PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2007 Razali NIM B

3 3 ABSTRAK RAZALI. Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai. Di bawah bimbingan DENNY WIDAYA LUKMAN, SRIHADI AGUNGPRIYONO, dan MIRNAWATI SUDARWANTO. Selama beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi penyalahgunaan ayam bangkai yang dijual sebagai daging ayam untuk konsumsi manusia. Untuk membuktikan penyalahgunaan daging ayam bangkai tersebut maka dibutuhkan suatu cara yang praktis yang mampu membedakan antara daging ayam bangkai atau bukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah daging yang berasal dari ayam bangkai dapat dideteksi melalui beberapa metode biologis yang terdiri dari aspek histologis (persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot, diameter serabut otot, jarak antar serabut otot, gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta persentase eksudasi), dan parameter kualitas daging yakni angka keempukan daging (Warner-Bratzler atau WB), warna daging CIE L* a* b* dan angka nitrogen nonprotein (NPN) daging. Disamping itu juga digunakan nilai impedansi. Penelitian ini menggunakan tiga puluh sampel daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam yang terbagi dalam tiga kategori yakni yang berasal dari ayam hidup disembelih secara halal (AHS), ayam mati disembelih (AMS) dan ayam lemah disembelih (ALS). Sampel daging yang diambil dari otot tersebut dianalisis pada 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada dan otot paha AMS signifikan (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase degenerasi dan nekrosa pada otot dada dan otot paha AHS dan ALS. Jarak antar serabut otot pada AMS signifikan (p<0.05) lebih lebar dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AHS dan ALS. Lumen arteri dan vena pada AMS dan ALS terjadi kongesti yang berat akibat retensi darah dan eksudasi pada jaringan otot AMS mencapai 50%. Nilai WB otot dada dan otot paha AMS signifikan (p<0.05) lebih rendah setelah 9 jam postmortem. Nilai L* pada AMS signifikan (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan nilai L* pada AHS dan ALS, sedangkan nilai a* pada AMS signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai a* pada AHS, namun nilai b* tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persentase NPN tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ketiga sampel daging. Nilai impedansi signifikan lebih rendah pada AMS sehingga menjadi suatu indikator pembeda dalam identifikasi daging ayam bangkai. Nilai impedansi memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap persentase degenerasi serabut otot (p<0.01, r = -0.56), nekrosa serabut otot (p<0.01, r = -0.72), serta terhadap jarak antar serabut otot (p<0.01, r = -0.52). Hasil korelasi mencerminkan bahwa tingkat kerusakan jaringan memperlihatkan hubungan yang erat dengan nilai impedansi. Terhadap beberapa nilai WB daging dada dan paha, maka nilai impedansi memiliki korelasi positif (p<0.01, r = 0.62) yang signifikan, artinya semakin lunak jaringan otot maka semakin rendah nilai impedansi yang didapat. Kata kunci: ayam bangkai, nilai impedansi, Warner-Bratzler shear, L* a* b*, NPN

4 4 ABSTRACT RAZALI. The Use of Biological Methods and Impedance Value in the Detection of Meat of Slaughtered Dead Chicken. Under the direction of DENNY WIDAYA LUKMAN, SRIHADI AGUNGPRIYONO, and MIRNAWATI SUDARWANTO In recent years, there has been an increasing an abuse of slaughtered dead chicken for human consumption, so it is important to find a practice method in order to distinguish whether meat chicken from slaughtered dead chicken or not. Experiments were conducted to determine 1) whether breast and thigh meat from slaughtered dead chicken can be identified through quality attributes of meat (Warner-Bratzler (WB) shear value, CIE L* a* b* color, nonprotein nitrogen (NPN), histological changes and 2) probably using the impedance value. Thirty samples of breast and thigh meat were obtained from commercial slaughtering house classified into three groups namely halal slaughtered healthy chicken (AHS), slaughtered dead chicken (AMS), and slaughtered stressed chicken (ALS). Breast (M. pectoralis) and thigh (M. biceps femoris) muscles were used to histological procedures (degenerated and necrotic, muscle fiber diameter, muscle fibers interstitials space, arteriae and venae) and to assess WB, color, NPN and impedance value at 1, 5 and 9 h postmortem (PM). This study showed that percentage of degenerated and necrotic muscle fibres of breast and thigh meat of AMS and ALS were significantly higher (p<0.05) than of AHS. The muscle fiber interstitials spaces of AMS were significantly (p<0.05) wider than of AHS and ALS. The lumen of arteriae and venae of AMS and ALS were congested by blood retained within. All shear values of the breast meat were not different but the thigh meat were significantly lower (p<0.05) at 9 PM. Statistically the lightness (L*) value of breast and thigh meat of AMS and ALS were lower whereas the redness (a*) value of breast and thigh meat of AMS were significantly higher (p<0.05) than AHS and ALS. There were no significant differences the NPN value among the three groups. This study indicated that the impedance value of AMS were significantly lower (p<0.05) than AHS and ALS, and it can be used to distinguish the breast and thigh meat from slaughtered dead chicken and from the halal slaughtered meat. The impedance value of breast and thigh meat had significant negative correlation with degenerated muscle fiber (p<0.01, r = -0.56), necrotic muscle fiber (p<0.01, r = -0.72), and muscle fiber interstitial (p<0.01, r = -0.52). Whereas the impedance value of breast and thigh meat had significant positive correlation (p<0.01, r = 0.62) with WB value of thigh meat. These means the higher degradated of the tissue the lower value of impedance. Key words: slaughtered dead chicken, impedance value, Warner-Bratzler shear, L* a* b*, NPN.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya 5

6 6 PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 7 Judul Disertasi : Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai Nama Mahasiswa : Razali Nomor Pokok : B Program Studi : Sains Veteriner Disetujui Komisi Pembimbing Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Ketua Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D. Anggota Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Bambang P. Priyosoeryanto, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc Tanggal Ujian : 29 Maret 2007 Tanggal Lulus :

8 8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 ini adalah Penggunaan Beberapa Metode Biologis Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai dan Kemungkinan Penggunaaan Nilai Impedansi sebagai langkah awal untuk mendapatkan sebuah metode yang praktis dalam mendeteksi daging ayam yang berasal dari ayam bangkai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. sebagai ketua komisi pembimbing, drh. Srihadi Agungpriyono, PhD., dan Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan yang telah diberikan. Kepada semua pegawai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ir. Bregas Budianto, MSc. di Laboratorium Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan ide dan masukan terhadap modifikasi alat ukur nilai impedansi, Bapak Ir. Sofyan, MSi. di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, serta Dr. drh. Dewi Ratih di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak membantu dalam pengamatan mikroskopis. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan untuk isteriku Ir. Safrida, MSi. dan anakku Rajwa Syafiqa atas segala pengorbanan, dukungan, doa dan kasih sayangnya, juga kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2007 Razali

9 9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bireuen pada tanggal 3 Juli 1968 sebagai anak bungsu dari pasangan Mahyiddin Amin dan Ramlah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, lulus pada tahun Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun Penulis melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sains Veteriner Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPs) Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh sejak tahun Bidang penelitian yang ditekuni adalah kesehatan dan keamanan produk pangan asal hewan. Sejak bertugas sebagai dosen di Unsyiah, penulis telah menjadi anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Karya ilmiah berjudul Penggunaan Beberapa Metode Biologis Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai dan Kemungkinan Penggunaan Nilai Impedansi telah disajikan pada Seminar Pascasarjana, IPB yaitu pada bulan Desember Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Pengujian Kualitas Daging Ayam Bangkai Ditinjau Dari Beberapa Parameter Nilai Biologis pada jurnal Forum Pascasarjana. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Disertasi program S3 penulis.

10 10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Identifikasi Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Kegunaan Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Struktur dan Karakter Otot Dada dan Otot Paha Ayam... 5 Nilai Keempukan Daging Warner-Bratzler Shear (Nilai WB)... 9 Warna Daging Dada dan Daging Paha Ayam Warna CIE L* a* b* Nitrogen Nonprotein (NPN) Nilai Impedansi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian 19 Bahan dan Alat Penelitian.. 19 Rancangan Percobaan.. 20 Analisis Data Metode Penelitian Histologi Otot Dada dan Otot Paha Penilaian Angka Keempukan Daging (Warner-Bratzler Shear atau nilai WB) Pengukuran Warna Daging (CIE L* a* b*) 25 Pengukuran Nitrogen Nonprotein (NPN).. 25 Pengukuran Nilai Impedansi HASIL DAN PEMBAHASAN Patologi Anatomi Daging Dada dan Daging Paha Ayam... 28

11 11 Histologi Otot Dada dan Paha Ayam Degenerasi dan Nekrosa Otot Dada dan Otot Paha Ayam Diameter Serabut Otot (Muscle Fiber Diameter) Pembuluh Darah Arteri dan Vena Jarak Antar Serabut Otot (Muscle Fiber Interstitials) Nilai Keempukan Daging (Warner-Bratzler shear atau nilai WB) Warna CIE L* a* b* Nitrogen Nonprotein (NPN) Nilai Impedansi SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 66

12 12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada (M. pectoralis) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang dikur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi angka NPN daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Rataan dan standar deviasi nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) serta daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.. 53

13 11 Rangkuman standar angka degenerasi, nekrosa, jarak antar serabut otot, nilai keempukan, nilai CIE L* a* b*, angka NPN dan nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem

14 14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Potongan melintang serabut otot ayam memperlihatkan degenerasi hialin (A), serabut otot nekrosa (B), serabut otot mengecil (C) dan serabut otot yang memiliki rongga (D) Bidang pengujian nilai elektris pada daging Disain penelitian penggunaan beberapa metode biologis dan nilai impedansi untuk deteksi daging ayam bangkai. AHS: Ayam hidup disembelih, AMS: Ayam mati disembelih, dan ALS: Ayam lemah disembelih Sampel daging yang berasal dari otot dada M. pectoralis (pe), dan yang berasal dari otot paha M. biceps femoris (bf) ayam broiler. Otot bagian kanan (1) pada daging dada dan bagian atas pada daging paha untuk analisis mikroskopis dan uji nilai WB, sedangkan otot bagian kiri (2) pada daging dada dan bagian bawah pada daging paha untuk analisis warna, NPN dan nilai impedansi Pengukuran jarak antar serabut otot ditandai dengan garis dengan ujung tanda panah (a) dan diameter serabut otot yang ditandai dengan garis dengan ujung bulat (b) Contoh hasil pengukuran nilai keempukan daging dengan menggunakan metode Warner-Bratzler shear yang ditandai dengan tampilan grafik hasil pemotongan sampel daging Contoh alat ukur impedansi meter hasil modifikasi dari multimeter standar. Layar monitor (a) dan sensor elektroda (b) Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur serabut otot. Sebagian besar serabut otot masih utuh pada AHS, sedangkan pada AMS dan ALS beberapa serabut otot mengalami degenerasi (tanda panah). Pewarnaan hematoksilin-eosin Potongan melintang otot paha (M. biceps femoris) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur histologi serabut otot. Serabut otot yang mengalami nekrosa (tanda panah) dapat dijumpai pada AMS dan ALS. Pada AHS bentuk serabut otot secara keseluruhan masih utuh dibandingkan dengan AMS dan ALS. Pewarnaan hematoksilin-eosin... 33

15 15 10 Ukuran diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Lumen pembuluh darah arteri pada otot dada (M. pectoralis) AHS 1 jam postmortem tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada AMS dan ALS, lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin Lumen pembuluh darah vena pada otot paha (M. biceps femoris) AHS 1 jam postmortem, tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada otot paha AMS dan ALS, lumen pembuluh darah vena dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. Jarak antar serabut otot (tanda panah) pada AMS dan ALS lebih besar daripada pada AHS. Pewarnaan hematoksilin-eosin Histogram jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan jarak antar serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Potongan melintang serabut otot dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem memperlihatkan eksudasi yang terjadi di antara serabut otot. Pada AMS terlihat eksudasi (tanda panah) sangat banyak, sedangkan pada ALS lebih sedikit dan pada AHS dalam persentase yang sangat kecil. Pewarnaan hematoksilin-eosin Nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem... 49

16 16 20 Nilai nitrogen nonprotein daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai impedansi daging paha (M. biceps femoris) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Contoh korelasi negatif antara persentase degenerasi serabut otot (DgSO) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem Contoh korelasi positif antara nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem... 56

17 17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 1 jam postmortem Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 5 jam postmortem Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 9 jam postmortem Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 1 jam postmortem Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 5 jam postmortem Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 9 jam postmortem... 71

