JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : WISMAN GOKLAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL ILMIAH. Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : WISMAN GOKLAS"

Transkripsi

1 MEDEPLEGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 2442/PID.B/2011/PN-MDN) JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : WISMAN GOKLAS Departemen Hukum Pidana FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

2 MEDEP;EGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANNYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 2442/PID.B/2011/PN-MDN) JURNAL ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : WISMAN GOKLAS Departemen Hukum Pidana Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H NIP Editor Dr.Madiasa Ablizar, SH.M.S NIP FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

3 I PENDAHULUAN Penyertaan dalam Pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing, sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya. Menurut JE Sahetapy untuk memasukkan unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP harus dijelaskan peranan masing-masing dari tindak pidana tersebut. Pasal 55 menjeleskan masing-masing pelaku tindak pidana tersebut, maka akan dapat dilihat peranan dan kadar kejahatan yang dilakukan oleh masing-masing pelaku tindak pidana. Tanpa menguraikan peranan masing-masing sebagaimana yang dimaksud akan mengakibatkan dakwaan dan tuntutat menjadi kabur dan tidak jelas. 1 Jika dikaitkan dengan putusan nomor :2442/pid.B/2011/PN-MDN bahwa mereka yang melakukan tindak pidana (pleger) belum tertangkap/dpo sementara terdakwa Sun An Anlang diputus telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana. Menurut Van Hamel penyertaan adalah ajaran pertanggungjawaban atau pembagian pertanggungjawaban dalam hal suatu tindak pidana yang 2009, hal Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, Medan, USU Press,

4 menurut pengertian perundang-undangan, dapat dilaksanakan oleh seorang pelaku dengan tindakan secara sendiri. 2 Menurut Utrecht, pelajaran tentang turut serta (penyertaan) ini justru dibuat untuk menghukum mereka yang bukan melakukan (bukan pembuat). Pelajaran turut serta ini justru tidak dibuat untuk menghukum orang-orang yang perbuatannya memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. 3 Pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka (turut) bertanggung jawab atau dapat dituntut pertanggungjawaban mereka atas dilakukannya peristiwa pidana itu, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Penyertaan yaitu peristiwa dimana lebih dari satu orang melakukan suatu tindak pidana. Dalam hukum pidana, rincian tentang orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana, belum begitu lama dikenal. Dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada sipelaku saja, dan baru pada penghabiosan abad ke- 18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggung jawabkan dfan dikenakan hukuman. 4 Menurut Satochid, hubungan tiap-tiap peserta (orang-orang yang terlibat) dalam penyelesaian tindak pidana itu dapat berbentuk sebagai berikut: a. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik. 2 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.cit. hal 40 4 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Parsada, 2013, hal. 214

5 b. Mungkin seorang saja yang mempunyai kehendak dan merencanaka delik, akan tetapi delik itu tidak dilakukannya sendiri, bahkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan delik tersebut; c. Dapat pula terjadi, bahwa seorang saja yang melakukan delik, sedangkan orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik. Selanjutnya disebutkan, bahwa menurut doktrin para sarjana, deelneming menurut sifatnya dapat dibagi atas: a. Zelfstandige vormen van deelneming Dalam bentuk ini maka pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta dihargai sendiri-sendiri; b. Onzelfstandige vormen van deelneming Dalam onzelfstandige atau accessoire deelneming, pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain, artinya: apabila oleh peserta yang lain dilakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka peserta yang satu juga dapat dihukum. 5 Berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP dapat diketahui bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas : 1. Mereka yang melakukan tindak pidana (pleger) 2. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen pleger) 3. Mereka yang ikut serta melakukan tindak pidana (medepleger) 4. Mereka yang menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokker) 6 Teori ini akan membahas pada bentuk penyertaaan yang pertama yaitu mereka yang melakukan tindak pidana (pleger). Penulis juga akan membahas tentang penyertaan yang ketiga yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana (medepleger). Penyertaan ini dilakukan terhadap tindak pidana 5 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.cit. hal Ibid, hal 43

6 pembunuhan berencana yang akan membahas tentang dapatkah dipidananya medepleger tanpa dipidananya pleger dalam kasus tindak pidana pembunuhan berencana. Menurut kitab undang-undang hukum pidana Pasal 340 pembunuhan berencana ialah barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Direncanakan lebih dahulu artinya antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan nya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan. 7 Dikaitkan dengan kasus yang ada dimana terdakwa di putuskan dalam persidangan turut serta melakukan pembunuhan berencana yang mana pada dakwaan jaksa penuntut umum mengajukan terdakwa ke persidangan dengan tuduhan melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban Kho Wi To dan korban Dora halim. Pada dakwaan jaksa penuntut umum sudah terlihat keliru dalam menyusun pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa, dimana pada satu sisi disebut melakukan kemudian ditambah menyuruh melakukan lalu ditambah turut serta melakukan. Jika kita menafsirkan perkalimat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut maka akan menghasilkan tiga penafsiran yakni, yang pertama melakukan, artinya orangnya ikut langsung bekerja, yang kedua menyuruh melakukan yang artinya menyuruh orang lain untuk melakukan, dan yang ketiga ialah turut serta melakukan artinya ikut bersama-sama melakukan. Terkait ketentuan undang-undang bagi mereka yang melakukan tindak pidana atau bagi mereka yang terbukti melakukan penyertaan tindak pidana ialah pada Pasal 55 KUHP yang berbunyi (1) dihukum sebagai orang yang melakukan 7 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1993, hal. 241

7 peristiwa pidana, (1e) orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu, (2e) orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. 8 Dari uraian latar belakang di atas adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana? 2. Bagaimana pertanggung jawaban pelaku penyertaan tindak dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2442/Pid.B/2011/PN- MDN? 3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana? 8 Ibid. hal. 72

8 II METODE PENELITIAN 1. JENIS PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan penerapan peraturan atau undang-undang yang dilengkapi dengan studi kasus Data dan Sumber Data Sumber penelitian ini diambil melalui data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa data yang diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dibagi antara lain: a) Bahan hukum primer Bahan hukum primer ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia. Yang dalam penelitian ini bahan hukum primernya merupakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b) Bahan hukum sekunder Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, seperti mengumpulkan data dari library, literature. c) Bahan hukum tersier Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dimana peneliti mendapatkannya malalui berbagai jurnal maupun arsip-arsip penelitian. 2007, hal Bambang Sungguno, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

9 3.Teknik pengumpulan data Tehknik pengumpulan data tekhnik pengumpulan data lewat studi kepustakaan, dimana penulis memperoleh data dengan mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rieneka Cipta, 1996, hal. 59

10 III Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan tindak pidana Perbuatan pidana, Dalam hal perbuatan pidana, ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa belanda yaitu, straftbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna yang sama. 11 Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. Menurut Mulyatno istilah strafbaar feit ialah suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena perbuatan tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. Selain itu kata perbuatan lebih menunjukkan pada arti sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenernya dilarang), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenernya diharuskan oleh hukum). Berdasarkan rumusan yang ada maka delik atau (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: 12 1) Suatu perbuatan manusia; 2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; 3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesalahan, Setiap orang yang dianggap mengetahui atau mengerti akan adanya undang-undang serta peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, maka setiap orang yang mampu memberi pertanggungjawaban pidana, tidak dapat menggunakan alasan bahwa ia 11 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta, PT Pradnya Paramita, Hal Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012, Hal 48

11 tidak mengetahui akan adanya suatu peraturan atau perundangundangan dengan ancaman hukuman tentang perbuatan yang telah dilakukan. Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undangan, bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan untuk memperingan hukuman. Adalah suatu kejanggalan sebenernya untuk menyebut bahwa seseoirang mengerti akan adanya undang-undang, padahal orang itu sendiri memang sama sekali tidak mengerti dan bahkan hendak membuktikan bahwa dirinya buta huruf. Beberapa bentuk kesalahan: 13 a) Dolus Dalam bahasa belanda disebut Opzet dan dalam bahasa inggris intention yang dalam bahasa indonesia dapat diartikan sengaja atau kesengajaan pertama-tama perlu diketahui bahwa kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan opzet walaupun demikian, pengertian opzet ini sangat penting, oleh karena dijadikan unsur sebagian besar peristiwa pidana disamping peristiwa pidana yang punya unsur culpa. Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai berikut: opzet dapat dirumuskan sebgaimana melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. b) Culpa Arti kata culpa ini ialah kesalahan pada umumnya, akan tetapi, culpa didalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu: suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi. Timbul pertanyaan, sejauh manakah orang yang Hal Mustafa Abdullah, Ruben Achmad, Inti Sari Hukum Pidana, Jakarta, Yudhistira, 1983,

