HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 PENGUKURAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG Nilai viskositas adalah nilai yang menunjukan kekentalan suatu fluida. semakin kental suatu fuida maka nilai viskositasnya semakin besar, begitu juga sebaliknya semakin rendah kekentalan fluida maka nilai viskositasnya semakin kecil. Grafik hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. (a) (b) (c) (d) Gambar 15. Grafik pengukuran viskositas minyak (a) N1, (b) N2, (c) N3, (d) N4 Dari Gambar 15a, dapat dilihat pengukuran viskositas minyak N1, yaitu minyak nyamplung hasil ekstrasi dari biji nyamplung tanpa diberi perlakuan (tidak ada penambahan zat kimia). Viskositas awal dari minyak N1 ini adalah sebesar 63 cst kemudian dipanaskan hingga 110 o C sehingga viskositas minyak menjadi 5 cst. Dari hasil pengukuran viskositas biosolar yang merupakan bahan bakar untuk motor diesel diperoleh nilai viskositas sebesar 5-7 cst sedangkan solar 3-5 cst. Jadi minyak N1 sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel ketika dipanaskan hingga suhu optimum yaitu 110 o C. Sedangkan dari Gambar 15b, menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak N2, yaitu minyak nyamplung yang telah mengalami proses pemurnian dengan menambahkan asam 29

2 fosfat dengan tujuan untuk menghilangkan gum yang ada pada minyak (degumming). Setelah dilakukan degumming, nilai viskositas dari minyak nyamplung mengalami penurunan 7 cst dari minyak N1, yaitu menjadi 56 Cst. Kemudian setelah dipanaskan dengan suhu mencapai 110 o C nilai viskositas dari minyak N2 menjadi 5 cst, sehingga minyak nyamplung hasil degumming (N2) dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan 110 o C. Selanjutnya Gambar 15c menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung dengan perlakuan netralisasi (N3), dimana nilai viskositas dari minyak mengalami penurunan 20 cst dari minyak N1. Menurut Hendrix (1990), proses netralisasi merupakan proses pemisahan asam lemak dalam minyak dengan cara menambahkan NaOH yang bertujuan menghilangkan kotoran/zat berupa asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi. Setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C, nilai viskositas minyak nyamplung N3 mengalami penurunan menjadi 3 cst hampir sama dengan nilai viskositas dari bahan bakar solar. Oleh karena itu, minyak hasil netralisasi juga dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C. Gambar 15d, menunjukan viskositas dari minyak nyamplung dengan perlakuan degumming dan netralisasi (N4). Viskositas minyak nyamplung N4 lebih rendah dibanding minyak nyamplung yang lainnya (N1, N2, N3). Pada suhu ruangan (30 o C) viskositas minyak nyamplung N4 adalah 30 cst. Setelah dipanaskan 110 o C, viskositas minyak menjadi 4 cst dan sudah dapat di gunakan untuk motor diesel. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan tersebut maka dapat diketahui bahwa minyak nyamplung dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 110 o C (suhu optimum), sehingga dibutuhkan elemen pemanas yang dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 110 o C. 6.2 HASIL RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS (HEAT EXCHANGER) Pada penelitian ini telah dirancang empat buah elemen pemanas yang mempunyai bagianbagian utama yang sama. Masing-masing bagian ini juga terbuat dari bahan yang sama, namun secara keseluruhan semuanya memiliki perbedaan dari segi ukuran. 1. Rancangan I Elemen pemanas I dibuat dari knalpot asli dari motor diesel Yanmar TF 85 MLY-di. Pada elemen pemanas ini pipa tembaga diameter 8 mm dililitkan di bagian luar tabung lalu ditutup kembali dengan plat yang dipasang melingkar pada tabung yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan pindah panas. Dimensi dari knalpot yang digunakan yaitu diameter tabung 104 mm, tinggi tabung 149 mm, dan tebal plat 2 mm. Sedangkan diameter selimut tabung sebesar 124 mm dengan tinggi selimut 155 mm dan tebal plat 2 mm. Sehingga jika berdasarkan perhitungan menurut Cengel (2003) panjang pipa tembaga yang digunakan pada rancangan I adalah 2520 mm, (Lampiran 2) hanya saja pada penelitian ini panjang dari pipa tembaga yang digunakan dibuat lebih panjang menjadi 3400 mm (asumsi pindah panas 75%). Saluran masuk gas buang memiliki diameter 30 mm dengan panjang 100 mm. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pemanasan minyak nyamplung dari rancangan I ini belum maksimal karena hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C sedangkan suhu yang dibutuhkan untuk menurunkan viskositas dari minyak nyamplung adalah sebesar 110 o C. Namun, sebenarnya motor diesel sudah dapat dhidupkan dengan menggunakan rancangan I tetapi tidak stabil dan kadangkadang tersendat. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas dari minyak nyamplung yang masih 30

3 tinggi saat dipanaskan pada suhu 54 o C, yaitu sebesar cst. Sehingga dibuat elemen pemanas rancangan II. Gambar 16. Knalpot rancangan I 2. Rancangan II Elemen pemanas rancangan II mempunyai tabung yang berukuran lebih panjang dibandingkan dengan knalpot asli motor bakar Diesel Yanmar TF 85, bentuk dan ukuran saluran minyak nyamplung pada elemen pemanas rancangan II ini membutuhkan ruang yang cukup besar karena lilitan tembaga yang pada awalnya dipasang di bagian luar tabung menjadi dipasang di bagian dalam tabung. Hal ini dikarenakan jika lilitan tembaga dipasang di bagian luar tabung menghasilkan suhu pemanasan yang tidak optimum. Knalpot yang digunakan adalah knalpot asli dari motor Diesel Yanmar TF 85 hanya dilakukan penggantian tabung dan muffler menjadi lebih panjang. Diameter tabung menjadi 107 mm, tinggi tabung 220 mm, dan tebal plat 2 mm. Adapun dimensi dari muffler adalah diameter muffler 30 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan II adalah 6790 mm atau kurang lebih 6800 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 3). Diameter lilitan pipa tembaga di dalam tabung knalpot adalah 100 mm. Perbedaan panjang pipa tembaga pada elemen pemanas I dan II adalah pada rancangan II dilakukan perubahan perhitungan, dimana data keluaran suhu dari knalpot/ gas buang yang digunakan berbeda. Akan tetapi, pada rancangan II yang dibuat ini juga masih belum dapat mencapai suhu optimum yang diinginkan. Suhu minyak hasil pemanasan pada rancangan II di rpm 2000 hanya mencapai 74.5 o C. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran diameter lilitan dari pipa tembaga yang sama dengan diameter dalam dari tabung knalpot yaitu 100 mm sehingga lilitan pipa tembaga (saluran minyak nyamplung) menempel pada dinding tabung knalpot. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpindahan panas secara konduksi dari pipa tembaga ke dinding tabung knalpot ke lingkungan, selain itu pemanasan yang diterima oleh pipa tembaga dari panas gas buang motor diesel tidak maksimal karena hanya sisi bagian dalam saja yang mendapat pemanasan maksimum dari panas gas buang motor diesel dalam knalpot. Berdasarkan hal tersebut, sehingga dibuat rancangan elemen pemanas III dengan mengubah diameter lilitan pipa tembaga menjadi lebih kecil yaitu 85 mm dan diameter pipa tembaga menjadi 6 mm, dengan harapan panas yang diperoleh dari gas buang lebih optimum. 31

4 Gambar 17. Knalpot rancangan II 3. Rancangan III Elemen pemanas rancangan III dibuat dengan tujuan untuk memperoleh hasil pemanasan optimum untuk minyak nyamplung. Pada rancangan III ini, digunakan ukuran pipa tembaga yang berbeda dengan rancangan I dan II, yaitu berdiameter 6 mm. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil akan menghasilkan pemanasan yang lebih merata dan optimum atau tidak, sesuai dengan kebutuhan minyak nyamplung yaitu mencapai suhu 110 o C. Adapun dimensi elemen pemanas rancangan III yaitu, diameter tabung 107 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Dimensi dari muffler yaitu diameter muffler 30 mm, tinggi 300 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan III adalah 9050 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 4). Diameter lilitan tembaga di dalam tabung knalpot adalah 85 mm. Akan tetapi, setelah dilakukan pengujian pengukuran, suhu pemanasan yang dihasilkan rancangan III kurang stabil atau sering berubah-ubah. Rata-rata suhu pemanasan minyak yang dihasilkan rancangan III pada rpm 2000 adalah sebesar 83.2 o C sehingga suhu optimum pemanasan minyak nyamplung, yaitu 110 o C belum tercapai. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil, yaitu dari 8 mm menjadi 6 mm, menyebabkan aliran minyak nyamplung yang masuk ke elemen pemanas lebih lambat. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa minyak nyamplung mempunyai kekentalan yang sangat tinggi sehingga aliran minyak di dalam elemen pemanas tidak lancar. Oleh karena itu dibuat rancangan IV dengan mengubah kembali ukuran diameter pipa tembaga dari 6 mm menjadi 8 mm, dengan harapan mendapatkan suhu pemanasan minyak nyamplung yang optimum. Gambar 18. Knalpot rancangan III 32

5 4. Rancangan IV Elemen pemanas rancangan IV ini dibuat hampir sama dengan rancangan II, hanya saja pada rancangan IV diameter dari lilitan pipa tembaga diperkecil menjadi 85 mm yang awalnya (pada rancangan II) adalah sebesar 100 mm. Hal ini dilakukan karena pada rancangan II ketika lilitan diameter pipa tembaga dibuat 100 mm, pipa tembaga menempel di dinding tabung yang menyebabkan pemanasan kurang optimum karena terjadi kehilangan panas dari pipa tembaga ke dinding tabung. Pada rancangan IV, diameter lilitan pipa tembaga diperkecil agar tidak menempel pada dinding tabung sehingga ada celah antara lilitan pipa tembaga dengan dinding di dalam tabung knalpot. Setelah dilakukan pengukuran suhu, rancangan IV dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum 110 o C (hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Gambar 23) sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk memanasakan minyak nyamplung sehingga dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Gambar 19. Knalpot rancangan IV 6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS 1. Pengukuran Suhu Minyak Nyamplung Hasil Pemanasan Elemen Pemanas Pengukuran suhu minyak hasil pemanasan elemen pemanas dilakukan untuk mengetahui apakah rancangan elemen pemanas yang dibuat sudah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mencapai suhu optimum pemanasan minyak nyamplung hingga 110 o C. Pengukuran suhu minyak nyamplung dilakukan pada semua rancangan. Pengukuran dilakukan di lima titik. Titik pengukuran pertama yaitu mengukur suhu minyak dalam tangki bahan bakar minyak nyamplung. Titik pengukuran kedua yaitu mengukur suhu minyak nyamplung di pipa saluran bahan bakar sebelum minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas. Titik pengukuran ketiga yaitu mengukur suhu minyak nyamplung setelah keluar dari elemen pemanas. Titik pengukuran keempat yaitu mengukur suhu keluaran gas buang dari motor diesel (suhu knalpot), dan titik pengukuran kelima mengukur suhu ruangan. Letak titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar

6 Keterangan : 1 : Titik pengukuran suhu dalam tangki bahan bakar (T1) 2 : Titik pengukuran suhu minyak masuk ke elemen pemanas (T2) 3 : Titik pengukuran suhu minyak keluar dari elemen pemanas (T3) 4 : Titik pengukuran suhu keluaran knalpot (T4) 5 : Titik pengukuran suhu ruangan (T5) Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel Pengukuran suhu dilakukan dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu pengukuran suhu pada rpm 1700 dan 2000, masing-masing rpm dilakukan 3 kali pengulangan. Untuk membandingkan hasil pemanasan dari semua rancangan, jenis minyak yang digunakan hanya minyak N2. Hal ini dilakukan karena persediaan minyak yang terbatas, selain itu penggunaan minyak N2 adalah dikarenakan minyak N2 memiliki viskositas yang lebih kecil dibandingkan minyak N1, dan proses pembuatan minyak N2 lebih mudah dibandingkan dengan minyak N3 dan N4. Minyak N1 tidak digunakan di awal pengujian karena dikhawatirkan minyak N1 tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar motor diesel, dengan mempertimbangkan dari kekentalan minyak yang mencapai 63 cst sehingga dipilih minyak N2 pada pengujian awal, dan digunakan untuk semua rancangan. Hasil pengujian pengukuran suhu rata-rata semua rancangan dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Tabel 6 dapat dilihat hasil pengukuran suhu semua rancangan pada rpm 1700 dan 2000 yang menunjukkan bahwa rancangan IV merupakan rancangan yang dapat memanaskan minyak hingga suhu 110 o C. Sedangkan pada rancangan I suhu maksimal untuk memanaskan minyak hanya mencapai 54.8 o C (T3), pada rancangan II pemanasan minyak hanya mencapai 74.5 o C (T3), dan pada rancangan III pemanasan minyak hanya mencapai 83.2 o C (T3). Perbedaan hasil pemanasan minyak juga dipengaruhi oleh rpm mesin, semakin tinggi rpm mesin maka suhu keluaran dari knalpot semakin besar begitu juga sebaliknya. Seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6, T5 menunjukkan suhu keluaran gas buang dari motor diesel. Pada rancangan IV suhu minyak mencapai 110 o C ketika rpm mesin 2000 sedangkan pada rancangan 34

7 Suhu ( o C) lainnya pada rpm 2000 tidak dapat memanaskan minyak hingga 110 o C (Lampiran 8). Untuk mengetahui perbedaan hasil pemanasan minyak pada setiap rancangan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan Elemen Pemanas Bahan Bakar Rpm T1 ( o C) T2 ( o C) T3 ( o C) T4 ( o C) T5 ( o C) R I N R II R III R IV N2 N2 N2 N3 N4 N T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R1 (1700) R2 (1700) R3 (1700) R4 (1700) Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 (n 1 ) pada semua rancangan 35

8 Suhu ( o C) T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R2 (2000) R3 (2000) R4 (2000) Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 (n 2 ) pada semua rancangan Gambar 21 menunjukkan perbedaan hasil pemanasan minyak N2 di setiap rancangan pada rpm mesin Pada grafik dapat dilihat, rancangan I hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C (T3), hal ini dikarenakan pipa tembaga yang menjadi saluran minyak nyamplung pada rancangan I dililitkan di bagian luar tabung knalpot yang kemudian diselimuti oleh plat sehingga panas yang diterima oleh pipa tembaga kurang maksimal. Selain itu panjang pipa tembaga yang digunakan masih kurang panjang. Hal ini dikarenakan perhitungan yang digunakan pada rancangan I masih menggunakan data sekunder dari literatur, bukan data dari hasil pengukuran. Sehingga pengujian rancangan I pada rpm 2000 tidak dilakukan. Setelah memperoleh data suhu keluaran dari knalpot/gas buang, maka dilakukan perhitungan ulang rancangan dan hasilnya digunakan untuk membuat elemen pemanas rancangan II. Hasil pemanasan yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan rancangan I yaitu pemanasan minyak mencapai suhu 70.6 o C (T3). Akan tetapi rancangan II ini belum dapat memanaskan minyak hingga suhu optimum (110 o C) pada rpm Kemudian rpm motor diesel dinaikkan menjadi 2000 (Gambar 22), dan hasil pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 74.5 o C, terjadi kenaikan suhu pemanasan minyak sebesar 3.9 o C. Oleh karena rancangan II belum dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum, maka dibuat rancangan III dengan mengubah diameter pipa tembaga dari 8 mm menjadi 6 mm. Pada pengujian pertama yaitu pada rpm 1700, pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 65.6 o C lebih rendah dibandingkan dengan rancangan II. Sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak yang diperoleh mencapai 83.2 o C atau terjadi kenaikan pemanasan suhu sebesar 17.6 o C dan lebih tinggi dari rancangan II. Akan tetapi, rancangan III belum mencapai pemanasan suhu optimum minyak nyamplung sehingga dirancang kembali rancangan IV. Pada rancangan IV dibuat sama dengan rancangan II hanya saja diameter lilitan pipa tembaga pada rancangan IV diperkecil (lebih jelasnya dapat dilihat di hasil rancangan elemen pemanas. Hasil pengujian pada rpm 1700 diperoleh suhu pemanasan minyak hingga 86.4 o C lebih tinggi dibandingkan dengan rancangan lainnya, sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak mencapai 98.6 o C. Bila dibandingkan dengan rancangan I, II, dan III, rancangan IV menghasilkan suhu hasil pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu 36

9 Suhu ( o C) pemanasan optimum minyak nyamplung. Sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk menguji minyak nyamplung lainnya (minyak N1, N3 dan N4). Untuk mengetahui hasil dari pemanasan minyak nyamplung pada rancangan IV dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 menunjukan perbedaaan suhu hasil pemanasan minyak nyamplung dari rancangan IV pada rpm 1700 dan Pada rpm 1700, dapat di lihat bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi yaitu 91.6 o C, sedangkan minyak N1 87 o C, minyak N o C, dan minyak N o C. Pada rpm 2000, minyak N4 memiliki hasil pemanasan yang lebih tinggi yaitu o C dan mendekati suhu optimum (110 o C), sedangkan minyak N o C, minyak N o C, dan minyak N o C. Dari pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada rpm yang berbeda yaitu pada rpm 1700 dan 2000 dapat disimpulkan bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu optimum pemanasan minyak nyamplung yaitu 110 o C. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas minyak N4 pada suhu ruangan (30 o C) lebih kecil dibanding minyak nyamplung lainnya T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran N1 (1700) N2 (1700) N3 (1700) N4 (1700) N1 (2000) N2 (2000) N3 (2000) N4 (2000) Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 ) Selain melakukan pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada semua rancangan, dilakukan pula pengukuran rpm motor diesel. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui perubahan rpm motor diesel pada saat menggunakan biosolar dan minyak nyamplung. Untuk mengetahui hasil pengukuran rpm, dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara umum kecepatan motor diesel relatif cukup stabil. Pada saat pergantian bahan bakar dari biosolar ke minyak nyamplung terjadi penurunan rpm, namun hal ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa menit selanjutnya rpm motor kembali stabil. Pada saat pengujian, motor diesel sempat beroperasi tersendat-sendat, hal ini dikarenakan terdapat rongga udara di dalam saluran bahan bakar yang menyebabkan aliran bahan bakar tidak lancar. Rongga udara di dalam saluran bahan bakar ini ditimbulkan akibat aliran minyak nyamplung yang belum lancar dan stabil. Salah satu cara agar aliran bahan bakar minyak nyamplung lancar dan stabil adalah dengan memastikan minyak yang keluar dari elemen pemanas sudah mengalir dengan baik dan kontinyu. 37

10 Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV Rancangan Bahan Bakar Rpm Waktu (menit) I N II III IV N2 N2 N1 N2 N3 N Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hasil pengukuran rpm motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung dengan menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.. Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 1700 menggunakan R IV Pada grafik (Gambar 24), dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar di banding biosolar. Minyak N1 terlihat mengalami kenaikan rpm dibanding dengan minyak lainnya (N2, N3, N4). Akan tetapi secara umum rpm dari motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung tidak konstan/stabil. Sehingga belum dapat ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel terhadap kinerja motor diesel bila dibanding dengan biosolar. Hal ini pun terjadi pada pengujian di rpm 2000, rpm motor diesel turun naik atau tidak 38

11 kostan/stabil. Sebagai contoh pada minyak N1, pada saat pengujian di rpm 1700 performa motor diesel (rpm) mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada saat pengujian di rpm Sehingga perlu dilakukan pengujian daya poros dari motor diesel yang menggunakan minyak nyamplung agar bisa ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel. Untuk mengetahui lebih jelas hasil pengukuran rpm di rpm awal 2000, dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV 2. Uji karakteristik Penyemprotan Bahan Bakar Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar dilakukan untuk membandingkan bahan bakar dilihat dari segi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil penyemprotan minyak nyamplung dengan biosolar. Pengujian penyemprotan dilakukan untuk semua jenis perlakuan minyak, yaitu minyak N1, N2, N3, dan N4. Hasil penyemprotan minyak N1 dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27, sedangkan hasil penyemprotan boiosolar dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) tanpa pemanasan 39

12 Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) dengan pemanasan 110 o C menggunakan R IV Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan hasil semprotan antara minyak nyamplung dengan biosolar, baik dengan perlakuan tanpa pemanasan ataupun dengan pemanasan pada suhu 110 o C. Butiran-butiran pengkabutan pada biosolar terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung cenderung lebih besar dan tidak merata. Pengujian semprotan dilakukan pada semua jenis perlakuan minyak nyamplung (minyak N1, N2, N3, dan N4). Gambar hasil dari pola semprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 7. 40

13 Diameter Penyemprotan (mm) N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar Gambar 29 menunjukkan diameter penyemprotan untuk kelima jenis bahan bakar, yaitu minyak N1, N2, N3, N4, dan biosolar. Minyak nyamplung semua jenis perlakuan (N1, N2, N3 dan N4) tanpa pemanasan (suhu ruangan) menghasilkan semprotan dari nozzle injektor dengan diameter mm, mm, mm, dan 61.5 mm. Setelah dipanaskan pada suhu 110 o C, diameter penyemprotan yang dihasilkan sebesar mm, mm, mm, dan mm. Biosolar sebagai bahan bakar utama dari motor diesel memiliki diameter penyemprotan sebesar mm. Dari hasil penyemprotan dapat dilihat bahwa ada perubahan diameter penyemprotan ketika minyak nyamplung dipanasakan hingga suhu 110 o C. Sebagai contoh, diameter semprotan minyak N1 sebelum dipanaskan adalah mm, kemudian setelah dipanaskan meningkat menjadi mm lebih besar 6.5 mm, begitu juga untuk minyak nyamplung dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi minyak N3 mengalami pengecilan ukuran diameter sebesar 10 mm. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan pada saat pengujian, seperti angin, dan lain-lain sehingga pengkabutan hasil dari semprotan minyak N3 tidak sepenuhnya mengenai kertas milimeter blok. Namun, secara umum minyak nyamplung hasil pemanasan dengan suhu 110 o C mengalami perubahan diameter menjadi lebih besar dibanding sebelum dipanaskan dan sudah mendekati diameter semprotan dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama motor diesel. Setelah mengetahui diameter semprotan dari masing-masing bahan bakar, maka dapat diketahui sudut penyemprotan. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perhitungan sudut penyemprotan. Dari pengolahan data diameter diatas dan memperhitungkan tinggi penyemprotan yaitu 30 cm, maka didapatkan sudut penyemprotan seperti tertera pada Gambar 30. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 6. 41

14 Sudut Penyemprotan ( o ) N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar Gambar 30 menunjukkan sudut penyemprotan dari semua jenis bahan bakar minyak nyamplung dan biosolar. Dari gambar dapat dilihat bahwa diameter penyemprotan bahan bakar mempengaruhi sudut penyemprotannya. Semakin besar diameter penyemprotan maka sudut penyemprotan semakin besar. Dengan asumsi bahwa tinggi penyemprotan adalah sama di tiap pengujian. Sama halnya dengan diameter penyemprotan, minyak nyamplung setelah dipanaskan akan memiliki sudut semprot yang lebih besar dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak dipanaskan karena butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung yang sudah dipanaskan lebih halus dibandingkan dengan minyak nyamplung tanpa pemanasan. Sebagai contoh, minyak N1 sebelum dipanaskan memiliki sudut diameter o, setelah dipanaskan menjadi o selisihnya adalah 1.23 o. Akan tetapi selisih tersebut tidak berlaku sama untuk semua jenis minyak nyamplung karena setiap jenis minyak nyamplung memiliki hasil penyemprotan yang berbeda. 3. Uji daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung menggunakan R IV Setelah dilakukan pengukuran suhu minyak hasil pemanasan dan uji karakteristik semprotan dari minyak nyamplung selanjutnya dilakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban dengan menggunakan bahan bakar minyak nyamplung yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan daya poros tanpa beban yang dihasilkan motor diesel dengan menggunakan bahan bakar biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan pada pengukuran daya adalah minyak N4 karena N4 merupakan minyak yang terbaik (dilakukan proses degumming dan netralisasi) dibanding minyak nyamplung perlakuan lainnya. Pengukuran daya dilakukan tiga kali ulangan. Berikut adalah grafik pengukuran daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung, sedangkan untuk mengetahui hasil lengkap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran

15 Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III 43

16 Gambar 31 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji I. Pada pengukuran pertama diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 4.88 kw dengan torsi maksimum sebesar Nm. kenaikan torsi terjadi sangat tinggi sampai pada saat titik maksimum yaitu pada rpm Gambar 32 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji II. Pada pengukuran kedua diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.35 kw dengan torsi maksimum sebesar Nm. Kenaikan torsi yang sangat tinggi pada pengukuran kedua terjadi pada rpm Sedangkan pada pengujian ketiga diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.39 kw dan torsi maksimum yang dicapai adalah sebesar Nm, serta kenaikan torsi maksimum terjadi pada pengukuran rpm Grafik hasil pengukuran ulangan ketiga dapat dilihat pada Gambar 33. Kenaikan torsi secara tajam menunjukan bahwa pengereman berlangsung dengan cepat, dari titik nol mencapai pengereman maksimum (Pramuditya. A.F, 2009). Nilai torsi maksimum di setiap pengulangan diperoleh hasil yang sama, nilai torsi maksimum diperoleh ketika sesaat mesin akan mati. Nilai gaya (µs) yang ditunjukan handy strain meter pada saat motor diesel akan mati adalah 11 µs, hanya saja terjadi pada perbedaan rpm motor diesel di setiap pengukuran. Sehingga daya yang diperoleh di setiap pengulangan berbeda. Untuk mengetahui perbandingan daya poros yang dihasilkan motor diesel berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung Bahan bakar Torsi (N.m) Daya (kw) Uji I Uji II Uji III Uji I Uji II Uji III Biosolar Minyak Nyamplung Data pengujian daya motor diesel berbahan bakar biosolar diperoleh dari hasil penelitian Ahmad. H (2010), hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan daya dari motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung jika dibandingkan dengan motor diesel berbahan bakar biosolar. Rata-rata penurunan torsi adalah sebesar 9.59% dan rata-rata penurunan daya motor sebesar 12.26%. Hal ini menunjukkan bahwa biosolar masih memiliki daya maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nyamplung. Akan tetapi dengan rata-rata penurunan yang tidak terlalu jauh (< 15%) dari biosolar maka minyak nyamplung memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar motor diesel pengganti biosolar. Penurunan daya dan torsi motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung adalah akibat dari penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar, karena nilai kalor dari minyak nyamplung lebih rendah 9.7% dibanding nilai kalor biosolar.. 44

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei sampai bulan Agustus 2010. Bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu, Departemen Teknologi Industri Pertanian, dan Bengkel

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN RANCANGAN

IV. PENDEKATAN RANCANGAN IV. PENDEKATAN RANCANGAN A. Kriteria Perancangan Pada prinsipnya suatu proses perancangan terdiri dari beberapa tahap atau proses sehingga menghasilkan suatu desain atau prototipe produk yang sesuai dengan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUKURAN VISKOSITAS Viskositas merupakan nilai kekentalan suatu fluida. Fluida yang kental menandakan nilai viskositas yang tinggi. Nilai viskositas ini berbanding terbalik

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN.. DYNAMOMETER TIPE REM CAKERAM HASIL RANCANGAN Dynamometer adalah alat untuk mengukur gaya dan torsi. Dengan torsi dan putaran yang dihasilkan sebuah mesin dapat dihitung kekuatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Sumber Daya Air Wageningen, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

Lebih terperinci

Rancang Bangun dan Uji Kinerja Dinamometer Tipe Rem Cakram

Rancang Bangun dan Uji Kinerja Dinamometer Tipe Rem Cakram Rancang Bangun dan Uji Kinerja Dinamometer Tipe Rem Cakram Desrial 1), Y. Aris Purwanto 1) dan Ahmad S. Hasibuan 1) 1) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, FATETA, IPB. Email: desrial@ipb.ac.id, Tlp.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

3.1. Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

3.1. Waktu dan Tempat Bahan dan Alat III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga bulan September 2011 bertempat di Bengkel Teknik Mesin Budidaya Pertanian, Leuwikopo dan lahan percobaan Departemen Teknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. berdasarkan prosedur yang telah di rencanakan sebelumnya. Dalam pengambilan data

III. METODOLOGI PENELITIAN. berdasarkan prosedur yang telah di rencanakan sebelumnya. Dalam pengambilan data 26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Instalasi Pengujian Pengujian dengan memanfaatkan penurunan temperatur sisa gas buang pada knalpot di motor bakar dengan pendinginan luar menggunakan beberapa alat dan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1.Analisa Diameter Rata-rata Dari hasil simulasi yang telah dilakukan menghasilkan proses atomisasi yang terjadi menunjukan perbandingan ukuran diameter droplet rata-rata

Lebih terperinci

Bagaimana perbandingan unjuk kerja motor diesel bahan bakar minyak (solar) dengan dual fuel motor diesel bahan bakar minyak (solar) dan CNG?

Bagaimana perbandingan unjuk kerja motor diesel bahan bakar minyak (solar) dengan dual fuel motor diesel bahan bakar minyak (solar) dan CNG? PERUMUSAN MASALAH Masalah yang akan dipecahkan dalam studi ini adalah : Bagaimana perbandingan unjuk kerja motor diesel bahan bakar minyak (solar) dengan dual fuel motor diesel bahan bakar minyak (solar)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Motor Bakar Motor bakar adalah motor penggerak mula yang pada prinsipnya adalah sebuah alat yang mengubah energi kimia menjadi energi panas dan diubah ke energi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak Dari penghitungan yang telah dilakukan pada Lampiran 3, diketahui bahwa untuk menurunkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan akan alat transportasi seperti kendaraan bermotor kian hari kian

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan akan alat transportasi seperti kendaraan bermotor kian hari kian 1 I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kebutuhan akan alat transportasi seperti kendaraan bermotor kian hari kian meningkat. Berbanding lurus dengan hal tersebut, penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. : Motor Bensin 4 langkah, 1 silinder Volume Langkah Torak : 199,6 cm3

III. METODE PENELITIAN. : Motor Bensin 4 langkah, 1 silinder Volume Langkah Torak : 199,6 cm3 III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Dalam pengambilan data untuk laporan ini penulis menggunakan mesin motor baker 4 langkah dengan spesifikasi sebagai berikut : Merek/ Type : Tecumseh TD110 Jenis

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK KELAPA UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG. Oleh: MIFTAHUDDIN F

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK KELAPA UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG. Oleh: MIFTAHUDDIN F RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK KELAPA UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG Oleh: MIFTAHUDDIN F14104109 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDEKATAN RANCANGAN Kriteria Perancangan Rancangan Fungsional Fungsi Penyaluran Daya

PENDEKATAN RANCANGAN Kriteria Perancangan Rancangan Fungsional Fungsi Penyaluran Daya IV. PENDEKATAN RANCANGAN 4.1. Kriteria Perancangan Perancangan dynamometer tipe rem cakeram pada penelitian ini bertujuan untuk mengukur torsi dari poros out-put suatu penggerak mula dimana besaran ini

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan dimulai dari proses pengambilan data dan pengumpulan data.data yang dikumpulkan meliputi data spesifikasi obyek penilitian dan hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Setelah dilakukan pengujian, maka didapatkan data yang merupakan parameterparameter

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Setelah dilakukan pengujian, maka didapatkan data yang merupakan parameterparameter 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Setelah dilakukan pengujian, maka didapatkan data yang merupakan parameterparameter dari daya engkol dan laju pemakaian bahan bakar spesifik yang kemudian digunakan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGARUH TEMPERATUR SOLAR DAN BIODIESEL TERHADAP PERFORMA MESIN DIESEL DIRECT INJECTION PUTARAN KONSTAN

PERBANDINGAN PENGARUH TEMPERATUR SOLAR DAN BIODIESEL TERHADAP PERFORMA MESIN DIESEL DIRECT INJECTION PUTARAN KONSTAN PERBANDINGAN PENGARUH TEMPERATUR SOLAR DAN BIODIESEL TERHADAP PERFORMA MESIN DIESEL DIRECT INJECTION PUTARAN KONSTAN 1 ) 2) 2) Murni, Berkah Fajar, Tony Suryo 1). Mahasiswa Magister Teknik Mesin Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Motor Bakar. Motor bakar torak merupakan internal combustion engine, yaitu mesin yang fluida kerjanya dipanaskan dengan pembakaran bahan bakar di ruang mesin tersebut. Fluida

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN Perbedaan Sebelum di Development. dan tenaga yang di hasilkan kurang sempurna. menurunkan performa mesin.

BAB IV PEMBAHASAN Perbedaan Sebelum di Development. dan tenaga yang di hasilkan kurang sempurna. menurunkan performa mesin. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Data Awal 4.1.1 Perbedaan Sebelum di Development Pada saat menggunakan Konfigurasi 4-3, setelah di lakukan dyno test hasilnya hanya 22,6 HP (Horse Power) pada RPM 5000 dan tenaga

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BAKAR SOLAR, BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX TERHADAP PRESTASI MOTOR DIESEL SILINDER TUNGGAL

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BAKAR SOLAR, BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX TERHADAP PRESTASI MOTOR DIESEL SILINDER TUNGGAL Jurnal Konversi Energi dan Manufaktur UNJ, Edisi terbit II Oktober 217 Terbit 64 halaman PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BAKAR SOLAR, BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX TERHADAP PRESTASI MOTOR DIESEL SILINDER TUNGGAL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Produksi Minyak Bintaro Kasar (Crude) Buah bintaro memiliki bentuk bulat dan berwarna hijau (Gambar 17a) dan ketika tua akan berwarna merah (Gambar 17b). Buah bintaro

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP. Laporan Tesis PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED Oleh : Yanatra NRP. 2309201015 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. HM. Rachimoellah, Dipl. EST

Lebih terperinci

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA 3.1 Metode Pengujian 3.1.1 Pengujian Dual Fuel Proses pembakaran di dalam ruang silinder pada motor diesel menggunakan sistem injeksi langsung.

Lebih terperinci

Tabel 2.3 Daftar Faktor Pengotoran Normal ( Frank Kreit )

Tabel 2.3 Daftar Faktor Pengotoran Normal ( Frank Kreit ) h i = Konduktansi permukaan rata-rata fluida sebelah dalam pipa (Btu/h ft 2 F) R o = Tahanan pengotoran pada sebelah luar pipa (Btu/h ft 2 F) R i = Tahanan pengotoran pada sebelah dalam pipa (Btu/h ft

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Motor diesel 4 langkah satu silinder. digunakan adalah sebagai berikut: : Motor Diesel, 1 silinder

III. METODOLOGI PENELITIAN. a. Motor diesel 4 langkah satu silinder. digunakan adalah sebagai berikut: : Motor Diesel, 1 silinder III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian a. Motor diesel 4 langkah satu silinder Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah motor disel 4-langkah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah 40 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian a. Motor diesel 4 langkah satu silinder Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah Motor diesel 4 langkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BBM petrodiesel seperti Automatic Diesel Oil (ADO) atau solar merupakan

BAB I PENDAHULUAN. BBM petrodiesel seperti Automatic Diesel Oil (ADO) atau solar merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BBM petrodiesel seperti Automatic Diesel Oil (ADO) atau solar merupakan sumber energi yang dikonsumsi paling besar di Indonesia. Konsumsi bahan bakar solar terus meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Solar Menurut Syarifuddin (2012), solar sebagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi yang diproses di tempat pengilangan minyak dan dipisah-pisahkan hasilnya berdasarkan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN RADIATOR PADA SISTEM PENDINGIN MOTOR DIESEL STASIONER SATU SILINDER TERHADAP LAJU KENAIKAN SUHU AIR PENDINGIN

PENGARUH PENGGUNAAN RADIATOR PADA SISTEM PENDINGIN MOTOR DIESEL STASIONER SATU SILINDER TERHADAP LAJU KENAIKAN SUHU AIR PENDINGIN PENGARUH PENGGUNAAN RADIATOR PADA SISTEM PENDINGIN MOTOR DIESEL STASIONER SATU SILINDER TERHADAP LAJU KENAIKAN SUHU AIR PENDINGIN Eko Surjadi Sfaf Pengajar, Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

II. TEORI DASAR. kelompokaan menjadi dua jenis pembakaran yaitu pembakaran dalam (Internal

II. TEORI DASAR. kelompokaan menjadi dua jenis pembakaran yaitu pembakaran dalam (Internal II. TEORI DASAR A. Motor Bakar Motor bakar adalah suatu pesawat kalor yang mengubah energi panas menjadi energi mekanis untuk melakukan kerja. Mesin kalor secara garis besar di kelompokaan menjadi dua

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK INJEKSI DAN KINERJA MESIN DIESEL SATU SILINDER KETIKA MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX

KARAKTERISTIK INJEKSI DAN KINERJA MESIN DIESEL SATU SILINDER KETIKA MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX KARAKTERISTIK INJEKSI DAN KINERJA MESIN DIESEL SATU SILINDER KETIKA MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX Ahmad Thoyib Program Study Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. : Motor Diesel, 1 silinder

III. METODOLOGI PENELITIAN. : Motor Diesel, 1 silinder III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Pengujian 1. Motor diesel 4 langkah satu silinder Dalam Pengambilan data ini menggunakan motor diesel empat langkah satu silinder dengan spesifikasi sebagai

Lebih terperinci

PEMINAR PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT. Oleh: Ir. Harman, M.T.

PEMINAR PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT. Oleh: Ir. Harman, M.T. PEMINAR PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT Oleh: Ir. Harman, M.T. AKADEMI TEKNIK SOROAKO 14 Desember 2016 Publikasi karya Ilmiah Biodata Penulis Nama : Ir. Harman, M.T. NIDN : 0928087502 Tempat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI MOTOR DIESEL PERAWATAN MESIN DIESEL 1 SILINDER

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI MOTOR DIESEL PERAWATAN MESIN DIESEL 1 SILINDER LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI MOTOR DIESEL PERAWATAN MESIN DIESEL 1 SILINDER Di susun oleh : Cahya Hurip B.W 11504244016 Pendidikan Teknik Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta 2012 Dasar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dimulai dari proses pengambilan dan pengumpulan data meliputi durasi standard camshaft dan after market camshaft, lift standard camshaft dan after market

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK 3.1. Flowchart Pengolahan dan Pengujian Minyak Biji Jarak 3.2. Proses Pengolahan Minyak Biji Jarak Proses pengolahan minyak biji jarak dari biji buah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kalibrasi Load Cell & Instrumen Hasil kalibrasi yang telah dilakukan untuk pengukuran jarak tempuh dengan roda bantu kelima berjalan baik dan didapatkan data yang sesuai, sedangkan

Lebih terperinci

V. HASIL UJI UNJUK KERJA

V. HASIL UJI UNJUK KERJA V. HASIL UJI UNJUK KERJA A. KAPASITAS ALAT PEMBAKAR SAMPAH (INCINERATOR) Pada uji unjuk kerja dilakukan 4 percobaan untuk melihat kinerja dari alat pembakar sampah yang telah didesain. Dalam percobaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN 4.1. Hot Water Heater Pemanasan bahan bakar dibagi menjadi dua cara, pemanasan yang di ambil dari Sistem pendinginan mesin yaitu radiator, panasnya di ambil dari saluran

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 28 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian a. Motor diesel 4 langkah satu silinder Dalam penelitian ini, mesin yang digunakan untuk pengujian adalah Motor diesel 4 langkah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Radiator Radiator memegang peranan penting dalam mesin otomotif (misal mobil). Radiator berfungsi untuk mendinginkan mesin. Pembakaran bahan bakar dalam silinder mesin menyalurkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian 1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian Pada penelitian ini, bahan yang digunakan dalam proses penelitian diantaranya adalah : 3.1.1. Mesin Diesel Mesin diesel dengan merk JIANGDONG R180N 4 langkah

Lebih terperinci

MODUL POMPA AIR IRIGASI (Irrigation Pump)

MODUL POMPA AIR IRIGASI (Irrigation Pump) MODUL POMPA AIR IRIGASI (Irrigation Pump) Diklat Teknis Kedelai Bagi Penyuluh Dalam Rangka Upaya Khusus (UPSUS) Peningkatan Produksi Kedelai Pertanian dan BABINSA KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN PENYULUHAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN MESIN BENDING HEAT EXCHANGER VERTICAL PIPA TEMBAGA 3/8 IN

PERENCANAAN MESIN BENDING HEAT EXCHANGER VERTICAL PIPA TEMBAGA 3/8 IN PERENCANAAN MESIN BENDING HEAT EXCHANGER VERTICAL PIPA TEMBAGA 3/8 IN Dani Prabowo Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta E-mail: daniprabowo022@gmail.com Abstrak Perencanaan ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 RANCANGAN OBSTACLE Pola kecepatan dan jenis aliran di dalam reaktor kolom gelembung sangat berpengaruh terhadap laju reaksi pembentukan biodiesel. Kecepatan aliran yang tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Setelah melakukan pengujian maka diperoleh beberapa data, diantaranya adalah data pengujian penghembusan udara bertekanan, pengujian kekerasan Micro Vickers dan pengujian

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 1 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins Pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup Edo Wirapraja, Bambang

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR BAHAN BAKAR BIO-SOLAR DAN SOLAR DEX TERHADAP UNJUK KERJA MOTOR DIESEL PUTARAN KONSTAN

PENGARUH TEMPERATUR BAHAN BAKAR BIO-SOLAR DAN SOLAR DEX TERHADAP UNJUK KERJA MOTOR DIESEL PUTARAN KONSTAN Pengaruh Temperatur Bahan Bakar Bio-Solar dan Solar Dex (Nugrah R. Prabowo) PENGARUH TEMPERATUR BAHAN BAKAR BIO-SOLAR DAN SOLAR DEX TERHADAP UNJUK KERJA MOTOR DIESEL PUTARAN KONSTAN Nugrah Rekto Prabowo

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan)

Lampiran 1 Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan) LAMPIRAN 74 Lampiran 1 Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan) No. Suhu ( o C) Densitas (g/ml) 1 30 0.915 2 50 0.911 3 70 0.905 4 90 0.896 5 110 0.890 Lampiran

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Mesin diesel pertama kali ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang berkebangsaan

BAB II TEORI DASAR. Mesin diesel pertama kali ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang berkebangsaan BAB II TEORI DASAR 2.1. Sejarah Mesin Diesel Mesin diesel pertama kali ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Rudolf Diesel. Mesin diesel sering juga disebut sebagai motor

Lebih terperinci

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor. 7 Gambar Sistem kalibrasi dengan satu sensor. Besarnya debit aliran diukur dengan menggunakan wadah ukur. Wadah ukur tersebut di tempatkan pada tempat keluarnya aliran yang kemudian diukur volumenya terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi Tulen yang berperan dalam proses pengeringan biji kopi untuk menghasilkan kopi bubuk TULEN. Biji

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil pengujian Pengaruh Perubahan Temperatur terhadap Viskositas Oli

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil pengujian Pengaruh Perubahan Temperatur terhadap Viskositas Oli Viskositas (mpa.s) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil pengujian 4.1.1 Pengaruh Perubahan Temperatur terhadap Viskositas Oli Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui viskositas sampel oli, dan 3100 perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuatan mesin pada awalnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Perpindahan Panas Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3.2

Lebih terperinci

Rumus Minimal. Debit Q = V/t Q = Av

Rumus Minimal. Debit Q = V/t Q = Av Contoh Soal dan tentang Fluida Dinamis, Materi Fisika kelas 2 SMA. Mencakup debit, persamaan kontinuitas, Hukum Bernoulli dan Toricelli dan gaya angkat pada sayap pesawat. Rumus Minimal Debit Q = V/t Q

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada bahan bakar minyak fosil (konvensional) khususnya pada transportasi dan

BAB I PENDAHULUAN. pada bahan bakar minyak fosil (konvensional) khususnya pada transportasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi utama yang digunakan diberbagai negara masih tergantung pada bahan bakar minyak fosil (konvensional) khususnya pada transportasi dan generator pembangkit

Lebih terperinci

Nugrah Rekto P 1, Eka Bagus Syahrudin 2 1,2

Nugrah Rekto P 1, Eka Bagus Syahrudin 2 1,2 Analisa Pengaruh Penggunaan Campuran Bahan Bakar Solar Dengan Minyak Goreng Bekas Terhadap Unjuk Kerja Motor Diesel Nugrah Rekto P 1, Eka Bagus Syahrudin 2 1,2 Teknik Mesin STT Wiworotomo Purwokerto, Jl.

Lebih terperinci

Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS

Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS ANDITYA YUDISTIRA 2107100124 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. H D Sungkono K, M.Eng.Sc Kemajuan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Perhitungan Daya Motor 4.1.1 Torsi pada poros (T 1 ) T3 T2 T1 Torsi pada poros dengan beban teh 10 kg Torsi pada poros tanpa beban - Massa poros; IV-1 Momen inersia pada poros;

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Turbin Cross Flow Tanpa Sudu Pengarah Pengujian turbin angin tanpa sudu pengarah dijadikan sebagai dasar untuk membandingkan efisiensi

Lebih terperinci

Fahmi Wirawan NRP Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono K, M. Eng. Sc

Fahmi Wirawan NRP Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono K, M. Eng. Sc Fahmi Wirawan NRP 2108100012 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono K, M. Eng. Sc Latar Belakang Menipisnya bahan bakar Kebutuhan bahan bakar yang banyak Salah satu solusi meningkatkan effisiensi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL 3.1 DESKRIPSI PERALATAN PENGUJIAN. Peralatan pengujian yang dipergunakan dalam menguji torsi dan daya roda sepeda motor Honda Karisma secara garis besar dapat digambarkan

Lebih terperinci

MESIN DIESEL 2 TAK OLEH: DEKANITA ESTRIE PAKSI MUHAMMAD SAYID D T REIGINA ZHAZHA A

MESIN DIESEL 2 TAK OLEH: DEKANITA ESTRIE PAKSI MUHAMMAD SAYID D T REIGINA ZHAZHA A MESIN DIESEL 2 TAK OLEH: DEKANITA ESTRIE PAKSI 2711100129 MUHAMMAD SAYID D T 2711100132 REIGINA ZHAZHA A 2711100136 PENGERTIAN Mesin dua tak adalah mesin pembakaran dalam yang dalam satu siklus pembakaran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Peralatan Pengujian Pembuatan alat penukar kalor ini di,aksudkan untuk pengambilan data pengujian pada alat penukar kalor flat plate, dengan fluida air panas dan

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA. 4.1 Pengujian Torsi Mesin Motor Supra-X 125 cc

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA. 4.1 Pengujian Torsi Mesin Motor Supra-X 125 cc BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengujian Torsi Mesin Motor Supra-X 125 cc Untuk mendapatkan hasil torsi motor dilakukan pengujian menggunakan metode dynotest atau dynamometer. Setelah dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor diesel empat

III. METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor diesel empat III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Pengujian 1. Spesifikasi Motor Diesel 4-Langkah Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor diesel empat langkah satu silinder dengan spesifikasi

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KINERJA MOTOR DIESEL DENGAN SISTEM PEMANASAN BAHAN BAKAR

OPTIMALISASI KINERJA MOTOR DIESEL DENGAN SISTEM PEMANASAN BAHAN BAKAR OPTIMALISASI KINERJA MOTOR DIESEL DENGAN SISTEM PEMANASAN BAHAN BAKAR Nana Supriyana Program Studi Teknik Mesin Sekolah Tinggi Teknik Wiworotomo Purwokerto Email: Nana.sttw@gmail.com Taufiq Hidayat Fakultas

Lebih terperinci

PELUANG DAN KENDALA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR NABATI PADA MESIN-MESIN PERTANIAN

PELUANG DAN KENDALA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR NABATI PADA MESIN-MESIN PERTANIAN PELUANG DAN KENDALA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR NABATI PADA MESIN-MESIN PERTANIAN PENDAHULUAN Saat ini terdapat sejumlah masalah yang berkenaan dengan energi nasional khususnya di Indonesia, yaitu adanya kecenderungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Kinerja Mesin Diesel Hasil penelitian dan pembahasan dimulai dari proses pengambilan data dan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan meliputi

Lebih terperinci

DESAIN SISTEM PENGATURAN UDARA ALAT PENGERING IKAN TERI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI IKAN TERI NELAYAN HERYONO HENDHI SAPUTRO

DESAIN SISTEM PENGATURAN UDARA ALAT PENGERING IKAN TERI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI IKAN TERI NELAYAN HERYONO HENDHI SAPUTRO DESAIN SISTEM PENGATURAN UDARA ALAT PENGERING IKAN TERI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI IKAN TERI NELAYAN HERYONO HENDHI SAPUTRO 4205 100 009 TUJUAN PENELITIAN Membuat desain alat penukar panas yang optimal

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA DAYA POROS MOTOR DIESEL BERBAHAN BAKAR MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN WATER BRAKE DYNAMOMETER YANG SUDAH DIMODIFIKASI

EVALUASI KINERJA DAYA POROS MOTOR DIESEL BERBAHAN BAKAR MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN WATER BRAKE DYNAMOMETER YANG SUDAH DIMODIFIKASI EVALUASI KINERJA DAYA POROS MOTOR DIESEL BERBAHAN BAKAR MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN WATER BRAKE DYNAMOMETER YANG SUDAH DIMODIFIKASI Oleh : PRAMUDITYA AZIZ FATIHA F14053142 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. uji yang digunakan adalah sebagai berikut.

III. METODOLOGI PENELITIAN. uji yang digunakan adalah sebagai berikut. III. METODOLOGI PENELITIAN 3. Alat dan Bahan Pengujian. Motor bensin 4-langkah 50 cc Dalam penelitian ini, mesin uji yang digunakan adalah motor bensin 4- langkah 50 cc, dengan merk Yamaha Vixion. Adapun

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI PENYETELAN CELAH KATUP MASUK TERHADAP EFISIENSI VOLUMETRIK RATA - RATA PADA MOTOR DIESEL ISUZU PANTHER C 223 T

PENGARUH VARIASI PENYETELAN CELAH KATUP MASUK TERHADAP EFISIENSI VOLUMETRIK RATA - RATA PADA MOTOR DIESEL ISUZU PANTHER C 223 T PENGARUH VARIASI PENYETELAN CELAH KATUP MASUK TERHADAP EFISIENSI VOLUMETRIK RATA - RATA PADA MOTOR DIESEL ISUZU PANTHER C 223 T Sarif Sampurno Alumni Jurusan Teknik Mesin, FT, Universitas Negeri Semarang

Lebih terperinci

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy. SOAL HIDRO 1. Saluran drainase berbentuk empat persegi panjang dengan kemiringan dasar saluran 0,015, mempunyai kedalaman air 0,45 meter dan lebar dasar saluran 0,50 meter, koefisien kekasaran Manning

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL

BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL BAB III METODOLOGI KAJI EKSPERIMENTAL 3.1 Deskripsi Peralatan Pengujian Peralatan pengujian yang dipergunakan dalam menguji torsi dan daya roda sepeda motor Yamaha Crypton secara garis besar dapat digambarkan

Lebih terperinci

PENERAPAN KONSEP FLUIDA PADA MESIN PERKAKAS

PENERAPAN KONSEP FLUIDA PADA MESIN PERKAKAS PENERAPAN KONSEP FLUIDA PADA MESIN PERKAKAS 1. Dongkrak Hidrolik Dongkrak hidrolik merupakan salah satu aplikasi sederhana dari Hukum Pascal. Berikut ini prinsip kerja dongkrak hidrolik. Saat pengisap

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI

METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI METODE PENGUJIAN TENTANG ANALISIS SARINGAN AGREGAT HALUS DAN KASAR SNI 03-1968-1990 RUANG LINGKUP : Metode pengujian ini mencakup jumlah dan jenis-jenis tanah baik agregat halus maupun agregat kasar. RINGKASAN

Lebih terperinci

Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT. ANALISIS KONSUMSI BAHAN BAKAR BIODIESEL B25 BERASAL DARI MINYAK JELANTAH DENGAN KATALIS NaOH 0.5% TERHADAP SOLAR PADA MESIN DIESEL TIPE RD 65 T Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Apabila meninjau mesin apa saja, pada umumnya adalah suatu pesawat yang dapat mengubah bentuk energi tertentu menjadi kerja mekanik. Misalnya mesin listrik,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KONVEKSI PADA ZAT CAIR

LAPORAN PRAKTIKUM KONVEKSI PADA ZAT CAIR LAPORAN PRAKTIKUM KONVEKSI PADA ZAT CAIR I. TUJUAN PERCOBAAN Menyelidiki peristiwa konveksi di dalam zat cair. II. ALAT DAN BAHAN Pembakar Spritus Statif 4 buah Korek api Tabung konveksi Serbuk teh Air

Lebih terperinci

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan Mengingat lahan tebu yang cukup luas kegiatan pencacahan serasah tebu hanya bisa dilakukan dengan sistem mekanisasi. Mesin pencacah

Lebih terperinci

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-204 Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

Lebih terperinci

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT. SKRIPSI/TUGAS AKHIR APLIKASI BAHAN BAKAR BIODIESEL M20 DARI MINYAK JELANTAH DENGAN KATALIS 0,25% NaOH PADA MOTOR DIESEL S-111O Nama : Rifana NPM : 21407013 Jurusan Pembimbing : Teknik Mesin : Dr. Rr. Sri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. FPMIPA UPI, Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, dan

BAB III METODE PENELITIAN. FPMIPA UPI, Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboraturium Riset Kimia Lingkungan Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI, Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia

Lebih terperinci

BAB FLUIDA A. 150 N.

BAB FLUIDA A. 150 N. 1 BAB FLUIDA I. SOAL PILIHAN GANDA Jika tidak diketahui dalam soal, gunakan g = 10 m/s 2, tekanan atmosfer p 0 = 1,0 x 105 Pa, dan massa jenis air = 1.000 kg/m 3. dinyatakan dalam meter). Jika tekanan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGAJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN PERNYATAAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGAJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. HALAMAN PERNYATAAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGAJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH PEMANASAN AWAL BAHAN BAKAR SOLAR TERHADAP PERFORMA DAN KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA MESIN MOTOR DIESEL SATU SILINDER

ANALISA PENGARUH PEMANASAN AWAL BAHAN BAKAR SOLAR TERHADAP PERFORMA DAN KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA MESIN MOTOR DIESEL SATU SILINDER ANALISA PENGARUH PEMANASAN AWAL BAHAN BAKAR SOLAR TERHADAP PERFORMA DAN KONSUMSI BAHAN BAKAR PADA MESIN MOTOR DIESEL SATU SILINDER Imron Rosyadi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sultan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hasil Pengujian Perhitungan dan pembahasan dimulai dari proses pengambilan data. Data yang dikumpulkan meliputi hasil pengujian dan data tersebut diolah dengan perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Uji Kadar Aspal dalam Batuan Uji kadar aspal ini dilakukan dengan mekanisme seperti pada Gambar 4. berikut. Gambar 4. Diagram alir percobaan uji kadar aspal 2 Batuan aspal

Lebih terperinci

BAB III PEMERIKSAAN DAN PEMELIHARAAN PADA MESIN KOMPRESOR

BAB III PEMERIKSAAN DAN PEMELIHARAAN PADA MESIN KOMPRESOR BAB III PEMERIKSAAN DAN PEMELIHARAAN PADA MESIN KOMPRESOR 3.1 Pemeriksaan Pada Operasi Harian Operasional kompresor memerlukan adanya perawatan tiap harinya, perawatan tersebut antara lain: a. Sediakan

Lebih terperinci

contoh soal dan pembahasan fluida dinamis

contoh soal dan pembahasan fluida dinamis contoh soal dan pembahasan fluida dinamis Rumus Minimal Debit Q = V/t Q = Av Keterangan : Q = debit (m 3 /s) V = volume (m 3 ) t = waktu (s) A = luas penampang (m 2 ) v = kecepatan aliran (m/s) 1 liter

Lebih terperinci

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Spesifikasi Mesin Cetak Bakso Dibutuhkan mesin cetak bakso dengan kapasitas produksi 250 buah bakso per menit daya listriknya tidak lebih dari 3/4 HP dan ukuran baksonya

Lebih terperinci