INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR"

Transkripsi

1 INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR (Studi Kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan LSM Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa (LPS DD) Republika) HUSAIN ASSA DI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Independensi LSM di tengah Kepentingan Lembaga Donor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2008 Husain Assa di NRP A ii

3 ABSTRACT The top-down development approach has been failed in bringing prosperity to Indonesia. The model of development approach by the NGO become an alternative model of development before. But this approach is also not free from problems, the indicator is from rapid development of NGOs cannot reduce the poverty in Indonesia. Each development agencies including NGOs cannot be separated from the various interests. Form of interest relationship happens between NGOs and Donors.This study would like to answer the question that is donors infleunce of the independence of NGOs. In order to answer the research question, the writer is using qualitative method. The financial arrangement network, action, interest, motives and NGOs ideology are the main focus of this study. Two NGOs are observed, namely Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) and Lembaga Pertanian Sehat (LPS). The first NGO is more dependent to international donor where as the second is more dependent to local donor. The first NGO is working at region wide, while the second on local level. This study resulted that LKTS and LPS were dependent in the financial aspect. LKTS was also dependent in action aspects but LPS was independent in this aspect. The NGOs differences were in independences financial aspects and the action. They appeared on the characteristics of the donor, where LKTS collect funds from foreign donors with a greater interest agenda while LPS collect funds from the community in a participatory management of the trust to LPS. In addition, Factors that affected the independence of NGOs to the characteristics of donors were the change that also influenced by internal factors, namely: 1. Militancy of NGOs ideology, 2. Fund, 3. NGOs Achievements be the strength variabel in negotiations. Shifting in NGOs Ideology orientation was not directly caused by the donor, but because of the greater increased in financial needs. This occured because of the NGOs increasing demand activities (Operational Costs, developing events, staff, and other budget support). Needs should be fulfilled by NGOs to be able to maintain its existence. In the development perspective, NGOs did not necessarily become a social movement organization which realised the dream of success bottom up approach. NGOs that had established its first platform as an independent institution from outside interests and the interests of a civil (civil sphere) appeared to have the problem in dependency on the donor in the field of financial and actions. In addition, NGO had also experienced in shifting ideology orientation. keywords: Social movement organization, NGO, development approach, local participation, empowerment iii

4 RINGKASAN HUSAIN ASSA DI. Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Di Tengah Kepentingan Donor. Studi kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) di Boyolali dan LSM Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di Bogor. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan SOERYO ADIWIBOWO Pendekatan pembangunan top down dinilai telah gagal dalam membawa kesejahteraan bagi Indonesia. Model pendekatan pembangunan oleh LSM menjadi alternatif dari model pembangunan sebelumnya. Tetapi pendekatan ini juga tidak bebas dari masalah, Indikasinya adalah pesatnya perkembangan LSM tidak menghasilkan penurunan kemiskinan di Indonesia. Setiap agen pembangunan termasuk didalamnya LSM, tidak lepas dari berbagai kepentingan. Bentuk hubungan kepentingan diantaranya hubungan antara LSM dan donor. Penelitian ini ingin mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi. Untuk menjawab rumusan permasalahan penelitian, penulis menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini adalah pada jejaring donor, aksi, kepentingan, motif, dan ideologi LSM. Dua LSM yang diteliti adalah Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan Lembaga Pertanian Sehat (LPS). LKTS lebih dependen dengan donor internasional sementara LPS dependen dengan donor lokal. LKTS berskala regional dan LPS berskala lokal. Penelitian ini mengungkapkan bahwa LKTS dan LPS dependen dalam aspek finansial. LKTS juga dependen dalam aspek aksi tetapi LPS independen dalam aspek ini. Perbedaan independensi LSM pada aspek finansial dan aksi di atas muncul dari karakteristik donor, dimana LKTS menghimpun dana dari donor asing dengan agenda kepentingan yang lebih besar dan LPS menghimpun dana masyarakat secara partisipatif dengan kepercayaan pengelolaan kepada LPS. Faktor yang mempengaruhi independensi LSM selain karakteristik donor, perubahan juga dipengaruhi oleh faktor internal juga dimana 1. Militansi ideologi LSM, 2.Kemapanan LSM dalam dana, 3. Kemapanan Kinerja LSM (Prestasi LSM) menjadi variabel kekuatan dalam negosiasi. Pergeseran orientasi ideologi LSM tidak disebabkan langsung oleh donor, tetapi karena meningkatnya kebutuhan finansial yang semakin besar. Kebutuhan ini terjadi karena meningkatnya aktifitas LSM (Biaya Operasional, pegembangan kegiatan, Staf, Anggaran pendukung lainnya). Kebutuhan tersebut perlu dipenuhi oleh LSM untuk bisa mempertahankan eksistensinya. Dalam perspektif pendekatan pembangunan, LSM tidak serta merta menjadi organisasi gerakan sosial yang mampu mewujudkan mimpi kesuksesan pendekatan bottom up. LSM yang memiliki platform awal berdiri sebagai lembaga yang independen dari kepentingan luar dan membawa kepentingan sipil (civil sphere) ternyata mempunyai masalah ketergantungan pada donor di bidang finansial dan aksi. Selain itu LSM juga mengalami pergeseran orientasi ideologi. iv

5 @ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB v

6 Judul Penelitian Nama NRP Program Studi : Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor : Husain Assa di : A : Sosiologi Pedesaan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr Ketua Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Tanggal ujian: 30 Januari 2009 Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal lulus: vi

7 PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia Nya sehingga Penulisan Tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih ialah Respons Komunitas dengan judul: Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah Kepentingan Donor. Terimakasih disampaikan kepada Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (Ketua Komisi Pembimbing), dan Dr. Soeryo Adiwibowo,MS (Anggota) atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Ir. Fredian Tonny, MS yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi. Penghargaan disampaikan pula kepada: - Rektor IPB Bogor, Dekan SPs, Dekan FEMA dan Ketua PS Sosiologi Pedesaan - Orang tua Ibu tercinta dan M. Yazid Chusnadi (Alm). - Isteri tercinta R. Desi Santika, SP serta ananda tersayang Muhammad Telaga Kautsar (Agas) dan Muhammad Pijar Azami (Pijar) atas kesabaran, doa kasih sayang serta motivasinya. - Aktivis LSM LKTS dan LPS - Rekan-rekan PS SPD khususnya S2 dan S3 Penulis mengharapkan kritik serta masukan demi penyempurnaan tulisan, serta pengembangan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada proses pendewasaan LSM yang sesuai dengan platform awal berdirinya. Semoga semua usaha kita selalu dituntun dan dirahmati oleh Allah SWT. Amin. Bogor, Januari 2009 Husain Assa di vii

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo, 27 Juli 1981 dari Anak kelima dari lima bersaudara pasangan Muhammad Yazid Chusnadi dan Sri Sulami. Penulis menempuh studi SD di Madrasah Muhammadyah 1 Trangsan di Sukoharjo, SMP Al Islam 1 Surakarta, SMU Negeri 4 Surakarta dan menyelesaikan Program Sarjana di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Ilmuilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga aktif berorganiasasi sejak SMP, tercatat sebagai Ketua OSIS SMP Al Islam 1 Surakarta, Ketua OSIS SMU Negeri 4 Surakarta, dan Ketua Harian Eksternal BKIM IPB. Saat ini penulis aktif sebagai direktur d sainku advertising, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang disain visual media. viii

9 GLOSSARY AUSAID BIMAS CO Cordaid CPSM CRP CRS CSO CSRO DAP DD Depkes FNS IAIN ICCO Inmendagri JAR JAS KSM KTNA KUT LKTS LPS LPSM LSM NGO NPS NPV NU NZAID NZODA OPT ORNOP P3S P3S PASTI PKL PKM PPM Probis QC RI SAE SDC Australian Aid Pembinaan Masyarakat Community Organizer Catholic Organisation for Relief and Development AID Community for Participatory Social Management Community Recovery Programme Catholic Relief Services Civil Socety Organization Civil Society Resource Organization Development of Australian People (Australian Embassy) Dompet Duafa Departemen Kesehatan Friedrich Naumann Stiftung Institut Agama Islam Negeri Inter-Church Organisation for Development Co-operation Instruksi Menteri Dalam Negeri Jejaring Aset Reform Jejaring Aset Sosial Kelompok Swadaya Masyarakat Kelompok Tani Nelayan Andalan Kredit Usaha Tani Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial Lembaga Pertanian Sehat Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat Non Government Oranization Nematoda Pengendali Serangga Nuclear Polyhedrosis Virus Nahdlatul Ulama New Zealand Aid New Zealand Overseas Development Agency Organisme Pengganggu Tanaman Organisasi Non Pemerintah Program Pemberdayaan Pertanian Sehat Program Pemberdayaan Petani Sehat Pestisida Hayati Pedagang Kaki Lima Pendidikan Keswadayaan Masyarakat Participation in Development Planning and Management Produksi dan Bisnis Quality Control Republik Indonesia Sehat, Aman, Enak Swiss Development and Cooperation ix

10 SDM SHO SHPI THK TNC UPS USAID UU Walhi WCC WWF YBKS YLKI ZISWAF Sumber Daya Manusia Self Help Organization Self Help Promoting Institute Tebar Hewan Kurban The Nature Conservation Usaha Pertanian Sehat United State Aid Undang-Undang Wahana Lingkungan Hidup Women Crisis Centre World Wide Foundation Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Zakat, Infaq, Shadawoh dan Wakaf x

11 DAFTAR ISI Abstract... iii Ringkasan... iv Halaman Pengesahan... vii Prakata... viii Riwayat Hidup... ix Glossary... x Daftar Isi... xi Daftar Tabel... xiv Daftar Matriks... xv Daftar Gambar... xvi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian BAB II PENDEKATAN TEORITIS LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM LSM dan Model Pengembangan Alternatif Perubahan Berencana; Narasi Negara dan Sipil Kerangka Pemikiran Hipotesis Pengarah BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Unit Analisis Strategi Penelitian Teknik Pengolahan dan Analisa Data xi

12 BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS Pengantar Sejarah LSM Lingkup Kerja LSM Fokus Isu yang diangkat Mitra Donor LSM Program Kegiatan Struktur Organisasi BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM Pengantar Sumber Dana LSM Pengelolaan, Monitoring dan Evaluasi Adaptasi keberlangsungan LSM dalam Pendanaan BAB VI ANALISIS AKSI LSM LKTS DAN LPS Pengantar Aksi LSM mulai Insiasi hingga Monitoring Aksi LSM LKTS Aksi LSM LPS Perbandingan Aspek Aksi LKTS dan LPS BAB VII DINAMIKA INDEPENDENSI LSM DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR Dinamika Pendanaan dan Ideologi LSM Dinamika Aksi LSM dan Ideologi LSM Pergeseran Orientasi Ideologi Independensi LSM xii

13 7.5 Implikasi Studi BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xiii

14 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman Tabel 1. Laporan Keuangan LKTS Tahun 2006 (Dilaporkan Tahun 2007) Tabel 2. Laporan Keuangan LPS Tahun Tabel 3. Perbandingan Sumber Dana LKTS Dan LPS (Persentase) xiv

15 DAFTAR MATRIKS Nomor Teks Halaman Matriks 1. Pengelolaan Dana LSM Matriks 2. Strategi LSM Menjaga Keberlangsungan Dana Matriks 3. Perbandingan Inisiasi, Aksi Dan Evaluasi LKTS Dan LPS Matriks 4. Ikhtisar Program LKTS Matriks 5. Ikhtisar Program LPS Matriks 6. Dinamika Sistem Pendanaan Dan Ideologi LSM Matriks 7. Dinamika Ideologi Dan Aksi LSM Matriks 8. Pergeseran Orientasi Ideologi Independensi LSM Matriks 9. Independensi LSM LKTS Dan LSM LPS xv

16 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan Di Indonesia Tahun Gambar 2. Kerangka Pemikiran Gambar 3. Alur Metodologi Penelitian Independensi LSM Gambar 4. Proporsi Sumber Dana LKTS Gambar 5. Proporsi Sumber Dana LPS Gambar 6. Alur Lembaga Donor Dan Pokok Kegiatan LKTS Gambar 7. Alur Sumber Dana Dan Pokok Kegiatan LPS xvi

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara berkembang dapat dipandang sebagai alternatif pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach) atau lebih dikenal dengan perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa yang disebut dengan pembangunan (Fakih, 2000). Modernisasi sebagai salah satu pendekatan pembangunan seringkali menempuh cara/mekanisme pertumbuhan sebagai strategi utamanya. Hal ini antara lain ditunjukkkan oleh diadopsinya Teori Rostow sebagai kerangka pembangunan. Teori ini menjelaskan adanya lima tahapan ekonomi dalam perkembangan suatu negara (Rostow, 1964). Dalam perjalanannya, teori ini telah menuai beragam kritik, diantaranya disampaikan oleh Frank (1973) dengan teori ketergantungan. Menurut Frank (1973), modernisasi ternyata membawa kemacetan ekonomi, krisis ekologi, serta kesengsaraan rakyat di dunia ketiga ketimbang kemajuan dan kemakmuran. Menurut Fakih (2000) praktek-praktek pembangunan selama ini selalu menekankan pengalihan modal, perencanaan formal, spesialisasi, dan pengendalian oleh pemerintah pusat. Teori-teori pembangunan konvensional yang dijadikan dasar sangat menekankan pentingnya meletakkan tanggung-jawab pengendalian dan pengalokasian sumber-sumber pembangunan pada pemerintahan terpusat, karena dengan demikian dianggap akan dapat dihasilkan 1

18 pengambilan keputusan yang optimal tentang investasi. Billah (1988) mengatakan bahwa pendekatan sistem komando atas pengelolaan sumber-sumber ini lebih sering menghasilkan pemantapan sistem patronase dan membangun proyekproyek ekonomi yang lembek, mengabaikan kemandirian, meningkatkan ketergantungan pada sumber-sumber luar, dan menggusur prakarsa lokal. Selain itu, pendekatan semacam ini cenderung mendorong ke arah otoritarianisme, dan pemusatan kekayaan dan kekuasaan politik. Sebagai tanggapan terhadap kecenderungan itu, kemudian muncullah suatu tuntutan agar pembangunan lebih berkiblat pada rakyat yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial yang mendukung pengembangan pengendalian, pertanggung-gugatan (accountability), prakarsa, dan kemandirian lokal. Pengalihan modal dilihat sebagai bukan masalah yang paling utama, dan sebaliknya prioritas diutamakan pada proses demokratisasi. Rakyat didorong untuk memobilisasikan dan mengelola sumber-sumber mereka sendiri. Dengan pendekatan yang terdesentralisasikan dan penekanan pada kemampuan mengorganisasikan-diri untuk mengelola sumber-sumber pembangunan seperti itu, pada umumnya akan dihasilkan suatu pengelolaan sumber-sumber yang lebih effisien dan produktif, peningkatan prakarsa dan pertanggung-gugatan lokal, dan penguatan disiplin ekonomi. Pendekatan seperti yang disebut terakhir ini seringkali digunakan oleh LSM yang pada prakteknya cenderung memiliki minat yang kuat dalam demokratisasi (Korten, 1987). Kegagalan penerapan modernisasi di Indonesia sudah selayaknya menjadi pelajaran berharga dalam menata kehidupan rakyat kedepannya. Pendekatan yang 2

19 mengagungkan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat secara lebih holistik hubungan manusia dengan alamnya telah nyata membawa kerusakan tidak saja pada alam tetapi juga telah dirasakan membawa petaka bagi manusia. Revolusi Hijau adalah contoh jalan yang baru kemudian diyakini telah merusak lingkungan dan tata sosial. Lenyapnya keanekaragaman hayati, resistensi hama, tanah jenuh karena overdosis pupuk dan hilangnya pola bertani yang ramah lingkungan adalah bukti bahwa kebijakan yang selama ini diambil salah. Selain itu, secara sosiologi pendekatan yang selama ini dilakukan dalam menata kehidupan bernegara lebih bersifat top down (Sheperd, 1998). Masyarakat cenderung dibiarkan pasif, dimanjakan dan dipaksa untuk melaksanakan program yang berasal dari atas tanpa adanya usaha memandirikan mereka. Revolusi Hijau dengan swasembada beras sebagai icon keberhasilan pada era 80-an menjadi bukti bahwa pendekatan top down bukan strategi yang tepat bagi pembangunan di Indonesia. Untuk itulah diperlukan strategi pembangunan yang tepat. Permasalahan pembangunan perdesaan sangatlah kompleks. Pada tataran paradigma pembangunan perdesaan, penekanan prioritas pemerintah terhadap pembangunan perdesaan masa lampau hanya kepada pembangunan pertanian yang goalnya semata-mata hanya menyediakan pangan, sehingga penekanan ini menciptakan banyaknya proyek-peroyek seperti; irigasi, gudang-gudang hasil produksi pertanian/ saprotan, pencentakan sawah, BIMAS dan KUT-KUT, yang semua proyek tersebut diikuti pula oleh kebijakan harga beras yang nilai tukarnya terhadap jenis komuditas lainnya relatif lebih rendah. 3

20 Pemerintah tidak mengalami kesulitan untuk menyediakan dana pembiayaan proyek-proyek pembangunan pada era tahun 70an hingga 90an, karena saat itu limpahan dollar yang mengalir ke pemerintah begitu dahsyatnya, berasal dari hasil nilai ekspor minyak dan gas bumi yang meningkat tiga kali lipat dari US$1,708 milyar menjadi US$5,153 milyar, selain itu adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan keuangan negara-negara luar, seperti misalnya penaman modal asing dan pinjaman hutan luar negeri. Jelas-jelas di depan mata, pemerintah berperan bagaikan sinterklas dalam melaksanakan pembangunan (Billah, 2000). Billah (2000) menjelaskan bahwa proyek-proyek tersebut di atas juga menjadi tanda tanya besar, jawaban dari kesemua proyek (wilayah pertanian dan wilayah pantai) adalah Proyek hanya menghasilkan fisik bagaikan yang terbengkalai. Lebih ironis lagi bagi masyarakat perdesaan, mereka mengalami; keterbatasan kesempatan kerja, disparitas pendapatan, keseluruhan hasil komoditas (pertanian, perikanan, kerajinan) tidak berkembang dan perekonomian lokal tidak tumbuh dan berkembang, dengan demikian gol yang nyata adalah kemiskinan pedesaan. Kejadian ini dikarenakan, model pendekatan dan pengelolaan pembangunan perdesaan oleh pihak pemerintah masa itu. Budiman (1998) menyebutkan adanya pola; otoriter instruksi, dominasi melalui birokrasinya, orientasi proyek, tidak mengotonomikan masyarakat perdesaan, dan tidak memperhatikan kerugian sosial dan kerugian sumberdaya alam. Orientasi stabilitas yang dilanjutkan dengan orientasi pertumbuhan dalam pembangunan, dianggap pemerintah sebagai mekanisme pemerataan pendapatan, 4

21 ternyata tidak berfungsi sama sekali. Peningkatan pendapatan hanya terjadi di lingkungan pemerintah dan swasta pada masyarakat lapisan atas, dengan kata lain nikmat limpahan dollar yang mengalir begitu mengesankan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia, sedangkan sebagian besar lainya justru menderita proses pemiskinan. Jurang kesejahteraan antara masyarakat lapisan atas dengan masyarakat lapisan bawah jelas-jelas semakin dalam dan melebar. Salah satu dari banyaknya kompleksitas permasalahaan yang menjadi tema sentral adalah kemisikinan struktural. Inti dari kemiskinan struktural adalah relasi antara suatu subyek dengan suatu obyek dan antara subyek dengan subyek yang merupakan bagian dari suatu sistem. Jadi permasalahan struktural adalah masalah kondisi dan posisi subyek - subyek/obyek -obyek dari struktur yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan/sistem dan fungsi dari komponen tersebut dalam keseluruhan fungsi dari sistem. Apabila masing-masing subyek dan obyek memiliki posisi dan kondisi yang timpang terwujud dalam pola relasinya, maka struktur tersebut dikatakan tidak adil. Ketidakadilan struktural ini semakin diperkuat lagi oleh sifat kemakmuran yang kumulatif. Artinya kemakmuran akan semakin menumpuk di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki otoritas, modal, pengetahuan dan keterampilan, sehingga orang-orang yang tidak memilikinya semakin kehilangan kesempatan untuk menikmati kemakmuran tersebut. Dengan demikian kemiskinan timbul sebagai produk dan ketidakadilan struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik yang berlaku. Kemiskinan adalah buatan oleh manusia, dari manusia dan terhadap manusia. 5

22 Ketimpangan-ketimpangan struktural tidak hanya menghalangi perkembangan suatu ekonomi nasional saja, tetapi juga akan memantapkan struktur ketidakadilan itu sendiri. Jadi, pembangunan perdesaan yang dilaksanakan oleh pemerintah ternyata hanya bersifat asistensialisme, yaitu lebih merupakan penghapusan gejala-gejala yang diperbanyak dengan show ke seantero dunia, sama sekali bukan penanganan sebab-sebab dari problema-problema yang dihadapi masyarakat. Artinya usaha pembangunan yang semata-mata mengutamakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi justru memantapkan, melangsungkan dan mempertajam ketimpangan-ketimpangan struktural yang sudah pasti tidak akan pernah menciptakan partisipasi, bahkan masyarakat menjadi statis, apatis dan tidak berdaya. Wacana pembangunan yang peduli pada lingkungan dan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat akar rumput muncul sebagai kritik atas kondisi di atas. Pembangunan yang mementingkan aspek ekologi dan aspek sosial selain ekonomi, akan membawa pada kondisi yang lebih ideal. Diperhatikannya aspek lingkungan dan masyarakat yang berdaya diyakini akan memberikan dampak positif terhadap keberlanjutan pembangunan (sustainable development). Sehingga kemajuan dan kemakmuran rakyat yang dicita-citakan itu dapat terwujud (Budiman, 1988). Shepherd (1998) mengkritik pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara yang cenderung top down, perlu adanya kelompok sosial yang mampu menggerakkan komunitas sehingga berdaya dimana publik mengenalnya sebagai 6