18 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam hal produk pangan masih tergolong besar (Apriyantono 2004). Rumitnya permasalahan pangan dewasa ini menuntut peran yang besar dari ilmuwan untuk mencari solusi demi kepentingan umat manusia. Salah satu permasalahan pangan hewani yang berasal dari ayam adalah maraknya penjualan daging ayam yang berasal dari ayam yang telah mati yang dikenal dengan ayam bangkai atau sebagian orang menyebutnya dengan sebutan ayam tiren atau ayam duren. Sampai saat ini metode yang mudah dan praktis untuk mengenali atau mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai belum ditemukan, sehingga permasalahan ini menuntut perhatian yang besar bagi beberapa peneliti untuk menemukan sebuah metode yang praktis dalam pendeteksiannya (Ibrahim 2004). Daging ayam merupakan salah satu santapan favorit yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Tetapi untuk mendapatkan daging ayam yang sehat dan halal di Indonesia ternyata bukanlah perkara yang mudah. Di Indonesia daging ayam sudah lazim dijual di berbagai tempat, mulai dari pedagang keliling, pasar tradisional sampai swalayan dan supermarket. Sayangnya pemerintah kurang ketat dalam mengawasi perdagangan daging ayam. Penjualan daging ayam bangkai telah lama terjadi di sejumlah kota di Indonesia (Anonim 1996; Purnama 2004). Tindakan ini sangat berbahaya baik dari segi kesehatan maupun dari pandangan syariat Islam. Berdasarkan perspektif hukum, memperjualbelikan daging asal bangkai termasuk kategori penipuan dan berdasarkan syariat Islam jelas hukumnya haram. Polisi dapat menjerat tersangka dengan pasal 501 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena menjual barang rusak atau bangkai, Undang- Undang No.7 tahun 1996 tentang pangan, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun Disebutkan di dalam pasal 8 dari Undang-undang tersebut bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau tercemar, tanpa memberikan informasi lengkap (Lukman 2002; Apriyantono 2004).

19 19 Menurut Apriyantono (2004), sampai saat ini deteksi kesegaran daging ayam termasuk daging ayam bangkai masih dilakukan dengan pendekatan organoleptik dan masih mengandalkan analisis secara visual yang sering kali menghasilkan penilaian yang salah. Walaupun ditinjau dari perubahan patologi anatomi dan histologi dapat diamati, namun prosedur tersebut membutuhkan waktu yang lama. Menurut Purnama (2004) beberapa ciri fisik daging yang berasal dari ayam bangkai adalah banyak darah di bagian dalam, bagian leher yang dipotong tampak menguncup yang menandakan ayam tersebut mati sebelum dipotong. Namun demikian ciri-ciri tersebut akan lebih sulit dikenali bila daging yang berasal dari ayam bangkai telah dicampur dengan daging dari ayam yang dipotong secara benar atau secara halal. Analisis nitrogen nonprotein (NPN) merupakan salah satu cara yang telah lama dilakukan terutama untuk mencari lamanya waktu kematian. Pendekatan seperti ini juga dilakukan pada mayat di rumah sakit untuk tujuan otopsi. Namun metode seperti ini memerlukan biaya yang tinggi, waktu yang relatif lama dan laboratorium yang memadai (Sasaki et al. 1983; Lucas et al. 1992). Sejauh ini penilaian NPN pada otot ayam yang segar (fresh raw chicken meat) belum pernah dilakukan untuk membedakan antara daging ayam yang berasal dari ayam bangkai dan yang berasal dari hasil pemotongan yang sebenarnya. Efisiensi pendarahan pada daging dapat diamati berdasarkan pada reaksi hemoglobin (Hb) darah dengan malachite green dan hidrogen peroksida. Efisiensi pendarahan dapat dinilai normal dan tidak sempurna berdasarkan warna yang dihasilkan. Namun metode ini masih bersifat semikuantitatif karena warna yang dihasilkan bersifat tidak stabil (Warriss 1977; Warris dan Leach 1978). Ketidakstabilan tersebut disebabkan karena adanya pigmen mioglobin disamping pigmen hemoglobin. Hasil penelitian pada daging sapi yang menggunakan 1 tetes malachite green 2% dan 1 tetes H 2 O 2 12%, menunjukkan hasil reaksi hijau keruh pada daging bangkai dan warna biru jernih pada daging segar (Satriyo 2001). Berbeda halnya dengan ternak besar, penilaian Hb pada daging ayam sangat sulit, disebabkan konsentrasi Hb pada daging ayam sangat rendah. Oleh karena itu beberapa peneliti harus menggunakan metode yang lebih kompleks dan waktu

20 20 yang lebih lama untuk menghitung kadar Hb pada ayam, sehingga membuat metode ini tidak cocok untuk membedakan antara daging ayam bangkai dengan daging ayam yang berasal dari penyembelihan yang benar atau bukan bangkai. Eksplorasi secara mikroskopis masih dianggap sebagai suatu cara yang tepat walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu satu sampai dua hari untuk mendapatkan hasilnya (Razali 2001). Sejauh ini penggunaan metode histologi dan parameter perubahan fisik lain dalam membedakan daging dari ayam bangkai dan bukan dari bangkai masih belum dilaporkan, sehingga belum ada suatu ketentuan atau nilai standar tertentu untuk menilai suatu daging ayam bangkai berdasarkan parameter histologi. Kesulitan yang dihadapi dalam mendeteksi daging ayam bangkai melahirkan gagasan baru untuk mengembangkan suatu metode deteksi dengan mengaplikasikan nilai impedansi. Impedansi dapat didefinisikan sebagai suatu hambatan terhadap aliran arus listrik yang mengalir ketika aliran listrik tersebut melewati suatu material penghantar (Sylvia 1999). Prosedur ini dianggap dapat digunakan dengan asumsi bahwa daging dari ayam bangkai diduga memiliki perbedaan nilai hambatan aliran listrik dibandingkan dengan daging dari ayam bukan bangkai akibat adanya perbedaan perubahan fisik dan kimiawi yang terjadi antara kedua jenis daging ini. Penggunaan teknik pengukuran nilai impedansi telah lama dipakai sebagai suatu cara untuk menduga ketebalan lemak (Marchello dan Slanger 1992; Swantek et al. 1992), menilai kondisi fisiologis pada hewan (Lepetit et al. 2002; Ivorra et al. 2004), menilai keutuhan struktur dan membran (Mullen et al. 2000) dan menilai efektivitas pemingsanan listrik melalui gambaran impedansi otak pada broiler (Savenije et al. 2000). Akan tetapi tidak semua metode tersebut mencapai keberhasilan yang memuaskan. Metode deteksi daging ayam bangkai dengan menggunakan nilai impedansi diharapkan memiliki beberapa keunggulan antara lain cepat, efektif dilakukan di lapangan dan biaya yang dibutuhkan relatif jauh lebih murah.

21 21 Identifikasi Masalah - Terdapat kesulitan dalam mendeteksi daging ayam bangkai terutama bila sudah dalam bentuk potongan atau bagian tubuh. - Belum ada informasi tentang karakteristik histologis daging ayam bangkai terutama gambaran serabut otot dan pembuluh darah, dan juga dari aspek nilai kualitas daging. - Aplikasi nilai impedansi memberi harapan besar dalam membantu pendeteksian daging ayam bangkai karena bersifat mudah, cepat dan nondestruktif. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah membuktikan apakah parameter histologis, keempukan daging, warna daging, nilai nitrogen nonprotein dapat dijadikan sebagai indikator untuk mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana nilai impedansi juga dapat dijadikan sebagai suatu alternatif yang praktis untuk mendeteksi daging ayam yang berasal dari ayam bangkai atau bukan bangkai. Hipotesis Kualitas daging ayam bangkai dapat dideteksi dengan beberapa parameter biologis, kualitas daging dan dengan penggunaan nilai impedansi. Kegunaan Penelitian Memudahkan dalam upaya mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai dan sebagai kajian pendahuluan penggunaan nilai impedansi sebagai metode alternatif untuk mendeteksi daging ayam bangkai.

22 22 TINJAUAN PUSTAKA Struktur dan Karakter Otot Dada dan Otot Paha Ayam Berdasarkan fungsinya otot dada (M. pectoralis) pada ayam tergolong kepada otot sayap, karena berfungsi mengepakkan sayap. Otot ini merupakan otot yang paling kuat dan paling besar diantara otot-otot yang lainnya. Sedangkan otot paha (M. biceps femoris) termasuk otot ekstremitas yang tersusun sedemikian rupa sehingga daerah femur terdapat kelompok otot flexor persendian lutut dan ekstensor persendian paha yang terletak di sisi caudal, sebaliknya kelompok otot flexor persendian paha dan ekstensor persendian lutut terletak di sisi cranial (Getty 1975). Otot dada dan otot paha ayam termasuk kedalam golongan otot skelet. Serabut otot skelet memiliki banyak inti dan dipisahkan satu sama lain oleh sebuah jaringan ikat endomisium, perimisium dan epimisium. Di dalam satu serabut otot terdapat banyak miofibril. Miofibril ini tersusun dari banyak miofilamen aktin dan miosin. Dilihat dari potongan melintang maka bentuk serabut otot skelet adalah poligonal, memiliki banyak inti yang terletak pada bagian perifer. Kumpulan serabut otot membentuk bundel otot atau fasikulus (fasciculi) dan masing-masing bundel otot dipisahkan oleh jaringan ikat yang lebih tebal yang dinamakan jaringan ikat epimisium (Judge et al. 1989; Lopez 2004). Otot dada (M. Pectoralis merupakan otot unggas yang terbesar dan terdapat pada bagian superfisialis atau permukaan dada. Berat otot Pectoralis berkisar 8% dari berat tubuh unggas. Sedangkan otot paha terdiri dari beberapa otot seperti otot Sartorius, Biceps femoris, Semitendinosus dan Semimembranosus. Otot Pectoralis dan Biceps femoris adalah beberapa otot yang sering digunakan untuk pengujian kualitas daging pada karkas ayam (Soeparno 1992; McKee 2000). Berdasarkan sifat histokimia, serabut otot pada ayam digolongkan ke dalam dua golongan yaitu serabut tipe merah dan serabut tipe putih atau di dalam ilmu daging lebih dikenal dengan istilah red meat dan white meat. Klasifikasi ini didasarkan atas banyaknya intensitas warna mioglobin yang dikandung serabut otot merah dan serabut otot putih. Berbeda halnya dengan unggas terbang, pada

23 23 ayam otot dada tergolong ke dalam serabut otot putih dan otot paha termasuk ke dalam serabut otot merah walaupun mengandung juga sedikit serabut otot putih. Menurut McKee (2000) otot skelet ayam bahkan dapat dibagi ke dalam lima jenis tipe serabut otot yaitu tipe I, tipe IIA dan IIB dan tipe IIIA dan IIIB. Otot dada digolongkan ke dalam tipe IIB sedangkan otot paha termasuk ke dalam tipe I. Otot tipe IIIA dan IIIB tidak ditemukan pada mamalia namun hanya terdapat pada unggas. Menurut Van Laack et al. (2000) daging merah kurang peka terhadap kejadian Pale Soft Exudatif (PSE) dibandingkan dengan daging putih sebab kandungan mioglobin dan hemoglobin yang dimilikinya lebih banyak dari daging putih. Disamping itu serabut otot merah memiliki potensial glikolitik yang rendah, metabolisme oksidatif yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Serabut otot putih peka terhadap kondisi PSE sebab memiliki ketergantungan yang tinggi pada glikolisis untuk mengimbangi homeostasis pada serabut otot setelah ayam disembelih. Serabut otot putih memiliki potensial glikolitik yang tinggi, jumlah glikogen yang tinggi, tetapi rendah metabolisme oksidatif dan juga rendah pigmen heme- nya (Anadon 2002; Ringkob et al. 2004). Karakteristik daging tidak hanya ditentukan oleh sifat biokimia otot tetapi dipengaruhi juga oleh struktur dan integritas otot (Berri et al. 2001; Koohmaraie et al. 2002). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa unggas hasil seleksi (improved strain) memiliki ukuran serabut otot yang lebih besar dibandingkan dengan unggas tanpa seleksi (unimproved strain), namun pada unggas hasil seleksi, kejadian kerusakan otot lebih besar atau lebih sering terjadi (Gatcliffe et al. 2001). Menurut Gatcliffe et al. (2001) kerusakan otot (focal myopathy) dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk antara lain (1) serabut otot yang membulat besar (large rounded fibres). Ini disebabkan oleh degenerasi hialin sehingga mengakibatkan kehilangan bentuk dan serabut otot nampak membesar dan bulat, (2) serabut otot yang mengalami nekrosa (necrotic fibres). Kerusakan ini ditandai dengan rusaknya membran dan struktur otot, akhirnya akan digantikan oleh jaringan lemak, (3) serabut otot yang mengecil (small angular fibres), sering terjadi pada unggas yang tua dan kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi

24 24 degenerasi sebelum nekrosa, dan (4) serabut otot yang membentuk rongga di tengah (central core fibres) (Gambar 1). Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh tidak cukup suplai oksigen pada permukaan otot dan juga kurang difusi oksigen ke dalam serabut otot. A B C D Gambar 1 Potongan melintang serabut otot ayam memperlihatkan degenerasi hialin (A), serabut otot nekrosa (B), serabut otot mengecil (C) dan serabut otot yang memiliki rongga (D) (Gatcliffe et al. 2001). Menurut Koohmaraie et al. (2002) ukuran otot sangat ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah protein otot yang disintesis dengan jumlah protein otot yang mengalami degradasi. Dransfield dan Sosnicki (1999) menyatakan bahwa tipe serabut otot merah ayam memiliki diameter serabut otot yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter serabut otot pada otot dada, namun kaya mioglobin serta teradaptasi dengan baik pada kondisi aerobik, memiliki tipe oksidatif, tahan terhadap kelelahan. Serabut otot putih sebaliknya, memiliki diameter serabut otot yang lebih besar, metabolisme glikolitik, cepat mengalami kelelahan. Menurut Dransfield dan Sosnicki (1999), ada tiga sistem proteolitik pada otot yaitu katepsin (lysosomal), kalpain (calcium-dependent) dan proteasom (adenosine triphosphate ubiquitin dependent). Proteasom bertanggung jawab terhadap sebagian besar turnover protein, kalpain bertanggung jawab terhadap degradasi sitoskeleton, sedangkan katepsin meningkat setelah otot mengalami sakit dan rusak. Enzim katepsin dan kalpain memiliki peranan terhadap

25 25 proteolisis postmortem dalam melunakkan serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Hemorhagi pada daging dianggap sebagai suatu kelainan yang utama (Kranen et al. 2000) dan dapat terjadi pada semua spesies hewan penghasil daging. Kejadian ini terdapat pada otot skelet maupun pada lemak intermuskular serta pada jaringan ikat. Semua kelainan warna merah yang disebabkan oleh adanya hemoglobin ekstravaskular dianggap sebagai hemorhagi. Kelainan yang termasuk ke dalam kelainan antemortem maupun postmortem biasanya berasal dari sistim vaskular (Kranen et al. 2000). Ayam broiler yang telah mencapai berat tertentu untuk pemotongan, secara teknis biasanya ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk untuk ditransportasikan ke tempat pemotongan. Stres akibat penanganan yang kasar dan ditambah dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan lesio dan fraktur yang menjadi predisposisi terjadinya kerusakan jaringan otot. Stres pada saat penangkapan, penempatan di dalam tempat yang padat serta transportasi yang tidak nyaman dapat menyebabkan kematian ayam sebelum sampai ke tempat pemotongan. Kondisi ini bertambah berat bila perjalanan ke tempat pemotongan memakan waktu yang cukup lama sekitar 3-4 jam atau lebih dalam kondisi cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin. Pada sistem pemotongan yang sudah modern sekalipun, kasus kematian ayam sebelum penyembelihan dapat mencapai angka rata-rata 0.59% atau kurang dari itu (Warriss et al. 1992; Kannan et al. 1997). Setelah ayam dipotong maka metabolisme anaerobik akan mengurangi nilai ph di dalam otot dari 7.2 menjadi 5.8 sampai terjadinya rigor mortis. Hasil penelitian Alvarado dan Sams (2000) memperlihatkan bahwa ph otot menurun secara signifikan sampai 2 jam postmortem baik pada ayam yang dipingsankan maupun pada ayam yang tidak dipingsankan. Selain itu panjang sarkomer juga meningkat sampai 2 jam postmortem pada kelompok kontrol dan sampai 12 jam postmortem pada kelompok ayam yang dipingsankan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemingsanan dapat memperlambat rigor mortis sampai 2 jam postmortem, namun tidak berpengaruh nyata terhadap parameter keempukan, kecerahan dan nilai ph daging.

26 26 Kecepatan rigor mortis dipengaruhi oleh keadaan sebelum dan setelah pemotongan. Stres karena panas merupakan salah satu contoh dari faktor lingkungan yang dapat menyebabkan glikolisis postmortem awal yang lebih cepat (Lawrie 1983; Dransfield dan Sosnicki 1999). Serabut otot yang bersifat glikolitik seperti otot dada memiliki sifat rigor mortis yang lebih cepat, sehingga pada otot dada ayam, rigor mortis hanya memerlukan waktu 1 jam (Mayer dan Neufeld 1980). Kinerja pertumbuhan juga mempengaruhi kecepatan dan kekuatan terjadinya rigor mortis pada daging. Pada ph akhir yang tinggi maka daya ikat air dari molekul miosin juga tinggi. Dengan demikian kecepatan penurunan ph pada otot dada sekitar 0.04 unit/menit, sekitar 2 kali lebih cepat dari tipe otot yang pertumbuhannya lambat. Biasanya 15 menit setelah pemotongan nilai ph bervariasi antara 6.2 sampai 6.6. Akibat penurunan ph yang cepat akan menginaktifkan sistem kalpain dan dapat mengurangi keempukan daging postmortem. Penurunan ph yang cepat menyebabkan miosin lebih peka terhadap denaturasi. Denaturasi yang cepat pada miosin menyebabkan rendahnya kemampuan daya ikat air dan daging berwarna pucat seperti daging PSE (Urlings et al. 1993; Dransfield dan Sosnicki 1999). Nilai Keempukan Daging Warner-Bratzler Shear (Nilai WB) Banyak instrumen yang telah dikembangkan dan dapat dipakai untuk menilai tingkat kealotan atau tingkat keempukan (shear value) daging ayam (Wheeler et al. 1997; Kerth et al. 2003; Cavit et al. 2005). Dua metode instrumental yang paling sering digunakan untuk menilai tingkat kekerasan daging ayam adalah Warner-Bratzler shear (WB) dan Allo-Kramer shear (AK). Kedua metode tersebut telah diuji dan hasilnya memiliki suatu korelasi yang sangat bagus (Cavit et al. 2005). Salah satu alat yang dianggap paling popular dan akurat adalah Warner-Bratzler shear (Wheeler et al. 1997). Akan tetapi kedua metode tersebut memiliki kelemahan antara lain biaya yang mahal, memerlukan waktu yang relatif lama dalam mempersiapkan sampel pengujian serta memerlukan ukuran sampel yang homogen. Menurut Fletcher (1999), untuk pengujian tingkat keempukan daging ayam, maka daging ayam dimasak di dalam wadah aluminium pada temperatur 95 o C

27 27 selama 20 menit. Kemudian sampel didinginkan pada temperatur kamar dan dengan menggunakan alat preparasi sampel khusus (sample coring tools), lalu diambil sampel yang homogen antara satu dengan yang lainnya. Nilai Warner- Bratzler shear mencerminkan suatu daya potong yang akurat dari pisau yang berbentuk huruf V (vee-blade) terhadap sampel. Kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemotongan ini sebanding dengan tingkat keempukan atau tingkat kealotan daging ayam (Instron 2003). Dalam penentuan nilai keempukan daging dengan cara Warner-Bratzler shear ini maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keseragaman ukuran sampel, apakah didinginkan atau dibekukan sebelumnya ataupun tidak sama sekali, temperatur internal daging pada saat direbus dan arah serabut otot dimana sampel diambil, kecepatan pemotongan dan temperatur udara pada saat pemotongan (Instron 2003). Warna Daging Dada dan Daging Paha Ayam Warna daging ayam maupun daging yang berasal dari spesies lain selalu menarik untuk diteliti, sebab mempengaruhi secara langsung terhadap penerimaan konsumen dan memiliki hubungan yang erat terhadap karakteristik daging (Perez- Vendrell et al. 2001; Petracci dan Fletcher 2002). Ayam merupakan spesies yang dikenal memiliki otot putih dan otot merah. Perbedaan ini didasarkan pada sifat biokimia dan histokimianya. Daging dada ayam segar (fresh raw breast meat) berwarna pink pucat sedangkan daging paha ayam segar (fresh raw thigh meat) berwarna merah gelap (Anadon 2002). Otot dada ayam lebih peka terhadap perubahan warna dibandingkan dengan otot paha, hal ini disebabkan otot tersebut memiliki proporsi yang besar pada karkas ayam. Pada tingkat penjual daging pengecerpun warna daging sangat penting sebab konsumen selalu menghubungkan warna dengan kesegaran dan juga sekaligus kualitas, sehingga memberi pengaruh utama bagi keputusan konsumen untuk membeli daging (Rathgeber 2000; Qiao et al. 2001). Menurut Anadon (2002) dan Rathgeber (2000) mioglobin dan hemoglobin memegang peranan penting terhadap warna daging segar. Warna akan bervariasi berdasarkan konsentrasi pigmen ini dan hasil refleksi cahaya pada daging.

28 28 Mioglobin merupakan pigmen heme utama pada ayam yang berperan besar terhadap warna daging, namun konsentrasi mioglobin pada otot ayam sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi mioglobin pada otot dari spesies lain. Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi juga oleh efisiensi pengeluaran darah pada saat pemotongan ayam dilakukan. Menurut McNeal et al. (2003) bahwa ayam yang disembelih dengan sempurna maka 20 sampai 30% hemoglobin masih tetap berada pada karkas, tentu saja hal ini berpengaruh terhadap warna daging. Ayam pedaging atau broiler memiliki konsentrasi pigmen heme yang sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi pigmen heme pada kalkun. Warna daging juga ditentukan oleh refleksi cahaya pada daging. Jumlah cahaya yang mengalami refleksi berkaitan erat dengan denaturasi protein dan perubahan pada intermiofibril (Sandusky dan Heath 1998). Perubahan dalam penyebaran cahaya akan mempengaruhi kecerahan daging (L*), kemerahan daging (a*) dan kekuningan daging (b*) (Bilgili et al. 1998). Pengukuran intensitas warna pada daging memiliki arti penting karena dapat dilakukan secara objektif (Allen et al. 1997). Warna daging sangat tergantung pada difusi dan absorpsi cahaya pada permukaannya. Bila difusi cahaya lebih besar maka akan kelihatan lebih terang dan jika absorpsi cahaya lebih kuat maka warna lebih gelap (Tomasz et al. 2002). Pada awalnya evaluasi warna daging secara visual masih tergolong subjektif sehingga penilaian di dalam proses produksi masih sangat terbatas. Namun dengan kemajuan kamera dan teknik komputer, pemakaian sistem optik yang lebih maju sangat membantu dalam menggantikan fungsi mata dalam pengamatan (Tomasz et al. 2002). Salah satu metode objektif untuk mengukur warna daging ayam adalah dengan memakai metode reflektan dengan cara mengukur secara objektif spektrum reflektansi pada permukaan daging ayam. Hasil penelitian Tomasz et al. (2002) menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*), dan kekuningan (b*) yang didapat melalui metode reflektan dengan evaluasi warna secara visual. Pengukuran kecerahan memungkinkan untuk membedakan antara daging normal dengan daging PSE atau dengan daging Dark Firm Dry (DFD). Menurut Rammouz (2004), dalam dekade terakhir ini

29 29 banyak peneliti cenderung menggunakan metode ini untuk mengevaluasi kualitas daging ayam. Beberapa hasil penelitian tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara sifat fisikokimia dengan kecerahan daging. Adanya variasi pada penampilan visual dan warna dari terang sampai gelap dapat terjadi pada daging dada ayam (Fletcher et al. 2000) dan menurut Mallia et al. (2000) pengeluaran darah yang tidak sempurna, atau ayam dalam kondisi lemah atau sakit sebelum pemotongan besar kemungkinan dapat menyebabkan daging menjadi lebih gelap atau mengalami perubahan nilai yang diukur. Kondisi seperti tadi dapat saja terjadi di industri pengolahan daging maupun di tingkat penjual pengecer (Santos et al. 2004). Warna CIE L* a* b* Pengukuran warna sistem Commission International d Eclairage (CIE) didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Diyakini bahwa mata mengandung tiga reseptor yang peka terhadap cahaya yaitu reseptor merah, hijau, dan biru. Sistem L* a* b* merupakan sistem warna yang dipakai secara luas untuk kolorimetri makanan (deman 1989). Dalam teori pengukuran warna ini, dianggap bahwa ada tahap pengalihan sinyal-sinyal antara reseptor cahaya dalam retina dan saraf optik yang mengantar sinyal warna ke otak. Dalam mekanisme pengalihan ini tanggapan merah dibandingkan dengan hijau dan menghasilkan dimensi warna merah ke hijau. Kemudian tanggapan kuning dibandingkan dengan biru menghasilkan dimensi warna kuning ke biru. Ke dua dimensi warna ini dinyatakan dengan lambang a* dan b*. Dimensi warna ke tiga ialah keterangan atau kecerahan yang dilambangkan dengan L*. Dimensi warna ini tidak linear dan biasanya dinyatakan sebagai akar pangkat dua dari Y atau akar pangkat tiga dari Y (deman 1989; Anonim 1991). Di dalam sistem L* a* b* ini, kromatisitas didefinisikan oleh koordinat a dan b persegi panjang. Nilai a positif adalah merah sedangkan nilai a negatif adalah hijau. Nilai b positif adalah kuning dan nilai b negatif adalah biru. Nilai a dan b diperoleh ketika terjadi perbedaan sinyal Y-Z dan X-Y. Sehingga CIE X, Y, dan Z dapat dikonversi menjadi nilai L* a* b* dengan rumus sebagai berikut:

30 30 a = L = 10 (Y) 1/ (1.02 X Y 1/2 Y) 7.0 (Y Z) b = Y 1/ 2 Akan tetapi dengan penggunaan perangkat Minolta Chroma Meter nilai L* a* dan b* dapat langsung diketahui hasilnya. Nitrogen Nonprotein (NPN) Selain mengandung air dalam jumlah yang banyak yaitu 75%, protein 16 22% dari massa otot, otot skelet juga mengandung protein sarkoplasma dan protein miofibril atau stromal. Disamping protein ada senyawa nitrogen lain yang terdapat di dalam otot yang dikategorikan sebagai nitrogen nonprotein (NPN). Senyawa ini termasuk asam amino, peptida, kreatin, kreatinin, kreatin fosfat, beberapa vitamin, nukleosida dan nukleotida termasuk adenosin trifosfat atau ATP. Komponen NPN diperkirakan sekitar 1.5% dari massa otot rangka, sedangkan subtansi karbohidrat nonprotein dan anorganik lain masing-masing sebesar 1% dari massa otot skelet (Aberle et al. 2001). Otot mengandung sejumlah bahan anorganik yang disebut kation dan anion yang memegang peranan fisiologis penting bagi tubuh. Yang termasuk kedalam bahan tersebut adalah kalsium, magnesium, potasium, sodium, besi, fosfor, klorin, kobal, tembaga, seng, nikel dan mangan (Aberle et al. 2001). Nilai NPN menjadi suatu indikator tingkat proteolisis bila dihubungkan dengan nilai keempukan daging. Biasanya NPN dan kelompok amino bebas akan meningkat selama aging daging postmortem. Peningkatan inilah yang mengindikasikan adanya degradasi protein atau peptida (Parrish et al. 1969). Hasil penelitian Khan (2000) menunjukkan bahwa fraksi NPN pada otot dada ayam meningkat selama penyimpanan 45 minggu pada temperatur -5 dan -40 o C. Sekitar 80% dari peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya kadar asam amino yang mengandung sulfur dan aromatik, sedangkan asam nukleat menurun. Enzim katepsin kemungkinan terlepas akibat dari kerusakan sel selama

31 31 pembekuan dan penyimpanan. Enzim ini menyebabkan proteolisis sehingga mengganggu ikatan protein. Sejauh ini belum pernah dilaporkan adanya kenaikan NPN yang signifikan selama dua minggu pertama penyimpanan. Nitrogen nonprotein dan asam amino biasanya meningkat mengikuti pola yang sama selama penyimpanan. Penyimpanan daging sapi selama 2 hari pada 2 o C akan terjadi peningkatan 8 sampai 20% NPN dan 22 sampai 33% asam amino bebas. Sedangkan peningkatan NPN dan asam amino bebas selama 7 hari penyimpanan adalah sebesar 36% dan 117% (Khan 2000). Penilaian beberapa komponen kimia postmortem telah lama dikenal di dunia kedokteran forensik untuk membantu dalam menduga secara lebih tepat waktu kematian dan juga dapat memperlihatkan beberapa abnormalitas biokimia yang bertanggung jawab terhadap kematian. Sejumlah penelitian telah dilakukan terhadap NPN jaringan, cairan serebrospinalis dan cairan mata. Tidak semua nitrogen dalam jaringan berada dalam bentuk protein, ada yang berasal dari nonprotein seperti senyawa nukleotida, asam amino bebas, kreatin dan kholin. Hanya sebagian kecil dari NPN itu untuk sintesis asam amino non-esensial (Sasaki et al. 1983). Walaupun banyak peneliti Jepang yang melaporkan tentang jumlah NPN dari ekstrak jaringan postmortem, namun dianggap bahwa NPN jaringan belum menjadi suatu indikator yang benar-benar konkrit terhadap waktu kematian karena adanya beberapa keragaman yang ditemukan pada kondisi postmortem (Sasaki et al. 1983; Lucas et al. 1992). Autolisis yang dianggap sebagai suatu proses kerusakan sel secara alami postmortem, dimana sel secara perlahan-lahan akan hancur oleh bantuan enzim. Kemampuan enzim untuk menghancurkan organ parenkhimateus lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan enzim yang berada pada daerah otot skelet. Sehingga organ parenkhim lebih cepat mengalami proses autolisis dibandingkan dengan otot skelet (Urlings et al. 1993).

32 32 Nilai Impedansi Sejumlah metode fisik telah dan sedang dikembangkan untuk menilai berbagai aspek kualitas daging. Diantara beberapa aspek kualitas daging, keempukan merupakan variabel yang paling penting untuk konsumen karena menyangkut langsung sifat-sifat mekanis dan struktur daging. Banyak metode fisik yang telah tersedia untuk menilai aspek mekanis. Sebagian besar metode mekanis yang telah berhasil diciptakan hanya dapat dipakai pada lingkup laboratorium dan sangat sedikit yang telah dikembangkan untuk pengukuran pada skala industri yang telah memberikan hasil memuaskan (Lepetit et al. 2002; Guan et al. 2004). Sifat elektris otot dan daging telah lama diteliti untuk memastikan apakah dapat memberikan informasi yang penting sebagai indikator kualitas daging. Daging secara elektris memiliki sifat anisotropik yang bermakna bahwa sifat elektrisnya berubah-ubah tergantung pada bidang elektris dari sampel daging. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh panjang dan arah miofibril yang berisi elektrolit dan dilindungi oleh membran yang berfungsi sebagai dielektrik. Swatland (1997), telah mengidentifikasi ada 2 arah penempatan elektroda untuk pengukuran sifat elektrik daging yaitu 1) menyilang miofibril dan memotong terhadap sumbu panjang miofibril, dan 2) memanjang terhadap sumbu panjang miofibril (Gambar 2). Arah bidang elektrik Gambar 2 Bidang pengujian nilai elektris pada daging (Lepetit et al. 2002).

33 33 Berdasarkan penelitian Lepetit et al. (2002) bahwa peralatan yang pernah dikembangkan untuk pengukuran nilai impedansi merupakan sistem portabel yang terdiri dari sebuah voltmeter (Model 87: Fluke, Washington, USA), sebuah generator sinyal (Wavetek Corporation, San Diego, USA) yang memberikan tegangan 5 volt pada 1 khz, dan sirkuit elekrik seperti terlihat pada gambar berikut ini: transformer Generator Sampel daging Dengan demikian untuk mengukur nilai impedansi pada sampel daging, pertama-tama sistem harus disesuaikan sebagai suatu cara untuk menyediakan arus 5 v dan dijaga tetap konstan, sehingga nilai impedansi (Z) dihitung sebagai berikut : Z r v = dimana v adalah voltase 5 v Akan tetapi peralatan untuk pengukuran nilai impedansi yang dipakai di dalam penelitian ini adalah berbeda dan tidak terpisah seperti pada contoh di atas. Sehingga nilai impedansi (Z) dapat dibaca langsung setelah dilakukan penetrasi elektroda ke dalam jaringan otot atau daging. Menurut Swatland (1997) dan Davalos et al. (2004), impedansi elektris otot menurun dengan cepat selama periode prerigor. Keragaman nilai impedansi prerigor sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan pada membran dan ruang ekstraselular. Selama periode prerigor terjadi peningkatan permeabilitas membran yang mempermudah pergerakan ion-ion sehingga dapat mengurangi nilai impedansi dan sebaliknya meningkatkan konduktivitas pada daging. Penelitian pada daging sapi menunjukkan bahwa segera setelah pemotongan

34 34 terjadi peningkatan sementara nilai impedansi disebabkan oleh serabut otot mengambil cairan ekstraselular sebagai akibat tekanan osmotik internalnya meningkat dan juga untuk persiapan glikolisis postmortem dan kemudian akan menurun. Perubahan pada membran dan ruang ekstraselular berhubungan erat dengan kecepatan penurunan ph untuk mencapai ph akhir. Impedansi postrigor juga menurun dengan lambat selama penyimpanan atau tanpa penyimpanan, namun belum dapat dipahami lebih jauh tentang keragaman impedansi postrigor yang terjadi. Lepetit et al. (2002), menyarankan untuk menggunakan nilai impedansi pada frekuensi 1kHz dan 100kHz sebagai indikator aging daging bila nilainya menurun selama aging daging. Hasil penelitian Byrne et al. (2000) menemukan ada korelasi yang signifikan antara nilai Warner-Bratzler shear dan nilai impedansi pada sapi jika korelasi ini dihitung selama periode aging dari 2 sampai 14 hari postmortem. Secara sederhana impedansi dapat didefinisikan sebagai suatu hambatan dari aliran arus listrik ketika arus mengalir melalui suatu material penghantar (Sylvia 1999; Lepetit et al. 2002). Hambatan aliran listrik dapat dipengaruhi oleh fase yaitu suatu penghalang aliran ion atau molekul. Fase di dalam sel makhluk hidup dinamakan membran. Ditambahkan oleh Sylvia (1999) bahwa jika dua elektroda logam dicelupkan ke dalam suatu medium penghantar maka pengujian tersebut bersifat sebagai resistor dan kapasitor. Pengujian tersebut akan menghasilkan suatu arus resultansi yang tergantung pada impedansinya. Dengan menggunakan elektron mikroskop, Mullen et al. (2000) telah mendapatkan gambaran yang jelas ada terjadi disintegrasi ultrastruktur pada sampel daging dengan impedansi rendah. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan juga bahwa nilai impedansi elektris menurun dan konduktivitas meningkat dengan meningkatnya kerusakan membran. Kecepatan kerusakan tersebut lebih cepat pada daging yang di aging pada temperatur yang lebih tinggi, misalnya pada temperatur 30 o C lebih cepat rusak dibandingkan dengan daging yang di aging pada temperatur 20 o C. Hasil penelitian Purslow et al. (2000) dan Oliver et al. (2001) pada otot longissimus babi memperlihatkan bahwa ada keragaman nilai impedansi elektris yang timbul sesuai dengan waktu postmortem. Ini menggambarkan bahwa ada

35 35 terjadi perubahan-perubahan permeabilitas pada dinding serabut otot. Peningkatan permeabilitas sarkolema juga akan memudahkan mengalirnya cairan intraselular menuju ruang ekstraselular dan akibatnya kejadian kehilangan air (drip loss) juga akan tinggi.

36 36 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2005 sampai Agustus Analisis histologis dan pengukuran nilai keempukan (Warner-Bratzler shear) daging masing-masing dilakukan di Laboratorium Patologi dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis nitrogen nonprotein (NPN) dan warna daging (CIE L* a* b*) masingmasing dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan 30 sampel daging dada (M. pectoralis) dan 30 sampel daging paha (M. biceps femoris) ayam pedaging strain Hubbard Broiler yang sudah mencapai masa potong komersial, berumur 45 hari dengan berat karkas 1.5 sampai 1.8 kg. Kendatipun sampel diambil langsung dari tempat pemotongan ayam Pondok Rumput, Bogor, namun dua hari sebelum ayam tiba di tempat pemotongan dilakukan juga pengamatan langsung ke tempat pemeliharaan ayam potong yaitu di wilayah Kecamatan Ciampea, Bogor. Pada saat itu semua ayam memperlihatkan kondisi klinis yang sehat untuk disembelih. Sampel daging ayam terdiri atas tiga kategori yang berbeda yaitu daging ayam normal yakni berasal dari ayam hidup sehat disembelih (AHS) secara halal, daging ayam bangkai yaitu berasal dari ayam mati disembelih (AMS) dan daging yang berasal dari ayam lemah disembelih (ALS). Ciri-ciri ayam AHS adalah kondisi umum terlihat sehat, mampu berdiri dan berjalan sempurna dengan gambaran mata dan selaput lendir normal. Sampel yang berasal dari AMS adalah bangkai ayam yang telah mati selama satu sampai dua jam. Waktu 1 sampai 2 jam setelah menjadi bangkai dianggap awal kematian atau satu jam postmortem. Sampel untuk waktu 5 dan 9 jam postmortem adalah berasal dari sampel tadi yang telah dibiarkan selama 5 dan 9 jam postmortem pada temperatur kamar. Sampel yang berasal dari ALS diambil dari ayam-ayam yang memperlihatkan kondisi

37 37 umum yang lemah yakni tidak mampu berdiri dan berjalan serta sayap terkulai lemah. Beberapa bahan kimia yang digunakan seperti asam trikhloroasetat atau TCA (CCl 3 COOH, 807 Merck), asam sulphat (H 2 SO 4, 731 Merck), larutan formalin 10% dalam bufer normal yang terdiri dari Na 2 HPO 4, NaH 2 PO4, formalin absolut dan aquadest. Natrium Hidroksida (NaOH, 9957 Merck), methyl red 6076 Merck) dan Hematoksilin-Eosin. Alat yang dipakai pada penelitian ini adalah peralatan mikroteknik jaringan yang dilengkapi dengan video mikrometer, peralatan penilaian keempukan daging Warner-Bratzler Shear (Instron TM 5542), Chroma meter CR-300 (Ramsey, NJ), peralatan Kjeldahl untuk analisis NPN, termometer saku (Taylor N:VD03-6) dan alat ukur nilai impedansi dari digital multimeter modifikasi (DT-830B). Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap satu arah. Jenis sampel daging merupakan satu-satunya faktor tunggal sedangkan pengukuran setiap peubah dilakukan dalam interval waktu 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM) yang berasal dari sampel pada karkas yang sama. Model matematis dari rancangan yang dipakai adalah : Y = μ + τ + ij i Dimana : Y ij = perubahan nilai biologis dan impendansi ke j karena perbedaan daging ayam ke i (i = 1, 2, 3 sedangkan j = 1, 2, 3,..,10). μ = ratarata sebenarnya, t i = pengaruh perbedaan daging (AHS, AMS dan ALS). e ij = pengaruh terhadap nilai biologis dan impedansi ke j akibat perbedaan jenis daging ayam ke i. ε ij Pemeriksaan atau analisis mikroskopis dilakukan hanya terhadap beberapa sampel pada daging dada dan daging paha sesuai dengan waktu postmortem yaitu 1, 5 dan 9 jam pascamati. Dari sejumlah tiga puluh sampel daging dada dan daging paha ayam, maka untuk analisis mikroskopis masing-masing diambil sebanyak empat sampel dari daging dada dan paha AHS, AMS dan dari ALS. Akan tetapi analisis terhadap peubah keempukan (nilai Warner-Bratzler shear, warna (L* a* b*) dan nilai nitrogen nonprotein (NPN) dilakukan replikasi

38 38 sebanyak dua kali (duplo) dalam setiap pengujian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan validitas data yang lebih baik. Disain penelitian adalah seperti yang terdapat pada diagram Gambar 3 berikut ini. Sampel daging dada (M. pectoralis dan daging paha (M. biceps femoris) pada 1, 5 dan 9 jam postmortem (n = 30) AHS AMS ALS Histologis Keempukan Warna NPN Impedansi Gambar 3 Disain penelitian penggunaan beberapa metode biologis dan nilai impedansi untuk deteksi daging ayam bangkai. AHS: Ayam hidup disembelih, AMS: Ayam mati disembelih, dan ALS: Ayam lemah disembelih. Analisis Data Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah pada tingkat α=0.05 dan dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda Duncan dengan menggunakan perangkat lunak SAS (SAS Institute 1988; Mattjik dan Sumertajaya 2002). Analisis korelasi juga dilakukan untuk menentukan keeratan hubungan antar peubah yang diukur (SAS Institute 1988). Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah yang pertama peubah histologis yang terdiri atas persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot, diameter serabut otot (μm), jarak antar serabut otot (μm), gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta eksudasi. Peubah kedua adalah angka keempukan daging Warner-Bratzler shear (kgf/cm 2 ), peubah ketiga adalah warna daging (CIE L* a* b*), peubah keempat adalah angka NPN (%) dan peubah kelima yaitu nilai impedansi (ohm). Metode Penelitian

39 39 Ayam sehat dan yang kondisi lemah disembelih tanpa pemingsanan dengan cara pemotongan pada leher sehingga Arteri carotis communis, Vena jugularis, trachea dan esophagus ikut terpotong sekaligus (Deptan 1996). Sedangkan penyembelihan pada ayam yang telah mati hanya bertujuan untuk keseragaman perlakuan dengan dua kelompok tadi. Sampel daging dada dan daging paha yang berasal dari ayam mati (AMS) di peroleh sesuai dengan jam kematian yakni 1, 5 dan 9 jam postmortem. Pencabutan bulu dilakukan setelah melewati proses perendaman dalam air panas (scalding) pada temperatur 52 0 C (Sams dan Dzuik 1999; Sams 2001). Setelah selesai eviserasi maka bagian dada dan paha dipisahkan sebagai sampel penelitian. Sampel dalam kondisi segar (tanpa pembekuan dan pendinginan) segera dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Histologi Otot Dada dan Otot Paha Sampel daging diambil dari otot dada (M. pectoralis) dan otot paha (M. biceps femoris). Untuk pengamatan histologi maka masing-masing daging dada dan daging paha diambil pada bagian kanan atas dari otot dada dengan ukuran sayatan 1 x 1 x 2 cm (López 2004). Jumlah sampel disesuaikan dengan keperluan analisis dan disesuaikan juga dengan jam postmortem pengamatan. Secara anatomis posisi pengambilan sampel adalah seperti tertera pada Gambar 4. 1 pe 1 2 bf 2 A Gambar 4 Sampel daging yang berasal dari otot dada M. pectoralis (pe) (A), dan yang berasal dari otot paha M. biceps femoris (bf) (B) ayam broiler. Otot bagian kanan (1) pada daging dada dan bagian atas pada daging paha untuk analisis mikroskopis dan uji nilai WB, sedangkan otot bagian kiri (2) pada daging dada dan bagian bawah pada daging paha untuk analisis warna, NPN dan nilai impedansi. B

40 40 Sampel daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) sesuai dengan jam postmortem disayat dan langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksasi yaitu larutan formalin 10% dalam bufer normal. Sampel daging selanjutnya diproses sesuai dengan prosedur mikroteknik dan diwarnai dengan memakai pewarnaan standar Hematoksilin-Eosin (Kiernan 1990; Witkiewicz et al. 2004). Dengan menggunakan perangkat video mikrometer, dilakukan pengamatan dan pengukuran pada potongan melintang otot dengan luas pandang 222 x 300 µm pada pembesaran 20x dan jumlah setiap pengamatan adalah 10 lapang pandang. Pengamatan dan pengukuran dibagi tiga bagian yaitu pada serabut otot (lesio degenerasi dan nekrosa, diameter serabut otot), jaringan penunjang (jarak antar serabut otot dan persentase eksudasi). Degenerasi otot hanya dibatasi pada serabut otot yang membengkak (swelling), membulat, dan hipereosinofil dan kehilangan striasi otot. Sedangkan nekrosis dibatasi pada serabut otot yang telah kehilangan sebagian atau seluruh sitoplasmanya dan terbentuk vakuola (Lopez 2004). Semua pengukuran dilaksanakan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Σ degenerasi/nekrosa serabut otot 1. % lesio degenerasi/nekrosa = 100% Σ serabut otot 2. Diameter serabut otot = X diameter serabut otot pada AHS, AMSdan ALS. 3. Jarak antar serabut otot = X jarak antar serabut otot pada AHS, AMS dan ALS Sedangkan terhadap jaringan penunjang dihitung persentase eksudasi dan jarak antar serabut otot (muscle fiber intertitials). Setiap satu lapang pandang terdapat 10 sisi yang diukur (Gambar 5). b a Gambar 5 Pengukuran jarak antar serabut otot ditandai oleh garis dengan ujung tanda panah (a) dan diameter serabut otot yang ditandai oleh garis dengan ujung bulat (b).

41 41 Pengamatan secara deskriptif juga dilakukan terhadap besar kecilnya kongesti di dalam pembuluh darah arteri dan vena. Penilaian Angka Keempukan Daging (Warner-Bratzler Shear atau nilai WB) Uji nilai keempukan daging dada dan daging paha dilakukan sesuai dengan metode Warner-Bratzler shear dari Instron TM. Persiapan uji keempukan daging adalah sebagai berikut: sampel daging dada dan daging paha dimasak di dalam panci aluminium pada temperatur internal daging 80 o C selama 20 menit. Pemasakan dilakukan dengan cara daging ditempatkan di dalam plastik tahan panas sehingga daging tidak bercampur dengan air. Setelah dibiarkan dingin pada temperatur kamar, dengan menggunakan selongsong khusus dari Instron TM (sample coring tool) ukuran 12.5 mm (Instron 2003), maka pengambilan sampel dilakukan searah dengan panjang serabut otot baik pada otot dada maupun pada otot paha, sehingga berbentuk bulat homogen. Pemotongan dilakukan pada temperatur kamar 25 o C dan pada kecepatan 250 mm/menit dengan ulangan dua kali. Hasil pengukuran adalah nilai Warner-Bratzler shear (WB) yaitu kgf/cm 2 seperti tertera pada Gambar 6 (Fletcher 1999; Kerth et al. 2003). Angka yang digunakan sebagai nilai keempukan daging adalah kekuatan terbesar yang dibutuhkan untuk memotong sampel daging ayam (Instron 2003). Nilai tertinggi terlihat pada tampilan hasil berupa grafik atau kurva seperti terlihat pada layar monitor komputer. Gambar 6 Contoh hasil pengukuran nilai keempukan daging dengan menggunakan metode Warner-Bratzler shear yang ditandai oleh tampilan grafik hasil pemotongan sampel daging.

42 42 Pengukuran Warna Daging (CIE L* a* b*) Daging dada (M. pectoralis) yang terdapat pada sisi kiri anterior dan daging paha (M. biceps femoris) disayat dengan ukuran 3x3x0.5 cm. Pemilihan ketebalan 0.5 cm adalah untuk menghindari refleksi yang tinggi dari latar belakang standar yang digunakan, sehingga akan merefleksikan nilai sebenarnya dari sampel (Sandusky dan Heath 1996). Pengukuran warna dilakukan pada kondisi segar (fresh raw meat) tanpa pemanasan, penyimpanan dingin ataupun pembekuan sebelumnya. Area atau bidang yang dipilih untuk penilaian warna adalah area yang bebas dari berbagai kelainan seperti hemorhagi dan pembuluh darah. Penilaian dilakukan dengan ulangan dua kali dari sisi medial. Dipilih dari sisi medial untuk menghindari adanya perubahan warna yang mungkin dapat disebabkan oleh proses skalding. Kalibrasi peralatan sebelumnya dilakukan dengan menggunakan ubin keramik standar putih (Y = 93.7, x = , dan y = ). Warna daging diukur secara objektif dengan menggunakan Minolta Reflectance Chroma Meter (CR-300) sebanyak dua kali ulangan dan kemudian dilaporkan sebagai sistem CIE L* (kecerahan atau lightness), a* (kemerahan atau redness) dan b* (kekuningan atau yellowness) (Fletcher 1999; Petracci dan Fletcher 2002). Pengukuran Nitrogen Nonprotein (NPN) Penentuan nilai nitrogen nonprotein (NPN) sampel daging dilakukan sesuai dengan metode Kjeldahl (Sasaki et al. 1983). Sampel daging dapat disimpan pada -20 o C menunggu waktu analisis, atau dapat langsung dianalisis seperti pada penelitian ini. Prosedurnya adalah sejumlah 5 g jaringan otot yang telah dihancurkan ditambah 25 ml aquades, disaring dan suspensi dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Ditambahkan 10 ml asam trikhloroasetat (trikhloroacetic acid) (TCA) 10% sebagai deproteinizing agent, dikocok selama 10 menit dan dibiarkan selama 3 jam pada temperatur kamar. Supernatan disaring dengan kertas Whatman 41 dan dipisahkan. Proses selanjutnya adalah destruksi yaitu pemecahan supernatan tadi oleh H 2 SO 4 pekat panas dengan bantuan katalis campuran selen. Senyawa N yang

43 43 terdapat dalam sampel akan terikat sebagai senyawa amonium sulfat (NH 4 ) 2 SO 4 yang berwarna kuning kehijauan jernih. Tahap selanjutnya adalah destilasi dengan cara hasil destruksi dimasukkan ke dalam labu destilasi yang telah diisi dengan batu didih, diencerkan dengan aquades, tambahkan lagi NaOH 33% untuk kemudian dihubungkan lagi dengan cepat ke pipa destilasi. Hasil destilasi berupa NH 3 dan air ditangkap dengan Erlenmeyer yang telah diisi dengan H 2 SO N dan indikator Metil Red dan Metil Blue 1:1. Proses destilasi dilakukan hingga semua N yang ada di dalam labu destilasi telah tertangkap oleh H 2 SO 4 yang ada dalam Erlenmeyer. Proses ini berakhir setelah terjadi letupan-letupan pada labu destilasi. Tahap terakhir adalah titrasi yaitu kelebihan asam yang tertangkap dititer dengan larutan NaOH standar dengan cara labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan diambil dan kelebihan H 2 SO N dititer kembali dengan larutan NaOH 0.1 N. Proses titrasi berhenti setelah perubahan warna dari biru ke warna kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Dengan titrasi maka persentase dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : %NPN = (Y Z) x N NaOH (X) gram x 14 x 100% Keterangan : Y = volume blanko, dan Z = volume NaOH yang dibutuhkan untuk mentitrasi contoh. Pengukuran Nilai Impedansi Pengukuran nilai impedansi sampel daging dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan impedansi meter. Alat impedansi meter ini merupakan hasil modifikasi Budianto (2004) dari Bagian Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (Gambar 7). Alat ini merupakan modifikasi dari sebuah Multimeter standar berbasis arus bolak balik. Setelah mengalami modifikasi pada akhirnya dapat mengalirkan arus listrik searah (alternating current) dan dengan menggunakan tenaga dari 2 batere kering berbentuk kotak tipe S-006P(SG)6F22, masing-masing memiliki daya 9 Volt yang bertujuan supaya energi dari salah satu batere dapat membangkitkan medan magnit pada jaringan otot atau daging yang diukur, sedangkan batere yang

44 44 ke dua berguna untuk menghidupkan layar pada alat multimeter, sehingga angka impedansi yang terukur dapat dibaca pada layar monitor alat tersebut. Untuk kalibrasi peralatan dapat dilakukan pengukuran pada resistor dengan hambatan 1 atau 2 ohm. a b Gambar 7 Contoh alat ukur impedansi meter hasil modifikasi dari multimeter standar. Layar monitor (a) dan sensor elektroda (b). Nilai impedansi dihasilkan setelah alat impedansi meter diaplikasikan dengan cara ditusuk ke dalam otot atau ke dalam daging ayam dengan jarak antara ke dua ujung elektroda dijaga tetap konstan yaitu 2.5 cm dengan kedalaman elektroda yang masuk adalah 2 cm. Nilai impedansi (Z) yang terukur dinyatakan dalam satuan ohm (Ω)..

45 45 HASIL DAN PEMBAHASAN Patologi Anatomi Daging Dada dan Daging Paha Ayam Daging ayam dikenal memiliki perbedaan warna tertentu khususnya antara daging dada dan daging paha. Berdasarkan pengamatan makroskopis, setiap daging dada (fresh raw breast meat) ayam pedaging yang sehat biasanya akan berwarna merah muda-putih keabuan yang merata di semua bagian, sedangkan daging paha (fresh raw thigh and leg meat) berwarna merah muda yang yang lebih gelap yang lebih dominan warna merahnya. Bila dibandingkan dengan ayam hidup disembelih (AHS), maka pada ayam mati disembelih (AMS) terdapat sejumlah perubahan patologi anatomi yang sangat berbeda yaitu warna permukaan daging lebih merah yang terdapat banyak bintik-bintik merah. Semakin lama jam kematian maka warna merah semakin menyebar ke seluruh daging dada dan daging paha. Pembuluh darah pada leher dan sayap dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh. Eksudasi cairan jaringan dari AMS sangat banyak yang dapat dibuktikan dengan dilakukan sayatan pada daging dada dan daging paha. Apabila ayam mati dilakukan penyembelihan kembali maka bekas pemotongan di daerah leher tidak akan mengalami perenggangan sebagaimana lazimnya pada pemotongan ayam hidup. Histologi Otot Dada dan Paha Ayam Otot daging dada dan daging paha ayam tergolong ke dalam otot skelet. Unit terkecil dari otot skelet ini dinamakan miofibril dan kumpulan miofibril membentuk satu serabut otot (muscle fibers). Walaupun dinamakan serabut otot namun ada yang menganggap ini sebagai sel otot. Pada pewarnaan standar hematoksilin-eosin gambaran histologi serabut otot akan berwarna merah sedangkan intinya menyerap warna biru hematoksilin. Dilihat dari potongan melintang otot, serabut otot skelet berbentuk poligonal, memiliki banyak inti yang terdapat pada daerah perifer. Kumpulan sejumlah serabut otot tersebut membentuk satu bundel otot atau disebut dengan fasikulus (fasciculi). Antara satu fasikulus dengan fasikulus yang lain dipisahkan oleh jaringan ikat perimisium. Jaringan ikat ini memiliki penampilan yang lebih tebal dari endomisium. Pada daerah ini terdapat banyak pembuluh darah besar seperti arteri dan vena.

46 46 Sedangkan pembuluh kapiler disamping terdapat di daerah antar serabut otot juga banyak terdapat di jaringan perimisium. Secara garis besar otot daging dada dan paha digolongkan ke dalam jenis otot putih dan otot merah berdasarkan proporsi kandungan serabut merah dan serabut putih. Kriteria seperti ini dapat diamati berdasarkan hasil pewarnaan histokimia serabut otot dengan menggunakan ATPase miosin. Karena memiliki perbedaan secara fisiologis dan biokimia maka serabut otot skelet ayam peka terhadap perubahan baik pada tingkat degenerasi maupun nekrosa (Le Bihan- Duval et al. 1999). Degenerasi dan Nekrosa Otot Dada dan Otot Paha Ayam Penurunan fungsi atau derajat serabut otot sehingga mengalami pengecilan atau pembesaran dinamakan dengan degenerasi (Kranen et al. 2000). Degenerasi pada serabut otot ditandai dengan adanya pembesaran serabut otot. Serabut otot membesar dan tampak lebih bulat atau kehilangan bentuk poligonalnya. Kadangkala serabut otot tersebut bersifat hipereosinofil yaitu menyerap zat warna eosin lebih kuat (Gatcliffe et al. 2001). Serabut otot terlihat kehilangan guratanguratan atau striasi otot yang diikuti oleh pembekakan satu atau lebih serabut otot di dalam satu bundel otot. Selain itu ruang antar serabut otot (muscle fiber interstitials atau extracellular space) tampak melebar dibanding dengan serabut otot normal (Lopez 2004). Akan tetapi sampel yang berasal dari otot dada maupun dari otot paha yang sama dapat saja memperlihatkan gambaran degenerasi dan nekrosa yang sedikit bervariasi. Perbedaan variasi seperti ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kepekaan masing-masing serabut otot terhadap kondisi ante dan postmortem, proses perubahan fisik dan kimiawi dari otot menjadi daging dan kondisi metabolik spesifik setiap individu yang berbeda. Beberapa faktor premortem yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan bahkan sampai nekrosa serabut otot antara lain stres traumatik karena penangkapan, transportasi, dan pemingsanan yang kasar. Pada tingkat perubahan selular, gangguan permeabilitas sarkolemma terhadap ion Ca 2+ yang meningkat, maka sel-sel otot akan mengalami kelebihan pemasukan Ca 2+ sehingga mengakibatkan ketidakmampuan sel dalam mengendalikan ion tersebut. Kondisi

47 47 tersebut menyebabkan aktifnya kalpain, aktifnya fosfolipase A2 (PLA2) sehingga terjadi lisis benda-benda selular. Disamping merusak integritas membran juga memacu peroksidasi lemak. Jika mitokondria juga mengalami kelebihan Ca 2+ maka kondisi ini dapat memacu terjadi ischemia yang berat, distrophy otot dan cacexia (Gissel 2005). Pada penelitian ini, perubahan patologis terhadap serabut otot dada berupa degenerasi dan nekrosa dijumpai pada semua daging ayam, baik yang berasal dari ayam bangkai (AMS), ayam lemah (ALS) maupun dari ayam hidup yang disembelih (AHS). Akan tetapi perbedaannya adalah persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS dan ALS signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AHS (Tabel 1). Persentase tertinggi degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS adalah sebesar 4.5 dan 3.5%, pada ALS adalah sebesar 3.1 dan 2.2%, sedangkan pada AHS adalah sebesar 1.2 dan 1.0%. Terjadi variasi angka persentase degenerasi dan nekrosa yang didapat pada otot dada 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM) lebih disebabkan oleh kondisi biologis tertentu yang secara alami memang memiliki perbedaan atau variasi tertentu disamping ditentukan juga oleh perbedaan angka penghitungan mikroskopik. Tabel 1 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada (M. pectoralis) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Degenerasi (%) Nekrosa (%) Perlakuan Postmortem (jam ke-) AHS 0.6 ± 0.8 b 1.0 ± 0.5 b 1.2 ± 0.6 b 0.6 ± 0.9 b 1.0 ± 1.0 b 0.9 ± 1.1 b AMS 4.5 ± 1.6 a 2.7 ± 1.3 a 3.6 ± 1.2 a 3.5 ± 2.6 a 2.6 ± 1.9 a 2.8 ± 1.1 a ALS 3.1 ± 0.7 a 2.4 ± 0.7 a 2.3 ± 0.7 b 2.0 ± 2.2 a 2.2 ±1.1 ab 1.7 ±1.3 ab a-b superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)

48 48 Persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha pada AMS juga tinggi seperti yang terdapat pada otot dada. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha tertinggi terdapat pada otot AMS yaitu sebesar 7.6 dan 4.6%. Kemudian diikuti oleh degenerasi dan nekrosa serabut otot pada ALS dimana persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot tersebut sebesar 4.7 dan 2.9%. Jumlah terendah tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha adalah pada otot AHS yakni sebesar 2.5 dan 1.8%. Hasil pengamatan terhadap degenerasi dan nekrosa pada serabut otot paha di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase degenerasi dan nekrosa yang sangat rendah yaitu 1.5 sampai 2.5% didapat pada serabut otot AHS dan persentase nekrosa 1.1 sampai 1.8% berada pada otot AHS juga. Akan tetapi jika dibandingkan dengan persentase degenerasi dan nekrosa yang terdapat pada otot paha AMS dan ALS, maka angka degenerasi dan nekrosa pada serabut otot dada AMS dan ALS ini signifikan (p<0.05) jauh lebih tinggi yaitu mencapai 6.9 sampai 7.6% dan 3.5 sampai 4.6% (Tabel 2). Tabel 2 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Degenerasi (%) Nekrosa (%) Perlakuan Postmortem (jam ke-) AHS 2.5 ± 0.7 b 1.5 ± 0.8 c 2.3 ± 0.6 c 1.1 ± 1.2 b 1.8 ± 1.4 b 1.2 ± 1.3 b AMS 6.9 ± 1.1 a 7.6 ± 1.1 a 7.5 ± 0.9 a 3.8 ± 1.9 a 4.6 ± 1.6 a 3.5 ± 1.7 a ALS 3.4 ± 0.7 b 4.7 ± 0.7 b 4.3 ± 0.6 b 2.0 ± 1.6 b 1.6 ± 1.1 b 2.9 ± 1.2 a a-c superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) Walaupun secara keseluruhan hasil statistik memperlihatkan jumlah nekrosa serabut otot paha pada AHS lebih rendah dari ALS, namun pada jam ke 5 postmortem terdapat angka nekrosa pada AHS sebanding atau malah lebih tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh variasi dalam penghitungan secara mikroskopis. Walaupun angka yang tinggi seperti itut terjadi, namun pada