12 kurang berhati-hati dapat dipidana. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu dikemukakan bahwasanya berhati-hati itu mempunyai sifat yang bertingkat-tingkat 1) Tingkat pertama adalah sangat berhati-hati 2) Tingkat kedua adalah tidak begitu berhati-hati 3) Tingkat ketiga adalah kurang berhati-hati 4) Tingkat keempat adalah lebih kurang lagi berhatihati sehingga menjadi serampangan atau ugalugalan Kemampuan bertanggungjawab, Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-beaarheid, criminal reponsibility, criminal liability, pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terdapat tindakan yang dilakukan oleh itu. 14 Dalam konsep KUHP tahun , pada Pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara objektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuataannya. 15 Menurut Roslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roslan Saleh Menyatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis menyatakan, tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan, merupakan dasar dipidananya si pembuat Roscoe Pound introduction to the philosophy of law dalam Ramli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet.II, Bandung, Mandar Maju, 2000, Hal Djoko Prakoso, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.Edisi Pertama, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 1987, Hal Ibid Hal 78

13 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjojohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict dilihat dari segi masyarakat patut dicela. 17 Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1) harus adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur objektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi ada unsur subjektif. Sifat melawan hukum, Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Dalam bahasa jerman ini disebut Tatbestandsmaszig Tasbestand disini dalam arti sempit ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas Tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur rumusan delik. 18 B. Pertanggungjawaban pelaku penyertaan dalam putusan pengadilan negeri medan. Masalah penyertaan (deelneming) diatur dalam buku pertama tentang aturan umum, bab V Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUHP Ajaran tentang penyertaan ini lahir pada abad ke 18, dipelopori oleh Von Fauerbach yang menemukan suatu paham bahwa dalam mengusut tindak pidana harus dibedakan antara pelaku dan peserta. Yang dimaksud dengan pelaku adalah 17 Prodjohamidjojo,Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1997, Hal Kitab Pidana.blogspot.com/2012/04/Sifat-Melawan-Hukum.HTML Pada tanggal 6 february 2014 pukul Wib

14 orang atau orang-orang yang memegang peranan utama dalam pelaksanaan suatu tindak pidana sedangkan peserta adalah orang atau orang-orang yang ikut melakukan perbuatan yang pada dasarnya membantu atau melancarkan terlaksananya tindak pidana tersebut. Sebelum abad ke18, tidak dipersoalkan peranan seseorang dalam suatu tindak pidana itu, apakah ia itu sebagai pelaku atau hanya sebagai peserta. Dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui lebih dahulu siapa pelaku tindak pidana, sebab pada hakikatnya penyertaan dalam suatu tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan. Sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. Subjek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana adalah satu orang (Misalnya lihat pasal 338 dan 362 KUHP). Kata barang siapa yang terdapat didalam ketentuan pasal 338 dan 362 KUHP itu merujuk pada satu orang, bukan banyak orang, jika terjadi suatu peristiwa pembunuhan dimana A membunuh B dengan sebuah pisau, sedangkan C yang hanya memegang tangan B agar B tidak melawan tidaklah mengakibatkan kematian pada B, tetapi B mempunyai andil dalam kelancaran peristiwa pembunuhan ini. Dalam hal ini jika hanya didasarkan pada rumusan Pasal 338 KUHP saja maka B tidak dapat dipidana atas keterlibatannya dalam peristiwa pembunuhan tersebut, karena apa yang dilakukan oleh B itu tidak memenuhi unsur dari tindak pidana pembunuhan ( pasal 338 KUHP). Agar C dapat dipidana harus ada ketentuan lain yang mengatur tentang hal ini. Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diberikan klasifikasi tentang siapa orang yang dianggap sebagai pelaku dan pembantu dalam suatu tindak pidana. Ternyata didalam pasal tersebut yang dianggap sebagai pelaku bukan saja mereka yang

15 memenuhi unsur suatu kejahatan, akan tetapi juga mereka yang terlibat dalam tindak pidana itu. Putusan, a. 1. Menyatakan terdakwa Sun An Anlang alian Anang alia Ayong terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana; 2. Menghukum Terdakwa Sun An Anlang alias Anang alias Ayong oleh karena itu dengan pidana penjara selama seumur hidup; 3. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan; 4. Menetapkan barang bukti: a) 20 (dua puluh) buah selongsong kal 9mm, 7(tujuh) buah selongsong kal 45, 10 (sepuluh) buah serpihan proyektil, 3(tiga) buah serpihan proyektil yang ditemukan di RSU Gleni Internasional Hospital yang diserahkan oleh dokter. b) Proyektil logam warna putih ukuran panjang 1cm diameter 0,7, proyektil logam warna kuning ukuran logam tidak beraturan diameter 0,9cm, serpihan logam warna kuning ukuran panjang tidak beraturan diameter 0,9cm, proyektil logam warna putih ukuran panjang 1cm diameter 0,9 cm, proyektil logam warna kuning ukuran panjang 1,5 cm, serpihan logam warna kuning ukuran panjang tidak beraturan diameter 0,9 cm, serpihan logam warna kuning ukuran panjang tidak beraturan diameter 0,9 cm c) 3 (tiga) buah helm warna hitam, 1 (satu) helm warna abu-abu d) 1(satu) buah cd, 10(sepuluh) buah disket, 1 (satu) lembar kertas bukti sim card dari kartu dengan nomor , 4 (empat) unit hp antara lain 2 (dua) nokia, 1 (satu) unit samsung lipat dan 1 (satu) unit motorola, 1 (satu) kotak hp nokia tipe 6300 e) 1 (satu) unit hand phone merek nokia tipe 1616 sim card

16 f) 1 (satu) unit hp nokia tipe 1661 sim card , 1 (satu) unit handphone nokia tipe c-5 sim card , 1 (satu) unit handphone nokia tipe 1616 sim card g) 1 (satu) bauh celana panjang milik korban Kho Wi to berwarna hitam, 1 (satu) buah celana dalam milik korban Kho Wi To, 1 (satu) buah baju milik korban Dora Halim, 1 (satu) buah celana dalam milik korban Dora Halim; 1. Dirampas untuk dimusnahkan a. 1 (satu) unit mobil captiva warna hitam Bk 333 To dikembalikan kepada yang berhak yakni saksi sarwo pranoto b. 1 (satu) unit mobil merk Toyota / Kijang Innova BK 1640 KP, 1 (satu) lembar surat pengganti STNK Mobil BK 1640 KP an. PT. Serasi Auto Raya, 1(satu) lembar SKPD mobil No. Pol BK 1640 KP an PT. Serasi Auto Raya dikembalikan kepada yang berhak yakni Ibnu Fandika, c. 1(satu) mobil Xenia warna hitam BK 1589 ZE dikembalikan kepada saksi Julianto d. 1(satu) unit mobil Daihatsu Xenia warna hitam BK 1029 GN 2. Dikembalikan kepada yang berhak a. 1(satu) lembar surat Invoice sewa kendaraan berupa 1 (satu) unit mobil merk Toyota/Kijang Innova BK 1640 KP; b. 2 (dua) lembar bon / faktur tanggal 14 Maret 2011 dan tanggal 15 Maret 2011 ; c. 9 (sembilan) lembar bill tunggakan sewa kamar nomor 2921 tanggal 12 Maret 2011 s/d tanggal 5 April 2011 dan kamar 2802 tanggal 31 Maret 2011 s/d 4 April 2011 di Hotel JW. Marriot Jl. Putri Hijau No. 10 Medan, 1 (satu) lembar formulir regestrasi card (serah terima kunci kamar 2921 dari Hotel JW. Marriot Medan kepada tersangka Sun An Lang als Aniang als Ayong), 1 (satu) lembar formulir regestrasi card (serah terima kunci kamar 2802

17 dari pihak Hotel JW. Marriot Medan kepada tersangka Ang Ho), 2 (dua) lembar daftar tamu (A 120 Guess INH-By room) kamar 2921 dan kamar 2802 an. Tersangka Sun An Lang als Aniang als A yong ; d. 1 (satu) lembar surat konfirmasi transaksi pembayaran sewa kendaraan 1( satu) unitmobil merk Toyota / Kijang Innova BK 1640 KP warna silver metalik Tahun 2011 an. PT. Serasi Auto Raya ; e. 1 (satu) buah berkas mengenai keterangan informasi pada CDR atau (call data record0 dari PT. Telkomsel Seluler ; f. 1 (satu) lembar potongan kertas bukti transfer melalui BCA dari Heritan ke Tjiauw siang sebesar Rp ,- (sembila juta rupiah), 1 (satu) lembar catatan atas nama Halim Winata, 1 (satu) buah buku catatan an. Halim Winata, 1 (satu) buah catatan steno notes. Terlampir dalam berkas perkara 5. Menyatakan terdakwa SUN AN ANLANG alias ANANG alias AYONG membayar biaya perkara Rp ,- (lima ribu rupiah). C. Pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan tindak pidana peembunuhan berencana. Pembuktian, Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

18 dengan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman sesuai Pasal 191 (1) KUHAP yang berbunyi : jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatanya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 19 Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184, terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, yang sesuai dengan pasal 193 (1) KUHAP yang berbunyi: jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai serta mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut pasal 184 KUHAP. Polarisasi kegiatan pembuktian apabila ditarik benang merahnya secara lebih luas akan bermuara pada demensi hukum pembuktian didalamnya. Dikaji dari perspektif hukum acara pidana hukum pembuktian ada, lahir, tumbuh dan berkembang dalam rangka menarik suatu konklusi bagi hakim didepan sidang pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti ataukah tidak melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum dalam suarat dakwaannya, dan akhirnya dituangkan hakim dalam rangka penjatuhan pidana kepada terdakwa. Penjatuhan pidana oleh hakim melalui demensi hukum pembuktian ini secara umum berorentasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP. 20 Uraian pembuktian ini, kita akan membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah pembuktian, seperti apa yang dimaksud dengan pembuktian, sistem pembuktian, pembebanan pembuktian, dan kekuatan 19 Alfitra, Hukum Pembuktian, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2012, hal Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Persfektif, Teoritis dan Praktek, Bandung, PT. Alumni, 2008, hlm. 95

19 pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang diatur oleh undangundang. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana, Sistem pembuktian perkara pidana menganut prinsip bahwa yang harus dibuktikan adalah ditemukannya kebenaran materiil. Maksudnya adalah agar rangkaian setiap kejadian dan fakta dalam perkara pidana, haruslah dapat dibenarkan menurut kejadian atau peristiwa itu sendiri, apa adanya secara objektif impersonal. Material objektif artinya, bahwa kebenaran itu bukan sekedar bentuk-bentuk peristiwa itu saja secara formal (sebagaimana dalam pembuktian perkara perdata). Dalam perkara pidana harus dapat diungkapkan juga mengenai kebenaran substansi, isi, hakekat, nature, dan sifat dari peristiwa atau kejadian itu. Materiil impersonal, artinya isi kebenaran itu tidak tergantung kepada siapa/orang yang mengungkapkannya. Fakta itu benar karena memang begitulah adanya, kebenaran itu muncul dan ditemukan setelah peristiwa diketahui terbukti. Bukan sebaliknya, kebenaran itu sudah dirumuskan lebih dahulu dalam pikiran menurut imajinasi perumus, lalu untuk itu dibentuk premis-premis yang membuktikan pikiran si perumus itu. Itu lazim dinamakan rekayasa kebenaran, yang seharusnya peristiwa dan kejadian itu lebih dahulu ada sebagai fakta, barulah sesudah itu pikiran dirumuskan untuk menimbang penilaian terhadap keterbuktian fakta itu. Sudah tentu, prinsip pembuktian ini akan menjadi rumit dan sulit karena hal yang akan dibuktikan itu merupakan peristiwa atau kejadian yang sudah berlalu. 21 Betapa tidak mudah untuk membuktikan kebenaran putusan hakim, di dalam peradaban hukum modern dikenal adanya tiga teori sistem pembuktian. Ketiga teori itu bukan berarti bisa dipilih begitu saja, seperti memilih barang belanja di pasar menurut selera peminat dan kemampuan daya beli, tetapi teori yang satu pernah diterapkan oleh masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu, lalu dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, kemudian disadari teori itu mengandung kelemahan atau kekurangan sehingga dikembangkan lagi teori Nikolas Simanjutak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta, 2009, hal.

20 selanjutnya yang lebih baik, demikian seterusnya teori yang satu melengkapi atau memperbaiki yang lama, seraya ada bagian dari yang lama tetap bisa digunakan. Ketiga teori sistem pembuktian itu bisa diketahui sebagaimana berikut ini. Kedudukan keyakinan hakim dalam memutus perkara tindak pidana, Keyakinan hakim sebagai instrument yang digunakan menentukan putusan pengadilan, nyata sungguh tidak sederhana, pun bagi penganut mazhab pitivistik yang mendasarkan segala keyakinan itu hanya kepada yang telah diautur kedalam undang-undang saja. Seperti disebut diatas tadi, tidak semua hal bisa diselesaikan dengan undang-undang sebagai hukum tertulis, lalu yang menjadi soal utama ialah dimana, apa, dan bagaimana itu keyakinan hakim. Sebelum membahas hal tersebut lebih jauh, patut dicermati juga sering adanya salah kaprah dengan menyatakan, misalnya, pembuktian itu sudah berdasarkan hati nurani atau alat bukti hukum itu benar, tetapi hati nurani berkeyakinan lain atau juga pembuktian hukum itu tidak bernurani, dan atau ungkapan kalimat yang bernada serupa. Singkatnya ungkapan seperti tersebut dapat dikatakan salah kaprah karena tidak teknis yuridis, atau bisa dikatakan juga wacana tesebut tidak berada dalam wawasan pemahaamn hukum. Namun tidak bisa disederhanakan begitu saja menjadi yakni karena itu tidak perlu digubris oleh para ahli dan praktisi hukum, padahal ada esensi makna yang bisa ditangkap dari nuansa ungkapan verbal itu, antara lain perlu diluruskan atau rektifikasi bahwa dalam wawasan teknis yuridis, keyakinan hati nurani itu bukanlah alat bukti hukum, tetapi memang hati nurani menjadi lokasi keyakinan untuk digunakan sebagai instrumen dalam menentukan kesimpulan keterbuktian hukum. Bilamana dikatakan ada jarak antara keyakinan hati nurani hakim dengan keputusan pengadilan, itu bisa jadi benar untuk mengungkapkan kritik tentang kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum dalam putusan, masih dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dimasyarakat. Konteksnya menjadi begini, putusan pengadilan adalah hukum formal, sedangkan rasa keadilan adalah the living laws. Idealnya, memang keadilan itu identik

21 sejalan dan sehaluan dengan rasa keadilan, tetapi sungguh memang, itulah esensi hukum, yang bisa jadi untuk menyatakan satu dalil bahwa keadilan yang material substansial memang benar tidak selamanya hanya ada dan diperoleh di ruang pengadilan saja, masih ada keadilan diluar pengadilan. 22 Intinya ialah kembali pada soal utama yang dipertanyakan sebelumnya, yakni mengenai esensi pemahaman akan makna keyakinan dan hati nurani hakim. Makna keyakinan hati nurani sungguh perlu dipahami agar tidak terjadi salah kaprah dan lebih lagi, agar didalam praktiknya jangan sampai ada yang mempermain-mainkan keyakinan hati nurani, seakan-akan itu hanya produk imajinasi dari hasil pikiran spekulatif, yang bersandarkan motivasi naluri primitif inderawi untuk menentukan putusan sebagai rekayasa kebenaran. Kecerdikan mengelabui orang lain dengan alasan sesuai keyakinan nurani, padahal untuk memperoleh keuntungan inderawi adalah bagian permainan sirkus terhadap pemahaman yang keliru terhadap hati nurani. Kecerdikan bermain sirkus itu bisa dikemas lagi untuk mengelirukan orang lain, yang tidak paham liku-liku teknis yuridis sistem pembuktian sebagaimana uraian teoritis diatas itu. Tanpa sadar jika kecerdikan itu digunakan dengan motivasi naluri primitif indrawi justru perbuatan itu melawan hati nurani. 22 Nikolas Simanjutak, Op.Cit,hal 246

22 IV PENUTUP A.Kesimpulan Berdasarkan pemaparan penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa di Pidananya Pleger dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (tinjauan yuridis putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2442/Pid.B/2011/PN-Mdn, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diutarakan yaitu: 1. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan ialah untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertaggungjawabkan atas pidana atau tidak terdapat tindakan yang dilakukan oleh itu, perbuatan pidana menyatakan orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis menyatakan tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan. 2. Penyertaan diatur dalam pasal 55 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 3. Pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2442/pid.B/2011/PN-MDN terhadap terdakwa Sun An Anlang yang dijatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup adalah keliru, bahwa penulis berpendapat unsur-unsur dalam Pasal 340 jo Pasal 55 KUHP tidak terpenuhi. B. Saran Adapun saran penulis mengenai Medepleger Yang Dinyatakan Bersalah Tanpa di Pidananya Pleger dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (tinjauan yuridis putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2442/pid.B/2011/PN-Mdn, ialah agar hakim dalam memutus suatu perkara

23 pidana hendaklah memperhatikan unsur-unsur dalam pasal yang di putusnya dan juga jangan hanya menggunakan keterangan saksi-saksi atau pun keterangan terdakwa yang ada di dalam BAP penyidik dan mengabaikan keterangan saksi-saksi atau keterangan terdakwa yang telah diberikan di depan persidangan.

24 DAFTAR PUSTAKA BUKU Alfitra, hukum pembuktian, Jakarta, raih asa sukses, 2012 Ashofa Burhan, Metode penelitian hukum, Jakarta, rieneka cipta, 1996 Chazawi Adami, hukum pidana materiil dan formil,jakarta,pt Raja Grafindo Persada,2002 Chazawi Adami, pelajaran hukum pidana, jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002 Chazawi Adami, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001 Effendi Erdianto, hukum pidana indonesia, bandung, refika aditama, 2011 Lamintang,P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 1997 Lubis Kamaludin, Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Medan, 1992 Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia,Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012 Matalata Andi, Santunan Bagi Korban DalamJ.E Sahetapy(Ed)...Victimilogy Sebuah Bunga Rampai 9,Jakarta, 1987 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983 Mulyadi Lilik, Bunga-bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik,Bandung, PT Alumni, 2008 Prakoso Djoko, Asasa-Asas Hukum Di Indonesia Edisi Pertama, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 1987 Pound Rouse, Introduction To The Philosophy, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung, Mandar Maju, 2000

25 Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Refika Eitama, 2008 Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1996 Remelink Jan, hukum pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Sasangka Harry dan Rosita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, 2003 Simanjutak Nikolas, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Jakarta, 2009 Sungguno Bambang, metode penelitian hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007 Putra Eka Mohammad dan Khair Abul, Percobaan dan Penyertaan, Medan, USU Press,2009 Prasetyo Teguh, hukum pidana, jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012 Prodjohamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1996 PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Acara Pidana INTERNET pidana.html?m=1, pada tanggal 28 Januari 2014, Pukul 22:13 WIB.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana 1. Tindak pidana pembunuhan Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) Oleh: Ahmad Rifki Maulana NPM : 12100082 Kata Kunci : Pembunuhan berencana, pembuktian, hambatan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Kesesuaian hasil pemeriksaan laboratorium forensik terhadap tulang kerangka untuk mengungkap identitas korban pembunuhan berencana terhadap Pasal 184 KUHAP adalah hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan 1 PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Ahmad Afandi /D 101 10 440 Abstrack Hutan merupakan kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017 TINJAUAN YURIDIS PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh : Chant S. R. Ponglabba 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana unsur-unsur tindak pidana dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

