SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE TIM REDAKSI PIMPINAN UMUM TIM HUMAS SEKRETARIS BENDAHARA PIMPINAN REDAKSI TIM LAYOUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE TIM REDAKSI PIMPINAN UMUM TIM HUMAS SEKRETARIS BENDAHARA PIMPINAN REDAKSI TIM LAYOUT"

Transkripsi

1

2

3 SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE dr. Endang L. Achadi, MPH, Dr PH (Universitas Indonesia) Fillah Fithra Dieny, S. Gz, M.Si (Universitas Diponegoro) PIMPINAN UMUM Rudianto Universitas Hasanuddin SEKRETARIS Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor BENDAHARA Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya PIMPINAN REDAKSI Fadilla Anjani Universitas Indonesia TIM REDAKSI Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia Azwar Burhan Universitas Hasanuddin Shabira Utami Institut Pertanian Bogor Elok Sekarini Stikes Surabaya Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin Santi Jaelani Universitas Indonesia TIM HUMAS Mief Qur ani S Universitas Brawijaya Hoiriyah STIKES Surabaya Alexandra Tatgyana S Universitas Indonesia Damelya Patricia D Universitas Hasanuddin Fortunella STIKES Surabaya Adinda Rizki Pemb. Veteran Mardhiati Universitas Hasanuddin Sarinah Institut Pertanian Bogor TIM LAYOUT M. Firman Alamsyah Institut Pertanian Bogor Anneke Wulansari Universitas Brawijaya Karina Muthiah Santi Universitas Brawijaya II

4 DAFTAR ISI ISSN : Susunan Pengurus... ii Daftar Isi... iii Petunjuk Penulisan... iv Sambutan Pimpinan Umum... ix PENELITIAN Uji Daya Terima Terhadap Olahan Produk Lawa Bale (Makanan Tradsional Sulawesi Selatan) Astri Ayu Novaria Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Kefir Air Pada Berbagai Suhu dan Kerapatan Fermentasi Lina Lidia 1 dan Neneng Sugiharti Perbedaan Proporsi Sindrom Metabolik Pada Guru Sekolah Dasar Obes Sentral dan Non-Obes Sentral Berdasarkan Lingkar Perut Qonita Rachmah Biskuit Moringa Ria Sebagai Suatu Strategi Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita Miskin Berbasis Masyarakat Rudianto, 1 Ainum Jhariah Hidayah, 2 Irma Ariany Syam ADVERTORIAL Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut: Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan Ainum Jhariah Hidayah, 1 Irma Ariany Syam, 2 Sri Rahayu Indah S Efektivitas Kinerja Millenium Development Goals Dalam Rangka Penurunan Tingkat Kematian Anak di Indonesia Novi Luthfiana Putri Genetik, Obesitas, Dan Teori Relativitas Berat Badan Andi Imam Arundhana 1, Asry Dwi Muqni III

5 PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi. Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. IV

6 Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman. 3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah dikirim melalui ke alamat dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul karangan (Title) 2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) 3. Abstrak (Abstract) 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. 7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis. V

7 9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i. Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11): atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124: Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73: ii. Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164: iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1: vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2): vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin VI

8 viii. dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3): Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1): ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320): x. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993; xi. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii. 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p v. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; vi. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p VII

9 vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis 1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor : Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; Contract no.: AHCPR Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; ix. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; Materi elektronik i. Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK ii. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; iii. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; VIII

10 SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT. Akhirnya BIMGI kembali berinovasi menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi Indonesia. BIMGI yang merupakan bagian dari BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia) adalah wadah bagi mahasiswa gizi untuk mempublikasikan karya ilmiahnya. BIMGI merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota ILMAGI. Salah-satu bukti dari eksistensi BIMGI adalah antusiasme mahasiswa gizi yang mengirimkan artikelnya melebihi target yang telah ditentukan. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 edisi 1 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh tim redaksi BIMGI. Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.untuk itu kami berharap bahwa edisi BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi. Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi. Pimpinan Umum Rudianto IX

11

12 Penelitian UJI DAYA TERIMA TERHADAP OLAHAN PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADSIONAL SULAWESI SELATAN) Astri Ayu Novaria 1 1 Prodi lmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin ABSTRAK Makanan tradisional di Sulawesi Selatan beraneka ragam salah satunya Lawa Bale yang dibuat dari ikan mentah dimasak dengan proses rendaman cuka atau blansir. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan teri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap tiga formula Lawa Bale makanan tradisional dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari beberapa formula Lawa Bale yang terdapat di rumah makan, setelah dilakukan observasi, didapatkan tiga resep sebagai sampel yang akan diuji yaitu formula A menggunakan rendaman cuka 20 menit, penambahan kelapa sangrai, dan sedikit garam, formula B diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 o C, perendaman jeruk nipis 2 menit, penambahan kelapa sangrai dan pemberian garam sedikit, serta formula C diberi pula perlakuan blansir dengan suhu 70 o C, diberi air asam jawa, lalu penambahan jantung pisang, kelapa sangrai dan pemberian sedikit garam. Pada penilaian uji daya terima, penilaian yang dilakukan berdasarkan skor dan selanjutnya diolah untuk melihat rata-rata nilai perbedaan antara ke tiga formula baik dari segi warna, aroma, tekstur, rasa serta nilai perbedaan yang diperoleh dari uji kruskal-wallis. Hasil yang didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula B walaupun dari segi harga yang lebih murah adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk memilih formula B untuk segi rasa dan dari segi ekonomis untuk memilih formula C. Kata kunci: uji daya terima,lawa Bale, makanan tradisional ABSTRACT Traditional foods in south sulawesi variegated one of them made Lawa Bale of raw fish cooked in vinegar or blansir, the process of marinade. The fish that is commonly used anchovy. The study is done to know the power of receipt of three formulation Lawa Bale traditional foods, in terms of color texture, the smell and taste. Of some formula Lawa Bale in a restaurant after the observation then obtained three recipes as a sample to be tested using the formula A vinegar marinade, adding 20 minutes to toast the coconut, and a little salt, formula B was given preferential treatment blansir with the temperature of 70 o C, soaking lemon 2 minutes, adding coconut toast and the granting of the salt a bit, as well as a formula C was also blansir treatment with temperature 70 o C tamarind water, are given, then the addition of banana, toast the coconut and the granting a bit of salt, on the assessment of the power test is done on the basis of assessment received the score and then processed to see the average value of the difference between the three formulas both in terms of color, aroma, texture, flavor and value differences obtained from kruskal-wallis test. The result obtained was that formula most favored formula B although in terms of a lower price is formula C compared with formula A and B. So, the public is advised to choose the formula B for in terms of taste and in terms of economical to choose the formula C. Keywords : the resources received, Lawa Bale, tradisional foods B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

13 1. PENDAHULUAN Preferensi terbentuk dari persepsi terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih disukai oleh konsumen. 1 Preferensi juga dapat diartikan sebagai tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap sesuatu yang lain. 2 Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa membosankan, terlalu biasa dikonsumsi, menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan berhubungan dengan efek penyakit setelah mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka terhadap pangan hanyalah salah satu alasan yang membentuk preferensi pangan. Preferensi pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika seseorang harus melakukan pilihan terhadap pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan hedonik atau rasa makanan yang data diukur secara verbal, dengan skala atau dengan ekspresi wajah. 3 Penampilan makanan ketika disajikan dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor yang menentukan penampilan makanan antara lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan. 4 Ikan merupakan sumber protein hewani utama dalam menu diseluruh Indonesia, terutama bagi penduduk yang kurang mampu.5 Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan hasil laut yang melimpah. Salah satu contoh hasil laut yang tianyak dihasilkan di daerah pesisir pantai lndonesia adalah ikan: diantaranya ikan teri. lkan teri kebanyakan dikonsumsi oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, untuk menaikkan nilai di mata masyarakat perlu adanya pemanfaatan ikan teri sebagai produk olahan pangan yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Beberapa makanan tradisional di Sulawesi selatan diolah mengunakan teknik pengasaman, seperti lawa teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka atau air jeruk tanpa proses pemasakan.6 Pembuatan Lawa Bale yang berbahan baku ikan teri merupakan salah satu alternatif diversifikasi pengolahan ikan teri sebagai produk pangan. Lawa Bale adalah makanan khas suku bugis dan Makassar yang berbahan dasar dari ikan teri yang masih segar (mentah). Proses pembuatannya tidak sulit dan bahan-bahannya mudah didapatkan. Adapun Lawa Bale yang paling sering dikonsumsi masyarakat Sulawesi Selatan terkhusus suku bugis adalah Lawa Bale dengan kelapa sangrai, sedangkan Lawa Bale jantung pisang adalah modifikasi dari Lawa Bale dengan menambahkan jantung pisang. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti uji daya terima dari Lawa Bale dengan menggunakan tiga variasi sebagai alternatif makanan pokok yang dapat dibuat sendiri di tingkat rumah tangga khususnya bagi masyarakat yang menyukai makanan tradisional. 2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kuliner Lanjut Fakultas Kesehatan Masyarakat. Alasan pemilihan laboratorium kuliner lanjut adalah salah satunya dikarenakan proses penilaian terhadap uji daya terima yang akan dilakukan rus memenuhi persyaratan sebagai berikut. 6 Pengujian dilakukan dalam bilik pencicip, suasana, dan peralatan serta sarana. Bilik pencicip ditujukan untuk memberikan sekat 2 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

14 dan menghindari adanya komunikasi antara setiap panelis. Suasana yang diharapkan dalam pengujian daya terima sama yang dirasakan oleh setiap panelis. Peralatan dan sarana pada laboraorium kuliner lanjut telah memenuhi standarisasi alat dan lengkap untuk mendukung uji daya terima ini. 2.2 Desain dan Variabel Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain case control design. Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan analisa laboratorium, menggunakan tiga perlakuan masing-masing formulasi dengan dua kali pengulangan (Duplo). Penelitian dilakukan pada dua tahap yaitu dilakukan pembuatan Lawa Bale berdasarkan hasil observasi formula Lawa Bale di berbagai Rumah Makan dan uji daya terima pada setiap produk olahan Lawa Bale. Variabel dalam penelitian ini adalah Lawa Bale sebagai variabel dependen dan uji daya terima sebagai varibel independen. akan menilai proses uji daya terima ini harus memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.\ 2.4 Pengumpulan Data Data awal dikumpulkan oleh petugas dari proses wawancara untuk memenuhi syarat kriteria inklusi dan kriteria ekslusi panelis yang akan menilai dalam proses uji daya terima ini. Kriteria inklusi yang harus dipenuhi adalah panelis setidaknya pernah mengonsumsi Lawa Bale, terdiri dari mahasiswa angkatan 2008 dan 2009 (telah melewati proses perkuliahan kuliner dasar maupun lanjut), tidak memiliki alergi terhadap ikan, masih mempunyai alat indera pengecap yang baik, dan bersedia untuk dijadikan panelis. Kriteria ekslusi yaitu panelis tidak bersedia untuk melakukan penilaian terhadap uji daya terima ini. Data selanjutnya diperoleh dari karakteristik panelis dan penilaian yang telah dilakukan pada saat proses penilaian dengan menilai empat faktor yang diujikan, yaitu warna, tekstur, aroma dan rasa. 2.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah Lawa Bale yang ada di Makassar. Pemilihan sampel ditarik berdasarkan observasi yang sebelumnya telah dilakukan. Pemilihan sampel ditentukan dengan resep yang dapat diperoleh untuk diuji cobakan dalam uji daya terima ini. Proses pengambilan sampel dalam hal ini resep Lawa Bale dilakukan dengan pendekatan personal agar resep asli dari rumah makan yang telah diobservasi dapat diberikan. Proses penilaian uji daya terima dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih, yaitu panelis yang sebelumnya dilatih untuk mengetahui sifat-sifat tertentu. 6 Panelis yang 2.5 Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dimasukkan kedalam komputer menggunakan software SPSS 16,0 dan microsoft excel. Data yang dimasukkan ke dalam komputer adalah skor penilaian yang dilakukan panelis. Skor yang diberikan adalah 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka, 2 = kurang suka, dan 1 =tidak suka. Data diolah untuk melihat rata-rata tingkat kesukaan terhadap empat faktor yang dinilai yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, agar dapat dilihat perbedaan untuk setiap formula dari segi rata-rata skor yang diberikan. Selanjutnya data hasil penilaian uji daya terima dikonversikan juga ke uji kruskal-wallis untuk melihat perbedaan yang signifikan antara tiga formula yang diujikan. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

15 Formula pertama menggunakan rendaman cuka dan penambahan kelapa sangrai, jeruk nipis, dan sedikit garam, formula dua diberi perlakuan blansir setelah itu diberi rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa sangrai dan sedikit garam, serta formula tiga diberi juga perlakuan blansir lalu direndam dengan air asam jawa kemudian diberi tambahan jantung pisang, kelapa sangrai dan sedikit garam. Penilaian untuk melihat perbedaan dari tingkat kesukaan untuk setiap produk formula Lawa Bale diimbangi pula dengan dihitung unit cost harga setiap formula per 100 gram. 3. HASIL 3.1 Karakteristik Panelis Karakteristik panelis dapat dilihat pada Tabel 1. Terlihat pada jumlah panelis yang menilai pada uji daya terima ini sebanyak 20 orang yaitu 2008 terdiri dari 16 orang (80%) dan 2009 (20%) perbandingan jenis kelamin perempuan berbanding laki-laki yaitu 17:3. Tabel 1. Karasteristik Panelis Uji Daya Terima Lawa Bale Karakteristik Panelis Jenis Kelamin N=20 % Perempuan Laki-laki 3 15 Angkatan Rata-Rata Skoring Menurut Karakteristik Uji Tingkat Kesukaan Rata-rata skoring menurut karakteristik uji tingkat kesukaan dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat hasil tentang rata-rata pada keempat kriteria pada uji tingkat kesukaan baik dari segi warna, aroma, tekstur maupun rasa. Pada keempat kriteria dari 3 formula Lawa Bale tersebut yang paling disukai dari segi warna, arasa, aroma, dan tekstur adalah formula B, selanjutnya formula C dan terakhir yang disukai adalah formula A. Tabel 2. Rata-rata Skoring Menurut Kriteria Uji Tingkat Kesukaan Pada ke-3 Formula Lawa Karakteristik Uji Kesukaan Bale Rata-rata Skoring Formula Lawa A B C Warna 3,275 3,525 3,425 Tekstur 3,15 3,45 3,325 Aroma 3,125 3,525 3,25 Rasa 2,775 3, Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula Lawa Bale Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula Lawa Bale dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat rata-rata skoring untuk tiap kriteria uji tingkat kesukaan diperoleh hasil bahwa pada formula B lebih disukai para panelis dibandingkan dengan 2 formula lainnya setelah dilakukan pengulangan percobaan 2 kali. Formula yang paling disukai adalah formula yang diberi perlakuan blansir kemudian direndam perasan jeruk nipis, setelah ditiriskan selama 2 menit lalu dicampur dengan kelapa sangrai dan garam.hal ini dikemukakann oleh beberapa panelis, bahwa formula Lawa Bale yang B dilihat dari warna, aroma, tekstur, dan rasa lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Dan yang disukai diurutan kedua adalah formula C yang diberi perlakuan blansir lalu ditambahkan air asam jawa kemudia diberi penambahan jantung pisang, dan kelapa sangrai serta garam.diurutan ketiga adalah formula A yang direndam larutan cuka dengan penambahan kelapa sangrai. Tabel 3. Rata-Rata Penilaian Tingkat Kesukaan Pada 3 Formula Lawa Bale Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada Ke-3 Formula Lawa Penilaian A B C Rata-rata 3,0125 3,4875 3,2 4 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

16 percobaan 1 Rata-rata percobaan 2 3,0875 3,4875 3,3 Total rata-rata 3,05 3,4875 3, Uji Kruskal-Wallis Uji Kruskal-Wallis yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4. Terlihat hasil bahwa setelah di uji menggunakan pengujian kruskal-wallis dalam SPSS 16,00 dengan α=0,05 didapati nilai yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke 3 formula dilihat dari segi faktor yang mempengaruhi uji tingkat kesukaan pada penelitian uji daya terima ini. 3.5 Analisi rincian biaya formula Lawa Bale/ 100 gr Analisis harga untuk biaya pembuatan formula Lawa Bale per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 5. Terlihat Pada perhitungan unit cost, harga disetiap formula per 100 gram-nya perbandingan harga yang cukup berbeda terlihat jelas. Formula yang memakai biaya di setiap pembuatan formula per 100 gram nya yaitu formula C, dan paling banyak mengeluarkan biaya di antara ketiga formula yang dibuat adalah formula A. 4. PEMBAHASAN Pada kali ini penelitian yang dilakukan yaitu uji daya terima (uji tingkat kesukaan) dari 3 formula Lawa Bale. Formula Lawa Bale yang diujikan yaitu pertama: Lawa dengan menggunakan rendaman larutan cuka dan tamabahan kelapa sangrai, kedua: Lawa yang diberi perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa sangrai, ketiga: Lawa yang diberi perlakuan blansir, rendaman air asam jawa, penambahan kelapa sangrai dan jantung pisang. Formula Lawa Bale diteliti untuk mengetahui tingkat kesukaan para panelis terhadap 3 pilihan Lawa yang diberikan. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 Pada penelitian kali ini, para panelis yang ditunjuk dalam proses penilaian baik dari segi warna, aroma, tekstur dan rasa adalah panelis semi terlatih, yang dikriteriakan pernah mengonsumsi Lawa sebelumnya, cukup terlatih dalam menilai citarasa dalam hal ini dipilihlah angkatan 2009 dan 2008 yang telah melakukan proses pembelajaran kuliner, tidak memiliki alergi terhadap ikan ataupun bahan yang terkandung dalam formula Lawa yang akan dibuat, dan bersedia dalam berkontribusi pada penelitian ini. Panelis yang rata-rata terdiri dari suku Bugis ini pernah mencoba setidaknya lebih dari 3 kali mengonsumsi Lawa Bale, karena hal itu pula panelis lulus dalam uji kriteria pernah merasakan Lawa Bale sebelumnya. Panelis dalam mencicipi setiap formula mempunyai tanggapan tersendiri untuk tiap formula yang diujikan. Kecenderungan panelis dalam penilaian tingkat kesukaan kali ini rata-rata memilih formula B dibandingkan dengan formula A maupun C. Kecenderungan panelis dalam memilih formula B, lebih dikarenakan formula A rasa cuka yang masih sangat terasa akibat sisa dari perendaman yang dilakukan, sedangkan pada formula C menurut persepsi panelis rasa penambahan jantung pisang yang tidak biasa mereka konsumsi sebelumnya inilah yang menyebabkan Formula C rata-rata dipilih menjadi peringkat yang kedua. Dalam pengolahan data hasil dari penelitian uji daya terima (uji tingkat kesukaan) didapatkan rata-rata secara keseluruhan dari ketiga formula Lawa Bale, rata-rata kriteria pembentuk uji daya terima yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, serta penilaian dengan menggunakan uji kruskal-wallis. Pengolahan data dengan melihat ratarata secara keseluruhan digunakan untuk menilai keseluruhan formula Lawa Bale yang dilihat dari total rata-rata yaitu akumulasi rata- 5

17 Tabel 4. Kruskal-Wallis Pada Uji Tingkat Kesukaan 3 Formula Lawa Bale Kruskal-Wallis uji Kesukaan Warna Tekstur Aroma Rasa Chi- Square Df Asymp. sign Chi- Square Df Asymp. sign Chi- Square df Asymp. sign Chi- Square df Asymp. sign 3, ,191 2, ,320 4, ,125 4, ,088 Tabel 5. Analisis Rincian Biaya Formula Lawa Bale/ 100 gram Formula Bahan Standar Porsi Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp) Ikan teri segar tanpa 85 gr (800 gr tanpa kepala kepala) Cuka 15 ml A B C Kelapa parut (disangrai) Jeruk nipis Garam (200ml) 15 gr (1 btr) ½ butir (1 butir) gr (500 gr) 3.- Total (800 gr tanpa kepala) Ikan teri segar tanpa 80 Kelapa parut (disangrai) Jeruk nipis Garam Ikan teri segar 20 gr (1 butir) butir (1 butir) gr (500 gr) 3.- Total gr (800 gr tanpa kepala) Kelapa Parut gr (disangrai) (1 butir) Jantung Pisang 20 gr (1,2 kg) 50.- Asam Jawa 8 gr (20) Garam 7,5 gr (500 gr) 7,5.- Total 2.639,5.- rata pengujian awal ditambah rata-rata pengujian akhir. Penilaian kedua yaitu dilihat dari rata-rata keempat kriteria yang diteliti, hal ini dilakukan untuk tidak hanya membandingkan formula Lawa secara keseluruhan tapi juga untuk melihat perbedaan yang terlihat dari setiap kriteria pembangun uji daya terima dalam hal ini tingkat kesukaan. Penilaian ketiga dilihat dari segi statistik yaitu menggunakan uji kruskal-wallis, pengujian dilakukan untuk melihat uji yang dilakukan terdapat perbedaan atau diterima sesuai dengan pernyataan Ho diterima jika α< 0,05, dan Ho ditolak jika α >0,05. Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, hasil yang didapatkan menunjukkan formula yang paling disukai adalah formula yang kedua. Formula kedua paling disukai dilahat dari 6 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

18 penilaian rata-rata secara keseluruhai segi warnn formula yang diteliti dan rata-rata dari keempat kriteria syarat uji daya terima. Dari segi warna, formula yang paling disukai setelah dilakukan percobaan dua kali adalah formula B, formula yang diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 o C, rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa sangrai, sama halnya dilihat dari segi tekstur, aroma dan rasa, formula yang paling disukai adalah formula B. Formula kedua paling disukai disebabkan dilihat dari perbandingan setiap alasan penerimaan para panelis. Pada formula pertama rasa cuka yang di tampakkan sangat terasa walau sudah dibersihkan beberapa kali, sedangkan untuk formula ketiga dilihat dari nilai tidak terlalu signifikan perbedaannya denga formula yang kedua. Walaupun formula kedua paling disukai menurut kedua penilaian tersebut, tetapi pada uji statistik kruskal-wallis didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan antara ketiga formula yang diteliti baik dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa dengan kata lain Ho diterima. Pada ketiga formula Lawa Bale setelah dilihat dari harga satuan yang dihitung, dapat terlihat jelas perbedaan biaya yang digunakan pada setiap formula Lawa Bale. Tujuan menghitung unit cost harga setiap formula per 100 gram nya untuk mengetahui biaya yang dikeluarkan dalam setiap formula per 100 gram, sehingga terlihat perbedaan biaya yang dipakai, dan yang pada akhirnya akan menjadi acuan dalam mempromosikan makanan tradisional Lawa Bale kepada masyarakat dilihat dari tingkat ekonomis yaitu jangkauan daya beli masyarakat terhadap pembelian suatu produk. Pada perhitungan unit cost harga setiap formula, formula yang paling sedikit mengeluarkan biaya per 100 gram nya adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Formula yang mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada formula lainnya adalah formula A. Formula C memakai biaya yang sedikit di antara lainnya dihitung per 100 gram nya karena pada formula ini pemakaian ikan teri segar lebih sedikit yaitu hanya 65 gram dibandingkan dengan formula A yang memakai 85 gram dan formula B yang memakai 80 gram, walaupun pada bahan pelengkap ditambahkan jantung pisang tetapi, tidak sebanding dengan harga jantung pisang yang cenderung lebih mahal. Jadi, walaupun formula yang paling disukai adalah formula B tetapi, dari segi harga per 100 gram setiap formula dianjurkan memilih formula C. 5. SIMPULAN Sesuai tujuan penelitian maka dari hasil pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan, yaitu; Formula Lawa Bale yang dibuat dan diteliti adalah formula pertama menggunakan rendaman larutan cuka dan penambahan kelapa sangrai, formula kedua menggunakan perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa sangrai, terakhir formula ketiga diberi perlakuan blansir, rendaman air asam jawa, dan penambahan kelapa sangrai serta jantung pisang; formula yang paling disukai menurut penilaian rata-rata secara keseluruhan dan ratarata menurut kriteria syarat uji daya terima adalah formula dua, dan; formula yang paling ekonomis dari segi harga per 100 gram tiap formula adalah formula C. 6. SARAN Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik saran yaitu; Berdasarkan penelitian ini, Masyarakat disarankan mengolah Lawa Bale mengonsumsi formula B dengan menggunakan proses blansir terlebih dahulu B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

19 kemudian direndam jeruk nipis dan bahan pelengkap berupa kelapa sangrai dilihat dari tingkat kesukaan yang telah diteliti, sedangkan dilihat dari unit cost harga yang dikeluarkan untuk 100 gram tiap formula disarankan untuk memilih formula C karena harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang lain; dilakukan penelitian mengenai inovasi untuk menambahkan variasi dalam penambahan bahan-bahan yang dapat meningkatkan jual beli Lawa ataupun perubahan baik dari rasa, aroma, tektur maupun warna dari produk olahan Lawa Bale yang telah ada, dan; berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini bahwa perbedaan bahan-bahan untuk setiap formula Lawa Bale mempengaruhi daya terima seseorang dalam mengonsumsi suatu makanan, maka disarankan kepada para ahli gizi, tata boga, dan kuliner agar melakukan penelitian mengenai uji daya terima pada makanan tradisional lainnya sehingga dapat mempertahankan makanan tradisional sebagai pangan lokal dan sebagai alternatif mengatasi masalah ketahanan pangan dan gizi. 6. Rahayu, W.P. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organolepik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor; DAFTAR PUSTAKA 1. Assael H. Consumer Behaviors and Marketing Action. Boston: Martiani D. Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan pada Mahasiswa IPB di Wilayah Dramaga, Bogor. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB; Prasatya ER. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Buah pada Golongan Lanjut Usia di Lembaga Seni Pernafasan Satria Nuasantara Bogor. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor :Fakultas Pertanian, IPB; Palacio JP, Theis M. Introduction to Foodservice. 11th Ed. Ohio: Pearson Education; Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

20 Penelitian KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR AIR PADA BERBAGAI SUHU DAN KERAPATAN FERMENTASI Lina Lidia 1 dan Neneng Sugiharti 1 1 University Djuanda Bogor campus faculty of Food Technology and Nutrition ABSTRAK Biji kefir atau biasa disebut algae kristal merupakan starter dalam pembuatan kefir air yang terdiri dari berbagai jenis mikroba. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam algae kristal adalah konsentrasi gula. Pada penelitian ini diamati perubahan karakteristik kimiawi kefir air yang difermentasikan pada berbagai konsentrasi gula. Biji kefir difermentasikan pada media air dengan perlakuan konsentrasi gula (2%, 5%, 8%, dan 11%) selama 72 jam. Setiap 12 jam dilakukan pengamatan meliputi total padatan terlarut, kadar gula, total asam laktat, dan nilai ph. Konsentrasi larutan gula berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap total asam dan nilai ph. Selama 72 jam fermentasi, total padatan terlarut tidak mengalami perubahan, kadar gula dan nilai ph menurun, sedangkan total asam meningkat. Kefir air dengan konsentrasi gula 2% layak dikonsumsi hingga fermentasi 79 jam, sedangkan kefir air dengan konsentrasi gula 5%, 8%, dan 11% layak dikonsumsi berturut-turut hingga fermentasi 73 jam, 81 jam, dan 78 jam. Kata kunci: kefir air, laktobasillus, fermentasi ABSTRACT Kefir grain or cristal algae is starter of water kefir making which contains various microorganisms. One of factors affecting the growth of microorganisms in kefir grain is sugar concentration. In this research, the chemical properties changes of water kefir were determined. Kefir grains were fermented in water containing various sugar concentration (2%, 5%, 8%, and 11%) for 72 hours. Every 12 hours, total soluble solid, total sugar, total lactic acid, and ph value were measured. Sugar concentration significantly affected on total soluble solid and total sugar, but did not affect significantly on total of lactic acid and ph value. During 72 hours of fermentation, total soluble solid did not change, total sugar and ph value decreased, and total lactic acid increased. Water kefir with 2% sugar can be consumed until 79 hours of fermentation, and water kefir with 5%; 8%; and 11% sugar can be consumed respectively until fermentation of 73 hours, 81 hours, and 78 hours. keywords: water kafier, lactobacillus, fermentation B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

21 1. PENDAHULUAN Kebutuhan pangan kesehatan bagi masyarakat saat ini sudah semakin tinggi. Pangan baik berupa makanan maupun minuman saat ini selain dikonsumsi untuk pemenuhan energi bagi kelangsungan hidup manusia juga diharapkan memberikan efek kesehatan maupun perbaikan kesehatan bagi pengkonsumsinya. Jenis pangan yang memberikan efek kesehatan semakin dicari oleh masyarakat. Masyarakat mulai kembali ke pangan tradisional, organik, herbal, maupun jenis-jenis pangan baru yang memberikan efek kesehatan, seperti kefir. Kefir adalah minuman kesehatan yang mampu memberikan efek kesehatan bagi pengkonsumsinya. Di beberapa situs internet dikatakan bahwa kefir mampu memberikan efek yang sangat baik bagi tubuh seperti meningkatkan stamina, mood, dan pernafasan (Anonim, 2010a), di situs lain dikatakan bahwa kefir atau kristal algae sebagai obat alternative kanker kolorektal (Anonim, 2010b). Biji kefir mempunyai dua wujud, berwarna putih keruh dan yang bening. Algae kristal disebut juga sebagai biji kefir (kefir grain). Algae kristal yang berwarna putih keruh digunakan pada fermentasi kefir susu (Stepaniak, 2002), sedangkan algae kristal yang bening adalah algae kristal yang digunakan pada fermentasi air. Algae kristal merupakan simbiosis kompleks antara bakteri asam laktat dan khamir (Bottazzi et al, 1994; Waldherr et al, 2010; Beccary, 2011). Biji kefir merupakan koloni bakteri yang bersimbiotik bersama-sama dengan unsur lain membentuk jaringan padat. Kultur bakteri biji kefir berusia lebih dari 5000 tahun, Kefir Grains mengandung lebih dari 35 probiotik bakteri yang sangat menguntungkan dan bermanfaat bagi kesehatan. Kefir mulanya hanya dikonsumsi oleh Masyarakat Caucasus selama ratusan tahun, menurut sejarah biji kefir diberikan oleh Nabi Muhammad kepada Rakyat Caucasus dan menjadi semacam pusaka yang diwariskan turun-temurun, dan akhirnya kefir menjadi bagian dari kehidupan mereka. Setiap mikroorganisme memiliki suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk pertumbuhannya (Sunatmo, 2009 dan Fardiaz, 1992), begitu juga algae kristal. Pada alga kristal terdapat beberapa mikroorganisme yang berbeda, seperti bakteri asam laktat, dan khamir yang saling bersimbiosis. Sehingga memungkinkan dapat tumbuh di kisaran suhu yang luas. Di pegunungan Kaukasus, suhu ruang yang digunakan untuk memfermentasi kefir rata-rata 15 o C (Anonim, 2011). Menurut Robinson dan Tamime (1981), biji kefir diinkubasi pada suhu sekitar 23 o C, sedangkan Itmawardi (1987) menginkubasi biji kefir pada suhu o C. Suhu fermentasi pada pembuatan kefir sederhana adalah suhu ruang (20-25 o C) (Deptan, 2007). Menurut Waldherr et al (2010), kefir air adalah minuman yang difermentasi berbahan dasar larutan sukrosa dengan ekstrak buah. Kefir air yang ia kembangkan menggunakan strain Lactobacillus hilgardii yang mampu memproduksi granula dekstran yang menunjukkan aktivitas optimumnya pada suhu o C. Algae kristal mengandung berbagai jenis mikroorganisme asam laktat maupun khamir, sehingga memungkinkan dapat tumbuh pada range suhu yang sangat luas. Dengan pertumbuhan bakteri asam laktat dan khamir yang berbeda-beda di setiap suhu pertumbuhan sehingga mempengaruhi karakteristik kimiawi produk yang dihasilkan. 10 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

22 Pada penelitian ini akan diamati pengaruh berbagai suhu fermentasi (5 o C, 15 o C, dan suhu ruang) terhadap karakteristik kimiawi kefir air. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini diantaranya yaitu memfermentasi algae kristal pada media air dengan perlakuan berbagai suhu fermentasi (4 o C dan 25 o C) dan berbagai kerapatan fermentasi (tertutup rapat dan tertutup longgar). Keduanya dilakukan masing-masing selama 5 hari, yang dimulai dari 0 hari. Setiap satu perlakuan suhu fermentasi dilakukan 2 kali ulangan sehingga terdapat 12 sampel. Formulasi pembuatan kefir air dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Formulasi pembuatan kefir air Bahan Formulasi A1 A2 B1 B2 Biji kefir 5% 5% 5% 5% Gula 2% 2% 2% 2% Kismis 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah Suhu 4 o C 25 o C 4 o C 4 o C Kerapatan Rapat Rapat Rapat Longgar Sumber: Modifikasi Beccary (2011) dan Lidia (2012). Biji Kefir 5% Kismis 1 buah Fermentasi 5 hari tertutup rapat suhu (A) : A1= 4 o C, A2= 25 o C Gula 2% dalam 200 ml air Kefir Air Pencampuran Fermentasi 5 hari tertutup Suhu 4 o C Tertutup (B): B1=rapat, B2=longgar Uji kimia dan mikrobiologi per hari: a. total padatan terlarut b. total sebaran gula c. total asam d. nilai ph e. total mikroba f. total khamir Gambar 1. Diagram alir pembuatan kefir air 2.1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari satu faktor, masing-masing yakni suhu fermentasi (A), dengan dua taraf perlakuan (4 o C dan 25 o C), dan dua kali ulangan. Kerapatan fermentasi (B), dengan dua taraf perlakuan (rapat dan longgar), dan dua kali ulangan. A1 = fermentasi dengan suhu fermentasi 2% A2 = fermentasi dengan suhu fermentasi 5% B1 = fermentasi dengan tutup rapat B2 = fermentasi dengan tutup longgar Model matematika yang digunakan adalah: Yij = µ + Ai + εij Keterangan: Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan perlakuan konsentrasi larutan gula taraf ke-i ulangan ke-j µ : nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya) Ai : pengaruh perlakuan taraf ke-i eij : pengaruh galat i : taraf perlakuan (1, 2) j : ulangan (1, 2) 2.2. Analisis Produk Analisis produk yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air dengan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C, serta kerapatan fermentasi rapat dan longgar, yang telah difermentasi selama 5 hari. Uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air dilakukan per hari selama 5 hari untuk mengetahui pengaruh berbagai suhu dan kerapatan fermentasi terhadap parameter yang diuji Prosedur Analisis B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

23 Prosedur analisis yang dilakukan yaitu uji kimia yang meliputi uji total padatan terlarut menggunakan refraktometer (Sutadi, dkk., 1997), uji sebaran gula dengan metode UFLC (Ultra Fast Liquid Chromatography) (AOAC, 1977), uji kadar asam dengan metode titrasi asam basa (Apriyantono, dkk., 1985), dan uji ph menggunakan ph meter (Apriyantono, dkk., 1985). Sedangkan uji mikrobiologi terdiri dari uji total mikroba dan total khamir Analisis Data Data hasil penelitian ini dikumpulkan dalam suatu tabel. Pengolahan data dilakukan secara vertikal dan horizontal. Pengolahan data secara vertikal dianalisis dalam bentuk ANOVA (Analisys of Varians) untuk mengetahui pengaruh suhu fermentasi, sehingga diperoleh nilai p. Jika nilai p < 0.05 maka perlakuan berpengaruh nyata, dan dilanjutkan dengan uji T untuk mengetahui perlakuan tersebut berbeda nyata atau tidak. Sedangkan secara horizontal, pengolahan data dilakukan uji Regresi Linier untuk mengetahui perubahan (penurunan atau peningkatan) parameter yang diuji. Kemudian dilakukan uji Korelasi untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan antara waktu fermentasi terhadap parameter karakteristik kimiawi (total padatan terlarut, total fruktosa, total glukosa, total sukrosa, total asam, dan nilai ph). tidak hanya memecah komponen-komponen terlarut, tetapi juga memecah komponen yang tidak larut (pati dan protein yang tidak larut) menjadi komponen yang larut (gula sederhana dan protein yang larut). Oleh sebab itu, pemecahan protein menjadi asam amino, pembentukan vitamin, pirin, pirimidin dan lainlain yang digunakan bakteri asam laktat untuk pertumbuhannya (Jay, 1978) dapat terukur oleh refraktometer, sehingga perlakuan suhu fermentasi terhadap total padatan terlarut tidak berbeda nyata. Tabel 2. Nilai rata-rata total padatan terlarut ( o Brix) kefir air pada berbagai suhu fermentasi Waktu fermentasi (hari) Suhu A1 2,20 a 2,20 a 2,30 a 2,30 a 2,30 a 2,30 a (4 o C) A2 2,20 a 2,20 a 2,25 a 2,30 a 2,30 a 2,30 a (25 o C) Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = Perubahan total padatan terlarut selama fermentasi 3. PEMBAHASAN 3.1. Suhu fermentasi Dari hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan suhu fermentasi (A) tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut (p > 0.05). Hal ini diduga karena mikroba yang aktif selama fermentasi pada kedua suhu tersebut Gambar 2. Grafik total padatan terlarut kefir air pada berbagai suhu fermentasi. Dari Gambar 2, terlihat bahwa total padatan terlarut dalam kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami perubahan selama fermentasi 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi 12 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

24 persamaan masing-masing y = 0.022x dan y = 0.024x yang menyatakan bahwa total padatan terarut pada tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar o Brix dan o Brix per hari. Kenaikan perlakuan A1 bernilai sedang, sesuai nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni Hal ini menunjukkan hubungan linier yang sedang antara waktu fermentasi dengan total padatan terlarut. Sedangkan perlakuan A2 mempunyai nilai r = yang menunjukkan hubungan linier yang cukup kuat antara waktu fermentasi dengan total padatan terlarut. Hal ini diduga pada fermentasi suhu 25 o C mikroba yang hidup lebih banyak dibandingkan fermentasi suhu 4 o C. Dari mikroba yang hidup tersebut terdapat hasil metabolisme yang terukur bersama sumber nutrisinya, sehingga terlihat bahwa perlakuan A2 (25 o C) lebih kuat peningkatannya dibanding A1 (suhu 4 o C) Pengaruh berbagai suhu fermentasi terhadap sebaran gula Bakteri asam laktat merupakan kelompok spesies bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat dari metabolisme karbohidrat (Sudarmadji, dkk., 1989). Khamir Saccharomices cereviceae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi merombak sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa), dan enzim invertase akan mengubah glukosa menjadi etanol (Judoamidjojo, et al., 1992). Tabel 3. Pengaruh fermentasi dengan gula X Y Waktu fermentasi (hari) A A1 2,470 a 2,260 a 1,960 a 0,855 a 1,435 a 1,225 a A2 2,605 a 2,230 a 1,610 a 0,670 a 0,215 a 0,073 a B A1 1,514 a 1,410 a 2,285 a 1,110 a 1,700 a 1,475 a A2 1,497 a 1,410 a 2,285 a 0,860 a 1,500 a 1,410 a C A1 0,483 a 0,540 a 0,275 a 0,130 a 0,210 a 0,393 a A2 0,516 a 0,565 a 0,480 a 0,320 a 0,760 a 1,068 a Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = X = Jenis Gula Y = Suhu A = sukrosa (Suhu A1 4 o C, A2 25 o C) B = Glukosa (Suhu A1 4 o C, A2 25 o C) C = Fruktosa (Suhu A1 4 o C, A2 25 o C) Gambar 3. Grafik sebaran gula kefir air pada berbagai suhu fermentasi Dari Gambar 3, kadar sukrosa kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan y = x dan x yang menyatakan bahwa kadar sukrosa pada kefir air mengalami penurunan sebesar 0.280% dan 0.561% tiap hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni dan Hal ini menunjukkan terdapat hubungan korelasi yang sedang sampai kuat antara waktu fermentasi dengan kadar sukrosa. Hal ini diduga pada perlakuan A2 (25 o C) mikroba lebih banyak hidup daripada perlakuan A1 (4 o C), sehingga gula yang digunakan lebih banyak untuk B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

25 pertumbuhannya. Dengan bertambahnya jumlah produk, maka sumber karbon yang dibutuhkan semakin banyak, sehingga kadar sukrosa yang terukur mengalami penurunan. Dari Gambar 3, kadar glukosa kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing yaitu y = x dan x yang menyatakan bahwa total padatan terarut pada kefir air mengalami penurunan sebesar 0.014% dan 0.045% tiap hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni dan Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan korelasi antara waktu fermentasi dengan kadar glukosa. Hal ini diduga karena pada kedua suhu tersebut mikroba yang terdapat pada kefir air memecah sukrosa menjadi glukosa dalam jumlah sedikit, sesuai kebutuhannya. Menurut Gilliland dan Kim (1984), bakteri asam laktat tidak akan menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi lebih dari yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata pada α = Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, suhu fermentasi (A) berpengaruh nyata terhadap total asam tertitrasi (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka terlihat bahwa bertambahnya suhu, maka total asam yang dihasilkan mengalami kenaikan. Hal ini diduga karena kemampuan hidup mikroorganisme khususnya bakteri asam laktat menurun pada suhu 4 o C. Sedangkan pada kefir air yang difermentasi pada suhu 25 o C pertumbuhan mikroba lebih cepat dengan menghasilkan asam laktat lebih banyak karena suhu optimum pertumbuhan bakteri asam laktat dan khamir mendekati suhu 25 o C, sehingga total asam terlihat signifikan. Menurut Fardiaz (1992), di dalam makanan yang didinginkan juga sering tumbuh beberapa mikroorganisme psikrofilik yang dapat tumbuh pada suhu pendinginan, tetapi mempunyai suhu optimum di atas 20 o C Pengaruh berbagai suhu fermentasi terhadap total asam tertitrasi Menurut Frazier dan Westhoff (1987), pengukuran total asam tertitrasi didasarkan pada komponen asam yang terdapat di dalam larutan, baik yang terdiasosiasi maupun yang tidak terdiasosiasi. Asam laktat merupakan salah satu metabolit primer yang dihasilkan dalam proses fermentasi. Tabel 4. Pengaruh fermentasi dengan asam Gambar 4. Grafik total asam tertitrasi kefir air pada berbagai suhu fermentasi Dari Gambar 4, total asam tertitrasi kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing y = 0.002x dan y = 0.019x 0.022, yang menyatakan bahwa rata-rata total asam laktat pada pada tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar 14 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

26 0.002% dan 0.019% tiap hari, dengan nilai r yang dihasilkan masing-masing yaitu dan Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang cukup kuat antara waktu fermentasi dengan total asam laktat. Hal ini diduga adanya aktifitas mikroba yang dapat mengubah karbohidrat (gula) menjadi asamasam organik, yakni terdapat bakteri homofermentatif yang menghasilkan asam laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif yang menghasilkan sedikit asam asetat. Pada perlakuan A1 (4 o C) nilai regresinya terlihat lebih kuat dibanding A2 (25 o C). Hal ini diduga adanya khamir yang hidup lebih optimal pada suhu fermentasi 25 o C, sehingga dapat mempengaruhi total asam karena OH yang dihasilkannya tersebut, walaupun dalam jumlah yang relatif sedikit. Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi, maka dapat meningkatkan jumlah asam laktat yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena dengan semakin lama waktu fermentasi, maka proses perombakan karbohidrat oleh bakteri asam laktat dan khamir akan lebih lama dan optimal sehingga asam laktat dan alkohol yang dihasilkan akan semakin tinggi. Menurut Pederson (1960), peningkatan total asam tertitrasi disebabkan karena mikroba yang aktif selama fermentasi memanfaatkan karbohidrat yang dapat difermentasi dan menghasilkan asam-asam organik Pengaruh suhu fermentasi terhadap nilai ph Menurut Priyantono (1987), salah satu faktor pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh ph, semakin tinggi nilai ph maka pertumbuhan mikroba semakin meningkat pula dan sebaliknya. Menurut Fardiaz (1989), umumnya jasad renik dapat tumbuh pada kisaran ph 3-6, bakteri dapat tumbuh pada ph optimum sekitar 6,5-7,5. Khamir tumbuh pada kisaran ph 2,5-8,5; optimumnya tumbuh pada ph 4-5. Secara umum nilai ph menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu produk. Semakin rendah nilai ph produk menunjukkan derajat keasaman produk tersebut semakin tinggi. Tabel 5. Pengaruh fermentasi dengan ph Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai suhu fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph (p < 0.05). Hal ini diduga karena pada suhu fermentasi 25 o C tidak hanya bakteri asam laktat yang hidup, namun terdapat pula khamir yang dapat mempengaruhi nilai ph disebabkan gugus OH yang dihasilkannya, walaupun pengaruhnya kecil. Oleh karena itu, nilai ph yang terukur pada perlakuan suhu fermentasi 25 o C tidak terlihat signifikan dibanding suhu 4 o C. Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa semakin tinggi suhu fermentasi tidak menyebabkan nilai ph semakin menurun. Hal ini diduga beragamnya mikroba yang hidup dalam kefir air termasuk khamir mempengaruhi nilai ph yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

27 Gambar 6. Grafik nilai ph kefir air pada berbagai suhu fermentasi Dari Gambar 6, kadar ph kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C, mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing suhu yaitu y = -0065x dan y = x +7.16, yang menyatakan bahwa kadar ph pada kefir air pada suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami penurunan sebesar dan tiap 12 hari dengan masing-masing nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni dan Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu fermentasi dengan nilai ph. Korelasi yang lemah pada suhu fermentasi 4 o C diduga karena kondisi suhu yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga penurunan nilai ph terlihat rendah atau lambat. Sedangkan pada suhu fermentasi 25 o C, mikroba yang hidup dapat tumbuh lebih cepat, sehingga dapat menghasilkan produk yakni asam laktat lebih cepat pula, sehingga penurunannya terlihat kuat atau tahan. Yusmarini dan Efendi (2004), bahwa semakin banyak sumber gula yang dapat dimetabolisme, maka semakin banyak pula asam-asam organik yang dihasilkan, sehingga ph juga akan semakin rendah. Fermentasi asam laktat dapat terhenti dengan menurunnya nilai ph, namun khamir masih dapat hidup dalam lingkungan ph rendah untuk memfermentasikan gula menjadi alkohol. Oleh karena itu, jika kefir air difermentasi lebih lama, dapat memungkinkan bertambahnya kadar alkohol dan juga dapat memicu timbulnya kontaminasi mikroba lain yang dapat menimbulkan toksik bagi yang mengkonsumsinya Pengaruh suhu fermentasi terhadap total mikroba Tabel 6. Nilai rata-rata total mikroba kefir air pada berbagai suhu fermentasi Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan berbeda nyata pada α = Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada perlakuan berbagai suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap total mikroba (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka perlakuan A1 berbeda nyata dengan A2. Hal ini diduga pada suhu 25 o C lebih sesuai untuk pertumbuhan mikroba yang terdapat pada kefir air, sehingga mikroba terus berkembang biak dan jumlahnya semakin banyak seiring dengan bertambahnya hari, yang menyebabkan hasilnya terlihat signifikan dibanding suhu fermentasi 4 o C. Menurut Buckle (1987), suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan cara apabila suhu mengalami kenaikan sekitar suhu optimalnya, kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat sedangkan bila suhu turun sekitar suhu optimalnya, kecepatan metabolisme akan menurun dan pertumbuhan juga diperlambat. Menurut Winarno (2002), menyebutkan bahwa 16 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

28 setiap penurunan suhu 8 C akan membuat kecepatan reaksi berkurang menjadi setengahnya. (1992), kecepatan pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh suhu, dimana kecepatannya akan semakin menurun dengan menurunnya suhu. Gambar 7. Grafik total mikroba kefir air pada berbagai suhu fermentasi 3.7. Pengaruh suhu fermentasi terhadap total khamir Tabel 7. Nilai rata-rata total khamir kefir air pada berbagai suhu fermentasi Dari Gambar 7, total mikroba kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C, mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing suhu yaitu y = 98910x dan y = 3E+07x 5E+07, yang menyatakan bahwa total mikroba pada kefir air pada suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami kenaikan sebesar 98,910 koloni/ml dan 3x10 7 koloni/ml tiap hari dengan masing-masing nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.05 dan Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu fermentasi dengan total mikroba. Selama fermentasi, rata-rata total mikroba pada suhu 4 o C dan 25 o C mengalami kenaikan tiap hari. Namun pada suhu 25 o C, kenaikannya lebih kuat dibanding suhu 4 o C. Hal ini diduga pada suhu 25 o C, mikroba yang terdapat pada kefir air lebih cocok untuk bertahan hidup, sehingga mikroba dapat terus aktif dan terus berkembang biak lebih cepat dibandingkan suhu 4 o C yang diduga mikroba di dalamnya cukup terhambat akibat suhu yang dingin, yang menyebabkan pertumbuhan dan jumlah produk yang dihasilkan kurang optimal. Hal ini membuktikan bahwa jika waktu fermentasi diperpanjang maka total mikroba mengalami peningkatan. Menurut Fardiaz B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada α = Dari hasil nalisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph (p > 0.05). Hal ini diduga khamir dapat hidup walaupun dibawah suhu optimumnya. Pada dasarnya, jumlah khamir lebih banyak pada suhu 25 o C, namun hasilnya tidak signifikan terhadap 4 o C. Menurut Rahman (1989), khamir mempunyai suhu pertumbuhan optimum pada 20 o C-30 o C. Gambar 8. Grafik total khamir kefir air pada berbagai suhu fermentasi Dari Gambar 8, total khamir kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing suhu yaitu y = 24619x

29 dan y = 2E+08x - 4E+08, yang menyatakan bahwa total khamir pada kefir air pada suhu fermentasi 4 o C dan 25 o C mengalami kenaikan sebesar 24,619 koloni/ml dan 2x10 8 koloni/ml tiap hari dengan masing-masing nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni dan Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang lemah sampai sedang antara waktu fermentasi dengan total khamir. Hal ini diduga pada suhu 25 o C khamir lebih banyak yang hidup, maka dengan bertambahnya masa sel, khamir pun mengalami persaingan hidup, sehingga kenaikannya lemah dibandingkan pada suhu 4 o C walaupun pengarunya kecil namun terus mengalami kenaikan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, karakteristik kimiawi kefir air dengan berbagai konsentrasi larutan gula memberikan pengaruh terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, namun tidak memberikan pengaruh terhadap total asam tertitrasi dan nilai ph selama 72 jam. Oleh karena itu, untuk efisiensi bahan dalam pembuatan kefir air, maka dapat digunakan konsentrasi larutan gula 2%. Namun untuk menambah rasa manis, dapat dipilih konsentrasi larutan gula 5%; 8%; atau 11%. Dari pengamatan waktu fermentasi, diketahui bahwa dengan bertambah lamanya waktu fermantasi, maka total padatan terlarut mengalami penurunan dengan hubungan linear yang lemah, kadar gula turun dengan hubungan linear yang kuat, total asam meningkat dengan hubungan linear kuat, dan ph menurun dengan hubungan linear sangat kuat. Dengan merujuk pada ph kefir yang layak dikonsumsi yakni 4.6, maka kefir air dengan konsentrasi larutan gula 2% layak dikonsumsi tidak lebih dari 79 jam fermentasi. Sedangkan kefir air dengan konsentrasi larutan gula 5%; 8%; dan 11% masing-masing layak dikonsumsi tidak lebih dari 73 jam; 81 jam; dan 78 jam fermentasi. 5. SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada kefir air dengan menguji kadar alkohol tiap 12 jam. Selain itu, dilakukan penggantian sumber nutrisi seperti buah-buahan atau umbiumbian. DAFTAR REFERENSI [1] Angulo, et al In: Abraham, A.G. and De Antoni, G.A Characterization of Kefir Grains Grow in Cow s Milk and Soya Milk. Journal of Diary Reasearch 66 [2]: (Diakses tanggal 23 Mei 2011). [2] Anonim Pengetahuan Bahan Pangan, Amankan Pangan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. BPOM. Jakarta. [3] Anonim Algae Kristal Jepang Kaya Akan Manfaat. (Diakses tanggal 11 Mei 2011). [4] Anonim Air Minum. (Diakses tanggal 7 Juni 2011). [5] Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S Analisis Pangan. IPB-Press, Bogor. [6] Beccary Crystal Algae. (Diakses tanggal 11 Mei 2011). [7] Bottazi Other Fermented Dairy Products. In: Biotechnology. Fifth volume. Rehm, H.J. and Reed, G. (ed.). Reed, G. (vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel. 18 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

30 Penelitian PERBEDAAN PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA GURU SEKOLAH DASAR OBES SENTRAL DAN NON- OBES SENTRAL BERDASARKAN LINGKAR PERUT Qonita Rachmah 1 1 Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK Obesitas atau berat badan lebih merupakan salah satu masalah gizi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas dan obesitas sentral di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 19,1% dan 18,8%. Obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindrom metabolik pada populasi guru SD obes-sentral (lingkar perut laki-laki 90 cm; perempuan 80 cm). Penelitian dilakukan pada guru SD di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Status obesitas sentral diukur menggunakan lingkar perut sedangkan sindrom metabolik menggunakan pengambilan sampel darah responden (kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa), pengukuran lingkar pinggang, dan tekanan darah. Jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 guru SD obes sentral dan 30 guru SD non obes-sentral. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindorm metabolic yaitu uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan 16 (26,7%) guru SD obesitas sentral mengalami sindrom metabolik dan hanya 1 (1,7%) guru SD non-obesitas sentral yang mengalami sindrom metabolik berdasarkan kriteria NCEP ATP III modifikasi asia pasifik. Secara statistik juga terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik (p=0.000; OR=33,14; CI 95%). Dapat disimpulkan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik pada guru. Kata kunci: lingkar perut, sindrom metabolik, guru SD ABSTRACT Obesity is one of the nutrition issue in developing countries, including Indonesia. The prevalence of obesity and central obesity in Indonesia is quite high at 19,1% and 18,8%. Central obesity is closely associated with metabolic syndrome. This study aims to determine the differences of metabolic syndrome proportion among central-obese (abdominal circumference of male 90 cm; women 80 cm) and non-central obese elementary school teachers. The study was conducted at school in District Cilandak, South Jakarta. Central-obese status was measured by using abdominal circumference, while metabolic syndrome was determined by using blood sample (HDL cholesterol, trygliceride, fasting glucose), waist circumference measurements, and blood pressure.total sample are 60, each population represent by 30 respondents. Chi square test is used to determine the difference of metabolic syndrome proportion in both population. The result shows that 16 (26,7%) central-obese teachers were having metabolic syndrome and only 1 (1,7%) non-central obese elementary school teachers were having metabolic syndrome based on NCEP ATP III Asia- Pasific modification criteria. There was also a statistically significant correlation between central obesity with metabolic syndrome (p=0.000; OR=33.14; 95% CI). It can be concluded that central obesity is more associated with metabolic syndrome in teachers. Keywords: abdominal circumference, metabolic syndrome, elementary school teacher B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

31 2. PENDAHULUAN Pola hidup masyarakat perkotaan saat ini mulai mengalami modernisasi ke arah yang lebih instan. Perubahan pola hidup tersebut akan berdampak pada terjadinya masalah kesehatan, seperti penyakit degeneratif yang masih menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan sekitar 60% mortalitas disebabkan oleh penyakit degeneratif. Penyebab utama terjadinya penyakit degeneratif adalah munculnya sindrom metabolik. Orang dengan sindrom metabolik akan berisiko tiga kali lebih besar mengalami serangan jantung/stroke dan dua kali lebih berisiko untuk meninggal dibandingkan orang tanpa sindrom metabolik. (1) Sindrom metabolik didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kelainan metabolik yang meliputi minimal tiga dari lima kondisi berikut; lingkar pinggang di atas normal, kenaikan kadar glukosa plasma, penurunan kadar kolesterol HDL, tekanan darah yang tinggi (hipertensi), dan kenaikan kadar trigliserida (NCEP-ATP III, 2001). Prevalensi sindrom metabolik diberbagai belahan dunia sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat, berdasarkan kriteria NCEP-ATP III, prevalensi di seluruh dunia berkisar antara 15-30%, (2) pada populasi Asia berkisar antara 10-15%. (3) Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2004 prevalensinya mencapai 24,4% (Himpunan Studi Obesitas Indonesia) dan di DKI Jakarta pada tahun 2006 menunjukkan prevalensi sindrom metabolik yang lebih besar yaitu sebesar 28,4%. (4) Salah satu faktor utama munculnya sindrom metabolik adalah kondisi obesitas sentral. Obesitas sentral merupakan kondisi terjadinya penimbunan lemak pada jaringan adiposa yang berada di daerah abdominal. Obesitas sentral dapat diukur menggunakan lingkar perut dan lingkar pinggang. Namun, lingkar perut prediktor yang lebih baik untuk menentukan risiko sindrom metabolik dibandingkan RLPP maupun IMT. (5) Walaupun sindrom metabolik sering ditemukan pada individu dengan obesitas sentral, namun sindrom metabolik juga dapat dialami oleh individu normal atau non-obesitas sentral. Profesi guru SD merupakan profesi yang tidak menuntut aktivitas fisik terlalu berat dengan jam kerja yang lebih sedikit dibandingkan guru SMP/SMA dan juga menjadi panutan bagi siswa sekolah dasar dalam hal penanaman nilai-nilai positif termasuk dalam hal kesehatan. Apabila guru tidak memiliki perilaku maupun kondisi kesehatan yang baik, maka dapat berdampak pada produktivitas dan perilaku kesehatan murid yang kurang baik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi sindrom metabolik serta perbedaan proporsinya pada guru SD obesitas sentral dan non-obesitas sentral. 2. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi cross sectional yang dilakukan pada guru sekolah dasar di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Populasi studi pada penelitian ini yaitu guru sekolah dasar yang bekerja di sekolah dasar yang tersebar di wilayah Lebak Bulus dan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Sedangkan sampel penelitian yaitu guru SD yang berusia di atas 20 tahun dan bekerja di wilayah penelitian. Jumlah responden yaitu 30 guru SD obesitas sentral 20 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

32 dan 30 guru SD non-obesitas sentral, sehingga total responden yaitu 60 orang. Data sekunder yang dikumpulkan pada penelitian ini yaitu database guru SD di wilayah penelitian, sedangkan data primer meliputi karakteristik individu (jenis kelamin, usia), lingkar perut, profil lipid darah (HDL dan trigliserida), serta kadar gula darah puasa. Pengambilan data dilakukan secara langsung kepada responden dengan cara wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan biokimia darah. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret-April 2013 oleh peneliti dan tiga orang asisten yang merupakan mahasiswa program studi gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner yang berisi informed consent serta data karakteristik individu, pita ukur dengan skala 0,1 cm merk seca untuk mengukur lingkar perut, alat ukur tekanan darah air raksa (sphygomamometer), dan alat ukur gula darah dan profil lipid (kolesterol HDL dan trigliserida) untuk mendeteksi sindrom metabolik. Pengukuran lingkar perut dilakukan pada daerah perut dengan melilitkan pita ukur pada lokasi dua jari dibawah pusar, responden diwajibkan membuka pakaian/ celana pada bagian tersebut untuk menjaga akurasi pengukuran. Hasil pengukuran lingkar perut dalam sentimeter. Selain itu, responden juga diminta untuk berpuasa selama 8-10 jam sebelum pengambilan sampel darah. Responden juga tidak dianjurkan meminum obat kecuali atas anjuran dokter dan diinformasikan kepada petugas serta tidak merokok, dan berolahraga sebelum pengambilan sampel darah. Sampel darah diambil dari vena di daerah Fossa Cubiti. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 Pengolahan data menggunakan perangkat lunak khusus. Analisis deskriptif yang disajikan meliputi karakteristik individu serta sindrom metabolik pada guru SD obesitas sentral dan non-obesitas sentral. Perbedaan proporsi sindrom metabolik pada kedua populasi dianalisis menggunakan uji chi square. Sebelum melakukan pengambilan data, penelitian ini telah lulus sidang kaji etik dan mendapatkan izin dari Komisi Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 25 April HASIL Responden dalam penelitian ini yaitu guru SD di wilayah Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan berusia di atas 20 tahun. Responden perempuan (63%) lebih banyak dibandingkan laki-laki (37%). Guru SD yang mengalami obes sentral lebih banyak berjenis kelamin perempuan (43,4%) dibandingkan laki-laki (6,7%). Rata-rata responden berusia 45 tahun dengan modus 36 tahun, median 48 tahun, dan SD +9,613. Guru SD yang mengalami obesitas sentral lebih banyak berada pada range usia tahun (50,0%) dibandingkan pada usia >51 tahun. Tabel 1 menggambarkan karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Variabel Guru SD Obes Sentral (n=30) Guru SD non-obes Sentral (n=30) n % n % Jenis Kelamin Perempuan 26 43, ,0 Laki-laki 4 6, ,0 Usia th 0 0,0 6 10,0 21

33 31-40 th 2 3,3 8 13, th 9 31, , th 19 50,0 5 8,3 Hasil analisis terhadap kriteria sindrom metabolik yaitu lingkar pinggang, kadar kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa, dan tekanan darah ditunjukkan pada tabel 2. Kriteria sindrom metabolik yang paling banyak dialami yaitu kadar kolesterol HDL rendah (45,0%), lalu diikuti oleh hipertensi (38,3%), lingkar pinggang tinggi (35%), kadar trigliserida tinggi (33,3%), dan terakhir yaitu gula darah puasa tinggi (15%). Rata-rata responden memiliki lingkar pinggang 80 cm dengan modus 86,5 cm, median 81,3 cm, dan SD +1,017. Semua responden dengan lingkar pinggang tinggi (35,0%) merupakan guru SD yang obessentral. Untuk kadar kolesterol HDL, rataratanya yaitu 49,9 mg/dl dengan modus 45, median 48 mg/dl, dan SD +10,61. Kadar K- HDL rendah lebih tinggi pada kelompok guru SD obes-sentral (21,7%) dibandingkan pada kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kriteria Sindrom Metabolik* Guru SD Guru SD non- Obes Obes Sentral Variabel Sentral (n=30) (n=30) n % n % Lingkar Pinggang (cm) >90/> ,0 0 0,0 <90/< , ,0 K- HDL (mg/dl) <40/< ,7 8 13,3 >40/> , ,7 Trigliserida (mg/dl) > ,0 8 13,3 < , ,7 Gula Darah Puasa (mg/dl) > ,0 3 5,0 < , ,0 Tekanan darah (mmhg) >130/ ,0 5 8,3 <130/ , ,7 *) kriteria sindrom metabolik berdasarkan NCEP ATP III modifikasi Asia-Pasifik, Kemudian rata-rata kadar trigliserida 118,52 mg/dl, median 95,50 mg/dl, modus 58 mg/dl, dan SD +62,35. Kadar trigliserida tinggi juga lebih tinggi pada kelompok guru SD obes sentral (20,0%) dibandingkan pada kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%). Rata-rata untuk kadar gula darah puasa 101,17 mg/dl dengan modus 86 mg/dl, median 89 mg/dl, serta SD +10,61. Sama seperti beberapa kriteria sindrom metabolik lainnya, gula darah puasa yang tinggi lebih banyak ditemukan pada guru SD obes-sentral (10,0%) daripada guru SD non-obes sentral (5,0%). Rata-rata tekanan sistol yaitu 121 mmhg dengan modus 110 mmhg, median 119 mmhg, dan SD +16,41, sedangkan rata-rata tekanan diastol yaitu 78 mmhg dengan modus 70 mmhg, median 79 mmhg, dan SD +9,24. Semua responden dengan lingkar pinggang tinggi (35,0%) merupakan guru SD yang obessentral. Guru SD obes-sentral yang mengalami hipertensi (30,0%) lebh banyak dibandingkan guru SD non-obes sentral (8,3%). Berdasarkann kriteria NCEP ATP III modifikasi Asia Pasifik, (6) didapatkan 17 guru SD (28,4%) termasuk dalam kondisi sindrom metabolik, sedangkan 43 guru SD (71,7%) tidak termasuk dalam kondisi sindrom metabolik. Sebaran sindrom metabolik lebih banyak terjadi pada perempuan, yaitu 12 dari 38 responden (31,6%), sedangkan pada lakilaki hanya 5 dari 22 responden (22,7%). Berdasarkan usia, sebarannya paling banyak 22 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

34 terjadi pada rentang usia tahun (54,1%), diikuti rentang usia tahun (15%), dan tahun (10,0%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sindrom Metabolik pada Kedua Kelompok Variabel Sindrom Metabolik P Ya Tidak value n % n % GuruSD 16 26, ,3 0,000 Obes Sentral Non-Obes Sentral 1 1, ,3 Pada tabel 3 dapat dilihat sebaran sindrom metabolik pada kelompok guru SD obes-sentral dan kelompok guru SD non-obes sentral. Dapat dilihat bahwa sindrom metabolik pada kelompok guru SD obes sentral (26,7%) lebih tinggi dibandingkan pada kelompok guru SD non-obes sentral. Hasil uji statistik juga menunukkan adanya hubungan yang bermakna antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik, nilai p=0, PEMBAHASAN Berdasarkan NCEP-ATP III, kriteria diagnosis sindrom metabolik ditegakkan jika seseorang mengalami minimal tiga dari lima kondisi yaitu lingkar pinggang di atas normal, hipertensi, hipertrigliseridemia, K-HDL rendah, dan gula darah puasa tinggi. Pada penelitian ini, didapatkan 17 dari 60 guru SD (28,4%) yang mengalami sindrom metabolik. Prevalensi tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lain, misalnya populasi PNS di Depok (23,8%), (7) populasi etnis minang Padang, Sumatera Barat (22,8%), (8) populasi kelompok eksekutif di Jakarta (21,6%), (9) Semarang (16,6%). (10) dan populasi dewasa di Prevalensi sindrom metabolik pada guru SD lebih banyak pada perempuan (31,6%) dibandingkan pada laki-laki (22,7%) dan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia tahun prevalensinya hanya 1,7%, dan meningkat pada usia tahun yaitu 5,0%, dan paling tinggi pada usia tahun (21,7%). Usia dan jenis kelamin memang memiliki peran penting dalam terjadinya sindrom metabolik. Semakin bertambahnya usia, maka risiko terjadinya sindrom metabolik akan semakin meningkat. (11) Seiring dengan terjadinya proses penuaan, terjadi proses alami peningkatan lemak tubuh yang signifikan terjadi di atas usia 30 tahun. Selain itu, kekuatan pembakaran energi juga menurun sebanyak 5% dan menurun 10% setiap 10 tahun, sehingga lebih sedikit kalori yang dapat dibakar dan menyebabkan lebih banyak kalori disimpan sebagai lemak dalam tubuh jika tidak diikuti dengan aktivitas fisik. Peningkatan usia juga menyebabkan penurunan jumlah jaringan otot jika jaringan lemak meningkat. (12) Peningkatan jaringan lemak membawa dampak pada akumulasi asam lemak bebas di dalam tubuh, sehingga usia tua lebih berisiko mengalami sindrom metabolik. Pada perempuan, risiko sindrom metabolik meningkat setelah menopause. Saat mengalami menopause, konsentrasi hormon estrogen akan menurun dan menyebabkan peningkatan jumlah lemak, terutama lemak sentral. Selain itu, perempuan postmenopause juga memiliki persentasi trigliserida yang tinggi, sehingga seiring dengan bertambahnya usia dan efek menopause akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat. (13,14) Selain itu, perempuan B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

35 juga melewati proses kehamilan dimana proses tersebut memiliki kecenderungan untuk meningkatkan jaringan lemak dan meningkatkan berat badan yang memberi dampak akumulasi asam lemak bebasa dalam tubuh. (8) Secara statistik ditemukan perbedaan proporsi yang signifikan sindrom metabolik antara guru SD obes sentral dan guru SD nonobes sentral dengan p=0,000. Guru SD obes sentral berisiko hingga 33 kali lebih besar mengalami sindrom metabolik dibandingkan guru SD non-obes sentral (Odds Ratio = 33,134; 95% Confidence Interval 3, ,72). Hasil tersebut sejalan dengan studi Aerobics Center Longitudinal Study yang menyebutan bahwa lingkar perut merupakan komponen yang penting dalam menentukan sindrom metabolik. (15) Studi lain pada populasi pedesaan di Korea menyebutkan pengukuran lingkar perut memberi pengaruh yang positif terhadap kejadian sindrom metabolik. (16) Bahkan pada studi tersebut juga disebutkan bahwa hasil pengukuran lingkar perut sebaiknya mempertimbangkan faktor etnis dan regional, misalnya di Korea, The Korean Society for the Study of Obesity mengusulkan spesifik lingkar perut pada populasi korea sebesar 90 cm untuk laki-laki dan 85 cm untuk perempuan, sedangkan hasil penelitian lain di Jepang menyatakan estimasi optimal untuk mendeteksi sindrom metabolik melalui lingkar perut yaitu 85 cm pada laki-laki dan 75 cm pada perempuan. (17) Studi cross sectional lain di Jepang menyebutkan bahwa prevalensi sindrom metabolik meningkat seiring dengan peningkatan lingkar perut hingga 95 cm. Lingkar perut juga menjadi prediktor yang lebih baik untuk menentukan risiko sindrom metabolik dibandingkan RLPP maupun IMT. (5) Lingkar perut juga merupakan indikator untuk mengukur obesitas sentral atau penumpukan lemak pada daerah abdominal seperti lingkar pinggang, namun lingkar perut diukur pada 2 jari dibawah pusar sedangkan lingkar pinggang pada pertengahan antara ujung tulang iga dan suprailiak. Dengan cut off poin sesuai standart WHO (2000) (18) dan NCEP ATP III Asia Pasifik (2005) (6) yaitu 90 cm untuk laki-laki dan 80 cm untuk perempuan. Obesitas sentral memiliki konsekuensi yang tinggi terhadap peningkatan asam lemak bebas di sirkulasi, terlebih sel adiposit pada bagian abdominal berukuran lebih besar dan kurang peka terhadap kerja antilipolisis sehigga berdampak pada peningkatan produksi asam lemak bebas dan trigliserida, mempengaruhi penurunan kadar K-HDL dengan perantaraan enzim CETP (Cholesteryl Ester Transferase Protein). Selain itu, peningkatan trigliserida yang terakumulasi di hati dapat menyebabkan resistensi insulin. (19) 5. SIMPULAN Penelitian ini menemukan prevalensi sindrom metabolik pada guru SD yang cukup besar yaitu 24,6%. Hal tersebut telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya preventif. Perbedaan sindrom metabolik pada responden obes sentral dan non-obes sentral juga signifikan secara statistik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi obesitas sentral membawa dampak yang buruk terhadap manifestasi sindrom metabolik. Lingkar perut juga dapat menjadi pengkuran yang baik dan kuat untuk diagnosis sindrom metabolik. 24 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

36 6. SARAN Demi perkembangan penelitian sejenis lain, kedepannya penelitian dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, meneliti variabel lain, maupun menggunakan desain studi lain untuk mengetahui hubungan sebab akibat yang lebih jelas. DAFTAR PUSTAKA [1] Isomaa B, Almgren P, Tuomi T, dkk. Cardiovascular Morbidity and Mortality Associated With The Metabolic Syndrome. Diabetes Care 2001; 24: [2] Cameron AJ, JE. Shaw and PZ. Zimmet. The Metabolic Syndrome: Prevalence In Worldwide Populations. Endocrinol Metab Clin N Am 2004; 33: [3] Wen-Harn Pan. Epidemiology of Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17(S1): [4] Wen-Harn Pan. Epidemiology of Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17(S1): [5] Kato, Masayuki Yoshihiko Takahashi, Manami Inoue, Shoichiro Tsugane, Takashi Kadowaki, et al. Comparisons between anthropometric indices for predicting the metabolic syndrome in Japanese. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17 (2): [6] Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). JAMA 2011;285(19): [7] Anita, Betri. Hubungan karakteristik Individu, Asupan Makan dan Faktor Lainnya terhadap Sindrom Metabolik pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Depok tahun 2009[tesis]. Program Pascasarjana IKM FKM UI.; [8] Jalal, Fasli, dkk. Hubungan Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula Darah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis Minang di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Media Medika Indonesia 2008; 43(3): [9] Kamso, Sudijanto, Purwantyastuti, Dharmayati Utoro Lubis, dkk. Prevalensi dan Determinan Sindrom Metabolik pada B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 Kelompok Eksekutif di Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2011;6(2): [10] Suhartono T, Pemayan TG, Nugroho H, Darmono, &Djokomoeljanto. Prevalensi Sindrom Metabolik di Poliklinik Endokrin dan Poliklinik Jantung RS Dr. Kariadi dan di Pekajangan, Pekalongan. The metabolic syndrome (the MetS) anticipating life style related disease. Surabaya Metabolic Syndrome 2005, Surabaya; 2005.p [11] Grundy SM, Brewer HB, Cleemean JI, et al. Definiton of metabolic syndrome. Report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association Conference on Scientific Issues Related to Definition. Circulation 2004; 109: [12] Garrows JS, dkk. Human Nutrition And Dietetics. London. Churchill Livingstone; [13] Hee Man Kim, Jong Park, So Yeon Ryu, Jongoh Kim. The Effect of Menopause on the Metabolic Syndrome Among Korean Women; The Korean National Health and Nutrition Examination Survey year Diabetes Care 2007;30: [14] Harikedua, Vera T. Relation Between Nutrition Knowledge and Eating Behavior With Metabolic Syndrome Components in Religious Leaders at Manado Municipality [tesis]. The Graduate Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta.; [15] Katzmarzyk, Peter T., Ian Janssen, Robert Ross, Timothy S. Church, et al. The Importance of Waist Circumference in the Definition of Metabolic Syndrome Prospective Analyses of Mortality in Men. Diabetes Care 2006;29; [16] Hyun Koh, Jang, Sang Baek Koh, Mi Young Lee, Pil Moon Jung, Bo Hwan Kim, et al. Optimal Waist Circumference Cutoff Values for Metabolic Syndrome Diagnostic Criteria in a Korean Rural Population. J Korean Med Sci 2010;25: [17] Millen, Barbara E, Michael J Pencina, Ruth W Kimokoti, Lei Zhu, et al.reevaluation of Waist Circumference in Metabolic Syndrome: A Comparison between Japanese Men and Women. Acta Med Okayama 2007; 61(3): [18] WHO. Definition of Metabolic Syndrome in Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: Report of a WHO Consultation. Departement of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva

37 [19] Bray, George A. The Metabolic Syndrome and Obesity. United States of America. Humana Press Inc; B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

38 Penelitian BISKUIT MORINGA RIA SEBAGAI SUATU STRATEGI PENANGGULANGAN GIZI KURANG DAN GIZI BURUK PADA BALITA MISKIN BERBASIS MASYARAKAT Rudianto, 1 Ainum Jhariah Hidayah, 2 Irma Ariany Syam 3 1 Mahasiswa Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2 Mahasiswa Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, prevalensi balita yang mengalami gizi kurang sebesar 13% ( balita) dan malnutrisi 4,9% ( balita). Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, balita termasuk dalam kelompok rentan mengalami kelainan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sebab mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari kekurangan gizi ini, balita akan rentan terhadap penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian balita. Studi pustaka ini bertujuan memberikan solusi terhadap permasalahan gizi yang terjadi pada balita di Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa Ria sebagai salah satu strategi penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin di masyarakat. Biskuit Moringa Ria adalah biskuit dengan tambahan kelor. Biskuit ini mengandung gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang dapat mecukupi kebutuhan harian balita pada porsi tertentu. Dalam upaya penanggulangan masalah gizi balita, biskuit ini dapat diberikan melalui program pemberian makanan tambahan secara gratis. Dengan adanya biskuit ini diharapkan permasalahan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia dapat tertanggulangi tanpa harus mengeluarkan anggaran yang besar, sehingga pencapaian Indonesia sehat dapat segera terwujud. Kata kunci: gizi balita, daun kelor, biskuit ABSTRACT Based on Health Research Association in 2010, the prevalence of toddler suffering poor nutrition is 13 % (2,947,368 toddlers) and malnutrition 4.9 % (906,882 toddles). Terms of the health and nutrition problems, toddler included in the nutrition of vulnerable groups are the social group most easily suffers nutritional disorders, because they are undergoing a process of relatively rapid growth. As a result of malnutrition, the toddler will be susceptible to infectious diseases that can lead to increased child mortality. This literature review aims to provide a solution to the nutritional problems that occur in toddler in Indonesia through the provision of Moringa biscuit as one coping strategies malnutrition and malnutrition in toddler in poor communities. Moringa Ria biscuits are biscuits with Moringa extract. These biscuits contain macro nutrients such as carbohydrates, proteins, and fats that can daily supplicant s toddler at a certain serving. In the response to nutritional problems, these biscuits can be provided through supplementary feeding programs for free. Given these biscuits expected problems of malnutrition and malnutrition in Indonesia can be overcome without having to spend a huge budget, so that the achievement of a healthy Indonesia may soon be realized. Keywords: toddler nutrition, Moringa leaves, biscuit B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

39 1. PENDAHULUAN Tantangan pembangunan suatu bangsa adalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Upaya pengembangan kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat menjangkau semua sasaran yang membutuhkan layanan. (1) Status gizi dan kesehatan merupakan salah satu faktor dari tiga faktor utama yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), selain pendidikan dan pendapatan. (2) Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. (3) Apabila jumlah zat gizi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan gizi tubuh maka dapat menimbulkan masalah gizi yaitu gizi kurang dan gizi buruk. Gizi kurang terjadi apabila asupan gizi lebih rendah dari yang dibutuhkan tubuh, sedangkan gizi buruk terjadi apabila asupan gizi sangat rendah. Indonesia saat ini sedang mengalami masalah gizi yang cukup memperihatinkan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010, prevalensi balita yang mengalami gizi kurang sebesar 13% ( balita) dan gizi buruk 4,9% ( balita). (4) Oleh karenanya diperlukan penanganan khusus secara menyeluruh dalam upaya penanganan masalah tersebut. Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, balita termasuk dalam kelompok rentan gizi yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, sebab pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari kekurangan gizi ini, kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian balita. (5) Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun, sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 jumlah balita di Indonesia adalah (6) United Nations Children s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita. (7) Menurut UNICEF 1998 penyebab utama gizi kurang dan gizi buruk adalah kemiskinan. Masih banyaknya jumlah keluarga yang miskin di Indonesia mengakibatkan kurangnya atau tidak mampunya suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bagi balitanya dan akhirnya terjadilah gizi kurang dan gizi buruk pada balita. Seharusnya, balita tersebut diberi asupan gizi yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal. Tingginya jumlah gizi kurang dan gizi buruk pada balita di Indonesia memiliki kolerasi dengan tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah penduduk miskin di indonesia. (9) Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2010, jumlah penduduk 28 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

40 miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02 juta (13,33%). (6) Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangakan formula Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang lebih bermutu dan bernutrisi tinggi bagi balita gizi kurang dan gizi buruk yang berasal dari keluarga miskin. Tujuan dari studi pustaka ini yaitu untuk memberikan solusi terhadap permasalahan gizi yang terjadi pada balita di Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa Ria sebagai suatu strategi penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin berbasis masyarakat. Manfaat dari biskuit Moringa Ria ini adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan balita dengan terpenuhinya kebutuhan zat-zat gizi pada balita serta dapat dijadikan sebagai rekomendasi pemerintah untuk menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita di Indonesia. Manfaat lain yang dapat diperoleh pemerintah adalah anggaran yang dikeluarkan untuk membuat biskuit kelor akan lebih murah dari pada program penanggulangan yang telah dilakukan hingga saat ini. Selain itu, masyarakat dapat memanfaatkan tanaman kelor menjadi bahan pangan yang kaya nutrisi untuk memperbaiki status gizi masyarakat. 2. PEMBAHASAN Biskuit Moringa Ria adalah biskuit dengan tambahan kelor sebagai suatu strategi penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin berbasis masyarakat merupakan suatu ide baru yang penulis tawarkan bertujuan untuk menanggulangi dan B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 mencegah gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin melalui pemberian makanan tambahan secara gratis berupa biskuit kelor terfortifikasi. Strategi penanggulangan berbasis masyarakat artinya, masyarakat (Ibu dari balita yang mengalami masalah gizi) juga terlibat dalam proses penanggulangan masalah gizi tersebut yang mana program ini dapat secara terus menerus dilakukan dengan dua cara. Pertama, biskuit kelor sebagai makanan tambahan diberikan gratis oleh pemerintah selama 90 hari (sesuai dengan aturan Depkes RI tahun 2000) hingga balita tersebut sembuh dari gizi kurang dan gizi buruk. (7) Kedua, sebagai bentuk pencegahan agar balita tersebut tidak lagi menderita masalah gizi kurang ataupun gizi buruk, maka Ibu dari balita tersebut diberi pelatihan cara membuat biskuit kelor terfortifikasi dengan pengolahan bahan pangan lokal (kelor) sehingga status gizi balita tetap sehat. Pemilihan tanaman kelor sebagai bahan pagan kaya nutrisi berdasarkan dari hasil penelitian Lowell Fuglie pada tahun 2000 tentang kandungan nutrisi daun kelor yang dapat bermanfaat untuk perbaikan gizi. Hasil penelitian tersebut menjadi landasan pemanfaatan tanaman kelor untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. (8) Tanaman kelor (Moringa oleifera) adalah tanaman ordo brassicales yang merupakan tanaman berkayu yang sangat mudah tumbuh, dengan tinggi mencapai 7-12 meter dan diameter batangnya mencapai sentimeter. Tanaman kelor ini tersebar di daerah tropis sehingga mudah ditemukan. Tanaman kelor mengandung nutrisi yang tinggi dan sangat bermanfaat untuk perbaikan gizi. (8) 29

41 Tanaman ini dapat diolah menjadi sumber makanan untuk mencegah dan mengatasi gizi kurang dan gizi buruk. Kandungan gizi tanaman kelor lebih unggul dibandingkan dengan bahan gizi yang biasa di konsumsi masyarakat selama ini. Dari suatu penelitian menunjukan bahwa kandungan gizi daun kelor segar (lalapan), setara dengan; 4 kali vitamin A yang dikandung wortel, 7 kali vitamin C yang terkandung pada jeruk, 4 kali mineral kalsium dari susu, 3 kali mineral potassium pada pisang, 3/4 kali zat besi pada bayam, dan 2 kali protein dari yogurt. Sedangkan kandungan gizi daun kelor yang dikeringkan setara dengan; 10 kali vitamin A yang dikandung wortel, 1/2 kali vitamin C yang terkandung pada jeruk, 17 kali mineral kalsium dari susu, 15 kali mineral potassium pada pisang, 25 kali zat besi pada bayam, dan 9 kali protein dari yogurt. (8) Biskuit Moringa Ria dipilih sebagai makanan tambahan untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk pada balita karena kandungan gizinya yang begitu tinggi mampu memenuhi kebutuhan gizi makro dan gizi mikro untuk mencegah dan mengatasi kekurangan gizi pada balita. Kebutuhan gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak dapat mecukupi kebutuhan harian balita dengan mengonsumsi biskuit kelor pada dosis tertentu sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Selain itu, biskuit Moringa Ria dapat mencukupi kebutuhan gizi mikro seperti vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin E, zat besi untuk mengatasi anemia gizi, kalsium untuk pertumbuhan balita dan asam amino esensial lainnya. Biskuit Moringa Ria merupakan makanan tambahan bagi balita yang dapat dijadikan bubur dengan cara diseduh dengan air ataupun dimakan langsung. Karena kandungan gizi biskuit Moringa Ria telah lengkap maka biskuit kelor dapat dijadikan sebagai pengganti susu formula dan minuman mix (minuman yang mengandung mineralmineral untuk mengatasi dehidrasi pada balita yang mengalami gizi buruk). Dengan begitu anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membuat biskuit kelor akan lebih murah dari pada program penanggulangan yang telah dilakukan hingga saat ini. Selain mengatasi gizi buruk dan gizi kurang pada balita, biskuit Moringa Ria juga merupakan alternatif untuk mencegah berbagai penyakit pada balita, seperti penyakit xeroptalmia dan rabun senja yaitu penyakit mata sebagai akibat Kurang Vitamin A (KVA), mencegah penyakit anemia gizi karena kekurangan zat besi, mencegah penyakit gondok akibat kekurangan zat iodium. Komposisi biskuit Moringa Ria disesuaikan dengan jumlah energi dan protein yang harus diberikan kepada balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk sesuai dengan formula yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu pemberian makanan tambahan dengan jumlah energi 100 kkal/kg berat badan/hari, protein 1 1,5 g/kg berat badan/hari. Artinya perhitungan jumlah energi yang harus diberikan kepada balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dalam sehari adalah berat badan balita dikali dengan 100 kkal, sedangkan jumlah protein yang harus diberikan dalam sehari adalah berat badan balita dikali dengan 1 1,5 g. Komposisi dalam setiap potong biskuit mengandung 100 kkal energi dan 2,4 g protein. Adapun analisis berdasarkan kompo- 30 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

42 Tabel 1. Kandungan Gizi Tanaman Kelor Tiap 100 gram Nutrien Biji Daun Tepung daun Kada air (%) Kalori Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Mineral (g) Ca (mg) ,003 Mg (mg) P (mg) K (mg) ,324 Cu (mg) Fe (mg) S (mg) Asam oksalat (mg) % Vitamin A - B karoten (mg) Vitamin B-choline (mg) Vitamin B1-tia min (mg) Vitamin B2 riboflavin-(mg) Vitamin B3-asam nikotinat (mg) Vitamin C-asam askorbat (mg) Vitamin E-tokoferol asetat (mg) Arginin (g/16g N) % Histidin (g/16g N) % Lisin (g/16g N) % Triptofan (g/16g N) % Phenylanaline (g/16g N) % Metionin (g/16g N) % Treonin (g/16g N) % Leusin (g/16g N) % Isoleusin (g/16g N) % Valin (g/16g N) % Tabel 2. Perbandingan Kandungan Nutrisi Kelor dengan Sumber Nutrisi Nabati Lainnya (per 100g bagian dimakan) Daun Daun Kacangkacangan Singkong Waloh Daun Daun Nutrien Kacang Lobak Daun Kelor panjang (Turnip) Energi(Kcal) Protein(g) VitaminA (i.u) Vitamin C(mg) Calsium (mg) B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

43 No. Tabel 3. Komposisi Setiap Potong Biskuit Moringa Ria (42 gram) Komposisi gram tepung beras gram daun kelor 3. 2 gram gula pasir Jumlah Jumlah Energi (kkal) Protein (g) 72,6 1,1 19,4 1,3 8 - Total 100 kkal 2,4 gram -sisi biskuit kelor terfortifikasi akan dijabarkan di dalam tabel 3. Berdasarkan tabel 3 maka biskuit kelor dapat mencukupi kebutuhan energi dan protein bagi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Sehingga dengan pemberian biskuit kelor terfortifikasi sebagai makanan tambahan dapat mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin. Adapun jumlah pemberian biskuit kelor pada balita yang mengalami gizi kurang dan gizi disesuaikan dengan berat badan balita. 3. SIMPULAN Tanaman kelor yang selama ini dikenal sebagai tanaman pagar mengandung zat-zat gizi makro dan mikro yang sangat tinggi. Kehadiran kelor sebagai tanaman kaya nutrisi dapat dijadikan sebagai jawababan untuk mengatasi masalah gizi kurang gizi buruk pada balita di Indonesia. Tanaman kelor yang kaya dengan nutrisi dapat diolah menjadi biskuit kelor sebagai makanan tambahan bagi balita untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk pada balita. Dengan pemberian biskuit kelor terfortifikasi secara gratis bagi balita dari keluarga miskin, diharapkan mampu menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia, proses pertumbuhan dan perkembangan balita berlangsung secara optimal, meningkakan intelegensi balita, dan membantu pemerintah dalam penekanan biaya penanggulangan permasalahan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia, sehingga pencapaian Indonesia sehat dapat segera terwujud. 4. SARAN Perlu dilakukan uji organoleptik dan penelitian lanjutan mengenai Biskuit Moringa Ria/Biskuit kelor dalam mengatasi masalah gizi kurang gizi buruk pada balita di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [1] Depkes RI. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi Diluncurkan; [diakses 19 Agustus 2013]. Available from: [2] AzwarA. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Depan. Jakarta: Derjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan; [diakses 20 Agustus 2013]. Available from: [3] Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan 9. Jakarta: PT SUN; [4] Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; [diakses 19 Agustus 2013]. Available from: [5] Soegeng S, Ann L Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta; [6] Badan Pusat Statistik. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi ; 2010 [7] Departemen Kesehatan R.I. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi. Jakarta: Dirjen Binakesmas Depkes R.I.; [8] Fuglie LJ. New Uses of Moringa Studied in Nicaragua. ECHO Development Notes #68, June Available from: hp?name=news&file=articlid=194backer CA, van der Brink RCB. Flora of Java vol II. Groningen: N.V.P. Noorfhoff; 1963 [9] Unicef The State of The World s Children [10] Suwahyono, Untung. Khasiat Ajaib si Pohon Gaib. Yogyakarta: Andi Offset; B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

44 Advertorial SUSHI BERBAHAN BERAS JAGUNG PULUT: PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN GUNA MEMANFAATKAN POTENSI LOKAL SULAWESI SELATAN Ainum Jhariah Hidayah, 1 Irma Ariany Syam, 2 Sri Rahayu Indah S 3 1 Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar 2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar 3 Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Diversifikasi pangan merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengedepankan pangan unggulan lokal. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penghasil utama jagung di Indonesia, jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras, pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,76% bila dibandingkan dengan produktivitas jagung pada tahun Jagung khas Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut merupakan jagung lokal dengan warna biji putih, rasa enak, gurih, dan pulen yang dapat dikonsumsi dalam berbagai jenis olahan. Studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui potensi sushi berbahan beras jagung pulut dapat mengembangkan diversifikasi pangan dan mengetahui peluang sushi ini sebagai tren di kalangan masyarakat. Sebagaimana kandungan nutrisi yang dimiliki jagung, menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam upaya penganekaragaman pangan berbahan baku. Jagung termasuk jagung pulut yang diolah menjadi beras jagung pulut sebagai bahan pembuatan sushi yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam menunjang diversifikasi pangan. Sushi berbahan beras jagung pulut ini menunjang dalam diversifikasi pangan karena jagung merupakan sumber kalori pengganti untuk dikonsumsi. Dengan demikian, sushi berbahan beras jagung pulut sangat berpotensi dalam upaya diversifikasi pangan dan mempunyai peluang menjadi tren di masyarakat karena disajikan dalam bentuk unik, bergizi dan harga lebih ekonomis. Kata kunci: diversifikasi pangan, jagung pulut, sushi ABSTRACT Food diversification is one of the cornerstones in realizing food security. Diversification can be done by promoting local food excellent. South Sulawesi is one of the major maize producing areas in Indonesia; maize is the second staple food after rice, in 2008, an increase of % when compared with the productivity of maize in South Sulawesi is typical corn corn sticky rice is a local maize seed with a white color, good taste, savory, and fluffier that can be consumed in a variety of preparations. This literature study aims to determine the potential know sushi rice made from sticky rice corn can develop diversification opportunities sushi and know this as a trend among the people. As the nutrient content owned corn, showed that strongly supports the efforts of diversification of food raw materials. Waxy corn including corn is processed into corn rice sticky rice as sushi making materials that allow it to be developed to support diversification. Waxy corn sushi rice is made to support the diversification of food because corn is a source of calories substitute for consumption. Thus, sushi made from sticky rice corn rice potential in diversification efforts and has the opportunity to be a trend in society as presented in the form of a unique, nutritious and more economical price. Keywords: diversification, corn sticky rice, sushi B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

45 1. PENDAHULUAN Konsumsi beras dunia rata-rata 60 kg per kapita per tahun. Namun demikian, konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per kapita per tahun pada tahun Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia dengan 80 kg per kapita per tahun, Thailand 90 kg per kapita per tahun, dan Jepang sebesar 60 kg per kapita per tahun. (1) Tingginya konsumsi beras di Indonesia tidak sebanding dengan produksi beras nasional. Oleh sebab itu, diperlukan diversifikasi pangan untuk menurunkan konsumsi beras perkapita. Diversifikasi pangan merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan ketahanan pangan dan sebagai solusi dalam mengurangi konsumsi beras. Salah satu diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengedepankan pangan unggulan lokal. Salah satu pangan unggulan lokal di Indonesia adalah jagung. Jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat di Indonesia. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penghasil utama jagung di Indonesia. Pada tahun 2008, daerah ini memiliki luas panen jagung ha, produksi ton dengan produktivitas 3,81 t/ha. Produktivitas tersebut mengalami peningkatan sebesar 10,76% dibandingkan dengan tahun 2004 yang mencapai produktivitas sebesar 3,44 t/ha. (2) Umumnya jenis jagung yang disenangi masyarakat untuk dikonsumsi sebagai pangan pokok adalah jagung putih varietas lokal. Salah satu jenis jagung putih varietas lokal adalah Jagung pulut (Waxy Corn). Jagung pulut merupakan jagung lokal khas Sulawesi Selatan dengan warna biji putih, rasa enak, gurih, dan pulen yang dapat dikonsumsi dalam berbagai jenis olahan makanan untuk mendukung diversifikasi pangan. (3) Diversifikasi konsumsi pangan pada dasarnya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita rasa yang di inginkan, menghindari kebosanan untuk mendapatkan pangan dan gizi agar dapat hidup sehat. Agar masyarakat tertarik dengan diversifikasi pangan terutama tanaman jagung, maka perlu dilakukan suatu inovatif dalam bentuk sajian unik. Tidak perlu langsung berganti secara total dalam konsumsi beras, akan tetapi lebih kepada penurunan konsumsi beras. Sushi merupakan makanan khas Jepang yang terbuat dari nasi yang dibentuk dengan kombinasi isian seperti daging, ikan maupun sayuran tetapi pada umumnya menggunakan seafood. Nasi yang digunakan diolah dari beras Jepang atau Japonica (Oryza sativa var. japonica) yaitu beras berbulir pendek (short-grain) yang memiliki tektur yang khas dan sifat lengket yang unik. Sushi ala Indonesia tidak berasal dari beras jepang melainkan dari beras biasa yang dicampur dengan beras ketan agar memiliki sifat lengket seperti beras Jepang. Jagung pulut memiliki sifat lengket yang dapat dikombinasikan dalam beras domestik cocok disajikan dalam bentuk sushi. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut sebagai Sajian Unik dalam Upaya Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan studi pustaka untuk (1) mengetahui potensi sushi berbahan beras jagung pulut dapat mengembangkan 34 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

46 diversifikasi pangan. (2) mengetahui peluang sushi berbahan beras jagung pulut dapat untuk menjadi tren di kalangan masyarakat. Manfaat dari studi pustaka ini yaitu: (1) peluang usaha bagi masyarakat; (2) Meningkatkan nilai ekonomis jagung lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut 2. PEMBAHASAN Kementerian perdagangan mengasumsikan, konsumsi beras masyarakat di Indonesia mencapai kisaran 130 kg-140 kg per orang per tahun atau tertinggi di kawasan ASEAN. Dibandingkan dengan konsumsi beras di antara negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia hanya berkisar 65 kg-70 kg per orang per tahun. Berbagai pihak menilai, hal ini terkait dengan program diversifikasi pangan seperti singkong dan jagung belum berlangsung optimal. Dari data yang dilansir Kementerian Pertanian disebutkan, produksi padi nasional mencapai 68,062 juta ton gabah kering giling per November Angka itu mengalami peningkatan sebesar 1,592 juta ton dibandingakan pada Salah satu pemasok tertinggi untuk beras di Indonesia adalah Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi beras nasional dan juga dikenal sebagai lumbung beras nasional. Kawasan pengembangan padi di Sulawesi Selatan meliputi; Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu. Produksi padi di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai ton dengan tingkat produktivitas 5 ton/ha. Produktivitas tersebut dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi produksi dan penanganan panen dan pascapanen yang tepat dan efisien. Karena potensi produksi padi mencapai 9 ton/ha. Produksi padi di Sulawesi Selatan selain untuk memenuhi kebutuhan penduduk di Sulawesi Selatan juga kebutuhan penduduk di luar Sulawesi Selatan. Kebutuhan beras setiap tahun mengalami peningkatan seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Permintaan beras di Sulawesi Selatan rata-rata ton/tahun (diasumsikan kebutuhan beras per orang 125 kg/tahun). Dengan demikian, Sulawesi Selatan mengalami surplus beras yang cukup besar. Surplus beras ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat yang berdomisili di Sulawesi Selatan maupun luar Sulawesi Selatan yang terus meningkat. (4) Namun demikian, produksi beras yang ada di Sulawesi Selatan belum tentu akan menutupi semua kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras. Di samping itu pemerintah juga menginginkan konsumsi masyarakat Indonesia akan beras bisa menurun tidak mencapai 140 kilogram per orang pertahun. Apalagi, makan beras mengandung karbohidrat tinggi dan unsur yang kurang sehat, jika terlalu banyak mengonsumsi beras. Sejak tahun 2006, pola konsumsi pangan pokok (sumber karbohidrat) masih didominasi beras dan tepung terigu. Ketergantungan yang berlebihan pada beras menyebabkan tertutupnya sebagian besar peluang untuk memanfaatkan bahan-bahan pangan yang sebenarnya dapat mensubtitusi beras. Kerawanan pangan juga bertambah akibat diversifikasi konsumsi justru mengarah pada pangan olahan berbahan baku impor (gandum). Oleh karena itu, konsumsi pangan masyarakat perlu didorong agar mengonsumsi B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

47 pangan sumber karbohidrat lainnya. Salah satunya adalah jagung. Jagung, sebagai bahan pangan pokok kedua setelah beras, selain sebagai sumber karbohidrat juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu masyarakat di Indonesia. Jagung kaya akan komponen pangan fungsional antara lain; serat pangan yang dibutuhkan tubuh (dietary fiber), asam lemak esensial, isoflavon, mineral Fe (tidak ada dalam terigu), β-karoten (pro vitamin A), komposisi asam amino esensial, dan lainnya. Pangan fungsional saat ini berkembang sangat pesat, seiring dengan semakin tingginya. Jagung merupakan komoditas palawija utama di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan baku pangan dan pakan. (5) Sekitar 18 juta penduduk Indonesia menggunakan jagung sebagai bahan makanan pokok. (6) Produksi jagung yang terkenal di Sulawesi Selatan adalah produksi jagung pulut. Jagung pulut merupakan salah satu potensi lokal Sulawesi Selatan, dimana cukup banyak digemari oleh masyarakat karena rasanya enak, pulen dan gurih. Kandungan gizi dari olahan jagung pulut cukup tinggi, sehingga baik untuk dikonsumsi dalam upaya diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan sebenarnya sudah didengungkan sejak tahun 50-an. Namun, perkembangannya sangat lambat dan jauh dari harapan. Untuk itu diperlukan perkembangan diversifikasi pangan ke arah yang lebih inovatif dan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Manfaat yang dimiliki jagung sebagaimana kandungan nutrisinya, menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam upaya penganekaragaman pangan yang berbahan baku jagung. Jagung pulut yang diolah menjadi beras jagung pulut sebagai bahan pembuatan sushi, yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam menunjang diversifikasi pangan. Sushi berbahan beras jagung pulut merupakan adopsi makanan dari negara matahari terbit, Jepang sebagai sajian unik dalam upaya pengembangan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan salah satu potensi lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut. Sushi berbahan beras jagung pulut ini sangat menunjang dalam diversifikasi pangan karena jagung merupakan sumber kalori pengganti atau suplemen bagi beras untuk dikonsumsi. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga merupakan sumber protein yang penting dalam menu makanan sehingga gizi tetap terjaga. Kandungan serat pangan juga yang terkandung pada jagung memiliki peranan penting dalam memelihara kesehatan tubuh serta membantu mencegah datangnya penyakit. Munculnya beragam restoran Jepang di Indonesia menunjukkan bahwa sushi diterima lidah orang Indonesia. (7) Begitupun di Ibukota Sulawesi Selatan, Makassar sudah mulai bermunculan restoran atau toko kuliner khas jepang utamanya sushi. Sushi ini dengan aneka rasa yang berbeda dan dijamin cocok di lidah warga Makassar. Harga pun terbilang murah untuk makanan khas jepang, seperti ini diberi harga mulai dari rupiah hingga rupiah perporsinya. Pati jagung varietas pulut lokal terbukti memiliki daya cerna yang cukup rendah. Hal tersebut sangat membantu bagi penderita diabetes yang memerlukan pemenuhan pangan karbohidrat yang tidak tercerna sempurna menjadi glukosa. Berbeda dengan 36 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

48 penderita penyakit lambung, tidak dianjurkan mengonsumsi bahan yang mengandung amilopektin tinggi termasuk beras pulut maupun jagung pulut. Olahan jagung termasuk jagung pulut dapat dijadikan sebagai pengganti konsumsi nasi dari beras dan kebutuhan pangan lainnya. Dengan demikian, usaha tani jagung pulut dapat mendukung kemandirian pangan. Berdasarkan hal ini, bagi stake holder yang berminat menangkar benih jagung pulut peluangnya cukup menjanjikan karena usaha tani jagung pulut efisien dan menguntungkan bagi petani sehingga dapat menambah pendapatannya. (8) Nilai tambah yang dapat diperoleh dari usaha pengolahan jagung pulut adalah menguntungkan karena menambah pendapatan petani sehingga kegiatan tersebut member harapan untuk dikembangkan. Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku industri makanan terobosan seperti sushi akan member nilai tambah bagi usaha tani komoditas tersebut. Sehingga prospek pengembangan dalam pengolahan akan semakin didukung oleh bertambahnya keunggulan diversivikasi baik dari segi kesehatan dalam pemenuhan kebutuhan gizi serta mendorong nilai tambah sosial ekonomi. Jagung pulut atau jagung ketan (waxy corn) termasuk jenis jagung khusus yang semakin banyak dibutuhkan konsumen atau industri. Jagung khusus ditandai keunggulan tersendiri seperti kandungan tinggi bahan berguna atau fungsional tertentu. Termasuk di antaranya jagung pulut yang kandungan amilopektinnya tinggi di atas 90%. Upaya pengembangan beberapa jenis jagung khusus sedang digencarkan, namun untuk jagung pulut perhatian masih kurang. Sejauh ini, jagung pulut di Indonesia seolah menjadi khas Sulawesi saja. Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya mengonsumsi jagung pulut sebagai salah satu makanan pokok yang terus bertahan. Jagung pulut Sulawesi memang lebih memikat selera konsumen dibanding yang dihasilkan daerah lain Indonesia. Cita rasanya dinilai lebih enak, lebih gurih, lebih pulen dan lembut. Perbandingan Nilai Ekonomi dari Beras Biasa dan Beras Jagung Pulut. Sushi berbahan beras jagung pulut diharapkan menjadi sebuah trend inovasi komoditas produk lokal yang bernilai internasional. Untuk wilayah Indonesia yang harus mengimpor beras khusus dalam pembuatan sushi dianggap sebagai salah satu tantangan tersendiri dalam pemasarannya. Marakanya toko sushi yang mulai berkembang merupakan sebuah indikasi bahwa sushi memiliki potensi yang bernilai untuk dikembangkan menjadi salah satu tren bisnis baru. Namun demikian, kendala yang dihadapi pelaku bisnis sushi dalam mengembangkan pasar sushi yakni harga yang mahal karena beras grain medium sebagai bahan pembuatan sushi dianggap sangat mahal dan menyebabkan harga sushi menjadi mahal. Beras Nishiki Rice grain medium merupakan beras impor dari Jepang serta salah satu bahan utama membuat sushi. Beras tersebut tidak dijual dipasaran secara umum karena harganya yang mahal yakni Rp hingga Rp untuk Botan Rice hingga kualitas paling baik termasuk biaya pengiriman. Bila terjadi peningkatan harga beras menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat dalam pola konsumsi dapat terjadi tidak baik secara kuantitas B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

49 maupun secara kualitas khususnya bagi kelompok berpendapatan rendah. Kondisi tersebut kemudian membuat beberapa alternatif dalam mengembangkan usaha sushi yang bernilai setara dengan makan di restoran dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan makan di restoran pada umumnya. Salah satu alternatif yang digunakan salah satunya dengan mengganti penggunaan beras Botan Rice medium grain dengan menggunakan jenis beras Pandan Wangi. Beras tersebut memiliki tekstur yang mirip dengan beras bahan asli sushi. Harganya juga jauh lebih murah dibandingkan dengan beras asli untuk sushi yakni Rp 10, perkilogram. Namun demikian, seiring dengan hal tersebut tantangan baru yang dihadapi kembali oleh pelaku usaha yaitu naiknya harga beras. Saat ini, harga beras di sejumlah wilayah Rp Rp per kg. Dari pemantauan Kompas, harga beras kualitas medium di Merauke, pekan lalu, berkisar Rp per kg, sementara di Karawang Rp per kg. Berdasarkan pantauan dari Kementerian Perdagangan di sejumlah kota besar, harga rata-rata beras pada pekan pertama Januari tercatat per kg. Harga beras termurah ada di Gorontalo, yakni Rp per kg, dan termahal di Manokwari, Rp per kg. Harga beras rata- rata tahun 2011 tercatat Rp per kg, naik Rp 860 per kg dari tahun Harga beras rata-rata tertinggi tahun 2011 pada Desember, yakni Rp per kg, sementara harga terendah pada Mei, yakni Rp per kg. Kenaikan harga beras tentu akan berdampak pada kenaikan harga jual lainnya seperti sushi yang menjadikan beras menjadi bahan utama pembuatannya. harga beras kualitas rendah sudah melampaui harga pembelian pemerintah (HPP). Harga beras termurah berkisar Rp per kg, sementara HPP beras Rp per kg. Karena itu, ia mengusulkan agar kenaikan HPP sekitar 28 persen. Untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras yang akan menjadi masalah dalam pengembangan usaha sushi maka beras jagung pulut merupakan salah satu alternatif dalam hal ini. Biaya yang harus dikeluarkan beras jagung pulut Rp perkilogram. Jika dibandingkan dengan harga beras biasa yang digunakan terdapat perbedaan dan pengehematan hingga 14,5% daripada penggunaan beras biasa dengan harga yang semakin naik 2 kali lipat dalam Komoditas beras jagung pulut memiliki kandungan gizi tinggi namun masih kurang dalam pemanfaatan. Namun,minat masyarakat dalm konsumsi berbasis jagung masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi jagung,tampilan produk pangan jagung yang kurang menarik,dan adanya anggapan bahwa konsumsi berbahan jagung hanya untuk kalangan ekonomi lemah. (9) Kenyataan ini kemudian menjadi peluang yang besar dalam memulai tren baru dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah menjadi beras jagung pulut kemudian menjadi bahan dasar sushi yang bernilai gizi tinggi dengan harga rendah. Keuntungan yang aka diraih tidak hanya konsumer produk sushi berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh pelaku bisnis sushi yang mampu menekan biaya bahan bulanan hingga 14%. Kondisi ini didukung pula oleh kenyataan di lapangan bahwa Peran beras belum tergantikan oleh sumber karbohidrat lainnya. Meski sudah ada 38 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

50 instruksi Presiden No 4 Tahun 1974 yang disempurnakan menjadi Inpres No. 20 Tahun 1979 soal Penganekaragaman Menu Makanan Rakyat. Diversifikasi pangan terkait dengan upaya mengubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, berimbang. Dengan mengonsumsi pola pangan yang lebih beragam, bergizi dan kandungan nutrisi yang berimbang, maka kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil ikutannya adalah konsumsi beras per kapita diharapkan menurun. (10) Data tersebut diasumsikan mampu mendukung adanya inovasi tren makanan sushi berbahan beras jagung pulut yang memiliki unsur nilai gizi yang baik dan belum terkelola dalam hal diversifikasi pangan. Masyarakat Indonesa sangat mengikuti tren suatu produk di pasar saat ini yang dapat mendukung berkembangnya usaha sushi berbahan beras jagung pulut dengan harga murah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi perekonomian Indonesia yang baik serta selera masyarakat untuk mencoba produk yang unik. Bila membandingkan ketika kondisi perekonomian Indonesia yang dilanda krisis yang membuat daya beli menjadi turun, tren penjualan akan menjadi salah satu aspek yang terkena dampak atas kondisi tersebut. Bila terjadi peningkatan harga beras menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat dalam pola konsumsi dapat terjadi tidak baik secara kuantitas maupun secara kualitas khususnya bagi kelompok berpendapatan rendah. Selain memiliki potensi dalam hal diversifikasi pangan karena memiliki kandungan gizi yang baik, namun belum mendapat perhatian yang lebih serta memiliki nilai jual sehingga pengelolaan beras jagung pulut layak untuk dikembangkan. Hingga kini pemanfaatan jagung pulut yang masih kurang pada wilayah pembuatan nasi yang dikenal dengan beras jagung pulut, pakan ternak ayam, serta dikonsumsi biasa oleh masyarakat. Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada konsumsi dasar serta pengelolaan bahan mentah yang masih kurang sehingga dengan inovasi pembuatan sushi berbahan beras jagung pulut dianggap mampu menambah nilai ekonomi untuk berbagai pihak yakni petani beras jagung pulut. Sehingga dengan pemanfaatan jagung pulut (maxi corn) dapat menjadi salah satu solusi upaya peningkatan nilai tambah khususnya pada nilai sisioekonomi petani jagung pulut. 4. SIMPULAN Sushi berbahan beras jagung pulut merupakan adopsi makanan dari Jepang sebagai sajian unik dalam upaya pengembangan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan salah satu potensi lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut. Sushi berbahan beras jagung pulut ini sangat menunjang dalam diversifikasi pangan karena jagung merupakan sumber kalori pengganti. Komoditas beras jagung pulut memiliki kandungan gizi tinggi namun masih kurang dalam pemanfaatan dan minat masyarakat dalam konsumsi berbasis jagung masih sangat kurang. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi jagung, tampilan produk pangan jagung yang kurang menarik, dan adanya anggapan bahwa konsumsi berbahan jagung hanya untuk kalangan ekonomi lemah. Hal ini dapat menjadi B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

51 peluang yang besar dalam memulai tren baru dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah menjadi beras jagung pulut. Keuntungan yang aka diraih tidak hanya produsen sushi berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh pelaku bisnis sushi yang mampu menekan biaya bahan bulanan hingga 14%. [10]. Suryana, A. dan S. Mardianto. Ketahanan Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa, [Internet]. Available from: [diakses 1 Juli 2012] 5. SARAN Perlu dilakukan penelitian tentang perhitungan kalori dan kandungan gizi beras jagung pulut. DAFTAR PUSTAKA [1]. Permanasari, Indira. Pangan Unggulan Lokal untuk Diversifikasi Pangan. [internet] Available from: [diakses 7 Juli 2012]. [2]. BPS Indonesia Tahun [3]. Syuryawati, Margaretha, Hadijah. Pengolahan Jagung Pulut Menunjang Diversifikasi Pangan dan Ekonomi Petani. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010; [4]. TabloidSartini.com [internet]. Meningkatkan Surplus Beras. Available from: Meningkatkan-Surplus-Beras.html [diakses 10 Juli 2012] [5]. Surasutha IGP. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002;21(2). [6]. Suherman, O., Burhanuddin, Faesal, M. Dahlan, F. Kasim. Pengembangan jagung unggul nasional bersari bebas dan hibrida. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, [7]. Amaliafitri, Andhini. Sushi, Tren kuliner Masa Kini, [internet] Available from: [Diakses 7 juli 2012]. [8]. Syuryawati, Faesal. Usaha Tani Jagung Pulut Mendukung Kemandirian Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Nasional Serealia [Internet]. Available from: balitsereal.litbang.deptan.go.id [diakses 20 Juni 2012]. [9]. Suwarni. Ragam Produk dari Serelia. Maros: Badan Penelitian Tanaman serelia B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

52 Advertorial EFEKTIVITAS KINERJA MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DALAM RANGKA PENURUNAN TINGKAT KEMATIAN ANAK DI INDONESIA Novi Luthfiana Putri 1 1 Fakultas Ekologi Manusia, Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Kematian pada anak (bayi, balita, dan anak-anak) adalah salah satu masalah yang merupakan persoalan utama bagi beberapa Negara. Kematian pada anak merupakan refleksi sosial, ekonomi, kondisi lingkungan, dan kesehatan anak-anak.selain itu, kematian pada anak juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang terkena serangan penyakit. Berbagai upaya dari berbagai Negara untuk menurunkan angka kematian anak adalah dengan membentuk MDGs ((Millennium Development Goals) yang terdiri dari delapan gol yang akan dicapai pada tahun 2015, salah satu gol MDGs adalah mengurangi tingkat kematian anak di bawah lima tahun hingga dua pertiga angka kelahiran mulai 1990 hingga Indonesia adalah salah satu Negara yang menyetujui MDGs. Angka kelahiran dan angka kematian anak di Indonesia masih relatif tinggi, terbukti dengan Indonesia yang masih jauh dari target MDGs yang diekspektasikan tercapai pada Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menurunkan angka kematian anak dalam rangka mencapai MDGs Kata kunci : kematian anak, MDG (Millennium Development Goals) ABSTRACT Death of children that consist of Infants, Toddlers, and kids is one of the problem that still a major issue for some countries. Child mortality is a reflection of the social, economic and environmental conditions of children living including their health care. Besides child mortality also can be used to identify a population who is attacked by disease. Efforts of some countries in the world to reduce the mortality rate in children is by shaping the MDGs (Millennium Development Goals) that consist of eight goals expected in 2015 and one of its goals is to reduce child mortality with a target of under-five kids mortality, between 1990 and 2015 reaching two per three of its fertility. Indonesia is one of the countries that agreed to the MDGs. Indonesia birth rates and child mortality rates are quite high. It reflects that Indonesia is still far from the target of the MDGs which is expected in There are many factors that must be tied to reduce child mortality in Indonesia to achieve the MDGs in Keywords: Child mortality, MDG (Millennium Development Goals) B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

53 1. PENDAHULUAN Sebanyak 189 negara anggota PBB sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Pembangunan Milenium Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September Deklarasi ini menghimpun komitmen untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs) sebagai kesepakatan bersama. Pemerintah Indonesia selaku penandatangan Deklarasi Milenium, berkomitmen menjadikan MDGs sebagai salah satu acuan utama dalam penyusunan program pembangunan nasional, dan secara kontinyu melaporkan posisi pencapaian MDGs sampai dengan tahun Laporan pencapaian yang pertama telah dikeluarkan pada tahun 2004 yang memperlihatkan posisi pencapaian MDGs dari tahun Dalam laporan MDGs yang pertama, disampaikan bahwa pencapaian MDGs di Indonesia bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan kerjasama semua pihak untuk melakukan upaya bersama untuk mencapai tujuan-tujuan MDGs. Selain itu, salah satu permasalahan yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian adalah pembiayaan untuk pencapaian MDGs. Upaya pencapaian MDGs memerlukan biaya yang sangat besar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh UN Millennium Projects bahwa pencapaian target MDGs akan sulit dilakukan oleh negara miskin dan berkembang tanpa adanya peningkatan bantuan yang signifikan dari negara maju. Salah satu tujuan MDGs adalah menurunkan angka kematian anak hingga dua pertiga. Angka kematian anak yang dimaksud dalam MDGs mencakup angka kematian bayi, balita, dan anak-anak. Kematian anak balita (anak usia di bawah 5 tahun) menjadi penting karena mencakup lebih dari 90 persen kematian global anak-anak di bawah usia 18 tahun. AKA adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup. Kematian anak merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat anak-anak hidup termasuk perawatan kesehatan mereka. Angka kematian anak sering digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang mudah atau rentan (vulnerable) terserang penyakit karena data insiden dan prevalen penyakit (data morbiditas) sering tidak tersedia dengan baik (SDKI, 2007). Menurut data, AKA di Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan data BKKBN tahun 2012, Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia mencapai 44 per kelahiran dan Angka Kematian Bayi Indonesia adalah 34/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah menurunkan AKBA hingga 32/1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang mengenai efektivitas kinerja pemerintah Indonesia dalam mewujudkan target MDGs pada poin menurunkan angka kematian anak sebagai upaya prevention, promotion, dan proactive dalam bidang kesehatan masyarakat di Indonesia. Artikel ilmiah ini bertujuan untuk mengulas efektivitas kinerja MDGs di Indonesia, khususnya dalam upaya 42 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

54 menurunkan tingkat kematian anak dan kaitannya dengan upaya-upaya prevention, promotion, dan proactive dalam bidang kesehatan masyarakat yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mewujudkan salah satu target MDGs yaitu menurunkan tingkat kematian anak. 2. PEMBAHASAN 2.1. Realitas Tingkat Kematian Anak di Indonesia Tingkat kematian anak merupakan indikator kuat untuk menilai keberhasilan pembangunan kesehatan suatu negara.semakin tinggi tingkat kematian anak,maka semakin buruk kinerja pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) suatu negara,sementara bila semakin rendah tingkat kematian anak di suatu Negara,maka semakin baik kinerja pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Negara tersebut. Oleh sebab itu,penurunan tingkat kematian anak menjadi salah satu dari delapan target utama dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Sebelum menganalisis lebih jauh tentang tingkat kematian anak di Indonesia,perlu di ketahui terlebih dahulu definisi dan perbedaan antara bayi dan anak. Bayi adalah manusia yang berusia 0 sampai 12 bulan. Anak (anak balita) adalah manusia yang berusia 1 sampai 5 tahun (BKKBN,2012). Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Anak (AKA), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (AHH) telah ditetapkan sebagai indikator derajat kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2003). AHH bahkan digunakan sebagai salah satu komponen untuk menghitung Human Development Index (HDI) (UNDP, 2001). Ditinjau dari HDI, Indonesia menduduki ranking 109 dari 174 negara (UNDP, 2000), jauh tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya. Ranking ini relatif tak beranjak, bahkan cenderung lebih buruk (tahun 2003 urutan 112 dari 175 negara). Sementara itu, AKA Indonesia juga menduduki urutan yang tak dapat dibanggakan. Menurut data, angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan Human Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per kelahiran. Berikut ini adalah grafik mengenai angka kematian bayi di Indonesia dibandingkan dengan Negara lainnya. Gambar 1. Angka kematian bayi di Indonesia dengan negara lainnya (Sumber: WHO, 2005) Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa AKB di Indonesia lebih tinggi daripada Negara Muangthai, Filipina, Srilangka, dan Malaysia yaitu menembus 46/1000 kelahiran hidup pada tahun 2005 (WHO 2005). Berdasarkan data yang bersumber dari Kementerian Kesehatan tahun 2011 angka kelahiran hidup anak di berbagai provinsi di tanah air cukup tinggi. Namun, pada data Estimasi Angka Kematian Bayi, Balita dan Angka Harapan Hidup, menunjukkan realitas yang cukup kontradiktif, bahwa dari angka B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

55 kelahiran hidup yang relatif tinggi di Indonesia, ternyata estimasi tingkat kematian bayi dan balita juga cukup tinggi, dimana estimasi kematian balita lebih tinggi dari pada estimasi angka kematian bayi di berbagai provinsi di tanah air. Secara umum, dapat diidentifikasi bahwa angka harapan hidup perkelahiran hidup di berbagai provinsi di tanah air, tidak ada yang melebihi proporsi 80%. Artinya, realitas tingkat kematian anak hingga tahun 2011, secara internal (33 provinsi di tanah air) di Indonesia masih terbilang tinggi. Padahal program MDGs telah berlangsung sejak tahun 2000, namun realitas yang terjadi secara internal (tingkat kematian anak di Indonesia) maupun eksternal (perbandingan tingkat kematian anak dengan Negara-negara ASEAN lain) masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, padahal program MDGs berjalan kurang lebih hanya tinggal empat tahun lagi dari 2011 hingga Menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Selain itu, penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pnumonia 15,4%, prematuritas dan BBLR 12,8% serta RDS 12,8%. Menurut UNICEF (2001), menurunnya kualitas hidup anak pada usia 3 tahun pertama hidupnya adalah gizi buruk, ibu sering sakit, status kesehatan buruk, kemiskinan, dan diskriminasi gender. Bayi dengan gizi buruk mempunyai resiko 2 kali meninggal dalam 12 bulan pertama hidupnya. Tingkat bayi gizi buruk di Indonesia masih terbilang tinggi. Berdasarkan BPS, Susenas 2001, prevalensi gizi kurang pada balita Indonesia sekitar 8.74%. Selain itu, resiko kematian anak akan meningkat bila keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan terlampau dekat, kondisi ibu yang KEK, keadaan masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi dan budaya yang belum mumpuni dalam mendukung pola hidup sehat, tanggap persalinan aman dan sehat serta tanggap kesehatan bayi dan anak. Kondisi ini erat terkait dengan tingginya tingkat kesakitan dan kematian ibu dan anak (Depkes, 2004:41) Keterkaitan program MDGs dengan tingkat kematian anak di Indonesia periode Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penurunan tingkat kematian anak menjadi salah satu target utama dari delapan butir target yang hendak dicapai dalam Millenium Development Goals (MDGs) Menurut data BKKBN 2010, angka kematian bayi, balita, dan neonatal berkurang dari tahun ke tahun. Target MDGs adalah menurunkan angka kematian anak hingga dua pertiga jumlah awal. Di Indonesia, pada tahun 1991, angka kematian balita mencapai 91/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi mencapai 68/1000 kelahiran hidup. Target MDGs, khususnya di Indonesia adalah menurunkan angka kematian balita hingga 32/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi hingga 23/1000 kelahiran hidup pada tahun Berikut akan disajikan grafik target MDGs dalam penurunan tingkat kematian anak Indonesia dari tahun ke tahun. 44 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

56 Gambar 2. Pencapaian Target MDGs Angka Kematian Anak dan Bayi di Indonesia (Sumber: SDKI dan BKKBN 2010) Berdasarkan data-data di atas dapat diidentifikasi bahwa program MDGs yang dicanangkan berakhir pada tahun 2015 mentargetkan penurunan tingkat kematian hingga dua pertiga jumlah awal di akhir program MDGs pada tahun Sayangnya, kemampuan Indonesia untuk merealisasikan target MDGs juga komitmen promosi kesehatan sangat diragukan. Sejumlah kalangan secara terang-terangan menyatakan Indonesia tak mungkin mencapai target-target MDGs. Data menunjukkan, hingga 11 tahun MDGs dicanangkan, pencapaian Indonesia atas sejumlah target masih sangat lambat bahkan cenderung mundur untuk target tertentu. Dalam Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia kian anjlok. Kinerja MDGs di Indonesia yang sudah berjalan hampir dua belas tahun dari periode 2000 hingga 2012 belum memberikan dampak positif yang sesuai target secara keseluruhan dalam menjawab salah satu tujuan MDGs mengenai masalah penurunan tingkat kematian anak di Indonesia pada periode Artinya tidak terdapat kesesuaian antara target penurunan tingkat kematian anak pada program MDGs dengan realitas kematian anak di Indonesia yang masih tetap tinggi. Pemaparan pada sub bab sebelumnya menjelaskan dengan detail bahwa tingkat kematian anak Indonesia masih tetap tinggi dan program MDGs belum mampu menyelesaikan permasalahan kematian anak di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi penyebab kurang efektifnya program MDGs di Indonesia adalah hasil pelaksanaan MDG di Indonesia menunjukkan ketidakseimbangan kemajuan antar daerah, sistem pelaporan dan pengawasan pelaksanaan MDG di Indonesia harus diperbaiki, sehingga kemajuan yang ada bisa dipantau dengan baik dan dievaluasi. Selain itu, terdapat tantangan yang berat untuk mencapai target-target MDG di Indonesia, hal ini salah satunya disebabkan karena terjadi banyak bencana alam yang menimbulkan kerusakan fasilitas umum seperti gedung sekolah, sarana kesehatan, sarana sanitasi, lahan pertanian, pabrik dan pasar. Kejadian tersebut akan menyebabkan kemunduran kualitas kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu pemerintah harus lebih memberikan dukungan kepada masyarakat untuk membangun kembali sarana yang rusak. Masih diperlukannya peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional, penambahan tenaga kerja bidang kesehatan, peningkatan kualitas tenaga kerja bidang kesehatan dan penyebarannya, pengaturan laju pertumbuhan penduduk dan pemberdayaan perempuan di segala bidang kehidupan. Dukungan yang tidak kalah penting adalah alokasi anggaran yang mencukupi dalam APBN untuk melaksanakan program-program pendukung. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

57 Pencapaian target-target MDG harus diselaraskan dengan tujuan Pembangunan Nasional Indonesia. Hal ini akan bisa dilakukan apabila ada dukungan dari pemerintah sebagai lembaga eksekutif pelaksana pemerintahan dengan DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat acuan untuk terlaksananya pembangunan Indonesia dengan baik. Dalam era otonomi daerah ini, pemerintah pusat harus mampu memberikan arahan dan batasan tanggung jawab yang jelas, sehingga pelayanan kepada masyarakat bisa diperbaiki. Pemerintah daerah, meliputi Kepala Daerah Tingkat I dan II serta DPRD harus membuat suatu kemitraan kerja yang sinergis dan pengawasan yang lebih baik terhadap program kerja pemerintah. Untuk mencapai target-target MDGs, pemerintah harus tetap berkomitmen untuk melaksanakan MDGs sebagai acuan. Pemerintah juga harus mampu mendorong, memberikan motivasi kepada seluruh rakyat, agar bersama-sama menerapkan program MDGs demi kesejahteraan rakyat Perbandingan Efektivitas Kinerja MDGs Indonesia dengan Singapura Terkait dengan Tingkat Kematian Anak Menurut data BKKBN tahun 2012, angka kematian bayi dan anak di Indonesia mengalami penurunan secara berturut-turut sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup dan 44 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan ini belum menunjukkan dampak yang berarti jika dibandingkan negara-negara lainnya, khususnya di kawasan ASEAN. Seperti yang kita ketahui, angka kematian bayi dan anak di Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Salah satu Negara ASEAN yang memiliki angka kematian anak relatif rendah adalah Singapura. Oleh karena itu, pemaparan di bawah ini sebagai perbandingan dalam segi angka kematian anak. Berbeda halnya dengan di Indonesia, tingkat kematian anak di Singapura tergolong cukup rendah. Berdasarkan Singapore and the Provision of Medical Services for the Region, tingkat kematian bayi di Singapura menunjukkan hasil yang positif yaitu sebesar 5 per kelahiran hidup pada tahun 1995 sampai tahun Singapura telah berhasil mencapai target program MDGs dalam menurunkan tingkat kematian anak jika dibandingkan dengan Indonesia. Pembenaran bahwa Singapura merupakan negara yang paling berhasil dalam mewujudkan program kesehatan masyarakatnya telah terbukti. Hal ini disebabkan oleh pemerintah Singapura telah menjadikan dan menggiatkan program kesehatan masyarakat sebagai salah satu fokus utama negara sejak tahun Pernyataan ini telah dibuktikan dengan adanya penyisihan GDP yang dilakukan oleh Singapura sebesar 3% untuk program kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, adanya program MDGs yang diikuti oleh negara-negara di dunia untuk menurunkan tingkat kematian anak semakin membantu Singapura dalam upaya mewujudkan pembangunan manusia yang sehat, adil, dan sejahtera. Sementara itu, program MDGs yang dilaksanakan oleh Indonesia belum memberikan hasil yang optimal. Ada atau tidaknya program MDGs disinyalir tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingkat kematian anak dan bayi di Indonesia masih tergolong tinggi. Faktor penyebab yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah Pemerintah Indonesia belum mampu menyelaraskan target-target MDGs dengan 46 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

58 tujuan pembangunan nasional serta belum mampu menjadikan program kesehatan sebagai fokus utama negara seperti yang dilakukan oleh Singapura. Hal ini terbukti dari masih banyak masyarakat yang belum melek akan pentingnya kesehatan, keterbatasan akses layanan kesehatan yang layak di beberapa daerah, keterbatasan dalam memperoleh asupan gizi yang baik dan seimbang, penggunaan dukun dalam proses persalinan dan penyembuhan penyakit, serta kondisi lingkungan yang tidak mendukung, seperti sanitasi yang buruk, sampah, dan polusi. Melihat keberhasilan Singapura dalam mencapai target MDGs, pemerintah kita perlu membenahi sektor-sektor yang mendukung program kesehatan masyarakat. Berbagai penyuluhan kesehatan, layanan kesehatan, dan pelatihan tenaga-tenaga kesehatan perlu digiatkan kembali dan dilakukan di seluruh pelosok tanah air. Dengan demikian, masyarakat mulai menyadari dan menerapkan perilaku hidup sehat di masing-masing rumah tangga, sehingga harapan Indonesia akan tercapainya target MDGs untuk dalam waktu kurang lebih 3 tahun mendatang dapat terealisasikan Penyempurnaan Program MDGs di Indonesia Periode Pelaksanaan program MDGs di Indonesia hingga sampai saat ini dapat dikatakan belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya angka kematian bayi dan anak yang masih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium Indonesia tahun 2010, angka kematian bayi pada tahun 1991 sebesar 68 per 1000 kelahiran hidup mengalami penurunan menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun Demikian pula dengan angka kematian balita menurun dari 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun Angka kematian neonatal juga menurun secara perlahan dari 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 19 per 1000 kelahiran hidup pada tahun Melihat data tersebut, target MDGs tahun 2015 berupa angka kematian bayi sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian balita sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka kematian neonatal dapat dicapai oleh Indonesia. Namun, perlu disadari bahwa pencapaian target program MDGs 2015 tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai kendala dan tantangan masih harus dihadapi dan diwaspadai oleh pemerintah dalam upaya menurunkan tingkat kematian anak. Secara faktual, keterbatasan ekonomi masyarakat untuk asupan gizi yang baik dan seimbang, keterbatasan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang baik, rendahnya tingkat pengetahuan serta kesadaran akan pentingnya kesehatan anak menjadi agenda penting bagi pemerintah dalam mewujudkan pembangunan manusia yang sehat dan sejahtera. Menurut laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium Indonesia tahun 2010, tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program menurunkan tingkat kematian anak di Indonesia adalah: 1. Pelaksanaan program imunisasi untuk masyarakat masih belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh belum memadainya pengawasan program, kecukupan anggaran untuk program imunisasi, intervensi program berbasis fakta menuju universal coverage, B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

59 serta perencanaan yang strategis untuk program imunisasi. 2. Belum optimalnya deteksi dini dan perawatan segera bagi balita sakit atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Dalam hal ini, sekitar persen anakanak yang sakit tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang baik dan sebanyak 40 persen anak-anak tidak terlindungi dari penyakit yang dapat dicegah. 3. Upaya perbaikan gizi untuk anak masih rendah dan memerlukan asupan gizi dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat. 4. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran para ibu untuk memperhatikan kesehatan anak. 5. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan, seperti air bersih, sanitasi, polusi udara, dan sampah. 6. Keterbatasan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan yang layak. Oleh karena itu, integrasi yang sinergis di antara pemerintah, masyarakat, dan pihakpihak layanan kesehatan sangat diperlukan dalam pencapaian target MDGs kurang lebih dalam 3 tahun terakhir. Intervensi-intervensi terhadap layanan kesehatan perlu ditingkatkan agar penurunan tingkat kematian anak di Indonesia dapat memberikan hasil yang optimal. Berbagai upaya yang dapat dilakukan, di antaranya adalah : 1. Meningkatkan cakupan imunisasi campak, melalui penyediaan sumber daya yang memadai dan memperjelas peran serta pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan program imunisasi. 2. Meningkatkan pelaksanaan program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), melalui pelatihan MTBS bagi petugas kesehatan, penguatan struktur manajemen di tingkat pusat dan daerah, menjamin ketersediaan obat esensial, pelaksanaan MTBS di tingkat keluarga dan masyarakat, serta pemberian penyuluhan kesehatan kepada para ibu. 3. Menangani permasalahan gizi pada anak, melalui peningkatan pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan, pemantauan tumbuh kembang anak, serta intervensi gizi mikro. 4. Menerapkan strategi kesehatan anak pada tingkat keluarga dan masyarakat, seperti memberikan imunisasi lengkap kepada anak sebelum berusia satu tahun, melindungi anak-anak di daerah endemis malaria dengan kelambu berinsektisida, serta perawatan secara intensif kepada anak yang menderita infeksi. 5. Menerapkan dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di tingkat rumah tangga. 6. Meningkatkan pelayanan kesehatan neonatal dan ibu, meliputi penerapan strategi kelangsungan hidup untuk bayi baru lahir dan anak-anak, pelayanan emergensi obstetrik dan neonatal, pelatihan bagi petugas kesehatan untuk mempromosikan praktek persalinan yang aman, serta vaksinasi dan pemberian suplemen zat besi. 7. Memperkuat dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan, seperti mempromosikan pelayanan kesehatan dasar dan revitalisasi posyandu, peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah, serta menjamin tersedianya biaya operasional kesehatan untuk rumah sakit dan puskesmas. 8. Meningkatkan pemantauan terhadap tumbuh kembang anak serta status gizi bayi 48 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

60 dan balita melalui penimbangan bulanan, pemberian imunisasi lengkap, dan layanan kesehatan lainnya. 9. Meningkatkan advokasi kebijakan bagi daerah dengan tingkat target kesehatan anak yang masih rendah, melalui pengalokasian sumber daya yang memadai, peningkatan penyediaan anggaran publik untuk kesehatan khususnya bagi masyarakat miskin, peningkatan kemampuan tenaga kesehatan, serta menjamin ketersediaan tenaga kesehatan di seluruh daerah. 10. Memadukan strategi lintas sektor untuk mempercepat pencapaian target penurunan angka kematian bayi, balita, dan neonatal. Dengan demikian, komitmen Indonesia dalam mewujudkan pembangunan manusia yang sehat, adil, dan sejahtera dari segi preventive, promotion, dan proactive bidang kesehatan masyarakat dapat terwujud di tahun KESIMPULAN Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan MGDs pada September 2000 dimana salah satu dari tujuannya di tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian anak hingga dua pertiga. Pencapaian yang telah dicapai oleh negara Indonesia tidak menunjukkan hal yang positif dalam arti mendekati tujuan MDGs pada tahun 2015 dimana Singapura sebagai negara satu rumpun dengan Indonesia dan negara pembanding memilki tingkat perubahan MDGs pada tujuan menurunkan angka kematian anak lebih besar dibandanding Indonesia. Faktor penyebab yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah Pemerintah Indonesia belum mampu B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 menyelaraskan target-target MDGs dengan tujuan pembangunan nasional serta belum mampu menjadikan program kesehatan sebagai fokus utama negara seperti yang dilakukan oleh Singapura. 4. SARAN Dalam rangka mewujudkan pencapaian target MDGs khususnya penurunan angka kematian anak, sangat diperlukan integrasi yang sinergis di antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak layanan kesehatan sangat diperlukan dalam kurang lebih dalam 3 tahun terakhir. Intervensiintervensi terhadap layanan kesehatan perlu ditingkatkan agar penurunan tingkat kematian anak di Indonesia dapat memberikan hasil yang optimal. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pencegahan penyakit, promosi kesehatan, dan kegiatan proaktif dalam bidang kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan dalam upaya menyukseskan salah satu target MDGs, menurunkan angka kematian anak di Indonesia. DAFTAR REFERENSI [1] [Departemen Kesehatan] Laporan Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2011/10/lap-pembmilenium-ind-2010.pdf. [25 November 2012]. [2] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Riset Kesehatan Dasar Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [3] BAPENAS Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. [4] BKKBN Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia. [terhubung berkala]. [25 November 2012]. [5] Goedady, Ardy Kebijakan dan Strategi Program Kesehatan Reproduksi Tahun Balikpapan: BKKBN. 49

61 [6] KEMENKES RI Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [7] SDKI Angka Kematian Anak dan Bayi di Indonesia. [terhububung berkala]. tebokab.bps.go.id/index.php/sdki. [25 November 2012]. [8] SUSENAS Prevalensi gizi kurang balita Indonesia. [terhubung berkala]. [25 November 2012]. [9] UNDP Human Development Index (HDI). [terhububung berkala]. [24 November 2012]. [10] UNICEF Kualitas Hidup Anak. [terhubung berkala]. [25 November 2012]. [11] WHO Angka kematian anak di Indonesia. [terhubung berkala]. [24 November 2012]. 50 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

62 Advertorial GENETIK, OBESITAS, DAN TEORI RELATIVITAS BERAT BADAN Andi Imam Arundhana 1, Asry Dwi Muqni 2 1 Magister Kesehatan Masyarakat, FK UGM 2 Magister Kesehatan Masyarakat, FKM UNHAS ABSTRAK ABSTRAK Saat ini obesitas merupakan masalah kesehatan paling global yang dihadapi oleh negaranegara maju dan berkembang. Seratus juta orang di seluruh dunia telah mengalami obesitas dan banyak lagi yang berpotensi mengalami obesitas tersebut. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi yang dihasilkan dari kebiasaan dan mekanisme fisiologi. Variabel-variabel yang diketahui menyebabkan terjadinya obesitas, yaitu faktor lingkungan, faktor genetik, serta interaksi keduanya. Perubahan perilaku dan kondisi fisiologis menyebabkan ketidakseimbangan energi dan berimplikasi pada pengaturan berat badan. Teori terbaru telah dikembangkan untuk menjelaskan interaksi antara genetik, lingkungan, dan pengaturan berat badan. Misalnya, teori gen thrifty, set point, dan settling point telah menjadi perdebatan tentang topik ini. Ada perbedaan mendasar antara teori-teori ini, namun semua itu dapat menjelaskan bahwa pengaruh regulasi genetik dan lingkungan yang mempengaruhi berat badan dan obesitas. Baik di teori set point dan settling point, kehadiran sistem kontrol fisiologis dan perilaku memainkan kunci penting untuk memahami teori relativitas berat badan. Kata kunci: lingkungan obesigenik, gen, obesitas, berat badan, ketidakseimbangan energi ABSTRACT Currently obesity is the most global health issue that faced by developed and developing countries. A Hundred millions of people around the world have been obese, and many more who could potentially experience. Obesity occurs because of imbalance between energy intake and expenditure generated from the habits and physiology mechanism. At least, these variables are known to occur due to environmental factors, genetic factors, as well as interaction both of them. Changing in behavior and physiological condition leading to energy imbalance and implies to body weight regulation. Recent theories have been developed to elucidate the interaction of genetic, environmental, and body weight regulation. For example, the theory of thrifty genes, set point, and the settling point has become debate concerning this topic. There are fundamental differences between these theories, but all of it can explain the genetic and environmental that influences regulation of body weight and obesity. Both in set point and settling point theory, the presence of physiological control systems and behavior plays important key to understanding theory of relativity body weight. Keyword: obesigenic environment, gene, obesity, body weight, imbalance energy B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

63 1. PENDAHULUAN Tidak diragukan lagi obesitas kini menjadi masalah serius negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Jika saat ini di negara-negara maju telah bersiap memerangi epidemi obesitas, di negara berkembang justru panik menghadapi perkembangan obesitas. Obesitas menambah beban negara-negara berkembang yang saat ini juga sedang fokus menanggulangi masalah kurang gizi. Obesitas dapat pula dikatakan sebagai penyakit, sama seperti penyakitpenyakit metabolik lainnya (hipertensi, diabetes, stroke, jantung). Layaknya penyakit metabolik tersebut, obesitas dapat pula menjadi penyebab kematian dan komplikasi penyakit. Secara jelas WHO mendefinisikan bahwa obesitas merupakan kelebihan lemak tubuh yang tersimpan di dalam jaringan lemak/adiposa dan menimbulkan masalah kesehatan. 1 Faktor-faktor determinan obesitas terdiri dari modifiable factor dan nonmodifiable factor. Faktro modifiable merupakan faktor yang dapat diubah atau diberikan intervensi terhadapnya. Seperti misalnya lingkungan, sosial ekonomi, dan gaya hidup. Kemudian faktor non-modifiable termasuk di dalamnya genetika, jenis kelamin, dan usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat diubah. Dalam perkembangan obesitas, sekitar 80-85% dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dimodifikasi, sedangkan hanya 15-20% dijelaskan oleh faktor genetik. Meskipun demikian, peran genetik dalam memberi kontribusi terhadap kejadian obesitas tidak sepenuhnya fixed. Karena ternyata meskipun jalur genetik yang menyebabkan obesitas belum dapat dijelaskan, tetapi diprediksi sedikit banyak berkaitan dengan faktor-faktor determinan yang dapat diubah seperti diet dan perilaku. 2 Beberapa peneliti menyimpulkan jika obesitas dan penyakit-penyakit kronik merupakan hasil dari interaksi gen dan lingkungan. 3,4 Prinsip dasar terjadinya obesitas adalah ketidakseimbangan energi. Faktor yang dapat diubah-penurunan aktivitas fisik disertai peningkatan asupan energi- mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian obesitas. Akan tetapi juga sangat penting untuk memahami peran genetik terhadap obesitas. Mengapa demikian? Setiap individu memiliki variasi genetika yang berbeda-beda, dan terdapat beberapa gen-gen dari individu merupakan faktor penting dari kerentanan terhadap obesitas. 5 Telah diketahui bersama bahwa seseorang yang memiliki riwayat orang tuanya obes akan meningkatkan risiko menjadi obes pula. Tetapi tidak selalu seperti itu, dikarenakan obesitas timbul sebagai akibat dari multifaktor. Maka tidak heran jika ada orang yang meskipun orang tuanya obes dan orang tersebut obesitas, ada juga yang sebaliknya. Teori-teori terkini telah dikembangkan untuk menjelaskan keterkaitan genetik, berat badan dan obesitas misalnya teori gen thrifty 6 atau teori tentang relativitas berat badan PEMBAHASAN 2.1. Obesitas: Faktor Genetik vs Faktor Lingkungan Menurut etiologinya, obesitas terjadi ketika asupan energi kronik berlebih dibandingkan energi yang keluar. Jika dicermati secara sekilas, mungkin terlihat sederhana. Meskipun demikian, obesitas sebenarnya merupakan outcome dari proses yang begitu kompleks yang berkaitan dengan 52 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

64 sistem metabolik dan sistem endokrin manusia dalam mempengaruhi keseimbangan energi. 8 Selain itu, masih terdapat satu komponen pada individu yang ternyata juga memberi kontribusi terhadap kejadian obesitas, yaitu genetik. Secara umum, genetik mempengaruhi berat badan dan komposisi tubuh sesorang melalui nafsu makan, asupan energi, pemilihan rasa, energi yang dikeluarkan pada saat istirahat, pengeluaran energi untuk mencerna makanan, dan efisiensi tubuh dalam menyimpan energi yang tidak digunakan. 8 Meskipun telah diketahui secara teori peran genetik terhadap berat badan, tetapi masih sangat sulit untuk mendapatkan fakta-fakta yang kuat bahwa obesitas dipengaruhi oleh genetik. Karena faktor lingkungan masih dianggap sebagai faktor yang memainkan peran penting terhadap etiologi obesitas. Terdapat substrat dari genetik yang berinteraksi dengan faktor lingkungan terhadap perkembangan obesitas. 9 Beberapa studi pada keluarga sebagai subjek penelitian menemukan bahwa obesitas dipengaruhi oleh keluarga, tetapi masih sangat sulit membedakan apakah itu disebabkan oleh lingkungan ataukah genetik. Atas dasar hal tersebut, dilakukan penelitian di Denmark untuk memisahkan pengaruh faktor lingkungan dan genetik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dari orang tua yang mengadopsi dengan anak-anak mereka. Hasil lainnya menunjukkan trend peningkatan IMT anak dari orang tua kandung. 10 Kesimpulannya bahwa keturunan memiliki peran penting pada risiko perkembangan obesitas. Suatu studi dilakukan untuk mengungkap efek genetik versus efek lingkungan terhadap berat badan menyimpulkan bahwa, seseorang yang memiliki anggota keluarga obes akan meningkatkan risiko terjadinya obesitas dibandingkan yang tidak memiliki anggota keluarga obes meskipun pola makan dan aktivitas yang sama. 8 Menurut Mayer, 11 jika kedua orang tua obes maka kemungkinan 80% keturunannya akan obes pula. Lebih lanjut, dilakukan studi tentang faktor genetik dan faktor lingkungan terhadap berat badan. Karena ternyata antara faktor genetik dan lingkungan saling berkaitan satu sama lain, dan interaksi tersebut meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas menjadi rentan disebabkan oleh genetik ketika individu tersebut memiliki riwayat keluarga obes dan berada pada lingkungan yang kondusif. Dengan kata lain, individu yang secara genetik rentan obes lalu berada di lingkungan Obesigenic environment/westernized society akan memiliki risiko menjadi obes lebih besar lagi. 12 Yang termasuk Obesigenic environment misalnya konsumsi junk food, makanan tinggi lemak dan kalori, dan kemudahan teknologi yang menyebabkan seseorang kurang aktivitas fisik. 13 Keseimbangan energi itu dipengaruhi oleh genetik dan lingkingan. Jika genetik lebih banyak mempengaruhi fisiolgi, maka lingkungan lebih menentukan perilaku individu. Hierarki kasual antara genetik dan lingkungan terhadap keseimbangan energi dapat dilihat pada gambar 1. B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

65 Gambar 1. Hubungan antara genetik, efek lingkungan, fisiologi, dan keseimbangan energi 4 Meskipun seseorang tinggal di lingkungan yang sama, tetapi tidak semuanya menjadi obes, karena pada individu terdapat perbedaan kebiasaan dan fisiologis tubuh yang berbeda-beda. Genetik sangat mempengaruhi faktor fisiologis individu, dan sedikit banyak juga berkaitan dengan behavior. Pandangan alternatif yang muncul bahwa perbedaan perilaku memiliki pengaruh yang besar dari komponen genetik. Ketika berada dalam lingkungan yang sama, beberapa orang lebih mengembangkan obesitas karena setting-an genetik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka lebih cenderung mengadopsi perilaku atau fisiologi (tingkat metabolisme istirahat yang rendah) yang membawa mereka ke dalam ketidakseimbangan energi. 4,14 Dampak kemajuan industrilisasi dan teknologi berakibat pada penurunan aktivitas fisik harian, sehingga menyebabkan semakin menurunnya energi yang dikeluarkan sehari-hari. 15 Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa, berat badan dan penyimpanan energi (dalam bentuk trigliserida) dalam jaringan adiposa ditentukan oleh interaksi faktor genetik, lingkungan, dan psikososial. 16, Teori Relativitas Berat Badan Teori Gen Thrifty Saat ini banyak teori yang mengungkapkan determinasi faktor genetik terhadap perkembangangan obesitas, salah satunya yaitu gen thrifty. Teori tentang gen thrifty ini pertama kali dikembangkan oleh Neel pada tahun 1962, yang menyebutkan bahwa diabetes dan obesitas secara alami diturunkan oleh nenek moyang kita melalui suatu gen yaitu thrifty gene. Gen ini dianggap sangat efisien dalam penyimpanan lemak ketika asupan energi dan lemak dari makanan berlebih. 18 Neel juga berhipotesis bahwa aktivitasi dari gen ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Neel beranggapan, secara historis gen ini bersifat menguntungkan bagi kaum primitif yang tidak pernah terpapar oleh makanan-makanan dalam periode waktu yang singkat, tetapi sangat merugikan di dunia yang serba moderen ini atau lingkungan modern (modernized environment). Bagi kaum primitif, karena pada dasarnya mereka lebih aktif bergerak, sehingga energi ekspenditurnya tinggi. Jadi, gen thrifty bagi mereka membuat kondisi berat badan mereka lebih ramping atau justru normal. Karena meskipun dalam kondisi makanan yang tidak berlimpah, selama masih ada asupan makanan maka tetap efisien menyimpan energi yang tidak digunakan. Sebaliknya bagi individu yang hidup di lingkungan modern, suplai makanan senantiasa tersedia, aktivitas berkurang, sehingga energi yang dikeluarkan juga sedikit, maka gen thrifty ini menjadi aktif dan meningkatkan efisiensi penyimpanan lemak, 18 akibatnya adalah obesitas. Selama kurang lebih 50 tahun sejak dikembangkannya hipotesis gen thrifty ini, 54 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

66 tidak terlalu banyak penelitian yang mengungkapkan bukti empiris dari teori tersebut. Memang tidak dipungkiri lagi bahwa obesitas juga ditentukan oleh genetik, akan tetapi sangat sulit membuktikannya karena; 1) kecenderungan anak menjadi obes yang diwarisi dari orang tua yang obes sangat kecil yakni tidak lebih dari 20%; 2) saat ini obesitas lebih cenderung dikaitkan dengan perilaku dan bahkan mekanisme sistem endokrin dibandingkan genetik; 3) lingkungan mendominasi faktor genetik, dan faktor ini baru akan aktif ketika berada di lingkungan yang kondusif (obesigenic). Bahkan menurut Speakman, 6 sudah saatnya untuk meninggalkan pembahasan tentang ini, dan fokus terhadap faktor-faktor yang dapat diubah (modifiable) Teori Set Point Dasar dari teori set point ini adalah mengenali bahwa setiap inidvidu itu cenderung memiliki kestabilan berat badan dan akan bertahan selama periode tertentu yang cukup lama. Misalnya, pada waktu SMA dulu, kita cenderung merasakan berat badan kita tidak naik dan tidak turun, tetapi tetap pada kisaran tertentu. Contoh lain, pada saat kita merasa nafsu makan kuat dan makan dalam kuantitas berlebih atau sebaliknya sangat malas makan, memang terjadi perubahan berat badan secara spontan, akan tetapi sifatnya relatif sementara dan kembali lagi bertahan pada kisaran yang sama dengan kondisi awal/sebelumnya (starting condition). 7 Meskipun terjadi penurunan berat badan ketika makan sedikit, namun hal itu tidak cukup signifikan untuk bertahan dan akan kembali pada kondisi awal sebelum penurunan berat badan terjadi. Menurut Sims dan Horton 19 bahwa seseorang yang mengalami penurunan berat badan karena kondisi tertentu akan mendapatkan kembali berat badan yang hilang itu dengan cepat pada saat kondisi negatif keseimbangan energi terjadi. Kondisi negatif keseimbangan energi adalah suatu kondisi tidak terjadinya keseimbangan energi pada siklus metabolisme. Orang yang mengalami penurunan berat badan secara ekstrim berarti mengalami kondisi negatif keseimbangan energi, akibatnya tubuh memerlukan asupan energi yang juga ekstrim. 15 Dampaknya terjadi kenaikan berat badan yang signifikan dan secara cepat mendekati kondisi awal sebelum terjadi penurunan berat badan. 20 Kondisi demikianlah yang terjadi pada orang yang melakukan diet ketat, cenderung program diet ketat tersebut tidak berhasil dan ketika berat badan telah turun secara ekstrim, sangat berpotensi untuk kembali ke keadaan semula. Teori inilah yang disebut dengan set point. Observasi ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang menemukan bahwa konsep set point berat badan, seperti konsep sistem keseimbangan energi, memang diprogram untuk menahan berat badan utama (kisaran berat badan pada kondisi individu saat itu). Keesey dan Corbett 21 juga melakukan studi eksperimen pada hewan berhasil menunjukkan bukti bertahannya berat badan tertentu meskipun terjadi defisit ataupun surplus energi. Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya set point ini berat badan kita tidak akan terjadi perubahan. Pada dasarnya, untuk mengubah set point dari berat badan, perubahan pada mekanisme dasar sistem saraf pusat (CNS) yang mengatur asupan energi yang masuk dan keluar diperlukan. 22 Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember

67 pada hewan dengan merusak hipotalamus ventromedial di otak yang kemudian dikenal sebagai pusat rasa kenyang menyebabkan hewan tersebut overeating dan mencapai berat badan baru yang lebih berat (sebagai set point baru). Alternatif lain yaitu merusak hipotalamus lateral yang juga disebut sebagai pusat makan, menghasilkan intake makan berkurang, kehilangan berat badan, dan berat badan baru yang lebih ringan (juga sebagai set point baru) 7. Hasil dari teori set point menyatakan bahwa umpan balik dari homeostatis tubuh yaitu mengendalikan penyimpanan lemak. Jadi ketika tubuh mencapai kondisi homeostatis, maka penyimpanan lemak juga tidak akan berubah, begitu pula dengan berat badan. Dengan kata lain, teori set point ini menyangkut regulasi metabolik dari berat badan. 20 Hal ini didukung oleh penelitian pada tahun 1989 oleh Elliot terhadap 7 wanita obes. Subjek diberikan perlakuan berupa metode puasa yang dimodifikasi selama 8 minggu. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa tidak terjadi perubahan berat badan pada subjek penelitian, dan cenderung stabil pada kisaran berat sebelum intervensi Teori Settling Point Berkebalikan dari teori set point yang menyatakan bahwa berat badan cenderung berada dalam kondisi stabil/konstan, dalam settling point, terdapat sedikit pengaturan aktif dari berat badan. Terlihat bahwa berat badan yang stabil pada dasarnya hasil dari keadaan stabil yang ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti diet dan gaya hidup. Apabila kondisi itu diubah, maka berat badan akan dapat diatur kembali. Inilah yang menjadi prinsip dari settling point.22 Model settling point dapat memberikan keterangan yang cukup meyakinkan untuk banyak fenomena, sedangkan model set point tidak dapat menjelaskan. Pada settling point, peningkatan prevalensi obesitas dijelaskan sebagai konsekuensi dari peningkatan ketersediaan makanan atau eksposur yang lebih besar terhadap isyarat makanan (yaitu asupan makanan tinggi) atau pergeseran penurunan kebutuhan dari penurunan aktivitas fisik. Model settling point lebih didasarkan pada efek dari faktor-faktor sosial, gizi dan lingkungan. Settling point dipengaruhi oleh perbedaan fisiologi, psikologi, dan kondisi lingkungan individu. Sebagai contoh, penurunan tingkat aktivitas fisik mendorong terjadinya ketidakseimbangan energi, berat badan menjadi meningkat. 23 Namun demikian, kita tahu bahwa genotip hanya dapat bekerja dalam konteks lingkungan, dan lingkungan memiliki efek yang bergantung pada genotip. Oleh karena itu, dapat dikatakan teori settling point ini lebih dapat menjelaskan pengaturan berat badan sebagai implikasi dari interaksi genetik dan lingkungan dibandingkan teori set point KESIMPULAN Sebagai kesimpulan, bahwa genetik dan lingkungan sangat sulit untuk dievaluasi secara terpisah, karena terdapat interaksi antara faktor genetik maupun faktor lingkungan dan berimplikasi pada perilaku dan fisiologis tubuh. Pada akhirnya, perilaku dan kondisi fisiologis tubuh inilah yang mempengaruhi regulasi keseimbangan energi dan sebagai manifestasinya berupa pengaturan berat badan. Namun demikian, banyak teori yang muncul dan memaparkan bahwa perubahan berat badan sebagai 56 B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

68 manifestasi dari faktor genetik, lingkungan atau bahkan interaksi keduanya. Set point dan settling point saling bertolak belakang, dan pada intinya, teori set point memberikan atribut obesitas disebabkan oleh faktor fisiologis, sedangkan pada teori settling point disebabkan oleh faktor lingkungan eksternal yang lebih dominan. 22 Perdebatan antara kedua teori ini masih berlangsung, tentang hipotesis mana yang lebih dominan terhadap terjadinya obesitas. 24 Namun demikain, tanpa memperhatikan keduanya apakah teori set point ataukah settling point yang paling mempengaruhi berat badan, keberadaan sistem kontrol fisiologi yang mempertahankan berat badan tidak dapat juga diabaikan karena berdasarkan bukti yang tersedia (penelitian). DAFTAR REFERENSI [1] World Health Organization: Obesity: Preventing and managing the global epidemic. WHO technical report seies 894. Geneva: World Health organization; [2] Lyon H.N., and Hirschhorn J.N. Genetics of common forms of obesity: a brief overview. Am J Clin Nutr. 2005; 82(suppl): 215sS-217S. [3] de Castro JM. Genes, the environment and the control of food intake. Bri J Nutrition 2004;92:S59-S62. [4] Speakman J.R. Obesity: Integrated roles of environment and genetics. J Nutrition 2004;134:2090S-2105S. [5] Barsh GS, Farooqi IS, O Rahilly S. Genetics of body-weight regulation. Nature 2000;404: [6] Speakman J.R. Thrifty genes for obesity and the metabolic syndrome -- time to call off the search. Diabetes and Vascular Disease Research : [7] Berryman, Davy, and Edward. Control of Energy Balance. In Stipanuk MH and Caudill MA (3 rd eds.) Biochemical, Physiological, and Molecular Aspects of Human Nutrition. (pp.504). New York: Elsevier; [8] Lee, Robert D. Energy balance and body weight. In Nelms M., Sucher K., and Long B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013 S. (1 st ed.) Nutrition Therapy and Pathophysiology. (pp ). Belmont: Thomson Brooks/Cole; [9] Bray MS. Genomics, genes, and environmental interaction: the role of exercise. J Appl Physiol 2000;88: [10] Stunkard, A. J. Genes, environment and human obesity. In: Progress in Obesity Research 1990 (Oomura, Y., Tarui, S., Inoue, S. & Shimazu, T., eds.), pp John Libby, London, UK. [11] Mayer J. Genetics factors in human obesity. Ann NY Acad Sci. 1965; 131: [12] Speakman J.R., Levitsky D.A., Allison D.B., Bray M.S., decastro J.M., Clegg D.J., Clapham J.C., Dulloo A.G., Gruer L., Haw S., Hebebrand J., Hetherington M.M., Higgs S., Jebb S.A., Loos R.J.F., Luckman S., Luke A., Ali V.M., O Rahilly S., Pereira M., Perusse L., Robinson T.N., Rolls B., Sysmonds M.E., and Plantenga M.S. Set points, settling points and some alternative models: theoretical options to understand how genes and environments combine to regulate body adiposity. Dis Model Mech November; 4(6): [13] Petrik, Melissa Hansen. Nutrigenomics. In Nelms M., Sucher K., and Long S. (1 st ed.) Nutrition Therapy and Pathophysiology. (pp ). Belmont: Thomson Brooks/Cole; [14] Leibel RL, Rosenbaum M, Hirsch J. Changes in energy expenditure resulting from altered body weight. N Engl J Med 1995;332: [15] Tremblay A., Perusse L., and Bouchard C. Energy balance and body-weight stability: impact of gene environment interactions. British Journal of Nutrition (2004), 92, Suppl. 1, S63 S66. [16] Spiegelman BM, Flier JS. Obesity and the regulation of energy balance. Cell 2001;104: [17] Symonds M. E., Budge H., Perkins A. C., Lomax M. A. Adipose tissue development impact of the early life environment. Prog. Biophys. Mol. Biol. 2011; 106: [18] Neel JV. Diabetes mellitus: a 'thrifty' genotype rendered detrimental by 'progress'? Am J Hum Genetics 1962;4: [19] Sims and Horton. Endocrine and metabolic adaptation to obesity and starvation. The American Journal of Clinical Nutrition 1968; 21: [20] Weinsier R. L., Nagy T.R., Hunter G.R., Darnell B.E., Hensrud D.D., and Weiss 57

69 H.L. Do adaptive changes in metabolic rate favor weight regain in weight-reduced individuals? An examination of the setpoint theory. Am J Clin Nutr 2000;72: [21] Keesey and Corbett. Metabolic defense of the body weight set point. In A. J. Stunkard and E. Stellar (Eds.), Eating and its disorders (pp.87-96). New York: Raven Press; [22] Tam J., Fukumura D., and Jain R.K. A Mathematical model of murine metabolic regulation by leptin: energy balance and defense of a stable body weight. Cell Metab January 7; 9(1): [23] Hill et al. Obesity and the environment: Where do we go from here? Science 2003; 299: [24] Levin BE. Factors promoting and ameliorating the development of obesity. Physiol Behav ;86: B I M G I Volume 2 No.1 Juni - Desember 2013

70

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL BERKALA ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN (BIMKES)

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL BERKALA ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN (BIMKES) PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL BERKALA ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN (BIMKES) Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan (BIMKES) adalah publikasi per semester yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur.

Lebih terperinci

Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) The Journal of the Indonesian Medical Students Association

Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) The Journal of the Indonesian Medical Students Association Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) The Journal of the Indonesian Medical Students Association Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) adalah publikasi

Lebih terperinci

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2013

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2013 MUTU PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN) WIDYA KARYA NASIONAL PANGAN DAN GIZI X Citrakesumasari, dkk Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 2013

Lebih terperinci

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR NANAS SKRIPSI OLEH: SENDY VIOLITA NRP 6103012121 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

JURNAL MEDIKA PLANTA

JURNAL MEDIKA PLANTA JURNAL MEDIKA PLANTA INDONESIAN JOURNAL OF HERBAL MEDICINE Pemrosesan Artikel (Article Processing) Sekretaris (Secretary) Ketua Dewan Penyunting (Editor-in-Chief) Diterima dengan perbaikan Diterima (Accepted)

Lebih terperinci

MUTU PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN) DITINJAU DARI ASPEK MIKROBIOLOGI DAN DAYA TERIMA KONSUMEN

MUTU PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN) DITINJAU DARI ASPEK MIKROBIOLOGI DAN DAYA TERIMA KONSUMEN Artikel Penelitian MUTU PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN) DITINJAU DARI ASPEK MIKROBIOLOGI DAN DAYA TERIMA KONSUMEN THE QUALITY OF LAWA BALE (TRADITIONAL FOOD OF SOUTH SULAWESI) VIEWED

Lebih terperinci

UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI

UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI 1 UJI KUALITAS YOGHURT SUSU SAPI DENGAN PENAMBAHAN MADU dan Lactobacillus bulgaricus PADA KONSENTRASI YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: FITA FINARSIH A 420 100 067 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Lebih terperinci

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN ORGANOLEPTIK KEFIR NANAS

KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN ORGANOLEPTIK KEFIR NANAS KAJIAN PROPORSI SARI NANAS DAN KONSENTRASI STARTER TERHADAP SIFAT KIMIA DAN ORGANOLEPTIK KEFIR NANAS SKRIPSI OLEH: INKA ANTONIA PERMATA H. NRP 6103011081 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Survei Manfaat Daun Hantap Cara Penetapan Sampel

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Survei Manfaat Daun Hantap Cara Penetapan Sampel 19 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Desember 2010 yang mencakup kegiatan penyelesaian proposal, pengambilan

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENYIMPANAN DINGIN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR DENGAN PENAMBAHAN BUBUR STRAWBERRY SKRIPSI

PENGARUH WAKTU PENYIMPANAN DINGIN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR DENGAN PENAMBAHAN BUBUR STRAWBERRY SKRIPSI PENGARUH WAKTU PENYIMPANAN DINGIN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN MIKROBIOLOGIS KEFIR DENGAN PENAMBAHAN BUBUR STRAWBERRY SKRIPSI OLEH: JESSICA YUNIVINATA 6103008058 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN GARAM DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP MUTU KIMCHI LOBAK SKRIPSI Oleh: CHERIA LESTARI 090305017/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

OLEH: SUZANNA TANIAJI

OLEH: SUZANNA TANIAJI PENGARUH JENIS GULA DAN KONSENTRASI EKSTRAK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA, VIABILITAS BAKTERI ASAM LAKTAT, DAN ORGANOLEPTIK YOGURT NON FAT SKRIPSI OLEH: SUZANNA TANIAJI 6103008007 PROGRAM

Lebih terperinci

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) JURNAL KEDOKTERAN RAFLESIA JURNAL ILMIAH FKIK UNIVERSITAS BENGKULU ISSN 2477-3778 Volume 1 Nomor 2, Desember 2015 TIM REDAKSI PELINDUNG Rektor Universitas Bengkulu PENASEHAT

Lebih terperinci

ANALISA ph OPTIMUM UNTUK PERKEMBANGBIAKAN LACTOBACILLUS BULGARICUS DALAM PROSES FERMENTASI GLUKOSA PADA SOYGURT

ANALISA ph OPTIMUM UNTUK PERKEMBANGBIAKAN LACTOBACILLUS BULGARICUS DALAM PROSES FERMENTASI GLUKOSA PADA SOYGURT Laporan Tugas Akhir ANALISA ph OPTIMUM UNTUK PERKEMBANGBIAKAN LACTOBACILLUS BULGARICUS DALAM PROSES FERMENTASI GLUKOSA PADA SOYGURT (Analysis Of Optimum ph For Lactobacillus bulgaricus Growth In Glucose

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Rangkaian penelitian kualitas selai alpukat ( Persea americana Mill)

BAB III MATERI DAN METODE. Rangkaian penelitian kualitas selai alpukat ( Persea americana Mill) 10 BAB III MATERI DAN METODE Rangkaian penelitian kualitas selai alpukat ( Persea americana Mill) dengan 3 jenis pemanis alami, dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2017 di Laboratorium Kimia dan

Lebih terperinci

SIFAT ORGANOLEPTIK ES KRIM DENGAN PENAMBAHAN JUS WORTEL (Daucus carotal.)

SIFAT ORGANOLEPTIK ES KRIM DENGAN PENAMBAHAN JUS WORTEL (Daucus carotal.) SKRIPSI SIFAT ORGANOLEPTIK ES KRIM DENGAN PENAMBAHAN JUS WORTEL (Daucus carotal.) UIN SUSKA RIAU Oleh: Niki Utami 11181203959 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM

Lebih terperinci

ES KRIM PROBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN UBI JALAR PROBIOTIC ICE CREAM WITH ADDITION OF SWEET POTATOES

ES KRIM PROBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN UBI JALAR PROBIOTIC ICE CREAM WITH ADDITION OF SWEET POTATOES ES KRIM PROBIOTIK DENGAN PENAMBAHAN UBI JALAR PROBIOTIC ICE CREAM WITH ADDITION OF SWEET POTATOES SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian Oleh: HANS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, dan (6) Hipotesis Penelitian.

Lebih terperinci

M. Yogie Nugraha 1), Edison 2), and Syahrul 2) Abstract

M. Yogie Nugraha 1), Edison 2), and Syahrul 2) Abstract The Effect of Addition of Tempe Powder on Consumer Acceptance, Protein, and NPN Composition of fish Protein Concentrate Prepared from Pangasius Catfish (Pangasiushypopthalmus) By M. Yogie Nugraha 1), Edison

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari tahun

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari tahun BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 hingga Februari tahun 2017 diawali dengan persiapan ekstrak pegagan di Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro. Formulasi

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SARI JAHE TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA, MIKROBIOLOGIS DAN SENSORIS YOGURT SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN SARI JAHE TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA, MIKROBIOLOGIS DAN SENSORIS YOGURT SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN SARI JAHE TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA, MIKROBIOLOGIS DAN SENSORIS YOGURT SKRIPSI OLEH: LISTYANI 6103007063 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM LAKTAT DARI LIMBAH KUBIS UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN TAHU

APLIKASI ASAM LAKTAT DARI LIMBAH KUBIS UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN TAHU APLIKASI ASAM LAKTAT DARI LIMBAH KUBIS UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN TAHU Suprihatin, Lucky Indrati Utami Progdi Teknik Kimia FTI UPN Veteran Jawa Timur RINGKASAN Dengan maraknya penggunaan formalin sebagai

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU ORGANOLEPTIK BEKASAM IKAN WADER

EVALUASI MUTU ORGANOLEPTIK BEKASAM IKAN WADER EVALUASI MUTU ORGANOLEPTIK BEKASAM IKAN WADER Laili Hidayati Lismi Animatul Chisbiyah Titi Mutiara Kiranawati Jurusan Teknologi Industri Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang e-mail: lely_tiftum@yahoo.com

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN LEMPER MENGGUNAKAN PENGEMASAN VAKUM DAN KOMBINASI PENGEMASAN VAKUM-PASTEURISASI UAP

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN LEMPER MENGGUNAKAN PENGEMASAN VAKUM DAN KOMBINASI PENGEMASAN VAKUM-PASTEURISASI UAP MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN LEMPER MENGGUNAKAN PENGEMASAN VAKUM DAN KOMBINASI PENGEMASAN VAKUM-PASTEURISASI UAP EXTENDING THE SHELF LIFE OF LEMPER USING VACUUM PACKAGING AND VACUUM PACKAGING-STEAM PASTEURIZATION

Lebih terperinci

PETUNJUK PENULISAN MAKALAH LENGKAP FOKUS AWARD 2017 LAPORAN PENELITIAN

PETUNJUK PENULISAN MAKALAH LENGKAP FOKUS AWARD 2017 LAPORAN PENELITIAN PETUNJUK PENULISAN MAKALAH LENGKAP FOKUS AWARD 2017 LAPORAN PENELITIAN Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan penelitian dan manfaat untuk waktu yang akan datang. Metode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang jumlah strainnya sangat banyak, serta mengandung alkohol 0,5-1,0% dan

I. PENDAHULUAN. yang jumlah strainnya sangat banyak, serta mengandung alkohol 0,5-1,0% dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kefir merupakan produk fermentasi berisi kumpulan bakteri dan khamir yang jumlah strainnya sangat banyak, serta mengandung alkohol 0,5-1,0% dan asam laktat 0,9-1,11% (Gulitz

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produksi buah tropis di Indonesia cukup beragam, salah satu buah yang dibudidayakan adalah buah nanas yang cukup banyak terdapat di daerah Lampung, Subang, Bogor,

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN

LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN LAPORAN TUGAS AKHIR OPTIMASI PEMBUATAN COCOGURT MENGGUNAKAN FERMENTOR SERTA KULTUR CAMPURAN Lactobacillus sp. DAN Streptococcus sp. DENGAN VARIASI SUKROSA DAN POTONGAN BUAH MANGGA Optimization of Manufacturing

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE

BAB III MATERI DAN METODE 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2017. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian dilakukan pada bulan November

Lebih terperinci

PEMANFAATAN NIRA NIPAH

PEMANFAATAN NIRA NIPAH 1 PEMANFAATAN NIRA NIPAH (Nypah frutycans) MENJADI BIOETANOL DENGAN METODE FERMENTASI MENGGUNAKAN KONSENTRASI RAGI (Saccharomyces cereviseae) YANG BERBEDA Venrico 1), Henky Irawan 2), Muzahar 2) Program

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT (Streptococcus thermophilus DAN Lactobacillus bulgaricus) SKRIPSI OLEH: FELICIA NOVITA

Lebih terperinci

KANDUNGAN VITAMIN C DAN UJI ORGANOLEPTIK FRUITHGURT KULIT BUAH SEMANGKA DENGAN PENAMBAHAN GULA AREN DAN KAYU SECANG NASKAH PUBLIKASI

KANDUNGAN VITAMIN C DAN UJI ORGANOLEPTIK FRUITHGURT KULIT BUAH SEMANGKA DENGAN PENAMBAHAN GULA AREN DAN KAYU SECANG NASKAH PUBLIKASI KANDUNGAN VITAMIN C DAN UJI ORGANOLEPTIK FRUITHGURT KULIT BUAH SEMANGKA DENGAN PENAMBAHAN GULA AREN DAN KAYU SECANG NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: WIDYA AGUSTINA A 420 100 076 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA DAN TINGKAT KESUKAAN PERMEN KERAS (Hard Candy) SARI BUAH PALA (Myristica fragrans houtt famili myristicaseae)

SIFAT KIMIA DAN TINGKAT KESUKAAN PERMEN KERAS (Hard Candy) SARI BUAH PALA (Myristica fragrans houtt famili myristicaseae) SIFAT KIMIA DAN TINGKAT KESUKAAN PERMEN KERAS (Hard Candy) SARI BUAH PALA (Myristica fragrans houtt famili myristicaseae) THE CHEMICAL NATURE AND LEVEL (HARD CANDY) SARI NUTMEG (Myristica fragrans houtt

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI WAKTU PERENDAMAN DAN PENAMBAHAN SODA KUE (NaHCO 3 ) TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA TEMPE KORO BENGUK

PENGARUH VARIASI WAKTU PERENDAMAN DAN PENAMBAHAN SODA KUE (NaHCO 3 ) TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA TEMPE KORO BENGUK PENGARUH VARIASI WAKTU PERENDAMAN DAN PENAMBAHAN SODA KUE (NaHCO 3 ) TERHADAP KADAR ASAM SIANIDA TEMPE KORO BENGUK THE EFFECT OF SOAKING TIME VARIATION AND BAKING SODA ON CYANIDE ACID LEVEL IN VELVET BEAN

Lebih terperinci

SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK TEH HITAM DARI BERBAGAI WAKTU PENYEDUHAN DAN KONSENTRASI SEDUHAN SKRIPSI

SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK TEH HITAM DARI BERBAGAI WAKTU PENYEDUHAN DAN KONSENTRASI SEDUHAN SKRIPSI SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK TEH HITAM DARI BERBAGAI WAKTU PENYEDUHAN DAN KONSENTRASI SEDUHAN SKRIPSI OLEH : YOHANA OKTAVIANI 6103008054 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu adalah cairan yang dihasilkan dari sekresi kelenjar mammae hewan mamalia yang fungsi utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak hewan yang baru lahir.

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI

PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI OLEH: MEGAWATI GUNAWAN 6103010022 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di Indonesia produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Hasil olahan fermentasi yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Cikaret, Bogor dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Universitas Katholik Soegiyapranata untuk analisis fisik (ph) dan Laboratorium Kimia Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH PROPORSI KEDELAI DAN JAGUNG TERHADAP TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT, SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG SKRIPSI

PENGARUH PROPORSI KEDELAI DAN JAGUNG TERHADAP TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT, SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG SKRIPSI PENGARUH PROPORSI KEDELAI DAN JAGUNG TERHADAP TOTAL BAKTERI ASAM LAKTAT, SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG SKRIPSI OLEH: ANGELIA DWI LESTIYANI 6103006038 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober Januari 2013. Pelaksanaan proses pengeringan dilakukan di Desa Titidu, Kecamatan Kwandang, Kabupaten

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh:

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh: LAPORAN AKHIR PKM-P Formulasi dan Daya Terima Susu Fermentasi yang Ditambahkan Ganyong (Canna edulis. Kerr) sebagai Minuman Sinbiotik Serta Daya Hambatnya Terhadap Pertumbuhan E.coli. Oleh: Babang Yusup

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GULA AREN DAN SUHU PEMANASAN TERHADAP ORGANOLEPTIK DAN KUALITAS SIRUP AIR KELAPA

PENGARUH PENAMBAHAN GULA AREN DAN SUHU PEMANASAN TERHADAP ORGANOLEPTIK DAN KUALITAS SIRUP AIR KELAPA PENGARUH PENAMBAHAN GULA AREN DAN SUHU PEMANASAN TERHADAP ORGANOLEPTIK DAN KUALITAS SIRUP AIR KELAPA (Effect of Addition of Palm Sugar and Heating Temperature on Organoleptic and Quality of Coconut Water

Lebih terperinci

KADAR PROTEIN, PH DAN JUMLAH BAKTERI ASAM LAKTAT YOGHURT SUSU SAPI DENGAN VARIASI PENAMBAHAN SARI DAUN KELOR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR PROTEIN, PH DAN JUMLAH BAKTERI ASAM LAKTAT YOGHURT SUSU SAPI DENGAN VARIASI PENAMBAHAN SARI DAUN KELOR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR PROTEIN, PH DAN JUMLAH BAKTERI ASAM LAKTAT YOGHURT SUSU SAPI DENGAN VARIASI PENAMBAHAN SARI DAUN KELOR DAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA Deskripsi data merupakan pemaparan dan penggambaran data yang dihasilkan selama proses penelitian. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOPI KOMBUCHA BERBAHAN BAKU KOPI SIDIKALANG SKRIPSI OLEH : MARNI OTACE WULAN NAPITUPULU

PEMBUATAN KOPI KOMBUCHA BERBAHAN BAKU KOPI SIDIKALANG SKRIPSI OLEH : MARNI OTACE WULAN NAPITUPULU PEMBUATAN KOPI KOMBUCHA BERBAHAN BAKU KOPI SIDIKALANG SKRIPSI OLEH : MARNI OTACE WULAN NAPITUPULU 080305016 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup semua pengertian dan pengukuran yang dipergunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis

Lebih terperinci

LAPORAN SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan

LAPORAN SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan EVALUASI PRODUK YOGHURT NABATI BERBASIS EKSTRAK JAGUNG MANIS (Zea mays L. var. saccharata) DAN SUSU KEDELAI BERDASARKAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORIS EVALUATION OF SWEET CORN EXTRACT (Zea mays L. var.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tempe merupakan produk pangan khas Indonesia berbahan kedelai yang diolah melalui fermentasi kapang Rhizopus oligosporus. Tempe sangat familiar dikalangan masyarakat

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam HUBUNGAN ANTARA KADAR GARAM DAN KADAR AIR TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA MAKANAN TRADISIONAL RONTO DARI KOTABARU KALIMANTAN SELATAN Meiliana Sho etanto Fakultas Farmasi Meilianachen110594@gmail.com

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU MINUMAN FERBEET (Fermented Beetroot) SKRIPSI. Oleh :

PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU MINUMAN FERBEET (Fermented Beetroot) SKRIPSI. Oleh : PENGARUH PENAMBAHAN GULA PASIR DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP MUTU MINUMAN FERBEET (Fermented Beetroot) SKRIPSI Oleh : MICHAEL SIMANJUNTAK 110305026/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN Ca-LAKTAT TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG PROPOSAL SKRIPSI OLEH : YOHANES ALIM

PENGARUH PENAMBAHAN Ca-LAKTAT TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG PROPOSAL SKRIPSI OLEH : YOHANES ALIM PENGARUH PENAMBAHAN Ca-LAKTAT TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT KEDELAI JAGUNG PROPOSAL SKRIPSI OLEH : YOHANES ALIM 6103007031 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: Edwina Pariwono

SKRIPSI. Oleh: Edwina Pariwono PENGARUH PENGGUNAAN KULTUR YOGURT YANG DITUMBUHKAN TERPISAH PADA MEDIA AIR KELAPA DENGAN BERBAGAI TINGKAT PENAMBAHAN SUSU SKIM TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT YANG DIHASILKAN SKRIPSI Oleh: Edwina Pariwono

Lebih terperinci

Suplemen Majalah SAINS Indonesia

Suplemen Majalah SAINS Indonesia Suplemen Majalah SAINS Indonesia Edisi November 2016 Suplemen Agrotek Pertanian (MSI 1 1 10/26/2016 7:19:48 PM 2 Edisi November 2016 Suplemen Majalah SAINS Indonesia Suplemen Agrotek Pertanian (MSI 2 2

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Semarang untuk analisis kadar protein, viskositas, dan sifat organoleptik.

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A PEMANFAATAN LIMBAH AIR LERI BERAS IR 64 SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN SIRUP HASIL FERMENTASI RAGI TEMPE DENGAN PENAMBAHAN KELOPAK BUNGA ROSELLA SEBAGAI PEWARNA ALAMI NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : PUJI

Lebih terperinci

PDF processed with CutePDF evaluation edition

PDF processed with CutePDF evaluation edition KAJIAN SIFAT FISIKO-KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK YOGURT DENGAN SUSU SAPI DARI BERBAGAI PETERNAK DI SURABAYA SKRIPSI OLEH: SANTI LYDIAWATI 6103007058 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode analisisnya berupa pemodelan matematika dan statistika. Alat bantu analisisnya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN UMBI BENGKUANG (Pachyrrhizus erosus) UNTUK MINUMAN SINBIOTIK SKRIPSI

PEMANFAATAN UMBI BENGKUANG (Pachyrrhizus erosus) UNTUK MINUMAN SINBIOTIK SKRIPSI PEMANFAATAN UMBI BENGKUANG (Pachyrrhizus erosus) UNTUK MINUMAN SINBIOTIK SKRIPSI Oleh : Agus Susanto NPM. 0733010002 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Biologi

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S- 1. Pendidikan Biologi UJI TOTAL ASAM DAN ORGANOLEPTIK DALAM PEMBUATAN YOGHURT SUSU KACANG HIJAU ( Phaseolus radiatus ) DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN KULIT CEMPEDAK DALAM PEMBUATAN MANDAI STUDY ON MAKING USE OF SKIN CEMPEDAK MANDAI

STUDI PEMANFAATAN KULIT CEMPEDAK DALAM PEMBUATAN MANDAI STUDY ON MAKING USE OF SKIN CEMPEDAK MANDAI STUDI PEMANFAATAN KULIT CEMPEDAK DALAM PEMBUATAN MANDAI STUDY ON MAKING USE OF SKIN CEMPEDAK MANDAI Dewi Arianti (0806121082) Yusmarini and Usman Pato arianti07.dewi@gmail.com ABSTRACT This study aims

Lebih terperinci

KAJIAN PERBEDAAN PROPORSI KONJAC DAN KARAGENAN SERTA KONSENTRASI SUKROSA TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK JAMBU BIJI MERAH

KAJIAN PERBEDAAN PROPORSI KONJAC DAN KARAGENAN SERTA KONSENTRASI SUKROSA TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK JAMBU BIJI MERAH KAJIAN PERBEDAAN PROPORSI KONJAC DAN KARAGENAN SERTA KONSENTRASI SUKROSA TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK JAMBU BIJI MERAH SKRIPSI OLEH: LISA NOVIA ARINI 6103006074 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

UJI ORGANOLEPTIK DAN DAYA SIMPAN SELAI GULMA KROKOT

UJI ORGANOLEPTIK DAN DAYA SIMPAN SELAI GULMA KROKOT UJI ORGANOLEPTIK DAN DAYA SIMPAN SELAI GULMA KROKOT (Portulaca oleracea) DENGAN PENAMBAHAN AIR PERASAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DENGAN PERBANDINGAN YANG BERBEDA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: RUSTONI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim

BAB I PENDAHULUAN. berarti bagi tubuh. Menurut Dewanti (1997) bahan-bahan pembuat es krim BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Es krim adalah sejenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau campuran susu, lemak hewani maupun nabati, gula, dan dengan atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan produk pangan menggunakan bahan baku kacang-kacangan telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Kita mengenal tempe, oncom, kecap, tahu, yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanas merupakan buah tropis yang banyak dibudidayakan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2013) dalam Lathiifah dkk. (2014), produksi nanas

Lebih terperinci

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI

UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI UJI ORGANOLEPTIK FRUITGHURT HASIL FERMENTASI LIMBAH BUAH ANGGUR (Vitis vinifera) OLEH Lactobacillus bulgaricus SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

STUDI PERPANJANGAN UMUR SIMPAN PRODUK BAKCANG AYAM DENGAN KOMBINASI PERLAKUAN PENGEMASAN VAKUM DAN PASTEURISASI

STUDI PERPANJANGAN UMUR SIMPAN PRODUK BAKCANG AYAM DENGAN KOMBINASI PERLAKUAN PENGEMASAN VAKUM DAN PASTEURISASI STUDI PERPANJANGAN UMUR SIMPAN PRODUK BAKCANG AYAM DENGAN KOMBINASI PERLAKUAN PENGEMASAN VAKUM DAN PASTEURISASI EXTENDING THE SHELF-LIFE OF BAKCANG AYAM USING COMBINATION OF VACUUM PACKAGING AND PASTEURIZATION

Lebih terperinci

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS Acceptability test and nutrient compositon of rice with the addition of pumpkin and sweet corn Hadiah Kurnia Putri

Lebih terperinci

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan

khususnya dalam membantu melancarkan sistem pencernaan. Dengan kandungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri nata de coco di Indonesia saat ini tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco termasuk produk makanan yang memiliki banyak peminat serta dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Fermentasi Alkohol Fermentasi merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah

Lebih terperinci

C. Prosedur Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mendapatkan yield nata de cassava yang optimal.

C. Prosedur Penelitian 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dimaksudkan untuk mendapatkan yield nata de cassava yang optimal. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini adalah penelitan eksperimental. Tempat penelitian adalah Laboratorium Kimia Universitas Katolik Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium

Lebih terperinci

PENAMBAHAN GULA KELAPA DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS SUSU FERMENTASI KACANG MERAH. ( Phaseolus vulgaris L.)

PENAMBAHAN GULA KELAPA DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS SUSU FERMENTASI KACANG MERAH. ( Phaseolus vulgaris L.) PENAMBAHAN GULA KELAPA DAN LAMA FERMENTASI TERHADAP KUALITAS SUSU FERMENTASI KACANG MERAH (Phaesolus vulgaris L.) ADDITION OF COCONUT SUGAR AND TIME OF FERMENTATION ON QUALITY OF RED BEANS MILK FERMENTED

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PEMERAMAN TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK WINE ANGGUR BALI (ALPHONSO LAVALLE) SKRIPSI

PENGARUH LAMA PEMERAMAN TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK WINE ANGGUR BALI (ALPHONSO LAVALLE) SKRIPSI PENGARUH LAMA PEMERAMAN TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK WINE ANGGUR BALI (ALPHONSO LAVALLE) SKRIPSI OLEH: TITO KURNIAWAN ANG 6103008008 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR SIRUP GLUKOSA DARI BIJI SORGUM. ASAM KLORIDA (HCl)

LAPORAN TUGAS AKHIR SIRUP GLUKOSA DARI BIJI SORGUM. ASAM KLORIDA (HCl) LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN SIRUP GLUKOSA DARI BIJI SORGUM (Shorgum bicolor) DENGAN PROSES HIDROLISIS KATALIS ASAM KLORIDA (HCl) Disusun oleh: AYU KARTIKA SARI I 8310013 DWI WIDY ASTUTI I 8310027 PROGRAM

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU

PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECAMBAH KACANG HIJAU Skripsi Oleh : BERNANDA YULIASANJAYA NPM : 0333010049 PROGDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY

PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY PENGARUH PERBANDINGAN SARI NENAS DENGAN SARI DAUN KATUK DAN KONSENTRASI KARAGENAN TERHADAP MUTU PERMEN JELLY SKRIPSI Oleh: MISYE A. LUMBANGAOL 110305028/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG (Study on Molasses as Additive at Organoleptic and Nutrition Quality of Banana Shell Silage) S. Sumarsih,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU EKSTRAKSI TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI BUAH KAWIS DAN MARKISA SKRIPSI

PENGARUH SUHU EKSTRAKSI TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI BUAH KAWIS DAN MARKISA SKRIPSI PENGARUH SUHU EKSTRAKSI TERHADAP KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI BUAH KAWIS DAN MARKISA SKRIPSI OLEH: MELVIN MEINHART SOETJIPTO NRP 6103013038 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK AIR KELAPA DENGAN VARIASI KONSENTRASI KARAGENAN SKRIPSI OLEH: CECILIA SENDUK

SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK AIR KELAPA DENGAN VARIASI KONSENTRASI KARAGENAN SKRIPSI OLEH: CECILIA SENDUK SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK JELLY DRINK AIR KELAPA DENGAN VARIASI KONSENTRASI KARAGENAN SKRIPSI OLEH: CECILIA SENDUK 6103010020 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

FORMULASI GRANUL EFFERVESCENT BERBAHAN BAKU YOGURT PROBIOTIK BUBUK DENGAN METODE GRANULASI BASAH SKRIPSI FITRIA HASANAH

FORMULASI GRANUL EFFERVESCENT BERBAHAN BAKU YOGURT PROBIOTIK BUBUK DENGAN METODE GRANULASI BASAH SKRIPSI FITRIA HASANAH FORMULASI GRANUL EFFERVESCENT BERBAHAN BAKU YOGURT PROBIOTIK BUBUK DENGAN METODE GRANULASI BASAH SKRIPSI FITRIA HASANAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR TUGAS AKHIR PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR (MANUFACTURE OF COW S MILK YOGHURT WITH THE HELP OF MICROORGANISMS IN PLAIN YOGHURT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PEYIMPANAN SUSU SAPI PASTEURISASI PADA SUHU RENDAH TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK YOGURT SKRIPSI

PENGARUH LAMA PEYIMPANAN SUSU SAPI PASTEURISASI PADA SUHU RENDAH TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK YOGURT SKRIPSI PENGARUH LAMA PEYIMPANAN SUSU SAPI PASTEURISASI PADA SUHU RENDAH TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK YOGURT SKRIPSI OLEH: MARGARITA WIDARTO 6103007055 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI CARBOXY METHYL CELLULOSE DAN KONSENTRASI GULA TERHADAP MUTU SELAI JAGUNG

PENGARUH KONSENTRASI CARBOXY METHYL CELLULOSE DAN KONSENTRASI GULA TERHADAP MUTU SELAI JAGUNG PENGARUH KONSENTRASI CARBOXY METHYL CELLULOSE DAN KONSENTRASI GULA TERHADAP MUTU SELAI JAGUNG SKRIPSI OLEH : DANIEL 100305029 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Fani Aulia Rahmah Penguji : Ir. Neneng Suliasih, MP

Fani Aulia Rahmah Penguji : Ir. Neneng Suliasih, MP Fani Aulia Rahmah 123020050 Pembimbing Utama : Ir. Hj. Ina Siti Nurminabari, MP Pembimbing Pendamping : Ir. H. Thomas Gozali, MP Penguji : Ir. Neneng Suliasih, MP Latar Belakang Pangan Fungsional Kefir

Lebih terperinci

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani

Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani Agro inovasi Inovasi Olahan dan Limbah Meningkatkan SDM dan Ekonomi Petani Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id 2 AgroinovasI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci