(distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "(distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis,"

Transkripsi

1 Ill. TINJAUAN PUSTAKA Budaya hernat air irigasi seyogyanya disosialisasikan secara kolektif dan terorganisir kepada semua pengguna air yaitu, petani dan pengguna lain seperti, kepentingan dornestik, industri, dan pemerintah. Pengelolaan air terkait dengan aspek kebijakan, koordinasi antar pelaku terkait, perizinan dan aspek nilai (va/ues). Oleh karena itu, guna rnenunjang pengelolaan sumberdaya air dan irigasi yang efisien, diperlukan adanya keterpaduan dengan sistem koordinasi yang efektif antar instansi dan lembaga terkait. Untuk lebih mernahami perrnasalahan dan makna dari sistem kelernbagaan tata air irigasi, dalarn hubungan ini dilakukan telaahan terhadap beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan khususnya, rnengenai kelernbagaan tata air irigasi. Telaahan pustaka dalarn bagian ini terdiri atas ernpat bagian yang diklasifikasikan sebagai berikut: (1) pengertian efisiensi pemakaian air, (2) kebijaksanaan P3A, (3) aspek teknis dan pengelolaan, dan (4) aspek kultural Pengertian Efisiensi Pemakaian Air Dalarn upaya meningkatkan efisiensi pernanfaatan air irigasi. yang seyogyanya rnenjadi perhatian adalah kehilangan selarna proses penyaluran (distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis, manyatakan bahwa efisiensi irigasi adalah nisbah antara air yang keluar dengan air yang masuk. Sementara Kusnadi (7997) rnenyatakan efisiensi irigasi adalah perbandingan antara jumlah air yang diberikan dikurangi kehilangan air dengan jumlah air yang diberikan. Sesuai dengan kornponen teknis irigasi yang rnelibatkan kegiatan penyaluran air dari sumber ke petakan sawah serta

2 penggunaan di petakan sawah, maka Sufyandi membagi beberapa jenis efisiensi. yaitu: efisiensi distribusi, efisiensi aplikasi, dan efisiensi proyek. Sementara Watanabe (1992) lebih rnernfokuskan kepada penggunaan akhirnya, yaitu penggunaan oleh tanarnan itu sendiri. Dengan demikian, batasan efisiensi aplikasi rnerupakan perbandingan jumlah air yang diperlukan tanaman dengan jumlah air yang diberikan ke petakan sawah. Efisiensi secara ekonomis dapat terjadi bila marginal cost dari pekerjaan 0 & P dan jumlah (nilail air yang dikelola akan sama dengan marginal benefit dari hasil langsung penggunaan air yang dihasilkan dari pekerjaan 0 & P jaringan irigasinya. Meningkatkan efisiensi dapat terjadi dalam dua hal, pertarna; mengurangi kehilangan yang disebabkan oleh aspek teknis selarna penyaluran, yang dapat berupa kebocoran saluran, perkolasi, atau evaporasi selama pengaliran air di saluran. Kedua; meningkatkan efisiensi dalam penggunaan air di sawah, karena disinyalir selarna ini bahwa petani telah menggunakan air di atas kebutuhan fisiologis tanaman itu sendiri (PSI-UNAND, 7997). Lebih lanjut, Majan (7997) mengklasifikasikan pengertian dari jenis-jenis efisiensi yaitu, efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi lokal. Efisiensi teknis dapat dinyatakan dengan banyaknya air yang dibutuhkan tanarnan dibagi dengan banyaknya air yang disalurkan kedalam intake saluran. Efisiensi ekonomis, berkaitan dengan irnbangan antara keluaran dan masukan atau irnbangan antara hasil yang diperoleh dengan korbanan yang dikeluarkan. Efisiensi sosial, menyangkut dengan kepuasan masyarakat, artinya apakah hakhak dan kewajiban masing-masing sudah dipenuhi secara adi[.

3 3.2. Kebijaksanaan Organisasi P3A Kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk produk hukum tampak sudah cukup banyak yang secara garis besar memuat tentang perlindungan sumberdaya air dan pengaturan pemanfaatannya. Produk hukum tertinggi dalam ha1 ini adalah Undang-Undang No. 7 7 tahun 7974 tentang pengairan yang menyebutkan bahwa negara berwenang dalam tata penggunaan air dan sumberdaya air lainnya baik pemanfaatan maupun perlindungannya. Lebih jauh peraturan ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No.22 tahun 7982 yang memuat kebijaksanaan untuk mengatur pembinaan, penguasaan, pengelolaan, pengusahaan, dan pengawasannya. Pada tingkat paling rendah, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah institusi fungsional yang perlu mendapat perhatian. Dalam Peraturan Pemerintah No.23 rahun 7982 disebutkan bahwa Pemerintah Daerah diharapkan membantu perkembangan lembaga petani ini. lnstruksi Presiden No.2 tahun 1984 menugaskan kepada Departemen dalam Negeri, Departemen PU dan Departemen Pertanian. Ketiga departemen tersebut secara terpadu membina P3A agar bisa berjalan efektif dan efisien. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait tersebut, misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Mendagri No. 72 tahun 7992 tentang pembentukan dan pembinaan P3A. Peraturan lain yang bersifat mendukung pengembangan P3A adalah misalnya Peraruran Pemerintah No. 74 tahun 7987 tentang desentralisasi, di mana Pemda Tingkat I, Pemda Tingkat 11, dan masyarakat diberi wewenang untuk menangani urusan keirigasian sesuai bidang tugas masing-masing. Dalam Undang-Undang No. 77 tahun 7974 ada tiga golongan penggunaan air, yaitu: (1) secara langsung memenuhi kebutuhan hidup, (2) air sebagai sarana produksi untuk kehidupan, dan (3) air sebagai sarana peningkatan taraf hidup manusia. Ketentuan inilah yang kemudian diartikan

4 menjadi urutan prioritas pemakaian air, yaitu prioritas pertama untuk mernenuhi kepentingan domestik (air minurn, rumah tangga), kedua untuk kepentingan pertanian, dan terakhir adalah untuk memenuhi kebutuhan industri. Meskipun demikian peraturan ini perlu penjabaran lebih lanjut karena prioritas penggunaan tersebut perlu dibedakan menurut aspek ruang dan waktu, serta aspek historik. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerinrah No.22 tahun 1982 pasal 13 ayat 2 yang menyatakan bahwa urutan prioritas disesuaikan dengan keperluan rnasyarakat pada setiap tempat dan keadaan. Fleksibilitas seperti ini dari satu sisi dapat dianggap sebagai peluang guna pemanfaatan sumberdaya air yang paling optimal, narnun sebaliknya juga dapat bernilai negatif karena akan memancing timbulnya konflik penggunaan. Jaringan irigasi di tingkat petani, secara khusus diatur melalui lnstruksi Presiden No.2 tahun 7984 tentang pedoman pelaksanaan P3A. Munawir (7997) menyatakan bahwa hingga tahun 1989 terdapat 21 ribu P3A yang telah dibentuk, namun pada kenyataannya sekitar 10 persen P3A yang berjalan baik. Beberapa kelemahan yang dirniliki P3A antara lain: (1) rendahnya rasa memiliki dari anggota terhadap organisasi P3A. (2) ketidakrnampuan pengurus dari segi ketrampilan teknis dan kepemimpinan, (3) petani anggota yang berstatus penggarap, dan (4) petani anggota belum rnerasakan manfaat yang diberikan oleh P3A. Dalam upaya peningkatan kinerja P3A, Soenarno (7995) menyarankan suatu pendekatan teknis administrasi, sedangkan Munandar (19951 mengusulkan pendekatan sosiologis, yaitu mulai dari tahapan inisiasi, akselerasi, pematangan sampai pemantapan. Dalarn langkah operasional, kedua pendekatan ini seyogyanya berjalan simultan dan bersifat saling melengkapi.

5 Hasil penelitian aksi pengembangan usaha ekonomj P3A yang dilakukan oleh Kuswanto (7997) di Kabupaten Nganjuk mengungkapkan bahwa faktor kemampuan kewiraswastaan pengurus P3A dan kredibilitasnya dimata anggota sangat menentukan keberhasilan merintis dan mengembangkan usaha ekonomi. Keterkaitan petani sebagai anggota P3A dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan usaha ekonomi, sebagai efisiensi usaha dapat ditingkatkan melalui pernanfaatan tenaga pengurus P3A secara optimal dalam pengelolaan usaha. Lebih lanjut diungkapkan bahwa beberapa peubah yang penting dipertimbangkan adalah tingkat keswadayaan ekonomi P3A. potensi dan peluang ekonomi yang terbuka serta kemampuan kewiraswastaan pengurus. Ha[ ini mengindikasikan bahwa upaya menurnbuhkan kewiraswastaan di kalangan pengurus P3A, harus diiringi dengan mernbantu meningkatkan akses ke sumber modal dan pemasaran serta pengembangan kernampuan manajemen usaha P3A guna mendorong P3A dalam menjalankan fungsi ekonomi. Pemikiran ini sejalan dengan Sutawan (7997) yang menyarankan langkahlangkah strategis untuk mengembangkan P3A agar marnpu berperan dalam usaha pengelola agribisnis yaitu: pendidikan dan latihan mengenai manajemen agribisnis, keuangan, pembukuan, kewirausahaan dan pembentukan P3A gabungan berdasarkan prinsip hidrologis, serta adanya kewenangan bagi P3A untuk mengatur pembagian air pada tingkat jaringan yang lebih luas Aspek Teknis dan Pengelotaan Secara garis besar Kurnia (79951, mengungkapkan ada tiga kategori kehilangan air yaitu: (1) kehilangan air yang melekat dengan aplikasi teknologi irigasi (seperti penggunaan saluran terbuka), (2) kehilangan yang semestinyal aktual (seperti evaporasi, evapotranspirasi, dan perkolasi), dan (3) kehilangan

6 air yang disebabkan oleh tidak efisiennya pengelolaan. Dengan demikian, aspek pengelolaan dalarn proses penyaluran perlu rnernperhatikan dua bagian utarna yaitu distribusi air dan alokasi air. Sesuai dengan pendapat Kusnadi (79951 yang membagi dua kornponen kernungkinan kehilangan air yaitu kehilangan selama proses penyaluran (distribution losses) dan kehilangan selarna proses aplikasi (field application losses), maka inovasi teknis irigasi juga dapat diarahkan kepada kedua ha1 tersebut. Menurut Pusposutardjo (19951, efisiensi di saluran tergantung kepada rancang bangun dan konstruksi serta cara pengelolaannya. Menurut perhitungannya rataan kehilangan air di saluran sekitar 12 persen. Kehilangan dapat ditekan selain melalui perbaikan tata bangunan juga rnelalui rnenajernen di pintu air. Namun demikian, temuan hasil penelitian ini tidak rnenginforrnasikan secara jelas rnengenai tingkat efisiensi untuk berbagai saluran irigasi, seperti saluran primer, sekunder dan saluran tersier. Hasil-hasil penelitian tentang efisiensi cukup banyak dilakukan, rnisalnya, Kurnia (7995) dan Sunarno 17995) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan air irigasi secara total di Indonesia adalah persen. Apabila dibedakan rnenurut jenis irigasinya, rnaka efisiensi LEPA (Low Energy Precision Application) adalah yang paling tinggi yaitu persen, diikuti irigasi drip (80-go%), dan yang paling rendah adalah irigasi gravitasi (40-60%). Setiap jenis saluran memiliki karakteristik tersendiri sehingga tingkat kehilangan air selarna dalarn saluran tersebut juga berbeda-beda. Menurut Kurnia (79951, efisiensi di saluran primer dan tersier lebih kecil dibandingkan di saluran sekunder, yaitu 79 persen, persen dan 87 persen. Sementara Pusposutardjo (7995) rnenyatakan bahwa kehilangan air di saluran irigasi dengan panjang jarak 5000 meter adalah 19.6 persen atau tingkat efisiensi 80,4 persen. Ditjen Pengairan 17989) rnendapatkan angka yang tidak jauh 25

7 berbeda, dimana kehilangan air di saluran adalah 7,5-12,5 persen. Khusus di petakan sawah, tingkat efisiensi tampak paling rendah, yaitu 21,6 persen (Suyarnan, 7987). Secara sederhana kebutuhan air irigasi di petakan sawah didasarkan kepada kebutuhan tanaman (transpirasi) ditambah kehilangan karena penguapan (evaporasi) dan kahilangan ke bawah (rembesan dan perkolasi) dikurangi dengan curah hujan efektif. Untuk itu kebutuhan air tergantung kepada jenis tanah dan tinggi muka air tanah untuk menentukan perkolasi. lklim dan rnusim sangat menentukan besarnya angka evaporasi, karena evaporasi disebabkan oleh lama penyinaran dan kecepatan angin. Sementara jenis tanarnan dan varietas juga penting karena tiap varietas padi misalnya membutuhkan air untuk transpirasi yang besarnya berbeda-beda. Lebih jauh penelitian Suyarnan (79871 menyatakan bahwa dosis dan pola pemupukan juga menentukan angka transpirasi tanaman tersebut. Pengukuran jumlah kebutuhan air untuk tanaman padi sudah banyak dilakukan di berbagai lokasi dengan jenis tanah dan iklim, serta jenis varietas padi yang berbeda-beda. Menurut Pusposutardjo (7995) kebutuhan air untuk padi di musim kemarau secara umum di daerah Asia Tenggara sekitar 700 mm meskipun secara aktual petani memakai antara 1500 sampai 2000 mm per luasan. Sementara Bernarnakusurnah (7995) menyatakan bahwa kosurnsi total air adalah 1000 rnm atau setara dengan 9 mmlhari, dan kebutuhan yang paling besar adalah untuk pengolahan yaitu 30 persen dari kebutuhan total. Penelitian Winarno (7985) rnendapatkan angka yang lebih rendah, yaitu 539,9 mm atau setara dengan 5,399 juta liter per Ha per musim tanam. Sedangkan penelitian Suyarnan (7987) memperoleh angka lebih tinggi hampir dua kali lipat, yaitu 1082 mm. Perbedaan temuan hasil penelitian ini sangat dimungkinkan mengingat berbedanya lokasi yang diamati, serta periode waktu (musim) yang

8 berlainan. Dengan kata lain, konsurnsi air untuk tanaman padi sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu, lokasi, dan kualitas lahan. Kornponen penting yang menentukan tingkat konsurnsi air tanaman padi adalah laju evapotranspirasi (evaporasi + transpirasi). Dari angka ini dapat diduga kebutuhan air irigasi tanaman sesungguhnya. Handoko dan Pasandaran (1987) menyatakan bahwa total evapotranspirasi selama satu rnusim pertanaman (pengolahan tanah sampai panen) padi sawah sekitar 1000 mm, di mana untuk sawah tadah hujan lebih rendah ((3 mmlhari) dibandingkan irigasi (> 5 rnmlhari). Khusus di Jalur Pantura evaporasi pada Bulan April-September diperkirakan 480 mm (1 30 mmlbulan), padahal curah hujan rata-rata selama itu kurang dari 400 mm. Artinya peningkatan efisiensi dapat dilakukan di saluran dan dipetakan sawah. Yamazaki /7992j menyatakan bahwa penataan sistern sawah yang baik selain dapat rneningkatkan efisiensi air, juga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan lahan. Kebiasan petani untuk menggenangi sawah secara terus-menerus tampaknya perlu diubah. Bermanakusumah (7995/, menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara genangan setinggi 75 cm dengan rnacak-macak (1 crnl, dan tinggi genangan justru sejajar dengan laju perkolasi. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Kusnadi {7997/, yang menyarankan perubahan dari pola kontinyu (continuous flow) kepada pola pernberian secara berkala (intermittent) dengan tinggi genangan 1 sampai 10 cm. demikian, Dengan pola intermittent tampaknya sudah menjadi suatu yang mutlak pada usahatani padi sawah sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi. Efisiensi di tingkat petakan sawah tampaknya perlu mendapat perhatian, karena selain tingkat efisiensinya rendah, juga selarna ini penggunaan air di sawah cenderung berlebihan.

9 3.4. Aspek Kultural Indonesia berada di daerah tropik dengan curah hujan yang relatif tinggi, sehingga tidak mengherankan jika timbul pendapat di masyarakat bahwa air adatah surnberdaya yang melimpah. Secara umum diternukan kebiasaan boros penggunaan air, atau akan sangat sulit untuk menimbulkan kesadaran bahwa air akan rnenjadi kornoditas langka di masa mendatang. Dengan demikian, kendala sosial budaya yang lebih berat untuk mensukseskan gerakan hemat air ini datang darj aspek sosial dibandingkan aspek ekonomi (Surrisno, 7995). Tim PSI-Unand (79971 menernukan bahwa alasan petani menggenangi sawah secara berlebih adalah untuk mernpermudah pengolahan tanah, rnengharnbat turnbuhnya gulma, mernperrnudah penyiangan, menyuburkan tanah, mengurangi serangan hama (tikus), serta mengurangi tenaga kerja dan rnenghemat biaya. Berhadapan dengan alasan-atasan yang rasional ini, rnaka cara untuk mengubah pola pikir tersebut, adalah menyangkut perubahan individu per individu serta menyangkut perubahan kelernbagaan di tingkat komunal yang dapat melalui lembaga formal. Sebagai peiaku utama kegiatan produksi pertanian, petani harus melakukan pengaturan agar didapatkan jaminan bahwa air rnenjadi kornponen yang harus ada dalam kegiatan usahataninya, sementara perangkat pemerintah rnaupun pihak-pihak lain yang terkait dengan kegiatan produksi pertanian di tingkat petani harus juga mengarahkan kegiatan kerjanya untuk mendukung adanya jaminan ketersediaan air dalam kegiatan usahatani (Pasandaran dan Taryo to, 7993). Selain usaha perubahan di tingkat petani, keberhasilan pengelolaan air irigasi ini juga tergantung kepada pengelolaan manajemen di tingkat jaringan (distribusi) dan tingkat sungai (aiokasi). Dengan demikian, kelembagaan yang

10 perlu rnendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia lrigasi (Tingkat I dan II), Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan P3A. Hal ini mengisyaratkan bahwa P3A perlu diberi kesempatan untuk mengelola sumberdaya air yang tidak hanya terbatas pada tingkat usahatani, namun melibatkannya secara lebih luas di tingkat distribusi dan atokasi. Penelitian aksi di Bali telah berhasil melahirkan Subak Agung sebagai organisasi di atas P3A yang beranggotakan pengurus P3A bersangkutan (Windya, 7997). Lebih lanjut, Pasandaran dan Taryoto (79931 mengungkapkan bahwa sistern kemasyarakatan berkaitan dengan tatanan atau pranata kehidupan masyarakat, baik sehubungan dengan bentuk-bentuk interaksi yang ada diantara para pelaku interaksi anggota rnasyarakat, maupun dalarn kaitannya dengan kelengkapan norma, tata nilai, maupun adat-adat istiadat yang berlaku pada masing-masing masyarakat. Dengan acuan ini, adalah penting mernperhatikan kekhasan tiap-tiap satuan masyarakat beserta kelengkapan tata kehidupan masyarakatnya. Menekankan berbagai ha1 yang berorientasi pada upaya generalisasi kebijaksanaan, tanpa memperhatikan norma-norma setempat seringkali menghadapi hambatan. Karena itu, dalam sistem kemasyarakatan majemuk seperti yang ada di Indonesia, pertimbangan kekhasan masing-masing masyarakat atau wilayah seyogyanya harus mendapatkan perhatian yang rnemadai. Berdasar kebijakan dan peraturan yang ada selama ini, P3A dipandang sebagai lembaga/organisasi yang bersifat sosial. Hal ini mengundang kontroversi apakah sifat sosial ini masih perlu dipertahankan dalam rnenghadapi sistem pengelolaan air irigasi yang semakin kompetitif. Kuswanto (19971 memandang dari fungsi dan keuntungannya, P3A masih perlu mempertahankan sifat sosialnya, karena (1) pernilikan atas hak guna air dan jaringan irigasi oleh para petani anggota P3A bersifat kolektif, (2) P3A dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan dan menjaga pernerataan ekonomi di kalangan petani, dan (3) secara teknis akan

11 mernerlukan upaya perubahan kelembagaan yang sangat berat, mengingat sifat sosial P3A yang telah tertanam dalarn kebijakan dan peraturan yang menyangkut pengelolaan P3A. Dengan demikian langkah alternatif adalah memadukan perspektif bisnis dalarn kerangka visi P3A yang bersifat sosiat. Sebagai implikasinya adalah adanya penyesuaian struktural kelembagaan P3A.

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i

ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i ORGANISASI IRIGASI DALAM OPERASIONAL DAN PERAWATAN IRIGASI i Dwi Priyo Ariyanto Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Sumberdaya air saat ini semakin sulit serta mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyuluhan pertanian mempunyai peranan strategis dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (petani) sebagai pelaku utama usahatani. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Irigasi Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian dengan makanan pokoknya bersumber dari beras, sagu, serta ubi hasil pertanian.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memperluas keanekaragaman hasil pertanian. Hal ini berguna untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan yang dilakukan. Seperti halnya yang terjadi di Bali. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah bercocok tanam. Potensi pertanian Indonesia yang tinggi salah satunya disebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun

Lebih terperinci

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

Executive Summary EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PENGKAJIAN MODEL KELEMBAGAAN DAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI Desember, 2011 KATA PENGANTAR Laporan ini merupakan Executive Summary dari kegiatan Pengkajian Model Kelembagaan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 kiranya dapat menjadi suatu koreksi akan strategi pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Krisis tersebut ternyata

Lebih terperinci

II. KERANGKA PEMlKlRAN

II. KERANGKA PEMlKlRAN II. KERANGKA PEMlKlRAN 2.1. Konsepsi Pengembangan tp-padi 300 Ketersediaan sumberdaya air dan lahan pertanian potensial sernakin langka. Kecenderungan ini akan berakibat berkurangnya ketersediaan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat

I. PENDAHULUAN. Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalarn rangka pernbangunan bidang ekonomi, sektor pertanian sangat diandalkan sebagai salah satu tumpuan dalam memulihkan kondisi perekonomian rnasyarakat, bahkan secara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan pertanian yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah diubah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Irigasi

TINJAUAN PUSTAKA. rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Irigasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Irigasi Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah

Lebih terperinci

SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI

SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI SISTEM PEMBERIAN AIR IRIGASI 1) Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air disawah untuk tanaman padi ditentukan oleh beberapa faktor antara lain a. Penyiapan lahan b. Penggunaan konsumtif c. Perkolasi dan rembesan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Agenda revitalisasi pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005 merupakan salah satu langkah mewujudkan tujuan pembangunan yaitu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pola Tanam. yang perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pola Tanam. yang perlu diperhatikan yaitu jenis tanaman, lahan dan kurun waktu tertentu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Tanam Pola tanam dapat didefinisikan sebagai pengaturan jenis tanaman atau urutan jenis tanaman yang diusahakan pada sebidang lahan dalam kurun waktu tertentu (biasanya satu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BEBERAPA PRINSIP DASAR DALAM PEMILIHAN SISTEM PENGAIRAN

BEBERAPA PRINSIP DASAR DALAM PEMILIHAN SISTEM PENGAIRAN BEBERAPA PRINSIP DASAR DALAM PEMILIHAN SISTEM PENGAIRAN Penerapan sistem pengairan sangat tergantung pada perencanaan rancangan jaringan pengairan yang dibuat. Hambatan/kendala dlm perancangan Keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga wajar apabila prioritas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, sehingga wajar apabila prioritas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, sehingga wajar apabila prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional dipusatkan dibidang pertanian. Salah satu sasaran pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Air Pengelolaan air pada sistem irigasi adalah kunci keberhasilan pembangunan irigasi itu sendiri. Keadaan lingkungan air yang dipengaruhi evapotranspirasi yang harus

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 EVALUASI KINERJA OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DAN UPAYA PERBAIKANNYA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 EVALUASI KINERJA OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DAN UPAYA PERBAIKANNYA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 EVALUASI KINERJA OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DAN UPAYA PERBAIKANNYA Oleh : Sumaryanto Masdjidin Siregar Deri Hidayat Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem irigasi beserta keberhasilan pengelolaannya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan sistem

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2010-2035. Proyeksi jumlah penduduk ini berdasarkan perhitungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa sumber daya air adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menuju kemandirian sebagai daerah otonom tersebut, pemerintah daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah yang telah digulirkan sejak tahun 2001 memotivasi daerah untuk berusaha mencukupi kebutuhan daerahnya tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT

KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT Seminar Nasional Serealia, 2013 KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT Syuryawati, Roy Efendi, dan Faesal Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

kelembagaan irigasi, sehingga kinerjanya berpengaruh pada tingkat manajemen air irigasi akan semakin tinggi konflik kebutuhan air irigasi

kelembagaan irigasi, sehingga kinerjanya berpengaruh pada tingkat manajemen air irigasi akan semakin tinggi konflik kebutuhan air irigasi Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Keberhasilan lembaga sistem pertanian di pedesaan guna meningkatkan pendapatan petani sangat tergantung

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman 1. Topografi 2. Hidrologi 3. Klimatologi 4. Tekstur Tanah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman 1. Topografi 2. Hidrologi 3. Klimatologi 4. Tekstur Tanah Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air sawah untuk padi ditentukan oleh faktor-faktor berikut : 1.Penyiapan lahan 2.Penggunaan konsumtif 3.Perkolasi dan rembesan 4.Pergantian lapisan air 5.Curah hujan efektif

Lebih terperinci

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza Sativa L) KULTIVAR PADI HITAM LOKAL CIBEUSI DENGAN PADI CIHERANG

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza Sativa L) KULTIVAR PADI HITAM LOKAL CIBEUSI DENGAN PADI CIHERANG Jurnal Agrorektan: Vol. 2 No. 2 Desember 2015 75 PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza Sativa L) KULTIVAR PADI HITAM LOKAL CIBEUSI DENGAN PADI CIHERANG Cucu Kodir Jaelani 1 1) Badan Pelaksana Penyuluhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting perananya dalam Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal tersebut bisa kita lihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan beras di Indonesia pada masa yang akan datang akan meningkat. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi dengan besarnya konsumsi beras

Lebih terperinci

Matakuliah : S0462/IRIGASI DAN BANGUNAN AIR Tahun : 2005 Versi : 1. Pertemuan 2

Matakuliah : S0462/IRIGASI DAN BANGUNAN AIR Tahun : 2005 Versi : 1. Pertemuan 2 Matakuliah : S0462/IRIGASI DAN BANGUNAN AIR Tahun : 2005 Versi : 1 Pertemuan 2 1 Learning Outcomes Pada akhir pertemuan ini, diharapkan : 2 Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air sawah untuk padi ditentukan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI GARUT P E R A T U R A N B U P A T I G A R U T NOMOR 474 TAHUN 2011 TENTANG KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB KELEMBAGAAN PENGELOLA IRIGASI DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI PARTISIPATIF

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Dalam masa pembangunan pertanian yang bertujuan meningkatkan hasilhasil pertanian (terutama bahan pangan pokok) untuk mencukupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia. Potensi

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia. Potensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia. Potensi pertanian tersebut sangat besar, namun masih diperlukan penanganan yang baik agar kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7

BAB I PENDAHULUAN. kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam kehidupan seharihari kita tidak dapat dipisahkan dari senyawa kimia ini. Berdasarkan UU RI No.7 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1987 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG PEKERJAAN UMUM KEPADA DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1987 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG PEKERJAAN UMUM KEPADA DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1987 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG PEKERJAAN UMUM KEPADA DAERAH Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

Beras dan perkembangannya.

Beras dan perkembangannya. SUMBER DAYA AIR Latar belakang Beras dan perkembangannya. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, mulai Pelita I pada era tahun 70-an pemerintah sangat peduli untuk meningkatkan produksi padi,

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PEKERJAAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN TATA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di Indonesia salah satu tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat selain padi dan jagung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI 1 / 70 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menunjang ketahanan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

menunjukkan momentum keberhasilan pada saat lndonesia mencapai dengan diperolehnya penghargaan oleh badan pangan dunia (FAO) kepada

menunjukkan momentum keberhasilan pada saat lndonesia mencapai dengan diperolehnya penghargaan oleh badan pangan dunia (FAO) kepada R.NUNUNG NURYARTONO. Keragaan Sistem lrigasi dan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Petani Membayar IPAIR (Kasus Wilayah Tarum Timur Kabupaten Subang), (di bawah bimbingan KUNTJORO, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Azwar Wahirudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Azwar Wahirudin, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kebutuhan air untuk pertanian di Indonesia merupakan hal yang sangat penting, untuk tercapainya hasil panen yang di inginkan, yang merupakan salah satu program pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang. bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernbangunan daerah rnerupakan bagian dari pernbangunan nasional yang diarahkan untuk rnengernbangkan daerah yang bersangkutan. Tujuan dari pernbangunan daerah adalah untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan

TINJAUAN PUSTAKA. seluruh uang atau hasil material lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Petani Salah satu indikator utama untuk mengukur kemampuan masyarakat adalah dengan mengetahui tingkat pendapatan masyarakat. Pendapatan menunjukkan

Lebih terperinci

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia,

Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dilihat dan asal-usulnya, kelapa sawit bukanlah tanarnan asli lndonesia, tetapi seiring dsngan perkembangannya tanaman kelapa sawit ini rnarnpu tumbuh dan berkernbang dengan

Lebih terperinci

Perencanaan Operasional & Pemeliharaan Jaringan Irigasi DI. Porong Kanal Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur

Perencanaan Operasional & Pemeliharaan Jaringan Irigasi DI. Porong Kanal Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur Perencanaan Operasional & Pemeliharaan Jaringan Irigasi DI. Porong Kanal Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur Latar Belakang Daerah Irigasi Porong Kanal berada di kabupaten Sidoarjo dengan luas areal baku sawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi,

I. PENDAHULUAN. menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang terus berupaya menggalakkan pembangunan dalam berbagai bidang, baik bidang ekonomi, politik, hingga pembangunan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki

I. PENDAHULUAN berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki I. PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Surnberdaya rnanusia rnerupakan faktor utarna dalarn rnenentukan berhasil tidak suatu organisasi. Salah satu karakteristik yang harus dirniliki oleh seorang Pirnpinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan luas lahan yang sangat luas dan keanekaragaman hayati yang sangat beragam, memungkinkan Indonesia menjadi negara agraris terbesar

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

KEBUTUHAN AIR. penyiapan lahan.

KEBUTUHAN AIR. penyiapan lahan. 1. Penyiapan lahan KEBUTUHAN AIR Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan air irigasi pada suatu proyek irigasi. Faktor-faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;

Lebih terperinci

PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH

PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH Latar Belakang Berdasarkan Ketentuan Umum UU SP3K No.16 Tahun 2006 pasal 1 ayat (2) Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang selanjutnya disebut Penyuluhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian sangat diandalkan sebagai salah satu tumpuan. dalam memulihkan kondisi perekonomian masyarakat, bahkan secara

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian sangat diandalkan sebagai salah satu tumpuan. dalam memulihkan kondisi perekonomian masyarakat, bahkan secara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sangat diandalkan sebagai salah satu tumpuan dalam memulihkan kondisi perekonomian masyarakat, bahkan secara bertahap sektor pertanian diharapkan mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lipat pada tahun Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari

BAB I PENDAHULUAN. lipat pada tahun Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prediksi peningkatan populasi di Asia pada tahun 2025 sekitar 4,2 milyar. Menurut International Policy Research Institute, prediksi tersebut berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) (Studi Kasus Pada Kelompoktani Angsana Mekar Desa Cibahayu Kecamatan Kadipaten Kabupaten ) Oleh: Laras Waras Sungkawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman apabila kekurangan air akan menderit (stress)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak cepat ke arah rnasyarakat tanpa

BAB I PENDAHULUAN dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak cepat ke arah rnasyarakat tanpa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mernasuki abad 21, aparatur Pernerintah Propinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta rnenghadapi banyak tantangan yang tidak dapat dielakkan. Arus globalisasi yang bergerak

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 RKT D!T. PAI TA. 201 3 KAT A PEN GANT AR Untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. laku perekonomian kota ini. Sebagai pintu gerbang internasional yang

I. PENDAHULUAN. laku perekonomian kota ini. Sebagai pintu gerbang internasional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang DKI Jakarta rnemiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan propinsi lain. Sebagai ibukota negara dan pusat pernerintahan, berbagai kebijaksanaan ekonomi nasional dilahirkan

Lebih terperinci