HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Ketersediaan Pangan Per Kapita di Indonesia Ketersediaan pangan per kapita mengindikasikan rata-rata peluang individu untuk memperoleh bahan pangan. Berdasarkan hasil analisis Neraca Bahan Makanan (NBM), dapat diketahui perkembangan ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi per kapita selama tiga dekade terakhir ( ) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat dan berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan energi berkisar 98%-184% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Tingkat ketersediaan energi pada tahun 1980 sebesar kkal/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi kkal/kap/hari atau memenuhi 184% dari AKE. Selama tahun , capaian tertinggi ketersediaan energi per kapita terjadi pada tahun Menurut kategori Depkes (1996), tingkat ketersediaan energi pada tahun 2010 termasuk dalam kategori lebih (>120% AKE). Hal tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan pangan Indonesia termasuk dalam kategori tahan pangan. Pada periode , rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,7% per tahun. Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia pada tahun dapat dilihat pada Gambar 3. 4,039 (kkal/kap/hr) 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 2,489 2,542 2,502 2,565 2,516 2,519 2,660 2,580 2,712 2,640 2,781 2,790 2,968 2,899 2,879 3,133 3,234 2,939 3,021 3,120 2,974 2,991 2,962 3,082 3,005 2,912 2,989 3,358 3,382 3,509 AKE: 2550 kkal AKE: 2200 kkal Tahun Sumber : BPS RI, Publikasi NBM Ket. : - Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal - Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VI Tahun 1998 : kkal/kap/hr - Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VIII Tahun 2004 : kkal/kap/hr Gambar 3 Perkembangan ketersediaan energi per kapita di Indonesia tahun

2 26 Selain itu, dari sisi ketersediaan protein per kapita juga terjadi peningkatan selama tiga dekade terakhir. Perkembangan ketersediaan protein per kapita selama tahun dapat dilihat pada Gambar 4. (gram/kap/hr) AKP: 55 g AKP: 57 g Tahun Sumber : BPS RI, Publikasi NBM Ket. : - Tahun 2009 Angka Sementara, Tahun 2010 Angka Perkiraan Awal - Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VI Tahun 1998 : 55 gram/kap/hr - Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VIII Tahun 2004 : 57 gram/kap/hr Gambar 4 Perkembangan ketersediaan protein per kapita di Indonesia tahun Ketersediaan protein per kapita selama tiga dekade terakhir ( ) memperlihatkan kecenderungan yang meningkat pula. Pada periode tersebut, tingkat ketersediaan protein berkisar 87%-156% dan secara umum kuantitasnya sudah melebihi angka rekomendasi hasil WNPG. Tingkat ketersediaan protein pada tahun 1980 sebesar 49,4 gram/kap/hari dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 88,1 gram/kap/hari atau memenuhi 155% dari AKP. Selama tahun , capaian tertinggi ketersediaan protein terjadi pada tahun 2009 (89,2 gram/kap/hari). Walaupun demikian, sumber ketersediaan protein tahun 2009 masih didominasi dari bahan nabati yaitu 73,15 gram/kap/hari, sedangkan kontribusi protein hewani hanya sebesar 16,04 gram/kap/hari. Rata-rata pertumbuhan protein selama tiga dekade terahir mencapai 2,2% per tahun. Dari segi komposisi, secara umum ketersediaan pangan masih dapat dikatakan belum seimbang. Hal ini antara lain dicirikan oleh sangat tingginya kontribusi pangan sumber karbohidrat, tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sebagai sumber protein, serta rendahnya ketersediaan pangan sumber protein, vitamin dan mineral (kacang-kacangan, pangan hewani, sayuran dan buah-buahan) (Bappenas 2000). Pada tahun 2008, kelompok padi-padian menyumbang energi sebesar 62%, dan protein sebesar 63,6%. Kontribusi pangan hewani terhadap ketersediaan protein hanya 17,9%. Selain itu, kontribusi

3 27 pangan hewani (3,94%), kacang-kacangan (3,54%), sayur dan buah (4,03%) pada tahun 2008 masih belum memenuhi kontribusi ideal menurut pola pangan harapan (PPH). Perkembangan Akses Pangan di Indonesia Aksesibilitas pangan merupakan salah satu aspek pemenuhan hak atas pangan (FAO 2006b). Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan umumnya bersifat kronis yang meliputi aspek fisik, ekonomi, dan sosial. Aspek fisik berupa infrastruktur jalan dan pasar, dan aspek ekonomi berupa daya beli yang masih rendah karena kemiskinan dan pengangguran, serta aspek sosial berupa tingkat pendidikan yang rendah (Bappenas 2010b). Tingkat Kemiskinan Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode tampak berfluktuasi. Secara umum, tingkat kemiskinan mutlak di Indonesia sudah menurun drastis, terutama dalam dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1980 mencapai 42,3 juta jiwa (28,6%), yang menurun menjadi 35 juta jiwa (21,6%) pada tahun 1984, dan akhirnya menjadi 22,5 juta jiwa (11,34%) pada tahun Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun dengan menggunakan garis kemiskinan nasional dapat dilihat secara rinci pada Gambar Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin (%) Sumber : BPS RI Ket. : - Tahun 1976 s.d. 1996a: menggunakan standar lama (sebelum tahun 1998) - Tahun 1996b s.d. 2010: berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan Gambar 5 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun

4 28 Krisis ekonomi pada pertengahan 1997 telah mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk miskin, baik dalam arti kemiskinan mutlak ataupun relatif meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,23%) pada tahun Dari jumlah tersebut, 17,6 juta jiwa (21,92%) penduduk miskin tinggal di perkotaan dan 31,9 juta jiwa (25,72%) tinggal di pedesaan. Kondisi kemiskinan pada tahun 1998 ini mendekati kondisi tahun 1981 dan tahun Pada periode terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 12,87 juta, yaitu dari 47,97 juta jiwa pada tahun 1999 menjadi 35,1 juta jiwa pada tahun Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43% pada tahun 1999 menjadi 15,97% pada tahun Menurut Soekirman (2000), penurunan tingkat kemiskinan yang dimulai pada tahun 1999 tidak terlepas dari salah satu kegiatan utama Jaring Pengaman Sosial (JPS) 1998/1999, yaitu subsidi beras melalui OPK (Operasi Pasar Khusus) yang dilakukan oleh Bulog. Kegiatan ini dinilai berhasil menolong pendapatan dan ketahanan pangan banyak keluarga miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan. OPK yang menjual beras dengan harga Rp 1.000,- per kg atau sekitar 30% harga pasar, pada tahun 1999 telah menjangkau 10,5 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia. Menurut perhitungan para pakar ekonomi perberasan, OPK telah mendorong turunnya angka kemiskinan pada tahun Apabila tidak ada OPK diperkirakan pendapatan masyarakat miskin akan turun sebesar 11%, dan pada masyarakat yang paling miskin turun 22%. Pada periode terjadi pertambahan jumlah penduduk miskin secara drastis sebesar 4,2 juta jiwa, yaitu dari 35,1 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 39,30 juta jiwa pada tahun Akibatnya persentase penduduk miskin juga meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin tersebut terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut meningkat yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,11%. Dengan demikian, penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dan pada tahun 2010 menjadi 31,01 juta jiwa (13,33%) atau berkurang 8,29 juta jiwa dibandingkan tahun Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 tersebut bahkan lebih kecil dari jumlah penduduk miskin sebelum krisis ekonomi dan moneter tahun Turunnya jumlah penduduk miskin ini juga diikuti dengan

5 29 turunnya jumlah pengangguran terbuka yang turun secara signifikan dari 11,24% pada bulan November tahun 2005 menjadi 7,41% pada tahun Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010, menunjukkan kesenjangan tingkat kemiskinan antarprovinsi masih sangat tinggi dan perlu ditangani secara efektif. Dari 33 provinsi, 17 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional, sementara 16 provinsi masih memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Selain itu, tingkat kemiskinan di daerah perdesaan (16,56%) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (9,87%) sehingga memerlukan peningkatan pembangunan perdesaan. Pada umumnya karakteristik penduduk miskin secara spesifik antara lain adalah: (a) sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60%); (b) sebagian besar (60%) berpenghasilan rendah dan mengkonsumsi energi kurang dari kkal/hari; (c) proporsi pengeluaran pangan (>60%) dan kecukupan gizi (energi <80%); dan (d) penduduk miskin dengan tingkat sumber daya manusia yang rendah umumnya tinggal di wilayah marginal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah. Kemiskinan yang dihadapi oleh petani sendiri sebagian besar disebabkan karena kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang untuk memperoleh peluang penting yang menjadi hak setiap orang (DKP 2011). Hal penting yang perlu dilakukan adalah upaya peningkatan pendapatan masyarakat, terutama petani dan masyarakat perdesaan yang tingkat kemiskinannnya tinggi sehingga daya beli dan kemampuan mereka untuk mengakses pangan semakin meningkat. Menurut BBKP (2003), kemampuan masyarakat miskin ini dalam mengakses pangan, khususnya mereka yang tergolong net konsumen pangan seperti petani-nelayan kecil, buruh, dan pekerja sektor informal di pedesaan maupun perkotaan, sangat menurun manakala terjadi penurunan pasokan yang berakibat pada kenaikan harga pangan. Jika kelompok masyarakat miskin tersebut hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 70% dari norma kecukupan gizi, maka dalam waktu tertentu akan mengalami kerawanan pangan, yang akan diikuti dengan kerawanan gizi. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan (DKP 2006). Tingkat Pengangguran Berdasarkan data BPS dari hasil Sakernas, dapat diketahui perkembangan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Perkembangan

6 30 tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 1980 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 6. (%) (Agust) (Agust) (Agust) 2001 (Agust) (Agust) 2005 (Feb) 2005 (Nov) 2006 (Feb) 2006 (Agust) 2007 (Feb) 2007 (Agust) 2008 (Feb) 2008 (Agust) 2009 (Feb) 2009 (Agust) 2010 Tahun Sumber: BPS RI, Sakernas berbagai tahun Gambar 6 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tahun Dari Gambar 6, dapat diketahui bahwa tingkat pengangguran terbuka dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan dan mulai cenderung menurun dari bulan November tahun Pengangguran terbuka dari tahun 1980 sampai tahun 2010 sudah mengalami pertumbuhan sebesar 321%, artinya selama periode ini pengangguran terbuka sudah bertambah sebanyak tiga kali lipat lebih. Penurunan tingkat pengangguran terbuka mulai tahun 2005 hingga tahun 2010 merupakan hasil upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode cenderung meningkat. Menurut data BPS, rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut sebesar 6,4%. Perekonomian pada telah memberikan peningkatan terhadap jumlah orang yang bekerja, sehingga angka pengangguran telah berhasil diturunkan. Dalam hal ini, meski terjadi penurunan, pengangguran terbuka masih tergolong tinggi. Target RPJMN untuk menurunkan angka pengangguran terbuka menjadi 5,1% pada tahun 2009 tidak tercapai. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2009 berada pada level 7,87%. Tingginya tingkat pengangguran mendorong banyak masyarakat bekerja pada lapangan kerja yang kurang produktif. Hal ini pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya dapat menyebabkan jumlah penduduk miskin dan rentan jatuh di bawah garis kemiskinan (near poor) semakin tinggi (Bappenas 2009a). Menurut Suntoro (2004), tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat yang

7 31 berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan. Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja perlu dikembangkan agar masyarakat mampu meningkatkan pendapatannya. Pengeluaran Per Kapita Tinjauan aspek ekonomi mengenai akses penduduk terhadap pangan dapat diukur pula dari pengeluaran per kapita sebulan. Pengeluaran per kapita sebulan penduduk dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk tersebut setiap bulannya (DKP 2011). Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dan gizi yang lebih baik. Berikut gambar perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan di Indonesia pada tahun berdasarkan data BPS dari hasil Susenas. (Rp/kap/bln) ,336 6,319 6,799 7,702 26,912 30,030 37,684 31,672 45,766 67,834 61,179 62,059 78,661 80, , , , , , , ,338 0 Tahun Sumber: BPS RI, Susenas berbagai tahun (Diolah) Gambar 7 Perkembangan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan di Indonesia tahun Gambar 7 menunjukkan bahwa secara umum pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pengeluaran per kapita sebulan mengalami penurunan pada tahun 1997, 2000, dan 2006 dengan laju penurunan masing-masing sebesar 16%, 10%, dan 3%. Selama periode , pengeluaran per kapita sebulan dengan harga konstan meningkat dari Rp pada tahun 1980 menjadi Rp pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 33%. Pengeluaran per kapita sebulan dapat dijadikan proksi tingkat pendapatan penduduk sebulan. Adanya peningkatan pengeluaran per kapita penduduk selama periode dapat mencerminkan tingkat pendapatan penduduk yang meningkat selama periode tersebut. Secara nominal tingkat pengeluaran per kapita sebulan meningkat, tetapi dari perspektif kesejahteraan rakyat yang paling penting adalah kemampuan daya beli bukan nominal dari

8 32 pengeluaran. Hukum Engel menyatakan semakin miskin seseorang maka akan semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk makanan (BPS 2008). Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan rendah cenderung untuk membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan daripada penduduk yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Data Susenas menunjukkan pada tahun 1980 sebesar 69,3% pengeluaran penduduk digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Persentasenya dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun, dan menjadi 51,43% pada tahun Pengeluaran pangan per kapita sempat meningkat dari 55,27% pada tahun 1996 menjadi 62,94% pada tahun 1999 kemudian menurun kembali menjadi 58.47% pada tahun Dari angka tersebut terlihat bahwa tekanan ekonomi yang terjadi saat krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan kesejahteraan penduduk menurun sehingga daya beli juga menurun dan akibatnya pangsa pengeluaran untuk pangan menjadi meningkat. Kemudian pangsa pengeluaran pangan menurun kembali setelah terjadi pemulihan ekonomi, namun nilainya masih relatif besar. Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita PDB per kapita merupakan suatu indikator kesejahteraan. Semakin tinggi PDB per kapita suatu negara mengindikasikan semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Sohardjo et al. (1986), PDB hendaknya tidak digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah karena PDB tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di wilaya tersebut. Nilai PDB per kapita atas dasar harga konstan tahun dapat dilihat pada Gambar 8. PDB Per Kapita (Juta Rp) Tahun Sumber: IMF (2011), World Economic Outlook Database Gambar 8 Perkembangan PDB per kapita atas dasar harga konstan di Indonesia tahun

9 33 Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa pada periode secara umum PDB per kapita dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Meski PDB per kapita sempat mengalami penurunan secara drastis (14,4%) pada tahun 1998 setelah dilanda krisis ekonomi, PDB per kapita kembali pulih dan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat mulai tahun Ratarata pertumbuhan PDB per kapita setiap tahunnya mencapai 3,4%. PDB per kapita dari tahun 1980 (3,7 juta rupiah) sampai tahun 2010 (9,9 juta rupiah) sudah mengalami pertumbuhan sebesar 163%, artinya selama periode ini PDB per kapita sudah bertambah sebanyak satu setengah kali lipat lebih. Indonesia telah berhasil meningkatkan statusnya menjadi negara dengan pendapatan menengah pada tahun 2007 (Bappenas 2007a). PDB per kapita Indonesia tahun 2007 mencapai 8,7 juta rupiah. Meski demikian, PDB per kapita yang tergolong cukup tinggi tersebut belum dinikmati oleh semua kalangan. Pembangunan yang belum merata menyebabkan semakin besarnya kesenjangan antar penduduk serta jumlah orang miskin dengan mengacu pada garis kemiskinan nasional masih tergolong cukup tinggi. Perkembangan Konsumsi Pangan di Indonesia FAO (2006b), menetapkan konsumsi pangan sebagai salah satu elemen kecukupan pangan (food adequacy) dalam mewujudkan hak atas pangan bagi setiap individu. Hasil Susenas yang dipublikasikan BPS menunjukkan perkembangan konsumsi energi dan protein per kapita pada periode Perkembangan konsumsi energi dan protein perkapita di Indonesia pada tahun 1980 sampai 2010 dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. 2,200 (kkal/kap/hr) 2,100 2,000 1,900 1, AKE: 2200 kkal AKE: 2000 kkal , Tahun Sumber : BPS RI, Susenas berbagai tahun Ket. : Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VI Tahun 1998 : kkal/kap/hari Angka Kecukupan Energi (AKE) WNPG VIII Tahun 2004: kkal/kap/hari Gambar 9 Perkembangan konsumsi energi per kapita di Indonesia tahun

10 34 (gram/kap/hr) AKP: 48 g AKP: 52 g Tahun Sumber : BPS RI, Susenas berbagai tahun Ket : Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VI Tahun 1998 : 48 gram/kap/hari Angka Kecukupan Protein (AKP) WNPG VIII Tahun 2004 : 52 gram/kap/hari Gambar 10 Perkembangan konsumsi protein per kapita di Indonesia tahun Perkembangan konsumsi energi dan protein per kapita di Indonesia pada periode mengalami peningkatan dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Pada periode tersebut, tingkat konsumsi energi berkisar 82%-102% dan protein 88%-105%. Secara umum, konsumsi energi per kapita selama periode lebih rendah dibandingkan rekomendasi hasil WNPG meski ketersediaan energi per kapita sudah jauh melebihi kebutuhan. Lain halnya dengan konsumsi protein yang sudah melebihi angka rekomendasi mulai tahun Selama periode , rata-rata pertumbuhan konsumsi energi dan protein tergolong lambat, yaitu masing-masing 0,5% dan 1,8% per tahun. Tingkat konsumsi energi dan protein pada tahun 1980 sebesar kkal/kap/hari dan 42,7 gram/kap/hari, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi kkal/kap/hari dan 55,0 gram/kap/hari atau memenuhi 96% dari AKE dan 106% dari AKP. Menurut kategori Depkes 1996, tingkat konsumsi energi pada tahun 2010 termasuk dalam kategori normal (90-119% AKE). Hal tersebut menggambarkan bahwa konsumsi pangan Indonesia termasuk dalam kategori tahan pangan. Secara agregat, konsumsi energi dan protein pada tahun 1996 mencapai kkal/kap/hari dan 54,5 gram/kap/hari. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menurunkan konsumsi energi menjadi kkal/kap/hari dan protein 48,7 gram/kap/hari pada tahun Namun demikian setelah krisis berakhir, konsumsi energi masyarakat berangsur pulih dengan kecenderungan yang masih berfluktuatif. Tingkat konsumsi protein pada masa

11 35 krisis mengalami perkembangan yang sama namun setelah masa krisis sudah membaik dan bahkan pada tahun 2005 sudah melebihi tingkat sebelum krisis. Menurut Susenas tahun 2002, secara agregat nasional, situasi konsumsi pangan penduduk tahun 2002 lebih baik dari tahun 1999, dan mendekati tingkat konsumsi sebelum krisis moneter tahun Hal ini mengindikasikan, bahwa berbagai usaha pemulihan ekonomi yang sudah dan sedang dijalankan telah membawa dampak positif terhadap perbaikan konsumsi pangan penduduk. Konsumsi energi pada tahun 2002 menurut Susenas 2002 sebesar kkal/kap/hari, naik 7,4% dari konsumsi tahun 1999 sebesar kkal/kap/hari. Konsumsi protein juga naik 11,8% dari 48,7 gram/kap/hari pada tahun 1999 menjadi 54,4 gram/kap/hari pada tahun Rata-rata konsumsi pangan per kapita per hari penduduk selama periode mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat sampai tahun 2008, kemudian terus menurun sampai tahun Pada tahun 2009, konsumsi energi adalah sebesar kkal/kap/hari atau turun 111 kilokalori dan konsumsi protein adalah sebesar 54,4 gram/kap/hari atau berkurang 3,1 gram dibandingkan tahun Konsumsi per kapita per hari untuk energi tersebut lebih rendah 72 kilokalori dari angka kecukupan yang dianjurkan, sedangkan untuk konsumsi protein telah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi protein per kapita per hari umumnya sudah tercukupi meski harus disadari bahwa sebagian besar sumber protein yang dikonsumsi berasal dari pangan nabati, khususnya padi-padian. Beras, khususnya tidak hanya penyumbang energi terbesar tetapi juga merupakan penyumbang protein yang terbesar. Data Susenas menunjukkan kelompok padi-padian menyumbang 40,6% (22,06 gram/kap/hari) terhadap konsumsi protein pada tahun 2009 dan menurun menjadi 39,6% pada tahun 2010 (21,76 gram/kap/hari). Secara nasional, kualitas (keragaman dan keseimbangan) konsumsi pangan penduduk yang ditunjukkan dengan nilai skor Pola Pangan Harapan (PPH) mengalami penurunan dari 82,8 pada tahun 2007, menjadi 81,9 pada tahun 2008, dan turun menjadi 75,7 pada tahun Penurunan kualitas konsumsi pangan yang sangat tajam pada tahun 2009, disebabkan menurunnya konsumsi seluruh jenis komoditas pangan dalam 9 kelompok bahan pangan, kecuali minyak sawit dan minyak lainnya dari kelompok minyak dan lemak serta konsumsi minuman (BKP 2010).

12 36 Menurut Suryana (2003), kebijakan pangan bila dikaitkan dengan konsumsi, tidak hanya menyangkut masalah penyediaannya tetapi juga berkaitan erat dengan persoalan distribusinya. Sebagai contoh, baik penyediaan ataupun tingkat konsumsi pangan nasional pada tahun 1984 sudah mencapai tingkat kecukupan. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata masih terdapat penduduk yang pola konsumsinya masih di bawah standar kecukupan. Keragaman tersebut dipengaruhi oleh adanya keragaman potensi sumberdaya serta faktor-faktor sosial, ekonomis, dan demografis setempat. Kerawanan Pangan Penduduk dikatakan rawan konsumsi energi apabila rataan konsumsi energinya kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan sehat (DKP 2009). Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein (DKP 2006). Berdasarkan hasil pengolahan data Susenas tahun 1987 hingga 2010, dapat diketahui persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia. Hasil pengolahan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia kondisi penduduk rawan pangan masih cukup tinggi. Perkembangan penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat secara rinci pada Gambar Tahun Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun (Diolah) Gambar 11 Perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) di Indonesia tahun Berdasarkan data pada Gambar 11 dapat diketahui perkembangan persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) di Indonesia. Selama periode (%)

13 , perkembangan persentase penduduk defisit energi cenderung berfluktuatif. Pada tahun 1987 persentase penduduk yang termasuk sangat rawan konsumsi pangan mencapai 10,84% dan meningkat menjadi 12,84% pada tahun Bila dibandingkan dengan kondisi saat puncak krisis ekonomi tahun 1999 yang persentasenya adalah 23,47%, maka baik persentase maupun jumlah penduduk yang sangat rawan konsumsi pangan mengalami penurunan yang cukup tajam. Menurut DKP (2009), penurunan ini terjadi karena dua hal: 1) karena keberhasilan program dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan yang berimbas pada meningkatnya rata-rata konsumsi energi, dan 2) penurunan standar kecukupan energi (AKE) yang diamanatkan dalam WNPG. Masih cukup tingginya proporsi penduduk rawan konsumsi pangan menunjukkan bahwa pencapaian kondisi ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah masih belum secara langsung menjamin tercapainya tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga dan daya beli rumah tangga serta masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga (DKP 2009). Perkembangan Keamanan Pangan di Indonesia Isu tentang keamanan pangan merupakan masalah penting karena diperkirakan lebih dari 90% masalah kesehatan manusia terkait dengan makanan. Berdasarkan data WHO tahun 2000 diketahui penyakit karena pangan (foodborne disease) merupakan penyebab 70% dari sekitar 1,5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia di bawah 5 tahun (Bappenas 2007b). Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan (Bappenas 2007b). Menurut Sparringa & Rahayu (2011), peristiwa keracunan pangan telah banyak diberitakan di media cetak maupun elekronika. Beberapa peristiwa penting mengenai keracunan pangan antara lain keracunan susu instan yang dialami 160 murid sekolah dasar di Medan (Media Indonesia 2004), keracunan pangan yang melanda 117 karyawan pabrik garmen di Sleman Yogyakarta (Media Indonesia 2003), dan keracunan pangan yang dialami 135 orang pada pesta pernikahan di Lumajang (Media Indonesia 2004). Namun,

14 38 tampaknya pemberitahuan tersebut masih dianggap berita biasa dan tenggelam oleh berita spektakuler seperti demam berdarah yang merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) nasional. Keracunan pangan yang dilaporkan pada media cetak dan elektronika sebenarnya merupakan fenomena puncak gunung es. Kasus atau KLB Keracunan Pangan terungkap dan terlihat sebagai puncak gunung es yang umumnya adalah keracunan akut dari korban yang mendapat perawatan di unitunit pelayanan kesehatan dan rumah-rumah sakit. Sebagian besar korban sakit setelah mengkonsumsi pangan pada acara pesta, keluarga maupun karyawan pabrik. Sedangkan pada kasus-kasus individu yang sebenarnya juga KLB, misalnya mereka yang sakit setelah mengkonsumsi pangan dari restauran atau sumber makanan siap saji dengan gejalanya cepat (beberapa jam) atau lama (beberapa hari/ minggu) umumnya tidak dilaporkan (Sparringa & Rahayu 2011). Menurut data Kementerian Kesehatan RI, secara umum dalam periode tahun , jumlah penderita keracunan makanan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Pada periode , jumlah penderita meningkat dari 321 orang (1986) menjadi orang (1992). Jumlah penderita keracunan makanan sempat menurun pada tahun 1993 (424 orang). Pada periode , jumlah penderita keracunan makanan meningkat kembali hingga tahun Data jumlah penderita keracunan makanan tahun dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Perkembangan jumlah penderita kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di Indonesia tahun Tahun Jumlah Penderita Jumlah Meninggal CFR(%) , , , , , , , , , , , , , , ,47 Sumber: Kementerian Kesehatan RI

15 39 Secara umum dalam satu dekade terakhir ( ), kejadian keracunan makanan meningkat sangat signifikan setiap tahunnya. Pada periode , jumlah kasus keracunan meningkat dari 26 kasus pada tahun 2001 menjadi 163 kasus pada tahun Peningkatan kasus tersebut diikuti juga dengan jumlah orang yang terkena sakit dari orang pada tahun 2001 menjadi orang pada tahun Demikian juga jumlah yang meninggal semakin meningkat dari 40 orang atau 0,46% pada tahun 2006 menjadi 79 orang atau 0,88% pada tahun 2008, dan menjadi 68 orang atau 1,23% pada tahun Namun demikian, diduga masih banyak KLB keracunan pangan yang belum dilaporkan di Indonesia. Perkembangan kejadian luar biasa keracunan pangan tahun secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan kejadian luar biasa keracunan pangan yang terlaporkan tahun Tahun Jumlah KLB Terpapar Sakit Meninggal CFR*) IR**) , , , , , , , , ,52 1, ,23 2,32 Sumber: Badan POM RI, 2011 *) Case Fatality Rate (CFR): perbandingan antara jumlah yang meninggal dengan yang sakit dikalikan 100. **) Incident Rate (IR) adalah angka kejadian per penduduk. Ada beberapa penyebab keracunan makanan, yaitu akibat cemaran mikrobiologi dan cemaran kimia. Penyebab KLB keracunan pangan yang dilaporkan pada tahun 2010 diketahui sebesar 2,45% mikroba terkonfirmasi, 7,36% mikroba suspect, 13,5% kimia suspect, 42,94% tidak diketahui penyebabnya, dan sebanyak 33,74% tidak ada sampel. Penyebab keracunan pangan mikrobiologi yang sering terjadi antara lain Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella sp, dan E.coli patogen. Sementara penyebab keracunan pangan kimia antara lain nitrit, histamin, formalin, sianida, methanol, serta tetrodotoksin. Sumber pangan penyebab keracunan pangan untuk tahun 2009 adalah pangan rumah tangga (40,87%), pangan olahan (24,35%), pangan jajanan

16 40 (19,13%), pangan jasa boga (15,65%), sedangkan pada tahun 2010 adalah masakan rumah tangga (43,56%), pangan jasa boga (19,63 %), pangan olahan (17,18%), pangan jajanan (13,5%), lain-lain (2,45%), serta tidak dilaporkan (3,68%). Lokasi atau tempat KLB keracunan pangan pada tahun 2010 masih didominasi di tempat tinggal (46,63%) dan sekolah dasar (17,18%). Kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, kesalahan penanganan sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan (Sparringa & Rahayu 2011). Untuk mengantisipasi hal tersebut, penanganan masalah mutu dan keamanan pangan memerlukan kepedulian dan antisipasi dari semua unsur pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pemerintah, produsen, industri pengolahan pangan, pedagang, dan konsumen serta dukungan dari kalangan perguruan tinggi. Perlunya standar minimum kandungan zat-zat yang terdapat pada pangan/ makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia. Badan Ketahanan Pangan propinsi/ kabupaten/ kota bersama Balai POM dan perguruan tinggi telah melakukan berbagai kegiatan, antara lain: (1) penyuluhan kepada para produsen makanan jajanan; (2) operasionalisasi pengawasan bahan pangan/ makanan melalui pengkajian; dan (3) pengambilan sampel untuk dianalisis dengan uji laboratorium. Bahan pangan yang diuji di laboratorium meliputi: (a) bahan segar berupa sayur (wortel, kol, sawi, slada), buah-buahan (apel, mangga, pepaya, pisang), dan daging (ayam, sapi); (b) bahan pangan nutrisi dari nenas, jagung, dan kedelai; (c) bahan pangan olahan dari jajanan anak sekolah dan jajanan pasar serta makanan di warung. Pada prinsipnya mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab antara pemerintah, industri makanan (produsen), dan konsumen. Untuk itu, perlu koordinasi yang jelas dan efektif antara ketiga unsur tersebut guna memahami dan menerapkan mutu dan keamanan pangan (BBKP 2003).

17 41 Perkembangan Status Gizi Masyarakat di Indonesia Status Gizi Tolak ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005). Selain itu, keadaan gizi masyarakat juga dapat diketahui dari keadaan berat badan lahir rendah (BBLR) dan besarnya masalah kekurangan gizi mikro pada kelompok rentan, yaitu gangguan akibat kurang yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), dan kurang vitamin A (KVA). Akhir-akhir ini permasalahan gizi lebih (kegemukan dan obesitas) juga terus meningkat (Bappenas 2010b). a. Status Gizi Balita Status gizi pada anak balita sering digunakan untuk melihat status gizi masyarakat secara umum karena status gizi pada masa ini sangat menentukan kualitas hidup dan kesehatan untuk sepanjang hidupnya (Bappenas 2010b). Secara umum status gizi balita menurut indeks BB/U membaik pada periode Pada tahun 1986 dan 1987, data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas menggunakan standar baku Harvard. Menurut BPS (1986), status gizi balita dengan baku Harvard diklasifikasikan menjadi gizi buruk (di bawah 60% baku), gizi kurang (60 s.d. 69,9% baku), gizi sedang (70 s.d. 79,9% baku), dan gizi baik (80% baku ke atas). Prevalensi kekurangan gizi (<70% baku Harvard) menurun sekitar 2% dari 12,9% pada tahun 1986 menjadi 10,97% pada tahun Periode , data status gizi balita yang dikeluarkan Susenas mulai menggunakan standar baku WHO-NCHS. Standar baku WHO-NCHS mengklasifikasikan status gizi balita (BB/U) menjadi gizi buruk (Z-skor <-3 SD), gizi kurang (- 3 Z-skor <-2 SD), gizi baik (- 2 SD Z-skor 2 SD), dan gizi lebih (Z-skor > 2 SD). Selama periode tersebut, kekurangan gizi (gizi buruk dan gizi kurang) menurun dari 37,47% menjadi 17,9%. Walaupun demikian, kasus gizi buruk cenderung berfluktuasi dan secara agregat tidak mengalami penurunan berarti. Pada periode 2000 hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi (BB/U) pada balita dan pada tahun 2005 menjadi 28,04%. Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatnya prevalensi gizi buruk terutama sejak tahun 2001 yang meningkat dari 6,3% menjadi 8,8% pada tahun Dengan angka ini, maka pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7

18 42 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8 juta diantaranya mengalami gizi buruk. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yaitu sebuah survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI, menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada balita telah menurun secara signifikan menjadi 18,4%. Dengan demikian dalam kurun waktu dua tahun sejak 2005, kekurangan gizi menurun hampir 10% poin. Dengan angka ini, maka tujuan RPJMN sebesar 20% pada tahun 2009 dan target MDGs sebesar 18,7% pada tahun 2015 telah tercapai. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, besarnya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang secara nasional masing-masing adalah 4,9% dan 13%. Terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi jika dibandingkan dengan tahun Akan tetapi, penurunan tersebut tergolong lambat dalam kurun waktu 3 tahun (0,4%). Hasil Susenas oleh BPS tahun 1989 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan kurang di Indonesia masing-masing sebesar 6,3% dan 31,17%. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan dalam upaya perbaikan gizi selama tiga dekade terakhir. Walaupun angka ini menurun dibandingkan hasil Susenas tahun 1989, tetapi menunjukkan bahwa anak balita gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama. Jika di suatu daerah ditemukan gizi buruk > 1% maka termasuk dalam masalah berat (Depkes 2000). Perkembangan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang menurut indeks berat badan menurut umur (BB/U) di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar Prevalensi Gizi Buruk (%) Prevalensi Gizi Kurang (%) Prevalensi Gizi Buruk + Kurang (%) Sumber: BPS, Susenas , Riskesdas 2007 dan 2010 Ket. : Tahun , menggunakan standar Median Baku Harvard Tahun , menggunakan standar Baku WHO-NCHS Gambar 12 Perkembangan prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia tahun

19 43 Dengan memperhatikan gambar di atas tampak adanya penurunan prevalensi gizi buruk dan kurang sebesar 20% dalam kurun waktu Ini berarti setiap tahun pemerintah hanya dapat menekan angka gizi buruk dan kurang rata-rata ± 1,6%. Menurut Riskesdas (2010), walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Dari 33 provinsi di Indonesia, masih terdapat 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk di atas angka prevalensi nasional. Namun demikian, semua provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi underweight (gizi kurang+buruk) di atas batas non-public health problem menurut WHO, yaitu 10%. Gizi buruk terjadi karena kekurangan gizi tingkat berat yang bila tidak ditangani dengan segera dapat mengakibatkan kematian. Untuk itu, surveilans gizi buruk perlu dilakukan dengan semakin baik sehingga upaya untuk menanggulangi anak balita dengan gizi buruk semakin dapat ditingkatkan (Bappenas 2010b). Menurut Bappenas (2005), suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila tingkat pendidikan penduduknya semakin baik, derajat kesehatan tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Di negara maju anakanak tumbuh lebih cepat daripada di negara berkembang karena asupan gizi yang lebih baik dapat menunjang tumbuh kembang anak. Terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan fisik dengan perkembangan mental anak usia dini. Anak berstatus gizi baik dan sehat akan merespon perubahan lingkungan lebih aktif yang selanjutnya dapat mempercepat perkembangan mental anak. Tampaknya upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia belum dikatakan optimal. Hal ini terlihat dari angka gizi buruk yang masih berfluktuatif. Walaupun terjadi penurunan kekurangan gizi (BB/U) secara signifikan, kekurangan gizi kronis (TB/U) masih terlihat cukup tinggi yaitu dilihat dari 35,6% balita mengalami stunting (Z-skor <-2 SD) berdasarkan Riskesdas Tinggi badan menurut umur yang rendah merupakan indikator malnutrisi kronis yang paling umum digunakan. Sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di atas angka prevalensi nasional. Bila dibandingkan dengan batas non public health problem menurut WHO untuk masalah stunting sebesar 20%, maka semua provinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.

20 44 Dari beberapa survei, prevalensi anak balita stunting masih tergolong tinggi. Masih sekitar 26-40% anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek (Tabel 6). Tinggi badan rata-rata anak balita ini umumnya mendekati kondisi normal hanya sampai 5-6 bulan, setelah usia enam bulan rata-rata tinggi badan anak balita lebih rendah dari kondisi normal (Bappenas 2007b). Menurut Bappenas (2010b), anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran TB/U yang sangat rendah dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar poin. Tabel 6 Prevalensi pendek/stunting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Stunting IBT (Indonesia Bagian Timur), Tahun 1991 (4 Provinsi) 44,5 Suvita (Survei Nasional Vit. A),Tahun 1992 (15 Provinsi) 41,4 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 1995 Nasional 45,9 JPS (Jaring Pengaman Sosial), Tahun 1998/99 43,8 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 2001 Nasional 34,3 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 2004 Nasional 25,8 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 (10 Provinsi) 36,2 Riskesdas ,8 Riskesdas ,6 Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Berat badan menurut tinggi badan yang rendah merupakan indikator malnutrisi akut yang paling sensitif dan paling umum digunakan. Seperti terlihat pada Tabel 7 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/ wasting, Z-skore <-2 SD) berkisar antara 7-16%. Tabel 7 Prevalensi kurus/wasting anak balita < 2SD dari beberapa jenis survei Survei Prevalensi Wasting IBT (Indonesia Bagian Timur), Tahun 1991 (4 Provinsi) 9,7 Suvita (Survei Nasional Vit. A),Tahun 1992 (15 Provinsi) 8,6 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 1995 Nasional 13,4 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 1995 Nasional 11,6 JPS (Jaring Pengaman Sosial), Tahun ,7 SKIA (Survei Kesehatan Ibu dan Anak), Tahun 2001 Nasional 15,6 SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga), Tahun 2004 Nasional 10,3 Studi Masalah Gizi Mikro, Puslitbang Gizi Tahun 2006 (10 Provinsi) 7,1 Riskesdas ,6 Riskesdas ,3

21 45 Prevalensi kurus dan sangat kurus (wasting) berdasar BB/TB pada anak balita tidak turun bermakna selama 3 tahun terakhir. Menurut hasil Riskesdas (2010), sebanyak 13,3% anak balita masih ditemukan kurus dan sangat kurus. Terdapat 19 provinsi yang memiliki prevalensi kekurusan di atas angka prevalensi nasional. Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi BB/TB kurus antara 10,1%- 15,0%, dan dianggap kritis bila di atas 15,0%. Pada tahun 2010, secara nasional prevalensi BB/TB kurus pada balita masih 13,3%. Hal ini berarti bahwa masalah kekurusan di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Dari 33 provinsi, ada 5 provinsi yang masuk kategori moderate (prevalensi 10%), 19 provinsi termasuk kategori serius (prevalensi antara 10,1% sampai 15%), dan 9 provinsi termasuk dalam kategori kategori kritis (prevalensi >15%). b. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir kurang dari gram yang ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu (1) BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu), dan (2) BBLR karena intra uterine growth retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya kurang. Di negara berkembang banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil (Kemenkes 2009). Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Seperti yang terlihat pada Tabel 8, proporsi BBLR berkisar antara 7-16% selama periode Menurut Atmarita dan Fallah (2004), kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi.

22 46 Tabel 8 Proporsi BBLR SDKI dan Riskesdas SDKI SDKI SDKI SDKI Riskesdas Riskesdas Nasional 7,3 7,1 7,7 7,6 11,5 11,1 Perkotaan 6,8 6,6 Perdesaan 7,3 8,4 Rentang Provinsi 2,3-16,7 3,6-15,6 Riskesdas 2007, mendata berat badan bayi baru lahir dalam 12 bulan terakhir. Tidak semua bayi diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir. Dari bayi yang diketahui berat badan hasil penimbangan waktu baru lahir, 11,5% lahir dengan berat badan kurang dari gram atau BBLR. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan proporsi BBLR mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2007, yaitu 11,1%. Persentase BBLR hasil SDKI menunjukkan 7,6% bayi lahir dengan BBLR, dan Riskesdas 2007 seperti disebutkan di atas sebesar 11,5%. Adanya perbedaan metode survei maka tidak dapat langsung dinilai adanya peningkatan BBLR, hal ini perlu mendapat perhatian. c. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) Masalah gizi lain yang juga menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah adanya gangguan pertumbuhan (khususnya pada anak usia sekolah) karena GAKY. Soekirman (2000), menyatakan bahwa pada anak usia sekolah dan dewasa GAKY dapat berakibat pembesaran kelenjar gondok, cacat mental, dan fisik. Berikut merupakan perkembangan prevalensi Gondok Total (TGR) di Indonesia tahun (Gambar 13). (%) Tahun Sumber: Dit. Gizi Masyarakat, Ditjen Kesmas, Survey Pemetaan GAKY Nasional Tahun 1980, 1990, 1996/98, Survey GAKY Nasional Tahun 2003 Gambar 13 Perkembangan prevalensi gondok total (TGR) di Indonesia tahun Hasil survei pemetaan GAKY nasional tahun 1980/1982, 1987/1990, dan 1996/1998 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY dengan kriteria TGR (Total Goitre Rate) yang cukup berarti. Pada tahun 1980/82, prevalensi GAKY pada

23 47 anak usia sekolah (6-11) tahun adalah 37,2% dan menurun menjadi 27,7% pada tahun 1987/1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei GAKY tahun 2003 menunjukkan prevalensi GAKY sedikit meningkat (11,1%), walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti. Jumlah kabupaten yang tergolong endemik berat menurun, yaitu dari 22 kabupaten pada tahun 1996/1998 menjadi 14 kabupaten pada tahun Menurut WHO, GAKY dalam suatu populasi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat apabila TGR anak sekolah di atas 5%. Hal ini berarti GAKY masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Secara internasional, perhitungan proporsi penduduk yang menderita gondok sebagai indikator GAKY sudah tidak dianjurkan lagi karena secara statistik dianggap kurang sahih. Di samping itu, indikator tersebut baru timbul pada tingkat akhir sebagai akumulasi terjadinya kekurangan yodium untuk waktu lama sehingga dianggap terlambat jika dipakai sebagai dasar tindak pencegahan. Indikator GAKY yang dianjurkan WHO adalah (i) kadar yodium dalam urine (EYU= Eksresi Yodium Urine), yaitu proporsi EYU di bawah 100 μg/l harus kurang dari 50% dan proporsi EYU di bawah 50 μg/l harus kurang dari 20% dan (ii) konsumsi garam beryodium oleh rumah tangga, yaitu 90% rumah tangga menggunakan garam mengandung cukup yodium. Kedua indikator tersebut sudah dapat dilihat pada tahap awal, saat tingkat kekurangan yodium masih ringan. Oleh karena itu, kedua indikator itu dapat digunakan sebagai dasar tindak pencegahan sebelum timbul gondok atau akibat lain yang lebih parah seperti kerdil dan cacat mental (Bappenas 2007b). Pada tahun 2003 median EYU anak sekolah di Indonesia adalah 22,9 μg/l, sedangkan data proporsi EYU sudah mencapai 16,7 persen dari proporsi 100 μg/l. Berdasarkan data Susenas, cakupan konsumsi garam beryodium secara nasional meningkat dari 68,5 persen di tahun 2002 menjadi 72,8 persen di tahun Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi terjadinya GAKY pada masyarakat. Kekurangan yodium tingkat awal pada anak terbukti dapat menurunkan kecerdasan atau IQ. Anak yang kekurangan yodium memiliki IQ poin lebih rendah dari anak sehat (Bappenas 2007b). Menurut hasil Riskesdas 2007, persentase anak 6-12 tahun dengan EYU <100 µg/l (indikasi terjadinya TGR) sebesar 12,9%. Dari 30 kabupaten/ kota, tidak ada satupun dengan persentase kadar iodium urin <100 μg/l yang mencapai 50%. Nilai rata-rata nasional EYU adalah 224 μg/l, yang merupakan

24 48 kategori di atas yang dianjurkan. Cakupan konsumsi garam mengandung cukup yodium secara nasional 62,3%, yang terendah propinsi NTB 27,9% dan tertinggi propinsi Bangka Belitung 98,7%. Sebanyak 6 provinsi telah mencapai target Universal Salt Iodization 2010 (90%), yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Gorontalo dan Papua Barat. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dapat diatasi dengan mudah melalui garam yang telah difortifikasi yodium sesuai standar. Masalah rendahnya konsumsi garam beryodium cukup (>30ppm) di rumah tangga, adalah hanya 62,3% (Riskesdas 2007), antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat, kurangnya kampanye konsumsi garam beryodium, dan dukungan regulasi yang belum memadai. Masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat (Bappenas 2010b). d. Anemia Gizi Besi (AGB) Masalah gizi juga dapat ditunjukkan oleh prevalensi anemia (Bappenas 2007). Anemia gizi adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi. Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan masalah gizi terutama anemia gizi besi (Kemenkes 2010a). (%) SKRT 1986 SKRT 1992 SKRT 1995 SKRT 2001 Riskesdas 2007 Tahun Ket: Anemia Gizi Besi (WHO) untuk wanita dewasa hamil: Hb dalam darah <11 g/dl Gambar 14 Perkembangan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia tahun Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Riskesdas menunjukkan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil mengalami penurunan yang signifikan dari 73,3% pada tahun 1986 (SKRT) menjadi 24,5% pada tahun 2007 (Riskesdas 2007). Namun demikian, keadaan ini mengindikasikan bahwa anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian

25 49 tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil. Ibu hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya. Konsumsi zat besi sangat diperlukan oleh ibu hamil yang ditujukan untuk mencegah ibu dan janin dari anemia, dan faktor risiko lainnya. Diharapkan ibu hamil dapat mengonsumsi tablet Fe lebih dari 90 tablet selama kehamilan. Pada kenyataannya, hanya 18% persentase ibu minum tablet Fe berdasarkan jumlah hari minum (90 hari atau lebih). Dijumpai 38% ibu hamil di Sumatera Utara dan 3,6% di DI Yogyakarta yang tidak pernah minum tablet Fe (Riskesdas 2007). Menurut Kemenkes (2009), keadaan kekurangan besi pada ibu hamil dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik pada sel tubuh maupun sel otak pada janin. Pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, bayi berat lahir rendah (BBLR), perdarahan sebelum serta waktu melahirkan, dan pada anemia berat dapat menimbulkan kematian ibu dan bayi. Pada anak dapat mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang optimal dan anak menjadi kurang cerdas. Selain pada ibu hamil, anemia gizi besi juga terjadi pada anak balita. Telah lama dibuktikan bahwa kejadian anemia pada anak berhubungan dengan berkurangnya prestasi kognitif sehingga berakibat rendahnya pencapaian tingkat pendidikan pada anak sekolah (Soemantri et al dalam Bappenas 2010b). Gambar 15 adalah perkembangan prevalensi anemia pada balita di Indonesia tahun (%) Tahun Sumber: SKRT 1992, 1995, 2001, dan Susilowati dkk (2006), Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia Tahun 2006 di 10 Provinsi Ket : Anemia Gizi Besi (WHO) untuk balita (6 bl-5 th): Hb dalam darah <11 g/dl Gambar 15 Perkembangan prevalensi anemia pada balita di Indonesia tahun Hasil SKRT, menunjukkan prevalensi anemia pada balita sebesar 55,5% pada tahun 1992 dan menurun menjadi 40,5% pada tahun Berdasarkan SKRT 2001, prevalensi anemia anak balita masih cukup tinggi (47,8%) dan meningkat dibandingkan tahun Semakin muda usia bayi, prevalensi

26 50 anemia cenderung semakin tinggi; pada bayi < 6 bulan (61,3%), bayi 6-11 bulan (64,8%), dan anak usia bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2-5 tahun (Bappenas 2007b). Sementara itu hasil survei yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2006 prevalensi AGB pada anak balita relatif lebih rendah, yaitu 26,3%. Prevalensi terendah ditemukan di Bali (19,8%) dan tertinggi di Maluku (36,3%). e. Kurang Vitamin A (KVA) Kurang vitamin A dikenal sebagai buta senja atau xerophthalmia ( mata kering ) yang dapat berlanjut kebutaan. Sejak tahun 1980-an, diketahui terjadi peningkatan angka kematian balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum terlihat tanda-tanda xerophthalmia. Kurang vitamin A dapat menyebabkan balita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi (Rimbawan & Baliwati 2006). Survei Nasional Xerophthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot spot) pada anak balita 1,3%, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,33%. Dengan keberhasilan ini maka kebutaan akibat KVA secara nasional sudah bukan masalah masyarakat lagi jika mengacu pada kriteria WHO (xerophthalmia <0,5%). Namun demikian, masih terdapat tiga provinsi dengan prevalensi di atas kriteria WHO. Provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan (2,9%), Maluku (0,8%), dan Sulawesi Tenggara (0,6%). Ditinjau dari indikator subklinis yaitu berdasarkan kadar vitamin A dalam darah (serum retinol < 20 μg/dl) masih terdapat 50,2% balita menderita KVA subklinis. Dengan indikator ini, KVA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena lebih tinggi dari batas ambang menurut International Vitamin A Consultative Group (IVACG) sebesar 15%. Tabel 9 Perkembangan prevalensi xerophthalmia (X1B) tahun Tahun Prevalensi Xerophthalmia (XIB) 1977/78 1, , ,13 Sumber Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophthalmia 1977/78 Dit Bina Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes RI, Survei Xerophtalmia Nasional Tahun 1992 di 15 Provinsi Susilowati dkk (2006), Studi Masalah Gizi Mikro di Indonesia Tahun 2006 di 10 Provinsi Pada tahun 1992, Indonesia telah dinyatakan bebas dari xeropthalmia, namun masih dijumpai 50,2% balita mempunyai serum retinol <20 μg/dl, sebagai pertanda Kurang Vitamin A (KVA) Sub-Klinik. Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Gizi dan Makanan Kementerian Kesehatan RI di 10 provinsi di Indonesia, pada tahun 2006 prevalensi Xerophtalmia adalah 0,13% dan

27 51 prevalensi anak balita dengan serum retinol <20 μg/dl sekitar 14,6% yang berarti menunjukkan indikasi penurunan (Tabel 10). Oleh karena itu, masalah kurang Vitamin A (KVA) sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi karena berada di bawah 15% (batasan IVACG). Namun demikian perlu dicatat bahwa berdasarkan hasil tersebut juga ditemukan bahwa konsumsi (intake) vitamin A dari makanan hanya sekitar 20% dari rekomendasi (AKG atau RDA). Tabel 10 Masalah gizi mikro di Indonesia berdasarkan studi masalah gizi mikro di 10 provinsi Masalah Gizi Indikator Prevalensi 1. KVA 1. Xerophthalmia 0,13% 2. Serum retinol<20 µg/dl 14,6% 2. Anemia Gizi Besi Balita Kadar Hb <11 gr/dl 26,3% 3. Zinc 32% 4. Asupan Zat Gizi Vit A 20% dari RDA Zat Besi 40% dari RDA Zink 30% dari RDA Sumber: Studi Masalah Gizi Mikro di 10 Provinsi, P3GM 2006 Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan masalah KVA sangat dibantu oleh adanya program suplementasi bagi anak balita. Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa rata rata nasional untuk suplementasi vitamin A mencapai 69,8% dengan cakupan tertinggi di Propinsi DIY (91,1%) dan terendah di Papua Barat (49,3%). Meski tidak seluruh anak balita tercakup program suplementasi, namun sekitar 7 dari 10 anak balita diperkirakan telah mendapat asupan vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali. Menurut DKP (2009), dengan rendahnya intake (asupan) vitamin A dari pangan, ke depan program diversifikasi konsumsi pangan untuk mewujudkan gizi seimbang perlu diperkuat dengan meningkatkan konsumsi pangan sumber vitamin A dari pangan hewani, sayuran dan buah dan dari pangan-pangan yang difortifikasi dengan vitamin A. f. Gizi Lebih Selain gizi kurang, secara bersamaan Indonesia juga mulai menghadapi masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain saat ini Indonesia tengah menghadapi masalah gizi ganda. Gizi lebih (Z Skore > 2SD) pada balita menurut berat badan terhadap umur (BB/U) tahun 1989 yaitu 0,77% dan meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2010 (Gambar 16).

28 52 8 (%) Tahun Sumber: BPS RI, Susenas , Riskesdas 2007 dan 2010, menggunakan standar Baku WHO-NCHS Gambar 16 Perkembangan prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita di Indonesia tahun Berdasarkan indeks BB/TB juga dapat dilihat prevalensi kegemukan di kalangan balita. Pada tahun 2010, prevalensi kegemukan secara nasional di Indonesia adalah 14%. Terjadi peningkatan prevalensi kegemukan yaitu dari 12,2% tahun 2007 menjadi 14% tahun Dua belas provinsi memiliki masalah kegemukan di atas angka nasional (Riskesdas 2010). Selain pada balita, masalah gizi lebih juga dihadapi penduduk umur 18 tahun ke atas yang diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa sebesar 21,7% penduduk (18 tahun ke atas) mengalami obesitas umum (berat badan lebih+obese, IMT 25). Kondisi ini akan menjadi beban ganda dalam pembangunan gizi masyarakat di masa mendatang. Kesehatan Lingkungan Salah satu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat adalah kondisi lingkungan yang tercermin antara lain dari akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi dasar (Bappenas 2009b). a. Akses Air Minum Layak Akses rumah tangga terhadap air bersih pada tahun 1980an dapat dilihat dari hasil SKRT 1980, SUPAS 1985, dan SKRT 1986, yaitu masing-masing 35,7%, 36%, dan 30%. Kriteria akses terhadap air bersih yang digunakan pada SKRT 1980, SUPAS 1985, dan SKRT 1986 adalah bila air yang diperoleh bersumber dari ledeng, pompa air, mata air, dan air hujan (Kemenkes 1988). Mulai tahun 1993, data akses terhadap sumber air minum dapat dilihat dari hasil Susenas. Untuk menilai akses terhadap sumber air minum, Susenas menggunakan kriteria sumber air minum layak yang digunakan pemerintah dalam laporan Millennium Development Goals (MDGs) tahun Kriteria

29 53 akses terhadap sumber air minum terlindung yang digunakan MDGs adalah bila jenis sumber air berkualitas dan berjarak sama dengan atau lebih dari 10 meter dari tempat pembuangan kotoran dan/ atau terlindung dari kontaminasi lainnya, meliputi air leding, keran umum, sumur bor atau pompa, sumur terlindung dan mata air terlindung, serta air hujan (Bappenas 2010a). (%) Tahun Sumber: SKRT 1980, SUPAS 1985, SKRT 1986, dan BPS, Susenas Gambar 17 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sumber air minum layak di Indonesia tahun Akses rumah tangga ke sumber air minum yang layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan, akses air minum layak meningkat dari 37,7% pada tahun 1993 menjadi 47,7% pada tahun 2009 (Gambar 17). Masih relatif rendahnya akses air minum yang layak mencerminkan bahwa laju penyediaan infrastruktur air minum, terutama di perkotaan, belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk; di samping banyak sarana dan prasarana air minum tidak terpelihara dan pengelolaannya tidak berkelanjutan (Bappenas 2010a). b. Akses Sanitasi Layak Akses rumah tangga terhadap sanitasi layak pada tahun 1980an dapat dilihat dari hasil SKRT 1980 dan SKRT 1986, yaitu masing-masing 33,6% dan 37,9%. Kriteria sanitasi layak yang digunakan pada SKRT 1980 dan SKRT 1986 adalah penduduk yang memakai jamban (Kemenkes 1988). Pada tahun 1992, data akses sanitasi layak didapatkan dari hasil Susenas. Kriteria sanitasi layak pada tahun 1992 adalah bila rumah tangga menggunakan septik tank dan lubang pembuangan tinja. Mulai tahun 1993, untuk menilai akses terhadap sumber air minum, Susenas menggunakan kriteria sanitasi layak yang digunakan pemerintah dalam laporan Millennium Development Goals (MDGs) tahun Kriteria akses terhadap sanitasi layak yang digunakan MDGs adalah bila penggunaan fasilitas tempat buang air besar

30 54 (BAB) milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. (%) Tahun Sumber: SKRT 1980, SKRT 1986, dan BPS, Susenas Gambar 18 Perkembangan proporsi rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indonesia tahun Akses rumah tangga terhadap fasilitas sanitasi yang layak terus meningkat. Data Susenas menunjukkan peningkatan akses sanitasi layak dari 24,8% pada tahun 1993 menjadi 51,2% pada tahun 2009 (Gambar 18). Menurut Bappenas (2010a), laju pertumbuhan penduduk menjadi tantangan utama yang dihadapi dalam meningkatkan cakupan sanitasi layak. Dengan memperhatikan kecenderungan capaian akses sanitasi layak selama ini, Indonesia harus memberikan perhatian khusus, termasuk peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi, guna mencapai target MDGs pada tahun 2015 (62,4%). Upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk melayani jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak (Bappenas 2010a).

31 55 Hubungan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita dan Anggaran Kementerian Pertanian di Indonesia Produk Domestik Bruto (PDB) Per Kapita Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (1 tahun). PDB per kapita diperoleh apabila PDB per kapita dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di suatu negara tertentu. PDB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB per kapita atas dasar harga konstan tahun PDB atas dasar harga konstan menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi suatu negara menghasilkan output pada suatu periode waktu yang telah dihilangkan pengaruh perubahan harganya. Nilai PDB yang besar menunjukkan output yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya (BPS 2007b). Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) dapat dilihat pada Gambar 19. Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) 3,900 3,600 3,300 3,000 2,700 2,400 y = 1, x R² = 0,826 Rata-Rata Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr)) 3,500,000 6,500,000 9,500,000 PDB Per Kapita (Rp) Gambar 19 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,909, p<0,01) antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi per kapita. Ketersediaan energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 1, x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara PDB per kapita dengan ketersediaan energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi PDB per kapita maka ketersediaan energi per kapita akan semakin tinggi. PDB per kapita berpengaruh 82,6 persen (R 2 =0,826) terhadap ketersediaan energi per kapita.

32 56 Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB per kapita dapat dilihat pada Gambar 20. Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) y = x + 27,43 R² = 0,892 Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr)) 45 3,500,000 5,500,000 7,500,000 9,500,000 PDB Per Kapita (Rp) Gambar 20 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan PDB per kapita di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,945, p<0,01) antara PDB per kapita dengan ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya PDB per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = x + 27,43 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara PDB per kapita dengan ketersediaan protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi PDB per kapita maka ketersediaan protein per kapita akan semakin tinggi. PDB per kapita berpengaruh 89,2 persen (R 2 =0,892) terhadap ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan pangan pada umumnya merupakan hasil (output) dari sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup tanaman bahan makanan, peternakan, holtikultura, perkebunan, dan perikanan. Berdasarkan laporan evaluasi RPJMN , sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi tersebut terindikasi dari kontribusi pembentukan PDB, penerimaan devisa melalui ekspor, penyediaan bahan baku industri dan penyerapan tenaga kerja (Bappenas 2009a). Pada tahun 2009, sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 15,8 persen terhadap PDB nasional (World Bank 2010). PDB yang tinggi menunjukkan output yang tinggi dalam menghasilkan barang dan jasa di suatu negara. Output yang besar merupakan indikasi tingginya produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Peningkatan produksi barang dan jasa dalam berbagai sektor, khususnya sektor pertanian akan mendorong pula peningkatan ketersediaan pangan suatu negara.

33 57 Anggaran Kementerian Pertanian Menurut Bappenas (2008b), ketersediaan pangan harus didukung pula oleh peningkatan investasi di bidang pertanian pangan yang memadai terutama untuk pengadaan sarana dan prasarana pembangunan tanaman pangan. Perkembangan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN tahun dapat dilihat pada Gambar 21. % Tahun Sumber: Bappenas, RAPBN berbagai tahun Gambar 21 Perkembangan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa perkembangan persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tampak berfluktuatif dan memperlihatkan kecenderungan yang menurun selama periode tahun Berikut disajikan hubungan antara persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN dengan ketersediaan energi per kapita di Indonesia (Gambar 22). Ketersediaan Energi (kkal/kap/hr) 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 y = -212,5x R² = 0, % Anggaran Kementerian Pertanian terhadap Total RAPBN Rata-Rata Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr)) Gambar 22 Hubungan antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun

34 58 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,673, p<0,01) antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi per kapita. Ketersediaan energi per kapita semakin tinggi seiring dengan menurunnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -212,5x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase anggaran Kementerian Pertanian maka ketersediaan energi per kapita akan semakin rendah. Persentase anggaran Kementerian Pertanian berpengaruh 45,8 persen (R 2 =0,458) terhadap ketersediaan energi per kapita. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN dengan ketersediaan protein per kapita dapat dilihat pada Gambar 23. Ketersediaan Protein (Gram/kap/hr) y = -7,174x + 101,1 R² = 0,420 Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Ketersediaan Protein (gram/kap/hr)) % Anggaran Kementerian Pertanian terhadap Total RAPBN Gambar 23 Hubungan antara ketersediaan protein per kapita dengan persentase anggaran kementerian pertanian terhadap total RAPBN di Indonesia tahun Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,646, p<0,01) antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan protein per kapita. Ketersediaan protein per kapita semakin tinggi seiring dengan menurunnya persentase anggaran Kementerian Pertanian terhadap total RAPBN, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -7,174x + 101,1 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase anggaran Kementerian Pertanian dengan ketersediaan protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase anggaran Kementerian Pertanian maka ketersediaan protein per kapita akan semakin rendah. Persentase anggaran Kementerian Pertanian berpengaruh 42 persen (R 2 =0,42) terhadap ketersediaan protein per kapita.

35 59 Pertanian dalam arti luas mencakup tanaman bahan makanan, hortikultura, peternakan dan hasil-hasilnya, tanaman perkebunan, perikanan, serta kehutanan. Anggaran Kementerian Pertanian mencakup pembiayaan program terkait tanaman bahan makanan, holtikultura, dan tanaman perkebunan. Sektor pertanian berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan. Salah satu komponen yang diperlukan dalam menjalankan pembangunan pertanian adalah pembiayaan. Investasi pemerintah dalam pembiayaan pembangunan diterjemahkan sebagai pengalokasian anggaran. Permasalahan pada sektor pertanian seperti rendahnya produktivitas dan mutu, serta terbatasnya akses terhadap sumberdaya produktif, termasuk permodalan dan layanan usaha, memerlukan pembiayaan yang memadai. Secara nominal terjadi peningkatan anggaran Kementerian Pertanian selama periode , yaitu dari 122,4 milyar pada tahun 1980 menjadi 8038 milyar pada tahun Akan tetapi, secara persentase terhadap total RAPBN cenderung memperlihatkan penurunan. Hal ini disebabkan terjadinya perluasan sektor atau bidang pembiayaan dari tahun ke tahun sehingga distribusi alokasi anggaran semakin luas. Persentase anggaran Kementerian Pertanian seharusnya dapat berkorelasi positif terhadap ketersediaan energi dan protein. Hasil uji korelasi menggunakan Pearson dalam penelitian ini menunjukkan hubungan sebaliknya. Hubungan Konsumsi Energi dan Protein Per Kapita dengan Tingkat Kemiskinan dan Pengeluaran Per Kapita di Indonesia Tingkat Kemiskinan Konsep kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS 2008). Ketidakcukupan konsumsi kalori dan protein erat kaitannya dengan kemiskinan. Bagian terbesar dari penduduk yang mengalami defisit kalori dan protein adalah penduduk miskin. Walaupun dari tahun ke tahun penduduk miskin secara persentase dilaporkan menurun, namun secara absolut jumlahnya masih cukup besar (Suryana 2003). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara

36 60 konsumsi energi per kapita dengan persentase penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar 24. 2,050 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 1,750 y = -12,16x R² = 0,422 Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) Persentase Penduduk Miskin (%) Gambar 24 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,65, p<0,01) antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi per kapita. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi energi per kapita akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -12,16x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi energi per kapita akan semakin rendah. Persentase penduduk miskin berpengaruh 42,2 persen (R 2 =0,422) terhadap konsumsi energi per kapita. Konsep garis kemiskinan yang didasarkan atas tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pangan (energi), maka rumahtangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumahtangga tidak mampu membeli kebutuhan panganmaka ketahanan pangan dan status gizi dari kelompok rawan mulai terancam (Soekirman 2000). Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar 25.

37 61 60 Konsumsi Protein (gram/kap/hr) y = -0,765x + 64,88 R² = 0,349 Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr)) Persentase Penduduk Miskin (%) Gambar 25 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,591, p<0,01) antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi protein per kapita. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi protein per kapita akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = -0,765x + 64,88 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara persentase penduduk miskin dengan konsumsi protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang negatif). Artinya, semakin tinggi persentase penduduk miskin maka konsumsi protein per kapita akan semakin rendah. Persentase penduduk miskin berpengaruh 34,9 persen (R 2 =0,349) terhadap konsumsi protein per kapita. Berdasarkan Susenas tahun 2010, konsumsi energi dan protein per kapita penduduk sebesar 1926 kkal dan 55,0 gram. Angka ini menunjukkan bahwa pencapaian indikator untuk konsumsi energi 96 persen dan protein 106 persen. Angka ini relatif mencukupi, akan tetapi ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi, karena masih terdapat penduduk yang mengkonsumsi <70 persen dari kecukupan yang dianjurkan. Ini mengindikasikan bahwa isu ketahanan pangan masih perlu terus diwaspadai (Bappenas 2005). Laporan Pencapaian MDGs tahun 2010, juga menegaskan bahwa upaya peningkatan dan perbaikan konsumsi terutama bagi masyarakat miskin masih sangat mendesak untuk dilakukan. Istilah hunger paradox sering digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena telah mantapnya ketahanan pangan nasional, yang dicerminkan oleh ketersediaan energi dan protein di atas angka kebutuhan gizi, namun kelaparan atau kekurangan gizi masih terjadi di mana-mana. Sebenarnya mereka yang

38 62 mengalami rawan pangan bukan hanya golongan miskin, tetapi juga mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Disertasi doktor Yayuk F. Baliwati (2001) menganalisis ketahanan pangan rumahtangga petani. Ditemukan bahwa 44 persen petani sampel termasuk kategori miskin, tetapi ternyata yang mengalami rawan pangan lebih dari 80 persen (Bappenas 2005). Menurut Bappenas (2005), tampaknya rumah tangga miskin pasti akan mengalami ketidaktahanan pangan, tetapi mereka yang rawan pangan belum tentu hanya dari golongan miskin. Batas kemiskinan di Indonesia mungkin ditetapkan dengan cut-off point terlalu rendah sehingga rumah tangga miskin sebenarnya sudah masuk kategori sangat sangat miskin dan mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sebernarnya sudah sangat miskin. Pengeluaran Per Kapita Pengeluaran per kapita sebulan penduduk dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk tersebut setiap bulannya. Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dan gizi yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendapatan rendah cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan daripada penduduk yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Dengan demikian, penduduk dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran per kapita yang rendah dapat dikategorikan sebagai penduduk yang rentan terhadap perubahan pendapatan atau kenaikan harga pangan (DKP 2011). Hubungan antara pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga konstan dengan konsumsi energi per kapita di Indonesia selama tiga dekade terakhir ( ) dapat dilihat pada Gambar 26. 2,100 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 2,050 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 y = 3, x R² = 0,292 Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) 1, , , , ,000 Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rp) Gambar 26 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( )

39 63 Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,541, p<0,05) antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 3, x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi pengeluaran per kapita sebulan maka konsumsi energi per kapita akan semakin tinggi. Pengeluaran per kapita sebulan berpengaruh 29,2 persen (R 2 =0,292) terhadap konsumsi energi per kapita. Sementara itu, untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan dapat dilihat pada Gambar Konsumsi Protein (gram/kap/hr) y = x + 46,72 R² = 0,551 Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr) Linear (Rata-Rata Konsumsi Protein (gram/kap/hr)) , , , ,000 Pengeluaran Per Kapita Sebulan (Rp) Gambar 27 Hubungan antara konsumsi protein per kapita dengan pengeluaran per kapita sebulan berdasarkan harga konstan di Indonesia ( ) Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,742, p<0,01) antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi protein per kapita. Konsumsi protein per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya pengeluaran per kapita sebulan, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = x + 46,72 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara antara pengeluaran per kapita sebulan dengan konsumsi protein per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi pengeluaran per kapita sebulan maka konsumsi protein per kapita akan semakin tinggi. Koefisien determinasi (R 2 ) yang ditunjukkan pada hubungan di atas bernilai 0,551, artinya pengeluaran per kapita

40 64 berpengaruh 55,1% terhadap konsumsi protein per kapita. Pengeluaran per kapita dapat mencerminkan tingkat pendapatan per kapita penduduk. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka diharapkan daya beli pangan akan meningkat dan berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan yang lebih baik. Hubungan Konsumsi Energi Per Kapita dan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Ketersediaan Energi Per Kapita di Indonesia Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,577, p<0,01) antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita. Konsumsi energi per kapita semakin tinggi seiring dengan meningkatnya ketersediaan energi per kapita, begitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 0,117x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara ketersediaan energi per kapita dengan konsumsi energi per kapita (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi ketersediaan energi per kapita maka konsumsi energi per kapita akan semakin tinggi. Ketersediaan energi per kapita berpengaruh 33,2 persen (R 2 =0,332) terhadap konsumsi energi per kapita. Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk (Suhardjo 1989). Menurut DKP (2009), jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi mencerminkan aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. 2,050 Konsumsi Energi (Kal/kap/hr) 2,000 1,950 1,900 1,850 1,800 y = 0,117x R² = 0,332 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Linear (Konsumsi Energi (kkal/kap/hr)) 1,750 2,400 2,900 3,400 3,900 4,400 Ketersediaan Energi (Kal/kap/hr) Gambar 28 Hubungan antara konsumsi energi per kapita dengan ketersediaan energi per kapita di Indonesia ( ) Sementara itu, hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang positif dan tidak nyata (r=0,093, p>0,05) antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Artinya tidak ada hubungan yang nyata antara ketersediaan energi per kapita dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Tingginya ketersediaan energi seharusnya

41 65 dapat menurunkan persentase penduduk defisit energi. Hal ini menunjukkan adanya ketidakmampuan mengakses pangan. Menurut Bappenas (2007), tingginya proporsi rumah tangga rawan pangan menunjukkan bahwa ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa ketahanan pangan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan kemiskinan dan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga. Hubungan Persentase Defisit Energi (<70%AKE) dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan (DKP 2006). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif dan nyata (r=0,614, p<0,05) antara persentase penduduk miskin dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE). Persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) semakin tinggi seiring dengan meningkatnya persentase penduduk miskin, segitu pula sebaliknya. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 1,430x - 13,01 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan positif antara persentase penduduk miskin dengan persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Artinya, semakin tinggi persentase penduduk miskin maka persentase penduduk defisit energi (<70%AKE) akan semakin tinggi. Persentase penduduk miskin berpengaruh 37,7 persen (R 2 =0,377) terhadap persentase penduduk defisit energi. Menurut Tjahjadi (2004), dampak yang ditimbulkan karena kemiskinan, akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat karena keluarga miskin ini tidak mampu menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi, sehingga sangat rentan terhadap rawan pangan dan rawan gizi. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (<70% AKE) dengan persentase penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar 29.

42 66 Persentasi Penduduk Defisit Energi (<70% AKE) y = 1,430x - 13,01 R² = 0, Presentase Penduduk Defisit Energi (<70% AKE) Linear (Presentase Penduduk Defisit Energi (<70% AKE)) Persentase Penduduk Miskin (%) Gambar 29 Hubungan antara persentasi penduduk defisit energi (<70% AKE) dengan persentase penduduk miskin di Indonesia ( ) Berdasarkan laporan tahunan UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia tahun 2007, Indonesia telah berhasil meningkatkan statusnya menjadi negara dengan pendapatan menengah. PDB per kapita Indonesia tahun 2007 mencapai 8,7 juta rupiah (IMF 2011). Mengacu pada ukuran kemiskinan US$ 1 per hari per orang (target MDGs), maka Indonesia telah mencapai sasaran tersebut. Namun tantangan ke depan adalah masih banyaknya jumlah orang miskin dengan mengacu pada garis kemiskinan nasional dan lebih jauh lagi dengan menggunakan ukuran US$ 2 per hari per orang. Hal ini menggambarkan penduduk yang hidup dekat dengan garis kemiskinan nasional atau sangat dekat dengan penduduk yang rentan (vurnerable) jumlahnya masih sangat besar. Mereka adalah orang-orang yang tergolong rentan karena apabila terjadi goncangan ekonomi mereka dapat dengan mudah jatuh ke kelompok miskin dengan pendapatan di bawah US$ 1 per hari (Bappenas 2007a). Menurut Bappenas (2007a), upaya perbaikan status gizi masyarakat, terutama masyarakat miskin, menjadi salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Masalah kurang gizi disebabkan oleh berbagai faktor seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan pengetahuan, status kesehatan, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, upaya penanggulangan masalah gizi dengan fokus pada kelompok miskin harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai bidang seperti pertanian, pendidikan, dan ekonomi. Berdasarkan Laporan Evaluasi RPJMN , faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia antara lain 1) belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar Pulau Jawa, daerah terpencil, dan daerah perbatasan. Padahal,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H.

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juni 2007 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. H. KATA PENGANTAR Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal

Lebih terperinci

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan

Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per kapita sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan LAMPIRAN 85 86 Lampiran 1 Perkembangan indeks harga konsumen (IHK) dan pengeluaran per sebulan atas dasar harga berlaku dan konstan Pengeluaran per Pengeluaran per Indeks Harga Tahun atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia 5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah

Lebih terperinci

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI Pusat Penganekeragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa kekurangan gizi, terutama pada usia dini akan berdampak pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional mengarah kepada peningkatan kulitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah terciptanya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan Indonesia diselenggarakan dalam upaya mencapai visi Indonesia Sehat 2010. Tujuan pembangunan kesehatan 2005 2009 diarahkan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pembangunan kesehatan harus dipandang

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, masa remaja, dewasa sampai usia lanjut usia (Depkes, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk mencapainya, faktor

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia ISSN 2442-7659 InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI di Indonesia 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia atau lebih dari 100 juta jiwa mengalami beraneka masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan di Indonesia masih mencapai 17,8 persen yang berarti sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Salah satu akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi

Lebih terperinci

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat

World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis masalah kekurangan. Anemia Gizi Besi (AGB), Kurang Vitamin A (KVA) dan Gangguan Akibat yang terkait. Masalah kekurangan gizi juga merupakan masalah kesehatan tertinggi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Menurut data dari pada World Hunger Organization (WHO), terdapat empat jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia. (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), karena keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM yang berkualitas,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Status Gizi Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang 121 V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA Dalam penelitian ini ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang ketersediaan

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ramadani (dalam Yolanda, 2014) Gizi merupakan bagian dari sektor. baik merupakan pondasi bagi kesehatan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ramadani (dalam Yolanda, 2014) Gizi merupakan bagian dari sektor. baik merupakan pondasi bagi kesehatan masyarakat. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan gizi yang baik dapat dicapai dengan memperhatikan pola konsumsi makanan terutama energi, protein, dan zat gizi mikro. Pola konsumsi makanan harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat 20 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola menu empat sehat lima sempurna adalah pola menu seimbang yang bila disusun dengan baik mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pola menu ini diperkenalkan

Lebih terperinci

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) I. Pendahuluan II. III. IV. Pangan dan Gizi Sebagai Investasi Pembangunan Analisis Situasi Pangan dan Gizi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang yang ditandai dengan indeks panjang badan dibanding

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan dapat pula menyebababkan

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses tumbuh kembang balita. Balita pendek memiliki dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Berat Badan Lahir Cukup (BBLC) a. Definisi Berat badan lahir adalah berat badan yang didapat dalam rentang waktu 1 jam setelah lahir (Kosim et al., 2014). BBLC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang WHO (2005) menyatakan sekitar seperlima penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun, dan 900 juta berada di negara berkembang. Berdasarkan data Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara

BAB I PENDAHULUAN. energi protein (KEP), gangguan akibat kekurangan yodium. berlanjut hingga dewasa, sehingga tidak mampu tumbuh dan berkembang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan gizi pada balita dan anak terutama pada anak pra sekolah di Indonesia merupakan masalah ganda, yaitu masih ditemukannya masalah gizi kurang dan gizi lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis dan agroindustri pada dasarnya menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Status gizi adalah keseimbangan antara pemasukan zat gizi dari bahan makanan yang dimakan dengan bertambahnya pertumbuhan aktifitas dan metabolisme dalam tubuh. Status

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpotensi menurunkan tingkat kecerdasan atau biasa disebut Intelligence Quotient

BAB I PENDAHULUAN. berpotensi menurunkan tingkat kecerdasan atau biasa disebut Intelligence Quotient BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Emmi Silitonga* Lufthiani** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI disampaikan pada : Temu Ilmiah Internasional Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian November 2014 OUTLINE 1. Pendahuluan 2. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan salah satu aset sumber daya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat

BAB I LATAR BELAKANG. Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia sampai saat ini masih mencakup 4 hal yaitu Kekurangan Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)

Lebih terperinci

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Apa latarbelakang perlunya KADARZI? Apa itu KADARZI? Mengapa sasarannya keluarga? Beberapa contoh perilaku SADAR GIZI Mewujudkan keluarga cerdas dan mandiri Mengapa perlu

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius, mengingat selain luasnya cakupan penduduk yang menderita

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI I. PENJELASAN UMUM Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan manusia saat ini menjadi hal yang sangat kompleks dan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan manusia saat ini menjadi hal yang sangat kompleks dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan manusia saat ini menjadi hal yang sangat kompleks dan perlu dikaji secara kompleks. Salah satu masalah kesehatan yang saat ini menjadi perbincangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan 17 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain prospective study berdasarkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Provinsi Riau tahun 2008-2010. Pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

KETAHANAN PANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA PEROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO KETAHANAN ANGAN DAN STATUS GIZI KELUARGA EROKOK DI KECAMATAN BERASTAGI KABUATEN KARO Etti Sudaryati, sudaryatiety@yahoo.co.id Juanita, joean_ita@yahoo.com Nurmaini, nurmainik@yahoo.com Ilmu Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak Balita Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan faktor langsung dan tidak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) merupakan masalah kesehatan yang serius mengingat dampaknya yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita 6 TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini menghadapi berbagai permasalahan yang mendesak/akut, yang memerlukan penanggulangan dengan seksama

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan terganggu, menurunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis

BAB I PENDAHULUAN. namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Balita 1. Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Keadaan tersebut dapat dibedakan dengan

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Studi Diploma III (Tiga)

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan

Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk

Lebih terperinci

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI)

METODOLOGI. 3. Cakupan Imunisasi Lengkap, Departemen Kesehatan RI Badan Pusat Statistik RI (BPS RI) 28 METODOLOGI Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ini menggunakan desain studi deskriptif. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Almatsier (2002), zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) ( ) adalah. mewujudkan bangsa yang berdaya saing, melalui pembangunan sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Pembangunan Indonesia kedepan berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) (2005-2025) adalah menciptakan masyarakat Indonesia yang mandiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab kekurangan gizi pada anak adalah kemiskinan. Memperbaiki gizi di masa awal kehidupan manusia dapat membangun fondasi yang kuat dalam membantu

Lebih terperinci