INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN"

Transkripsi

1 INDONESIA MEMBUTUHKAN UNDANG-UNDANG KEPALANGMERAHAN Mengapa harus ada Undang-Undang Kepalangmerahan? Jean Henry Dunant ( ), Bapak pendiri Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, setelah menolong sekitar 40 ribu korban perang di Solferino (Italia), telah mengilhami seluruh dunia dengan dua gagasan di bukunya yang terkenal: Un Souvenir de Solferino yaitu: Perlunya mendirikan komite pertolongan di masa damai untuk melatih sukarelawan yang akan merawat korban di masa perang. Perlunya membuat perjanjian internasional untuk melindungi korban perang dan sukarelawan yang bertugas. Kedua gagasan tersebut terwujudkan pada tiga hal: Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional telah berdiri dengan tiga komponennya yaitu: 1.1. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) tahun Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) tahun 1919, dan; 1.3. Perhimpunan Nasional yang didirikan di setiap negara sejak 1864, dan di Indonesia kita kenal sebagai Palang Merah Indonesia (PMI) sejak 17 September Disepakati secara internasional dan adopsinya Lambang Palang Merah (1863), Bulan Sabit Merah (1929), Singa dan Matahari Merah (1929) dan Kristal Merah (2005) sebagai Tanda Pelindung untuk korban perang dan Tanda Pengenal (pembeda khusus) untuk Dinas Kesehatan/Rohaniwan Militer dan Ketiga Komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Disepakati secara internasional dan diadopsinya empat Konvensi Jenewa Konvensi Jenewa 1949 dan tiga Protokol Tambahannya (1977, 2005) yang menjadi bagian dari Hukum Humaniter Internasional atau Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI). Ia menjadi aturan tertulis yang bersifat universal untuk melindungi korban, terbuka untuk diratifikasi oleh semua negara dengan kewajiban membuat Undang-Undang implementasi, agar setiap personil medis baik Dinas Kesehatan/KerohanianMiliter, Sukarelawan Komponen Gerakan yang bertugas wajib memberikan perawatan tanpa diskriminasi. Karena itu, kepada mereka yang disebut dalam HPI, termasuk peralatan, sarana, dan transportasi medisnya wajib diberi Lambang atau Tanda Pembeda Khusus di atas. Gagasan visioner dari Henry Dunant yang melahirkan HPI di atas tentu masih sangat relevan dengan situasi dunia saat ini. Terbentuknya Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional serta dihasilkannya Konvensi Jenewa 1949 berikut tiga protokol tambahannya adalah kebutuhan kemanusiaan peradaban manusia modern dengan dinamikanya seperti kemiskinan, perang, bencana, dan lain-lain. Perkembangan teknologi tidak saja membawa dunia kepada kemajuan modern yang menakjubkan, tetapi juga dibayangi ketakutan akan semakin meningkatnya jenis dan bentuk kejahatan perang modern. Perang modern ini menjadi hantu terhadap kemanusiaan yang berwujud pada tindakan terorisme, pembajakan pesawat udara, sabotase pesawat udara, penggunaan teknologi persenjataan canggih, genosida, agresi militer, dan lain-lain. Karena itu, setiap negara-negara di dunia ini harus segera menyepakati empat Konvensi Jenewa 1949 berikut tiga protokol tambahan, dan mengundangkan UU implementasinya, agar penerapan HPI dalam praktek nyata menimbulkan kepatuhan dan ketaatan hukum di dalam negara masing-masing, termasuk yang terpenting adalah kewajiban untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI sesuai amanat Resolusi No. 21 dari Protokol Tambahan Penyebarluasan HPI ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi jatuhnya korban yang tidak perlu di pihak sipil oleh karena peperangan yang membabi buta. Bahwa sejarah peradaban manusia mencatat kejadian peperangan kerap menimbulkan akibat yang sangat menyeramkan. Ahli Hukum Internasional, Mochtar Kusumaatmaja, menulis dalam bukunya Konvensi Palang Merah Tahun 1949 (Binacipta, Bandung, terbit 1968): Adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.

2 Artinya bahwa, setiap hari bisa saja terjadi perang disertai pembunuhan dan kekejaman fisik dan psikis yang tidak perlu. Maka HPI dan UU implementasinya tentu begitu penting untuk memutus mata rantai akibat perang yang sangat merugikan itu. Bahwa ketika perang berkecamuk, HPI dan UU implementasi menjadi standar minimal berupa larangan dan sanksi hukum kepada siapa pun peserta tempur untuk tidak melakukan penyiksaan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan dan larangan lainnya kepada korban perang, sebagaimana juga diatur oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Memang belum semua negara di dunia telah meratifikasi dan lalu memiliki UU implementasi. Dari 193 negara anggota PBB dan 201 negara menurut interpretasi Konvensi Montevideo Tahun 1933, tercatat baru 123 negara yang telah memiliki UU Lambang atau UU Perhimpunan Nasional dari sekitar 196 negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa Sejak 1958, Indonesia termasuk dalam 196 negara yang telah meratifikasi. Namun sangat disayangkan, di regional Asia Tenggara, masih tersisa tiga negara yang hingga kini belum memiliki UU implementasi yaitu Republik Demokratik Rakyat Laos, Republik Demokratik Timor Leste, dan sudah pasti Republik Indonesia kita tercinta. Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-Undang No. 59 tahun 1958 (Lembaran Negara No 109 Tahun 1958 dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644), namun belum juga mengesahkan UU Lambang (Sekarang UU Kepalangmerahan) atau UU Perhimpunan Nasional. Artinya, meski Indonesia sudah mengikatkan diri pada semua peraturan-peraturan Konvensi Jenewa 1949, tapi belum melaksanakan kewajiban utamanya. Pahadal, jika telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, maka menjadi kepatuhan dan kewajiban bagi pemerintah untuk mengundangkan UU implementasinya. UU implementasi itu namanya bisa berupa UU Lambang atau UU Perhimpunan Nasional atau UU Kepalangmerahan. Sejak 1998, upaya memiliki UU implementasi telah diinisiasi melalui serangkaian kegiatan perancangan dan pembahasan RUU Lambang Palang Merah. Pemerintah, melalui Surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005 tanggal 12 Oktober 2005 menyampaikan Draf RUU Lambang Palang Merah untuk dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Pada 2010, DPR RI mengubah namanya menjadi RUU Kepalangmerahan. Banyaknya pelanggaran dan penyalahgunaan lambang-lambang Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional,menyalahi ketentuan Konvensi Jenewa 1949 berikut tiga protokol tambahannya, memperkuat alasan pentingnya disahkan UU Kepalangmerahan di Indonesia. UU Kepalangmerahan ini juga akan menegaskan kedudukan, fungsi, dan peran Palang Merah Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik sebagai lembaga yang mendukung tugas pemerintah (Auxiliary to the Government) untuk menyediakan berbagai pelayanan Kepalangmerahan, maupun sebagai anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang tunduk kepada ketentuan HPI dan hukum nasional. UU Kepalangmerahan ini akan memberikan perlindungan hukum kepada personel Dinas Kesehatan-Kerohanian TNI, sukarelawan PMI, sukarelawan kemanusiaan dari organisasi lainnya, serta tentara yang terluka, sakit atau yang menyerah, tertawan dan masyarakat sipil pada saat konflik bersenjata maupun pada masa damai, dan agar Lambang-lambang sebagaimana diatur di dalam HPI tidak disalahgunakan oleh perseorangan, perusahaan, organisasi atau badan hukum hanya untuk kepentingan politik, sentiment SARA, atau motif komersil dan komersial demi meraup keuntungan ekonomi. Kita semua tahu bahwa pada saat konflik bersenjata terjadi, tentu tak akan banyak orang yang bersedia terlibat menolong para korban. Negara berada pada situasi darurat perang atau daerah operasi militer, sehingga kebanyakan orang akan memilih mengungsi ke tempat yang aman untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Struktur pemerintahan dan pranata sosial masyarakat menjadi tidak berfungsi, dan Dinas Kesehatan- Kerohanian TNI akan kewalahan menangani para korban, pun mereka akan dianggap tidak netral oleh pihak lawannya, serta jiwa dan raga mereka juga terancam.di saat seperti itulah Sukarelawan PMI (sebagai anggota Perhimpunan Nasional) yang telah berstatus netral akan bertugas untuk menolong para korban tanpa syarat. Dengan UU Kepalangmerahan akan memberikan jaminan perlindungan hukum kepada mereka disaat bertugas, akses pelayanan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan semakin berkualitas, cepat, tepat dan tanpa halangan. UU Kepalangmerahan yang akan berlaku secara nasional itu akan membuat seluruh masyarakat semakin paham dan mengerti tentang kegiatan kepalangmerahan, dan

3 termasuk mematuhi ketentuan larangan serta sanksi pidana atas penyalahgunaan Lambang Palang Merah, Bulan Sabit Merah, Kristal Merah. Mengemban misi kemanusiaan untuk menolong korban konflik bersenjata dan bencana namun tanpa jaminan perlindungan hukum dan aturan UU yang jelas dan tegas, maka kasus penembakan terhadap Sukarelawan PMI seperti pada peristiwa Peniwen (1945), kerusuhan di Jakarta (1998), kemudian di Aceh (2006) dan Papua (2013) akan sering terjadi dan memakan korban sia-sia di pihak penolong (Sukarelawan PMI) dan mereka yang ditolong. Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian-kejadian di masa lalu tersebut diatas adalah diperlukannya suatu dasar hukum formal yang mengatur kedudukan, fungsi dan peran PMI. Dengan demikian UU Kepalangmerahan menjadi salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi berbagai persoalan kelemahan UU No. 59 Tahun 1958, Keputusan Presiden RIS No. 25 Tahun 1950, Keputusan Presiden RI No. 246 Tahun 1963, serta peraturan perundang-undangan lainnya, sekaligus mendorong koordinasi yang lebih jelas dalam penanganan korban perang dan bencana sehingga efektif, dan diharapkan akan mengurangi kekhawatiran Sukarelawan PMI ketika bertugas di lapangan kemanusiaan, karena sejarah nasional Indonesia telah membuktikan dan menunjukkan bahwa demi kemanusiaan, Sukarelawan PMI tak pernah gentar menghadapi risiko maut sebesar apapun. Apa Manfaatnya Bagi Masyarakat? Kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografi memungkinkan sering terjadi kejadian bencana di wilayah Indonesia. Dengan moral kerja dan kinerja yang sangat baik sebagai kekuatan kemanusiaan utama di Indonesia, maka peran PMI sangat diandalkan untuk menolong korban bencana. Dengan UU Kepalangmerahan, maka pelayanan PMI kepada masyarakat yang membutuhkan akan lebih profesional, berkualitas, cepat, tepat dan lebih luas. Perlindungan secara hukum bagi PMI akan membuat keleluasaan akses bagi PMI kemanapun memberikan bantuan sehingga masyarakat korban bencana akan sangat terbantu. Masyarakat akan mendapat kepastian bahwa bantuan dan pelayanan yang menggunakan Lambang Palang Merah merupakan layanan gratis, berstandar, netral, tidak memandang ideologi politik, agama maupun suku bangsa. Bantuan dan pelayanan mengunakan Lambang Palang Merah akan benar-benar ditujukan kepada masyarakat yang paling membutuhkan, baik pada saat normal maupun pada saat situasi bencana dan konflik bersenjata. Melalui penggunaan lambang yang tertib sesuai fungsinya, maka tidak ada keraguan dari pihak yang bertikai saat konflik bersenjata untuk menentukan siapa dan apa saja yang tidak boleh diserang atau menjadi sasaran militer. Dengan demikian ketika terjadi konflik bersenjata, masyarakat yang tidak dan tidak lagi terikat permusuhan mendapatkan perlindungan. Apa Dampak terhadap Kegiatan Bantuan Kemanusiaan? UU Kepalangmerahan tidak menjadikan PMI memonopoli kegiatan bantuan kemanusiaan di Indonesia, dan tidak melarang bagi perserorangan maupun kelompok untuk melakukan kegiatan bantuan kemanusiaan itu. UU Kepalangmerahan justru akan meningkatkan peran serta masyarakat sekaligus memperkuat hubungan kerja sama kelembagaan dalam kegiatan Kepalangmerahan dimana PMI bisa memfasilitasi perseorangan dan lembaga dalam memberikan bantuan yang aman, cepat, tepat dan terlindungi. UU Kepalangmerahan akan mengatur siapa saja yang berhak menggunakan Lambang yang sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949 seperti ICRC, IFRC, Tentara Nasional Indonesia dan PMI, serta pihakpihak lain yang mendapat izin dari PMI. Dengan UU Kepalangmerahan, maka pihak yang mendapatkan izin penggunaan lambang dari PMI harus melaksanakan bantuan sesuai prinsip-prinsip dasar yang berlaku di Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, yakni KEMANUSIAAN, KESAMAAN, KENETRALAN, KEMANDIRIAN, KESUKARELAAN, KESATUAN, dan KESEMESTAAN. UU Kepalangmerahan akan memperkuat kedudukan PMI secara hukum nasional dan terjamin keberlanjutan pelayanannya begitu juga status Perhimpunan Nasional yang diakui oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan anggota Federasi Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC) akan lebih kuat. Dengan UU Kepalangmerahan kegiatan Kepalangmerahan PMI diberikan arah, landasan, serta kepastian hukum. Sehingga pelayanan dan bantuannya akan sangat terarah dan terkoordinasi dengan semua pemangku kepentingan. Bagaimana Perjalanan RUU Kepalangmerahan?

4 Banyaknya penyalahgunaan Lambang Palang Merah oleh berbagai pihak, melatarbelakangi perlunya suatu aturan tentang penggunaan Lambang Palang Merah di Indonesia. Karena itu, atas prakarsa Pusat Studi Hukum Humaniter (PSHH) Universitas Trisakti dibentuklah Pokja Lambang dengan anggota dari beberapa perwakilan instansi, termasuk PMI.Tugas Pokja adalah menyusun naskah akademis dan draf RUU penggunaan Lambang. Naskah akademis dan draf RUU kemudian diseminarkan oleh PMI Pusat bekerja sama dengan ICRC. Rumusan seminar mengusulkan agar PMI segera menindaklanjuti dengan berupaya agar dokumen tersebut dapat diproses menjadi Undang-Undang PMI mengirimkan surat ke DPR RI tentang maraknya penyalahgunaan Lambang sehingga pentingnya RUU Lambang. Surat ini dibalas oleh DPR pada bulan Mei tahun Isinya berupa saran agar PMI mengkonsultasikan lebih lanjut dengan Departemen Kesehatan RI dan Departemen Hukum dan Perundang-UndanganRI supaya draft RUU dapat diproses oleh pemerintah. Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI yang telah lama membentuk Panitia Tetap Penelitian dan Penerapan Hukum Humaniter Internasional (PANTAP) menyambut baik upaya PMI.RUU Lambang kemudian menjadi agenda tetap program kerja Pantap dimana PMI juga menjadi anggota PANTAP, sementara ICRC menjadi peninjau dalam Tim ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI membentuk Pokja Interdep Lambang. PMI juga menjadi anggota Pokja dalam lingkup Pantap.Untuk menindak lanjuti proses dilakukan sosialisasikan dalam kegiatan: 1. Lokakarya tentang Lambang, tanggal 14 Mei 2001 di Jakarta. 2. Sosialiasi RUU Lambang, Minggu ke-2 Agustus 2001 di Jakarta Saran-saran untuk penyempurnaan RUU diakomodir dan untuk pematangan masalah ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan Workshop tentang RUU Lambang tanggal 30 April 2002 di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta Proses penyusunan dan penyempurnaan Draft RUU Lambang Palang Merah oleh Tim Pokja dan proses pengajuan ke DPR RI. 2. RUU Lambang Palang Merah disampaikan secara resmi kepada DPR-RI melalui Surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005, tanggal 12 Oktober Mei 2006 Keterangan Pemerintah atas RUU tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja (Raker) antara Menteri Hukum dan HAM dan Komisi III DPR-RI tanggal 11 Mei Oktober Pembahasan DIM (Daftar Isian Masalah) dan pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU Berdasarkan hasil Kompilasi DIM di Fraksi-Fraksi DPR-RI, Pemerintah diminta untuk segera menyelesaikan tanggapan/jawaban pemerintah atas DIM untuk dibahas dalam Raker Komisi. Revisi berlangsung 2 kali. (Revisi 1 : Raker di Komisi III tanggal 1 Februari 2007), (Revisi 2 : Rakerdi Komisi III tanggal 13 Februari 2007) sekaligus sepakat untuk meneruskan pembahasan pada tingkat Panja. Komisi III DPR-RI kemudian memilih anggota yang akan terlibat dalam Panja RUU Lambang Palang Merah. 2. Proses RUU yang berlangsung meliputi : Panja Komisi III (Tim Perumus-Tim Sinkronnisasi),- Laporan Panja, Pansus Rapat Paripurna Juni 2008, Rapat pertama Panja RUU Lambang. Jumlah anggota terdiri dari 25 orang yang merupakan perwakilan dari setiap Fraksi. Rapat ini khusus mengundang PMI untuk didengar pendapatnya Juni 2008, Rapat kedua Panja RUU Lambang. Rapat ini mengundang pihak pemerintah diwakili oleh Departemen Hukum dan HAM. Rapat ini memutuskan sebagai berikut: 2.1. Panja harus mendalami Konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang lambang dengan mengundang para ahli-ahli hukum internasional;

5 2.2. Panja tidak akan mengambil keputusan dengan mekanisme voting, tetapi dikembalikan kepada sikap masing-masing Fraksi; 2.3. Panja merasa perlu untuk melakukan studi banding ke negara-negara lain untuk mendalami tentang lambang, terutama negara-negara yang pernah melakukan penggantian lambang (studi banding dilakukan pada 3-7 Agustus 2008 ke Swiss dan Libanon) Mei 2009, Panja RUU Lambang Palang Merah membacakan keputusan sebagai berikut: 1.1. Judul RUU tetap (RUU Lambang Palang Merah), 1.2. Indonesia menggunakan satu lambang yaitu Lambang Palang Merah, sebagaimana ditentukan dalam RUU Lambang Bulan Sabit Merah disepakati untuk diakomodasikan dan diberikan legitimasi dalam RUU Untuk itu, pemerintah memperbaiki RUU tersebut dan hasilnya disampaikan kembali kepada Komisi III tanggal 8 Juni Juni 2009 Pada rapat Panja ini, tim menyatakan bahwa pembahasan RUU tentang Lambang Palang Merah tidak dapat diteruskan di tingkat Panja dan akan disampaikan kepada forum Raker antara Menteri Hukum dan HAM dan Komisi III (tingkat PANSUS). Hal itu disebabkan karena ada perbedaan pendapat di DPR mengenai konsep perbaikan RUU Perbedaan tersebut pada intinya adalah ada anggota DPR yang menghendaki agar RUU ini mengatur juga organisasi kemasyarakatan (Bulan Sabit Merah Indonesia) dengan membolehkan menggunakan nama dan Lambang Bulan Sabit Merah Sementara itu, Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 59 Tahun 1958) melarang penggunaan nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah baik oleh setiap orang maupun organisasi kecuali Dinas Kesehatan Tentara dan Perhimpunan Nasional yang telah menjadi anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Larangan tersebut adalah salah satu inti substansi RUU sebagaimana diamanatkan Konvensi-konvensi Jenewa Selain itu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan penggunaan lambang palang merah bagi dinas kesehatan TNI dan perhimpunan nasional Indonesia yang menjadi anggota Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan kesatuan sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Oleh karena itu, apabila RUU ini membolehkan organisasi kemasyarakatan (Bulan Sabit Merah Indonesia) menggunakan nama dan lambang bulan sabit merah, maka ketentuan tersebut bertentangan dengan Konvensi Jenewa 1949 dan StatutaGerakan di atas. Sedangkan mengenai kegiatannya sendiri tetap diperbolehkan RUU Kepalangmerahan sempat terbahas dan dilimpahkan kepada Panitia Khusus (Pansus),namun pembahasannya jalan di tempat. 1. Tanggal 3-9 September 2012, Badan Legislasi DPR-RI melakukan kunjungan kerja ke Denmark dan Turki untuk mendalami organisasi dan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. 2. Tanggal 31 Oktober DPR-RI menyampaikan Draf dan Naskah AKademis RUUKepalangmerahan kepada Presiden RI melalui Surat No. LG/10429/DPR RI/X/2012 dan meminta Presiden menunjuk Menteri yang akan membahas RUU. 3. Tanggal 21 November Presiden menyampaikan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Kepalangmerahan kepada DPR RI melalui Surat No. R.85/Pres/11/2012 dengan menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan RUU Kepalangmerahan berada pada urutan 107 Prolegnas. Bagaima Isi dari Undang-Undang Kepalangmerahan? Sementara ini, dan sewaktu-waktu bisa berubaha jika ada pembahasan formal di DPR-RI, isi Draf RUU Tentang Kepalangmerahan sebagaimana Draf RUU yang disampaikan oleh DPR tanggal 31 Oktober 2012, memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Judul : RUU Tentang Kepalangmerahan 2. Jumlah Bab dan Pasal :terdiri dari 8 Bab dan 55 Pasal, dengan 10 Pasal memuat Ketentuan Pidana.

6 3. Pembukaan: 3.1. Konsiderans (1) Filosofis: Kegiatan kemanusiaan berupaya untuk mendukung tujuan negara dalam melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk menciptakan ketertiban dunia dan berkeadilan sosial (2) Sosiologis: Untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan, negara membentuk perhimpunan nasional yang menggunakan lambang kepalangmerahan sebagai tanda pelindung dan tanda pengenal (3) Yuridis: Dengan telah diratifikasinya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958 yang mengatur tentang keikutsertaan negara republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, mewajibkan negara untuk menerapkannya dalam sistem hukum nasional. (4) Kebijakan: Pengaturan mengenai kepalangmerahan belum diatur dalam suatu Undang- Undang Dasar Hukum (1) Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (2) Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Keikutsertaan Negara RI Dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 1958). 4. Batang Tubuh 3.1. Ketentuan Umum Berisi pengertian tentang Kepalangmerahan, Lambang Palang Merah, Palang Merah Indonesia, Kegiatan Kemanusiaan, Konflik Bersenjata, Setiap Orang, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Menteri Materi Pokok Yang Diatur (1) Mengatur penggunaan Lambang Palang Merah, terdiri dari Bentuk dan Penggunaan (2) Menertibkan penggunaan Lambang Palang Merah pada masa konflik bersenjata dan pada masa damai (3) Mencegah dan menanggulangi peniruan serta penyalahgunaan Lambang Palang Merah (4) Mengatur tentang Perhimpunan Nasional, terdiri dari status, kedudukan, tugas, struktur organisasi, syarat kepengurusan, koordinasi dan kerjasama, penggunaan lambang Palang Merah Indonesia, pendanaan, dan peran-serta masyarakat. (5) Larangan-larangan Terdiri dari larangan menggunakan Lambang Palang Merah sebagai tanda pengenal, larangan menyalahgunakan lambang untuk tujuan mengelabui lawan, larangan melakukan peniruan Lambang, larangan menyalahgunakan Lambang dalam kegiatan yang bertentangan dengan HPI dan Prinsip Dasar Gerakan, larangan menggunakan Lambang pada fasilitas untuk kegiatan diluar kegiatan kepalangmerahan, larangan menggunakan Lambang sebagai merek suatu produk barang, jasa, atau nama suatu badan hukum tertentu atau untuk reklame atau iklan promosi, larangan kepada anggota TNI dengan maksud untuk memperoleh keuntungan atau kepentingan militer Ketentuan Pidana Ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda ditujukan kepada: (1) Setiap Orang yang tidak menghormati dan/atau tidak memberikan perlindungan kepada objek yang menggunakan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah sebagai tanda pelindung dalam hal terjadi konflik bersenjata: a. Pasal 43 huruf a: melukai orang yang menggunakan lambang, paling lama 1 (satu) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 50 juta. b. Pasal 43 huruf b: menyebabkan matinya orang yang menggunakan lambang, paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 250 juta. c. Pasal 43 huruf c: rusak dan hancurnya bangunan, sarana dan fasilitas yang mengunakan lambang, paling lama 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta. (2) Setiap Orang yang menggunakan Lambang Palang Merah sebagai tanda pengenal selain anggota, tenaga kesehatan, sarana atau unit transportasi kesehatan, serta fasilitas dan peralatan kesehatan medis yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan tanpa mendapat persetujuan ketua perhimpunan nasional, paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta (Pasal 44). (3) Setiap Orang yang menggunakan Lambang Palang Merah pada ban lengan dan/atau ditempatkan pada atap bangunan dengan tujuan sebagai tanda pengenal, paling lama 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta (Pasal 45). (4) Setiap Orang yang dalam konflik bersenjata menyalahgunakan Lambang Palang Merah untuk tujuan mengelabui pihak lawan yang mengakibatkan luka berat atau

7 matinya orang, paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 46). (5) Setiap Orang menggunakan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI yang berdasarkan bentuk dan/atau warna, baik sebagian maupun seluruhnya dapat menimbulkan kerancuan dan kesalahmengertian terhadap penggunaan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI, paling lama 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta (Pasal 47). (6) Setiap Orang yang menyalahgunakan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI sebagai tanda pengenal untuk kegiatan yang bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional dan prinsip dasar Gerakan Kemanusiaan Internasional, paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 48). (7) Setiap Orang yang menggunakan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI pada benda, bangunan, dan sarana transportasi yang digunakan untuk kegiatan di luar kegiatan kemanusiaan, paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 49). (8) Setiap Orang yang menggunakan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI sebagai merek suatu produk barang, jasa, atau nama suatu badan hukum tertentu, paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 50). (9) Setiap Orang yang menggunakan Lambang Palang Merah dan/atau Lambang PMI untuk reklame atau iklan komersial, paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 51) (10) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang menggunakan Lambang Palang Merah sebagai tanda pelindung selain oleh Dinas Kesehatan, Tenaga Kesehatan, Rohaniwan, Sarana atau Unit Transportasi Kesehatan dan Fasilitas dan Peralatan Medis, paling lama 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 52) Ketentuan Peralihan Menegaskan batas waktu kewajiban bagi setiap orang yang tidak berhak untuk mengganti penggunaan Lambang Palang Merah dan Lambang PMI yang telah digunakan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang berlaku 4.5. Ketentuan Penutup Daya berlaku peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang penggunaan Lambang Palang Merah atau Lambang PMI Penjelasan Penjelasan berisi Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal. Lampiran berupa Lambang Palang Merah sebagai Tanda Pelindung dengan penjelasan umum dan perbandingan ukuran. Bagaimana Kita Dukung? Ini untuk Kemanusiaan 1. Bagi anggota DPR-RI, demi kemanusiaan silakan beramal lewat politik melalui pembahasan dan pengesahan RUU Kepalangmerahan. 2. Bagi para tokoh masyarakat, selebritas, profesional silakan beramal lewat profesinya. Contoh; ahli hukum akan menyampaikan opini hukumnya untuk menguatkan pengesahan RUU Kepalangmerahan. 3. Bagi keluarga besar PMI, mari beraksi melalui pelayanan lebih baik kepada masyarakat, diseminasi kepalangmerahan dan sosialisasi manfaat UU Kepalangmerahan. Manfaatkan media sosial (Facebook, Twitter, Path, Blog, Grup WA, dll) dengan menyertakan tagar #SavePMI sahkan #RUUKepalangmerahan. 4. Setiap hari Kamis adalah Tweet Day. Posting aksi-aksi kemanusiaan anda (donor darah, tanggap darurat bencana, pelayanan kesehatan, kegiatan PMR-KSR-TSR, dll) di Facebook dengan keterangan dan sertakan tanda pagar #RUUKepalangmerahan. Khusus untuk Twitter, selain tanda pagar #RUUKepalangmerahan, jangan lupa agar diketahui langsung oleh para pejabat negeri ini. 5. Jangan lupa tanda tangani petisi online di

8 Pesan-Pesan Kunci 1. Undang-Undang Kepalangmerahan akan memulihkan fungsi Lambang sebagai lambang yang netral. 2. Bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan akan lebih berkualitas, cepat, tepat dan lebih luas. 3. UU kepalangmerahan tidak menjadikan PMI memonopoli kegiatan bantuan kemanusiaan. 4. Pembahasan RUU Kepalangmerahan mengalami kebutuan karena ada Fraksi di DPR-RO yang meminta sebuah yayasan masuk ke RUU sejajar dengan PMI. 5. Bagi anggota DPR-RI silakan beramal lewat politik demi kemanusiaan. Referensi: (Dari berbagai sumber) #SavePMI Sahkan #RUUKepalangmerahan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub

2018, No d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepalangmerahan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repub LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2018 KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6180) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KEPALANGMERAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan kemanusiaan berupaya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859.

BAB I PENDAHULUAN. Dunant. Bemula dari perjalanan bisnis yang Ia lakukan, namun pada. Kota kecil di Italia Utara bernama Solferino pada tahun 1859. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palang Merah terbentuk dari situasi sulit di dunia seperti peperangan dan bencana alam. Awal mula terbentuknya Palang Merah yaitu pada abad ke-19, atas prakarsa seorang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional

Merah/Bulan Sabit Merah Internasional PMI dan Gerakan Palang Merah/Bulan Sabit Merah Internasional GERAKAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH INTERNASIONAL SEJARAH Pertempuran Solferino 1858 HENRY DUNANT-Menolong korban UN SOUVENIR DE SOLFERINO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa sosial kemanusiaan, membantu korban bencana alam serta pelayanan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN NASIONAL PMI DI SALATIGA DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA TEKNIK DIAJUKAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan

Perang Solferino. Komite Internasional. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. A. Sejarah Gerakan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional A. Sejarah Gerakan Perang Solferino Pada tanggal 24 Juni 1859 di Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,

Lebih terperinci

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

Bagaimana Undang-Undang Dibuat Bagaimana Undang-Undang Dibuat Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

Rabu, 24 September 2014

Rabu, 24 September 2014 LAPORAN KOMISI III DPR RI TERHADAP PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI Assalamu

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI 25-27 APRIL 2011 Program Orientasi Tenaga Ahli DPR RI 25-27 April

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Penyusunan Rancangan. Peraturan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Penyusunan Rancangan. Peraturan. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Penyusunan Rancangan. Peraturan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN NOMOR: PER/06/M/ IV/2008 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa pertahanan negara

Lebih terperinci

Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal Desember 2009

Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal Desember 2009 Ditetapkan oleh: Musyawarah Nasional XIX Palang Merah Indonesia di Jakarta tanggal 21-23 Desember 2009 ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PALANG MERAH INDONESIA Hasil MUNAS PMI XIX PEMBUKAAN Dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pertahanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL ANATOMI KEAMANAN NASIONAL Wilayah Negara Indonesia Fungsi Negara Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap negara, apapun ideologinya, menyeleng garakan beberapa fungsi minimum yaitu: a. Fungsi penertiban

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang masalah Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang jasa sosial kemanusiaan, membantu korban bencana alam serta pelayanan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA)

UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) UU 27/1997, MOBILISASI DAN DEMOBILISASI Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1997 (27/1997) Tanggal: 3 OKTOBER 1997 (JAKARTA) Tentang: MOBILISASI DAN DEMOBILISASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA?

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? 48 Konvensi Hak Anak: Suatu Fatamorgana Bagi Anak Indonesia KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? Endang Ekowarni PENGANTAR Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh No. : Hal : Lampiran : 4 lembar Jakarta, 7 Januari 2013 Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh Dengan ini saya yang bertandatangan di bawah ini menjelaskan tentang alasan yang membuat kami yakin

Lebih terperinci

PALANG MERAH INDONESIA. BUDI PURWANTO, SSi, MSi

PALANG MERAH INDONESIA. BUDI PURWANTO, SSi, MSi ORGANISASI & MANAJEMEN UMUM PALANG MERAH INDONESIA BUDI PURWANTO, SSi, MSi PALANG MERAH INDONESIA Pengertian Umum : Palang Merah Indonesia (PMI) adalah lembaga sosial kemanusiaan yang netral dan mandiri,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN MENTERI KESEHATAN, MENTERI PERHUBUNGAN, DAN MENTERI HUKUM DAN HAM DALAM RANGKA PEMBAHASAN RUU TENTANG

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb Selamat Malam dan Salam sejahtera bagi kita semua

Assalamu alaikum Wr. Wb Selamat Malam dan Salam sejahtera bagi kita semua LAPORAN KOMISI VIII DPR RI ATAS HASIL PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG DISABILITAS DISAMPAIKAN PADA RAPAT PARIPURNA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KAMIS, 17 MARET 2016

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Selasa, 7 Pebruari 2006

Selasa, 7 Pebruari 2006 LAPORAN KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBICARAAN TINGKAT II / PENGAMBILAN KEPUTUSAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PADA RAPAT PARIPURNA Assalamu alaikum

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah Negara

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 01 (satu) tahun ~ jangka waktu penetapan Prolegda Provinsi Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Tanggal 26 Januari Disampaikan oleh: H. Firman Subagyo, SE.,MH. Wakil Ketua Badan Legislasi, A.273

Tanggal 26 Januari Disampaikan oleh: H. Firman Subagyo, SE.,MH. Wakil Ketua Badan Legislasi, A.273 LAPORAN BADAN LEGISLASI TENTANG PENETAPAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RUU PRIORITAS TAHUN 2016 DAN PERUBAHAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RUU TAHUN 2015-2019 DALAM RAPAT PARIPURNA DPR RI Tanggal 26 Januari

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 No.1459, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Prajurit TNI. Status Gugur/Tewas. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG STATUS GUGUR ATAU TEWAS BAGI PRAJURIT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci