BAB II KAJIAN PUSTAKA. Diabetes melitus (DM) adalah sindrom gangguan metabolisme yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Diabetes melitus (DM) adalah sindrom gangguan metabolisme yang"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus (DM) adalah sindrom gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia akibat salah satu dari defisiensi absolut sekresi insulin atau berkurangnya efektivitas biologis insulin, atau keduanya (Masharani dkk., 2004). DMT2 adalah tipe diabetes yang paling banyak dan terjadi pada sekitar 135 juta penduduk di seluruh dunia. DMT2 adalah penyebab kematian yang utama baik di negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada penelitian di tujuh desa di Bali dengan situasi masyarakat yang berbeda, yaitu daerah pantai, pegunungan, daerah tujuan wisata, dan daerah urban, didapatkan prevalensi DMT2 sebanyak 5,1%. Sementara itu glukosa darah puasa terganggu atau impaired fasting glucose (IFG) didapatkan sebanyak 13,1% (Suastika dkk., 2011). 2.2 Faktor Genetik dalam Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Secara genetik, DM dapat bersifat monogenik dan poligenik. Gen yang terlibat dalam DMT2 lebih banyak bersifat poligenik sehingga lebih sulit diidentifikasi dan lebih sulit ditentukan. Bentuk poligenik dari DMT2 memiliki patofisiologi dan genetik yang kompleks, dan faktor lingkungan berperan penting. Manifestasi fenotipe DMT2 kompleks yang meliputi resisten terhadap aksi insulin di otot, 7

2 8 lemak, dan hati, defek sekresi insulin pada sel beta pankreas, dan peningkatan produksi glukosa hepatik (Buse dkk., 2011). Resistensi insulin di otot dan hati disertai dengan gangguan sekresi insulin dari sel beta pankreas merupakan inti dari gangguan yang terjadi pada DMT2, dan disebut sebagai triumvirate (DeFronzo, 2009). Pengertian faktor-faktor yang berperan pada patogenesis DMT2 berkembang dari tiga komponen menjadi delapan komponen dan disebut omnious octet, terdiri dari perubahan neurotransmitter di otak bersama dengan 7 komponen lain yaitu: resistensi insulin di otot dan di hati, gangguan sekresi insulin dari sel beta pankreas, peningkatan produksi glukagon dari sel alfa pankreas, penurunan efek inkretin, peningkatan lipolisis, dan peningkatan reabsorpsi glukosa di ginjal (DeFronzo, 2009) Gen-gen yang diduga berkaitan dengan DMT2 Sejak tahun 2007 pemahaman tentang dasar genetik DMT2 meningkat secara dramatis. Pada awalnya studi genetik didasarkan atas pendekatan melalui gen kandidat (candidate gene approach) dan linkage studies, yaitu menentukan regio DNA mikrosomal yang sama pada keluarga yang terkena. Pendekatan ini dapat mengidentifikasi gen-gen penting yang berkaitan dengan diabetes. Setelah GWAS, jumlah gen yang dapat diidentifikasi meningkat secara dramatis. GWAS mengidentifikasi genome pada kasus dan kontrol untuk menentukan SNP yang berasosiasi dengan penyakit. Pendekatan ini bergantung pada sejumlah faktor termasuk lengkapnya Human Genome Project, genotyping dari 3,8 juta SNP dan identifikasi haplotype-tagged SNP oleh International Hap Map Project, teknologi

3 9 genotyping yang digunakan, alat analisis serta metode interpretasi data dengan jumlah data yang begitu besar (Buse dkk., 2011). Studi yang dilaporkan Lyssenko dkk, 2008 memberi banyak informasi tentang gen-gen yang berkaitan dengan DMT2. Studi ini dilakukan di Swedia ( orang dari Malmo Preventive Study atau MPP) dan Finlandia (2.770 orang dari The Botnia Study). Subyek diikuti selama 23,5 tahun dari fase awal saat glukosa darah normal. Sebanyak (11,7%) dari sampel ini menjadi DMT2 pada akhir studi. Genotyping 16 SNP menunjukkan bahwa varian dari 11 gen (TCF7L2, PPARG, FTO, KCNJ11, NOTCH2, WFS1, CDKAL1, IGF2BP2, SLC30A8, JAZF1, dan HHEX) secara signifikan berasosiasi dengan risiko DMT2 tidak bergantung pada faktor risiko klinis. Faktor risiko klinis yang dinilai meliputi riwayat keluarga dengan DMT2, peningkatan indeks massa tubuh, peningkatan kadar enzim hati, dan riwayat merokok. Varian-varian yang diperiksa secara spesifik pada penelitian Lyssenko dkk., 2008 adalah sebagai berikut: TCF7L2 (rs ), KCNJ11 (rs5219), PPARG (rs ), CDKAL1 (rs ), IGF2BP2 (rs ), CDKN2A/CDKN2B (rs ), FTO (rs ), HHEX (rs ), SLC30A8 (rs ), WFS1 (rs ), JAZF1 (rs864745), CDC123/CAMK1D (rs ), TSPAN8/LGR5 (rs ), THADA (rs ), ADAMTS9 (rs ), dan NOTCH2 (rs ). Sebanyak 16 SNP yang diperiksa ini merupakan SNP yang konsisten berasosiasi dengan DMT2 berdasarkan studi potong lintang pada GWAS. Sebanyak 8 varian dari gen ini juga berasosiasi dengan gangguan fungsi sel beta. Varian gen yang paling memprediksi

4 10 progresi dari normal menjadi DMT2 adalah TCF7L2 (rasio odds atau RO 1,27; p=2, ), PPARG (RO 1,15; p=0,03), FTO (RO 1,16; p=7,2 10 4), KCNJ11 (RO 1,11; p=0,01), WFS1 (RO 1,13; p=0,004), CDKAL1 (RO 1,21; p=0,05), IGF2BP2 (RO 1,12; p=0,01), dan SLC30A8 (RO 1,11; p=0,02). Varian yang memprediksi transisi dari prediabetes (impaired fasting glucose atau impaired glucose tolerance) menjadi DMT2 adalah TCF7L2 (RO 1,30; p=2,7 10 5), PPARG (RO 1,29; p=0,004), KCNJ11 (RO 1,15; p=0,02), dan FTO (RO 1,13; p=0,03) (Lyssenko dkk., 2008) Temuan regio pada kromosom 10q sebagai awal penelitian asosiasi gen TCF7L2 dengan DMT2 Pada awal tahun 1999, Duggirala dkk. melaporkan bahwa regio pada kromosom 10q berhubungan dengan DMT2 pada orang Meksiko-Amerika. Reynisdottir dkk., 2003 mendapatkan hubungan yang sama pada populasi di Islandia. Pada tahun 2006 Grant dkk. melaporkan temuan adanya potensi hubungan antara polimorfisme TCF7L2 dengan risiko DMT2. Mereka melakukan genotiping terhadap 228 penanda mikrosatelit pada kromosom 10q. Mikrosatelit DG10S478 yang berlokasi pada intron 3 dari gen TCF7L2, berasosiasi dengan DMT2. Hasil serupa juga didapatkan pada kohort di Denmark dan USA (Grant dkk., 2006). Dua SNPs, rs dan rs , memiliki asosiasi disequilibrium yang kuat (strong linkage disequilibrium) dengan DG10S478 dan juga menunjukkan asosiasi yang kuat dengan DMT2.

5 Studi gen TCF7L2 pada ras kaukasia di Eropa dan Amerika Evaluasi asosiasi gen TCF7L2 dengan DMT2 membutuhkan replikasi dan penilaian pada sampel dengan jumlah yang banyak. Studi kasus kontrol di UK menggunakan 4 SNP (rs , rs , rs , rs ) pada DMT2 dan kontrol dilengkapi dengan analisis asosiasi berdasarkan keluarga pada 388 orang tua-anak trios (parent-offspring trios). Pada studi ini semua SNP menunjukkan asosiasi kuat dengan diabetes, yang paling kuat adalah rs (risiko relatif allele-wise 1,36 [95% CI 1,24 1,48], p=1,3 x10-11 ). Analisis berbasis keluarga menunjukkan bukti adanya asosiasi pada semua lokus (misal rs , transmisi 62%, p=7 x 10-5 ) tanpa ada efek pada orangtua. Frekuensi genotipe TCF7L2 yang berasosiasi diabetes lebih besar pada kasus dengan riwayat diabetes dan onset diabetes yang dini (rs , p=0,02); risiko di populasi yang diperkirakan dari kasus yang tidak terseleksi adalah ~16%. Secara keseluruhan bukti asosiasi varian ini adalah p=4,4 x bila dikombinasi dari kasus kontrol dan analisis berbasis keluarga untuk rs Angka ini melewati kriteria signifikan berdasarkan genome-wide dan mempertegas bahwa TCF7L2 merupakan gen yang penting yang menentukan kerentanan terhadap terjadinya DMT2 (Groves dkk., 2006). SNPs yang diteliti oleh Grant secara ekstensif diteliti oleh peneliti lain pada group etnik yang berbeda. Pada studi kasus kontrol (886 kasus dan 896 kontrol) di USA, varian gen TCF7L2 khususnya rs (T/G) berasosiasi dengan DMT2 pada ras Kaukasia. Frekuensi allele T lebih tinggi pada kasus dibanding kontrol; tiap kopi allele T berasosiasi 1,32 lipat (p=0,0002) dan 1,53

6 12 lipat (p<0,0001) lebih tinggi pada DMT2 wanita dan laki. Rasio odds (95% CI) karier homozygote allele T adalah 1,86 (1,30 2,67) pada wanita dan 2,15 (1,48 3,13) pada laki. Risiko diabetes pada populasi berasosiasi dengan allele T adalah 14,8 and 22,3% untuk wanita dan laki-laki. Pada meta analisis terhadap kasus dan kontrol, tiap kopi allele T berasosiasi dengan peningkatan risiko 1,48 (p<10-16 ). Temuan pada penelitian ini mengkonfirmasi bahwa gen TCF7L2 merepresentasikan lokus penting untuk memprediksi terjadinya DMT2 (Zhang dkk., 2006). Penelitian GWAS mengidentifikasi 5 lokus yang mengandung varian yang berisiko untuk berkembang menjadi DMT2 berdasarkan beda signifikan yang paling tinggi dari frekuensi genotipe antara kasus DMT2 dengan kontrol sehat, termasuk di dalamnya mengkonfirmasi asosiasi TCF7L2 dengan DMT2 (Sladek dkk, 2007). Di antara semua SNP maka rs dan rs yang paling kuat berasosiasi dengan DMT2 (Helgason dkk., 2007). Laporan lain menunjukkan bahwa rs memiliki efek yang paling kuat pada orang kulit putih (Goodarzi dan Rotter, 2007). Pada Framingham Offspring Study sebanyak anggota keluarga diperiksa asosiasi genetik menggunakan metode Affymetrix 100K SNP array. Tiga penanda kadar gula pada diabetes yang diperiksa adalah kadar glukosa darah puasa, hemoglobin A1c, 28-yr time-averaged fasting plasma glucose (tfpg)), dan tiga penanda insulin yang diperiksa adalah insulin puasa, HOMA-IR, dan indeks sensitivitas insulin menit. Dari penelitian ini didapatkan 415 SNP yang berasosiasi (p<0,001) sedikitnya dengan satu dari enam pemeriksaan kuantitatif

7 13 tersebut dan 128 SNP berasosiasi dengan insiden diabetes. Penelitian ini mengkonfirmasi asosiasi gen TCF7L2 dengan diabetes (Meigs dkk., 2007). Pada dua kohort independen populasi Skandinavia, genotipe CT/TT dari rs memprediksi dengan kuat terjadinya DMT2 di kemudian hari (Lyssenko dkk. 2008) Studi gen TCF7L2 pada populasi Arab Data dari studi pada populasi Arab mengkonfirmasi asosiasi antara alel rs t dengan DMT2 (Amoli dkk., 2010) Studi gen TCF7L2 pada populasi Asia Penelitian kasus kontrol pada populasi India (DMT2=955, kontrol=399) yang memeriksa 3 SNP TCF7L2 (rs , rs dan rs ) mendapatkan asosiasi kuat DMT2 dengan semua SNP, yaitu rs (RO1,50 interval kepercayaan atau IK 95% 1,24 1,82; p=4, ), rs (RO1,48; IK 95% 1,24 1,77; p=2,0 10) dan rs (RO 1,46; IK 95% 1,22 1,75; p=3, ). Dari ketiga varian ini risiko relatif pada homozygote lebih kuat dibanding heterozygote, yang paling kuat adalah rs (RO 2,28; IK 95% 1,40 3,72 vs. RO 1,43; IK 95% 1,11 1,83). Tidak didapatkan asosiasi dengan umur pada saat terdiagnosis, BMI atau WHR, namun rs berasosiasi dengan kadar glukosa puasa lebih tinggi (p=0,001), kadar glukosa 2 jam setelah makan (p=0,0002) dan nilai HOMA-IR yang lebih tinggi (p=0,012) pada subyek nondiabetes (Chandak dkk., 2007).

8 14 Pada populasi Asia, frekuensi SNPs rs dan rs agak rendah. Tapi asosiasi DMT2 dengan SNPs ini diidentifikasi pada dua kohort yang besar di Jepang (Hayashi dkk., 2007; Horikoshi dkk, 2007). SNP TCF7L2 yang berasosiasi dengan DMT2 teridentifikasi pada populasi Cina. SNP rs diidentifikasi oleh Chang dkk. pada populasi Cina Han di Taiwan (Chang dkk., 2007). SNP rs teridentifikasi pada populasi Cina Hongkong (Ng dkk., 2007; Van Vliet-Ostatchouk dkk., 2007). Pada studi kasus kontrol pada populasi Cina Hongkong yang meneliti 22 SNP dari gen TCF7L2 yang berasosiasi dengan DMT2, diidentifikasi rs yang sebelumnya sudah diidentifikasi di Jepang, sedangkan rs tidak berasosiasi dengan diabetes. Penelitian ini mengidentifikasi SNP yang lain yaitu rs allele G, yang berlokasi di blok disequilibrium yang berdekatan, yang mengubah risiko independen untuk DMT2 (RO 1,43; IK 95% 1,14-1,79) dan berkontribusi sebagai risiko (contributed high-population attributable risk) 42%. Penelitian ini mereplikasi asosiasi dengan rs dan haplotipe untuk DMT2 di keluarga sampel (p<0,05) (Ng dkk., 2007). Pada penelitian di Bali, TCF7L2 rs juga berasosiasi dengan obesitas dan profil lipid. Tidak seperti penelitian sebelumnya, tidak didapatkan asosiasi rs , rs , dan rs dengan diabetes, namun didapatkan bahwa kadar glukosa darah pada genotipe CT secara signifikan lebih tinggi dibandingkan genotipe CC dan TT pada rs (Saraswati dkk., 2011).

9 Studi gen TCF7L2 pada populasi Afrika Penelitian kasus kontrol (675 kasus DMT2 dan 377 kontrol) yang dilakukan di rumah sakit di Kumasi Ghana untuk mencari asosiasi antara beberapa varian genetik (TCF7L2 rs , KCNJ11 rs5219, PPARγ rs and CAPN10 rs , rs , dan rs ) dengan DMT2, menunjukkan bahwa frekuensi alel T dari TCF7L2 rs (T) adalah 0,33. Angka ini sebanding dengan frekuensi pada Kaukasian, namun asosiasi alel ini dengan DMT2 lebih lemah (dengan model multivariat, alel ini meningkatkan risiko DMT2 39%, IK 95% 1,07-1,81; p=0,014). Sedangkan alel risiko KCNJ11 (G) dan alel protektif PPARγ (G) tidak didapatkan (Danquah dkk., 2013) Studi gen TCF7L2 pada diabetes gestasional Penelitian kasus kontrol pada 826 ibu diabetes gestasional dan kontrol sehat di Swedia (the Diabetes Prediction in Skåne Study), mempelajari SNP TCF7L2 rs , rs dan rs Genotipe heterozygote CT, GT dan TC dari rs (T merupakan alel risiko untuk DMT2), rs (T: alel risiko) dan rs (C: alel risiko) dan homozygote TT, TT dan CC dari rs , rs dan rs , berasosiasi kuat dengan diabetes gestasional (p<0,0001). Asosiasi SNP gen TCF7L2 dengan diabetes gestasional independen terhadap ada atau tidaknya HLA-DQB1*0602 dan autoantibodi terhadap sel beta dan faktor-faktor lain termasuk usia ibu, jumlah kehamilan, riwayat diabetes dalam keluarga, dan genotipe HLA-DQ yang lain (Papadopoulou dkk., 2011).

10 16 Penelitian lain yang melibatkan 1460 subyek terdiri dari 347 DMT2, 261 diabetes gestational, 147 anak dari penderita diabetes, dan 329 wanita dengan polycystic ovary syndrome (PCOS), dan 376 kontrol, juga mempelajari tentang tiga SNP yang sama dari TCF7L2 yaitu: rs ; rs ; dan rs pada populasi Czech. Haplotipe CTT menunjukkan asosiasi yang kuat dengan DTM2 yaitu RO 1,57; p=0,0003, frekuensi haplotipe CTT/CTT ini lebih rendah pada pada kelompok yang lain, yaitu: diabetes 10,6%, anak penderita diabetes 9,5%, diabetes gestasional 6,1%, kelompok kontrol 5,3% dan PCOS 4,9% (Vcelak dkk., 2012) Meta analisis tentang asosiasi SNP gen TCF7L2 dengan DMT2 Meta analisis penelitian-penelitian yang dikumpulkan melalui PubMed, the Cochrane Library, dan Embase dari tahun 2006 sampai 2012 tentang asosiasi rs gen TCF7L2 dengan DMT2 pada populasi di dunia menunjukkan bahwa rs berasosiasi secara signifikan dengan DMT2 pada populasi global. Meta analisis ini meliputi 33 artikel dan 42 penelitian (total kasus dan kontrol). Penelitian ini meliputi 6 penelitian di Eropa, 14 pada populasi Kaukasia, 17 di Asia, 2 di Afrika, dan 3 di Amerika (Wang dkk., 2013a). TCF7L2 berasosiasi dengan DMT2 pada berbagai populasi, namun hasilnya kontradiktif pada populasi China dan Pima Indian. Metaanalisis terhadap 36 penelitian meliputi rs , rs , rs , dan rs , meliputi kasus DMT2 dan kontrol, keempat varian TCF7L2 berasosiasi dengan DMT2 (Tong dkk., 2009).

11 17 Meta analisis tentang asosiasi SNP gen TCF7L2 dengan DMT2 pada populasi China melalui PubMed, The Cochrane Library, dan Embase dari Januari 2007 sampai Februari 2012 mendapatkan sebanyak 21 artikel yaitu 7 artikel meneliti tentang rs (3.942 kasus dan kontrol), 8 artikel tentang rs (3.377 kasus dan kontrol), dan 14 artikel tentang rs (7.902 kasus dan kontrol). SNP rs dan rs gen TCF7L2 tidak berasosiasi dengan risiko DMT2, sedangkan rs berasosiasi dengan DMT2 pada populasi China baik di bagian Utara maupun Selatan (Wang dkk., 2013b). Untuk memahami dasar genetik DMT2 beberapa konsorsium di bidang diabetes yaitu DIAbetes Genetics Replication And Meta-analysis (DIAGRAM) Consortium, Asian Genetic Epidemiology Network Type 2 Diabetes (AGEN-T2D) Consortium, South Asian Type 2 Diabetes (SAT2D) Consortium, Mexican American Type 2 Diabetes (MAT2D) Consortium and Type 2 Diabetes Genetic Exploration by Next-generation sequencing in multi-ethnic Samples (T2D- GENES) Consortium, merangkum data meta-analisis dari genome-wide association studies (GWAS), meliputi kasus dan kontrol baik dari Eropa, Asia Timur, Asia Selatan, Meksiko dan Meksiko-Amerika. Dari semua grup, nampaknya terdapat konsistensi dari alel risiko yang didapat dari penelitian sebelumnya, termasuk TCF7L2, meski kalau dilihat dari tiap SNP asosiasinya lemah. Dengan melihat signal paling kuat dari asosiasi yang didapat dari meta analisis trans-etnik, diidentifikasi tujuh lokus baru yang berasosisasi dengan DMT2. Hasil ini menunjukkan keuntungan GWAS trans etnik untuk dapat

12 18 memahami peranan arsitektur genetik dalam mempelajari patogenesis penyakit pada manusia (Diagram Consortium, 2014). 2.3 Peranan GLP 1 pada Sekresi Insulin GLP1 dan GIP adalah hormon inkretin yang disekresikan sebagai respon terhadap makanan dan meningkatkan sekresi insulin (Nauck dkk., 1993; Kjems dkk., 2003; Visboll dkk., 2003). Penurunan respon inkretin dapat berkontribusi terhadap gangguan respon insulin pada pasien DMT Struktur molekul GLP1 GLP1 merupakan protein yang dihasilkan dari gen proglukagon atau glucagon gene (gcg). Gen proglukagon terdiri dari 6 ekson dan 5 intron (Mojsov dkk., 1986). Gen proglukagon mengkode prekursor glukagon, GLP1, dan GLP2, pada ekson yang berbeda. Gen proglukagon menghasilkan salah satu dari ketiga peptide sesuai dengan proses post translansi yang bersifat jaringan spesifik, misalnya di sel alfa pankreas akan dihasilkan glukagon (tidak dihasilkan GLP1 dan GLP2). Di sel intestin akan dihasilkan GLP1 dan GLP2 (tidak dihasilkan glukagon) (Kieffer dan Habener, 1999). Sekuen tranksrip mrna identik di pankreas, intestin dan otak, namun produk post translasi menghasilkan protein yang berbeda di tiap-tiap organ. Di pankreas yang dihasilkan adalah 1) glicentin-related pancreatic peptide, 2) glukagon dan 3) peptide panjang yang mengandung sekuen GLP1 dan GLP2. Di sel L intestin dihasilkan glicentin, oxyntomodulin, GLP1 dan GLP2. Proses lanjutan di sel L menghasilkan bentuk terputus dan berikatan dengan amide yaitu

13 19 GLP1(1-36), GLP1(7-36), dan GLP1(7-37). Di otak, proses yang terjadi mirip seperti di intestin (Blázquez dkk., 2002). Pada fase awal, yang dikenal adalah GLP1(1-37), namun yang bersifat aktif in vivo dan dikenal oleh reseptor di pankreas adalah dua bentuk dengan N- terminal yaitu GLP1(7-37) dan GLP1(7-36) (Drucker dkk, 1987; Holst dkk., 1987; Mojsov dkk 1987). GLP1(1-37) terdiri dari 37 asam amino, GLP1(7-37) terdiri dari 31 asam amino, dan GLP1(7-36) terdiri dari 30 asam amino Sekresi dan Metabolisme GLP1 GLP1 disekresikan dari sel L di intestine bagian bawah, sedangkan di intestine bagian atas hormon inkretin lain yaitu GIP disekresikan dari sel K. Sekresi GLP1 bersifat bifasik diawali sekresi fase awal (dalam menit) dan diikuti dengan sekresi fase kedua yang lebih panjang (30-60 menit). Stimulus dari puncak kadar GLP1 paska makan dimediasi secara tidak langsung melalui jalur neuroendokrin, meski hal ini masih dalam tahap penelitian. Secara in vivo GLP1 disekresikan dalam beberapa bentuk yaitu: GLP1(1-37) dan GLP1(1-36) dalam bentuk inaktif, serta GLP1(7-37) dan GLP1(7-36) yang aktif secara biologis. Pada manusia, yang predominan adalah GLP1(7-36) (Asmar M, 2011). Waktu paruh GLP1 utuh (intact) di sirkulasi pendek, kurang dari 2 menit, karena GLP1 bentuk aktif cepat didegradasi menjadi bentuk tidak aktif dengan cara memotong dua asam amino NH2 terminal. Metabolit yang terbentuk adalah GLP1(9-37) atau GLP1(9-36) yang bersifat inaktif terhadap sekresi insulin (Deacon dkk., 1995; Hansen dkk., 1999). Beberapa studi menunjukkan bahwa

14 20 bentuk metabolit ini memiliki aktivitas terhadap sistem kardiovaskular. Sebagian besar GLP1 yang keluar dari saluran cerna telah berada dalam bentuk metabolit dan hanya 25% dari GLP1 yang disekresikan masuk ke dalam vena porta dalam bentuk utuh (Hansen dkk., 1999). Metabolit GLP1 dieksresikan melalui ginjal. Waktu paruh plasma GLP1 utuh atau GLP1(7-36) pada orang normal adalah 2,3±0,4 menit, sedangkan waktu paruh metabolit GLP1(9-36) adalah 3,3±0,4 menit. Waktu paruh GLP1 utuh dan metabolit GLP1 lebih panjang pada gangguan fungsi ginjal, yaitu masing-masing 3,4±0,6 menit dan 5,3±0,8 menit. Konsentrasi GLP1 utuh hanya meningkat sedikit setelah pemberian glukosa. Tidak ada perbedaan antara kelompok normal ataupun dengan gangguan fungsi ginjal. Sebaliknya, konsentrasi metabolit GLP1(9-36) secara signifikan meningkat sebagai respon terhadap beban glukosa oral. Kadar GLP1(9-36) pada gangguan fungsi ginjal kronik secara signifikan lebih tinggi dari subyek normal (Meier dkk., 2004). GLP-1 dengan cepat mengalami degradasi proteolitik oleh enzim DPP4, sehingga pada penelitian seharusnya diperiksa kadar GLP1 utuh dan total (yaitu GLP1 utuh ditambah dengan metabolit GLP1 hasil katalisis enzim DPP4). Pemeriksaan GLP1 utuh membutuhkan antibodi spesifik dan tidak tersedia secara luas. Di samping itu, bagian carboxyl-terminal arginine dari GLP1 peka terhadap amidasi, sehingga GLP1 ada dalam bentuk amidated GLP1(7-36) dan nonamidated GLP1(7-37), keduanya memiliki efek insulinotropik dan efek metabolik. Sebagian besar GLP1 yang disekresikan dari saluran cerna ada dalam bentuk

15 21 amidated, meski demikian hal ini perlu dipertimbangkan karena sebagian antibodi hanya mengenali bentuk amidated dari GLP1 (Seino dkk., 2010) Efek fisiologis dari GLP1 GLP1 dan GIP memiliki sekuen asam amino yang mirip, khususnya di bagian N-terminal. GLP1 dan GIP juga memiliki fungsi yang serupa dalam hal merangsang sekresi insulin dari sel beta pankreas, namun kedua peptide ini bekerja melalui reseptor yang berbeda, yaitu reseptor GLP1 atau GLP1 receptor (GLP1R) untuk GLP1 dan reseptor GIP atau GIP receptor (GIPR) untuk GIP. GLP1R disandi oleh 463 asam amino berbentuk heptahelikal dan merupakan G protein-coupled receptor (GPCR). GPCR terdiri dari empat kelas utama berdasarkan kemiripan sekuen yaitu kelas A, B, C (sebelumnya disebut kelas 1, 2 dan 3) dan frizzled family (Doyle dan Egan, 2007). Penelitian pada baboon yang sehat menunjukkan bahwa eliminasi kerja GLP1 mengakibatkan gangguan toleransi glukosa setelah ingesti nutrisi. Eliminasi kerja GLP1 dilakukan dengan pemberian exendin-(9-39) atau Ex-9 yaitu suatu antagonis reseptor GLP1 atau dengan anti GLP1 mab (D Alessio dkk., 1996). Efek fisiologis GLP1 pada pengaturan glukosa darah ini melalui beberapa mekanisme di pankreas, saluran cerna khususnya lambung, otak, serta jaringan perifer yaitu hati, otot, dan lemak. Di endokrin pankreas, GLP1 meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi glukagon. GLP1 juga meningkatkan proliferasi sel beta dan menurunkan apoptosis sel beta pankreas (Drucker, 2006).

16 22 Peran GLP1 dalam mengendalikan glukosa darah post prandial selain ditentukan oleh efek GLP1 pada sekresi insulin, juga ditentukan oleh efek GLP1 dalam memperlambat pengosongan lambung (Wettergren dkk., 1993; Nauck dkk., 1997), dan mencetuskan rasa kenyang (Flint dkk., 1998). GLP1 meningkatkan disposal glukosa di perifer (D Alessio dkk., 1994; D Alessio dkk., 1995; Egan dkk., 2002) Peranan GLP1 pada sekresi insulin Sekresi insulin dikendalikan oleh beberapa faktor yang kompleks, yaitu glukosa, asam amino, katekolamin, serta hormon intestin (inkretin). Kadar glukosa setelah pemberian glukosa intravena lebih tinggi dibanding setelah pemberian intrajejunal, namun respon kenaikan kadar insulin lebih tinggi setelah pemberian intrajejunal (Gambar 2.1). Berdasarkan fakta ini McIntyre dkk., 1964 menduga adanya bahan humoral yang dilepaskan jejunum selama absorpsi glukosa yang bekerja bersama glukosa untuk meningkatkan sekresi insulin dari pankreas.

17 23 Gambar 2.1 Konsep Inkretin, Dilihat dari Respon Glukosa dan Insulin setelah Pemberian Infus Glukosa melalui Intravena dan Intrajejunal (Gambar ini diambil oleh Kieffer dan Habener, 1999 dari McIntyre dkk., 1964, Lancet; 2:20-21). Efek insulinotropik dari GLP1 diteliti pada isolat pankreas tikus dengan menggunakan GLP1 sintetis. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada kadar glukosa 6,6 mm, GLP1(7-37) merupakan stimulator poten untuk sekresi insulin. Efek insulinotropik pada konsentrasi yang rendah menunjukkan bahwa GLP1(7-37) berperan pada regulasi insulin secara fisiologis. GLP1(1-37) tidak memiliki efek sekresi insulin meski diberikan pada konsentrasi tinggi (Mojsov dkk., 1987). GLP1 meningkatkan sekresi insulin yang diinduksi glukosa melalui peningkatan ekspresi gen insulin dan kadar camp, yang dibuktikan dengan penelitian in vitro menggunakan rat islet cell line (Drucker dkk., 1987). GLP1 (maupun GIP) menstimulasi pembentukan camp dan aktivasi protein kinase A (PKA). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penghambatan PKA ternyata tidak menggagalkan efek inkretin pada sekresi insulin (Drucker, 2006).

18 24 Stimulasi sekresi insulin oleh inkretin yang bergantung pada PKA berpengaruh pada guanine nucleotide exchange factors (GNEFs), khususnya cyclic AMP-GEFII (Epac2) (Ozaki dkk., 2000). Reduksi ekspresi GEFII menguatkan efek GLP1 pada sekresi insulin (Kashima dkk., 2001). Peningkatan camp mengaktivasi protein kinase A (PKA) dan penukaran protein yang diaktivasi oleh camp2 (Epac2)/cAMP-guanine nucleotide exchange factor (GEF)II. Aktivasi PKA mencetuskan penutupan KATP channels dan memfasilitasi depolarisasi membrane. PKA juga mengakibatkan hambatan pada delayed rectifying K+ (Kv) channel, suatu regulator negatif sekresi insulin di sel beta pankreas yang menghasilkan perpanjangan aksi potensial. Depolarisasi membuka voltage-gated Ca 2+ channels (VDCC), sehingga konsentrasi Ca 2+ intraseluler meningkat yang memobilisasi penyimpanan Ca 2+ intraseluler melalui mekanisme yang bergantung pada PKA dan Epac2. Peningkatan konsentrasi Ca 2+ mencetuskan fusi dari granula insulin dengan membran plasma dan sekresi insulin dari sel beta. Peningkatan Ca 2+ juga meningkatkan transkripsi gen proinsulin, sehingga insulin di dalam beta sel meningkat. Aktivasi EPAC2 meningkatkan densitas granula insulin di dekat membrane plasma (Seino dkk., 2010) Peranan subunit reseptor sulfonylurea (SUR) pada modulasi penutupan GLP1R-dependent KATP channel telah diketahui. Meski GLP1 dan GIP menstimulasi pembentukan cyclic AMP (camp) di SUR1-/- islets, efek insulinotropik kedua inkretin ini berkurang secara nyata pada tikus SUR1-/-. Hal ini terjadi kemungkinan karena defek coupling dari camp dengan jalur regulasi

19 25 eksositosis insulin (Nakazaki dkk., 2002; Shiota dkk., 2002). Temuan ini konsisten dengan peranan SUR1 dalam pengaturan eksositosis yang diinduksi oleh Ca2 + yang bergantung camp (cyclicamp-dependent regulation of Ca2+induced exocytosis). Sebaliknya pada tikus dengan Kir6.2-/-, GLP1 (tapi tidak terjadi pada GIP) tetap mempertahankan kerja insulinotropik (Miki dkk., 2005). Hal ini menunjukkan bukti adanya jalur signaling yang berbeda-beda dan kompleksnya aksi subunit KATP channel di sel beta pankreas. Tidak seperti kerja sekretogogus lain yang primer melalui KATP channel, GLP1 juga mempertahankan penyimpanan insulin melalui stimulasi ekspresi gen proinsulin (Drucker dkk., 1987). Efek ini terjadi melalui peningkatan transkripsi gen proinsulin dan stabilitas mrna melalui mekanisme PKA independen yang dependen camp (cyclic AMP-dependent PKA-independent mechanisms). Transkripsi faktor Pdx-1 merupakan target untuk GLP1 pada ekspresi gen insulin. GLP1 meningkatkan ekspresi Pdx-1 melalui penguatan (enhancement) ekspresi gen Pdx-1 dan augmentasi ikatan Pdx-1 dengan promoter gen insulin (Wang dkk., 1999). Reduksi atau eliminasi ekspresi Pdx-1 berasosiasi dengan reduksi dari ekspresi reseptor GLP1 dan hilangnya aksi GLP1 pada sel beta. Hal ini terbukti pada studi menggunakan cell lines atau sel beta in vitro dan penelitian in vivo pada tikus dengan inaktivasi gen Pdx-1 sel beta spesifik (Li dkk., 2005a; Wang dkk., 2005).

20 Penelitian GLP1 pada pasien DMT2 dan orang normal Respon peningkatan insulin, C peptide, inkretin (GLP1 dan GIP) serta glukagon pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) dibandingkan antara subyek dengan DMT2 dan orang normal yang match dari segi umur dan berat badan, masingmasing kelompok sebanyak 9 orang. Subyek dengan DMT2 menunjukkan peningkatan yang lambat dari kadar insulin dan C peptida, namun secara keseluruhan responnya tidak berbeda dengan orang normal (Gambar 2.2, B dan C). Respon peningkatan GLP1 lebih tinggi pada DMT2 (61±5 vs. 43±5 pmol/liter, p=0,034), sedangkan respon peningkatan GLP1(7-36) secara keseluruhan lebih rendah dengan p=0,047 (Gambar 2.2, E). Meski demikian, puncak konsentrasi yang dicapai antara DMT2 dan orang normal setara. Kadar glukagon basal pada kedua kelompok sama, dan kadarnya menurun setelah pemberian glukosa pada kedua kelompok (Gambar 2.2, F) (Nauck dkk., 1993). Pada pemberian hormon inkretin eksogen, baik GLP1 (7-36) maupun GIP meningkatkan sekresi insulin (insulin, C-peptide) pada kedua kelompok (p<0,05) sesuai dengan dosis. DMT2 mencapai peningkatan C-peptide 71% dari respon orang normal (tidak berbeda bermakna) dengan injeksi GLP1(7-36). Efek maksimum pada DMT2 lebih rendah secara signifikan dibanding orang normal (54%; p<0,05) dengan injeksi GIP. Kadar glukagon pada orang normal lebih rendah selama hyperglycemic clamps, namun hal ini tidak terjadi pada DMT2. Respon penurunan glukagon terjadi pada kedua kelompok (p<0,05) setelah pemberian GLP1(7-36). Respon penurunan glukagon ini tidak terjadi dengan pemberian GIP (Nauck dkk., 1993).

21 27 Gambar 2.2 Respon Glukosa Plasma, Insulin, C-peptida, Immunoreactive GIP, Immunoreactive GLPl dan Glucagon Pankreas terhadap Glukosa Oral pada DMT2 dan Orang Normal (Nauck dkk., 1993) Keterangan: Respon glukosa plasma (A), insulin (B), C-peptida (C), immunoreactive GIP (D), immunoreactive GLPl (antiserum 2135; E) dan glukagon pankreas (antiserum 4305; F) terhadap glukosa oral pada DMT2 (bulat hitam) dan orang normal (bulat putih). Nilai ditampilkan dalam rata-rata ± SEM. Kadar glukosa kapiler 120 menit setelah glukosa oral ditunjukkan dengan simbul kotak. IR-GIP=immunoreactive GIP. IR-GLP1=immunoreactive GLPl

22 28 GLP1 meningkatkan sekresi insulin pada pasien dengan diabetes dan kontrol subyek tanpa diabetes dalam pola tergantung dosis dan respon sel beta terhadap glukosa dapat meningkat ke level normal dengan infus GLP1 dosis rendah. Penelitian tentang hubungan antara GLP1 dengan laju sekresi insulin prehapatik (prehepatic insulin secretion rate [ISR]) basal dan dengan stimulasi glukosa yang dilakukan pada 7 pasien DMT2 dan kontrol menunjukkan bahwa pada DMT2 respon sel beta terhadap glukosa dan GLP1 terganggu (Kjems dkk., 2003). Penelitian kadar hormon inkretin pada orang sehat yang kurus, orang sehat yang gemuk, DMT2 gemuk, dan DMT1 (masing-masing sebanyak 8 orang) dengan dua tes makan (260 kkal and 520 kkal) menunjukkan terjadi peningkatan signifikan kadar GLP1 dan GIP setelah makan baik pada orang diabetes maupun orang sehat. Respon inkretin lebih tinggi setelah makan yang kalorinya lebih besar dibanding kalori yang lebih rendah, dengan disertai respon C-peptida yang lebih tinggi. Baik DMT1 maupun DMT2 memiliki respon GIP yang normal bila dibanding orang sehat. Pada DMT1 respon peningkatan GLP1 normal. Sementara itu, respon GLP1 lebih rendah pada DMT2 dibanding dengan subyek orang sehat yang gemuk (Visboll dkk., 2003). Kadar GLP1 total, GLP1 utuh, dan kadar GIP pada saat tes toleransi glukosa oral (TTGO) atau oral glucose tolerance test (OGTT) dan tes toleransi makanan atau meal tolerance test (MTT) diteliti pada 18 subyek orang Jepang dengan DMT2 dan 17 orang Jepang sebagai kontrol sehat yang match dari sisi usia, diukur kadar GLP1nya. Kadar GLP1 total puasa sama antara kedua

23 29 kelompok (sekitar 15pM). Kadar GLP1 total 30 menit setelah pemberian glukosa pada kelompok DMT2 adalah 35,3 ± 8,7 pm sedangkan pada kelompok kontrol 40,3 ± 10,4 pm (Yabe dkk., 2010). Penelitian pada orang Jepang menunjukkan sekresi GIP dan GLP1 dan efek insulinotropik pada sel beta berbeda pada pasien DMT2 dibanding orang normal (Seino dkk., 2010). 2.4 Insulin Insulin adalah hormon polipeptida yang diproduksi di sel beta pankreas. Gen insulin manusia berlokasi di lengan pendek kromosom 11. Molekul prekursornya adalah preproinsulin, yaitu peptida dengan berat molekul yang ditranslasi dari mrna preproinsulin di retikulum endoplasma. Enzim mikrosomal memecah preproinsulin menjadi proinsulin dengan berat molekul ~ 9000, dan pemecahan ini terjadi segera setelah sintesis. Proinsulin selanjutnya disimpan dalam granula sekretori di apparatus golgi. Granula sekretori yang matur akan mengeluarkan proinsulin dalam bentuk insulin dan connecting peptide (C peptide) atau C peptida. C peptida yang terdiri dari 31 asam amino dengan berat molekul 3000, tidak memiliki aktivitas biologis. Jumlah C peptida yang dilepas dari sel beta pankreas berjumlah ekuimolar dengan insulin. Waktu paruh C peptida tiga sampai empat kali lebih panjang dari insulin (Masharani dkk., 2004). Insulin adalah protein yang terdiri dari 51 asam amino yang berbentuk dua rantai peptida yaitu rantai A dengan 21 asam amino dan rantai B dengan 30 asam amino. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan disulfida. Di samping itu, dalam molekul insulin juga terdapat jembatan disulfida intrachain di rantai A

24 30 (Gambar 2.13). Berat molekul insulin adalah Insulin endogen memiliki waktu paruh 3 5 menit di dalam darah. Katabolisme insulin terjadi di hati, ginjal dan pankreas dengan bantuan enzim insulinase (Masharani dkk., 2004). Sekresi insulin dari pankreas pada orang normal berkisar 30 unit per hari. Konsentrasi kadar insulin di darah pada keadaan puasa adalah 10 µu/ml (0,4 ng/ml atau 61 pmol/l). Kadar insulin pada orang normal setelah pembebanan makanan standar tidak melebihi 100 µu/ml (610 pmol/l). Peningkatan konsentrasi insulin di perifer terjadi 8 10 menit setelah makan dan puncak konsentrasi di darah tepi terjadi dalam menit (Masharani dkk., 2004) Pengukuran konsentrasi insulin perifer Pengukuran konsentrasi insulin perifer dengan pemeriksaan radioimmunoassay masih banyak digunakan untuk kuantifikasi fungsi sel beta in vivo. Namun kelemahannya adalah 50-60% insulin yang dihasilkan oleh pankreas diekstraksi oleh hati tanpa pernah mencapai sirkulasi sistemik. Di samping itu pemeriksaan radioimmunoassay ini juga tidak dapat membedakan antara insulin eksogen dan insulin endogen (Buse dkk., 2011) Homeostasis Model Assessment (HOMA) Kadar insulin dan glukosa di dalam darah sangat dinamis dan dipengaruhi oleh fungsi sel beta dalam mensekresi insulin, juga resistensi insulin di perifer terutama jaringan lemak dan hari. Homeostasis Model Assessment (HOMA)

25 31 adalah model matematik yang digunakan untuk menilai fungsi sekresi sel beta pankreas dan juga resistensi insulin perifer. HOMA-%B memperkirakan fungsi sel beta dan HOMA-%S memperkirakan sensitivitas insulin (HOMA%S) dalam keadaan steady state. Konsep ini diawali oleh Robert Turner and Rury Holman 1976 yang menyatakan bahwa kadar insulin plasma puasa dan kadar glukosa ditentukan sebagian oleh hepatic-beta cell feedback loop. Konsep ini kemudian dikembangkan menjadi model matematika pada tahun Tahun 1985, Matthews dkk. mengemukakan model struktural yang lebih komprehensif dan disebut Homeostasis Assessment Model (HOMA). Tahun 1998, Levy dkk. mempublikasikan HOMA model 2 (HOMA 2) yang didalamnya memperhitungkan variasi resistensi hepatik dan perifer. Model ini direkalibrasi sehingga dapat menghasilkan nilai HOMA%B, HOMA%S dan HOMA-IR. HOMA-IR adalah inverse atau resiprokal dari HOMA-%S, yang didapatkan dengan rumus: 100/%S. Kalkulator HOMA dirilis tahun Pada penelitian ini kalkulator HOMA yang digunakan adalah kalkulator secara on line melalui Mekanisme Asosiasi TCF7L2 dengan DMT Gen TCF7L2 TCF7L2 adalah suatu T-cell specific, HMG-box. HGNC (HUGO Gene Nomenclature Committee) IDnya adalah HGNC: Gen ini pada awalnya disebut dengan T-cell transcription factor 4, yang disimbulkan dengan TCF4 atau TCF-4. Lokasi sitogenetik dari TCF7L2 ini adalah pada kromosom 10, yaitu

26 32 10q25.2-q25.3. Koordinat genomiknya (GRCh37) adalah: 10:114,710, ,927,436, dengan locus tag RP11-357H24.1. Tipenya merupakan gen yang menyandi protein. Gen ini memiliki 22 transkrip, dengan forward strand (Anonim, 2011). Struktur genomik gen TCF7L2 manusia dan posisinya pada kromosom 10q25.3 diidentifikasi dengan metode fluorescence in situ hybridization (FISH) (Duval dkk., 2000). Prototipe keluarga TCF (TCF7 atau TCF-1) awalnya diisolasi sebagai faktor transkripsi limfoid (van de Wetering. 1991). Anggota dari keluarga TCF ini sekarang diketahui berperan sebagai regulasi transkripsional di berbagai proses perkembangan dan pada organisme dewasa berfungsi dalam beberapa sel dan organ. Setelah identifikasi TCF1/TCF7 (van de Wetering. 1991), Castrop dkk. mengisolasi cdna untuk TCF7L1 dan TCF7L2 yang mereka sebut dengan TCF3 dan TCF4. Karena high mobility group (HMG) boxes dari sekuen dari TCF7L1, TCF7L2, dan TCF7 menunjukkan kemiripan, Castrop dkk. mengelompokkan sebagai subfamili dari faktor transkripsi TCF7 like HMG box-containing (Castrop dkk., 1992). Produk gen TCL7L2 adalah high mobility group (HMG) box-containing transcription factor yang berperan pada homestasis glukosa darah. Pada gambar 2.3 diilustrasikan domain fungsional TCF7L2 manusia yang berinteraksi dengan β-cat, DNA, Groucho, dan CtBP-1.

27 33 Gambar 2.3 Struktur Protein TCF7L2 Manusia (Jin dan Liu, 2008) Keterangan: HMG= high mobility group; CtBP1= C-terminal binding protein 1; GSK= glycogen synthase kinase Jalur Wnt-signaling Jalur Wnt merupakan jalur multifungsi yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel, menjaga kelangsungan sel punca, angiogenesis, inflamasi, fibrosis, dan karsinogenesis (Wodarz dan Nusse, 1998). Wnt-signaling pertama dikenal melalui studi pada kanker kolon dan perkembangan embrionik Drosophila, Xenopus, dan organisme lain (Pfeifer dan Polakis, 2000). Wntsignaling menunjukkan berbagai fungsi fisiologis dan patofisiologis yang penting pada berbagai sel dan orang yang berbeda termasuk organogenesis dan perkembangan progresi tumor (Van Es dkk., 2003).

28 34 Gambar 2.4 Ringkasan Jalur Wnt-Signaling Kanonikal (Jin dan Liu, 2008) Keterangan: Panel A: pada saat absennya stimulasi Wnt, β-cat mengalami fosforilasi oleh GSK-3, CK-1α, dan perk, dan secara subsekuen dihancurkan oleh proses degradasi protein yang dimediasi proteosom. Protein TCF akan berikatan dengan promoter gen target Wnt dan menekan ekspresinya dengan merekrut Groucho, CtBP-1, dan HDACs. Panel B: setelah stimulasi Wnt, kompleks fosforilasi terlepas. β-cat bebas akan berakumulasi dan membentuk faktor transkripsi bipartit β-cat/tcf, yang dapat merekrut ko-aktivator nuklear, seperti protein pengikat CREB atau CREB binding protein (CBP), yang menguatkan ekspresi gen target Wnt. Catatan: β-trcp, β-transducing repeat-containing protein. Dvl, Dishevelled. perk, phosphorylated ERK.

29 35 Kunci efektor dari kanon Wnt-signaling adalah pasangan (bipartit) faktor transkripsi β-cat/tcf, yang dibentuk oleh β catenin (β-cat) dan anggota dari keluarga TCF (TCF1/ TCF7, LEF-1, TCF3/ TCF7L1, dan TCF4/ TCF7L2). Pada keadaan tidak ada signaling Wnt, protein TCF HMG box dalam nukleus berfungsi sebagai represor transkripsional dari gen target Wnt. TCF membentuk kompleks dengan ko represor transkripsional, termasuk Groucho dan C-terminal binding protein 1 (CtBP1) (Jin dan Liu, 2008). Baik Groucho maupun CtBP1 dapat merekrut ko represor nuklear seperti histone deacetylase (HDACs) ke promoter dari gen target Wnt (gambar 2.4 panel A). Namun β-cat mengubah TCF menjadi aktivator transkripsional untuk panel gen yang ditekan oleh TCF pada saat tidak adanya β-cat (gambar 2.4 panel B). Zhou dkk., 2012 melakukan penelitian ekspresi ligan Wnt dan reseptor frizzled pada jalur kanon WNT pada ginjal pada mrna dengan menggunakan PCR, membandingkan antara mencit Akita, tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin, mencit db/db dan kontrolnya, yaitu sel epitel tubular bagian proksimal ginjal manusia. Pada penelitian ini ditemukan bahwa jalur Wnt diaktivasi pada ginjal baik pada model diabetes tipe 1 maupun tipe 2 (Zhou dkk., 2012). Sampai saat ini belum diketahui mekanisme pasti bagaimana polimorfisme dalam regio intron dari TCF7L2 memberi risiko terjadinya DMT2, tapi regulator transkripsional ini telah terbukti berperan dalam stimulasi sel beta pankreas dan produksi hormon inkretin GLP1 di sel L endokrin intestin (Yi dkk., 2005) sehingga diduga polimorfisme ini meningkatan risiko DMT2 melalui pengaruhnya

30 36 pada produksi GLP1. Penelitian Yi dkk. (2005) menunjukkan bahwa TCL7L2 berperan melalui pengaturan proglukagon, melalui represi gen proglukagon di sel enteroendokrin melalui jalur Wnt-signaling (Wnt signaling pathway). Pada sel L endokrin intestin, ekspresi gen proglukagon menyebabkan produksi hormon inkretin GLP Mekanisme bagaimana silencing TCF7L2 mengurangi sekresi insulin yang distimulasi glukosa Setelah penelitian dari Lyssenko, 2007, dapat disimpulkan sementara bahwa alel risiko dari TCF7L2 memberi predisposisi untuk terjadinya DMT2 melalui akibat yang ditimbulkannya pada sel beta pankreas. Adanya alel risiko mengakibatkan overekspresi TCF7L2 di sel beta pankreas dan mengakibatkan penurunan sekresi insulin sebagai respon berbagai stimuli. Ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab yaitu selain terjadi peningkatan RNA TCF7L2, apakah konsentrasi protein Tcf7l2 di sel beta meningkat? Bagaimana peningkatan ekspresi TCF7L2 mengurangi sekresi insulin? (Hettersley, 2007). Untuk memeriksa apakah TCF7L2 berperan pada sel beta pankreas, Shu dkk. (2008) memberi paparan TCF7L2 small interfering RNA pada isolasi islet pankreas manusia. Deplesi TCF7L2 mengakibatkan apoptosis sel beta meningkat 5,1 kali, penurunan proliferasi sel beta 2,2 kali, dan penurunan sekresi insulin yang distimulasi glukosa sebanyak 2,6 kali, dan efek yang serupa didapatkan pada islet tikus dengan deplesi TCF7L2. Sebaliknya overekpresi TCF7L2 melindungi islet dari apoptosis sel beta pankreas yang dimediasi glukosa atau sitokin.

31 37 Gambar 2.5 Mekanisme Silencing TCF7L2 Mengurangi Sekresi Insulin yang Distimulasi Glukosa (Gloyn dkk., 2009) Keterangan: Panel A: Stimulus sekresi coupling sel beta dengan glukosa melalui produksi ATP dan peningkatan rasio ATP-ADP di mitokondria, mengakibatkan penutupan ATP-sensitive KATP channels dan mendatangkan potensial aksi yang berasosiasi dengan terbukanya voltage-gated Ca 2+ channels. Peningkatan [Ca 2+ ]i menstimulasi eksositosis granula sekretori yang mengandung insulin. Panel B: Granula insulin berada pada pool fungsional yang berbeda dengan kompetensi untuk lepas yang berbeda. Sebagian besar granula insulin tidak mencapai kompetensi untuk lepas (granula berwarna merah). Sebagian kecil granula segera bisa melepaskan insulin (granula berwarna hijau). Banyak RRP berada dekat dengan voltage-gated Ca 2+ channels (i). Bila TCF7L2 tidak ada, Ca 2+ channels terlepas dari granula sekretori dan [Ca 2+ ]i meningkat di bagian sel beta yang salah (ii). Panel C: Peningkatan local [Ca 2+ ]i (zona abu-abu) menutup Ca 2+ channels selama stimulasi potensial aksi yang singkat (i) dan peningkatan global terjadi pada stimulasi yang berkepanjangan (misal pada kadar K + tinggi) (ii). Mitoch = mitokondria. AP = action potentials (potensial aksi). SG = secretory granules (granula sekretori). RRP = the readily releasable pool.

32 38 Sebuah studi yang baru telah mengidentifikasi sejumlah besar region kromatin terbuka yang mengandung elemen regulatori aktif pada pulau pankreas manusia. SNP pada TCF7L2 yang berasosiasi dengan DMT2 ditemukan berlokasi di region kromatin terbuka (open chromatin) dan menunjukkan aktivitas penguat yang bersifat alel spesifik, mengarahkan kepada mekanisme potensial untuk asosiasi dengan penyakit ini (Groop, 2010). Gambar 2.6 Model Kromatin dan Mekanisme Asosiasi TCF7L2 dengan Diabetes (Groop, 2010) Keterangan: Panel a: Alel risiko (alel T) yang berasosiasi dengan T2DM pada varian gen TCF7L2 (SNP rs ) berasosiasi dengan kromatin terbuka (open chromatin) yang dapat memfasilitasi ikatan DNA-protein dan berasosiasi dengan peningkatan relatif kadar transkripsi dibanding dengan alel yang tidak berisiko (non risk allele). Panel b: Alel tidak berisiko (alel C) berasosiasi dengan kromatin yang tertutup (closed chromatin), yang dapat mengurangi akses untuk ikatan protein.

33 Overekspresi Tcf7l2 di luar sel beta pankreas Perhatian untuk mengetahui bagaimana efek TCF7L2 terhadap terjadinya DMT2 difokuskan pada sel beta pankreas, dan sebagian hasil penelitian saling menunjukkan kontradiksi. Selain pada sel beta pankreas, faktor transkripsi ini diekspresikan secara luas di berbagai organ dan jaringan yang terlibat dalam metabolisme glukosa. Peran fisiologis Tcf7l2 di berbagai jaringan ini juga belum dapat dijelaskan dengan secara lengkap (Nobrega 2013). Shao dkk. (2013) menjelaskan bagaimana ekspresi TCF7L2 di otak berperan pada pengaturan metabolisme glukosa. Hal ini membuka kemungkinan untuk meneliti kemungkinan faktor transkripsi ini juga diekspresikan di darah tepi. Mengingat alel risiko untuk DMT2 ini berasosiasi dengan open chromatin, menarik untuk dilihat apakah terdapat perbedaan varian isoform mrna pada subyek dengan dan tanpa alel risiko diabetes varian SNP gen TCF7L2. Kontribusi overekspresi Tcf7l2 di sel beta dan jaringan lain terhadap fenotipe metabolik diteliti dengan tikus yaitu humanized mouse model. Ekspresi Tcf7l2 di pankreas pada model tikus ini dikembalikan ke tingkat endogen sementara di jaringan lain terjadi overekspresi, yang mengakibatkan gangguan sekresi insulin, mengurangi jumlah sel beta dan area islet. Hal ini menguatkan data yang didapat pada manusia yang menunjukkan bahwa fenotipe yang sama terjadi sebagai akibat dari manipulasi yang berakibatkan pada hilangnya fungsi Tcf7l2. Yang menarik adalah overekspresi persisten dari Tcf7l2 di jaringan non pankreas mengakibatkan perburukan toleransi glukosa yang signifikan. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa overekspresi Tcf7l2 di sel beta tidak berperan pada

34 40 toleransi glukosa pada model tikus dengan overekspresi Tcf7l2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Tcf7l2 berperan pada metabolisme di luar peranannya pada sel beta pankreas (Bailey dkk., 2015). 2.6 Alternative Splicing pada mrna gen TCF7L2 Sebagian besar gen manusia dipecah menjadi beberapa segmen (ekson) yang harus disambung lagi setelah transkripsi menjadi mrna prekursor (precursor mrna [pre-mrna]) Sampai sekitar 76% gen manusia mengekspresikan mrna yang beragam melalui alternative splicing dari pre-mrna di mana ekson disambung kembali dengan pola yang berbeda. Akibatnya, gen individu mengekspresikan beragam mrna yang identik kecuali di regio variabilitas tertentu (discrete regions of variability ). Beberapa gen memiliki regio alternative splicing multipel dan mengekspresikan ratusan atau bahkan ribuan mrna yang berbeda. Sebanyak 80% alternative splicing terjadi di coding region dan menghasilkan isoform protein dengan fungsi yang berbeda bergantung pada pengaturan sel spesifik (berdasarkan tipe sel, tahap perkembangan, jenis kelamin, atau respon terhadap signal eksternal) (Faustino and Cooper 2003). Varian genetik SNP TCF7L2 ini kemungkinan berkaitan dengan terjadinya alternative splicing. Setiap faktor transkripsi dari keluarga TCF/LEF memiliki posisi awal transkripsi atau transcription starts sites (TSS) yang berbeda untuk menghasilkan protein fungsional yang berbeda. Hal ini menjelaskan tidak adanya asosiasi antara ekspresi TCF7L2 yang diperiksa dengan berdasarkan ex7-8 dengan rs dan rs (Prokunina-Olsson, 2009a).

35 41 Ekspresi TCF7L2 yang mengalami alternative splicing kemungkinan memiliki peranan fungsional berbeda di omental dan jaring lemak subkutan, namun tidak berasosiasi dengan SNPs rs dan rs , ataupun dengan status DMT2, kadar glukosa darah maupun hemoglobin terglikasi (HbA1c). Hal ini diketahui dari pemeriksaan ekspresi bentuk splice alternatif TCF7L2 yang dilakukan dengan quantitative reverse-transcriptase PCR (qrt- PCR) pada bahan hasil biopsi jaringan lemak omental dan subkutan dari 159 individu yang obese (BMI 54,6±212,2 kg/m2). Ekpresi ex12-13, ex12-14 and ex13-13a yang mendeteksi ekson alternatif C-terminal dari TCF7L2 lebih tinggi di jaringan lemak subkutan dibanding dengan jaringan lemak omental (Prokunina-Olsson dkk., 2009b). Gambar 2.7 Struktur dan Lokasi Ekspresi Gen TCF7L2 (Prokunina-Olsson dkk., 2009b) Keterangan: Skema ini menunjukkan ekson konstitutif (balok hitam), ekson alternative (balok putih); blok linkage disequilibrium (LD) yang berasosiasi dengan SNPs rs dan rs ; domain protein: ß-catenin-interacting domain, DNA-binding HMG domain dan C-terminal Binding Protein (CtBP)-

36 42 binding domain. Expression assays untuk mendeteksi bentuk splice alternatif dari TCF7L2 ditunjukkan dengan panah yang berhubungan. Pemeriksaan transkrip target TSS1 (transcription starts sites), TSS2 dan TSS3 didapatkan dari tempat awal transkripsi alternatif sementara bentuk splice alternatif yang lain dengan kombinasi ekson yang berbeda. * - Ekspresi dari ex13-13b juga diperiksa tapi tidak terdeteksi di jaringan lemak (Prokunina-Olsson dkk., 2009b). Alternative splicing dapat menghasilkan produk protein yang beragam dengan komposisi domain bervariasi dari satu gen. Gen TCF7L2 mengkode TCF4 yaitu suatu protein DNA-binding yang merupakan anggota dari T-cell factor (TCF) family dan pasangan interaksi nuclear dari beta katenin yang membentuk fungsi esensial dalam Wnt-signaling growth factor. Isoform TCF4 multipel menunjukkan potensi distribusi yang bersifat spesifik untuk tipe sel tertentu dan berpengaruh kuat pada respon Wnt yang bersifat spesifik untuk tiap jaringan. Sejumlah varian splice Tcf7l2 tikus di jaringan neonatus yaitu sel stem embrionik dan progenitor neural diidentifikasi dengan metode amplifikasi PCR, cloning, dan sekuensing. Sebagian besar (namun tidak semuanya) menunjukkan distribusi jaringan yang luas (Weise dkk., 2010).

37 43 Gambar 2.8 Perbandingan Pola Ekspresi Varian TCF4 pada Jaringan Tikus dan Embryonic Stem (ES) Cell (Weise dkk., 2010) Keterangan: A. Skema stuktur protein TCF4 yang disederhanakan (atas) dan gen TCF7L2 tikus (bawah) Gen TCF7L2 terdiri dari 17 ekson, sebagian di antaranya dapat mengalami alternative splicing (ekson 4, 13 16; ditandai dengan warna merah). Ekson konstitutif berwarna hijau. Variasi tambahan sekuen mrna TCF7L2 dihasilkan dari penggunaan alternative splice acceptor dan tempat donor (donor site), di ekson 7, 8, dan 9. Regio yang terkena alternative splicing ini diberi warna merah. Posisi start codon di ekson 1 diberi tanda. Stop codon yang mana yang potensial

BAB I PENDAHULUAN. Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, keduanya saling berkaitan. Pada fase awal dari DMT2, sekresi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sekresi atau kerja insulin atau keduanya sehingga menyebabkan peningkatan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sekresi atau kerja insulin atau keduanya sehingga menyebabkan peningkatan BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik akibat gangguan sekresi atau kerja insulin atau keduanya sehingga menyebabkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sering ditemukan di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang terus meningkat.

BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sering ditemukan di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang terus meningkat. BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Menurut data World

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menarik perhatian masyarakat dunia karena peningkatan prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara berkembang yang memiliki berbagai variasi penyakit menular dan tidak menular. Penyakit jantung merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada anak dan remaja serta dampaknya bagi kesehatan tengah dilakukan di

BAB I PENDAHULUAN. pada anak dan remaja serta dampaknya bagi kesehatan tengah dilakukan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun belakangan ini, penelitian mengenai obesitas pada anak dan remaja serta dampaknya bagi kesehatan tengah dilakukan di Fakultas Kedokteran UGM. Prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tipe 2 pada dekade-dekade terakhir ini (Abdullah et al., 2010). Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tipe 2 pada dekade-dekade terakhir ini (Abdullah et al., 2010). Indonesia sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes tipe 2. Peningkatan jumlah penduduk dengan obesitas berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi diabetes tipe 2 pada

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM

B A B I PENDAHULUAN. meningkat. Di Amerika Serikat angka kejadian SM telah mencapai 39%. SM B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian obesitas meningkat dan telah mencapai tingkatan epidemi di seluruh dunia. Sejalan dengan itu angka kejadian sindroma metabolik (SM) juga meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak di negara maju maupun negara berkembang selama periode tahun 1980-2013. Indonesia termasuk

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN V. I. Kesimpulan 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas dibandingkan dengan kelompok normal namun secara statistik tidak berbeda signifikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. lebih atau sama dengan 90 mmhg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. lebih atau sama dengan 90 mmhg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja

Lebih terperinci

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya

Lebih terperinci

(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat

(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat Reseptor terhubung protein G (G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat merupakan keluarga terbesar reseptor permukaan sel menjadi mediator dari respon seluler berbagai molekul, seperti: hormon,

Lebih terperinci

b. Badan pankreas Merupakan bagian utama dan letaknya di belakang lambung dan vertebra lumbalis pertama. c. Ekor pankreas Merupakan bagian yang

b. Badan pankreas Merupakan bagian utama dan letaknya di belakang lambung dan vertebra lumbalis pertama. c. Ekor pankreas Merupakan bagian yang PANKREAS Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang 12,5 cm dan tebal + 2,5 cm Pankreas terdiri dari: a. Kepala pankreas Merupakan bagian yang paling lebar, terletak disebelah kanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Alopesia androgenetik merupakan alopesia yang dipengaruhi oleh faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alopesia merupakan yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan efek dari androgen perifer, dimana faktor tersebut akan mengakibatkan perubahan secara bertahap dari rambut

Lebih terperinci

EKSPRESI GEN 3. Ani Retno Prijanti FKUI 2010

EKSPRESI GEN 3. Ani Retno Prijanti FKUI 2010 EKSPRESI GEN 3 Ani Retno Prijanti FKUI 2010 Regulasi Ekspresi Gen Ekspresi gen, adl produksi suatu produk RNA dari suatu gen tertentu yg dikontrol oleh mekanisme yg kompleks. Secara normal hanya sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering. terjadi di dunia dan kejadiannya bertambah terutama pada

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering. terjadi di dunia dan kejadiannya bertambah terutama pada BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi di dunia dan kejadiannya bertambah terutama pada negara berkembang. Kanker payudara sendiri adalah kanker

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. di dunia, dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. di dunia, dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun dan dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas merupakan suatu masalah kesehatan bagi sebagian besar negara di dunia, dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun dan dapat memicu timbulnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi obesitas mengalami peningkatan di seluruh dunia menjadi dua kali lipat berdasarkan data dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan. obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan. obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang menimbulkan risiko gangguan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko

BAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging Medicine (AAM) atau disebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan kronik pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang terjadi karena sekresi insulin berkurang dengan disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30%

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 6. Terdapat polimorfisme rs gen TCF7L2 pada individu yang

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 6. Terdapat polimorfisme rs gen TCF7L2 pada individu yang BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan 6. Terdapat polimorfisme rs7903146 gen TCF7L2 pada individu yang mempunyai riwayat keluarga DM tipe 2. 7. Frekuensi genotip CT dan TT tidak berbeda bermakna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom metabolik adalah masalah global yang sedang berkembang. Sekitar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom metabolik adalah masalah global yang sedang berkembang. Sekitar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom metabolik adalah masalah global yang sedang berkembang. Sekitar seperempat penduduk Eropa dewasa diperkirakan memiliki sindrom metabolik. Sindrom metabolik juga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang telah merambah ke seluruh lapisan dunia. Prevalensi penyakit ini meningkat setiap tahunnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global,

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia sampai saat ini karena prevalensinya yang selalu meningkat. Secara global, jumlah penderita DM

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar glukosa yang berlebih dalam darah) seperti pada yang

Lebih terperinci

POLIMORFISME GEN TRANSCRIPTION FACTOR 7- LIKE 2 BERASOSIASI DENGAN KADAR GLUKAGON LIKE PEPTIDE 1 DAN INSULIN

POLIMORFISME GEN TRANSCRIPTION FACTOR 7- LIKE 2 BERASOSIASI DENGAN KADAR GLUKAGON LIKE PEPTIDE 1 DAN INSULIN DISERTASI POLIMORFISME GEN TRANSCRIPTION FACTOR 7- LIKE 2 BERASOSIASI DENGAN KADAR GLUKAGON LIKE PEPTIDE 1 DAN INSULIN MADE RATNA SARASWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 DISERTASI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

Lebih terperinci

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Dr. Syazili Mustofa, M. Biomed Lektor Mata Kuliah Ilmu Biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila Kerja insulin terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th

XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th 21/24 November 2011 Tatap Muka 9: Heredity IV XII. Pengaturan Expresi Gen (Regulation of Gene Expression) Diambil dari Campbell et al (2009), Biology 8th Sel secara tepat mampu mengatur ekspresi gen. Sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap perempuan akan mengalami proses fisiologis dalam hidupnya, proses-proses tersebut diantaranya adalah premenopause, menopause dan pascamenopause. Masa premenopause

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT

REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT REGULASI EKSPRESI GEN PADA ORGANISME EUKARYOT Morfologi dan fungsi berbagai tipe sel organisme tingkat tinggi berbeda, misalnya: neuron mamalia berbeda dengan limfosit, tetapi genomnya sama Difenrensiasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis,

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis, merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis penyakit. Penyakit menular sudah digantikan oleh penyakit yang tidak menular seperti penyakit degeneratif, metabolik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

Signal Transduction. Dr. Sri Mulyaningsih, Apt

Signal Transduction. Dr. Sri Mulyaningsih, Apt Signal Transduction Dr. Sri Mulyaningsih, Apt Konsep umum signal transduction Komunikasi sel Tipe-tipe reseptor Molecular signaling Komunikasi antar sel Umumnya diperantarai oleh molekul sinyal ekstraseluler

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang disebabkan karena terganggunya sekresi hormon insulin, kerja hormon insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

BAB I PENDAHULUAN. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY...

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN... viii SUMMARY...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada wanita, komposisi lemak tubuh setelah menopause mengalami perubahan, yaitu dari deposisi lemak subkutan menjadi lemak abdominal dan viseral yang menyebabkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 230 juta. Angka ini akan mengalami kenaikan sebesar 3% atau bertambah

BAB I PENDAHULUAN. 230 juta. Angka ini akan mengalami kenaikan sebesar 3% atau bertambah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita diabetes mellitus diseluruh dunia telah mencapai angka 230 juta. Angka ini akan mengalami kenaikan sebesar 3% atau bertambah 7 juta setiap tahunnya. Diabetes

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. meningkat, serta menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit seperti

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. meningkat, serta menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit seperti BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting di dunia karena dari tahun ke tahun prevalensi kejadian hipertensi semakin meningkat, serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada Bab 1 ini akan dipaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis, dan manfaat penelitian yang dilakuakan. 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Retinoblastoma merupakan keganasan intraokular paling sering pada anak, yang timbul dari retinoblas immature pada perkembangan retina. Keganasan ini adalah keganasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan kondisi yang progresif meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi diabetes menimbulkan beban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 180 juta orang di dunia mengalami diabetes melitus (DM) dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami

BAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami setelah manusia mencapai usia dewasa di mana seluruh komponen tubuh berhenti berkembang dan mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan uji potong lintang yang mendeskripsikan secara analitik profile lipid dengan rasio proinsulin-insulin. 3.2. Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

Kasus Penderita Diabetes

Kasus Penderita Diabetes Kasus Penderita Diabetes Recombinant Human Insulin Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Sejak Banting & Best menemukan hormon Insulin pada tahun 1921, pasien diabetes yang mengalami peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara

Lebih terperinci

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc

AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN. dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc AKTIVITAS GEN DAN PENGATURANNYA: SINTESIS PROTEIN dr. Arfianti, M.Biomed, M.Sc Protein Working molecules of the cells Action and properties of cells Encoded by genes Gene: Unit of DNA that contain information

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada wanita dengan insiden lebih dari 22% (Ellis et al, 2003) dan angka mortalitas sebanyak 13,7% (Ferlay

Lebih terperinci

ditandai oleh poliuria, polidipsia, penurunan berat badan walaupun terjadi polifagia (peningkatan nafsu makan), hiperglikemia, glikosuria, ketosis,

ditandai oleh poliuria, polidipsia, penurunan berat badan walaupun terjadi polifagia (peningkatan nafsu makan), hiperglikemia, glikosuria, ketosis, BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini terjadi pergeseran pola makan di masyarakat. Kecenderungan untuk beralih dari makanan tradisional Indonesia dan mengkonsumsi makanan cepat saji dan berlemak tampak menggejala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.

Lebih terperinci

DIABETES MELITUS NEONATAL

DIABETES MELITUS NEONATAL DIABETES MELITUS NEONATAL DIVISI ENDOKRINOLOGI ANAK FKUSU/RSHAM Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 DIABETES MELITUS NEONATAL Definisi: hiperglikemiapersistenpd blnpertamakehidupanbbl

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kinetika Glukosa dan Insulin

TINJAUAN PUSTAKA Kinetika Glukosa dan Insulin TINJAUAN PUSTAKA Kinetika Glukosa dan Insulin Berbagai eksperimen in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa laju sekresi insulin dari pankreas, berosilasi dalam beberapa skala waktu yang berbeda. Osilasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan kerja insulin dan/atau sekresi insulin (Forbes & Cooper, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus tipe 2 adalah suatu kelompok kondisi metabolik yang heterogen dan kompleks ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat kerusakan kerja insulin

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 16 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1. Kadar Glukosa Darah Berdasarkan hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit sebelum dan setelah pemberian alloxan, rata-rata kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian

Lebih terperinci

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD

PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD PERBEDAAN PROFIL LIPID DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE II OBESITAS DAN NON-OBESITAS DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus, DM diabaínein (bhs yunani): διαβαίνειν,, tembus atau pancuran air Mellitus (bahasa Latin): rasa manis dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan uji Chi Square atau Fisher Exact jika jumlah sel tidak. memenuhi (Sastroasmoro dan Ismael, 2011). BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis data secara statistik, yaitu karakteristik dasar dan hasil analisis antar variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan ideal adalah model kurus dan langsing, obesitas dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. perempuan ideal adalah model kurus dan langsing, obesitas dipandang sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan merupakan suatu proses yang pasti dialami oleh setiap manusia. Banyak faktor yang berperan dalam proses penuaan. Salah satunya adalah obesitas. Seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi lemak secara berlebihan. Obesitas merupakan faktor risiko dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindrom

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Protein

4. PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Protein 59 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan pengujian peran sorbet buah naga yang ditambahkan isolat protein Spirulina platensis pada perubahan kadar gula darah. Pengujian dilakukan uji in vivo menggunakan

Lebih terperinci

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent BAB 1 PENDAHULUAN Hiperglikemia adalah istilah teknis untuk glukosa darah yang tinggi. Glukosa darah tinggi terjadi ketika tubuh memiliki insulin yang terlalu sedikit atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. orang pada tahun 2030 (Patel et al., 2012). World Health Organization (WHO)

BAB I. PENDAHULUAN. orang pada tahun 2030 (Patel et al., 2012). World Health Organization (WHO) BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit dengan insidensi yang cukup tinggi di masyarakat. Saat ini diperkirakan 170 juta orang di dunia menderita DM dan

Lebih terperinci

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA

Dr. HAKIMI, SpAK. Dr. MELDA DELIANA, SpAK. Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA Dr. HAKIMI, SpAK Dr. MELDA DELIANA, SpAK Dr. SISKA MAYASARI LUBIS, SpA 1 Dilepas ke sirkulasi seluruh tubuh Mengatur fungsi jaringan tertentu Menjaga homeostasis Berada dalam plasma, jaringan interstitial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Diabetes Mellitus (DM) juga dikenal sebagai penyakit kencing manis, penyakit gula darah yang ditandai dengan hiperglikemi ( peningkatan kadar gula darah).

Lebih terperinci

I. Pendahuluan. suatu gejala yang sebagian besar dipicu oleh adanya Coronary Heart. arteri koroner yang merupakan produk dari coronary artery disease

I. Pendahuluan. suatu gejala yang sebagian besar dipicu oleh adanya Coronary Heart. arteri koroner yang merupakan produk dari coronary artery disease 1 I. Pendahuluan a. Latar Belakang Angina pectoris adalah rasa nyeri di bagian dada dan merupakan suatu gejala yang sebagian besar dipicu oleh adanya Coronary Heart Disease (CHD). Coronary heart disease

Lebih terperinci

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi Komala Appalanaidu Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (ria_not_alone@yahoo.com) Diterima: 15 Maret

Lebih terperinci