BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan fakta-fakta antara para pihak yang berperkara, yang menyatakan bahwa suatu peristiwa hukum benar-benar terjadi. Peristiwa hukum yang sudah terjadi itu dapat berupa perbuatan, kejadian atau keadaan tertentu seperti yang diatur dalam hukum. Peristiwa hukum yang sudah terjadi itu menimbulkan suatu konsekuensi yuridis, yaitu suatu hubungan hukum yang menjadi dasar adanya hak dan kewajiban pihak-pihak. Pengungkapan fakta-fakta itu dapat dilakukan dengan perbuatan, pernyataan, tulisan, dokumen, kesaksian ataupun surat elektronik. Tanya jawab antara pihak-pihak atau antara pihak-pihak dan majelis hakim di muka sidang pengadilan merupakan bentuk proses pengungkapan fakta-fakta, yakni untuk meyakinkan majelis hakim bahwa suatu peristiwa hukum benar sudah terjadi, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak (Abdulkadir Muhammad, 2008: 125). Beban pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam: Pasal 163 HIR menyebutkan bahwa: barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu. Pasal 1865 BW menyebutkan bahwa: setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan hak sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, 13

2 14 menunjukan suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Pasal 283 RBg menyatakan bahwa: barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu. Menurut Sarwono dalam bukunya Hukum Acara Perdata, beban pembuktian dapat disimpulkan yakni suatu pernyataan tentang hak atau peristiwa di dalam persidangan apabila disangkal oleh pihak lawan dalam suatu perkara, harus dibuktikan tentang kebenaran dan keabsahannya. Berdasarkan pengertian tentang pembuktian, dapat dijelaskan bahwa penekanan pembuktian terdapat pada beban pembuktian terhadap suatu hak dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu yang ada dalam suatu kehidupan bermasyarakat dalam hubungan hukum antara para pihak satu dengan pihak lainnya seringkali dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara di pengadilan (Sarwono, 2011: ). b. Tujuan Pembuktian Tujuan membuktikan secara yuridis adalah menemukan kebenaran tentang peristiwa yang disengketakan pihak-pihak yang berperkara. Dari peristiwa yang telah pasti dan terbukti kebenaraanya tersebut, maka hakim harus mengkualisirnya menjadi peristiwa hukum dan untuk kemudian memberi konstitusinya sebagai akhir dari proses pemeriksaan perkara di pengadilan guna mencapai keadilan. Secara tidak langsung maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian yang diajukan oleh para pihak tersebut (Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007: 125). Definisi lain dan lebih komprehensif dari tujuan pembuktian adalah: everything that is used to reveal and determine the truth and therefore is presumed to be true and related to a case. Giving or procuring evidence is the process of using those things that are either (a) presumed to be true or (b) were in fact proven to be true

3 15 by earlier evidence (truths) and demonstrates the broadening of the truth of a case. And the collection of evidence is in fact the act of determining. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata adalah untuk membuktikan fakta-fakta tertentu dalam pemeriksaan perkara perdata. Apabila pembuktian tersebut dianggap sebagai suatu yang benar dan sebagai adanya bukti awal (kebenaran) serta menunjukan kebenaran kasus maka selanjutnya hakim harus meyakinkan mengenai kebenaran dalam suatu kasus tersebut. Meyakinkan hakim mengenai kebenaran tersebut melalui dua tahapan dasar, yaitu: 1) Reveal the truth (mengungkap fakta atau kenyataan) 2) Determine the truth (menetapkan fakta mana yang benar). (M. Natsir Asnawi, 2013: 10-11). Hal inilah merupakan tujuan pembuktian dalam pemeriksaan perkara perdata. Pembuktian dalam perkara perdata bertujuan untuk mencari kebenaran formil. Selain sebagai upaya untuk meyakinkan hakim juga berperan dalam mengungkapkan fakta-fakta yang dikemukakan dalam persidangan, baik oleh Penggugat maupun Tergugat. Hakim, oleh karenanya dalam proses pembuktian dituntut untuk menerapkan cara atau mekanisme pembuktian yang efektif dan efisien sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. c. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW yang meliputi : 1) Alat bukti dengan surat atau tertulis; 2) Alat bukti dengan saksi; 3) Alat bukti persangkaan-persangkaan; 4) Alat bukti pengakuan; 5) Alat bukti sumpah.

4 16 Selain alat-alat pembuktian tersebut, HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang diatur dalam pasal-pasal: Pasal 153 (1) HIR berbunyi: jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris daripada dewan itu, yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim. Pasal 154 HIR yang berbunyi: jika pengadilan negeri menimbang bahwa perkara itu dapat lebih terang jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak maupun karena jabatannya. Kekuatan pembuktian alat-alat bukti dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan Pasal 1866 BW dijelaskan sebagai berikut: 1) Alat bukti dengan surat atau tulisan Tulisan adalah suatu tanda yang memuat tanda bacaan dan yang menyatakan suatu buah pikiran. Tulisan dapat berupa akta dan tulisan yang bukan akta. Akta adalah tulisan yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti atas hal yang disebut di dalamnya. Sedangkan tulisan bukan akta adalah tulisan yang memang sengaja dibuat para pihak tetapi tidak dijadikan bukti. Akta dibagi lagi menjadi dua yakni: akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yakni suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Sedangkan akta di bawah tangan yakni tulisan yang dibuat para pihak dan ditanda tangani tanpa perantara pejabat umum.

5 17 Kekuatan pembuktian akta otentik meliputi: a) Kekuatan pembuktian lahir, yakni jika suatu akta dari wujudnya saja tampak sebagai suatu akta yang dibuat oleh suatu pejabat umum, maka akta seperti itu dianggap sebagai akta otentik. b) Kekuatan pembuktian formal, yakni suatu akta itu memang benar apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan hal ini berlaku bagi siapa saja. c) Kekuatan pembuktian materil, yakni bahwa apa yang dimuat di dalam suatu akta itu memang sungguh-sungguh terjadi antara para pihak (jadi tidak hanya diucapkan para pihak, tapi juga memang sungguh-sungguh terjadi). Berdasarkan kekuatan pembuktian tersebut, maka akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya, diantara para pihak yang bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Selanjutnya mengenai akta di bawah tangan karena akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu bentuk, jelas tidak memiliki kekuatan pembuktian lahir. Mengenai kekuatan pembuktian formal, maka dapat dikatakan bahwa akta di bawah tangan, jika diakui oleh pihak terhadap siapa akta itu dipergunakan dan hal ini berlaku pada setiap orang. Tentang kekuatan pembuktian materil akta di bawah tangan, jika akta itu diakui oleh pihak terhadap siapa akta itu dipergunakan. Hal ini sebagaimana berlaku seperti akta otentik, kekuatan pembuktiannya berlaku kepada pihakpihak yang bersangkutan berserta ahli warisnya serta orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, satusatunya ketentuan yang diharuskan dari suatu akta di bawah tangan adalah akta itu harus ditanda tangani. Jadi apabila akta di

6 18 bawah tangan diakui oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan ditanda tangani maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti suatu akta otentik (Ali Afandi, 1997: ). 2) Alat bukti dengan saksi Suatu alat pembuktian dengan saksi pada umumnya baru digunakan apabila alat pembuktian dengan tulisan tidak ada dan atau pembuktian dengan tulisan tersebut tidak cukup. Mengutip Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Oleh karena itu, keterangan-keterangan yang dikemukakan seorang sebagai saksi (merupakan kesaksian) itu harus benarbenar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dilihat atau dialami sendiri dan harus beralasan. Berdasarkan Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata menyatakan keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. Keterangan seorang saksi harus ditambah dengan adanya alat bukti lainnya. Kekuatan pembuktian alat bukti dengan saksi adalah bebas, artinya kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim dalam menilai alat pembuktian saksi (Pasal 1908 KUH Perdata dan Pasal 172 HIR) dengan memperhatikan kesamaan/persesuaian antara keterangan para saksi, persesuaian antara keteranganketerangan dengan apa yang diketahui dengan segi lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaan dan kedudukan para saksi pada umumnya serta segala apa yang berhubungan

7 19 dengan keterangan yang dikemukakan (Teguh Samudera, 1992: 58-62). 3) Alat bukti persangkaan-persangkaan Persangkaan berdasarkan undang-undang oleh Pasal 1916 KUH Perdata yakni persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Sedangkan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang (menurut kenyataan) yakni hakim bebas menyimpulkan persangkaan berdasarkan kenyataan. Hakim bebas mempergunakan atau tidak mempergunakaan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara sebagai dasar untuk melakukan persangkaan (Teguh Samudera, 1992: 77-81). Kekuatan pembuktian persangkaan menurut undangundang yakni membebaskan sesorang untuk memberikan pembuktian lebih lanjut (Pasal 1921 KUH Perdata). Hal ini tidak berarti bahwa seseorang yang telah mendapat kedudukan yang baik karena adanya persangkaan menurut undang-undang itu, lalu tidak harus membuktikan suatu hal tertentu. Ia harus tetap membuktikan adanya peristiwa yang menimbulkan persangkaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka hakim akan menentukan nilai kekuatan pembuktian persangkaan tersebut. Hal ini merupakan bukti yang bebas. Sedangkan kekuatan pembuktian persangkaan tidak berdasarkan undang-undang (menurut kenyataan) memiliki kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas mempergunakan atau tidak mempergunakan hal-hal yang terbukti sebagai dasar untuk melakukan persangkaan tersebut (Ali Afandi, 1997: 213). 4) Alat bukti pengakuan Suatu pengakuan adalah suatu pernyataan akan kebenaran oleh salah satu pihak yang bersangkutan, tentang apa yang

8 20 dikemukakan oleh lawannya. Pengakuan itu meliputi pernyataan akan kebenaran dari tuntutan, hubungan hukum dan peristiwa. Jika di dalam suatu perkara ada pengakuan dari salah satu pihak, maka hakim selanjutnya tidak perlu lagi meminta pembuktian dari suatu peristiwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1923 KUH Perdata ada 2 (dua) jenis pengakuan, yaitu pengakuan di dalam sidang pengadilan dan pengakuan di luar sidang. Pengakuan di dalam sidang adalah suatu pernyataan tegas dari salah satu pihak yang berperkara tentang kebenaran dari hal-hal yang dikemukakan oleh lawannya. Pengakuan semacam ini disebut pengakuan murni. Kekuatan pembuktian pengakuan di dalam sidang mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap dan menentukan terhadap yang mengemukakan dan merupakan bukti yang menentukan, oleh karena itu apabila salah satu pihak yang mengaku, maka hakim harus menganggap pengakuan itu sebagai kebenaran. Sedangkan pengakuan di luar sidang menurut ketentuan Pasal 1928 KUH Peradat maka penilaiannya diserahkan kepada hakim (Ali Afandi, 1997: ). 5) Alat bukti sumpah HIR dan KUH Perdata tidak memberikan definisi mengenai sumpah. Undang-undang hanya mengatur tentang sumpah pada Pasal HIR, Pasal 177 HIR dan Pasal KUH Perdata. Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah tetapi menurut para ahli hukum memberikan pengertiannya yaitu antara lain, mengutip A. Pitlo bahwa sumpah adalah hal yang menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. Sedangkan mengutip Sudikno Mertokusumo bahwa sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa

9 21 daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-nya (Teguh Samudera, 1992: 94-95). Ada 2 (dua) golongan sumpah: a) Sumpah dimuka hakim, yakni termasuk sumpah pemutus (decisior), sumpah tambahan, sumpah penaksiran, sumpah saksi dan sumpah seorang ahli. b) Sumpah diluar pengadilan, yakni termasuk sumpah pembersih (zuiveringseed) dan sumpah penaksir. Berdasarkan ketentuan Pasal 1929 KUH Perdata, sumpah dimuka hakim ada 2 (dua) yakni: a) Sumpah pemutus (decisior) Yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu dengan perantara hakim diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara. Kekuatan pembuktian pada sumpah decisior adalah menentukan, karena biasanya tidak ada alat bukti yang lain dan para pihak yang bersengketa menggantungkan penentuan perkaranya kepada diangkatnya sumpah tersebut. b) Sumpah tambahan (aanvullende eed) Yaitu suatu sumpah yang oleh hakim karena jabatannya diperintahkan kepada salah satu pihak yang berperkara. Sumpah ini diperintahkan oleh hakim karena bukti-bukti yang diajukan belum dianggap cukup untuk memutuskan perkara, maka dari itu diperlukan tambahan pembuktian. Kekuatan pembuktian sumpah tambahan adalah sebagai bukti yang sempurna (Ali Afandi, 1997: 219). Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat sekarang ini, memungkinkan masyarakat umum untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang berkenaan atau berhubungan langsung dengan kegiatan hukum melalui media

10 22 online. Para pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian melalui via internet dengan kliennya atau dengan konsumennya. Perjanjian ini biasanya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa atau sebagainya, mana kala terjadi suatu sengketa terhadap perjanjian ini, maka dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan di berlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) pada tanggal 21 April 2008, maka secara yuridis terciptalah suatu dasar hukum bagi transaksi-transaksi elektronik dan informasi yang terjadi di wilayah hukum Indonesia. Setiap kegiatan yang berurusan dengan sistem elektronik harus mendasarkan hubungan tersebut pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang ini. Salah satu hal yang baru adanya suatu bentuk alat bukti baru dan sah secara hukum, yaitu informasi elektronik, dokumen elektronik atau pun hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik (Pasal 5 ayat (1) UU ITE). Ketiga macam alat bukti ini benar-benar merupakan hal yang baru dalam dunia hukum mengingat belum adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan dan mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah (Pasal 44 UU ITE). Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Tentang UU ITE menyebutkan: (1) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

11 23 (3) Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. (4) Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE, maka ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah. Berdasarkan KUH Perdata, macam alat-alat bukti hanya dapat diperoleh dari alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah. Tetapi setelah diundangkannya UU ITE, alat bukti dengan informasi elektronik, dokumen elektronik atau pun hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, apabila alat bukti tersebut dijamin otentikasi dan keasliannya yang dapat ditelusuri dari register atau berita acara. d. Proses Pembuktian dalam Proses Peradilan Perdata Pembuktian dalam perkara perdata dapat dilaksanakan secara lisan maupun tertulis. Apabila pembuktian tersebut dilaksanakan secara tertulis maka atas jawaban Tergugat, Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapannya dalam bentuk replik sedangkan terhadap replik dari Penggugat tersebut, Tergugat dapat memberikan tanggapannya dalam bentuk duplik. Hal tersebut bertujuan agar hakim mengetahui peristiwa yang menjadi pokok sengketa. Setelah diperoleh peristiwa yang

12 24 menjadi pokok sengketa, maka hakim harus memperoleh kepastian tentang sengketa atau peristiwa konkret yang telah terjadi tersebut. Peristiwa yang menjadi pokok sengketa yang ditemukan dari proses jawab menjawab itu merupakan kompleks peristiwa yang harus diseleksi secara benar dan tepat oleh hakim, yaitu mengenai peristiwa yang pokok dan relevan bagi hukum. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis yaitu pembuktian yang berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara yang memungkinkan adanya bukti lawan (tegenbewijs) yang bersifat historis artinya pembuktian yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Dalam menyelesaikan suatu perkara dasarnya ada dua hal yang penting bagi hakim, yaitu peristiwa yang disengketakan dan hukumnya, sebagaimana dikemukakan oleh Paul Scholten menyatakan, hijweet, dathij twee dingennoodig heft de kennis der feitenen van den regel, Eentoepassing van den regel op de feitengeeft het antwoord. Dalam perkara perdata yang mengemukakan peristiwa yang disengketakan adalah pihak-pihak yang bersengketa yakni antara Penggugat dan Tergugat, sedangkan hukumnya dikemukakan oleh hakim. Oleh karena itu, dalam proses pembuktian yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah peristiwanya bukan hukumnya, karena secara ex officio, hukum dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit) (dalam Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2009: 361). Dalam proses pemeriksaan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan dengan pokok gugatan. Hakim dianggap mengetahui atau memahami hukum. Artinya hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas karena hakim dianggap mengetahui hukum (ius curia novit).

13 25 Proses pembuktian di muka sidang pengadilan itu tidak hanya menyangkut mengenai peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian saja namun juga mengenai atas suatu hak. Menurut Prof. Mr. A. Pitlo menyatakan bahwa yang dapat dibuktikan ialah fakta dan hak (dalam Teguh Samudera, 1992: 17). Walaupun demikian tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal yakni diakui sepenuhnya kebenarannya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak-pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak Penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak Tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian (Deasy Soeikromo, 2014: ). 2. Tinjauan Tentang Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dan Pembuktian a. Pengertian Akta Otentik Berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR menyatakan bahwa surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya tentang segala apa yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang segala yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 285 RBg menyatakan bahwa sebuah akta autentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang sesuai dengan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunannya dan mereka yang mendapakan hak tentang apa yang dimuat di dalamnya dan bahkan tentang suatu

14 26 pernyataan belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi pokok akta itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata, suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak. Dari penjelasan pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta. Apabila akta itu dibuat oleh pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut ketentuan Pasal 1869 KUH Perdata diatas: 1) Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik atau disebut juga akta otentik, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik. 2) Namun akta demikian, mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan, dengan syarat apabila akta ini ditanda tangani dan disepakati oleh para pihak (M. Yahya Harahap, 2013: 566). Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undangundang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum atau pejabat yang berwenang. Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 UUJN, dimana notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Dengan perkataan lain, akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, yakni bukan oleh karena undang-undang yang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh atau di

15 27 hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata (Rahmad Hendra, 2012: 3). Other than the authority code in Article 1868 Civil Code is the source to authenticate a notary and also the legal basis of the existence of the notarial deed, with the following terms: 1) It shall be made by or in the presence of a public official; 2) It shall be made in the form prescribed by law; 3) Public officials by or before whom the deed was mad; must have the authority to make the deed. (Thea Farina dan Sudarsono, dkk. 2015: 355). Yang diterjemahkan secara bebas: Selain otoritas dalam Pasal 1868 KUH Perdata ada sumber lain untuk mengetahui otentisitas dari akta notaris dan juga dasar hukum keberadaan akta notaris, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; 2) Harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh hukum; 3) Pejabat umum oleh atau sebelum siapa akta itu dibuat, harus memiliki kewenangan untuk membuat akta. b. Fungsi Akta Otentik Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain sebagai: 1) Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum; 2) Alat pembuktian. Walaupun mempunyai bermacam-macam fungsi, akan tetapi fungsi akta yang paling penting di dalam hukum perdata adalah sebagai alat pembuktian. Selain itu fungsi akta juga dapat merupakan gabungan yang menjadi satu di dalamnya yaitu antara syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum dan sebagai alat pembuktian. 1) Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum

16 28 Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa sebagai syarat formil maka suatu perbuatan hukum akan lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Apabila suatu akta tidak dibuat maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal-Pasal 1681, 1682, 1683 KUH Perdata (tentang cara menghibahkan), 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk akta otentik, sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal-Pasal 1610 KUH Perdata (tentang pemborongan kerja), 1767 KUH Perdata (tentang meminjamkan uang dengan bunga), 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum. 2) Sebagai alat pembuktian Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Alat pembuktian tersebut sebagai pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak darinya tentang apa yang di muat dalam akta tersebut. Akta otentik sebagai alat pembuktian merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal- hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim. Apabila tidak adanya atau tidak dibuatkannya akta tersebut maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 150 KUH Perdata (tentang perjanjian kawin) dan Pasal 258 KUH Dagang (tentang Asuransi). Jadi di sini akta memang dengan sengaja sejak semula adanya itu dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari (Teguh Samudera, 1992: 46-47).

17 29 c. Bentuk Akta Otentik Bahwa berdasarkan bunyi Pasal 165 HIR/1868 BW/285 RBg tersebut, maka akta dapat digolongkan menjadi: 1) Acte ambtelijk, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang hal-hal yang ia lihat dan ia lakukan. 2) Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak dihadapan pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan keterangan-keterangan yang merupakan kehendak para pihak itu sendiri. d. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak disangkal oleh pihak lain. Memberikan bukti yang lengkap dapat pula berarti bahwa dengan adanya akta otentik itu sudah tidak lagi diperlukan tambahan alat pembuktian lain. Jadi pembuktiannya cukup dengan bukti akta itu. Dengan demikian, akta otentik merupakan alat pembuktian yang mengikat dan lengkap. Akta otentik sebagai alat pembuktian yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mempunyai kekuatan pembuktian lengkap itu hanya berlaku terhadap para pihak (party akta) menurut ketentuan Pasal 165 HIR, 1870 dan 1871 KUH Perdata. Sedangkan terhadap orang pihak lain yaitu pihak yang tidak

18 30 menjadi party akta, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap, dalam arti penilaian kekuatan pembuktiannya bergantung kepada pertimbangan hakim. 1) Kekuatan pembuktian lahir Kekuatan pembuktian lahir dari akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir bahwa suatu surat tersebut dapat diterima/dianggap seperti akta dan diperlakukan layaknya akta, sepanjang tidak terbukti kebalikannya. Maka dalam akta apa yang diterangkan dan ditandatangani di hadapan pegawai umum (notaris) yang kemudian ditandatangani pula oleh notaris sendiri, berarti notaris itu menguatkan atau menerangkan bahwa tanda tangan para pihak adalah otentik. Selain itu dalam akta otentik yang merupakan akta berita acara bahwa akta itu dibuat dan ditandatangani oleh pegawai umum. Jadi dalam hal ini bahwa keterangan yang diterangkan oleh pegawai umum (notaris) adalah benar dan berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka berarti bahwa keduanya akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir. 2) Kekuatan pembuktian formal akta otentik Kekuatan pembuktian formal akta otentik yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani dalam akta terebut. Bahwa penanda tanganan akta tersebut sebagai hal yang diterangkan kebenarannya di dalam akta. Karena hal tersebut bukan menjadi tugas pegawai umum (notaris) untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para penghadap yang dituliskan dalam akta maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, apabila tanda tangan para penanda tangan telah diakui kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah membuktikan kebenaran dan keabsahan akta tersebut terhadap setiap orang. Dan juga dalam akta otentik

19 31 yang berupa akta berita acara, bawa keterangan pegawai umum (notaris) itu adalah satu-satunya keterangan yang diberikan dan ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tandatangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal. 3) Kekuatan Pembuktian Material Akta Otentik Kekuatan pembuktian material akta yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberikan kepastian tentang materi fakta. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain, keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta otentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum (berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat, dan didengar), hal tersebut dianggap benar isi keterangan tersebut maka berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka akta ini mempunyai kekuatan pembuktian material (Teguh Samudera, 1992: 48-52). 3. Tinjauan Tentang Bukti Lawan (Tegenbewijs) Sebagai Alat Bukti Tandingan dan Pembuktian a. Pengertian Bukti Lawan (Tegenbewijs) Berdasarkan ketentuan Pasal 1918 KUH Perdata menyebutkan bahwa: suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, yang menyatakan hukuman kepada

20 32 seseorang yang karena suatu kejahatan atau pelanggaran dalam suatu perkara perdata, dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya. Pada akhir kalimat Pasal 1918 KUH Perdata, memberikan hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs (counter proof). Dalam teori dan praktek di pengadilan, bukti lawan selalu dikaitkan dengan pihak Tergugat. Oleh karena itu, bukti lawan selalu diartikan: 1) Bukti yang diajukan Tergugat untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil-dalil dan fakta-fakta yang diajukan Penggugat; 2) Berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa bukti lawan merupakan bukti penyangkalan atau bukti balasan terhadap pembuktian yang diajukan Penggugat. Jadi bukti lawan merupakan bukti penyangkal (contraenquete) yang diajukan dan disampaikan di persidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan pihak lawan. Tujuan utama pengajuan bukti lawan, selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan pihak lawan tersebut. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengajuan bukti lawan merupakan: a) Upaya yang dilakukan salah satu pihak untuk membantah dan melumpuhkan pembuktian pihak lawan; b) Dan upaya itu, merupakan hak yang diberikan undang-undang kepada pihak Tergugat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1918 KUH Perdata dengan syarat asalkan hal tersebut diajukan dalam persidangan pengadilan.

21 33 b. Tujuan Bukti Lawan (Tegenbewijs) Pada prinsipnya dalam pembuktian pihak lawan diberi hak untuk mengajukan pembuktian. Bukti lawan merupakan bukti peyangkalan (contra-enquete) yang diajukan dan disampaikan dipersidangan untuk melumpuhkan pembuktian yang dikemukakan oleh pihak lawan. Tujuan utama pengajuan bukti lawan selain untuk membantah dan melumpuhkan kebenaran pihak lawan, juga bermaksud untuk meruntuhkan penilaian hakim atas kebenaran pembuktian yang diajukan oleh para pihak tersebut (M. Yahya Harahap, 2013: 514). c. Prinsip Penerapan Bukti Lawan (Tegenbewijs) Menurut M. Yahya Harahap pada dasarnya terdapat dua prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penerapan bukti lawan: 1) Semua alat bukti dapat disangkal dengan bukti lawan Prinsip yang pertama, semua alat bukti yang diajukan oleh seseorang (Penggugat) dapat dibantah atau dilumpuhkan dengan bukti lawan. Alat bukti tulisan, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan pada prinsipnya dapat disangkal atau dilumpuhkan oleh adaya bukti lawan. Dalam contoh yakni alat bukti keterangan saksi dapat dibantah pihak lawan dengan alat bukti yang sama maupun dengan jenis alat bukti lain. Akta otentik dapat dibantah dengan bukti lawan. Pendapat itu dikemukakan pada putusan MA No. 3360K/S/Sip/1983. Berdasarkan Pasal 1870 KUH Perdata atau Pasal 314 RBG, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu akta otentik adalah sempurna (volledig). Akan tetapi hal itu melekat sepanjang tidak ada diajukan bukti lawan (tegenbewijs) olah pihak lawan. Oleh karena itu, kesempurnaannya tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Kesempurnaan akta otentik dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan (tegenbewijs). Apabila ditinjau dari segi formil

22 34 bahwa fakta mengenai akta otentik memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijs kracht) akan tetapi kekuatan pembuktian itu, tidak menentukan (dwingende bewijs kracht) dengan demikian fakta otentik itu dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. 2) Bukti Tertentu Tidak Dapat Dilumpuhkan dengan Bukti Lawan Tidak semua alat bukti dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. Hal itu tergantung pada ketentuan pada undang-undang. Apabila undang-undang menentukan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan (beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht), maka alat bukti tersebut tidak dapat dibantah maupun dilumpuhkan dengan bukti lawan. Dari penjelasan tersebut, maka untuk menentukan boleh atau tidak diajukan bukti lawan terhadap suatu alat bukti yang dikemukakan pihak lawan: a) Tergantung pada nilai kekuatan pembuktian (bewijs kracht) yang melekat pada bukti yang bersangkutan; b) Apabila kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti itu bersifat menentukan atau memaksa, maka terhadap hal itu tidak dapat diajukan bukti lawan. Misalnya alat bukti sumpah pemutus (beslissende eed) atau (decisoire eed) yang disebut Pasal 1929 KUH Perdata, Pasal 155 HIR dinyatakan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan menentukan. Oleh karena itu, terhadap hal itu tidak dapat diajukan bukti lawan, dan kekuatannya tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain (M. Yahya Harahap, 2013: ). Kesimpulannya, pada dasarnya semua alat bukti dapat disangkal oleh kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) namun bukti tertentu tidak dapat disangkal oleh bukti lawan. Apabila undangundang menentukan bahwa alat bukti tersebut bersifat menentukan

23 35 (beslissende bewijs kracht) atau memaksa (dwingende bewijs kracht). Terhadap alat bukti akta otentik yang mempunyai nilai kekuatan sempurna (volledi bewijs kracht) seperti akta otentik atau akta di bawah tangan maka terhadapnya dapat diajukan bukti lawan. d. Kualitas Bukti Lawan yang Mempunyai Nilai Pengajuan bukti lawan harus didasarkan pada asas proposional. Artinya bukti lawan yang diajukan tidak boleh lebih rendah kadar nilainya daripada bukti yang hendak dilumpuhkan. Sehubungan dengan hal itu maka dapat dikatakan kualitas bukti lawan yang mempunyai nilai meliputi ketentuan sebagai berikut: 1) Mutu dan kualitas kekuatan pembuktiannya paling tidak sama dengan bukti yang dilawan; 2) Alat bukti lawan yang diajukan sama jenisnya dengan alat bukti yang dilawan; 3) Kesempurnaan dan nilai kekuatan pembuktian yang melekat tersebut sama kuatnya. Namun berdasarkan penjelasan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yakni membolehkan mengajukan bukti lawan berupa keterangan saksi atau girik terhadap Sertifikat Hak Milik, HGB dan HGU. Berarti dari penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut membenarkan bukti lawan yang nilai pembuktiannya lebih rendah jenis dan kualitasnya terhadap akta otentik. Dengan demikian asas proposional pengajuan bukti lawan memang dianggap sangat layak, akan tetapi apabila peraturan perundang-undangan menentukan suatu syarat tersebut dapat disingkirkan. Bahkan dalam praktik telah dibenarkan mengajukan bukti lawan saksi terhadap akta otentik apalagi terhadap bukti akta di bawah tangan (M. Yahya Harahap, 2013: ).

24 36 B. Kerangka Pemikiran Gugatan Jawaban Gugatan 1. Eksepsi 2. Pokok Perkara 3. Rekonpensi Replik Duplik Pembuktian Alat-Alat Bukti (Menurut 164 HIR, 284 RBg dan 1866 BW) Tertulis Saksi Persangkaan- Persangkaan Pengakuan Sumpah Akta Otentik Kekuatan Pembuktian Sempurna (volledig bewijskracht) Bukti Lawan (tegenbewijs) 1. Fakta yang membatalkan akta otentik 2. Kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) yang dapat membatalkan akta otentik Gambar 1. Kerangka Pemikiran

25 37 Keterangan: Proses pemeriksaan dalam perkara perdata diawali dengan adanya gugatan masuk ke pengadilan. Gugatan tersebut diproses dahulu di bagian panitera perdata yaitu mulai dari membayar biaya perkara, penetapan nomor register perkara, disampaikan ke ketua pengadilan, ketua pengadilan menetapkan majelis hakim, selanjutnya majelis hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan melalui panitera agar pihak Penggugat dan Tergugat dipanggil sesuai dengan hari sidang yang telah ditetapkan. Pada persidangan pertama jika Penggugat atau wakilnya tidak pernah hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 (tiga) kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan gugatan gugur. Sebaliknya jika Tergugat tidak hadir setelah dipanggil secara patut dan sah selama 3 (tiga) kali berturut-turut maka majelis hakim akan memberikan putusan verstek. Selanjutnya apabila Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan maka majelis hakim akan melakukan mediasi untuk berdamai paling lama 40 hari. Jika selama 40 hari tersebut mediasi tidak tercapai, maka persidangan selanjutnya adalah pembacaan gugatan oleh Penggugat. Setelah pembacaan gugatan selesai atau dianggap dibacakan, majelis hakim menanyakan kepada Tergugat apakah ada tanggapan baik lisan maupun tertulis. Apabila lisan majelis hakim pada persidangan tersebut akan mencatat dan apabila tertulis biasanya diberi kesempatan untuk menanggapinya yakni jawaban Tergugat. Dalam jawaban Tergugat ini Tergugat dapat melakukan bantahan, mengakui dan tidak membantah dan tidak mengakui (referte) serta mengajukan eksepsi (formil dan materil) dan rekonvensi (gugatan balik). Pada persidangan selanjutnya atas jawaban Tergugat tersebut maka Penggugat menanggapinya dalam bentuk Replik dan dari Replik Penggugat tersebut, Tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi dalam bentuk Duplik. Setelah proses jawab menjawab antara Penggugat dan Tergugat tersebut berakhir, majelis hakim akan melanjutkannya penyerahan alat-alat bukti tertulis Penggugat. Kemudian Tergugat diminta juga menyerahkan alat-alat bukti tertulis kepada majelis hakim.

26 38 Pembuktian pada dasarnya merupakan hal yang wajib dalam pemeriksaan suatu perkara, khususnya perkara yang di dalamnya terdapat sengketa atau contentiosa. Jika dalam pemeriksaan suatu sengketa perdata, para pihak berbeda pendapat atau pendirian dan masing-masing ingin meneguhkan dalil-dalilnya, maka pada saat itulah dibutuhkan pembuktian untuk meyakinkan hakim pihak mana yang benar atau mempunyai hak dan pihak mana yang salah atau tidak mempunyai hak. Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis menyimpulkan definisi pembuktian sebagai proses menghadirkan alat-alat bukti yang diatur menurut hukum acara di dalam persidangan pengadilan perdata. Macam alat-alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 BW yang meliputi: alat bukti dengan surat atau tertulis, alat bukti dengan saksi, alat bukti persangkaan-persangkaan, alat bukti pengakuan, alat bukti sumpah. Selain alatalat pembuktian diatas, HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu hasil pemeriksaan setempat dan keterangan ahli. Alat bukti dengan surat atau tulisan dalam perkara perdata merupakan alat bukti yang utama karena alat bukti surat atau tulisan ini dapat dijadikan bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan. Akta dibagi menjadi tiga yakni akta otentik, akta di bawah tangan dan surat biasa. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dari jenis akta-akta tersebut, akta otentik merupakan akta yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna artinya kekuatan pembuktiannya lengkap (mengikat) dan pembuktianya cukup dengan akta itu sendiri kecuali jika ada bukti lawan (tagenbewijs) yang membuktikan lain atau membuktikan sebaliknya dari akta tersebut. Untuk itu penulis akan menelaah masalah yang berhubungan dengan fakta yang membatalkan suatu akta otentik dan kekuatan bukti lawan (tegenbewijs) yang dapat membatalkan akta otentik.

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL 2.1 Pengertian Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa Inggris disebut act atau deed. Secara etimologi menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( ) BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan

Lebih terperinci

REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN

REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN IDENTITAS TUJUAN UNTUK MEMBANTAH/MENANGGAPI EKSEPSI, JAWABAN, REKONPENSI DAN MENGUATKAN DALIL GUGATAN DUPLIK DIAJUKAN

Lebih terperinci

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA A. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Yang Sempurna Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN

KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN KEKUATAN YURIDIS METERAI DALAM SURAT PERJANJIAN Oleh : Komang Kusdi Wartanaya Nyoman A. Martana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT: This paper entitled Juridical Power of Seal on

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

D I S Q U A L I F I C A T O I R

D I S Q U A L I F I C A T O I R D I S Q U A L I F I C A T O I R Eksepsiyang menyatakanpenggugattidak memilikikapasitas/kedudukansebagai Penggugatdalamperkaraini. D I L A T O I R Eksepsi yang bertujuan untuk menunda diajukan gugatan,

Lebih terperinci

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan Pembuktian merupakan bagian dari tahapan pemeriksaan perkara dalam persidangan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017. KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Fernando Kobis 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017. KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Fernando Kobis 2 KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Fernando Kobis 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan bukti surat menurut Hukum Acara Perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan notaris sangat penting ditengah-tengah masyarakat. Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta otentik. Akta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta dan dalam bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semua akta adalah otentik karena ditetapkan oleh undang-undang dan juga karena dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Tugas dan pekerjaan notaris sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia dalam bermasyarakat, banyak sekali terjadi hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut, baik peristiwa hukum maupun perbuatan

Lebih terperinci

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: A. Pendahuluan 1. Dasar Hukum a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: Pasal 162 177 HIR; Pasal 282 314 RBg; Pasal 1885 1945 BW; Pasal 74 76, 87 88 UU No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Thn

Lebih terperinci

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis BAB II PEMBUKTIAN DAN PENGAKUAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Secara etimologis pembuktian dalam istilah arab disebut Al- Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hukum perdata mengenal mengenal tentang adanya alat-alat bukti. Alat bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi rakyat Indonesia guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi rakyat Indonesia guna meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tanah merupakan salah satu sumber daya alam bagi kehidupan manusia dan merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang mempunyai fungsi sosial amat penting bagi

Lebih terperinci

BAB II PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan

BAB II PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan BAB II PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA A. Pengertian Pembuktian Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa Menurut Tergugat : bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt. RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt. Niscaya mereka akan masuk surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya, bagi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DISUSUN OLEH : MOHAMMAD FANDRIAN HADISTIANTO Definisi Hukum Acara Hukum acara adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan atau

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA (HAPerd)

HUKUM ACARA PERDATA (HAPerd) HUKUM ACARA PERDATA (HAPerd) PEMBAHASAN 1.Pengertian Pembuktian 2.Tujuan Pembuktian 3.Hukum Pembuktian 4.Beban Pembuktian 5.Alat-alat Bukti HIKMAH HARI INI ISTIGFAR menenangkan hati, menambah rizki, meredam

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH. BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH. Dalam pembuktian suatu perkara perdata alat bukti mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA 2.1 Pengertian Pembuktian Dalam hukum acara perdata hukum pembuktian memiliki kedudukan yang sangat penting didalam proses persidangan.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN. Rosdalina Bukido. Abstrak

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN. Rosdalina Bukido. Abstrak KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN Rosdalina Bukido Abstrak Pembuktian merupakan salah satu aspek yang sangat penting didatangkan dan disiapkan oleh para pihak (Penggugat

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA Pembuktian. DALAM PERSIDANGAN Di dalam persidangan para pihak dapat saja mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan dasar untuk meneguhkan haknya

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015. KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN 1 Oleh : Richard Cisanto Palit 2

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015. KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN 1 Oleh : Richard Cisanto Palit 2 KEKUATAN AKTA DI BAWAH TANGAN SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN 1 Oleh : Richard Cisanto Palit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pembuatan akta

Lebih terperinci

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum acara perdata (hukum perdata formil), yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Prof.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA 1 P U T U S A N Nomor: 0631/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata Sumpah dalam masyarakat luas dikenal sebagai pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang untuk menguatkan pernyataan yang dikemukakannya dengan tujuan agar dapat

Lebih terperinci

Makalah Rakernas MA RI

Makalah Rakernas MA RI Makalah Rakernas MA RI 2011 1 BEBERAPA CATATAN DARI TUADA ULDILAG BAHAN RAKERNAS MARI SEPTEMBER 2011 A. Pengantar Berhubung saya dalam kondisi sakit, maka saya hanya memberi catatan-catatan yang saya anggap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor: 1969/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor: 1969/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 1969/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan

Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan 104 Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan Pasal 1867 berbunyi, Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Pasal 1868 berbunyi

Lebih terperinci

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI

TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI TERGUGAT DUA KALI DIPANGGIL SIDANG TIDAK HADIR APAKAH PERLU DIPANGGIL LAGI Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H., (Hakim PTA Mataram). A. Pendahuluan Judul tulisan ini agak menggelitik bagi para pambaca terutama

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MEDIASI Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Dasar Hukum : Pasal 130 HIR Pasal 154 RBg PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai berbagai macam profesi yang bergerak di bidang hukum. Profesi di bidang hukum merupakan suatu profesi yang ilmunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah negara hukum, demikianlah makna yang tersirat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti di negara Indonesia ada tata hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan

BAB I PENDAHULUAN. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran jabatan Notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan tujuan untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Pembuktian dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0556/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

P U T U S A N. Nomor 0556/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan P U T U S A N Nomor 0556/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1 KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1 A. PENDAHULUAN Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu,

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1591/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

P U T U S A N. Nomor 1591/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan P U T U S A N Nomor 1591/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor: 0830/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas

P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas P U T U S A N Nomor 1342/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum harus dilaksanakan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET

CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,(Hakim PTA Mataram). I. Pendahuluan : Judul tulisan ini bukan hal yang baru, sudah banyak ditulis oleh para pakar hukum

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia BAB III PENUTUP Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diajukan dan juga saran sebagai alternatif pemecahan terhadap permasalahan kasus yang lainnya yang

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN TANDATANGAN PADA DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN TANDATANGAN PADA DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN TANDATANGAN PADA DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA Oleh Putri Visky Saruji Nyoman A. Martana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

PEMBAHASAN JAWABAN GUGATAN BALIK (REKONVENSI) JALANNYA PERSIDANGAN

PEMBAHASAN JAWABAN GUGATAN BALIK (REKONVENSI) JALANNYA PERSIDANGAN PERSIDANGAN 2 PEMBAHASAN JAWABAN GUGATAN BALIK (REKONVENSI) JALANNYA PERSIDANGAN HIKMAH HARI INI Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim)

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0624/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 0624/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 0624/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas

P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas P U T U S A N Nomor 1336/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN TERGUGAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN TERGUGAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN TERGUGAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1 Hal itu menegaskan bahwa pemerintah menjamin kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1113/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 1113/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 1113/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU Disusun Oleh : SIVA ZAMRUTIN NISA, S. H NIM : 12211037 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 0718/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 1880/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan

P U T U S A N. Nomor: 1880/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Melawan P U T U S A N Nomor: 1880/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta BAB II AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta Akta menurut A.Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas PUTUSAN Nomor 1125/Pdt.G/2015/PA. Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT)

PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) PEMERIKSAAN GUGATAN SEDERHANA (SMALL CLAIM COURT) di INDONESIA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat Bertugas di PN Sukadana Kab Lampung Timur Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1531/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

P U T U S A N. Nomor 1531/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan P U T U S A N Nomor 1531/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word : , legal evidence, evidence

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word :  , legal evidence, evidence KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRNONIK (EMAIL) DALAM PRAKTEK PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR Oleh Stefanus Alfonso Balela I Ketut Tjukup Nyoman A. Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Mentok yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu dalam persidangan Majelis Hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas

PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas PUTUSAN Nomor 1734/Pdt.G/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama,

Lebih terperinci