49 49 akhirnya dapat dikatakan bahwa angka degenerasi dan nekrosa pada AMS dan ALS nyata lebih tinggi dibandingkan dengan angka degenerasi dan nekrosa pada AHS. Ciri lain dari serabut otot yang mengalami degenerasi adalah serabut otot mendesak ruang endomisium sehingga tampak ruang tersebut lebih lebar dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Kondisi demikian menyebabkan serabut otot membengkak dan lebih besar dibandingkan dengan serabut otot sekelilingnya yang dinamakan hiperkontraksi. Gambaran seperti itu sangat jelas terlihat pada otot AMS, sedangkan pada otot AHS bentuk serabut otot yang masih poligonal serta keberadaannya yang masih rapi sangat jelas terlihat (Gambar 8). AHS AMS ALS Gambar 8 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur serabut otot. Sebagian besar serabut otot masih utuh pada AHS, sedangkan pada AMS dan ALS beberapa serabut otot mengalami degenerasi (tanda panah). Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Bila diamati secara mikroskopis maka secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada otot AHS adalah sangat kecil dimana jumlah serabut otot yang mengalami degenerasi sangat sedikit. Jumlah serabut otot yang mengalami nekrosa sangat sedikit dibanding dengan nekrosa yang terjadi pada otot AMS dan ALS. Gambaran mikroskopis otot pada AMS dan ALS ditemukan lebih banyak serabut otot yang telah mengalami degenerasi dan nekrosa. Ciri lain degenerasi serabut otot adalah hipereosinofil yaitu serabut otot terlihat menyerap warna eosin lebih kuat dibanding dengan serabut otot yang masih normal, sedangkan serabut otot yang mengalami nekrosa terlihat adanya pembentukan rongga di sitoplasma sel otot (Gambar 9). Kondisi jaringan pada otot AMS terlihat sangat terbuka

50 50 dengan jaringan ikat perimisium yang lebih lebar dan disinilah diperkirakan terjadi pengeluaran cairan sel yang lebih tinggi. AHS AMS ALS Gambar 9 Potongan melintang otot paha (M. biceps femoris) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur histologi serabut otot. Serabut otot yang mengalami nekrosa (tanda panah) dapat dijumpai pada AMS dan ALS. Pada AHS bentuk serabut otot secara keseluruhan masih utuh dibandingkan dengan AMS dan ALS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Diameter Serabut Otot (Muscle Fiber Diameter) Pengamatan terhadap diameter serabut otot dapat mencerminkan juga ukuran dari diameter miofibril. Pengamatan tersebut berguna untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya atropi otot (muscular atrophy) yaitu berkurangnya ukuran otot disebabkan oleh mengecilnya diameter miofibril. Kejadian seperti ini bisa diakibatkan oleh kehilangan miofilamen pada sarkomer. Atropi otot dapat bersifat reversibel jika penyebabnya dapat hilang dan otot kembali ke bentuk semula, dan dapat juga bersifat irreversibel sehingga mengarah ke kematian sel. Ada tiga jenis atropi otot yaitu a) denervasi atropi, dimana stimulus otot berkurang akibat kehilangan fungsi syaraf, sehingga akhirnya sel otot menjadi atropi, b) disuse atropi, pada kondisi ini inervasi syaraf ada namun pergerakan otot berkurang akibat sakit, trauma fisik ataupun fraktur, dan c) malnutrisi atropi yaitu kondisi yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi terhadap jaringan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter serabut otot pada AHS, AMS dan ALS baik pada 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak memperlihatkan perubahan ukuran diameter yang sifnifikan (p>0.05). Walaupun hasil analisis statistik tidak memperlihatkan ada perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan pada

51 51 otot dada dan otot paha dari AHS, AMS dan ALS, namun secara biologis ukuran serabut otot dada tampak lebih besar dibandingkan dengan ukuran serabut otot paha (Tabel 3). Tidak terdapat perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan mengindikasikan bahwa tidak terjadi kelainan metabolik yang berarti yang dapat berpengaruh pada ukuran serabut otot. Akan tetapi trauma fisik antemortem yang lazim terjadi pada broiler kemungkinan tidak sampai mengakibatkan perubahan pada diameter serabut otot dada dan paha. Tabel 3 Rataan dan standar deviasi diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Perlakuan Diameter serabut otot dada (μm) Postmortem (jam ke-) Diameter serabut otot paha (μm) AHS 54.3 ± 1.7 a 53.4 ± 1.3 a 54.1 ±11.1 a 43.3 ±10.1 b 43.8 ± 7.2 b 45.8 ± 8.6 b AMS 55.9 ± 0.5 a 55.9 ± 1.5 a 56.0 ± 0.8 a 44.1 ± 7.3 b 43.7 ± 6.3 b 44.3 ± 8.3 b ALS 52.2 ± 9.7 a 53.0 ± 8.3 a 54.1 ± 7.8 a 43.7 ± 7.3 b 45.5 ± 7.2 b 45.0 ± 8.5 b a-b superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) Dransfield dan Sosnicki (1999) menegaskan bahwa secara alami otot dada broiler memiliki diameter serabut otot yang lebih besar dan hal ini dapat dipengaruhi juga oleh perbedaan umur dan aktivitas fisik. Luas penampang melintang serabut otot pada daging ayam akan meningkat dengan bertambahnya umur. Peningkatan ukuran ini juga berhubungan erat dengan meningkatnya jumlah serabut raksasa (giant fibre), yang luas penampang melintangnya mencapai 3 sampai 5 kali dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Karena semua sampel daging baik dari daging dada maupun daging paha berasal dari strain yang sama, berat badan dan keseragaman umur yang sama, maka pada pengamatan diameter serabut otot tidak terjadi perbedaan yang signifikan.

52 52 Berdasarkan hasil pengamatan maka ukuran serabut otot dada yang terkecil adalah 52.2 μm dan yang terbesar adalah 56 μm (Gambar 10). Diameter serabut otot sangat tergantung dari umur ayam (Dransfield dan Sosnicki 1999, Gatcliffe et al. 2001). Pada penelitian ini, ukuran diameter serabut otot paha, baik pada AHS, AMS dan ALS setelah 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05). Ukuran serabut otot paha terkecil adalah 43.3 μm dan yang terbesar adalah 45.8 μm. 62 (μm) mikrometer Waktu postmortem (jam) AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha Gambar 10 Ukuran diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Menurut Mckee dan Sams (1998), serabut otot yang berasal dari jenis unggas yang pertumbuhannya cepat cenderung memiliki ukuran diameter serabut otot lebih besar bila dibandingkan dengan jenis unggas yang pertumbuhannya lambat. Ayam yang secara alami didominasi oleh serabut otot tipe II, maka cenderung lebih peka terhadap stres dan kualitas daging. Pembuluh Darah Arteri dan Vena Berdasarkan pengamatan terhadap pembuluh darah baik yang terdapat pada otot dada maupun pada otot paha dapat dikatakan bahwa lumen pembuluh darah arteri maupun vena pada AHS tampak kosong dari darah. Ini membuktikan bahwa sebagian besar darah telah keluar dari tubuh saat proses pemotongan,

53 53 sehingga tidak terjadi koagulasi dan retensi di dalam lumen arteri dan vena. Sebaliknya pada AMS dan ALS sebagian besar lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh dan menyebabkan kongesti yang jelas (Gambar 11). Gambaran seperti ini memperlihatkan bahwa pembuluh darah arteri maupun vena pada AMS dan ALS dipenuhi oleh darah yang tertahan karena tidak terjadi pengeluaran darah (bled out) yang sempurna pada saat pemotongan. AHS AMS ALS Gambar 11 Lumen pembuluh darah arteri pada otot dada (M. pectoralis) AHS 1 jam postmortem tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada AMS dan ALS, lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Bila dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah arteri pada AHS maka efisiensi pengeluaran darah (blood loss) pada ALS pun masih kurang baik, sebab berdasarkan penampilan histologis masih banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah arteri maupun vena. Pada ayam yang lemah dan stres, kemungkinan besar kerja sistem sirkulasi tidak cukup kuat untuk mengeluarkan darah yang sempurna pada saat pemotongan. Griffiths et al. (1985) menyatakan bahwa perbedaan metode pemingsanan ternyata tidak akan mempengaruhi jumlah darah pada karkas, sehingga faktor terpenting dalam hal ini adalah tindakan memotong dengan sempurna atau tidak, karena pemingsanan atau tidak pemingsanan hanya menunjukkan perbedaan jumlah darah yang tidak signifikan. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pemotongan yang benar terhadap ayam yang sehat merupakan faktor yang sangat penting dalam penyiapan karkas dan daging yang berkualitas baik dan sehat. Pemotongan yang sempurna akan menyebabkan sebagian besar darah keluar dari sistem sirkulasi, walaupun dalam jumlah sangat kecil masih

54 54 tetap ada yang tertahan di dalam organ-organ vital seperti otak, limpa, paru-paru dan hati. Kondisi pembuluh darah yang mengalami kongesti tidak saja ditemukan pada otot dada namun ditemukan juga pada otot paha baik pada otot paha AMS dan juga pada otot paha ALS. Pada pembuluh darah vena memperlihatkan gambaran bahwa pembuluh darah tersebut pada otot paha AMS dan ALS juga dipenuhi oleh darah, sedangkan pada otot paha AHS pembuluh darah vena tampak kosong dan tidak membengkak (Gambar 12). AHS AMS ALS Gambar 12 Lumen pembuluh darah vena pada otot paha (M. biceps femoris) AHS 1 jam postmortem, tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada otot paha AMS dan ALS, lumen pembuluh darah vena dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Pada kondisi pembuluh darah vena yang penuh oleh darah, maka jika dinding pembuluh darah vena mengalami ruptur, maka eritrosit akan menyebar ke jaringan antar serabut otot yang ditandai dengan banyaknya eksudasi di jaringan ikat dan antar serabut otot. Hal ini akan mempercepat proses pembusukan pada daging terutama jika di dalam darah mengandung sejumlah mikroorganisme pembusuk. Jarak Antar Serabut Otot (Muscle Fiber Interstitials) Hasil pengamatan terhadap jarak antar serabut otot (muscle fiber interstitials) menunjukkan bahwa jarak antar serabut otot pada AMS mengalami perubahan yang nyata lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AHS dan ALS. Pelebaran jarak yang signifikan yang terjadi pada otot dada dan otot paha AMS setelah 1, 5 dan 9 jam pasca mati berturut-turut sebesar 10.7, 10.8, 11; 10, 10 dan 10.6 μm (Tabel 4). Pada pengamatan

55 55 mikroskopis dapat dilihat bahwa sebagian besar serabut otot dada pada AMS dan ALS telah mengalami dissosiasi dan juga ditambah lagi dengan adanya eksudasi, sehingga banyak serabut otot yang mengalami perenggangan antara satu dengan yang lain. Tabel 4 Rataan dan standar deviasi jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Perlakuan Jarak antar serabut otot dada (μm) Postmortem (jam ke-) Jarak antar serabut otot paha (μm) AHS 7.4 ± 2.1 b 9.3 ± 1.4 b 7.4 ± 0.8 c 7.2 ± 1.6 b 8.3 ± 1.5 b 7.5 ± 1.0 b AMS 10.7 ± 1.2 a 10.8 ± 1.0 a 11 ± 1.2 a 10 ± 0.9 a 10 ± 1.3 a 10.6 ±0.9 a ALS 9.3 ± 0.9 a 9.3 ± 0.8 b 9.9 ± 1.3 b 9.1 ± 1.2 a 9.4 ± 1.5 ab 9.8 ± 0.7 a a-c superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) Daging AHS yang berasal dari hasil penyembelihan ayam sehat memiliki struktur dan integritas serabut otot yang masih utuh. Sedangkan daging pada AMS dan ALS struktur serabut otot telah mengalami dissosiasi dan ditambah lagi dengan adanya eksudasi. Pada daging AMS dan ALS jarak antar serabut otot terlihat lebih lebar dengan kondisi dissosiasi yang lebih berat. Pelebaran ruang interstitials ini juga dipicu oleh meningkatnya cairan intraselular yang menuju ke ruang tersebut dan dipengaruhi juga oleh banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah. Menurut Gissel (2005) daging yang mengalami kehilangan cairan yang lebih banyak disamping memperlihatkan karakter yang basah, secara mikroskopis terlihat struktur jaringan yang lebih longgar dibandingkan dengan struktur jaringan yang berasal dari kondisi yang normal. Peningkatan ruang antar serabut otot (extracellular space atau muscle fibers interstitials) biasanya disertai dengan peningkatan permeabilitas sarkolemma. Kondisi inilah yang diduga menyebabkan

56 56 banyak air intraselular dengan mudah menuju ke ruang ekstraselular melalui (drip channels)(gambar 13). AMS ALS ALS AHS AMS ALS Gambar 13 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. Jarak antar serabut otot (tanda panah) pada AMS dan ALS lebih besar daripada pada AHS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 μm. Berdasarkan hasil analisis statistik, jarak antar serabut otot dada dan serabut otot paha pada AHS signifikan lebih pendek (p<0.05) atau dengan kata lain lebih rapat jika dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AMS dan ALS (Gambar 14). 12 mikrometer ( μ m) Waktu postmortem (jam) AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha Gambar 14 Histogram jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan jarak antar serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Pada ayam bangkai ruang interstitials antar serabut otot mengalami suatu kondisi yang menyebabkan ruang tersebut menjadi lebih renggang. Eksudasi

57 57 yang terdapat di antara serabut otot dan pada jaringan penunjang mengindikasikan bahwa telah terjadi pengeluaran cairan intraselular ke jaringan ekstraselular. Menurut Kranen et al. (2000) gambaran eksudasi yang lebih banyak disebabkan juga oleh kerusakan dinding endotel. Jika dinding pembuluh darah rusak (rupture) maka sedikit atau banyak darah akan terdapat di jaringan interselular. Intensitas hemoglobin postmortem di dalam jaringan tergantung pada jumlah dan distribusi dari darah sisa pada karkas, kekuatan hemolisis dan derajat koagulasi intravaskular. Berdasarkan pengamatan mikroskopis dapat dikatakan bahwa lebih dari 50% jaringan pada otot AMS telah mengalami eksudasi. Eksudasi terlihat seperti fibrin atau benang halus yang berada di sekitar serabut otot dan di jaringan ikat penunjang (Gambar 15). AHS AMS ALS Gambar 15 Potongan melintang serabut otot dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem memperlihatkan eksudasi yang terjadi di antara serabut otot. Pada AMS terlihat eksudasi (tanda panah) sangat banyak, sedangkan pada ALS lebih sedikit dan pada AHS dalam persentase yang sangat kecil. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 μm. Eksudasi terutama disebabkan oleh keluarnya cairan darah lewat pembuluh darah akibat terjadi perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah beberapa saat setelah kematian. Pada otot dada dan otot paha AHS tidak terdapat banyak eksudasi baik di daerah antar serabut otot maupun di jaringan penunjang. Ini memberikan gambaran bahwa dengan dilakukan pemotongan ayam secara benar dan berasal dari ayam yang sehat, maka darah tidak akan tertahan di dalam system

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI

PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI RAZALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Otot Menjadi Daging Kondisi ternak sebelum penyembelihan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena dagingnya selain rasanya enak juga merupakan bahan pangan sumber protein yang memiliki kandungan gizi lengkap

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN (Kuliah TM 4; 23 Sept 2014) PROSES MENGHASILKAN DAGING TERNAK HIDUP KARKAS POTONGAN BESAR READY TO COOK Red meat White meat NAMP Meat Buyer

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh penggunaan restraining box terhadap ph daging Hasil pengujian nilai ph dari daging yang berasal dari sapi dengan perlakuan restraining box, nilai ph rata-rata pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1 DAGING Theresia Puspita Titis Sari Kusuma There - 1 Pengertian daging Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi

Lebih terperinci

DAGING. Pengertian daging

DAGING. Pengertian daging Pengertian daging DAGING Titis Sari Kusuma Daging adalah bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi atau domba yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING KELAS B Juni Sumarmono, PhD Ir. Kusuma Widayaka, MS SEMESTER GASAL 207/2018 Kuliah TM 4 Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c (THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE FROZEN STORAGE AT - 19 O C) Thea Sarassati 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Daging itik mempunyai kualitas rendah karena bau amis, bertekstur kasar dan alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING (lanjutan)

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING (lanjutan) KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING (lanjutan) ILMU PASCA PANEN PETERNAKAN (Kuliah TM 5) normal DFD Gambar daging sapi yang memiliki DIA normal dan daging yang memiliki DIA tinggi sehingga tampak gelap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Kelinci Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci fryermerupakan karkas kelinci muda umur 2 bulan, sedangkan karkas kelinci

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

INSIDEN PEREDARAN AYAM TIREN PADA PASAR TRADISIONAL DI SURABAYA THE INCIDENCE OF CARRION CHICKEN SALES IN SURABAYA TRADITIONAL MARKETS

INSIDEN PEREDARAN AYAM TIREN PADA PASAR TRADISIONAL DI SURABAYA THE INCIDENCE OF CARRION CHICKEN SALES IN SURABAYA TRADITIONAL MARKETS INSIDEN PEREDARAN AYAM TIREN PADA PASAR TRADISIONAL DI SURABAYA THE INCIDENCE OF CARRION CHICKEN SALES IN SURABAYA TRADITIONAL MARKETS Sheila Marty Yanestria dan Freshinta Jellia Wibisono Laboratorium

Lebih terperinci

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) Diterbitkan : Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Grobogan Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi masyarakat, mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan makanan asal hewan (daging). Faktor lain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh normal dan sehat, karena bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi Pengaruh dan terhadap Kualitas Daging Sapi Syafrida Rahim 1 Intisari Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi pada tahun 2008. Penelitian bertujuan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein utama dan sebagai sumber

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM Disajikan oleh : Arsidin(E1A007003), dibawah bimbingan Haris Lukman 1) dan Afriani 2) Jurusan Produksi Ternak, Fakultas

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Daging merupakan produk utama dari ternak unggas. Daging sebagai

PENGANTAR. Latar Belakang. Daging merupakan produk utama dari ternak unggas. Daging sebagai PENGANTAR Latar Belakang Daging merupakan produk utama dari ternak unggas. Daging sebagai sumber protein hewani banyak mengandung gizi yang dibutuhkan oleh manusia. Seiring dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica)

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica) TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Ilmiah Menurut International Union for The Conservation of Nature tahun 2009 (Lunde dan Aplin, 2008), klasifikasi ilmiah dari landak jawa adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Homogenisasi merupakan proses pengecilan ukuran fase terdispersi dalam suatu sistem emulsi. Proses homogenisasi bertujuan untuk menjaga kestabilan sistem emulsi dan mencegah

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

2ooG KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM BROILER YANG RANSUMNYA DIBERI PENAMBAHAN MINYAK IKAN YANG MENGANDUNG OMEGA3 SKRIPSI MAD TOBRI

2ooG KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM BROILER YANG RANSUMNYA DIBERI PENAMBAHAN MINYAK IKAN YANG MENGANDUNG OMEGA3 SKRIPSI MAD TOBRI 2ooG 0 17 KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM BROILER YANG RANSUMNYA DIBERI PENAMBAHAN MINYAK IKAN YANG MENGANDUNG OMEGA3 SKRIPSI MAD TOBRI PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H

MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK. Oleh : Titian Rahmad S. H MAKALAH MATA KULIAH PANGAN DAN GIZI HASIL TERNAK Oleh : Titian Rahmad S. H0506010 JURUSAN/PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 MINERAL Mineral merupakan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density.

ABSTRACT. Keywords : high calcium milk, adolescent boys, blood calcium concentration, bone density. ABSTRACT SURYONO. The Effects of High Calcium Milk Consumption on Blood Calcium Concentration and Bone Density of Adolescents Boys. Under supervision of ALI KHOMSAN, DRAJAT MARTIANTO, BUDI SETIAWAN, and

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS

PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN HISTOLOGIS DAGING SAPI PADA FASE RIGOR MORTIS INDRA SULAKSANA PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGaR 1999 RINGKASAN INORA SULAKSANA. 1999. Pengaruh

Lebih terperinci

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP TUGAS MATA KULIAH NUTRISI TANAMAN FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP Oleh : Dewi Ma rufah H0106006 Lamria Silitonga H 0106076 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 Pendahuluan Fosfor

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI YUNITA ANGGRAENI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 RINGKASAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI REBUS YANG DILUNAKKAN DENGAN SARI BUAH NANAS (Ananas comosus) NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh: DIAN WIJAYANTI A 420 100 074 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis) TINJAUAN PUSTAKA Kerbau (Bubalus bubalis) Kerbau termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari Bubalus arnee, kerbau liar dari India. Kerbau domestik sebagai suatu spesies Bubalus

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fosfor, besi atau mineral lain. Protein disusun dari 23 atau lebih unit yang

BAB I PENDAHULUAN. fosfor, besi atau mineral lain. Protein disusun dari 23 atau lebih unit yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Protein adalah senyawa organik besar, yang mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa diantaranya mengandung sulfur, fosfor, besi atau

Lebih terperinci

SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN. Oleh : Ajeng Rucitra Nareswari F

SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN. Oleh : Ajeng Rucitra Nareswari F SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI AYAM TIREN Oleh : Ajeng Rucitra Nareswari F24102044 2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 54

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK Asep

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Populasi ayam ras petelur di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke

PENDAHULUAN. Populasi ayam ras petelur di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi ayam ras petelur di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, populasi ayam ras petelur 146.660,42 ekor dan pada tahun 2015 meningkat

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING KUALITAS DAGING Dalam pengujian kualitas daging dipergunakan sampel-sampel : macam otot, penyiapan sampel. Uji fisik obyektif yang meliputi Keempukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba,

TINJAUAN PUSTAKA. Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba, II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Domba Daging domba berdasarkan kualitas dapat dibedakan atas umur domba, jenis kelamin, dan tingkat perlemakan. Daging domba memiliki bobot jaringan muskuler atau urat daging

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Daging Sapi Daging berasal dari hewan ternak yang sudah disembelih. Daging tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan lemak. Jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Broiler Ayam broiler merupakan bangsa unggas yang arah kemampuan utamanya adalah untuk menghasilkan daging yang banyak dengan kecepatan pertumbuhan yang sangat pesat. Ayam

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Isa Brown, Hysex Brown dan Hyline Lohmann (Rahayu dkk., 2011). Ayam 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Petelur Ayam petelur merupakan ternak unggas petelur yang banyak dikembangkan di Indonesia. Strain ayam petelur ras yang dikembangkan di Indonesia antara lain Isa Brown,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 vi PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Gorontalo memiliki 10 Tempat Pemotongan Hewan yang lokasinya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN THE PHYSICAL QUALITY (WATER HOLDING CAPACITY, COOKING LOSSES, AND TENDERNESS) OF SENTUL CHICKEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Itik Afkir Itik afkir merupakan ternak betina yang tidak produktif bertelur lagi. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan sebagai bahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan perkembangan pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini

BAB I PENDAHULUAN. asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang panjang sudah lama dikenal di Indonesia, tetapi bukan tanaman asli Indonesia. Daerah asalnya adalah India dan Afrika Tengah. Tanaman ini tumbuh dan menyebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK METODE EKSPLO ORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK EKO WAHYU WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin. pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat

Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin. pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat SUMBER-SUMBER ENERGI DAN METABOLISME Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat segera digunakan adalah derivat

Lebih terperinci

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C Kualitas Sapi dan yang Disimpan pada Suhu THE QUALITY OF WAGYU BEEF AND BALI CATTLE BEEF DURING THE COLD STORAGE AT 4 O C Mita Andini 1, Ida Bagus Ngurah Swacita 2 1) Mahasiswa Program Profesi Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Es krim merupakan makanan padat dalam bentuk beku yang banyak disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Banyaknya masyarakat yang

Lebih terperinci

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar yang ada dihutan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENGARUH PEMANFAATAN GETAH BIDURI (Calotropis gigantea) TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA DAGING AYAM PETELUR AFKIR

PENGARUH PEMANFAATAN GETAH BIDURI (Calotropis gigantea) TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA DAGING AYAM PETELUR AFKIR PENGARUH PEMANFAATAN GETAH BIDURI (Calotropis gigantea) TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA DAGING AYAM PETELUR AFKIR Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat memenuhi

I. PENDAHULUAN. Broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat memenuhi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler merupakan salah satu sumber protein hewani yang dapat memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Broiler memiliki kelebihan dan kelemahan.

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh:

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh: PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI Oleh: NURUL TRI PRASTUTY H2E 006 035 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Broiler Ayam broiler atau yang juga disebut ayam pedaging merupakan salah satu unggas yang sangat efisien dalam menghasilkan daging dan digemari oleh masyarakat Indonesia

Lebih terperinci