KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU SEBAGAI OBYEK WISATA BERBASIS JASA LINGKUNGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU SEBAGAI OBYEK WISATA BERBASIS JASA LINGKUNGAN"

Transkripsi

1 KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU SEBAGAI OBYEK WISATA BERBASIS JASA LINGKUNGAN (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali) EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2014 Edwina Firdhatarie Minaputri NIM. H

4

5 ABSTRAK EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI. Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan RIZAL BAHTIAR. Konservasi penyu merupakan aktivitas penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya penyu. Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali mempunyai peran yang penting dalam kegiatan pelestarian penyu serta memiliki potensi jasa wisata sehingga diperlukan kajian ekonomi untuk keberlanjutannya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sistem pelestarian sumberdaya penyu di TCEC, mengidentifikasi karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC, menganalisis nilai ekonomi jasa wisata di TCEC, serta mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Penelitian ini menggunakan empat metode analisis data, yaitu (1) analisis deskriptif yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik wisatawan dan mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya penyu, (2) Travel Cost Method (TCM) yang digunakan untuk mengetahui nilai jasa wisata TCEC, (3) Contingent Valuation Method (CVM) untuk mengetahui nilai Willingness To Pay (WTP) pengunjung dalam upaya pelestarian kawasan konservasi penyu TCEC, dan (4) Cost Benefit Analysis (CBA) untuk menilai kelayakan finansial di TCEC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik responden wisatawan nusantara dan mancanegara dilihat dari umur, latar belakang pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan frekuensi kunjungan. TCEC memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar Rp Nilai WTP responden wisatawan nusantara adalah Rp ,76 per kunjungan sedangkan nilai WTP responden wisatawan mancanegara adalah Rp ,33 per kunjungan. Hasil analisis kelayakan TCEC pada saat belum dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu, dengan demikian diperlukan adanya perbaikan dalam pengelolaan finansial TCEC. Rencana pengembangan pada tahun dengan menetapkan tarif masuk yang sesuai dengan WTP menunjukkan bahwa TCEC layak dijalankan dan mendapatkan keuntungan finansial dengan kriteria NPV > 0, Net B/C 1 dan IRR tingkat suku bunga. Keberadaan TCEC harus dijaga keberlangsungannya sebagai pelestarian penyu serta pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Kata kunci : Konservasi penyu, Contingent Valuation Method, Cost Benefit Analysis, Travel Cost Method, Ekowisata

6 ABSTRACT EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI. Economic Assessment of Turtle Conservation as Tourism Destination Based on Ecosystem Services (Case Study at Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Serangan Island, Bali). Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and RIZAL BAHTIAR. Turtle conservation is important activity for sustaining turtle resources. Turtle Conservation and Education Center (TCEC) in Pulau Serangan, Bali, which plays a significant role in conservation of turtle. TCEC has the potential for tourism activities, whereas the economic assessment is required for their sustainability. Research objectives of this study were to assess the turtle resource management system in TCEC, to identify the characteristics of turtle conservation in TCEC, to analyze the economic value of ecotourism in TCEC and to assess feasibility of the development of TCEC. The research method that used was survey. This research used data analysis method, that were (1) descriptive analysis, which used to assess the management system on turtle resources and to identify the characteristics of tourists, (2) Travel Cost Method (TCM), (3) Contingent Valuation Method (CVM), and (4) Cost Benefit Analysis (CBA). The result showed that were some differences in the characteristics of foreign and domestic tourists respondents viewed from age, educational background, income level, number of dependents and the frequency of their visits. TCEC has a high economic value, amounting to Rp WTP values of domestics tourists respondents was Rp ,76 per visit and the value of foreign tourists respondents was reach to Rp ,33 per visit. Feasibility analysis of TCEC during showed that financial sustainability of turtle conservation is limited, therefore the financial management of TCEC needs to be improved. Analysis of TCEC development plan from indicated that TCEC will be feasible based on some criteria such as NPV> 0, Net B / C 1 and IRR discount rate. TCEC activities in turtle conservation is important for sustainability of turtle resource. Keywords : Turtle conservation, Cost Benefit Analysis, Contingent Valuation Method, Travel Cost Method, Ecotourism

7 KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU SEBAGAI OBYEK WISATA BERBASIS JASA LINGKUNGAN (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali) EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

8 ii

9 iii Judul Penelitian Nama NIM : Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu Sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali) : Edwina Firdhatarie Minaputri : H Disetujui oleh, Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Pembimbing I Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing II Diketahui oleh, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Tanggal Lulus :

10 iv

11 v PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Juli 2013 ini adalah Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali). Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu dalam penulisan ini antara lain : 1. Ayahanda dan Ibunda Tercinta, Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Ibu R. Dewi Purnamasari, S.H yang selalu memberikan dukungan dan doa restu dalam penyelesaian skripsi ini, dan adik-adikku Ramadhina Putri Indraswari dan M. Rifqi Prabantoro yang selalu mendoakan dan menyemangati. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S dan Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Ibu Dr. Meti Ekayani, S. Hut, M.Sc dan Ibu Nuva, S.P, M.Sc selaku Dosen Penguji 4. Rekan-rekan terdekat yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi, yaitu M. Faris Abdulfatah, Affitri Wulansuci, Chintia Kartika N., Aulia Isnaini, Dita Maulida, Lia Nur Alia Rahmah, Aulia Putri. 5. Teman-teman bimbingan skripsi, yaitu Charra Rosemarry, Akmi Retno Dwipa, Hesti Yunita, Petrus Romil, dan Nur Afniati. 6. Rekan-rekan Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan angkatan 46 yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi. 7. Bapak Wayan Geriya selaku Kepala Pusat Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali, yang telah memberikan informasi yang diperlukan. 8. Semua pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam rangka pelestarian penyu. Bogor, April 2014 Edwina Firdhatarie Minaputri

12

13 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... ix 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Penyu Jenis-jenis Penyu Regulasi Perlindungan Penyu Wisata, Pariwisata, dan Ekowisata Wisatawan Jasa Lingkungan Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) Metode Contingent Valuation Method (CVM) Tahap-tahap Studi CVM Uji Statistik dan Ekonometrik Uji Normalitas Uji Statistik F Uji Statistik t Uji Multikolinearitas Uji Heteroskedastisitas Uji Autokolerasi Analisis Kelayakan Net Present Value Net Benefit-Cost Ratio Internal Rate of Return... 25

14 ii 2.8 Penelitian Terdahulu KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Metode Analisis Analisis Sistem Pengelolaan Pelestarian Penyu Analisis Karakteristik Pengunjung Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis) Analisis WTP Pengunjung Terhadap Kawasan Pelestarian Penyu di TCEC Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Pengunjung Uji Statistik dan Ekonometrik Uji Normalitas Uji Statistik F Uji Statistik t Uji Multikolinearitas Uji Heteroskedastisitas Uji Autokolerasi Analisis Kelakayan Net Present Value Net Benefit Cost Ratio Internal Rate of Return Batasan Penelitian GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Turtle Conservation and Education Center Sistem Pengelolaan Obyek Wisata TCEC Pulau Serangan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi Responden Wisata TCEC Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Wisatawan... 47

15 iii Jenis Kelamin Umur Status Tingkat Pendidikan Tingkat Pendapatan Jumlah Tanggungan Domisili Karakteristik Responden Wisatawan dalam Berwisata Persepsi Responden Wisatawan Terhadap Obyek Wisata KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU 6.1 Nilai Ekonomi Penangkaran Penyu TCEC, Pulau Serangan Analisis Nilai Willingness To Pay dengan Pendekatan Contingent Valuation Method Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Analisis kelayakan Finansial Obyek Wisata TCEC Tahun

16 iv Arus Penerimaan (Inflow) dan Arus Pengeluaran (Outflow) Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun Pengembangan TCEC Tahun Arus Penerimaan (Inflow) dan Arus Pengeluaran (Outflow) Analisis Kelayakan Finansial KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91

17 v DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun Kedatangan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali Tahun Karakteristik Perjalanan Wisatawan Karakteristik Sosio-Demografis Wisatawan Penelitian Terdahulu Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, dan Sumbernya Contoh Tabel Data Variabel Travel Cost Method Karakteristik Responden Wisatawan Nusantara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun Karakteristik Responden Wisatawan Manacanegara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun Persepsi Responden Wisatawan Nusantara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun Persepsi Responden Wisatawan Mancanegara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan (Wisatawan Nusantara) Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan (Wisatawan Mancanegara) Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun

18 vi 15. Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun Total WTP Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Total WTP Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Nusantara Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Mancanegara Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun Hasil Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun Hasil Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun

19 vii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitiaan Sebaran Responden Wisatwan Nusantara Berdasarkan Jenis Kelamin Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Jenis Kelamin Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Umur Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Umur Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Status Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Status Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Tingkat Pendapatan Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Tingkat Pendapatan Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Jumlah Tanggungan Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Jumlah Tanggungan Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Domisili Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Domisili Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun

20 viii 18. Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke TCEC Pada Tahun Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke TCEC Pada Tahun

21 ix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lokasi Penelitian Kuesioner Key Person Ekowisata Pelestarian Penyu Kuesioner Responden Wisatawan Hasil Analisis Regresi FK (Frekuensi Kunjungan) vs TBP (Total Biaya Perjalanan) Wisawawan Nusantara Biaya Perjalanan Individu Wisatawan Nusantara ke TCEC Frekuensi Kunjungan Responden Wisatawan Nusantara Satu Tahun Terakhir Hasil Analisis Regresi FK (Frekuensi Kunjungan) vs TBP (Total Biaya Perjalanan) Wisawawan Mancanegara Biaya Perjalanan Individu Wisatawan Mancanegara ke TCEC Frekuensi Kunjungan Responden Wisatawan Mancanegara Satu Tahun Terakhir Hasil Regresi WTP Wisatawan Nusantara Residual Plot Wisatawan Nusantara Uji Kolmogorov Smirnov Wiasatawan Nusantara Uji Glesjer Wisatawan Nusantara Hasil Regresi WTP Wisatawan Mancanegara Residual Plot Wisatawan Mancanegara Uji Kolmogorov Smirnov Wiasatawan Mancanegara Uji Glesjer Wisatawan Mancanegara Cash flow Turtle Conservation and Education Center Tahun Cash flow Turtle Conservation and Education Center Tahun

22

23 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumberdaya yang dapat pulih maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut, karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat beragam. Selama ini potensi bahari Indonesia yang telah banyak dimanfaatkan sebagai kawasan wisata bahari dan dikenal luas baik dalam maupun luar negeri adalah Pulau Bali. Wilayah Pulau Bali sangat terkenal dengan keindahan laut dan kekayaan bahari yang mengagumkan, sehingga menjadi daerah tujuan wisatawan nusantara dan mancanegara. Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Kegiatan pariwisata bahari terkonsentrasi antara lain di kawasan perairan Sunda Kecil (Bali, Lombok dan sekitarnya), Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Sebagai contoh, untuk kawasan wisata surfing, lokasi seperti Nias, Pulau Weh, Pulau Asu, Pantai Sorake di Sumatera, Pulau Panaitan, Pulau Deli di Jawa, Madewi, Balian, Canggu di Bali, dan Teluk Ekas, serta Labuhan Haji di Nusa Tenggara. Selain itu beberapa tempat di Sulawesi dan Papua sangat baik dikembangkan menjadi obyek wisata bahari. Lokasi diving (penyelaman bawah laut), berada di beberapa daerah seperti Raja Ampat di Papua, Bunaken di Manado serta Wakatobi di Sulawesi Selatan merupakan beberapa contoh lokasi wisata bahari yang terkenal dengan lokasi penyelaman terbaik di dunia. Setiap bangsa dipastikan memiliki adat dan kebudayaannya masingmasing, sehingga mereka memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengimplementasikan segala adat dan kebudayaannya tersebut secara sungguhsungguh. Demikian halnya dengan adat dan kebudayaan yang ada di Pulau Dewata Bali yang sampai sekarang masih dipegang teguh secara konsisten oleh

24 2 masyarakatnya. Bali merupakan salah satu wisata terbaik yang dimiliki Indonesia. Berbagai macam obyek wisata yang terdapat di Bali mampu menarik perhatian wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara yang menyebabkan peningkatan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara dari tahun ke tahun. Secara rinci perkembangan wisatawan nusantara adalah sebagai berikut: Tabel 1. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun No Bulan Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2012) Berdasarkan Tabel 1, perkembangan kunjungan wisatawan nusantara ke Bali menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2008 sampai tahun Peningkatan total jumlah pengunjung tahun 2008 mencapai orang dan total jumlah pengunjung tahun 2011 mencapai orang. Pertumbuhan kunjungan wisatawan nusantara ke Bali meningkat setiap tahunnya, khususnya pada bulan bulan tertentu seperti bulan Juni, Juli, September, Oktober, November dan Desember. Bulan-bulan tersebut bertepatan dengan hari libur sekolah dan peringatan hari-hari besar, sehingga wisatawan memilih waktu tersebut untuk menghabiskan masa liburnya dengan berkunjung ke Bali. Jumlah wisatawan mancanegara pada tahun 2008 sampai dengan 2011 yang berkunjung ke Bali cenderung meningkat, seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

25 3 Tabel 2. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali Tahun No Bulan Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2012) Berdasarkan Tabel 2, kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali setiap bulan menunjukkan peningkatan sejak tahun 2008 sampai dengan tahun Peningkatan total jumlah pengunjung tahun 2008 mencapai orang dan tahun 2011 mencapai orang. Tabel di atas mengindikasikan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali meningkat pertahunnya, khususnya pada bulan Juli sampai dengan Oktober. Hal tersebut karena sebagian negara subtropis yang terletak di utara mengalami musim panas, sehingga mencari suhu yang lebih bersahabat ke negara tropis seperti Indonesia. Selanjutnya negara subtropis yang terletak di bagian selatan mengalami musim dingin sehingga wisatawan berkunjung untuk mencari suhu yang lebih hangat. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yaitu kurang lebih buah, dengan keadaan geografis dan topografis yang bebeda-beda. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, memberikan keuntungan tersendiri bagi jenis-jenis penyu laut untuk memilih habitatnya disekitar pulaupulau tertentu (Nuitja, 1997). Hal ini terlihat dari kehadiran 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Empat jenis diantaranya telah diketahui berbiak di pantai Indonesia, yaitu penyu belimbing (Demochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), sementara itu penyu tempayan (Caretta caretta) juga dipercaya berkembang biak dalam jumlah yang bervariasi (Nuitja et al., 1979; Nuitja dan

26 4 Akhmad, 1982; Salm dan Halim, 1984; Sumardja, 1991 dalam Siswomartono, 1997). Jenis yang keenam, penyu pipih (Natator depressus) berkembang biak di Australia, tetapi menghabiskan sebagian hidupnya di perairan Indonesia (Salm, 1984; Sumardja, 1991; Kitchener, 1996 dalam Siswomartono, 1997). Menurut Nuitja (1997), penyu lekang kempi (Lepidochelys kempii) tidak ditemukan di Indonesia karena hanya terdapat di samudra Atlantik terutama di sekitar pantai Meksiko dan Amerika Serikat. Di seluruh Indonesia, penyu-penyu dari semua tingkatan umur dieksploitasi untuk dimanfaatkan tempurung (karapas), daging, kulit dan telurnya. Jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) adalah jenis yang paling memprihatinkan. Pemotongan yang begitu banyak dari penyu remaja (sub-adult) dan dewasa (adult), membuat populasinya semakin terancam. Hal ini juga diperburuk oleh pengambilan telur yang terorganisasi (Nuitja, 1997). Greenpeace (1989) dalam Nuitja (1997) dalam laporannya menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu mengambil tindakan tegas dari para pelanggar, karena dikhawatirkan dalam waktu dekat seluruh populasi penyu di kawasan Indonesia akan punah mengingat pertambahan populasi secara alamiah dan semi alamiah dapat dikatakan mendekati angka nol. Pemanfaatan berbagai jenis penyu sudah sejak lama berlangsung, yaitu melalui perburuan liar dan pengambilan telur oleh kontraktor maupun oleh penduduk sekitarnya. Dewasa ini ancaman penyu telah meluas di berbagai daerah di Indonesia dan tidak memperhatikan unsur pelestariannya, bahkan terdapat tendensi perusakan tersebut telah menyentuh habitat peneluran dan tempat mencari makan. Pemotongan penyu yang dianggap sadis di berbagai lokasi seperti Bali, Ujung Pandang, Menado, dan Manokwari telah mengundang protes keras dari para pecinta penyu mancanegara, sehingga mereka mengkaitkan dengan ancaman boikot terhadap kepariwisataan Indonesia. Indonesia dituduh tidak konsekuen dan menyimpang dari ketentuan CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) yang telah ditanda tangani pada tahun 1978 (Nuitja, 1997). Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang mengancam keberadaan penyu, salah satunya dari kebudayaan, lingkungan dan lainnya, sehingga

27 5 dibutuhkan adanya pelestarian pelestarian penyu. Adanya pelestarian pelestarian penyu di Indonesia menjadi salah satu cara untuk melestarikan penyu dan sebagai pembuktian bahwa masyarakat Indonesia terutama Bali memperhatikan kelestarian penyu sekaligus sebagai tempat yang mempunyai potensi wisata. Pelestarian penyu di Bali salah satunya terdapat di Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali (Peta lokasi tercantum pada Lampiran 1). Agar pelestarian pelestarian penyu tersebut dapat terjaga maka diperlukan pengelolaan yang baik serta peran stakeholder dalam menjaga pelestarian tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang pengelolaan kawasan konservasi penyu yang memiliki nilai ekonomi dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian penyu secara berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan penyu sangat rumit karena berbagai sebab, diantaranya karena pertumbuhan yang lambat, lambatnya usia matang kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu (Limpus, 1997). Suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan baik adalah antara 24 o C 33 o C. Suhu dalam pasir dapat menentukan jenis kelamin seekor tukik. Bila suhu kurang dari 29 o C maka kemungkinan besar yang akan menetas adalah penyu jantan, sebaliknya bila suhu lebih dari 29 o C maka yang akan menetas sebagian besar adalah tukik betina (Yusuf, 2000 dalam Segara, 2008). Perburuan, pembunuhan dan pengambilan telur penyu yang dilakukan manusia, bila tidak dikurangi atau dihentikan, maka akan menyebabkan punahnya penyu dari Perairan Indonesia. Selain ancaman dari manusia, telur dan tukik juga sangat rentan terhadap ancaman yang bersifat alami, seperti adanya pemangsaan oleh hewan lain (Putra, 1997). Bali merupakan pusat penyembelihan penyu hijau yang paling intensif di Indonesia dan di dunia. Khususnya di wilayah selatan Depansar, sejak berabad yang lalu penyu telah dianggap memiliki nilai penting yang khusus dalam upacara

28 6 budaya dan agama. Kebijakan regional yang berkaitan dengan batasan legal penggunaan penyu telah dibuat oleh Gubernur Bali pada tahun 1990 dan hanya mengizinkan penyembelihan sebanyak penyu hijau setiap tahunnya. Walaupun demikian, aturan ini tidak pernah terlaksana. Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Bali melaporkan bahwa konsumsi tahunan penyu hijau di Bali adalah sekitar ekor atau 4 kali jumlah yang diizinkan per tahunnya. Menurut Strategi Nasional Konservasi Penyu tahun 1990, jumlah penyu yang dikonsumsi di Bali seharusnya kurang dari ekor per tahun (Putra, 1997). Menurut Putra (1997), kebijakan tingkat provinsi mengatur mengenai pemanfaatan penyu yang dikembangkan dalam bentuk kuota serta sistem pembatasan ukuran. Kuota akan membatasi jumlah penyu yang digunakan di Bali tidak melebihi ekor per tahun, dan direncanakan untuk dikurangi setiap tahunnya. Sementara itu, kebijakan pembatasan ukuran penyu hijau yang dijual di Bali menyatakan bahwa penyu dengan ukuran dibawah 60 cm untuk panjang cekung cangkang serta penyu dengan ukuran di atas 80 cm tidak diperkenankan untuk dibunuh atau dijual di Bali (Keputusan Kabupaten Badung No. 672/1996). Penyu hidup yang tidak sesuai dengan aturan kemudian akan disita dan dipelihara oleh kelompok konservasi Pulau Serangan di bawah bimbingan Sub Balai KSDA dan WWF kantor Bali, dan setelah dicatat, mereka kemudian dilepaskan ke laut (Putra, 1997). Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali, merupakan salah satu tempat pelestarian penyu. Tempat pelestarian penyu tersebut mempunyai potensi wisata yang dapat dikembangkan, sehingga perlu mengetahui sistem pengelolaan pelestarian penyu, karakteristik wisatawan di TCEC serta kajian ekonomi wisata TCEC dalam rangka pelestraian penyu. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pemasalahan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sistem pelestarian sumberdaya penyu di TCEC? 2. Bagaimana karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC? 3. Apa sajakah manfaat ekonomi dari kegiatan pelestarian penyu di TCEC? 4. Bagaimana pengembangan aktivitas obyek wisata pelesatarian penyu di TCEC?

29 7 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji sistem pengelolaan pelestarian sumberdaya penyu di TCEC. 2. Mengidentifikasi karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC. 3. Mengkaji nilai-nilai ekonomi wisata pelestarian penyu di TCEC. 4. Mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Wilayah penelitian ini adalah Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Jalan Tukad Punggawa, Kelurahan Serangan, Kota Denpasar, Bali. Penelitian menggunakan data primer untuk menjawab tujuan penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah pengelola TCEC dan wisatawan di TCEC. Penelitian ini difokuskan pada berbagai macam alat analisis ekonomi untuk pengembangan TCEC kedepannya. Sistem pengelolaan TCEC dan karakteristik wisatawan TCEC merupakan gambaran umum tentang TCEC dengan menggunakan analisis deskriptif dimana selanjutnya dapat dilihat peluang pengembangan. Analisis nilai ekonomi jasa wisata TCEC menggunakan Travel Cost Method (TCM) dimana hasilnya menunjukkan besarnya nilai jasa wisata yang diberikan TCEC. Berikutnya adalah mengestimasi besarnya Willingness To Pay (WTP) wisatawan dengan menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan yang dilakukan diharapkan mampu menjelaskan berapa besar kesediaan wisatawan dalam upaya pelestarian lingkungan obyek wisata TCEC. Selanjutnya adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTP menggunakan regresi linear dengan beberapa variabel, yaitu umur, latar belakang pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, dan frekuensi kunjungan. Pengembangan aktivitas obyek wisata menggunakan Cost Benefit Analysis (CBA) dengan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Net Benefit

30 8 Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR) dilakukan agar TCEC dapat terjaga keberadaannya. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, penelitian merupakan bagian dari aplikasi ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan dan hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat secara akademis maupun praktis sebagai sarana memperoleh pengetahuan dan pengalaman penelitian serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai kajian ekonomi pelestarian penyu. 2. Bagi pemerintah dan pengelola diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan tempat wisata di Bali, khususnya daerah konservasi penyu di Pulau Serangan, Bali. 3. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian selanjutnya. 4. Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya pelestarian penyu.

31 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Penyu Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Lautan Hindia, Lautan Pasifik dan Perairan Laut Kawasan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu di antaranya adalah pergeseran fungsi lahan yang mengakibatkan kerusakan habitat pantai dan sekitarnya, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) karena untuk mencapai kondisi stabil (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) memerlukan waktu cukup lama yakni sekitar tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC (Nuitja, 2006). Menurut Jatu (2007) dalam Erwanto (2008), taksonomi penyu digolongkan dalam: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Sauropsida Ordo : Testudines Sub ordo : Cryptodira

32 10 Super family : Chelonioidea Family : Cheloniidae dan Dermochelyidae Species : 1. Chelonia mydas (Penyu Hijau) 2. Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik) 3. Lepidochelys kempi (Penyu Lekang Kempii) 4. Lepidochelys olivacea (Penyu Lekang) 5. Natator depressus (Penyu Pipih) 6. Caretta caretta (Penyu Tempayan) 7. Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing) Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan hewan lainnya. Tubuh penyu terbungkus oleh tempurung atau karapas keras yang berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. Karapas tersebut mempunyai fungsi sebagai pelindung alami dari predator. Penutup pada bagian dada dan perut disebut dengan plastron. Ciri khas penyu secara morfologis terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang menghubungkan antara karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper. Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang berfungsi sebagai alat kemudi. Penyu mempunyai alat pencernaan luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan (Rifqi, 2008 dalam Erwanto, 2008) Jenis-Jenis Penyu 1. Penyu Hijau (Chelonia mydas) Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna hijau, tetapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman ataupun kecoklat-coklatan.

33 11 Daging dari jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia. Penyu hijau dewasa hidup di hamparan padang rumput dan ganggang. Berat penyu hijau mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh dari ukuran tersebut. Penyu hijau di barat daya Kepulauan Hawai kadang kala ditemukan pada siang hari untuk berjemur. Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makan. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut, dan alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar cm, mereka berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut (Ikan Mania, 2004 dalam Erwanto, 2008). 2. Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Penyu sisik atau dikenal sebagai hawksbill turtle karena paruhnya tajam dan meruncing dengan rahang yang agak besar mirip paruh burung elang. Demikian pula karena sisiknya yang tumpang tindih atau over lapping (imbricata) seperti sisik ikan maka dinamai penyu sisik. Ciri-ciri umum adalah warna karapasnya bervariasi kuning, hitam dan coklat bersih. Plastron berwarna kekuning-kuningan. Terdapat dua pasang sisik prefrontal. Sisiknya (disebut bekko dalam Bahasa Jepang) banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri kerajinan tangan terutama di Jepang, untuk membuat pin, sisir, bingkai kacamata, dan lainnya. Penyu sisik selalu memilih kawasan pantai yang gelap, sunyi dan berpasir untuk bertelur. Paruh penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan untuk menjangkau makanan yang berada di celah-celah karang seperti sponge dan anemon. (Turtle-Edu, 2012). 3. Penyu Lekang Kempi (Lepidochelys kempi) Tubuhnya mirip dengan penyu lekang hanya sedikit lebih besar. Nama lainnya adalah Kemp s ridley turtle untuk mengenang Richard Kemp yang telah meneliti jenis ini sehingga bisa dibedakan dengan penyu lekang. Penyu Lekang Kempi termasuk jenis karnivora. Mereka memakan kepiting, kerang, udang dan

34 12 kerang remis. Penyu jenis ini adalah penyu yang tidak ditemukan di Indonesia (Turtle-Edu, 2012). 4. Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Penyu lekang dikenal dengan nama Oliver Ridley Turtle dalam Bahasa Inggris. Penampilan penyu lekang serupa dengan penyu hijau tetapi kepalanya secara komparatif lebih besar dan bentuk karapasnya lebih langsing dan bersudut. Tubuhnya berwarna hijau pudar, mempunyai lima buah atau lebih sisik lateral di sisi sampingnya dan merupakan penyu terkecil diantara semua jenis penyu yang ada saat ini. Mereka memakan kepiting, kerang, udang, dan kerang remis (Turtle- Edu, 2012). 5. Penyu Pipih (Natator depressus) Penyu pipih dalam Bahasa Inggris bernama Flatback Turtle. Pemberian nama Flatback Turtle karena sisik marginal sangat rata dan sedikit melengkung di sisi luarnya. Penyu pipih termasuk dalam karnivora sekaligus herbivora. Mereka memakan timun laut, ubur-ubur, kerang-kerangan, udang dan invertebrata lainnya (Turtle-Edu, 2012). 6. Penyu Tempayan (Caretta caretta) Penyu tempayan dalam Bahasa Inggris bernama Loggerhead Turtle. Warna karapasnya coklat kemerahan, kepalanya besar dengan paruh yang bertumpuk adalah salah satu ciri penyu tempayan. Plastron berwarna coklat muda hingga kuning. Penyu tempayan termasuk jenis karnivora yang umumnya memakan kerang-kerangan yang hidup di dasar laut seperti kerang remis dan invertebrata lainnya. Penyu tempayan memiliki rahang yang sangat kuat untuk menghancurkan kulit kerang (Turtle-Edu, 2012). Penyu tempayan dapat bertelur setelah berumur tahun dan mempunyai masa penetasan telur selama 60 hari (Wikipedia, 2007). 7. Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) Penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari ratusan juta tahun, kini spesies ini menghadapi kepunahan. Selama 20 tahun terakhir jumlah spesies ini menurus dengan cepat, khususnya di kawasan pasifik, hanya sekitar 2.300

35 13 betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus 2006, Indonesia, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui MoU Tri National Partnership Agreement (WWF, 2013). Penyu belimbing memiliki karapas berwarna gelap dengan bintik putih. Ukuran penyu belimbing dapat mencapai 180 cm dengan berat mencapai 500 kg. Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan kawasan sub kutub dan biasa bertelur di pantai-pantai kawasan tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan terbuka dan hanya muncul ke daratan pada saat bertelur. Penyu belimbing betina dapat bertelur empat sampai lima kali per musim, setiap kalinya sebanyak 60 sampai 129 telur. Penyu belimbing bertelur setiap dua atau tiga tahun dengan masa inkubasi sekitar 60 hari (WWF, 2013) Regulasi Perlindungan Penyu Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) adalah jenis penyu yang pertama kalinya dilindungi melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978, kemudian disusul oleh penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta) melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980. Tahun 1990 pemerintah RI kembali mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, didalamnya terdapat pasal-pasal penting tentang satwa dilindungi. Pada tahun 1992 pemerintah Indonesia melindungi penyu pipih (Natator depressus) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 882/Kpts/-II/1992, empat tahun kemudian melindungi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/-II/1996. Adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, semua penyu termasuk penyu hijau (Celonia mydas) statusnya dilindungi. Pada tahun yang sama dikeluarkan

36 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Secara internasional semua jenis penyu juga dilindungi melalui konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) dimana penyu masuk dalam Appendix I CITES yang berarti perdagangan secara internasional adalah dilarang. Sampai saat ini, jumlah negara yang meratifikasi konvensi CITES ada 174 negara, yang umum disebut parties. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini semenjak Secara regional juga dilakukan sebuah MoU yang dikenal dengan Indoan Ocean-South East Asian Marine Turtle Memorandum of Understanding (IOSEA MoU). IOSEA MoU adalah sebuah kesepakatan antar negara dengan tujuan untuk melakukan perlindungan, pengawetan, meningkatkan dan menyelamatkan habitat penyu di kawasan samudera Hindia dan Asia Tenggara, bekerjasama dalam kemitraan dengan berbagai pelaku dan organisasi. 2.2 Wisata, Pariwisata dan Ekowisata Menurut Undang-Undang Pemerintah Nomor 10 Tahun 2009, wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari daya tarik wisata yang dikunjunginya dengan jangka waktu yang sementara. Pariwisata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Pariwisata terbagi ke dalam pariwisata lokal yaitu kegiatan pariwisata yang ruang lingkupnya terbatas tempat tertentu saja dan pariwisata massa yaitu kegiatan kepariwisataan yang meliputi jumlah orang yang banyak dari berbagai tingkat sosial ekonomi. Menurut Pangemanan (1993), pariwisata dapat diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk kegiatan bisnis atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna bertamasya dan untuk memenuhi keinginan yang beranekaragam. Pariwisata merupakan bentuk kegiatan manusia yang menitik

37 15 beratkan pada perjalanan, sehingga pariwisata menimbulkan berbagai kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan sarana transportasi, akomodasi, makanan dan minuman, hiburan dan sebagainya. Sarana inilah yang kemudian dikenal sebagai industri pariwisata karena dapat menghasilkan produk tertentu berupa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan penginapan, angkutan wisata, restoran dan perusahaan hiburan serta perusahaan souvenir. Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata (Damanik dan Weber, 2006). Deklasrasi Quebec secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Hal itu terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya, melibatkan masyarakat lokal dalam perncanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta dilakukan dalam bentuk wisata independen atau di organisasi dalam bentuk kelompok kecil (UNEP, 2000 dalam Heer, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006). 2.3 Wisatawan Wisatawan didefinisikan sebagai orang yang melakukan perjalanan lebih dari 24 jam ke tempat di luar tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari 12 bulan berturut-turut, untuk maksud selain mencari nafkah tetap (McIntosh et al, 1995). Gambaran mengenai wisatawan biasanya dibedakan berdasarkan karakteristik perjalanannya (trip descriptor) dan karakteristik wisatawannya (tourist descriptor) (Seaton dan Bennet, 1996). Trip Descriptor; wisatawan dibagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan jenis perjalanan yang dilakukannya. Secara umum jenis perjalanan dibedakan menjadi perjalanan rekreasi, mengunjungi teman atau keluarga, perjalanan bisnis dan kelompok perjalanan lainnya (Seaton & Bennet, 1996). Lebih lanjut jenis-jenis perjalanan juga dapat dibedakan lagi berdasarkan lama perjalanan, jarak yang ditempuh, waktu melakukan perjalanan tersebut, jenis akomodasi/transportasi yang digunakan dalam perjalanan, pengorganisasian

38 16 perjalanan, besar pengeluaran dan lain-lain. Beberapa pengelompokan wisatawan berdasarkan karakteristik perjalanannya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Karakteristik Perjalanan Wisatawan Karakteristik Lama waktu perjalanan Jarak yang ditempuh Waktu melakukan perjalanan Akomodasi yang digunakan Transportasi Teman perjalanan Pengorganisasian perjalanan Sumber: Smith (1995), P2Par (2001) dalam Koswara (2002) Pembagian 1-3 hari 4-7 hari 8-28 hari hari hari Dalam kota (lokal) Luar kota (satu provinsi) Luar kota (lain provinsi) Luar negeri Hari biasa Akhir pekan Hari libur/raya Liburan sekolah Komersial (hotel bintang/non bintang) Non komersial (rumah teman/saudara) Udara Darat (kendaraan pribadi/umum/sewa) Kereta api Laut (cruise/feri) Sendiri Keluarga Teman sekolah Teman kantor Sendiri Keluarga Sekolah Kantor Biro perjalanan wisata Tourist Descriptor; memfokuskan pada wisatawannya, biasanya digambarkan dengan Who wants what, why, when, where and how much?, untuk menjelaskan hal-hal tersebut digunakan beberapa karakteristik diantaranya adalah karakteristik sosio-demografis. Karakteristik sosio-demografis mencoba menjawab pertanyaan who wants what. Pembagian berdasarkan karakteristik ini paling sering dilakukan untuk kepentingan analisis pariwisata, perencanaan dan pemasaran, karena sangat jelas definisinya dan relatif mudah pembagiannya (Kotler, 1996 dalam Koswara, 2002). Karakteristik sosio-demografis diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga dan lain-lain yang dielaborasi dari karakteristik tersebut (Koswara, 2002). Beberapa

39 17 pengklasifikasian lebih lanjut dari karakteristik sosio-demografis dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Karakteristik Sosio-Demografis Wisatawan Jenis Kelamin Umur Tingkat Pendidikan Kegiatan Status perkawinan Karakteristik Jumlah anggota keluarga dan komposisinya Tipe keluarga Sumber: Smith (1995), P2Par (2001) dalam Koswara (2002) Pembagian Laki-laki Perempuan 0-14 tahun tahun tahun tahun >65 tahun Tidak tamat SD SD SMP SMA Diploma Sarjana Pascasarjana Bekerja Tidak bekerja Belum menikah Menikah Cerai 1 orang Beberapa orang tanpa anak di bawah 17 tahun Beberapa orang, dengan (beberapa anak) di bawah 17 tahun Belum menikah Menikah, belum punya anak Menikah, anak usia <6 tahun Menikah, anak usia 6-17 tahun Menikah, anak usia tahun Menikah, anak usia >25 tahun, masih tinggal dengan orang tua Menikah, anak usia >25 tahun, tidak tinggal dengan orang tua (empty nest) Karakteristik sosio-demografis juga berkaitan satu dengan yang lain secara tidak langsung. Misalnya tingkat pendidikan seseorang dengan pekerjaan dan tingkat pendapatannya, serta usia dengan status perkawinan dan ukuran keluarga. Pembagian wisatawan berdasarkan karakteristik sosio-demografis ini paling nyata kaitannya dengan pola berwisata mereka. Jenis kelamin maupun kelompok umur misalnya berkaitan dengan pilihan jenis wisata yang dilakukan (Seaton & Bennet, 1996). Jenis pekerjaan seseorang maupun tipe keluarga akan berpengaruh pada waktu luang yang dimiliki orang tersebut, dan lebih lanjut pada kemampuannya berwisata. Selain karakteristik sosio-demografis, karakteristik lain yang biasa

40 18 digunakan dalam mengelompokkan wisatawan adalah karakteristik geografis, psikografis dan tingkah laku (behavior) (Smith, 1995 dalam Koswara, 2002). Menurut Koswara (2002), karakteristik geografis membagi wisatawan berdasarkan lokasi tempat tinggalnya, biasanya dibedakan menjadi desa-kota, provinsi, maupun negara asalnya. Pembagian ini lebih lanjut dapat pula dikelompokkan berdasarkan ukuran (size) kota tempat tinggal (kota kecil, menengah, besar/metropolitan), kepadatan penduduk di kota tersebut dan lainlain. Sementara itu karakteristik psikografis membagi wisatawan ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kelas sosial, life-style dan karakteristik personal. Wisatawan dalam kelompok demografis yang sama mungkin memiliki profil psikografis yang sangat berbeda. Beragamnya karakteristik dan latar belakang wisatawan menyebabkan beragamnya keinginan dan kebutuhan mereka akan suatu produk wisata. Pengelompokan wisatawan dapat memberi informasi mengenai alasan setiap kelompok mengunjungi obyek wisata yang berbeda, berapa besar ukuran kelompok tersebut, pola pengeluaran setiap kelompok, kesetiaan terhadap suatu produk wisata tertentu, sensitifitas terhadap perubahan harga produk wisata, serta respon terhadap berbagai bentuk iklan produk wisata. Lebih lanjut, pengetahuan mengenai wisatawan sangat diperlukan dalam merencanakan produk wisata yang sesuai dengan keinginan kelompok pasar tertentu, termasuk merencanakan strategi pemasaran yang tepat bagi kelompok pasar tersebut (Koswara, 2002). 2.4 Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global adalah: jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap (Leimona, 2009). Penyedia jasa lingkungan adalah perorangan, kelompok masyarakat, perkumpulan, badan usaha, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat yang

41 19 mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki izin atau hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang. Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaat jasa lingkungan di luar jurisdiksi hukum Indonesia, harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Leimona, 2009). Menurut Leimona (2009) pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem PJL adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen sistem PJL adalah: (a) jasa lingkungan yang dapat diukur; (b) penyedia; (c) pemanfaat; (d) tata cara pembayaran. 2.5 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pengertian nilai atau value menurut Fauzi (2004), khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Karena itu diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan, dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi sumber daya alam. Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar Willingness To Pay (WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekosistem bisa diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa (Fauzi, 2004).

42 Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) Konsep dasar dari metode travel cost adalah waktu dan pengeluaran biaya perjalanan (travel cost expenses) yang harus dibayarkan oleh para pengunjung untuk mengunjungi tempat wisata tersebut yang merupakan harga untuk akses ke tempat wisata (Garrod dan Willis, 1999). Itulah yang disebut dengan Willingness To Pay (WTP) yang diukur berdasarkan perbedaan biaya perjalanan. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan melalui metode travel cost menurut Garrod dan Willis (1999), yaitu: 1. Pendekatan Zona Biaya Perjalanan (A simple zonal travel cost approach), Menggunakan data sekunder dan pengumpulan data dari para pengunjung menurut daerah asal. 2. Pendekatan Biaya Perjalanan Individu (An individual travel cost approach), Menggunakan survei data dari para pengunjung secara individu. Penelitian dengan menggunakan metode biaya perjalanan individu (Individual Travel Cost Method) biasanya dilaksanakan melalui survei kuesioner pengunjung mengenai biaya perjalanan yang harus dikeluarkan ke lokasi wisata, kunjungan ke lokasi wisata yang lain (substitute sites), dan faktor-faktor sosial ekonomi (Suparmoko, 1997). Data tersebut kemudian digunakan untuk menurunkan kurva permintaan dimana surplus konsumen dihitung (Salma dan Susilowati, 2004). Metode ini telah banyak dipakai dalam perkiraan nilai suatu taman rekreasi dengan menggunakan berbagai variabel (Suparmoko, 2000). Pertama kali dikumpulkan data mengenai jumlah pengunjung taman, biaya perjalanan yang dikeluarkan, serta faktor-faktor lain seperti tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan mungkin juga agama dan kebudayaan serta kelompok etnik dan sebagainya. Data atau informasi tersebut diperoleh dengan cara mewawancarai para pengunjung taman rekreasi tersebut mengenai jarak tempuh mereka ke lokasi taman rekreasi tersebut, biaya perjalanan yang dikeluarkan, lamanya waktu yang digunakan, tujuan perjalanan, tingkat pendapatan rata-rata dan faktor sosial ekonomi lainnya (Salma dan Susilowati, 2004).

43 Metode Contingent Valuation Method (CVM) Metode Valuasi Kontingen (Contingent Valuation Method, CVM) adalah cara perhitungan secara langsung, dalam hal ini langsung menanyakan kesediaan untuk membayar (Willingness To Pay, WTP) kepada masyarakat dengan titik berat preferensi individu menilai benda publik yang penekanannya pada standar nilai uang. Metode ini memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya. Nilai ekonomi suatu benda publik dapat diukur melalui konsep WTP. Kuesioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu: 1) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan dan alat pembayaran; 2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti; 3) pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Sebelum menyusun kuesioner, terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan dalam rangka membangun suatu pasar hipotesis benda publik yang menjadi obyek pengamatan. Selanjutnya, dilakukan pembuktian pasar hipotesis menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli (Hanley dan Spash, 1993) Tahap-tahap Studi CVM Menurut Hanley dan Spash (1993), implementasi CVM dapat dipandang menjadi enam tahap pekerjaan, yaitu: 1) membangun pasar hipotesis; 2) menghasilkan nilai tawaran (bid); 3) menduga nilai rata-rata WTP; 4) menduga kurva nilai tawaran (bid curve); 5) agregasi data; dan 6) evaluasi penggunaan CVM. Dari enam tahapan tersebut, hanya tiga tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu membangun pasar hipotesis, memunculkan nilai tawaran, dan menduga nilai rata-rata WTP. Tahap satu : Pembangunan Pasar Hipotesis Pembangunan sebuah pasar hipotesis bagi jasa lingkungan yang dipertanyakan adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam studi CVM. Skenario kegiatan harus diuraikan secara jelas dalam instrumen survei (kuesioner) sehingga responden dapat memahami benda lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan masyarakat dalam rencana kegiatan. Kuesioner yang digunakan juga

44 22 harus menguraikan apakah semua konsumen akan membayar sejumlah harga tertentu jika perubahan lingkungan dilakukan, serta bagaimana uang bayaran tersebut dikelola. Selain itu, kuesioner juga harus menjelaskan bagaimana keputusan tentang dilanjutkan atau tidaknya rencana kegiatan tersebut. Tahap dua : Penentuan nilai tawaran (bid) Begitu kuesioner selesai dibuat, maka kegiatan survei dapat dilakukan dengan wawancara secara langsung dengan responden, melalui telepon, atau melalui . Dalam kuesioner, setiap individu ditanya mengenai nilai uang yang bersedia dibayarkan (nilai WTP agar peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan atau nilai WTP untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas lingkungan). Untuk mendapatkan nilai tersebut dapat dicapai melalui cara-cara sebagai berikut (Hanley dan Spash, 1993): a. Bidding game : Nilai tawaran mulai dari nilai terkecil diberikan kepada responden hingga mencapai nilai WTP maksimum yang bersedia dibayarkan responden; b. Closed-ended referendum : Sebuah nilai tawaran tunggal diberikan kepada responden, baik untuk responden yang setuju ataupun yang tidak setuju dengan nilai tersebut (jawaban ya atau tidak); c. Payment Card (kartu pembayaran): Suatu kisaran nilai disajikan pada sebuah kartu yang mungkin mengindikasikan tipe pengeluaran responden terhadap jasa publik yang diberikan; d. Open-ended question (pertanyaan terbuka): Setiap responden ditanya maksimum WTP yang bersedia dibayarkan dengan tidak adanya nilai tawaran yang diberikan. Cara ini membuat responden sering mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, khususnya jika tidak memiliki pengalaman mengenai nilai perdagangan komoditas yang dipertanyakan. Tahap tiga : Perhitungan nilai rata-rata WTP Setelah nilai tawaran WTP didapatkan maka segera rata-rata nilai WTP dihitung. Ukuran pemusatan yang digunakan adalah nilai tengah atau median. Nilai median tidak dipengaruhi oleh nilai tawaran ekstrim, namun hampir selalu

45 23 lebih rendah dibandingkan dengan nilai tengah. Pada tahap ini nilai tawaran yang tidak lazim (protest bid) diabaikan dari perhitungan. 2.6 Uji Statistik dan Ekonometrik Uji Normalitas Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terdapat residual yang memiliki distribusi normal atau tidak. Untuk mengetahui bahwa residual terdistribusi secara normal atau tidak, dengan menggunakan analisis grafik dan uji statistik Uji Statistik F Untuk menguji signifikasi hubungan variabel independen dengan variabel dependen secara simultan, maka digunakan uji F. Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah H o diterima jika F hitung F tabel dan H o ditolak jika F hitung > F tabel. Apabila H o diterima, maka hal ini menunjukkan bahwa variabel independen tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel dependen dan sabaliknya (Sugiyono, 2008) Uji Statistik t Hubungan variabel independen secara parsial dengan variabel dependen akan diuji dengan uji t dengan menggunakan t tabel dengan t hitung. Setelah dilakukan uji t maka kriteria yang ditetapkan yaitu dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel yang diperoleh berdasarkan tingkat signifikasi (α) tertentu dengan derajat kebebasan (df) = n-k (Sugiyono, 2008) Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel tersebut tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar sesama variabel bebas sama dengan nol (Ghozali, 2005).

46 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variabel dari residual satu pengamatan ke pengaatan lainnya. Cara untuk mengeteahui ada tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik plot. Apabila terdapat pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2006) Uji Autokolerasi Menurut Juanda (2009), salah satu asumsi dari model regresi linear yang baik adalah dengan tidak adanya autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan. Jika antar sisaan tidak bebas, maka dapat dikatakan ada masalah autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, dapat menggunakan metode grafik atau dengan menggunakan uji Durbin-Watson. 2.7 Analisis Kelayakan Evaluasi proyek dapat menggunakan dua jenis analisis, yaitu analisis ekonomi dan analisis finansial. Analisis ekonomi memandang proyek dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Sementara itu, analisis finansial memandang proyek dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek (Kadariah et. al., 1978 dalam Hartanto, 2007). Gittinger (1986) menjelaskan bahwa analisis ekonomi atau analisis sosial adalah analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari segi pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek, sedangkan analisis finansial adalah analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari segi individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek. Menurut Husnan dan Sarwono (2000) dalam Jumadi (2009), pada umumnya ada lima metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian investasi. Metode tesebut diantaranya metode Average Rate Return, Payback Period, Present Value, Internal Rate of Return, serta Probability Indeks.

47 25 Selain itu, Gittinger (1986) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak layak akan diukur melalui kriteria investasi yaitu Net Present Value, Net Benefit-Cost Ratio, Internal Rate of Return, dan Payback Period Net Present Value Net Present Value (NPV) atau manfaat sekarang bersih adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang timbul oleh penanaman investasi (Gittinger, 1986). Dengan kata lain, NPV adalah selisih antara total present value dari manfaat dengan total present value biaya, atau jumlah present value dari manfaat bersih selama umur proyek/bisnis. Jika NPV bernilai positif, maka proyek tersebut menguntungkan, dan apabila NPV bernillai negatif, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan Net Benefit-Cost Ratio Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) atau rasio manfaat biaya bersih adalah nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Dengan kata lain Net B/C adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfat bersih yang bernilai negatif. Net B/C menunjukkan besarnya tongkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah (Gittinger, 1986) Internal Rate of Return Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian internal adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek umur sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana untuk biaya-biaya operasi dan investasi dari proyek baru sampai pada tingkat pulang modal. Satuan yang dihasilkan dari perhitungan IRR ini adalah dalam persentase (%). Didalam prakteknya menghitung tingkat IRR umumnya dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi diantara tingkat discount rate yang lebih rendah yang menghasilkan NPV positif dengan tingkat discount yang lebih tinggi yang menghasilkan NPV negatif (Gittinger, 1986).

48 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang dijadikan referensi antara lain penelitian yang dilakukan oleh Amanda (2009), tentang kesediaan membayar pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan, hasil penelitian oleh Firandari (2009) mengenai Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan dan penelitian yang dilakukan oleh Giffari (2008) mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Studi Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur). Berdasarkan hasil penelitian Amanda (2009) tentang kesediaan membayar pengunjung obyek wisata Danau Situ Gede dalam upaya pelestarian lingkungan, diketahui bahwa 81% responden yang merupakan pengunjung Danau Situgede bersedia untuk membayar dalam upaya pelestarian lingkungan. Melalui Pendekatan CVM diketahui nilai rata-rata WTP pengunjung Danau Situgede yaitu sebesar Rp 3.588,24 dengan nilai total WTP (TWTP) sebesar Rp ,00. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor tingkat pendapatan, pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau, serta faktor biaya kunjungan. Hasil penelitian dari Firandari (2009) mengenai Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan adalah adanya surplus konsumen pengunjung PSG-3 sebesar Rp ,51 per kunjungan dan nilai manfaat/nilai ekonomi PSG-3 sebagai tempat wisata adalah sebesar Rp ,00. Analisis Willingness to Pay (WTP) pengunjung terhadap harga tiket PSG-3 diperoleh hasil bahwa apabila terjadi kenaikan harga tiket, pengunjung masih ingin membayar harga tiket masuk PSG-3 sampai taraf harga Rp 8.577,00. Giffari (2008) melakukan penelitian mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Studi Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur). Penelitian tersebut menghasilkan bahwa dengan adanya pengelolaan penyu hijau di dalam

49 27 KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman kepunahan. Perencanaan perlindungan habitat pada kasus Kepulauan Derawan menghasilkan rancangan dan arahan pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Proses perencanaan secara partisipatif merupakan pendekatan secara bottom-up yang melibatkan seluruh stakeholder ditingkat lokal. Data dan informasi diperoleh secara langsung dari para pengguna sumberdaya alam mulai dari identifikasi target konservasi, penentuan prioritas konservasi hingga penyusunan strategi konservasi yang dapat diterima masyarakat. Ketiga penelitian di atas dapat dilihat dengan lebih rinci dalam Tabel 5 dibawah ini.

50 28 28 Tabel 5. Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil 1. Sylvia Amanda (2009) Analisis Willingness To Pay Pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi pengunjung Danau Situgede. 2. Mengidentifikasi persepsi pengunjung terhadap Danau Situgede. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengunjung untuk membayar (Willingness To Pay) dalam upaya pelestarian lingkungan Danau Situgede. 4. Menilai besarnya nilai Willingness To Pay (WTP) dari pengunjung Danau Situgede terhadap upaya pelestarian lingkungan Danau Situgede. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP dari pengunjung Danau Situgede. Menggunakan analisis deskriptif dan regresi logit dan regresi berganda untuk menentukan CVM yang nantinya digunakan untuk mengetahui besarnya WTP Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 81 persen responden yang merupakan pengunjung Danau Situgede bersedia untuk membayar dalam upaya pelestarian lingkungan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar pengunjung Danau Situgede adalah faktor tingkat usia, tingkat pendidikan, dan pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau yang diketahui melalui analisis regresi logit. Melalui Pendekatan CVM diketahui nilai rata-rata WTP pengunjung Danau Situgede yaitu sebesar Rp 3.588,24 dengan nilai total WTP (TWTP) sebesar Rp ,00. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor tingkat pendapatan, pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau, serta faktor biaya kunjungan.

51 29 No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil 2. Tri Firandari (2009) Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan 1.Menduga fungsi permintaan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan pendekatan Metode Biaya Perjalanan. 2. Mengestimasi besarnya surplus konsumen dan nilai ekonomi wisata Pulau Situ Gintung-3. 3.Mengestimasi WTP pengunjung terhadap harga tiket tempat wisata Pulau Situ Gintung Menganalisis dampak ekonomi dari tempat wisata Pulau Situ Gintung-3 bagi masyarakat sekitar. Travel Cost Method, Contngent Valuation Method, Willingness To Pay Permintaan wisata PSG-3 dimodelkan dalam bentuk regresi poisson. Permintaan wisata PSG-3 (frekuensi kunjungan seseorang ke PSG-3) dipengaruhi secara negatif oleh faktor biaya perjalanan dan jarak tempuh serta dipengaruhi secara positif oleh faktor lama mengetahui seseorang terhadap keberadaan PSG-3. Surplus konsumen pengunjung PSG-3 sebesar Rp ,51 per kunjungan dan nilai manfaat/nilai ekonomi PSG-3 sebagai tempat wisata adalah sebesar Rp ,00. Analisis Willingness to Pay (WTP) pengunjung terhadap harga tiket PSG-3 diperoleh hasil bahwa apabila terjadi kenaikan harga tiket, pengunjung masih mau membayar harga tiket masuk PSG-3 sampai taraf harga Rp 8.577,00. Kenaikan harga tiket ini dapat diterapkan seiring dengan tempat wisata PSG-3 dapat mempertahankan kelestarian lingkungannya dan pengelola PSG-3 melakukan pengembangan tempat wisata serta penambahan fasiltas wisata. 29

52 30 30 No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil 3. Abidzar Al Giffari (2008) Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Studi Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur) 1. Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA. 2. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh: -Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan; - Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan. Metode Categorial Regression, Metode Hierarchial Clustering, Metode Time Series, Analisis Multidimensional Scaling, Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau sebagai pembelajaran tentang efektivitasperlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif kebijakanperlindungan. Alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau yang diusulkan menggunakan konsep perlindungan habitat (konservasi in-situ).perlindungan diarahkan pada habitat penting (the critical habitat) yakni habitat feeding dan breeding untuk dialokasikan sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman kepunahan. Perencanaan perlindungan habitat pada kasus Kepulauan Derawanmenghasilkan rancangan dan arahan pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Prosesperencanaan secara partisipatif merupakan pendekatan secara bottom-up yang melibatkan seluruh stakeholder di tingkat lokal. Data/ informasi diperoleh secara langsung dari para pengguna sumberdaya alam mulai dari identifikasi target konservasi, penentuan prioritas konservasi hingga penyusunan strategi konservasi yang dapat diterima masyarakat. Perencanaan KKL di Kepulauan Derawan memerlukan pemahaman skala regional tentang latar belakangsosial ekonomi penyebab perubahan keanekaragaman hayati. Strategi konservasi untuk wilayah Kepulauan Derawan ditentukan oleh prioritas konservasi yang diperoleh peringkat ancaman hasil pengkombinasian sumber tekanan yang dipadukan dengan kondisi ekologis.

53 31 3. KERANGKA PEMIKIRAN Sumberdaya penyu di Indonesia sudah mulai terancam punah. Hal tersebut dikarenakan perburuan, pembunuhan dan perusakan habitat oleh manusia serta pembuhunan oleh hewan pemangsa. Pertumbuhan penyu yang lambat menyebabkan pengelolaan sumberdaya penyu menjadi agak rumit, maka dari itu diperlukan adanya pengelolaan pelestaraian penyu yang baik. Salah satu tempat pelestarian penyu yang terdapat di Indonesia adalah TCEC di Pulau Serangan, Bali. Pulau Serangan merupakan tempat wisata yang memanfaatkan potensi alam sebagai daya tarik utamanya. Keindahan alamnya yang masih asri, kondisi udara yang masih segar, serta panorama yang mengelilinginya menjadi nilai tambah bagi tempat wisata ini. Obyek wisata merupakan barang publik dimana setiap orang dapat memilikinya. Obyek wisata mempunyai sifat non-excludibility dan non-rivalry, sehingga penilaian manfaat sebenarnya dari barang publik tersebut memerlukan pendekatan yang berbeda dari barang ekonomi biasa lainnya. Kerangka pemikiran dalam proposal ini merupakan keterkaitan antara tujuan penelitian dengan langkah yang akan dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengkaji sistem pengelolaan pelestarian penyu di Pulau Serangan. Hasil identifikasi tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Langkah kedua adalah menganalisis karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC. Hasil identifikasi tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Langkah ketiga adalah menganalisis nilai ekonomi dari kegiatan penyu di TCEC. Data yang didapatkan akan dianalisis melalui Contingent Valuation Method dan Travel Cost Method. Langkah terakhir adalah mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu dengan menggunakan Cost Benefit Analysis. Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka pemikiran ini secara jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

54 32 Terancamnya keberadaan sumberdaya penyu 32 Kegiatan konservasi penyu Potensi wisata Pengelola Wisatawan Sistem Deskriptif Analisis Kelayakan Cost Benefit Analysis Kondisi ekonomi usaha Karakteristik wisatawan Deskriptif Biaya yang dikeluarkan wisatawan Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan Travel Cost Method Tingkat kemampuan membayar tiket Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membayar Contingent Valuation Method Peluang pengembangan pelestarian penyu Keterangan : : Lingkup penelitian : Aspek penelitian Keberlanjutan pengelolaan pelestarian penyu : : Umpan balik penelitian Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

55 33 4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Jalan Tukad Punggawa, Kelurahan Serangan, Kota Denpasar, Bali merupakan lokasi yang diambil untuk penelitian ini. Lokasi penelitian ini dipilih karena TCEC merupakan salah satu tempat pelestarian penyu di Bali dan juga tempat pelestarian penyu yang dibimbing serta diberikan donasi oleh WWF. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap. Tahapan yang pertama yaitu pra penelitian. Pra penelitian merupakan proses pengamatan masalah di lapangan, perumusan masalah, pengembangan kerangka berpikir, hingga penyusunan proposal. Tahapan ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Maret 2013 sampai bulan Mei Selanjutnya tahapan pra penelitian dilanjutkan dengan proses pengambilan data. Pengambilan data dilaksanakan kurang lebih selama dua minggu, dimulai pada bulan Juni 2013 dan dilanjutkan dengan proses pengolahan dan analisis data serta penyusunan skripsi. 4.2 Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah survei. Pelaksanaan metode survei membutuhkan perencanaan yang matang dan terfokus pada permasalahan. Pengamatan langsung digunakan untuk mengumpulkan informasi yang lebih menggambarkan suatu gejala yang ada di lapangan dengan ikut serta dalam kehidupan sehari-hari obyek yang akan dipelajari. 4.3 Jenis dan Sumber Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara kepada responden dengan teknik wawancara, menggunakan kuesioner yang tercantum pada Lampiran 2 dan 3.

56 34 Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai sumber data yang relevan berupa buku referensi, laporan kegiatan, sumber pustaka / literatur dari internet, jurnal ilmiah, serta informasi yang bersumber dari instansi terkait. Tabel 6. Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, dan Sumbernya No Tujuan Penelitian Data yang Dibutuhkan Sumber Data 1. Mengkaji sistem pengelolaan penyu di TCEC. 2. Mengidentifikasi karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC 3. Menganalisis nilai ekonomi pelestarian penyu di TCEC. 4. Mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC. Sistem Pengelolaan Penyu 1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Status pernikahan 4.Tingkat pendidikan 5.Tingkat pendapatan 6.Jumlah tanggungan 7. Domisili 8.Pengetahuan tentang manfaat pelestarian penyu 9.Frekuensi kunjungan 10. Biaya Perjalanan 11.Besarnya dana yang bersedia pengunjung bayarkan 1. Biaya Perjalanan 2. Jumlah Kunjungan Wisatawan 3. Besar dana yang bersedia dikeluarkan wisatawan 1.Data CashflowTCEC Data Primer Data Primer Data Primer Data Primer Data Sekunder Teknik Pengumpulan Data Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Instansi Terkait 4.4 Metode Pengambilan Sampel Metode yang akan digunakan dalam pengambilan contoh pengunjung adalah non-probability sampling, pada metode ini tidak semua unit populasi memiliki kesempatan untuk dijadikan sampel penelitian (Bungin, 2013).

57 35 Responden diambil secara purposive sampling, yaitu peneliti mengambil secara sengaja dan dengan pertimbangan tertentu. Proses pencarian informasi mengenai penelitian dilakukan dengan wawancara dan kuesioner kepada responden, yaitu pengelola di TCEC dan wisatawan TCEC yang berjumlah kurang lebih 30 orang. Hal tersebut sesuai dengan ukuran minimum sampel yang dikemukakan Gay, yaitu sebanyak 30 responden (Wardiyanta, 2006 dalam Budiarti, 2013). 4.5 Metode Analisis Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM), Contingent Valuation Method (CVM) serta Cost Benefit Analysis (CBA) yang terdiri dari Net Present Value, Net Benefit-Cost Ratio, Internal Rate of Return. Pendekatan deskriptif digunakan untuk mengkaji sistem pengelolaan semberdaya penyu serta untuk mengidentifikasi karakteristik wisatawan di TCEC. TCM digunakan untuk menduga nilai ekonomi kawasan konservasi penyu di TCEC dan pendekatan CVM digunakan untuk mengkaji WTP pengunjung terhadap upaya pelestarian penyu serta pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC. Pendekatan CBA digunakan dalam analisis ekonomi usaha pelestarian penyu di TCEC serta kelayakan dalam pengembangan TCEC Analisis Sistem Pengelolaan Pelestarian Penyu Sistem pengelolaan pelestarian penyu di TCEC dianalisis dan diidentifikasi secara deskriptif. Jawaban kuesioner yang diberikan key person tentang sistem pengelolaan pelestarian penyu sebagai gambaran mengenai kondisi serta pengelolaan sumberdaya penyu Analisis Karakteristik Pengunjung Karakteristik sosial ekonomi pengunjung kawasan konservasi penyu di TCEC dianalisis dan diidentifikasi secara deskriptif. Karakteristik-karakteristik tersebut akan menjadi gambaran faktor-faktor yang akan berpengaruh terhadap kesediaan membayar dari pengunjung dalam rangka upaya pelestarian kawasan konservasi penyu di TCEC.

58 Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis) Metode penilaian untuk mengukur nilai ekonomi wisata alam yang paling banyak dipakai adalah Travel Cost Method (TCM). Metode ini menduga nilai ekonomi kawasan wisata berdasarkan penilaian yang diberikan masing-masing individu terhadap kenikmatan yang tidak ternilai (dalam rupiah) dari biaya yang dikeluarkan untuk berkunjung ke suatu obyek wisata, baik itu opportunity cost maupun biaya langsung yang dikeluarkan seperti biaya transportasi, konsumsi makanan, minuman, hotel, tiket masuk dan sebagainya. Berikut tabel untuk mendata variabel yang dibutuhkan dalam analisis biaya perjalanan: Tabel 7. Tabel Data Variabel Travel Cost Method No. Kegiatan Nilai (Rupiah) 1. Transportasi udara Transportasi darat Supir Biaya tiket masuk Pulau Serangan Konsumsi selama perjalanan Konsumsi di kawasan TCEC Tiket masuk di berbagai lokasi wisata Jasa pemandu Souvenir Penginapan dan lain-lain... Hasil yang telah di dapat dari tabel di atas akan dimasukkan ke dalam persamaan : Y = X 1 + X 2 + X 3 + X 4 + X 5 + X 6 + X7 + X 8 + X 9 + X 10 + X (1) keterangan : Y X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 = Frekuensi kunjungan ke Turtle Conservation and Education Center = Total biaya transportasi udara (Rp/kunjungan) = Total biaya transportasi darat (Rp/kunjungan) = Total biaya supir (Rp/hari) = Total biaya tiket masuk Pulau Serangan (Rp/kunjungan) = Total biaya konsumsi selama perjalanan (Rp/kunjungan) = Total biaya konsumsi di kawasan TCEC (Rp/kunjungan) = Total biaya tiket masuk di berbagai lokasi wisata (Rp/kunjungan) = Total jasa pemandu (Rp/hari) = Total biaya souvenir = Total biaya penginapan (Rp/hari)

59 37 X 11 = Lain-lain Analisis WTP Pengunjung Terhadap Kawasan Pelestarian Penyu di TCEC Nilai WTP dari pengunjung TCEC dianalisis dengan menggunakan pendekatan CVM, tahap-tahap yang akan dilakukan (Amanda, 2009) : 1. Membuat Pasar Hipotetik Dalam penelitian ini pasar hipotetik akan dibentuk atas dasar terjadinya penurunan kualitas lingkungan TCEC sebagai obyek wisata alam. Dalam upaya perbaikan dan pelestarian kawasan konservasi penyu di TCEC diperlukan anggaran agar upaya pelestarian tersebut dapat dilaksanakan. Salah satu sumber dana yang dapat digunakan dalam upaya tersebut adalah dengan adanya penarikan retribusi. Selanjutnya, pasar hipotetik akan dituangkan dalam bentuk skenario sebagai berikut : SKENARIO Pulau Serangan merupakan salah satu kawasan wisata bahari yang sangat indah. Saat ini kondisi lingkungan mengalami penurunan khususnya untuk kawasan pelestarian penyu, yang terdapat beberapa ancaman didalamnya. Penyu menghadapi beberapa ancaman dengan semakin merosotnya populasi khususnya penyu di Pulau Serangan yang disebabkan oleh lingkungan, hewan pemangsa dan manusia. Kondisi tersebut dapat mengancam keberlanjutan keberadaan kawasan pelestaraian penyu di TCEC di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan penarikan dana retribusi berupa tiket masuk sebagai suatu upaya untuk menjaga kawasan pelestarian penyu agar penyu yang merupakan salah satu hewan langka yang dilindungi tidak punah dan terjaga habitatnya. Selanjutnya dana tersebut akan dialokasikan sebagai dana operasional yang digunakan untuk kegiatan pelestarian penyu tersebut. 2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Nilai penawaran didapatkan dengan menggunakan metode open-ended question, yaitu metode dimana setiap responden ditanya maksimum WTP yang bersedia dibayarkan dengan tidak adanya nilai tawaran yang diberikan. Metode ini memberikan kemudahan kepada responden dalam memahami maksud dan tujuan

60 38 dari penelitian. Selain itu, dengan menggunakan metode ini responden yang cenderung bersedia membayar dan responden yang cenderung tidak bersedia membayar akan lebih mudah diklasifikasi. 3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP WTP dapat diduga dengan menggunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan Rataan WTP dihitung dengan rumus :... (2) keterangan : = Dugaan rataan WTP = Nilai WTP ke-i = Frekuensi relatif = Jumlah responden = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan 4. Memperkirakan Kurva WTP Pendugaan kurva WTP dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : WTP = f (UM, TP, PD, JT, FK)...(3) keterangan : WTP = Nilai WTP responden (Rp) UM = Tingkat usia (tahun) TP = Tingkat pendidikan (tahun) PD = Rata-rata pendapatan per tahun (Rp) JT = Jumlah tanggungan (orang) FK = Frekuensi kunjungan 5. Menjumlahkan Data Setelah menduga nilai tengah WTP maka selanjutnya diduga nilai total WTP dari masyarakat dengan menggunakan rumus :

61 39... (4) keterangan : = Total WTP = WTP individu sampel ke-i = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP = Jumlah sampel = Jumlah populasi = Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan 6. Evaluasi Penggunaan CVM Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil diaplikasikan. Evaluasi penggunaan CVM dapat dilakukan dengan menggunakan koefisien determinasi (R 2 ) dari analisis regresi. Dengan mengamati besarnya nilai R 2 tingkat reabilitas dari penggunaan CVM dapat diketahui Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nillai WTP Pengunjung Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda seperti di bawah ini: WTP = β 0 + β 1 UM i + β 2 TP i + β 3 PD i + β 4 JT i + β 5 FK i + ε...(5) keterangan : WTP β 0 β 1,..., β 5 UM TP PD JT FK = Nilai WTP responden (Rp) = Intersep = Koefisien regresi = Tingkat usia (tahun) = Tingkat pendidikan (tahun) = Rata-rata pendapatan per tahun (Rp) = Jumlah tanggungan (orang) = Frekuensi kunjungan

62 40 i = Responden ke- (i = 1, 2,..., n) ε = Galat atau error Variabel-variabel tersebut diduga mempengaruhi nilai WTP responden dalam upaya pelestarian lingkungan di Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan, Bali Uji Statistik dan Ekonometrik Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji data variabel bebas (X) dan data variabel terikat (Y) pada persamaan regresi yang dihasilkan, apakah berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal (Sunyoto, 2011). Hal tersebut dapat dilihat dari normality probability plot. Apabila bentuk plotnya mendekati garis lurus pada diagonal, maka asumsi kenormalan terpenuhi (Mattjik dan Sumertajaya, 2013) Uji Statistik F Uji F merupakan pengujian terhadap pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap perubahan nilai variabel terikat. Pengujian yang dilakukan menggunakan uji distribusi F (Algifari, 2000) Uji Statistik t Uji t bertujuan untuk memastikan apakah variabel bebas yang terdapat dalam persamaan secara individu berpengaruh terhadap nilai variabel terikat. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap koefisien regresi setiap variabel bebas (Algifari, 2000) Uji Multikolinearitas Multikolinearitas terjadi jika ada hubungan linear mendekati sempurna atau sempurna antar peubah bebas dalam suatu model regresi berganda. Cara untuk mendeteksi multikolinearitas adalah dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) (Juanda, 2009). Jika VIF lebih besar dari 10 maka terjadi multikolinearitas dalam model.

63 Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas berarti varians variabel tidak sama (Algifari, 2000). Cara mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan uji Glesjer. Heterskedastisitas dapat juga dideteksi dengan metode grafik, uji Park, uji Breusch-Pagan, uji Goldfield-Quandt, dan white test (Juanda, 2009) Uji Autokorelasi Autokorelasi berarti adanya korelasi antar anggota sampel yang diurutkan berdasarkan waktu (Algifari, 2000). Cara untuk mendeteksi autokorelasi dalam analisis regresi berganda adalah dengan uji Durbin-Watson (Sunyoto, 2011). Jika nilai uji Durbin-Watson berada diantara nilai 1,55 dan 2,46 maka tidak terjadi autokorelasi di dalam model (Firdaus, 2004 dalam Budiarti, 2013) Analisis Kelayakan Analisis finansial dilakukan untuk menganalisis aspek finansial dalam pelestarian pelestarian penyu di TCEC. Analisis dilakukan untuk melihat kelayakan usaha. Adapun alat analisis yang digunakan dalam menghitung aspek ekonomi adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), dan Payback Period (PP) (Gittinger, 1986) Net Present Value Net Present Value (NPV) atau nilai kini manfaat bersih adalah selisih antar total present value manfaat dengan total present value biaya. Nilai yang dihasilkan oleh perhitungan NPV adalah dalam suatu mata uang (Rp) (Gittinger, 1986). Secara sistematis nilai NPV dapat dirumuskan sebagai berikut:... (6) Keterangan : = Manfaat pada tahun ke-t = Biaya pada tahun ke-t = Discount factor = Tahun 1, 2, 3,.., n

64 42 = Umur proyek Dalam metode perhitungan NPV, terdapat tiga penilaian kriteria investasi. Jika NPV suatu usaha lebih besar dari nol (NPV>0) maka usaha tersebut layak untuk dijalankan karena manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, apabila NPV usaha kurang dari nol (NPV<0), maka usaha tersebut tidak layak dijalankan karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh. Jika nilai NPV yang didapat sama dengan nol (NPV=0) maka manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutup biaya yang dikeluarkan, dengan demikian usaha tidak untung dan rugi Net Benefit Cost Ratio Net B/C merupakan penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan biaya yang berupa angka antara jumlah nilai bersih sekarang (present value) yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang (present value) yang negatif. Net B/C ratio menunjukkan besarnya tingkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah (Gittinger, 1986). Rumus untuk menghitung nilai Net B/C adalah : 𝑛 𝑁𝑒𝑡 𝐵 = 𝐶 𝑡=0 𝑛 𝑡=0 𝐵𝑡 𝐶𝑡 1+𝑖 𝑡 𝐵𝑡 𝐶𝑡 1+𝑖 𝑡 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝐵𝑡 𝐶𝑡 > 0 𝑃𝑉 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 (7).. 6 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝐵𝑡 𝐶𝑡 < 0 𝑃𝑉 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 Keterangan : = Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t = Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t = Tahun = Discount rate (%) = Umur proyek Jika Net B/C yang diperoleh lebih besar dari satu (Net B/C > 1) maka usaha tersebut layak untuk dijalankan, karena setiap pengeluaran akan menghasilkam penerimaan yang lebih besar dari pengeluaran tersebut, sebaliknya apabila Net B/C kurang dari satu (Net B/C < 1) maka usaha tersebut tidak layak

65 43 untuk dijalankan karena setiap pengeluaran akan menghasilkan penerimaan lebih kecil dari pengeluaran Internal Rate of Return Kelayakan bisnis juga dinilai dari seberapa besar pengambilan bisnis terhadap investasi yang ditanamkan. Ini dapat ditunjukkan dengan mengukur besaran Internal Rate of Return (IRR). Menghitung tingkat IRR umumnya dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi diantara tingkat discount rate yang lebih rendah yang menghasilkan NPV positif dengan tingkat discount yang lebih tinggi yang menghasilkan NPV negatif (Gittinger, 1986). Secara matematis IRR dapat dirumuskan sebagai berikut: keterangan : = Tingkat diskonto yang menghasilkan NPV positif = Tingkat diskonto yang menghasilkan NPV negatif = NPV positif = NPV negatif = Selisih i Suatu investasi dianggap layak apabila nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, demikian sebaliknya apabila nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga maka usaha tersebut tidak layak dijalankan, sedangkan apabila nilai IRR yang diperoleh sama dengan nol maka usaha tersebut tidak mendapat keuntungan maupun kerugian. 4.6 Batasan Penelitian Adapun batasan penelitian dari penelitian ini adalah : 1. Pengelola pelestarian penyu adalah orang yang bertugas mengelola kawasan pelestarian penyu TCEC.... (8)

66 44 2. Responden wisatawan wisata adalah pengunjung kawasan wisata pelestarian penyu TCEC yang berusia 17 tahun dan terbagi menjadi wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. 3. Karakteristik wisatawan yang digunakan dalam penelitian adalah umur, latar belakang pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah kunjungan dan frekuensi kunjungan. 4. Sistem pengelolaan pelestarian penyu adalah sistem pembiayaan, perawatan, pemeliharaan, dan pelepasan penyu di TCEC. 5. Travel Cost Method (TCM) merupakan suatu metode untuk mengetahui nilai jasa wisata di TCEC. Nilai ekonomi jasa wisata diperoleh dengan menggunakan Individual Travel Cost Method. 6. Contingent Valuation Method (CVM) merupakan suatu metode survei untuk mengetahui WTP pengunjung dalam upaya pelestarian penyu di TCEC. 7. Willingness To Pay (WTP) merupakan sejumlah uang yang ingin diberikan seseorang untuk memperoleh peningkatan kondisi lingkungan sehingga terciptanya kelestarian lingkungan kawasan wisata TCEC. 8. Cost Benefit Analysis (CBA) merupakan suatu metode untuk mengetahui kelayakan finansial kawasan pelestarian penyu di TCEC dan untuk membantu pengembangan TCEC kedepannya. Kriteria kelayakan finansial yang digunakan adalah NPV, Net B/C, dan IRR.

67 45 5. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pada umumnya, kebudayaan Bali menggunakan penyu untuk keperluan upacara adat. Namun, penggunaan yang berlebihan menyebabkan penyu berada dalam ancaman kepunahan. Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius (Nuitja, 2006). Oleh karena itu perlu dikelola agar kebudayaan di Bali dapat sejalan dengan keberadaan penyu yang mulai terancam punah. Hal inilah yang mendasari ide adanya pelestarian penyu di TCEC. TCEC dibuka oleh Gubernur Bali, Bapak Dewa Barata (20 Januari 2006) di pulau Serangan Bali. TCEC dikembangkan sebagai bagian dari strategi yang komprehensif untuk memberantas perdagangan ilegal penyu. TCEC didirikan untuk mendukung komunitas Serangan dalam menemukan alternatif dari adanya bisnis penyu ilegal. TCEC berdiri dengan dasar pendidikan, pariwisata, konservasi dan penelitian, dengan bisnis (WWF Indonesia). TCEC didukung oleh WWF, Gubernur Bali, Mayor Otoritas Kota Denpasar, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Bali, dan masyarakat setempat. Selama dua tahun TCEC mendapatkan donasi yang cukup besar dari WWF selain donasi yang didapatkan dari pihak lainnya. Banyak masyarakat yang tidak setuju pada awal mula berdirinya TCEC, karena dengan adanya TCEC penyu untuk upacara adat pun dibatasi dan mulai dikontrol pemerintah dengan baik. Setelah adanya promosi dari WWF dan dari pembicaraan wisatawan yang positif dengan adanya TCEC, masyarakat dapat menerima dengan baik keberadaan TCEC. 5.2 Sistem Pengelolaan Obyek Wisata TCEC Pulau Serangan TCEC yang bekerjasama dengan WWF mendapatkan telur-telur penyu dari nelayan di daerah Klungkung, Gianyar, dan Negare. Telur penyu dibawa oleh nelayan dengan menggunakan sepeda motor ke TCEC. Telur-telur tersebut

68 46 disimpan didalam ember yang sudah diisi dengan pasir dari sangkar telur tersebut. Dalam satu sarang telur, terdapat kurang lebih 100 buah telur. Apabila nelayan terlambat mengambil telur-telur tersebut, maka telur-telur tersebut akan habis oleh hewan pemangsa dan juga manusia yang masih melanggar hukum untuk memakan telur penyu. TCEC membeli telur tersebut dengan harga Rp 3.000/butir dari nelayan. Telur yang sudah dibeli ditanam kembali dalam sarang yang ada di TCEC. Jumlah telur yang berhasil ditetaskan TCEC setelah kurang lebih 40 hari adalah sekitar 40% dari jumlah telur yang ada dalam satu sarang. Tukik yang baru lahir ditaruh di kolam khusus untuk tukik. Selain mendapatkan tukik dari telur yang menetas, TCEC juga membeli tukik yang ditemukan nelayan di pantai dengan harga Rp /tukik. Pembelian tukik dilakukan jika TCEC kekurangan tukik saat ada yang ingin mengadopsi tukik. Adopsi tukik adalah kegiatan dimana pengunjung yang ingin melepas tukik ke laut atas nama wisatawan tersebut. Adopsi tukik dilakukan di pinggir pantai hotel terkenal di daerah Nusa Dua, Tanah Lot, dan Jimbaran. Jumlah tukik yang berhasil dilepaskan sekitar 300 ekor hingga 500 ekor per bulan. Jenis penyu yang terdapat di TCEC adalah penyu lekang, penyu sisik, dan penyu hijau. Jenis penyu yang paling banyak terdapat di TCEC adalah penyu hijau, karena penyu hijau merupakan penyu yang paling sering datang untuk bertelur di Bali. Penyu-penyu di TCEC adalah penyu hasil dari pembesaran serta titipan dari komunitas pecinta penyu yang menemukan penyu yang terluka untuk di rawat di TCEC. Selain adopsi tukik, TCEC menyediakan penyu untuk upacara adat Bali. Penyu yang diserahkan untuk upacara adat Bali adalah sebanyak 30 ekor samapai 60 ekor per tahun. Ukuran penyu sesuai dengan Keputusan di Kabupaten Badung No. 672 Tahun 1996, yaitu pembatasan ukuran penyu di bawah 60 cm untuk panjang cekung cangkang, serta penyu di atas 80 cm yang tidak diperkenankan untuk dijual dan dibunuh. Jumlah tenaga kerja di TCEC ada sembilan orang, namun belum mempunyai job desk yang terperinci dan tertata dengan baik. Kepala TCEC, Wayan Griya baru memberikan pelatihan guide pada tiga orang pegawainnya, sehingga pengelolaan TCEC dapat berjalan dengan baik. Kepala TCEC

69 47 mengharapkan dapat mengatur job desk yang lebih terperinci agar TCEC dapat berjalan dengan lancar dalam membantu pelestarian penyu di Indonesia. 5.3 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi Responden Wisata TCEC Pengunjung pelestarian penyu TCEC, Pulau Serangan yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 64 orang, yang terdiri dari 34 orang wisatawan nusantara dan 30 orang wisatawan mancanegara. Karakteristik responden wisatawan dibedakan berdasarkan wisatawan nusantara dan mancanegara, berdasarkan faktor sosial ekonomi pengunjung yang terdiri dari jenis kelamin, umur, status, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, dan domisili. Karakeristik responden pengunjung TCEC juga dibedakan berdasarkan karakteristik dalam berwisata yang terdiri dari frekuensi kunjungan, motivasi kunjungan, kedatangan, dan cara kedatangan. Persepsi responden pelestarian penyu TCEC merupakan pandangan dan penilaian pengunjung terhadap obyek wisata TCEC. Persepsi responden terhadap pelestarian penyu TCEC merupakan salah satu upaya dalam rangka pelestarian lingkungan serta dapat dijadikan sebagai informasi bagi pengelola obyek wisata TCEC untuk pengambilan keputusan dalam melakukan pengembangan wisata TCEC dimasa yang akan datang Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Wisatawan Karakteristik responden wisatawan pelestarian penyu TCEC berdasarkan faktor sosial ekonomi terdiri dari jenis kelamin, umur, status, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, dan domisili. Karakteristik responden wisatawan nusantara berbeda dengan karakteristik wisatawan mancanegara. Hal ini disebabkan oleh pola pikir yang berbeda-beda Jenis Kelamin Jumlah responden wisatawan nusantara adalah sebanyak 34 orang. Sebagian besar yang datang ke TCEC adalah wanita. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 2.

70 48 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 2. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Jenis Kelamin Hal ini disebabkan TCEC salah satu tempat wisata yang tidak membutuhkan kekuatan fisik, sehingga lebih banyak wanita yang datang ke TCEC. Berdasarkan survei, responden wisatawan nusantara berjenis kelamin laki-laki sebanyak 47% dan wanita sebanyak 53%. Jumlah responden wisatawan mancanegara adalah sebanyak 30 orang. Sebagian besar yang datang ke TCEC adalah laki-laki. Perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 3. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Jenis Kelamin

71 49 Hal ini dikarenakan laki-laki mempunyai sifat petualang, sehingga lebih berani untuk berpetualang di negara ataupun kota yang belum dikenalnya, dalam hal ini ke Bali, Indonesia. Berdasarkan survei, responden wisatawan mancanegara berjenis kelamin laki-laki sebanyak 67% dan wanita sebanyak 33% Umur Tingkat umur responden wisatawan nusantara cenderung terkonsentrasi di sebaran usia 17 tahun hingga 25 tahun yaitu sebanyak 23%. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 4. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 4. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Umur Hal ini menujukkan bahwa pengunjung yang berada pada kelompok umur tersebut memiliki minat yang lebih besar untuk berwisata ke TCEC, dimana rasa ingin tahu yang dimiliki masih cukup tinggi, sehingga TCEC merupakan salah satu sarana untuk menambah ilmu pengetahuan. Tingkat umur responden wisatawan mancanegara cenderung terkonsentrasi ditiga sebaran usia. Perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan umur dapat dilihat pada Gambar 5.

72 50 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 5. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Umur Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa sebaran usia wisatawan mancanegara terkonsentrasi pada usia 26 tahun hingga 30 tahun yaitu sebanyak 27%, usia 31 tahun hingga 35 tahun sebanyak 23% dan usia 36 tahun hingga 40 tahun sebanyak 23%. Hal ini menujukkan bahwa pengunjung yang berada pada kelompok umur yang sudah berpenghasilan memiliki biaya yang cukup untuk berlibur ke Indonesia Status Sebanyak 68% responden wisatawan nusantara TCEC sudah menikah. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan status dapat dilihat pada Gambar 6. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 6. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Status

73 51 Artinya dapat dikatakan TCEC merupakan salah satu tempat tujuan wisata keluarga. Hal ini sesuai dengan tingkat usia wisatawan nusantara yang datang ke TCEC, dimana sebaran usia wisatawan sudah cukup untuk menikah. Berbeda dengan wisatawan nusantara, perbandingan responden mancanegara berdasarkan status dapat dilihat pada Gambar 7. Sumber : Hasil Analisis Data (2013) Gambar 7. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Status Sebanyak 57% responden wisatawan mancanegara TCEC belum menikah. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapangan dimana banyak wisatawan mancanegara TCEC berkunjung bersama teman dekat atau kerabat Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal responden wisatawan nusantara cenderung terkonsentrasi pada tingkat SMA dan Perguruan Tinggi. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini.

74 52 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 8. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebagian besar responden wisatawan nusantara memiliki latar belakang pendidikan Perguruan Tinggi, yaitu sebesar 59%. Hal ini disebabkan oleh banyaknya responden yang berumur 20 tahun ke atas, sehingga sudah menyelesaikan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi. Berbeda dengan wisatawan nusantara, berikut adalah perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan tingkat pendidikan yang dapat dilihat pada Gambar 9. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 9. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sebanyak 50% responden wisatawan mancanegara TCEC berpendidikan terakhir pada tingkat perguruan tinggi dan SMA. Terkait dengan usia wisatawan mancanegara, banyak diantara responden yang sudah menamatkan pendidikan di

75 53 Pergurauan Tinggi, namun banyak juga yang baru menamatkan pendidikannya di tingkat SMA. Walaupun hanya sampai SMA, responden wisawatan mancanegara sudah dapat mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga responden wisatawan mancanegara dapat berlibur ke Bali, Indonesia Tingkat Pendapatan Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan hasil survei, sebagian besar pendapatn responden wisatawan nusantara adalah kurang dari Rp per bulan, yaitu sebesar 53%. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 10. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Tingkat Pendapatan Hal tersebut terkait dengan status sebagian besar wisatawan yang merupakan pegawai, terkait dengan umur pengunjung yang sebagian besar berada di usia 17 tahun hingga 25 tahun. Pada umumnya, saat rentang umur tersebut baru mendapatkan pekerjaan. Sedangkan karakteristik responden wisatawan mancanegara berdasarkan tingkat pendapatan terkonsentrasi pada dua sebaran tingkat pendapatan. Perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Gambar 11.

76 54 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 11. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan Rp per bulan hingga Rp per bulan sebanyak 36% dan Rp per bulan hingga Rp per bulan, yaitu sebanyak 37%. Hal ini terkait dengan status sebagian besar responden wisatawan mancanegara yang merupakan wirausaha Jumlah Tanggungan Berdasarkan survei, jumlah tanggungan responden wisatawan nusantara terkonsentrasi di tiga sebaran, yaitu tidak mempunyai tanggungan, satu orang tanggungan dan tiga orang tanggungan. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 12. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 12. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Jumlah Tanggungan

77 55 Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 23% responden tidak memiliki tanggungan. Sebanyak 23% responden memiliki satu orang tanggungan dan 24% responden memiliki tiga orang tanggungan. Hal ini terkait dengan banyaknya responden yang berstatus sudah menikah. Sedangkan untuk responden wisatawan mancanegara berdasarkan survei, responden wisatawan mancanegara banyak yang tidak mempunyai tanggungan. Perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 13. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 13. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Jumlah Tanggungan Berdasarkan gambar di atas, sebanyak 40% wisatawan mancanegara tidak memiliki tanggungan. Hal ini terkait dengan banyaknya responden wisatawan mancanegara yang belum menikah, sehingga belum mempunyai tanggungan Domisili Domisili wisatawan nusantara terbagi pada beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Jawa dan pulau-pulau di luar Jawa dan Bali. Perbandingan responden wisatawan nusantara berdasarkan domisili dapat dilihat pada Gambar 14.

78 56 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 14. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Domisili Sebanyak 73% responden wisatawan nusantara TCEC berasal dari Bali. Artinya, sebagian besar pengunjung yang berwisata ke TCEC berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi wisata, sehingga lebih mudah untuk berkunjung ke TCEC dibandingkan responden wisatawan nusantara yang berada di luar Pulau Bali. Berdeda dengan wisatawan nusantara, perbandingan responden wisatawan mancanegara berdasarkan domisili berdasarkan benua dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 15. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Domisili Sebanyak 20% responden wisatawan mancanegara TCEC berasal dari Eropa. Artinya sebagian besar pengunjung yang berwisata ke TCEC berasal dari daerah yang cukup jauh dari Indonesia. Hal ini dikarenakana rasa ingin tahu yang cukup besar terhadap keindahan Indonesia.

79 Karakteristik Responden Wisatawan dalam Berwisata Karakteristik responden wisatawan nusantara dan mancanegara TCEC dalam berwisata terdiri dari frekuensi kunjungan, kedatangan, dan jenis kendaraan. Karakteristik responden wisatawan nusantara dalam berwisata di TCEC dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik Responden Wisatawan Nusantara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 Karakteristik Jumlah (orang) Presentase (%) a. Frekuensi Kunjungan (kali) , , , , ,706 >5 6 17,647 Jumlah b. Kedatangan Sendiri 0 0 Kelompok 2 5,882 Rombongan Keluarga Rombongan Instansi 15 44,118 Jumlah c. Jenis Kendaraan Motor 13 38,235 Mobil 21 61,765 Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Pada awalnya, TCEC tidak ramai dikunjungi para wisatawan. Wisatawan yang mengunjungi kawasan ini pun hanya mereka yang memiliki tujuan khusus seperti keagamaan dan penelitian. Hal ini karena informasi yang terbatas, namun setelah berjalan kurang lebih dua tahun, TCEC mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Wisatawan yang mengunjungi TCEC pun tidak hanya mereka yang memilki tujuan khusus tetapi bagi semua kalangan. Selama tahun 2013, sebanyak 35,3% responden berkunjung ke TCEC dengan frekuensi satu kali. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan kedatangannya, sebanyak 50% responden mengunjungi TCEC bersama keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata di TCEC akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama keluarga. Hal tersebut terkait

80 58 dengan karakteristik responden yang sebagian besar sudah menikah, pada umumnya akan melakukan kegiatan wisata bersama-sama keluarga. Responden memiliki berbagai cara untuk mengunjungi TCEC. Pada umumnya pengungjung mendatangi kawasan tersebut dengan menggunakan mobil. Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 61,8% responden pengunjung datang ke TCEC dengan menggunakan mobil. Hal ini terkait dengan aksesibilitas menuju TCEC yang sulit jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum, karena ketersediaan angkutan umum menuju kawasan tersebut tidak ada. Karakteristik responden wisatawan internasional dalam berwisata di TCEC dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik Responden Wisatawan Mancanegara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 Karakteristik Jumlah (orang) Presentase (%) a. Frekuensi Kunjungan (kali) , ,333 Jumlah b. Kedatangan Sendiri 2 6,667 Kelompok 23 76,667 Rombongan Keluarga 5 16,667 Jumlah c. Jenis Kendaraan Motor 16 53,333 Mobil 14 46,667 Jumlah Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Selama tahun 2013, sebanyak 86,7% responden berkunjung ke TCEC dengan frekuensi satu kali, hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan kedatangannya, sebanyak 76,7% responden mengunjungi TCEC secara berkelompok. Hal ini menunjukkan bahwa bagi wisatawan mancanegara, kegiatan wisata di TCEC akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama teman satu kelompok. Hal tersebut terkait dengan karakteristik responden yang sebagian besar belum menikah, pada umumnya akan melakukan kegiatan wisata bersama teman dekat atau kelompok. Responden pengunjung memiliki berbagai cara untuk mengunjungi TCEC. Pada umumnya pengungjung mendatangi kawasan tersebut dengan menggunakan motor. Berdasarkan Tabel 9, sebanyak 53,3% responden

81 59 pengunjung datang ke TCEC dengan menggunakan motor. Hal ini terkait dengan aksesibilitas menuju TCEC yang sulit jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum, karena ketersediaan angkutan umum menuju kawasan tersebut tidak ada. Selain itu, wisatawan mancanegara lebih memilih menggunakan motor karena harga sewa per hari yang cukup murah Persepsi Responden Wisatawan Terhadap Obyek Wisata Fasilitas wisata, aksesibilitas menuju tempat wisata, keamanan serta lingkungan sekitar obyek wisata sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pengelola obyek wisata untuk keberlangsungan obyek wisata itu sendiri. Agar dapat membantu perkembangan obyek wisata menjadi lebih baik, dibutuhkan persepsi dari wisatawan. Persepsi responden wisatawan nusantara terhadap obyek wisata dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Persepsi Responden Wisatawan Nusantara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 Keterangan Persepsi (orang) Sangat Sangat Baik Baik Buruk Buruk Tidak Tersedia Jumlah Sarana dan prasarana Toilet Tempat Sampah Warung Makan Kios Souvenir Jasa Pemandu Pelestarian Penyu Panorama Alam Kebersihan Lokasi Akses Menuju Lokasi Keamanan Pengelola Obyek Wisata Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Secara umum kondisi fasilitas wisata obyek wisata dinilai sangat baik oleh wisatawan nusantara. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan TCEC sudah dapat memenuhi kebutuhan pengunjung. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana, warung makan, tempat pelestarian penyu, panorama alam sekitar TCEC, kebersihan lokasi, aksesibilitas menuju lokasi obyek wisata, keamanan serta pengelolaan obyek wisata dinilai sangat baik oleh wisatawan. Tabel 10 menunjukkan persepsi yang baik untuk toilet, tempat sampah, kios souvenir, dan jasa pemandu di obyek wisata pelestarian penyu

82 60 TCEC. Persepsi wisatawan nusantara terhadap tempat wisata TCEC tentu saja berbeda dengan persepsi wisatwan mancaegara. Hal ini disebabkan lingkungan serta budaya yang berbeda. Berikut persepsi responden wisatawan mancanegara terhadap obyek wisata yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Persepsi Responden Wisatawan Mancanegara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 Keterangan Persepsi (orang) Sangat Sangat Baik Baik Buruk Buruk Tidak Tersedia Jumlah Sarana dan prasarana Toilet Tempat Sampah Warung Makan Kios Souvenir Jasa Pemandu Pelestarian Penyu Panorama Alam Kebersihan Lokasi Akses Menuju Lokasi Keamanan Pengelola Obyek Wisata Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa tempat pelestarian penyu, panorama alam sekitar TCEC, aksesibilitas menuju lokasi obyek wisata, keamanan serta pengelolaan obyek wisata dinilai sangat baik oleh wisatawan. Sarana prasarana, toilet, warung makan, kios souvenir, jasa pemandu, dan kebersihan lokasi di obyek wisata pelestarian penyu TCEC dinilai baik oleh wisatawan mancanegara. Fasilitas yang mendapatkan persepsi buruk oleh pengunjung adalah tempat sampah. Hanya terdapat dua tempat sampah di lokasi TCEC sehingga wisatawan yang ingin membuang sampah agak sulit untuk mendapatkan tempat sampah di TCEC. Pengelola obyek wisata TCEC tentu harus menambahkan tempat sampah agar mencegah pengunjung membuang sampah sembarangan yang akan mempengaruhi kebersihan lokasi wisata.

83 61 6. KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU 6.1 Nilai Ekonomi Pelestarian Penyu TCEC, Pulau Serangan Penyu adalah salah satu hewan yang harus dilindungi. Banyak ancaman yang mereka hadapi bahkan sejak berada dalam cangkang telur. Oleh karena itu, kegiatan pelestarian penyu perlu diadakan. TCEC adalah salah satu tempat pelestarian penyu di Bali. Bertempat di Pulau Serangan yang mempunyai pemandangan alam yang indah, menjadikan TCEC mememiliki potensi yang cukup tinggi sebagai salah satu obyek wisata. Maka dari itulah nilai ekonomi pelestarian penyu TCEC perlu diketahui agar manfaat kawasan sebagai penghasil jasa wisata dapat berlanjut. Nilai ekonomi jasa wisata TCEC diestimasi dengan menggunakan Individual Travel Cost Method. Nilai ekonomi jasa wisata dapat diperoleh dengan mengetahui nilai surplus konsumen, yaitu dengan cara mengkuadratkan jumlah kunjungan responden pengunjung satu tahun terakhir kemudian dibagi dengan dua kali koefisien biaya perjalanan. Koefisien biaya perjalanan didapatkan dari analisis regresi antara frekuensi kunjungan sebagai variabel terikat dan biaya perjalanan sebagai variabel bebasnya. Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh persamaan untuk wisatawan nusantara sebagai berikut (lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 4): FK = 3,86 0, TBP Keterangan: FK = Frekuensi kunjungan wisatawan nusantara ke TCEC (per tahun) TBP = Total biaya perjalanan individu wisatawan nusantara ke TCEC kunjungan (rupiah) Biaya perjalanan individu wisatawan nusantara dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai ekonomi jasa wisata TCEC dapat diperoleh dengan cara mengkalikan surplus konsumen tersebut dengan jumlah kunjungan responden wisatawan nusantara yang dapat dilihat pada Lampiran 6. Perhitungan nilai ekonomi TCEC berdasarkan wisawatan nusantara dapat dilihat pada Tabel 12.

84 62 Tabel 12. Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan (Wisatawan Nusantara) Keterangan Nilai Jumlah Responden (a) 34 Jumlah kunjangan responden (b) 110 Jumlah kunjungan tahun 2012 (c) Koefisien biaya perjalanan (d) 0, Surplus konsumen (e) = b²/2d Surplus Konsumen /individu/kunjungan (f) = e/a/b ,118 Nilai ekonomi (g) = f x c Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Jumlah kunjungan wisatawan nusantara pada tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 16 di sub bab 6.2. Pada Tabel 12 dapat diketahui nilai surplus konsumen wisatawan nusantara terhadap TCEC sebesar Rp ,118 per orang per kunjungan, sehingga diperoleh nilai ekonomi jasa wisata TCEC berdasarkan wisatawan nusantara sebesar Rp ,00. Berbeda dengan wisatawan nusantara, berikut hasil analisis regresi dimana diperoleh persamaan untuk wisatawan mancanegara (lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 7): Keterangan: FK = 1, TBP FK = Frekuensi kunjungan wisatawan mancanegara ke TCEC (per tahun) TBP = Total biaya perjalanan individu wisatawan mancanegara ke TCEC per kunjungan (rupiah) Biaya perjalanan individu wisatawan mancanegara dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai ekonomi jasa wisata TCEC dapat diperoleh dengan cara mengkalikan surplus konsumen tersebut dengan jumlah kunjungan responden wisatawan mancanegara ke TCEC yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Perhitungan nilai ekonomi TCEC berdasarkan wisatawan mancanegara dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan (Wisatawan Mancanegara) Keterangan Nilai Jumlah Responden (h) 30 Jumlah kunjangan responden (i) 34 Jumlah kunjungan tahun 2012 (j) Koefisien biaya perjalanan (k) 0, Surplus konsumen (l) = i²/2k Surplus Konsumen /individu/kunjungan (m) = l/h/i ,33 Nilai ekonomi (n) = m x j Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

85 63 Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 17 di sub bab 6.2. Pada Tabel 13 dapat diketahui nilai surplus konsumen wisatawan mancanegara terhadap TCEC sebesar Rp ,33 per orang per kunjungan, sehingga diperoleh nilai ekonomi TCEC berdasarkan wisatawan mancanegara sebesar Rp ,00. Kedua nilai eknoomi jasa wisata TCEC berdasarkan wisatawan nusantara dan mancanegara dijumlahkan untuk mengetahui nilai ekonomi TCEC secara keseluruhan. Diperoleh nilai ekonomi jasa wisata TCEC sebesar Rp ,00. Nilai tersebut menunjukkan bahwa TCEC memiliki nilai ekonomi jasa wisata yang tinggi. Oleh karena itu, keberadaan TCEC harus dijaga keberlangsungannya dalam aktivitas pelestarian penyu serta pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Dalam rangka menjaga keberlanjutan TCEC, perlu dipertimbangkan sumber pembiayaan yang kontinyu berasal dari pengunjung. Pengembangan obyek wisata di TCEC dilakukan agar TCEC dapat memiliki tarif masuk yang dulunya hanya berupa donasi suka rela. Tarif tersebut dapat digunakan untuk pengembangan yang lebih baik kedepannya. Tarif masuk ditentukan dengan menggunakan analisis nilai Willingness To Pay dengan pendekatan Contingent Valuation Method. 6.2 Analisis Nilai Willingness To Pay dengan Pendekatan Contingent Valuation Method Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan unuk menganalisis WTP responden wisatawan dalam upaya pelestarian lingkungan obyek wisata TCEC. Pendekatan CVM memiliki enam tahapan yaitu: 1. Membangun Pasar Hipotesis Responden diberikan penjelasan mengenai kondisi keberadaan penyu di Indonesia, sehingga diperlukan tempat untuk pelestarian penyu, salah satunya adalah TCEC. Sejak awal berdiri hingga saat ini, TCEC belum menerapkan harga tiket masuk, sehingga dalam pengelolaan dan pengembangannya hanya bertumpu pada donasi dari wisatawan yang mau membantu pelestarian penyu di TCEC. Agar pengelolaan TCEC dapat dikembangkan lebih bagus demi pelestarian

86 64 penyu, pengelola TCEC mengajak wisatawan untuk berpartisipasi dalam menentukan tarif masuk TCEC. Tarif masuk TCEC kedepannya akan digunakan sebagai salah satu sumber dana bagi pengelolaan dan pengembangan TCEC dalam upaya pelestaian penyu. Berdasarkan info tersebut, responden dapat mengetahui situasi hipotetik mengenai rencana upaya pelestarian lingkungan obyek wisata TCEC. 2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Teknik yang digunakan dalam mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode open-ended question, yaitu metode dimana setiap responden ditanya maksimum WTP yang bersedia dibayarkan dengan tidak adanya nilai tawaran yang diberikan. 3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP Dugaan nilai rata-rata WTP responden diperoleh beradasarkan rasio jumlah nilai WTP yang diberikan responden dengan jumlah total responden yang bersedia membayar. 3.a Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara Responden wisatawan nusantara yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di TCEC adalah sebanyak 34 orang. Distribusi nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara ditampikan pada Tabel 14. Tabel 14. Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun 2013 No Nilai WTP (Rp/orang) Jumlah Responden (orang) Nilai WTP x Jumlah Responden (Rp) A B (axb) Jumlah Nilai Rata-rata WTP (Jumlah b/jumlah c) ,76 Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

87 65 Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara sebesar Rp ,76/orang. Nilai rata-rata WTP responden wisatawan nusantara tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk untuk wisatawan nusantara di TCEC. 3.b Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara Responden wisatawan mancanegara yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di TCEC adalah sebanyak 30 orang. Distribusi nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara ditampikan pada Tabel 15. Tabel 15. Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun 2013 No Nilai WTP Jumlah Responden (Rp/orang) (orang) Nilai WTP x Jumlah Responden (Rp) A B (axb) Jumlah Nilai Rata-rata WTP (Jumlah b/jumlah c) ,33 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara sebesar Rp ,33/orang. Nilai rata-rata WTP responden wisatawan mancanegara tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bahan pertimbangan dalam penetapan tarif masuk untuk wisatawan mancanegara di TCEC. 4. Memperkirakan Kurva WTP Kurva WTP responden dibentuk menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah individu yang memilih suatu nilai WTP tertentu. Asumsinya adalah individu yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu jumlahnya akan semakin sedikit sejajar dengan peningkatan nilai WTP. 4.a Kurva WTP Responden Wisatawan Nusantara Kurva WTP wisatawan nusantara dibentuk berdasarkan nilai WTP

88 66 responden terhadap kesediaan membayar. Kurva WTP responden wisatawan nusantara menggambarkan hubungan antara tingkat WTP dengan jumlah responden wisatawan nusantara yang bersedia membayar. Dugaan kurva WTP responden wisatawan nusantara disajikan dalam Gambar 16. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 16. Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun 2013 Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa semakin tinggi nilai WTP maka semakin sedikit responden yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di TCEC. 4.b Kurva WTP Responden Wisatawan Mancanegara Kurva WTP wisatawan mancanegara dibentuk berdasarkan nilai WTP responden terhadap kesediaan membayar. Kurva WTP responden wisatawan mancanegara menggambarkan hubungan antara tingkat WTP dengan jumlah responden wisatawan mancanegara yang bersedia membayar. Dugaan kurva WTP responden wisatawan mancanegara disajikan dalam Gambar 17. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 17. Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Pada Tahun 2013

89 67 Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa semakin tinggi nilai WTP maka semakin sedikit responden yang bersedia membayar dalam upaya pelestarian penyu dan lingkungan di TCEC. 5. Total Willingness To Pay (WTP) Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata WTP dikonversikan terhadap nilai populasi. Nilai Total WTP (TWTP) reponden dijelaskan sebagai berikut. 5.a Total WTP Pengunjung Wisatawan Nusantara Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai TWTP responden pengunjung sebesar Rp ,8/tahun. Hasil perhitungan TWTP dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Total WTP Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Bulan (Tahun 2012) Jumlah Kunjungan/bulan (orang) Nilai Rata-rata WTP (Rp) Total WTP (Rp/bulan) Januari , ,29 Februari , ,35 Maret , ,47 April , Mei , ,53 Juni , ,94 Juli , ,24 Agustus , ,94 September , ,88 Oktober , ,12 November , ,65 Desember , ,41 Total ,8 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Berdasarkan Tabel 16, jumlah kunjungan wisatawan nusantara tertinggi pada tahun 2012 terjadi pada bulan Oktober 2012 dan Desember Kurva yang menggambarkan jumlah kunjungan wisatawan nusantara ke TCEC pada tahun 2012 ditampilkan pada Gambar 18.

90 68 Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 18. Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke TCEC Pada Tahun 2012 Berdasarkan gambar di atas, kunjungan wisatawan nusantara paling banyak terdapat di bulan Okteber 2012 dan Desember Hal ini sesuai dengan data pada Tabel 16 bahwa sebanyak orang wisatawan untuk bulan Oktober dan orang wisatwan untuk bulan Desember Hal tersebut dikarenakan banyaknya pengunjung yang datang ke TCEC saat liburan sekolah dan libur hari raya keagamaan. 5.b Total WTP Pengunjung Wisatawan Mancanegara Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai TWTP responden pengunjung sebesar Rp ,3/tahun. Hasil perhitungan TWTP dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Total WTP Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan Bulan (Tahun 2012) Jumlah Kunjungan/bulan (orang) Nilai Rata-rata WTP (Rp) Total WTP (Rp/bulan) Januari , ,67 Februari , ,33 Maret , ,67 April , ,00 Mei , ,00 Juni , ,67 Juli , ,67 Agustus , ,33 September , ,00 Oktober , ,67 November , ,00 Desember , ,33 Total ,3 Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

91 69 Berdasarkan Tabel 17, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tertinggi pada tahun 2012 terjadi pada bulan Agustus 2012 dan Oktober 2012 yaitu sebanyak orang untuk bulan Agustus dan orang untuk bulan Oktober Kurva yang menggambarkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke TCEC pada tahun 2012 ditampilkan pada Gambar 19. Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Gambar 19. Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke TCEC Pada Tahun 2012 Sesuai dengan Tabel 17, bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tertinggi pada tahun 2012 terjadi pada bulan Agustus 2012 dan Oktober Hal tersebut dikarenakan pada bulan Agustus, wisatawan yang berasal dari negara sub tropis bagian utara sedang mengalami akhir musim panas dan adanya liburan musim panas, sehingga mempunyai waktu untuk berlibur ke luar negeri, khususnya Indonesia, Bali. Mereka mencari suhu yang lebih bersahabat dibandingkan di negaranya. Sedangkan negara sub tropis bagian selatan sedang mengalami musim dingin, sehingga mereka mencari suhu yang lebih hangat di negara tropis seperti Indonesia, khususnya Bali. Pada bulan Oktober wisatawan yang berasal dari negara sub tropis bagian utara sedang mengalami musim gugur. Perubahan cuaca yang cukup ekstrim dari musim panas ke musim gugur, membuat wisatawan mencari cuaca yang bersahabat dalam hal ini di Indonesia. Salah satu penyebab lainnya adanya pergantian tahun ajaran baru sehingga wisatawan mencari tempat untuk berlibur dan salah satu tempat favorit wisatawan mancanegara adalah di Bali, Indonesia. Negara sub tropis bagian selatan sedang mengalami pergantian musim ke musim panas, sehingga mereka mencari suhu yang lebih bersahabat dalam hal ini di Bali, Indonesia.

92 70 6. Evaluasi Penggunaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R 2 sebesar 58,5% untuk responden wisatawan nusantara dan 52,8% untuk responden wisatawan mancanegara. Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R 2 sampai dengan 15%, hal ini karena penelitian tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia sehingga R 2 tidak harus besar. Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini masih dapat diyakini kebenaran dan keandalannya. 6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden wisatawan nusantara dan mancanegara dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Adapun variabel-variabel bebas yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden wisatawan nusantara dan mancanegara antara lain umur, tingkat pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan, dan frekuensi kunjungan. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden dijelaskan sebagai berikut Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan Minitab for Windows Relase 14, diperoleh model WTP responden pengunjung yang dihasilkan adalah sebagai berikut : WTP = Umur Tingkat Pendidikan + 0,000149Pendapatan Jumlah Tanggungan Frekuensi Kunjungan + ε i Hasil output analisis regresi berganda model WTP responden pengunjung disajikan pada Tabel 18 dan Lampiran 10.

93 71 Tabel 18. Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Nusantara Variabel Koefisien T P VIF Constant ,23 0,23 UM (Umur) 249,1 3,39 0,002 *** 1,4 TP (Tingkat Pendidikan) 927,4 2,04 0,051 * 1,6 PD (Pendapatan) 0, ,53 0,53 2,7 JT (Jumlah Tanggungan) -1001,5-1,5 0,145 1,8 FK (Frekuensi Kunjangan) -735,4-2,11 0,044 ** 1,4 R 2 58,5% R 2 (adj) 51,1% Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Keterangan : Tanda ***,**, dam * menunjukan taraf nyata koefisien regresi masing-masing variabel berturut-turut pada α : 1%, 5%, 10%. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh nilai R 2 (adj) sebesar 51,1%. Nilai tersebut menunjukkan sebesar 51,1% keragaman WTP responden dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, dan sisanya 48,9% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Setelah didapatkan model keseluruhan kemudian parameter model tersebut diuji secara statistika agar model tersebut memenuhi semua asumsi model yaitu BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Pelanggaran asumsi yang biasa terjadi dalam analisis regresi linear berganda adalah multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pemenuhan asumsi dan uji statistik yang dilakukan antara lain : 1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan melihat normal probability plot dan histogram (Lampiran 11). Titik-titik yang terdapat pada normal probability plot mengumpul dan terletak pada suatu garis berbentuk linear sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang dimiliki telah menyebar normal. Cara lainnya adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (Lampiran 12). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov Smirnov diperoleh nilai p-value lebih besar dari 0,15 dan nilai Kolmogorov Smirnov sebesar 0,094 lebih kecil dari nilai Kolmogorov Smirnov tabel (0,161), sehingga dapat disimpulkan data yang dimiliki telah menyebar normal. 2. Uji Autokolerasi Uji autokolerasi perlu dilakukan untuk mengetahui terjadinya korelasi antar anggota sampel atau data pengamatan. Uji Durbin Watson digunakan untuk

94 72 mendeteksi terjadinya autokolerasi di dalam model. Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai uji Durbin Watson adalah 2,01628, dimana nilai tersebut berada diantara nilai 1,55 dan 2,46, sehingga dapat disimpulkan bahwa autokolerasi tidak terjadi dalam model (Lampiran 10). 3. Uji Multikolinearitas Salah satu pelanggaran asumsi dalam analisis regresi berganda adalah adanya multikolinearitas. Masalah multikolinearitas dapat didteksi berdasarkan nilai VIF. Berdasarkan hasil analisis regresi, nilai VIF untuk masing-masing variabel bebas kurang dari sepuluh (VIF < 10). Hal tersebut menunjukkan variabel bebas yang satu dengan variabel bebas yang lain dalam model regresi tidak saling berkorelasi linear atau tidak terjadinya masalah multikolinearitas dalam model (Lampiran 10). 4. Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan menggunakan uji Glesjer. Uji Glesjer dilakukan dengan cara meregresikan nilai absolut residual. Hipotesis yang dibangun adalah H 0 yang berarti heteroskedastisitas, dan H 1 yang berarti homoskedastisitas. Apabila nilai p-value lebih besar dari taraf nyata, maka tolak H 0. Berdasarkan uji Glesjer diperoleh p-value sebesar 0,873, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 20%, sehingga dapat disimpulkan bahwa sisaan bersifat homogen, yang berarti masalah heteroskedastisitas tidak terjadi dalam model (Lampiran 13). 5. Uji Statistik F Berdasarkan analisis regresi berganda dalam tabel analisis varians, diketahui bahwa seluruh variabel bebas yang terdapat di dalam model regresi saling berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai P yang lebih kecil dari taraf nyata 1% (P < α). Nilai P dalam uji statistik F adalah 0,000, artinya semua variabel bebas dalam model regresi ini secara serentak atau bersama-sama mempengaruhi variabel terikat (Lampiran 10). 6. Uji Statistik t Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang secara nyata mempengaruhi variabel terikat. Berdasarkan hasil uji statistik t, terdapat

95 73 tiga variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat secara nyata. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p-value pada masing-masing variabel bebas yang lebih kecil dari taraf nyata. Variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah umur, tingkat pendidikan, dan frekuensi kunjungan. Variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata adalah pendapatan dan jumlah tanggungan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value dari masing-masing variabel bebas tersebut yang lebih besar dari taraf nyata (dapat dilihat di Tabel 18) Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan Minitab for Windows Relase 14, diperoleh model WTP responden pengunjung yang dihasilkan adalah sebagai berikut : WTP = Umur Tingkat Pendidikan + 0,00084 Pendapatan Jumlah Tanggungan Frekuensi Kunjungan + ε i Hasil output analisis regresi berganda model WTP responden pengunjung disajikan pada Tabel 19 dan Lampiran 14. Tabel 19. Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Mancanegara Variabel Koefisien T P VIF Constant ,60 0,016 UM (Umur) ,310 1,2 TP (Tingkat Pendidikan) 740 0,27 0,787 1,3 PD (Pendapatan) 0, ,65 0,523 1,2 JT (Jumlah Tanggungan) ,001 ** 1,2 FK (Frekuensi Kunjangan) ,045 * 1,2 R 2 52,8% R 2 (adj) 43,0% Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Keterangan : Tanda ** dan * menunjukan taraf nyata koefisien regresi masing-masing variabel berturut-turut pada α : 1%, 5%. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh nilai R 2 sebesar 43%. Nilai tersebut menunjukkan sebesar 43% keragaman WTP responden dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, dan sisanya 57% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Setelah didapatkan model keseluruhan kemudian parameter model tersebut diuji secara statistika agar model tersebut memenuhi semua asumsi model yaitu BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Pelanggaran asumsi yang

96 74 biasa terjadi dalam analisis regresi linear berganda adalah multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pemenuhan asumsi dan uji statistik yang dilakukan antara lain : 1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan melihat normal probability plot dan histogram (Lampiran 15). Titik-titik yang terdapat pada normal probability plot mengumpul dan terletak pada suatu garis berbentuk linear sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang dimiliki telah menyebar normal. Cara lainnya adalah dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (Lampiran 16). Berdasarkan hasil uji Kolmogorov Smirnov diperoleh nilai p-value lebih besar dari 0,15 dan nilai Kolmogorov Smirnov sebesar 0,099 lebih kecil dari nilai Kolmogorov Smirnov tabel (0,161), sehingga dapat disimpulkan data yang dimiliki telah menyebar normal. 2. Uji Autokolerasi Uji autokolerasi perlu dilakukan untuk mengetahui terjadinya korelasi antar anggota sampel atau data pengamatan. Uji Durbin Watson digunakan untuk mendeteksi terjadinya autokolerasi di dalam model. Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai uji Durbin Watson adalah 2,44503, dimana nilai tersebut berada diantara nilai 1,55 dan 2,46, sehingga dapat disimpulkan bahwa autokolerasi tidak terjadi dalam model (Lampiran 14). 3. Uji Multikolinearitas Salah satu pelanggaran asumsi dalam analisis regresi berganda adalah adanya multikolinearitas. Masalah multikolinearitas dapat didteksi berdasarkan nilai VIF. Berdasarkan hasil analisis regresi, nilai VIF untuk masing-masing variabel bebas kurang dari sepuluh (VIF < 10). Hal tersebut menunjukkan variabel bebas yang satu dengan variabel bebas yang lain dalam model regresi tidak saling berkorelasi linear atau tidak terjadinya masalah multikolinearitas dalam model (Lampiran 14). 4. Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan menggunakan uji Glesjer. Uji Glesjer dilakukan dengan cara meregresikan nilai absolut residual. Hipotesis yang dibangun adalah H 0 yang berarti heteroskedastisitas, dan H 1 yang

97 75 berarti homoskedastisitas. Apabila nilai p-value lebih besar dari taraf nyata, maka tolak H 0. Berdasarkan uji Glesjer diperoleh p-value sebesar 0,244, dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata 20%, sehingga dapat disimpulkan bahwa sisaan bersifat homogen, yang berarti masalah heteroskedastisitas tidak terjadi dalam model (Lampiran 17). 5. Uji Statistik F Berdasarkan analisis regresi berganda dalam tabel analisis varians, diketahui bahwa seluruh variabel bebas yang terdapat di dalam model regresi saling berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai P yang lebih kecil dari taraf nyata 1% (P < α). Nilai P dalam uji statistik F adalah 0,002, artinya semua variabel bebas dalam model regresi ini secara serentak atau bersama-sama mempengaruhi variabel terikat (Lampiran 14). 6. Uji Statistik t Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang secara nyata mempengaruhi variabel terikat. Berdasarkan hasil uji statistik t, terdapat dua variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat secara nyata. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai p-value pada masing-masing variabel bebas yang lebih kecil dari taraf nyata. Variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah jumlah tanggungan dan frekuensi kunjungan. Variabel bebas yang tidak berpengaruh nyata adalah umur, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value dari masing-masing variabel bebas tersebut yang lebih besar dari taraf nyata (Tabel 19). 6.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Tabel 18, dapat dilihat bahwa variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99% adalah umur. Variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% adalah frekuensi kunjungan. Variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan

98 76 90% adalah tingkat pendidikan. Penjelasan lebih lanjut mengenai variabelvariabel yang berpengaruh secara nyata terhadap nilai WTP responden wisatawan nusantara adalah sebagai berikut: 1. Umur Variabel umur berpengaruh positif terhadap nilai WTP pada taraf nyata 1% atau pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai koefisien bertanda positif (+) dengan nilai 249,1 berarti bahwa setiap penambahan umur sebanyak satu tahun maka diduga rata-rata nilai WTP yang diberikan responden pengunjung akan meningkat sebesar Rp 249,1. Hal ini disebabkan semakin bertambah umur pengunjung, ingin merasakan kenyamanan dalam berwisata, sehingga dengan memberikan biaya kunjungan yang lebih akan membantu dalam pengelolaan. Selain itu, untuk pelestarian penyu agar keturunan dimasa yang akan datang masih dapat menikmati wisata di TCEC. 2. Frekuensi Kunjungan Variabel frekuensi kunjungan berpengaruh negatif terhadap nilai WTP pada taraf nyata 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai 735 berarti bahwa setiap kenaikan frekuensi kunjungan sebanyak satu kali maka diduga rata-rata nilai WTP yang diberikan responden pengunjung akan menurun sebesar Rp 735. Hal ini disebabkan karena dengan semakin sering wisatawan berkunjung, maka wisatwan akan merasa bosan dengan pemandangan yang sudah biasa mereka kunjungi. 3. Tingkat Pendidikan Variabel umur berpengaruh positif terhadap nilai WTP pada taraf nyata 10% atau pada tingkat kepercayaan 90%. Nilai koefisien bertanda positif (+) dengan nilai 927,4 berarti bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan sebanyak satu tahun maka diduga rata-rata nilai WTP yang diberikan responden pengunjung akan meningkat sebesar Rp 927,4. Hal ini disebabkan karena dengan pendidikan yang tinggi, maka seseorang akan lebih paham dalam menilai pentingnya menjaga lingkungan dan sumberdaya.

99 Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Tabel 19, dapat dilihat bahwa variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99% adalah jumlah tanggungan. Variabel yang mempunyai pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% adalah frekuensi kunjungan. Penjelasan lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap nilai WTP responden wisatawan mancanegara adalah sebagai berikut: 1. Jumlah Tanggungan Variabel frekuensi kunjungan berpengaruh negatif terhadap nilai WTP pada taraf nyata 1% atau pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai berarti bahwa setiap penambahan jumlah tanggungan sebanyak satu orang maka diduga rata-rata nilai WTP yang diberikan responden pengunjung akan menurun sebesar Rp Hal ini disebabkan responden yang memiliki tanggungan memiliki kebutuhan lain yang lebih besar sehingga alokasi dana WTP yang diberikan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan responden wisatawan yang belum mempunyai tanggungan. 2. Frekuensi Kunjungan Variabel frekuensi kunjungan berpengaruh negatif terhadap nilai WTP pada taraf nyata 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Nilai koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai berarti bahwa setiap kenaikan frekuensi kunjungan sebanyak satu kali maka diduga rata-rata nilai WTP yang diberikan responden pengunjung akan menurun sebesar Rp Hal ini disebabkan karena dengan semakin sering wisatawan berkunjung, maka wisatwan akan merasa bosan dengan pemandangan yang sudah biasa mereka kunjungi. 6.5 Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara Setelah dilakukan uji statistik t terhadap masing-masing variabel, terdapat dua variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden

100 78 wisatawan nusantara. Kedua varibel tersebut adalah : 1. Pendapatan Berdasarkan uji statistik t, variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP. Hal ini disebabkan obyek wisata penyu TCEC sangat menarik bagi wisatawan, sehingga pendapatan tidak mempengaruhi nilai WTP. 2. Jumlah Tanggungan Berdasarkan uji statistik t yang telah dilakukan, variabel jumlah tanggungan tidak berpengaruh terhadap nilai WTP. Sebagian wisatawan nusantara yang berasal dari luar Pulau Bali berwisata bersama keluarga yang merupakan sebagian jumlah tanggungan, sedangkan sebagian wisatawan nusantara yang berasal dari Pulau Bali berwisata bersama teman. Hal ini menujukkan banyaknya jumlah tanggungan tidak menjamin besarnya nilai WTP ke TCEC Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara Setelah dilakukan uji statistik t terhadap masing-masing variabel, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden wisatawan mancanegara. Ketiga variabel tersebut adalah : 1. Umur Berdasarkan uji statistik t yang sudah dilakukan, variabel umur tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP. Hal ini disebabkan kebanyakan umur wisatawan mancanegara yang berkunjung adalah 17 tahun sampai 40 tahun. Wisatawan mancanegara yang berumur lebih dari 40 tahun kurang tertarik untuk berkunjung ke TCEC, sehingga umur wisatawan tidak mempengaruhi WTP. 2. Tingkat Pendidikan Berdasarkan uji statistik t, variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP. Wisatawan mancanegara yang memiliki pendidikan tinggi maupun pendidikan tidak tinggi dapat memahami betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan tidak mempengaruhi besarnya WTP. 3. Pendapatan Berdasarkan uji statistik t, variabel pendapatan tidak berpengaruh nyata

101 79 terhadap nilai WTP. Hal ini disebabkan obyek wisata penyu TCEC sangat menarik bagi wisatawan, sehingga pendapatan tidak mempengaruhi nilai WTP. 6.6 Analisis Kelayakan Finansial Obyek Wisata TCEC Tahun Analisis kelayakan finansial merupakan analisis yang digunakan untuk menilai suatu usaha yang didasarkan pada apakah usaha tersebut secara finansial akan menguntungkan atau tidak, dengan menggunakan tiga kriteria meliputi NPV (Net Present Value), Net B/C (Net Benefit Cost Ratio), dan IRR (Internal Rate of Return). Analisis kelayakan finansial tahun adalah untuk mengevaluasi bagaimana usaha TCEC ini berjalan, apakah dapat menjamin keberlangsungan keberadaan TCEC atau tidak. Hal ini juga untuk membantu perencanaan usaha dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha di TCEC kedepannya Arus Penerimaan (Inflow) dan Arus Pengeluaran (Outflow) Inflow di TCEC diperoleh dari donasi WWF, Kodya setempat, Gubernur setempat, Taman Marga Satwa Bali, YPLI, donasi yang di dapatkan dari wisatawan yang berkunjung dan dari pihak-pihak yang tertarik dalam pelestarian penyu, kantin, penjualan souvenir, sewa lapangan, adopsi tukik, dan penyu upacara adat. Pada tahun pertama dan kedua berdirinya TCEC, inflow hanya didapatkan dari donasi WWF, pemerintah daerah setempat, pihak-pihak yang ingin membantu pelestarian penyu. Setelah pembangunan selesai, kantin yang siap beroperasi pun dapat menjadi sumber inflow pada tahun ketiga, beserta dengan tukik-tukik yang siap di adopsi, penyu-penyu untuk upacara adat, penjualan souvenir, dan juga sewa tempat berupa lapangan untuk kemah pramuka. Outflow atau aliran kas keluar di TCEC berasal dari adanya biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi merupakan biaya yang umumnya dikeluarkan pada awal kegiatan dan mungkin pada saat tertentu beberapa tahun kemudian. Pengeluaran biaya investasi pada umumnya dilakukan satu kali atau bisa lebih dari satu kali. Adapun komponen-komponen investasi yang dikeluarkan TCEC adalah kolam untuk penyu dan tukik, tempat untuk telur penyu, bangunan, bermacam-macam ukuran meja, bermacam-macam rak,

102 80 tembok, kipas angin, wantilan, kulkas, monumen, patung penyu, kamar mandi, kursi putar, kursi bambu, kantor/kantin, TV, speaker, LCD, dan DVD. Berikut tabel total inflow dan outflow per tahun proyek. Tabel 20. Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun Tahun Proyek Penerimaan Biaya Investasi Biaya Operasional Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Outflow biaya investasi pada tahun pertama dan kedua cukup banyak karena masih dalam tahap pembangunan, sedangkan tahun ketiga, keempat dan kelima sudah dalam masa berjalannya usaha. Hal ini menyebabkan biaya investasi ada hanya jika diperlukan. Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan pihak TCEC secara berkala selama usaha berjalan. Biaya operasional adalah semua biaya produksi, pemeliharaan, dan lainnya yang menggambarkan pengeluaran untuk pelestarian penyu sebagai obyek wisata dalam satu periode. Biaya operasional pada tahun 2008 hanya meliputi pengeluaran untuk perawatan dan upacara atau sosial untuk kebudayaan Bali. Hal ini disebabkan bangunan yang baru dibangun, sehingga penyu maupun tukik belum ada. Pada tahun 2009 pengeluaran meningkat karena bangunan sudah mulai terbangun setengahnya, sehingga dapat membeli telur penyu dan tukik. Pengeluaran pada tahun ini pun meliputi administrasi, mesin pompa, souvenir, perawatan, listrik dan air, upacara adat atau sosial untuk kebudayaan Bali, transport, telepon, dan gaji untuk pegawai. Pengeluaran dari tahun 2010 hingga 2012 hampir sama, dimana bangunan sudah selesai dibangun sehingga seluruh kebutuhan operasional dapat dibeli. Rincian cashflow secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun Analisis kelayakan finansial di TCEC menggunakan tingkat suku bunga sebesar 8% berdasarkan tingkat suku bunga deposito. Hasil analisis kelayakan finansial di TCEC dapat dilihat pada Tabel 21.

103 81 Tabel 21. Hasil Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun NPV PV (+) PV (-) ( ) NET B/C 1,17 IRR 9% Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperoleh hasil bahwa nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV > 0), yaitu sebesar Rp Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima TCEC selama umur obyek wisata yaitu 6 tahun adalah Rp Pada kriteria investasi yang kedua, yaitu nilai Net B/C yang diperoleh lebih besar dari satu (Net B/C > 1), yaitu sebesar 1,17. Artinya, setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan oleh TCEC selama umur usaha yaitu 6 tahun, mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,17 sehingga usaha tersebut dikatakan layak untuk dijalankan tetapi dengan keuntungan yang sangat sedikit, cenderung mendekati titik impas suatu usaha. Pada kriteria investasi ketiga yaitu nilai IRR yang diperoleh lebih kecil dari tingkat suku bunga deposito (IRR > 8%), yaitu sebesar 9% selama umur kegiatan 6 tahun. Hal ini menunjukkan TCEC mendapatkan sedikit keuntungan dan cash flow yang terbatas dari adanya kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata. Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C dan IRR, bahwa secara finansial kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata usaha ini belum dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu dan dikhawatirkan akan mendapat kerugian kedepannya, dengan demikian diperlukan adanya perbaikan dalam pengelolaan finansial TCEC. Salah satu cara agar pengelolaan TCEC dapat berjalan dengan baik adalah dengan menetapkan harga tiket masuk sehingga TCEC memiliki penerimaan secara kontinyu. 6.7 Pengembangan TCEC Tahun Metode Willingness To Pay (WTP) yang sudah didapatkan dapat diasumsikan ke dalam analisis kelayakan jangka panjang. Nilai WTP digunakan sebagai harga tiket masuk ke kawasan TCEC dan diasumsikan sebagai pengganti

104 82 donasi yang mulai diterapkan pada tahun Asumsi tersebut digunakan karena ingin melihat perbedaan analisis finansial saat masih mendapatkan donasi dengan saat sudah tidak ada donasi dan menggunakan harga tiket sebagai pengganti donasi. Analisis finansial pengembangan ini dihitung sejak tahun 2014 hingga Hal ini disebabkan nilai investasi tertinggi adalah bangunan yang umur teknisnya diperkirakan berumur sepuluh tahun. Berikut hasil dari analisis kelayakan jangka panjang yang menghitung WTP sebagai harga tiket masuk Arus Penerimaan (Inflow), Arus Pengeluaran (Outflow) Inflow yang didapatkan TCEC berasal dari donasi, penjualan sovenir, sewa lapangan, sewa kantin, adopsi tukik, dan penyu upacara adat. Analisis kelayakan untuk jangka panjang yaitu sejak tahun 2014 hingga tahun 2023 diasumsikan dengan tidak adanya donasi sejak tahun Donasi yang biasa didapatkan hingga tahun 2013 digantikan dengan nilai WTP yang sudah didapatkan yaitu Rp ,76, dibulatkan menjadi Rp untuk wisatawan nusantara dan Rp ,33 dengan dibulatkan menjadi Rp untuk wisatawan mancanegara. Harga tiket masuk didapatkan dengan cara mengkalikan nilai WTP yang sudah dibulatkan dengan jumlah kunjungan yang didapatkan dari data wisatawan pada tahun Jumlah wisatawan diasumsikan meningkat 2% setiap tahunnya. Harga tiket masuk diasumsikan sudah termasuk dengan biaya untuk adopsi tukik. Penjualan sovenir diasumsikan meningkat 1% setiap tahunnya. Sewa lapangan, sewa kantin dan penyu upacara adat diasumsikan sama dengan tahun Berikut tabel total inflow dan outflow per tahun kegiatan pelestarian penyu.

105 83 Tabel 22. Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun Tahun Proyek Penerimaan Biaya Investasi Biaya Operasional Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Arus masuk yang didapatkan TCEC lebih besar saat menerapkan harga tiket masuk. Hal ini menunjukkan bahwa harga tiket masuk mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk pendapatan TCEC kedepannya. Sehingga dapat meningkatkan fasilitas dan pengembangan yang lebih baik dalam pelestarian penyu untuk kelestarian penyu kedepannya. Outflow terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Tahun 2014 adalah dimana pengembangan TCEC dimulai, sehingga banyak pengeluaran untuk perbaikan dan penambahan investasi. Biaya operasional untuk pembelian tukik dan telur penyu disesuaikan dengan asumsi lebih besar dari meningkatnya pengunjung setiap tahunnya, yaitu 3%. Biaya operasional pembelian souvenir diasumsikan meningkat 2% setiap tahunnya sesuai dengan kebutuhan. Rincian cashflow secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial di TCEC menggunakan tingkat suku bunga sebesar 8% berdasarkan tingkat suku bunga deposito. Hasil analisis kelayakan finansial di TCEC dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Hasil Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun NPV PV (+) PV (-) ( ) Net B/C 1,38 IRR 40% Sumber: Hasil Analisis Data (2013) Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh hasil bahwa nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV > 0), yaitu sebesar Rp Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima TCEC selama tahun 2014 hinga 2023 adalah Rp , sehingga usaha tersebut layak untuk dijalankan.

106 84 Pada kriteria investasi yang kedua, yaitu nilai Net B/C yang diperoleh lebih dari satu (Net B/C > 1), yaitu sebesar 1,38. Artinya, setiap Rp 1 biaya yang dikeluarkan oleh TCEC selama umur usaha yaitu 10 tahun, mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 1,38 sehingga usaha tersebut dikatakan layak untuk dijalankan. Pada kriteria investasi ketiga yaitu nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari tingkat suku bunga deposito (IRR > 8%), yaitu sebesar 40% selama umur usaha. Hal ini menunjukkan TCEC mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata. Dengan demikian, usaha ini layak untuk dijalankan dan menguntungkan. Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C dan IRR, secara finansial, kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata layak untuk dijalankan dan menguntungkan. Rencana pengembangan dengan menerapkan harga tiket masuk memiliki keuntungan finasial yang sangat besar dan menjadikan kegiatan TCEC dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu secara berkelanjutan..

107 85 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka simpulan dari penelitian ini adalah : 1. Jenis penyu yang terdapat di TCEC adalah penyu lekang, penyu sisik, dan penyu hijau. Telur-telur penyu di TCEC didapatkan dari nelayan di daerah Klungkung, Gianyar, dan Negare. Dalam satu sarang telur, terdapat kurang lebih 100 buah telur. Jumlah telur yang berhasil ditetaskan hingga menjadi tukik sekitar 40% dari jumlah telur yang berhasil diselamatkan. Jumlah tukik yang berhasil dilepaskan sekitar 300 ekor hingga 500 ekor per bulan. Penyu yang diserahkan untuk upacara adat Bali adalah sebanyak 30 ekor samapai 60 ekor per tahun. 2. Karakteristik responden wisatawan nusantara adalah wisatawan berumur 17 tahun sampai 25 tahun, dengan pendidikan perguruan tinggi, tingkat pendapatan wisatawan kurang dari Rp per bulan, dengan jumlah tanggungan 3 orang. Frekuensi kunjungan responden wisatawan nusantara paling banyak adalah satu kali dalam satu tahun ini dan paling banyak berasal dari Bali. Karakteristik responden wisatawan mancanegara adalah wisatawan berumur 26 tahun sampai 30 tahun, dengan latar pendidikan sekolah menengah keatas dan perguruan tinggi, tingkat pendapatan wisatawan antara Rp Rp per bulan, dengan tidak memiliki jumlah tanggungan. Frekuensi kunjungan responden wisatawan mancanegara paling banyak adalah satu kali dalam satu tahun ini dan paling banyak berasal dari Eropa. 3. Nilai ekonomi jasa wisata dari TCEC adalah sebebsar Rp ,00. Nilai tersebut menunjukkan bahwa TCEC memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, keberadaan TCEC harus dijaga keberlangsungannya sebagai pelestarian penyu serta pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan. Nilai rataan WTP responden wisatawan nusantara adalah Rp ,76 per kunjungan dan nilai rataan WTP responden wisatawan mancanegara adalah Rp ,33 per kunjungan.

108 86 Hal ini untuk membantu menjaga dan melestariakan penyu di TCEC. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP wisatawan nusantara di TCEC adalah umur, frekuensi kunjungan, dan tingkat pendidikan dengan masingmasing pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% secara berturut-turut. Faktorfaktor yang mempengaruhi WTP wisatawan mancanegara di TCEC adalah jumlah tanggungan dan frekuensi kunjungan dengan masing-masing pada taraf nyata 1% dan 5% secara berturut-turut. Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C dan IRR, bahwa secara finansial kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata usaha ini belum dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu dan dikhawatirkan akan mendapat kerugian kedepannya, dengan demikian diperlukan adanya perbaikan dalam pengelolaan finansial TCEC. 4. Pengembangan menggunakan nilai WTP yang sudah didapatkan sebagai harga tiket masuk dan diasumsikan sebagai pengganti donasi. Analisis finansial pengembangan dihitung sejak tahun 2014 hingga Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C dan IRR, secara finansial kegiatan pelestarian penyu sebagai obyek wisata layak untuk dijalankan karena memiliki keuntungan finasial yang sangat besar dan menjadikan usaha TCEC dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu untuk kedepannya. 7.2 Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian, saran yang dapat diberikan adalah : 1. Disarankan menggunakan nilai WTP untuk diterapkan sebagai harga tiket masuk. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi donasi yang tidak menentu setiap tahunnya dan agar TCEC mendapatkan keuntungan finansial sehingga aktivitas pelestarian penyu dapat berkelanjutan. 2. Diperlukan penelitian lanjutan terkait dengan kapasitas daya tampung wisatawan di pelestarian penyu Turtle Conservation and Education Center.

109 87 DAFTAR PUSTAKA Algifari Analisis Regresi Teori, Kasus, dan Solusi. Yogyakarta (ID): BPFE-Yogyakarta. Amalia, F Analisis Kesediaan Membayar dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Obyek Wisata Tirta Jangari, Wafuk Cirata, Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor. Amanda, S Analisis Willingness To Pay Pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede Dalam Upaya Pelestarian lingkungan [skripsi]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor. Budiarti, N Nilai dan Dampak Ekonomi Pengembangan Kawasan Wisata Situs Megalitik Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor. Bungin, B Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik, Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Grup. Damanik, J. dan H. F. Weber Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI. Dinas Pariwisata Provinsi Bali Statistik Pariwisata Bali Bali (ID): Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Erwanto, B Kajian Pengelolaan Penangkapan Penyu di Kecamatan Ngambur Lampung Barat [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung. Fauzi, A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Firandari, T Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 Dengan Metode Biaya Perjanan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Garrod, G. dan K. G. Willis Economic Valuation of The Environment; Methods and Case Studies. United Kingdom (GB): Edward Elgar Publishing Limited. Ghozali, I Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS Edisi Kedua. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Statistik Non Parametrik-Teori dan Aplikasi dengan Program SPSS. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

110 88 Giffari, A.A Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gittinger, J. Price Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta (ID): UI-Press. Hanley, N. dan C. L. Spash Cost Benefit Analysis And The Environment. Hants (UK): Edward Elgar Publishing Limited. Hartanto Analisis Biaya Manfaat Relokasi Budidaya Kerang Hijau (Mytilusviridis) di Perairan Teluk Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hutagalung, E.A Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Ikan Patin Mas (Pangasius hypopthalmus) Studi Kasus: Cinta Fish Farm, Desa Tegal Pabuaran, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Juanda, Bambang Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. Jumadi Analisis Kelayakan Investasi Peremajaan Kelapa Dalam di Daerah Pasang Surut (Kasus di Kawasan Transmigrasi Desa Sumber Jaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Koswara, I.H Juni. Karakteristik Wisatawan; Siapa dan Bagaimana Mereka Berwisata. Warta Pariwisata. Rubrik Wacana:1. Leimona, B Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia.[internet]. [diunduh pada 2013 Februari 20]. Tersedia pada: PDF. Limpus, C.J Populasi Penyu di Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat; Penyebaran dan Statusnya. Di dalam: Noor YR, Lubis IR, Abdullah A, editor. Prosiding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia; November 1996; Jember, Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International/PHPA/Environment Australia. hlm Mattjik, A.A. dan I. M. Sumertajaya Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press. McIntosh. R, C.R. Goeldner, dan Jr. B. Ritchie Tourism: Principles Practices and Philosophi. Canada (CA): John Wiley & Sons, Inc.

111 89 Nuitja, I. N. S Konservasi dan Pengembangan Penyu di Indonesia. Di dalam: Noor YR, Lubis IR, Abdullah A, editor. Prosiding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia; November 1996; Jember, Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International/PHPA/Environment Australia. hlm Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Jakarta: Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Pangemanan, A.P Aplikasi Model Biaya Perjalanan untuk Menduga Fungsi Permintaan dan Manfaat Rekreasi di Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putra, K.S Program Penyuluhan dan Pendidikan Mengenai Konservasi Penyu di Bali (Penyertaan Tema Konservasi Kedalam Budaya Masyarakat Bali). Di dalam: Noor YR, Lubis IR, Abdullah A, editor. Prosiding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia; November 1996; Jember, Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International/PHPA/Environment Australia. hlm Salma, I.A dan I. Susilowati Analisis Permintaan Obyek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal Dengan Pendekatan Travel Cost. Dinamika Pembangunan. Vol. 1 No.2/Desember hlm Seaton, A.V dan M. Bennet The Marketing Tourism Products: Concepts, Issues and Cases. London (GB): International Thomson Business Press. Segara, R.A Studi Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Siswomartono, D Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Di dalam: Noor YR, Lubis IR, Abdullah A, editor. Prosiding Workshop Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia; November 1996; Jember, Indonesia. Bogor (ID): Wetlands International/PHPA/Environment Australia. hlm Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): CV Alfabeta. Sunyoto, Danang Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta (ID): CAPS. Suparmoko, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): BPFE-Yogyakarta.

112 90 Suparmoko dan M. R. Suparmoko, Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta (ID): BPFE-Yogyakarta. Turtle-Edu Jenis-jenis Penyu. [internet]. [diunduh pada 2013 Desember 29]. Tersedia pada: Wikipedia Penyu. [internet]. [diunduh pada Februari]. Tersedia pada: WWF Penyu Belimbing. [internet]. [diunduh pada 2013 Desember 29]. Tersedia pada: howwework/endangeredmarinespecies/seaturtle_leatherback.cfm TCEC-Serangan, Bali. [internet]. [diunduh pada 2013 Oktober 06]. Tersedia pada: species/how_we_work/endangered_marine_species/tcec.cfm.

113 LAMPIRAN 91

114 92

115 93 Lampiran 1. Lokasi Penelitian Sumber : diakses tanggal [16 April 2013]

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Tri Nurani Mahasiswa S1 Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman e-mail: tri3nurani@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat perbuatan manusia. Allah telah menciptakan alam agar dikelola oleh manusia untuk kesejahteraan umat manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PEMELIHARAAN PENYU SISIK DI KAWASAN PANTAI BATU HIU

PEMELIHARAAN PENYU SISIK DI KAWASAN PANTAI BATU HIU BAB II PEMELIHARAAN PENYU SISIK DI KAWASAN PANTAI BATU HIU II.1. Penyu II.1.1. Pengertian Penyu Penyu adalah kura-kura laut, termasuk hewan reptil besar dan berdarah dingin. Menurut Mikrodo (2007) seekor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. sepanjang khatulistiwa dan km dari utara ke selatan. Luas negara Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 17.508 buah pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat sepanjang

Lebih terperinci

Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali

Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali ISSN 0853-7291 Pelestarian Habitat Penyu Dari Ancaman Kepunahan Di Turtle Conservation And Education Center (TCEC), Bali Raden Ario, Edi Wibowo, Ibnu Pratikto, Surya Fajar Departement Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh RINI SULISTYOWATI

SKRIPSI. Oleh RINI SULISTYOWATI Peran WWF ( World Wide Fund For Nature ) Dalam Usaha Penyelamatan Penyu Di Bali Indonesia (The Role of WWF ( World Wide Fund For Nature ) In saving destruction of marine turtle in Bali Indonesia) SKRIPSI

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PENYU DI PANTAI TEMAJUK KAWASAN PERBATASAN KALIMANTAN BARAT

WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PENYU DI PANTAI TEMAJUK KAWASAN PERBATASAN KALIMANTAN BARAT Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 2 No. 3, Desember 2015: 254-262 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 WISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN PENYU DI PANTAI TEMAJUK KAWASAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata l) DI PULAU PETElORAN TIMUR DAN BARAT TAMAN NASIONAl KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA ----------------~------------------------------------------.--------.----- Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (1993),1(1): 33-37 STUDI HABITAT PENElURAN PENYU SISIK (Eretmoche/ys imbricata

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

LAPORAN PERJALANAN DINAS NOMOR : ST. 602 /BPSPL/T /IX/2016

LAPORAN PERJALANAN DINAS NOMOR : ST. 602 /BPSPL/T /IX/2016 LAPORAN PERJALANAN DINAS NOMOR : ST. 602 /BPSPL/T.400.420/IX/2016 Kepada : Kepala BPSPL Padang Perihal laporan perjalanan dinas : Dalam Rangka Pembinaan Pendataan Penyu di Pantai Barat Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di bumi ini terdapat berbagai macam kehidupan satwa, seperti kehidupan satwa terdapat di lautan. Terdapat berbagai macam mekanisme kehidupan untuk bertahan hidup di

Lebih terperinci

KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT. (Skripsi) Oleh. Brina Wanda Pratiwi

KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT. (Skripsi) Oleh. Brina Wanda Pratiwi KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH, NGAMBUR, PESISIR BARAT (Skripsi) Oleh Brina Wanda Pratiwi FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus

HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus HIU TERBESAR JINAK DAN BUKAN KARNIVORA, 9 Fakta Menarik Tentang Hiu Paus Bertepatan dengan perayaan hari paus internasional yang jatuh pada Selasa (30/8/2016), masyarakat dunia ditantang untuk bisa menjaga

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI xi Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PENGESAHAN...i BERITA ACARA... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...v ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyu hijau merupakan reptil yang hidup dilaut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ciri Umum dan Jenis Penyu Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu (Gambar 1) beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi terhadap jenis penyu dengan

Lebih terperinci

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI Muslim Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, muslim1989.ibrahim@gmail.com Henky Irawan Jurusan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI

ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI ANALISIS PERMINTAAN DAN NILAI EKONOMI WISATA PULAU SITU GINTUNG-3 DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN TRI FIRANDARI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN

Penangkaran Penyu di Desa Perancak Kab. Jembrana BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah kepulauan yang sebagian besar terdapat pesisir pantai. Kondisi tersebut menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang cocok untuk kehidupan penyu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas. memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai negara dengan lautan dan pesisir yang luas memiliki potensi untuk pengembangan dan pemanfaatannya. Lautan merupakan barang sumber daya milik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah

Lebih terperinci

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract The effects of nest cover types on incubation period and hatching rate of Olive Ridley turtle Lepidochelys olivacea in the Turtle Conservation Unit, Pariaman by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyuwangi merupakan kabupaten yang berada di ujung paling timur dari Provinsi Jawa Timur yang memiliki kekayaan seni budaya, keberagaman adat tradisi, serta dianugerahi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Dari enam jenis penyu, lima jenis diantaranya yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan

BAB III METODE PERANCANGAN. dapat digunakan ialah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif merupakan BAB III METODE PERANCANGAN Untuk mengembangkan ide rancangan dalam proses perancangan, dibutuhkan sebuah metode yang memudahkan perancang. Salah satu metode yang dapat digunakan ialah metode deskriptif

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA NAMA NIM KELAS : HANDI Y. : 11.02.8010 : D3 MI 2C SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA ABSTRAKSI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org LAMUN Project Seagrass Apa itu lamun? Lamun bukan rumput laut (ganggang laut), tetapi merupakan tumbuhan berbunga yang hidup di perairan dangkal yang terlindung di sepanjang pantai. Lamun memiliki daun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Berdasarkan publikasi yang ada mempunyai 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

apendiks.??? diatur. spesies yang terancam punah. terancam punah di dunia.

apendiks.??? diatur. spesies yang terancam punah. terancam punah di dunia. Cites CITES rutin mengadakan (Convention on sidang International dalam penentuan Endengered hewan-hewan Species of Wild yang Fauna and Apendiks dilarang Flora) yaitu untuk 1 adalah : jenis-jenis daftar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Beberap tahun terakhir ini perkembangan sektor pariwisata di Indonesia telah tumbuh dan berkembang.berbagai usaha telah diupayakan untuk menumbuhkembangkan industri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa, sebagian diantaranya dikategorikan langka, tetapi masih mempunyai potensi untuk ditangkarkan, baik

Lebih terperinci

Tesis. Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk Memperoleh Gelar Master Sains Biologi (M.Si) Oleh: Martina Bonsapia NPM:

Tesis. Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk Memperoleh Gelar Master Sains Biologi (M.Si) Oleh: Martina Bonsapia NPM: Fekunditas dan Waktu Peneluran Penyu, Kaitannya dengan Pengelolaan Konservasi di Pantai Warebar, Kampung Yenbekaki, Distrik Waigeo Timur, Kabupaten Raja Ampat Tesis Diajukan kepada Program Studi Magister

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keindahan luar biasa dengan keanekaragaman budaya dan kesenian yang berbeda-beda di masing-masing daerah

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi (Data Kemendagri.go.id, 2012). Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah sehingga dapat

Lebih terperinci

DEFINISI- DEFINISI A-1

DEFINISI- DEFINISI A-1 DEFINISI- DEFINISI Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di:

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di: Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 67-72 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr Pengaruh Pemberian Udang Ebi Dengan Konsentrasi Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia tidak hanya dikaruniai tanah air yang memiliki keindahan alam yang melimpah, tetapi juga keindahan alam yang mempunyai daya tarik sangat mengagumkan.

Lebih terperinci

Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan

Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan Valuasi Ekonomi Dalam Pengembangan Ekowisata Berbasis Sumberdaya Penyu di Kampung Baru Desa Sebong Lagoi Kabupaten Bintan Priyanti Junia Pratiwi, Winny Retna Melani, Fitria Ulfah. Juniapratiwi2406@gmail.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Pariwisata Menurut beberapa ahli pengertian Pariwisata, yaitu: (a) Pariwisata yaitu suatu proses berpergian yang mengakibatkan terjadinya suatu interaksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS PELUANG BISNIS PARIWISATA DI KARIMUNJAWA NAMA : ISMAWATI NIM : 10.02.7842 KELAS : D3 MI 2C SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BERWISATA BAHARI MENYUSURI SEGARA ANAKAN

BERWISATA BAHARI MENYUSURI SEGARA ANAKAN BERWISATA BAHARI MENYUSURI SEGARA ANAKAN Sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 13 ribu pulau, Indonesia layak disebut sebagai negara dengan potensi bahari terbesar di dunia. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Indonesia menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Indonesia menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Indonesia menjadikan Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan baik dalam sektor pertanian, perkebunan,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Jenis-jenis Penyu Laut di Dunia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis dan Penyebaran Penyu Laut Penyu laut hidup di lautan sejak 100 juta tahun lalu. Pritchard dan Mortimer (1999) menyatakan bahwa di dunia terdapat delapan jenis penyu laut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan karunia dari Allah SWT yang harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam memiliki keterbatasan penggunaannya. Sumberdaya alam

Lebih terperinci

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Eggs Hatching of Olive Ridley Turtles (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber daya alam. Berada pada daerah beriklim tropis menjadikan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hanisa Aprilia, 2014 Analisis Preferensi Wisatawan Terhadap Pengembangan Atraksi Wisata Di Cipanas Cileungsing

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hanisa Aprilia, 2014 Analisis Preferensi Wisatawan Terhadap Pengembangan Atraksi Wisata Di Cipanas Cileungsing 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang diapit oleh dua Samudra dan juga dua Benua. Pada bagian barat laut Indonesia berbatasan dengan Benua

Lebih terperinci

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan

No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden yang diwawancarai Jabatan LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Kuisioner pengelola dan instansi terkait Kuisioner untuk pengelola dan Instansi terkait Pantai Pangumbahan No : Hari/tanggal /jam : Nama instansi : Alamat Instansi : Nama responden

Lebih terperinci

Penyu dan Usaha Pelestariannya

Penyu dan Usaha Pelestariannya Serambi Saintia, Vol. V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337-9952 Penyu dan Usaha Pelestariannya Juliono, M. Ridhwan Pendidikan Biologi Universitas Serambi Mekkah Email: juliono@gmail.com ABSTRAK Penyu (Sea

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel).

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah tujuan wisata terdepan di Indonesia. The island of paradise, itulah julukan yang disandang Pulau Dewata. Siapa yang tidak tahu Bali, sebagai primadona

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, jumlah populasi manusia semakin meningkat. Di Indonesia kepadatan penduduknya mencapai 200 juta jiwa lebih. Kebutuhan akan tempat dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci