TINGKAT TROFIK IKAN HASIL TANGKAPAN BERDASARKAN ALAT TANGKAP YANG DIGUNAKAN OLEH NELAYAN DI TELUK JAKARTA NURMASITA ADISTIANI PUSPITA NINGRUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT TROFIK IKAN HASIL TANGKAPAN BERDASARKAN ALAT TANGKAP YANG DIGUNAKAN OLEH NELAYAN DI TELUK JAKARTA NURMASITA ADISTIANI PUSPITA NINGRUM"

Transkripsi

1 TINGKAT TROFIK IKAN HASIL TANGKAPAN BERDASARKAN ALAT TANGKAP YANG DIGUNAKAN OLEH NELAYAN DI TELUK JAKARTA NURMASITA ADISTIANI PUSPITA NINGRUM PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Teluk Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Nurmasita Adistiani Puspita Ningrum C

3 ABSTRAK NURMASITA ADISTIANI PUSPITA NINGRUM, C Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Teluk Jakarta. Dibimbing oleh AM AZBAS TAURUSMAN dan DINIAH. Sumberdaya perikanan tangkap di Perairan Teluk Jakarta perlu dikelola dengan cara yang lebih bertanggungjawab, karena perairan yang bersifat semi tertutup cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Alat-alat penangkapan ikan yang beroperasi di Perairan Teluk Jakarta adalah bagan tancap, bagan kapal, sero, jaring insang, payang, dogol dan pancing rawai. Metodologi menggunakan metode studi kasus, analisis data menggunakan analisis deskriptif untuk analisis keragaan perikanan tangkap, analisis hubungan panjang-berat, dan analisis indikator untuk dampak penangkapan ikan terhadap tingkat trofik hasil tangkapan. Hasil tangkapan dominan dari berbagai unit penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Jakarta adalah ikan teri galer, belanak, tembang, kembung, pepetek, kuniran, kurisi, kuro dan sembilang. Hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi hasil tangkapan didominasi oleh ikan dari golongan tingkat trofik 3, yaitu jenisjenis ikan omnivora yang cenderung pemakan zooplankton. Hal ini menunjukkan alat tangkap yang beroperasi di Teluk Jakarta paling banyak menangkap ikan pada golongan tingkat trofik 3, sehingga perubahan struktur tingkat trofik menjadi tidak seimbang. Kata Kunci : hasil tangkapan, Perairan Teluk Jakarta, tingkat trofik, unit penangkapan ikan

4 TINGKAT TROFIK IKAN HASIL TANGKAPAN BERDASARKAN ALAT TANGKAP YANG DIGUNAKAN OLEH NELAYAN DI TELUK JAKARTA NURMASITA ADISTIANI PUSPITA NINGRUM C Skripsi Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP Program Studi Departemen SKRIPSI : Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Teluk Jakarta. : Nurmasita Adistiani Puspita Ningrum : C : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Disetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si Dr.Ir. Diniah, M.Si. NIP NIP Diketahui Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. NIP Tanggal lulus : 26 September 2011

6 KATA PENGANTAR Skripsi dengan judul Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Teluk Jakarta ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penangkapan ikan terhadap keseimbangan rantai makanan di ekosistem Teluk Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui status dan dampak penangkapan terhadap sumberdaya ikan di perairan Teluk Jakarta. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1) Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi.,M.Si. dan Dr.Ir. Diniah, M.Si, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 2) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi, MT. dari Komisi Pendidikan Departemen PSP dan Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. sebagai Penguji Tamu dalam Sidang Ujian Skripsi atas masukannya. 3) Kepala TPI Muara Kamal dan Kepala TPI Muara Cilincing yang telah memberikan izin penelitian dan informasi mengenai alat penangkapan ikan dan hasil tangkapan di zona dalam Teluk Jakarta. 4) Nelayan Muara Kamal dan Muara Cilincing yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai. 5) Ibu, Bule Ri, Bule Ban, Bule Tut, Bule Umi, Bule Rodiah, Bule Rosidah dan saudara-saudaraku (Mas Sigit, Mas Bagus, Mas Uke, Mba Ita, Arum, Mba Tera, Boci) yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan moril kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 6) Syuku yang selalu membantuku, mendampingiku hingga akhir, terimakasih atas keikhlasan dan kesabarannya selama ini. 7) Sobat-sobatku yang selalu setia ada dalam suka dan duka (Titin, Salisah, Mala alfarabi, Fidtri, Damar, Hanif, Wahyu, Adhlan, Mba Silvi, Meida dan

7 Mira). Terimakasih atas bantuan, dukungan, semangat dan masukannya dalam persahabatan ini. 8) Pak Gigih dan Bu Vina terimakasih atas semangat dan informasi yang diberikan. 9) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, September 2011 Nurmasita Adistiani Puspita Ningrum

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 28 Desember 1987 dari Bapak Moch. Syamsudin dan Ibu Sumaryati. Penulis merupakan anak kelima dari 5 bersaudara. Penulis lulus dari SMU Negeri 23 Jakarta pada tahun Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada kegiatan kampus seperti mengikuti HIMPATINDO (Himpunan Mahasiswa Perikanan Tangkap Indonesia), kepanitiaan masa orientasi mahasiswa baru Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, acara olahraga dan acara-acara yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa IPB. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian untuk menyusun skripsi dengan judul Tingkat Trofik Ikan Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Teluk Jakarta. Selama menyelesaikan skripsi penulis dibimbing oleh Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi., M.Si. dan Dr.Ir. Diniah, M.Si. Penulis dinyatakan lulus pada tanggal 26 September 2011 dalam Sidang Ujian Skripsi yang diselenggarakan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN... xii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan Payang Dogol Jaring rampus Bagan tancap Alat pengumpul kerang Kapal penangkapan ikan Nelayan Daerah dan musim penangkapan ikan Hasil tangkapan Keanekaragaman Hasil Tangkapan Rantai Makanan di Laut Rantai makanan meramban atau merumput Rantai makanan detritus Tingkat Trofik Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Sampling Responden Analisis Data Analisis perikanan tangkap Hubungan panjang dan berat Analisis indikator dampak penangkapan ikan terhadap tingkat trofik hasil tangkapan... 28

10 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Keadaan Perikanan Muara Kamal dan Muara Cilincing Alat penangkapan ikan Unit penangkapan ikan di Muara Kamal Unit penangkapan ikan di Muara Cilincing Nelayan Kapal penangkapan ikan Musim penangkapan ikan Distribusi spasial daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta Hasil Tangkapan Karakteristik Hasil Tangkapan Berdasarkan Tingkat Trofik Indikator Dampak Penangkapan Ikan Terhadap Tingkat Trofik HasilTangkapan Bagi Keberlanjutan Kegiatan Perikanan Tangkap di Teluk Jakarta PENUTUP 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tingkat trofik Jumlah nelayan yang ada di DKI Jakarta selama tahun Jenis armada yang ada di DKI Jakarta selama tahun Jenis dan tingkat trofik ikan hasil tangkapan nelayan menurut alat tangkap di Muara Kamal dan Muara Cilincing Hasil pengukuran rataan dan standar deviasi panjang, berat ikan hasil tangkapan dan length at first maturity (Lm) ikan di Muara Kamal dan Muara Cilincing viii

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Payang Dogol Jaring rampus Bagan tancap Alat pengumpul kerang Rantai makanan Ilustrasi struktur tingkat trofik seimbang alamiah Tingkat trofik perairan Peta Teluk Jakarta Konstruksi bagan tancap di Teluk Jakarta Konstruksi bagan kapal di Teluk Jakarta Sero (tampak atas) di Teluk Jakarta Konstruksi jaring insang di Teluk Jakarta Konstruksi payang di Teluk Jakarta Konstruksi dogol di Teluk Jakarta Konstruksi pancing rawai di Teluk Jakarta Ilustrasi peta daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta Panjang ikan teri galer hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan teri galer hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan teri galer ix

13 21 Panjang ikan belanak hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan belanak hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan belanak Panjang ikan tembang hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan tembang hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan tembang Panjang ikan kembung perempuan hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan kembung perempuan hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan kembung perempuan Panjang ikan pepetek hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan pepetek hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan pepetek Panjang ikan kuniran hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan kuniran hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan kuniran Panjang ikan kurisi hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan kurisi hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan kurisi Panjang ikan kuro hasil tangkapan bulan Januari Berat ikan kuro hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan kuro Panjang ikan sembilang hasil tangkapan bulan Januari x

14 43 Berat ikan sembilang hasil tangkapan bulan Januari Hubungan panjang dan berat ikan sembilang Komposisi tingkat trofik hasil tangkapan Ilustrasi struktur tingkat trofik yang tidak seimbang di Teluk Jakarta xi

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alat tangkap bagan kapal di Muara Kamal Alat tangkap bagan tancap di Muara Kamal Alat tangkap gillnet di Muara Kamal Alat tangkap sero di Muara Kamal Alat tangkap payang di Muara Cilincing Alat tangkap dogol di Muara Cilincing Alat tangkap pancing rawai di Muara Cilincing Ikan hasil tangkapan di Teluk Jakarta Tingkat trofik ikan hasil tangkapan Produksi perikanan laut menurut jenis ikan, daerah perairan pantai DKI Jakarta Analisis hasil tangkapan xii

16 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota negara merupakan pusat berbagai kegiatan, salah satunya adalah kegiatan perikanan. Menurut Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta (2009), DKI Jakarta dengan luas perairan laut berkisar 6.977,5 km 2 memiliki peran yang strategis khususnya dalam memberikan pelayanan usaha penangkapan dan pengembangan pemasaran hasil perikanan tangkap. Hal tersebut berakibat pada padatnya kapal perikanan baik kapal penangkap ikan maupun kapal angkut ikan yang melaksanakan penangkapan dan memasarkan hasil produksinya ke wilayah DKI Jakarta. Dampak yang ditimbulkan adalah degradasi lingkungan dan penangkapan. Teluk Jakarta telah lama menjadi pusat perhatian pemerintah, dalam hal kebijakan maupun perencanaan pengelolaan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan serta para peneliti baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal ini terkait dengan tingkat kerusakan lingkungan perairan Teluk Jakarta yang sudah terjadi sekian lama, namun sampai sekarang tidak ada penanganan khusus untuk mengatasinya. Menurut Taurusman (2007), ekosistem Teluk Jakarta telah mengalami kerusakan yang sangat berat akibat berbagai kegiatan manusia di wilayah lahan atas atau up land, pesisir dan laut. Pencemaran dan pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya secara berlebihan merupakan isu utama di wilayah ini. Banyak nelayan, contohnya nelayan Teluk Jakarta, yang menangkap ikan di zona dalam Teluk Jakarta dan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan seperti ukuran dan jenis ikan yang layak tangkap. Sementara itu, eksploitasi sumberdaya pesisir seperti mangrove, terumbu karang dan sumberdaya ikan oleh kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan nelayan semakin tinggi. Menurut Manalu (2003), untuk dapat memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, potensi sumberdaya yang ada di perairan semi tertutup seperti Teluk Jakarta perlu dikelola secara lebih bertanggungjawab. Perairan semi tertutup cenderung dieksploitasi secara berlebihan, karena operasi penangkapan ikan tidak banyak menghadapi kendala teknis akibat gelombang dan arus. Seperti

17 halnya alat-alat dan praktek penangkapan yang kurang baik akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya perikanan. Salah satu dampak negatif terhadap lingkungan adalah kerusakan habitat dan keseimbangan rantai makanan. Menurut Stergio et al (2007), penangkapan ikan memiliki pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh itu bisa diidentifikasi pada rentang waktu yang berbeda dan tingkat organisasi biologi contohnya populasi, komunitas dan ekosistem. Meskipun efek kerugian dari penangkapan ikan tampak nyata di awal tahun 1990 namun penelitian tentang efek penangkapan ikan telah dilakukan sejak tahun Hal ini menuntun peneliti untuk mulai meneliti penggunaan indikator dalam mengungkapkan efek dari penangkapan ikan berlebihan pada tingkat komunitas atau ekosistem. Dari berbagai ukuran yang didasarkan pada tingkat trofik kecil, yang mengungkapkan posisi dari organisme di dalam food web yang diterima secara umum. Penelitian baru-baru ini mengenai tingkat trofik ikan dilakukan oleh Aprillia (2011) di Teluk Banten dengan data yang bersumber dari hasil tangkapan pada dua musim penangkapan ikan. Penelitian yang sama belum pernah dilakukan di Teluk Jakarta. Kondisi Teluk Jakarta lebih padat untuk aktivitas penangkapan ikan. Oleh karena itu, penulis berminat melakukan penelitian tentang tingkat trofik di Perairan Teluk Jakarta zona dalam dengan objek alat penangkapan ikan yang lebih banyak. 1.2 Perumusan Masalah Dalam pengelolaan sumberdaya ikan terdapat permasalahan umum yang sering dihadapi yaitu terancamnya kelestarian stok sumberdaya ikan akibat terjadi overfishing dan rusaknya habitat ikan akibat pengoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Salah satu indikator overfishing yang diteliti ialah perubahan keseimbangan jaring makanan pada suatu Daerah Penangkapan Ikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu cara yang dilakukan oleh para ahli perikanan dengan mengendalikan intensitas upaya penangkapan ikan dan melarang penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat tidak ramah 2

18 lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dikaji di dalam penelitian ini ialah : 1) Bagaimana keragaan perikanan tangkap yang beroperasi di zona dalam Teluk Jakarta; 2) Bagaimana karakteristik hasil tangkapan di Teluk Jakarta; 3) Bagaimana pengaruh penangkapan ikan terhadap keseimbangan tingkat trofik di ekosistem Teluk Jakarta. 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1) Mendeskripsikan keragaan unit penangkapan ikan, desain dan konstruksi serta metode pengoperasiannya di Teluk Jakarta; 2) Mengidentifikasi struktur bioekologi hasil tangkapan seperti panjang dan berat ikan menurut alat tangkap yang digunakan, serta nilai tingkat trofiknya; 3) Mengidentifikasi dampak penangkapan ikan terhadap keseimbangan tingkat trofik di Teluk Jakarta. 1.4 Manfaat Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah 1) Menghasilkan informasi ilmiah tentang dampak kegiatan penangkapan ikan di Teluk Jakarta terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. 2) Memberikan masukan bagi pihak pihak yang terkait dalam kerangka pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di wilayah penangkapan Teluk Jakarta. 3

19 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Definisi unit penangkapan ikan berdasarkan statistik perikanan tangkap Indonesia adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas satu kapal penangkap ikan beserta nelayannya dan satu jenis alat penangkapan ikan yang dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan. Menurut Monintja (1989), unit penangkapan ikan dapat juga didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan, terdiri atas nelayan dan satu jenis alat penangkap ikan yang dapat dilengkapi dengan alat bantu penangkapan ikan tanpa menggunakan kapal penangkap ikan Alat penangkapan ikan Alat penangkapan ikan merupakan sarana yang diperlukan nelayan, melakukan aktivitas penangkapan ikan. Menurut Diniah (2008), alat penangkapan ikan adalah alat atau peralatan yang digunakan untuk menangkap atau mengumpulkan ikan. Alat tangkap ini biasanya disesuaikan dengan tingkah laku ikan yang menjadi target penangkapan dan habitatnya. Alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di zona dalam Teluk Jakarta berdasarkan Badan Pusat Statistik Jakarta (2007) adalah payang, dogol, jaring rampus, bagan tancap dan alat pengumpul kerang Payang Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2005), payang merupakan alat penangkapan ikan berbentuk kantong yang terbuat dari jaring. Payang terdiri atas dua bagian sayap, jaring bawah (bosoom), badan serta kantong jaring. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (2005), payang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan yang berada di permukaan perairan menggunakan tali selambar. Penurunan jaring dilaksanakan pada sisi kiri buritan kapal. Dengan gerakan maju kapal membentuk lingkaran pelayaran atau melingkari gerombolan ikan sesuai dengan panjang tali selambar, yaitu meter dengan kecepatan

20 kapal 1-1,5 knot. Penarikan dan pengangkatan jaring (hauling) dilakukan dari buritan kapal tanpa menggunakan mesin bantu penangkapan ikan. Menurut Subani dan Barus (1989), payang (Gambar 1) merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas badan, kantong dan sayap. Sayap dipasang pada kedua sisi mulut jaring dengan ciri khusus adalah bibir bawah dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir atas atau tali ris atas lebih panjang dari tali ris bawah. Jenis ikan yang biasa tertangkap oleh payang antara lain ikan layang (Decapterus ruselli), ikan selar (Selaroides sp), kembung (Rastrelliger sp), lemuru (Sardinella longiceps), tembang (Sardinella fimbriata) dan japuh (Dussumieria spp). Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 1 Payang Dogol Dogol (Gambar 2) merupakan alat penangkapan ikan terdiri dari badan, kantong dan sayap yang dipasang pada kedua sisi mulut jaring. Pengoperasiannya dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal 5

21 melalui kedua bagian sayap dan tali selambar (Subani dan Barus 1989). Menurut Subani dan Barus (1989) dan Monintja (1989), ciri khusus alat ini adalah bibir atas dari mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah larinya ikan ke arah vertikal. Menurut Subani dan Barus (1989), dogol terdiri dari bagian-bagian kantong, kaki, tali-temali, pelampung dan pemberat. Di samping tali ris atas, ris bawah dan slambar terdapat tali pengotot. Tali ini fungsinya sebagai pembantu bila jaring sewaktu-waktu tersangkut sesuatu di dasar pada waktu penangkapan. Tali ini terbuat dari ijuk yang panjangnya ± sama dengan panjang jaring. Usaha penangkapan dengan dogol menggunakan perahu layar/motor, hasil tangkapan terutama udang, ikan demersal. Menurut Monintja (1989), sayap pada dogol memiliki ukuran mata jaring yang lebih besar dari bagian lain pada dogol. Sayap pada dogol berfungsi sebagai dinding penghadang atau sebagai penggiring dan pengejut ikan. Sumber Subani dan Barus (1989) Gambar 2 Dogol 6

22 Jaring rampus Menurut Subani dan Barus (1989), jaring rampus (Gambar 3) merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok jaring insang. Jaring rampus dioperasikan di dasar perairan dengan target tangkapan utama adalah udang. Satu set jaring rampus terdiri dari piece dengan panjang 45 meter dan lebar 3,5 meter per piece. Setiap set jaring rampus terdiri atas jaring berbahan PA monofilament, tali ris atas dan tali ris bawah berbahan PE multifilament, pelampung yang terbuat dari karet, pemberat yang terbuat dari timah, pelampung tanda, tali selambar berbahan PE multifilament, tali jangkar berbahan PE multifilament dan jangkar. Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 3 Jaring rampus Bagan tancap Menurut Subani dan Barus (1989), bagan tancap (Gambar 4) kedudukannya tidak dapat dipindah-pindahkan dan sekali dipasang berarti berlaku untuk selama musim penangkapan ikan. Rumah bagan tancap berupa anjang-anjang berbentuk piramid terpancung, bagian atas berupa pelataran dimana terdapat gulungan dan tempat nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan. Ciri khas penangkapan ikan menggunakan alat bantu lampu petromaks. Jika telah banyak terkumpul kawanan ikan kemudian dilakukan pengangkatan jaring dan begitu seterusnya. Hasil tangkapannya diantaranya adalah tembang, teri, japuh, selar, petek, kapas-kapas dan cumi-cumi. 7

23 Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 4 Bagan tancap Alat pengumpul kerang Menurut Subani dan Barus (1989), alat pengumpul kerang (Gambar 5) adalah alat yang digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kerang yang terdiri dari alat penggaruk yang memiliki bingkai dari besi. Cara mengumpulkannya menggunakan tangan dan alat penggaruk, kemudian kerang yang telah dikumpulkan dimasukkan ke dalam keranjang. Hasil tangkapannya adalah kerang darah (Anadara sp.). Sumber : Subani dan Barus (1989) Gambar 5 Pengumpul kerang 8

24 2.1.2 Kapal penangkapan ikan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Perahu atau kapal penangkapan ikan di laut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori sebagai berikut (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, 2008): 1) Perahu tanpa motor, yaitu perahu yang tidak menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak, tetapi menggunakan layar atau dayung untuk menggerakkan kapal. 2) Perahu motor tempel adalah perahu yang menggunakan mesin atau motor tempel sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di bagian luar perahu, baik diletakkan di buritan maupun di sisi perahu. 3) Kapal motor, yaitu kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakkan di dalam kapal Nelayan Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang dimaksud dengan nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan menjadi (Direktorat Jendral Perikanan Tangkap 2008): 1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. 2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan. Selain nelayan sebagai pekerjaan utama, pada kategori ini nelayan tersebut juga mempunyai pekerjaan lain. 9

25 3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan, sedangkan sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan lain Daerah dan musim penangkapan ikan Menurut Ayodhyoa (1981), daerah penangkapan ikan merupakan suatu wilayah perairan yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan atau daerah yang diduga terdapat gerombolan ikan, karena ikan yang menjadi tujuan berada di dalam air dan tidak terlihat dari permukaan air, sedangkan kemampuan mata manusia untuk melihat kedalam air terbatas. Jenisjenis ikan yang hidup di perairan amat beragam serta menempati fishing ground yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dalam usaha penangkapannya mempunyai banyak variasi baik dalam bentuk alat tangkap, metode penangkapan, maupun struktur organisasi usahanya. Di Teluk Jakarta terjadi tiga musim penangkapan setiap tahunnya yaitu musim barat, musim peralihan dan musim timur. Musim barat terjadi pada bulan Desember-Maret, sedangkan musim timur terjadi pada Juni-September. Musim peralihan terjadi antara pergantian musim barat ke musim timur atau sebaliknya (Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu, 2007) Hasil tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dikategorikan ke dalam hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama merupakan hasil tangkapan yang menjadi tujuan utama nelayan, sedangkan hasil tangkapan sampingan merupakan tangkapan yang tidak sengaja tertangkap sewaktu alat tangkap dioperasikan (Rachmawati, 2008). Menurut Monintja (1989), sumber daya perikanan laut dapat digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: 1) Ikan Jenis ikan yang hidupnya di lapisan dasar perairan disebut ikan demersal. Contohnya ikan sebelah, ikan lidah, manyung, belosok, biji nangka, ikan gerotgerot, ikan bambangan, kerapu, kakap, kurisi, cucut, pari, bawal hitam dan 10

26 bawal putih. Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya di lapisan permukaan air. Contohnya ikan layang, selar, belanak, julung-julung, teri,tembang, lemuru, layur, tuna, cakalang dan tongkol. 2) Binatang berkulit keras Yang termasuk binatang berkulit keras diantaranya adalah rajungan, kepiting, udang barong, udang windu dan udang putih. 3) Binatang lunak Yang termasuk binatang lunak diantaranya adalah tiram, simping, remis, kerang darah, cumi-cumi, sotong dan gurita. 4) Binatang lainnya Yang termasuk binatang lainnya diantaranya adalah penyu, teripang dan uburubur. 5) Tanaman air Yang termasuk tanaman air adalah rumput laut. Aspek biologi dari beberapa jenis ikan yang biasa tertangkap di Perairan Teluk Jakarta diuraikan lebih lanjut. Ikan teri galer (Stolephorus sp.) Ikan teri galer memiliki ciri- ciri morfologis tubuh tidak berwarna dengan garis berwarna hitam atau putih keperakan di sepanjang gurat sisi, bentuk tubuh bulat memanjang, sisik kecil dan tipis serta mudah lepas, mulut agak tersayat dalam, mencapai hingga belakang mata dan rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Teri galer termasuk jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ikan teri umumnya berkelompok (schooling) dan memiliki respon yang positif terhadap cahaya. Ikan teri galer tersebar di wilayah Indo- Pacifik, mulai dari laut India bagian barat dari Cochin selatan India sampai Myanmar dan perairan Pasifik bagian barat dari Thailand, Laut Jawa, Filipina, hingga Papua New Guinea (Froese and Pauly, 2010). Ikan teri galer termasuk jenis ikan musiman. Musim penangkapannya antara bulan April sampai Agustus. Secara umum makanan Stolephorus didominasi oleh copepoda (Hutomo et al. 1987). 11

27 Ikan belanak (Valamugil sp.) Ikan belanak merupakan jenis ikan demersal dan termasuk jenis ikan bergerombol. Ikan ini merupakan jenis ikan laut tetapi sering masuk ke daerah estuaria bahkan ke perairan sungai. Ikan belanak mempunyai panjang maksimum 40 cm. Sirip punggung pertama dengan garis tepi hitam, sedangkan sirip lainnya berwarna kehitam hitaman. Ikan belanak merupakan ikan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang baik. Ikan ini dapat tumbuh mencapai panjang 40 cm dan umumnya biasanya berukuran cm. Ikan belanak akan meninggalkan tempat hidupnya menjauhi pantai apabila akan memijah. Juvenil ikan belanak ditemukan di rawa bakau. Ikan belanak sering tertangkap nelayan di saat memijah. Secara umum ikan belanak memakan mikroalga, alga yang mengapung, dan zat organik lainnya seperti diatom. Daerah penyebaran ikan belanak yaitu di daerah pantai seluruh perairan Indonesia. Distribusi ikan ini tersebar di semua perairan terutama di daerah estuari dan laut di daerah tropis dan subtropis yaitu di Indo - Pasifik, Filipina, dan Laut Cina Selatan, hingga Australia. Ikan ini termasuk ikan yang bersifat non predator (Froese and Pauly, 2010). Ikan tembang (Sardinella sp.) Ikan tembang termasuk ikan pelagis kecil pemakan plankton. Hidupnya bergerombol, badannya bulat memanjang, bagian perut agak membulat dengan sisik duri yang agak tumpul dan tidak menonjol. Panjang badannya dapat mencapai 23 cm, namun umumnya cm (Froese and Pauly, 2010). Ikan kembung perempuan (Rastrelliger sp.) Menurut Saanin (1984), ikan kembung banjar merupakan merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir di seluruh perairan Indonesia. Ikan ini tertangkap baik dalam jumlah besar maupun sedikit. Berdasarkan klasifikasi Saanin (1984), di perairan Indonesia terdapat tiga spesies ikan kembung, yaitu Rastrelliger brachysoma, Rastrelliger neglectus, Rastrelliger kanagurta. Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) secara sepintas sama dengan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma). Ikan kembung lelaki 12

28 mempunyai punggung berwarna biru kehijauan dan bawahnya berwarna putih kekuningan serta dihiasi totol hitam pada bagian punggungnya dari depan ke belakang. Ikan kembung perempuan mempunyai warna biru kehijauan pada punggungnya dan putih perak pada bagian perutnya serta terdapat totol hitam pada bagian punggung di atas garis rusuk. Warna sirip punggung pertama kuning keabuan dan gelap pada pinggirnya, kuning muda pada sirip dada dan sirip perut, sedangkan sirip dubur dan sirip ekornya kuning bening. Ikan kembung perempuan terdapat di daerah pantai. Ikan kembung perempuan hidup perairan dekat pantai pada kadar garam rendah (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Ikan pepetek (Leiognathus sp. ) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan pepetek merupakan ikan demersal yang hidup di pesisir atau teluk perairan dengan dasar perairan berupa pasir atau lumpur, tetapi terkadang ikan pepetek juga beruaya memasuki perairan payau (estuaria). Ikan pepetek memakan crustacea kecil, polychaeta, remis, foraminifera, gastropoda dan nematoda yang menempel di dasar perairan. Ikan pepetek memiliki tubuh pipih berwarna keperakan dengan panjang maksimal mencapai 14 cm dengan panjang dewasa rata-rata 11 cm. Ikan pepetek hidup secara bergerombol. Ikan kuniran (Upeneus sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kuniran merupakan ikan demersal yang hidup pada perairan pesisir atau teluk perairan dengan kedalaman meter. Ikan kuniran memiliki ciri-ciri fisik yaitu badan berwarna merah dengan gurat sisi berwarna hitam dan sirip dorsal berwarna kehitaman dengan sirip ventral berwarna putih. Dalam keadaan lingkungan optimum ikan kuniran dapat tumbuh mencapai 23 cm dengan panjang rata-rata dewasa 20 cm. Ikan kuniran hidup secara bergerombol dan terkadang beruaya memasuki wilayah estuari. Ikan kurisi (Nemipterus sp. ) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kurisi merupakan ikan demersal yang hidup pada kedalaman perairan 5 50 meter. Ikan kurisi memiliki ciri-ciri fisik yaitu badan berwarna merah pucat dengan beberapa garis sepanjang gurat 13

29 sisi berwarna kuning dan sirip pectoral lebih panjang dari sirip anal dengan sirip ekor yang tidak simetris, ikan kurisi memiliki warna perut perak pucat. Ikan kurisi hidup secara bergerombol di dasar perairan berlumpur dan memakan ikan kecil, crustacea, molluska, polychaeta dan echinodermata. Ikan kurisi dapat mencapai panjang 32 cm dengan panjang dewasa rata-rata ialah 25 cm. Ikan kuro (Eleutheronema sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan kuro atau kurau merupakan jenis ikan pelagis yang hidup pada perairan dengan kedalaman 5-25 meter. Ikan kuro memiliki ciri-ciri fisik badan berwarna perak gelap dengan sirip pectoral, anal, dorsal dan caudal berukuran besar. Ikan kurau dapat mencapai ukuran 60 cm dengan ukuran dewasa rata-rata 40 cm. Ikan kurau hidup berkelompok tetapi saat dewasa ikan kurau cenderung soliter. Ikan kurau memakan udang dan ikan dari anggota Mugilidae, Engraulidae dan Sciaenidae. Ikan kurau terkadang memakan polychaetes. Ikan sembilang (Euristhmus sp.) Menurut Froese and Pauly (2010), ikan sembilang ialah ikan demersal yang hidup di perairan dengan kedalaman meter dan memiliki dasar perairan berupa lumpur. Ikan sembilang memiliki ciri-ciri seperti lele air tawar dengan ukuran panjang mencapai 40 cm dan panjang dewasa rata-rata 30 cm. Menurut Froese and Pauly (2011), ikan sembilang bersifat detrifor dan memakan hampir setiap organisme yang menempel di dasar perairan. Walaupun sebagian sumber daya perikanan laut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kebutuhan hidup terutama dalam peningkatan gizi yang berasal dari protein hewani, namun dalam pengelolaannya perlu adanya prioritas yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan (Subani dan Barus, 1989). Menurut Manalu (2003) ditinjau dari pemanfaatannya hasil tangkapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 14

30 1) Hasil tangkapan utama (target catch) Hasil tangkapan utama adalah komponen dari stok ikan yang utama dicari dari operasi penangkapan ikan. Hasil tangkapan utama merupakan sasaran target utama dari alat penangkapan ikan yang digunakan. 2) Hasil tangkapan sampingan (by-catch target) Hasil tangkapan sampingan adalah ikan non target yang tertangkap dalam operasi penangkapan ikan. Tertangkapnya spesies ikan non target ini dapat disebabkan karena adanya tumpang tindih habitat antara ikan target dan non target serta kurang selektifnya alat tangkap yang digunakan. Menurut Hakim (2006) hasil tangkapan sampingan atau disingkat HTS merupakan istilah yang pada awalnya dikenal di kalangan nelayan. HTS merupakan bagian dari hasil tangkapan total yang tertangkap secara bersamaan dengan spesies target yang diupayakan. Menurut Hall (1999), kategori hasil tangkapan sampingan (by-catch) dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Spesies yang kebetulan tertangkap, yaitu hasil tangkapan yang tertahan dan bukan merupakan spesies target dari operasi penangkapan ikan. Spesies yang kebetulan tertangkap ini ada yang dimanfaatkan oleh nelayan dan ada yang dibuang bergantung pada nilai ekonominya. 2) Spesies yang dikembalikan ke laut atau discard catch, yaitu bagian dari hasil tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi bernilai rendah atau karena spesies yang dilindungi oleh hukum. 2.2 Keanekaragaman Hasil Tangkapan Keanekaragaman hayati adalah istilah untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam yang mencakup jumlah dan frekuensi ekologis spesies dan genetik yang terdapat dalam wilayah tertentu. Pengukuran keanekaragaman diperlukan untuk mengestimasi arti penting suatu spesies dalam komunitas tertentu. Komponen utama dari keanekaragaman yaitu kesamarataan dalam pembagian individu-individu merata diantara jenis (Krebs, 1989). 15

31 2.3 Rantai Makanan di Laut Menurut Michael (1995), rantai makanan adalah perpindahan energi makanan melalui sederetan makhluk hidup. Umumnya terdapat lebih dari 4 atau 5 makhluk hidup terkait dalam satu rantai makanan. Rantai rantai makanan ini tidak merupakan satuan yang terisolasi, namun saling berkaitan dalam suatu komunitas. Pola yang demikian disebut jaring makanan. Beberapa tingkatan trofik dapat dikenali dalam setiap jaring makanan yang rumit. Menurut Heddy dan Kurniati (1994), rantai makanan merupakan proses perpindahan energi makanan dari sumberdaya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jalur makan-memakan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), rantai makanan merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui serangkaian jasad-jasad dengan cara makan-dimakan yang berulangkali. Sumber energi yang dimaksud adalah tumbuh-tumbuhan yang mampu merubah zat anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hewan memanfaatkan zat organik dengan memakan tumbuh-tumbuhan. Pada gilirannya hewan ini dimakan oleh hewan yang lebih besar dan seterusnya. Hewan terbesar yang tak dimakan akhirnya akan mati dan terurai oleh bakteri menjadi zat anorganik kembali untuk dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Pada setiap pemindahan energi, sebagian energi hilang sebagai panas, karenanya makin pendek rantai makanan makin sedikit energi yang hilang. Pada habitat akuatik, herbivora umumnya berukuran sangat kecil rantai makanannya panjang, terdiri dari lima mata rantai atau lebih untuk mengubah zat tumbuh-tumbuhan menjadi hewan yang tidak lagi mempunyai musuh yang lebih besar. Jika hubungan makan-dimakan sedemikian rupa sehingga setiap pemangsa memangsa beberapa jenis makanan dan setiap jenis makanan dimakan oleh banyak jenis hewan, maka yang demikian itu tidak dapat dinyatakan sebagai deretan-deretan mata rantai yang terletak bersebelahan. Jika digambarkan maka jumlah seluruh rantai makanan dalam suatu komunitas dinamakan jaringan makanan (food web). Menurut Nebel et al. (1998), suatu populasi herbivora memakan berbagai jenis tumbuhan, dan kemudian herbivora ini dimangsa oleh beberapa konsumen sekunder atau omnivora. Sebagai konsekuensinya, 16

32 sebenarnya seluruh rantai-rantai makanan saling berkaitan dan membentuk suatu complex web of feeding relationship. Istilah food web dipakai untuk menyatakan jaringan yang kompleks dari rantai-rantai makanan yang saling berkaitan (interconnected). Gambar 6 dinamakan piramida makanan, jika jumlah energi yang dimasukkan ke dalam sistem berubah pada setiap langkah atau tingkat trofik dan seterusnya, maka tingkat-tingkat trofik berikutnya harus menyesuaikan dengan keadaan perubahan tersebut. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), yang teramat rentan adalah jika sesuatu faktor mempengaruhi tingkat trofik dasar dari piramida, misalnya pencemaran laut atau penangkapan ikan secara berlebih pada suatu tingkat trofik maka akan berpengaruh pada keseimbangan hewanhewan tingkat trofik berikutnya. Gambar 6 Rantai makanan Rantai makanan ini mencerminkan kebutuhan makhluk hidup akan makanan untuk mempertahankan hidupnya. Menurut sifat sumbernya, rantai makanan dapat dibagi menjadi dua, yakni rantai makanan meramban atau merumput dan rantai makanan detritus (Romimohtarto dan Juwana, 2005) Rantai makanan meramban atau merumput Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), dalam rantai makanan meramban semua kehidupan hewan tergantung pada kemampuan tumbuhan hijau untuk berfotosintesis. Di laut, fitoplankton merupakan produsen makanan yang 17

33 utama, tingkat selanjutnya adalah pemindahan energi dari makanan utama ke dalam rantai makanan. Plankton dapat memproduksi zat organik dari bahan anorganik, maka plankton tersebut dinamakan penghasil awal atau primary producer. Plankton ini akan dimakan oleh zooplankton. Zooplankton berperan penting karena penghubung antara fitoplankton dengan hewan laut lain yang lebih besar. Diantara zooplankton laut, copepoda adalah yang dominan, yaitu copepoda karnivor, copepoda omnivor yang mengambil makanan langsung dari diatom dan dinoflagellata. Zooplankton lain adalah crustacea planktonic dan yang terpenting adalah Cladocera yang herbivor dan makanannya fitoplankton berukuran kecil. Kelompok hewan lain yang lebih besar adalah euphasid atau krill atau udang plankton yang membentuk makanan yang terpendek, yakni fitoplankton-euphasid- Mystacoceti. Selain itu tidak semua rantai makanan sependek itu, biasanya larva ikan yang gerakannya sangat terbatas tergantung pada jumlah plankton yang ada di sekitarnya. Ikan pemakan plankton adalah mangsa dari bermacam-macam pemangsa seperti kembung, tongkol dan barakuda. Pemangsa-pemangsa ini dapat dianggap sebagai akhir dari rantai makanan (Romimohtarto dan Juwana, 2005) Rantai makanan detritus Menurut Romimohtarto dan Juwana (2005), rantai makanan detritus terjadi pada ekosistem estuaria dan mangrove. Sumber utama detritus berasal dari daundaun dan ranting-ranting bakau yang telah membusuk. Daun-daun yang gugur dan sebagian alga yang gugur dimakan oleh jenis-jenis bakteri dan fungi. Bakteri dan fungi ini akan dimakan oleh sebagian Protozoa dan Avertebrata lainnya dan kemudian Protozoa dan Avertebrata tersebut akan dimakan oleh karnivor sedang, kemudian karnivor sedang ini akan dimakan oleh karnivor yang lebih tinggi. Menurut Nebel et al. (1998), banyak organisme yang terkhususkan pemakan detritus, yang kemudian consumers jenis ini disebut sebagai detritus feeders atau detrivores. 2.4 Tingkat Trofik Menurut Froese dan Pauly (2000), tingkat trofik adalah posisi dari suatu organisme dalam jejaring makanan, konsep tingkat trofik telah membuka topik baru untuk penelitian ekologi laut, seperti: 18

34 1) Perbandingan berbagai ekosistem berdasarkan distribusi frekuensi tingkat trofik spesies tertentu; 2) Hubungan antara tingkat trofik dengan parameter biologi lainnya dengan ukuran tertentu. Misalnya, parameter biologi antar spesies. Menurut Michael (1995), tingkat trofik menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang masing-masing berperan dalam jejaring makanan (Tabel 1 dan Gambar 7). Tabel 1 menjelaskan tingkat trofik yang berhubungan dengan komponen biotik. Tabel 1 Tingkat trofik Komponen biotik Organisme Tingkat trofik Produsen Tumbuhan Hijau Tingkat trofik pertama Konsumen Primer Herbivora Tingkat trofik kedua Konsumen Sekunder Karnivora dan Parasit Tingkat trofik ketiga Konsumen Tersier Karnivora yang lebih tinggi Tingkat trofik keempat dan hiperparasit Sumber: Michael (1995) Suatu spesies tertentu dapat menghuni lebih dari satu tingkatan trofik. Ukuran hewan dalam tingkatan-tingkatan trofik yang berurutan cenderung bertambah (Michael, 1995) Tingkat trofik dibatasi jenisnya dari komposisi makanan yang meliputi seluruh bahan makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies pada suatu lokasi dan musim. Berdasarkan Gambar 7 suatu trofik dan penyusunnya kemudian dapat dibatasi dari rataan tingkat trofik mangsa ditambah satu (Froese and Pauly, 2000). Menurut Stergio et al. (2007), tingkat trofik yang digunakan, yaitu : 1) 2,1 2,9 : Omnivora yang cenderung pemakan tumbuhan; 2) 3,0 3,7 : Omnivora yang cenderung pemakan hewan; 3) 3,8 4,0 : Karnivora, menyukai decapoda dan ikan; 4) 4,1 4,5 : Karnivora, menyukai ikan dan Cephalopoda. 19

35 Sumber : Stergio et al. (2007) Gambar 7 Ilustrasi struktur tingkat trofik seimbang alamiah Menurut Nebel et al. (1998), semua rantai makanan pada dasarnya menjurus pada serangkaian tahap atau tingkatan, dari produsen kepada konsumen primer atau primary detritus feeders kemudian ke konsumen sekunder atau secondary detritus feeders, dan seterusnya. Feeding levels yang semacam ini disebut trophic levels. Menurut Bengen (2001), sumberdaya hayati wilayah pesisir dan laut merupakan satuan kehidupan organisme hidup saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayatinya fisik membentuk suatu sistem trofik level. Menurut Heddy dan Kurniati (1994), organisme yang sumber makannya diperoleh dari tumbuhan dengan jumlah langkah yang sama disebut mempunyai tingkat trofik yang sama. Tingkat trofik I adalah produsen, tingkat trofik II adalah herbivora dan tingkat trofik III adalah karnivora konsumen II. Penggolongan organisme berdasar tingkat trofik jenjang makanan didasarkan atas fungsi organisme dalam rantai makanan dan bukan berdasarkan atas spesies. Oleh karena itu, satu spesies dalam populasi dapat menduduki lebih dari satu jenjang makanan. Komponen biotik yang menyusun suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas empat kelompok utama: 20

36 (1) produsen, (2) konsumer primer, (3) konsumer sekunder, dan (4) dekomposer. Menurut Bengen (2001), sebagai produsen adalah vegetasi autrotof, algae dan fitoplankton yang menggunakan energi matahari untuk proses fotosintesis yang menghasilkan zat organik sederhana. Sebagai konsumen primer adalah hewan-hewan yang memakan produsen disebut herbivora. Herbivora ini menghasilkan materi organik tetapi herbivora ini tergantung sepenuhnya dari materi organik yang disintesa oleh tumbuhan atau fitoplankton yang dimakannya. Konsumen sekunder adalah karnivora yaitu, semua organisme yang memakan hewan. Konsumen tersier adalah yang memakan konsumer sebelumnya. Sebagai dekomposer adalah organisme avertebrata, bakteri dan cendawan yang memakan materi organik yang mati: bangkai, daun-daunan yang mati, ekskreta. Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasar yang menyusun struktur fungsional komponen biotik: produksi, konsomasi, dan dekomposisi atau mineralisasi. Menurut Bengen (2001), proses produksi yang dilakukan oleh produsen dengan memanfaatkan energi dan nutrien yaitu komponen abiotik yang kemudian dimakan oleh konsumer pada berbagai tingkatan trofik terjadi proses konsomasi membentuk suatu piramida makanan dimana pada tingkatan trofik yang semakin tinggi terjadi pertambahan ukuran individu, namun jumlah individu semakin sedikit. Komponen abiotik dari suatu ekosistem pesisir dan laut terbagi atas tiga komponen utama: 1) Unsur dan senyawa anorganik berupa karbon, nitrogen dan air yang terlibat dalam siklus materi di suatu ekosistem; 2) Bahan organik berupa karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen abiotik dan biotik; 3) Regim iklim seperti suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Tingkat trofik dibagi menjadi empat yaitu: primary production, herbivore, predator, dan top predator (Gambar 8). Menurut Stergio et al. (2007), keunggulan dari tingkat trofik sebagai indikator ekologi ada pada efisiensinya dalam 21

37 mengungkapkan efek dari penangkapan ikan terhadap ekosistem, baik itu secara langsung atau tidak langsung. Efek penangkapan ikan secara langsung dapat diketahui dalam bentuk nilai tingkat trofik dari hasil tangkapan dalam kurun waktu beberapa tahun. Efek penangkapan ikan secara tidak langsung dapat diketahui dengan mengestimasi indikator lain seperti primary production yang dibutuhkan untuk mendukung penangkapan ikan dan indeks fisheries in balance. Sumber : The University of Waikato ( ) Gambar 8 Tingkat trofik perairan Menurut Stergio et al. (2007), penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan beragam jenis alat penangkapan ikan. Alat penangkapan ikan dengan sasaran tangkap yang spesifik berdasarkan ukuran dan jenis ikan, berbeda dengan tipe alat tangkap untuk beragam jenis ikan sasaran tangkapan. Contohnya, hasil tangkapan trawl lebih beragam bentuk, ukuran dan jenisnya. Sementara gillnet, ikan hasil tangkapannya memiliki ukuran yang hampir sama / satu ukuran. Dibandingkan dengan gillnet dan trammel net, longline memiliki variasi ukuran dan jenis hasil tangkapan yang jauh lebih sedikit. Sebagai tambahan, penggunaan kapal penangkapan ikan dan teknologi, membuat para penangkap ikan bisa beroperasi di wilayah penangkapan ikan yang berbeda dengan fungsi penggunaan tingkat trofik yang berbeda di tiap wilayah penangapan ikan. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan penting, yaitu apakah jumlah spesies yang 22

38 ditangkap berdasarkan kelas tingkat trofik serta rata-rata nilai tingkat trofik berbeda, sesuai dengan tipe alat penangkapan ikan, akan menunjukkan bahwa efek dari alat penangkapan ikan terhadap ekosistem memang berbeda. 2.5 Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Menurut Martasuganda (2004), teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah suatu upaya terencana dalam menggunakan alat tangkap yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya ikan secara berkesinambungan dalam meningkatkan kualitas hasil tangkapan tanpa mengganggu atau merusak kondisi habitat sumberdaya sekitar. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan perlu diarahkan agar dapat menunjang pengembangan perikanan. Oleh karena itu, diperlukan adanya kriteria-kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, serta pengawasan atas penerapan kriteria-kriteria tersebut di lapangan (Martasuganda 2004). Hal-hal penting yang harus diperhatikan agar dapat memenuhi kriteria teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan (Martasuganda 2004) antara lain adalah: 1) Mengutamakan keselamatan awak kapal di atas segala-galanya, baik pada waktu operasi penangkapan ikan maupun dalam menangani hasil tangkapan; 2) Melepaskan kembali hasil tangkapan yang belum layak ditangkap pada habitat perairan yang dilindungi; 3) Menjaga lingkungan sekitar di mana kita berada. Dalam mendukung teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan, diperlukan juga alat penangkap ikan yang ramah lingkungan yaitu alat tangkap yang tidak mengeksploitasi jenis ikan tertentu karena biasanya, ketika suatu pengeksploitasian dimulai, target pertama nelayan adalah jenis ikan yang berada pada tingkat trofik yang tinggi. Ketika jenis ini langka, nelayan berpindah operasi penangkapan ke arah jenis tingkatan trofik yang lebih rendah. Oleh karena itu, alat tangkap haruslah alat dengan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. 23

39 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan di wilayah Teluk Jakarta bagian dalam, provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Agustus 2010 dan Januari Bahan dan Alat Bahan yang diteliti di dalam penelitian ini adalah unit penangkapan ikan serta kelengkapannya. Selain itu bahan yang diteliti di dalam penelitian ini ialah hasil tangkapan dari unit penangkapan ikan yang beroperasi di zona dalam Teluk Jakarta. Alat yang digunakan didalam penelitian ini adalah : a) Alat pengukur panjang dengan skala terkecil milimeter. b) Alat pengukur berat baik berupa timbangan digital maupun pegas dengan skala terkecil miligram. c) Kuesioner. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan obyek penelitian adalah unit penangkapan ikan dan hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di Teluk Jakarta. Menurut Nazir (2005), metode studi kasus adalah metode yang meneliti tentang status obyek peneliti yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus adalah untuk menggambarkan secara mendetail tentang latar belakang, sifat serta karakter yang khas dari kasus, atau status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas itu akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. 3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam peneilitian ini ialah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif ialah jenis data deskriptif berupa gejala-gejala dalam

40 bentuk dokumen, foto dan catatan-catatan pada saat penelitian. Data kuantitatif ialah jenis data deskriptif berupa angka-angka statistik (Sulistianto, 2010). Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan pada bulan Agustus 2010 adalah jenis alat tangkap yang daerah penangkapannya di zona bagian dalam Teluk Jakarta. Data yang dikumpulkan pada bulan Januari 2011 adalah hasil tangkapan dominan dari tiap jenis alat tangkap yang digunakan, serta panjang dan berat tiap jenis ikan. Data sekunder dikumpulkan dari pemerintah setempat, yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pusat Statistik, serta Suku Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Jakarta Utara. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan : 1) Hasil tangkapan utama Data hasil tangkapan diperoleh dari pencatatan hasil tangkapan untuk setiap jenis dan ukuran alat tangkap. Hasil tangkapan setiap alat tangkap diidentifikasi terlebih dahulu dan dikelompokkan berdasarkan genusnya, lalu diukur panjang dan beratnya. Jenis ikan yang diteliti berjumlah sembilan ekor ikan diantaranya lima jenis yang didaratkan di Muara Kamal dan empat jenis yang didaratkan di Muara Cilincing. Jenis ikan yang didaratkan di Muara Kamal adalah ikan teri galer (Stolephorus sp.), belanak (Valamugil sp.), tembang (Sardinella sp.), kembung perempuan (Rastrelliger sp.), pepetek (Leiognathus sp. ) serta empat jenis yang didaratkan di Muara Cilincing yaitu ikan kurisi (Nemipterus sp. ), kuniran (Upeneus sp. ), kuro (Eleutheronema sp.) dan sembilang (Euristhmus sp.). 2) Keragaan alat tangkap Data keragaan alat tangkap diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data keragaan alat tangkap berupa konstruksi alat, dimensi kapal yang digunakan, metode pengoperasian alat dan daerah penangkapan ikan. Ada tujuh jenis alat tangkap yang diteliti, yaitu bagan tancap, bagan kapal, sero dan jaring insang yang fishing base-nya di Muara Kamal, serta payang, dogol dan pancing rawai yang fishing base-nya di Muara Cilincing. Ketujuh alat tangkap tersebut melakukan operasi penangkapan ikan di zona dalam Perairan Teluk Jakarta. 25

41 3) Tingkat trofik setiap hasil tangkapan Dari spesies hasil tangkapan yang didapat akan dilihat nilai tingkat trofiknya. Sumber data yang digunakan dari referensi Froese dan Pauly (2010) yang menyediakan nilai tingkat trofik dari jenis dan komposisi makanan. 3.5 Metode Sampling Responden Responden dalam penelitian ini ditentukan menggunakan metode purposive sampling. Menurut Nazir (2005), metode purposive sampling ialah pemilihan responden secara sengaja berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini menggunakan kriteria responden harus dapat menjawab dan memahami dengan jelas pertanyaan dari kuesioner yang diajukan, keterkaitan jenis alat tangkap yang digunakan, dan daerah penangkapan. Pengambilan responden dilakukan di dua basis penangkapan ikan yaitu Muara Kamal dan Muara Cilincing, sebab nelayan yang beroperasi di Teluk Jakarta hanya berbasis di wilayah ini. Jumlah responden untuk setiap unit penangkapan diwakilkan sebanyak tiga orang nelayan untuk tiap unit penangkapan ikan yang beroperasi di zona dalam Teluk Jakarta. Kemampuan responden di dalam menjawab dan memahami kuesioner yang diajukan sangat dipertimbangkan, apabila responden tidak dapat memahami atau menjawab kuesioner, maka akan diganti dengan responden yang lain. Data yang dikumpulkan berupa keterangan identitas responden, alat penangkap ikan yang digunakan, daerah penangkapan dan hasil tangkapan. 3.6 Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah menggunakan tiga analisis. Analisis yang digunakan ialah analisis teknis, analisis hubungan panjang dan berat ikan hasil tangkapan, serta analisis indikator dampak penangkapan ikan terhadap tingkat trofik ikan hasil tangkapan. 26

42 3.6.1 Analisis teknis Analisis teknis yang dilakukan secara deskriptif. Obyek yang dianalisis adalah keragaan perikanan tangkap, meliputi konstruksi dan desain alat tangkap, serta daerah operasi penangkapan ikan di zona dalam Perairan Teluk Jakarta Hubungan panjang dan berat Panjang dan berat ikan hasil tangkapan utama setiap alat tangkap diukur, kemudian dianalisis hubungannya untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan (Septiawan, 2009). Panjang tubuh ikan yang diukur adalah panjang cagak dan panjang total. Panjang cagak adalah panjang tubuh ikan mulai dari ujung mulut depan hingga pangkal cagak ekor ikan. Panjang total adalah panjang tubuh ikan mulai dari ujung mulut depan hingga ujung ekor ikan. Menurut Effendie (1979), hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memiliki nilai yang memungkinkan adanya perubahan dari nilai panjang ke nilai berat ikan atau sebaliknya. Apabila diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan umum W = a L b, dimana W = bobot ikan (gram) dan L = panjang total (cm), sedangkan a dan b = konstanta regresi hubungan panjang dan berat (Effendie 1979). Menurut Effendie (1997), nilai b berfluktuasi antara 2,5-4,0, tetapi kebanyakan mendekati 3,0 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi. Menurut Effendie (1997) nilai b yang merupakan konstanta adalah harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Hubungan konstanta regresi hubungan panjang dan berat memungkinkan untuk membandingkan individu dalam satu populasi maupun antar populasi: a) Nilai b=3 menunjukkan pola pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya. b) Nilai b 3 menunjukkan pola pertumbuhan bersifat allometrik, yaitu: b>3 maka pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya, menunjukkan keadaan ikan yang gemuk. b<3 maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya, menunjukkan keadaan ikan yang kurus. Nilai a dan b didapat dari rumus berikut : 27

43 Kemudian nilai a dan b dimasukkan kedalam logaritma persamaan ln W = ln a + b ln L. Logaritma tersebut menunjukkan hubungan yang linear Analisis indikator dampak penangkapan ikan terhadap tingkat trofik hasil tangkapan Analisis indikator dampak penangkapan ikan terhadap tingkat trofik hasil tangkapan digunakan untuk mengungkapkan efek dari penangkapan ikan berlebihan pada tingkat komunitas ekosistem perikanan di Teluk Jakarta. Indikator yang digunakan yaitu komposisi hasil tangkapan, ukuran rata-rata pertumbuhan ikan, ukuran ikan yang sudah layak tangkap berdasarkan nilai Lm (length at first maturity). Nilai tingkat trofik ikan dari berbagai ukuran mengungkapkan posisi dari organisme di dalam food web. Hal ini dilihat berdasarkan pada hasil penelitian Froese dan Pauly (2010). 28

44 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o o Lintang Selatan dan 106 o o Bujur Timur. Batasan di sebelah barat adalah Tanjung Pasir dan di sebelah timur Tanjung Karawang (e.g.taurusman, 2007). Garis yang menghubungkan kedua tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar dengan panjang sekitar 12 mil. Batasan luas Teluk Jakarta bersifat dinamis sesuai dengan dinamika permukaan laut itu sendiri, namun luas Teluk Jakarta diperkirakan sebesar 285 km 2 dengan garis pantai sepanjang 33 km dan kedalaman perairan rata-rata 8,4 meter. Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai, diantaranya adalah sungai besar seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Citarum dan Sungai Bekasi (e.g.taurusman, 2007). Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta Teluk Jakarta adalah daerah kawasan pesisir perairan utara Jakarta, topografi Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir

45 semakin menonjol di bagian laut lepas. Iklim Teluk Jakarta tergolong klasifikasi iklim tipe D dengan rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar %. Wilayah Muara Kamal dan Muara Cilincing merupakan pantai beriklim panas, dengan suhu rata rata 27 0 C (e.g.taurusman, 2007). 4.2 Keadaan Perikanan Tangkap Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Jakarta berbasis di Muara Kamal dan Muara Cilincing. Tujuan penangkapan adalah ikan pelagis dan ikan demersal Alat penangkapan ikan Alat tangkap yang dioperasikan khusus di wilayah Teluk Jakarta, yaitu: bagan tancap, bagan kapal, sero, jaring insang, payang, dogol dan pancing rawai. Pada basis penangkapan ikan Muara Kamal, alat tangkap yang dioperasikan khusus di wilayah Teluk Jakarta ialah bagan tancap, bagan kapal, sero dan gillnet. Pada basis penangkapan ikan Muara Cilincing, alat tangkap yang dioperasikan khusus di wilayah Teluk Jakarta ialah payang, dogol dan pancing rawai Unit penangkapan ikan di Muara Kamal Unit penangkapan ikan di Muara Kamal terdiri dari empat alat tangkap, yaitu bagan tancap, bagan kapal, sero dan jaring insang. Secara lengkap tentang keempat unit penangkapan ikan tersebut diuraikan lebih lanjut. Bagan Tancap Konstruksi alat tangkap bagan tancap yang dioperasikan di Teluk Jakarta terdiri atas badan jaring dan kerangka bagan. Badan jaring pada bagan tancap yang dioperasikan di Muara Kamal terbuat dari bahan polypropilen dengan ukuran mata jaring 2 mm dan dimensi badan jaring 13,5m x 13,5m x 4m. Selain itu bagan tancap yang dioperasikan di Muara Kamal memiliki tali ris, tali pemberat dan pemberat batu dengan berat 0,5 kg. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap bagan tancap dapat dilihat pada Gambar 10. Unit penangkapan bagan tancap di Muara Kamal beroperasi menggunakan perahu motor dengan dimensi L x B x D yaitu 5 m x 1,5 m x 0,5 m. Perahu motor yang digunakan memiliki daya sebesar 18 PK dengan jumlah nelayan sekitar

46 orang yang mengoperasikan bagan tancap. Perahu pada unit penangkapan bagan tancap hanya berfungsi sebagai alat transportasi nelayan untuk membawa hasil tangkapan dari bagan menuju tempat pendaratan ikan. Sumber : Modifikasi dari Subani dan Barus (1989) berdasarkan hasil wawancara Gambar 10 Konstruksi bagan tancap di Teluk Jakarta Pengoperasian alat tangkap bagan tancap dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan perbekalan, yaitu lampu petromaks, bahan makanan, bahan bakar berupa solar sebanyak 5-10 liter dan minyak tanah sebanyak 5 liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di daerah penangkapan ikan dalam waktu menit. Di awal pengoperasian alat tangkap bagan tancap dilakukan proses pemasangan (setting) waring yang diturunkan menggunakan roller yang digerakkan secara manual menggunakan tangan. Setelah waring sepenuhnya terendam, maka lampu petromaks segera diturunkan menggunakan pengait mendekati permukaan air tetapi tidak menyentuh permukaan air. 31

47 Penggunaan cahaya lampu bertujuan sebagai attractor ikan di waktu malam karena ikan sasaran tangkap seperti teri dan tembang akan cenderung berkumpul di wilayah yang terkena cahaya lampu yang berada tepat di bawah bagan tancap. Lama waktu perendaman (soaking) jaring biasanya berkisar antara 2-3 jam sehingga bisa dilakukan 3-4 kali pemasangan (setting) di dalam satu trip penangkapan ikan. Setelah diperkirakan ikan tertangkap maka dilakukan proses hauling menggunakan roller, lalu ikan yang berada di waring dipindahkan ke dalam keranjang menggunakan serok. Kegiatan operasional bagan tancap berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Bagan Kapal Konstruksi alat tangkap bagan kapal yang dioperasikan di Teluk Jakarta terdiri atas bagian badan jaring dan kerangka bagan. Jaring bagan kapal yang dioperasikan di Muara Kamal terbuat dari bahan polypropilen dengan ukuran mata jaring 2 mm dan dimensi jaring 20,5m x 20,5m x 8m. Selain itu bagan kapal yang dioperasikan di Muara Kamal memiliki tali ris, tali pemberat dan pemberat batu. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap bagan kapal dapat dilihat pada Gambar 11. Unit penangkapan bagan kapal di Muara Kamal beroperasi menggunakan kapal motor dengan dimensi L x B x D yaitu 17 m x 3,3 m x 1,7 m. Kapal motor yang digunakan memiliki daya sebesar 100 PK dengan jumlah nelayan sekitar 6 hingga 7 orang yang mengoperasikan bagan kapal. Pengoperasian alat tangkap bagan kapal dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan perbekalan, yaitu lampu petromaks, bahan makanan, bahan bakar berupa solar sebanyak liter dan minyak tanah sebanyak 5-10 liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu 20 menit hingga 2 jam. 32

48 Sumber : Modifikasi dari Subani dan Barus (1989) berdasarkan hasil wawancara Gambar 11 Konstruksi bagan kapal di Teluk Jakarta Di awal pengoperasian alat tangkap bagan kapal dilakukan proses pemasangan (setting) waring yang diturunkan menggunakan roller. Setelah waring sepenuhnya terendam maka lampu petromaks yang telah disiapkan sebelumnya segera diturunkan menggunakan pengait hingga mendekati permukaan air tetapi tidak sampai menyentuh permukaan air. Penggunaan cahaya lampu bertujuan sebagai attractor ikan di waktu malam karena ikan sasaran tangkap seperti ikan teri, kembung dan tembang akan cenderung berkumpul di wilayah yang terkena cahaya lampu yang berada tepat di bawah bagan kapal. Lama waktu perendaman (soaking) jaring biasanya berkisar antara 2-3 jam sehingga bisa dilakukan 3-4 kali pemasangan (setting) di dalam satu trip penangkapan ikan. Setelah diperkirakan ikan tertangkap maka dilakukan proses hauling menggunakan net roller (pengangkat jaring), lalu ikan yang berada di waring dipindahkan ke dalam keranjang menggunakan serok. Berbeda dengan pengoperasian bagan tancap. Pengoperasian bagan kapal dapat dilakukan berpindah-pindah sehingga memungkinkan nelayan untuk mencari daerah penangkapan ikan lain apabila di daerah penangkapan ikan pertama tidak terdapat 33

49 ikan sasaran tangkap. Kegiatan operasional bagan kapal berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Sero Konstruksi alat tangkap sero yang dioperasikan di wilayah Muara Kamal terdiri atas bagian penaju, serambi, penabah, kantong dengan kerangka sero yang terbuat dari bambu. Bagian jaring dari sero yang dioperasikan di Muara Kamal terbuat dari bahan polypropilen dengan ukuran mata jaring 5 mm. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap sero dapat dilihat pada Gambar 12. Unit penangkapan sero di Muara Kamal beroperasi menggunakan perahu motor tempel dengan dimensi L x B x D yaitu 5 m x 1,5 m x 0,5 m. Perahu motor tempel yang digunakan memiliki daya sebesar 5 PK dengan jumlah nelayan sekitar 2 hingga 3 orang yang mengoperasikannya. Perahu pada unit penangkapan sero hanya berfungsi sebagai alat transportasi hasil tangkapan dari bagan menuju fishing base. 1m 135m N 4,5m 30m 1m Kantorng 6mx6m 7,5m Sumber : Wawancara nelayan (2011) Gambar 12 sero (tampak atas) di Teluk Jakarta Pengoperasian alat tangkap sero dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan perbekalan, yaitu bahan bakar berupa solar sebanyak 5 liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu menit. Alat tangkap sero merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan tidak dapat berpindah dan ikan tertangkap dengan sendirinya melalui arus pasang surut yang melewati sero, sehingga nelayan sero hanya melakukan hauling di tiap trip 34

50 penangkapan dan pembersihan jaring sero pada siang harinya. Proses hauling diawali dari, jaring yang ada pada bagian kantong (borong) diikat ke pinggir atas dan diikat pada sela-sela bambu sehingga memudahkan nelayan dalam memindahkan ikan ke keranjang. Ikan di kantong dipindahkan ke keranjang menggunakan serok. Biasanya nelayan sero di Muara Kamal hanya memasukkan ikan ekonomis penting kedalam keranjang sedangkan ikan yang tidak menguntungkan akan dikembalikan ke perairan atau dimasukkan ke kantong plastik untuk dikonsumsi sendiri. Kegiatan operasional sero berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Jaring insang Konstruksi alat tangkap jaring insang yang dioperasikan di Muara Kamal terdiri atas bagian badan jaring, tali ris atas, tali ris bawah, pelampung, pemberat. Badan jaring gillnet yang dioperasikan di Muara Kamal terbuat dari bahan Polyamide monofilament. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap gillnet dapat dilihat pada Gambar 13. Unit penangkapan jaring insang di Muara Kamal beroperasi menggunakan kapal motor bertonase 6 GT dengan dimensi L x B x D yaitu 13 m x 1,8 m x 1,5 m. Kapal motor yang digunakan memiliki daya sebesar 18 PK dengan jumlah nelayan sekitar 3 hingga 4 orang yang mengoperasikannya. Pengoperasian alat jaring insang dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan perbekalan, yaitu bahan makanan, bahan bakar berupa solar sebanyak liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu 30 menit hingga 2 jam. Di awal pengoperasian alat tangkap jaring insang dilakukan proses pemasangan yang dimulai dari menurunkan pelampung tanda ke air lalu diikuti secara berurutan mulai dari tali selambar, jaring secara perlahan agar jaring dapat terbentang tidak tergulung dan terakhir pelampung tanda yang kedua. 35

51 Sumber : Wawancara nelayan (2011) Gambar 13 Konstruksi jaring insang di Teluk Jakarta Kemudian jaring dibiarkan terendam (soaking) hingga 3 jam, lalu dilakukan proses penarikan dengan menaikkan tali selambar, pemberat, sampai dengan jaring. Ikan yang tertangkap lalu dipilih dan dimasukkan ke dalam wadah-wadah berisi es. Kegiatan operasional jaring insang berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Unit penangkapan ikan di Muara Cilincing Unit penangkapan ikan yang beroperasi di sekitar Muara Cilincing antara lain alat tangkap payang, dogol dan pancing rawai. Uraian ketiga jenis alat penangkapan ikan tersebut sebagai berikut. Payang Konstruksi alat tangkap payang terdiri atas bagian sayap, badan jaring dan kantong. Bagian sayap, badan jaring dan kantong yang dioperasikan di Muara Cilincing terbuat dari bahan PA multifilament dengan ukuran mata jaring (mesh) yang berbeda-beda di tiap bagian. Payang memiliki pelampung yang dipasang 36

52 dengan jarak 7 meter tiap pelampung dan pemberat dipasang dengan jarak 15 meter tiap pemberat. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap payang dapat dilihat pada Gambar 14. Unit penangkapan payang di Muara Cilincing beroperasi menggunakan perahu motor dengan dimensi L x B x D yaitu 12 m x 3,5 m x 1,5 m. Perahu motor yang digunakan memiliki daya sebesar 23 PK dioperasikan oleh sekitar 20 orang nelayan. Sumber : Wawancara nelayan (2011) Gambar 14 Konstruksi payang di Teluk Jakarta Pengoperasian alat payang dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah perbekalan, yaitu bahan makanan, es, dan bahan bakar berupa solar sebanyak liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu 1,5-2 jam. Pengoperasian alat tangkap payang dimulai dari fishing master mencari gerombolan (schools) ikan yang terdapat di wilayah tersebut. Pencarian ikan 37

53 dengan cara memperhatikan ciri-ciri pergerakan gerombalan ikan seperti adanya burung-burung pemburu ikan yang terbang menukik ke perairan, buih-buih air di permukaan laut dan perubahan warna permukaan laut akibat adanya pergerakan gerombolan ikan di bawahnya. Proses pemasangan (setting) payang dilakukan saat gerombolan ikan yang menjadi sasaran tangkap mulai terlihat, lalu dilakukan pengejaran terhadap ikan, setelah diperkirakan bahwa ikan dapat tertangkap maka jaring langsung diturunkan ke dalam air mengelilingi gerombolan ikan dengan arah berlawanan arah jarum jam. Penurunan jaring dilakukan mulai dari pelampung tanda, lalu tali selambar hingga badan jaring setelah itu dilakukan penarikan (hauling) jaring. Lama waktu pemasangan jaring biasanya berkisar antara menit sehingga bisa dilakukan 6-15 kali pemasangan (setting) di dalam satu trip penangkapan ikan. Kegiatan operasional payang berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Dogol Konstruksi alat tangkap dogol terdiri atas bagian sayap, badan jaring dan kantong. Bagian sayap, badan jaring dan kantong terbuat dari bahan PA Multifilament dengan ukuran mata jaring (mesh) yang berbeda-beda di tiap bagian. Dogol memiliki pelampung yang dipasang sebanyak 3 buah dan pemberat dipasang dengan jarak 3 meter tiap pemberat. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap dogol dapat dilihat pada Gambar 15. Unit penangkapan dogol di Muara Cilincing beroperasi menggunakan perahu motor dengan dimensi L x B x D yaitu 12 m x 3,5 m x 1,7 m. Perahu motor yang digunakan memiliki daya sebesar 21 PK dengan jumlah nelayan sekitar 5-8 orang yang mengoperasikannya. Pengoperasian alat dogol dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah persiapan perbekalan, yaitu bahan makanan, es, dan bahan bakar berupa solar sebanyak liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu 1,5-3 38

54 jam. Pengoperasian alat tangkap dogol dimulai dari fishing master mencari gerombolan ikan yang terdapat di wilayah tersebut. Proses pemasangan (setting) dogol dilakukan saat gerombolan ikan yang menjadi sasaran tangkap mulai terlihat, lalu dilakukan pengejaran terhadap ikan, setelah diperkirakan bahwa ikan dapat tertangkap maka jaring langsung diturunkan kedalam air mengelilingi gerombolan (schools) ikan. Sumber : Wawancara nelayan (2011) Gambar 15 Konstruksi dogol di Teluk Jakarta Penurunan jaring dilakukan mulai dari pelampung tanda, lalu tali selambar hingga badan jaring terendam setelah itu dilakukan penarikan (hauling) jaring. Lama waktu pemasangan jaring biasanya berkisar antara menit sehingga bisa dilakukan 12 kali pemasangan (setting) di dalam satu trip penangkapan ikan. Kegiatan operasional dogol berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul

55 Pancing rawai Konstruksi alat tangkap pancing rawai yang dioperasikan di Muara Cilincing terdiri atas bagian main line, branch line, pemberat dan mata pancing. Secara lebih jelas konstruksi alat tangkap pancing rawai dapat dilihat pada Gambar 16. Unit penangkapan pancing rawai di Muara Cilincing beroperasi menggunakan perahu motor tempel dengan dimensi L x B x D yaitu 5 m x 1,2 m x 0,5 m. Perahu motor yang digunakan memiliki daya sebesar 5 PK dengan jumlah nelayan sekitar 1-2 orang yang mengoperasikannya. Sumber : Wawancara nelayan (2011) Gambar 16 Konstruksi pancing rawai di Teluk Jakarta Pengoperasian alat pancing rawai dilakukan melalui proses persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, setting, soaking, hauling, dan perjalanan kembali ke tempat pendaratan ikan. Persiapan yang dilakukan nelayan adalah perbekalan, yaitu bahan makanan dan bahan bakar berupa solar sebanyak liter. Nelayan berangkat menuju daerah penangkapan ikan pada pukul 40

56 16.00 dan sampai di wilayah daerah penangkapan ikan dalam waktu 0,5-1 jam. Proses pemasangan (setting) pancing rawai dilakukan mulai dari menurunkan pelampung tanda, lalu main line baru kemudian branch line dan mata pancing, setelah setting biasanya nelayan kembali ke tempat pendaratan ikan dan membiarkan mata pancing terendam (soaked) selama beberapa jam baru kemudian dilakukan penarikan (hauling) mata pancing. Kegiatan operasional pancing rawai berakhir pada pukul dan nelayan langsung kembali ke tempat pendaratan ikan pada pukul Nelayan Nelayan merupakan salah satu bagian dari unit penangkapan ikan yang memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi penangkapan. Peranan tersebut didasarkan pada kemampuannya dalam mengoperasikan alat tangkap. Nelayan di Teluk Jakarta merupakan penduduk asli daerah tersebut, selain itu terdapat pula nelayan pendatang yang berasal dari Indramayu, Makassar, Klaten, dan Palabuhanratu. Jumlah nelayan di DKI Jakarta hingga tahun 2009 mencapai orang yang terdiri dari nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Dari total orang nelayan, terdapat nelayan lokal dan nelayan pendatang. Jumlah nelayan di DKI Jakarta dari tahun 2005 ke tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah nelayan yang ada di DKI Jakarta selama tahun Tahun Nelayan Lokal Nelayan pendatang Total Pemilik Pekerja Total Pemilik Pekerja Total Pemilik Pekerja Total Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan Kelautan DKI Jakarta (2009) 41

57 4.2.3 Kapal penangkapan ikan Kapal penangkap ikan di Teluk Jakarta terbagi atas beberapa kategori antara lain perahu, perahu motor tempel dan kapal motor. Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis armada yang ada di DKI Jakarta selama tahun Tahun Jenis Armada GT GT GT GT GT >50 GT Total Sumber : Suku Dinas Peternakan Perikanan Kelautan DKI Jakarta (2009) Musim penangkapan ikan Menurut Badan Pusat Statistik Administratif Kepulauan Seribu (2007), musim penangkapan sangat dipengaruhi oleh angin muson. Di Teluk Jakarta terjadi tiga musim penangkapan setiap tahunnya, yaitu musim barat, musim peralihan dan musim timur. Angin Musim Barat terjadi pada Bulan Desember sampai dengan Bulan Maret, pada musim barat intensitas curah hujan tinggi disertai dengan keadaan angin kencang dan ombak besar serta arus kuat. Hal tersebut menyebabkan pada Musim Barat sebagian besar nelayan memilih untuk tidak melaut terkait dengan faktor keamanan di laut sehingga produksi ikan mengalami penurunan, sehingga Musim Barat sering pula disebut musim paceklik. Musim peralihan terjadi dari Bulan April sampai dengan Bulan Mei. Kondisi perairan sangat tenang dengan kecepatan angin bervariasi, sehingga semua alat penangkapan ikan dapat dioperasikan dengan hasil yang cukup baik. Musim Timur berlangsung dari Bulan Juni sampai dengan Bulan September. Pada musim timur keadaan ombak relatif tenang serta angin tidak kencang sehingga 42

58 semua alat penangkapan ikan dapat dioperasikan dengan hasil yang optimal. Musim timur merupakan musim puncak produksi ikan Distribusi spasial daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta Bagan tancap tersebar di wilayah pesisir Muara Kamal hingga wilayah sebelum Pulau Untung Jawa (Gambar 17). Operasi penangkapan ikan menggunakan bagan kapal dilakukan di sepanjang wilayah dalam Teluk Jakarta mulai dari Muara Tanjung Pasir sampai Muara Gembong hingga wilayah luar Teluk Jakarta, seperti Pulau Untung Jawa sampai wilayah perairan sebelum Pulau Pari. Operasi penangkapan ikan menggunakan sero hanya dilakukan di sepanjang pesisir Muara Kamal. Pengoperasian jaring insang dilakukan di sepanjang wilayah dalam Teluk Jakarta mulai dari Muara Tanjung Pasir sampai Muara Gembong hingga wilayah luar Teluk Jakarta, seperti Pulau Untung Jawa sampai wilayah perairan sebelum Pulau Air. Operasi penangkapan ikan menggunakan payang dilakukan di wilayah perairan Teluk Jakarta hingga Pulau Damar. Operasi penangkapan ikan menggunakan dogol dilakukan di wilayah dalam Teluk Jakarta mulai dari Tanjung Priok hingga Muara Gembong. Pengoperasian alat penangkapan ikan pancing rawai dilakukan di sepanjang pesisir Muara Cilincing. Berdasarkan Gambar 17, daerah penangkapan ikan untuk alat tangkap bagan kapal, jaring insang, payang dan dogol bertumpuk, sehingga menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan berlebihan di wilayah perairan tersebut. Indikator yang paling jelas terlihat dari kondisi itu ialah ukuran hasil tangkapan yang masih di bawah ukuran layak tangkap. Hal tersebut dapat memicu rusaknya keseimbangan ekosistem dan penurunan sumberdaya ikan. 43

59 Sumber : Modifikasi dari Wiryawan (2009) berdasarkan wawancara (2011) Gambar 17 Ilustrasi Peta Daerah Penangkapan Ikan di Teluk Jakarta 4.3 Hasil Tangkapan Komposisi ikan hasil tangkapan di Muara Kamal dan Muara Cilincing diperoleh pada musim paceklik. Muslim paceklik diwakili hasil tangkapan pada bulan Januari. Hasil tangkapan yang tertangkap ialah teri galer (Stolephorus sp.), belanak (Valamugil sp.), tembang (Sardinella sp.), kembung perempuan (Rastrelliger sp.), pepetek (Leiognathus sp.) dan kuniran (Upeneus sp.). Selain itu juga tertangkap ikan kurisi (Nemipterus sp.), kuro (Eleutheronema sp.) dan sembilang (Euristhmus sp.). Ikan teri galer (Stolephorus sp.) Panjang total maksimal ikan teri galer yang tertangkap yaitu sebesar 8,3 cm dengan panjang cagak 6,7 cm, sedangkan panjang total minimal ikan teri galer yang tertangkap sebesar 6 cm dengan panjang cagak 5,1 cm (Gambar 18). Gambar 17 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan teri galer, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. 44

60 Garis Lm (length at first maturity) pada Gambar 17 mempunyai nilai 8,4 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan teri galer memiliki berat maksimal 3 gram dan berat minimal 2 gram (Gambar 19). Gambar 18 Panjang ikan teri galer hasil tangkapan bulan Januari 2011 Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan teri galer yaitu ln W = -2, ,652 ln L (R 2 =69,8%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar -2,393; b sebesar 1,652 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,698 (Gambar 20). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan teri galer yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. 45

61 Gambar 19 Berat ikan teri galer hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 20 Hubungan panjang dan berat ikan teri galer Ikan Belanak (Valamugil sp.) Panjang total maksimal ikan belanak yang tertangkap yaitu 20,3 cm dengan panjang cagak 17,8 cm, sedangkan panjang total minimal ikan belanak yang tertangkap yaitu 15,5 cm dengan panjang cagak 13,3 cm (Gambar 21). Gambar 21 46

62 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan belanak, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 21 mempunyai nilai 40,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan belanak memiliki berat maksimal 85 gram dan berat minimal 55 gram (Gambar 22). Gambar 21 Panjang ikan belanak hasil tangkapan bulan Januari 2011 Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan belanak yaitu ln W = -0, ,797 ln L (R 2 =78,9%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar -0,957; b sebesar 1,797 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,789 (Gambar 23). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan belanak yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. 47

63 Gambar 22 Berat ikan belanak hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 23 Hubungan panjang dan berat ikan belanak Ikan tembang (Sardinella sp.) Panjang total maksimal ikan tembang yang tertangkap yaitu sebesar 13,8 cm dengan panjang cagak 11,5 cm, sedangkan panjang total minimal ikan tembang yang tertangkap yaitu sebesar 7,6 cm dengan panjang cagak 6,8 cm (Gambar 24). 48

64 Gambar 24 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan tembang, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 24 mempunyai nilai 15,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan tembang memiliki berat maksimal 25 gram dan berat minimal 4 gram (Gambar 25). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan tembang yaitu ln W = -5, ,393 ln L (R 2 =89,6%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar -5,769; b sebesar 3,393 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,896 (Gambar 26). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b>3 yang artinya ikan tembang yang tertangkap bersifat allometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya. Gambar 24 Panjang ikan tembang hasil tangkapan bulan Januari

65 Gambar 25 Berat ikan tembang hasil tangkapan bulan Januari Gambar 26 Hubungan panjang dan berat ikan tembang Ikan kembung perempuan (Rastrelliger sp.) Panjang total maksimal ikan kembung perempuan yang tertangkap yaitu sebesar 15,5 cm dengan panjang cagak 14 cm, sedangkan panjang total minimal ikan kembung perempuan yang tertangkap yaitu sebesar 14,5 cm dengan panjang cagak 13 cm (Gambar 27). Gambar 27 menunjukkan hubungan positif antara 50

66 panjang total dan panjang cagak ikan kembung perempuan, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (length at first maturity) pada Gambar 27 mempunyai nilai 20,0 cm. Hal ini menunjukkan ikanikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan kembung perempuan memiliki berat maksimal 50 gram dan berat minimal 40 gram (Gambar 28). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan kembung perempuan yaitu ln W = - 4, ,998 ln L (R 2 =78,7%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar -4,299; b sebesar 2,998 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,787 (Gambar 29). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan kembung perempuan yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. Gambar 27 Panjang ikan kembung perempuan hasil tangkapan bulan Januari

67 Gambar 28 Berat ikan kembung perempuan hasil tangkapan bulan Januari Gambar 29 Hubungan panjang dan berat ikan kembung perempuan Ikan pepetek (Leiognathus sp.) Panjang total maksimal ikan pepetek yang tertangkap yaitu sebesar 14 cm dengan panjang cagak 12 cm, sedangkan panjang total minimal ikan pepetek yang tertangkap yaitu sebesar 6,8 cm dengan panjang cagak 5,6 cm (Gambar 30). 52

68 Gambar 30 menyatakan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan pepetek, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 30 mempunyai nilai 11,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan pepetek memiliki berat maksimal 55 gram dan berat minimal 5 gram (Gambar 31). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan pepetek yaitu ln W = 2,328+ 0,279 ln L (R 2 =4,0%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar 2,328; b sebesar 0,279 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,04 (Gambar 32). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan pepetek yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. Gambar 30 Panjang ikan pepetek hasil tangkapan bulan Januari

69 Gambar 31 Berat ikan pepetek hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 32 Hubungan panjang dan berat ikan pepetek Ikan Kuniran (Upeneus sp.) Panjang total maksimal ikan kuniran yang tertangkap yaitu sebesar 21 cm dengan panjang cagak 18 cm, sedangkan panjang total minimal ikan yang 54

70 tertangkap yaitu sebesar 18 cm dengan panjang cagak 15 cm (Gambar 33). Gambar 33 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan kuniran, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 33 mempunyai nilai 20,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang sudah layak tangkap. Ikan kuniran memiliki berat maksimal 120 gram dan berat minimal 75 gram (Gambar 34). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan kuniran yaitu ln W = - 3, ,814 ln L (R 2 =88,9%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar - 3,788; b sebesar 2,814 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,889 (Gambar 35). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan kuniran yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. Gambar 33 Panjang ikan kuniran hasil tangkapan bulan Januari

71 Gambar 34 Berat ikan kuniran hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 35 Hubungan panjang dan berat ikan kuniran Ikan Kurisi (Nemipterus sp.) Panjang total maksimal ikan kurisi yang tertangkap yaitu sebesar 21 cm dengan panjang cagak 18 cm, sedangkan panjang total minimal ikan kurisi yang tertangkap yaitu sebesar 18 cm dengan panjang cagak 14,8 cm (Gambar 36). Gambar 36 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak 56

72 ikan kurisi, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (length at first maturity) pada Gambar 36 mempunyai nilai 14,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang sudah layak tangkap. Ikan kurisi memiliki berat maksimal 110 gram dan berat minimal 85 gram (Gambar 37). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan kurisi yaitu ln W = 0, ,461 ln L (R 2 =78,5%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar 0,264; b sebesar 1,461 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,785 (Gambar 38). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan kurisi yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. Gambar 36 Panjang ikan kurisi hasil tangkapan bulan Januari

73 Gambar 37 Berat ikan kurisi hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 38 Hubungan panjang dan berat ikan kurisi Ikan Kuro (Eleutheronema sp.) Panjang total maksimal ikan kuro yang tertangkap yaitu sebesar 37 cm dengan panjang cagak 31,5 cm, sedangkan panjang total minimal ikan yang tertangkap yaitu sebesar 30 cm dengan panjang cagak 26 cm (Gambar 39). 58

74 Gambar 39 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang cagak ikan kuro, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 39 mempunyai nilai 50,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang belum layak tangkap. Ikan kuro memiliki berat maksimal 450 gram dan berat minimal 200 gram (Gambar 40). Model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan kuro yaitu ln W = - 3,23 + 2,568 ln L (R 2 =74,9%). Hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar - 3,23; b sebesar 2,568 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,749 (Gambar 41). Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b<3 yang artinya ikan kuro yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya. Gambar 39 Panjang ikan kuro hasil tangkapan bulan Januari

75 Gambar 40 Berat ikan kuro hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 41 Hubungan panjang dan berat ikan kuro Ikan Sembilang (Euristhmus sp.) Panjang total maksimal ikan sembilang yang tertangkap yaitu sebesar 43 cm dengan panjang cagak 41,6 cm, sedangkan panjang total minimal ikan sembilang yang tertangkap yaitu sebesar 37,8 cm dengan panjang cagak 35,2 cm (Gambar 42). Gambar 42 menunjukkan hubungan positif antara panjang total dan panjang 60

76 cagak, pertambahan panjang total seiring dengan pertambahan panjang cagak. Garis Lm (Length at first maturity) pada Gambar 42 mempunyai nilai 35,0 cm. Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang sudah layak tangkap. Ikan sembilang memiliki berat maksimal 380 gram dan berat minimal 290 gram (Gambar 43). Gambar 44 menunjukkan bahwa model persamaan regresi linier antara panjang dan berat yang menunjukkan hubungan antara panjang total dan berat ikan sembilang yaitu ln W = - 5, ,168 ln L (R 2 =90,3%), dapat dilihat bahwa hubungan panjang dan berat dinyatakan dengan nilai a sebesar -5,873; b sebesar 3,168 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,903. Berdasarkan persamaan tersebut didapat nilai b>3 yang artinya ikan sembilang yang tertangkap bersifat allometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya. Gambar 42 Panjang ikan sembilang hasil tangkapan bulan Januari

77 Gambar 43 Berat ikan sembilang hasil tangkapan bulan Januari 2011 Gambar 44 Hubungan panjang dan berat ikan sembilang 4.4 Karakteristik Hasil Tangkapan Berdasarkan Tingkat Trofik Hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di Muara Kamal dan Muara Cilincing dengan menggunakan alat tangkap bagan kapal, bagan tancap, jaring insang, sero, payang, dogol dan pancing rawai berdasarkan tingkatan trofik dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan nilai tingkat trofik dari Froese and Pauly 62

78 (2010) serta Stergio et al. (2007), maka hasil tangkapan didominasi oleh ikan dari golongan tingkat trofik 3 (TL3). Semua alat tangkap dari Muara Kamal dan Muara Cilincing yang beroperasi di Teluk Jakarta tidak menangkap seluruh ikan dari semua golongan tingkatan trofik (Tabel 4). Hanya dogol dan payang yang menangkap ikan hampir dari semua golongan tingkatan trofik. Ikan hasil tangkapan terbanyak dari golongan tingkat trofik 3 sebesar 54,17% dan tingkat trofik 2 sebesar 33,33% (Gambar 45). Ikan yang paling sedikit tertangkap ialah ikan dari golongan tingkat trofik 4 sebesar 4,17%. Tabel 4 Jenis dan tingkat trofik ikan hasil tangkapan nelayan menurut alat tangkap di Muara Kamal dan Muara Cilincing Nama Ikan Tingkat Trofik* Bagan Kapal Gillnet Bagan Tancap Alat Tangkap Sero Payang Dogol Pancing Rawai Teri Galer 2,76 V X V X X V X TL2 Belanak 2,32 X X X V X X X TL2 Tembang 3,13 V V V V V X X TL3 Kembung Banjar 2,72 V V X X V X X TL2 Pepetek 3,22 V V V V V X X TL3 Kurisi 3,77 X X X X X V X TL4 Kuniran 3,16 X X X X X V X TL3 Kuro 4,35 X X X X V X V TL5 Sembilang 3,11 X X X X X V V TL3 Jumlah Jenis Ikan Selang Tingkat Trofik 2,72-3,22 2,72-3,22 2,76-3,22 2,32-3,22 2,72-4,35 2,76-3,77 3,11 - Keterangan: V = dapat ditangkap X = tidak ditangkap *Klasifikasi menurut Froese dan Pauly, (2010) ** Klasifikasi menurut Stergio et al. (2007): TL2 (2,1 2,9) = omnivora yang cenderung pemakan tumbuhan TL3(3,0 3,7) = omnivora yang cenderung pemakan hewan (zooplankton) TL4 (3,8 4,0) = carnivora yang menyukai decapoda dan ikan TL5 (4,1 4,5) = carnivora yang cenderung pemakan ikan dan cephalopoda 4,35 Keterangan** 63

79 Gambar 45 Komposisi tingkat trofik hasil tangkapan 4.5 Indikator Dampak Penangkapan Ikan Terhadap Tingkat Trofik Hasil Tangkapan ikan di Teluk Jakarta Dampak penggunaan berbagai alat penangkapan ikan terhadap keseimbangan hasil tangkapan di Teluk Jakarta dilihat dari korelasi antara berbagai alat tangkap dan tingkat trofik hasil tangkapan pada Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa dua jenis ikan dari golongan TL yang berbeda dapat tertangkap oleh alat tangkap yang sama. Selain itu indikator dampak penangkapan ikan biasanya terlihat pada menurunnya ukuran panjang rata-rata dan berat ikan (Tabel 5). Sebagian besar hasil tangkapan utama nelayan berada di bawah ukuran standar tangkap menurut indikator ukuran rata-rata ikan matang gonad. Dilihat dari nilai konstanta b, ikan yang tertangkap bersifat allometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan bobotnya, yaitu ikan teri galer, belanak, kembung perempuan, pepetek, kurisi, kuniran dan kuro, hanya ikan sembilang dan tembang yang bersifat allometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya. Berdasarkan hal tersebut kondisi perairan kurang mendukung untuk pertumbuhan ikan tersebut di Teluk Jakarta. Pembagian zonasi daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta sebetulnya sudah ada tetapi para nelayan tidak mengindahkannya karena tidak adanya pengawasan yang ketat dari pihak yang terkait dalam permasalahan zonasi tersebut sehingga daerah penangkapan ikan antar alat tangkap menjadi tumpang tindih menyebabkan populasi ikan menyebar tidak merata. 64

80 Pada hasil penelitian ukuran ikan yang sudah layak tangkap berdasarkan nilai Lm (length at first maturity) hanya terdapat pada ikan kurisi, kuniran, dan sembilang, sedangkan ikan yang belum layak tangkap yaitu, teri galer, belanak, kembung banjar, tembang,pepetek, kuro. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengganggu keberlanjutan sumberdaya ikan di lokasi studi. Menurut Saputra (2009), ukuran rata-rata ikan dewasa penting diketahui karena dapat digunakan untuk menyusun suatu konsep pengelolaan sumberdaya ikan. Seharusnya jumlah tangkapan dari alat penangkapan ikan menurun setiap kenaikan tingkat trofik. Tetapi pada penelitian menunjukkan dominannya ikan hasil tangkapan dari golongan TL3 menyebabkan struktur tingkat trofik hasil tangkapan menjadi tidak seimbang, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 46. Tabel 5 Hasil pengukuran rataan dan standar deviasi panjang, berat ikan hasil tangkapan dan length at first maturity ikan di Muara Kamal dan Muara Cilincing length at Nilai first No Jenis Ikan Panjang (cm) Berat (gram) Konstanta maturity b (cm) 1 Teri galer 7,36 ± 0,77 2,5 ± 0,527 8,4 1,652 2 Belanak 17,08 ± 1,35 63,5 ± 10,270 40,0 1,797 3 Tembang 11,6 ± 2,19 14,9 ± 8,950 15,0 3,393 4 Kembung Banjar 14,9 ± 0,35 45,6 ± 3,510 20,0 2,998 5 Pepetek 9,23 ± 3,62 24,6 ± 16,11 11,0 0,279 6 Kurisi 19,42 ± 1,18 99,6 ± 9,690 14,0 1,461 7 Kuniran 19,53 ± 1,06 98,0 ± 15,67 20,0 2,814 8 Kuro 33,02 ± 2,41 319,0 ± 65,40 50,0 2,568 9 Sembilang 39,72 ± 1,46 329,0 ± 39,00 35,0 3,168 65

81 Gambar 46 Ilustrasi struktur tingkat trofik yang tidak seimbang di Teluk Jakarta Perubahan struktur tingkat trofik terlihat jelas pada Gambar 46. Ikan yang paling banyak ditangkap oleh nelayan adalah ikan pada TL3 dengan hasil tangkapan 54,17%. Analisis ini dilakukan terhadap hasil tangkapan dengan asumsi stok ikan pada semua tingkat trofik tersedia secara proporsional, sementara itu pada daerah penangkapan ikan di Teluk Jakarta bagian dalam ketersediaan ikan karnivora seperti pada tingkat trofik 4 dan 5 juga sudah terbatas. Dampak pada perubahan keseimbangan ekologis sumberdaya ikan di perairan Teluk Jakarta terlihat dari piramida tingkat trofik, berbada bentuk dari piramida ideal menjadi piramida asimetris. Penelitian ini dapat menggambarkan status terkini pemanfaatan sumberdaya ikan di lokasi studi berdasarkan alat tangkap dan hasil tangkapan dominan yang diperoleh termasuk fungsinya secara ekologis. Oleh karena itu, pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sebaiknya mengacu pada sistem pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah terhadap lingkungan, serta memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif aktivitas penangkapan ikan adalah penggunaan jenis alat tangkap ramah lingkungan. Contohnya seperti alat tangkap dengan bahan degradable, sehingga aktivitas penangkapan ikan dapat dilakukan secara berkesinambungan dan mengembalikan keseimbangan tingkat trofik di ekosistem. 66

82 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Ada tujuh unit penangkapan ikan yang melakukan operasi penangkapan ikan di zona dalam Teluk Jakarta, yaitu payang, dogol, pancing rawai, bagan tancap, bagan kapal, jaring insang dan sero. 2) Struktur bioekologi hasil tangkapan berdasarkan nilai Lm (length at first maturity) meliputi a) Ikan yang sudah layak tangkap, yaitu ikan kurisi, kuniran dan sembilang. b) Ikan yang belum layak tangkap, yaitu teri galer, belanak, kembung perempuan, tembang, pepetek dan kuro. 3) Struktur bioekologi hasil tangkapan berdasarkan nilai b pola pertumbuhan ikan meliputi a) b>3 pada ikan sembilang dan tembang b) b<3 pada ikan teri galer, belanak, kembung banjar, pepetek, kurisi, kuniran dan kuro. 4) Hasil tangkapan terbanyak dari golongan tingkat trofik 3 sebesar 54,17%. Ikan yang paling sedikit tertangkap ialah ikan dari golongan tingkat trofik 4 sebesar 4,17%. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disarankan sebagai berikut: 1) Melakukan analisis hubungan panjang-berat lebih lanjut dengan jumlah sampel ikan yang lebih banyak. 2) Melakukan penghitungan nilai tingkat trofik ikan dengan metode pembedahan ikan untuk melihat sistem pencernaan dan pola makan ikan, sehingga didapatkan nilai trofik yang lebih akurat. 3) Melakukan penelitian lebih lanjut terkait pengaruh alat tangkap terhadap komposisi spesies yang ditangkap dan dampak penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan yang berbeda, serta faktor-faktor lingkungan perairan seperti

83 ketersediaan makanan dan kondisi biofisika tangkapan dan tingkat trofik ikan. yang mempengaruhi hasil 68

84 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Statistik Sumberdaya Laut dan Pesisir. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Hal 3-5. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu Dalam Angka (2006). Jakarta: Badan Pusat Statistik Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Badan Pusat Satistik. 170 hal. Anonim Trophic Levels. The University of Waikato. Diunduh dari [20 Oktober 2010]. Aprilia S Trofik Level Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap Yang Digunakan Nelayan Di Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten. [Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 110 hal. Ayodhyoa AU Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 90 hal. Bengen DG Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 4. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta DKI Jakarta Tahun DKI Jakarta : Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 352 hal. Diniah Pengenalan Perikanan Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 62 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 318 hal. Effendie MI Metoda Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan Dewi Sri. Hal Biologi Perikanan. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama. Hal Froese R and D Pauly Fishbase 2000: Concepts, Design and Data Sources. Canada: Fisheries Centre, University of British Columbia. P: Bluespot Mullet. Diunduh dari [10 Desember 2010] Dussumier's ponyfish. Diunduh dari dussumierponyfish.htm [10 Desember 2010] Fourfinger Threadfin. Diunduh dari [10 Desember 2010] 69

85 Japanese Treadfin Bream. Diunduh dari [10 Desember 2010] Smallhead Catfish. Diunduh dari [10 Desember 2010] Spotty Face Anchovy. Diunduh dari [10 Desember 2010] Sulphur Goatfish. Diunduh dari [10 Desember 2010] Hakim R Penggunaan JTED (Juvenil and Trash Excluder Device) pada Jaring Arad (Mini Trawl) di Perairan Tegal, Jawa Tengah. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 7. Hall SJ The Effects of Fishing on Marine Ecosystems and Communities. USA: Blackwell Science Ltd. P: Heddy S dan M Kurniati Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi: Suatu Bahasan Tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. Jakarta: PT Raja Grafindo. 271 hal. Hutomo, M Burhanudin, S Djamali dan S Martosejowo Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. Hal 5-10 Kiswantoro dan Sunyoto Mengenal Ikan Laut. Jakarta: Karya Bani. Hal Krebs JC Ecological Methodology. New York: Harper Collins Publisher. 649 hal. Manalu M Kajian Output yang Dihasilkan Operasi Unit Penangkapan Jaring Kejer di Teluk Banten. [Skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal 1-9. Martasuganda S Set Net (teichi ami). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.101 hal. Michael P Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal : Monintja DR Perikanan Tangkap di Indonesia. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 47 hal. Nazir M Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal Nebel BJ dan TW Richard Environmental Science, The Way The World Works Sixth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River. Hal

86 Rachmawati Analisis Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan pada Alat Tangkap Dogol di Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. [Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hal Romimohtarto K. dan Juwana, S Biologi Laut. Jakarta: PT Penerbit Djambatan. Hal Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: Bina Cipta. Hal Saputra Beberapa Aspek Biologi Ikan Kuniran (Upeneus spp) di Perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. Vol 1 No hal. Septiawan A Kajian Bio-Teknik Perikanan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu. [Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 14. Standar Nasional Indonesia Bentuk Baku Konstruksi Pukat Kantong Payang Berbadan Jaring Panjang. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. 5 hal. Stergio KI, Dimitrios KM, Hernando JAC and Karim E Trophic Signatures of Small-Scale Fishing Gears: Implications for Conservation and Management. Marine Ecology Progress Series. Vol. 333: Subani W dan HR Barus Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Nomor 50 tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jakarta: Bakai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian Perikanan Laut, Departemen Pertanian. 248 hal. Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara Data Potensi Peternakan, Perikanan dan Kelautan tahun Jakarta : Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara. 5 hal. Sulistianto E Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Di Kawasan Perairan Kota Bontang. [Tesis] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 158 hal Taurusman AA Community Structure, Clearance Rate, and Carrying Capacity of Macrozoobenthos in Relation to Organic Matter in Jakarta Bay and Lampung Bay, Indonesia. [Disertasi] (ISSN). Büsum: Forschungsund Technologiezentrum Westküste der Universität Kiel. P: 7-9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan. Wiryawan B Review : Data Potensi Peternakan, Perikanan dan Kelautan tahun Bogor : Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 5 hal. 71

87 LAMPIRAN

88 Lampiran 1 Alat Tangkap Bagan Kapal di Muara Kamal Bagan Kapal Pembuatan Bagan Kapal 72

89 Lampiran 2 Alat Tangkap Bagan Tancap di Muara Kamal Bagan Tancap Bahan Bagan Tancap Kapal Bagan Tancap 73

90 Lampiran 3 Alat Tangkap Gillnet di Muara Kamal Jaring Gillnet Pelampung Gillnet Pemberat Gillnet Kapal Gillnet 74

91 Lampiran 4 Alat Tangkap Sero di Muara Kamal Bahan Pembuat Sero Kapal Sero 75

92 Lampiran 5 Alat Tangkap Payang di Muara Cilincing Kapal Payang Jaring dan Pelampung Payang 76

93 Lampiran 6 Alat Tangkap Dogol di Muara Cilincing Kapal Dogol Net Hauler Dogol Pelampung Dogol Pemberat Dogol Jaring Dogol 77

94 Lampiran 7 Alat Tangkap Pancing Rawai di Muara Cilincing Kapal Pancing Rawai Pelampung Tanda Pancing Rawai Benang dan Mata Pancing Rawai 78

95 Lampiran 8 Ikan Hasil Tangkapan di Teluk Jakarta Teri galer (Stolephorus sp.) Belanak (Valamugil sp.) Tembang (Sardinella sp.) Kembung perempuan (Rastrelliger sp.) Pepetek (Leiognathus sp.) Kurisi (Nemipterus sp.) Kurau (Eleutheronema sp.) Sembilang (Eurithmus sp.) 79

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Alat penangkapan ikan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Unit Penangkapan Ikan Definisi unit penangkapan ikan berdasarkan statistik perikanan tangkap Indonesia adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan data dilakukan di wilayah Teluk Jakarta bagian dalam, provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Agustus 2010 dan Januari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: ht tp :// w w w.b p s. go.id Katalog BPS: 5402003 PRODUKSI PERIKANAN LAUT YANG DIJUAL DI TEMPAT PELELANGAN IKAN 2008 ISSN. 0216-6178 No. Publikasi / Publication Number : 05220.0902 Katalog BPS / BPS Catalogue

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN 123 8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan SAMBUTAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayahnya serta kerja keras penyusun telah berhasil menyusun Materi Penyuluhan yang akan digunakan bagi

Lebih terperinci

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi GILL NET (Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi Pendahuluan Gill net (jaring insang) adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pemberat pada tali ris bawahnya dan pelampung

Lebih terperinci

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kurau Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus eleutheronema dan Species Eleutheronema

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI

ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI ANALISIS HASIL TANGKAPAN UTAMA DAN SAMPINGAN PADA ALAT TANGKAP DOGOL DI GEBANG MEKAR, KABUPATEN CIREBON, JAWA BARAT ISTRIANA RACHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) merupakan pelabuhan perikanan tipe B atau kelas II. Pelabuhan ini dirancang untuk melayani kapal perikanan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan...

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Lanjutan... Ekosistem Perairan / Akuatik Ekosistem air tawar Ekosistem air tawar dibedakan mjd 2, yi : 1. Ekosistem air tenang (lentik), misalnya: danau,

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan Rantai Makanan Rantai makanan adalah perpindahan materi dan energi dari suatu mahluk hidup ke mahluk hidup lain dalam proses makan dan dimakan dengan satu arah. Tiap tingkatan dari rantai makanan disebut

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 cahaya Menurut Cayless dan Marsden (1983), iluminasi atau intensitas penerangan adalah nilai pancaran cahaya yang jatuh pada suatu bidang permukaan. cahaya dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengembangan usaha penangkapan 5.1.1 Penentuan Komoditas Ikan Unggulan Analisis pemusatan ini dilakukan dengan metode location quotient (LQ). Dengan analisis ini dapat ditentukan

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Alat Tangkap di Kabupten Indramayu Hasil inventarisasi jenis alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Indramayu (Tabel 6) didominasi oleh alat tangkap berupa jaring, yakni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberlakuan Otonomi Daerah yang diamanatkan melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang termaktub pada pasal 117, yang berbunyi : "Ibukota Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Wilayah Banten berada pada batas astronomi 5º7 50-7º1 11 Lintang Selatan dan 105º1 11-106º7 12 Bujur Timur. Luas wilayah Banten adalah

Lebih terperinci

MAKALAH. Jaring-Jaring Makanan di Laut. Tugas Mata kuliah Dasar Akuakultur. Dosen Pendamping : Soko Nuswantoro, S.Pi, M.Si.

MAKALAH. Jaring-Jaring Makanan di Laut. Tugas Mata kuliah Dasar Akuakultur. Dosen Pendamping : Soko Nuswantoro, S.Pi, M.Si. MAKALAH Jaring-Jaring Makanan di Laut Tugas Mata kuliah Dasar Akuakultur Dosen Pendamping : Soko Nuswantoro, S.Pi, M.Si Disusun Oleh : M Ilham Nadzir S ( 175080400111033 ) JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU Proporsi dan Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Tiga Lapis (Trammel Net) di Pelabuhan Ratu (Hufiadi) PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU ABSTRAK Hufiadi

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pancing Ulur Pancing Ulur (Gambar 2) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang sering digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Pancing Ulur termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Tangkap Cantrang SNI SNI

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Tangkap Cantrang SNI SNI 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Tangkap Cantrang Cantrang adalah alat tangkap berbentuk jaring yang apabila dilihat dari bentuknya menyerupai alat tangkap payang, tetapi ukuran di tiap bagiannya lebih kecil.

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT 36 IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT Wilayah utara Jawa Barat merupakan penghasil ikan laut tangkapan dengan jumlah terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara maritim, karena memiliki lautan lebih luas dari daratannya, sehingga biasa juga disebut dengan Benua Maritim

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis TINJAUAN PUSTAKA Unit Penangkapan Ikan Jaring insang Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang dibentuk menjadi empat persegi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karakteristik dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap Karakteristik merupakan satu hal yang sangat vital perannya bagi manusia, karena hanya dengan karakteristik kita dapat

Lebih terperinci

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bagan apung Bagan adalah alat tangkap yang menggunakan cahaya sebagai alat untuk menarik dan mengumpulkan ikan di daerah cakupan alat tangkap, sehingga memudahkan dalam proses

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Riil Fasilitas Kebutuhan Operasional Penangkapan Ikan di PPN Karangantu Fasilitas kebutuhan operasional penangkapan ikan di PPN Karangantu dibagi menjadi dua aspek, yaitu

Lebih terperinci