ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG"

Transkripsi

1 ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG Stylophora pistillata DAN Pocillopora verrucosa DI PERAIRAN PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU ISWATY ADITIYANA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Laju Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Iswaty Aditiyana C

3 RINGKASAN Iswaty Aditiyana. C Analisis Laju Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Beginer Subhan. Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu mengalami tekanan berat dari berbagai macam aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang oleh karena itu diperlukan rehabilitasi, salah satunya dengan transplantasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu serta parameter yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi solusi dan informasi terhadap upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak. Penelitian ini berlokasi di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, Jakarta, selama 10 bulan pengamatan (September 2010, Januari 2011, Mei 2011, dan Juli 2011). Pengamatan pertumbuhan fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi pertumbuhan karang yang terdiri dari pertambahan lebar dan pertambahan tinggi fragmen karang yang ditempel pada modul beton. Proses pengukuran dilakukan langsung di dalam air dengan menggunakan bantuan peralatan selam (SCUBA). Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, salinitas, kekeruhan, kecepatan arus, kecerahan, dan kandungan nutrien. Jumlah individu pada saat awal penelitian adalah sebanyak 52 fragmen untuk karang jenis P. verrucosa dan untuk S. pistillata terdapat 44 fragmen. Secara umum, kondisi kualitas air di Pulau Karya dikatakan kurang baik karena beberapa parameter melebihi baku mutu. Tingkat kelangsungan hidup kedua jenis karang menunjukkan nilai yang selalu menurun hingga bulan Mei 2011 kemudian nilainya tetap hingga bulan Juli 2011 yaitu P. verrucosa adalah sebesar 69% dan 51% untuk jenis S. pistillata. Kegiatan transplantasi ini dapat dikatakan berhasil karena tingkat kelangsungan hidupnya diatas 50%. Nilai laju pertumbuhan rata-rata lebar Pocillopora verrucosa menunjukkan penurunan, yaitu dari 3,13 cm/4 bulan (September Januari 2011), 1,45 cm/4 bulan (Januari Mei 2011), hingga 0,36 cm/2 bulan (Mei Juli 2011). Laju pertumbuhan tinggi juga menurun sejak awal penelitian yaitu 2,69 cm/4 bulan untuk September Januari 2011, lalu sebesar 1,04 cm/4 bulan pada Januari 2011 Mei 2011 menjadi 0,37 cm/2 bulan pada Mei 2011 Juli Nilai untuk laju pertumbuhan rata-rata lebar Stylophora pistillata adalah sebesar 0,31 cm/4 bulan pada bulan September Januari 2011, 4,29 cm/4 pada Januari 2011 Mei 2011, dan 0,11/2 bulan pada akhir pengambilan data. Laju pertumbuhan rata-rata tinggi, pada awal penelitian adalah 1,88 cm/4 bulan, lalu 2,81 cm/4 bulan pada pengamatan bulan Januari Mei 2011, dan 0,06 cm/2 bulan pada bulan Mei Juli 2011.

4 ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG Stylophora pistillata DAN Pocillopora verrucosa DI PERAIRAN PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU ISWATY ADITIYANA C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa : Iswaty Aditiyana NIM Program Studi : Analisis Laju Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Beginer Subhan, S.Pi, M.Si NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP : Tanggal Ujian : 15 Februari 2012

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Laju Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti dan mahasiswa untuk melakukan penulisan lebih lanjut. Bogor, Maret 2012 Penulis

7 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Beginer Subhan, S.Pi, M.Si, masing-masing selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan saran yang sangat berarti bagi Penulis dalam penyusunan skripsi ini.staf Tata Usaha MSP yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta, Mama dan Papa yang telah mencurahkan kasih sayang dan mendukung baik moril maupun materil, Raafqi dan Tya atas segala doa dan dukungannya. 4. PKSPL-IPB dan CNOOC atas bantuan tenaga, peralatan, maupun finansial dalam penelitian ini. 5. Senior-senior ITK dari Laboratorium Biologi Laut (Ka Dhilah, Bang Dondi, Bang Ketuk, Bang Jali) atas bantuan dan bimbingannya. 6. Tim Transplantasi karang PKSPL-IPB (Muti, Mumu, Dani, Eko, Linggom, Arif) dan masyarakat Pulau Pramuka. 7. Teman-teman MSP 44 khususnya Nunu, Rini, Ari, Wepe, Furry, Nta, Cemay, dan Dede atas semangat, nasehat, dan kebersamaan dalam suka maupun duka. 8. Teman-teman MSP 42 (Ka Fitria, Ka Awan, Ka Dono), MSP 43, MSP 45, tim asisten Sumberdaya Perikanan, serta seluruh pihak yang telah membantu namun tidak dapat penulis ucapkan satu persatu. 9. Tommy A. P. Nababan, S. Pi atas semangat, cinta, dan doa.

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batusangkar, pada tanggal 3 Oktober 1988 dari pasangan Ir. Augustijana Kartasasmita, M.Sc dan Diah Roosdiaty. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di Sudduth School Kindergarten (1995), SDN Pengadilan III Bogor (2001), SLTP Negeri 2 Bogor (2004) dan SMA Negeri 6 Bogor (2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Sumberdaya Perikanan (2009/2010), serta aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK Divisi Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni (2008/ 2009), juga sebagai Kepala Departemen Advokasi serta Kajian Perikanan dan Kelautan (2009/2010). Penulis juga aktif dalam beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seperti bulutangkis dan perkusi serta di organisasi eksternal kampus seperti Paguyuban Mojang dan Jajaka Kota Bogor. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung pada tahun Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Analisis Laju Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu.

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xi xii xiii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian Biologi Hewan Karang Reproduksi Karang Klasifikasi dan Ciri-ciri Karang yang Diteliti Stylophora pistillata Pocillopora verrucosa Faktor Pembatas Terumbu Karang Cahaya dan kedalaman Suhu Salinitas Sedimentasi dan kekeruhan Nutrien (Nitrat, Amonia, Orthophosphat) Arus dan gelombang Bentuk Terumbu Karang Transplantasi Karang Manfaat terumbu karang Penyebab kerusakan terumbu karang Pengelolaan terumbu karang Penelitian Transplantasi Terumbu Karang di Indonesia METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Penentuan stasiun pengamatan Pengamatan pertumbuhan karang Metode Analisis Data Pengukuran pertumbuhan karang Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate)... 28

10 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) Transplantasi Terumbu Karang Ukuran Fragmen Transplantasi Karang Laju Pertumbuhan Rata-rata KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 48

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data pertumbuhan karang Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli Penelitian transplantasi karang Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata di Indonesia

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema kerangka pendekatan masalah Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang Stylophora pistillata Pocillopora verrucosa Peta Lokasi Penelitian Konstruksi fragmen karang yang ditransplantasikan Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada modul transplantasi Metode pengukuran contoh fragmen karang Tingkat kelangsungan hidup transplantasi terumbu karang jenis Pocillopora verrucosa (n 1 = 52; n 2 = 43; n 3 = 36; n 4 = 36) dan Stylophora pistillata (n 1 = 44; n 2 = 36; n 3 = 24; n 4 =24) Karang yang bersaing dengan sponge Karang yang bersaing dengan alga Ukuran pertumbuhan karang jenis Pocillopora verrucosa (September 2010-Juli 2011); (n 1 = 52; n 2 = 43; n 3 = 36; n 4 = 36) Ukuran pertumbuhan karang jenis Stylophora pistillata (September 2010-Juli 2011); (n 1 = 44; n 2 = 36; n 3 = 24; n 4 =24) Karang yang patah akibat aktivitas disekitar daerah transplantasi Laju pertumbuhan rata-rata Pocillopora verrucosa (September Juli 2011) Laju pertumbuhan rata-rata Stylophora pistillata (September Juli 2011)... 40

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Beberapa penelitian transplantasi terumbu karang di Indonesia Alat-alat yang digunakan Foto perbandingan karang transplantasi Persaingan transplantasi karang dengan alga Tingkat kelangsungan hidup transplantasi Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa... 55

14 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perairan di bagian Utara Jakarta yang kita kenal adalah Kepulauan Seribu. Pulau-pulau di kawasan ini terbentuk dari terumbu karang semenjak ribuan tahun yang lalu. Oleh sebab itu, kawasan ini menyimpan kekayaan sumberdaya terumbu karang. Tidak mengherankan pula banyak masyarakat yang bergantung hidupnya pada sumberdaya terumbu karang di Kepulauan Seribu (Napitupulu et. al dalam Estradivari et. al. 2009). Beberapa tahun terakhir, kegiatan wisata bahari di Indonesia khususnya di daerah Kepulauan Seribu mulai banyak diminati oleh masyarakat. Daerah ini menjadi Taman Nasional Laut berdasarkan ketetapan Menteri Kehutanan, SK No. 6310/Kpts-II/2002 dengan luas ,00 ha (Departemen Kehutanan 2007). Ada beberapa alasan mengapa wisatawan tertarik untuk berwisata ke daerah ini. Mulai dari akses ke daerah tersebut mudah dijangkau, biaya yang diperlukan tidak begitu mahal, dan banyak pulau yang dapat dikunjungi. Banyak kegiatan yang dapat wisatawan lakukan di daerah ini, seperti snorkeling, diving, ataupun hanya sekedar berjalanjalan mengitari pulau. Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan salah satu perwakilan kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia karena mempunyai potensi alam yang baik. Salah satu yang menjadi objek utamanya adalah terumbu karang. Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari berbagai macam aktivitas. Kerusakan dan kematian karang akibat ulah manusia dapat disebabkan secara langsung dan tidak langsung. Kerusakan secara langsung contohnya adalah penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak serta racun sianida, kegiatan pariwisata laut, serta meningkatnya populasi Achanthaster planci akibat musnah dan menurunnya populasi biota pemangsanya. Kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh penebangan hutan, pencemaran lingkungan, dan penambangan pasir atau batu karang (Reksodiharjo 1995 dalam Reflus 2010).

15 Penanggulangan kerusakan atau rehabilitasi dapat dilakukan dengan transplantasi (Clark dan Edwards 1995 dalam Alhusna 2003). Hal ini merupakan suatu langkah awal dalam memulihkan sekaligus menjaga kelestarian terumbu karang di Perairan Kepulauan Seribu. Transplantasi karang adalah salah satu upaya rehabilitasi yang dapat diterapkan untuk mempercepat proses pemulihan terumbu karang. Soedharma dan Subhan (2007), mencatat bahwa perjalanan transplantasi karang diawali dengan coba-coba oleh Sadarun pada tahun 1997 yang ditumbuhkan pada jaring. Tujuan kegiatan transplantasi terumbu karang yaitu memperbanyak koloni karang dengan bantuan manusia untuk rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak agar dapat menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke dalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir teknik transplantasi karang di Indonesia terus mengalami perkembangan. Berbagai metode dan model transplantasi karang telah di uji cobakan. Pada umumnya transplantasi dilakukan di alam dengan menggunakan metode rak dan substrat. Beberapa penelitian telah dilakukan di sistem terkontrol pada beberapa jenis karang langka (Soedharma dan Subhan 2007). Pada tahun 2009, terdapat penelitian yang telah dilakukan oleh Wibowo di Pulau Karya untuk spesies Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata. Pengamatan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan panjang dari kedua jenis ini lebih dominan dibandingkan pertumbuhan tingginya. Tingkat kelangsungan hidup dari kedua spesies ini juga tinggi yaitu 100% untuk Stylophora pistillata dan 90% untuk Pocillopora verrucosa. Kegiatan transplantasi ini dapat dikatakan berhasil karena telah melebihi 50%. Iswara juga melakukan penelitian untuk spesies Pocillopora verrucosa di Pulau Kelapa dan memperoleh hasil 61,11% untuk tingkat kelangsungan hidup karang ini. Pemilihan karang pada penelitian ini adalah Stylopora pistillata dan Pocillopora verrucosa. Seperti yang dikatakan oleh Soedharma dan Subhan 2007, karang dari kelompok koloni bercabang seperti Acropora, Pocillopora, dan Montipora sudah diaplikasikan untuk perdagangan karang. Karang jenis ini memiliki daya pertumbuhan yang cepat dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan

16 (growth form) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda. Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kedalaman, arus, dan topografi dasar perairan (Wood 1977 dalam Reflus 2010) Rumusan Masalah Terumbu karang merupakan habitat sekaligus indikator dari keberadaan ikan di laut. Kegiatan transplantasi terumbu karang merupakan suatu cara untuk memperbaiki dan menumbuhkan karang baru sehingga habitat ikan tetap terjaga. Kegiatan transplantasi terumbu karang merupakan suatu cara efektif untuk menumbuhkan terumbu karang dan merupakan salah satu upaya konservasi yang perlu dilakukan serta disosialisasikan. Transplantasi menjadi diperlukan jika melihat kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu yang sangat memprihatinkan. Menurut Estradivari et. al. 2009, penutupan karang keras tertinggi berada di Pulau Karang Bongkok (tahun 2003, 71,8%; 2005, 67,6%; dan 2007, 63,7%). Rata-rata penutupan karang keras di Kepulauan Seribu yang mengalami fluktuasi yaitu 33,1% (2003), 34,2% (2005), dan 31,7% (2007). Transplantasi dibutuhkan karena jika pertumbuhan dibiarkan secara alami, maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merehabilitasi ekosistem ini. Berdasarkan ilustrasi diatas, secara skematik kerangka pendekatan masalah disajikan pada gambar 1 di bawah ini:

17 Kerusakan ekosistem terumbu karang Faktor alami Faktor buatan Perubahan iklim: Kenaikan suhu air laut Kenaikan permukaan air laut Aktivitas manusia: Penangkapan dengan racun Reklamasi Pemulihan ekosistem Manajemen Area Perlindungan Laut Transplantasi Artificial reef Stylophora pistillata Pocillopora verrucosa Membuat ekosistem kembali pulih agar didapatkan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan Gambar 1. Skema kerangka pendekatan masalah 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu serta parameter yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi solusi dan informasi terhadap upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak dengan tingkat keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan.

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Menurut Departemen Kehutanan (2007), Kepulauan Seribu memiliki sedikitnya 3 unsur yang memberikan warna dan kekuatan sebagai taman nasional, yaitu kekayaan keanekaragaman hayati, keindahan panorama alam, dan dukungan kawasan ini terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya. Kepulauan Seribu merupakan perairan yang memiliki terumbu karang dan banyak diantaranya merupakan jenis yang langka dan dilindungi. Kondisi terumbu karang sangat erat hubungannya dengan keberadaan dan kelimpahan biota laut lainnya yang dapat berasosiasi dengannya. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu terdiri dari perairan laut yang mempunyai pulau-pulau karang yang terbentuk dari diatas koloni karang yang sudah mati. Koloni awalnya tumbuh di laut yang dangkal, kemudian muncul di atas permukaan laut dan mengalami pelapukan. Di atas daratan karang yang telah lapuk tersebut tumbuh rumput, semak belukar, beberapa jenis pohon, dan terbentuklah pulau-pulau yang sekarang ada. Kawasan ini mempunyai curah hujan rata-rata 3,015 mm per tahun dengan suhu 21 C - 34 C dan kelembaban rata-rata 89%. Kekuatan arus laut rata-rata cm/ detik, sedangkan perubahan pasang surut sekitar 1,5m-2m menurut musim. Kawasan Taman Nasional ini mempunyai tipe ekosistem laut dan pesisir yang meliputi terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun. Pada Kepulauan Seribu berhembus dua jenis musim yaitu angin barat dan musim angin timur. Pada bulan Desember hingga Maret, angin barat berhembus dengan arah ke sekitar Barat Daya hingga Barat Laut. Kecepatan angin berhembus rata-rata 7-20 knot. Pada musim Timur berhembus angin timur mulai bulan Juni hingga September dengan kecepatan rata-rata 7-15 knot. Untuk musim pancaroba terjadi mulai bulan April sampai bulan Mei dan bulan Oktober sampai bulan November (Dinas Hidro-Oseanografi 1986 dalam Pratama 2005). Banyaknya hari hujan pada musim barat membuat salinitas perairan di sekitar Kepulauan Seribu menjadi rendah sedangkan pada musim timur salinitas perairan lebih tinggi (Azkab dan Hutomo 1986 dalam Boli 1994).

19 2.2. Biologi Hewan Karang Hewan karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro dan Huber 2007). Komponen-komponen dalam karang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Bertambahnya massa kerangka sangat tergantung pada aktivitas fotosintesis zooxanthellae. Demikian juga dengan perubahan biomassa hewan karang (polip), ditentukan oleh tersedianya produk fotosintesis zooxanthellae. Sedangkan keberadaan zooxanthellae dipengaruhi seberapa besar nutrien atau CO 2 ditranslokasi kembali oleh hewan karang bagi zooxanthellae (Boaden dan Seed 1985 dalam Boli 1994). Zooxanthellae melakukan fotosintesis dan memberikan material organik yang mereka buat kepada karang inangnya. Jadi, zooxanthellae memberi makan karang dari dalam. Banyak karang mampu bertahan hidup dan tumbuh tanpa makan, selama zooxanthellae memiliki cukup cahaya matahari untuk berfotosintesis (Castro dan Huber 2007). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro dan Huber 2007)

20 Keuntungan zooxanthellae dari simbiosis mutualisme dengan hewan karang tersebut adalah diperolehnya tempat hidup dan perlindungan dari pemangsanya serta mendapat limpahan pembuangan metabolisme (seperti protein dan karbohidrat) dan CO 2 untuk proses fotosintesis. Sedangkan keuntungan hewan karang dari simbiosis ini adalah proses pembuangan bahan-bahan sisa menjadi efisien dan mendapat transfer hasil fotosintesis sebagai sumber makanannya (Hawker dan Connell 1992 dalam Sabarini 2001). Karang juga dapat menangkap zooplankton dengan menggunakan tentakel atau jaring mukus, mencerna materi organik di luar tubuh dengan menggunakan filamen mesentrial, atau menyerap material organik terlarut (dissolved organic matter/ DOM) dari perairan (Castro dan Huber 2007). Terdapat dua tipe karang yang ada di dunia yaitu hermatifik dan ahermatifik. Karang hermatifik sering juga disebut sebagai reef building corals, hal ini karena kemampuan koloni karang yang dapat membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium karbonat (CaCO 3 ). Dalam hidupnya, karang bersimbiosis dengan sejenis algae (zooxanthellae) dan hidup di jaringan-jaringan polip karang tersebut, serta melakukan fotosintesis yang menghasilkan endapan kalsium karbonat. Adanya endapan kapur kalsium karbonat yang struktur dan bangunannya khas ini akhirnya digunakan sebagai ciri untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Akibat aktivitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Sedangkan karang ahermatifik adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu (Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) yang dibuat oleh karang cukup kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 dalam Supriharyono 2007). Terumbu karang lebih berkembang pada daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif

21 dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang, karena bersamaan dengan itu gelombang akan memberi oksigen dalam air laut, menghalangi pengendapan pada koloni karang, dan akan mendatangkan makanan untuk koloni karang berupa plankton (Nybakken 1992) Reproduksi Karang Reproduksi adalah suatu proses dimana suatu individu baru berbentuk. Untuk menjaga kestabilan populasi karang, maka karang yang mati harus digantikan oleh individu baru dengan jumlah yang seimbang, baik dari hasil reproduksi seksual maupun aseksual (Richmond 1997 dalam Sabarini 2001). Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono 2007). Reproduksi aseksual karang adalah melalui fragmentasi dan pertunasan (budding), umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang terus-menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992). Secara seksual atau kawin dilakukan melalui pemijahan atau pertemuan antara ovarium dan testes. Berkaitan dengan sel kelaminnya, karang mungkin hermaphrodite, dimana ovarium dan testes berada dalam satu individu polip, atau dioecious, yaitu ovarium dan testes berada dalam individu polip berbeda. (Supriharyono 2007). Sedangkan menurut Castro dan Huber 2007, perkembangbiakan seksual karang diawali dengan pertemuan ovarium dengan sperma. Metode pembuahan berbeda-beda pada setiap karang. Karang yang bersifat hermaprodit melakukan pembuhan di dalam induknya. Karang yang lainnya melakukan pertumbuhan di luar dengan melepaskan sperma dan ovarium. Pada karang dikenal dua macam pembuahan, yaitu (Supriharyono 2007): a. Telur-telur dibuahi di dalam gastrovascular cavity (viviparous), dan gonadnya berkembang di mesenterial chamber (biasanya untuk massive coral) atau di body cavities (untuk branching coral), selanjutnya membebaskan produksinya berupa planula larva. b. Telur-telur dibuahi di luar tubuh yaitu di dalam air laut (bukan viviparous). Namun berdasarkan penelitian beberapa peneliti, karang cenderung lebih banyak yang bukan viviparous daripada viviparous.

22 Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa karang, khususnya yang berasal dari Great Barrier Reef, lebih banyak mengadakan pembuahan di luar tubuh daripada yang mengerami planula. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa karang bereproduksi sepanjang tahun, namun ada kalanya di daerah-daerah tertentu hal itu terjadi hanya pada waktu atau musim-musim tertentu (Supriharyono 2007) Klasifikasi dan Ciri-ciri Karang yang Diteliti Filum Cnidaria merupakan salah satu filum yang besar dari hewan air dan kebanyakan merupakan hewan air laut. Kebanyakan hidup berkoloni, dimana setiap individu saling terhubung. Filum ini dua bentuk karakteristik polimorfisme yang diperoleh dari daur hidupnya, yaitu polip dan medusa (Kolzof 1990 dalam Prawidya 2003). Anggota kelas Anthozoa merupakan cnidaria yang berpolip dan tidak mempunyai tahap medusoid. Memiliki polip khusus dibanding kelas Hydrozoa. Kebanyakan hidup berkoloni dan dapat mencapai ukuran besar, walaupun sebenarya individu polipnya kecil (Ruppert dan Barnes 1987 dalam Prawidya 2003). Ordo Scleractinia sering disebut dengan karang batu, karena menghasilkan rangka. Rangkanya terdiri dari kalsium karbonat dan terpisah oleh epidermis pada 7 basal disc (lapisan basal). Proses pemisahan ini menghasilkan mangkuk kapur, yang merupakan tempat polip bernaung. Pada dasar mangkuk, terdapat sklerosepta, setiap sklerosepta ini terbentuk ke atas sampai ke dasar polip, menahan lapisan basal. Selama polip hidup, akan terus dihasilkan kalsium karbonat di bawah jaringan yang hidup (Ruppert dan Barnes 1987 dalam Prawidya 2003). Famili Pocilloporidae terdiri dari genus Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, Palaustrea, dan Madracis. Semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Koloni bercabang atau submasif, ditutupi oleh bintil-bintil (verrucosae). Koralit hampir tenggelam, kecil, kolumella, diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil (Suharsono 2008).

23 Stylophora pistillata Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut Veron (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub kelas : Zoantharia Ordo : Scleractinia Famili : Pocilliporidae Genus : Stylophora Spesies : Stylopora pistillata (Wells 1954) Spesies Stylophora pistillata (Gambar 3) memiliki percabangan yang tumpul, kolumella menonjol, dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil dan permukaan koloni terlihat kasar. Koloni dari karang jenis ini berbentuk submasif sampai bercabang. Pada umumnya, cabang-cabang dari karang ini pendek dan menyatu. Struktur dari koralit bermacam-macam berdasarkan dari posisi cabangnya. Tidak seperti genus pada umumnya, Stylophora mempunyai diversitas yang tinggi di daerah barat Samudera Hindia dan Laut Merah daripada di daerah Indopasifik. Karang dari genus ini di dominasi oleh dua spesies yaitu Stylophora pistillata dan Stylophora subseriata. Kedua spesies ini menunjukkan penyebaran geografis yang cukup luas. Stylophora pistillata memperlihatkan rentang pertumbuhan yang tinggi di lingkungan. (Schweigger 1819 dalam Suharsono 2008). Gambar 3. Stylophora pistillata (Dok. PKSPL-IPB ; kiri dan Veron 2000; kanan)

24 Pocillopora verrucosa Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut Veron (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub kelas : Zoantharia Ordo : Scleractinia Famili : Pocilliporidae Genus : Pocillopora Spesies : Pocillopora verrucosa (Wells 1954) Spesies Pocillopora verrucosa (Gambar 4) memiliki ciri-ciri koloni hampir bercabang, submasif, koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumella, percabangan relatif besar dengan permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae (Lamarck 1816 dalam Suharsono 2008). Gambar 4. Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB: kiri dan Veron 2000; kanan) 2.5. Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan, yaitu suhu, cahaya, sedimentasi, salinitas, derajat keasaman (ph), kedalaman, gelombang, dan pergerakana arus air (Reflus 2010). Lough dan Barnes (1992) dalam Boli (1994) menjelaskan bahwa kecepatan pertumbuhan kerangka karang sangat dipengaruhi oleh kedalaman, turbiditas, kualitas air, dan temperatur. Faktor yang paling berperan dalam hal ini adalah intensitas cahaya.

25 Tingkat substrat dan orientasi dari karang dapat mempengaruhi rekruitmen, pertumbuhan koloni, dan tingkat kelangsungan hidup dari juvenile karang. Larva planula cenderung memilih substrat keras dibandingkan substrat lunak, tingkat kelangsungan hidupnya sangat rendah. Berdasarkan percobaan di lapang oleh Charles Birkeland dikemukakan bahwa tingkat pertumbuhan larva lebih cepat pada permukaan mendatar substrat buatan, tetapi tingkat kelangsungan hidupnya akan lebih tinggi pada permukaan vertikal substrat buatan. Tingkat pertumbuhan koloni lebih cepat pada perairan dangkal, namun tingkat kelangsungan hidup akan lebih besar pada perairan dengan kedalaman intermediate dan nutrisi rendah (Birkeland 1977 dalam Sabarini 2001) Cahaya dan kedalaman Cahaya merupakan suatu faktor penting lainnya, hal ini karena binatang karang hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15%-20% dari intensitas permukaan (Nybakken 1992). Proses fotosintesis akan terganggu apabila karang tidak mendapatkan cahaya yang cukup, hal ini akan mengakibatkan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat yang membentuk terumbu juga akan terhambat (Wells dan Hanna 1992 dalam Reflus 2010). Penyerapan cahaya oleh air sangat berbeda-beda terutama tergantung pada panjang gelombang. Akibatnya, panjang gelombang tertentu menembus lebih dalam daripada yang lain (Nybakken 1992). Menurut Kanwisher dan Wainwright (1967) dalam Supriharyono (2007) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara f.c. (atau umumnya terletak antara f.c.). Sedangkan intensitas cahaya secara umum di permukaan

26 laut f.c. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang umumnya tersebar di daerah tropis (Supriharyono 2007). Kedalaman air diketahui juga menentukan pertumbuhan terumbu karang. Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007) Suhu Terumbu karang dapat tumbuh pada suhu 18 C-36 C. Kenaikan suhu 2 C- 4 C dapat merusak jaringan karang dan kenaikan sebesar 4 C-5 C dapat mengakibatkan kematian karang (Birkeland 1997 dalam Reflus 2010). Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28,5 C 30,0 C. Pada musim timur suhu air permukaan antara 28,5 C 31,0 C. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata antara musim barat dengan musim timur (Estradivari et. al. 2009). Suhu di atas 33 C biasanya mendatangkan suatu gejala yang disebut pemutihan karang, yaitu keluarnya zooxanthellae dari jaringan karang secara paksa oleh hewan karang. Suhu optimum pertumbuhan karang adalah C (Randall 1983 dalam Boli 1994) Salinitas Karang hermatifik adalah organisme laut sejati dan sebagian besar spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal air laut yaitu ppt (Nybakken 1989 dalam Boli 1994). Sedangkan menurut Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2007, salinitas air laut rata-rata daerah tropis adalah sekitar 35, dan binatang karang hidup pada kisaran salinitas Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat serta pengaruh

27 alam, seperti run-off, badai, dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa bernilai dari 17,50-52,50 (Vaughan 1919; Wells 1932; dalam Supriharyono 2007) Sedimentasi dan kekeruhan Karang pembentuk terumbu juga dapat tumbuh dengan baik di daerahdaerah tertentu dimana sedimentasi sedikit dan terhindar dari arus dingin (Suharsono 1996). Hawker dan Connell (1992) dalam Sabarini (2001) menyatakan bahwa toleransi terumbu karang terhadap sedimentasi dibagi menjadi tiga berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan. Dampak ringan adalah pada laju sedimentasi 1-10 mg/cm/hari, yang dicirikan oleh menurunnya persentase penutupan, perubahan bentuk pertumbuhan, penurunan laju pertumbuhan, kemungkinan penurunan rekruitmen, dan kemungkinan penurunan jumlah spesies. Dampak menengah dirasakan pada laju sedimentasi mg/cm/hari dengan ciri penurunan persentase penutupan yang besar, penurunan laju pertumbuhan yang besar, perubahan bentuk yang signifikan pada bentuk pertumbuhan, menurunnya rekruitmen, menurunnya jumlah spesies, dan kemungkinan adanya persaingan tempat dengan spesies oportunistik. Sedangkan dampak buruk terjadi pada laju sedimentasi yang lebih besar dari 50 mg/cm/ hari, dengan ciri persentase penutupan karang yang buruk, terjadi degradasi komunitas, sebagian besar spesies hilang, banyak koloni karang yang mati, hampir tidak ada rekruitmen, proses regenerasi lambat atau berhenti, dan adanya persaingan tempat dengan spesies oportunistik. Menurut Nybakken (1992), adanya endapan baik di dalam air maupun di atas karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Sebagian besar karang hermatipik tidak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya, dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Oleh karena itu perkembangan terumbu karang berkurang atau menghilang dari daerah-daerah yang pengendapannya besar. Polip karang harus memproduksi labih banyak lendir untuk melepaskan partikel-partikel tersuspensi yang mengendap pada tubuhnya (Levinton 1982 dalam Boli 1994).

28 Nutrien (Nitrat, Amonia, Ortophosphat) Banyaknya kandungan nutrien di perairan juga mempengaruhi komunitas terumbu karang. Pada tingkat organisme, konsentrasi fosfat yang tinggi dapat menghentikan proses kalsifikasi (Simkiss 1964 dalam Sabarini 2001). Nitrat (NO 3 ) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga serta dapat dimanfaatkan secara langsung (Effendi 2003). Pada skala komunitas, tingginya kandungan nutrien dapat menyebabkan berkembangnya sponge dan alga yang dapat mencegah melekatnya larva karang (Wilkinson 1987 dalam Sabarini 2001). Amonia (NH 3 ) merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik pada suatu perairan dan merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi indikasi adanya pencemaran bahan organik. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia dari pada ikan (Effendi 2003). Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen di perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003). Pada polutan nutrien, terumbu karang paling sensitif terhadap konsentrasi fosfat di perairan yang dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 90% atau kematian dengan adanya dua sampai tiga kali peningkatan konsentrasi fosfat di

29 perairan. Rata-rata konsentrasi fosfat di daerah terumbu karang adalah sekitar 0,20 mg/lt, sedangkan untuk konsentrasi amonia dan nitrit ditambah nitrat adalah sekitar 0,17 mg/lt dan 0,34 mg/lt (Hawker dan Connell 1992 dalam Sabarini 2001) Arus dan gelombang Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,90 m dan rata-rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,20 m. Ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 m. Melalui beberapa pengukuran di sejumlah lokasi dalam waktu yang berbeda, kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar 0,60 cm/detik hingga 77,30 cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,50 m/detik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,50 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian antara 0,50-1,17 m dan musim timur 0,50 1,00 m (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2005 dalam Estradivari et. al. 2009). Nybakken (1992) menyatakan bahwa, banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka ke arah atas terbatas hanya sampai tingkat pasang surut terendah. Sedangkan arus di laut penting untuk transportasi zat hara, larva, dan bahan sedimen. Arus penting untuk penggelontoran, pencucian limbah, dan untuk mempertahankan pola penggerusan serta pengerukan. Oleh karena itu, karang tumbuh di perairan yang selalu teraduk arus dan ombak lebih baik dibandingkan dengan karang di perairan yang tenang dan terlindung Bentuk Terumbu Karang Bentuk pertumbuhan karang bervariasi, baik individu maupun koloni. Suatu jenis karang dari marga yang sama dapat memiliki bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Keanekaragaman morfologi koloni karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, pola sirkulasi massa air, ketersediaan bahan makanan, dan faktor genetik (Suharsono 1984 dalam Sabarini 2001). Karang pembentuk terumbu merupakan koloni dengan sejumlah besar polip-polip kecil dengan

30 diameter 1-3 mm, namun seluruh koloni dapat menjadi besar (Suwignyo et al. 2005) Transplantasi Karang Banyak metode rehabilitasi yang telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang Indonesia seperti rockpile, biorock, ecoreef, reefball, dan transplantasi karang (Soedharma dan Subhan 2007). Hariot dan Fisk (1988) dalam Subhan (2003) menyatakan bahwa, transplantasi koral adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi koral bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang. Proses pengangkutan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan transplantasi. Pengangkutan koral di atas dek kapal yang terlindung selama satu jam, tidak berbeda nyata dengan pengangkutan di dalam air. Bila terkena udara selama dua jam, tingkat keberhasilan berkisar antara 50-90% dan bila terkena udara selama tiga jam, maka tingkat keberhasilan menjadi 40-70%. Metode transplantasi karang di alam merupakan cara yang paling banyak digunakan terutama untuk rehabilitasi dan persediaan stok karang hias. Penggunaan teknik ini juga mengalami banyak variasi, misalnya pada bahan yang digunakan baik dalam hal bentuk, ukuran maupun bahan. Begitu pula pada bahan yang digunakan untuk membuat rak dapat menggunakan besi, kayu, atau pipa paralon. Munculnya berbagai variasi dalam teknik transplantasi berhubungan dengan jenis karang dan lokasi Manfaat terumbu karang Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi sosial, ekonomi, dan budaya karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi yang antara lain sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, tempat tinggal sementara atau tetap, tempata mencari makan, berpijah, daerah asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat

31 berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisik secara global yang mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-obatan serta sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak-ombak (Suharsono 1996). Transplantasi karang adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan metode fragmentasi. Koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang. Transplantasi karang secara umum dapat dikatakan berhasil jika tingkat kelangsungan hidupnya sebesar 50% sampai dengan 100% (Harriot dan Fisk 1988 dalam Dhahiyat 2003). Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan fungsi pulau-pulau di wilayah Kepulauan Seribu. Dalam konteks pendaya gunaannya menunjukkan semakin rendahnya tingkat adaptasi pulau-pulau ini terhadap gangguan. Kerusakan-kerusakan yang terjadi adalah seperti penurunan kualitas air, kerusakan ekosistem terumbu karang, dan pengikisan pantai pada pulau-pulau tertentu. Penyebabnya bukan semata-mata karena fenomena alami tertentu (biogenik), namun labih merupakan akibat langsung dari perbuatan manusia (anthropogenik) (Pemda DKI 1992 dalam Boli 1994). Herianto (2007) menggolongkan nilai dan manfaat terumbu karang menjadi 3, yaitu manfaat bio-ekologi, nilai sosio-ekonomi, dan nilai budaya. Sedangkan manfaat dari transplantasi karang menurut Soedharma dan Arafat (2006) dalam Soedharma dan Subhan (2007) adalah : 1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. 2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. 3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu. 4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keanekaragaman hayati. 5. Pengembangan populasi karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan atau langka.

32 6. Menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem karang yang rusak tersebut dapat ditingkatkan. 7. Keperluan perdagangan Penyebab kerusakan terumbu karang Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10% dari terumbu karang dunia telah mengalami degradasi yang tak dapat dipulihkan dan 30% lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang (Jameson et al dalam Wesmacott et. al. 2000). Menurut Estradivari et. al. 2009, secara umum telah terjadi degradasi habitat secara besar-besaran di pulaupulau paling selatan yang berdekatan dengan atau di Teluk Jakarta dibandingkan 1 dekade lalu. Faktor penyebab stress pada terumbu karang dapat timbul secara eksternal maupun internal. Faktor internal dapat berasal dari faktor genetik biota karang tersebut sehingga sejak awal kehidupannya sudah mengalami kelainan pada sistem-sistem fisiologisnya. Faktor eksternal penyebab stress pada terumbu karang lebih banyak berasal dari adanya perubahan pada karakteristik perairan sehingga memberikan tekanan lingkungan pada terumbu karang dan menyebabkan terumbu karang tersebut mengalami stress. Faktor-faktor tersebut sebagian besar bersumber dari polutan yang masuk ke dalam sistem perairan, disamping itu fenomena-fenomena alam yang terjadi juga memberikan pengaruh. Wilayah perairan kepulauan Seribu memiliki potensi pertambangan yang cukup besar, khususnya minyak dan gas bumi, serta pertambangan umum berupa pasir laut dan batu karang (Estradivari et. al. 2009). Kegiatan pertambangan ini juga menjadi salah satu ancaman kerusakan terumbu karang. Tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang (Supriharyono 2007). Kerusakan dan kematian karang akibat ulah manusia dapat disebabkan secara langsung dan tidak langsung. Kerusakan secara langsung, misalnya penambangan karang, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun sianida, meningkatnya populasi Achanthaster planci akibat musnah atau menurunnya populasi biota pemangsanya serta dari kegiatan pariwisata bahari. Kerusakan secara tidak langsung antara lain disebabkan oleh penebangan hutan, pencemaran lingkungan,

33 dan penambangan pasir atau batu karang (Reksodihardjo 1995 dalam Reflus 2010). Faktor-faktor yang timbul akibat ulah manusia di kategorikan sebagai polutan. Polutan adalah sesuatu bahan yang dimasukan oleh manusia secara langsung atau tidak langsung dari bahan atau energi kepada lingkungan laut yang menyebabkan efek racun sehingga membahayakan sumberdaya hayati, berbahaya bagi kesehatan manusia, dan menghalangi aktivitas kelautan (Clark 1986 dalam Sabarini 2001). Di Indonesia suhu air laut mencapai lebih dari 30 C, karang-karang di Kepulauan Seribu, Jakarta, banyak yang mengalami bleaching (pemutihan karang) dan diikuti kematiannya (Brown 1987 dalam Supriharyono 2007). Pemutihan karang disebabkan karena pigmen dalam zooxanthellae berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Jika karang kehilangan seluruh zooxanthellae maka warna kerangka yang umumnya cokelat kehijauan ini akan berubah menjadi putih. Jika beberapa zooxanthellae dapat bertahan di polipnya maka karang akan kembali ke kondisi normal dalam beberapa bulan, tetapi jika pemutihan yang terjadi cukup berat maka koloni karang akan mati (Wells dan Hanna 1992 dalam Reflus 2010). Sedangkan menurut Randall (1983) dalam Boli (1994), suhu diatas 33 C biasanya mendatangkan suatu gejala yang disebut pemutihan karang (coral bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari jaringan karang secara paksa oleh hewan karang sehingga warna karang menjadi putih yang bila berlanjut maka akan menyebabkan kematian karang. Salah satu sebab terjadinya pemutihan secara besar-besaran menurut Wells dan Hanna (1992) dalam Reflus (2010) adalah fenomena El-Nino. Fenomena El-Nino adalah peristiwa terjadinya perubahan pola pergerakan air di Pasifik, biasanya terjadi 3 hingga 5 tahun sekali. Pada kondisi normal, angin bertiup dari arah timur dan air dingin menyebar ke arah barat menuju Pasifik dari pesisir Amerika Selatan. Selama terjadinya fenomena El-Nino terjadi perubahan arah angin, angin di wilayah tropis Pasifik bertiup dari arah barat dan penyebaran air dingin berubah menjadi air hangat. Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60 90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50 80% dari pigmen

34 fotosintesinya (Glynn 1996 dalam Westmacott et. al. 2000). Selama musim angin barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan membawa kandungan nutrien yang berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrien tersebut menyebabkan jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan karang dan menyebabkan karang memutih dan mati (Tomascik et. al dalam Estradivari et. al. 2009). Proses sedimentasi juga dapat memberikan dampak terhadap stressnya terumbu karang. Sedimentasi dapat berasal dari limpasan air daratan, aktivitas penggalian, dan saluran pembuangan limbah. Sedimentasi dapat menyebabkan berhentinya proses pertumbuhan pada biota karang. Hal ini disebabkan karena sedimentasi menurunkan penetrasi cahaya, menyebabkan pengikisan, dan menutupi polip-polip karang sehingga sebagian besar energi biota karang digunakan karang untuk mekanisme penolakan sedimen dari tubuhnya (Hawker dan Connell 1992 dalam Sabarini 2001). Menurut Loya (1976) dalam Boli (1994), pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen. Dalam bukunya, Supriharyono (2007) menerangkan bahwa di samping faktor fisika, faktor biologis yaitu para predator karang juga tidak kalah penting pada kerusakan karang. Beberapa contoh predator karang adalah bintang laut berduri, bulu babi, dan Drupella rugosa (sejenis gastropoda). Beberapa jenis ikan karang yang diketahui juga merupakan perusak karang adalah ikan kakak tua (Scarrus spp) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon spp). Faktor biologis yang dapat merusak ekosistem terumbu karang menurut Herianto (2007) adalah seperti adanya predasi dari predator yang bersifat aktif dan agresif untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat menghambat atau mematikan pertumbuhan karang yang lainnya. Sama halnya dengan penangkapan ikan menggunakan bom, terjadi kerusakan terumbu karang, juga menyebabkan ikan dan avertebrata lain hilang dan digantikan oleh komunitas yang didominasi oleh karang jenis Fungia, bulu

35 babi, dan sejumlah spesies teripang (Langham dan Mathias 1977 dalam Boli 1994) Pengelolaan terumbu karang Pemulihan atau coral recovery karena adanya terjangan badai ketika musim peralihan dari musim barat ke musim timur yang terjadi pada bulan Juli Agustus biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Akibat dari musim peralihan ini adalah terangkatnya gugusan karang ke permukaan karena begitu kuatnya angin yang berhembus (Supriharyono 2007). Kemampuan pemulihan terumbu karang adalah kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang (termasuk semua penghuninya), untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga kemampuan untuk pemulihan dan berkembang (Moberg dan Folke 1999 dalam Westmacott et. al. 2000). Tindakan pengelolaan dalam skala lokal mungkin kurang berhasil tanpa disertai usaha yang sifatnya global, karena penyebab umum dari pemutihan karang tidak bersifat lokal. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang bersifat global, yaitu aksi bersama (kebijakan tingkat internasional) tentang bagaiamana menekan peningkatan efek rumah kaca akibat aktivitas manusia. Namun demikian, dalam skala lokal perlu juga dilakukan tindakan untuk mengurangi tekanan antropogenik sehingga akan meningkatkan kemampuan karang dalam beradaptasi terhadap perubhana alam dan juga dapat meningkatkan kemampuan karang dalam pemulihan (Rani 2007). Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu, termasuk pengalaman sejarah hidupnya (Nystrom dan Folke 2001 dalam Bachtiar 2009) Penelitian Transplantasi Terumbu Karang di Indonesia Di Indonesia, telah dilakukan beberapa penelitian transplantasi terumbu karang untuk melihat efisiensi dan efektifitas dari metode ini. Penelitian penelitian tentang transplantasi terumbu karang ini banyak dilakukan oleh instansi-instansi terkait, lembaga non-profit, serta penelitian dari mahasiswa. Pada tahun 2009, terdapat penelitian yang telah dilakukan oleh Wibowo di

36 Pulau Karya untuk spesies yang sama yaitu Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa. Pengamatan selama 3 bulan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan panjang dari kedua jenis ini lebih dominan dibandingkan pertumbuhan tingginya karena laju pertumbuhan lebar dari Pocillopora verrucosa adalah 4,94 mm/bulan dan laju pertumbuhan tinggnya adalah sebesar 3,70 mm/bulan. Sedangkan untuk jenis Stylophora pistillata, laju pertumbuhan lebar adalah 4,82 mm/bulan dan laju pertumbuhan tinggi sebesar 4,11 mm/bulan. Tingkat kelangsungan hidup dari kedua spesies ini juga tinggi yaitu 100% untuk Stylophora pistillata dan 90% untuk Pocillopora verrucosa. Kegiatan transplantasi ini dapat dikatakan berhasil karena telah melebihi 50%. Iswara pada tahun yang sama juga melakukan penelitian untuk spesies Pocillopora verrucosa di Pulau Kelapa dan memperoleh hasil 61,11% untuk tingkat kelangsungan hidup karang ini. Sedangkan laju pertumbuhan lebar dari jenis ini adalah sebesar 14 mm/bulan dan laju pertumbuhan tinggi sebesar 10 mm/bulan. Yudhasakti pada tahun yang sama juga melakukan penelitian mengenai spesies Stylophora pistillata di Pulau Kelapa dan memperoleh hasil 63,41% untuk tingkat kelangsungan hidup karang jenis ini. Besarnya laju pertumbuhan menunjukkan nilai sebesar 13 mm/bulan untuk lebar dan 10 mm/bulan untuk tinggi. Penelitian sebelumnya dapat dikatakan berhasil karena menunjukkan nilai kelangsungan hidup diatas 50%. Untuk penelitian terhadap jenis Pocillopora verrucosa yang dilakukan oleh Wibowo di daerah Pulau Karya, pertumbuhannya lebih lambat jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswara di Pulau Kelapa. Untuk jenis Stylophora pistillata juga menunjukkan pertumbuhan fragmen transplantasi di daerah pulau Karya lebih lambat jika dibandingkan dengan hasil penelitian di Pulau Kelapa. Namun tingkat kelangsungan hidup dari kedua jenis karang ini lebih baik di Pulau Karya jika dibandingkan dengan fragmen yang di transplantasi di daerah Pulau Kelapa. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, beberapa yang menjadi kendala dari pertumbuhan fragmen karang transplantasi ini adalah adanya persaingan dengan alga, arus yang kuat sehingga menyebabkan karang mudah hilang, serta waktu pengamatan yang terlalu pendek. Beberapa penelitian transplantasi yang pernah dilakukan di Indonesia disajikan dalam Lampiran1.

37 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di perairan Pulau Karya, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mulai dari 21 Juni 2010 hingga 21 Juli Penelitian ini merupakan kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) dengan China Offshore Oil Corporation (CNOOC). Rehabilitasi dengan metode transplantasi karang sudah berlangsung dari tahun 2008 dan terus diadakan pemantauan untuk melihat perkembangan dan tingkat keberhasilannya. Stasiun penelitian terletak pada 106 o 36 19,7 BT dan 05 o 44 04,9 LS. Kegiatan pengambilan data dilakukan pada bulan September 2010, Januari 1011, Mei 2011, dan Juli Pelaksanaan penelitian terdiri dari empat tahap, yaitu pengumpulan data, observasi lapangan, pengolahan, dan analisis data. Berikut adalah gambar dari lokasi penelitian (Gambar 5). Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

38 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk penelitian ini meliputi alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data pertumbuhan karang serta pengamatan parameter lingkungan. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan, dan pengambilan data pertumbuhan karang. No. Alat dan Bahan Keterangan 1. Peralatan selam (SCUBA) Peralatan penyelaman 2. Penggaris & Kaliper Pengukuran dimensi karang (Ketelitian penggaris: 1 cm 3. Kamera bawah air Keperluan dokumentasi 4. Sabak dan kertas newtop Pencatatan hasil pengamatan 5. Personal Computer Pengolahan data hasil pengamatan 6. Pensil Menulis data hasil pengamatan 7. GPS (Global Positioning System) Pencatatan titik lokasi pengamatan 8. Modul Media tempat ditanamnya fragmen karang 9. Fragmen karang Biota yang akan diamati 10. Cable ties Alat pengikat fragmen karang & nomor modul 11. Termometer air raksa Pengukur suhu ( C) 12. Secchi disc Pengukur kecerahan (%) 13. Turbidimeter Pengukur kekeruhan (NTU) 14. Floating droudge & stopwatch Pengukur kecepatan arus (m/s) 15. Hand refraktometer Pengukur salinitas ( ) 16. Spektofotometri Pengukur Nitrat (NO 3 -N), Amonia (NH 3 -N), dan Ortofosfat (PO 4 -P) (mg/l) 3.3. Metode Penelitian Penentuan stasiun pengamatan Lokasi stasiun ditentukan pada perairan Pulau Karya yaitu pada titik terletak pada 106 o 36 19,7 BT dan 05 o 44 04,9 LS. Stasiun pengamatan berada pada kedalaman 3 m hingga 9 m. Pada stasiun pengamatan ini terdapat 400 modul yang berupa meja beton dimana tiap modul diisi oleh 6 individu karang transplan yang disebut fragmen karang. Modul ini berfungsi sebagai substrat tempat tumbuhnya karang-karang transplantasi. Kegiatan pengambilan data dilakukan 4 kali yaitu pada bulan September 2010, Januari 1011, Mei 2011, dan Juli 2011.

39 Pengamatan pertumbuhan karang Pemilihan spesies yang ditransplantasikan dilakukan berdasarkan kelimpahannya yang cukup luas di sekitar lokasi penelitian sehingga fragmen karang dapat lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan dan mengurangi tingkat kematian fragmen karang. Dua spesies yang digunakan sebagai biota penelitian yaitu Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa. Gambar 6. Konstruksi fragmen karang yang ditransplantasikan (PKSPL-IPB 2009) Gambar 7. Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada modul transplantasi (PKSPL-IPB 2009)

40 Pengamatan pertumbuhan pada fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi pertumbuhan yang terdiri dari pertambahan panjang (panjang yang terpanjang) dan pertambahan tinggi (tinggi yang tertinggi) fragmen karang (Gambar 8). Pengukuran panjang dan tinggi karang menggunakan kaliper (jangka sorong) atau penggaris. Proses pengukuran dilakukan langsung di dalam air dengan menggunakan bantuan peralatan selam (SCUBA). Untuk mengukur kelangsungan hidup, tiap karang yang mati atau yang mengalami pemutihan akan dihitung dan dicatat. Gambar 8. Metode pengukuran contoh fragmen karang 3.4 Metode Analisis Data Pengukuran pertumbuhan karang Untuk menghitung pencapaian pertumbuhan karang yang di transplantasikan dari data hasil pengukuran dilakukan dengan menggunakan rumus : Keterangan : β = pertambahan panjang / tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lt = Rata-rata panjang / tinggi fragmen karang setelah bulan ke-t Lo = Rata-rata panjang / tinggi fragmen karang pada bulan ke-0

41 Laju pertumbuhan karang yang ditransplantasikan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sadarun 1999 dalam Wibowo 2009) : Keterangan : α = Laju pertambahan panjang atau lebar fragmen karang transplantasi L i+1 = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i+1 Lt = Rata-rata panjang atau tinggi fragmen pada waktu ke-i t i+1 = Waktu ke i +1 t = Waktu ke-i Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate ) Tingkat kelangsungan hidup karang dapat diketahui dengan membandingkan antara jumlah karang yang hidup pada akhir penelitian (Nt) dibandingakan dengan jumlah karang yang ditransplantasikan (No). Analisis data pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup dilakukan dengan menggunakan software Mirosoft Excel Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat klangsungan hidup adalah sebagai berikut (Ricker, 1975 dalam Wibowo 2009). Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup Nt = Jumlah individu akhir No = Jumlah individu awal

42 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011 Parameter Satuan September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Juli 2011 Baku Mutu a. Fisika Suhu a ⁰C ºC 1 Kekeruhan b NTU <5 1 Kecepatan Arus m/s Kecerahan b % b. Kimia Salinitas c Nitrat mg/l < <0.001 <0.026* Orthophosphat mg/l < < Ammonia mg/l Berdasarkan: KepMen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Keterangan:Untuk terumbu karang; (a). Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2ºC dari suhu alami; (b). Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic; (c) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman; (1) Alami : kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam, dan musim). (*) = menggunakan alat dengan ketelitian yang berbeda. Berdasarkan dari analisis parameter fisika dan kimia perairan di Pulau Karya, dapat diketahui bahwa perairan Pulau Karya dikatakan kurang baik karena beberapa parameter tidak memenuhi baku mutu. Suhu pada perairan ini berkisar antara 28 31,7ºC. Nilai ini dapat dikategorikan masih dalam batas yang normal, walaupun ada nilai suhu yang melebihi baku mutu yaitu pada bulan September 2010 sebesar 31,7ºC. Estradivari et. al. (2009) juga mengatakan bahwa suhu air di Kepulauan Seribu tercatat sebesar 28,5-30ºC pada musim barat dan 28-31ºC pada musim timur. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata antara musim barat dengan musim timur. Sedangkan menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara C. Sedangkan batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara C dan sekitar 36 C (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono,

43 2007). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan maupun penurunan suhu. Salah satu faktor utamanya adalah intensitas penyinaran dari cahaya matahari, selain itu cuaca pada saat pengambilan data juga berpengaruh karena semakin rendah intensitas cahaya matahari maka akan berbanding lurus juga dengan suhu perairan, begitu juga sebaliknya. Untuk nilai kekeruhan di perairan Pulau Karya, diperoleh kisaran nilai antara 0,23-3,50 NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada bulan September 2010 dan yang terendah terdapat pada bulan Mei Tingginya kekeruhan ini disebabkan oleh tingginya bahan organik, dan limpasan dari darat yang dibawa oleh arus. Air yang keruh maka akan mengandung banyak lumpur atau pasir maka hewan karang mengalami kesulitan untuk membersihkan dirinya. Hanya ada beberapa jenis yang mampu membersihkan dirinya dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya (Nontji, 2007). Intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan juga sangat dipengaruhi oleh faktor kekeruhan sehingga dapat mempengaruhi pola pertumbuhan karang. Cahaya merupakan suatu faktor penting lainnya dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan binatang karang hidupnya bersimbiosis dengan zooxanthellae yang melakukan proses fotosintesis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor kedalaman juga ikut membatasi kehidupan hewan karang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, persentase kecerahan mulai bulan September 2010 hingga Juli 2011 adalah sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sinar matahari yang dapat berpenetrasi dengan baik kedalam perairan. Sedangkan untuk kedalaman lokasi penelitian ini berada pada kisaran 3-9 m. Selama pengamatan berlangsung, diperoleh kecepatan arus dengan kisaran nilai antara 0,09-0,2 m/s. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2005) dalam Estradivari et. al. (2009) menyatakan bahwa arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian antara 0,5-1,175 m dan musim timur 0,5 1,0 m. Jika dikaitkan dengan referensi yang ada, kecepatan arus di wilayah ini masih tergolong normal. Arus diperlukan oleh karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Di samping itu juga untuk

44 membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan yang tenang dan terlindung (Nontji, 2007). Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti runoff, badai, dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,50-52,50 (Vaughan 1919; Wells 1932; dalam Supriharyono 2007). Salinitas yang diperoleh dari lingkungan perairan Pulau Karya ini adalah antara Nilai ini berada di bawah baku mutu untuk terumbu karang. Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2007), salinitas air laut rata-rata daerah tropis adalah sekitar 35, dan binatang karang hidup pada kisaran salinitas Nilai yang rendah maupun terlalu tinggi merupakan salah satu penyebab dari kematian terumbu karang. Banyaknya kandungan nutrien di perairan juga mempengaruhi komunitas terumbu karang. Pada skala komunitas, tingginya kandungan nutrien dapat menyebabkan berkembangnya sponge dan alga yang dapat mencegah melekatnya larva karang (Wilkinson 1987 dalam Sabarini 2001). Pada tingkat organisme, konsentrasi fosfat yang tinggi dapat menghentikan proses kalsifikasi (Simkiss 1964 dalam Sabarini 2001). Dari analisis kualitas air yang diperoleh, nilai Nitrat antara mg/l. Nilai terendah terdapat pada bulan September 2010 dan Mei 2011, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada bulan Januari Kadar nitrat pada bulan Desember sangat melebihi baku mutu yaitu sebesar 0,008 mg/l, dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pada bulan ini kandungan unsur hara di perairan Pulau Karya tinggi sehingga mempengaruhi kehidupan karang. Tingginya kadar dari unsur ini juga menjadi salah satu penyebab dari cepatnya pertumbuhan alga di sekitar terumbu karang. Untuk kandungan amonia, kadar terendah terdapat pada bulan Mei 2011 dengan nilai sebesar 0,006 mg/l dan kadar tertinggi terdapat pada bulan September 2010 dengan nilai 0,181 mg/l. Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan (Effendi 2003). Namun, karena nilai amonia tidak melebihi baku mutu

45 air laut untuk biota laut yang telah di tentukan, yaitu sebesar 0,3 mg/l maka dapat dikatakan bahwa kandungan unsur ini tidak mempengaruhi bagi kehidupan karang di perairan Pulau Karya. Untuk nilai kandungan ortofosfat berada diantara 0,002-0,013 mg/l. Nilai terendah terdapat pada bulan Juli 2011 yaitu sebesar 0,002 dan nilai tertinggi terdapat pada bulan Desember Nilai dari ortofosfat mulai menurun pada saat bulan Mei 2011, namun masih berada dalam batas baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0,015 mg/l. Menurut Hawker dan Connell (1992) dalam Sabarini (2001), rata-rata konsentrasi fosfat di daerah terumbu karang adalah sekitar 0,2 mg/lt, sedangkan untuk konsentrasi amonia dan nitrit ditambah nitrat adalah sekitar 0,17 mg/lt dan 0,34 mg/lt. Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen di perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003). Pada polutan nutrien, terumbu karang paling sensitif terhadap konsentrasi fosfat di perairan yang dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 90% atau kematian dengan adanya dua sampai tiga kali peningkatan konsentrasi fosfat di perairan (Hawker dan Connell 1992 dalam Sabarini 2001). Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu penentu dalam laju pertumbuhan karang adalah kesesuaian kadar fosfat dalam suatu perairan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibowo (2009) di perairan yang sama, hasil menunjukkan bahwa hasil kualitas air menunjukkan bahwa kondisi perairan ini masih baik karena dari beberapa parameter yang diamati, semua masih berada di dalam kisaran baku mutu yang telah ditentukan. Namun dari hasil dalam setiap pengamatannya menunjukkan hasil yang fluktuatif. Secara umum kondisi lingkungan perairan Pulau Karya memiliki kisaran suhu 28,0-29,5oC, salinitas berkisar antara PSU, kecepatan arus berkisar antara 0,03-

46 0,25 m/s, kekeruhan berkisar antara 0,80-1,32 NTU dan memiliki kecerahan 100% Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) Transplantasi Terumbu Karang Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada dua spesies karang hasil transplantasi di Pulau Karya, yaitu Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata selama 11 bulan diperoleh kelangsungan hidup yang berbeda-beda untuk setiap jenis tersebut. Tingkat kelangsungan hidup dari transplantasi terumbu karang ini merupakan suatu faktor penentu dari keberhasilan transplantasi terumbu karang. Persentase kelangsungan hidup transplantasi terumbu karang akan disajikan pada gambar 9 berikut. Gambar 9. Tingkat kelangsungan hidup transplantasi terumbu karang jenis Pocillopora verrucosa (n 1 = 52; n 2 = 43; n 3 = 36; n 4 = 36) dan Stylophora pistillata (n 1 = 44; n 2 = 36; n 3 = 24; n 4 =24). Pada awal penelitian, tingkat kelangsungan hidup Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata adalah sebesar 100% (Gambar 9). Jumlah individu pada saat awal penelitian adalah sebanyak 52 fragmen untuk terumbu karang jenis Pocillopora verrucosa dan untuk Stylophora pistillata terdapat 44 fragmen. Persentase kelangsungan hidup terus menurun dari awal penelitian hingga bulan Mei Pada bulan Januari 2010, kelangsungan hidup dari Pocillopora

47 verrucosa adalah sebesar 83% dan 82% untuk jenis Stylophora pistillata. Untuk bulan Mei 2011, tingkat kelangsungan hidup dari Pocillopora verrucosa adalah sebesar 69% dan 55% untuk jenis Stylophora pistillata. Sedangkan pada akhir penelitian, yaitu bulan Juli 2011, besarnya kelangsungan hidup dari kedua jenis terumbu karang ini sama dengan bulan Mei Menurut Harriot dan Fisk 1998 dalam Pratama 2005, suatu kegiatan transplantasi karang dapat dikatakan berhasil apabila tingkat kelangsungan hidupnya sebesar %. Hasil ini dapat terjadi apabila karang ditansplantasikan pada habitat yang kurang lebih sama dengan tempat dimana karang tersebut diambil, khususnya dalam pergerakan, kedalaman, dan kekeruhan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa transplantasi yang dilakukan untuk kegiatan penelitian ini berhasil dengan tingkat kelangsungan hidup pada akhir penelitian untuk fragmen jenis Stylophora pistillata sebesar 55% dan tingkat kelangsungan hidup untuk fragmen jenis Pocillopora verrucosa sebesar 69%. Walaupun kedua jenis karang ini diamati secara bersama-sama, namun dengan adanya faktor lingkungan maka menimbulkan hasil yang berbeda. Persentase kelangsungan hidup dari jenis-jenis karang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Reflus (2010) mengatakan kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan, yaitu suhu, cahaya, sedimentasi, salinitas, derajat keasaman (ph), kedalaman, gelombang, dan pergerakan arus air. Selain itu tingkat substrat dan orientasi dari karang dapat mempengaruhi rekruitmen, pertumbuhan koloni, dan tingkat kelangsungan hidup dari juvenile karang. Larva planula cenderung memilih substrat keras dibandingkan substrat lunak, tingkat kelangsungan hidupnya sangat rendah. Berdasarkan percobaan di lapang oleh Charles Birkeland dikemukakan bahwa tingkat pertumbuhan larva lebih cepat pada permukaan mendatar substrat buatan, tetapi tingkat kelangsungan hidupnya akan lebih tinggi pada permukaan vertikal substrat buatan. Tingkat pertumbuhan koloni lebih cepat pada perairan dangkal, namun tingkat kelangsungan hidup akan lebih besar pada perairan dengan kedalaman intermediate dan nutrisi rendah (Birkeland 1977 dalam Sabarini 2001). Salah satu awal mula dari penyebab matinya karang adalah karena pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang adalah suatu respon dari

48 meningkatnya suhu air laut. Selain itu, pemutihan karang terlalu melewati batas dapat langsung mematikan terumbu karang, memperlemah terumbu karang, mempengaruhi reproduksi, mengurangi pertumbuhan dan kalsifikasi, serta dapat menyebabkan terumbu karang mudah terkena penyakit. Walaupun terumbu karang dapat memulihkan diri dari pemutihan karang, namun tingkat dari stres karang juga dapat menunjukkan hasil permanen yang signifikan. Hal yang mempengaruhi pertumbuhan karang juga adalah adanya predator dan persaingan hidup dengan sponge (gambar 10) alga (Burke dkk. 2011). Menurut Edwards dan Gomez (2007) jika terumbu karang tertekan oleh aktivitas manusia seperti penangkapan berlebih, limpasan sedimen, dan nutrisi, maka daerah tersebut besar kemungkinannya tidak mampu pulih kembali dari gangguan berskala besar. Gambar 10. Karang yang bersaing dengan sponge Gambar 11. Karang yang bersaing dengan alga

49 Hariot dan Fisk (1988) dalam Subhan (2003) menyatakan bahwa, transplantasi koral adalah suatu metode penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan fragmentasi dimana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu. Transplantasi koral bertujuan untuk mempercepat regenerasi dari terumbu karang yang telah mengalami kerusakan atau sebagai cara untuk memperbaiki daerah terumbu karang. Proses pengangkutan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan transplantasi. Pengangkutan koral di atas dek kapal yang terlindung selama satu jam, tidak berbeda nyata dengan pengangkutan di dalam air. Bila terkena udara selama dua jam, tingkat keberhasilan berkisar antara 50-90% dan bila terkena udara selama tiga jam, maka tingkat keberhasilan menjadi 40-70%. Tingkat kelangsungan hidup karang jenis Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Wibowo (2009) di perairan yang sama. Pada penelitian selama 6 bulan, tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh adalah 90% untuk jenis Pocillipora verrucosa. Sedangkan untuk karang jenis Stylophora pistillata menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu sebesar 100% dari awal hingga akhir penelitian Ukuran Fragmen Transplantasi Karang Ukuran pertumbuhan dari fragmen terumbu karang yang di transplantasikan sejak awal penelitian yaitu bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011 menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Rata-rata fragmen Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata dari bulan September 2010 hingga Juli 2011 disajikan dalam gambar 12 dan 13.

50 Gambar 12. Rata-rata pertumbuhan karang jenis Pocillopora verrucosa (September 2010-Juli 2011); (n 1 = 52; n 2 = 43; n 3 = 36; n 4 = 36) Gambar 13. Rata-rata pertumbuhan karang jenis Stylophora pistillata (September 2010-Juli 2011); (n 1 = 44; n 2 = 36; n 3 = 24; n 4 =24) Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa rata-rata lebar dari Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata berbeda-beda, begitu juga untuk rata-rata tinggi Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata. Pada awal penelitian, lebar dari Pocillopora verrucosa 19,42 cm dan terus tumbuh hingga akhir penelitian yaitu bulan Juli 2011 sebesar 24,36 cm (Gambar 12). Sedangkan untuk tinggi pada saat awal mula penelitian adalah sebesar 11,33 cm pada bulan September 2010, 14,03 cm untuk bulan Januari 2011, kemudian 15,07 cm untuk bulan Mei 2011, dan 15,44 cm untuk bulan Juli Jenis Stylophora pistillata (Gambar 13), lebar pada saat awal pengamatan adalah sebesar 10,53 cm untuk bulan September 2010, kemudian terus bertambah lebar menjadi 10,84 cm untuk

51 bulan Januari 2011 dan 15,13 cm untuk bulan Mei 2011 dan 15,25 cm pada bulan Juli Tinggi yang dicapai oleh jenis ini terus meningkat dari bulan awal hingga akhir penelitian yaitu sebesar 7,36 cm (September 2010), 9,25 cm (Januari 2011), 12,05 cm (Mei 2011), dan 12,11 cm (Juli 2011). Terdapat beberapa karang yang tumbuhnya kurang baik. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah karena adanya beberapa karang yang patah. Patahnya karang ini dapat disebabkan oleh adanya kegiatan wisata disekitar perairan tersebut yang kurang baik seperti kegiatan snorkeling maupun diving (menyelam) yang tidak dilandasi dengan edukasi untuk tidak menginjak ataupun berpegangan pada karang sehingga dapat menyebabkan patahnya karang (Gambar 14). Selain itu, suhu yang berfluktuasi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Gambar 14. Karang yang patah akibat aktivitas disekitar daerah transplantasi Menurut Moor (1958) dalam Alhusna (2003) habitat memiliki efek yang besar terhadap sifat dan laju pertumbuhan. Sifat dari habitat memiliki pengaruh yang besar terhadap tipe pertumbuhan dan jenis karang. Selain itu, lambatnya pertumbuhan karang juga dipengaruhi oleh suhu, karena suhu pada saat penelitian berkisar antara 28-31,7 C dan Nybakken (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan yang paling optimum terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya C. Berdasarkan hasil penelitian Wibowo pada tahun 2009, rata-rata pertumbuhan fragmen jenis Pocillopora verrucosa selama 3 bulan adalah sebesar 0,9 cm untuk pertumbuhan lebar dan 0,8 cm untuk pertumbuhan tinggi. Sedangkan untuk jenis Stylophora pistillata, hasil penelitian menunjukkan nilai sebesar 1,34 cm untuk pertumbuhan lebar dan 1,1 cm untuk pertumbuhan tinggi.

52 4.4. Laju Pertumbuhan Rata-rata Jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan (growth form) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara taksonomi berbeda. Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kedalaman, arus, dan topografi dasar perairan (Wood 1977 dalam Reflus 2010). Sebagai contoh beberapa jenis Pocillopora (terutama P. demicornis dan P. verrucosa) menunjukkan pertumbuhan menurut kondisi lingkungan dan lokasi geografis. Pada perairan dangkal karang terpapar oleh aksi gelombang yang besar sehingga sebagian besar jenis Pocillopora relatif stagnan dalam pertumbuhannya, sementara pada perairan yang dalam, cenderung memiliki pertumbuhan cabangcabang pipih dan terbuka. Dalam gambar 15 dan 16, akan terlihat besarnya laju pertumbuhan rata-rata dari karang jenis Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata. Gambar 15. Laju pertumbuhan rata-rata Pocillopora verrucosa (September 2010-Juli 2011)

53 Gambar 16. Laju pertumbuhan rata-rata Stylophora pistillata (September 2010-Juli 2011) Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh untuk jenis Pocillopora verrucosa (Gambar 15) dapat dilihat laju pertumbuhan rata-rata lebar terus menurun, yaitu dari 3,13 cm/4 bulan (September Januari 2011), 1,45 cm/4 bulan (Januari Mei 2011) hingga 0,36 cm/2 bulan (Mei Juli 2011). Laju pertumbuhan tinggi juga menurun sejak awal penelitian yaitu 2,69 cm/4 bulan untuk bulan September Januari 2011, lalu sebesar 1,04 cm/4 bulan pada Januari 2011 Mei 2011 menjadi 0,37 cm/2 bulan pada Mei 2011 Juli Dari gambar 15, dapat disimpulkan bahwa, fragmen terumbu karang jenis Pocillopora verrucosa pertumbuhan lebarnya lebih dominan dibandingkan pertumbuhan tinggi. Rata-rata hasil penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2009) untuk jenis ini adalah sebesar 0,49 cm per bulan untuk lebar dan 0,37 cm per bulan untuk tinggi. Pada gambar 16, dapat kita lihat bahwa pertumbuhan lebar Stylophora pistillata meningkat sejak awal penelitian lalu kemudian menurun di akhir. Nilai yang ditunjukkan untuk laju pertumbuhan rata-rata lebar adalah sebesar 0,31 cm/4 bulan pada bulan September Januari 2011, 4,29 cm/4 bulan pada pengambilan data berikutnya (Januari 2011 Mei 2011), dan 0,11/2 bulan pada akhir pengambilan data (Mei 2011-Juli 2011). Laju pertumbuhan rata-rata tinggi, besarnya nilai pada awal penelitian adalah 1,88 cm/4 bulan, lalu 2,81 cm/4 bulan pada pengamatan bulan Januari Mei 2011, dan 0,06 cm/2 bulan pada bulan Juli Dalam pengamatan Wibowo (2009) untuk jenis Stylophora pistillata, hasil menunjukkan nilai rata-rata 0,32 cm per bulan untuk lebar dan 0,29 cm per

54 bulan. Berbedanya laju pencapaian terumbu karang ini diduga karena faktor berbedanya selang waktu dalam pengambilan data, sehingga menyebabkan laju pencapaian pertumbuhan yang berbeda. Adanya faktor lain juga dapat mempengaruhi dari laju pencapaian ini. Menurut Loya (1976) dalam Boli (1994), pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen. Dalam bukunya, Supriharyono (2007) juga menerangkan bahwa di samping faktor fisika, faktor biologis yaitu para predator karang juga tidak kalah penting pada kerusakan karang. Beberapa contoh predator karang adalah bintang laut berduri, bulu babi, dan Drupella rugosa. Beberapa jenis ikan karang yang diketahui juga merupakan perusak karang adalah ikan kakak tua (Scarrus spp). Kedalaman air diketahui juga menentukan pertumbuhan terumbu karang. Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2007). Terumbu karang juga lebih akan berkembang pada daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang, karena bersamaan dengan itu gelombang akan memberi oksigen dalam air laut, menghalangi pengendapan koloni karang, dan akan mendatangkan makanan untuk koloni karang berupa plankton (Nybakken 1992). Jika dibandingkan dengan penelitian lainnya (Tabel 3), kegiatan transplantasi dengan menggunakan spesies Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata dapat dikatakan berhasil karena tingkat kelangsungan hidup atau survival rate dari kedua jenis ini berada pada rentang 50% - 100% sehingga dapat dikatakan cocok untuk kegiatan transplantasi. Namun nilai laju pertumbuhan

55 lebar maupun tinggi dari jenis-jenis ini berbeda. Seperti yang telah diteliti sebelumnya, perbedaan ini dapat saja terjadi karena kondisi perairan tempat kegiatan transplantasi ini berbeda-beda. Laju pertumbuhan yang paling baik berdasarkan penelitian sebelumnya adalah di Pantai Selatan Bunaken dengan nilai panjang sebesar 19,23 mm/bulan. Tabel 3. Penelitian transplantasi karang Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata di Indonesia Lokasi Pantai Selatan Bunaken (Supit 2000) Pantai Malalayang (Supit 2000) Spesies Pocillopora damicornis Lama Penelitian 6 bulan Laju Pertumbuhan (mm/bulan) SR (%) P = 19,23 - P = 15,95 - Pengamatan Pengukuran pertumbuhan dengan Alizarin-Reds Substrat dan perlakuan - Selatan Pulau Pari (Syahrir 2003) Pulau Karya (Wibowo 2009) Pulau Kelapa (Yudhasakti 2010) Pulau Kelapa (Iswara 2010) P. damicornis 6 bulan P. verrucosa Stylophora pistillata S. pistillata Pocillopora verrucosa 3 bulan 6 bulan (per dua bulan) 6 bulan (per dua bulan) T = 3,7 ; D = 5,4 P = 4,94; T = 3,70 P = 4,82; T = 4, P = 13; T = 10 63,41 P=14; T=10 61,11 Rasio pertumbuhan diameter koloni dan tinggi koloni karang 76 Laju pertumbuhan dan tingkat 92,75 kelangsungan hidup Laju pertumbuhan per dua bulan dan tingkat kelangsungan hidup Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami.

56 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada awal penelitian, tingkat kelangsungan hidup Pocillopora verrucosa dan Stylophora pistillata adalah 100%. Jumlah individu pada saat awal penelitian adalah 52 fragmen untuk terumbu karang jenis Pocillopora verrucosa dan untuk Stylophora pistillata terdapat 44 fragmen. Pada bulan Januari 2011, kelangsungan hidup dari Pocillopora verrucosa sebesar 83% dan 82% untuk jenis Stylophora pistillata. Bulan Mei 2011, tingkat kelangsungan hidup dari Pocillopora verrucosa menunjukkan nilai sebesar 71% dan 61% untuk jenis Stylophora pistillata. Sedangkan pada akhir penelitian, yaitu bulan Juli 2011, besarnya kelangsungan hidup dari kedua jenis terumbu karang ini sama dengan bulan Mei Kegiatan transplantasi ini dapat dikatakan berhasil karena tingkat kelangsungan hidupnya diatas 50%. Nilai laju pertumbuhan rata-rata lebar Pocillopora verrucosa menunjukkan penurunan, yaitu dari 3,13 cm/4 bulan (September Januari 2011), 1,45 cm/4 bulan (Januari Mei 2011) hingga 0,36 cm/2 bulan (Mei Juli 2011). Laju pertumbuhan tinggi juga menurun sejak awal penelitian yaitu 2,69 cm/4 bulan untuk bulan September Januari 2011, lalu sebesar 1,04 cm/4 bulan pada Januari 2011 Mei 2011 menjadi 0,37 cm/2 bulan pada Mei 2011 Juli Nilai yang ditunjukkan untuk laju pertumbuhan rata-rata lebar Stylophora pistillata adalah sebesar 0,31 cm/4 bulan pada bulan September Januari 2011, 4,29 cm/4 bulan pada pengambilan data berikutnya (Januari 2011 Mei 2011), dan 0,11/2 bulan pada akhir pengambilan data (Mei 2011-Juli 2011). Laju pertumbuhan rata-rata tinggi, besarnya nilai pada awal penelitian adalah 1,88 cm/4 bulan, lalu 2,81 cm/4 bulan pada pengamatan bulan Januari Mei 2011, dan 0,06 cm/2 bulan pada bulan Juli 2011.

57 5.2. Saran Ada beberapa hal yang harus lebih diperhatikan apabila dilakukan penelitian lainnya di bidang transplantasi karang ke depannya agar lebih optimal. Beberapa hal tersebut adalah: 1. Perlu dilakukan penelitian dengan waktu pengambilan data yang konstan, sehingga dapat diketahui pertumbuhan dalam setiap pengambilan data secara tepat. 2. Perlu adanya pembanding dalam penelitian, seperti perlakuan penanaman ataupun pembersihan serta pertumbuhan alami di perairan sekitar.

58 DAFTAR PUSTAKA Alhusna IS Studi laju pertumbuhan induk koloni dan fragmen transplan pada transplantasi karang spesies Acropora formosa dan Hydnopora rigida di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm. Bachtiar I Mengubah teori menjadi aksi: kajian resiliensi terumbu karang, hal Prosiding Simposium Nasional Terumbu Karang II Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. COREMAP II. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Boli P Respon Pertumbuhan Karang Batu Pada Kondisi Lingkungan Perairan yang Berbeda di Kepulauan Seribu. [tesis]. Program Pascasarjana FPIK-IPB Burke L, K Reytar, M Spalding, dan A Perry Reef at Risk Revisited. World Resources Institute. Washington D. C. 130 hlm. Castro P. dan ME Huber Marine Biology (Sixth Edition). McGraw-Hill Companies, Inc. New York. United States of America. p (Dephut) Departemen Kehutanan Taman Nasional di Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Lestari Hutan Indonesia, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Dhahiyat Y, D Sinuhaji, dan H Hamdani Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi Indonesia. 3(2): Edwards AJ dan ED Gomez Konsep dan panduan restorasi terumbu : membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. [Terjemahan dari Reef restoration concepts and guidelines : making sensible management choices in the face of uncertainty]. Yusri, Estradivari S, Wijoyo NS, & Idris (penerjemah). Yayasan TERANGI. Jakarta. 38 p. Effendi H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Estradivari, M Syahrir, N Susilo, S Yusri, S Timotius Terumbu Karang Jakarta :Pengamatan jangka panjang terumbu karang kepulauan seribu ( ). Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Jakarta. Herianto K Kebijakan Transplantasi Karang di Indonesia, hal Dalam: Membuka wawasan masyarakat mengenai transplantasi karang

59 untuk menumbuhkan kepedulian terhadap ekosistem terumbu karang. Soedharma, D., M.F. Rahardjo, Sri E.S., Dondy A. (ed). Prosiding Seminar Transplantasi Karang 8 September Bogor. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Nontji A Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hlm Nybakken JW Biologi laut : Suatu pendekatan ekologis. Terjemahan. Gramedia Pustaka Tama. Jakarta. 480 hlm. Pratama J Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Karang Pocillopora, Seriatopora, dan Heliopora Dalam Transplantasi Karang Di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prawidya R Tingkat Kelangsungan Hidup, Laju Pertumbuhan, dan Rasio Pertumbuhan Beberapa Jenis Karang Batu (Stony Coral) Yang Ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rani C Perubahan Iklim: Kaitannya dengan terumbu karang, hal Jompa J, Nezon E, Sadarun B, Lestari ET. (ed). Prosiding Munas Terumbu Karang I Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. COREMAP II. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan. Reflus RI Pengamatan Terumbu Karang Berdasarkan Lifeform dengan Metode Transek Garis, Transek Titik, dan Transek Kuadrat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sabarini EK Studi Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Morfometrik Pertumbuhan Karang (Lifeform) di Area PLTU Paiton Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soedharma D. dan Subhan B Transplantasi karang saat ini dan tantangannya di masa depan, hal Jompa J, Nezon E, Sadarun B, Lestari ET. (ed). Prosiding Munas Terumbu Karang I Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. COREMAP II. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan. Subhan B Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Karang Jenis Euphyllia sp (Dana 1846), Plerogyra sinosa (Dana 1846) dan Cynarina lacrymalis (Edwards and Haime 1848) yang ditransplantasikan di Perairan Pulau Pari, Jakarta. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor

60 Suharsono Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di perairan Indonesia. P30-LIPI. Jakarta. 116 hlm. Suharsono Jenis-jenis karang Indonesia. LIPI Press, anggota Ikapi. Jakarta. Supriharyono Pengelolaan ekositem terumbu karang. Penerbit Djambatan. Jakarta. Suwignyo S, Widigdo B., Wardiatno Y., Kristanti M Avertebrata air. Penebar Swadaya. Jakarta. Syahrir M Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang Scleretenia, Coenohecalia, dan Stolonifera yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 hlm. Veron JEN Corals of the World. Volume 1. Australia. Westmacott S, K Teleki, S Wells dan JM West. (2000). Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. vii + 36 pp Wibowo AS Analisis Kecepatan Pertumbuhan dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

61

62 Lampiran 1. Beberapa penelitian transplantasi terumbu karang di Indonesia Lokasi Spesies Lama Penelitian Laju Pertumbuhan (mm/bulan) SR (%) Pengamatan Substrat dan perlakuan Acropora tenuis 32,6-33,3 90 A. formosa 45,8-46,3 83,33 A. hyachintus 43,8-44,4 100 Pulau Pari (Sadarun 1999) A. divaricata 31,9-32,2 100 A. nasuta 47,9-48, bulan A. yongei 48,8-49,1 100 A. aspera 33,0-33,3 100 Pertambahan tunas dan perambatan pada substrat keramik Substrat keramik, patok bambu. Fragmen dibersihkan. A. digitifera 21,1-24,3 100 A. valida 49,0-41,2 100 A. glauca 20,1 100 Zona Windward, Leeward, dan goba Pulau Pari (Johan 2000) Pantai Selatan Bunaken (Supit 2000) Pantai Malalayang (Supit 2000) Zona Windward dan Leeward P.Pari (Haris 2000) Utara dan Selatan Pulau Pari (Cahyadi 2001) Selatan Pulau Pari (Herdiana 2001) Selatan Pulau Pari (Aziz 2001) A. formosa 3,7 89 A. donei 6 bulan 1,6 97 A. acuminata 4,2 90 Pocillopora damicornis Sarcophyton trocheliophorum Lobophytum strictum Porites nigrescens Montipora digitata A. micropthalma A. intermedia A. intermedia 6 bulan 4 bulan 5 bulan 5 bulan Jumlah cabang dan perambatan pada substrat keramik P = 6,48 P = 5, Pengukuran pertumbuhan dengan Alizarin-Reds P = 19,23 83,33 P = 15,95 76,67 P potong atas = 13,2 P potong tengah = 16,8 P potong bawah = 13,1 P potong atas = 11,2 P potong tengah = 16,8 P potong bawah = 14,3 P = 90 ; L = 139 / P = 103 ; L = 82,2 P = 104 ; L = 154 / P = 127 ; L = ,33 / 66,67 83,33 / 79,17 T = 2,5 ; P = 2,5 66,67 Millepora tenela T = 2,8 ; L = 4,7 100 Trachypillia 6 bulan geoffroyi T = 6 ; L = 9 33,33 Wellsophyllia radiata T = 7 ; L = 12 66,67 Pemotongan berbeda Usia koloni berdasarkan potongan pada karang Posisi penanaman (vertikal dan horizontal) Rasio pertumbuhan lebar dan tinggi koloni karang Substrat keramik. Fragmen dibersihkan. - Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.

63 Lampiran 1. (Lanjutan) Selatan Pulau Pari (Alhusna 2002) Selatan Pulau Pari (Subhan 2002) Selatan Pulau Pari (Syahrir 2003) Pulau Pari (Prawidya 2003) Perairan Tabolong, Kupang (Kaleka 2004) A. formosa Hydnopora rigida Euphyllia sp. Cynarina lacrymalis Plerogyra sinuosa Heliopora corerolea Tubipora musica Seriatopora hystrix 5 bulan 6 bulan 6 bulan 1. P = 8,3 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,3 2. P = 14,1 ; L1 = 16,7 ; L2 = 14,3 1. P = 4,6 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,5 2. P = 5,4 ; L1 = 6,1 ; L2 ; 5,1 T = 1,4 ; L = 2,7 ; P = 2,8 T = 0,3 ; L = 2,2 ; P = 1,1 T = 2,2 ; L = 1 ; P = 1, T = 4,2 ; D = 10,6 100 T = 2,5 ; D = 3,6 55,56 T = 7,4 ; D = 12,6 100 P. damicornis T = 3,7 ; D = 5,4 100 M. foliosa T = 4,9 ; D = 6 66,67 M. spumosa M. porites Pavona cactus H. rigida A. valensiennesi A. brueggenanni 5 bulan 2 bulan T = 18,27 ; L = 23,14 T = 18,26 ; L = 26,53 T = 22,96 ; L = 26,99 T = 35,89 ; L = 48,00 Perbandingan laju petumbuhan koloni induk (1) dan koloni transplan (2) 77,78 Laju pertumbuhan 22,22 dan tingkat kelangsungan 33,33 hidup 88, , P = P = 6, A. formosa P = 6,7 100 Rasio pertumbuhan diameter koloni dan tinggi koloni karang Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Laju pertumbuhan, pertambahan tunas, tingkat ketahanan hidup Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat gerabah jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan. Substrat beton. Stasiun 1 (3 bulan) L = 5 ; T = 3 - Stasiun 1 (5 bulan) L = 9 ; T = 3 - Stasiun 2 (3 bulan) L = 5 ; T = 3 - Bali (Alfaridy 2009) Acropora spp. Stasiun 2 (5 bulan) Stasiun 3 (3 bulan) L = 10 ; T = 3 - L = 4 ; T = 3 - Laju pertumbuhan Substrat berupa batu besar. Fragmen dibersihkan. Stasiun 3 (5 bulan) L = 8 ; T = 3 - Stasiun 4 (3 bulan) L = 4 ; T = 2 - Stasiun 4 (5 bulan) L = 8 ; T = 2 -

64 Lampiran 1. (Lanjutan) Pulau Karya (Wibowo 2009) Pulau Kelapa (Yudhasakti 2009) Pulau Kelapa (Iswara 2010) P. verrucosa Stylophora pistillata Montipora spp. 3 bulan P = 4,94; T = 3,70 76 Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan P = 4,82; T = 4,11 92,75 hidup P = 13; T = 7 53,33 Laju Porites spp. 6 bulan (per P = 9; T = 8 76,12 dua bulan) S. pistillata P = 13; T = 10 63,41 Acropora spp. P= 19; T=14 78,44%, Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa 6 bulan (per dua bulan) P=17; T=11 P=14; T=10 74,19% 61,11% pertumbuhan per dua bulan dan tingkat kelangsungan hidup Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami.

65 Lampiran 2. Alat-alat yang digunakan Housing underwater camera Kamera Alat SCUBA Pereaksi kimia Secchi disk Floating droadge Refraktometer

66 Lampiran 2 Alat-alat yang digunakan (Lanjutan) Jangka sorong Thermometer Global Positioning System (GPS) Botol sampel

67 Lampiran 3. Foto perbandingan karang transplantasi Pocillopora verrucosa September 2010 Juli 2011 Lampiran 4. Persaingan transplantasi karang dengan alga

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Menurut Departemen Kehutanan (2007), Kepulauan Seribu memiliki sedikitnya 3 unsur yang memberikan warna dan kekuatan sebagai taman nasional, yaitu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang dapat menghasilkan kerangka

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota laut khususnya terumbu karang. Parameter yang tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang mempakan habitat laut yang penting di perairan tropis yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak serta sebagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

ANALISIS KECEPATAN PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG

ANALISIS KECEPATAN PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG ANALISIS KECEPATAN PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KEBERHASILAN TRANSPLANTASI KARANG Stylophora pistillata DAN Pocillopora verrucosa DI PERAIRAN PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU AGUS SETIAWAN WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo 3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Terumbu karang merupakan kumpulan komunitas karang, yang hidup di dasar perairan, berupa batuan kapur (CaCO 3 ), dan mempunyai kemampuan untuk menahan gaya gelombang

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( Biologi) oleh : Yosephine Tuti Puslitbang Oseanologi - LIPI EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (BIOLOGI) I. EKOSISTEM TERUMBU KARANG / CORAL REEFS II. EKOSISTEM LAMUN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

G U B E R N U R SUMATERA BARAT No. Urut: 10, 2015 G U B E R N U R SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG REHABILITASI TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora nobilis, DAN Montipora altasepta, HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU

LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora nobilis, DAN Montipora altasepta, HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU LAJU PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora nobilis, DAN Montipora altasepta, HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU KARYA, KEPULAUAN SERIBU Linggom Sahat Martua Simanjuntak C24070007 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sekitar 78 % wilayah Indonesia merupakan perairan sehingga laut dan wilayah pesisir merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Di kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG

ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU SUDONO ISWARA SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suharsono (2008) mencatat jenis-jenis karang yang ditemukan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suharsono (2008) mencatat jenis-jenis karang yang ditemukan di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Terumbu Karang di Indonesia Suharsono (2008) mencatat jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sebanyak 590 spesies yang termasuk dalam 80 genus karang. Terumbu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM

INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM INTERAKSI ANTAR KOMPONEN EKOSISTEM 1. Interaksi antar Organisme Komponen Biotik Untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan, setiap organisme melakukan interaksi tertentu dengan organisme lain. Pola-pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plankton merupakan salah satu jenis biota yang penting dan mempunyai peranan besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam air atau

Lebih terperinci