi (treatable blindness). Berdasarkan uji statistik antar berbagai variabel pada karakteristik demografis dan lama gangguan penglihatan terlihat sebaran sampel yang homogen (p>0,05). Tidak terdapat perbedaan karakteristik antara responden dengan gangguan penglihatan berat dan buta..

53 Skor Kualitas Hidup Skor kualitas hidup total (composite score) merupakan rerata dari 10 hingga 11 skor subskala yang didapatkan dari rerata dari skor setiap pertanyaan di dalam kuesioner kualitas hidup NEI-VFQ25 dalam penelitian ini. Nilai maksimal skor pada populasi normal tanpa gangguan penglihatan adalah 100 (100%). Tabel 5.2 memperlihatkan rerata skor total kualitas hidup berdasarkan karakteristik jenis kelamin, kelompok usia produktif, dan kisaran lama kebutaan. Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden adalah 41, ,66, yang berarti pada seluruh responden telah terjadi rerata penurunan kualitas hidup sekitar 58% dari nilai maksimal. Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan kisaran lama kebutaan. Variabel Rerata (mean+sd) Median (min-maks) Nilai p Rerata skor total 41,97 ± 19,66 39,82 (2,5-89,4) Jenis kelamin Laki-laki 43,4 ± 16,7 42,1 (15-84,6) 0,28 a Perempuan 41,2 ± 21,2 39,2 (2,5-89,4) Kelompok usia tahun 48,5 ± 20,5 45,7 (10,4-89,4) 0,007 a > 64 tahun 38,5 ± 18,4 33,7 (2,5-86,8) Kisaran lama kebutaan < 1 tahun 43,3 ± 18,4 39,0 (17,5-83,7) 0,71 b 1 5 tahun 40,6 ± 20,3 39,8 (2,5-86,8) > 5 tahun 42,9 ± 18,9 40,5 (10,4-89,4) a=mann-whitney test; b=kruskal-wallis test Responden laki-laki memiliki rerata skor kualitas hidup total yang lebih baik dibanding perempuan yaitu 43,4 ± 16,7 berbanding 41,2 ± 21,2. Namun, skor antara kedua kelompok ini tidak ditemukan perbedaan nilai yang bermakna secara statistik (p=0,28). Sementara itu, kelompok usia produktif memiliki skor kualitas hidup yang lebih baik dibanding kelompok usia nonproduktif, dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik (p=0,007). Untuk mengetahui pengaruh kisaran lama kebutaan yang dialami oleh responden terhadap kualitas hidup, pada penelitian ini lama kebutaan dibagi menjadi

54 40 3 kelompok. Pada tabel 5.2 terlihat bahwa semakin lama seseorang mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan, skor kualitas hidup semakin meningkat. Namun demikian, perbedaan skor di antara ketiga kelompok ini tidak bermakna secara statistik (p=0,71) Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan Gangguan Penglihatan Berat Skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan berat tercantum dalam tabel 5.3. Rerata skor kualitas hidup total pada kelompok buta lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat. Kedua perbedaan rerata ini bermakna secara statistik (p = 0,001). Rerata skor kualitas hidup subskala untuk kedua kelompok ini terdapat nilai yang bervariasi. Pada kelompok buta didapatkan kecenderungan bahwa hampir seluruh skor subskala lebih rendah dibandingkan dengan kelompok gangguan penglihatan berat. Pada skor subskala kesehatan umum, nyeri mata, kesehatan mental, dan ketergantungan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik. Table 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala berdasarkan tingkat gangguan penglihatan (n=134) Gangguan penglihatan berat Buta (n=88) Variabel Skor (n=46) Nilai p Mean±SD Median Mean±SD Median Skor total 49,8±19,2 49,7 (16,5-89,4) 37,8+18,8 33,5 (2,5-85,7) 0,001 Kesehatan umum 36,1±22,3 25,0 (0-100) 36,0±21,9 25,0 (0-100) 0,74 Kesehatan mata 33,8±13,4 40,0 (20-60) 24,4±15,8 20,0 (0-60) 0,003 Nyeri mata 68,5±21,6 62,5 (25-100) 74,7±23,7 75,0 (0-100) 0,098 Aktivitas dekat 46,7±30,4 50,0 (0-100) 26,2±24,5 25,0 (0-100) 0,000 Aktivitas jauh 46,6±26,6 50,0 (0-100) 25,9±25,5 20,8 (0-100) 0,000 Fungsi social 52,7±28,8 50,0 (0-100) 33,2±28,0 25,0 (0-100) 0,001 Kesehatan mental 53,6+21,5 50 (12,5-100) 48,7±21,4 50 (0-100) 0,21* Kesulitan peran 44,4±24,06 37,5 (0-100) 35,7±25,2 25,0 (0-100) 0,009 Ketergantungan 49,2±26,7 50,0 (0-100) 36,5±26,7 33,3 (0-100) 0,08 Penglihatan warna 62,2±32,2 50,0 (0-100) 42,7±34,9 37,5 (0-100) 0,002 Penglihatan perifer 50,5±31,7 50,0 (0-100) 28,5±28,7 25,0 (0-100) 0,000 * = Independent T-test;

55 41 Grafik 5.1 di bawah ini memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor subskala dan skor total pada kelompok buta dibandingkan dengan kelompok dengan gangguan penglihatan berat. Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan berat Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata Tabel 5.4 memperlihatkan perbedaan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata penyebab gangguan penglihatan. Penyakit glaukoma memiliki skor total kualitas hidup terendah dibandingkan penyakit lainnya. Mengingat jumlah sampel pada tiap penyakit penyebab sangat bervariasi, maka perbandingan secara statistik hanya dilakukan pada tiga kelompok penyakit yaitu glaukoma, katarak, dan kelainan refraksi. Penyakit mata juga digolongkan lebih lanjut sebagaimana pada Tabel 5.4. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa responden dengan glaukoma cenderung memiliki skor kualitas hidup yang paling rendah dibanding penyakit lainnya hampir di seluruh subskala.

56 42 Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata penyebab kebutaan (n=134) Variabel Skor Katarak (n=99) Glaukoma (n=7) Kelainan refraksi (n=9) Kelainan retina Neuropati optik Kelainan kornea (n=5) (n=5) (n=7) Skor total 40,5±19,2 33,1±9,0 62,4±19,8 52,3±24,8 45,0±16,2 49,0±19,6 Kesehatan umum 25 (0-75) 50 (25-100) 50 (25-100) 60±28,5 50 (0-50) 25,0±25,0 Kesehatan mata 20 (0-60) 20±16,3 40 (20-60) 32±30 20 (20-40) 40 (0-40) Nyeri mata 72 (25-100) 74,8±17,8 71,3±25 72,5±20 76,8±16,8 74,9±23,5 Aktivitas dekat 25 (0-100) 20,7±18,2 57,8±29,4 41,6±27,6 28,5±19,8 54,9±28 Aktivitas jauh 25 (0-100) 8,3 (8-58,3) 55,2±32,4 48,3±36,9 41,6 (0-50) 44,9±30,4 Fungsi social 37 (0-100) 32±21,5 70,3±24,0 55±45 42,8±27,8 44,9±36 Kesehatan mental 50 (0-100) 40,2±9,4 64,1±27,5 60±27,1 58,9±11,3 56,25±22,1 Kesulitan peran 25 (0-100) 48,2±36 43,75±31,3 47,5±22,3 42,8±18,9 37,5±37,5 Ketergantungan 33,3 (0-100) 23,8±20,6 65,6±30,7 56,6±34,1 45,2±25,4 38,3±33,6 Penglihatan warna 50 (0-100) 25 (0-100) 92,3 (50-100) 65 (0-100) 71,4±22,5 70 (25-100) Penglihatan perifer 25 (0-100) 10,7±13,4 68,7±29,1 45±51 28,6±22,5 50±25 Pada perbandingan skor kualitas hidup total antara kelompok katarak dan glaukoma, ditemukan bahwa responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang lebih rendah dibanding kelompok katarak. Demikian pula, pada hampir seluruh skor subskalanya kecuali subskala kesulitan peran (role difficulties), menunjukkan bahwa responden dengan glaukoma menunjukkan skor yang lebih rendah daripada responden dengan katarak. Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada katarak dan glaukoma (n=106) Variabel Skor Katarak (n=99) Glaukoma (n=7) Mean±SD Median Mean±SD Median Nilai p Skor total 40,5±19,2 39,5 (2,5-86,8) 33,1±9,0 32,4 (22,9-51,3) 0,09 Kesehatan umum 33,2±18,6 25,0 (0-75) 53,6±22,5 50,0 (25-100) 0,02 Kesehatan mata 27,6±14,8 20,0 (0-60) 20,0±16,3 20,0 (0-40) 0,24 Nyeri mata 72,5±23,2 75,0 (25-100) 74,5±17,8 68,5 (50-100) 0,95 Aktivitas dekat 31,4±28,3 25,0 (0-100) 20,7±18,2 18,5 (0-50) 0,45 Aktivitas jauh 31,2±26,9 25,0 (0-100) 20,6±19,7 12,2 (8-58,3) 0,39 Fungsi social 37,3±28,5 37,0 (0-100) 32,0±21,5 25,0 (12-75) 0,70 Kesehatan mental 48,9+21,4 50,0 (0-100) 40,2+9,4 37,5 (31,25-50) 0,25* Kesulitan peran 37,7±23,4 25,0 (0-100) 48,2±36,4 50,0 (0-100) 0,42 Ketergantungan 39,7±25,9 33,3 (0-100) 23,8±20,6 20,8 (0-50) 0,18 Penglihatan warna 44,1±33,6 50,0 (0-100) 39,3±34,9 25,0 (0-100) 0,65 Penglihatan perifer 35,0±30,5 25,0 (0-100) 10,7±13,3 12,5 (0-25) 0,03 *=Independent t-test

57 43 Namun demikian, berdasarkan uji statistik yang sesuai, kedua perbedaan skor total antara dua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,09). Pada aspek lainnya, kecuali aspek kesehatan umum (p=0,02) dan penglihatan perifer (p=0,03), semua skor subskala juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.5. Grafik 5.2 memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor subskala dan skor total pada kelompok katarak dibandingkan dengan kelompok glaukoma. Tampak bahwa penglihatan perifer responden dengan glaukoma lebih rendah secara bermakna dibanding responden dengan katarak. Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak dan glaukoma Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment Skor kualitas hidup sangat dipengaruhi tingkat tajam penglihatan. Mengingat seluruh responden pada penelitian ini terbagi menjadi kelompok buta dan gangguan

58 44 penglihatan berat, skor kualitas hidup kami analisis dengan adjustment pada tingkat tajam penglihatan (visual acuity adjustment). mengingat pada penelitian ini tajam penglihatan memiliki kisaran yang cukup lebar yaitu dari light perception hingga <6/60. Setelah dilakukan adjustment pada tajam penglihatan, jumlah responden yang dapat dianalisis adalah hanya pada kelompok buta yaitu 63 responden dengan katarak dan 6 responden dengan glaukoma. Kelompok gangguan penglihatan berat tidak dapat dianalisis karena jumlah responden untuk penyakit glaukoma hanya 1 orang sehingga tidak dapat dianalisis. Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada responden katarak dan glaukoma pada kelompok buta (n=69) Variabel Skor Katarak (n=63) Glaukoma (n=6) Mean±SD Median Mean±SD Median Nilai p Skor total 36,3±18,8 32,2 (2,5-85,6) 30,1±4,5 31,4 (22,9-35,5) 0,052* Kesehatan umum 33,8±19,2 25,0 (0-75) 54,2±24,6 50,0 (25-100) 0,052 Kesehatan mata 24,8±15,2 20,0 (0-60) 16,6±15 20,0 (0-40) 0,26 Nyeri mata 75,6±24,0 81 (25-100) 72,75±18,5 68,5 (50-100) 0,65 Aktivitas dekat 23,6+23,6 16,6 (0-91,6) 20,0+19,8 18,5 (0-50) 0,86 Aktivitas jauh 24,4±25,4 16,6 (0-100) 14,3±11,5 8,3 (8-37) 0,55 Fungsi social 31,4±27,5 25,0 (0-100) 24,8±11,2 25 (12-37,5) 0,82 Kesehatan mental 47,1+22,4 43,75 (0-100) 41,7+9,4 43,75 (31,25-50) 0,58 Kesulitan peran 34,8±23,4 25,0 (0-100) 41,6±35 43,75 (0-100) 0,68 Ketergantungan 34,2+26,0 25 (0-100) 26,4+21,3 33,3 (0-50) 0,72 Penglihatan warna 37,9±33,2 25,0 (0-100) 29,2±24,6 25,0 (0-75) 0,62 Penglihatan perifer 27,0±29,1 25,0 (0-100) 12,5±13,7 12,5 (0-25) 0,31 *=Independent t-test; Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa setelah dilakukan adjustment terhadap tajam penglihatan, skor total dan hampir semua skor subskala pada glaukoma lebih rendah dibandingkan skor pada katarak, dan seluruhnya tidak bermakna secara statistik. Gambaran lebih jelas antara dua penyakit ini terlihat pada Grafik 5.3.

59 45 Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak dan glaukoma setelah dilakukan adjustment terhadap tajam penglihatan Katarak Glaukoma Refraksi Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi pada kelompok buta (n=73).

60 46 Grafik 5.4 memperlihatkan gambaran perbandingan kualitas hidup antara responden dengan katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi (n=73) setelah dilakukan adjustment pada tajam penglihatan (kelompok buta saja). Dari grafik terlihat bahwa antara ketiga kelompok tampak responden dengan kelainan refraksi umumnya memiliki skor kualitas hidup total dan subskala yang lebih tinggi daripada responden dengan glaukoma dan katarak (p=0,03). Tetapi untuk skor ocular pain dan kesehatan mata relatif sama Validitas Kuesioner NEI-VFQ25 Banyak penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa kuesioner NEI-VFQ25 sahih untuk menilai kualitas hidup terkait penglihatan. Walaupun alat ukur ini pernah digunakan pada sampel berbasis rumah sakit, kuesioner ini belum pernah digunakan untuk penelitian berbasis populasi di Indonesia. Penelitian ini melibatkan lebih dari satu penilai (pewawancara), yang berlangsung di lima provinsi. Setiap provinsi dan setiap responden memiliki karakteristik lokal masing-masing termasuk adanya kesulitan dalam berbahasa Indonesia, sehingga berpotensi menimbulkan bias. Pewawancara sudah dilakukan pelatihan pengisian kuesioner. Untuk mengurangi bias pengukuran diperlukan penilaian interobserver agreement dengan menggunakan nilai kappa. Namun, penilaian tersebut tidak dapat dilakukan karena terkait pelaksanaan Studi Validasi RISKESDAS dengan waktu yang terbatas di masing-masing provinsi.

61 47 BAB 6 DISKUSI Kebutaan dan gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan global tak terkecuali Indonesia. Dengan angka kebutaan yang mencapai 1,5% 5, kebutaan memerlukan penanganan serius dari seluruh pemegang kebijakan dan dilakukan secara lintas sektoral. Tak hanya menjadi beban secara ekonomi baik domestik rumah tangga maupun beban nasional, akibat yang ditimbulkan oleh kebutaan dan gangguan penglihatan juga terbukti dapat menurunkan kualitas hidup individu. Kualitas hidup yang baik merupakan aspek penting bagi individu untuk menjalani kehidupannya sehari-hari agar lebih produktif dan tidak mudah bergantung kepada orang lain. Produktivitas yang baik pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan individu dan keluarga, dan akan mengurangi beban negara yang timbul akibat kebutaan Besar sampel antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat maupun berdasarkan jenis penyakit penyebab gangguan penglihatan melebihi target sampel minimal, namun proporsi antara kedua kelompok tersebut tidak berimbang. Hal ini dikarenakan penelitian ini merupakan subpenelitian RISKESDAS 2013 yang bersifat cross-sectional dan telah ditentukan jumlahnya, sehingga dalam teknik pengambilan sampel tidak dapat kami intervensi sepenuhnya. Dengan mengikuti kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, analisis sampel tetap dapat kami lakukan sesuai dengan tujuan penelitian. Gender dan kebutaan menjadi isu penting dalam penanggulangan kebutaan di seluruh dunia. Laporan WHO dan berbagai studi menyebutkan bahwa 2/3 populasi yang buta adalah kelompok perempuan, dengan 90% jumlah tersebut berada di negara-negara berkembang. 42 Pada penelitian ini kelompok perempuan mengalami kebutaan yang lebih tinggi dibanding kelompok laki-laki, yaitu mendekati 2/3 responden. Hal ini dapat disebabkan karena pada saat penelitian berlangsung responden laki-laki banyak yang sedang bekerja di luar rumah. Penyebab lainnya adalah karena usia harapan hidup perempuan yang relatif lebih lama dibanding laki- 47

62 milyar. 43 Sebanyak 45% dari total subyek penelitian memiliki tingkat pendidikan 48 laki, dan kelompok perempuan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang optimal berkaitan dengan faktor sosiokultural masyarakat setempat yang cenderung mengutamakan laki-laki (patriarki). Layanan kesehatan mata yang belum terjangkau dan unaffordable juga dapat menyebabkan hal ini dimana sekitar 40% perempuan yang mengalami kebutaan berada di wilayah desa pada penelitian ini. Political will dan aksi sosial diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam pelayanan kesehatan mata. Di lain pihak, laki-laki sebagai tulang punggung kesejahteraan keluarga tetap menjadi perhatian dalam permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan. Kebutaan memiliki dampak negatif terhadap produktivitas dan menimbulkan beban ekonomi publik yang signifikan bagi negara. Beban ekonomi ini secara langsung berkaitan dengan pengeluaran negara yang tinggi untuk kesehatan, dan secara tidak langsung berkaitan dengan hilangnya produktivitas warga dan kesempatan menghasilkan pendapatan keluarga (income). Usia responden pada penelitian ini dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun), dan usia nonproduktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun), sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jumlah kebutaan usia produktif pada penelitian ini mencapai 25% dari seluruh responden pada penelitian ini, sedangkan gangguan penglihatan berat mencapai 9%. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh jumlah ini dapat diperhitungkan. Beban global akibat kebutaan sekitar USD 42 milyar dengan proyeksi kenaikan menjadi USD 110 milyar pada tahun 2020, atau menyerap sekitar 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara berkembang. Namun, dengan program Vision 2020, diharapkan angka tersebut turun menjadi USD 53 rendah. Pendidikan yang rendah ini merupakan salah satu barrier atau hambatan dalam penyadaran masyarakat tentang penyakit mata termasuk katarak, tindakan operasi, dan hasil yang akan didapatkan. Pendidikan rendah berkaitan dengan tingginya angka buta huruf (illiteracy), sehingga responden tidak dapat menyerap informasi dan mengalami ketidaktahuan dengan penyakit mata. 14,38 Diperlukan

63 49 kegiatan promotif dan preventif yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan responden. Pada tingkat pendidikan tinggi masih ditemukan 3 responden yang mengalami kebutaan. Pada ketiga responden ini, 2 di antaranya memiliki penghasilan keluarga sangat tinggi (>3,5 juta per bulan), sedangkan 1 responden memiliki penghasilan rendah (<1,5 juta per bulan). Semua responden ini juga pernah berobat ke dokter mata, dan terdiagnosis katarak. Hambatan atau barrier dari responden ini untuk memperbaiki kesehatan matanya perlu dieksplorasi lebih lanjut. Dalam hal lain, sejumlah 71% responden yang mengalami gangguan penglihatan memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dimana yang mengalami kebutaan mencapai 60 orang, atau mencapai 45% dari total responden. Pendapatan yang rendah menjadi hambatan bagi responden untuk melakukan pemeriksaan mata dan tindakan semisal operasi katarak. 14,38 Operasi katarak bisa dilakukan dengan biaya yang terjangkau melalui program bakti sosial atau dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang tepat sasaran. Anggaran kesehatan untuk program ini harus ditingkatkan mengingat tindakan operasi katarak atau treatable blindness lainnya akan lebih cost-effective dalam meningkatkan taraf kesehatan dan produktivitas masyarakat bila dibandingkan memfokuskan pada rehabilitasi penyakit-penyakit degeneratif kronik lainnya. Tindakan seperti ini akan dengan cepat meningkatkan skor kualitas hidup seseorang sehingga akan mampu produktif dengan cepat pula. Rerata lama kebutaan pada penelitian ini memilik kisaran yang sangat lebar. Namun jika dikelompokkan menjadi beberapa kisaran waktu, terlihat bahwa sebagian besar responden mengalami lama kebutaan 1-5 tahun, dan 70%-nya tergolong buta. Kebutaan yang berlangsung cukup lama (> 1 tahun) dapat disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang rendah mengenai penyakit mata khususnya katarak dan glaukoma, sosialisasi tentang kesehatan mata yang belum optimal oleh pihak kesehatan, kendala biaya untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan yang belum terjangkau, dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang belum optimal. Perjalanan penyakit mata yang umumnya degeneratif lambat juga dapat menjadi penyebab responden merasa penyakitnya tidak terlalu berbahaya. 13,33

64 50 Penyakit mata penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan berat berjumlah 99 responden (73,9%), dengan proporsi buta sejumlah 2/3 dari responden tersebut. Katarak dan glaukoma merupakan penyakit mata degeneratif yang terjadi sesuai dengan perkembangan usia namun berbeda penanganannya dalam hal aspek pencegahan dan penanganan penyakit. Katarak dan gangguan refraksi merupakan penyakit mata yang dapat direhabilitasi (treatable blindness), sedangkan glaukoma termasuk dalam preventable blindness. Walaupun jumlah responden dengan katarak mendominasi, tetapi sesuai dengan karakteristik penyakitnya maka responden katarak termasuk kelainan refraksi dapat memiliki peluang perbaikan penglihatan dan kualitas hidup yang lebih baik dibanding glaukoma, AMD, kelainan retina, dan neuropati optik. Penyakit glaukoma pun sebetulnya dapat dicegah dan dihambat perburukannya jika responden memiliki pengetahuan yang baik. Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden mencapai 42 dari skor maksimal yaitu 100 pada populasi normal. Hal ini berarti pada seluruh responden dengan gangguan penglihatan dan buta telah terjadi penurunan kualitas hidup sekitar 58%. Berdasarkan jenis kelamin, walaupun skor pada kelompok laki-laki lebih tinggi daripada kelompok perempuan, skor total antara kedua kelompok relatif sama dan tidak bermakna secara statistik. Skor kualitas hidup total kelompok usia produktif juga lebih baik bila dibandingkan dengan usia nonproduktif secara bermakna. Hal ini terjadi dimungkinkan karena kelompok usia nonproduktif (>64 tahun) memiliki komorbiditas dan proses penuaan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Penelitian oleh Nispen dkk 44 menyatakan bahwa penurunan kualitas hidup dipengaruhi oleh komorbiditas, namun Aravind Eye Study 14 menyatakan tidak berkaitan termasuk hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh faktor komorbiditas dan elderly terhadap kualitas hidup pada gangguan penglihatan. Penurunan kualitas hidup pada usia produktif dapat mengganggu produktivitas dan kemampuan menghasilkan pendapatan (income) untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini, rerata skor kualitas hidup

65 51 mencapai 45, yang berarti telah terjadi penurunan kualitas hidup umum sebesar 55% dari nilai maksimal. Langelaan 33 menyatakan bahwa walaupun dampak gangguan penglihatan pada usia produktif terlihat rendah, namun sebetulnya hal tersebut berdampak sangat besar pada penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan, pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, akses pelayanan kesehatan mata dan biaya pemeriksaan dan operasi yang terjangkau menjadi suatu keharusan, terutama bagi kelompok usia produktif agar produktivitas mereka dapat membaik. Berdasarkan kisaran lama kebutaan yang dialami responden, skor kualitas hidup terlihat linier antara berbagai kelompok, namun tak bermakna secara statistik. Artinya, semakin lama seseorang mengalami kebutaan, kualitas hidup cenderung relatif membaik. Mekanisme adaptasi terhadap kebutaan yang dialami dapat menjelaskan gambaran tersebut. Pada tahap awal terjadinya peristiwa yang mengganggu siklus kehidupan, seseorang cenderung merasa sangat terpukul yang terlihat dari menurunnya kualitas hidup yang cukup tajam. Namun seiring berjalannya waktu, seseorang akan mampu beradaptasi (coping index). 33,45 Skor kualitas hidup antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat berbeda secara bermakna. Responden dengan gangguan penglihatan berat, kualitas hidupnya menurun hingga mencapat 60-70% bila dibandingkan kelompok buta yang turun mencapai 50%. Perbedaan skor kualitas hidup lebih dari 10% dianggap bermakna berdasarkan panduan NEIVFQ 25. Selain skor total, hampir semua skor subskala dari kelompok buta juga menunjukkan penurunan yang cukup jauh dibanding kelompok gangguan penglihatan berat. Terlihat bahwa karena perbedaan tajam penglihatan yang signifikan, maka yang terganggu pada kelompok buta adalah aktivitas dekat dan jauh, yang dibutuhkan untuk aktivitas harian. Laitinen 13 dan Lamoreux 15 menyatakan bahwa penurunan visus menjadi faktor independen yang kuat terhadap fungsi fisik seseorang, dan penurunan visus berbanding lurus dengan penurunan kualitas hidup. Berdasarkan aspek sosiokultural sebagai faktor lingkungan yang memengaruhi kualitas hidup individu, fungsi sosial dan ketergantungan pada

66 52 kelompok buta juga menurun secara bermakna. Namun demikian, kesehatan mental responden yang mencakup rasa cemas, takut, dan frustasi terhadap kondisi kesehatan matanya relatif sama antara kedua kelompok. Faktor psikososial dan spiritualitas diduga berperan pada gambaran ini Skor subskala penglihatan warna dan penglihatan perifer juga jauh menurun pada kelompok buta. Visus yang buruk menjadi penyebab utama terjadinya gangguan ini. Pada grafik 1 terlihat pula bahwa terdapat ranah aktivitas harian (daily acitivities), fungsi social, dan ketergantungan terdapat jurang pemisah yang cukup jauh. Hal ini berarti produktivitas responden buta jauh terganggu dibandingkan dengan responden dengan gangguan penglihatan berat. Berdasarkan penyakit mata penyebab kebutaan, responden dengan kelainan refraksi memiliki skor kualitas hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan penyakit lain seperti katarak dan glaukoma. Kebutaan karena kelainan refraksi dan katarak merupakan kebutaan yang dapat ditangani. Kelainan refraksi dapat ditangani dengan kacamata atau low vision aids lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa dengan hanya memberikan kacamata, kualitas hidup seseorang akan jauh meningkat jika memang tidak ada komorbiditas lain di organ mata. Demikian pula, jika katarak saja tanpa kelainan lain dapat ditanggulangi dengan operasi katarak, kualitas hidup akan meningkat signifikan dan responden akan produktif lagi dalam waktu yang relatif cepat. Fitriani 39 dan Hapsari 40 menemukan bahwa program rehabilitasi gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Intervensi yang diseasespecific penting dilakukan dalam rangka menurunkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari. Mengingat kelainan refraksi dan katarak dapat ditangani secara sederhana dan cepat, perlu ditingkatkan upaya kesehatan mata secara masal dengan skrining penyakit mata dan penatalaksanaannya seperti pemberian kacamata dan operasi katarak. Responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang paling rendah dibanding penyakit mata lain. Hampir semua aspek kualitas hidup menunjukkan penurunan yang serupa terutama terhadap katarak dan gangguan refraksi. Hal ini

67 53 terjadi karena defisit yang terjadi pada glaukoma merupakan kombinasi dari gangguan penglihatan sentral dan perifer seperti pada penelitian ini, meskipun gangguan pada penglihatan perifer relatif sama. Selain itu, gangguan lapang pandangan perifer yang terjadi pada glaukoma terjadi bahkan pada tingkat tajam penglihatan yang lebih baik. Namun, pada glaukoma tingkat lanjut (advanced stage), tajam penglihatan sentral juga memburuk. Hal ini yang memperparah penurunan kualitas hidupnya. Glaukoma juga merupakan penyakit kronik irreversibel yang tidak mudah terdeteksi oleh masyarakat awam. 14,24,25,37,49 Panduan kuesioner VFQNEI25 juga tidak hanya memasukkan pegal dan nyeri dalam daftar pertanyaan untuk aspek ocular pain, dan memasukkan rasa terbakar dan gatal dalam panduan pertanyaannya. Hal ini menyebabkan kuesioner tidak bisa secara langsung membedakan apakah nyeri yang dialami oleh responden glaukoma adalah gejala khas penyakitnya. Oleh karena itu, mengingat glaukoma termasuk kelompok avoidable blindness, deteksi dini glaukoma sangat diperlukan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang berisiko tinggi. Risiko glaukoma meningkat pada kelompok usia lebih dari 40 tahun, penurunan ketebalan kornea, ras kulit hitam, dan riwayat keluarga dengan glaukoma. 50 Walaupun pada penelitian ini, jumlah responden dengan glaukoma jauh lebih sedikit dibanding katarak, kecenderungan penurunan kualitas hidup yang lebih tinggi pada responden glaukoma dapat terlihat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hipotesis kelompok buta memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat sudah terbukti pada skor total maupun hampir seluruh skor subskala. Tidak ditemukan perbedaan skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dan katarak. Namun demikian, skor responden glaukoma memiliki skor kualitas hidup paling rendah dibanding responden katarak dan gangguan refraksi. Penelitian lain yang menyebutkan bahwa semakin lama kebutaan yang dialami membuat kualitas hidup lebih baik belum terbukti, meskipun terdapat kecenderungan bahwa kualitas hidup akan sedikit meningkat setelah lebih dari 1 tahun mengalami kebutaan. Tidak terbuktinya hipotesis pada penelitian ini dapat disebabkan oleh proporsi sampel yang tidak berimbang antara katarak dan glaukoma, serta penyakit lainnya. Item kuesioner

68 54 yang masih perlu dinilai validitas, reliabilitas, dan konsistensi internalnya juga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Bias pengukuran masih dapat ditemukan mengingat kuesioner belum dilakukan penilaian secara statistik. Namun demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi program Vision 2020 dalam rangka menurunkan angka kebutaan yang dapat dihindari (avoidable blindness). Komitmen dari pemerintah dan pemegang kebijakan diperlukan untuk mencapai keberhasilan program ini. Vision 2020 melakukan pendekatan terintegrasi untuk menghilangkan penyebab utama kebutaan yang dapat dihindari yang meliputi tiga strategi utama yaitu, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan infrastruktur, dan pengendalian penyakit. Perlu dilakukan kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat. Kualitas hidup pada penderita glaukoma sebagai salah satu penyebab preventable blindness paling rendah dibanding penyakit lain, maka pencegahan kebutaan karena glaukoma juga menjadi prioritas pada program pencegahan gangguan penglihatan dan kebutaan (PGPK) Indonesia, terutama di layanan kesehatan primer. Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Jumlah besar total sampel yang melebihi target dan penelitian multisenter merupakan kekuatan penelitian ini. Namun demikian, dengan metode purposive sampling berbasis populasi ini, peneliti sulit mendapatkan proporsi yang relatif seimbang antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat. Kesulitan juga ditemukan dalam menemukan proporsi sampel yang seimbang antara berbagai penyakit mata penyebab kebutaan bila ingin mengikuti proporsi penyakit mata di populasi pada penelitian terdahulu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih berimbang untuk mendukung hasil penelitian ini. Diperlukan sampel minimal sebesar 50 responden untuk mendapatkan hasil yang bermakna. Bias pengukuran (interviewer) masih mungkin ditemukan pada penelitian ini mengingat penelitian berlangsung di berbagai provinsi oleh interviewer yang berbeda dan adanya kesulitan pada bahasa daerah setempat.

69 55 BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Tidak ditemukan perbedaan kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibandingkan dengan katarak. 2. Penderita glaukoma memiliki skor total kualitas hidup paling rendah dibanding katarak, kelainan refraksi dan penyakit mata lainnya. 3. Proporsi gangguan penglihatan berat dan kebutaan di masyarakat didominasi oleh kelompok perempuan, golongan usia lanjut, tingkat pendidikan rendah, dan tingkat pendapatan rendah, dengan jenis penyebab kebutaan utama adalah katarak. 4. Belum dilakukan uji validitas, reliabilitas, dan item analysis pada alat ukur Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan besar sampel yang berimbang antara berbagai kelompok penyakit. 2. Diperlukan penelitian lanjutan berupa uji validitas, reliabilitas, dan item analysis kuesioner NEI-VFQ 25, termasuk kesesuaian dengan situasi dan kondisi setempat pada saat penelitian berlangsung. 3. Pada penderita gangguan penglihatan berat diperlukan tindakan yang bersifat preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah kebutaan karena penurunan kualitas hidup berbanding lurus dengan buruknya tajam penglihatan. 55

70 56 DAFTAR PUSTAKA 1. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Clinical Optics. Basic and Clinical Science Course Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; p World Health Organization. Global data on visual impairment WHO Fact Sheet No h p:// 2009, Scheiman M, Scheiman M, Whittaker S. Low vision Rehabilitation: A Practical Guide for Occupational Therapist. New Jersey: SLACK Incorporated; p Khan SA. A retrospective study of low-vision cases in an Indian tertiary eye-care hospital. Indian Journal of Ophthalmology 2000; 48(3): Survei Kesehatan Indera Penglihatan Tahun Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Jakarta; Desember Saw SM, Husain R, Gazzard GM, et al. Causes of low vision and blindness in rural Indonesia. Br J Ophthalmol 2003; 87: Ventocilla M, Wicker D. Low vision therapy. Available at: Last updated: May 18, Dargent-Molina P, Favier F, Grandjean H, Baudoin C, Schott AM, Hausherr E, et al. Fall-related factors and risk of hip fracture: the EPIDOS prospective study. Lancet 1996;348: Lamoureux E, Gadgil S, Pesudovs K, Keeffe J, Fenwick E, Dirani M, et al. The relationship between visual function, duration and main causes of vision loss and falls in older people with low vision. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2010; 248: Coleman AL, Stone K, Ewing SK, Nevitt M, Cummings S, Cauley JA, Ensrud KE, Harris EL, Hochberg MC, Mangione CM. Higher risk of multiple falls among elderly women who lose visual acuity. Ophthalmology 2004;111: Ivers RQ, Cumming RG, Mitchell P, Attebo K. Visual impairment and falls in older adults: the Blue Mountains Eye Study. J Am Geriatr Soc 1998; 46: Laitinen A. Reduced visual acuity and impact on quality of life. Helsinki : National Institute for Health and Welfare, Nirmalan PK, Tielsch JM, Katz J, Thulasiraj RD, Krishnadas R, Ramakrishnan R, et al. Relationship between Vision Impairment and Eye Disease to Vision-Specific Quality of Life and Function in Rural India: The Aravind Comprehensive Eye Survey. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2005;46: Lamoureux EL, Chong EW, Thumboo J, Wee HL, Wang JJ, Saw SM, et al. Vision impairment, ocular conditions, and vision-specific function: The Singapore Malay Eye Study. Ophthalmology 2008;115: Mangione CM, Lee PP, Gutierrez PR, Spritzer K, Berry S, Hays RD. Development of the 25-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire. Arch Ophthalmol. 2001;119: Patrick DL, Chiang Y. Measurement of health outcomes in treatment effectiveness evaluations: conceptual and methodological challenges. Med Care 2000;38(Suppl. II):14e Mangione CM, Berry S, Spritzer K, et al. Identifying the content area for the 51-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire: results from focus groups with visually impaired persons. Arch Ophthalmol. 1998;116:

71 Mangione CM, Lee PP, Pitts J, Gutierrez P, Berry S, Hays RD. Psychometric properties of the National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ). NEI-VFQ Field Test Investigators. Arch Ophthalmol. 1998;116: Suner IJ, Kokame GT, Yu E, Ward J, Dolan C, Bressler NM. Responsiveness of NEI VFQ-25 to changes in visual acuity in neovascular AMD: validation studies from two phase 3 clinical trials. Invest Ophthalmol Vis Sci 2009;50: Massof RW, Fletcher DC. Evaluation of the NEI visual functioning questionnaire as an interval measure of visual ability in low vision. Vision Res. 2001;41: Lamoureux EL, Pesudovs K, Thumboo J, Saw SM, Wong TY. An evaluation of the reliability and validity of the visual functioning questionnaire (VF-11) using Rasch analysis in an Asian population. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50: Stelmack JA, Stelmack TR, Massof RW. Measuring low-vision rehabilitation outcomes with the NEI VFQ-25. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2002;43: Broman AT, Munoz B, Rodriguez J, Sanchez R, Quigley HA, Klein R, et al. The impact of visual impairment and eye disease on vision-related quality of life in a Mexican-American population: Proyecto VER. Invest Ophthalmol Vis Sci.2002; 43: Lin J, Yu J. Assessment of quality of life among Taiwanese patients with visual impairment. Journal of the Formosan Medical Association 2012: 111, World HealthOrganization. WHO terminology for impairment and disability. In: WHO. International classification of impairments, diabilities, and handicaps: A manual of classification relating to the consequences of disease. Geneva: WHO; Center For Disease Control and Prevention. The International Classification of Disease, 10 th Revision. Available at: Low vision Services Consensus Group. Recommendations for Future Low vision Service Delivery in the UK. London: Royal National Institute for the Blind; American Optometric Association. Optometric clinical practice guidelines care of the patien with low vision. AOA Board of Trustees, p Faye, EE. Low vision. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asbury s General Ophthalmology 17 th ed. New York: Mc Graw Hill Companies, p World HealthOrganization. WHOQOL: Measuring quality of life. WHO; Stelmack JA, Rosenbloom AA, Brenneman CS, Stelmack TR. Patients perceptions of the need for low vision devices. J Vis Impair Blind 2003, 97(9): Langelaan M. Quality of Life of Visually Impaired Working Age Adults. Tesis. Vrije Universiteit. Vrije: PrintPartners Ipskamp, World Health Organization (2001) International Classification of Functioning, Disability and Health. ction. Akses terakhir: 5 Juni Cahill MT, Banks AD, Stinnett SS, Toth CA. Vision-related quality of life in patients with bilateral severe age-related macular degeneration. Ophthalmology 2005;112: Nutheti R, Shamanna BR, Nirmalan PK, Keeffe JE, Krishnaiah S, Rao GN, et al. Impact of impaired vision and eye disease on quality of life in Andhra Pradesh. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2006;47: Simangunsong CO, Artini W, Mustafa S. Perbandingan kualitas hidup penderita glaucoma tahap moderate dan tahap lanjut. Tesis. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Jakarta: 2009.

72 Saw SM, Foster PJ, Gazzard G, Seah S. Causes of blindness, low vision, and questionnaire-assessed poor visual function in Singaporean Chinese adults, The Tanjong Pagar Survey. Ophthalmology 2004;111: Fitriani DG, Gondhowiardjo TD. Tingkat kepuasan pasien setelah operasi katarak dengan metode SICS di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta, Hapsari RU, Gondhowiardjo TD. Perubahan kualitas hidup dan pencapaian harapan pasien pasca operasi katarak di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta, Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA, Johnson GJ. The definition and classification of glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophthalmol 2002;86: Abou-Gareeb I, Lewallen S, Bassett K, Courtright P. Gender and blindness: a metaanalysis of population-based prevalence surveys. Ophthalmic Epidemiology 2001;8: Frick K, Foster A. The magnitude and cost of global blindness: an increasing problem that can be alleviated. American J Ophthalmology 2003; 135: Nispen RMA, Boer MJ, Hoeijmakers J, Ringens PJ, van Rens. Co-morbidity and visual acuity are risk factors for health-related quality of life decline: five-month follow-up EQ-5D data of visually impaired older patients. Health and Quality of Life Outcomes 2009, 7: Boerner K, Meehan C. Vision loss, coping tendencies, and mental health. Final Report to the National Institute of Mental Health. New York: Arlene R. Gordon Research Institute of Lighthouse International, Akses terakhir: 28 Desember Brennan, M. (2004). Spirituality and religiousness predict adaptation to vision loss among middle-age and older adults. International Journal for the Psychology of Religion 2004; 14 (3), Trillo AH, Dickinson CM. The impact of visual and nonvisual factors on quality of life and adaptation in adults with visual impairment. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2012;53: Brennan M. Religiousness and spirituality in vision impaired elders. Final progress report submitted to the National Institute on Aging, National Institutes of Health, Bethesda, MD. New York: Arlene R. Gordon Research Institute of Lighthouse International, Akses terakhir: 28 Desember Wu SY, Hennis A, Nemesure B, Leske MC. Impact of glaucoma, lens opacities, and cataract surgery on visual functioning and related quality of life: The Barbados Eye Studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2008;49: Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Glaucoma. Basic and Clinical Science Course Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; p

73 59 LAMPIRAN 1

BAB I PENDAHULUAN UKDW. berbagai kegiatan. Apabila mata menderita kelainan atau gangguan seperti low vision

BAB I PENDAHULUAN UKDW. berbagai kegiatan. Apabila mata menderita kelainan atau gangguan seperti low vision BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mata merupakan salah satu organ indera yang menjadi sarana masuknya informasi untuk selanjutnya diproses oleh otak. Mata berperan penting bagi manusia, melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Global Data on Visual Impairment 2010, WHO 2012, estimasi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Global Data on Visual Impairment 2010, WHO 2012, estimasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang di Indonesia Gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat termasuk prevalensi low vision dan kebutaan yang tinggi. Menurut Global Data on Visual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah penderitadiabetes mellitus (DM) baru di seluruh dunia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah penderitadiabetes mellitus (DM) baru di seluruh dunia meningkat secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderitadiabetes mellitus (DM) baru di seluruh dunia meningkat secara drastis, dari 150 juta penderita pada tahun 2009 dan diperkirakan mencapai 300 juta penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit BAB I PENDAHULUAN 1..1Latar Belakang Leber Hereditary Optic Neuropathy (LHON) merupakan penyakit diturunkan secara maternal yang menyebabkan penderitanya mengalami degenerasi pada serabut saraf retina

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata merupakan organ sensoris yang sangat vital. Delapan puluh persen informasi diperoleh dari penglihatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM...i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI...iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN...iv ABSTRAK...v ABSTRACT...vi RINGKASAN...vii SUMMARY...ix KATA PENGANTAR...xi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah organ tubuh yang menentukan kualitas hidup. seseorang, walaupun kerusakan pada mata tidak langsung berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah organ tubuh yang menentukan kualitas hidup. seseorang, walaupun kerusakan pada mata tidak langsung berhubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata adalah organ tubuh yang menentukan kualitas hidup seseorang, walaupun kerusakan pada mata tidak langsung berhubungan dengan kematian akan tetapi tanpa penglihatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penglihatan, terlebih jika melibatkan fovea. Beberapa survei epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. penglihatan, terlebih jika melibatkan fovea. Beberapa survei epidemiologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ablasi retina merupakan salah satu penyakit yang mengancam penglihatan, terlebih jika melibatkan fovea. Beberapa survei epidemiologi menunjukkan bahwal angka kejadian

Lebih terperinci

QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA LEBER HEREDITARY OPTIC NEUROPATHY (LHON) JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA LEBER HEREDITARY OPTIC NEUROPATHY (LHON) JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA LEBER HEREDITARY OPTIC NEUROPATHY (LHON) JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum Nida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74

BAB I PENDAHULUAN. penyakit. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan. telah terjadi katarak senile sebesar 42%, pada kelompok usia 65-74 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak adalah kekeruhan lensa mata yang dapat menghambat cahaya masuk ke mata. Menurut WHO, kebanyakan katarak terkait dengan masalah penuaan, meskipun kadang-kadang

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA MIOPIA RINGAN, SEDANG, DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh (Nugroho, 2007). Semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelaku pembangunan dapat merasakan dan menikmati hasil dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelaku pembangunan dapat merasakan dan menikmati hasil dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan kerja adalah suatu aspek atau unsur kesehatan yang erat berkaitan dengan lingkungan kerja dan pekerjaan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran.

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Glaukoma adalah suatu neuropati optik multifaktorial dengan karakteristik hilangnya serat saraf optik. Pada glaukoma akan terdapat kelemahan fungsi mata dengan terjadinya

Lebih terperinci

SITUASI GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN

SITUASI GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN SITUASI GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN M ata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Namun

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS UNIVERSITAS INDONESIA PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS RAWAT INAP TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSCM DENGAN METODE SERVQUAL TESIS APRIYAN LESTARI PRATIWI 0806480460 FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelainan refraksi 2.1.1 Definisi kelainan refraksi Kelainan refraksi merupakan suatu keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (makula retina atau bintik kuning)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan

BAB I PENDAHULUAN. sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana sinarsinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi dan dibiaskan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berumur 60 tahun ke atas. Sesuai dengan undang-undang Nomor 13 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berumur 60 tahun ke atas. Sesuai dengan undang-undang Nomor 13 tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia telah dipersetujui bahwa penduduk lanjut usia adalah mereka yang berumur 60 tahun ke atas. Sesuai dengan undang-undang Nomor 13 tahun 1998 pasal 1 mengenai

Lebih terperinci

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG Membaca, menulis, mengamati dengan jarak sangat dekat Berjalan banyak tersandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vision di dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara

BAB I PENDAHULUAN. vision di dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama low vision di dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara International Agency for

Lebih terperinci

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma? Glaukoma Glaukoma dikenal sebagai "Pencuri Penglihatan" karena tidak ada gejala yang jelas pada tahap awal terjadinya penyakit ini. Penyakit ini mencuri penglihatan Anda secara diam-diam sebelum Anda menyadarinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik optik neuropati yang berhubungan dengan menyempitnya lapang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik optik neuropati yang berhubungan dengan menyempitnya lapang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Glaukoma merupakan suatu kumpulan gejala yang mempunyai suatu karakteristik optik neuropati yang berhubungan dengan menyempitnya lapang pandangan, walaupun kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Populasi orang berusia lanjut di dunia saat ini mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Populasi orang berusia lanjut di dunia saat ini mengalami pertumbuhan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi orang berusia lanjut di dunia saat ini mengalami pertumbuhan yang cepat dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Pada tahun 2020, populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 ABSTRAK ANGKA KEJADIAN KATARAK SENIL DAN KOMPLIKASI KEBUTAAN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2011 Lukas Jesse Tangguh, 2012, Pembimbing I : L. K. Liana, dr., Sp.PA, M.Kes

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kesehatan indera. penglihatan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Kesehatan indera. penglihatan merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indera penglihatan merupakan organ vital bagi manusia untuk memperoleh informasi dalam bentuk visual yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diabetes retinopati (1%), penyebab lain (18%). Untuk di negara kita, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. diabetes retinopati (1%), penyebab lain (18%). Untuk di negara kita, Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan penglihatan masih menjadi sebuah masalah di dunia. Angka kejadian gangguan penglihatan di dunia cukup tinggi yakni mencakup 4,25 % dari penduduk dunia atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding

BAB I PENDAHULUAN. Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata merupakan bagian pancaindera yang sangat penting dibanding indera lainnya. Para ahli mengatakan, jalur utama informasi 80% adalah melalui mata. Mata sering disebut

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS

HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2012 31 DESEMBER 2012 Jason Alim Sanjaya, 2014, Pembimbing I : July Ivone, dr.,m.k.k.,mpd.ked.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan merupakan suatu masalah kesehatan di dunia, dilaporkan bahwa terdapat lebih dari 50 juta orang buta di dunia saat ini dan hampir 90%-nya berada di negara berkembang,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi perhatian utama secara global dalam kesehatan. Setiap tahun terjadi peningkatan kasus dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan meningkatnya tuntutan. akademis menyebabkan peningkatan frekuensi melihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan meningkatnya tuntutan. akademis menyebabkan peningkatan frekuensi melihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan meningkatnya tuntutan akademis menyebabkan peningkatan frekuensi melihat dekat yang dapat menyebabkan kelainan pada mata seperti rabun jauh atau

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah salah satu pembentuk modal manusia yang memiliki peran

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah salah satu pembentuk modal manusia yang memiliki peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu pembentuk modal manusia yang memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Dalam ruang lingkup mikro, kesehatan berpengaruh

Lebih terperinci

PERBEDAAN QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY DENGAN DAN TANPA LASER PANRETINAL PHOTOCOAGULATION

PERBEDAAN QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY DENGAN DAN TANPA LASER PANRETINAL PHOTOCOAGULATION PERBEDAAN QUALITY OF LIFE PADA PENDERITA PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY DENGAN DAN TANPA LASER PANRETINAL PHOTOCOAGULATION Yuliana Fajariyanti 1, Arief Wildan 2, Andrew Johan 2 1 Mahasiswa Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki

I. PENDAHULUAN. otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi dapat dialami oleh setiap orang baik laki-laki I. PENDAHULUAN Epilepsi adalah terganggunya aktivitas listrik di otak yang disebabkan oleh beberapa etiologi diantaranya cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, dan tumor otak (Dipiro et.al, 2005). Epilepsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. antaranya mengalami kecacatan. (Markus, et al, 2010). Di Indonesia, 8 dari 1000

I. PENDAHULUAN. antaranya mengalami kecacatan. (Markus, et al, 2010). Di Indonesia, 8 dari 1000 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap tahun, 15 juta orang di dunia menderita stroke dan 5 juta orang di antaranya mengalami kecacatan. (Markus, et al, 2010). Di Indonesia, 8 dari 1000 orang

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PERBEDAAN PENGLIHATAN STEREOSKOPIS PADA PENDERITA ANISOMETROPIA RINGAN-SEDANG DAN BERAT LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM :

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM : UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANTAN PECANDU UNTUK KEMBALI MENYALAHGUNAKAN NARKOBA (RELAPS) TESIS NAMA: NURMIATI HUSIN NPM : 0606154295 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN

Lebih terperinci

PROFILE OF SENILE MATURE CATARACT PATIENTS WHO HAD MASS CATARACT SURGERY IN PADAS PRIMARY HEALTHCARE PERIOD 1 ST JANUARY

PROFILE OF SENILE MATURE CATARACT PATIENTS WHO HAD MASS CATARACT SURGERY IN PADAS PRIMARY HEALTHCARE PERIOD 1 ST JANUARY PROFILE OF SENILE MATURE CATARACT PATIENTS WHO HAD MASS CATARACT SURGERY IN PADAS PRIMARY HEALTHCARE PERIOD 1 ST JANUARY 2009 31 ST DECEMBER 2010 A Scientific Paper Submitted in Partial Fulfillment of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision. 1,2

BAB I PENDAHULUAN. kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision. 1,2 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan dan gangguan penglihatan masih merupakan masalah kesehatan di dunia. 1 Berdasarkan Global Data on Visual Impairment 2010, World Health Organization (WHO)

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH KEMAMPUAN ADL (ACTIVITY DAILY LIVING S) PADA PASIEN PASCA STROKE

KARYA TULIS ILMIAH KEMAMPUAN ADL (ACTIVITY DAILY LIVING S) PADA PASIEN PASCA STROKE KARYA TULIS ILMIAH KEMAMPUAN ADL (ACTIVITY DAILY LIVING S) PADA PASIEN PASCA STROKE Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngariboyo Kecamatan Ngariboyo Kabupaten Magetan Oleh : WULAN JUNIARTI AMI SUSENO NIM : 11611945

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin secara efektif. Menurut International Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin secara efektif. Menurut International Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin maupun karena tidak dapat menggunakan insulin secara efektif.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 KERANGKA TEORI II.1.1 DEFINISI Miopia (nearsightedness) adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut data Riskesdas 2013, katarak atau kekeruhan lensa kristalin mata merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di indonesia maupun di dunia. Perkiraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pelayanan perawatan kesehatan berubah dengan cepat sesuai dengan perubahan kebutuhan kesehatan masyarakat dan harapan-harapannya. Seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA FREKUENSI DISTRIBUSI RASA NYERI DAN DRY SOCKET PASCA EKSTRAKSI PADA PASIEN USIA 17-76 TAHUN DI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT PENDIDIKAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA KORELASI PERUBAHAN TEKANAN DARAH PRA DAN PASCADIALISIS DENGAN LAMA MENJALANI HEMODIALISIS PADA PASIEN HEMODIALISIS KRONIK DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO PADA BULAN FEBRUARI 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PROLANIS 1. Pengertian Prolanis PROLANIS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegratif yang melibatkan peserta, Fasilitas

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jasmani merupakan hal yang penting, karena saat keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jasmani merupakan hal yang penting, karena saat keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jasmani merupakan hal yang penting, karena saat keadaan tubuh sehat maka kita bisa melakukan kegiatan yang menjadi rutinitas setiap harinya. Salah satu kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Katarak menurut American Academy of Ophtamology (AAO) adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa sehingga cahaya tidak bisa difokuskan dengan tepat kepada retina.

Lebih terperinci

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA GLAUKOMA DENGAN KETAATAN MENGGUNAKAN OBAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA GLAUKOMA DENGAN KETAATAN MENGGUNAKAN OBAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA GLAUKOMA DENGAN KETAATAN MENGGUNAKAN OBAT LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian seminar hasil karya tulis mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Bedah khususnya Bedah Ortopedi.

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Bedah khususnya Bedah Ortopedi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Bedah khususnya Bedah Ortopedi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian akan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahun di antara orang terdapat seorang penderita baru katarak (Kemenkes RI, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit katarak merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, yaitu sebesar 51% (WHO, 2012). Perkiraan insiden katarak di Indonesia adalah 0,1%/tahun atau setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan penyakit dengan angka kematian tinggi. Data Global

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan penyakit dengan angka kematian tinggi. Data Global 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyakit dengan angka kematian tinggi. Data Global Action Againts Cancer (2006) dari WHO menyatakan bahwa angka kematian akibat kanker dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Depkes RI (2007 dalam Nastiti, 2012) menjelaskan bahwa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Depkes RI (2007 dalam Nastiti, 2012) menjelaskan bahwa Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Depkes RI (2007 dalam Nastiti, 2012) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini sedang mengalami masa peralihan, dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. berbagai informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan,

BAB 1 : PENDAHULUAN. berbagai informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan mata merupakan salah satu syarat penting untuk menyerap berbagai informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan, namun gangguan terhadap

Lebih terperinci

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).:

Berdasarkan tingginya dioptri, miopia dibagi dalam(ilyas,2014).: MIOPIA A. Definisi Miopia merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki m ata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak

Lebih terperinci

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER O P T I K dan REFRAKSI SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SINAR MATA (Organ Penglihatan) KORNEA + 43 D B M D Media optik PUPIL LENSA + 20 D MEDIA REFRAKSI BADAN

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr. 36 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf 3.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin

BAB 1 PENDAHULUAN. Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Ingris Cataract, dan Latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Penelitian Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota Yogyakarta pada tanggal 9 Agustus - 1 September 2016. Data dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization penyebab kebutaan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization penyebab kebutaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari World Health Organization penyebab kebutaan paling banyak di dunia adalah katarak 51%, glaukoma 8% dan disusul oleh degenerasi makular terkait

Lebih terperinci

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG YANG MENDAPAT PERAWATAN GIGI DAN TIDAK MENDAPAT PERAWATAN GIGI LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderita kebutaan dari 285 juta penderita gangguan penglihatan di dunia. Sepertiga

BAB I PENDAHULUAN. penderita kebutaan dari 285 juta penderita gangguan penglihatan di dunia. Sepertiga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah WHO (World Health Organization) memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan dari 285 juta penderita gangguan penglihatan di dunia. Sepertiga dari 45 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Gaya Hidup a. Definisi Gaya Hidup atau lifestyle adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. konflik batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. konflik batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata lelah (Fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia yaitu sebesar 8%.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia yaitu sebesar 8%. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glaukoma merupakan suatu keadaan klinis dimana tekanan bola mata seseorang sangat tinggi atau tidak normal sehingga mengakibatkan kerusakan syaraf optik mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata adalah salah satu dari indera tubuh manusia yang berfungsi untuk penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering kali kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. termasuk dalam segi fungsi fisik, interaksi sosial, dan keadaan mental (Jonsen, 2006). Penilaian

BAB V PEMBAHASAN. termasuk dalam segi fungsi fisik, interaksi sosial, dan keadaan mental (Jonsen, 2006). Penilaian BAB V PEMBAHASAN Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif, yang berasal dari pasien dalam menilai pengalaman/kenyataan hidupnya secara keseluruhan atau sebagian sebagai baik atau buruk; termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%).

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian katarak yang cukup tinggi. Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa prevalensi katarak tertinggi di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Mata. Ruang lingkup penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUP dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dijumpai di tempat praktek dokter (Harsono, 2005). Nyeri kepala dideskripsikan sebagai rasa sakit atau rasa tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Katarak adalah keadaan terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul lensa. katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2009). Lebih dari 60 juta penduduk di dunia mengalami Glaukoma (Wong et

BAB I PENDAHULUAN. al., 2009). Lebih dari 60 juta penduduk di dunia mengalami Glaukoma (Wong et 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan neuropati optik Glaukomatosa serta hilangnya lapang pandang yang khas, disertai peningkatan tekanan intraokuler

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK.

GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK. GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA KELAS XII SMA NEGERI 7 MANADO TENTANG KATARAK 1 Valeria Legoh 2 J.S.M Saerang 2 Laya Rares 1 Kandidat Skripsi Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penyandang diabetes melitus di dunia 200 juta jiwa, Indonesia menempati urutan keempat

Lebih terperinci

TESIS. Oleh MILA KARMILA NIM :

TESIS. Oleh MILA KARMILA NIM : KUALITAS HIDUP PENDERITA GLAUKOMA DI RSUP. H. ADAM MALIK DAN RSUD PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012 TESIS Oleh MILA KARMILA NIM : 097110005 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Di dunia, stroke

BAB I PENDAHULUAN. Stroke masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Di dunia, stroke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU PADA INFORMASI MP-ASI DI BUKU KIA DENGAN PEMBERIAN MP-ASI BALITA USIA 6-24 BULAN DI KELURAHAN BANDARHARJO SEMARANG UTARA LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke juga merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke juga merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia dan penyebab paling sering kecacatan pada orang dewasa (Abubakar & Isezuo, 2012). Stroke juga merupakan

Lebih terperinci

BISING VALENSIA PUTRA UTARA. Universitas Sumatera Utara

BISING VALENSIA PUTRA UTARA. Universitas Sumatera Utara KUALITAS HIDUP PENDERITA TINITUSS PADA PEKERJA PANDAI BESI YANG TERPAJAN BISING DI KOTA MEDAN VALENSIA PUTRA 100100047 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 KUALITAS HIDUP PENDERITA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak

BAB 1 PENDAHULUAN. Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal jantung (heart failure) adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak napas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas), edema dan tanda objektif adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit serebrovaskuler atau yang lebih dikenal dengan stroke merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari sebuah benda difokuskan di depan retina pada saat mata dalam keadaan tidak berakomodasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, angka kesakitan dan angka kematian serta peningkatan angka harapan hidup penduduk

Lebih terperinci

Kata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta

Kata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN ANGKA KEJADIAN BATUK KRONIK PADA ANAK YANG BEROBAT KE SEORANG DOKTER PRAKTEK SWASTA PERIODE SEPTEMBER OKTOBER 2011 Devlin Alfiana, 2011. Pembimbing I :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari World Health Organization penyebab kebutaan paling banyak di dunia adalah kelainan refraksi, katarak, dan disusul oleh glaukoma. Dari semua kelainan

Lebih terperinci

PERBEDAAN PROPORSI JUMLAH SISWA KELAS XII SMA AL ISLAM

PERBEDAAN PROPORSI JUMLAH SISWA KELAS XII SMA AL ISLAM PERBEDAAN PROPORSI JUMLAH SISWA KELAS XII SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA YANG MENGALAMI DEPRESI PADA KELOMPOK DENGAN KUALITAS HIDUP DAN HARGA DIRI TINGGI DAN RENDAH SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

Hubungan Depresi dan Demensia pada Pasien Lanjut Usia dengan Diabetes Melitus Tipe 2 LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Hubungan Depresi dan Demensia pada Pasien Lanjut Usia dengan Diabetes Melitus Tipe 2 LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Hubungan Depresi dan Demensia pada Pasien Lanjut Usia dengan Diabetes Melitus Tipe 2 LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia. Melalui mata

BAB I PENDAHULUAN. Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia. Melalui mata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia. Melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Saat

Lebih terperinci

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK  Program Magister Psikologi  Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan pengihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis. Penyandang low vision hanya memiliki sisa penglihatan yang

Lebih terperinci