23 organisasi gerakan sosial. Gerakan masyarakat sipil yang memperkuat entitas ini berhadapan dengan pasar dan negara. Gerakan sosial yang terorganisir dengan baik, dimana rencana aksi kolektif mewujud dalam perancangan kegiatan nyata pada masyarakat akar rumput, diantaranya ditunjukkan oleh gerakan sosial akar rumput, yang dikenal luas sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia pada tahun 1970 sangatlah mengesankan bila ditinjau dari jumlah, keragaman, dan letak geografinya (Fakih, 2000). Sebagai kekuatan yang bekerja di akar rumput, LSM mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor yang melayani perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil. LSM dengan isu lingkungan hidup mengalami perkembangan yang sangat cepat. World Wide Foundation (WWF) misalnya, LSM yang didirikan di Switzerland pada tahun 1961 dengan kantor kecil dan staf hanya 25 orang pada tahun 70an, pada tahun 1980 sudah tumbuh menjadi 300 staf dan pada tahun 2004 LSM ini sudah mempekerjakan lebih dari 4000 staf yang tersebar di 90 negara (Chapin, 2004). Begitupula jika menyimak perkembangan TNC (The Nature Conservation), sebuah LSM yang fokus pada isu konservasi. LSM ini didirikan pada tahun 1951 dan pada tahun 1970 sudah berkembang ke 50 negara (Chapin, 2004). Tidak sekedar jumlah, besarnya perputaran uang pada lembaga ini juga tidak kalah kecil, WWF melaporkan pada tahun 2003 pemasukan lembaga ini mencapai $380 juta (sekitar 3,4 trilyun rupiah). TNC lebih besar lagi, pada tahun 2000 perputaran uang mencapai $786,8 juta (sekitar 7,2 trilyun rupiah) sehingga dijuluki world s richest conservation organization (Chapin, 2004). 7

24 Di Indonesia, pertumbuhan jumlah LSM, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan diskursus pembangunan. Sehingga pembahasan tentang LSM juga tidak dapat dipisahkan dengan wacana yang terkait dengan struktur negara (Eldrigde, 1989). Keberadaan LSM sebagai bagian dari ranah sipil (Civil Sphere) akan berkaitan pengaruh dengan ranah negara (State Sphere) dan ranah pasar (Market Sphere) seperti yang dijelaskan oleh Bebbington dalam Dharmawan (2002). Hasil studi tentang LSM sudah cukup banyak, kaitannya dengan struktur negara dan cakupan wilayah kerja LSM. Nordholt (1987) membagi LSM menjadi tiga tipe, yaitu: LSM Besar (Big NGO), LSM menengah (Regional NGO), dan LSM Lokal (Local NGO). Menurut Nordholt (1987), Semakin besar cakupan wilayah LSM, maka akses ke lembaga-lembaga besar (termasuk didalamnya struktur pemerintah dan pasar) akan semakin mudah. Hal ini akan berimplikasi pada kekuatan nilai tawar dan akses dana. Sementara, LSM kecil pada kondisi ini sebaliknya, LSM kecil memiliki posisi tawar yang rendah dan akses pendanaan yang terbatas. Dalam dasawarsa-dasawarsa terkahir ini, ketika pembangunan di berbagai negaraberkembang mulai dan terus digalakkan, peran LSM dilihat semakin meningkat (Drabek, 1987), dan bahkan Chambers mengenalkan konsep additionally untuk menggambarkan sumbangan potensial dari LSM bagi proses pembangunan. Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tanpa mempertimbangkan dampak yang luas akan tetapi kemudian terjadi pergeseran 8

25 yang mendasar yakni bahwa LSM tidak lagi hanya berupaya memenuhi kebutuhan kelompok miskin melainkan juga membantu mereka untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Drabek, 1987). Meskipun tujuan dan kegiatan serta pengalaman LSM sangat beranekaragam, sehingga terasa sangat sulit untuk diklasifikasikan (Korten, 1987), akan tetapi LSM Indonesia, menurut Eldridge (1995), memiliki ciri-ciri umum yang kurang lebih sama, yakni antara lain: (1) orientasi mereka kepada penguatan kelompokkelompok komunitas sebagai basis dari masyarakat dan sebagai pengimbang bagi pemerintah; (2) pada umumnya ada komitmen yang kuat terhadap cita-cita partisipasi rakyat di dalam pengambilan keputusan; (3) adanya satu komunitas LSM di Indonesia, dengan banyak hubungan-silang antar pribadi dan kelembagaan, yang saling mendukung, terdapat pertukaran gagasan dan sumberdaya, yang memberikan potensi pada satu tujuan bersama pada berbagai tingkat. Hubungan-silang itu dilatar belakangi oleh bentuk dan skala organisasi serta keaneka-ragaman kegiatan LSM. Hal yang disebut terakhir ini seringkali dianggap sebagai kekuatan komunitas LSM, tetapi sekaligus juga kelemahannya (Eldrige, 1995). Hasil utama yang dicapai oleh LSM pada tingkat makro adalah pemunculan issues dari pengalaman lapangan mereka menjadi agenda politik nasional. LSM juga menyampaikan refleksi dan lebih mengartikulasikan kepedulian umum pada lingkungan hidup, hak-azasi dan demokratisasi. Dampak dari kegiatan LSM yang mempunyai makna politis terlihat pada keseluruhan 9

26 keseimbangan kekuatan antara kelompok-kelompok sosial dan ekonomi, pemerintah Indonesia dan berbagai agen-agennya. Sampai derajat tertentu LSM menunjukkan kapasitasnya dalam meningkatkan kemandirian pengelolaan organisasi berbagai kelompok yang kurang beruntung, dan memberikan kemampuan kepada kelompok-kelompok itu untuk menghadapi aparat pemerintah dan kekuatan lain yang sangat kuat dalam kedudukan sederajat; singkat kata mereka melayani kepentingan untuk memperkuat masyarakat. Beberapa kajian tentang LSM di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan berbagai kategorisasi juga telah dilakukan. Korten (1987) menggunakan 7 variabel untuk membuat kategorisai LSM di Indonesia, dan hasilnya menunjukkan tiga generasi LSM. CPSM (1993) dan Fakih (2000) cenderung menggunakan pembeda yang kurang lebih sama, yakni segi-segi 'ideologis', sehingga menghasilkan LSM ' developmentalis', LSM 'reformis, dan LSM 'transformatorif. Eldridge, (1989) dengan menggunakan empat kriteria, mengemukakan tiga kategori pokok LSM dan satu kategori tambahan berdasarkan perkembangan mutakhir. Tiga kategori pokok itu adalah (a) 'High level Cooperation-Grass-roots Development, (b) 'High level Politics-Grass-roots Mobilization, (c) 'Empowerment from below', dan (d) yang lebih radikal (Eldridge, 1989) Sedangkan Uhlin (1997), mengidentifikasikan empat ciri ideologi dasar, yaitu radikal, liberal, konservatif dan Islam. Drabek (1987) dan CPSM (1993) melihat posisi LSM vis-a-vis negara. Dalam konteks pembahsan mengenai LSM, Negara bukanlah hanya sekedar pemerintah tetapi sebagai satu sistem administratif, legal, birokratik dan paksaan 10

27 yang berkesinambungan. Satu negara tidak selalu unitary atau monolitik. Setiap negara terdiri dari berbagai bagian, seperti eksekutif, administrasi yang permanen, peradilan (judiciary), aparat pemaksa (coersive). Elite strategis yang ditugasi sebagai aparat negara pada kenyataannya mengontrol semua bagian komponen dari negara secara bervariasi (Stepan, 1978). Pada dasarnya, ada dua pandangan dikotomis LSM tentang negara, yaitu: (a) 'organic stateism', menyatakan bahwa negara otonom (atau hampir sepenuhnya otonom) yang memiliki peran sentral di dalam polity (masyarakat politik), bahwa negara mengatur masyarakat, dan (b) pandangan liberalist pluralist, dan pandangan Marxists mana negara diperlakukan sebagai dependent variable sehingga negara hanya sedikit memiliki kebebasan dan peran di dalam politik, karena masyarakatlah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur negara. Meskipun belum ada kajian khusus dan mendalam tentang bagaimana pandangan LSM terhadap negara, akan tetapi ada tanda-tanda awal yang dapat dijadikan petunjuk sementara adanya tiga cara bagaimana LSM memandang negara. LSM yang menganut organic stateism dan/atau corporate stateism adalah, menurut kategorisasi CPSM, (1) LSM yang menganggap dirinya sebagai bagian integral dari pemerintah dan (2) LSM yang menganggap dirinya sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok LSM ini tidak memberi perhatian pada demokrasi, karena kesengsem (ideologically occupied) oleh developmentalisme, dan tetap percaya pada bureaucraticpolity, serta tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan bahkan juga pergeseran kontrol dari sistem yang ada (Eldrige, 1990). LSM yang menganut paham liberalist pluralist pada intinya berpendapat 11

28 bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang mengejar kepentingan ekonomi (pertumbuhan modal), sosial (status), dan politik (power) mereka sendiri-sendiri. Negara diberi tugas berbeda, yaitu: (a) melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan dari masyarakat lain, (b) melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidak-adilan dan penindasan dari anggota lain, (c) melakukan dan memelihara pekerjaan dan lembaga-lembaga publik yang tidak dilakukan oleh orang karena tidak profitable (Stepan, 1978). Kelompok LSM radikal menyatakan bahwa negara adalah alat kekuasaan dari kelas dominan untuk menindas, atau negara adalah alat pemaksa (coercive instrument) dari kelas dominan. Negara pada awalnya muncul sebagai satu alat paksaan yang diperlukan (a necessary means of coertion) ketika terjadi pembagian kerja, dan pada gilirannya menjadi alat penindasan (instrument of oppression) sampai dengan terbentuknya masyarakat nirkelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus, dan perbedaan kelas hilang, kebutuhan akan negara sebagai alat penindasan sudah tidak ada lagi, sehingga pada tingkat ini negara tidak lagi diperlukan karena pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri. Pertumbuhan LSM yang demikian cepat dengan keragaman fokus isu yang diangkat (Fakih, Nordholt, Eldridge, 1987) bila bandingkan dengan data angka kemiskinan BPS dari tahun (BPS, 2008), peningkatan jumlah LSM tidak berpengaruh (lihat Gambar 1). 12

29 th 1996 th 1998 th 1999 th 2000 th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 th 2006 th 2007 th 2008 Tahun Prosentase 17,47 24,23 23,43 19,14 18,41 18,2 17,42 16,66 15,97 17,75 15,42 16,58 Gambar 1. Grafik Prosentase Angka Kemiskinan di Indonesia Tahun Pada Gambar 1. dapat diketahui bahwa peningkatan jumlah LSM tidak diikuti dengan hasil nyata turunnya angka kemiskinan. Padahal isu kemiskinan adalah isu yang paling banyak menjadi fokus kegiatan LSM di Indonesia (Korten, 1987). Angka kemiskinan pada tahun 1996 sampai dengan menunjukkan kondisi yang relatif tetap, sempat ada kenaikan pada tahun 1998 tetapi bisa dipahami karena pada tahun terebut terjadi krisis ekonomi di Indonesia, dan kemudian terjadi penurunan akibat meredanya krisis. Kondisi ini menarik untuk dicermati, di satu sisi LSM dengan fokus isu kemiskinan berkembang sangat pesat di Indonesia tetapi selama itu tidak terjadi penurunan angka kemiskinan. Sehingga muncul pertanyaan kritis mengenai hasil kinerja LSM sebagai agen pembangunan alternatif yang mengalami kesenjangan antara tujuan dan kenyataan yang ada. Salah satu pendekatan untuk memahami masalah ini adalah dengan merujuk hasil penelitian dari Ufford dan Giri (2002) mengenai praktik agen pembangunan 13

30 alternatif yang tidak memiliki konsistensi dalam memperjuangkan visi dan idealismenya, melainkan hanya menjadi pelaksana kekuatan lain yang lebih besar. Secara ideal LSM adalah organisasi yang muncul dari ranah sipil yang tentunya memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, Budiman, Hannam, 1988.), tetapi pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Pada titik inilah penulis melihat ada relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor. 1.2 Perumusan Masalah Modernisasi dengan konsep pertumbuhan ekonomi sebagai strategi pembangunan, telah dijalankan oleh Bangsa Indonesia dalam membangun. Pembangunan pedesaanpun tidak lepas dari strategi ini. Shepherd (1998) menyebutnya sebagai paradigma lama pembangunan pedesaan (old paradigm of rural development). Dharmawan (2002) memberikan ilustrasi pendekatan pembangunan ini sebagai pendekatan yang sarat dengan pesan-pesan ekonomi, pertumbuhan, perubahan nilai budaya lokal, westernisasi, dan investasi modal. Yang pada akhirnya, secara 14

31 nyata telah membawa akibat buruk pada tata kehidupan sosial dan rusaknya lingkungan. Perkembangan LSM di Indonesia yang sangat cepat tidak diiringi dengan hasil yang nyata dalam proses pengentasan kemiskinan. Secara ideal LSM adalah organisasi dengan kesadaran dan semangat kesukarelaan yang muncul dari ranah sipil yang memperjuangkan hak-hak sipil sebagai agen alternatif pembangunan (Fakih, Budiman, Hannam, 1988.), tetapi pada kenyataannya agen pembangunan alternatif ini tidak bebas kepentingan (Ufford dan Giri, 2002). Petras dan Veltemeyer (2002) mengemukakan sebagai berikut: Ornop-ornop di seluruh dunia telah menjadi alat terakhir untuk mobilitas naik bagi kelas-kelas terdidik yang ambisius. Para akademisi, jurnalis dan profesional telah semakin jauh dari kepedulian awal mereka pada gerakan kiri dan miskin dana. Dan mereka kini mengejar karier yang menguntungkan dengan mengelola Ornop yang akan memberikan keterampilan organisatoris dan retorika serta kosa kata populis tertentu. Sekarang ini ribuan direktur Ornop setiap hari naik kendaraan roda empat seharga US $ sebagai sarana transportasi dari rumah atau apartemen modern mereka di pinggiran kota ke kantor-kantor dan kompleks bangunan yang sangat lengkap. Sementara mereka meninggalkan anak-anak dan pekerjaan rumah tangga di tangan pembanru dan juga kebun-kebun mereka untuk dirawat oleh para tukang kebun. Mereka lebih akrab dan menghabiskan waktu di tempat-tempat konferensi internasional tentang kemiskinan yang sering mereka ikuti (Washington, Bangkok, Tokyo, Brussels, Roma dan lainnya) dari pada di kampung-kampung berlumpur di negara mereka sendiri. Mereka lebih mahir menyusun proposal baru untuk mendapatkan uang demi para profesional yang layak ditolong dari pada mengambil resiko terpukul kepalanya oleh polisi yang menyerang demonstrasi guru sekolah di desa yang gajinya tidak dibayar penuh. Para pemimpin Ornop adalah kelas baru yang tidak mendapatkan harta kekayaan dari kepemilikan atau sumber-sumber pemerintah, tetapi dari dana imperial dan kemampuanyya sendiri untuk mengontrol kelompok-kelompok rakyat yang signifikan Pernyataan diatas menyiratkan fakta dilapangan yang jauh dari idealisme LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. LSM menjadi semacam perusahaan profit yang mengambil 15

32 keuntungan sebesar-besarnya di tengah penderitaan rakyat sipil yang diperjuangkann. Lebih lanjut Petras dan Veltmeyer (2002) mengatakan: Para pemimpin Ornop bisa dipandang sebagai semacam kelompok neokomprador yang tidak memproduksi komoditas apapun yang bermanfaat, tetapi berperan memproduksi jasa untuk negara-negara donor dan menjual kemiskinan domestik untuk kekayaan pribadi Petras dan Veltemeyer (2002) memberikan pandangan bahwa LSM melakukan komodifikasi kemiskinan dan isu pembangunan, tanpa melihat lembaga donornya karena semua terjebak pada kondisi ini. Kutipan diatas juga menyiratkan kinerja LSM yang hanya berorientasi keuntungan pribadi atau kelompok LSM dibanding memperjuangkan hak-hak sipil. Munculnya istilah menjual isu lingkungan, isu kemiskinan, isu pemberdayaan, dengan mengatasnamakan LSM adalah bentuk respon publik terhadap diskursus ini. Dalam konteks ini LSM dicurigai marak membuat pengajuan dana dan kemudian aktivisnya didanai oleh donor dan LSM hanya sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan donor. Walhi sebagai sebuah LSM lingkungan yang berdiri 15 Oktober 1980 adalah organisasi yang dari awal memposisikan diri mengambil jarak dengan pemerintah. Walhi lebih banyak mendapatkan dana dari donor internasional dari United States Agency for International Development (USAID), Australian Agency for International Development (AusAID), Novib, OXFAM, Asia Foundation, EZE. Belgium s National Center for Development Cooperation (NCOS), Department for International Development Agency (CIDA) dan lain-lain (Walhi, 2001). Hal ini dilakukan untuk menjamin independensinya dengan pemerintah selama orde 16

33 baru, Walhi menyadari bahwa dana-dana dari pemerintah tidak akan lepas dari kepentingan, sehingga donor asing menjadi pilihan. Dengan posisi ini Walhi ingin mengambil posisi kritis dan independen terhadap pemerintah. Pada akhir tahun 2000, Walhi membuat perencanaan jangka panjang yang bertolak belakang dari kebijakan awal. Bentuk perencanaannya adalah Walhi akan mulai mengalihkan sumber pendanaan dari donor asing (yang saat itu mencapai 90 persen) menuju dana lokal dari masyarakat lewat kegiatan-kegiatan partisipatif. Perubahan kebijakan ini didasarkan pada pengalaman selama bemitra dengan donor asing dan tarik menarik kepentingan LSM dan donor. (Culla, 2006). Kasus Walhi memberikan gambaran bahwa LSM adalah agen pembangunan alternatif yang dinamis dengan tarik-ulur kepentingan baik dari negara, swasta maupun sipil. Perjalanan Walhi, Penjelasan Petras dan Veltmeyer (2002) tentang LSM, mengetengahkan hangatnya pembahasan mengenai isyu subordinasi kekuasaan LSM dibawah donor dan subordinasi kepentingan, isyu infiltrasi kekuasaan asing, dan komodifikasi gerakan. Pada titik inilah tampak adanya relevansi pembahasan mengenai LSM sebagai elemen agen pembangunan alternatif ditengah idealismenya memperjuangkan kepentingan sipil dan dinamikanya terhadap kepentingan donor. Pertanyaan yang muncul adalah apakah LSM memang akan memilih menjadi agen yang memberdayakan, atau sekedar menjadi kepanjangan tangan dari pemberi donor. Hal ini yang perlu diungkap sebagai bagian dari bentuk hubungan LSM dengan donor pada aspek-aspek yang dapat diteliti. Penelitian ini ingin melihat keragaan 17

34 independensi LSM dalam konstelasi kepentingan donor, dengan menjawab rumusan pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi? 2. Apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui apakah kepentingan donor memberi pengaruh pada independensi LSM dalam aspek finansial, aksi dan orientasi ideologi. 2. Mengetahui apakah perubahan donor mempengaruhi independensi LSM. 18

35 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial Dinamika penguatan potensi ranah sipil, pada hakikatnya adalah proses menuju menuju masyarakat sipil yang berdaya. Untuk mencapai keberhasilan menggalang potensi sipil, organisasi gerakan sosial adalah agen potensial dalam mewujudkannya (Fakih 2000). Wood dan Jackson dikutip oleh Fakih (2000) memberikan deskripsi tentang organisasi gerakan sosial sebagai berikut: Kelompok tak konvensional yang memiliki beragam derajat organisasi formal dan yang berusaha untuk menghasilkan atau mencegah bentuk perubahan radikal ataupun reformis. Dalam pendapat ini terdapat penekanan pada aspek pengorganisasian, dimana Stzompka (1993) dan Martell (1994) mempunyai gagasan yang sebaliknya. Dalam perkembangannya, gerakan sosial membutuhkan pengorganisasian yang dapat menjamin keberhasilan, kontinuitas, dan efisiensi pencapaian tujuan. Masuknya aspek organisasi dalam proses gerakan sosial, politik dan ekonomi membawa akibat pada formalisasi gerakan. Pada saat itulah, publik mengenal apa yang kemudian dikenal sebagai social movement organization, dimana LSM menjadi salah satu bagiannya (Jenkins, 1983). LSM adalah wujud konkret organisasi gerakan sosial, LSM adalah lembaga yang bukan bagian dari organisasi pemerintah serta didirikan bukan sebagai hasil dari persetujuan antar permerintah. LSM difahami sebagai organisasi gerakan sosial yang menjadi pelopor terciptanya sebuah gerakan sosial untuk perubahan sosial. 19

36 Sedangkan organisasi gerakan sosial sebagaimana dijelaskan oleh Zald dan McCarhty dalam Fakih (2000) adalah sebagai berikut: Kelompok yang memiliki kesadaran diri yang bertindak inconcerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim penentang dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain dengan klaim-klaim tersebut. " Lahirnya LSM dilatarbelakangi kondisi dimana pemerintah tidak dapat menjangkau seeara keseluruhan kebutuhan-kebutuhan rakyat. Sehingga perlu adanya pihak yang mengatasi masalah tadi. Tetapi tidak cukup sampai pada kondisi tersebut, kehadiran LSM juga dipandang sebagai bentuk penyeimbang dari pemerintah atas kekuatan rakyat. Dengan batasan di atas LSM merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak untuk menciptakan perubahan sosial (Budiman, 1988). Di Indonesia, istilah LSM baru muncul pada tahun Sebelumnya konsep LSM, lebih dikenal dengan nama Non Govermental Organization (NGO) atau ORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Dalam perkembangannya, istilah non pemerintah dianggap kurang pas dengan situasi yang ada, kata "non" berlawanan dengan kata "ko", dimana kata "non" berkonotasi tidak mau bekerjasama dengan pemerintah (Ismawan, 2002). Dalam situasi yang demikian, kemudian dicari suatu istilah yang tepat untuk menggantikan ORNOP. Merujuk pada Kementrian Kerjasama pembangunan Jerman Barat, maka istilah yang dipakai oleh lembaga ini adalah Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO). Pada tahun 1978, Sayogyo kemudian memperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya 20

37 Masyarakat (LPSM) sebagai pengganti SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengganti SHO (Ismawan. 1999). Sugiyanto (2002) melihat setidaknya ada tiga latar belakang lahirnya lembagalembaga non pemerintah di Indonesia. Pemerintah Orde Baru melandaskan strategi pembangunannya pada: 1. Pendekatan teknokratis dengan birokrasi dominan. 2. Sangat menekankan pendekatan top down. 3. Keterbatasan memberikan peluang partisipasi masyarakat. Ketiga hal inilah menurut Sugiyanto (2002), sebagai penyebab adanya keinginan masyarakat untuk mencari altematif lembaga sosial yang mampu memberikan kontribusi terhadap kemajuan kesejahteraan. Aspirasi ini yang kemudian mewujud dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah LSM didefinisikan lebih tegas lagi dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 (dikutip dari, Ismawan, 2002) yang disebutkan sebagai: LSM merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan fungsi yang diminati oleh lembaga yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih berdayaguna agar LSM, sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan, dapat meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat tersebut melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasi masyarakat tersebut, melalui pendayagunaan dan peningkatan partisipasinya demi tercapai sasaran pembangunan nasional baik di pusat maupun daerah. Hyden seperti dikutip oleh Siregar (1988) menyimpulkan lima kepentingan LSM: 1. NGOs are much closer than the government to the poorer section of society. 2. NGOs staff are normally highly motivated and altruistic in their behaviour 21

38 NGOs operate economically 3. NGOs is their flexibility, a quality that stems from smallsize and the decentralized nature of decission making structurals. 4. NGOs independent from the government which gives an opportunity to develop demands for public sevices and resources and thus facilitate to work or individual government departements in rural areas. Williams seperti dikutip oleh Hannam (1988) mengajukan tiga karakteristik LSM sebagai berikut: 1. Organisasi dibentuk bukan atas inisiatif pemerintah dan berorientasi non profit. 2. Bebas dari pemerintah dan organisasi lainnya dalan menyusun prioritas kegiatannya. 3. Membatasi kegiatannya terutama pada kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan dan pembangunan kemasyarakatan. Budiman (1988) berpendapat bahwa LSM merupakan bentuk lembaga yang menjadi wahana bagi masyarakat kelas menengah untuk mengembangkan masyarakat pedesaan dan membawa perubahan sosial di dalamnya. Perkembangan LSM menurut Budiman (1988) telah memberikan efek positif terhadap perkembangan politik pedesaan, membuka daerah-daerah terisolasi dari kemajuan peradaban. Penjelasan tentang LSM, Hannam (1988) memberikan gambaran tentang pendekatan pengembangan masyarakat. LSM mempunyai metode yang lebih partisipatif dalam mengembangkan masyarakat di tingkat grass root. Menurut Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) fenomena LSM adalah 22

39 cermin dari kekecewaan atas pendekatan top down yang selama ini dilakukan. Sehingga Hannam (1988), Budiman (1988), Sugiyanto (2002) memahami LSM. Sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan ditingkat grass root. Hal ini biasa diejawantahkan dalam bentuk penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Budiman (1988) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai oleh LSM adalah menjadikan kelompok-kelompok lokal mempunyai kemandirian. Seperti dikutip oleh Hannam (1988), Ralston menjelaskan lima peranan penting LSM dalam mengembangkan masyarakat. Kelima hal tersebut adalah: 1. Mengidentifikasi kebutuhan kelompok lokal dan taktik-taktik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 2. Melakukan mobilisasi dan agitasi untuk usaha aktif mengejar kebutuhankebutuhan yang telah diidentifikasi sebelumnya. 3. Merumuskan kegiatan jangka panjang untuk mengejar sasaran-sasaran pembangunan lebih umum. 4. Menghasilkan dan memobilisasi sumber daya lokal dan ekstemal untuk kegiatan-kegiatan pembangunan pedesaan. 5. Pengaturan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Beberapa konsep pemahaman tentang LSM diatas, secara umum dapat dipahami sebagai konsep yang seragam dan saling melengkapi. Konsep tentang LSM mengacu pada bentuk lembaga non profit yang berkiprah di akar rumput (grass root) untuk mengembangkan masyarakat dengan pendekatan bottom up. Menurut Budiman (1988) pendekatan pengembangan masyarakat dengan pendekatan 23

40 bottom up akan melahirkan kemandirian dan keberlanjutan. Masyarakat lebih merasakan dan merasa memiliki program, dibandingkan dengan pendekatan top down yang cenderung memaksa, dan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal (Hannam, 1988). 2.2 Teori Ketergantungan kaitannya dengan LSM Perspektif ketergantungan memberikan arahan untuk memperbanyak hubungan alternatif untuk mengatasi ketergantungan. Teori ini pada mulanya adalah teori struktural yang menelaah jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi. Teori struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di negara dunia ketiga yang mengkhusukan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah. Teori ini berpangkal pada filsafat materialisme yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang lahir dari 2 induk, yakni seorang ahli pemikiran liberal Raul Prebiesch dan teori-teori Marx tentang imperialisme dan kolonialisme serta seorang pemikir marxis yang merevisi pandangan marxis tentang cara produksi Asia. Ada 6 (enam) inti pembahasan teori ketergantungan: 1. Pendekatan keseluruhan melalui pendekatan kasus. Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini. 24

INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR

INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR INDEPENDENSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DI TENGAH KEPENTINGAN DONOR (Studi Kasus LSM Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) dan LSM Lembaga Pertanian Dompet Dhuafa (LPS DD) Republika) HUSAIN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya gerakan sosial masyarakat sipil yang berlangsung di negara berkembang dapat dipandang sebagai alternatif pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 LSM sebagai Wujud Konkret Organisasi Gerakan Sosial Dinamika penguatan potensi ranah sipil, pada hakikatnya adalah proses menuju menuju masyarakat sipil yang berdaya. Untuk

Lebih terperinci

Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor

Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 02 5 Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tengah Kepentingan Donor Husain Assa di, Arya Hadi Dharmawan, dan Soeryo Adiwibowo ABSTRACT The top-down development

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS

BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS BAB IV PROFIL LSM LPS DAN LKTS 4.1 Pengantar LSM sebagais salah satu agen pembangunan memiki posisi penting dalam melakukan insiasi, menjadi fasilitator dan monitoring pengembangan masyarakat. Billah (1988)

Lebih terperinci

Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi

Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi Makalah Disampaikan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengembangan pemanfaatan sumberdaya energi non minyak saat ini sangat diperlukan, mengingat semakin tipisnya cadangan minyak bumi kita. Salah satu langkah yang ditempuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 1 Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Pengembangan Masyarakat (Community Development) merupakan konsep yang berkembang sebagai tandingan (opponent) terhadap konsep negarakesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM

BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM BAB V ANALISIS SISTEM PENDANAAN (ASPEK FINANSIAL) LSM 5.1 Pengantar Pertumbuhan organisasi masyarakat sipil menimbulkan persoalan baru, yakni bagaimana mempertahankan agar institusi tersebut dapat bertahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Friedmann dalam Wrihatnolo, dan Riant (2007:59) menyatakan bahwa konsep

II. TINJAUAN PUSTAKA. Friedmann dalam Wrihatnolo, dan Riant (2007:59) menyatakan bahwa konsep 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pemberdayaan Masyarakat Friedmann dalam Wrihatnolo, dan Riant (2007:59) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan muncul sebagai konsep alternatif pembangunan yang pada intinya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1 STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1 Handoko Soetomo 2 Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks dan tantangan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan sekuritas di Indonesia. Dahulu terdapat dua bursa efek di Indonesia, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1.

KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1. KEMANDIRIAN PANGAN DI DAERAH 1. HM Idham Samawi Bupati Bantul Jika ada yang mengatakan bahwa mereka yang menguasai pangan akan menguasai kehidupan, barangkali memang benar. Dalam konteks negara dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu

Lebih terperinci

SISTEM EKONOMI INDONESIA. Ilmu Hubungan Internasional Semester III

SISTEM EKONOMI INDONESIA. Ilmu Hubungan Internasional Semester III SISTEM EKONOMI INDONESIA Ilmu Hubungan Internasional Semester III Suatu sistem ekonomi mencakup nilai-nilai, kebiasaan, adat istiadat, hukum, norma-norma, peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemanfaatan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY A. Pengertian tentang konsep civil society Konsep civil society memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing tokoh yang memberikan penekanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan peningkatan

Lebih terperinci

Bahan MK Pembangunan Partisipatif

Bahan MK Pembangunan Partisipatif Bahan MK Pembangunan Partisipatif Alfitri Latar belakang dan urgensi kemunculannya Kendati kehadiran pendekatan kebutuhan dasar yang dihasilkan World Employment Conference ILO pada tahun 1976 telah membawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Disampaikan Pada Gladi Manajemen Pemerintahan Desa Bagi Kepala Bagian/Kepala Urusan Hasil Pengisian Tahun 2011 Di Lingkungan Kabupaten Sleman, 19-20 Desember 2011 Cholisin : Staf

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

Pengertian Paradigma. Paradigma I Normal Sc. Anomalies Crisis Revol Paradigma II

Pengertian Paradigma. Paradigma I Normal Sc. Anomalies Crisis Revol Paradigma II 1 Pengertian Paradigma Diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1962), yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bukan berkembangan secara kumulatif, sebagaimana banyak

Lebih terperinci

Perbandingan PRA dengan RRA dan PAR

Perbandingan PRA dengan RRA dan PAR Perbandingan PRA dengan RRA dan PAR PRA SEBAGAI METAMORFOSIS DARI RRA 1 Participatory Rural Appraisal (PRA) seringkali dilekatkan dengan nama Robert Chambers, sehingga rasanya perlu dimunculkan pertanyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN (PNPM MP) DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN (PNPM MP) DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN (PNPM MP) DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN (Studi Di Desa Pulorejo Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan) Oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi

I. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi I. PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Pembangunan Desa adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah desa, dalam rangka memajukan desa dan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat desa. Dana pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penggunaan hutan dan beragamnya alih fungsi hutan di Indonesia telah menyebabkan kerusakan yang parah terhadap sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN (Kasus di Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung) ERNA SUSANTY SEKOLAH PASCA SARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR.

PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR. PENGEMBANGAN PENYALURAN KREDIT MELALUI KOPERASI DENGAN POLA SWAMITRA UNTUK PENINGKATAN EKONOMI DAERAH DAN MASYARAKAT DI KOTA PEKANBARU R. MOCHTAR. M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah) YUDO JATMIKO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

POLA HUBUNGAN CIVIL SOCIETY DAN PEMERINTAH LOKAL

POLA HUBUNGAN CIVIL SOCIETY DAN PEMERINTAH LOKAL POLA HUBUNGAN CIVIL SOCIETY DAN PEMERINTAH LOKAL (Studi Kasus Kegiatan NGO dalam Mendorong Keterbukaan Informasi Publik di Kota Mataram Tahun 2011-2015) Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

konsil lsm indonesia

konsil lsm indonesia Penulis: Lily Pulu, Lusi Herlina, Catherine Nielson Penerbit: konsil lsm indonesia Jl Kerinci XII No 11, Kebayoran Baru Jakarta 12120. Email : sekretariat@konsillsm.or.id http://konsillsm.or.id ISBN :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil

Lebih terperinci

Copyright , Kamaruddin HP ,

Copyright , Kamaruddin HP , Handout: KOMUNIKASI SOSIAL DAN PEMBANGUNAN (KSP) PEOPLE CENTRED DEVELOPMENT 1 Strategi Menuju Pembangunan Berpusat Pada Rakyat Oleh: Kamaruddin Hasan 2 Pemahaman terhadap pembangunan menghasilkan ide kemajuan,

Lebih terperinci

Pelaku dan Praktek Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Pelaku dan Praktek Pengembangan Masyarakat (Community Development) 4 Pelaku dan Praktek Pengembangan Masyarakat (Community Development) Negara adalah suatu entitas yang terdiri dari komponen Pemerintah, kalangan swasta, dan masyarakat, yang masing-masing punya peran,

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH 1 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH (Studi Di Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Lebih terperinci

INDONESIA NEW URBAN ACTION

INDONESIA NEW URBAN ACTION KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH KEMITRAAN HABITAT Partnership for Sustainable Urban Development Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

FILOSOFI KULIAH KERJA PROFESI (KKP) DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

FILOSOFI KULIAH KERJA PROFESI (KKP) DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT FILOSOFI KULIAH KERJA PROFESI (KKP) DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Fredian Tonny Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Disampaikan dalam Kuliah Pembekalan Kuliah Kerja Profesi Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas

Lebih terperinci

PENGUATAN KAPASITAS YAYASAN PRIMARI DALAM PENCEGAHAN ORANG DENGAN HIV / AIDS DI KELURAHAN KARANG TUMARITIS KABUPATEN NABIRE GERSON RAMANDEY

PENGUATAN KAPASITAS YAYASAN PRIMARI DALAM PENCEGAHAN ORANG DENGAN HIV / AIDS DI KELURAHAN KARANG TUMARITIS KABUPATEN NABIRE GERSON RAMANDEY PENGUATAN KAPASITAS YAYASAN PRIMARI DALAM PENCEGAHAN ORANG DENGAN HIV / AIDS DI KELURAHAN KARANG TUMARITIS KABUPATEN NABIRE GERSON RAMANDEY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2005

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri

Lebih terperinci

MENCERMATI IDEALITAS MEKANIKSME KONTROL KINERJA ORNOP

MENCERMATI IDEALITAS MEKANIKSME KONTROL KINERJA ORNOP MENCERMATI IDEALITAS MEKANIKSME KONTROL KINERJA ORNOP Oleh Pahir Halim Sumber : Buku Kritik & Otokritik LSM Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia (Hamid Abidin dan Mimin

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) kini semakin diterima secara luas. Namun, sebagai

Lebih terperinci

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto

TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Hendra Wijayanto TATA KELOLA PEMERINTAHAN, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Hendra Wijayanto PERTANYAAN Apa yang dimaksud government? Apa yang dimaksud governance? SEJARAH IDE GOVERNANCE Tahap 1 Transformasi government sepanjang

Lebih terperinci

Mobilisasi Sumber Daya untuk Transformasi Sosial: Tantangan Kita

Mobilisasi Sumber Daya untuk Transformasi Sosial: Tantangan Kita Mobilisasi Sumber Daya untuk Transformasi Sosial: Tantangan Kita Kamala Chandrakirana Seminar Nasional Program Studi Kajian Gender UI Depok, 11 Februari 2015 Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga mencuat dalam pertemuan umum pemimpin APEC di Sydney dan. Berbagai fakta mudah sekali ditemukan bahwa pemanasan global telah

BAB I PENDAHULUAN. juga mencuat dalam pertemuan umum pemimpin APEC di Sydney dan. Berbagai fakta mudah sekali ditemukan bahwa pemanasan global telah 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanasan global (global warming) adalah isu yang akan terus menghangat dalam beberapa dekade kedepan. Terakhir, isu pemanasan global juga mencuat dalam pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk dunia

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci