BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH"

Transkripsi

1 BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH A. Sejarah Organisasi Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul Un Souvenir de Solferino (Kenang-kenangan dari Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran. 46 Pada saat peperangan terjadi saat itu, pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria menggunakan warna putih, Perancis menggunakan warna merah, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberikan perlindungan tetapi juga merupakan target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya. 46 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal

2 32 Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang terluka ( International Committee for Aid to Wounded Soldiers ). Tahun 1875 Komite menggunakan nama Komite Internasional Palang Merah ( International Committee of the Red Cross / ICRC), hingga saat ini. 47 Kemudian, muncul pemikiran untuk mengadopsi lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin perlindungan mereka yang membantu korban perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu lambang. Delegasi dari konferensi 1863 akhirnya memilih lambang Palang Merah diatas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss. Selanjutnya dalam Konferensi Internasional di Jenewa 1863 sepakat untuk mengadopsi lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan untuk tentara yang terluka yang nantinya menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, lambang Palang Merah diatas dasar pitih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata. 48 Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat 47 Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal Palang Merah Indonesia, Pelatihan Dasar KSR Kumpulan Materi, 2008, hal. 7.

3 33 untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional ( National Societies ) yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional) atau Bulan Sabit Merah (Nasional), misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama Palang Merah Indonesia ; di Malaysia disebut dengan Bulan Sabit Merah Malaysia. Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan perang ( Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field ). Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk Liga Perhimpunan Palang Merah ( League of Red Cross Societies ), yang bertugas mengkoordinir seluruh perhimpunan nasional dari semua negara. Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki (dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david); atau Afganistan yang menggunakan Red Arrchway (Mehrab-e-Ahmar); demikian pula tahun 1877 Jepang menggunakan strip

4 34 merah di bawah matahari merah di atas dasar putih (red strip beneath a red sun on a white ground), lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah. 49 Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah ( red crescent ). Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa. 50 Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963). 51 Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya 49 Jean-Francois Queiguiner, Commentary to the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the adoption of an additional distinctive emblem (Protocol III), International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, hal Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneva, May 2007, hal Saat ini terdapat 151Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32 negara yang menggunakan lambang bulan sabit merah; lihat pada http: //icrc.org/web/eng/siteeng0.nsf/html/emblem-history

5 35 menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies / IFRC). Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut. Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah ( red crystal ). 52 Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian (purity) yang seringkali dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III), nsf/html/treaties-third%20protocol-emblem , diunduh pada tanggal 14 Desember Michael Meyer, The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem, dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D. White, and Justin Morris) hal. 98.

6 36 Lambang Palang Merah bukanlah sebuah simbol religius melainkan hanya sekedar kebalikan dari warna bendera Swiss. Kekeliruan pengertian disebabkan karena sebutan palang dan salib dalam bahasa Inggris memiliki penyebutan yang sama (cross). 54 Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status 55, serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (International Red Cross and Red Crescent Movement). B. Fungsi Lambang Palang Merah Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol 54 Haris Munandar, Mengenal Palang Merah Indonesia (PMI) dan Badan Sar Nasional (Basarnas), PT. Gelora Aksara Pratama, 2008, hal Pasal 2 ayat (1) Protokol Tambahan III Tahun 2005.

7 37 Tambahannya tahun 1977 serta Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies tahun 1991 (selanjutnya disebut Regulation). Lambang palang merah dipergunakan sesuai dengan aturan di dalam Pasal 44 Konvensi Jenewa 1949 yang meliputi dua jenis penggunaan, yaitu dipergunakan sebagai tanda pelindung ( protective use ) dan tanda pengenal ( indicative use ). 56 Sedangkan Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the National Societies Tahun 1991 mengatur secara lebih detail tentang tata-cara ke dua jenis penggunaan tersebut. 1. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pelindung ( Protective Use ) 57 Penggunaan lambang sebagai tanda pelindung pada masa peperangan terutama ditujukan bagi anggota-anggota personil medis dari Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata yang sedang bertugas membantu tentara yang terluka dan sakit di medan peperangan, sehingga dalam melakukan tugas medis tersebut, mereka harus dihormati dan dilindungi. 58 Di samping dinas kesehatan, anggota perhimpunan nasional maupun anggota organisasi kemanusiaan lainnya yang diijinkan oleh penguasa militer yang berwenang, dapat menggunakan lambang ini pada waktu peperangan guna menjalankan mandat kemanusiaannya. Bagi para personil yang berhak menggunakannya sebagai tanda pelindung, lambang palang merah dipakai dalam bentuk ban lengan dan dipakai di sebelah kiri. 56 Arlina Permanasari, Op. Cit., hal ICRC IFRC, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13 th Edition, Geneva, 1994, hal Pasal 1 (alinea pertama) Regulation menyebutkan bahwa,..the emblem is meant to mark medical personnel and religious personnel and equipment which must be respected and protected in armed conflict, hal. 552.

8 38 Ban lengan ini sedemikian rupa harus terlihat dengan jelas (cukup besar) ketika ia menjalankan tugas kemanusiaan dan personil tersebut harus membawa kartu identitas yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengenai statusnya. Ukuran lambang sebagai tanda pelindung harus besar. Sedangkan bagi kendaraan atau bangunan yang berhak menggunakan lambang, maka penempatan lambang harus diletakkan sedemikian rupa sehingga terlihat jelas dari jauh maupun dari udara, misalnya diletakkan di atap bangunan/kendaraan atau pada sisi-sisinya dengan ukuran yang besar. Dengan demikian yang berhak menggunakan lambang dalam ukuran besar, yakni sebagai tanda pelindung ketika terjadi peperangan adalah : a. Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata. b. Perhimpunan Palang Merah yang telah diakui dan disahkan oleh pemerintahnya untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata. Mereka yang boleh menggunakan lambang sebagai sarana pelindung hanyalah personil dan peralatan yang digunakan untuk membantu Dinas Kesehatan yang resmi, untuk tujuan yang sama seperti Dinas Kesehatan militer dan tunduk pada hukum dan peraturan militer. c. Rumah sakit sipil yang telah diakui oleh Pemerintah dan diberi hak untuk memasang lambang sebagai sarana perlindungan. d. Semua kesatuan medis sipil (Rumah Sakit, Pos P3K dan sebagainya) yang telah disahkan dan diakui oleh penguasa yang berwenang (berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan I tahun 1977).

9 39 e. Perhimpunan penolong sukarela lainnya, yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku bagi Perhimpunan Nasional, yang boleh memakai lambang hanyalah personil dan perlengkapan yang digunakan pada Dinas Kesehatan militer, serta tunduk pada hukum dan peraturan militer. Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pengenal pada waktu peperangan hanya boleh digunakan oleh Perhimpunan Nasional; dalam hal ini guna menghindari adanya kebingungan dengan pemakaian lambang sebagai tanda pelindung pada waktu perang, maka lambang yang digunakan tidak boleh dipasang pada ban lengan atau di atap bangunan. 2. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pengenal ( Indicative Use ) 59 Lambang selain dapat dipergunakan sebagai tanda pelindung, dapat juga dipergunakan sebagai tanda pengenal. Tanda pengenal menunjukkan bahwa si pemakai tanda pengenal adalah orang-orang atau objek-objek yang ada kaitannya dengan gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional. 60 Anggota Perhimpunan Nasional diperpolehkan memakai lambang sebagai tanda pengenal ini pada waktu melaksanakan tugas, tetapi dengan ukuran yang kecil. Pada saat tidak sedang menjalankan tugas, mereka hanya boleh memakai emblem dalam ukuran yang sangat kecil, misalnya dalam bentuk badge, jepitan dasi, pin, dan sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Palang Merah Remaja dengan mencantumkan kata Palang Merah Remaja atau singkatannya. 59 Keterangan pada bagian ini merupakan ringkasan dari Regulation tentang lambang sebagai tanda pelindung, hal Pasal 1 (alinea kedua ) Regulation tahun 1991 menyebutkan bahwa the indicative use of the emblem serves to show that the persons or object are linked to the movement, hal. 552.

10 40 Selain mengatur tentang penggunaan lambang sebagaimana di atas, dalam Regulation juga diatur tentang penggunaan lambang untuk tujuan diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana ( fund-raising ). Perhimpunan Nasional dapat memakai lambang sebagai tanda pengenal untuk mendukung kampanye atau kegiatannya agar diketahui oleh masyarakat umum; untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional dan Prinsip-prinsip Fundamental Perhimpunan Nasional atau untuk mengumpulkan dana. 61 Apabila ditampilkan pada bahan cetakan (printed matter), objek atau bahan iklan lain untuk suatu kampanye; maka lambang harus disertai nama perhimpunan, teks atau gambar-gambar yang dipublikasikan, akan tetapi jangan sampai memberikan sugesti bahwa objek tersebut mendapatkan perlindungan dari Hukum Humaniter atau keanggotaan Gerakan, atau memberikan kesempatan penyalahgunaan di kemudian hari, sehingga objek tersebut harus dalam ukuran yang kecil, atau dari bahan yang mudah rusak atau cepat hancur. Perhimpunan Nasional yang bekerjasama dengan perusahaan dagang atau organisasi lain untuk melaksanakan kegiatannya, dapat menampakkan cap atau logo perusahaan, atau kalimat lainnya asalkan sesuai dengan syarat berikut ini : 62 a. Jangan menimbulkan anggapan bahwa ada kaitan antara kegiatan perusahaan atau kualitas produk dengan emblem atau Perhimpunan Nasional sendiri; b. Perhimpunan Nasional tetap mengawasi jalannya kampanye, menentukan di mana cap atau logo atau kalimat dari perusahaan yang ditampilkan; 61 Lihat Pasal 23 ayat(1) dan (2) Regulation. 62 Arlina Permanasari, Op. Cit., hal

11 41 c. Perusahaan yang bersangkutan tidak boleh terlibat dengan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Gerakan atau yang oleh masyarakat umum dianggap kontroversial; d. Perhimpunan Nasional setiap saat berhak membatalkan kontrak tertulis dengan perusahaan yang bersangkutan bila kegiatan tersebut merongrong rasa hormat terhadap emblem; e. Keuntungan materiil atau financial yang diperoleh Perhimpunan Nasional dari kampanye, harus bersifat substansial; f. Kontrak tersebut harus disetujui oleh Pimpinan Pusat dari Perhimpunan Nasional. Di samping ketentuan di atas, Perhimpunan Nasional dapat menyetujui pemakaian lambang untuk dijual di pasaran, asalkan objek tersebut menggambarkan individu atau objek yang memang benar-benar berhak menggunakan lambang. Namun ijin tersebut hanya atau terbatas untuk jangka waktu tertentu dan untuk objek tertentu saja. Perhimpunan Nasional juga dapat memberi ijin untuk memakai lambang pada lembaga yang tidak mempunyai tujuan komersial dan tujuannya hanya untuk menyampaikan atau mempromosikan kegiatan Perhimpunan atau Gerakan. Adapun, pemakaian lambang atau kata-kata palang merah atau palang Jenewa, atau tanda atau sebutan apapun lainnya yang merupakan tiruan dari lambang yang banyak dilakukan oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, maupun perusahaan merupakan suatu pelanggaran hukum dan oleh karenanya harus

12 42 dilarang, apapun maksud dari pemakaian itu dan tanpa mengindahkan tanggal penggunaannya. Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pelindung yang dipakai pada waktu damai, dapat dilakukan oleh unit-unit kesehatan Perhimpunan Nasional (termasuk Rumah Sakit, Pos P3K milik Perhimpunan Nasional, dan lain-lain) dan sarana transportasi (laut, udara dan darat) yang bertugas melakukan tujuan medis pada masa peperangan namun dapat memakai atau memajang lambang tersebut sebagai tanda pelindung pada masa damai dengan seijin Pemerintah. Adapun, berbeda dengan ke dua lambang sebelumnya, penggunaan lambang Kristal Merah dapat memungkinkan negara-negara yang tidak ingin menggunakan lambang palang merah ataupun bulan sabit merah untuk bergabung ke dalam Gerakan ; serta kemungkinan untuk menggunakan lambang palang merah dan bulan sabit merah secara bersama-sama. Lambang Kristal Merah sebagai tanda pengenal dapat ditampilkan bersama-sama dengan bulan sabit merah maupun palang merah atau kedua-duanya di dalam badan lambangnya, atau semata-mata hanya menggunakan lambang Kristal Merah saja, atau menggunakan simbol lainnya yang telah secara efektif digunakan dan telah dikomunikasikan dengan negara-negara penandatanganan lainannya. 63 Adapun penggunaannya sebagai tanda pelindung, ditampilkan dalam ukuran yang besar, sebagaimana berlaku pula pada lambang palang merah dan bulan sabit merah. 63 Lihat Pasal 3 ayat (1) Protokol Tambahan III tahun 2005.

13 43 C. Dasar Hukum Lambang Palang Merah 1. Dalam Hukum Humaniter Internasional Setelah Palang Merah Indonesia (PMI) diakui oleh Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross) atau disingkat ICRC pada tanggal 15 Juni 1950, selanjutnya PMI diterima sebagai anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah pada tanggal 16 Oktober Untuk menindaklanjuti surat dari Menteri Luar Negeri tertanggal 5 Februari 1951 Nomor yang menyatakan kesediaan Negara Republik Indonesia untuk ikut serta dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 dan untuk menjadi negara peserta dalam suatu konvensi diperlukan Undang-undang, maka Pemerintah Indonesia pada tanggal 4 Juli 1958 mengesahkan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus Konvensi Jenewa Tahun 1949 merupakan satu komponen dari Hukum Humaniter Internasional atau disebut juga Hukum Perikemanusiaan Internasional sebagai suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur tentang lambang palang merah dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) dari hasil wawancara dengan Bapak H. Muhammad Muas (Pengurus PMI Pusat) adalah 64 : a. Geneva Convention I Tahun Hasil wawancara dengan Pengurus PMI Pusat tanggal 6 Nopember 2012

14 44 Konvensi Jenewa I Tahun 1949 mengatur tentang perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat. Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang diatur dalam Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54; antara lain : 65 1) Pasal 38 : Sebagai penghargaan terhadap negara Swiss, maka lambang pusaka palang merah diatas dasar putih, yang dibentuk mengganti warna-warni federal, dipertahankan sebagai lambang dan tanda yang berbeda dari dinas kesehatan angkatan perang. 2) Pasal 39 : Menyatakan bahwa atas petunjuk penguasa militer yang berwenang, lambang itu harus tampak pada bendera-bendera,ban lengan dan pada semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan. 3) Pasal 40 : Menyatakan bahwa lambang palang merah diatas dasar putih yang dipakai pada lengan kiri suatu ban lengan tahan basah yang memuat lambang pengenal, yang dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer dan hanya boleh dipakai oleh : a) Anggota dinas kesehatan termasuk rohaniawan pada angkatan bersenjata. b) Anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota perhimpunan penolong sukarela lainnya, yang diakui dan disahkan oleh pemerintah dan mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer. 65 Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta, 1999, hal

15 45 c) Anggota perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral yang diperbantukan anggota dinas dan kesatuan kesehatannya jika telah diperoleh persetujuan dari pemerintahnya sendiri dan mendapat izin dari negara yang sedang bertikai. Pada pasal 40 juga menambahkan bahwa para personil tersebut harus dilengkapi dengan kartu pengenal khusus yang memuat lambang pengenal tersebut, yang sedapat mungkin harus sama dengan yang dibuat di negara peserta konvensi dan dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua, satu helai disimpan dinegara asal. 4) Pasal 41 : Menyatakan bahwa para personil yang menggunakan sebuah ban lengan putih yang memuat ditengah-tengahnya tanda pengenal yang digunakan hanya selama mereka menjalankan kewajiban-kewajiban kesehatan yang harus dikeluarkan dan distempel oleh penguasa militer. 66 5) Pasal 42 : Menyatakan bahwa lambang sebagai tanda pengenal dapat juga dipakai pada bendera-bendera yang hanya boleh dikibarkan diatas kesatuan dan bangunanbangunan kesehatan yang berhak menggunakannya dengan izin penguasa militer. Bendera itu dapat didampingi oleh bendera nasional suatu negara. 6) Pasal 43 : Menyatakan bahwa kesatuan-kesatuan kesehatan negara netral yang mungkin telah diizinkan untuk memberikan jasa-jasa mereka kepada salah satu pihak yang berperang menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 27, harus 66 Ibid,, hal. 57.

16 46 mengibarkan disamping bendera Konvensi, bendera nasional pihak berperang itu, dimana saja pihak itu menggunakan hak yang diberikan kepadanya oleh Pasal ) Pasal 44 : Menyatakan bahwa dengan pengecualian hal-hal yang disebutkan dalam paragrap-paragrap berikut dari pasal ini, lambang Palang Merah atas dasar putih dengan kata-kata "Palang Merah", atau "Palang Jenewa" tidak boleh dipergunakan, baik dalam waktu damai maupun dalam waktu perang, kecuali untuk menunjukkan atau melindungi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, anggota-anggota serta bahan perlengkapan yang dilindungi oleh konvensi ini dan lain-lain konvensi-konvensi yang mengatur hal-hal serupa. 68 8) Pasal 53 : Menyatakan bahwa pemakaian lambang atau sebutan "Palang Merah" atau "Palang Jenewa", atau tanda atau sebutan apapun yang merupakan tiruan dari padanya oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, perusahaan atau perseroan dagang baik pemerintah maupun swasta, selain dari mereka yang berhak di bawah konvensi ini selalu harus dilarang, apapun maksud daripada pemakaiannya itu dan tanpa mengindahkan tanggal penggunaanya. 69 9) Pasal 54 : Menyatakan bahwa apabila perundang-undangan mereka belum juga sempurna, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil 67 Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal. 71

17 47 tindakan-tindakan yang perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindakantindakan penyalahgunaan seperti tersebut dalam Pasal b. Geneva Convention II Tahun 1949 Konvensi Jenewa II Tahun 1949, mengatur tentang perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit, dan korban karam. (Pasal 41-45); 71 Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang diatur dalam Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54; antara lain : 1) Pasal 41 : Menyatakan bahwa atas petunjuk penguasa militer yang berwenang, lambang palang merah dia atas dasar putih, harus diperlihatkan pada bendera-bendera, ban lengan, dan pada semua perlengkapan yang dipakai dalam Dinas Kesehatan. Walaupun demikian, mengenai negara-negara yang telah memakai sebagai lambang bulan sabit merah atau singa dan matahari merah di atas dasar putih sebagai pengganti palang merah, lambang-lambang itu juga diakui dalam arti konvensi ini. 2) Pasal 42 : Menyatakan bahwa Personel dinas rohani, kesehatan dan rumah sakit, yang disebut dalam Pasal-pasal 36 dan 37 harus memakai pada lengan kiri ban lengan 70 Ibid, hal Ibid, hal

18 48 yang tahan basah, dan memuat lambang pengenal, yang dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer. Personel demikian harus juga membawa suatu kartu identitas khusus yang memuat lambang pengenal itu, sebagai tambahan pada cakram pengenal yang disebut dalam Pasal 19. Kartu ini harus tahan basah dan sedemikian besarnya sehingga dapat dibawa dalam saku. Kartu harus ditulis dalam bahasa nasional, harus menyebut sekurang-kurangnya nama keluarga dan nama kecil, tanggal lahir, pangkat serta nomor dinas pemegangnya, dan harus menyatakan dalam kedudukan apa pemegangnya berhak akan perlindungan konvensi ini. Kartu itu harus memuat potret pemiliknya dan juga tanda tangan atau cap jari atau keduaduanya. Kartu itu dibubuhi stempel penguasa militer. Kartu identitas harus seragam di seluruh angkatan bersenjata yang sama dan sedapat mungkin berbentuk serupa dalam angkatan bersenjata Pihak-pihak Peserta Agung. Pihakpihak yang bertikai dapat berpedoman pada contoh yang dilampirkan pada konvensi ini. Pada pecahnya pertempuran mereka harus saling memberitahukan bentuk kartu yang dipergunakan. Apabila mungkin kartu-kartu identitas harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua, satu salinan disimpan di negara asal. Personel tersebut dalam keadaan apapun tidak boleh dirampas lencana atau kartu identitas itu hilang, mereka berhak untuk menerima salinan-salinan kartukartu itu dan mendapat penggantian lencana 3) Pasal 43 :

19 49 Menyatakan bahwa kapal-kapal yang disebut dalam Pasal-pasal 22,24, 25 dan 27 harus ditandai dengan jelas sebagai berikut : a) Semua dataran luar harus putih, b) Pada tiap sisi badan kapal dan pada dataran horisontal, harus digambarkan dan diperhatikan satu atau lebih palang berwarna merah tua sebesar mungkin, ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat kelihatan sejelas-jelasnya dari laut dan dari udara. Apabila sekoci-koci pantai terus beroperasi dengan persetujuan negara pendudukan dari suatu pangkalan yang diduduki, sekocikoci itu dapat diperkenankan untuk terus mengibarkan warna-warna nasionalnya sendiri bersama dengan bendera bersama dengan bendera palang merah di atas dasar putih, jika berada di luar pangkalannya, yang harus terlebih dahulu diberitahukan kepada semua pihak-pihak yang bertikai bersangkutan. 4) Pasal 44 : Menyatakan bahwa tanda-tanda pengenal yang disebutkan dalam Pasal 43 hanya boleh dipakai untuk menandakan atau melindungi kapal-kapal yang disebut disitu, baik diwaktu damai maupun diwaktu perang, kecuali apa yang mungkin ditentukan dalam tiap konvensi internasional lainnya atau dengan persetujuan antara pihak-pihak yang bertikai bersangkutan. 5) Pasal 45 : Menyatakan bahwa apabila perundang-undangan mereka belum juga sempurna, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil

20 50 tindakan-tindakan yang perlu untuk pencegahan dan penindakan dari tiap penyalahgunaan tanda-tanda pengenal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43. c. Additional Protocol I tahun 1977, Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur tentang memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional. Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang adalah Pasal 18 dan Pasal 85, 72 yaitu : 1) Pasal 18 : Menyatakan perihal aturan penggunaan lambang palang merah. 2) Pasal 85: Menyatakan perihal tentang penindakan terhadap pelanggaran Protokol ini. d. Additional Protocol II tahun 1977 Protokol Tambahan II tahun 1977 mengatur tentang memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional. Aturan tentang lambang Palang Merah terdapat pada Pasal 12, yaitu ; 73 menyatakan bahwa dibawah pengarahan dari pejabat yang berwenang, lambang pengenal berupa palang merah, bulan sabit merah dan singa dan matahari merah diatas dasar putih harus diperlihatkan oleh anggota-anggota dinas kesehatan dan keagamaan, dan dipasang pada alat angkutan kesehatan. Pemakaian lambang pengenal itu tidak boleh disalahgunakan. e. Statutes of the International Red Cross and Red Crescent Movement (1986); 72 Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensiJenewa12 Agustus 1949 dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-korban Pertikaian-pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Ptotokol II), download/protokol%20tambahan% pdf, diunduh pada tanggal 20 Desember Ibid..

21 51 Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional mengatur tentang : 1) Komponen-komponen Gerakan (Pasal 3-7), yang terdiri dari Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional serta persyaratan untuk diakui sebagai Perhimpunan Nasional; Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ICRC); Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of the Red Cross and Red Crescent); kemudian berganti nama menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent); serta mengatur kerjasama di antara ketiga komponen Gerakan. 2) Badan-badan hukum Gerakan (Pasal 8-19), yang mengatur tentang batasan, komposisi, fungsi serta prosedur dari Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Council of Delegates), serta Komisi Pendiri Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Standing Commission). 3) Ketentuan-ketentuan Penutup (Pasal 20-21), yang mengatur mengenai amandemen Statuta dan pemberlakuan Statuta. f. Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies (disetujui dalam Konferensi Internasional ke-20 di Wina tahun 1965 dan direvisi oleh Council of Delegates, Budapest, 1991). 74 Regulasi mengatur secara teknis mengenai penggunaan lambang palang merah (dan bulan sabit merah), antara lain : 74 Peraturan Tentang Pemakaian Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah oleh Perhimpunan-perhimpunan Nasional, diunduh pada tanggal 20 Desember 2012.

22 52 1) Aturan-aturan umum (Pasal 1-7) yang mengatur perihal arti lambang, kewenangan Perhimpunan Nasional, penghormatan terhadap lambang, perbedaan tentang dua macam penggunaan lambang, rancangan lambang, jarak penglihatan untuk lambang sebagai tanda pelindung dan regulasi internal bagi Perhimpunan Nasional. 2) Aturan-auran khusus (Pasal 8-22), yaitu mengatur lambang sebagai tanda pelindung (Pasal 8-15) dan lambang sebagai tanda pengenal (Pasal 16-22). 3) Aturan-aturan mengenai kegiatan (Pasal 23-27), yang berupa kegiatan diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (fund-raising). g. Surat pengakuan dari ICRC (International Committee of the Red Cross) tentang berdirinya Perhimpunan Palang Merah Indonesia pada tanggal 15 Juni h. Surat pengakuan dari IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) pada tanggal 16 Agustus 1950 dan diterima Indonesia sebagai angggota ke-68. Di samping itu terdapat pula ketentuan pendukung lainnya yang dikenal dengan Paris Convention 1883 mengenai industrial property (Pasal 6), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang ratifikasi Paris Convention. 2. Dasar Hukum Lambang Palang Merah Di Indonesia Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-Konvensi Den Haag pada tahun 1907 maka F Sugeng Sutanto menjelaskan bahwa pada saat itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Belanda sehingga

23 53 ratifikasi ditetapkan oleh Kerajaan Belanda oleh Undang-Undang (wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja Tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda. 75 Melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada saat penyerahan kekuasaan tanggal 27 Desember 1949, maka seluruh hak dan kewajiban beralih kepada Republik Indonesia Serikat. Maka hal mengenai konvensi Den Haag telah di ratifikasi oleh Pemerintah. Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak H. Muhammad Muas (Pengurus PMI Pusat), bahwa dasar hukum terhadap lambang Palang Merah Indonesia adalah : 76 a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950 Keputusan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1950 yang isinya menetapkan dan mengesahkan anggaran dasar dari dan mengakui sebagai badan hukum Perhimpunan Palang Merah Indonesia yakni dengan menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan Palang Merah di Republik Indonesia Serikat menurut Konvensi Jenewa Tahun 1864, 1906, 1929 dan b. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1950 Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1958 yang isinya memutuskan dan menetapkan ikut sertanya Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi 75 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, (Andi Offset, Yogyakarta, 1992), hal Hasil wawancara dengan Pengurus PMI Pusat tanggal 6 Nopember 2012

24 54 Jenewa tanggal 12 Agustus Dengan demikian secara yuridis Indonesia terikat untuk melaksanakan semua kewajiban internasional yang tercantum dalam konvensi Jenewa c. Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 Peraturan ini menetapkan tentang Peraturan tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda dan Kata-kata Palang Merah. Pada pasal 1 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 disebutkan bahwa tanda palang merah atas dasar putih, selanjutnya disebut Tanda Palang Merah dan kata-kata Palang Merah hanya boleh digunakan untuk menandakan atau untuk melindungi petugas-petugas, bangunan-bangunan, alat-alat, yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 mengatur tentang siapa pihak-pihak yang berhak menggunakan tanda dan/atau kata-kata palang merah, yaitu : 1) Komite Palang Merah Internasional, 2) Jawatan Kesehatan Angkatan Darat, 3) Jawatan Kesehatan Angkatan Laut, 4) Jawatan Kesehatan Angkatan Udara, 5) Palang Merah Indonesia, 6) Badan-badan/Perkumpulan-perkumpulan atau perseorangan yang melakukan usahausaha pemberian pertolongan kepada orang-orang yang luka atau sakit, sepanjang pemberian pertolongan tersebut diberikan dengan

25 55 cuma-cuma dan setelah mendapat persetujuan dari Palang Merah Indonesia. Pemakaian ini hanya meliputi pemberian tanda pada kendaraan-kendaraan yang digunakan sebagai ambulans dan sebagaipenujuk tempat-tempat pos Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P.P.P.K.). Sedangkan dalam keadaan perang-nyata, yang diperkenankan memakai/mempergunakan tanda palang merah dan kata-kata palang merah, yaitu: 1) Komite Palang Merah Internasional, 2) Jawatan Kesehatan Angkatan Darat, 3) Jawatan Kesehatan Angkatan Laut, 4) Jawatan Kesehatan Angkatan Udara 5) Palang Merah Indonesia, yang diperbantukan kepada Jawatan-jawatan Kesehatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, 6) Petugas-petugas penolong yang telah diakui secara resmi dan telah ditunjuk secara resmi pula untuk membantu Jawatan-jawatan Kesehatan Angkatan Perang, 7) Petugas-petugas kerohanian Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, 8) Dengan persetujuan khusus dari Pemerintah Republik Indonesia, tanda palang merah dapat digunakan untuk menandakan bangunan-bangunan dan petugas-petugas rumah sakit umum, lingkungan-lingkungan rumah-rumah sakit dan tempat yang disediakan untuk orang-orang luka dan sakit, alat-alat

26 56 pengangkutan yang digunakan oleh badan-badan penolong karam di laut, yang telah diakui dengan resmi, iring-iringan kendaraan sakit, kereta-kereta sakit, kapal-kapal atau pesawat udara, untuk pengangkutan rakyat sipil yang luka atau sakit, cacat atau lemah dan wanita-wanita hamil. Pada Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 diatur mengenai larangan memakai/menggunakan tanda palang merah dan/atau kata-kata palang merah atau kata-kata lain yang merupakan tiruan dari padanya atau yang memungkinkan kekeliruan dengannya oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, badan-badan, perusahaan-perusahaan atau apa pun juga namanya, selain dari pada mereka yang diperkenankan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 2 tersebut diatas. Perihal sanksi atas pelanggaran peraturan ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yang menyebutkan barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 3 Peraturan ini, dihukum dengan hukuman sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya, ialah hukuman kurungan selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh ribu rupiah. Aturan mengenai sanksi juga diatur dalam Pasal 6 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yaitu terhadap barang-barang yang digunakan dalam atau diperoleh dari tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 5

27 57 berhubungan dengan Pasal 3 Peraturan ini, dapat dikenakan ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 47 ayat (2) dan (3) Undang- Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya. Sanksi lainnya diatur dalam Pasal 7 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yang menyebutkan tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 5 berhubungan dengan Pasal 3 Peraturan ini, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya adalah termasuk pelanggaran. d. Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 tentang Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 bahwa Perhimpunan Palang Merah Indonesia selanjutnya disebut PMI, adalah suatu organisasi nasional, yang berdiri alas azas perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membedabedakan bangsa, golongan dan paham politik. Sedangkan untuk tugas-tugas pokok PMI disebut dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 adalah : 1) PMI bertindak atas nama Pemerintah Republik Indonesia tentang pelaksanaan hubungan luar negeri dalam lapangan kepalangmerahan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa terhadap dunia luar.

28 58 2) PMI mempersiapkan diri untuk dapat melaksanakan tugas-tugas baik didalam negeri maupun diluar negeri dengan tujuan tugas-tugas bantuan pertama pada tiap-tiap bencana alam yang terjadi baik didalam negeri maupun diluar negeri dengan tujuan untuk mencari ketangkasanketangkasan dalam melaksanakan tugas-tugas pada waktu ada perang disampingnya tujuan pokok dari PMI dalam lapangan perikemanusiaan. e. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Palang Merah Indonesia, yang ditetapkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) ke-xvii PMI di Jakarta pada tanggal Nopember 1999; f. Undang-undang No. 15 tahun 2001 Pasal 6 ayat (3) huruf (b); Pada Pasal 6 ayat (3) huruf (b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa setiap permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) apabila merek tersebut merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. g. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Lambang Palang Merah (belum disahkan). Indonesia belum memiliki Undang-Undang Lambang yang secara penuh melindungi lambang Palang Merah. Pada masa damai pelanggaran ringan yang berdampak kerugian ekonomi dan moril bagi PMI sering terjadi. Banyak individu/perusahaan yang melakukan usaha dengan meniru lambang PMI. Selain

29 59 itu ada lembaga yang melakukan aktifitas sosialnya menggunakan lambang Bulan Sabit Merah di Indonesia Bulan Sabit Merah Indonesia dan melakukan gerakan kepalangmerahan tetapi tidak ditindak hukum padahal tindakannya telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 1950 tentang PMI satu-satunya gerakan yang melaksanakan kepalang merahan di Indonesia. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang lambang Palang Merah sejak tahun 2005 telah diusulkan, tetapi saat tulisan ini dibuat, RUU tersebut belum disyahkan. Perhimpunan Nasional bersama dengan Pemerintah dalam hal ini harus memutuskan harus memutuskan ketentuan-ketentuan tentang penggunaan lambang baik di saat perang maupun di saat damai. Menurut Arlina Permana Sari menyatakan pedoman untuk menyusun peraturan tersebut untuk penggunaan protektif perlu dicantumkan antara lain 77 : 1) Penunjukan peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan subyek tersebut. 2) Keterangan tentang tentang pejabat mana yang mempunyai wewenang untuk mensahkan penggunaan lambang 3) Daftar dari langkah-langkah yang harus diambil pada saat pecahnya konflik untuk mencegah kekeliruan antara penggunaan protektif dan indikatif. 4) Syarat-syarat yang mengatur penggunaan lambang oleh orang-orang dan obyek dari perhimpunan nasional. 77 Arlina Permana Sari, op.cit., hal. 322

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS LAMBANG PALANG MERAH DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK KASIH RAHAYU ABSTRACT

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS LAMBANG PALANG MERAH DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK KASIH RAHAYU ABSTRACT K a s i h R a h a y u 1 PERLINDUNGAN HUKUM ATAS LAMBANG PALANG MERAH DI INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK KASIH RAHAYU ABSTRACT The legal basis for the protection

Lebih terperinci

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional PMI dan Gerakan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Internasional GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL SEJARAH Pertempuran Solferino 1858 HENRY DUNANT-Menolong korban UN SOUVENIR DE SOLFERINO

Lebih terperinci

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional A. Sejarah Gerakan Perang Solferino Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa sosial kemanusiaan, membantu korban bencana alam serta pelayanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN

INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN Mengapa harus ada Undang-Undang Kepalangmerahan? Jean Henry Dunant (1828-1910), Bapak pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional,

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA TEKNIK DIAJUKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 31, 1997 HAKI. MEREK. Perdagangan. Ekonomi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3681). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal Desember 2009

Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal Desember 2009 Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal 21-23 Desember 2009 ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PALANG MERAH INDONESIA Hasil MUNAS PMI XIX PEMBUKAAN Dengan

Lebih terperinci

NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG KEPALANGMERAHAN

NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG KEPALANGMERAHAN NASKAH AKADEMIK RUU TENTANG KEPALANGMERAHAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Pemurah atas selesainya Naskah Akademik Rancangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN Diselenggarakan di Roma Tanggal 26 Oktober 1961 HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DUNIA JENEWA

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

PERATURAN TENTANG PEMAKAIAN LAMBANG PALANG MERAH ATAU BULAN SABIT MERAH OLEH PERHIMPUNAN-PERHIMPUNAN NASIONAL

PERATURAN TENTANG PEMAKAIAN LAMBANG PALANG MERAH ATAU BULAN SABIT MERAH OLEH PERHIMPUNAN-PERHIMPUNAN NASIONAL PERATURAN TENTANG PEMAKAIAN LAMBANG PALANG MERAH ATAU BULAN SABIT MERAH OLEH PERHIMPUNAN-PERHIMPUNAN NASIONAL Diadopsi oleh Konferensi Internasional (Wina, 1965) Direvisi oleh Council of Delegates (Budapest,

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem No.2134, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pendaftaran Merek. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN MEREK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK

BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK BAB V IZIN PENDAFTARAN MEREK 5.1 Peraturan Perundang Undangan Tentang Merek PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1993 TENTANG TATA CARA PERMINTAAN PENDAFTARAN MEREK PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC)

BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) BAB II INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) Bab II akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya ICRC, pembentukan lambang, misi dan mandat yang diberikan masyarakat Internasional, status hukum,

Lebih terperinci

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh : Ardiya Megawati E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pengaturan perlindungan terhadap ICRC (International Committee Of The Red Cross) dalam konflik bersenjata internasional (berdasarkan konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahan I 1977) Oleh : Ardiya Megawati

Lebih terperinci

K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH

K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH 1 K-45 Mengenai Kerja Wanita dalam Segala Macam Tambang Dibawah Tanah 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SELAKU PENGUASA PERANG TERTINGGI,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SELAKU PENGUASA PERANG TERTINGGI, PERATURAN PENGUASA PERANG TERTINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1961 TENTANG PEMASUKAN, PEMAKAIAN, ATAU PEMINDAHAN INSTALASI RADIO UNTUK KEPENTINGAN KOMUNIKASI DAN NAVIGASI DI WILAYAH INDONESIA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR

K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR K106 ISTIRAHAT MINGGUAN DALAM PERDAGANGAN DAN KANTOR- KANTOR 1 K-106 Istirahat Mingguan Dalam Perdagangan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia telah memiliki perhimpunan nasional gerakan Palang Merah sejak tahun 1950, melalui Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1950 tentang Mengesahkan Anggaran

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter

BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter BAB II PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter merupakan istilah yang dianggap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE USE, STOCKPILING, PRODUCTION AND TRANSFER OF ANTI-PERSONNEL MINES AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 52 Peraturan

Lebih terperinci

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI PERIJINAN DI BIDANG PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE INVOLVEMENT OF CHILDREN IN ARMED CONFLICT (PROTOKOL OPSIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang masalah Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa sosial kemanusiaan, membantu korban bencana alam serta pelayanan

Lebih terperinci

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

JURNAL PELAKSANAAN KEWAJIBAN PENYEBARLUASAN PENGETAHUAN KONVENSI-KONVENSI JENEWA 1949 OLEH INDONESIA KEPADA SELURUH PENDUDUK INDONESIA

JURNAL PELAKSANAAN KEWAJIBAN PENYEBARLUASAN PENGETAHUAN KONVENSI-KONVENSI JENEWA 1949 OLEH INDONESIA KEPADA SELURUH PENDUDUK INDONESIA JURNAL PELAKSANAAN KEWAJIBAN PENYEBARLUASAN PENGETAHUAN KONVENSI-KONVENSI JENEWA 1949 OLEH INDONESIA KEPADA SELURUH PENDUDUK INDONESIA Diajukan Oleh : GOLDA LANDE NPM : 130511396 Program Studi : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG TANDA DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci