BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan Indonesia dapat bersaing di pasar dunia dan ikut melaksanakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan Indonesia dapat bersaing di pasar dunia dan ikut melaksanakan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan disetiap daerah adalah bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah adalah dalam rangka perjuangan Negara Indonesia untuk mencapai: Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sepenuhnya merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan, dapat melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa, menjadikan barang dan jasa yang dihasilkan Indonesia dapat bersaing di pasar dunia dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang menempatkan manusia sebagai titik sentral, sehingga memiliki ciri ciri dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang bertujuan meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pembangunan (BPS, 2007). Keberhasilan pembangunan manusia dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Pembangunan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Beberapa teori menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan salah satunya dapat diukur dari pertumbuhan ekonominya. Menurut Todaro (2006) bahwa ada 3 (tiga ) komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: 1) 1

2 2 Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia melalui perbaikan dibidang kesehatan, pendidikan, dan keterampilan kerja; 2) Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja dan yang ke 3) adalah Kemajuan teknologi yang secara luas diterjemahkan sebagai cara baru untuk menyelesaikan pekerjaan. Dinamika penanaman modal berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, juga mencerminkan naik turunnya pembangunan ekonomi. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara/daerah senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas Otonomi. Pemberian otonomi dilaksanakan melalui desentralisasi, dekonsentrasi, penugasan dan pembantuan yang secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesungguhnya pemberian otonomi kepada daerah adalah sarana untuk memperlancar penyelenggaraan negara sebagai tugas Pemerintah NKRI dengan tujuan yang jelas yaitu :1) meningkatkan dan memperlancar pembangunan di Daerah, terutama dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, baik dibidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan

3 3 maupun kesehatan; 2) memperlancar dan mempermudah pelayanan administrasi pemerintahan; 3) meningkatkan kualitas pengelolaan wilayah baik pengelolaan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia; 4) meningkatkan keikutsertaan masyarakat daerah dalam penentuan kebijakan publik baik yang bersifat nasional maupun bersifat terbatas; 5) memperkuat persatuan dan keatuan bangsa serta memperkuat ketahanan dan pertahanan nasional disemua bidang (LAN, 2008). Titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II, dengan dasar pertimbangan bahwa dari dimensi politik Dati II dianggap kurang mempunyai fanatisme kedaerahan, dari dimensi administratif penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih efektif, Dati II adalah ujung tombak pelaksanaan pembangunan sehingga dianggap lebih tahu kebutuhan dan potensi daerahnya serta yang terakhir dapat meningkatkan local accountability Pemda terhadap rakyatnya (Kuncoro, 2004). Peranan penduduk dalam pembangunan sangat penting, sesuai dengan asumsi klasik bahwa jumlah penduduk mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk yang besar merupakan gambaran tersedianya pasar yang luas dan jaminan tersedianya input faktor produksi. Pertambahan jumlah penduduk yang besar mempunyai implikasi yang luas terhadap program pembangunan, karena pertambahan penduduk yang besar dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban pembangunan (Arjoso, 2006). Penduduk dapat merupakan faktor pendukung dan juga sebagai faktor penghambat dalam pembangunan. Penduduk sebagai pendukung atau modal

4 4 pembangunan karena dengan jumlah penduduk besar dapat menyediakan tenaga kerja yang besar yang dapat bertindak sebagai produsen dan juga sebagai konsumen utama terhadap hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan akan berkontribusi tinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penduduk dikatakan sebagai faktor penghambat apabila jumlah penduduk yang besar dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban pemerintah dalam pembangunan (Suparmoko, 2002). Disisi lain penduduk selaku obyek dan sasaran dalam pembangunan memiliki peranan penting bagi pemerintah daerah sebagai dasar membuat perencanaan dan penyusunan kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan sumber-sumber pendapatan dan pengalokasian anggaran belanja khususnya melalui belanja langsung untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat, diperlukan sumber-sumber pembiayaan sebagaimana diatur dalam Undangundang No. 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beranjak dari ketentuan tersebut memberikan konsekuensi terhadap kewenangan yang jelas dan luas serta bertanggung jawab secara proporsional di bidang Pendapatan Daerah yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan potensi sumber daya, guna membiayai otonomi daerah sesuai dengan tigkatan Daerah Otonom. Mengacu pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 bahwa Pembiayaan Otonomi Daerah bersumber dari Pendapatan

5 5 Daerah yang bersumber dari PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Dana perimbangan merupakan salah satu sumber Pendapatan Daerah (PD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mebiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Kuncoro, 2004). Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,dinyatakan bahwa Dana Perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah yang pembagiannya telah diatur bedasarkan prosentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 33 tahun 2004, maka pemberian otonomi diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi yang berdampak terhadap terciptanya perluasan kesempatan kerja dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Instrumen fiskal dari dana perimbangan juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja pembangunan, karena belanja pembangunan dapat menstimulus permintaan terhadap barang dan jasa, menarik investor untuk berinvestasi di daerah yang dapat meningkatkan aktivitas ekonomi daerah pada berbagai sektor, dan dapat memperluas lapangan usaha untuk mengurangi pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai kajian (Bappenas, 2011), dinyatakan bahwa kebijakan investasi swasta dan

6 6 investasi pemerintah berdampak positif terhadap kinerja perekonomian wilayah, menurunnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran, dengan kata lain bahwa kebijakan investasi yang dilakukan baik oleh pihak swasta dan oleh pemerintah berdampak positif terhadap kesejahteraan. Pendapat tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan (Yulian Rinawaty Taaha, Dkk. 2013) menunjukan bahwa Dana Perimbangan yang terdiri dari: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui Investasi swasta di Provinsi Jawa Tengah. Sama seperti sumber pendapatan daerah lainya PAD dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah), dana perimbangan dimaksud digunakan untuk membiayai pembangunan daerah melalui belanja langsung dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum dan mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Pembangunan infrastruktur daerah dan Sumber Daya Manusia (SDM) perlu dilakukan dengan pendekatan pembangunan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pendekatan bidang sosial kemasyarakatan. Untuk meningkatkan SDM, harus ada keterlibatan secara berkelanjutan dari pemerintah dalam pendekatan pembangunan di berbagai bidang selain pendekatan politik yang dilakukan selama ini, sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran, buta huruf, tingkat kematian ibu dan bayi, serta kesenjangan sosial lainnya antar kabupaten/kota. Tujuan inti pembangunan dalam arti luas adalah membangun manusia seutuhnya yang tidak saja mencakup aspek biologis, aspek intelektualitas dan aspek kesejahteraan ekonomi semata, tetapi juga aspek iman

7 7 dan ketakwaan juga mendapat perhatian yang besar (Nehen, 2012). Pembangunan manusia yang berhasil sebetulnya juga memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan ekonomi melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Dengan kata lain terdapat hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia (Ranis, 1998 dalam BPS, 2007). Pengalaman pembangunan pada beberapa negara terdapat pembelajaran bahwa untuk mempercepat pembangunan manusia beberapa hal dapat dilakukan antara lain melalui distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai untuk pendidikan dan kesehatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat, berbagai upaya dapat dilakukan pemerintah antara lain dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk kepentingan publik, yaitu secara langsung berupa pembayaran transfer dan secara tidak lansgung melalui penciptaan lapangan kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan dan sebagainya (Todaro,2006). Menurut Arsyad (2005) bahwa kebijakan pemerintah yang mendukung aspek pembangunan manusia dapat dilihat dari proporsi anggaran pemerintah untuk pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan. Besarnya proporsi anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kedua sektor tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. Belanja modal yang dilakukan pemerintah daerah digunakan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur dalam sektor pendidikan, kesehatan dan transportasi

8 8 sehingga masyarakat dapat menikmati langsung manfaat dari pembangunan daerah yang berdampak terhadap kesejahteraan. Informasi tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat merupakan suatu masukan yang penting dalam proses perencanaan pembangunan. Beberapa indikator tingkat kesejahteraan telah dikembangkan sebagai dasar dalam mengamati pola kesenjangan kesejahteraan masyarakat antar daerah. Saat ini penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau (HDI) sebagai indikator kesejahteraan memperoleh penerimaan secara luas di seluruh dunia, bahkan telah memperoleh penerimaan pada tingkat daerah. Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia dari sisi ekonomi (daya beli), kesehatan maupun pendidikan (Nehen, 2012). HDI merupakan manfaat yang sangat bermanfaat untuk mengukur tingkat kesejahteraan antar negara maupun antar daerah (Todaro, 2003). Salah satu keuntungan HDI adalah index, ini mengungkapkan bahwa sebuah negara /daerah dapat berbuat jauh lebih baik pada tingkat pendapatan yang rendah, dan bahwa kenaikan pendapatan yang besar hanya berperan relatif kecil dalam pembangunan manusia (Hadi Sasana, 2009). Pemerintah daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pembangunan manusia yang tercermin dari IPM yang meningkat yang terjadi di kabupaten/kota Provinsi Bali. Dalam penelitian ini digunakan IPM sebagai acuan untuk menentukan tingkat kesejahteraan dalam bentuk rangking kesejahteraan suatu daerah. Nilai IPM Provinsi Bali cenderung mengalami peningkatan dari 70,53 pada tahun 2007 menjadi 72,62 pada tahun

9 9 2012, namun angka ini masih berada dibawah nilai IPM yang ditargetkan Pemerintah Provinsi Bali sebesar 72,64 pada tahun 2012, tetapi secara nasional IPM Provinsi Bali pada tahun 2012 menduduki peringkat 16 (Biro Ekbang Provinsi Bali, 2012). Peningkatan ini juga terjadi pada empat kabupaten dan kota yang nilainya secara rata-rata berada di atas IPM Provinsi Bali dan bahkan diatas IPM Nasional. Namun masih terdapat empat IPM kabupaten hampir setiap tahun berada dibawah rata-rata Provinsi Bali, dan empat IPM kabupaten yang berada dibawah IPM Provinsi Bali adalah Kabupaten Karangasem, Klungkung, Bangli dan Buleleng. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terjadi pada beberapa kabupaten/kota di Provinsi Bali seperti Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dengan IPM sebesar 78,80 dan 75,69 pada tahun 2012 serta laju pertumbuhan ekonomi sebesar 7,18 persen untuk Kota Denpasar dan 7,30 persen untuk Kabupaten Badung pada tahun 2012 (BPS, 2013) tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong terciptanya iklim investasi serta pengelolaan keuangan daerah melalui pengalokasian belanja langsung dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat (C) dan pengeluaran investasi swasta (I), selanjutnya berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah dan akhirnya dapat berdampak terhadap pengeluaran pemerintah (G) dalam perekonomian. Meningkatnya pengeluaran pemerintah tersebut akan mendorong naiknya permintaan barang dan jasa dalam perekonomian sehingga produksi meningkat.

10 10 Peningkatan produksi diberbagai sektor tentu membutuhkan tambahan tenaga kerja, disisi produksi adanya pertumbuhan ekonomi akan menaikkan tambahan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan teori pertumbuhan (Harrod-Domar dalam Todaro, 2006) dinyatakan bahwa untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan netto terhadap cadangan atau stok modal. Beberapa hasil kajian berkaitan dengan pernyataan tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Muchamad Rizal Rachman (2010) dengan hasil penelitian bahwa 1) dengan analisa IW di Kabupaten Gresik ternyata investasi bermanfaat terhadap pendapatan perkapita tapi tidak bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi, 2) Di Kabupaten Sidoarjo ternyata investasi bermanfaat terhadap pendapatan per kapita tapi kurang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi,3) Di Kabupaten Pasuruan ternyata investasi tidak bermanfaat terhadap kesejahteraan masyarakat tapi mempunyai manfaat dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Hadi Sasana : 2009 hasilnya menunjukkan bahwa,1) pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah, 2) tenaga kerja berpengaruh positif dan signfikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian Ihyaul Ulum (2005) dinyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap belanja daerah Provinsi di Indonesia. Demikian juga Penelitan yang telah dilakukan oleh Lilis Setyowati (2012) hasilnya diperoleh bahwa DAU, DAK dan PAD berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasian Belanja Modal, dan Belanja Modal juga berpengaruh positif terhadap IPM sedangkan

11 11 Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh positif terhadap IPM melalui belanja Modal. Beberapa penelitian dilakukan berkaitan pelaksanaan desentralisasi dan keberhasilan otonomi daerah yang bermuara akhir pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Mengacu pada uraian diatas, analisis pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi terhadap kesejahteraan masyarakat melalui belanja langsung penting dilakukan, agar dapat dijadikan sebagai tambahan acuan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan di kabupaten/kota di Provinsi Bali. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten /kota Provinsi Bali pada tahun ? 2) Adakah pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui belanja langsung di kabupaten /kota Provinsi Bali pada tahun ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

12 12 1) Untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Bali pada tahun ) Untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui belanja langsung di kabupaten /kota Provinsi Bali pada tahun Manfaat Penelitian Manfaat akademik Hasil penelitian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan diharapkan dapat digunakan sebagai wahana untuk mengimplementasikan konsep-konsep teori yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan serta meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan melalui hasil penelitian tentang pengaruh jumlah penduduk, dana perimbangan dan investasi terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Bali. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung hasil penelitian sebelumnya Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali dalam mengambil kebijakan pembangunan khususnya berkaitan dengan perencanaan anggaran /pengalokasian belanja langsung dan menciptakan iklim investasi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

13 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep-Konsep dan Definisi Otonomi daerah Pemberian otonomi dilaksanakan melalui desentralisasi, dekonsentrasi, penugasan dan pembantuan yang diatur dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah sebagian dengan Undang-undang No.8 tahun Ketentuan pelaksanaan otonomi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ada berbagai pengertian desentralisasi menurut Maddick (1983) dalam Kuncoro (2004) mendefinisikan desentralisasi sebagai proses dan devolusi. Devolusi adalah penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsifungsi tertentu kepada daerah, sedang dekonsentrasi merupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal di luar kantor pusat. Tipe pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah telah menjadi kewenangan pemerintah setempat. Suwandi (2001) menyatakan bahwa pelimpahan yang diberikan dititik beratkan pada pilihan desentralisasi/devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun privatisasi, hal ini ditentukan oleh para pengambil keputusan politik pada negara bersangkutan. Dalam UU No. 5 Tahun 1974

14 14 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam 3 prinsip (Kuncoro,2004) yaitu : 1) Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah; 2) Dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah; 3) Tugas pembantuan (medebewind) yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II, dengan dasar pertimbangan adalah: 1) Dari dimensi politik Daerah tingakat II dipandang kurang memiliki panatisme kedaerahan, sehingga resiko separatis dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim, 2) Dari dimensi administrasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih efektif; 3) Daerah tingkat II adalah ujung tombak pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah tingkat II dianggap lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya; 4) Dapat meningkatkan local accountability pemerintah daerah terhadap rakyatnya.

15 15 Tujuan kebijakan desentralisasi menurut Mardiasmo (2002) tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Terdapat tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, 2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan 3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan Desentralisasi fiskal Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2004 di bagi menjadi tiga, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah otonom adalah merupakan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan dibidang pemerintahan yang dilimpahkan. Menurut (Kusaini: 2006 dalam Sasana: 2009 ) dinyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur dan dilakukan oleh pemerintah pusat. Kebijakan

16 16 perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan pusat ke daerah, sehingga semakin banyak wewenang yang dilimpahkan maka semakin besar biaya yang dibutuhkan. Desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan baranag-barang publik, dan pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan karena pemerintah lokal dianggap lebih tahu kebutuhan masyarakatnya dan dan lebih berguna bagi efisiensi alokasi (Oates dalam Sasana: 2009). Menurutnya juga dinyatakan bahwa pembelanjaan infrastruktur dan sektor sosial pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi dari pada kebijakan pemerintah pusat, dinyatakan daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dan memenuhi kebutuhan masyarakat karena pemerintah daerah dianggap lebih tahu kondisi daerah dan kebutuhan masyarakatnya Definisi penduduk BPS SP. 2010, mendefinisikan bahwa yang termasuk penduduk suatu wilayah adalah ketika dilakukan pencacahan memiliki karakteristik : tinggal diwilayah itu secara menetap atau sudah enam bulan atau lebih; tinggal di wilayah kurang dari enam bulan tetapi bermaksud untuk menetap; sedang bepergian ke wilayah lain kurang dari enam bulan dan tidak bermaksud menetap di wilayah tujuan; serta mereka yang yang bertempat tinggal di wilayah itu dengan mengontrak/kos/sewa untuk bekerja atau sekolah yang kemungkinan pindah lagi

17 17 karena berbagai alasan. Simanjuntak (2012) menyatakan penduduk adalah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara. Pengertian penduduk pada penelitian ini memakai konsep Badan Pusat Statistik. Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Berdasarkan penelitiannya, pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi. a) Fertilitas ( Kelahiran) Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. b) Mortalitas (Kematian) Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Informasi tentang kematian, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta, yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan. Data kematian sangat diperlukan untuk proyeksi penduduk guna perancangan pembangunan. Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, dan jasa jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan evaluasi terhadap program program kebijakan penduduk. c) Migrasi Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas

18 18 administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Migrasi merupakan salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Peninjauan migrasi secara regional sangat penting untuk ditelaah secara khusus mengingat terjadinya kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor faktor pendorong dan penarik bagi orang orang untuk melakukan migrasi, seperti komunikasi dan transportasi yang semakin lancar. Pada umumnya orang yang datang dan pergi antarnegara boleh dikatakan berimbang saja jumlahnya. Peraturan peraturan atau undang undang yang dibuat oleh banyak negara umumnya sangat sulit dan ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi warga negara atau menetap secara permanen di suatu negara lain Konsep penduduk yang bekerja. Definisi penduduk usia kerja ( BPS SP. 2010) adalah penduduk yang berumur 15 tahun dan lebih. Dan penduduk yang temasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Bekerja yang dimaksudkan disini adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.

19 Pengertian investasi Secara umum investasi adalah meliputi pertambahan barang- barang dan jasa dalam masyarakat, seperti pertambahan mesin-mesin baru, pembuatan jalan baru, pembukaan tanah baru dan sebagainya. Investasi juga di artikan sebagai pengeluaran yang di lakukan oleh para pengusaha untuk membeli barang-barang modal dan membina industri-industri. Sukirno (1998), investasi diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi adalah pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal ini memungkinkan perekonomian untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa di masa yang akan datang. Adakalanya penanaman modal dilakukan untuk menggantikan barang-barang modal lama yang harus didepresiasikan (Sukirno, 2008). Dalam model Keynesian dimana diasumsikan bahwa semua pendapatan harus dikeluarkan untuk di konsumsi atau di tabung, dan jumlah prekonomian dapat di bagi dua yaitu antara pengeluaran untuk barang-barang konsumsi dan barang modal, dan posisi keseimbangan dalam perekonomian ditentukan pada saat jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran sehingga investasi sama nilainya dengan tabungan. Dalam kaitannya dengan perusahaan melakukan

20 20 investasi guna mendapatkan profit yang sebesar-besarnya, di mana dana investasi tersebut salah satunya bersumber dari dana masyarakat yang ditabung pada lembaga-lembaga keuangan, maka dapat di kemukakan bahwa : Investasi merupakan pengeluaran perusahaan secara keseluruhan yang mencakup pengeluaran untuk membeli bahan baku/material, mesin-mesin dan peralatan pabrik serta semua modal lain yang di perlukan dalam proses produksi. Menurut Arsyad (2010) dan Nehen (2010), bahwa Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor sebagai berikut : a. Akumulasi modal, termasuk investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal dan sumberdaya manusia (human resources), akan terjadi jika ada bagian dari pendapatan sekarang yang akan ditabung dan diinvestasikan untuk memperbesar output pada masa yang akan datang. Akumulasi modal akan menambah sumberdaya-sumberdaya yang baru dan meningkatkan sumberdaya-sumberdaya yang ada. b. Pertumbuhan penduduk, dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi, namun kemampuan merangsang tergantung kepada kemampuan sistem ekonomi yang berlaku dalam menyerap dan memperkerjakan tenaga kerja secara produktif. c. Kemajuan teknologi menurut para ekonom, kemajuan teknologi merupakan faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh cara-cara baru dan caracara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan tradisional.

21 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan PAD, khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih, 2003). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD memiliki beberapa fungsi yaitu. a) Fungsi otorisasi yang mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan; b) Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa angggaran daerah, menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; c) Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan; d) Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan

22 22 pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi, efektifitas perekonomian; e) Fungsi distribusi yang mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; f) Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Penyusunan APBD sebagai rencana keuangan daerah sangat penting dalam rangka penyelenggaran fungsi daerah otonom. APBD sebagai alat/wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program, dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat umum. APBD harus memuat bagian pendapatan yang digunakan untuk membiayai biaya administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/investasi. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah, akan terus diarahkan ada peningkatan PAD. Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan upaya intensifikasi dan eksestensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada ( PAD, Dana Peimbangan dan Pendapatan Lainnya Yang Sah) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada maupun menggali sumber-sumber baru. Pada sisi belanja, kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja

23 23 aparatur. Dalam kaitannya dengan pembiayaan agar terus diupayakan peningkatan penyertaan modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat meningkatkan PAD. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah disiplin dan efisiensi anggaran secara konsisten dipertahankan dan dilaksanakan tanpa mempengaruhi penurunan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kebijakan pembiayaan defisit penanggulangannya diarahkan melalui pinjaman daerah Pendapatan daerah Yang dimaksud dengan pendapatan menurut Poerwadarminta (1986) adalah : 1) Hasil pencarian (usaha dan sebagainya); 2) Suatuyang didapatkan (dibuat dan sebagainya yang sedianya belum ada). Dari pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan pendapatan adalah hasil atau merupakan penerimaan yang bermanfaat yang didapatkan dari suatu usaha yang dilakukan. Pendapatan Daerah menurut Fauzi (1995) adalah komponen APBD untuk membiayai pembangunan dan melancarkan roda pemerintahan. Karena itu tiap-tiap pendapatan daerah dapat dipungut seintensif mungkin. Sumber pendapatan daerah tidak saja bersumber dari PAD akan tetapi termasuk pula pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan pemerintah pusat yang dalam realisasinya dapat saja berbentuk bagi hasil penerimaan pajak dari pusat atau lainnya yang berbentuk subsidi (sokongan) untuk keperluan pembangunan daerah dan sebagainya. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 pasal 23, Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam

24 24 satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dapat dikelompokan sebagai berikut. 1) PAD terdiri dari. a) Pajak daerah; b) Retribusi daerah; c) Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan : (1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/badan Umum Milik Daerah (BUMD); (2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/badan Umum Milik Negara (BUMN); (3) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok masyarakat; d) Lain-lain PAD yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2) Dana Perimbangan. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dan pelaksanaan pembangunan daerah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, diperlukan sumber-sumber pembiayaan sebagaimana diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beranjak dari ketentuan tersebut memberikan konsekuensi terhadap kewenangan yang jelas dan luas serta bertanggung jawab secara proporsional di bidang Pendapatan Daerah yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan potensi sumber

25 25 daya, guna membiayai otonomi daerah sesuai dengan tingkatan Daerah Otonom. Mengacu pada UU Nomor 33 Tahun 2004 bahwa Pembiayaan Otonomi Daerah bersumber dari Pendapatan Daerah yang bersumber PAD, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Dana perimbangan merupakan salah satu sumber Pendapatan Daerah (PD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Kuncoro, 2004). Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dinyatakan bahwa Dana Perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah yang pembagiannya telah diatur bedasarkan prosentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 33 tahun 2004, maka pemberian otonomi diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi yang berdampak terhadap terciptanya perluasan kesempatan kerja dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 10, dinyatakan, Dana Perimbangan terdiri dari: 1) Dana Bagi Hasil (a) Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari : a) Pajak bumi dan bangunan (PBB); b) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

26 26 (BPHTB), c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21; (b) Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari: a) kehutanan, b) pertambangan umum, c) perikanan, d) pertambangan minyak bumi, e) pertambangan gas bumi dan f) pertambangan panas bumi. 2) DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar, jumlah DAU keseluruhan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN, jumlah tersebut adalah untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota; 3) DAK, dialokasikan pada kepala Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan APBN. 4) Lain-lain pendapatan daerah yang terdiri dari pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat Belanja daerah. Belanja Daerah, meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 dan adanya perubahan kedua dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

27 27 tentang perubahan kedua, belanja dikelompokkan menjadi dua yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung. 1) Belanja Langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan yang terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. 2) Belanja Tidak Langsung. Belanja tidak langsung adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program/kegiatan, yang terdiri dari: belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa Kesejahteraan masyarakat Kesejahteraan adalah merupakan harapan dan tujuan utama pelaksanaan pembangunan. UUD 1945 merupakan suatu landasan konstitusi NKRI yang telah meletakkan dasar-dasar tata kelola dan kehidupan bernegara, berawal dari bentuk negara sampai kepada kesejahteraan sosial, sesuai diatur dalam pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi kehidupan yang baik, terpenuhi kebutuhan materi untuk hidup, kebutuhan spiritual, kebutuhan sosial seperti terjadinya suatu tatanan yang teratur, dapat mengelola konflik dalam kehidupan keseharian, terjamin dari segi keamanan, dan

28 28 setiap orang memiliki kedudukan yang sama didepan hukum ( keadilan terjamin) terjaganya kesenjangan sosial ekonomi. Tiga kategori tentang pencapaian kesejahteraan menurut (Midgley : 2005 dalam Suryaningsih : 2014) pertama adalah sejauh mana masalah sosial dapat diatur, kedua adalah sejauh mana kebutuhan dapat dipenuhi dan yang ketiga adalah sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat diperoleh. Semuanya akan dapat tercipta dalam kehidupan bersama, baik pada tingkat keluarga, komunitas maupun masyarakat secara luas. Untuk memudahkan pencapaian meningkatnya kesejahteraan masyarakat telah ditentukan indikator kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan pendapatan perkapita dan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman terhadap konsep kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusi kesejahteraan antar kelompok masyarakat atau antar daerah. Representasi distribusi merupakan muara dari persoalan mendasar, yaitu keadilan ( BPS, 2011) Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak saja dapat dilihat dari pertumbuhannya tetapi harus diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan kehidupan masyarakat. IPM yang merupakan indeks komposit dari indikator kesehatan, pendidikan, dan ekonomi juga diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang

29 29 tercermin dari penduduk yang sehat dan berumur panjang, berpendidikan dan berketrampilan serta mempunyai pendapatan yang memungkinkan untuk hidup layak. Pengukuran kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan HDI telah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1993, yang disebut IPM (BPS, 2011). Terdapat tiga nilai menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi yaitu kecukupan, harga diri dan kebebasan yang merupakan tujuan pokok dan harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan (Nehen : 2012). Program pembangunan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) united nations development plant (UNDP) telah berusaha menyusun alat pengukuran holistik atas tingkat kehidupan manusia yang disebut IPM. IPM mencoba memeringkat semua negara dari skala nol (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah), hingga satu (tingkat pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir pembangunan : masa hidup, yang diukur dengan usua harapan hidup, pengetahuan, yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dan rata rata tahun bersekolah (sepertiga), serta standar kehidupan yang diukur dengan pendapatan riil perkapita, disesuaikan dengan paritas daya beli dari mata uang setiap negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi utilitas marjinal yang semakin menurun dari pendapatan. IPM mengingatkan kita bahwa pembangunan yang kita maksudkan adalah pembangunan dalam arti luas, bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi. Kesehatan dan pendidikan bukan hanya input produksi dalam perannya sebagai komponen sumber daya manusia, tetapi merupakan tujuan pembangunan

30 30 yang fundamental Nehen (2012) menyatakan bahwa kita tidak berpendapat bila suatu negara yang mempunyai penduduk berpendapatan tinggi, tetapi tidak berpendidikan, kesehatannya tidak terpelihara dengan baik sehingga harapan hidupnya lebih singkat dari pada penduduk suatu negara yang lain di dunia telah mencapai tingkatan pembangunan yang lebih tinggi dari pada negara yang berpendapatan rendah tetapi usia harapan hidup dan kemampuan baca tulisnya lebih tinggi. Pendapat tersebut hampir sama yang dinyatakan Ranis dan Stewart (2001) dalam Dedy Rustiono (2008) bahwa pembangunan manusia secara luas didefinisikan sebagai orang-orang yang mengusahakan orang-orang untuk menjalani hidup lebih lama, lebih sehat dan berkecukupan. Dinyatakan pula bahwa pembangunan manusia yang berhasil dapat memberikan manfaat positif bagi pertumbuhan melalui tersedianya tenaga kerja yang berkualitas (terdidik) dan memiliki kompetensi. Variabel yang diperlukan dalam perhitungan IPM sama seperti yang dilakukan UNDP, yaitu angka harapan hidup untuk bidang kesehatan, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah untuk bidang pendidikan dan pendapatan riil perkapita untuk bidang ekonomi. 2.2 Teori- teori yang Relevan Teori kependudukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa bagian di dunia ini menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa bagian di dunia ini telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan. Fenomena ini menggelisahkan para ahli, dan masing masing dari mereka berusaha mencari

31 31 faktor faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Umumnya para ahli dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari penganut aliran Malthusian. Aliran Malthusian dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, dan aliran Neo Malthusian dipelopori oleh Garreth Hardin dan Paul Ehrlich. Kelompok kedua terdiri dari penganut aliran Marxist yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kelompok ketiga terdiri dari pakar-pakar teori kependudukan mutakhir yang merupakan reformulasi teori teori kependudukan yang ada. a) Aliran Malthusian Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, seorang pendeta Inggris, hidup pada tahun 1766 hingga tahun Pada permulaan tahun 1798 lewat karangannya yang berjudul: Essai on Principle of Populations as it Affect the Future Improvement of Society, with Remarks on the Specculations of Mr. Godwin, M.Condorcet, and Other Writers, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi ini. Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena hubungan kelamin antar laki laki dan perempuan tidak bisa dihentikan. Disamping itu Malthus berpendapat bahwa untuk hidup manusia memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan. Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia. Untuk dapat

32 32 keluar dari permasalahan kekurangan pangan tersebut, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut Malthus pembatasan tersebut dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu Preventive Checks, dan Positive Checks. Preventive Checks adalah pengurangan penduduk melalui kelahiran. Positive Checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian. Apabila di suatu wilayah jumlah penduduk melebihi jumlah persediaan bahan pangan, maka tingkat kematian akan meningkat mengakibatkan terjadinya kelaparan, wabah penyakit dan lain sebagainya. Proses ini akan terus berlangsung sampai jumlah penduduk seimbang dengan persediaan bahan pangan. b) Aliran Neo-Malthusians Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, teori Malthus mulai diperdebatkan lagi. Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih radikal disebut dengan kelompok Neo-Malthusianism. Menurut kelompok ini (yang dipelopori oleh Garrett Hardin dan Paul Ehrlich), pada abad ke-20 (pada tahun 1950-an), dunia baru yang pada jamannya Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. Dunia baru sudah tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang selalu bertambah. Paul Ehrlich dalam bukunya The Population Bomb pada tahun 1971, menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini lingkungan sudah banyak yang tercemar dan rusak. c) Aliran Marxist

33 33 Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Tatkala Thomas Robert Malthus meninggal di Inggris pada tahun 1834, mereka berusia belasan tahun. Kedua duanya lahir di Jerman kemudian secara sendiri sendiri hijrah ke Inggris. Pada waktu itu teori Malthus sangat berpengaruh di Inggris maupun di Jerman. Marx dan Engels tidak sependapat dengan Malthus yang menyatakan bahwa apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan kekurangan bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang terdapat di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan penduduk terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan terjadi bukan disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, tetapi kesalahan masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat pada negara-negara kapitalis. Kaum kapitalis akan mengambil sebagaian pendapatan dari buruh sehingga menyebabkan kemelaratan buruh tersebut. Selanjutnya Marx berkata, kaum kapitalis membeli mesin mesin untuk menggantikan pekerjaan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh. Jadi penduduk yang melarat bukan disebabkan oleh kekurangan bahan pangan, tetapi karena kaum kapitalis mengambil sebagian dari pendapatan mereka. Jadi menurut Marx dan Engels sistem kapitalisasi yang menyebabkan kemelaratan tersebut. Untuk mengatasi hal hal tersebut maka struktur masyarakat harus diubah dari sistem kapitalis ke sistem sosialis. d) Teori John Stuart Mill John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dapat menerima pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk

34 34 melampaui laju pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma. Namun demikian ia berpendapat bahwa pada situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi perilaku demografinya. Selanjutnya ia mengatakan apabila produktifitas seseorang tinggi ia cenderung ingin mempunyai keluarga yang kecil. Dalam situasi seperti ini fertilitas akan rendah. Tidaklah benar bahwa kemiskinan tidak dapat dihindarkan atau kemiskinan itu disebabkan karena sistem kapitalis. Kalau pada suatu waktu di suatu wilayah terjadi kekurangan bahan makanan, maka keadaan ini hanya bersifat sementara saja. Pemecahannya ada dua kemungkinan yaitu: mengimport bahan makanan, atau memindahkan sebagaian penduduk wilayah tersebut ke wilayah lain. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang tidak mampu. Dengan meningkatnya pendidikan penduduk maka secara rasional mereka mempertimbangkan perlu tidaknya menambah jumlah anak sesuai dengan karir dan usaha yang ada. Di samping itu Mill berpendapat bahwa umumnya perempuan tidak menghendaki anak yang banyak, dan apabila kehendak mereka diperhatikan maka tingkat kelahiran akan rendah. Model Pertumbuhan Solow menekankan interaksi antara pertumbuhan populasi dan akumulasi modal, dinyatakan bahwa pertumbuhan yang tinggi mengurangi output perpekerja, karena pertumbuhan jumlah pekerja yang sangat cepat akan membuat persediaan modal dibagi lebih banyak, sehingga dalam kondisi mapan setiap pekerja akan dilengkapi dengan modal sedikit (Mankiw, 2006). Sedangkan menurut Robert Malthus dalam bukunya (An Essay on the

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Proyeksi Penduduk Dalam rangka perencanaan pembangunan di segala bidang, diperlukan informasi mengenai keadaan penduduk seperti jumlah penduduk, persebaran penduduk,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Penduduk Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. tuntutan utama yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesiapan sumber daya pun harus

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. tuntutan utama yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesiapan sumber daya pun harus BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Di era otonomi daerah seperti saat ini kemandirian suatu daerah adalah tuntutan utama yang tidak dapat dielakkan lagi. Kesiapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan yang diharapkan oleh setiap daerah tidak terkecuali bagi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali. Berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 4. TEORI PENDUDUK 4.1. Pendahuluan Para ahli kependudukan di dunia dapat dikelompokkan menjadi tia kelompok. Kelompok pertama kelompok Maithusian. Aliran Maithusian dipelopori oleh Thomas Robert Maithus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno,

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah dilaksanakan secara efekif. Hal ini merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN 8-1 BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN 8.1. Pendapatan Daerah 8.1.1. Permasalahan Lambatnya perkembangan pembangunan Provinsi Papua Barat saat ini merupakan dampak dari kebijakan masa lalu yang lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era reformasi ini tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia yang menyebabkan adanya aspek akuntabilitas dan transparansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang- BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan pendudukyang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan pendudukyang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan pendudukyang disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK 63 BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK A. Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Freedman dalam anggaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian dan Unsur-Unsur APBD Menurut Garrison dan Noreen (2006:402), Anggaran adalah rencana rinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam era otonomi daerah yang sedang berjalan dewasa ini di Indonesia, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menjalankan pemerintahannya secara mandiri. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya dan suku bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap daerah

Lebih terperinci

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setelah beberapa dekade pola sentralisasi dianut oleh Bangsa Indonesia. Namun semenjak tahun 2001 pola tersebut berganti dengan pola baru yang disebut desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal) BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan dalam teori keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH BAB V PENDANAAN DAERAH Dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lain (principal). Zimmerman (1997) menyatakan bahwa agency problem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lain (principal). Zimmerman (1997) menyatakan bahwa agency problem BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LandasanTeori 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agensi adalah hubungan antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak (agent) setuju untuk bertindak dengan persetujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal pada Indeks Pembangunan Manusia dengan Dana Alokasi Umum sebagai Variabel Pemoderasi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Putu Milan Pradnyantari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah objek utama dalam perabadan dunia. Dalam skala internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam pembangunan dan peradaban,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1. 1 Definisi dan Teori Otonomi Khusus UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah dapat dilihat dari aspek history yang dibagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pemerintah Kota Bengkulu 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Otonomi daerah yang merupakan bagian dari reformasi kehidupan bangsa oleh Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,

Lebih terperinci