PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR"

Transkripsi

1 PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR NURLITA INDAH WAHYUNI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Oleh: NURLITA INDAH WAHYUNI E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 RINGKASAN NURLITA INDAH WAHYUNI. Pemodelan Spasial Preferensi Lokasi Lahan PHBM untuk Komoditas Kopi dan Komoditas Vanili di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Di bawah bimbingan M BUCE SALEH. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan usaha Perhutani untuk menyempurnakan pola pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini berdasarkan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari forest timber management menjadi forest resource management dan dari stated based forest management menjadi community based forest management. Secara teknis PHBM dilaksanakan melalui kerjasama antara Perhutani dan masyarakat sekitar hutan secara agroforestry. Agroforestry adalah sistem penggunaan lahan atau hutan dan teknologi di mana tanaman keras berkayu ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau hewan dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair 1993). Praktek agroforestry dalam PHBM tidak terlepas dari faktor kesesuaian lahan, sosial ekonomi budaya masyarakat serta lokasi lahan. Lokasi lahan PHBM yang diinginkan untuk komoditas pertanian tertentu dapat diketahui berdasarkan preferensi masyarakat terhadap parameter lokasi lahan (bentuk lahan dan aksesibilitas lokasi ) dan dipetakan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter lokasi lahan untuk komoditas kopi dan vanili, menetapkan tingkat kesesuaian lokasi PHBM yang diinginkan petani untuk komoditas kopi dan vanili berdasarkan parameter lokasi lahan, serta menghasilkan model spasial lokasi lahan PHBM untuk komoditas kopi dan vanili di KPH Banyuwangi Barat. Kesesuaian lahan untuk tiap komoditas diidentifikasi dengan cara mencocokkan kondisi geografis lokasi penelitian secara umum dengan syarat tumbuh tanaman. Batasan lokasi pemodelan diketahui dari kondisi sosial budaya masyarakat. Preferensi responden tentang parameter aksesibilitas dan bentuk lahan serta variabel- variabel dalam tiap parameter ditentukan dengan menggunakan metode ranking. Variabel lokasi lahan dan skor variabel digunakan sebagai dasar pembuatan peta. Metode yang digunakan untuk menentukan lokasi lahan adalah analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis atau CMA). Jika hanya berdasarkan pada faktor topografi dan iklim, maka tanaman kopi dan vanili sesuai untuk ditanam di seluruh wilayah KPH Banyuwangi Barat. Namun secara sosial wilayah pemodelan untuk komoditas kopi dibatasi di BKPH Kalibaru sedangkan untuk komoditas vanili di BKPH Rogojampi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya perambahan lahan hutan untuk penanaman kopi di BKPH Kalibaru, introduksi vanili sebagai tanaman campuran pada lahan kosong di BKPH Rogojampi serta aspek teknis budidaya kopi dan vanili yang telah dikuasai dengan baik oleh masyarakat desa sekitar wilayah di dua BKPH tersebut. Terdapat empat parameter lokasi lahan yang berpengaruh dan penting dalam budidaya kopi dan vanili yaitu jarak lahan dari jalan, jarak lahan dari pemukiman, kelerengan lahan dan arah lereng lahan atau aspek. Aspek manajemen yang dianggap paling penting dalam budidaya kopi dan vanili dalam kawasan hutan adalah pemeliharaan, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Model spasial lokasi lahan untuk komoditas kopi di BKPH Kalibaru adalah K = 0,238x1 + 0,305x2 + 0,282x3 + 0, 175x4, di mana x 1 adalah jarak lahan dari jalan, x 2 adalah jarak lahan dari pemukiman, x 3 adalah kelerengan lahan dan x 4 adalah arah lereng lahan. Model spasial lokasi lahan untuk komoditas vanili di BKPH Rogojampi adalah V = 0,260y1 + 0, 333y2 + 0,264y3 + 0, 143y4, di mana y 1 adalah jarak lahan dari jalan, y 2 adalah jarak lahan dari pemukiman, y 3 adalah kelerengan lahan dan y 4 adalah arah lereng lahan. Kata kunci: aksesibilitas dan bentuk lahan, PHBM, preferensi, Analisis Pemetaan Komposit, Sistem Informasi Geografis

4 SUMMARY NURLITA INDAH WAHYUNI. Spatial Modeling of CBFM Land Location Preference for Coffee Commodity and Vanilla Commodity in KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Under supervision of M BUCE SALEH. Community Based Forest Management (CBFM) is an effort from Perhutani to complete forest resource management system. It based on the change on forest management paradigm from forest timber management to forest resource management and from stated based forest management to community based forest management. Technically, CBFM is carried out by cooperation between Perhutani and the community through agro forestry. Agro forestry is landuse systems and technologies where woody perennials are deliberately used on the same landmanagement units as agricultural crops and or animals, in some form of spatial arrangement or temporal sequence and there are both ecological and economical interactions between the different components (Nair 1993). Agro forestry is influenced by land suitability, socio economic cultural and also location accessibility and land form. The preferred CBFM land location for certain agriculture commodity can be determined based on community preferences and it can be mapped by Geographic Information System (GIS). The aims of this study are to find out CBFM land location parameter for coffee and vanilla commodity, to determine the suitability rate of CBFM land location for coffee and vanilla commodity based on farmer preference about land location parameter and to create spatial model of CBFM land location for coffee and vanilla commodity in KPH Banyuwangi Barat. Land suitability for each commodity was identified by matching general geographic condition on study location with commodities grow requirement. The boundary of modeling location is determined by community socio cultural condition. Respondent preference about accessibility and land form parameter and also variables for each parameter determined by ranking method. Land location variable and its score are used to create a map. The Composite Mapping Analysis (CMA) is used to determine land location. Based on topographic and climate condition, coffee and vanilla commodity can grow in almost all area of KPH Banyuwangi Barat. But socially, modeling area for coffee commodity is limited only in BKPH Kalibaru whereas vanilla commodity in BKPH Rogojampi. It based on forest land encroachment to plant coffee in BKPH Kalibaru and the comunity around forest in BKPH Kalibaru have practiced coffee plantation since While vanilla was introduced as major agriculture commodity to reforest clear land in BKPH Rogojampi by the community themselves, beside that they planted it and known almost all technical cultivation of vanilla. There are four land location parameters that important and influence in coffee and vanilla cultivation. The parameters are land distance from road, land distance from settlement; land slope and land slope direct (aspect). The most important management aspect to cultivate coffee and vanilla commodity is maintenance, because it influence the productivity of vanilla and coffee. Land location spatial model for coffee in BKPH Kalibaru is K = 0,238x1 + 0,305x2 + 0,282x3 + 0, 175x4, where x 1 is distance from road, x 2 is distance from settlement, x 3 is land sloping and x 4 is aspect. Land location spatial model for vanilla in BKPH Rogojampi is V = 0,260y1 + 0, 333y2 + 0,264y 3 + 0, 143y4, where y 1 is distance from road, y 2 is distance from settlement, y 3 is land sloping and y 4 is aspect. Key words: accessibility and land form, Community Based Forest Management (CBFM), preference, Composite Mapping Analysis (CMA), Geographic Information System (GIS)

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial Preferensi Lokasi Lahan PHBM untuk Komoditas Kopi dan Komoditas Vanili di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur adalah benar- benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmih pada perguruna tinggi atau lembaga manpun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2008 Nurlita Indah Wahyuni NRP E

6 Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Preferensi Lokasi Lahan PHBM untuk Komoditas Kopi dan Komoditas Vanili di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Nama : Nurlita Indah Wahyuni NRP : E Menyetujui: Dosen Pembimbing Dr. Ir. M Buce Saleh, MS NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Ir. Hendrayanto, Magr NIP Tanggal Lulus:

7 KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang- Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih adalah aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam bidang perencanaan hutan, dengan judul Pemodelan Spasial Lokasi Lahan PHBM untuk Komoditas Kopi dan Komoditas Vanili di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi ini berisi gambaran mengenai preferensi masyarakat desa hutan tentang lokasi lahan PHBM untuk komoditas kopi dan vanili berdasarkan aksesibilitas dan bentuk fisik lahan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, Ayah, Ibu, kakak dan adik. Ungkapan rasa terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. M Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing, Prof. Dr. Ir. Iding M Padlinurjaji selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Dones Rinaldi, MSc.F selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Untuk segenap karyawan KPH Banyuwangi Barat, Bapak Indra Gunawan sekeluarga dan seluruh anggota LMDH Kidang Keling serta Bapak Ngadiono sekeluarga dan seluruh anggota LMDH Bakti Rimba disampaikan banyak terima kasih atas bantuannya selama pengumpulan data. Selain itu ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Ir. Budi Prihanto, MS yang telah membantu penyediaan data, serta Pak Uus Saeful atas bantuannya dalam pengolahan data. Tidak lupa untuk teman- teman MNH 41 dan keluarga besar Fakultas Kehutanan, teman- teman satu tim PKL, keluarga besar Wisma Rahayu, keluarga besar Lare Blambangan serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2008 Penulis

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1986 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Sumardiyo dan Aryati Mudaliana. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Genteng, Banyuwangi dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah bergabung dalam organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Human Resource Development Departement pada organisasi International Forestry Students Association (IFSA) LC IPB tahun dan bendahara IFSA pada tahun , staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia DKM Ibaadurrahman tahun , Organisasi Mahasiswa Daerah Banyuwangi Lare Blambangan tahun Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan Lestari di KPH Ngawi, serta Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa Timur KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet Barat KPH Banyumas Timur. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di KPH Banyuwangi Barat selama dua bulan. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pemodelan Spasial Preferensi Lokasi Lahan PHBM untuk Komoditas Kopi dan Komoditas Vanili di KPH Banyuwangi Barat Perum Perhutani Unit II Jawa Timur di bawah bimbingan Dr. Ir. M Buce Saleh, MS.

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i RIWAYAT HIDUP...ii DAFTAR ISI......iii DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN......vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis Preferensi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Agroforestry Vanili Kopi Evaluasi Lahan dan Kesesuaian Lahan... 8 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Bahan dan Alat Batasan Penelitian Metode Pengumpulan Data Data Sekunder Data Primer Pengolahan dan Analisis Data... 11

10 iv BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Luas Tanah dan Iklim Potensi Hutan Sosial Ekonomi Masyarakat Pelaksanaan PHBM Budidaya Vanili secara Agroforestry Sejarah Penanaman Kopi dalam Kawasan Hutan...19 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kesesuaian Lahan Kelayakan Sosial Komoditas Kopi Identifikasi Parameter Lokasi Lahan Model Spasial Preferensi Lokasi Lahan Klasifikasi Tingkat Preferensi Komoditas Vanili Identifikasi Parameter Lokasi Lahan Model Spasial Preferensi Lokasi Lahan Klasifikasi Tingkat Preferensi BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 44

11 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Skor tingkat kepentingan suatu parameter Skor tingkat preferensi responden terhadap suatu parameter Kelas lereng Arah lereng Pembagian wilayah hutan KPH Banyuwangi Barat Potensi hutan KPH Banyuwangi Barat Variabel dalam parameter lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Kelas preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Hasil pemodelan lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Variabel dalam parameter lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Kelas preferensi lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Hasil pemodelan lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi... 38

12 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Peta KPH Banyuwangi Barat a.Tanaman vanili di bawah tegakan pinus di BKPH Rogojampi b.Buah vanili a.Tanaman kopi di bawah tegakan pinus di BKPH Kalibaru b.Tanaman palawija Peta lokasi pemodelan Diagram bobot parameter lokasi lahan kopi Kurva preferensi lokasi lahan kopi dari jalan Kurva preferensi lokasi lahan kopi dari pemukiman Kurva preferensi kelerengan lahan kopi Kurva preferensi arah lereng lahan kopi Diagram bobot parameter lokasi lahan vanili Kurva preferensi lokasi lahan vanili dari jalan Kurva preferensi lokasi lahan vanili dari pemukiman Kurva preferensi kelerengan lahan vanili Kurva preferensi arah lereng lahan vanili... 37

13 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Kuisioner penelitian Kuisioner penelitian untuk komoditas kopi Kuisioner penelitian untuk komoditas vanili Bagan alir penelitian Pembobotan tingkat kepentingan parameter lokasi lahan kopi Pembobotan tingkat kepentingan parameter lokasi lahan vanili Preferensi responden terhadap variabel lokasi lahan kopi Preferensi responden terhadap variabel lokasi lahan vanili Klasifikasi preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Klasifikasi preferensi lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Lokasi lahan budidaya kopi di BKPH Kalibaru Lokasi lahan budidaya vanili di BKPH Rogojampi Peta preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Peta preferensi lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Kl

14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi sosial ekonomi dan politik pada awal reformasi berimbas pada kondisi sumberdaya hutan di Indonesia. Fenomena penjarahan kayu besar- besaran terjadi pada hampir semua unit pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani (2007) menyebutkan Perhutani merespon keadaan tersebut dengan menyempurnakan pola pengelolaan sumberdaya hutan melalui perubahan paradigma dari forest timber management menjadi forest resource management dan dari stated based forest management menjadi community based forest management. Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) mulai dilaksanakan berdasarkan SK Direksi No 136/KPTS/2001 dalam kegiatan berbasis lahan dan non lahan. Kegiatan berbasis lahan dalam PHBM dilaksanakan melalui kerjasama antara Perhutani dan masyarakat sekitar hutan dengan cara agroforestry. Agroforestry adalah adalah sebuah nama kolektif untuk sistem- sistem penggunaan lahan atau hutan dan teknologi di mana tanaman keras berkayu (pohon- pohon, perdu, palem, bambubambuan dan sebagainya) ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau hewan dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair 1993). Praktek agroforestry dalam PHBM tidak terlepas dari faktor kesesuaian lahan, sosial ekonomi budaya masyarakat serta lokasi lahan. Faktor kesesuaian lahan yang mempengaruhi produktivitas tanaman, serta faktor sosial ekonomi masyarakat terkait dengan kebutuhan tenaga kerja dan potensi pasar. Selain kesesuaian lahan dan faktor sosial ekonomi, bentuk lahan dan aksesibilitas lokasi perlu dipertimbangkan dalam usaha pertanian terutama pada usaha pertanian jangka panjang. Bentuk lahan selain mempengaruhi produktivitas tanaman juga berpengaruh pada resiko penurunan mutu lahan akibat erosi dan mempengaruhi besarnya intensitas pemeliharaan lahan.

15 2 Aksesibilitas lahan terkait dengan kebutuhan tenaga kerja dan efisiensi energi jangka panjang yang diperlukan untuk mengangkut masukan dan hasil dari dan ke lokasi lahan. Sistem PHBM mulai diterapkan di KPH Banyuwangi Barat pada tahun Masyarakat desa pemangku hutan diwadahi dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Sebagai mitra dalam pengelolaan hutan, masyarakat mempunyai hak untuk menentukan jenis tanaman pertanian yang diusahakan bersama tanaman pokok kehutanan. Komoditas pertanian yang ditanam dalam sistem PHBM umumnya adalah palawija atau tanaman pertanian semusim. Namun selain tanaman palawija, terdapat dua jenis tanaman tahunan yang dibudidayakan dalam sistem PHBM, yaitu kopi dan vanili. Pemilihan jenis tanaman kopi dan vanili dalam sistem PHBM di KPH Banyuwangi Barat didasarkan pada kondisi geografis dan sosial masyarakat sekitar hutan. Komoditas kopi ditanam di bawah tegakan pinus di BKPH Kalibaru, sedangkan komoditas vanili ditanam baik di lahan bekas penjarahan maupun di bawah tegakan di RPH Sroyo BKPH Rogojampi Perumusan masalah Salah satu prinsip PHBM plus adalah perencanaan partisipatif sesuai dengan karakteristik wilayah. Perencanaan partisipatif pola pemanfaatan lahan dan jenis tanaman yang ditanam disesuaikan dengan potensi lahan dan budaya masyarakat desa hutan. Perencanaan partisipatif yang telah dilaksanakan dalam pelaksanaan PHBM di KPH Banyuwangi Barat adalah penentuan jenis tanaman pertanian, sistem bagi hasil dan penentuan lokasi lahan. Penentuan lokasi lahan dilaksanakan bersama- sama antara Perhutani dan LMDH dengan pertimbangan lokasi adalah lahan kosong yang perlu ditanami dan lahan yang telah ditanami oleh komoditas pertanian sebelum pelaksanaan sistem PHBM. Preferensi adalah penetapan pilihan atas satu atau beberapa hal. Penentuan lokasi lahan PHBM dapat dilaksanakan dengan penggalian preferensi masyarakat desa hutan tentang lokasi lahan yang disukai untuk penanaman suatu komoditas pertanian. Lahan hutan yang diinginkan untuk PHBM dinilai dengan dua faktor. Faktor pertama adalah aksesibilitas lahan yang terdiri dari parameter yaitu jarak lahan dari jalan, jarak lahan dari sungai dan jarak lahan dari pemukiman. Faktor kedua adalah bentuk fisik lahan yang

16 3 terdiri dari dua parameter yaitu kelerengan dan aspek (arah lereng). Preferensi tertinggi terhadap salah satu parameter menunjukkan aspek manajemen yang dianggap paling penting dan berpengaruh terhadap pengelolaan lahan. Preferensi petani terhadap lokasi lahan perlu dipertimbangkan karena pelaksanaan PHBM yang baik sangat mempengaruhi keberhasilan tanaman pokok kehutanan. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang berfungsi untuk menyimpan dan memanipulasi informasi- informasi geografis. Salah satu kemampuan SIG yang sering digunakan adalah analisis dan pemetaan hasil manipulasi informasi geografis. Analisis spasial menggunakan SIG atau dikenal dengan pemodelan (modelling) adalah proses untuk mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data geografis (Jaya 2002). Informasi yang didapatkan dari pemodelan ini adalah lokasi lahan yang disukai petani untuk budidaya komoditas kopi dan vanili dalam sistem PHBM Tujuan Penelitian 1. Mengetahui parameter lokasi lahan untuk komoditas kopi dan vanili serta menetapkan tingkat kesesuaian lokasi PHBM yang diinginkan petani untuk komoditas kopi dan vanili berdasarkan parameter lokasi lahan. 2. Menghasilkan model spasial lokasi lahan PHBM yang diinginkan untuk komoditas kopi dan vanili di KPH Banyuwangi Barat Manfaat Penelitian 1. Diketahuinya lokasi lahan PHBM yang sesuai untuk komoditas kopi dan vanili berdasarkan preferensi masyarakat terhadap parameter lokasi lahan. 2. Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan PHBM dan bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana PHBM di KPH Banyuwangi Barat.

17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis Aronoff (1989) yang diacu dalam Prahasta (2002) Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi- informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek- objek dan fenomena di mana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran. Menurut Puntodewo dkk (2003) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Karenanya SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola, dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya (Puntodewo dkk 2003). Secara eksplisit kemampuan SIG dapat dilihat dari pengertian dan definisinya. Beberapa kemampuan SIG yang terdapat dalam Prahasta (2002) adalah: a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi (spasial dan atribut) b. Mengintegrasikan data geografi (spasial dan atribut) c. Memeriksa, meng-update (mengedit) data geografi (spasial dan atribut)

18 5 d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi (spasial dan atribut) e. Merepresentasikan atau menampilkan data geografi (spasial dan atribut) f. Mengelola data geografi (spasial dan atribut) g. Memanipulasi data geografi (spasial dan atribut) h. Menganalisa data geografi (spasial dan atribut) i. Menghasilkan keluaran (output) data geografi dalam bentuk- bentuk: peta tematik (view dan layout), tabel, grafik (chart), laporan (report), dan lainnya dalam bentuk hardcopy maupun softcopy ` Analisis dan manipulasi data geografis adalah bagian yang sangat penting dalam memecahkan masalah- masalah di dunia nyata. Analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan (modelling) adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses pemodelan, pengujian model dan interpretasi hasil model. Sedangkan analisis tabular dilakukan untuk memilih feature yang diinginkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh analis (Jaya 2002) Preferensi Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Preferensi menurut Porteus (1977) yang diacu dalam Mamiri (2008) merupakan bagian dari komponen pembuatan keputusan dari seorang individu. Secara lengkap komponen- komponen tersebut adalah persepsi, sikap, nilai dan kecenderungan. Komponen tersebut saling mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Studi perilaku individu dapat digunakan oleh ahli lingkungan dan para desainer untuk menilai keinginan pengguna (user) terhadap sesuatu obyek yang akan direncanakan. Dengan melihat preferensi dapat memberikan masukan dalam bentuk partisipasi bagi proses perencanaan. 2.3 Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan sumberdaya hutan adalah kegiatan yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam. Sedangkan yang

19 6 dimaksud dengan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional (Perum Perhutani 2001). Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 268/KPTS/DIR/2007 menetapkan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) menggantikan Surat Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM Plus adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif (Perum Perhutani 2007). Selain itu Perum Perhutani (2007) menyebutkan PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan aspek- aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi Perhutani. PHBM Plus bertujuan agar: 1. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan lebih fleksibel 2. Meningkatkan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan. 3. Meningkatkan peran Perum Perhutani, peran dan akses masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 4. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah sesuai kondisi dan dinamika sosial masyarakat desa hutan.

20 7 5. Meningkatkan sinergitas dengan Pemerintah Daerah dan stakeholder. 6. Meningkatkan usaha- usaha produktif menuju masyarakat mandiri huran lestari 7. Mendukung peningkatan IPM dengan tiga indikator: tingkat daya beli, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan. Prinsip- prinsip PHBM Plus yang tertera dalam Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007 adalah: 1. Pelaksanaan PHBM Plus diawali dengan perubahan pola pikir (mindset) pada semua jajaran di Perum Perhutani dari yang birokratif, sentralistik, kaku, ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai 2. Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah 3. Dilaksanakan dengan fleksibel, akomodatif, partisipatif dan kesadaran akan tanggung jawab sosial (Social Responsibility) 4. Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami dan pembelajaran bersama 5. Bersinergi danterintregasi dengan program- program Pemerintah Daerah 6. Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak dan kewajiban yang jelas 7. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan 8. Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan secara berkesinambungan 9. Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan hutan lestari 10. Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak Agroforestry Salah satu pemecahan masalah dalam rangka pembangunan masyarakat desa hutan adalah dengan meningkatkan kesempatan menghasilkan pangan, pakan ternak dan penyediaan kayu bakar tanpa harus mengorbankan fungsi hutan itu sendiri. Pola keterpaduan tersebut dikenal dengan istilah agroforestry yang merupakan aspek teknis dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani. Agroforestry adalah adalah sebuah nama kolektif untuk sistem- sistem penggunaan lahan atau hutan dan teknologi di mana tanaman keras berkayu (pohon- pohon, perdu, palem, bambu- bambuan dan

21 8 sebagainya) ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau hewan dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal dan di dalamnya terdapat interaksi interaksi ekologi dan ekonomi antara berbagai komponen yang bersangkutan (Nair 1993) Vanili Menurut Comber (1990) vanili (Vanilla planifolia Andrews) termasuk dalam famili Orchidaceae. Genus vanilla ini ditemukan oleh Swartz pada tahun 1799 dan famili tersebut mempunyai sekitar 165 jenis. Indonesia yang beriklim tropis sangat cocok untuk tempat tumbuh vanili yaitu pada ketinggian m dpl (Hadipoetyanti 2003). Syarat tumbuh lain bagi tanaman vanili adalah curah hujan antara mm/ tahun dan sesuai tumbuh pada tanah yang gembur (Anonim 2007) Kopi Tanaman kopi termasuk dalam famili Rubiaceae dan terdiri atas banyak jenis antara lain Coffea arabica, Coffea robusta dan Coffea liberica. Di negara asalnya, Abessinia tanaman kopi tumbuh di dataran tinggi (Ridwansyah 2003). Menurut Ernawati et al. tanaman kopi robusta dapat tumbuh baik pada ketinggian m dpl, dengan suhu udara harian sekitar C. Curah hujan rata-rata yang diinginkan antara mm/tahun dengan jumlah bulan kering antara 1 3 bulan/tahun. Tanaman kopi robusta tumbuh baik pada tanah yang memiliki ph berkisar antara 5,5 6,5 dan memiliki kandungan bahan organik minimal 2%, dengan kedalaman efektif lebih dari 100 cm dan pada tanah yang memiliki kemiringan maksimum sebesar 40%. Kondisi lingkungan tumbuh yang paling mempengaruhi perubahan morfologi, pertumbuhan dan produktivitas kopi robusta adalah tinggi tempat dan tipe curah hujan Evaluasi Lahan dan Kesesuaian Lahan Dalam Ritung et al (2007) evaluasi lahan didefinisikan sebagai suatu proses penilaian sumberdaya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu

22 9 pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Sistem evaluasi lahan dilakukan antara lain dengan menggunakan pendekatan pencocokan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Karakteristik lahan yang erat kaitannya untuk keperluan evaluasi lahan dapat dikelompokkan ke dalam 3 faktor utama, yaitu topografi, tanah dan iklim. Kesesuaian lahan menurut Balai Penelitian Tanah (2003) diacu dalam Mulyani (2007) adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Secara spesifik kesesuaian lahan untuk suatu komoditas dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi (kelas lereng), hidrologi dan drainase. Untuk melihat bagaimana kaitan antara hasil evaluasi kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan untuk pengembangannya, akan dilakukan dengan membandingkannya dengan penggunaan lahan saat ini (existing land use). Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan- masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan (Ritung 2007).

23 BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan data dilaksanakan di KPH Banyuwangi Barat pada bulan April dan Mei Pengambilan data preferensi untuk komoditas vanili dilaksanakan di LMDH Kidang Keling BKPH Rogojampi, sedangkan pengambilan data preferensi untuk komoditas kopi dilaksanakan di LMDH Bakti Rimba BKPH Kalibaru Bahan dan Alat Peralatan yang digunakan dalam kegiatan penelitian yaitu kuisioner, kamera, alat tulis dan seperangkat komputer dengan software ArcView GIS 3.2, Microsoft Excel dan Microsoft Word Batasan Penelitian 1) Lokasi pemodelan adalah di BKPH Kalibaru untuk komoditas kopi dan di BKPH Rogojampi untuk komoditas vanili. 2) Pengambilan contoh responden dilakukan di dua desa pemangku hutan yang masing- masing terletak di BKPH Kalibaru dan BKPH Rogojampi. 3) Parameter yang digunakan adalah data spasial yang berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan lahan PHBM yaitu aksesibilitas lahan (jarak dari sungai, jarak dari jalan dan jarak dari pemukiman) dan bentuk lahan (kelerengan dan arah lereng). 4) Pemukiman adalah pemukiman penduduk yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan. 5) Petani peserta PHBM adalah responden yang dianggap ahli dalam praktek pengelolaan lahan PHBM untuk komoditas kopi dan vanili. 6) Satuan lahan PHBM adalah anak petak.

24 Metode Pengumpulan Data Data sekunder Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan pustaka yang relevan. Data sekunder yang diperlukan adalah : 1) Data spasial dijital yaitu: a. Peta administrasi KPH Banyuwangi Barat b. Peta kontur c. Peta jaringan jalan d. Peta jaringan sungai atau sumber air e. Peta sebaran pemukiman 2) Data tabular yaitu: a. Lokasi lahan PHBM untuk komoditas kopi dan vanili tahun terakhir b. Informasi syarat tumbuh tanaman komoditas kopi dan vanili c. Kondisi umum lokasi penelitian Data Primer Data primer diperoleh dengan cara mewawancarai responden menggunakan kuisioner berisi pertanyaan semi terstruktur. Data preferensi untuk tiap komoditas pertanian didapatkan dengan mewawancarai 30 orang petani peserta PHBM yang dipilih secara acak. Wawancara dilaksanakan dua dalam dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mengetahui praktek pengelolaan lahan kopi dan vanili secara agroforestry, aspek pengelolaan lahan yang penting dan menentukan variabel lokasi lahan. Wawancara tahap kedua bertujuan untuk mengetahui preferensi responden terhadap variabel- variabel lokasi lahan. Selain itu dilakukan penggalian informasi tentang keadaan sosial budaya masyarakat terkait dengan kemampuan teknis pengelolaan lahan dan budidaya komoditas pertanian Pengolahan dan Analisis Data 1) Kesesuaian lahan dengan jenis komoditas PHBM Kesesuaian lahan diidentifikasi melalui studi pustaka, yaitu mencocokkan keadaan geografis lokasi penelitian secara umum dengan syarat tumbuh tanaman. Parameter kesesuaian lahan yang digunakan adalah faktor pembatas

25 12 yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yaitu topografi, jenis tanah dan keadaan iklim. 2) Pengolahan data preferensi responden a. Penentuan bobot parameter Penentuan bobot dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh masingmasing parameter terhadap pengelolaan lahan. Penentuan bobot secara kualitatif dilakukan berdasarkan penilaian ahli (expert judgement), dalam hal ini adalah responden atau petani peserta PHBM. Penentuan bobot dinilai berdasarkan tingkat kepentingan yang direpresentasikan ke dalam bentuk skor dengan tingkat nilai kardinal, yaitu parameter yang memiliki pengaruh paling kecil diberi skor paling rendah dan sebaliknya. Tabel 1 Skor tingkat kepentingan suatu parameter Tingkat Kepentingan Skor 1: Sangat penting 5 2: Penting 4 3: Cukup penting 3 4: Tidak penting 2 5: Sangat tidak penting 1 Penentuan bobot secara kuantitatif dilakukan berdasarkan perhitungan secara obyektif parameter aksesibilitas lahan dan bentuk lahan. Bobot tiap parameter dihitung dengan menggunakan persamaan: n y i = x ij j= 1 Y = r y i i= 1 yi wi = w i = 1 Y y i = skor bobot parameter ke- i n = jumlah responden x ij = skor parameter ke- i responden ke- j i = 1, 2,...r j = 1, 2, 3,...n Y = jumlah skor bobot seluruh parameter r = jumlah parameter w i = bobot parameter ke- i

26 13 b. Penentuan preferensi dominan untuk masing- masing komoditas pertanian Data hasil wawancara direkapitulasi dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan kurva. Penentuan preferensi dominan didapatkan dengan metode skoring tingkat preferensi responden terhadap variabel dalam parameter aksesibilitas lahan dan bentuk lahan. Tingkat preferensi responden terhadap parameter aksesibilitas dan bentuk lahan dibagi ke dalam 5 tingkat. Masingmasing tingkat preferensi diberi skor seperti yang tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2 Skor tingkat preferensi responden terhadap suatu parameter Tingkat Preferensi Skor 1: Sangat diinginkan 5 2: Diinginkan 4 3: Cukup diinginkan 3 4: Tidak diinginkan 2 5: Sangat tidak diinginkan 1 Untuk menghitung skor total tingkat preferensi digunakan persamaan sebagai berikut: S total = n i= 1 Keterangan: S total s i n i i ( s. n ) i i = skor total preferensi suatu variabel = skor tingkat preferensi ke- i suatu variabel = jumlah responden yang mempunyai tingkat preferensi ke- i terhadap suatu variabel = 1, 2, 3,...n c. Penghitungan skor komposit anak petak Metode digunakan untuk menghitung skor adalah analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis atau CMA). Dalam Jaya (2007) dinyatakan bahwa CMA melakukan karakterisasi lokasi berdasarkan koinsidensi spasial dari masing- masing peubah yang relevan yang mempengaruhi aktifitas yang ada atau diusulkan. Oleh karena itu CMA

27 14 memanfaatkan overlay poligon atau kemampuan manipulasi sel (raster) dari SIG. P = n i= 1 w i s i Keterangan: P = skor komposit lokasi suatu anak petak w i s i i = bobot parameter ke- i = skor parameter ke- i = jumlah parameter terpilih Skor komposit adalah kombinasi linier parameter pengelolaan lahan dan merupakan model spasial lokasi lahan PHBM untuk masing- masing komoditas. 3) Pembuatan peta dasar Peta dasar adalah peta yang akan digunakan untuk menentukan lokasi lahan PHBM. Tahapan pembuatan peta dasar adalah sebagai berikut: a. Pembuatan buffer atau penyangga pada peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta sebaran pemukiman. Jarak buffer ditentukan berdasarkan variabel dalam parameter jarak lahan dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari pemukiman. b. Analisis permukaan pada peta kontur untuk mendapatkan peta kelas lereng dan arah lereng (aspek). Kelas lereng adalah suatu informasi berbagai tingkat kemiringan lereng yang dinyatakan dalam satuan nilai tertentu, yaitu persentase atau derajat. Kelerengan lahan dikelompokkan menjadi 5 kelas seperti dalam Tabel 3. Tabel 3 Kelas lereng Kelas Persen Kemiringan Keterangan Lereng 1 0-8% Datar % Landai % Agak curam % Curam 5 > 45% Sangat curam

28 15 Arah lereng merupakan suatu nilai yang ditentukan berdasarkan arah kemiringan lereng tercuram dari masing- masing sel atau grid terhadap sel di sekitarnya. Arah lereng dinyatakan dalam satuan derajat. Pada penelitian ini arah lereng diklasifikasikan ke dalam 5 kelas. Tabel 4 Arah lereng Sudut Arah Lereng - Datar atau tidak memiliki arah 0 o -90 o Timur Laut 90 o -180 o Tenggara 180 o o Barat Daya 270 o o Barat Laut c. Overlay atau penggabungan layer peta anak petak dengan peta tiap parameter (buffer jalan, buffer pemukiman, buffer sungai, kelas lereng dan aspek). d. Pemberian skor variabel dalam tiap layer berdasarkan preferensi responden. e. Overlay semua layer parameter sehingga dihasilkan satu layer komposit yang memuat total skor semua parameter lokasi lahan. 4) Klasifikasi tingkat preferensi Tingkat preferensi responden terhadap lokasi lahan diklasifikasi dengan cara menghitung nilai maksimal dan minimal model. Nilai maksimal model didapatkan dengan cara memasukkan nilai rata- rata skor preferensi tertinggi suatu variabel ke dalam model. Sebaliknya nilai maksimal model didapatkan dengan cara memasukkan nilai rata- rata skor preferensi terendah suatu variabel ke dalam model. Selisih antara nilai maksimal dan minimal diklasifikasi menjadi 3 kelas dengan selang yang sama, yaitu kelas Sangat Diinginkan, Diinginkan dan Cukup Diinginkan. Anak petak yang memiliki skor komposit kurang dari skor komposit minimal masuk ke dalam kelas preferensi Tidak Diinginkan.

29 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyuwangi Barat merupakan bagian Unit Kerja Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Secara geografis KPH Banyuwangi Barat terletak di antara 8 o 10 LS- 8 o 20 LS dan 113 o 58 BT- 114 o 18 BT. Wilayah hutan KPH Banyuwangi Barat luas total ,16 ha secara administratif masuk dalam kabupaten Banyuwangi. Batas- batas wilayah pengelolaan hutan KPH Banyuwangi Barat adalah sebagai berikut: a. Sebelah utara berbatasan dengan KPH Banyuwangi Utara b. Sebelah timur berbatasan dengan Tanah Pemajekan c. Sebelah selatan berbatasan dengan KPH Banyuwangi Selatan d. Sebelah barat berbatasan dengan KPH Jember dan KPH Bondowoso Gambar 1 Peta KPH Banyuwangi Barat

30 17 Wilayah hutan KPH Banyuwangi Barat terdiri atas 2 Bagian Hutan, 5 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan 11 Resor Pemangkuan Hutan (RPH) seperti yang tercantum dalam Tabel 5. Tabel 5 Pembagian wilayah hutan KPH Banyuwangi Barat BH BKPH RPH Luas (Ha) Petak Kalisetail Kalisetail Sidomulyo 5.669, , 58c-h, Purwodadi 1.790,70 58a-b, Jumlah BKPH 7.460,00 Glenmore Gunungsari 3.835, Wonoasih 2.168, , 33, 34hm, Licin- Porolinggo Sumbermanggis 2.622, , 34a-g, 32 Jumlah BKPH 8.822,00 Kalibaru Kalibarumanis 4.253,70 1-7, Krikilan 3.049, , Jumlah BKPH 7.302,90 Jumlah luas petak ,90 Jumlah luas alur 106,90 Jumlah BH: ,80 Rogojampi Bayu ,90 1d, 2-11 Sroyo 1.152, Jumlah BKPH ,80 Licin Licin 601, Soko 2.168,80 1a, b,c, Jumlah BKPH 2.769,80 Jumlah luas petak ,60 Jumlah luas alur 35,76 Jumlah BH: ,36 Sumber: SP4H Biro Perencanaan SDH Malang, Tanah dan Iklim Berdasarkan survei dari Direktorat Tata Guna Tanah Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri 1986, sebagian besar jenis tanah di KPH Banyuwangi Barat adalah podsolik dan sebagian kecil berjenis regosol. Kondisi topografi bervariasi dengan ketinggian tempat mulai 50 mdpl hingga 3200 mdpl. Bagian Hutan Kalisetail memiliki keadaan lapangan berupa lereng yang membujur dari arah barat ke arah timur dari pegunungan kali Mrawan. Dari selatan ke utara terdiri dari lerenglereng curam ditumbuhi hutan alam yang sebagian merupakan hutan lindung. Bagian Hutan Licin- Porolinggo terletak di pegunungan Kali Mrawan yang membujur dari arah timur ke barat, dengan ketinggian ± 500 mdpl. Sesuai dengan sistem klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, terdapat dua tipe iklim di KPH Banyuwangi Barat, yaitu

31 18 iklim tipe C di Bagian Hutan Kalisetail dan iklim tipe B di Bagian Hutan Licin- Porolinggo Potensi Hutan KPH Banyuwangi Barat memiliki dua jenis kelas perusahaan yaitu Kelas Perusahaan Pinus dan Kelas Perusahaan Damar. Potensi hutan dan etat hutan KPH Banyuwangi Barat per kelas perusahaan berdasarkan RPKH tahun adalah sebagai berikut : Tabel 6 Potensi hutan KPH Banyuwangi Barat Kelas Perusahaan Pinus (Bagian Hutan Kalisetail) Kelas Perusahaan Damar (Bagian Hutan Licin- Porolinggo) Potensi Hutan m m 3 Etat Luas 179,55 Ha/thn 24,07 Ha/thn Etat Volume m3/tahun m3/tahun UTR 35 tahun 35 tahun Sumber: RPKH KPH Banyuwangi Barat Jangka Perusahaan Sosial ekonomi masyarakat Kawasan hutan KPH Banyuwangi Barat dilingkupi oleh masyarakat desa hutan di 22 desa hutan dalam 7 wilayah kecamatan. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar hutan, berjumlah jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagai petani sebanyak 66,20 %, pedagang 11,48% dan lain- lain 22,32% Pelaksanaan PHBM Sampai dengan bulan Februari 2008, terdapat 22 LMDH di KPH Banyuwangi Barat yang sudah berbadan hukum. Kopi dan vanili merupakan tanaman tahunan yang dibudidayakan di bawah tegakan dalam sistem PHBM. Budidaya kopi hutan dilaksanakan di BKPH Kalibaru, sedangkan budidaya vanili di RPH Sroyo BKPH Rogojampi. Komoditas pertanian lain yang diusahakan adalah kedelai di RPH Sumber Manggis dan RPH Wonoasih BKPH Glenmore, RPH Purwodadi BKPH Kalisetail, RPH Sroyo dan RPH Bayu BKPH Rogojampi. Komoditas pertanian yang ditanam disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat. Penanaman kedelai

32 19 dalam sistem PHBM direncanakan sebagai tindak lanjut program peningkatan produksi kedelai Kabupaten Banyuwangi tahun 2009 (KPH Banyuwangi Barat 2008) Budidaya Vanili secara Agroforestry Desa Bangunsari adalah salah satu desa pemangku hutan di KPH Banyuwangi Barat. Hutan pangkuan Desa Bangunsari adalah seluas 522,9 ha atau 45% dari wilayah hutan RPH Sroyo. Penanaman vanili dalam kawasan hutan dilaksanakan oleh LMDH Kidang Keling pada tahun Pemilihan vanili untuk ditanam secara agroforestry karena vanili telah lama dibudidayakan oleh masyarakat setempat di lahan pekarangan. Sehingga aspek teknis pengelolaan lahan dan tata cara budidaya vanili telah dikuasai dengan baik (Gunawan I 2006). (a) (b) Gambar 2 (a) Tanaman vanili di bawah tegakan pinus di BKPH Rogojampi (b) Buah vanili Lahan- lahan yang ditanami vanili sebagian besar adalah lahan bekas penjarahan di awal reformasi. Vanili tidak bisa ditanam terus menerus pada lahan yang sama. Setelah berumur 8-10 tahun lahan bekas tanaman vanili harus ditanami tanaman lain selama 4 tahun sebelum dapat ditanami vanili kembali. Sehingga lahan PHBM di RPH Sroyo dikelola secara tumpang sari bersama komoditas pertanian lain seperti palawija, umbi- umbian, pisang, jahe dan lidah buaya Sejarah Penanaman Kopi dalam Kawasan Hutan Tanaman kopi di dalam kawasan hutan hanya terdapat di BKPH Kalibaru. Bahkan dalam buku RPKH terdapat kelas hutan khusus untuk tanaman kopi yaitu

33 20 kerapatan (KRT) dengan jarak tanam tanaman pokok 6 x 2 m. Sistem agroforestry kopi di bawah tegakan hutan dilatarbelakangi oleh perambahan lahan hutan untuk tanaman kopi pada tahun Masyarakat sekitar hutan di wilayah BKPH Kalibaru terobsesi dengan keberhasilan perkebunan kopi di sekitar mereka yang cukup menguntungkan secara ekonomi. Pada awalnya kopi ditanam secara sembunyisembunyi di kawasan hutan yang berbatasan dengan lahan masyarakat. Pemberantasan tanaman kopi liar telah dilakukan KPH Banyuwangi Barat agar areal penanaman kopi tidak meluas. Upaya yang telah dilakukan antara lain dengan cara pembabatan, pencabutan, pembinaan masyarakat hingga melibatkan bupati. Namun kenyataan di lapangan yang terjadi adalah penanaman kopi liar semakin merajalela, bahkan merambah pada areal hutan lindung di petak 1A. Penanaman kopi diawali dengan penanaman pisang dan pohon dadap di sela- sela tanaman pokok sehingga tanaman kopi tersamar. (a) (b) Gambar 3 (a) Tanaman kopi di bawah tegakan pinus di BKPH Kalibaru (b) Tanaman palawija Sejak tahun 1969 hingga tahun 1994, areal hutan yang ditanami kopi telah mencapai luas an 719,88 ha. Pada masa reformasi, areal penanaman kopi semakin luas. Tindakan tegas dari aparat tidak dihiraukan tetapi dibalas dengan tindakan pengrusakan persemaian dan penebangan ratusan pohon pinus. Saat sistem PHBM mulai diperkenalkan pada tahun 2001, di BKPH Kalibaru diadakan kesepakatan

34 21 antara Perhutani dengan masyarakat tentang penanaman kopi secara berdampingan dengan sengon. Namun program ini tidak berhasil karena terdapat gangguan keamanan hutan dan pengrusakan tanaman. Pada tahun 2006, muncul paradigma baru sistem pengelolaan hutan yang disosialisasikan oleh Perhutani dan dikenal dengan istilah PHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat). Sistem ini menyertakan masyarakat dalam semua aspek pengelolaan hutan, tidak hanya sebagai pekerja tetapi juga sebagai mitra kerja yang sejajar dengan Perhutani. Tanaman kopi ditanam dan dikelola bersama tanaman pokok kehutanan serta terdapat sistem bagi hasil untuk hasil kayu, getah dan kopi (KPH Banyuwangi Barat 2008).

35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kesesuaian Lahan Berdasarkan survei dari Direktorat Tata Guna Tanah Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri 1986, sebagian besar jenis tanah di KPH Banyuwangi Barat adalah podsolik dan sebagian kecil berjenis regosol. Kondisi topografi bervariasi dengan ketinggian tempat mulai 50 mdpl hingga 987,5 mdpl. Sesuai dengan sistem klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, terdapat dua tipe iklim di KPH Banyuwangi Barat, yaitu iklim tipe C di Bagian Hutan Kalisetail dan iklim tipe B di Bagian Hutan Licin- Porolinggo dengan curah hujan rata- rata 1200 mm/ tahun. Kondisi lingkungan tumbuh yang paling mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman adalah tinggi tempat dan tipe curah hujan. Dalam Ernawati dkk. disebutkan tanaman kopi robusta dapat tumbuh baik pada ketinggian m dpl dengan suhu udara harian sekitar C. Agar tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik, dibutuhkan curah hujan antara mm/tahun dengan jumlah bulan kering antara 1-3 bulan/tahun. Menurut Hadipoetyanti (2003) Indonesia yang beriklim tropis sangat cocok untuk tempat tumbuh vanili yaitu pada ketinggian m dpl dengan curah hujan antara mm/ tahun. Tanaman vanili membutuhkan tanah yang bertekstur sedang, tidak terlalu dalam dengan kesuburan tanah tinggi dan kelembaban sedang sampai tinggi. Iklim merupakan hal yang penting dalam produksi tanaman dan tidak dapat dirubah oleh manusia, sedangkan topografi adalah faktor fisik lingkungan yang membatasi penggunaan lahan untuk tanaman tertentu. Faktor jenis dan kondisi tanah yang kurang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman dapat diperbaiki dengan pemberian masukan dan pengelolaan lahan, sehingga kondisi lahan mendekati kondisi yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh. Sehingga jika hanya berdasarkan pada faktor topografi dan iklim, maka tanaman kopi dan vanili sesuai untuk ditanam di seluruh wilayah KPH Banyuwangi Barat.

36 Kelayakan Sosial Jika ditinjau berdasarkan pada faktor topografi dan iklim, maka tanaman kopi dan vanili sesuai untuk ditanam di seluruh wilayah KPH Banyuwangi Barat. Namun usaha pertanian tidak hanya berdasarkan pada kesesuaian lahan tetapi juga memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat sekitar hutan. Terdapat 22 LMDH di KPH Banyuwangi Barat yang telah bekerjasama dalam kegiatan agroforestry, pengelolaan sumberdaya hutan dan pengamanan kawasan hutan. Komoditas pertanian yang ditanam secara agroforestry diusulkan oleh LMDH serta disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat. Umumnya komoditas pertanian yang diusahakan adalah tanaman semusim yang ditanam secara tumpang sari. Selain tanaman semusim terdapat dua jenis tanaman tahunan yang dibudidayakan dalam kawasan hutan yaitu kopi dan vanili. Batasan lokasi pemodelan untuk komoditas kopi hanya di BKPH Kalibaru, sedangkan untuk komoditas vanili di BKPH Rogojampi. Hal ini disebabkan karena di kedua lokasi tersebut telah dilaksanakan agroforestry dengan jenis komoditas pertanian tersebut. Sehingga pengumpulan data praktek pengelolaan lahan dan preferensi lokasi lahan dapat dilaksanakan di dua wilayah tersebut. Selain itu perlu dilakukan perbandingan antara hasil pemodelan dengan kondisi sebenarnya di lapangan untuk mengetahui apakah lahan- lahan yang terpilih dalam tiap kelas preferensi telah digunakan untuk PHBM atau tidak. Saat ini di BKPH Kalibaru terdapat tanaman kopi seluas 1.274,79 ha pada kelas hutan TKL (Tanaman Kayu Lain), TK (Tanah Kosong) dan HL (Hutan Lindung). Budidaya kopi secara agroforestry di BKPH Kalibaru merupakan upaya untuk mengatasi perambahan lahan oleh masyarakat. Komoditas kopi yang diusahakan dalam sistem PHBM hanya dikembangkan di BKPH Kalibaru. Hal ini dilatarbelakangi oleh perambahan lahan hutan untuk penanaman kopi dan upaya pihak Perhutani untuk mengembalikan kondisi tegakan sesuai dengan kelas perusahaan. Selain itu masyarakat desa sekitar hutan telah mengenal budidaya kopi dengan baik melalui usaha perkebunan kopi rakyat. Sehingga secara sosial wilayah pemodelan lokasi lahan kopi dibatasi hanya di BKPH Kalibaru.

37 24 Gambar 4 Peta lokasi pemodelan Agroforestry vanili hanya dilaksanakan di RPH Sroyo BKPH Rogojampi pada lahan hutan seluas 173,4 ha. Tujuan kerjasama ini adalah untuk merehabilitasi lahan kosong bekas penjarahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Alasan pemilihan vanili adalah pengelolaan lahan untuk vanili cukup sederhana, tidak merusak kondisi lahan hutan dan vanili telah lama dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Selain itu pada tahun 1980an, masyarakat petani Kecamatan Songgon di mana 6 desanya adalah desa pemangku hutan di BKPH Rogojampi berhasil membudidayakan vanili dan menjadi sentra produksi vanili di Jawa Timur. Sehingga aspek teknis pengelolaan lahan dan tata cara budidaya vanili telah dikuasai dengan baik oleh masyarakat. Berdasarkan faktor tersebut, lokasi pemodelan vanili dibatasi di wilayah BKPH Rogojampi.

38 Komoditas Kopi Identifikasi Parameter Lokasi Lahan Kegiatan pengelolaan lahan kopi di kawasan hutan secara garis besar terdiri dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Penyiapan lahan dan penanaman dilaksanakan sekali pada awal kegiatan, sedangkan pemeliharaan dilaksanakan mulai dari penanaman hingga pemanenan. Kegiatan dengan intensitas tertinggi dalam budidaya kopi adalah pemeliharaan yang meliputi penyiangan, pemangkasan cabang tanaman kopi, pengaturan pohon naungan, pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan penyulaman tanaman yang mati. Tanaman kopi dengan pemeliharaan yang baik dapat menghasilkan biji kopi kering hingga sebesar 6 kuintal per ha. Penyiangan gulma di sekitar tanaman kopi dilakukan bersamaan dengan penggemburan tanah dan dengan intensitas berbeda seiring umur tanaman. Pemangkasan bertujuan untuk mendapatkan cabang- cabang baru yang produktif, membuang cabang tua yang tidak produktif dan terkena hama penyakit serta menjaga tanaman tetap rendah. Intensitas kunjungan lahan kopi rata- rata sebanyak 3-4 kali dalam satu minggu dengan tujuan utama memeriksa kondisi tanaman kopi dan tanaman pokok. Sehingga apabila terdapat hama atau penyakit dapat segera diberantas sebelum menyebar ke tanaman lain. Pemangkasan pohon naungan dari jenis bukan tanaman pokok dilakukan apabila tanaman kopi telah tumbuh saling menutupi tanaman lain. Dari hasil wawancara diketahui terdapat 4 parameter lokasi lahan yang berpengaruh dan penting dalam budidaya kopi. Parameter tersebut adalah jarak lahan dari jalan, jarak lahan dari pemukiman, kelerengan lahan dan arah lereng lahan atau aspek. Jarak lahan dari jalan penting untuk pengangkutan hasil panen dan pengangkutan pupuk serta bibit tanaman. Jarak lahan dari pemukiman penting selama kegiatan pemeliharaan tanaman. Selain mempengaruhi bentuk pertumbuhan tanaman, kelerengan lahan berpengaruh dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sehari- hari dan proses pemanenan. Arah lereng lahan dianggap penting karena mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman dan hal ini mempengaruhi

39 26 produktivitas tanaman. Jarak lahan dari sungai dianggap tidak penting karena tanaman kopi tidak membutuhkan terlalu banyak air, bahkan kondisi yang terlalu lembab dapat menurunkan produktivitas kopi Model Spasial Untuk mengetahui pengaruh masing- masing parameter terhadap aspek pengelolaan lahan dilakukan pembobotan tingkat kepentingan. Penentuan bobot secara kualitatif dilakukan berdasarkan penilaian responden. Dengan metode ranking tingkat kepentingan setiap parameter direpresentasikan ke dalam bentuk skor, sehingga tingkat kepentingan dapat dihitung secara kuantitatif. Bobot parameter merupakan koefisien untuk tiap parameter lokasi lahan Jarak dari jalan Jarak dari pemukiman Kelerengan lahan Arah lereng lahan Sumber: Hasil pengolahan data Gambar 6 Diagram bobot parameter lokasi lahan kopi Dari proses pembobotan parameter tersebut diperoleh model lokasi lahan untuk komoditas kopi adalah sebagai berikut: K = 0,238x + x 1 + 0,305x2 + 0,282x3 0, 175 Keterangan: K: skor komposit lokasi lahan kopi x 3 : skor kelerengan lahan x 1 : skor jarak lahan dari jalan x 4: skor arah lereng lahan x 2 : skor jarak lahan dari pemukiman Parameter pengelolaan lahan kopi dengan bobot paling tinggi adalah jarak lahan dari pemukiman. Berarti bila dibandingkan dengan parameter lainnya, jarak lahan dari pemukiman dianggap paling penting dalam pengelolaan lahan. Jarak lahan dari pemukiman mempengaruhi intensitas kegiatan pemeliharaan tanaman. Menurut 4

40 27 petani hal yang sangat mempengaruhi produktivitas tanaman kopi adalah aspek pemeliharaan. Secara berturut- turut parameter yang dianggap penting setelah jarak lahan dari pemukiman adalah kelerengan lahan, jarak lahan dari jalan dan arah lereng lahan Preferensi Lokasi Lahan Tiap parameter lokasi lahan terdiri dari beberapa variabel. Variabel yang ditentukan berdasarkan hasil wawancara dengan responden adalah variabel dalam parameter jarak lahan dari jalan (x 1 ) dan jarak lahan dari pemukiman (x 2 ). Sedangkan variabel dalam parameter kelerengan lahan (x 3 ) dan arah lereng lahan (x 4 ) ditentukan berdasar pustaka. Tabel 7 Variabel dalam parameter lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Parameter Variabel Skor rata- rata 0,1 km (x 11 ) 5,000 Jarak lahan dari jalan (x 1 ) 0,2 km (x 12 ) 4,067 0,5 km (x 13 ) 3,200 1 km (x 14 ) 2,967 1 km (x 21 ) 5,000 Jarak lahan dari pemukiman (x 2 ) 2 km (x 22 ) 4,067 3 km (x 23 ) 3,100 4 km (x 24 ) 2,933 Datar (x 31 ) 5,000 Landai (x 32 ) 4,000 Kelerengan lahan (x 3 ) Agak curam (x 33 ) 3,000 Curam (x 34 ) 1,500 Sangat curam (x 35 ) 1,000 Datar (x 41 ) 5,000 Timur Laut (x 42 ) 4,000 Arah lereng lahan atau aspek (x 4 ) Tenggara (x 43 ) 3,000 Barat Daya (x 44 ) 1,600 Barat Laut (x 45 ) 1,000 Semua variabel dalam tiap parameter dihitung tingkat preferensinya. Tingkat preferensi diperoleh dari perbandingan total skor preferensi tiap variabel terhadap total skor tertinggi. Kurva preferensi menggambarkan tingkat preferensi tiap variabel

41 28 yang secara normatif dianggap sama dengan tingkat kegunaan tiap variabel. Dari kurva ini dapat diketahui selang nilai preferensi diinginkan dan tidak diinginkan untuk tiap parameter. Penentuan batas nilai diinginkan dan tidak diinginkan diperoleh dari wawancara. Tingkat preferensi 1 berarti sangat diinginkan, sebaliknya nilai 0 berarti sangat tidak diinginkan. 1 1 Tingkat Preferensi Jarak Lahan dari Jalan (km) Gambar 6 Kurva preferensi jarak lahan kopi dari jalan 1 1 Tingkat Preferensi Jarak Lahan dari Pemukiman (km) Gambar 8 Kurva preferensi jarak lahan kopi dari pemukiman Pada Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa semakin jauh jarak lahan dari jalan dan pemukiman, tingkat preferensi lahan tersebut semakin rendah. Parameter jarak dari jalan dan jarak dari pemukiman memiliki selang nilai preferensi diinginkan antara 0,59 sampai 1 dan tidak diinginkan nilai kurang dari 0,59. Hal ini berarti jika suatu lokasi memiliki jarak dari jalan lebih dari 1 km dan jarak dari pemukiman lebih dari 4 km, maka lokasi tersebut tidak diinginkan oleh responden. Semakin jauh jarak lahan

42 29 dari jalan dan pemukiman atau semakin rendah aksesibilitas lahan berarti dibutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang lebih tinggi untuk mencapai lokasi lahan. 1 1 Tingkat Preferensi Datar Landai Agak Curam Curam * Sangat Curam * Kelas Lereng Gambar 8 Kurva preferensi kelerengan lahan kopi Parameter kelerengan lahan dan arah lereng lahan memiliki selang tingkat preferensi diinginkan yang sama yaitu antara 0,6 sampai 1. Variabel dengan tingkat preferensi kurang dari 0,6 atau tidak diinginkan oleh responden adalah kelerengan curam dan sangat curam serta arah lereng lahan barat daya dan barat laut. Variabelvariabel yang tidak diinginkan diberi skor rata- rata 0 dan tidak berpengaruh terhadap skor komposit suatu lokasi. 1 1 Tingkat Preferensi Datar Timur Laut Tenggara Barat Daya* Barat Laut * Arah Lereng Lahan Gambar 9 Kurva preferensi arah lereng lahan kopi

43 30 Kelerengan lahan dan arah lereng lahan dengan tingkat preferensi tertinggi adalah lahan datar. Pada lahan datar tajuk tanaman kopi melengkung seperti payung dan dapat menghasilkan buah lebih banyak dibandingkan tanaman kopi yang tumbuh pada lahan yang lebih curam. Lahan yang datar juga memudahkan petani dalam mengelola lahan kopi misalnya pemeliharaan tanaman sehari- hari dan proses pemanenan kopi. Arah lereng yang disukai responden setelah datar berurutan adalah utara-timur dan timur-selatan. Menurut petani, tanaman kopi yang ditanam pada lahan dengan lereng menghadap timur akan menghasilkan buah kopi lebih banyak dibandingkan kopi yang ditanam pada lahan menghadap barat. Hal ini juga menunjukkan responden telah memahami daya dukung lahan untuk usaha pertanian berhubungan dengan kelerengan dan aspek. Berdasarkan pertimbangan di atas, variabel yang digunakan dalam menentukan nilai minimal model dibatasi sampai variabel kelerengan lahan agak curam (x 33 ) dan arah lereng tenggara (x 43 ). Kedua variabel tersebut adalah variabel bentuk lahan yang masih diinginkan oleh responden. Variabel- variabel yang tidak dinginkan responden yaitu variabel kelerengan curam (x 34 ) dan sangat curam (x 35 ) serta aspek barat daya (x 44 ) dan barat laut (x 45 ) diberi skor rata- rata 0 karena keberadaannya tidak berpengaruh terhadap skor komposit suatu anak petak Klasifikasi Tingkat Preferensi Tingkat preferensi responden terhadap lokasi lahan dapat diklasifikasi dengan cara menghitung nilai maksimal dan minimal model. Variabel yang dipilih dalam menentukan selang nilai model didasarkan pada wawancara terhadap responden. Variabel- variabel terpilih dalam parameter x 1 (jarak lahan dari jalan) dan x 2 (jarak lahan dari pemukiman) merupakan jarak terdekat dan terjauh yang masih diinginkan oleh responden. Variabel- variabel terpilih dalam parameter x 3 (kelerengan lahan) dan x 4 (arah lereng lahan) merupakan bentuk fisik lahan yang masih diinginkan oleh responden untuk budidaya kopi.

44 31 Skor komposit maksimal model sebesar 5 terdiri dari variabel jarak dari jalan 0,1 km (x 11 ), jarak dari pemukiman 1 km (x 21 ), kelerengan lahan datar (x 31 ) dan aspek datar (x 41 ). Skor komposit minimal model sebesar 2,907 terdiri dari variabel minimal yang masih diinginkan oleh responden, yaitu jarak dari jalan 1 km (x 14 ), jarak dari pemukiman 4 km (x 24 ), kelerengan agak curam (x 33 ) dan aspek timurselatan (x 43 ) Anak petak yang memiliki skor komposit kurang dari skor komposit minimal masuk ke dalam kelas preferensi tidak diinginkan. Tabel 8 Kelas preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Kelas Preferensi Skor komposit Sangat Diinginkan 4,302 5 Diinginkan 3,605 4,302 Cukup Diinginkan 2,907 3,605 Tidak Diinginkan < Berdasarkan klasifikasi skor komposit tiap anak petak diperoleh hasil seperti terdapat dalam Tabel 10. Hanya terdapat 1 anak petak yang masuk dalam kelas tidak diinginkan yaitu bagian dari petak 74 yang merupakan kawasan hutan lindung di kaki Gunung Raung. Kawasan BKPH Kalibaru yang tidak diinginkan responden untuk budidaya kopi seluas 45,95%. Petak ini memiliki kelerengan lahan rata- rata curam dan sangat curam serta terletak cukup jauh dari jalan dan pemukiman. Dalam RPKH, petak 74 juga tidak termasuk ke dalam lokasi yang digunakan untuk budidaya kopi. Tabel 10 Hasil pemodelan lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Kelas Preferensi Jumlah Anak Petak Luas (Ha) Persentase Luas (%) Sangat Diinginkan 5 0,964 0,14 Diinginkan ,995 35,09 Cukup Diinginkan ,174 18,82 Tidak Diinginkan 1 312,995 45,95 Lokasi lahan yang saat ini digunakan untuk budidaya kopi di BKPH Kalibaru memiliki kelas hutan TKL, TK dan HL (terdapat dalam Lampiran 8). Sebagian besar lokasi lahan tersebut termasuk dalam kelas preferensi diinginkan. Sedangkan dari 12 anak petak yang termasuk kelas preferensi cukup diinginkan, hanya terdapat 2 anak petak yaitu 8A dan 15F yang sudah digunakan sebagai lahan PHBM. Kedua anak

45 32 petak ini memiliki kelerengan lahan datar, landai dan agak curam dengan aspek bervariasi dan aksesibilitas yang cukup tinggi. Petak- petak yang termasuk dalam kelas preferensi sangat diinginkan memiliki kelerengan datar dan landai serta aspek yang menghadap ke tenggara dan timur laut. Anak petak- anak petak tersebut adalah 14A, 16L, 18G, 18H dan 21C yang termasuk hutan produksi. Lokasi anak petak- anak petak tersebut memiliki aksesibilitas yang cukup tinggi yaitu jarak dari jalan 100 m dan terletak sekitar 0,1 km- 1 km dari pemukiman. Namun anak petak- anak petak tersebut tersebut tidak ada yang digunakan untuk budidaya kopi Komoditas Vanili Identifikasi Parameter Lokasi Lahan Tahapan budidaya vanili di kawasan hutan terdiri dari penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Penyiapan lahan dan penanaman hanya dilaksanakan pada awal kegiatan, sedangkan pemeliharaan dilaksanakan mulai dari penanaman hingga pemanenan. Jarak tanam vanili yang dibudidayakan bersama tanaman kehutanan atau dalam kawasan hutan disesuaikan dengan jarak tanam tanaman pokok, yaitu 2 x 3 m. Pada lahan kosong bekas penjarahan, vanili ditanam secara tumpang sari bersama tanaman pertanian lain. Sedangkan bila vanili yang ditanam di bawah tegakan, hanya terdapat vanili dan pohon inang tanpa tanaman pertanian lainnya. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain pemupukan, penyiangan di sekitar perakaran vanili, pemberian mulsa, pemangkasan cabang pohon inang, pemangkasan sulur vanili serta pengendalian hama dan penyakit. Hampir setiap hari responden pergi ke lahan untuk melakukan pemeliharaan tanaman vanili dan tanaman lainnya. Intensitas pemeliharaan akan meningkat setelah penyerbukan bunga hingga panen. Bahkan menjelang panen selain pemeliharaan rutin pagi hingga siang hari, petani melakukan pengamanan buah vanili dari sore hingga setelah isya. Produksi vanili dengan pemeliharaan yang baik dapat mencapai hasil hingga 200 kg/ 0,25 ha.

46 33 Berdasarkan hasil wawancara terdapat empat parameter lokasi lahan yang dianggap penting dalam pengelolaan lahan vanili. Parameter tersebut adalah jarak lahan dari jalan, jarak lahan dari pemukiman, kelerengan lahan dan arah lereng lahan atau aspek. Jarak lahan dari jalan penting untuk pemanenan, sedangkan jarak lahan dari pemukiman penting selama kegiatan pemeliharaan tanaman. Kelerengan lahan berpengaruh dalam kegiatan pemeliharaan tanaman sehari- hari dan proses pemanenan. Arah lereng lahan dianggap penting karena mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman dan hal ini mempegaruhi produktivitas tanaman. Jarak lahan dari sungai dianggap tidak penting karena tanaman vanili tidak membutuhkan terlalu banyak air. Kondisi lingkungan yang terlalu lembab dapat menurunkan produktivitas vanili dan menyebabkan penyakit busuk batang Model Spasial Penentuan bobot parameter lokasi lahan vanili sama dengan proses penentuan bobot parameter untuk lokasi lahan kopi. Besar bobot masing- masing parameter dapat dilihat dalam Gambar 12. Menurut responden parameter pengelolaan lahan vanili yang dianggap paling penting adalah jarak lahan dari pemukiman (y 2 ). Jarak lahan dari pemukiman akan mempengaruhi intensitas kegiatan pemeliharaan tanaman sehari- hari. Selain memeriksa keadaan tanaman vanili, responden ke lahan untuk memelihara tanaman pokok dan tanaman pertanian lainnya Jarak dari jalan Jarak dari pemukiman Kelerengan lahan Arah lereng lahan Sumber: Hasil pengolahan data Gambar 12 Diagram bobot parameter lokasi lahan vanili Dari proses pembobotan parameter diperoleh model lokasi lahan untuk komoditas vanili adalah sebagai berikut: V = 0,260y + y 1 + 0,333y2 + 0,264y3 0, 143 4

47 34 Keterangan: V: skor komposit lokasi lahan vanili y 3 : skor kelerengan lahan y 1 : skor jarak lahan dari jalan y 4: skor arah lereng lahan y 2 : skor jarak lahan dari pemukiman Parameter kelerengan lahan dan jarak lahan dari jalan memiliki nilai kepentingan yang hampir sama besar. Kelerengan lahan mempengaruhi bentuk pengelolaan lahan, misalnya pada lahan yang agak curam perlu dibuat guludan untuk mencegah erosi dan mempermudah pengaturan jarak tanam vanili dan tanaman pertanian lainnya. Arah lereng lahan dianggap penting karena mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman dan hal ini mempengaruhi produktivitas tanaman. Berdasarkan wawancara, tanaman vanili yang dirawat dengan baik antara lain dengan cara penyiangan gulma, pemangkasan dan pemberantasan hama penyakit dapat menghasilkan vanili hingga kg berat basah per 0,25 ha. Sebaliknya bila tanaman vanili kurang dirawat hanya dapat dihasilkan maksimal 50 kg vanili basah per 0,25 ha Preferensi lokasi lahan Variabel lokasi lahan vanili untuk tiap parameter terdapat dalam Tabel 11. Variabel lokasi lahan vanili dalam parameter jarak lahan dari jalan (y 1 ) dan jarak lahan dari pemukiman (y 2 ) juga ditentukan berdasarkan wawancara terhadap responden, sedangkan variabel dalam parameter kelerengan lahan (y 3 ) dan arah lereng lahan (y 4 ) ditentukan berdasarkan pustaka. Perbedaan variabel dalam parameter jarak lahan dari pemukiman antara komoditas kopi dan vanili disebabkan oleh kondisi geografis lokasi dan budaya masyarakat. Lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru terletak cukup jauh dari pemukiman, dibandingkan dengan lokasi lahan vanili di RPH Sroyo BKPH Rogojampi.

48 35 Tabel 10 Variabel dalam parameter lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Parameter Variabel Skor rata- rata 0,1 km (y 11 ) 5,000 Jarak lahan dari jalan (y 1 ) 0,2 km (y 12 ) 4,000 0,5 km (y 13 ) 3,233 1 km (y 14 ) 2,933 0,2 km (y 21 ) 5,000 Jarak lahan dari pemukiman (y 2 ) 0,5 km (y 22 ) 4,100 1 km (y 23 ) 3,267 1,5 km (y 24 ) 3,000 Datar (y 31 ) 5,000 Landai (y 32 ) 4,033 Kelerengan lahan (y 3 ) Agak curam (y 33 ) 3,067 Curam (y 34 ) 1,767 Sangat curam (y 35 ) 1,000 Datar (y 41 ) 5,000 Timur Laut (y 42 ) 4,267 Arah lereng lahan atau aspek (y 4 ) Tenggara (y 43 ) 3,333 Barat Daya (y 44 ) 2,000 Barat Laut (y 45 ) 2,133 Rata- rata preferensi tiap parameter lokasi lahan vanili digambarkan dalam kurva preferensi. Kurva preferensi ini juga menggambarkan tingkat preferensi tiap variabel. Tingkat preferensi merupakan perbandingan total skor tiap variabel dengan nilai total skor maksimal suatu variabel dalam satu parameter yang sama Tingkat Preferensi Jarak Lahan dari Jalan (km) Gambar 11 Kurva preferensi jarak lahan vanili dari jalan

49 36. Pada Gambar 13 dan 14, terlihat bahwa semakin jauh jarak lahan tingkat preferensi variabel semakin kecil. Variabel jarak terdekat memiliki tingkat preferensi 1 atau paling diinginkan oleh responden dalam pengelolaan lahan vanili. Semakin jauh jarak lahan dari jalan dan pemukiman, nilai preferensinya semakin kecil atau tidak diinginkan. Hal ini terjadi karena akan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai lokasi lahan vanili yang jauh dan meningkatkan biaya pengangkutan hasil panen Tingkat Preferensi Jarak Lahan dari Pemukiman (km) Gambar 12 Kurva preferensi jarak lahan vanili dari pemukiman Parameter jarak dari jalan memiliki selang nilai preferensi diinginkan antara 0,59 sampai 1 dan tidak diinginkan nilai kurang dari 0,59. Parameter jarak dari pemukiman memiliki selang nilai preferensi diinginkan antara 0,6 sampai 1 dan tidak diinginkan nilai preferensi kurang dari 0,6. Hal ini berarti jika suatu lokasi memiliki jarak dari jalan lebih dari 1 km dan jarak dari pemukiman lebih dari 1,5 km, maka lokasi tersebut tidak diinginkan oleh responden. 1 1 Tingkat Preferensi Datar Landai Agak Curam Curam * Sangat Curam * Kelas Lereng Gambar 13 Kurva preferensi kelerengan lahan komoditas vanili

50 Tingkat Preferensi Datar Timur Laut Tenggara Barat Daya * Barat Laut * Arah Lereng Lahan Gambar 14 Kurva preferensi arah lereng lahan komoditas vanili Parameter kelerengan lahan memiliki selang tingkat preferensi diinginkan antara 0,61 sampai 1. Variabel kelerengan lahan dengan tingkat preferensi kurang dari 0,61 atau tidak diinginkan oleh responden adalah kelerengan curam dan sangat curam. Parameter arah lereng lahan memiliki selang tingkat preferensi diinginkan antara 0,67 sampai 1 dan variabel dengan nilai preferensi kurang dari 0,61 atau tidak diinginkan adalah arah lereng lahan barat daya dan barat laut. Seperti pada komoditas kopi, kelerengan lahan dan arah lereng lahan dengan tingkat preferensi tertinggi untuk lokasi lahan vanili adalah lahan datar. Lahan yang datar lebih mudah dikelola misalnya tidak perlu dibuat guludan untuk mengurangi resiko erosi. Arah lereng yang disukai responden setelah datar berurutan adalah timur laut dan tenggara. Menurut responden, tanaman vanili yang ditanam pada lahan dengan lereng menghadap timur akan produktif dibandingkan vanili yang ditanam pada lahan menghadap barat. Selain itu variabel timur laut memiliki preferensi lebih tinggi daripada tenggara karena berdasarkan pengalaman responden vanili yang di lahan dengan aspek timur laut memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Variabel yang digunakan dalam menentukan skor komposit minimal dan maksimal ditentukan berdasarkan wawancara. Semua variabel dalam parameter jarak dari jalan (y 1 ) dan jarak dari pemukiman (y 2 ) digunakan dalam model. Sedangkan parameter kelerengan lahan (y 3 ) dan aspek (y 4 ) dibatasi sampai variabel kelerengan lahan agak curam (y 33 ) dan arah lereng tenggara (y 43 ). Variabel- variabel yang tidak

51 38 dinginkan responden yaitu variabel kelerengan curam (y 34 ) dan sangat curam (y 35 ) serta aspek barat daya (y 44 ) dan barat laut (y 45 ) diberi skor rata- rata Klasifikasi Tingkat Preferensi Penentuan kelas preferensi lokasi lahan vanili sama seperti penentuan kelas preferensi lokasi lahan kopi. Skor komposit maksimal model sebesar 5 terdiri dari variabel jarak dari jalan 0,1 km (y 11 ), jarak dari pemukiman 0,2 km (y 21 ), kelerengan lahan datar (y 31 ) dan aspek datar (y 41 ). Skor komposit minimal model sebesar 3,048 terdiri dari variabel minimal yang diinginkan oleh responden, yaitu jarak dari jalan 1 km (x 14 ), jarak dari pemukiman 1,5 km (x 24 ), kelerengan agak curam (x 33 ) dan aspek tenggara (x 43 ) Anak petak yang memiliki skor komposit kurang dari skor komposit minimal masuk ke dalam kelas preferensi tidak diinginkan. Tabel 11 Kelas preferensi lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Kelas Preferensi Skor Komposit Sangat Diinginkan 4,349 5,000 Diinginkan 3,699 4,349 Cukup Diinginkan 3,048 3,699 Tidak Diinginkan < 3,048 Tabel 12 Hasil pemodelan komoditas vanili di BKPH Rogojampi Kelas Preferensi Jumlah Anak Petak Luas (Ha) Persentase Luas (%) Sangat Diinginkan 12 9,958 0,93 Diinginkan ,397 14,54 Cukup Diinginkan 6 32,808 3,07 Tidak Diinginkan 2 870,247 81,45 Hasil klasifikasi skor komposit tiap anak petak di BKPH Rogojampi untuk lokasi lahan vanili terdapat dalam Tabel 13. Terdapat 2 anak petak yang masuk dalam kelas tidak diinginkan yaitu bagian dari petak 74 dan 1D. Dua lokasi ini juga tidak digunakan untuk budidaya vanili. Keduanya merupakan bagian dari kawasan hutan lindung seluas 81,45% wilayah BKPH Rogojampi dengan kelerengan lahan rata- rata curam dan sangat curam. Walaupun aspek di areal ini cukup bervariasi, namun karena

52 39 tingkat kepentingan parameter kelerengan lahan lebih tinggi maka parameter aspek tidak berpengaruh nyata dalam penentuan kelas preferensi. Dari segi aksesibilitas lahan, kedua anak petak ini memiliki aksesibilitas yang cukup rendah dari jalan dan pemukiman. Hanya terdapat satu anak petak dengan kelas preferensi sangat diinginkan yang telah ditanami vanili yaitu anak petak 20F. Anak petak ini memiliki aksesibilitas yang cukup tinggi dari jalan dan pemukiman serta kelerengan datar dan landai. Walaupun memiliki bermacam- macam aspek, tetapi anak petak ini termasuk dalam kelas preferensi sangat diinginkan. Hal ini disebabkan tingkat kepentingan aspek hanya sebesar 14,3%, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap skor komposit lokasi lahan vanili. Lahan- lahan yang digunakan untuk budidaya vanili di RPH Sroyo sebagian besar merupakan lahan bekas penjarahan pada masa reformasi. Lahan- lahan tersebut memiliki kelas hutan TKL dengan jenis tanaman pinus (BKPH Rogojampi termasuk kelas perusahaan damar). Sebagian besar lokasi lahan vanili saat ini masuk dalam kelas preferensi diinginkan yaitu anak petak 12B, 14B, 18D, 20B, 19A, 19C dan 20I. Sedangkan dari 6 anak petak yang termasuk kelas preferensi cukup diinginkan, terdapat 1 anak petak yaitu 21E yang saat ini digunakan untuk budidaya vanili. Anak petak 21E memiliki aksesibilitas yang cukup tinggi dengan kelerengan lahan datar, landai dan agak curam.

53 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Terdapat empat parameter lokasi lahan yang berpengaruh dan penting dalam budidaya kopi dan vanili yaitu jarak lahan dari jalan, jarak lahan dari pemukiman, kelerengan lahan dan arah lereng lahan atau aspek. Aspek manajemen yang dianggap paling penting dalam budidaya kopi dan vanili dalam kawasan hutan adalah pemeliharaan, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden telah mengetahui daya dukung lahan untuk usaha pertanian dipengaruhi oleh kelerengan lahan dan arah lereng lahan. Dari hasil pemodelan didapatkan empat kelas preferensi lokasi lahan untuk komoditas kopi dan vanili. Model spasial lokasi lahan untuk komoditas kopi berdasarkan preferensi petani di BKPH Kalibaru adalah K = 0,238x1 + 0,305x2 + 0,282x3 + 0, 175x4, di mana x 1 adalah jarak lahan dari jalan, x 2 adalah jarak lahan dari pemukiman, x 3 adalah kelerengan lahan dan x 4 adalah arah lereng lahan. Verifikasi hasil pemodelan dengan kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar lokasi lahan yang saat ini digunakan untuk budidaya kopi masuk dalam kelas preferensi diinginkan. Lokasi lahan yang tidak diinginkan adalah hutan lindung dengan aksesibilitas rendah dan bentuk lahannya kurang sesuai untuk usaha pertanian. Model spasial lokasi lahan untuk komoditas vanili berdasarkan preferensi petani di BKPH Rogojampi adalah V = 0,260y1 + 0,333y2 + 0,264y3 + 0, 143y4, di mana y 1 adalah jarak lahan dari jalan, y 2 adalah jarak lahan dari pemukiman, y 3 adalah kelerengan lahan dan y 4 adalah arah lereng lahan. Sebagian besar lokasi lahan vanili saat ini masuk dalam kelas preferensi diinginkan. Hasil wawancara terhadap responden menunjukkan, pelaksanaan PHBM dengan komoditas vanili telah berjalan dengan baik. Hanya terdapat satu anak petak dengan kelas preferensi sangat

54 43 diinginkan. Sesuai dengan model, anak petak tersebut memiliki aksesibilitas yang cukup tinggi serta bentuk lahan yang mendukung usaha pertanian Saran Sistem PHBM dengan komoditas pertanian tahunan termasuk usaha pertanian jangka panjang, sehingga perlu direncanakan dengan baik salah satunya adalah perencanaan lokasi. Lahan yang dapat digunakan untuk PHBM tidak hanya lahan kosong yang perlu ditanami dan lahan yang telah ditanami oleh komoditas pertanian sebelum pelaksanaan sistem PHBM. Penentuan lokasi lahan PHBM untuk suatu komoditas pertanian, selain didasarkan pada kesesuaian lahan perlu mempertimbangkan kelayakan sosial budaya masyarakat setempat. Preferensi masyarakat atas lokasi lahan untuk budidaya suatu komoditas pertanian dapat dijadikan salah satu alat pertimbangan dalam perencanaan PHBM.

55 DAFTAR PUSTAKA Anonim Budidaya praktis beberapa tanaman di Indonesia. Bogor. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ernawati, Hasanah, Suranto Teknologi poliklonal pada budidaya kopi robusta. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Provinsi Lampung. (12 Januari 2008). Gunawan I Profil LMDH Kidang Keling dan Desa Bangunsari sebagai desa pemangku hutan. Banyuwangi. Hadipoentyanti E Status pemuliaan tanaman panili. Perkembangan Teknologi TRO Vol XV No 2 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. (17 Desember 2007). Jaya INS Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk kehutanan. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Jaya INS Tehnik- tehnik pemodelan spasial dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. KPH Banyuwangi Barat Laporan perkembangan kegiatan PHBM bulan Februari Banyuwangi. KPH Banyuwangi Barat Sekilas profil KPH Banyuwangi Barat tahun Banyuwangi. Mamiri SA Persepsi dan preferensi pengunjung terhadap fungsi dan lokasi obyek- obyek rekreasi di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Mulyani A Perkembangan pemetaan dan evaluasi kesesuaian lahan jarak pagar (Jatropha curcas L) di Indonesia. Dalam: The 2 nd Indonesian Geospatial Technology Exhibition/IGTE ; Jakarta; 30 Agustus (28 Desember 2007).

56 Nair PKR An introduction to agroforestry. Dordrecht, Netherlands: Kluwer Academic Publisher. Perum Perhutani Keputusan Ketua Dewan Pengawas PT Perhutani No.136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta: Perum Perhutani. Perum Perhutani Keputusan Ketua Dewan Pengawas PT Perhutani No.286/KPTS/DIR/2071 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus. Jakarta: Perum Perhutani. Prahasta E Konsep- konsep dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika Bandung. Puntodewo A, Dewi s, Tarigan J Sistem Informasi Geografis untuk pengelolaan sumberdaya alam. Center for International Forestry Research Bogor. (4 September 2007) Ridwansyah Pengolahan kopi. Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. (19 Januari 2008) Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H Panduan evaluasi kesesuaian lahan dengan contoh peta arahan penggunaan lahan kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia (12 Januari 2008) Seksi Perencanaan Hutan V Jember Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Damar BH Licin Porolinggo KPH Banyuwangi Barat Jangka Perusahaan 2007 s.d Jember

57 Seksi Perencanaan Hutan V Jember Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Pinus BH Kalisetail KPH Banyuwangi Barat Jangka Perusahaan 2007 s.d Jember

58 LAMPIRAN

59 Lampiran 1 Kuisioner penelitian KUISIONER PENELITIAN PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERU PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR Nomor Responden : Tanggal : I. Identitas Responden 1. Nama : Jenis kelamin : Umur : (tahun) 4. Pendidikan : Pekerjaan : Lembaga Masyarakat Desa Hutan :... II.Preferensi Responden tentang Pelaksanaan PHBM 1. Lama partisipasi responden dalam PHBM :. (bulan/ tahun) 2. Manfaat PHBM yang dirasakan : 3. Luas lahan garapan : (Hektar) 4. Cara mencapai lokasi lahan garapan : 5. Jenis tanaman pertanian dalam PHBM : 6. Kegiatan pengelolaan lahan yang dilakukan : 7. Kegiatan pengelolaan yang paling penting : 8. Kesulitan dalam pengelolaan lahan : 9. Cara pengangkutan tanaman, pupuk dan hasil panen : 10.Besarnya kebutuhan air tanaman : 11.Cara memenuhi kebutuhan air tanaman : 12.Berapa jarak lahan PHBM yang Anda miliki dari : a. Pemukiman : km b. Jalan : km c. Sungai : km 13.Berapa jarak lahan PHBM yang Anda inginkan dari : a. Pemukiman : km b. Jalan : km c. Sungai : km 14.Bentuk fisik lahan yang Anda miliki : a. Kelerengan : b. Aspek : 15.Pebedaan praktek pengelolaan bila lahan memiliki kelerengan dan aspek yang berbeda:.. 16.Bentuk fisik lahan yang Anda inginkan : a. Kelerengan : b. Aspek :

60 Lampiran 2 Kuisioner penelitian untuk komoditas kopi KUISIONER PENELITIAN PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERU PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR (Komoditas Pertanian Kopi di LMDH Bakti Rimba) Nomor Responden : Tanggal : I. Identitas Responden 1. Nama : Jenis kelamin : Umur :. (tahun) II. Preferensi Responden tentang Pelaksanaan PHBM A. Jarak lahan andil dari jalan/ alur No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. 0,1 km 2. 0,2 km 3. 0,5 km 4. 1 km B. Jarak lahan andil dari pemukiman/ desa No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. 1 km 2. 2 km 3. 3 km 4. 4 km III.Tingkat Preferensi Responden tentang Bentuk Fisik Lahan A. Kelerengan lahan untuk budidaya kopi No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. Datar 2. Landai 3. Agak Curam 4. Curam 5. Sangat Curam B. Arah lereng lahan terhadap sinar matahari No Variabel 1. Datar/ tidak memiliki arah 2. Utara- Timur (Timur Laut) 3. Timur- Selatan (Tenggara) 4. Selatan- Barat (Barat Daya) 5. Barat- Utara (Barat Laut) Tingkat Preferensi SD D CD TD STD Keterangan : SD = sangat diinginkan D = diinginkan CD = cukup diinginkan TD = tidak diinginkan STD = sangat tidak diinginkan

61 Lampiran 3 Kuisioner penelitian untuk komoditas vanili KUISIONER PENELITIAN PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERU PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR (Komoditas Pertanian Vanili di LMDH Kidang Keling) Nomor Responden : Tanggal : I. Identitas Responden 1. Nama : Jenis kelamin : Umur :. (tahun) II. Preferensi Responden tentang Pelaksanaan PHBM A. Jarak lahan andil dari jalan/ alur No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. 0,1 km 2. 0,2 km 3. 0,5 km 4. 1 km B. Jarak lahan andil dari pemukiman/ desa No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. 0,2 km 2. 0,5 km 3. 1 km 4. 1,5 km III.Tingkat Preferensi Responden tentang Bentuk Fisik Lahan A. Kelerengan lahan untuk budidaya vanili No Variabel Tingkat Preferensi SD D CD TD STD 1. Datar 2. Landai 3. Agak Curam 4. Curam 5. Sangat Curam B. Arah lereng lahan terhadap sinar matahari No Variabel 1. Datar/ tidak memiliki arah 2. Utara- Timur (Timur Laut) 3. Timur- Selatan (Tenggara) 4. Selatan- Barat (Barat Daya) 5. Barat- Utara (Barat Laut) Tingkat Preferensi SD D CD TD STD Keterangan : SD = sangat diinginkan D = diinginkan CD = cukup diinginkan TD = tidak diinginkan STD = sangat tidak diinginkan

62 Lampiran 4 Bagan alir penelitian Studi pustaka syarat tumbuh tanaman dan kesesuaian lahan Kelayakan sosial budaya masyarakat Batasan lokasi penelitian Data tabular preferensi Model spasial Klasifikasi tingkat preferensi Skor preferensi parameter anak petak Layer 1 Layer 2 Layer 3 Layer 4 Peta anak petak Peta jaringan jalan Peta anak petak Peta jaringan jalan Peta anak petak Peta jaringan jalan Peta anak petak Peta jaringan jalan Layer komposit Peta Kelas Preferensi

63 Lampiran 5 Pembobotan tingkat kepentingan parameter lokasi lahan kopi Nomor Responden Parameter Jarak dari Jalan Jarak dari Pemukiman Kelerengan lahan 1 CP P TP SP 2 CP SP TP P 3 P SP CP TP 4 SP P CP TP 5 SP P CP TP 6 CP SP P TP 7 CP SP SP P 8 SP CP SP TP 9 CP P CP TP 10 CP SP P TP 11 CP SP SP P 12 CP SP SP P 13 CP SP SP TP 14 CP SP SP TP 15 CP P P TP 16 P CP CP TP 17 CP SP SP P 18 CP P P TP 19 CP P P TP 20 CP P P TP 21 CP SP SP TP 22 CP SP SP TP 23 CP SP SP TP 24 P SP SP TP 25 TP P P P 26 CP P P TP 27 P CP CP TP 28 SP CP CP TP 29 P SP SP TP 30 CP P P TP Arah Lereng Keterangan: SP : sangat penting P : penting CP : cukup penting TP : penting

64 Lampiran 6 Pembobotan tingkat kepentingan parameter lokasi lahan vanili Parameter Nomor Responden Jarak dari Jarak dari Kelerengan Arah Jalan Pemukiman lahan Lereng 1 CP SP P TP 2 CP SP P TP 3 P SP CP TP 4 CP P SP TP 5 P SP CP TP 6 CP SP P TP 7 P SP CP TP 8 P SP CP TP 9 CP SP P TP 10 CP P SP TP 11 P SP CP TP 12 CP SP P TP 13 SP P CP TP 14 CP SP P TP 15 CP SP P TP 16 CP P SP TP 17 SP P CP TP 18 SP CP P TP 19 CP P SP TP 20 P SP CP TP 21 CP SP P TP 22 SP P CP TP 23 P SP CP TP 24 CP SP P TP 25 CP P SP TP 26 P SP CP TP 27 P SP CP TP 28 CP SP P TP 29 P SP CP TP 30 P SP CP TP Keterangan: SP : sangat penting P : penting CP : cukup penting TP : tidak penting

65 Lampiran 7 Preferensi respnden terhadap variabel lokasi lahan kopi Preferensi aksesibilitas lahan Preferensi bentuk fisik lahan Jarak lahan andil dari Jarak lahan dari No Kelerengan lahan Arah lereng lahan jalan/ alur (km) pemukiman/ desa (km) Responden agak datar landai curam sangat Utara- Timur- Selatandatar curam curam Timur Selatan Barat 1 SD D CD CD SD D CD CD SD D TD STD STD SD D CD STD STD 2 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 3 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 4 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 5 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 6 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 7 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 8 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD STD STD 9 SD D D CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD STD STD 10 SD D CD CD SD D D CD SD D CD TD STD SD D CD STD STD 11 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD STD STD 12 SD D D CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD STD STD 13 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD STD STD 14 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 15 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D D STD STD 16 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 17 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD STD STD 18 SD D D CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD STD STD 19 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 20 SD D D CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 21 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D STD TD STD 22 SD D CD CD SD SD D CD SD SD D TD STD SD D CD STD STD 23 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 24 SD SD D CD SD D CD CD SD D D TD STD SD D CD TD STD 25 SD D CD CD SD D D CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 26 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 27 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 28 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD STD 29 SD SD D CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D D TD STD 30 SD D CD TD SD SD CD STD SD CD TD TD STD SD D CD STD STD Barat- Utara

66 Lampiran 8 Preferensi responden terhadap variabel lokasi lahan vanili Preferensi aksesibilitas lahan Preferensi bentuk fisik lahan Jarak lahan andil dari Jarak lahan andil dari No Kelerengan lahan Arah lereng lahan jalan/ alur (km) pemukiman/ desa (km) Responden agak sangat Utara- Timur- Selatan- Barat datar landai curam curam curam datar Timur Selatan Barat Utara 1 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD SD SD TD TD 2 SD D D CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD SD D TD TD 3 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D D TD TD 4 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D D TD TD 5 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D TD TD TD 6 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D D TD CD 7 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 8 SD D D CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 9 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 10 SD D CD CD SD D D CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 11 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 12 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 13 SD D CD CD SD D D CD SD D CD TD STD SD D CD TD CD 14 SD D CD CD SD D D CD SD D CD STD STD SD D CD TD TD 15 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD TD 16 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD D CD TD TD 17 SD D CD CD SD SD D CD SD D CD TD STD SD D CD TD TD 18 SD D D CD SD SD D CD SD D CD STD STD SD D CD TD TD 19 SD D D CD SD D CD CD SD D CD STD STD SD SD D TD TD 20 SD D D TD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 21 SD D CD CD SD SD D CD SD D CD STD STD SD D CD TD TD 22 SD D CD CD SD D D CD SD SD D TD STD SD SD D TD TD 23 SD D CD TD SD D CD CD SD D CD STD STD SD SD D TD TD 24 SD D D CD SD D CD CD SD D D TD STD SD SD CD TD TD 25 SD D CD CD SD D D CD SD D CD STD STD SD SD D TD TD 26 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD STD 27 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD TD 28 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD TD 29 SD D D CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD D CD TD TD 30 SD D CD CD SD D CD CD SD D CD TD STD SD SD D TD TD

67 Lampiran 9 Klasifikasi preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru Kelas Preferensi Sangat Diinginkan Diinginkan Cukup Diinginkan Tidak Diinginkan Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) 14A A A F L B B A G C C A H A D F C B B G A C B B A A C B A D C C A D D B E A C B D D E E H F A B A C A D C E D A A B B C C D D E A G B H C I D A E B F C G D H E A F B G B H C I D K E M F N B A E B F A G B B C C D D E A F B I C K E L 1.374

68

69 Lampiran 10 Klasifikasi preferensi lokasi lahan vanili di BKPH Rogojampi Kelas Preferensi Sangat Diinginkan Diinginkan Cukup Diinginkan Tidak Diinginkan Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) Anak Petak Luas (ha) 11C A C D A B D A D A A B E B A D E B D E F C E E B A F B B B C C C E D D A A E G B A C B A A B A C B A C B D B A C B D C A D B E C F A G B A C B D C G D H F I G A A C B F C A D B E F 0.942

70 Lampiran 11 Lokasi lahan budidaya kopi BKPH Kalibaru No RPH Petak Luas (Ha) Kelas Hutan 1. RPH Kalibaru Manis 1 C 7,40 TKL 2 A 70,20 TK 2 D 17,00 TK 2 F 7,40 TK 2 G 27,80 TK 3 A 103,90 TK 3 A 0,70 TKL 3 C 16,30 TKL 4 A 18,90 TK 4 C 72,70 TKL 4 D 34,70 TK 4 E 2,40 TKL 4 F 1,00 TK 4 G 8,10 TKL 4 H 1,00 TK 5 B 14,50 TKL 5 D 9,50 TKL 5 E 6,20 TKL 5 H 1,60 TK 5 K 5,80 TKL 5 M 17,60 TKL 5 O 2,10 TKL 6 A 8,80 TKL 6 C 6,20 TKL 6 D 8,70 TKL 6 E 9,00 TKL 6 E 8,50 TKL 6 G 14,00 TKL 7 B 89,20 HL 7 E 45,00 TKL 7 F 50,60 HL 7 G 6,00 TK 7 H 42,00 TK 13 B 47,50 TK 13 D 10,59 TKL 13 F 8,20 TKL 13 G 2,20 TKL 14 B 41,60 TKL 14 C 7,00 TK 14 D 3,30 TK 14 G 1,80 TKL 14 K 7,50 TKL 14 L 1,30 TKL 14 M 3,90 TKL Sub total 869,69 2. RPH Krikilan 8 A 44,40 TKL 8 B 86,20 TK 10 C 15,50 TK 12 B 28,00 TK 12 C 26,40 TKL 12 E 9,10 TK 12 F 5,80 TK 15 A 0,90 TK 15 B 4,90 TKL 15 C 4,60 TK 15 D 6,70 HL 15 E 9,70 TK 15 F 5,70 HL 15 H 11,60 HL 15 I 16,40 TK 15 K 13,40 HL 16 B 62,20 TKL 16 D 1,80 TK 16 E 1,60 TK 16 F 18,20 TK 16 G 3,00 TK 16 H 0,50 TK 17 C 5,90 TKL 18 E 18,50 TKL 18 K 4,10 TKL Sub total 405,10 Luas total 1.274,79

71 Lampiran 12 Lokasi lahan budidaya vanili di BKPH Rogojampi No Petak Luas (Ha) Keterangan 12 b 10,0 Lahan bekas penjarahan 14 b 20,0 Lahan bekas penjarahan 18 d 17,0 Lahan bekas penjarahan 20 b 20,0 Lahan bekas penjarahan 20 f 12,0 Lahan bekas penjarahan 20 6,4 Lahan bekas penjarahan 21 e 30,0 Lahan bekas penjarahan 19 a 19,2 Pra tanam tahun f 12,0 Tanaman tahun c 16,8 Tanaman tahun i 10,0 Tanaman tahun 2001 Total luas 173,4

72 Lampiran 13 Peta preferensi lokasi lahan kopi di BKPH Kalibaru

PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR PEMODELAN SPASIAL PREFERENSI LOKASI LAHAN PHBM UNTUK KOMODITAS KOPI DAN KOMODITAS VANILI DI KPH BANYUWANGI BARAT PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR NURLITA INDAH WAHYUNI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik. generasi sekarang maupun yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) ARIEF KURNIAWAN NASUTION DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi ekologi dan sosial yang tinggi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 682/KPTS/DIR/2009 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DIREKTUR UTAMA PERUM PERHUTANI Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada paradigma kehutanan sosial, masyarakat diikutsertakan dan dilibatkan sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai seorang buruh melainkan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA 1 PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS ULAR SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: Yan Alfred Sigalingging 061201030 Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Widiarti 1 dan Nurlina 2 Abstrak: Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS)

KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS) KEPUTUSAN DIREKSI PERUM PERHUTANI NOMOR : 268/KPTS/DIR/2007 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT PLUS (PHBM PLUS) Menimbang : a. Surat Dewan Pengawas No. 14/042.4/Can/Dwas/2006

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah umum mengenai penanaman hutan pinus, yang dikelola oleh PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun 1967 1974. Menyadari

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak semua kerusakan alam akibat dari ulah manusia. yang berbentuk menyerupai cekungan karena dikelilingi oleh lima gunung 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumber daya yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia. Tanah menjadi media utama manusia mendapatkan pangan, sandang, papan, tambang, dan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum KPH Cepu 4.1.1 Letak Geografi dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH Cepu terletak antara 111 16 111 38 Bujur Timur dan 06 528 07 248

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI

PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia. 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB

LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB LAPORAN ECOLOGICAL SOCIAL MAPPING (ESM) 2012 FOREST MANAGEMENT STUDENT S CLUB The Exploration of Resources and Communities Interaction in Gunung Walat University Forest DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa

BAB I PENDAHULUAN. hutan negara, dimana kawasannya sudah dikepung kurang lebih 6000 desa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan penduduk di Indonesia khususnya di Pulau Jawa terus meningkat dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 9941 jiwa/km 2 (BPS, 2010) selalu dihadapkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS

ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS ANALISIS TINGKAT KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN SUMBANG KABUPATEN BANYUMAS Esti Sarjanti Pendidikan Geografi-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh PO.BOX. 202 Purwokerto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER

PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KECAMATAN SUMBERBARU KABUPATEN JEMBER KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Program

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : AGNES HELEN R. PURBA 080303065 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S.

KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. KAJIAN KELESTARIAN TEGAKAN DAN PRODUKSI KAYU JATI JANGKA PANJANG KPH BOJONEGORO PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR CHRISTINA BASARIA S. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilaksanakan pada Desember 2015 - Februari 2016. Dilaksanakan pada : 1) Lahan pertanian di sekitar

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS PENELITIAN KELOMPOK LAPORAN PENELITIAN PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ANALISA POTENSI SUMBER DAYA LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS Oleh : Budi Gunawan, ST, MT. Drs. RM Hendy Hendro H,M.Si

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG Sidang Ujian PW 09-1333 ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG IKA RACHMAWATI SURATNO 3606100051 DOSEN PEMBIMBING Ir. SARDJITO, MT 1 Latar belakang Luasnya lahan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o 40 30 LS-6 o 46 30 LS dan 106

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS KOPI ARABIKA DI KABUPATEN SOLOK

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS KOPI ARABIKA DI KABUPATEN SOLOK ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN KOMODITAS KOPI ARABIKA DI KABUPATEN SOLOK Feri Arlius, Moh. Agita Tjandra, Delvi Yanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DALAM SISTEM AGROFORESTRY Oleh: Totok Dwinur Haryanto 1 Abstract : Cooperative forest management is a social forestry strategy to improve community prosperity.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) Geo Image 4 (1) (2015) Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage ANALISIS KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN DI KABUPATEN BOYOLALI

Lebih terperinci

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Lokasi : Desa Seneng, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat RPH Maribaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor,

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4 E.7 PEMETAAN PARAMETER LAHAN KRITIS GUNA MENDUKUNG REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SPASIAL TEMPORAL DI KAWASAN MURIA Hendy Hendro

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 34 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian terdahulu yang dilakukan di Jawa Barat. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bahwa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Agustus 2007, bertempat di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB). Taman Nasional Gunung Merbabu

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Lokasi yang dijadikan fokus penelitian berlokasi di TWA Cimanggu Sesuai administrasi pemangkuan kawasan konservasi, TWA Cimanggu termasuk wilayah kerja Seksi Konservasi

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta lokasi penelitian

Gambar 3 Peta lokasi penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian mengenai kajian penentuan rute kereta api yang berwawasan lingkungan sebagai alat transportasi batubara di Propinsi Kalimantan Selatan ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan seperti yang diamanatkan UU No. 41 tahun 1999 pasal 2 dan 3 harus berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga

BAB I PENDAHULUAN. lapangan kerja dan memberikan kesempatan membuka peluang berusaha hingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan dari masa ke masa senantiasa memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peranan sumberdaya hutan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. melampaui dua tahapan, yaitu ekstraksi kayu dan pengelolaan hutan tanaman. mengikuti paradigma baru, yaitu kehutanan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Jawa telah melewati waktu yang amat panjang, khususnya untuk hutan jati. Secara garis besar, sejarah hutan jati di Jawa telah melampaui

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN

1 BAB I. PENDAHULUAN 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia, merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH

ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH ANALISIS KEBIJAKAN PENEBANGAN RATA TANAH UNTUK POHON JATI (Tectona grandis Linn f ) di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur RIZQIYAH DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA Agus Rudiyanto 1 1 Alumni Jurusan Teknik Informatika Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta Email: a_rudiyanto@yahoo.com (korespondensi)

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis di Provinsi Jawa Barat

Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis di Provinsi Jawa Barat Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 2133 ISSN 2338350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pemetaan Potensi Sumber Daya Perkebunan untuk Komoditas Strategis DIAN PERMATA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan.

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI. Oleh:

PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI. Oleh: PENDUGAAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN TANAMAN KOPI (Coffea Sp.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN DAIRI SKRIPSI Oleh: LEDI KISWANTO BARUS 080303050 AET - TNH PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci