APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA PAHARUDDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA PAHARUDDIN"

Transkripsi

1 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA PAHARUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA" adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 24 Januari 2011 PAHARUDDIN C i

3 ABSTRACT PAHARUDDIN. Application of Geographic Information System to Coastal Vulnerability Assessment in the North Coast Jakarta. Under supervisor by SETYO BUDI SUSILO and DJISMAN MANURUNG. Coastal zone is vulnerable to sea level rise due to global warming. Coastal area in the North Coast of Jakarta is also vulnerable to the impact that could affect the sustainability of coastal zone management. A study has been conducted on this area to identify the level of coastal vulnerability index spatially (5 coastal districts) and determine the coastal vulnerability index and the predicted value of vulnerability in the future. Components of vulnerability following the division of Polsky, namely: exposure, sensitivity and adaptive capacity. Analysis of components based on data directly observable dimensions of vulnerability and the parameter value is transformation of quantitative and qualitative into scoring value of the coastal vulnerability index. The study shows that Coastal Vulnerability Index in the five coastal districts is moderate, namely: Koja (13.15), Cilincing (11.73), Tanjung Priuk (10.00), Pademangan (9.86) and Penjaringan (9.78). Prediction the vulnerability dynamic the next 10 years, 3 districts will experiences a high vulnerability (Penjaringan, Pademangan, and Cilincing) and 2 districts will experiences a very high vulnerability (Tanjung Priuk, and Koja). Key words: coastal, vulnerability, coastal districts of Jakarta ii

4 RINGKASAN PAHARUDDIN. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO, dan DJISMAN MANURUNG. Secara fisik, pesisir adalah suatu kawasan yang sempit dan merupakan kawasan peralihan atau pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, kawasan pesisir merupakan daratan kering maupun terendam air yang dipengaruhi oleh sifat laut seperti efek: intrusi air laut, pasang surut, dan naiknya permukaan laut (sea level rise) karena efek pemanasan global (global warming), sedangkan ke arah laut merupakan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang masih terjadi di darat seperti aliran air tawar dan aktivitas manusia. Mengingat sangat strategis kawasan pesisir sekaligus rentan terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, maka dalam pemanfaatan kawasan pesisir harus dicari keseimbangan antara pemanfaatan dengan pelestariannya. Salah satu teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat dan sangat potensial untuk aplikasi inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan adalah teknologi penginderaan jauh, termasuk tujuan deteksi dan kajian kerentanan pantai. Kajian tingkat kerentanan pantai dapat dilakukan dengan mengintegrasikan Sistem Informasi Geografi dan data penginderaan jauh satelit. Tingkat kerentanan pantai dapat dihitung dengan mengembangkan konsep kerentanan pantai yang merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan daya adaptasi (adaptive capacity). Kajian ini sangat penting karena lebih 60% penduduk Indonesia hidup di kawasan ini. Dampak yang diterima di wilayah pesisir akibat fenomena ini merupakan hal yang perlu dikaji untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan pesisir pantai dan memproyeksikan perubahannya dimasa yang akan datang serta upaya yang dapat ditempuh menghadapi dampak tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi secara spasial tingkat kerentanan pantai, dan 2) menghitung indeks kerentanan pantai dan proyeksinya dimasa mendatang di pantai Utara Jakarta. Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai dampak perubahan iklim dan pemanasan global terhadap tingkat kerentanan pantai dan upaya mitigasi dan adaptasi akibat perubahan muka laut. Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan dan pengumpulan data sekunder. Analisis data terdiri dari: (1) analisis ekosistem dan sumberdaya pesisir; (2) analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat; dan (3) analisis kerentanan lingkungan pantai. Untuk menentukan parameter kerentanan lingkungan digunakan pendekatan VSD (vulnerability scoping diagram), dimana terdapat 17 parameter yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu: kenaikan muka laut, erosi pantai, tinggi gelombang, rata-rata tunggang pasang, kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk, elevasi dan slope, tipologi pantai, penggunaan lahan, tipologi pemukiman penduduk, habitat pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan kawasan konservasi laut. Parameter kerentanan lingkungan pesisir sudah memiliki nilai yang cukup tinggi, yaitu pertumbuhan dan kepadatan penduduk (exposure), parameter iii

5 kerentanan lingkungan untuk dimensi kepekaan memiliki nilai tinggi adalah penggunaan lahan, elevasi, kemiringan, dan tipologi pemukiman, sedangkan parameter kerentanan lingkungan dimensi daya adaptasi memiliki nilai sangat rendah yaitu; habitat pesisir, ekosistem mangrove, eksositem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan kawasan konservasi laut. Nilai kerentanan Pantai Utara Jakarta di lima kecamatan masuk dalam kategori kerentanan sedang, dengan kisaran indeks kerentanan 9,78 13,15. Indeks kerentanan pantai Kecamatan Koja (13,15), Cilincing (11,73), Tanjung Priuk (10,00), Pademangan (9,86) dan Penjaringan (9,78). Kecenderungan perubahan nilai kerentanan, beberapa parameter akan mengalami perubahan pada masa yang akan datang. Parameter tersebut adalah kenaikan muka laut akan mengalami peningkatan sehingga memberikan dampak terhadap sistem pesisir. Prediksi skor kenaikan muka laut pada 2 tahun kedepan akan berubah dari semula (1) menjadi nilai (2). Selain itu, pertumbuhan dan kepadatan penduduk juga akan berubah nilai skornya masing-masing naik satu tingkat. Proyeksi indeks kerentanan Pantai Utara Jakarta pada tahun 2020 diprediksi bahwa tiga kecamatan akan mencapai kerentanan sangat tinggi yaitu; Penjaringan, Pademangan dan Cilincing, sedangkan dua kecamatan lainnya akan mencapai kerentanan tinggi yaitu Tanjung Priuk dan Koja tanpa melakukan skenario pengelolaan. Parameter yang berpengaruh terhadap kerentanan adalah kenaikan muka laut dan kepadatan penduduk yang diakibatkan kisaran laju pertumbuhan penduduk dewasa ini sebesar 1,03 1,99% pertahun. Olehnya itu perlu memperhatikan daya dukung lahan dan kondisi ekosistem pesisir sebagai habitat yang memiliki fungsi fisik peredam arus dan gelombang. Dan untuk menghindari dampak kerugian akibat kenaikan muka laut, maka strategi adaptasi hendaknya dikaji dan diimplementasikan dalam kerangka pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Kata kunci: pesisir, kerentanan, kecamatan pesisir Jakarta Utara iv

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB v

7 APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KAJIAN KERENTANAN PANTAI UTARA JAKARTA PAHARUDDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vi

8 vii

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul "Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta". Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK), Sekolah Pasca Sarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB). Sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS selaku Dekan beserta staf administrasi dan keuangan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program Magister Sains di institut ini. 2. Bapak Prof.Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah mendorong dan memotivasi penulis untuk mengikuti pendidikan program Magister Sains di Fakultas ini. 3. Bapak Prof.Dr.Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan didalam memberikan dukungan, bimbingan dan kemudahan dalam penulisan tesis ini. 4. Bapak Dr.Ir. Djisman Manurung, M.Sc sebagai Anggota Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Mayor Teknologi yang banyak memberikan dukungan, bimbingan dan kemudahan dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan, kritik dan saran dalam penyempurnaan tulisan tesis ini. 6. Para staf dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan layanan akademik dan administrasi akademik di Mayor Teknologi Kelautan. 7. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dalam memberikan kesempatan saya untuk melaksanakan Tugas Belajar dalam peningkatan kualifikasi dan kualitas sumberdaya dosen. viii

10 8. Ketua Jurusan Teknologi Penangkapan Ikan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep dan seluruh staf yang mendukung ataupun memberikan semangat serta motivasi didalam terselesaikannya penulisan tesis ini. 9. Dengan rasa cinta penulis ucapkan terima kasih kepada Ayahanda Haji Pudding Maressang dan Ibunda Hajja Tang Damma juga untuk isteri tercinta Warnida, S.Pi serta belahan jiwaku ananda Muhammad Wiryansyah (Ian) dan Muhammad widyawan Ahdiyat (Adit) dan semua sanak saudaraku tercinta yang banyak memberikan dorongan baik moril maupun materil serta dengan sabar terus memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan program Magister Sains ini. 10. Teman-teman Angkatan 2008 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB: Vito,Yuli, Hengky, Jusron, Zulham, Juni dan Anin yang telah banyak memberikan dukungan, saran dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini. 11. Seluruh teman-teman di IPB baik didalam kuliah maupun Forum Pasca Sarjana alumni IPB: Pak Irawan, Pak Khairul Amri, Pak Anto (Lab ITK), Awir, dan Pak Rusdi (Bakosurtanal) semua teman-teman yang tidak disebutkan satu persatu didalam memberikan semangat dan motivasi guna terselesaikannya tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak memiliki kekurangan atau keterbatasan, hingga hal ini memungkinkan terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu kritik, saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaanya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam kebijakan dan pengelolaan Sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia khususnya terkait dengan kajian kerentanan pesisir di pantai Utara Jakarta. Bogor, 24 Januari 2011 Paharuddin ix

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Mei 1971 merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Haji Pudding Maressang dan Hajja Tang Damma. Adapun jenjang pendidikan ditempuh mulai dari Sekolah Dasar (SD Muhammadiyah I) di Makassar, kemudian memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP Muhammadiyah III) di Makassar, dan dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMAN 4) di Makassar. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar Sulawesi Selatan pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Ilmu dan Teknolgi Kelautan dengan judul skripsi "Aplikasi Sistem Informasi Geografi dalam Pemetaan Ekosistem Perairan Laut Dangkal di Pulau Barrang Lompo, Makassar Sulawesi Selatan, dan lulus pada tahun Pada tahun 1997 hingga 2004 menjadi pendiri dan pengurus pada organisasi non pemerintah Yayasan Konservasi Laut Indonesia yang berkedudukan di Makassar dan aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan pesisir dan laut. Tahun menjadi anggota dan pengurus Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW- Indonesia) yang berkedudukan di Jakarta sebagai kontak person untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pada tanggal 16 Juli 1998 melangsungkan pernikahan dengan Warnida, S.Pi dan telah dikarunia 2 (dua) orang putra yakni: Muh. Wiryansyah (11 tahun) dan Muh. Widyawan Ahdiyat (6 tahun). Pada tahun 2005 diterima sebagai PNS di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep Departemen Pendidikan Nasional sebagai staf dosen. Pada tahun 2008 melanjutkan studi ke SPs (Sekolah Pascasarjana) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK) Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan melalui jalur Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis menjadi anggota/ pengurus pada kegiatan organisasi profesi Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB (Forum Wacana IPB) dan Forum Mahasiswa Pascasrajana Sulawesi Selatan (Forum Wacana Sulsel). Judul penelitian tesis penulis adalah "Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Kajian Kerentanan Pantai Utara Jakarta". dhodypi@gmail.com dhody_tpi@yahoo.co.id HP: x

12 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... Halaman DAFTAR TABEL.. xiii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran. 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Satelit ALOS Sistem Informasi Geografi Pemanasan Global dan Kenaikan Muka Laut Karakteristik Kawasan Pesisir dan Laut Kerentanan Pantai Konsep Kerentanan Kuantifikasi Kerentanan Indeks Kerentanan Kenaikan Muka Laut Proses Kenaikan Muka Laut Dampak Kenaikan Muka Laut Kajian Kerentanan Pantai. 25 III. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Peralatan Bahan Peralatan Tahapan Penelitian Diagram Cakupan Kerentanan Keterpaparan (Exposure) Kepekaan (Sensitivity) Daya Adaptasi (Adaptive Capacity).. 34 xi xvi xi

13 3.5. Pengumpulan Data Analisis Data Analisis Ekosistem Pesisir Analisis Karakteristik Geofisik Pesisir Analisis Karaktistik Sosial Ekonomi Indeks Kerentanan Pantai Integrasi Data Spasial dan Atribut Kerentanan Pantai 43 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Lokasi Karakteristik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta Ekosistem Mangrove Ekosistem Padang Lamun Ekosistem Terumbu Karang Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta Karakteristik Fisik dan Sosial Pesisir Jakarta Karakteristik Geofisik Pantai Karaktersitik Sosial Pantura Jakarta Indeks Kerentanan Pantai Persamaan Matematika untuk Dimensi Exposure Persamaan Matematika untuk Dimensi Sensitivity Persamaan Matematika untuk Dimensi Adaptive Capacity Penentuan Bobot Parameter Kerentanan Penilaian Parameter Kerentanan Keterpaparan (Exposure) Kepekaan (Sensitivity) Daya Adaptasi (Adaptive Capacity) Perhitungan Indeks Kerentanan Pantai Kerentanaan Saat Ini Dinamika Kerentanan Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan Analisis Parameter Keterpaparan (Exposure) Analisis Parameter Kepekaan (Sensitivity) Analisis Parameter Daya Adaptif (Adaptive Capacity) Interpretasi Parameter Indeks Kerentanan Pantai 81 V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran. 90 DAFTAR PUSTAKA xii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Spesifikasi citra satelit ALOS Beberapa pengertian kerentanan 12 3 Sinonim dan antonim kata kerentanan Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Dampak utama kenaikan muka laut 24 6 Jenis dan sumber data 28 7 Komponen dimensi keterpaparan (exposure) dan satuan pengukurannya 32 8 Sistem penskalaan dan skoring parameter keterpaparan (exposure) Komponen dimensi kepekaan (sensitivity) dan satuan pengukurannya Sistem penskalaan dan skoring parameter kepekaan (sensitivity) Komponen dimensi daya adaptasi (adaptive capacity) dan satuan pengukurannya Sistem penskalaan dan skoring parameter daya adaptasi (adaptive capacity) Jenis data dan teknik pengumpulan data Kriteria persentase penutupan karang hidup Kriteria baku kerusakan mangrove Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun Luas wilayah menurut kecamatan Luasan ekosistem mangrove di wilayah Jakarta Utara Persentase luasanmasing-masing tutupan lahan dari daerah penelitian pesisir di Teluk Jakarta Panjang garis pantai dan luas wilayah menurut kecamatan di Jakarta Utara Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara Bobot parameter kerentanan lingkungan Nilai skor masing-masing parameter kerentanan lingkungan pantai Hasil perhitungan indeks kerentanan lingkungan di pantai utara Jakarta Indeks kerentanaan saat ini dan karakterisitik spesifik masingmasing lokasi Dinamika indeks kerentenan pantai (Vt) 2 tahun kedepan Indeks kerentanan pantai saat ini dan prediksi 10 tahun kedepan Random consistency. 96 xiii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian kerentanan pantai 5 2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim panas dari tahun : dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun Proyeksi kenaikan muka air laut terendah, menengah dan tertinggi pada kurun waktu 100 tahun. 9 4 Dinamika kerentanan pantai (Preston BL dan Stafford-Smith 2009) 16 5 Prototip indikator kerentanan-resiliensi Lokasi penelitian di Pantai Utara Jakarta Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pantai Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pantai 30 9 Diagram cakupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pesisir (adopsi dari Polsky 2007) Diagram integrasi analisis SIG dan data citra satelit dalam penentuan tingkat kerentanan pesisir Luas Wilayah DKIJakarta menurut kabupaten/kota Penggunaan lahan sumberdaya pesisir Teluk Jakarta dan sekitarnya Aktifitas di pesisir Teluk Jakarta Peta lokasi pelabuhan di Jakarta Tipe geomorfologi pantai Jakarta Utara Rata-rata kenaikan muka laut global yang di peroleh dari AVISO Kecenderungan kenaikan paras laut regional dari Oktober 1992 sampai Maret Kepadatan penduduk di Jakarta Utara Laju pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara Distribusi penduduk di Jakarta Utara Distribusi kawasan permukiman di DKI Jakarta Distribusi perumahan, bangunan dan ruang terbuka hijau di Jakarta Utara Perbandingan nilai parameter exposure kelima lokasi penelitian Perbandingan nilai parameter sensitivity kelima lokasi penelitian Perbandingan nilai parameter adaptive capacity kelima lokasi penelitian.. 72 xiv

16 26 Diagram prediksi indeks kerentanan di Jakarta Utara Nilai skor parameter kenaikan muka laut, erosi, tunggang pasut dan tinggi gelombang maksimum menurut kecamatan di Jakarta Utara Nilai skor parameter kejadian tsunami, pertumbuhan dan kepadatan penduduk menurut kecamatan di Jakarta Utara Nilai indeks keterpaparan (IE) menurut kecamatan di Jakarta Utara Interpolasi ketinggian dari permukaan laut (elevasi) di Jakarta Utara Nilai skor elevasi menurut kecamatan di Jakarta Utara Tipologi pantai menurut kecamatan di Jakarta Utara Interpolasi kelerengan (slope) menurut kecamatan di Jakarta Utara Tipologi penggunaan lahan menurut kecamatan di Jakarta Utara Lokasi pemukiman penduduk menurut kecamatan di Jakarta Utara Indeks kepekaan (IS) Pantai Utara Jakarta Proporsi habitat dan kerapatan mangrove di Jakarta Utara Indeks daya adaptasi (IAC) menurut kecamatan di Jakarta Utara Indeks kerentanan pantai menurut kecamatan di Jakarta Utara. 89 xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner kajian kerentanan pantai 97 2 Perhitungan nilai minimun (batas bawah) dan nilai maksimun (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pantai Penurunan rumus dinamika indeks kerentanan lingkungan pantai Hasil rekapitulasi perhitungan bobot parameter kerentanan lingkungan pantai Rekapitulasi data penelitian Hasil perhitungan dinamika kerentanan menurut kecamatan a. Peta indeks parameter kenaikan muka laut (SLR) dan erosi (ER) pada dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara b. Peta indeks parameter pasut (PS) dan tinggi gelombang (GL) pada dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara c. Peta indeks parameter kepadatan penduduk (PD), laju pertumbuhan penduduk (KP) dan penyebaran pemukiman pada dimensi keterpaparan (eksposure) di Jakarta Utara a. Peta indeks parameter elevasi (EL) dan tipologi pantai (TP) dimensi sensitivity (kepekaan) di Jakarta Utara b. Peta indeks parameter penggunaan lahan (PL) dan kemiringan (SL) dimensi sensitivity (kepekaan) di Jakarta Utara c. Peta Indeks parameter kemiringan (SL) pada dimensi sensitivitas (kepekaan) Indeks kerentan lingkungan pantai di Jakarta Utara Peta potensi rawan banjir dan subsidence di DKI Jakarta Trend kenaikan muka laut dan proyeksi daerah banjir di DKI Jakarta xvi

18 Penguji Luas Komisi : Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si xvii

19 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara fisik, pesisir adalah suatu kawasan yang sempit dan merupakan kawasan peralihan atau pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat, kawasan pesisir merupakan daratan kering maupun terendam air yang dipengaruhi oleh sifat laut seperti efek: intrusi air laut, pasang surut, dan naiknya permukaan laut (sea level rise) karena efek pemanasan global (global warming), sedangkan ke arah laut merupakan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang masih terjadi di darat seperti aliran air tawar dan aktivitas manusia (Rais 1998b). Walaupun kawasan pesisir mencakup hanya 15% dari permukaan bumi, tetapi lebih dari 60% penduduk dunia hidup di kawasan ini (Rais 1997; Rais 1998b). Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang lemah atau bersifat rentan oleh faktor lingkungan seperti variabilitas iklim, perubahan iklim dan naiknya permukaan laut, resiko gempa bumi, tsunami dan perisitiwa vulkanik, dan ekosistem-ekosistem rapuh (Pratt et al. 2004). Mengingat sangat strategis kawasan pesisir sekaligus rentan terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, maka dalam pemanfaatan kawasan pesisir harus dicari keseimbangan optimum antara pemanfaatan dengan pelestariannya. Salah satu teknologi yang saat ini berkembang sangat pesat dan potensial untuk aplikasi inventarisasi sumberdaya alam dan lingkungan adalah teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh yang mempunyai keunggulan dibidang resolusi spasial (0,5 m sampai 1,1 km), temporal (dari 15 sampai 30 hari), dan resolusi spektral (dari 1 saluran/band hingga ratusan) sangat relevan untuk deteksi dan identifikasi tingkat kerentanan pantai. Teknologi Penginderaan Jauh (inderaja) semakin berkembang melalui kehadiran berbagai sistem satelit dengan berbagai misi dan teknologi sensor. Aplikasi satelit penginderaan jauh telah mampu memberikan data/informasi tentang sumberdaya alam daratan dan kelautan secara teratur dan periodik. Ketersediaan data inderaja/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan analisis dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data inderaja dapat digunakan sebagai input yang independen untuk verifikasi lapangan (Rubini

20 2 1995). Data tersebut dapat diolah dan dianalisis lebih lanjut sebagai data masukan bagi pengembangan Sistem Informasi Geografi. Sistem Informasi Geografi adalah suatu informasi yang berbasiskan komputer digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengambil kembali, memanipulasi, menganalisa dan mengeluarkan data yang bereferensi secara geografi (spasial) yang disimpan dalam basis data digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Pantai adalah suatu zona yang dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antar tiga fase yang sangat rumit yakni: lautan, daratan, dan udara. Zona pantai senantiasa memiliki proses penyesuaian yang terus menerus menuju keseimbangan alami terhadap dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun non alami. Faktor alami diantaranya adalah gelombang, arus, aksi angin, input dari sungai, kondisi tumbuhan pantai serta aktifitas tektonik maupun vulkanik. Faktor non alami seperti kegiatan campur tangan manusia/buatan dalam hal ini, adalah pemanfaatan kawasan pantai sebagai suatu kawasan seperti: perikanan, industri, pelabuhan, pariwisata, pertanian/kehutanan, pertambangan dan pemukiman. Kajian tingkat kerentanan pantai dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografi dan data penginderaan jauh melalui analisis spasial terhadap parameter yang terkait dengan dimensi kerentanan. Tingkat kerentanan pantai dapat dihitung dengan mengembangkan konsep kerentanan pantai yang dikembangkan oleh Fussel dan Klein (2006) maupun Turner et al. (2003) dimana konsep kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan daya adaptasi (adaptif capacity). Wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jakarta merupakan zona yang rawan terhadap fenomena alam kenaikan muka laut (sea level rise). Wilayah Kotamadya Jakarta Utara sebagian besar terdiri dari tanah daratan hasil dari pengurukan rawa-rawa yang mempunyai ketinggian rata-rata 0 s/d 1 meter diatas permukaan laut terutama disepanjang pantai. Daratan Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang 35 km menjorok ke darat antara 4-10 km. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 2 meter, dan tempat tertentu ada yang di bawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa atau empang

21 3 air payau. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 9 (sembilan) sungai dan 2 (dua) banjir kanal menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik kiriman maupun banjir karena pasang air laut (BPS Jakarta Utara 2007). Permasalahan di wilayah pesisir sangat sensitif dan rentan terhadap fenomena alam perubahan iklim dan pemanasan global. Dampak yang diterima di wilayah pesisir akibat fenomena ini merupakan hal yang perlu dikaji untuk mengidentifikasi secara spasial tingkat kerentanan pantai dan memproyeksikan perubahan kerentanan pantai dimasa yang akan datang diakibatkan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan Pantai Utara Jakarta. Pengaruh eksternal dan internal ini dapat dikaji polanya dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi dan data penginderaan jauh Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana dampak kenaikan muka laut terkait dengan parameter geomorfologi dan biofisik pesisir terhadap tingkat kerentanan Pantai Utara (Pantura) Jakarta dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi dan data penginderaan jauh? b. Bagaimana perubahan tingkat kerentanan pantai dimasa mendatang berdasarkan parameter yang mempengaruhinya di wilayah pesisir Pantai Utara Jakarta? 1.3. Batasan Masalah Adapun batasan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Identifikasi tingkat kerentanan fisik pantai dengan menggunakan data citra satelit ALOS dan Sistem Informai Geografi di wilayah Pantai Utara Jakarta. b. Pengembangan konsep kerentanan pantai yang merupakan fungsi dari keterpaparan/keterbukaan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan daya adaptasi (adaptif capacity).

22 4 c. Objek penelitian difokuskan pada wilayah pesisir Pantai Utara Jakarta, Propinsi DKI Jakarta. d. Penelitian hanya mencakup zona pantai ke arah laut dan zona sub-litoral hingga ke sempadan pantai Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah a. Mengidentifikasi tingkat kerentanan pantai dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi dan data citra satelit ALOS (Advanced Land Observation Satellite) Pantai Utara Jakarta. b. Menghitung indeks kerentanan pantai dan memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa yang akan datang diakibatkan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan Pantai Utara Jakarta Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan : a. Memberikan gambaran mengenai dampak perubahan iklim dan pemanasan global terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) yang rawan akan bencana di sepanjang wilayah pesisir Pantura Jakarta. b. Memberikan data/informasi spasial terkait tingkat kerentanan pantai di sepanjang pesisir Pantura Jakarta. c. Dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dan stakeholder terkait dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan wilayah pesisir di Pantura Jakarta khususnya upaya mitigasi dan adaptasi akibat perubahan muka laut Kerangka Pemikiran Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut ini:

23 5 Pemanasan Global Kondisi Kekinian Kerentanan Pantai Lingkungan Pesisir Cakupan Kerentanan Dimensi Kerentanan Lingkungan Pesisir Keterpaparan (E) Kepekaan (S) Daya adaptasi (AC) 7 Komponen 5 Komponen 5 Komponen Skala, Skor dan Pembobotan Data Citra Satelit Data Atribut / Raster Pengolahan Citra SIG Pantai Utara Jakarta Overlay Klasifikasi Analisis Spasial Kategori Kerentanan IKP (Indeks Kerentanan Pantai) Adaptasi / Mitigasi bencana akibat SLR Indeks Exposure X Indeks Sensitivity Indeks Adaptif Capacity. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian kerentanan pantai.

24 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Satelit ALOS Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, saat ini tersedia satelit ALOS yang memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) PRISM yang dapat merekam pada julat gelombang tampak dengan resolusi spasial 2,5 meter; 2) AVNIR yang dapat merekam pada julat gelombang sinar tampak hingga inframerah dekat dan memiliki resolusi spasial 10 meter; dan 3) PALSAR yang merupakan sensor perekam radar (ALOS/JAXA 2006). Dengan sensor yang dibawa pada PRISM dan AVNIR, memungkinkan untuk melakukan identifikasi objek dasar perairan dangkal (Prayudha 2008). Spesifikasi citra satelit ALOS dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Spesifikasi citra satelit ALOS Pembedaan objek pada citra satelit dapat dilakukan secara visual melalui teknik interpretasi maupun melalui teknik interpretasi secara digital. Teknik interpretasi secara digital dilakukan dengan jalan menganalisis tiap nilai digital yang ditampilkan pada setiap piksel dari citra satelit. Posisi dari tiap piksel dipresentasikan pada sistem koordinat xy, contohnya pada citra Landsat, koordinat asal berada pada pojok kiri atas citra. Tiap piksel memiliki nilai numerik yang disebut dengan nilai digital yang menunjukkan intensitas energi elektromagnetik yang terukur yang berasal dari pantulan, hamburan, atau pancaran dari obyek yang diindera. Nilai digital memiliki julat dari 0 sampai nilai tertinggi pada tingkat keabuan tertentu. Nilai digital terekam sebagai seri data bits, yang mampu

25 7 mengkombinasikan angka 1 dan 0 secara bertingkat. Misalnya, untuk seri data 8 bit akan mampu menampilkan 256 tingkat keabuan pada citra hitam putih (2 8 = 256 tingkat kecerahan), nilai minimum atau nol akan ditampilkan gelap pada citra dan nilai maksimum atau 256 akan ditampilkan dengan warna putih atau cerah (Sabins 1987). 2.2 Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi adalah suatu informasi yang berbasiskan komputer digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengambil kembali, memanipulasi, menganalisa dan mengeluarkan data yang bereferensi secara geografi (spasial) yang disimpan dalam basis data digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir (Aronoff 1993). SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual (variabel data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai dimensi waktu (Purwadhi 2001). 2.3 Pemanasan Global dan Kenaikan Muka Laut Pemanasan global terjadi karena dipicu oleh meningkatnya emisi CO 2 yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pemakaian bahan bakar untuk berbagai aktivitas, penggundulan hutan, maupun kejadian alam seperti peristiwa gunung meletus. Berkaitan dengan emisi CO 2, IPCC menyebutkan bahwa sebelum revolusi industri, konsentrasi CO 2 sekitar 280 ppm dan dari kajian terakhir rata-rata peningkatannya sekitar 1,8 ppm/tahun. Peningkatan konsentrasi CO 2 itu telah menyebabkan meningkatnya suhu permukaan sekitar 0,3 o C 0,6 o C pada 100 (seratus) tahun terakhir (Mimura dan Harasawa 2000).

26 8 Perbandingan anomali suhu bulan Juni Agustus (nilai tengah relatif tahun dalam C) beberapa bagian di Eropa yang menunjukkan pengamatan suhu (garis hitam), dan suhu dari simulasi model HadCM3 (garis merah). Pengamatan suhu tahun 2003 ditunjukkan titik panah, kejadian musim panas tahun 2003 hingga 2040 di Eropa. Perbandingan dari hasil observasi dan simulasi ini menunjukkan anomali kenaikan lebih cepat 2,4 o C pada titik potong di tahun 2040 (Stott et al. 2004). Perbandingan skenario iklim disajikan dalam Gambar 2. Gambar 2 Perbandingan skenario iklim (garis merah) dengan temperatur musim panas dari tahun : dan iklim panas (panah hitam) di Eropa tahun Berdasarkan kecenderungan peningkatan suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi cm dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000). Hasil proyeki IPCC seperti disajikan pada Gambar 3 kenaikan muka laut terendah mencapai 18 cm di tahun 2100, nilai tengah 44 cm, dan nilai maksimal 90 cm.

27 9 Sumber: IPCC Gambar 3 Proyeksi kenaikan muka air laut terendah (L), menengah (M) dan tertinggi(h) pada kurun waktu 100 tahun Kenaikan permukaan air laut ini ditengarai akan memberikan dampak yang sangat besar. Sebagai contoh kenaikan permukaan air laut sebesar 1 meter akan mengakibatkan kehilangan lahan daratan seluas 5-10 ribu mil² di Amerika Serikat dan mempengaruhi kawasan pantai sepanjang mil (Kombaitan 2001). Kerugian yang ditimbulkan oleh kehilangan daratan seluas itu tentunya akan lebih jelas terlihat apabila kita melihat aktivitas yang ada dikawasan tersebut. Hal itu disebabkan aktivitas-aktivitas yang ada akan terganggu atau bahkan tidak bisa dilakukan lagi. Perubahan tinggi permukaan air laut dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah seperti yang teridentifikasikan oleh pemanasan global. Dampak lanjutan dari pengaruh pasang surut dan kemungkinan kenaikan muka laut secara permanen antara lain perubahan kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi, makin cepatnya kerusakan bangunan dan terganggunya kegiatan penduduk seperti permukiman, perindustrian, pertanian dan kegiatan lainnya (Suprijanto 2003). Pengamatan pada beberapa lokasi stasiun penelitian di beberapa kawasan pantai di Indonesia menunjukan adanya peningkatan yang bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya. Kenaikan muka air laut pertahun di Belawan adalah 7,83 mm; Jakarta adalah 4,38 mm; Semarang adalah 9,27 mm; Surabaya adalah 5,47 mm dan di Panjang-Lampung adalah 4,15 mm. Berdasarkan data pada

28 10 tahun di pantai Cilacap menunjukan kenaikan rata-rata muka air laut pertahun adalah 1,3 mm. Maka rata-rata kenaikan muka air laut pertahun pada pantai di 6 (enam) kota di pulau Jawa adalah lebih tinggi dari kondisi pantai secara global. Secara sepintas menggambarkan bahwa kawasan pantai di Jawa cenderung berkurang lebih cepat dibandingkan kawasan pantai skala global (Hadikusumah 1993). 2.4 Karakteristik Kawasan Pesisir dan Laut Adapun karakteristik umum kawasan pesisir/tepi air (Suprijanto 2002), antara lain : a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai, serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori, yaitu: - daerah rawa atau di atas air (laut/sungai/danau) - daerah relatif datar/kemiringan 0-20% (di darat, termasuk daerah pasang surut); - daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20-60% (di darat); b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air laut/sungai/danau terhadap air tanah, serta merupakan daerah retensi sehingga run-off air rendah. c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah lembek, serta rawan bencana tsunami. d. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan kelembaban tinggi. e. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan pengendapan sedimen pada badan air (laut, sungai atau danau) sehingga garis pantai sering berubah, yang berakibat terganggunya aktivitas yang sedang maupun yang akan berlangsung. Pengendapan sedimen yang berakibat pendangkalan badan air menjadikan terganggunya transportasi air. f. Terdapat berbagai jenis vegetasi spesifik seperti tanaman bakau dapat berfungsi untuk mencegah abrasi, serta menjadi pemandangan alami. g. Terdapat binatang yang spesifik seperti bangau, dan ikan jenis tertentu.

29 11 h. Cocok bagi pengembangan perikanan darat (tambak) dan perikanan laut. Pantai merupakan suatu wilayah yang dimulai dari titik terendah air laut waktu surut hingga ke arah daratan sampai batas paling jauh ombak/gelombang menjulur ke daratan. Jadi daerah pantai dapat juga disebut daerah tepian laut. Adapun tempat pertemuan antara air laut dan daratan dinamakan garis pantai (shore line). Garis pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang surut air laut. Pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas dari pada pantai. Wilayah pesisir mencakup wilayah daratan sejauh masih mendapat pengaruh laut (pasang surut dan perembasan air laut pada daratan) dan wilayah laut sejauh masih mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan sedimen dari darat). 2.5 Kerentanan Pantai Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan pantai. Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan. Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekuensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut Konsep Kerentanan Pantai Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara. Pada Tabel 2 disajikan beberapa pengertian kerentanan.

30 12 Tabel 2 Beberapa pengertian kerentanan Nama Tahun Pengertian Timmerman 1981 Derajat atau tingkat dari suatu sistem pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Tingkat dan kualitas dari suatu reaksi yang dikondisikan oleh resiliensi sistem tersebut. Susman et al Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda yang dibedakan dalam hal resiko baik dalam hal kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial. Kates et al Kapasitas yang dapat diadaptasi dari sutau gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik. UN Departemen of Humanitarian Affairs 1992 Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam. Cutter 1993 Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya. Watts dan Bohle 1993 Kerentanan didefiniskan sebagai fungsi dari keterpaparam, kapasitas dan potensial, dimana menurut perspektif dan normatif respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, menguatkan potensi pemulihan. Blaikie et al Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi, mengatasi, resistensi dan memulihkan dari dampak bencana alam. Bohle et al Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan. Dow dan Downing 1995 Perbedaan kepekaan dari keadaaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Smith 1996 Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian. Vogel 1998 Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim. Adger dan Kelly 1999 Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka. Liechenko dan O Brien Sumber: disadur dari Ford (2002) 2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi nasional dan internasional mempengaruhi kapasitas individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi.

31 13 Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal. Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang mengalami kerusakan. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefenisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 3. weak powerless insecure passive expose unprotected unstable risk constrained/limited fragile small peripheral marginal dependent Sumber: Campbell (2009). Tabel 3 Sinonim dan antonim kata kerentanan Synonym Antonym English Indonesia English Indonesia lemah strong sangat lemah powerfull tidak terjamin secure pasif active terbuka covered tidak terlindung protected tidak stabil stable beresiko safety terbatas free/unlimited rapuh robust sempit large tidak memusat central terpinggirkan important tidak bebas independent kuat sangat kuat terjamin aktif tertutup terlindung stabil aman tidak terbatas tegap luas terpusat penting bebas Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4 (empat) tahapan, yaitu; dimulai dengan kajian dampak (impact assessment), kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment first generation), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment second generation), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment) (Fussel dan Klein 2006). Kajian kerentanan generasi pertama dikarakteristikkan oleh adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat

32 14 yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah. Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar penilaian potensi daya adaptasi pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006). Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan daya adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dari karakteristik setiap tahap dari perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik 4 tahapan yang berbeda dari perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim Kajian Kajian Kerentanan Kajian Kebidampak Generasi pertama Generasi kedua jakan Adaptasi Fokus utama kebijakan Kebijakan mitigasi Kebijakan mitigasi Alokasi sumberdaya Kebijakan adaptasi Pendekatan analisis Hasil utama Waktu Skala ruang Positif Positif Positif Normatif Dampak potensi Jangka panjang Nasional ke global Adaptasi awal (pre-adaptation) Jangka panjang Nasional ke global Adaptasi akhir (post-adaptation) Sedang-jangka panjang Lokal ke global Pertimbangan Kecil Parsial penuh Penuh iklim, non-iklim dan adaptasi Integrasi antara Rendah Rendah ke sedang Sedang ke tinggi Tinggi ilmu sosial dan alam Keterlibatan stakeholder Rendah Rendah Sedang Tinggi Sumber : Fussel dan Klein (2006). Rekomendasi strategi adaptasi Pendek-jangka panjang Lokal ke nasional Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidakmampuan mengatasi dampak dari perubahan iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Adapun Kasperson et al. (2003) dan Turner et al. (2003) menyebutkan bahwa kerentanan adalah

33 15 tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut (IPCC-CZMS 1992). Dolan dan Walker (2004) mengemukakan terdapat 3 karakteristik dari kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh keterpaparan suatu sistem terhadap bencana alam (misalnya banjir di wilayah pesisir) dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini, kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dan distribusi dampak/efek negatif dari resiko diantara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan terhadap akses sumberdaya. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara kejadian/peristiwa secara fisik dari fenomena sosial yang menyebabkan keterpaparan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul. Kerentanan pesisir meliputi kerentanan lingkungan (environmental vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) lingkungan termasuk didalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan disetiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan secara luas dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas diseluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (SOPAC 2005).

34 16 Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Preston BL dan Stafford-Smith 2009). Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik. Dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya disajikan pada Gambar 4. Kondisi Sekarang Target adaptasi adalah mengurangi kerentanan saat ini dan akan datang terhadap perubahan biofisik Perubahan akan datang Faktor Biofisik Variabel iklim Topografi Penggunaan lahan Perlindungan Infrastruktur + Perubahan suhu Perubahan curah hujan Perubahan evaporasi Perubahan kelembaban Perubahan muka laut + + Faktor Sosial Sumberdaya Teknologi Pendidikan Modal sosial + Pertambahan penduduk Pertumbuhan ekonomi Perubahan nilai Kebijakan baru Target adaptasi adalah memperhatikan faktorfaktor sosial saat ini yang akan mempertajam perubahan sosek kedepan = = Kerentanan saat ini Kerentanan masa datang Gambar 4 Dinamika kerentanan pantai (Preston BL dan Stafford-Smith 2009) Kuantifikasi Kerentanan Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensivity), dan kapasitas atau daya adaptasi (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006) mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi sebagai berikut: V = f(e, S, AC) Brenkert dan Malone (2005) juga menggambarkan kerentanan suatu negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut sebagai fungsi dari keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi (Gambar 5).

35 17 Perubahan Iklim Keterpaparan ( ) Pangan Air Perumahan Kesehatan Ekosistem Kepekaan Kerentanan dan Resiliensi Daya Adaptasi (+) Sumberdaya manusia Kemampuan Ekonomi Kapasitas lingkungan Gambar 5 Prototip indikator kerentanan-resiliensi Keterpaparan (exposure) Keterkaitan antara kerentanan dengan keterpaparan juga dikemukakan oleh Adger (2006) dan Kasperson et al. (2003), dimana keterpaparan merupakan salah satu konsep dari kerentanan yang memiliki pengertian umum dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Keterpaparan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen pengembangan kerentanan. Keterpaparan merupakan sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation). Keterpaparan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dapat dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim. Keterpaparan menggambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami keterpaparan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekuensi dari suatu gangguan (Luers et al. 2003) Kepekaan (sensitivity) Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Sementara

36 18 itu, Allen (2005) mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan peka apabila respon dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman kepekaan dari suatu sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut. Dalam pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah pemahaman terhadap kepekaan dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak (Luers et al. 2003). Adger (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel (2006) mengatakan bahwa kepekaan tidak dapat dipisahkan dari keterpaparan. Luers (2005) juga mengkombinasikan pengertian kepekaan dan keterpaparan, dimana ia mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu Daya Adaptasi (Adaptif Capacity) Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dan iklim atau dampak dari perubahan iklim. Daya adaptasi adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim) yang membuat potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan tersebut (Fussel dan Klien 2006). Menurut Luers (2005), daya adaptasi merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem.daya adaptasi menggambarkan kemampun dari suatu sistem terhadap

37 19 perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau terjadi secara otomatis. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim (Allen 2005). Daya adaptasi suatu sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik dampak perubahan kondisi eksternal (Fussel dan Klein 2006). Daya adaptasi merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit dan Pilifosova 2003). Dalam hal ini, daya adaptasi direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu kerusakan (SOPAC 2005). Resiliensi alami (intrinsic resilience) adalah kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh, pantai yang bervegetasi memiliki ketahanan yang kuat secara alami terhadap gerusan arus dan hantaman gelombang pasang dibanding dengan pantai yang tidak bervegetasi. Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem, komunitas atau sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Brooks (2003) mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan daya adaptasi menjadi faktor yang spesifik dari faktor general/umum dan juga berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dan perilaku penduduk atau masyarakat.

38 20 Menurut Downing et al. (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian. Dampak tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel, proses-proses dan gangguan yang dikarakteristikkan oleh kerentanan tersebut (Luers et al. 2003). Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut: (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi kepekaannya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi keterpaparan sistem terhadap tekanan. Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC (2007) membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti: (a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti: (a) implementasi konsep dari pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b) penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir. 2.6 Indeks Kerentanan Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell dan Hart 1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang

39 21 berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan dibeberapa negara berkembang. Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal (Bossel 1999). Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala. Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan/keterkaitannya dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi secara menyeluruh kedalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki dari indikator kerentanan. Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah kompatibel (Villa dan McLeod 2002). Schroter et al. (2005) menyajikan 8 tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: (1) mendefenisikan wilayah studi, baik secara spasial maupun temporal; (2) mencari dan mengumpulkan informasi terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti sebelumnya; (3) mengembangkan hipotesis siapa/apa yang mengalami kerentanan; (4) mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan keterpaparan, kepekaan, dan daya adaptasi, mengidentifikasi faktor pendorong, (5) menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator keterpaparan, indikator kepekaan, dan indikator daya adaptasi; (6) mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan indikator, validasi hasil; (7) pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario dari aplikasi model; dan (8) mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada stakeholder.

40 Kenaikan Muka Laut Proses Kenaikan Muka Laut Selama proses pemanasan global (perubahan iklim), dua proses utama yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah (1) pemanasan lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air (lautan), dan (2) pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009). Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi pada skala regional dan global serta faktor-faktor lokal (Nichols 2002). Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah (Church et al. 2001): Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub. Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan sirkulasi lautan. Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan tektonik. Kajian terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan peneliti. Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2,5 mm/tahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat mencapai maksimum 30 mm/tahun. Berdasarkan kecenderungan peningkatan suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi cm dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (Mimura dan Harasawa 2000). Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. DKP (2009) memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Kabupaten Pangkajene Kepulauan sekitar 2,60 mm/tahun.

41 Dampak Kenaikan Muka Laut Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu: (1) tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun), dan (2) karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai (Nallathiga 2006). Proyeksi kenaikan muka laut akibat pemanasan global akan mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah (Yamano et al. 2007; Barnet dan Adger 2003). Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman, penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang (Leathermen 1997). Erosi pantai, perendaman dan instrusi air laut merupakan dampak dari kenaikan muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu (Aung et al. 2009). Hal yang sama juga dikemukan oleh Mimura (1999), bahwa dampak yang prinsip ingin diantisipasi dari kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil khususya pulau atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan instrusi air laut. Upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim ini harus didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dari perubahan struktur bangunan (Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003). Wilayah pesisir merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan hilangnya lahan darat (USCCSP 2009). Kenaikan muka laut dapat memperparah perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pantai terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor kritis dalam kajian potensi dampak. Flora dan fauna yang umumnya sangat kaya terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh kenaikan muka laut. Kualitas dan kuantitas serta distribusi spasial dan habitat di wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas dan hilangnya daerah lahan basah.

42 24 Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah akrab dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah (termasuk ekosistem lamun) menunjukkan bahwa sekitar 33% dari lahan basah di dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu 2000 sampal 2080, dan akan hilang sekitar 44% pada kenaikan muka laut sekitar 72 cm (Church et al. 2007). Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan mengurangi ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik. Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses geologi seperti subsiden. Umumnya pesisir yang mengalami subsiden akan lebih terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan muka laut juga dikemukan oleh Nicholls (2002) seperti disajikan pada Tabel 5 berikut: Tabel 5 Dampak utama kenaikan muka laut Dampak Biofisik Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater Kehilangan daerah lahan basah Erosi Intrusi air laut/air permukaan Faktor Relevan Lainnya Iklim Non Iklim Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off Suplai sedimen Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen Run-off, curah hujan Suplai sedimen, penanganan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Suplai sedimen Suplai sedimen Pengelolaan daerah tangkapan air

43 Kajian Kerentanan Pantai Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan global terus berkembang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs (1991) mengembangkan indeks kerentanan pantai dengan memasukkan parameter dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga memiliki sebuah angka (indeks) untuk pengelolaan wilayah pesisir. Kajian kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan oleh SOPAC (2005) untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di kawasan Pasifik Selatan. Pendekatan yang digunakan adalah melakukan penjumlahan terhadap nilai skor (1 7) dari 50 parameter/indikator yang mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang dikemukakan SOPAC (2005) ini dilakukan oleh Gowrie (2003) untuk menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago. Pilihan terhadap metode penjumlahan atau perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga dikemukakan oleh Villa dan McLeod (2002), dimana disebutkan bahwa penggunaan metode perkalian untuk sub-indikator yang komponennya saling berinteraksi adalah yang paling sesuai. Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sementara itu, mayoritas populasi di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Strategi yang ditempuh secara internasional dalam menghadapi kenaikan permukaan laut ini adalah bersifat pendekatan penyesuaian (adaptasi) sebab adaptasi lebih tepat dari pada mengatasi apalagi melawan. Dampak yang berskala global ini akan sangat mahal dan bahkan dengan kemampuan teknologi yang ada

44 26 saat inipun tidak akan dapat mengatasinya. IPCC merekomendasikan empat strategi adaptasi untuk perencanaan daerah pantai, yaitu: (i) manajemen perencanaan kawasan pantai harus memperhitungkan faktor kenaikan permukaan laut; (ii) identifikasi daerah-daerah rawan terhadap kenaikan permukaan laut; (iii) pengembangan pantai tidak meningkatkan kerentanan terhadap kenaikan permukaan laut; dan (iv) kesiapsiagaan dan mekanisme respons terhadap kenaikan permukaan laut ini harus dikaji kembali. Bila strategi IPCC diterapkan di Pulau Jawa yang pantai utaranya sangat rentan terhadap kenaikan muka laut ini, penataan wilayah perkotaan di pantai utara ini hendaknya dikendalikan arah perkembangannya tidak terlalu dekat ke daerah pantai. Strategi ini akan mengurangi risiko penduduk dari hantaman gelombang pasang disamping juga menghindarkan penduduk dari masalah pengadaan air bersih akibat intrusi air laut yang membuat air bawah tanah menjadi asin.

45 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah 5 (lima) kecamatan pesisir Pantai Utara Jakarta, Propinsi DKI Jakarta yang terletak antara 08º22'00-08º50'00 Lintang Selatan dan 121º55'40" - 122º41'30'' Bujur Timur. Kecamatan pesisir tersebut adalah: 1) Kecamatan Penjaringan, 2) Pademangan, 3) Koja, 4) Tanjung Priuk, dan 5) Kecamatan Cilincing. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan terhitung bulan Januari Juni Lokasi penelitian disajikan dalam Gambar 6. Gambar 6 Lokasi penelitian di Pantai Utara Jakarta 3.2 Bahan dan Peralatan Bahan Pada penelitian ini, Bahan yang digunakan adalah : Citra satelit ALOS Kotamadya Jakarta Utara tahun Peta RBI lembar tahun 2008 dari Bakosurtanal dengan skala 1 : Data yang terkait dengan komponen dimensi kerentanan pantai meliputi: karakterisitk pantai dan dinamika pesisir (tipologi, kenaikan muka laut relatif, tunggang pasang surut, tinggi gelombang rata-rata, elevasi, jenis batuan, dan perubahan garis pantai). Jenis dan sumber data disajikan pada Tabel 6.

46 28 Tabel 6 Jenis dan sumber data No Jenis data Sumber data Dimensi Keterpaparan 1. Kenaikan muka laut aviso.oceanobs. com/en/news/oceanindicators/mean-sealevel/index.html. 2. Erosi Pantai Citra ALOS Tinggi gelombang Dinas Hidro-Oseanografi 4. Pasang Surut Dinas Hidro-Oseanografi 5. Kejadian Tsunami http : // 6. Pertumbuhan Penduduk BPS Jakarta Utara 7. Kepadatan Penduduk BPS Jakarta Utara Dimensi Kepekaan 1. Elevasi pantai Bakosurtanal 2. Kelerengan (slope) Bakosurtanal 3. Tipologi pantai BAPEKO Jakarta Utara dan pengamatan lapang 4. Tipologi penggunaan pantai BAPEKO Jakarta Utara dan pengamatan lapang 5. Pemukiman Penduduk BAPEKO Jakarta Utara dan pengamatan lapang Dimensi Daya Adaptasi 1. Habitat Pesisir Bakosurtanal 2. Mangrove Pengamatan lapang dan data citra ALOS 3. Terumbu Karang Pengamatan lapang dan data citra ALOS 4. Lamun Pengamatan lapang dan data citra ALOS 5. Kawasan Konservasi mangrove Departemen Kehutanan Peralatan Pada penelitian ini, peralatan yang digunakan adalah: GPS Garmin etrex 12 Channel Komputer Pentium(R) 4 CPU 2.00 GHz Software ArcView GIS 3.3, Ermapper 6.4 dan MS-Office 2007 Kamera digital BenQ DC T860 Pentax Zoom Lens 8 megapixel Kuisioner (Lampiran 1)

47 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian kerentanan pantai secara diagramatik disajikan pada Gambar 7. Penelitian diawali dengan kajian pustaka dan penyusunan proposal penelitian. Setelah usulan penelitian disetujui dilanjutkan dengan persiapan pelaksanaan penelitian. Sebelum memulai pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan persiapan pelaksanaan penelitian. Hal-hal yang dipersiapkan antara lain penyediaan alat-alat pengukuran dan pengambilan data lapang, penyiapan daftar pertanyaan/kuesioner dan penelusuran data sekunder melalui situs internet. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengukuran dan pengamatan lapang, serta wawancara dengan masyarakat di lokasi studi. Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data, termasuk analisis spasial dengan menggunakan SIG. Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian dan penulisan tesis. Tahapan penelitian disajikan dalam Gambar 7. Kajian Pustaka Penyusunan dan persetujuan Proposal Persiapan pelaksanaan penelitian Pengumpulan data Data Primer Data Sekunder Pengolahan Data Pengolahan citra dan SIG Analisis Data Pembahasan Hasil dan Penulisan Tesis Gambar 7 Tahapan pelaksanaan penelitian kerentanan pantai

48 30 Tahapan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Ermapper 6.5, ArcView 3.3 dan MS-exel 2007, analisis data kajian kerentanan pantai secara diagramatik disajikan pada Gambar 8. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan dan pengumpulan data dari instansi terkait. Adapun metode atau pendekatan yang digunakan dalam menganalis data, terdiri dari tiga jenis metode, yaitu: (1) analisis ekosistem dan sumberdaya pesisir. Melalui analisis ini diperoleh gambaran umum tentang kondisi ekosistem dan sumberdaya pesisir di lokasi penelitian; (2) analisis karakteristik fisik dan sosial masyarakat. Hasil dan analisis ini adalah gambaran umum karakteristik fisik pantai seperti kontur pantai, ketinggian pantai dari permukaan laut, kelerengan pantai, dan karakteristik sosial masyarakat termasuk persepsi masyarakat, infrastruktur yang ada di pesisir; (3) analisis kerentanan lingkungan pesisir. Hasil yang didapatkan dari analisis ini adalah informasi terkait dengan dinamika kerentanan pesisir. Nilai parameter perdimensi yang diperoleh ditransformasikan ke dalam nilai skor untuk menghitung indeks perdimensi kerentanan berdasarkan formulasi persamaan matematika yang dikembangkan oleh Tahir (2010). Setelah dilakukan overlay terhadap hasil analisis didapatkan keluaran dari penelitian berupa indeks kerentanan pantai dan proyeksi tingkat kerentanannya dimasa mendatang. Pengumpulan data Metode / pendekatan Analisis Hasil analisis Output penelitian Kajian Pustaka Survey Lapangan Analisis ekosistem dan sumberdaya Analisis karaktersistik fisik dan sosial pantai Analisis kerentanan lingkungan pantai Kondisi ekosistem dan SD Pesisir Gambaran umum karakterisitik fisik dan sosial pantai Dinamika kerentanan pantai Indeks kerentanan pantai dan proyeksi tingkat kerentanan Gambar 8 Diagram tahapan analisis data kajian kerentanan pantai

49 Diagram Cakupan Kerentanan Pantai Analisis kerentanan pantai mengacu kepada konsep yang dikembangkan oleh Turner et al. (2003) dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi dari suatu sistem pesisir. Untuk mengidentifikasi komponen kerentanan, Polsky et al. (2007) mengembangkan model Vulnerability Scoping Diagram (Diagram Cakupan Kerentanan). Model VSD ini menempatkan keterpaparan, kepekaan dan daya adaptasi sebagai dimensi kerentanan (Gambar 9). Selanjutnya dilakukan determinasi terhadap komponen dimensi kerentanan dan pengukuran komponen dimensi kerentanan. Gambar 9 Diagram cakupan kerentanan (vulnerability scoping diagram) pesisir (adopsi dari Polsky 2007)

50 Keterpaparan (Exposure) Dimensi keterpaparan (exposure) terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: 1) dinamika pesisir; 2) gangguan alam; dan 3) penduduk. Komponen yang diukur dan skor penilaian disajikan dalam Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7 Komponen dimensi keterpaparan (exposure) dan satuan pengukurannya Komponen Dimensi (E) Simbol Satuan pengukuran Kenaikan Muka Laut 1) (SR) mm/tahun Erosi Pantai 1) (ER) m/tahun Rara-Rata Tunggang Pasang 1) (PS) m Rata-Rata Tinggi Gelombang 1) (GL) m Tsunami 2) (TS) Kejadian (100 thn terakhir) Pertumbuhan Penduduk 3) (PD) % pertahun Kepadatan Penduduk 3) (KP) Jiwa/ha Keterangan : 1) Komponen dimensi dinamika pesisir 2) Komponen dimensi gangguan alam 3) Komponen dimensi penduduk Tabel 8 Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan dimensi keterpaparan (exposure) E Skor Sumber SR mm/thn < 4,99 5 9, , >25 DKP (2008) 1) ER m/thn >2,0 1,0 2,0-1,0 1,0 1,0 (-2,0) <-2,0 Gornitz et al. (1992) 2) PS m <0,50 0,51 1,0 1,1 2,0 2,1 4,0 >4 DKP (2008) 1) GL m <0,50 0,51-1 1,1-1,5 1,51 2 >2 DKP (2008) 1) TS *) >10 SOPAC (2005) 3) PD % /thn <0,5 0,51 1,0 1,1 1,50 1,51 2,0 >2,1 SOPAC (2005) 3) KP jw/ha < >400 BSN (2004) 3) Keterangan: *) Kejadian tsunami sejak tahun , untuk wilayah kajian belum pernah terjadi, namun tetap dimasukkan karena skor penilaian tetap ada.

51 Kepekaan (Sensitivity) Dimensi kepekaan (sensitivity) terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu: 1) karakteristik pantai; 2) penggunaan lahan; dan 3) pemukiman. Komponen yang diukur dan skor penilaian disajikan dalam Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9 Komponen dimensi kepekaan (sensitivity) dan satuan pengukurannya Komponen Dimensi (S) Simbol Satuan pengukuran Elevasi pantai 1) (EL) meter (m) Kelerengan (slope) 1) (SL) persen (%) Tipologi Pantai 1) (TP) Kategori tipologi pantai Tipologi Penggunaan Pantai 2) (PL) Tipologi penggunaan Pemukiman Penduduk 3) (PP) Lokasi pemukiman Keterangan : 1) Komponen dimensi karakteristik pantai 2) Komponen dimensi penggunaan lahan 3) Komponen dimensi pemukiman Tabel 10 Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan dimensi kepekaan (sensitivity) Skor Sen Sumber EL m >5 3,1 5 2,1 3 1, Tahir (2010) SL % >40 25, , Tahir (2010) TP Bervegetasi Berbatu Berkerikil Pantai Berpasir Pantai Hasil Endapan DKP (2009) PL PP Lahan terbuka/tidak dimanfaatkan Di lokasi ketinggian > 5 m Budidaya laut Di ketinggian 2 5 m Budidaya pertanian Dibelakang sempadan pantai Peternakan Pemukiman DKP (2009) Sekitar pantai Di atas perairan Modifikasi dari Malone et al. (2005)

52 Daya Adaptasi (Adaptive Capacity) Dimensi daya adaptasi (adaptive capacity) terdiri dari dua komponen yaitu: 1) habitat pesisir (ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove); dan 2) kawasan konservasi. Komponen yang diukur dan skor penilaian disajikan dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11 Komponen dimensi daya adaptasi (adaptive capacity) dan satuan pengukurannya Komponen Dimensi (AC) Simbol Satuan pengukuran Habitat pesisir 1) (HP) Proporsi habitat vs daratan (kali) Kerapatan Mangrove 1) (MR) Pohon / Ha Terumbu Karang 1) (TK) (%) tutupan karang hidup Penutupan lamun 1) (LM) (%) tutupan lamun Konservasi Laut 2) (KL) (%) kawasan konservasi Keterangan : 1) Komponen dimensi habitat pesisir 2) Komponen dimensi kawasan konservasi Tabel 12 Sistem penskalaan dan skoring parameter kerentanan daya adaptasi (adaptive capacity) Skor AC HP (kali) MR (pohon/ Ha) TK (%) LM (%) KL (%) Sumber < daratan pantai 2 x > daratan pantai 3 x > daratan pantai 4 x > daratan pantai > 5 kali daratan pantai > < , , ,9 > >50 Tahir (2010) Modifikasi dari KLH (2004) Modifikasi dari KLH (2001) Modifikasi dari KLH (2004) Modifikasi dari KLH (2004)

53 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang secara langsung didapatkan di lokasi penelitian, baik melalui pengukuran, pengambilan contoh/sampel, pengamatan maupun wawancara dengan responden. Adapun data sekunder adalah data-data yang telah dikumpulkan dan dipublikasikan oleh pihak lain. Data-data yang dikumpulkan dapat dikategorikan sebagai berikut: Data geofisik, seperti data oseanografi (pasang surut, arus, batimetri, gelombang laut), elevasi dan kemiringan daratan pantai, tipologi pantai, morfologi pantai, dan panjang garis pantai. Data ekobiologi, seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, vegetasi pantai dan sumberdaya lainnya. Kondisi sosial dan ekonomi, seperti; penduduk, pemanfaatan sumberdaya pesisir, mata pencaharian, pemanfaatan lahan dan konservasi ekosistem pesisir. Jenis dan teknik pengumpulan data disajikan dalam Tabel 13.

54 36 Tabel 13 Jenis data dan teknik pengumpulan data No Jenis data Teknik pengumpulan data Keterangan A. Geofisik 1. Kenaikan muka laut Terdapat tiga teknik pengumpulan data kenaikan muka laut, yaitu data rekaman tide gauge, data dari model SRES, dan Data AVISO 2. Gelombang Data indeks tinggi gelombang 3. Pasang surut Pengukuran data pasang urut dengan menggunakan tide gauge 4. Kejadian tsunami Data kejadian tsunami diperoleh dari NGDC (National Geophysical Data Centre) 5. Erosi (perubahan garis pantai) 6. Elevasi pantai, kemiringan, panjang garis pantai luas habitat pesisir. Pengukuran pantai yang mengalami erosi Pengukuran dan pemetaan dengan menggunakan GPS, Kompas geologi dan analisis spasial dengan SIG Penelitian ini menggunakan data dari AVISO yang diunduh dari aviso.oceanobs. com/en/news/oceanindicators/mean-sealevel/index.html. Data kecenderungan kenaikan muka laut yang tersedia dari tahun Data indeks diperoleh dari BMG Data pasang surut yang digunakan adalah data pasang surut yang diperoleh dari Dinas Hidro oseanognafi. Data kejadian tsunami diunduh dari http : // Untuk wilayah Indonesia tercatat kejadian tsunami dari tahun Data perubahan garis pantai dihitung dari hasil analisis digitasi citra ALOS Data batimetri diperoleh dari Bakosurtanal. Analisis spasial dengan menggunakan Arc View. 7. Tipologi pantai Pengamatan lapangan Data tipologi penggunaan pantau diperleh dari BAPPEKO Jakarta Utara dan pengamatan secara langsung dilapangan, kemudian diplotkan ke dalam peta. B. Ekobiologi 1. Terumbu karang Pengamatan dan pengukuran lapangan 2. Lamun Pengamatan dan pengukuran lapangan 3. Mangrove Pengamatan dan pengukuran lapangan C. Sosial ekonomi 1. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk Data sekunder dari statistik kecamatan Data sekunder mengenai tutupan karang hidup di lokasi penelitian. Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot) Menggunakan metode transek garis dan petak contoh (line transect plot) BPS Jakarta Utara 2. Penggunaan lahan Pengamataan Diperoleh dari BAPEKO Jakarta Utara dan diamati secara langsung di lapangan 3. Pola pemukiman Pengamataan Diperoleh dari BAPEKO Jakarta Utara dan diamati secara langsung di lapangan 4. Pemanfaatan wilayah pesisir Wawancara dengan masyarakat Penelusuran praktik pemanfaatan wilayah pesisir

55 Analisis Data Analisis Ekosistem Pesisir Ekosistem Terumbu Karang Data ekosistem terumbu karang yang dianalisis mencakup luasan (sebaran habitat) dan persentasi tutupan karang hidup. Analisis sebaran ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis. Adapun kualitas tutupan karang hidup dianalisis dengan menggunakan kriteria yang dikemukan oleh KLH (2001). Kualitas tutupan karang hidup dibagi menjadi empat kategori, yaitu: kondisi buruk, sedang, baik dan sangat baik (Tabel 14). Tabel 14 Kriteria persentase penutupan karang hidup Persentase tutupan karang hidup (%) Kondisi 0,0% - 24,9% Buruk 25,0% - 44,9% Sedang 50,0% - 74,9% Baik 75,0% - 100% Sangat Baik Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2001) Ekosistem Mangrove Seperti halnya dengan analisis terumbu karang, analisis ekosistem mangrove juga mencakup analisis spasial atau sebaran habitat dan analisis kualitas tutupan dalam bentuk kerapatan pohon mangrove. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis tingkat kerapatan dilakukan dengan menghitung jumlah pohon dalam satuan hektar (pohon/ha). Untuk menilai tingkat kerapatan mangrove digunakan kriteria yang dibuat oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004). Kriteria yang digunakan untuk menilai kerapatan mangrove terdiri dari tiga kategori, yaitu kepadatan jarang, sedang dan sangat padat (Tabel 15).

56 38 Tabel 15 Kriteria baku kerusakan mangrove Kriteria Penutupan Kerapatan (pohon/ha) Baik Sangat Padat > 70 > Rusak Sedang > 50 - < 70 > <1.500 Jarang < 50 < Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004) Padang Lamun Data ekosistem padang lamun juga mencakup data tentang distribusi spasial dan kualitas tutupan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis, sedangkan analisis kualitas tutupan lamun menggunakan kriteria yang dikemukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004). Kualitas tutuan lamun dibagi menjadi tiga, yaitu sangat kaya, kurang kaya dan miskin (Tabel 16). Tabel 16 Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun Kondisi Penutupan Baik Sehat / kaya > 60 Rusak Kurang sehat / Kurang kaya 30 59,9 Miskin 29,9 Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004) Analisis Karakteristik Geofisik Pesisir Parameter geofisik pesisir yang dianalisis adalah kelerengan pantai (coastal slope), ketinggian atau elevasi pantai dari permukaan laut, dan tipologi/jenis pantai, laju erosi pantai, dan parameter oseanografi seperti gelombang dan pasang surut. Kelerengan pantai berhubungan dengan kemudahan dari suatu pantai/pesisir mengalami perendaman atau penggenangan apabila terjadi banjir atau kenaikan muka laut dan mempercepat bergesernya garis pantai. Demikian juga dengan faktor elevasi pantai, akan menentukan seberapa lama suatu pantai akan mengalami perendaman dengan adanya kenaikan muka laut dari tahun ke tahun. Tipologi secara tidak langsung juga menentukan kemudahan suatu pantai mengalami perendaman, misalnya pantai dataran rendah lebih cepat

57 39 mengalami perendaman dibandingkan pantai berbukit/terjal. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk analisis kenaikan muka laut, seperti yang dikemukan oleh Hamzah et al. (in press), yaitu: Berdasarkan data pasang surut dan rekaman tide gauge serta proyeksi perubahan duduk tengahnya yang diasumsikan secara linear. Berdasarkan data satelit altimetri ADT yang diperoleh dari AVISO. Berdasarkan model kenaikan permukaan laut (sea level rises = SLRs) dengan skenario SRES (Special Report on Emissions Scenarios) series IPCC. Kenaikan muka laut akan meningkatkan potensi rendaman daratan pantai. Selain kenaikan muka laut, potensi rendaman daratan pantai juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti pasang surut, dan subsiden dari suatu pantai. Parameter-parameter oseanografi seperti pasang surut, gelombang laut, erosi pantai juga dianalisis mengingat parameter ini memiliki kontribusi terhadap kerentanan pantai Analisis Karaktistik Sosial Parameter sosial yang dianalisis adalah pertumbuhan dan kepadatan penduduk, pola persebaran pemukiman penduduk dan kearifan lokal terkait dengan pengelolaan lingkungan. Pertumbuhan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, untuk mendapatkan laju pertumbuhan penduduk per-tahun. Sementara kepadatan penduduk dianalisis dengan membandingkan jumlah penduduk dengan ketersediaan lahan daratan yang layak dihuni. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui pola-pola persebaran pemukiman dan kearifan lokal yang tumbuh dimasyarakat dalam melindungi sumberdaya pesisir Indeks Kerentanan Pantai Penentuan Indeks Kerentanan Pantai Konsep kerentanan yang diacu dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan oleh Turner et al. (2003) dimana kerentanan merupakan fungsi overlay dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kapasitas atau

58 40 daya adaptasi (adaptive capacity), yang selanjutnya diekspresikan dalam bentuk matematika oleh Metzger et al. (2006) sebagai berikut: V = f (E,S,AC).. (1) Fungsi tersebut di atas diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika dan diformulasikan oleh Tahir (2010) dan juga memiliki kesamaan yang dikembangkan oleh UNU-EHS (2006) menjadi: V = (ExS)/AC...(2) Dengan menjabarkan parameter kerentanan seperti yang diadopsi dari Polsky et al. (2007), maka dimensi E, S dan AC dapat dirumuskan sebagai berikut: E = (SRxER)+GL+PS+TS+(PDxKP).. (3) Dengan menggunakan pendekatan signifikansi dari masing-masing parameter untuk menentukan bobot dari setiap parameter, maka persamaan (3) dapat ditulis lebih lanjut sebagai indeks dari keterpaparan (IE) menjadi: IE = α 1 *(SR x ER)+ α 2 *GL+α 3 *PS+α 4 *TS+α 5 *(PD x KD).. (4) Dengan pendekatan yang sama, maka dimensi S dapat dituliskan menjadi: S =TP+EL+SL+PL+PP.. (5) Dengan memberikan bobot yang lebih besar pada parameter yang dianggap memiliki signifikansi yang lebih besar terhadap kerentanan pantai, maka persamaan (5) dapat dituliskan sebagai indeks dari kepekaan (IS) menjadi: IS = β 1 EL + β 2 TP + β 3 SL + β 4 PL + β 5 PP.. (6) Adapun dimensi AC dapat dituliskan sebagai berikut: AC = HP+TK+MR+LM+KL.. (7) Seperti halnya dengan parameter dari dimensi E dan S, parameter dimensi AC juga memiliki signifikansi yang berbeda dengan memberikan bobot pada setiap parameter, maka persamaan (7) dapat dituliskan sebagai indeks dari dimensi AC menjadi: IAC = γ 1 HP + γ 2 TK + γ 3 MR + γ 4 LM + γ 5 KL.. (8) Dengan mensubstitusi persamaan (4), (6), dan (8) ke dalam persamaan (2) diperoleh persamaan indeks kerentanan pantai (IKP) sebagai berikut: IKP = IE x IS/IAC. (9)

59 41 dimana : α, β, dan γ, merupakan bobot dari masing-masing parameter. Pilihan terhadap bentuk penjumlahan (additive) dan perkalian (multiplication) pada persamaan (4) di atas, didasarkan pada hasil konstruksi persamaan untuk menilai kerentanan pantai yang dikembangkan oleh Gornitz et al. (1991); Rao et al. (2008); Villa dan McLeod (2002). Perkalian antara SR, ER, GL, dan PS didasarkan atas konsep yang dikemukan oleh Villa dan McLeod, bahwa komponen yang saling berinteraksi lebih sesuai jika sub-indikator dan komponen tersebut menggunakan perkalian (multiplicative), sedangkan komponen yang tidak berinteraksi lebih sesuai menggunakan penjumlahan (additive). Dalam kaitannya dengan signifikansi suatu parameter terhadap setiap komponen (exposure, sensitivity, adaptive capacity), Rao et al. (2008) dan Doukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi terhadap parameter yang memiliki signifikansi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Oleh karena itu, paramater SR dan ER pada komponen exposure (E), EL dan SL pada komponen sensitivity (S), dan HP, MR dan TK pada komponen adaptive capacity (AC) diberi signifikansi 4 (empat) kali dan 2 (dua) kali lipat dari parameter lainnya. Berdasarkan nilai skoring dari setiap parameter yang telah diidentifikasi melalui pendekatan Vulnerability Scoping Diagram sebelumnya, yaitu skala nilai skoring setiap parameter adalah antara 1 sampai 5. Formulasi Indeks Kerentanan lingkungan yang dibuat oleh Tahir (2010) diperoleh nilai minimum IKP sebesar 0,20 dan nilai maksimum sebesar 76. Hasil perhitungan nilai indeks minimun dan maksimun disajikan pada Lampiran 2. Dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan pantai dibagi menjadi 4 kategori (Doukakis 2005) sebagai berikut: 0,20-6,04 : Kerentanan rendah (low) 6,05-18,18 : Kerentanan sedang (moderate) 18,19-40,48 : Kerentanan tinggi (high) 40,49-76,00 : Kerentanan sangat tinggi(very high) Proyeksi Kerentanan Pantai Kerentanan pantai memiliki karakteristik yang dinamis, yang berarti kerentanan tersebut akan berubah-rubah sesuai dengan perubahan dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Tahir (2010) mengformulasikan dinamika indeks

60 42 kerentanan dari persamaan (9) di atas yang diturunkan terhadap perubahan waktu, untuk mendapatkan laju perubahan kerentanan pantai. Nilai kerentanan (indeks kerentanan) lingkungan setiap saat berubah, dengan laju kerentanan yang sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, yang dirumuskan oleh Tahir (2010) sebagai berikut: V = V(t), dimanav > 0 (10) (11) Karena laju perubahan dari indeks kerentanan setiap saat sebanding dengan besarnya indeks kerentanan pada saat itu, maka terdapat konstanta k 0, sehingga dv/dt = kv, k 0 dimana akan terjadi: k > 0 bila V bertambah dan k < 0 bila V berkurang Persamaan di atas dapat diselesaikan sebagai berikut: (12) Oleh karena nilai kerentanan (IKP) yang diperoleh dan persamaan (9), memiliki nilai maksimum sebesar 76,00 maka persamaan (12) dapat dituliskan menjadi: Dengan melakukan penyelesaian secara integral dari persamaan (13), maka diperoleh bentuk persamaan dinamik dari kerentanan pantai sebagai berikut: (13) (14) Keterangan: V t = Indeks Kerentanan pada waktu t V 0 = Indeks Kerentanan awal e = Dasar logaritma natural k = Koefisien Kerentanan t = Waktu (tahun)

61 43 Dengan model kerentanan pantai di atas, maka dapat diketahui laju kerentanan pantai sehingga pendugaan kerentanan pantai pada waktu yang akan datang dapat dilakukan dengan lebih baik. Hasil penurunan persamaan dinamik indeks kerentanan lingkungan pantai disajikan pada Lampiran Integrasi Data Spasial dan Atribut Kerentanan Pantai Penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografi (SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu data dasar yang dipergunakan dalam analisis SIG. Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu sistem terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan SIG. Pengolahan data citra ALOS dengan memanfaatkan SIG diharapkan mampu memberikan informasi secara cepat dan tepat sehingga segera dapat digunakan untuk keperluan analisis dan manipulasi. Dalam pengintegrasian data spasial dan atribut, terlebih dahulu dilakukan pengolahan citra dengan tahapan: 1) Mengukur kualitas data dengan descriptive statistics atau dengan tampilan citra, 2) Mengoreksi kesalahan, baik radiometric (atmospheric atau sensor) maupun geometric, 3) Menajamkan citra (baik untuk analisis digital maupun visual), 4) Melakukan survey lapangan, 5) Mengambil sifat tertentu dari citra dengan proses klasifikasi dan pengukuran akurasi dari hasil klasifikasi, 6) Memasukkan hasil olahan ke dalam SIG sebagai input data, dan 7) menginterpretasikan hasil. Hasil pengolahan citra ALOS tersebut dianalisis bersama-sama dengan data SIG lain menggunakan image analisys yang merupakan extension ArcView untuk memudahkan pengolahan citra sederhana. Analisis yang dilakukan adalah: a) Mengimpor citra (dalam bentuk data raster) untuk digunakan dalam ArcView, b) Mengklasifikasi citra menjadi beberapa kelas tipe penutupan lahan seperti vegetasi, habitat pesisir, pemukiman dan geomorfologi pantai, c) Mengkaji citra tahun 2006 dan tahun 2009 untuk menentukan area yang mengalami perubahan. Seperti garis pantai dan tutupan lahan. d) Menajamkan kenampakan citra dengan cara menyesuaikan kontras dan tingkat kecerehan (atau dengan merentangkan histogram), f) Merektifikasi dengan peta acuan agar posisi koordinat lebih akurat.

62 44 Dalam perhitungan Indeks Kerentanan Pantai dilakukan dengan memasukkan persamaan matematika indeks kerentanan perdimensi pada data atribut untuk selanjutnya di overlay. Hasil perhitungan Indeks Kerentanan Pantai (IKP) = (IExIS) / IAC; dimana IE = Indeks Exposure, IS = Indeks Sensitivitas, dan IAC = Indeks Adaptive Capacity. Hasil dari overlay ini diperoleh peta indeks kerentanan pantai. Diagram alur pengintegrasian data raster dan data atribut dalam penentuan indeks kerentanan pantai disajikan dalam Gambar 10. Tahap Pengambilan dan Pengukuran Data Integrasi Data Raster dan Data Atribut Kerentanan Data citra Alos 7 Parameter Keterpaparan Exposure (E) E = (SRxER)+GL+PS+TS+(PDxKP) Pengolahan Citra SIG Kerentanan 5 Parameter Kepekaan / Sensitivitas (S) S =TP+EL+SL+PL+PP 5 Parameter Daya Adaptasi Adaptif Capacity (AC) V = f(e, S, AC) V = (ExS) / AC Fungsi matematika IKP AC = HP+TK+MR+LM+KL IE = 0,41*(SRxER)+0,21*GL+ 0,14*PS + 0,14TS+0,10(PDxKP) IS = 0,43*EL+0,21*TP+0,14*SL + 0,11*PL+0,11*PP IAC= 0,40*HP+0,20*TK+0,20*MR+ 0,10*LM+0,10*KL Indeks Kerentanan Pantai menurut Kecamatan IKP = (IE x IS)/IAC Gambar 10 Diagram integrasi data raster dan data atribut dalam kajian tingkat kerentanan pantai.

63 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi antara 5 o 19 12" LS sampai 6 o 23 54" LS dan 106 o 22 42" BT sampai 106 o 58 18" BT. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 171 Tahun 2007, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah 7.639,83 km 2, terdiri dari daratan seluas 662,33 km 2, termasuk 110 pulau di Kepulauan Seribu, dan lautan seluas 6.997,50 km 2. Persentase luas daratan dan lautan adalah 8,67% luas daratan dan 91,33% luas lautan. Batas-batas wilayah Propinsi DKI Jakarta adalah: Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi (Propinsi Jawa Barat). Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor (Propinsi Jawa Barat). Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Propinsi Banten). Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 (lima) wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yakni: Kotamadya Jakarta Utara dengan luas 146,66 km 2, Jakarta Barat dengan luas 129,54 km 2, Jakarta Timur dengan luas 188,03 km 2, Jakarta Pusat dengan luas 48,13 km 2, dan Kotamadya Jakarta Selatan dengan luas 141,27 km 2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 8,70 km 2. Adapun luas wilayah DKI Jakarta menurut kabupaten/kota disajikan dalam Gambar 11. Wilayah Jakarta Utara dengan luas daratan 146,66 km 2 mempunyai batas batas geografis sebagai berikut: Sebelah Utara dengan Laut Jawa Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Bloncong dan Kali Ketapang Jakarta Sebelah Selatan berbatasan dengan Pedongkelan, Sungai Begog selokan Petukangan, Kali Cakung. Sebelah Barat berbatasan dengan Jembatan Tiga, Kali Muara Karang dan Kali Muara Angke.

64 46 Gambar 11 Luas Wilayah propinsi DKI Jakarta menurut Kabupaten / Kota (BPS Jakarta 2009) Secara administratif, wilayah Jakarta Utara terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Koja, Cilincing dan Kecamatan Kelapa Gading. Kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Penjaringan disusul Kecamatan Cilincing. Luas wilayah Jakarta Utara menurut kecamatan disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 Luas wilayah menurut kecamatan di Jakarta Utara Kecamatan Luas (Km 2 ) % Kelurahan RW RT Penjaringan 45,41 30, Pademangan , Tanjung Priok 22,52 15, ,237 Koja 12,25 8, Cilincing 39,70 27, Kelapa Gading 14,87 10, TOTAL ,676 Sumber : BPS Jakarta 2009

65 47 Wilayah pesisir teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis lintang 5 o LS hingga 5 o LS dan garis bujur 106 o BT hingga 107 o BT yang membentang dari Tanjung Pasir di bagian Barat hingga ke Tanjung Karawang di bagian Timur. Secara administrasi perairan laut Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah Timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah Barat. Teluk seluas 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 35 km dan rata-rata kedalaman perairan 8,4 m yang menjadi tempat bermuaranya 9 (sembilan) buah sungai dan 2 (dua) buah kanal. Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Dibawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvial. Di wilayah bagian utara terdapat pada kedalaman m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m. Wilayah pesisir Teluk Jakarta merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang memiliki dinamika pemanfaatan yang sangat tinggi, mengingat Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini berakibat pada terjadinya tekanan yang cukup besar terhadap kondisi lingkungan di sekitar teluk dan sepanjang wilayah pesisirnya. 4.2 Karakterisitik Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta Bentuk dan tipe(morfologi) pantai sangat tergantung pada letak/posisi geografis, topografi, substrat serta kondisi hidro-oseanografi di wilayah sekitarnya. Pantai Utara Jakarta termasuk dalam tipe pantai semi tertutup karena merupakan daerah teluk. Ekosistem pantai yang terdapat di pesisir dijumpai hutan mangrove di Kecamatan Penjaringan dan Cilincing yang jenis pantainya adalah landai. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun tidak dijumpai di sepanjang pesisir karena kondisi perairan tidak jernih dan tingginya sedimen dari sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Kawasan Pesisir dan Laut Teluk Jakarta merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran

66 48 oleh manusia. Strategis karena Teluk Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan di Indonesia, khususnya untuk wilayah bagian barat. Namun dikatakan paling rentan karena daerah ini merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktivitas manusianya. Kerentanan Teluk Jakarta juga disebabkan oleh terus meningkatnya kebutuhan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir untuk kegiatan pariwisata, industri, dan permukiman. Habitat pesisir memiliki peranan penting bagi perlindungan daratan pesisir dari berbagai gangguan eksternal. Semakin luas habitat pesisir semakin besar pula perlindungan terhadap daratan pantai. Habitat pesisir disepanjang pesisir Pantai Utara Jakarta hanya dijumpai ekosistem mangrove dan dalam jumlah yang sedikit bila dibandingkan dengan panjang garis pantai dan luas daratannya. Habitat pesisir ini selain memiliki fungsi perlindungan fisik terhadap daratan, juga memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat disekitar pesisir Jakarta. Perbandingan luas habitat pesisir dengan luas daratan Jakarta utara adalah sangat kecil Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove di wilayah Jakarta Utara yang tercatat seluas ± 192,35 ha, masing-masing di Suaka Margasatwa Muara Angke ± 25,23 ha, TWA Angke Kapuk ± 99,82 ha, Hutan Lindung Angke ± 50,8 ha dan hutan mangrove Marunda ± 16,5 ha, kondisinya saat ini diperkirakan seluruhnya hanya tersisa ± 42,05 ha (21,86%) dengan rincian SM. Muara Angke ± 10,1 ha, TWA Angke Kapuk ± 9,98 ha, hutan lindung Angke ± 20,32 ha dan hutan mangrove Marunda ± 1,65 ha (Dephut 2002). Luasan mangrove disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Luasan Ekosistem mangrove di wilayah Jakarta Utara. Lokasi Luas (ha) Luas saat ini (ha) Kerapatan (Pohon/ha) SM Muara Angke 25,02 10, TWA Angke Kapuk 99,82 9, Hutan Lindung Angke 44,76 20, Hutan Mangrove Marunda 16,50 1, Total 192,35 42,05 Sumber : Dephut 2002

67 49 Taman Wisata Alam Angke Kapuk terletak di wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk adalah salah satu kawasan konservasi alam yang berekosistem mangrove. Areal seluas 99,82 ha ini memiliki vegetasi utama berupa pepohonan mangrove atau yang sering disebut pepohonan bakau. Saat itu terjadi perambahan hutan mangrove dan perubahan fungsi kawasan secara ilegal (antara lain pengusahaan penambakan ikan dan pemukiman). Banyaknya perubahan fungsi lahan di Pantai Utara Jakarta yang sangat mengkhawatirkan membuat kawasan ini menjadi satu-satunya areal hijau yang masih dapat dikembangkan untuk kepentingan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Kawasan ini telah direhabilitasi seluas 40 hektar dan ditanami kembali oleh berbagai pepohonan mangrove. Suaka margasatwa ini terletak berdampingan dengan kawasan pemukiman elit Pantai Indah Kapuk. Tekanan berat terhadap kawasan mangrove di DKI Jakarta, lebih cenderung disebabkan karena perambahan, dan alihfungsi kawasan terutama untuk kepentingan tambak ikan. Terdegradasinya kawasan mangrove di DKI Jakarta disebabkan oleh tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan aktivitas manusia. Aspek kegiatan tersebut, antara lain meliputi: (a) pengembangan permukimam, seperti kawasan Pantai Indah kapuk, (b) pembangunan fasilitas rekreasi, dan (c) pemanfaatan lahan pasang surut untuk kepentingan budidaya pertambakan. Kawasan mangrove di Teluk Jakarta, keadaannya telah terganggu dan tidak mampu lagi mendukung keseimbangan lingkungan dan sumber pendapatan para nelayan disekitarnya. Ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai penyangga sempadan pantai sudah tidak lagi efektif peranan dan fungsinya karena ketebalannya terbatas dengan kondisi kerapatan jarang (120 pohon/ha), padahal kerapatan pada kawasan mangrove normal tercatat pohon/ha. Berkurangnya populasi mangrove juga berakibat pada meningkatnya laju abrasi daerah pantai, meningkatnya laju intrusi air laut serta berkurangnya masukan unsur hara bagi biota perairan. Di pantai Marunda, abrasi sangat kuat terjadi hampir sepanjang tahun dan telah berlangsung cukup lama. Beberapa rumah penduduk telah hilang ditelan laut, luas kawasan berkurang dengan cepat. Saat ini di Pantai Marunda, mangrove hanya dijumpai dalam jumlah relatif kecil.

68 50 Setidaknya 831 ha hutan bakau di Pantai Utara Jakarta telah direklamasi menjadi kawasan perumahan elit (Pantai Indah Kapuk). Pantai Indah Kapuk merupakan sebuah perumahan eliter yang berdiri di atas lahan seluas 800 ha di daerah Pantai Utara Jakarta. Digagas pada tahun 1990 dan berdiri di atas lahan reklamasi. Dikembangkan dibawah bendera PT. Mandara Permai menguasai ha lahan hasil reklamasi ini yang selain dijadikan perumahan elite, juga dijadikan padang golf. Hilangnya kawasan hutan bakau di Pantai Utara Jakarta menyebabkan terjadinya hal-hal berikut: Meningkatnya intrusi air lau ke daratan, Menyebabkan semakin parahnya banjir di Jakarta dari waktu ke waktu. Yang paling menjadi masalah adalah ketika banjir sampai melanda Jalan Tol Soedyatmo (tol bandara) pada km dengan ketinggian air hingga mencapai 1,5 m. Proyek reklamasi Pantura membentang sepanjang ± 32 km dari sebelah timur perbatasan Cilincing dengan Kabupaten Bekasi sampai dengan sebelah barat perbatasan Penjaringan dengan Kabupaten Tangerang. Proyek ini melakukan penimbunan pantai pada kedalaman hingga 8 m dan lebar 2 km dari bibir pantai. Selain terciptanya perubahan dan kerusakan lingkungan, di bagian wilayah hulu juga ikut andil dalam memperburuk kondisi kawasan pantai. Berbagai bentuk masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang bersumber dari industri maupun rumah tangga merupakan salah satu faktor penyebab pendangkalan pantai dan kerusakan ekosistem mangrove. Perambahan dan perombakan kawasan mangrove oleh masyarakat sebagai wahana tambak, merupakan salah satu faktor penyebab hilangnya kawasan mangrove. Salah satu bukti yang cukup menonjol hasil inventarisasi kawasan mangrove di sekitar Cagar Budaya Pitung Jakarta Utara pada tahun 1998 tercatat 8,5 ha, dengan kondisi kawasan yang masih relatif baik ditinjau dari habitat dan kehadiran jenisnya. Namun demikian hasil evaluasi tahun 2000, kawasan seluas tersebut telah berubah total menjadi hamparan pertambakan.

69 Ekosistem Padang Lamun Dilokasi kajian di sepanjang Pantai Utara Jakarta, kondisi ekosistem padang lamun sangat kurang bahkan bisa dikatakan tidak ada. Tutupan lamun miskin karena kualitas perairan yang tercemar dan akibat adanya reklamasi pantai. Dimensi daya adaptasi pada pengukuran dan skor penilaian parameter tutupan lamun berada pada skor 1 (satu). Beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan padang lamun antara lain pencemaran oleh limbah industri, limbah rumah tangga, pembuangan sampah organik, pengerukan pasir dan reklamasi pantai Ekosistem Terumbu Karang Dari hasil pengamatan dan studi literatur terkait dengan data ekosistem terumbu karang yang dianalisis mencakup luasan (sebaran habitat) dan persentasi tutupan karang hidup. Analisis sebaran ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis. Berdasarkan interpretasi citra, ekosistem terumbu karang dijumpai di kepulauan Seribu yang merupakan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu hasil pemekaran dari Kotamadya Jakarta Utara sebagai induk. Dilokasi kajian di sepanjang Pantai Utara Jakarta tidak ditemukan adanya ekosistem terumbu karang sehingga tutupan karang hidup bisa dikatakan sangat rendah atau tidak ada. Dimensi daya adaptasi pada pengukuran dan skor penilaian parameter tutupan karang hidup berada pada skor 1 (satu). Ekosistem terumbu karang tidak berkembang baik di perairan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan oleh tingginya pencemaran dan suspensi padatan terlarut (sedimen) sehingga terumbu karang tidak dapat tumbuh dengan baik Sumberdaya Pesisir Pantura Jakarta Berdasarkan hasil penafsiran dari citra satelit ALOS tahun 2006 melalui penerapan elemen-elemen penafsiran yang dikombinasikan dengan prosedur eliminasi dalam proses identifikasi dan pengecekan dengan kompilasi data digital dan hard copy peta Rupa Bumi Bakosurtanal, diperoleh beberapa kelas utama pada daerah pengamatan (area of interest/aoi) pada citra satelit kawasan pesisir

70 52 Teluk Jakarta yakni: 1) Vegetasi alami; 2) Tanaman budidaya; 3) Lahan termanfaatkan (non vegetasi); 4) Lahan terbuka; dan 5) Tubuh/badan air. Menurut Amri K et al. (2008) menyatakan bahwa kawasan pesisir bagian barat Teluk Jakarta terdiri dari berbagai jenis pemanfaatan lahan mulai dari kegiatan pemukiman, perikanan budidaya tambak, pemancingan, kawasan konservasi hutan lindung/suaka marga satwa, pelabuhan pendaratan ikan (TPI), pelelangan, industri perikanan dan industri non perikanan, sarana transportasi (jalan) dan lalu lintas kapal. Pada lokasi tertentu masih dijumpai adanya jenisjenis vegetasi (belukar dan tanaman keras) maupun vegetasi mangrove. Populasi mangrove didominasi oleh tanaman bakau (Rhyzopora) dan apiapi (Avicennia marina). Keberadaan dan kondisinya sudah dalam kondisi mengkhawatirkan, dimana populasi mangrove yang ada sudah banyak yang berkurang dengan kegiatan pembukaan dan pemanfaatan lahan pesisir. Hampir semua populasi mangrove yang ada di wilayah pesisir Teluk Jakarta tumbuh di perairan dangkal dengan kedalaman sekitar 1 meter dan sebagian lainnya berada pada lokasi pertambakan udang/ikan. Pada lokasi pantai tertentu terjadi penuruan kualitas pantai akibat abrasi/erosi, pembukaan lahan secara berlebihan, tumpukan sampah, sedimentasi yang mengakibatkan kekeruhan berlebihan pada badan air (muara sungai). Vegetasi alami yang umum ditemui pada wilayah pesisir Teluk Jakarta adalah vegetasi hutan pantai dataran rendah yang umumnya didominasi ekosistem mangrove, semak, semak-belukar, dan semak rawa. Pada kawasan pantai yang tidak terkena genangan air dapat ditemukan tanaman/kebun kelapa, disamping itu juga ditemukan keberadaan hutan kota pada lokasi-lokasi tertentu. Tanaman budidaya tidak dikenali secara khusus karena umumnya terdeteksi secara tercampur (mixing) dengan pemukiman sehingga dalam analisa ini dikelompokkan kedalam kelompok perkebunan mix pemukiman. Lahan termanfaatkan dari pengamatan citra dapat dibedakan antara lahan pemukiman sebagai daerah hunian dan kawasan industri yang terpola atau terpusat pada suatu wilayah tertentu. Disamping itu, lahan termanfaatkan juga bisa diidentifikasi sebagai lahan untuk reklamasi pantai, lahan sawah pasang surut, lahan tambak budidaya ikan maupun udang. Pemanfaatan lainnya lahan pada lokasi

71 53 pengamatan yang memiliki luasan yang cukup besar adalah bandara (air port), lapangan terbuka, lapangan golf, dan taman rekreasi yang terdapat di kawasan tertentu. Khusus untuk badan air (water body) dengan mudah dapat dibedakan antara laut, danau, sungai maupun rawa. Dari hasil penelitian Amri et al. (2006) menyatakan bahwa analisa tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit ALOS Teluk Jakarta tahun 2006, ditetapkan atau ditemukan beberapa kelas penutupan lahan seperti tersebut di atas dengan luasan masing-masing kategori tutupan lahan seperti tertera pada Tabel 19, sementara sebaran spasialnya disajikan dalam peta Gambar 12. Tabel 19 Persentase luasan masing-masing tutupan lahan dari daerah penelitian pesisir Teluk Jakarta No Penutupan lahan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Awan 638,82 0,31 2 Bandara 1.731,18 0,83 3 Danau 196,48 0,09 4 Hutan Kota 59,94 0,03 5 Hutan Pantai 93,37 0,05 6 Kawasan Industri 3.699,08 1,78 7 Kebun kelapa 38,95 0,02 8 Lahan kosong 689,26 0,33 9 Lapangan golf 102,30 0,05 10 Laut ,05 62,25 11 Mangrove 958,81 0,46 12 Pemukiman ,91 9,99 13 Perkebunan mix pemukiman ,20 4,84 14 Reklamasi pantai 15,38 0,01 15 Sawah ,13 13,04 16 Semak 153,43 0,07 17 Semak rawa 186,19 0,09 18 Semak belukar 199,86 0,10 19 Sungai 402,54 0,19 20 Taman monas 85,41 0,04 21 Taman rekreasi 317,84 0,15 22 Tambak ,28 5,27 Jumlah , Sumber: Amri et al. 2008

72 54 Gambar 12 Penggunaan lahan sumberdaya pesisir Teluk Jakarta dan sekitarnya (Amri et al. 2008) Dari Tabel 18 di atas terlihat persentase dan luasan masing-masing tutupan lahan yang luasnya sangat bervariasi, sementara dari Gambar 12 terlihat penyebaran spasial kelas penutupan lahan tersebut. Kelas laut (perairan) mendominasi luasan mencapai 62,2% dari total keseluruhan luas area pengamatan. Pemanfaatan lahan berupa sawah menempati urutan utama dalam pemanfaatan lahan pesisir Teluk Jakarta yang mencapai 13%, diikuti oleh pemukiman (9,99%), tambak (ikan maupun udang) sekitar 5,27% dan industri (1,78%). Khusus di daerah pantai, luasan hutan pantai dan mangrove yang terdeteksi di sepanjang Teluk Jakarta masing-masing tercatat 93,37 ha (0,045%) dan 958,81 ha (0,642%). Secara umum terlihat bahwa tipe penutupan lahan di pesisir Teluk Jakarta yang paling dominan umumnya untuk kegiatan perikanan budidaya tambak ikan/udang, pelabuhan pendaratan ikan/tpi, pasar ikan, industri perikanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Satelit ALOS

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Satelit ALOS 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Satelit ALOS Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, saat ini tersedia satelit ALOS yang memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) PRISM yang dapat merekam pada julat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil

Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Lampiran 1. Perhitungan nilai minimum (batas bawah) dan nilai maksimum (batas atas) indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 1. Perhitungan batas bawah Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah 5 (lima) kecamatan pesisir Pantai Utara Jakarta, Propinsi DKI Jakarta yang terletak antara 08º22'00-08º50'00 Lintang

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E PEMODELAN ARAHAN FUNGSI KAWASAN LAHAN UNTUK EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI OPAK HULU Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pantai adalah suatu wilayah yang mengalami kontak langsung dengan aktivitas manusia dan kontak dengan fenomena alam terutama yang berasal dari laut. Fenomena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dengan baik. Kegiatan ini adalah kelanjutan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar populasi dunia bermukim dan menjalani kehidupannya di kawasan pesisir (Bird, 2008), termasuk Indonesia. Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makassar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundtland, 1987).

BAB I PENDAHULUAN. mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan (Brundtland, 1987). BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU No.27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan,

1) Sumber Daya Air, 2) Pertanian dan Ketahanan Pangan, 3) Kesehatan Manusia, 4) Ekosistem daratan, SUMBER DAYA AIR Perubahan iklim akibat pemanasan global bukan lagi dalam tataran wacana, namun secara nyata telah menjadi tantangan paling serius yang dihadapi dunia di abad 21. Pada dasarnya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

BENY HARJADI-BPTKPDAS-SOLO Peneliti bidang Pedologi dan Inderaja

BENY HARJADI-BPTKPDAS-SOLO Peneliti bidang Pedologi dan Inderaja 1 PENDAHULUAN BENY HARJADI-BPTKPDAS-SOLO Perubahan iklim dapat diartikan sebagai perbedaan yang nyata secara statistik pada nilai rata-rata iklim maupun variabilitas yang terjadi secara luas pada periode

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surabaya merupakan kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat dan menyumbang pendapatan Negara yang sangat besar. Surabaya juga merupakan kota terbesar kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PROSES TERJADINYA EROSI E-learning Konservasi Tanah dan Air Kelas Sore tatap muka ke 5 24 Oktober 2013

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PROSES TERJADINYA EROSI E-learning Konservasi Tanah dan Air Kelas Sore tatap muka ke 5 24 Oktober 2013 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN PROSES TERJADINYA EROSI E-learning Konservasi Tanah dan Air Kelas Sore tatap muka ke 5 24 Oktober 2013 Apakah Erosi Tanah? Erosi tanah adalah proses geologis dimana partikel

Lebih terperinci

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR

STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR STUDI PREFERENSI MIGRASI MASYARAKAT KOTA SEMARANG SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN IKLIM GLOBAL JANGKA MENENGAH TUGAS AKHIR Oleh: NUR HIDAYAH L2D 005 387 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

Buku 1 EXECUTIVE SUMMARY

Buku 1 EXECUTIVE SUMMARY Activities in Vulnerability Assessment of Climate Change Impact along the Ciliwung River Flowing Through Bogor, Depok, and North Jakarta Buku 1 Activities in Vulnerability Assessment of Climate Change

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR

MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR MODUL 5: DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAHAYA GENANGAN PESISIR University of Hawaii at Manoa Institut Teknologi Bandung DAERAH PESISIR Perubahan Iklim dan Sistem Pesisir Menunjukkan Faktor Utama Perubahan Iklim

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pantai adalah wilayah perbatasan antara daratan dan perairan laut. Batas pantai ini dapat ditemukan pengertiannya dalam UU No. 27 Tahun 2007, yang dimaksud dengan

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL

FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL FORMULASI INDEKS KERENTANAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat AMIRUDDIN TAHIR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL , Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana UNDIP JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume, Issue : () ISSN ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL Dzati Utomo

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4

Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Analisis Sedimentasi Sungai Jeneberang Menggunakan Citra SPOT-4 Andi Panguriseng 1, Muh. Altin Massinai 1, Paharuddin 1 1 Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar 90245, Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total

BAB I PENGANTAR. keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Kanada dan Rusia dengan total panjang keseluruhan 95.181

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48 Pewarta-Indonesia, Berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini merujuk wacana tentang perencanaan tata ruang wilayah berbasis bencana. Bencana yang terjadi secara beruntun di Indonesia yang diakibatkan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci