Facial Palsy. 1. Definisi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Facial Palsy. 1. Definisi"

Transkripsi

1 Facial Palsy 1. Definisi Kelumpuhan saraf wajah (facial nerve palsy) menyebabkan hilangnya ekspresi wajah dan hal ini paling sering disebabkan oleh kondisi peradangan jinak yang dapat sembuh dengan sendiri, dikenal sebagai Bell s Palsy (BP). BP adalah kondisi yang ditandai oleh onset akut kelumpuhan saraf wajah yang tidak diketahui penyebabnya. Kejadian ini sekitar 20/tahun/ penduduk dan menyebabkan gangguan yang cukup besar dalam kegiatan sosial antara pasien. Meskipun penyebab sebenarnya dari BP tidak diketahui, mekanisme penyakitnya yang diterima secara luas adalah peradangan pada saraf wajah selama kejadiannya berlangsung melalui labirin bagian tulang dari canalis facialis, yang menyebabkan kompresi dan demielinasi akson dan gangguan suplai darah ke saraf sendiri. BP didefinisikan sebagai kelumpuhan motor neuron bagian bawah dengan onset akut dan idiopatik. BP dianggap sebagai gangguan neurologis umum jinak yang penyebabnya tidak diketahui. Ini memiliki onset akut dan hampir selalu mononeuritis (Garg, 2012). 2. Etiologi Penyebabnya antara lain kegagalan mikrosirkulasi dari vasonervorum, infeksi virus, neuropati iskemik, reaksi autoimun, prosedur bedah seperti ekstraksi gigi anestesi lokal, infeksi, osteotomi, prosedur preprosthethic, eksisi tumor atau kista, bedah TMJ dan pengobatan bedah fraktur wajah dan sumbing bibir / langit-langit. Penyebab virus telah diterima secara luas, namun tidak ada virus telah diisolasi secara konsisten pada pasien dengan BP. Bukti untuk hipotesis virus telah terutama didasarkan pada pengamatan klinis dan perubahan titer antibodi virus.

2 Patogenesis kelumpuhan mungkin virus neuropati itu sendiri atau neuropati iskemik yang disebabkan oleh infeksi virus. Meskipun kelumpuhan wajah akut dapat terjadi selama terjangkit penyakit virus seperti gondok, rubella, herpes simplex, dan infeksi virus Epstein -Barr atau sebagai akibat dari reaktivasi dari virus herpes manusia dalam ganglia geniculata. Beberapa pasien mungkin lebih mudah cenderung untuk peradangan saraf wajah oleh paparan patogen sebelumnya, seperti Herpes simplex virus, virus Epstein - Barr dan sitomegalovirus. Ada peningkatan jumlah laporan tentang partikel virus herpes simplex partikel ditemukan pada biopsi saraf wajah pada pasien dengan BP. Kelumpuhan saraf wajah mungkin berasal dari pusat atau perifer, lengkap atau tidak lengkap. Penyebabnya bervariasi dan termasuk trauma, pembentukan tumor, masalah iatrogenik, kondisi idiopatik, infark cerebral, cerebral pseudobulbar dan virus. Hal ini menghasilkan distorsi wajah yang khas yang sebagian ditentukan oleh keterlibatan cabang-cabang saraf. Pada literatur juga dilaporkan tiga mekanisme, di mana prosedur (perawatan) gigi dapat merusak struktur saraf: trauma langsung pada saraf dari jarum, pembentukan hematoma intraneural atau kompresi dan toksisitas anestesi lokal. Trauma langsung tampaknya tidak mungkin karena banyak pasien melaporkan mengalami trauma pada saraf ketika mereka merasa shock karena sensasi listrik pada suntikan jarum. Namun, hampir semua gejala ini diselesaikan sepenuhnya tanpa adanya sisa kerusakan saraf. Selain itu, kondisi umum seperti hipertensi dan diabetes mellitus, yang mungkin menjadi predisposisi serangan tunggal atau ganda. Kasus-kasus familial ipsilateral yang rekurens dan kelumpuhan saraf wajah kontralateral memiliki sifat pewarisan autosomal dominan dan resesif. Predisposisi genetik ini juga dapat mencakup variasi dalam respon imun masing-masing individu terhadap antigen yang menghasut (Garg, 2012).

3 3. Epidemiologi Bell palsy, atau kelumpuhan wajah idiopatik (IFP), terjadi sekitar 60-80% facial plasy pada lower motor neuron dan memiliki kejadian kasus per orang per tahun. Insiden tertinggi pada kelompok usia tahun dan meningkat pada kehamilan dan diabetes. Dalam sebagian besar kasus, bell s palsy adalah self limited, nonprogressive, dan spontan timbul dengan minoritas yang sangat kecil pasien tersisa dengan disfungsi neurologis residual. Riwayat keluarga yang positif telah diperkirakan akan timbul pada sekitar 4-14% kasus (Kubik, 2012), 4. Manifestasi Klinis Ada tiga gejala umum terjadi pasien karena facial palsy. Epiphora karena kurangnya tone dalam kelopak mata bawah dan kegagalan akibatnya punctum untuk melakukan kontak dengan bola mata sering terjadi. Nyeri merupakan keluhan yang sering dan mungkin di telinga, menyebar lebih luas di atas kepala, leher bawah atau ke mata. Hal ini biasanya terjadi selama beberapa hari dan mungkin mendahului palsy hingga 72 jam, tetapi kadang-kadang datang pada beberapa hari setelah lumpuh dan bisa berat dan persisten. Nyeri tekan pada foramen stylomastoideum mungkin terjadi. Gejala-gejala lain dari BP termasuk rasa sakit dan mati rasa pada sisi yang terkena wajah, terutama di pelipis, daerah mastoid, dan sepanjang sudut mandibula. Mulut mungkin kering karena penurunan sekresi saliva dan sensasi rasa berubah pada dua pertiga anterior lidah dan hyperaesthesia lengkap pada distribusi saraf trigeminal serta hyperacusis pada sisi yang terkena (Garg, 2012). 5. Klasifikasi BP telah diklasifikasikan ke dalam 5 kategori berikut sesuai dengan perjalanan klinis penyakit: unilateral non-berulang, berulang unilateral, bilateral simultan, baik bilateral dan berulang bilateral.

4 6. Different Diagnosis Onset yang bertahap dan durasi kelumpuhan wajah dengan nyeri wajah terkait juga konsisten dengan lesi space-occupying. Selain kasus dengan BP, minimal penebalan saraf wajah dengan redaman kontras yang mungkin diamati juga dalam kasus Guillan Syndrome Bare, pasca operasi, kelumpuhan wajah yang traumatis dan radioterapi berikut, kelemahan wajah pusat unilateral (otot wajah bagian bawah) mungkin karena lesi dari korteks kontralateral, subcortical white matter, atau kapsul internal. Selain kelemahan wajah, gejala dapat mencakup hemiparesis, kehilangan hemisensory, atau hemineglect (gangguan berat persepsi spasial). Lyme neuroborreliosis- spirocheta Borrelia burgdorferi dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Lyme neuroborreliosis harus dicurigai pada pasien yang datang dengan kelemahan wajah terisolasi dan yang memiliki riwayat gigitan kutu dengan ruam atau yang tinggal di daerah di mana penyakit lyme adalah endemik. Tumor yang melibatkan saraf wajah terhitung kurang dari 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf wajah. Tumor harus dicurigai jika kemajuan kelemahan selama beberapa minggu, jika massa hadir di telinga, leher, atau kelenjar parotis, dan jika tidak ada perbaikan fungsional terlihat dalam waktu 4 sampai 6 minggu (Garg, 2012). 7. Diagnosis Baru-baru ini perhatian terfokus pada virus Herpes Simpleks tipe I (HSV-1) yang dianggap sebagai penyebab inflamasi tersebut. Hal ini berdasarkanpada penelitian Mukarami dkk dikutip dari Desatnik yang mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bell s palsy dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Menurut Holland10 (2008) HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus Bell s palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13% kasus. Herpes zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay

5 Hunt Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi virus Herpes Zoster ini juga berhubungan dengan prognosis yang jelek dan menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel. Untuk menentukan adanya virus ini, dapat digunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mengisolasi DNA virus pada cairan endoneural saraf fasialis selama fase akut. Selain itu dapat pula dilakukan biopsi pada otot sekitar daerah auricular bagian posterior yang dipersarafi oleh saraf fasialis (Edward, 2012). Menurut Yanagihara dkk., yang dikutip dari Singhi berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap etiologi, derajat, sisi lesi dan progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bell s palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu : -3 minggu) Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat infeksi virus Herpes Simpleks (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian proximal dan distal serta dapat menyebabkan edema saraf. -9 minggu) Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang. Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan fibrosis saraf (Edward, 2012). Pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok serta pemeriksaan lokalis pada daerah wajah, tidak ditemukan kelainan. Hasil pemeriksaan audiometri dan timpanometrinya normal. Reflek stapedius juga baik. Setiap pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis seharusnya menjalani

6 pemeriksaan THT yang lengkap seperti pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan massa pada parotis dan pemeriksaan audiologi untuk menentukan fungsi dari N.VII dan N.VIII.2 Bila terdapat kelainan pada pemeriksaan audiometri, maka dianjurkan pemeriksaan Auditory Brainstem Response (ABR) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Edward, 2012). Pemeriksaan optalmologi terutama dilakukan bila terdapat lagoftalmus pada mata sisi yang lumpuh. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat lagoftalmus sehingga dapat diperkirakan kesanggupan kelopak mata dalam melindungi kornea (Edward, 2012). Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis kasus Bell s palsy, kecuali bila dicurigai adanya penyebab yang lain. Pemeriksaan radiologi dilakukan bila adanya riwayat paralisis rekuren, curiga adanya lesi pada Cerebellopontine Angle (CPA), terdapat kelainan pada telinga tengah (otitis media akut, otitis media kronik atau kolesteatom), ada riwayat trauma serta pada pasien yang belum menunjukan perbaikan paralisisnya dalam 1 bulan (Edward, 2012). Pemeriksaan MRI dilakukan pada kasus yang kita curigai suatu neoplasma tulang temporal, tumor otak, tumor parotis atau untuk mengevaluasi multiple sklerosis. Gambaran MRI pada kasus Bell s palsy dapat berupa peningkatan gadolinium saraf pada bagian distal kanalis auditorius interna dan ganglion genikulatum yang merupakan lokasi tersering terjadinya edema saraf fasialis yang menetap (Edward, 2012). Dalam mendiagnosis Bell s palsy perlu dibedakan apakah kelumpuhannya parsial (inkomplit) atau komplit. Sistim House- Brackmann digunakan untuk menentukan derajat kerusakan saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah. Sistem HouseBrackmann terdiri dari 5 derajat. Derajat I berfungsi normal, derajat II disfungsi ringan, derajat III dan IV disfungsi sedang, derajat V disfungsi

7 berat dan derajat VI merupakan kelumpuhan total. Derajat II-V merupakan kelumpuhan parsial sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan komplit. (Edward, 2012). Pada metoda Freyss dinilai 4 komponen yaitu pemeriksaan fungsi motorik dari sepuluh otot wajah, tonus otot, sinkinesis dan hemispasme. Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Perancis. Pemeriksaan reflek stapedius tidak dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan Singhi dkk, yang mengatakan bahwa lokasi lesi saraf fasialis sering terdapat pada segmen labirin, dimana pada segmen ini terdapat ganglion genikulatum. Segmen ini merupakan segmen tersempit dalam kanalis fasialis sehingga bila terjadi inflamasi ringan saja pada saraf, dapat menyebabkan kompresi saraf tersebut (Edward, 2012). Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis ini dilakukan beberapa pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan tes salivasi. Tes Schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf Petrosus dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukan kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialis di proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menyebabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan (Edward, 2012). Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada kasus Bell s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu (Edward, 2012). Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf khorda timpani dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa

8 manis, asam dan asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan, khorda timpani juga berperan dalam fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi duktus Wharton s dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit. Bila produksi saliva berkurang dapat diprediksi khorda timpani tidak berfungsi baik. Menurut Quinn dkk., pada kasus Bell s palsy sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan reflek stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan reflek stapedius mengalami ganguan, tetapi fungsi salivasinya masih normal. Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demyelinisasi di sepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer (Edward, 2012). 8. Penatalaksanaan Tiemstra dkk., mengatakan bahwa, kortikosteroid sangat bermanfaat dalam mencegah degenerasi saraf, mengurangi sinkinesis, meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan inflamasi pada saraf fasialis sedangkan Acyclovir diberikan untuk menghambat replikasi DNA virus (Edward, 2012). Cara pemberian kortikosteroid ini berbeda pada masing-masing studi, menurut Tiemstra dkk., prednison pada dewasa dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan menjadi 40 mg/hari selama 5 hari berikutnya. Menurut Engstrom dkk., prednison dimulai dengan dosis 60 mg/hari selama 5 hari dan diturunkan 10 mg/hari dalam 5 hari berikutnya (total pemberian prednison 10 hari) (Edward, 2012). Untuk antiviral dapat digunakan Acyclovir atau obat jenis lainnya seperti Valaciclovir, Famciclovir dan Sorivudine yang mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dari Acyclovir. Dosis Acyclovir diberikan 400 mg 5 kali sehari selama 10 hari atau Valaciclovir 500 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Jika penyebabnya diduga virus herpes zoster, maka dosis

9 Acyclovir di naikan menjadi 800 mg 5 kali sehari atau Valaciclovir 1 gram 2 kali sehari. Kombinasi penggunaan kortikosteroid dan antiviral oral memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan kortikosteroid oral saja dan akan lebih baik bila terapi diberikan dalam 72 jam pertama. Studi lain juga mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan lama penyembuhan antara pemberian obat-obatan ini secara oral atau intravena (Edward, 2012). Di samping terapi obat-obatan, pada kasus Bell s palsy juga dilakukan perawatan mata dan fisioterapi. Perawatan mata tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeringan pada kornea karena kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dan produksi air mata yang berkurang. Perawatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan artificial tear solution pada waktu pagi dan siang hari dan salep mata pada waktu tidur. Pasien juga dianjurkan menggunakan kacamata bila keluar rumah. Bila telah terjadi abrasi kornea atau keratitis, maka dibutuhkan penatalaksanaan bedah untuk melindungi kornea seperti partial tarsorrhaphy (Edward, 2012). Menurut Sukardi, fisioterapi dapat dilakukan pada stadium akut atau bersamaan dengan pemberian kortikosteroid. Tujuan fisioterapi adalah untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10 menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan 2 kali dalam seminggu sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Di samping itu juga dapat dilakukan massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari atau dengan faradisasi (Edward, 2012). Terapi pembedahan pada kasus Bell s palsy masih kontroversi. Terapi dekompresi saraf fasialis hanya dilakukan pada kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurography (ENoG) menunjukkan

10 penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf fasialis ini sering terdapat pada segmen labirin, maka pada pembedahan digunakan pendekatan middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid (Edward, 2012). 9. Prognosis Prognosis Bell s palsy tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan. Kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik. Anak-anak juga mempunyai prognosis yang baik dibanding orang dewasa dan sekitar 96,3% pasien Bell s palsy dengan House-Brackmann kurang dari derajat II dapat sembuh sempurna, sedangkan pada House-Brackmann lebih dari derajat IV sering terdapat deformitas wajah yang permanen (Edward, 2012). Menurut Yeo dkk., EnoG merupakan alat yang dapat membantu memperkirakan prognosis penyakit. Alat ini dapat mencatat compound action potential dari otot fasialis setelah diberikan stimulasi elektrik supramaksimal pada saraf fasialis bagian distal dari foramen stilomastoid. Rekurensi pada kasus Bell s palsy jarang dilaporkan terutama pada anak-anak. Chen dkk., melaporkan terdapat 6% kasus Bell s palsy yang mengalami rekurensi. Rekurensi ini dapat disebabkan oleh terserang virus kembali atau aktifnya virus yang indolen di dalam saraf fasialis. Bila rekurensi terjadi pada sisi yang sama dengan sisi yang sebelumnya, biasanya disebabkan oleh virus Herpes Simpleks. Rekurensi meningkat pada pasien dengan riwayat Bell s palsy dalam keluarga. Umumnya rekurensi terjadi setelah 6 bulan dari onset penyakit (Edward, 2012).

11 DAFTAR PUSTAKA Edward, Yan and Munilson, Jacky and Triana, Wahyu Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell s Palsy. Diakses tanggal 7 September Garg, Kavita Nitish et al Bell s Palsy : Aetiology, Classification, Differential Diagnosis and Treatment Consideration : A Review. 1(1): 1-8. Kubik, Mark et al Familial Bell s Palsy: A Case Report and Literature Review. Case Reports in Neurological Medicine. 2012: 1-4.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAN BELL S PALSY

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAN BELL S PALSY DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAN BELL S PALSY Jacky Munilson, Yan Edward, Wahyu Triana Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher /RSUP. Dr.M. Djamil Padang Abstrak Bell s palsy merupakan penyakit

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS POLI BELL S PALSY. Oleh : Ayu Rizky Andhiny S.Ked Pembimbing : dr. Setyawati Asih Putri, Sp.S. M.Kes

LAPORAN KASUS POLI BELL S PALSY. Oleh : Ayu Rizky Andhiny S.Ked Pembimbing : dr. Setyawati Asih Putri, Sp.S. M.Kes LAPORAN KASUS POLI BELL S PALSY Oleh : Ayu Rizky Andhiny S.Ked 010.06.0037 Pembimbing : dr. Setyawati Asih Putri, Sp.S. M.Kes DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI SMF KULIT DAN KELAMIN RSUD

Lebih terperinci

PARALISIS BELL. Pendahuluan

PARALISIS BELL. Pendahuluan PARALISIS BELL Pendahuluan Paralisis Bell (Bell's palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain

Lebih terperinci

Definisi Bell s palsy

Definisi Bell s palsy Definisi Bell s palsy Bell s palsy adalah penyakit yang menyerang syaraf otak yg ketujuh (nervus fasialis) sehingga penderita tidak dapat mengontrol otot-otot wajah di sisi yg terkena. Penderita yang terkena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU

Lebih terperinci

Bell s palsy. Dr Nurdjaman Nurimaba Sp.S(K) Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD - RSHS

Bell s palsy. Dr Nurdjaman Nurimaba Sp.S(K) Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD - RSHS Bell s palsy Dr Nurdjaman Nurimaba Sp.S(K) Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNPAD - RSHS Definisi Bell s palsy adalah paralisis nervus fasialis unilateral akut yang memiliki nama lain idiopatic fascial paralysis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paradigma sehat yaitu dasar pandang baru dalam pembangunan kesehatan yang merupakan upaya untuk meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Usaha tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan karakter atau cirikas dari orang satu dan orang lainya. Isi hati

BAB I PENDAHULUAN. menentukan karakter atau cirikas dari orang satu dan orang lainya. Isi hati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wajah merupakan salah satu anggota tubuh kita yang dapat menentukan karakter atau cirikas dari orang satu dan orang lainya. Isi hati seseorang dapat dilihat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis VII. Gejala tampak pada wajah, jika berbicara atau berekspresi maka salah satu sudut wajah tidak ada

Lebih terperinci

MANFAAT TERAPI MANIPULASI SARAF FASIALIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL OTOT-OTOT WAJAH PADA PENDERITA BELL S PALSY

MANFAAT TERAPI MANIPULASI SARAF FASIALIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL OTOT-OTOT WAJAH PADA PENDERITA BELL S PALSY MANFAAT TERAPI MANIPULASI SARAF FASIALIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL OTOT-OTOT WAJAH PADA PENDERITA BELL S PALSY Umi Budi Rahayu*, Pita Septiana Sari * Dosen Program Studi Fisioterapi Fakultas

Lebih terperinci

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) :

EMG digunakan untuk memastikan diagnosis dan untuk menduga beratnya sindroma kubital. Juga berguna menilai (8,12) : Sindrom Kanalis Cubitalis (Cubital Tunnel Syndrome) Kesemutan atau baal biasanya terjadi di jari manis. Atau terjadi di wilayah saraf ulnaris. Gejalanya seperti sindrom ulnaris. Baal biasanya terjadi tidak

Lebih terperinci

SINDROMA GUILLAINBARRE

SINDROMA GUILLAINBARRE SINDROMA GUILLAINBARRE Dosen pembimbing: dr. Fuad Hanif, Sp. S, M.Kes Vina Nurhasanah 2010730110 Definisi Sindroma Guillian Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat akut yang sering terjadi 1-3 minggu

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah. diketahui,tanpa adanya kelainan neurologic lain. Pada sebagian besar

A. Latar Belakang Masalah. diketahui,tanpa adanya kelainan neurologic lain. Pada sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bell s palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui,tanpa adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI (2) Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Bell s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bell s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang

BAB I PENDAHULUAN. Bell s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Bell s palsy adalah paralisis saraf fasial unilateral akut yang pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles

Lebih terperinci

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber:

a. b. c. Gambar 1.2 Kompresi neurovaskular pada N. Trigeminus Sumber: Bab 1 Pendahuluan 1.1 Definisi Trigeminal neuralgia atau yang dikenal juga dengan nama Tic Douloureux merupakan kelainan pada nervus trigeminus (nervus kranial V) yang ditandai dengan adanya rasa nyeri

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELLS PALSY DEXTRA DENGAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELLS PALSY DEXTRA DENGAN PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELLS PALSY DEXTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED, ELECTRICAL STIMULATION DAN MIRROR EXERCISE DI RST Dr. SOEDJONO MAGELANG NASKAH PUBLIKASI Oleh : NURUL AYU AKBARWATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Modern ini banyak masyarakat menggunakan alat transportasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Modern ini banyak masyarakat menggunakan alat transportasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modern ini banyak masyarakat menggunakan alat transportasi bermotor untuk berpergian jarak jauh, karena kendaraan bermotor dianggap lebih efisien untuk memanfaatkan

Lebih terperinci

Herpes Zoster Oicus DEFINISI

Herpes Zoster Oicus DEFINISI Herpes Zoster Oicus DEFINISI Herpes Zoster Oikus adalah komplikasi dari herpes zoster dimana terjadi reakivasi dari infeksi virus varisela zoster laten di ganglion genikulatum sensoris yang sudah bertahuntahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat kemoterapi vinkristin Vinkristin adalah senyawa kimia golongan alkaloid vinca yang berasal dari tanaman Vinca Rosea yang memiliki anti kanker yang diberikan secara intravena

Lebih terperinci

TUTORIAL KLINIK. : dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S, M.Kes Tanggal Periksa : 26 Desember 2015

TUTORIAL KLINIK. : dr. Hj. Tri Wahyuliati, Sp.S, M.Kes Tanggal Periksa : 26 Desember 2015 TUTORIAL KLINIK IDENTITAS PASIEN IDENTITAS MAHASISWA Nama : Ny. S Nama : Asteria Hapsari Jenis Kelamin : Perempuan NIM : 20100310064 Umur : 64 tahun Stase : Saraf Alamat : Sentolo, Kulonprogo Perceptor

Lebih terperinci

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI 1 BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI Judul mata Kuliah : Neuropsikiatri Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi dasar : Menerapkan ilmu Kedokteran klinik pada sistem

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELLS PALSY DEXTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA

KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELLS PALSY DEXTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA BELLS PALSY DEXTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan

Lebih terperinci

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladdre adalah keadaan

Lebih terperinci

PERBEDAAN TERAPI MICRO WAVE DIATHERMY

PERBEDAAN TERAPI MICRO WAVE DIATHERMY PERBEDAAN TERAPI MICRO WAVE DIATHERMY DAN ARUS FARADIK DENGAN INFRA RED RADIATION DAN ARUS INTERUPTED DIRECT CURRENT PADA PENDERITA BELL S PALSY TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL WAJAH DI POLIKLINIK

Lebih terperinci

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus.

Telinga Luar. Dalam kulit kanal auditorius eksterna. Glandula seminurosa. Sekresi substansi lilin. serumen. tertimbun. Kanalis eksternus. Gangguan pendengaran Kelainan telinga dapat menyebabkan tuli konduktif, tuli sensorineural/saraf/perseptif, atau tuli campur. 1. Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan. kemajuan teknologi saat ini, diharapkan dapat mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan. kemajuan teknologi saat ini, diharapkan dapat mewujudkan BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi saat ini, diharapkan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

Tanya-jawab herpes. Apa herpes itu? Seberapa umum kejadian herpes? Bagaimana herpes menular? Apa yang terjadi saat herpes masuk tubuh?

Tanya-jawab herpes. Apa herpes itu? Seberapa umum kejadian herpes? Bagaimana herpes menular? Apa yang terjadi saat herpes masuk tubuh? Apa herpes itu? Herpes adalah masalah kulit yang umum dan biasanya ringan; kebanyakan infeksi tidak diketahui dan tidak didiagnosis Herpes disebabkan oleh virus: virus herpes simpleks (HSV) HSV termasuk

Lebih terperinci

BAB 11 KELUMPUHAN OTOT WAJAH

BAB 11 KELUMPUHAN OTOT WAJAH BAB 11 KELUMPUHAN OTOT WAJAH A. Tujuan pembelajaran 1. Melaksanakan anamnesis pada pasien Bell's kelumpuhan otot wajah. 1. Menerangkan mekanisme terjadinya kelumpuhan otot wajah. 2. Membedakan klasifikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Massa regio colli atau massa pada leher merupakan temuan klinis yang sering, insidennya masih belum diketahui dengan pasti. Massa pada leher dapat terjadi pada semua

Lebih terperinci

PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL S PALSY

PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL S PALSY PENGARUH ANESTESI LOKAL SAAT PENCABUTAN GIGI TERHADAP TERJADINYA BELL S PALSY Ida Ayu Eka Putri NPM : 10.8.03.81.41.1.5.024 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR DENPASAR 2014 i PENGARUH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendeteksi secara dini disfungsi tumbuh kembang anak. satunya adalah cerebral palsy. Cerebral palsy menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mendeteksi secara dini disfungsi tumbuh kembang anak. satunya adalah cerebral palsy. Cerebral palsy menggambarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan masyarakat merupakan persoalan bersama yang harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Salah satu bagian dari program kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rosenbaum dkk, palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rosenbaum dkk, palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi palsi serebral Menurut Rosenbaum dkk, palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

Agnesia Naathiq H1A Brown Sequard Syndrome

Agnesia Naathiq H1A Brown Sequard Syndrome Agnesia Naathiq H1A012004 Brown Sequard Syndrome Pendahuluan Brown Sequard Syndrome (BSS) merupakan kumpulan gejala yang muncul karena cedera medulla spinalis yang meliputi kelumpuhan atau gangguan neuron

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering kedelapan di seluruh dunia. Insiden penyakit ini memiliki variasi pada wilayah dan ras yang

Lebih terperinci

Bell s Palsy dan Manifestasinya pada Saraf Wajah. Viqtor Try Junianto / C2. Universitas Kristen Krida Wacana

Bell s Palsy dan Manifestasinya pada Saraf Wajah. Viqtor Try Junianto / C2. Universitas Kristen Krida Wacana Bell s Palsy dan Manifestasinya pada Saraf Wajah Viqtor Try Junianto 102012414 / C2 Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat Email : viqtor.junianto@civitas.ukrida.ac.id

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xerostomia Umumnya perhatian terhadap saliva sangat kurang. Perhatian terhadap saliva baru timbul apabila terjadinya pengurangan sekresi saliva yang akan menimbulkan gejala mulut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asimetri Definisi simetri adalah persamaan salah satu sisi dari suatu objek baik dalam segi bentuk, ukuran, dan sebagainya dengan sisi yang berada di belakang median plate.

Lebih terperinci

Definisi Vertigo. Penyebab vertigo

Definisi Vertigo. Penyebab vertigo Definisi Vertigo Vertigo adalah perasaan yang abnormal mengenai adanya gerakan penderita terhadap lingkungan sekitarnya atau lingkungan sekitar terhadap penderita, dengan gambaran tiba-tiba semua terasa

Lebih terperinci

PROSES ASUHAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL S PALSY SINISTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA

PROSES ASUHAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL S PALSY SINISTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA PROSES ASUHAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL S PALSY SINISTRA DI RSAL. DR.RAMELAN SURABAYA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Menyelesaikan Program

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi perhatian BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masalah kesehatan gigi dewasa ini tidak hanya membahas gigi geligi saja, tetapi telah meluas ke rongga mulut. Penyakit-penyakit didalam rongga mulut telah menjadi

Lebih terperinci

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas BAB II KLAS III MANDIBULA 2.1 Defenisi Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas dan gigi-gigi pada rahang bawah bertemu, pada waktu rahang atas dan rahang

Lebih terperinci

REFERAT SINDROM MILLARD GUBLER

REFERAT SINDROM MILLARD GUBLER REFERAT SINDROM MILLARD GUBLER NAMA PEMBIMBING : Dr. Edi Prasetyo, Sp.S DISUSUN OLEH Adib Wahyudi (1102010005) Andhika Dwianto (1102010019) Arif Gusaseano (1102010033) Dianta Afina (1102010075) Gwendry

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronik non inflamasi yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Penyakit ini bersifat progresif lambat,

Lebih terperinci

Trauma Lahir. dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009

Trauma Lahir. dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009 Trauma Lahir dr. R.A.Neilan Amroisa, M.Kes., Sp.S Tim Modul Tumbuh Kembang FK Unimal 2009 Jenis trauma lahir 1. Trauma lahir pada kepala Ekstrakranial Intrakranial 2. Trauma Medulla Spinalis 3. Trauma

Lebih terperinci

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Daftar Isi Anggota Tutorial 5 Blok 15... 3 Skenario Plenary Discussion Blok 15... 4 Clarifying Unfamiliar Terms and Concept... 5 Problem Definition... 6 Brainstorming and Analizyng The Problem... 7 Referensi...

Lebih terperinci

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma? Glaukoma Glaukoma dikenal sebagai "Pencuri Penglihatan" karena tidak ada gejala yang jelas pada tahap awal terjadinya penyakit ini. Penyakit ini mencuri penglihatan Anda secara diam-diam sebelum Anda menyadarinya.

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri

BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran

Lebih terperinci

Disusun oleh: RUSTRIA IKA PURWANINGSIH J Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Disusun oleh: RUSTRIA IKA PURWANINGSIH J Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL S PALSY DEXTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED, INTERUPTED DIRRECT CURRENT DAN MASSAGE DI RSAL DR. RAMELAN SURABAYA Disusun oleh: RUSTRIA IKA PURWANINGSIH J 100

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat

BAB I PENDAHULUAN. sampai 6 gram. Ovarium terletak dalam kavum peritonei. Kedua ovarium melekat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ovarium merupakan kelenjar kelamin (gonad) atau kelenjar seks wanita. Ovarium berbentuk seperti buah almond, berukuran panjang 2,5 sampai 5 cm, lebar 1,5 sampai 3 cm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel yang tak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan lainnya, baik

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BELL S PALSY I. Pengertian II. Anatomi Perjalanan Nervus Facialis

BELL S PALSY I. Pengertian II. Anatomi Perjalanan Nervus Facialis BELL S PALSY I. Pengertian Bell s Palsy (BP) adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses nonsupuratif, non-neoplastik, non-degeneratif primer maupun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus

Lebih terperinci

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1 Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau

Lebih terperinci

BAB 2 PERSIAPAN REKONSTRUKSI MANDIBULA. mandibula berguna dalam proses pembicaraan, mastikasi, penelanan dan juga

BAB 2 PERSIAPAN REKONSTRUKSI MANDIBULA. mandibula berguna dalam proses pembicaraan, mastikasi, penelanan dan juga BAB 2 PERSIAPAN REKONSTRUKSI MANDIBULA Rekonstruksi mandibula masih merupakan tantangan yang kompleks. Tulang mandibula berguna dalam proses pembicaraan, mastikasi, penelanan dan juga dukungan jalan pernafasan.

Lebih terperinci

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP BELL S PALSY DI DEPARTEMEN BEDAH MULUT FKG USU PERIODE DESEMBER 2014 JANUARI 2015

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP BELL S PALSY DI DEPARTEMEN BEDAH MULUT FKG USU PERIODE DESEMBER 2014 JANUARI 2015 TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP BELL S PALSY DI DEPARTEMEN BEDAH MULUT FKG USU PERIODE DESEMBER 2014 JANUARI 2015 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya pusat rehabilitasi di Surakarta menuntut pengetahuan lebih

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya pusat rehabilitasi di Surakarta menuntut pengetahuan lebih 1 BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1948 Prof. Dr. Soeharso mendidik tenaga kesehatan dalam rangka kerja besarnya memulihkan korban perang, dibangun Sekolah Perawat Fisioterapi. Semakin berkembangnya pusat

Lebih terperinci

DEWI TRI MAULITA J

DEWI TRI MAULITA J KARYA TULIS ILMIAH PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI BELL S PALSY DEKSTRA DENGAN MODALITAS FISIOTERAPI di RSUD Dr.MOEWARDI SURAKARTA Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

Journal Reading ULFA ELSANATA ( )

Journal Reading ULFA ELSANATA ( ) Journal Reading ULFA ELSANATA (01.211.6546) Tujuan Mengevaluasi efektifitas gabapentin untuk menghilangkan gejala pada CTS Pendahuluan : Pengobatan CTS mencakup obat oral, suntikan steroid, decompressive

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab Pengertian

Pendahuluan. Bab Pengertian Bab 1 Pendahuluan 1.1 Pengertian Nyeri dento alveolar yang bersifat neuropatik merupakan salah satu kondisi nyeri orofasial dengan penyebab yang hingga saat ini belum dapat dipahami secara komprehensif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Mata berair adalah salah satu dilema yang sering dihadapi dokter mata dan dokter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Mata berair adalah salah satu dilema yang sering dihadapi dokter mata dan dokter BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Mata berair adalah salah satu dilema yang sering dihadapi dokter mata dan dokter bedah okulofasial. Ketika pasien datang dengan keluhan air mata yang mengalir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Artritis reumatoid/rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot.

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Defisit neurologis adalah kelainan fungsional area tubuh karena penurunan fungsi otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot. Tanda tanda defisit neurologis merupakan

Lebih terperinci

Tahap-tahap penegakan diagnosis :

Tahap-tahap penegakan diagnosis : Tahap-tahap penegakan diagnosis : Pada dasarnya, penegakan diagnosis terbagi menjadi beberapa poin penting yang nantinya akan mengarahkan kita menuju suatu diagnosis yang tepat. Oleh karena itu, kita perlu

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala Tinjauan Pustaka A. Pendahuluan Insiden dari metastasi tulang menempati urutan kedua setelah metastase ke paru-paru dan hati. Frekuensi paling sering pada tulang adalah metastase ke kolumna vertebra. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tic fasialis termasuk dalam golongan movement disorders yang secara karakteristik ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Tic fasialis termasuk dalam golongan movement disorders yang secara karakteristik ditandai BAB I PENDAHULUAN Tic fasialis termasuk dalam golongan movement disorders yang secara karakteristik ditandai dengan adanya kontraksi involunter otot wajah yang dipersarafi oleh saraf VII ( N.facialis),

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis

Bab 1. Pendahuluan. A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis Bab 1 Pendahuluan A. Definisi Nyeri Orofasial Kronis Berdasarkan durasi terjadinya nyeri, nyeri orofasial dapat dibedakan menjadi nyeri orofasial akut serta nyeri orofasial kronis. Nyeri orofasial akut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini semakin banyak ditemukan berbagai penyakit berbahaya yang penyebabnya adalah virus. Salah satunya adalah flu, tetapi penyakit ini tidak mengancam jiwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini

Hepatitis Virus. Oleh. Dedeh Suhartini Hepatitis Virus Oleh Dedeh Suhartini Fungsi Hati 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu. 3. Metabolisme protein. 4. Metabolisme lemak. 5. Penyimpanan vitamin dan mineral. 6. Metabolisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun, yakni mencapai 15,9% dan meningkat menjadi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun. Prevalensi

Lebih terperinci

Pendahuluan. Etiologi dan Epedimiologi

Pendahuluan. Etiologi dan Epedimiologi Pendahuluan Kanker mata adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan berbagai jenis tumor yang terjadi di berbagai bagian mata. Hal ini terjadi ketika sel-sel dalam atau di sekitar mata berubah

Lebih terperinci

Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age

Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age Brain Development in Infant Born with Small for Gestational Age DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) Bayi yang lahir dengan small for gestational age (SGA) mempunyai beberapa implikasi pada pertumbuhan

Lebih terperinci

BELL S PALSY Impuls motoric yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuclear, dan infranuklear.

BELL S PALSY Impuls motoric yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuclear, dan infranuklear. BELL S PALSY Impuls motoric yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuclear, dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motoric

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid. BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID Dalam dunia medis, radioterapi sudah menjadi perawatan yang sangat umum digunakan. Penggunaannya pun dilakukan untuk berbagai macam penyakit kanker termasuk untuk penyakit

Lebih terperinci

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15

Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Kanker Payudara Thursday, 14 August :15 Kanker payudara adalah penyakit dimana selsel kanker tumbuh di dalam jaringan payudara, biasanya pada ductus (saluran yang mengalirkan ASI ke puting) dan lobulus (kelenjar yang membuat susu). Kanker atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

Lebih terperinci

TINJAUAN ANATOMI KLINIK DAN MANAJEMEN BELL S PALSY

TINJAUAN ANATOMI KLINIK DAN MANAJEMEN BELL S PALSY Tinjauan Pustaka TINJAUAN ANATOMI KLINIK DAN MANAJEMEN BELL S PALSY Nur Mujaddidah 1)Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya Submitted : May 2017 Accepted : June 2017 Published : July

Lebih terperinci

Meningitis: Diagnosis dan Penatalaksanaannya

Meningitis: Diagnosis dan Penatalaksanaannya Meningitis: Diagnosis dan Penatalaksanaannya Ahmad Rizal Ganiem Dept Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung - Indonesia Meningitis Peradangan di selubung pembungkus otak dan sumsum tulang belakang (disebut

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX. Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral

BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX. Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral BAB 2 DEFINISI GAG REFLEX 2.1 Definisi Dari semua permasalahan yang mungkin terjadi di bagian intraoral radiography, gagging merupakan salah satu masalah terbanyak. Gagging yang juga sering disebut gag

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Katarak Asal kata katarak dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata yang biasanya bening

Lebih terperinci

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Prostat Kanker prostat merupakan tumor ganas yang paling umum ditemukan pada populasi pria di Amerika Serikat, dan juga merupakan kanker pembunuh ke-5 populasi pria di Hong Kong. Jumlah pasien telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa ini Diabetes Melitus (DM) sudah menjadi penyakit yang diderita segala lapisan masyarakat. DM merupakan suatu kondisi abnormal pada proses metabolisme karbohidrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). Menurut data Word Health Organization (WHO, 2010), menyebutkan setiap

BAB I PENDAHULUAN. gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). Menurut data Word Health Organization (WHO, 2010), menyebutkan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul secara mendadak dan terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan anggota

Lebih terperinci