BAB I PENGANTAR. lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa. 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa. 1"

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku atau etnis. Etnis itu antara lain adalah etnik Jawa, Bugis, Batak, Dayak, Arab,dan Tionghoa. 1 Orang peranakan Tionghoa Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan yang tinggal dan hidup di wilayah Indonesia. Mereka berasal dari keturunan orang Tionghoa dari negeri Tiongkok dengan orang setempat atau lokal. Masyarakat Tionghoa di Indonesia diperkirakan sudah sejak lama tinggal di Indonesia. Hal ini terlihat dari sumber Tionghoa, misalnya Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-Pantai Samudra) (1416), Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan) (1436), dan Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat) (1618) (Groeneveldt, 2009:14, 74, 78). Etnik Tionghoa tersebut melakukan perkawinan dengan etnik setempat. Keturunan dari perkawinan tersebut sering disebut dengan peranakan Tionghoa Indonesia (selanjutnya disebut peranakan Tionghoa) (Salmon, 1981:15). Selain itu, orang Tionghoa terdiri atas golongan Tionghoa totok dan golongan peranakan Tionghoa. Golongan Tionghoa totok adalah 1 Etnis Tionghoa Indonesia sebagian besar menempati suatu wilayah dalam jumlah yang cukup banyak, seperti di daerah Singkawang. Penyebutan untuk orang Cina umumnya mengacu pada penduduk yang tinggal di negeri Tiongkok atau Repbulik Rakyat Cina. Kata Tionghoa berasal dari salah satu dialek (Hokkian) untuk kata zhongguo yang berarti zhong: tengah, guo: negara. Menurut Leo Suryadinata (dalam Hermawan, 2005:65), kata Cina atau Tjina di Indonesia sudah lama dipakai. Awalnya, kata ini memiliki konotasi negatif karena dikaitkan dengan semangat nasionalisme untuk negeri Toiongkok atau RRC sehingga bukan sebagai wujud nasionalisme lokal (Gungwu, 2001:5). Menurut Suryadinata, istilah Tionghoa dan Tiongkok pernah diganti dengan Cina (lht. Lev, 2000:19). Mengenai sejarah penggunaan kata Cina, Tionghoa, dan Tiongkok dapat dilihat lebih lanjut dalam Wibowo (2000) atau Mely G Tan (1979). 1

2 golongan yang tidak melakukan perkawinan dengan etnik yang lain atau darah Tionghoa-nya masih murni, belum tercampur dengan darah etnik yang lain. Masyarakat peranakan Tionghoa mengembangkan tradisi dan kebudayaan dengan mengadaptasi tradisi setempat. Interaksi etnis peranakan Tionghoa terhadap kebudayaan setempat dapat dilihat dari berbagai bidang seperti pertanian, teknologi makanan, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain 2 seperti yang dibahas oleh Denys Lombard (2005: ), Onghokham (Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, 2009), Leo Suryadinata (Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia,1988), dan berbagai kajian dari pakar yang lain seperti Claudine Salmon (1981), A. Dahana (2007), Suminto Al Qurtuby (2007), Mary F. Somers Heidhues (1974, 2000), dan lain-lain. Pembahasan dari para pakar itu menunjukkan adanya saling pengaruh di antara kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan setempat. Sastra adalah fenomena budaya dan sosial. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial. Sebagai satu produk kebudayaan, sastra peranakan Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya pemiliki atau penciptanya. Memasuki era 1880-an, orang peranakan Tionghoa menerbitkan karya dengan menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Karya kesastraan itu oleh ahli sastra disebut de Indo-Chineseesche literatuur (Nio Joe Lan, 1958), Sastra Asimilatif (Pramoedya Ananta Toer, 1963), antecedents of modern Indonesian literature (C.W. Waston, 1971), Chinese Malay literature (John B. Kwee, 2. Sebagai contoh dari hal itu dapat dilihat dari material kebudayaan, seperti pembuatan batu bata, pembuatan aneka makanan (tahu, bakso, mie), dan lain-lain. 2

3 1977), marginal literature (Drewes, 1977), Peranakan Chinese Literature (Claudine Slamon, 1981), dan dalam bahasa Cina disebut tusheng huaren wenxue. Sementara ahli sastra Indonesia masih jarang yang membahas atau menyebutkan jenis sastra ini, apa lagi diakui sebagai bagian sejarah sastra Indonesia. Sejak era Orde Baru, karya Marga T dan Mira. W [keduanya adalah keturunan peranakan Tionghoa] disebut dengan sastra populer (Hill, 1977, Riyadi, 1985:9), yang seringkali dinilai kurang berkualitas karena jarang sekali dibahas secara akademik oleh ahli sastra. Fakta ini menunjukkan bahwa masih terdapat kerancuan istilah" dalam menyebut jenis sastra ini dalam sastra Indonesia 3. Sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa sudah ada sejak sekitar an hingga era sekarang 4 dan mengalami berbagai perkembangan seiring perubahan sosial, politik, dan kebudayaan. Sastra ini yang ditulis oleh keturunan Tionghoa di Indonesia pada awalnya menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa. Sebagai etnik campuran, mereka tidak sepenuhnya mengikuti tradisi budaya Tionghoa dan tidak seluruhnya menyerap tradisi budaya setempat. Hal ini sesuai dengan konsep alkulturasi atau perjumpaan berbagai tradisi budaya yang mengatakan bahwa terdapat proses perubahan di dalam kebudayaan akibat dari 3 Sejak tahun 2000 hingga 2007 telah terbit ulang kesastraan peranakan Tionghoa oleh kelompok penerbit Gramedia dengan menggunakan judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia dalam jumlah kurang lebih 10 jilid. Penggunaan istilah kesastraan Melayu Tionghoa ini diindikasikan dari karakteristiknya yang menggunakan bahasa Melayu Tionghoa dan ditulis oleh orang peranakan Tionghoa sedangkan Kebangsaan Indonesia dapat diinterprestasikan sebagai wujud pengakuan terhadap kesastraan, yakni kesastraan menjadi bagian dari sastra Indonesia atau bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Dengan demikian, ada implikasi mengenai gagasan bangsa dan nasionalisme. 4 Penyataan ini dapat membawa dua impilkasi. Pertama, bila mengacu pada suatu genre sastra, jenis ini masih ada karena saat ini orang peranakan Tionghoa Indonesia masih menulis karya sastra. Kedua, bila mengacu pada pengelompokkan yang lebih besar dalam konteks kesastraan Indonesia, sastra ini tidak ada lagi, yang ada adalah sastra Indonesia saja atau sastra Indonesia terdiri dari berbagai ragam genre atau jenis. 3

4 kontak atau pertemuan dua tradisi budaya yang berbeda (Encyclopedia Britannica, 1973:53). Identitas yang berada di antara ini dapat diasumsikan menjadi kekuatan masyarakat peranakan Tionghoa. Sastra yang dihasilkan juga menjadi representasi ketionghoaan dan pandangan dunia mereka. Sastra itu meliputi cerita terjemahan, saduran, dan adaptasi dari berbagai sumber dan cerita yang diciptakan sendiri. Persilangan atau pertemuan kebudayaan itu menempatkan sastra ini dengan menunjukkan karakteristik yang tidak sama dengan sastra yang lain, terutama sastra Indonesia seperti pada tradisi Balai Pustaka. Perkembangan tradisi kesastraan ini memberikan informasi tentang perkembangan fenomena budaya dan sosial masyarakat peranakan Tionghoa yang membangun identitasnya. Sebagai satu bentuk atau jenis yang tersendiri, sastra peranakan Tionghoa diasumsikan dapat memberikan satu persamaan 5 sebab ditulis oleh kelompok orang yang sama. Kesamaan itu dapat terlihat dari topik pembicaraan, isu yang dibawa, dan bentuk formal yang sama. Namun, pada kenyataannya, sastra peranakan Tionghoa tidak menunjukkan persamaan tersebut. Topik atau isu yang beragam muncul dalam sastra peranakan Tionghoa. Selain itu, bentuk yang berbeda-beda atau sistem jejaring penerbitan yang berbeda juga ditemukan. Perbedaan yang sering ditemukan adalah perbedaan isu, topik, jumlah pengarang, dan materi cerita yang mengindikasikan munculnya satu persoalan mengenai cara bertahan dan respon terhadap situasi sosial yang beragam di tanah asing 6. Hal 5 Seharusnya memiliki karakteristik yang serupa atau sama, seperti topik dan masalah yang ditulis dan gaya penyajian, seperti struktur ceritanya. 6 Gagasan mengenai di tanah asing ini diperoleh dari masyarakat peranakan Tionghoa sendiri di era kolonial ketika itu. Hal ini dapat dibuktikan dari kelompok politik atau sosial yang menganggap tanah air mereka sebagai tanah asing dan dioposisikan dengan tanah leluhur, misal kelompok Sin Po. Dalam teks sastra, sering klai ditemukan konsep yang demikian, misal 4

5 ini merupakan representasi dari ekspresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia dalam memberikan respon terhadap situasi sosial. Sastra merupakan fenomena budaya yang terikat oleh lingkungan sosial atau situasi sosial sehingga sastra peranakan Tionghoa diartikan sebagai wujud eskpresi sosial masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Barnett, 1970: ). Namun, karya sastra sebagai wakil masyarakat dalam menghidupkan satu tradisi kesastraan perlu dilihat bukan hanya pada persoalan pengaruh situasi zaman, melainkan karya sastra dapat memberikan respons terhadap kegelisahan sosial. Karya sastra dapat dipandang sebagai respon atas situasi sosial sehingga mereka melakukan semacam akomodasi dan asimilasi 7 terhadap lingkungan sekitarnya (Faruk, 1999:14). Hal ini dibuktikan melalui topik atau tema dan bentuk kesastraan yang dihasilkan sebagai bagian dari ekspresi sosial. Karya sastra yang dihasilkan merupakan wujud dari pandangan kelompok terhadap situasi sosial (bdk. Escarprit, 2005:10). Melalui laporan penelitian Claudine Salmon (1981) dan membandingkan karya-karya yang ada, selama periode atau paruh pertama abad ke XX, sastra peranakan Tionghoa Indonesia telah mengalami perubahan topik atau tema dan karakteristik yang lain seiring dengan perkembangan situasi sosial, politik, dan budaya, baik di Indonesia, Tiongkok, dan kawasan Nanyang 8. Perubahan topik dan karakteristik yang lain tersebut tentu teks Berdjoeang. Meskipun demikian, ada kelompok yang lain yang menganggap tempat kelahiran dan tempat hidupnya sehingga ruang tersebut tidak dianggap sebagai tanah asing, misal kelompok PTI. 7 Akomodasi memiliki pengertian bahwa masyarakat peranakan Tionghoa tidak menolak tradisi setempat dan tidak menyatukan dalam kehidupannya secara total, tetapi menjembataninya agar antara yang lokal dan tradisi Tionghoa dapat berjalan seimbang. 8 Nanyang, nan berarti selatan, yang berarti laut. Secara umum istilah ini berarti Laut Selatan. Kata Laut Selatan merujuk negara-negara di wilayah laut selatan. Istilah ini merujuk pada wilayah Asia Tenggara (Dahana, 2007:27). 5

6 saja ada sebab dan akibatnya. Mengetahui sebab dan akibat dari perubahan itu, proses dari perkembangan tradisi kesastraan dalam rentang waktu antara tahun dapat ditelusuri dan dijelaskan sebagai bagian dari perkembangan ekspresi sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa. Ekspresi sosial itu dapat dilihat dalam suatu waktu. Perubahan itu diindikasi sebagai bentuk perbedaan ekspresi sosial yang dilatarbelakangi oleh pandangan kelompok sosial terhadap situasi sosial Dari tahun 1880-an hingga 1900-an, sastra peranakan Tionghoa memunculkan bentuk sastra terjemahan atau adaptasi dari negeri Tiongkok atau Barat. Dominasi topiknya adalah ajaran agama, pendidikan Tionghoa, ajaran Kong Hucu, dan sejarah Tionghoa dengan gaya prosa seperti cerita hikayat di dunia Melayu. Meskipun demikian, kuantitas karya-karya tersebut tidak banyak. Sementara itu, dari tahun an, karya sastra peranakan Tionghoa memunculkan perubahan tema atau topik. Topik pendidikan, ajaran agama, dan sejarah Tionghoa masih ditemukan, tetapi topik keunggulan dan sifat atau karakter orang Tionghoa yang kuat, gigih, pekerja yang tangguh, dan menggunakan tradisi dan adat Tionghoa menjadi bahasan utama dengan membandingkan karakter atau tradisi orang setempat dan Barat yang masih jauh dari luhur dan baiknya budaya Tionghoa. Buruknya tradisi yang bukan Tionghoa itu diwujudkan melalui budaya pernyaian, kriminalitas, pelacuran, dan kemiskinan etnik yang lain, misalnya pribumi dan Indo-Eropa atau Eropa. Karya 6

7 sastra itu merepresentasikan gerakan recinanisasi 9 melalui gaya penulisan yang didasarkan pada berita di surat kabar. Memasuki tahun 1911 hingga 1920-an, karya sastra peranakan Tionghoa mulai menunjukkan pergeseran topik dan juga gaya penulisan. Meskipun topik ajaran agama, sejarah Tionghoa, dan pendidikan Kong Hucu masih ditemukan, topik kriminalitas, kekacauan masyarakat, dan pengaruh pendidikan Barat mulai dipersoalkan. Barat dituduh sebagai agen yang berbahaya selain juga memberikan tanggapan terhadap politik pemerintah Hindia Belanda atas status peranakan Tionghoa 10. Dari tahun 1920 hingga 1942, berbagai topik muncul dalam karya sastra sebagai respon dari situasi politik dan ekonomi. Perbedaan topik atau tema itu menunjukkan usaha saling bertentangan satu dengan yang lain 11. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam kesastraan ini terjadi perdebatan dalam menentukan arah perjalanan atau identitas yang direpresentasikan melalui perbedaan dalam menanggapi situasi sosial (bdk. Bromley, 2000:3-4). Persoalan identitas menjadi semakin menguat tidak hanya pada sumber Tionghoa saja seperti pada tahun 1900 hingga 1920-an. Topik atau permasalahan yang dibawa antara lain adalah kembali pada ajaran Tionghoa dan menolak pembaratan atau 9 Istilah recinanisasi digunakan dengan mengacu pada pendapat Leo Suryadinata (1984), yang berarti kembali pada ajaran atau adat leluhur, terutama Kong Hucu dan juga berarti sebagai gerakan nasionalisme budaya Tionghoa. 10 Hal ini dapat dicontohkan melalui pendirian sekolah Tionghoa agar masyarakat peranakan Tionghoa tidak berpaling pada tradisi kebudayaan dan nasionalisme pada Tionghoa. 11 Topik yang sering dijumpai adalah gagasan mengenai usaha menentang atau membuat tandingan tentang konsep manusia modern atau gagasan yang dianggap dari Barat (liberalisme dan komunisme). Pertentangan itu terletak pada cara membentuk manusia Tionghoa atau Timur, misalnya ada yang menyetujui pendidikan Barat, ada yang anti pada pendidikan Barat, ada yang mendukung pergerakan perempuan atau liberalisme perempuan, ada yang tidak setuju dengan hal itu, ataupun ada yang mengabungkan antara pendidikan Barat dan model pendidikan Timur. 7

8 budaya Barat, menerima Barat dan lokalitas, mengabungkan lokalitas dan Tionghoa, dan lain-lain (bdk. Suryadinata, 1988:39-41). Topik itu terwujud dalam masalah pendidikan, misal pertentangan antara pendidikan model Tionghoa dan Barat atau model pendidikan ciptaan dari masyarakat Tionghoa perantauan sendiri. Selain itu, pembicaraan mengenai gerakan perempuan, organisasi sosial, ideologi, politik, sumber identitas lokal, perang Cina-Jepang, dan lain-lain juga diperdebatkan. Topik itu tidak memberikan suara yang monologik, tetapi dialogis, yakni suara yang beraneka ragam mengenai berbagai persoalan yang ada. Topiktopik itu dapat dilihat sebagai wujud ekspresi yang dilandasi oleh pandangan dunia dalam masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Goldmann, 1977:18). Sementara di tahun , jumlah karya sastra peranakan Tionghoa mengalami peningkatan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sastra ini mempunyai jumlah pembaca yang banyak untuk kalangan dewasa atau pemuda yang cukup matang dalam menentukan perjalanan hidup karena isi cerita mengkisahkan kehidupan remaja hingga menjelang usia dewasa atau menceritakan kesuksesan hidup berumah tangga 12. Selain itu, perbedaannya tidak hanya pada jumlah saja, tetapi komunitas sastra yang beragam mulai hadir dalam kesastraan peranakan Tionghoa. Komunitas itu tergabung dalam jejaring majalah kesastraan 13. Selain itu, wujud fisik dari karya sastra yang digunakan juga cukup khas 14, yakni novel dengan jumlah halaman dan ukuran buku saku/kecil atau 12 Contoh teks itu diantaranya adalah Koerang Dapet Pendidikan (1929) karya Louw Seng Hoejin, Dr. Lie (1932) karya Maddona, Magdalena Chen (1933) karya Oey Kiem Soey, Swaote Kwadjiban (1930) karya Ong Pik Lok, Oeler Jang Tjantik (1929) karya Soe Lie Piet, dan lain-lain. 13 Contohnya adalah Penghidoepan, Tjertita Roman, Moestika Roman, dan lain-lain. 14 Ciri fisik tersebut adalah bahwa teks sastra peranakan Tionghoa memiliki bentuk ukuran buku yang relatif kecil, halaman yang terbatas, iklan dan gambar-gambar tertentu (ratu kecantikan 8

9 novel yang dijadikan cerita bersambung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari pada masa itu di kalangan peranakan Tionghoa. Bahasa itu memiliki kata-kata atau frase khusus yang menjadi penanda tertentu, seperti kesopanan Tionghoa dan adat Tionghoa yang beroposisi dengan frase ultra Barat, kebaratan-baratan, tidak tahu adat, kemajuan, zaman modern, dan lainlain. 15 Sementara itu, pilihan kata dan struktur kalimat tidak menunjukkan perubahan, seperti tetap munculnya kata asing (bahasa Cina, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris) 16 Kondisi tersebut berbeda dengan waktu sebelumnya, terutama tahun an. Jumlah karya tidak begitu banyak dan bentuknya bermacam-macam, bisa syair atau novel yang panjang serta tidak memiliki jejaring komunitas sastra, tetapi jejaring penerbitan yang independen atau tidak terikat pada ideologi tertentu, tetapi komersial. Bahasa yang digunakan merujuk pada tanda-tanda yang khusus, yakni frase atau kata tertentu, seperti leluhur, ajaran Kong Hucu, bangsa Tionghoa, kembali ke negeri leluhur, hormat pada leluhur, dan lainlain yang dioposisikan dengan lain bangsa dan bangsa Islam. Masyarakat pembaca era ini adalah golongan tua yang terpelajar sebab isi karya didominasi cara mendidik anak agar kembali pada ajaran leluhur, orang tua yang dituntut untuk mengajari anak agama Tionghoa (ajaran Kong Hucu) dan gerakan anti Eropa, olah raga ekstrim, teknologi pesawat terbang, dan lain-lain) di dalam teks sastra, semacam kata pengantar dari redaksi, halaman humor, dan lain-lain. 15 Pada waktoe pertama kali saja poenja masa kasi taoe, jang saja soedah dilamar oleh satoe pemoedah hartawan jang bernama Tjoa Siang Liem; saja laloe bilang padamama bahoea saja tisa bisa ambil poetoesan moefaket atawa tida, sabelobn saja kenal pada itoe pemoedah, tapi saja poenja permintaan ini jang saderhana soedah sianggep gelo dan,,gila Barat (Ong Khing Han, 1929, Perkawinan Tionghoa, hlm. 4). 16,,God, zeg.salah mengerti... (Pouw Kioe An, 1937, Oh Prempoean, hlm. 65),,,Omm...owee djadi tida bisa bergaoel lagi sama Clara,...(Pouw Kioe An, 1937, hlm. 39) 9

10 budaya Barat dengan menumbuhkan keunggulan budaya Tionghoa. Perubahan penanda kebahasaan dan jumlah terutama persebaran dapat dipandang sebagai wujud cara berekspresi terhadap nilai-nilai dan situasi sosial yang melingkupinya (bdk. Albrecht, dkk., 1970:29-33). Hal ini sesuai dengan dengan asumsi bahwa sastra adalah produk sosial dan memiliki potensi untuk menghadirkan ekspresi sosial. Berdasarkan perbedaan cara merespon situasi sosial, fakta tersebut memunculkan satu diskusi khusus seperti persoalan perbedaan topik dalam karya sastra peranakan Tionghoa. Di samping itu, ada penanda kebahasaan yang berbeda pada tiap zaman yang diasumsikan mewakili situasi dan ekspresi dalam konteks sosial ketika itu. Atau, cara berekspresi yang berbeda tersebut merupakan wujud dari cara mengungkapkan gagasan atau pandangan dunia yang sama dari suatu kelompok sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Keadaan tersebut memunculkan satu dugaan bahwa ada faktor yang menentukan cara berekspresi dalam karya sastra, seperti situasi sosial tertentu, pilihan topik atau masalah dalam karya sastra, dan usaha merespon struktur sosial dengan cara yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pemilihan motif atau topik pada karya sastra. Selain persoalan tersebut, gejala yang muncul dalam sastra peranakan Tionghoa adalah gejala membangun identitas orang peranakan Tionghoa (bdk. Bromley, 2000:3-4). Pergulatan identitas itu diasumsikan terdapat dalam keragaman topik atau masalah dalam karya sastra. Perbedaan motif atau persoalan dalam karya sastra itu diasumsikan menunjukkan perbedaan dalam cara mengeskpresikan pemikiran dan gagasan dalam mengasimilasi atau 10

11 mengakomodasi situasi sosial yang ada. Semua itu terwujud melalui tanggapan sosial. Mengetahui sebab atau alasan dari muncul perbedaan pemilihan topik dan cara mengeskpresikannya, disertasi ini mempersoalkan cara orang peranakan Tionghoa dalam menanggapi situasi sosial dan menempatkan dirinya yang direpresentasikan melalui karya-karyanya. Indikasi terhadap topik yang berbeda itu diasumsikan terdapat landasan ideologis, agama, dan politis. Namun, di satu sisi, peran dari kelompok sosial dalam memberikan topik atau pemilihan persoalan terhadap tradisi kesastraan dapat diasumsikan sebagai kekuatan dari kelompok sosial dalam memperjuangkan pemikiran, padangan dunia, dan landasan ideologi akibat situasi sosial yang tidak memenuhi keinginan dan cita-citanya. Pemikiran dan pandangan itu yang ikut memberi warna dan mengerakkan bentuk-bentuk kesastraan (misalnya, topik, motif, atau permasalahan dalam karya sastra) (Hauser, 1982:94-97). Mengetahui alasan-alasan terjadinya pemilihan topik dan motif yang beragam dari anggota kelompok sosial pengarang, hal itu akan mempermudah mengetahui wujud tanggapan dan struktur sosial yang memungkinkan atas lahirnya karya sastra tersebut sejak sekitar sebagai representasi dari respon atas dunia sosial dari masyarakat peranakan Tionghoa (bdk. Albrecht, dkk. 1970: ) Wujud tanggapan atas dunia sosial yang terwakili dalam karya sastra tersebut tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia 17 kelompok sosial yang termanifestasi dari tindakan dan pemikiran dari pengarang sebagai wakil kolektifnya (Goldmann, 1977:17). Karya sastra dipengaruhi oleh situasi sosial 17 Suatu cara pandang terhadap realitas yang menyeluruh dari berbagai gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dimiliki oleh suatu kelompok yang dapat membedakannya dengan kelompok yang lain. 11

12 sehingga terhadirkan dalam bentuk perbedaan topik-topik kesastraan. Namun, karya sastra sebagai representasi subjek kolektif bukan benda yang pasif, dia memiliki kemampuan untuk menyuarakan dan mengasimilasi atau mengakomodasi situasi sosial yang melingkupinya. Dua hal ini akhirnya menunjukkan adanya interaksi antara karya dan situasi sosial sehingga wujud dari interaksi itu adalah perkembangan tradisi kesastraan sebagai wujud ekspresi sosial, yakni kemampuan atau implikasi subjek kolektif yang diwakili karya sastra dalam menyiasati situasi sosial (bdk. Goldmann, 1977:98-99). Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa dalam periode tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial dan pandangan kelompok sosial tertentu. Ada dua pandangan yakni situasi sosial yang melingkupi karya sastra diakomodasi oleh subjek kolektif dan situasi sosial itu diasimilasikan oleh subjek kolektif. Kedua faktor itu mempengaruhi dan mengerakkan tradisi kesastraan peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan atas dunia sosial itu merupakan satu bentuk cara masyarakat peranakan Tionghoa dalam menempatkan diri dalam situasi dan era kolonial ketika itu di Indonesia (bdk. Albercht, et.al. 1970: ). Berdasarkan uraian tersebut, landasan dalam penelitian ini adalah bahwa karya sastra merupakan hasil reaksi atas situasi sosial. Karya sastra dianggap sebagai fakta sosial yang mewakili kelompok sosial tertentu yang terwujud dalam bentuk struktur mental (Goldmann, 1970:584). Sementara itu, karya sastra tersebut dapat diasumsikan mempengaruhi atau memiliki kesamaan dalam tradisi sastra sezaman sebagai bentuk ekspresi sosialnya. Karya sastra yang memiliki 12

13 ideologi yang sama akan memunculkan ekspresi yang sama. Karya sastra sebagai representasi kelompok sosial juga diasumsikan diterima, dibaca, dan direspon oleh karya yang lain sehingga terjadi dialog melalui karya yang lain dalam merespons situasi sosial yang ada. Namun, pandangan tersebut juga bisa berlainan seperti teks-teks dari karya pengarang yang seideologi dan sezaman atau dalam kelompok sosial yang sama dapat memunculkan perbedaan eskpresi sosial dalam menghadapi situasi sosial, terutama persoalan tertentu. Melalui pandangan dunia dari kelompok sosial tertentu diharapkan tereksplorasi perkembangan ekspresi sosial dari tahun dalam karya-karya yang ada. Dengan demikian, karya sastra merupakan produk tindakan sosial yang mampu berkompromi terhadap situasi sosial yang ada. Jadi, masalah dalam penelitian ini adalah bahwa sastra peranakan Tionghoa sebagai produk sastra Indonesia. Dengan demikian, isi karya sastra itu adalah tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa Indonesia yang terepresentasikan dalam karya sastra. Karya sastra yang dimaksudkan meliputi rentang waktu antara 1900-an hingga 1942-an atau paruh pertama abad ke XX. Karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun 1900-an hingga 1942 diasumsikan mewakili tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa dalam merespon situasi sosial pada zamannya. 1.2 Masalah Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Sastra ini merupakan wujud dari tanggapan terhadap dunia sosial atau struktur sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Atas dasar itu, karya sastra peranakan Tionghoa 13

14 merupakan karya yang bukan individual atau dia adalah wakil dari suatu kelompok tertentu. Karya sastra ini dianggap sebagai usaha untuk mencari harmonisasi atau keseimbangan terhadap dunia sosial ketika itu. 1.3 Rumusan Masalah Sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Karya sastra menunjukkan sebuah gagasan yang terdapat dalam struktur teksnya. Sebagai produk sastra Indonesia, karya sastra adalah produk sosial sehingga dia merupakan wujud tanggapan atas dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Wujud tanggapan itu dapat dilihat dari cara para pengarang sebagai wakil kelompoknya dalam menanggapi dunia sosial yang ada dan perbedaan topik atau persoalan yang dibahas dalam karya sastranya. 1.4 Permasalahan 1. Dari sisi kesastraannya, karya sastra ini mengemukan sebuah gagasan yang terlihat dalam struktur teks sastra peranakan Tionghoa Indonesia dan homologinya dengan dunia sosial pada paruh pertama abad XX. 2. Dari sisi sosial, relasi struktur sosial dan subjek kolektif dalam sastra peranakan peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan wujud dari dunia sosial. 3. Dari sisi etnik peranakan Tionghoa, pandangan dunia kelompok sosial peranakan Tionghoa Indonesia pada paruh pertama abad XX merupakan manifestasi dari gagasan hidup dan cara menjalani hidup masyarakat pemilik karya sastranya. 14

15 1.5 Objek Penelitian Objek Formal Objek formal dalam penelitian ini adalah tanggapan atas dunia sosial dalam masyarakat peranakan Tionghoa yang merupakan ekspresi sosial dalam kesastraan. Tanggapan tersebut merupakan wujud dari kelompok sosial dalam mencapai keharmonisan atau keseimbangan dengan dunia sosial atau struktur sosial yang ada Objek Material Populasi Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni sumber primer dan sekunder (Azwar, 2009:91). Sumber primer dalam penelitian ini terdiri atas karya-karya sastra peranakan Tionghoa antara Sumber sekunder adalah semua pustaka yang mendukung dan memiliki relevansi dengan tema penelitian, misal penelitian sebelumnya, dan artikel ilmiah. Data dan objek kajian material yang diambil dari karya sastra memiliki populasi atau jumlah yang banyak. Berdasarkan catatan sementara dari Claudine Salmon (1981) jumlah karya sastra peranakan Tionghoa Indonesia dari tahun 1880-an hingga 1960-an berjumlah 3005 yang terdiri dari 2757 karya yang memiliki identitas pengarang dan 248 karya anonim. Dari 3005 karya itu, karya sastra itu terdiri dari 73 drama, 183 syair, 233 terjemahan karya Barat, 759 terjemahan karya sastra Tionghoa, dan 1398 karya novel dan cerita pendek. Setelah dilakukan pelacakan, dari 1398 karya novel dan cerita pendek tersebut, karya-karya keagamaan, biografi, nasihat atau pendidikan, buku agama, dan 15

16 tulisan politik dimasukan dalam jenis ini. Secara tidak langsung, karya yang berupa terjemahan, biografi, nasihat, buku pelajaran agama, buku kitab suci, tulisan politik, dan sejenisnya tidak dimasukkan dalam data utama Sampel Pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal. Pertama, sampel dipilih dengan mempertimbangkan masalah atau topik yang dibahas dalam penelitian. Kedua, sampel dipilih dengan mempertimbangkan aspek pencipta yang dipandang dominan perannya dalam dunia sastra peranakan Tionghoa pada periodenya. Hal ini bertujuan untuk memberikan jalan bagi perolehan data dengan mendasarkan pada anggapan bahwa karya sastra dipandang mewakili ekspresi zamannya. Selanjutnya, kriteria yang penting lainnya adalah karya sastra yang dipilih tersebut harus memiliki persyaratan yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann sebagai karya yang besar. Karya yang besar itu dicirikan 18 oleh Goldmann (1970:597) adalah karya yang berbicara tentang alam semesta, hukum-hukum atau aturan-aturan dalam alam semesta tersebut, dan bebagai masalah atau persoalan yang berkembang atau tumbuh dari keadaan tersebut. Karya yang besar juga dihasilkan oleh subjek trans-individual, subjek yang mengalami pertentangan, yang merupakan satu wakil dari kolektivitas. Dia mampu menghadirkan pandangan dunia yang lengkap, menyeluruh tentang kehidupan dan mempengaruhi umat manusia. Karya tersebut dapat berbicara mengenai persoalan 18 Realitas dalam sastra Indonesia tidak ada daftar karya besar atau agung ynag dikeluarkan oleh suatu lembaga atau institusi tertentu. Kriteria dan lembaga yang menentukan karya besar belum tentu dapat diterima sebab bisa bersifat politis, ekonomis, atau ideologis. Satu karya dianggap besar bila memenuhi kreteria yang diberikan oleh Lucien Goldmann. 16

17 seperti kebaikan melawan kejahatan, percintaan dan kebencian, kehidupan manusia beserta masalahnya, dan lain-lain. Berdasarkan kriteria tersebut, karya sastra yang dipilih sebagai sampel untuk diteliti adalah Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa daei halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) (1903) karya Gouw Peng Liang (selanjutnya disebut Lo Fen Koei), Nona Tjoe Joe Pertintaan jang membawa tjilaka, ditoelis menoeroet tjeritanja Nona Tjoe Yoe sendiri (1922) karya Tio Ie Soei, (selanjutnya disebut Nona Tjoe Joe), Drama di Boven Digoel (1932) karya Kwee Tek Hoay, Berdjoeang (1934) karya Liem Khing Hoo, dan Raden Adjeng Moerhia (1934) karya Njoo Cheong Seng. Sampel tersebut dijadikan sebagai sumber data yang utama atau primer disamping sumber data yang lain, seperti artikel atau tulisan, biografi pengarang, keadaan zaman dari para peneliti yang lain, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dipilih karena beberapa alasan. Pertama, posisi para pengarang yang cukup dominan dalam dunia sosial, politik, agama, dan literasi sangat menonjol. Kedua, karya tersebut diasumsikan mengambarakan kehidupan sosial pada zamannya. Ketiga, karya-karya tersebut menghadirkan topik yang serupa pada zamannya, tetapi memiliki kelebihan tersendiri karena ditulis oleh pengarang yang memiliki posisi cukup dominan dalam masanya. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas dan pengaruh pemikiran mereka terhadap para pengarang yang lain. Keempat, karya tersebut memenuhi syarat seperti yang dikemukan oleh Lucien Goldmann. 17

18 1.6 Tujuan Penelitian Tujuan Teoretis 1. Sastra peranakan Tionghoa jarang sekali dijadikan sebagai objek penelitian oleh sarjana sastra Indonesia karena masih ada sebagian anggapan bahwa sastra ini bukan bagian dari sejarah sastra Indonesia. Penelitian merupakan salah satu upaya untuk mengakui keberadaan sastra peranakan Tionghoa sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia. 2. Penelitian memunculkan gagasan baru dalam melihat masyarakat peranakan Tionghoa dari sisi sosiologis dan historis melalui karya sastranya atau karya sastra dapat memperlihatkan keadaan tersebut. 3. Penelitian ini berupaya untuk melihat karya sastra sebagai salah satu upaya dalam memperlihatkan sejarah sosial suatu masyarakat Tujuan Praktis 1. Karya sastra peranakan Tionghoa adalah produk sastra Indonesia. Jadi, produk budaya masyarakat peranakan Tionghoa adalah produk masyarakat Indonesia. 2. Melalui pemahaman tentang topik atau isu dalam karya sastra peranakan Tionghoa, masyarakat memperoleh satu pelajaran dan pemahaman budaya peranakan Tionghoa sehingga mampu memaknai ulang hubungan etnisitas antara etnik peranakan Tionghoa dengan etnik yang lain. 3. Melalui pemahaman terhadap dunia sosial dan budaya orang peranakan Tionghoa, pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan kajian ini sebagai pembanding atau data untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan pembangunan hubungan etnik dan masalah etnisitas dalam konteks kebangsaan. 18

19 1.7 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap sastra peranakan Tionghoa. Topik pertama adalah penelitan atau tulisan yang membahas masalah ruang lingkup sastra peranakan Tionghoa, topik atau tema karya sastra peranakan Tionghoa. Penelitian ini dapat dilihat dari beberapa tulisan seperti Sastra- Indonesia Tionghoa (1950) oleh Nio Joe Lan (1958), Chinese Malay Literature of Peranakan Chinsese In Indonesia (1977) oleh John B. Kwee (1977), Literature In Malay By The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotates Bibliography (1981) oleh Claudine Salmon, Siti Faizah Sunoto (1994) Seri Roman Melayu Cina, tulisan dari Leo Suryadinata (1993) From Peranakan Chinese Literature to Indonesia Literature: a Prilimary Study yang memberikan definisi sastra peranakan Tionghoa, perkembangannya hingga sebelum perang, dan topik atau temanya. Tulisan dari Leo Suryadinata itu memiliki kesamaan dengan tulisan Leo Suryadinata sendiri dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988), terutama bagian Sastra Peranakan di Indonesia: Sebuah Catatan Singkat dan artikel yang terbit dengan judul The Study of Peranakan Chinese Literature: a Prilimary Survey (1994). Topik yang kedua adalah mengenai pemikiran dan aktivitas pengarang dalam dunia sosialnya juga ditemukan dengan perspektif psikologis. Topik tersebut setidak-tidaknya dapat ditemukan dalam beberapa pengarang yakni Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, dan Khoo Ping Hoo. Yang pertama adalah Kwee Tek Hoay yang dibahas dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil Sampai Ke Pendekar Pena (1989). Kedua adalah Khoo Ping Hoo yang termuat 19

20 dalam penelitian yang berjudul Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo: Writer of Cloak-and Dagger Stories in Indonesia ( ) (1993) oleh Myra Sidharta. Ketiga adalah Njoo Cheong Seng: A Peranakan Novelist, Playwright, Director, Poet, Editor oleh Myra Sidarta (1995). Ketiga judul itu memberikan uraian biografi, aktivitas sosial, topik-topik dalam karyanya yang dihubungkan dengan situasi sosial yang ada, dan peran mereka dalam dunia sastra atau kehidupan sosial. Topik tersebut juga diulang lagi oleh Myra Sidharta (2004) dalam buku Biografi Delapan Penulis Peranakan:Dari Penjaja Tekstil Sampai Superwoman yang memuat pengarang seperti Kwee Tek Hoay ( ), Njoo Cheong Seng ( ), Nio Joe Lan ( ), Tan Han Boen ( ), Ang Ban Tjiong ( ), Hoo Eng Djie ( ), Ong Pik Hwa ( ), dan Khoo Ping Hoo ( ) 19. Topik yang ketiga adalah hubungan teks karya sastra peranakan Tionghoa dengan teks sastra Melayu melalui perspektif intertekstual. Hubungan intertekstualitas menjadi fokus kajiannya. Hal ini dapat dilihat dari tulisan yang berjudul Making it New in 1884 Lie Kim Hok s Syair Siti Akbari (1998) oleh Kolster. Tulisan ini menguraikan proses penciptaan Syair Siti Akbari oleh Lie Kim Hok. Walaupun Lie Kim Hok mengadaptasi dari cerita-cerita lisan dan cerita rakyat seperti panji, Lie Kim Hok telah mengarahkan syair ini ke arah realisme idealis. Hal ini dibuktikan dengan struktur naratif, terutama modifikasi pada tokoh dan alur atau pola ceritanya yang terpengaruh oleh realisme idealis dari sastra Barat. Selain itu, penelitian yang berjudul Aux origines du Roman Malais 19 Dua artikel dari Myra Sidharta tersebut diterbitkan ulang dalam buku tersebut dengan pengubahan redaksi bahasa seperlunya. 20

21 Moderne: Tjhit Liap Seng on Les Pleides de Lie Kim Hok ( ) oleh Claudine Salmon (1993) juga memiliki topik yang sama dengan tulisan Koster. Salmon (1993) menuliskan tentang pendirian percetakaan Tionghoa, riwayat singkat dari tokoh Lie Kim Hok, dan poses kreatif dari Lie Kim Hok yang memiliki hubungan dengan teks-teks sosial yang menjadi bahan ceritanya. Tulisan Monique Zaini-Lajoubert dalam Le Syair Cerita Siti Akbari de Lie Kim Hok (1889): Un avatar du Syair Abdul Muluk (1864) adalah contoh nyata dari hubungan intertekstual antara Lim Kim Hok dan Siti Akbari. Menurutnya, Liem Kim Hok mengadaptasi cerita Abdul Muluk dengan modifikasi pada struktur cerita yang meliputi tokoh, penceritaan, dan gaya yang berbeda. Sudut pandang tulisan Monique Zaini-Lajoubert ini memiliki kesamaan dengan penelitian Kolster (1998). Topik yang keempat adalah proses kreatif pengarang dalam menghasilkan karya sastra. Topik ini muncul dalam tulisan Au Carrfour de la litteratue et de l historie: vent de folie de Njoo Cheong Seng (1950) oleh Denys Lombrad (1998). Tulisan ini membahas kisah perjalanan pengarang Njoo Cheong Seng yang menulis cerita Taufan Gila yang diterbitkan di Tjilik Romans. Tulisan ini menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan dalam cerita itu adalah bahasa Makasar dan Melayu dalam bentuk puisi yang bercerita tentang Bung Daeng seorang pahlawan yang malang. Tulisan ini memberikan informasi bahwa Taufan Gila itu adalah cerita biografi yang terinspirasi oleh kejadian Madiun 1948, ditulis dalam bentuk plot yang populer, bercerita tentang pembuangan tahanan ke Boven 21

22 Digoel, dan usaha mencari kebenaran dalam dunia mistis. Penulisan teks ini dipandang sebagai bentuk proses kreativitas dari Njoo Cheong Seng. Topik kelima adalah karya sastra sebagai cermin sosial atau refleksi atas kenyataan mendominasi topik penelitian terhadap sastra peranakan Tionghoa. Topik ini menggunakan sudut pandang sosiologi sastra. Hal ini setidak-tidaknya dapat dicontohkan oleh beberapa penelitian. Pertama, Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and The Emergence of Chinese- Malay Literature in The Indies oleh Maier (1994) adalah penelitian yang menguraikan bahasa yang digunakan oleh orang peranakan Tionghoa dalam menulis cerita, novel, dan lain-lain. Dengan mengambil contoh Tjerita Njai Soemirah Jilid I dan II, Maier (1994) menyimpulkan bahwa cerita tersebut mengingatkan para pembaca tentang kemungkinan bahwa ras dan etnisitas didefinisikan oleh bahasa yang digunakan. Bahasa sastra dapat dipandang sebagai cermin atau refleksi terhadap dunia sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity: Literary Representations of Indies Society oleh Hellwig (2002) dipandang sebagai refleksi terhadap realitas sosial yang menempatkan perempuan Indo Belanda dalam posisi terjajah secara ras dan ideologi seperti dalam perbandingan antara Warm Bloed dengan Tjerita Nona Diana. Contoh lain sastra sebagai refleksi realitas sosial dapat ditemukan dalam penelitian seperti Gouw Peng Liang s Novella, Lo Fen Koei: Patron and Women, An Account of the Peranakan Chinese Community of Java in the Late 19 th Century oleh Peter Worseley (2004), The Han Family from the Residency of Besuki (East Java) as Reflected in a Novella by Tjoa Boe Sing (1910) oleh 22

23 Claudine Salmon (2004), The Batavian Eastern Railway Co. and the Making of a New Daerah as Reflected in a Commemoarative Syair Written by Tan Teng Kie (1890) (1987) oleh Claudine Salmon, A Critical View of the Opium Farmers as Reflected in a Syair by Boen sing Hoo (Semarang, 1889) (1991) oleh Claudine Salmon, dan Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang: Motif Kejahatan dan Kebaikan dalam Masyarakat Tionghoa oleh Dwi Susanto (2008) dan Indo- European and European Images in Peranakan Chinese Literature oleh Dwi Susanto (2010). Selain topik tersebut, topik yang menggunakan sudut pandang sosiologi sastra juga dengan itu dilakukan oleh Elizabeth Candra dalam National Fictions: Chinese-Malay Literature and the Politics of Forgetting (2006), yang memfokuskan pada persoalan karya sastra sebagai wujud dari praktik kebudayaan yang bersifat politis. Chandra (2006) memfokuskan pada karya sastra peranakan Tionghoa dari tahun Karya sastra peranakan Tionghoa dipandang sebagai wujud memori kolektif yang dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Keadaan itu terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Tulisan itu juga mengungkapkan bahwa para pengarang menuliskan topik karya sastranya yang berbeda atau menentang topik yang diungkapkan oleh sastra tradisi Balai Pustaka (pemerintah kolonial) dalam proyek modernisasi. Perbedaan atau penentangan itu merupakan satu strategi dan ideologi karya para pengarang peranakan Tionghoa. Serupa dengan topik yang menggunakan perspektif sosiologi sastra, tulisan dari Wuryandari (1999), Nilai-Nilai Budaya Timur dan Barat dalam Kasopanan Timoer dan Doerinja Pernikahan Karya Dahlia (Tan Lam Nio) mengunakan 23

24 perspektif sosiologis dengan bantuan semiotik. Hasil yang diperoleh adalah bahwa masyarakat peranakan Tionghoa masih berupaya mengali nilai-nilai budaya Timur untuk kehidupan mereka. Nilai budaya Timur diwujudkan dalam sopan santun, prinsip patrilineal, tata cara perkawinan, dan menolak persatuan perkawinan Barat dengan Timur. Sementara itu, nilai budaya Barat diwujudkan dalam beberapa bentuk yakni pendidikan, teknologi, rumah tinggal, dan pakaian. Menurutnya, kedua teks ini dengan bantuan teks yang lain merefleksikan nilai budaya yang ada dalam masyarakat peranakan pada masa abad ke-20. Topik yang keenam adalah resepsi pembaca terhadap sastra peranakan Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa artikel yang termuat di dalam buku Literary Migrations: Tradisional Chinese Fiction In Asia th Centuries (1987), yakni artikel yang berjudul Postwar Kungfu Novels in Indonesia: A Preliminary Survey (Leo Suryadinata) dan Sam Pek-Eng Tay: A Chinese Loves Story In Madurese (Dede Oetomo). Artikel yang pertama tersebut senada dengan tulisan dari Leo Suryadinata yang berjudul Cerita Silat Sesudah Perang di Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal yang dimuat dalam buku Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (1988). Tulisan dari Liang Liji (1988) yang berjudul Sastra peranakan Tionghoa dan kehadirannya dalam Sastra Sunda juga masuk kelompok ini. Liang Liji memberikan uraian mengenai pengaruh timbal balik antara sastra Sunda dan sastra peranakan Tionghoa di dalam interaksi kultural masyarakat Sunda. Menurutnya, struktur narasi penceritaan dan tematema yang sama muncul dalam kedua jenis sastra tersebut. Selanjutnya, artikel Leo Suryadinata (2009) yang berjudul Kesusastraan Tionghoa dalam Terjemahan 24

25 Melayu/Indonesia, Dahulu dan Sekarang memberikan uraian mengenai terjemahan dan transformasi sastra klasik dan modern Tionghoa di Indonesia. Topik serupa juga ditulis oleh Claudine Salmon (1974) Aux origines de la littérature sino-malaise: un sjair publicitaire de yang melacak gerakan kesastraan peranakan Tionghoa masa awal melalui publikasi di tahun Selain itu, tulisan yang lain adalah mengenai cerita klasik tentang pelayaran Zheng He di Nusantara dan San guo zhi yanyi dalam dunia Melayu. Dua tulisan tentang hal itu menceritakan mengenai kepopuleran cerita Zheng He dan juga sambutan terhadap cerita Kisah Tiga Negara di kalangan kaum peranakan Tionghoa. Tulisan tersebut adalah Sanbao taijian en Indonésie et les traductions malaises du Xiyang ji (2005) dan Les traductions du romans chinois en malais ( ) 21. Kedua artikel itu hakikatnya satu topik, yakni mengenai persebaran cerita klasik Tionghoa dalam dunia Melayu atau Nusantara. Sebagai contohnya adalah munculnya berbagai terjemahan atau cerita mengenai tokoh Zheng He dan berbagai terbitan mengenai Kisah Tiga Negara. Topik ketujuh adalah karya sastra sebagai representasi identitas juga telah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari tulisan From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia s Peranakan Chinese Literature oleh Thomas Riger (1994). Penelitian ini meneliti identitas peranakan Tionghoa dengan mengabaikan aspek pluralitas, heterogenitas, ruang, dan hibriditas masyarakat Tionghoa Indonesia. Penelitian serupa dilakukan oleh Elizabeth 20 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa. Jakarta: Gramedia 21 Artikel ini telah diterjemahkan dalam buku Claudine Salmon (2010). Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tiongho. Jakarta: Gramedia 25

26 Chandra (2011) dalam Fantasizing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng and the Gagaklodra Series yang mengemukan mengenai peran dan konstruksi pahlawan hibrid masyarakat peranakan Tionghoa dalam melawan kuasa penjajah. Topik yang lain atau topik yang kedelapan, seperti posisi perempuan dalam konteks sosial politik dari sudut pandang feminisme juga telah diteliti oleh beberapa ahli. Sebagai contohnya adalah tulisan yang berjudul Nyai Dasima, a Fictional Women oleh Hellwig (1992) ini mendiskusikan tentang posisi perempuan dan relasi-relasi diantara para tokoh dalam cerita Nyai Dasima yang menampilkan sudut pandang pengarang peranakan Tionghoa yakni O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok. Hal serupa diungkapkan oleh tesis yang berjudul The Nyai in Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Nyai Alimah: A Reflection of Indonesian Women s Lives As Concubines of European in Indonesian s Colonial Period oleh Ibnu Wahyudi (1995) yang menguraikan genre cerita pernyaian dalam sastra Melayu Rendah sebagai bagian dari fiksi populer, terutama oleh pengarang peranakan Tionghoa, seperti Tio Ie Soei dengan karya Tjerita Sie Po Giok (1911) dan Gouw Peng Liang dengan novel Lo Fen Koei. Bukti yang lain dari topik ini dapat ditemukan dalam tulisan Maimunah dengan judul Tema Perlawanan Terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian Dalam Tiga Cerita Tempo Doeloe oleh Maimunah (2005), yang memandang bahwa teks Pieter Elberverld (1924) dari Tio Ie Soei ini berpihak pada Belanda atau kolonialisme. Topik kesembilan adalah pengaruh aliran estetika dalam sastra peranakan Tionghoa menjadi topik tersendiri karena penelitian terhadap hal itu jarang dilakukan. Satu-satunya penelitian terhadap aliran estetika itu ditemukan dalam 26

27 judul Romantisme dalam Sastra Melayu-Tionghoa: Pengalamannya Satu Bunga Anyelir oleh Jakob Sumardjo (2005). Tulisan ini membahas mengenai mahzab sastra romantisime dalam sastra peranakan Tionghoa. Penulis menguraikan bahwa secara umum sastra peranakan Tionghoa menggunakan aliran realisme. Ada beberapa karya yang beraliran romantik yang salah satunya adalah Pengalamannya Satu Bunga Anyelir karya Kwee Tek Hoay. Tulisan itu menguraikan aspek-aspek romantisme dari salah satu karya Kwee Tek Hoay tersebut. Selain itu, Jakob Soemardjo juga memberikan uraian bahwa salah satu ciri utama dari karya peranakan Tionghoa itu adalah sifat diktaktik, cenderung realis, dan naturalis. Topik yang kesepuluh adalah perspektif pascakolonial, yakni mengedepankan isu terjajah versus penjajah muncul sebagai topik yang banyak ditulis oleh para peneliti sastra ini. Topik itu antara lain adalah Berjuang (Liem Khing Hoo) dan Bergerak (Tan Boen Soan): Strategi Esensialisme dalam Mempertahankan Idenitas Kulural oleh Dwi Susanto (2007). Menurutnya, kedua teks tersebut menghadirkan kembali peran identitas diri yang esensialis dalam bertahan di tanah perantauan. Melalui dua motif yang berbeda, konsep-konsep yang melampau zamannya diutarakan seperti gagasan transnasional dan transkultural. Tulisan Pengalaman Diaspora (Peranakan) Cina di Indonesia: Satu Kajian Terhadap Berjuang dan Masjarakat Karya Liem Khing Hoo oleh Dwi Susanto (2007) juga mengungkapkan hal yang serupa, yakni pemahaman kembali terhadap makna diaspora dan usaha yang utopis terhadap cara bertahan hidup melalui diversifikasi budaya, identitas yang baru, dan hibrid dalam teks ini yang 27

28 dimanfaatkan sebagai strategi untuk menjadi huayi dan usaha kongsi perdagangan. Contoh yang lain tentang isu identitas tersebut dieksplorasi dalam Representasi Pribumi dan Cina dalam Peniti Dasi Barlian Karya Tan King Tjian oleh Dwi Susanto (2008) dan juga Indonesia Pre-War Chinese Peranakan Writings as Indonesian Post-colonial Literary Texts oleh Sim Chee Cheang (2008). Tulisan Sim Chee Cheang membicarakan persoalan mimikri dan hibrid dalam beberapa karya peranakan Tionghoa Indonesia. Penelitian yang lain dengan topik serupa adalah Representasi dalam Cerita Pieter Elberverld Karya Tio Ie Soei: Suatu Kajian Pascakolonial oleh Dwi Susanto (2008:11-23) dan Tusheng Huaren Wenxue sebagai Sastra Diaspora dan Cerita Silat Sebagai Obat Kerinduan oleh Dwi Susanto (2008:1-7). Topik yang kesebelas adalah bentuk-bentuk kritik sastra peranakan Tionghoa. Kritik sastra dipandang sebagai cara menilai dan menginterpretasikan fenomena kesastraan. Topik ini diwakili oleh penelitian yang berjudul Perlawanan Diskriminasi Rasial Etnik Cina:Konteks Sosio-Ideologis Kritik Sastra Tionghoa Peranakan oleh Faruk, Bakdi Soemanto, dan Bambang Purwanto (2000). Dalam buku ini, persoalan terhadap kritik sastra Tionghoa Indonesia hanya didasarkan pada beberapa kritik sastra atau hasil penelitian, yakni buku dari Nio Joe Lan, John B Kwee, dan Claudine Salmon. Beberapa penelitian atau tulisan dari berbagai jurnal ilmiah tidak dibahas meskipun tulisan-tulisan itu memiliki berbagai perspektif yang berbeda-beda. Berdasarkan penelusuran tersebut, masalah dalam penelitian ini belum dibahas atau diteliti. Ada beberapa penelitian yang menggunakan sudut pandang 28

29 sosiologis yang serupa dengan penelitian ini, tetapi berbeda persoalannya. Namun, hadirnya penelitian-penelitian tersebut amat penting dan bermanfaat bagi penelitian ini sebagai pembanding atau pendukung dari berbagai data yang disajikan. Selain itu, perspektif sosiologis dari penelitian yang telah ada masih terbatas pada sudut pandang sastra sebagai refleksi sosial tanpa melibatkan pengarang sebagai wakil masyarakatnya. Meskipun demikian, ada beberapa penelitian yang melihat dari sudut pandang sastra sebagai cermin situasi sosial pada zamannya, seperti yang dilakukan oleh Claudine Salmon (1987 dan 1991). Namun, penelitian tersebut hanya memfokuskan pada seorang pengarang tanpa menjelaskan latar sosiologis terutama konteks struktur sosial, latar historis, dan pengarang sebagai wakil dari kelompok sosialnya. Perbedaan masalah dalam penelitian ini terletak dalam beberapa hal. Pertama, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap tanggapan sosial masyarakat peranakan Tionghoa melalui hasil kesastraan dengan mempertimbangkan kelompok sosial masyarakat peranakan Tionghoa. Kedua, meskipun penelitian ini adalah penelitian sosiologi sastra, penelitian dengan objek kajian sastra peranakan Tionghoa ini mempertimbangkan aspek historis yang terlihat dari penjelasan mengenai wujud tanggapan sosial dalam suatu waktu. Ketiga, penelitian ini tidak hanya mempertimbangkan kelompok sosial yang diwakili oleh subjek kolektif dalam kesastraan peranakan Tionghoa, tetapi juga menghadirkan teks dan korpus pengarang dalam pandangan atau gagasan mereka terhadap lingkungan atau realitas (pandangan dunia) sebagai jalan pemetaan untuk memberikan data dan membantu penjelasan atas tanggapan sosial. 29

BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari

BAB V KESIMPULAN. Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari BAB V KESIMPULAN Sastra peranakan Tionghoa adalah produk budaya dan sosial dari masyarakat Inonesia. Struktur teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan berbagai oposisi yang dapat dirangkum sebagai berikut;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kaya di Asia Tenggara. Hal ini begitu tampak dari pakaian, makanan, dan

BAB I PENDAHULUAN. kaya di Asia Tenggara. Hal ini begitu tampak dari pakaian, makanan, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kebudayaan peranakan Tionghoa merupakan kebudayaan yang paling kaya di Asia Tenggara. Hal ini begitu tampak dari pakaian, makanan, dan bahasanya yang merupakan sintesa

Lebih terperinci

, 2015 NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA ETNIS TIONGHOA DALAM ANTOLOGI CERPEN SULAIMAN PERGI KE TANJUNG CINA KARYA HANNA FRANSISCA

, 2015 NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA ETNIS TIONGHOA DALAM ANTOLOGI CERPEN SULAIMAN PERGI KE TANJUNG CINA KARYA HANNA FRANSISCA 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemunculan sastra Indonesia-Tionghoa tiba pada suatu batas ikatan yang agak erat dengan penerjemahan hasil karya sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. XVIII dan XIX. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu benda budaya yang dapat ditinjau dan ditelaah dari berbagai sudut. Teks-teks sastra bersifat multitafsir atau multiinterpretasi. Isi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah perkembangan sastra di Indonesia diawali dari era sastra Melayu Rendah atau Sastra Melayu Pasar yang dimulai pada tahun 1870 hingga 1942. Kemudian berlanjut

Lebih terperinci

oleh Halimah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

oleh Halimah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia oleh Halimah FPBS Universitas Pendidikan Indonesia SEJARAH SINGKAT NOVEL INDONESIA A. Masa Awal Novel Indonesia (1870-1900) Masa ini didorong oleh kebutuhan menyediakan bahan bacaan bagi pribumi, Indo-Belanda,

Lebih terperinci

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom

RAGAM TULISAN KREATIF. Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom RAGAM TULISAN KREATIF C Muhamad Husni Mubarok, S.Pd., M.IKom HAKIKAT MENULIS Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra Melayu Tionghoa merupakan karya penulis peranakan Tionghoa yang berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Menurut Claudine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dihadapkan pada berbagai persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya terbatas pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai preposisipreposisi penelitian, maka harus memiliki konsep-konsep yang jelas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi sosial memainkan peran dalam masyarakat individu atau kelompok. Interaksi diperlukan untuk berkomunikasi satu sama lain. Selain itu, masyarakat membutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa

89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa 89. Mata Pelajaran Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Program Bahasa A. Latar Belakang Mata pelajaran Sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran sastra

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan kritik sastra berhubungan erat dengan sejarah sastra dan juga perkembangan teori sastra. Perkembangan kritik sastra akan menjadi catatan sejarah

Lebih terperinci

Ajaran Khong Hu Cu : Agama atau Pendidikan Moral?

Ajaran Khong Hu Cu : Agama atau Pendidikan Moral? Ajaran Khong Hu Cu : Agama atau Pendidikan Moral? Ringkasan buku dengan judul KEBUDAYAAN MINORITAS TIONGHOA DI INDONESIA Penulis : Leo Suryadinata Diterjemahkan oleh : Dede Oetomo Penerbit P T Gramedia

Lebih terperinci

MASYARAKAT PERANAKAN TIONGHOA DALAM KARYA-KARYA TAN BOEN KIM

MASYARAKAT PERANAKAN TIONGHOA DALAM KARYA-KARYA TAN BOEN KIM MASYARAKAT PERANAKAN TIONGHOA DALAM KARYA-KARYA TAN BOEN KIM Dwi Susanto Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Abstrak Karya sastra dari Tan Boen Kim, Tjerita Nona Gan Jan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: simpulan, implikasi, dan saran A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud atau hasil dari daya imajinasi seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan pengalaman pribadi atau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan medium bahasa. Sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. moral dan juga nasionalisme. Hal tersebut melatarbelakangi pendirian Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. moral dan juga nasionalisme. Hal tersebut melatarbelakangi pendirian Sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan salah satu faktor pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan memberikan ilmu pengetahuan serta menanamkan ajaran moral dan juga nasionalisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra

BAB I PENDAHULUAN. materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra, yaitu puisi, prosa (cerpen dan novel), dan drama adalah materi yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan melalui kata-kata yang indah sehingga. berbentuk tulisan dan karya sastra berbentuk lisan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang estetik. Sebuah karya sastra menjadi cermin kehidupan yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN

MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN LITERASI Menyuarakan Kaum yang Terabaikan Volume 1 No. 1, Juni 2011 Halaman 135-140 MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN Fakultas Sastra Universitas Jember Pos-el: heruespe@gmail.com Judul buku Penulis Penerbit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Hari-hari di Rainnesthood..., Adhe Mila Herdiyanti, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah bentuk tiruan kehidupan yang menggambarkan dan membahas kehidupan dan segala macam pikiran manusia. Lingkup sastra adalah masalah manusia, kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif peran sastrawan dan faktor-faktor yang melingkupi seorang sastrawan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah karya kreatif dan imajinatif dengan fenomena hidup dan kehidupan manusia sebagai bahan bakunya. Sebagai karya yang kreatif dan imajinatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah karya sastra itu diciptakan pengarang untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Dalam memaknai karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai monolog Marsinah Menggugat sudah dilakukan sebelumnya oleh peneliti terdahulu. Penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusiawi dan tidak adil di negerinya sendiri. Gesekan-gesekan sosial akibat

BAB I PENDAHULUAN. manusiawi dan tidak adil di negerinya sendiri. Gesekan-gesekan sosial akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga ratus lima puluh tahun, Indonesia dijajah oleh Belanda. Selama itu pula masyarakat Indonesia mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak

Lebih terperinci

PERSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI KOTA YOGYAKARTA TERHADAP KESUSASTERAAN INDONESIA MODERN

PERSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI KOTA YOGYAKARTA TERHADAP KESUSASTERAAN INDONESIA MODERN PERSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DI KOTA YOGYAKARTA TERHADAP KESUSASTERAAN INDONESIA MODERN Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan yosi.wulandari@pbsi.uad.ac.id, titiek.suyatmi@pbsi.uad.ac.id,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai karya sastra, novel muncul sebagai sebuah representasi atau pandangan pengarang terhadap fakta-fakta atau realitas yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Hal ini disebabkan masing-masing pengarang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

KARYA SASTRA NJOO CHEONG SENG Tri Yanuar Imanti Jurusan Pendidikan Sejarah FIS-Universitas Negeri Surabaya

KARYA SASTRA NJOO CHEONG SENG Tri Yanuar Imanti Jurusan Pendidikan Sejarah FIS-Universitas Negeri Surabaya KARYA SASTRA NJOO CHEONG SENG 1920-1960 Tri Yanuar Imanti 084284217 Jurusan Pendidikan Sejarah FIS-Universitas Negeri Surabaya Abstract: Peranakan Chinese in Indonesia is a generation of Chinese who have

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan sebuah ungkapan atau pikiran seseorang yang dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan sebuah ungkapan atau pikiran seseorang yang dituangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan sebuah ungkapan atau pikiran seseorang yang dituangkan menggunakan bahasa yang indah sebagai sarana pengucapannya dan dapat berguna bagi manusia, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya.

BAB I PENDAHULUAN. khusus, karena terjadinya hubungan erat di antara keduanya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni yang sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Sebagai salah satu hasil kesenian, karya sastra mengandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab 1, peneliti akan memaparkan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan definisi operasional. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, yang berkaitan dengan memperjuangkan kepentingan hidup manusia. Sastra merupakan media bagi manusia untuk berkekspresi

Lebih terperinci

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

INTISARI BAB I PENDAHULUAN INTISARI Novel teenlit menjadi fenomena menarik dalam perkembangan dunia fiksi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan semakin bertambahnya novel-novel teenlit yang beredar di pasaran. Tidak sedikit pula

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun-tahun akhir abad ke-19 ditandai dengan semakin kerasnya politik pemerintah Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Tahun-tahun akhir abad ke-19 ditandai dengan semakin kerasnya politik pemerintah Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun-tahun akhir abad ke-19 ditandai dengan semakin kerasnya politik pemerintah Belanda terhadap Warga Asing Timur dan terutama para warga Tionghoa (Armand, 1900:67).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra yang banyak diterbitkan merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk seni, tetapi sastra juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1).

BAB I PENDAHULUAN. ataupun kitab-kitab pengajaran, Teeuw dalam Susanto (2012 : 1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari akar kata Cas atau sas dan tra. Cas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 2002: 1). Selain dimanfaatkan sebagai media hiburan,

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang selain dikenal sebagai negara maju dalam bidang industri di Asia, Jepang juga dikenal sebagai negara penghasil karya sastra, baik itu karya sastra prosa,

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi

BAB I Pendahuluan. 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi 1 BAB I Pendahuluan 1.1 Multimedia Interaktif Flash Flip Book Pakaian Adat Betawi Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair.

ABSTRAK. Kata Kunci: kritik sosial, bentuk, masalah, syair. ABSTRAK Lucyana. 2018. Kritik Sosial dalam Syair Nasib Melayu Karya Tenas Effendy. Skripsi, Program Studi Sastra Indonesia, FIB Universitas Jambi, Pembimbing: (I) Dr. Drs. Maizar Karim, M.Hum (II) Dwi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan. Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa. Dari zaman ke zaman sudah banyak orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya sebuah karya sastra tentu tidak akan terlepas dari kehidupan pengarang baik karya sastra yang berbentuk novel, cerpen, drama, maupun puisi. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993:

BAB I PENDAHULUAN. sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu karya sastra prosa yang menggambarkan tentang permasalahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat adalah novel. Menurut Esten (1993: 12), novel merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil dari kebudayaan. Kelahiran sebuah karya sastra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil dari kebudayaan. Kelahiran sebuah karya sastra BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil dari kebudayaan. Kelahiran sebuah karya sastra didasari oleh pemikiran pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat budaya. Maka, kepribadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang didasarkan oleh realitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang didasarkan oleh realitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil imajinasi pengarang yang didasarkan oleh realitas sosial. Dalam pengertian ini, keterlibatan pengarang dalam menciptakan karya sastra

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan karya sastra dari zaman dahulu hingga sekarang tentunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan karya sastra dari zaman dahulu hingga sekarang tentunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra dari zaman dahulu hingga sekarang tentunya mengalami perubahan baik dari segi isi maupun bahasanya. Salah satu perubahan di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beranekaragam Agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya seni yang disampaikan oleh seorang sastrawan melalui media bahasa. Keindahan dalam suatu karya sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan pada umumnya selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian halnya dengan kesusastraan Indonesia. Perkembangan kesusastraan Indonesia sejalan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan

Lebih terperinci

d. bersifat otonom e. luapan emosi yang bersifat tidak spontan

d. bersifat otonom e. luapan emosi yang bersifat tidak spontan 1. Beberapa pengertian sastra menurut Wellek dan Austin Warren dapat dilihat pada pernyataan di bawah ini, kecuali: a. sebuah ciptaan, kreasi, bukan hanya imitasi b. menghadirkan sintesa antara hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 116 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis semiotika dengan unsur tanda, objek, dan interpretasi terhadap video iklan pariwisata Wonderful Indonesia episode East Java, serta analisis pada tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. Hidup berdampingan secara damai antara warga negara yang beragam tersebut penting bagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. antara individu dengan sesamanya. Berawal dari bahasa tersebut manusia dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. antara individu dengan sesamanya. Berawal dari bahasa tersebut manusia dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi, menyampaikan pendapat, mengapresiasikan pikiran sehingga tercipta pengertian antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

ADAKAH (DAN PERLUKAH) PERIODISASI SASTRA POPULER? Oleh Nenden Lilis A.

ADAKAH (DAN PERLUKAH) PERIODISASI SASTRA POPULER? Oleh Nenden Lilis A. Artikel Sastra/H.U. Pikiran Rakyat ADAKAH (DAN PERLUKAH) PERIODISASI SASTRA POPULER? Oleh Nenden Lilis A. Era reformasi, yang terhitung sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, telah memunculkan banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diabaikan karena Ijime dapat terjadi pada setiap orang, bahkan di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. diabaikan karena Ijime dapat terjadi pada setiap orang, bahkan di negara-negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ijime atau penganiayaan merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan karena Ijime dapat terjadi pada setiap orang, bahkan di negara-negara maju juga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang telah berlaku selama kurang

Lebih terperinci

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB VII RAGAM SIMPUL BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan karya seni yang mengandung banyak estetika keindahan, dalam karya sastra itu sendiri banyak mengankat atau menceritakan suatu realitas yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu

I. PENDAHULUAN. Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Warna lokal adalah kelokalitasan yang menggambarkan ciri khas dari suatu daerah dalam karya sastra. Warna lokal yang dibangun dengan istilah atau ungkapan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan juga pengalaman yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Drama merupakan kisah utama yang memiliki konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater (Kamus Bahasa Indonesia: 212). Namun, dewasa ini drama bukan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan menjadi salah satu objek pembahasan yang menarik di dalam karya sastra. Perempuan bahkan terkadang menjadi ikon nilai komersil penjualan karya sastra. Hal

Lebih terperinci