FUNGSI BARANG BUKTI BAGI HAKIM DALAM MEJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

FUNGSI BARANG BUKTI BAGI HAKIM DALAM MEJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA FUNGSI BARANG BUKTI BAGI HAKIM DALAM MEJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klas I-A Padang) JURNAL Diajukan Oleh: DEDI SURYA PUTRA 0810005600138

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 368/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 368/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 368/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN di Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N NOMOR 372/PID/2017/PT MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang mengadili perkara pidana pada tingkat banding telah menjatuhkan putusan sebagai berikut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perpektif dalam hukum pidana apabila seseorang yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan pidana dan tidak ada alasan penghapusan pidana, maka tetap dijatuhi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014 PENERAPAN PASAL 242 KUHPIDANA TERHADAP PEMBERIAN KETERANGAN PALSU DI ATAS SUMPAH 1 Oleh : Justino Armando Mamuaja 2 ABSTRAK Sejak zaman dahulu kala sengaja sumpah telah dipandang sebagai kesalahan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dimana hak asasi manusia dipertaruhkan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana 1. Tindak Pidana Menyuruhlakukan Dalam Pasal 55 KUHP a. Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komponen yaitu Struktur, substansi dan kultur hukum. 2 Ketiga komponen tersebut

BAB I PENDAHULUAN. komponen yaitu Struktur, substansi dan kultur hukum. 2 Ketiga komponen tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor : 312/PID.SUS/2016/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 409/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 409/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 409/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN di Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam tingkat banding

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor : 286/PID/2017/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 PERCOBAAN SEBAGAI ALASAN DIPERINGANKANNYA PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh: Meril Tiameledau 2 ABSTRAK Penelitiahn ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 237/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N NOMOR : 237/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 1 P U T U S A N NOMOR : 237/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. PENGADILAN TINGGI MEDAN yang mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding menjatuhkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 168 /PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------ PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN di Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan; BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2 PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pembuktian yang dianut

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 12/PID.A/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur/ Tanggal Lahir : 16 tahun / 25 juli 1996.

P U T U S A N. Nomor : 12/PID.A/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur/ Tanggal Lahir : 16 tahun / 25 juli 1996. P U T U S A N Nomor : 12/PID.A/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dalam Perkara Nomor: 101/Pid.B/2011/PN.Pwt, mengenai tindak pidana "Dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dalam Perkara Nomor: 101/Pid.B/2011/PN.Pwt, mengenai tindak pidana Dengan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor: 101/Pid.B/2011/PN.Pwt, mengenai tindak pidana "Dengan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia saat ini yang telah memasuki era globalisasi, maka aktivitas manusia di segala bidang juga semakin meningkat. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), maka merupakan suatu kewajiban

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut penulis sampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang dirumuskan oleh Saparinah Sadli sebagai tingkah laku yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.perilaku menyimpang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 394/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur/tgl.lahir : 65 Tahun/04 Januari 1945

P U T U S A N Nomor : 394/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur/tgl.lahir : 65 Tahun/04 Januari 1945 P U T U S A N Nomor : 394/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DIMEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). Anwar, Yesmil dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep,

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 56 /PID/2013/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------ PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 475 /PID/2011/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pekerjaan : Pelajar.

P U T U S A N NOMOR : 475 /PID/2011/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pekerjaan : Pelajar. P U T U S A N NOMOR : 475 /PID/2011/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------ PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan oleh pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH 1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK (studi kasus Pengadilan Negeri Gorontalo dengan putusan perkara nomor 226/pid.b/2011/PN.grtlo dan putusan perkara nomor 11/pid.b/2013/PN.grtlo)

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II TINJAUAN PUSTAKA Bab II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang kita telah menggunakan kata strafbaar feit dan ada juga yang mempergunakan istilah delik, untuk menyebutkan apa yang kita kenal

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 459/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 459/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 459/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci