KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI"

Transkripsi

1 KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 ABSTRACT FATMA SILVIANI. Nutrients Consumption and Food Acceptance of Chronic Kidney Disease Patients to the Food Served in Fatmawati General Hospital. Under Direction of Rimbawan and Yekti Hartati Effendi. The alteration of food habit, lifestyle, and environmental condition has led to epidemiological transition, as indicated by the increasing of degenerative diseases occurrence such as chronic kidney disease. Therapy for chronic kidney disease can be done by admission to the hospital, receiving medical treatment and supported by proper diet treatment. The efficacy of the diet provided by the hospital can be evaluated by nutrients consumption and food acceptance of the food served. The purpose of this research is to study nutrients consumption and food acceptance among chronic kidney disease patients to the food served in Fatmawati General Hospital. A cross sectional study and purposive sampling was conducted on 50 chronic kidney disease patients based on physicians diagnosis. The criteria for the subjects are compos mentis condition, men and women aged years old, have been hospitalized and received diet treatment for at least 2 days, not having enteral feeding, and willing to be interviewed. The result of the research showed that food consumption classified as deficit compared to the food availability and nutrition requirement. Food acceptance measurement showed that food provided by the hospital was well accepted. Spearman test showed that there was no significant correlation between nutrients consumption and food acceptance (p>0,05 ; r<0,5). Keywords:nutrients consumption, food acceptance, chronic kidney diseases, Fatmawati General Hospital

3 RINGKASAN FATMA SILVIANI. Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati. Dibimbing oleh RIMBAWAN dan YEKTI HARTATI EFFENDI Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati; (2) mempelajari karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit subyek meliputi jenis penyakit, lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di rumah sakit; (3) mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek; (4) menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain; (5) menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain subyek serta tingkat konsumsi subyek terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain; (6) mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan rumah sakit meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu; (7) mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain dari makanan luar rumah sakit dan atau makanan parenteral rumah sakit; (8) menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain. Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober Subyek pada penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal rawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati. Subyek dipilih secara purposif berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) laki-laki dan wanita yang berusia tahun (2) dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan, (3) telah dirawat dan mendapat pelayanan makanan dari RS minimal 2 hari, (4) tidak diberikan makanan enteral dan (5) bersedia diwawancara. Populasi penelitian adalah seluruh pasien penyakit ginjal kronik yang dirawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati yaitu 86 orang. Dari jumlah populasi tersebut, dipilih calon subyek yaitu pasien yang memenuhi kriteria yaitu 52 orang. Calon subyek kemudian dikumpulkan datanya selama penelitian. Subyek pada penelitian ini yaitu pasien yang memiliki data lengkap yaitu sebanyak 50 orang. Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuisioner. Data primer meliputi (1) gambaran umum instalasi gizi, (2) jenis diet yang diberika RS, (3) karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan status gizi), riwayat penyakit subyek (lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di RS), (4) kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek, (5) ketersediaan energi dan zat gizi lain makanan RS, (6) konsumsi energi dan zat gizi lain serta tingkat konsumsi subyek (terhadap kebutuhan dan ketersediaan), (7) daya terima subyek terhadap makanan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat dan variasi menu, (8) kontribusi energi dan zat gizi lain dari makanan luar dan atau makanan parenteral RS. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner yaitu karakteristik dan identitas subyek, riwayat penyakit dan data daya terima subyek

4 terhadap makanan RS. Data berat badan dan tinggi badan diperoleh dari rekam medik. Data status gizi diperoleh berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT). Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus total daily energy (TDE) mengacu pada Almatsier (2004). Angka Metabolisme Basal (AMB) dalam perhitungan kebutuhan diperoleh dari dua rumus yaitu Oxford Equation dan rumus cepat yang ditetapkan RSUP Fatmawati mengacu pada Almatsier (2004). Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) berdasarkan Hartono (2000). Angka kebutuhan protein subyek mengikuti ketetapan RS yaitu 40 g. Jumlah protein ini mengacu pada diet Rendah Protein III (Almatsier 2004). Kebutuhan zat besi subyek mengacu pada AKG zat besi, yaitu untuk pria usia tahun 13mg/hari, wanita berusia tahun 26 mg/hari dan wanita usia tahun 12 mg/hari (WKNPG 2004). Kebutuhan natrium dan kalium subyek mengacu pada rekomendasi natrium dan kalium harian bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu 3000 mg/hari untuk kebutuhan natrium dan 2500 mg/hari untuk kebutuhan kalium (Greene JM dan Thomas L 2008). Data ketersediaan dan konsumsi makanan subyek (gram) untuk makan pagi, siang, sore serta selingan dari makanan RS dikumpulkan dengan menimbang (food weighing method) makanan yang telah disediakan sebelum dikonsumsi dan makanan sisa. Perhitungan ketersediaan dan konsumsi energi (Kal), protein (g), zat besi (mg), natrium (mg), dan kalium (mg) subyek terhadap makanan RS dan makanan luar RS diperoleh melalui konversi menggunakan DKBM. Data jenis makanan luar RS diperoleh dengan Recall Method. Tingkat ketersediaan dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang (<90% angka kebutuhan), normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein % angka kebutuhan), dan lebih (energi >110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan) (Hardinsyah dan Briawan 1994). Tingkat konsumsi terhadap ketersedian dikategorikan menjadi 4, yaitu defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan), defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan), defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) dan normal (90-100% angka ketersediaan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996). Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi 5, yaitu defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan), defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan), defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) dan normal (90-119% angka kebutuhan dan lebih ( 120% angka kebutuhan) (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996). Pengamatan ketersediaan dan konsumsi makanan yang disajikan RS dilakukan selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, siang, sore dan selingan. Pengamatan daya terima subyek terhadap makanan RS dilakukan selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, sing dan sore. Data kandungan energi dan zat gizi lain infus diketahui berdasarkan jenis infus, yang diperoleh dari pengamatan langsung dan rekam medik. Subyek dalam penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal kronik yang berusia tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki dan berada dalam kisaran usia tahun atau dewasa menengah. Lebih dari separuh subyek memiliki status gizi normal dan telah menderita penyakit ginjal selama kurun waktu 1-5 tahun. Seluruh subyek pada penelitian ini telah mengalami komplikasi. Separuh subyek pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya karena penyakit ginjal yang diderita. Lebih dari separuh subyek telah dirawat di RS antara kurun waktu 4 7 hari dan diberikan diet rendah

5 protein (RP). Berdasarkan jenis diet, sebagian besar subyek diberikan diet dengan konsistensi lunak. Rata-rata kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS adalah 2003 Kal dan berdasarkan rumus Oxford Equation adalah 1624 Kal. Kebutuhan ratarata protein sebesar 40 g.rata-rata kebutuhan zat besi, natrium dan kalium subyek yaitu 15,9 mg, 3000 mg dan 2500 mg. Rata-rata ketersediaan energi dan protein dari makanan RS adalah 1357 Kal dan 40,8 g. Rata-rata ketersediaan zat besi, natrium dan kalium yaitu 17,9 mg, 256,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat ketersediaan energi baik pada perhitungan menggunakan rumus cepat RS maupun perhitungan dengan rumus Oxford Equation menunjukkan bahwa lebih dari separuh subyek termasuk kategori defisit. Rata-rata tingkat ketersediaan protein subyek tergolong kategori normal. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan protein RS sudah sesuai dengan kebutuhan protein subyek yaitu sebesar 40 g per hari. Rata-rata tingkat ketersediaan zat besi dan kalium termasuk dalam kategori diatas AKG, sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium termasuk dalam kategori dibawah AKG. Rendahnya rata-rata tingkat ketersediaan natrium subyek diperkirakan karena diet yang diberikan RS juga rendah garam. Selama 3 hari pengamatan konsumsi, seluruh pasien tidak menghabiskan makanan yang disajikan RS. Oleh karena itu, rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain masih tergolong rendah. Rata-rata konsumsi energi dan protein subyek adalah 992 Kal dan 29,3 g. Rata-rata konsumsi zat besi, natrium dan kalium yaitu 10,2 mg, 189,7 mg dan 3492,5 mg. Alasannya antara lain lemas, pusing, lidah terasa pahit, mual, bosan dan sulit buang air besar. Rata-rata tingkat konsumsi energi, baik terhadap ketersediaan maupun terhadap kebutuhan masih tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Begitu pula dengan protein, zat besi, natrium, dan kalium subyek, secara umum tingkat konsumsi terhadap ketersediaan dan terhadap kebutuhan zat gizi tersebut termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Daya terima berdasarkan waktu makan, menunjukkan mayoritas subyek memiliki penerimaan tinggi untuk makan pagi (80%) dan siang (78%) serta penerimaan sedang untuk makan sore (58%). Penilaian subyek terhadap atribut makanan cenderung biasa terhadap warna, aroma, tekstur, bentuk, rasa lauk, kebersihan alat dan variasi menu. Subyek cenderung tidak menyukai rasa sayur, baik pada waktu makan pagi, siang atau sore. Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap total konsumsi terbesar berasal dari makanan RS. Persentase kontribusi natrium jauh lebih rendah dibandingkan dengan energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini disebabkan hampir separuh (49,4%) kontribusi natrium berasal dari infus. Kontribusi konsumsi energi, protein, zat besi dan kalium yang berasal dari makanan luar RS maupun infus tergolong rendah. Uji korelasi Spearman antara tingkat konsumsi dan daya terima menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05 dan r<0,5) mengindikasikan bahwa daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain. Artinya, meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya konsumsi makanan dari luar RS, penyajian makanan RS yang kurang menarik maupun faktor internal diantaranya rasa mual, pusing, lemas, menurunnya nafsu makan yang dialami subyek karena penyakit ginjal yang diderita.

6 KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI FATMA SILVIANI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 Judul Nama NRP : Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati : Fatma Silviani : I Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Rimbawan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Gizi Masyakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik terhadap Makanan yang disajikan RSUP Fatmawati yang merupakan syarat kelulusan sebagai Sarjana Gizi. Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril dan materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Rimbawan dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran, memberikan masukan, arahan, kritik, motivasi, nasihat serta semangat dan dorongan untuk penyelesaian skripsi ini. 2. Prof. Hidayat Syarief selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, masukan dan motivasi kepada penulis 3. Katrin Roosita, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan saran perbaikan dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Direktur RSUP Fatmawati, Kepala Instalasi Gizi beserta staf, Kepala Ruangan, dan para perawat. 5. Para pembahas seminar Dian Rizki Eka Rizal, Tika Nurmalasari, Miftachul Jannah dan Diny Anggris Febriana atas saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. 6. Mama, bapak, adik, kekasih hati dan para sahabat yang senantiasa memberikan dukungan semangat, kasih sayang, finansial dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Demi perbaikan ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenai konsumsi dan daya terima pasien rawat inap di rumah sakit. Bogor, Februari 2012 Fatma Silviani

9 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak pertama dari pasangan Abdul Bari dan Maryanih, dilahirkan di Jakarta pada 9 November Menempuh pendidikan formal di TK Assalam, SDN 09 Tanjung Barat, SMPN 98 Jakarta, dan SMUN 55 Jakarta. Aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler selama sekolah seperti Pengibar Bendera (Paskibra), Tari Saman, dan Majalah Dinding. Penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun Penulis merupakan penerima Beasiswa Belajar Mahasiswa (BBM) tahun dan salah satu penerima dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa Gagas Tertulis (PKM-GT) tahun 2009 dengan judul Reeksekusi Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Indonesia dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) tahun 2010 dengan judul Chocolat Pettilant Junten Hitam (Nigella sativa l) sebagai Pangan Alternatif Tinggi Kalium. Aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) antara lain UKM Agria Swara (2009), Perkumpulan Tari Saman Departemen Gizi Masyarakat ( ), Jakarta Community (Jco) (2010) serta aktif dalam kepanitiaan seperti Olimpiade Mahasiswa IPB , Gebyar Nusantara 2010, Nutrition Fair , Sosialisasi Periksa Urin Sendiri (PURI) dan SENZASIONAL Penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Karang Papak, Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun Pada tahun 2011, penulis melaksanakan Internship Dietetic di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum Metodologi Penelitian Gizi pada tahun 2010.

10 DAFTAR ISI PRAKATA... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Kegunaan Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Pelayanan Gizi Rumah Sakit... 4 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit... 5 Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi... 8 Energi... 9 Protein Zat Besi Natrium dan Kalium Fisiologi dan Fungsi Ginjal Diet Penyakit Ginjal Pemberian Dukungan Gizi Daya Terima Makanan Uji Kesukaan (Uji Hedonik) KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum RSUP Fatmawati Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi i ii v vii viii

11 RSUP Fatmawati Karakteristik Subyek Riwayat Penyakit Diet yang Diberikan RS Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS Daya Terima Terhadap Makanan RS Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 75

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek Rumus AMB berdasarkan Oxford Equation Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan energi orang sakit Jenis data dan klastifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek Sebaran subyek berdasarkan lama sakit Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS Sebaran subyek berdasarkan lama rawat di RS Sebaran subyek berdasarkan jenis diet uang diberikan RS Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan protein makanan RS Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi, natrium dan kalium makanan RS Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap kebutuhan energi dan protein Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap

13 kebutuhan zat besi, natrium dan kalium Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS tiap waktu makan Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan pagi Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan siang Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan sore Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain... 66

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP Fatmawati Penarikan subyek penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan Instalasi gizi RSUP Fatmawati Diet RP dan DMRP lunak Lauk dan tumisan sebelum diporsikan Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien... 55

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kuisioner Penelitian Siklus Menu Diet RP Kelas III Siklus Menu Selingan Jam Kelas III... 79

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, perkembangan teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat serta situasi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus penyakit tidak menular (Depkes 2007). Menurut WHO tahun 2000, di dunia telah terjadi kematian, dan 59% diakibatkan oleh penyakit tidak menular dan di Asia Tenggara tahun 2001, penyakit tidak menular merupakan 49,7% penyebab kematian, sehingga menimbulkan DALYs (Disability Adjusted Life Years) sebesar 42,2%. Penyakit degeneratif merupakan jenis penyakit tidak menular yang disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel dalam tubuh. Penyakit degeneratif yang umum diderita oleh penduduk Indonesia antara lain stroke, penyakit jantung, tumor, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan penyakit ginjal kronik (PGK). Di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang dewasa mengalami penyakit ginjal kronik. Data tahun menunjukkan insidens PGK mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun, mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Sementara itu, di negara-negara berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar kasus per juta penduduk pertahun (Suwitra 2007). Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insiden PGK berkisar per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai kasus per juta penduduk (Bakri 2005). Dalam upaya memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit, termasuk penyakit ginjal, diperlukan pengobatan yang tepat. Disamping upaya pengobatan, makanan merupakan salah satu faktor penunjang untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit. Dengan mengkonsumsi makanan, berarti pasien juga mengkonsumsi zat gizi yang terkandung di dalam makanan tersebut. Tercukupinya zat gizi dapat membantu proses penyembuhan. Dengan pengadaan makanan di rumah sakit diharapkan agar pasien penderita penyakit dalam mendapatkan konsumsi energi dan protein yang terkontrol.

17 Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah pengadaan makanan. Rumah sakit memiliki pedoman diit tersendiri yang akan memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien, daya tahan tubuh dalam menghadapai penyakit, khususnya infeksi dan membantu kesembuhan pasien dari penyakit dengan memperbaiki jaringan yang rusak serta memulihkan keadaan homeostatis (Hartono 2000). Terapi diet merupakan penatalaksanaan gizi yang sangat penting pada penderita penyakit ginjal. Umumnya, diet pada penyakit ginjal dapat diperoleh secara efektif dan efisien terutama di rumah sakit. Akan tetapi, perawatan di rumah sakit berarti memisahkan pasien dengan lingkungannya sehari-hari, termasuk kebiasaan makannya. Tidak hanya perbedaan pada macam makanan yang disajikan, tetapi juga cara makanan tersebut dihidangkan, waktu makan, tempat makan, sehingga mempengaruhi selera makan pasien (Subandriyo 1995). Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya konsumsi terhadap makanan yang disajikan dan memperbesar kecenderungan pasien untuk mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit, sehingga berdampak pada kebutuhan gizi pasien yang tidak terpenuhi dan terhambatnya proses penyembuhan. Konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan rumah sakit perlu diperhatikan dengan seksama. Hal inilah yang mendasari penelitian mengenai konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal rawat inap terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit. Tujuan Tujuan Umum Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati 2. Mempelajari karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit

18 meliputi jenis penyakit, lama sakit, ada tidaknya komplikasi, status pernah dirawat dan lama dirawat di rumah sakit 3. Mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek 4. Menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain dari makanan RS 5. Menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS serta tingkat konsumsi makanan RS terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain 6. Mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu 7. Mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain yang berasal dari makanan luar RS dan atau infus 8. Menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS dengan tingkat konsumsi makanan RS Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan informasi tentang tingkat konsumsi energi, protein, zat besi dan natrium pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam penyempurnaan kegiatan penyelenggaraan makanan untuk pasien rawat inap umumnya dan pasien penyakit ginjal khususnya.

19 TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier 2004). Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang menyesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Hal tersebut diakibatkan karena tidak tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi. Selain itu, masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya dengan penyakit degeneratif (Depkes 2006). Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap yaitu pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier 2004). Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002). Menurut Hartono (2000), untuk mencapai kondisi kesehatan pasien yang optimal, maka rumah sakit umumnya akan menyediakan, (1) makanan dengan kandungan gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status gizi masing-masing pasien, (2) makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, (3) makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang, (4) makanan yang bebas unsur aditif yang berbahaya, dan (5) makanan dengan penampilan dan citarasa yang menarik untuk menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu oleh penyakit dan kondisi indera pengecap atau pembaunya.

20 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan dan evaluasi. Dietetik klinik adalah pengaturan makanan bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Pengaturan makan demikian, selain, ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, juga ditunjukkan untuk membantu pasien dalam penyembuhan penyakitnya, mengurangi atau menghilangkan penderitaan dan gejala-gejala klinis yang terjadi akibat penyakitnya (Effendi 2011). Tujuan dari penyelenggaraan makanan makanan di rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006). Perencanaan Menu Menurut Uripi (1993), menu berasal dari bahasa Prancis menute yang berarti daftar makanan yang disajikan kepada konsumen. Secara umum, menu adalah sususan hidangan yang disajikan pada waktu akan makan. Dengan kata lain, menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk sekali makan, misalnya susunan hidangan makan pagi, siang atau malam. Pola menu sehari yang dianjurkan di Indonesia adalah makanan seimbang yang terdiri dari makanan sumber zat tenaga yakni karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Siklus menu pada umumnya direncanakan untuk waktu tertentu, misalnya 10 sampai dengan 15 hari. Menu yang dipergunakan untuk waktu tertentu tersebut kemudian diulang kembali. Siklus menu tergantung tersedianya bahan makanan. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan makanan di rumah sakit karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran belanja, peralatan, penyediaan bahan makan dan sebagainya (Uripi 1993). Adapun fungsi dari perencanaan menu adalah: 1. Untuk memudahkan pelaksana dalam menjalankan tugasnya sehari-hari

21 2. Secara garis besar dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat gizi yang essensial yang dibutuhkan tubuh 3. Variasi dan kombinasi hidangan dapat diatur, sehingga dapat menghindari kebosanan yang disebabkan pemakaian jenis bahan makanan dan jenis makanan yang sering terulang 4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia sehingga kekurangan uang belanja dapat dihindari atau harga makanan dapat dikenadalikan 5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin. Dengan perencanaan menu yang matang bahan makanan kering dapat dibeli sekaligus untuk beberapa minggu sehingga tenaga dan waktu dapat dihemat Mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan dan cara-cara pelayanan. Pengolahan Bahan Makanan Pengolahan makanan merupakan kegiatan mengubah makanan mentah menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui berbagai proses yang berkaitan. Pengolahan makanan pada garis besarnya terdiri atas dua tahap, yaitu persiapan bahan makanan dan pemasakan makanan. Proses pengolahan sangat berkaitan dengan waktu penyajian, oleh karena itu penjadwalan mutlak dilakukan. Produksi makanan harus diperhatikan untuk setiap item masakan, sehingga persiapan dapat pula ditata. Jadwal disusun mulai persiapan bahan makanan dan waktu penerimaan pada unit produksi. Jadwal produksi perlu direncanakan dan diorganisisr dengan cara yang tepat. Penjadwalan tersebut adalah mengenai persiapan bahan makanan, pengolahan, pemorsian dan penyaluran bahan makanan. Kegiatan persiapan meliputi persiapan bahan makanan dan persiapan alat-alat yang akan digunakan untuk memasak makanan. Selain itu juga dilakukan pengawasan terhadap porsi makanan yang akan disajikan. Persiapan makanan disiapkan oleh bagian persiapan makanan, bahan-bahan yang diperlukan disesuaikan dengan perencanaan menu yang telah ada. Waktu persiapakan harus direncanakan secara tepat karena jika persiapan terlalu awal

22 atau terlalu lambat akan menimbulkan kerugian pada kualitas rasa dan penampilan makanan. Persiapan alat mutlak dilakukan sebelum pengolahan makanan dilakukan, karena peralatan yang dipakai pada proses pengolahan sangat menunjang keberhasilan pengolahan makanan. Pada proses pengolahan alat-alat tersebut harus dapat langsung dipergunakan pada proses pengolahan makanan antara lain panci, penggorengan, baskom dan lainnya. Ada juga alatalat yang secara tidak langsung menunjang proses kegiatan pengolahan makanan yaitu energi seperti bahan bakar, listrik atau gas. Porsi yang digunakan rumah sakit adalah porsi standar. Porsi standar yaitu porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi. Contoh dari standar porsi makanan adalah: - lauk hewani: daging 50 g, ayam 75 g, ikan 60 g - lauk nabati: tempe dan tahu 50 g - sayur berkisar g pada sayuran mentah, sehingga setelah masak menjadi sekitar g - buah misalnya pepaya 100 g Pemasakan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang telah ditentukan, dengan penambahan bumbu menurut resep standar dalam rangka mewujudkan masakan dengan citarasa tinggi. Beberapa prinsip dasar harus diterapkan dalam pemasakan makanan yaitu bumbu harus mempunyai kualitas yang cukup tinggi dan cara pemasakan yang harus tepat (Uripi 1993). Pemorsian dan Pendistribusian Makanan Setelah pengolahan bahan makanan selesai, makanan tersebut kemudian dibagikan kedalam porsi sesuai diet yang dianjurkan, atau biasa disebut proses pemorsian, kemudian mendistribusikannya kepada pasien. Menurut Uripi (1993), pemorsian dilakukan oleh bagian pemorsian yang dibedakan menjadi dua bagian yaitu pemorsian untuk makanan biasa dan pemorsian makanan diet. Porsi makanan yang akan disajikan harus sesuai dengan standar porsi yang berlaku. Menurut Anderson et al (1982) terdapat dua tipe pembagian atau pendistribusian makanan kepada pasien, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Pada pembagian dengan cara sentralisasi, pembagian makanan pada tiap nampan atau porsi bagi masing-masing pasien dilakukan terpusat di area

23 produksi makanan dan diantarkan ke ruang pasien dengan menggunakan kereta makanan. Sedangkan, pembagian dengan cara desentralisasi dilakukan dengan mengangkut makanan dari area produksi ke ruang pasien dalam jumlah besar. Pembagian dalam nampan atau porsi untuk tiap pasien dilakukan di ruang pasien oleh petugas makanan. Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menujukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun kelebihan asupan zat gizi. Kekurangan asupan suatu zat gizi dapat menyebabkan terjadinya defisiensi atau penyakit kurang gizi dan kelebihan akan menyebabkan terjadinya efek samping. Pada keadaan ektrim, kekurangan atau kelebihan zat gizi dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Meskipun demikian, berangkat dari prinsip yang sama, yaitu penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang sehat tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (WKNPG 2004). Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al (2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan daya serap, tingkat penggunaan, serta perbedaan pengeluaran dan penghancuran zat gizi dalam tubuh. Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat konsumsi seseorang merupakan persen angka konsumsi energi dan zat gizi yang diperoleh dari survei terhadap angka kecukupan yang dianjurkan (Suhardjo et al 1988). Menurut Supariasa et al (2001), survei konsumsi makanan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya metode recall 24 jam dan metode penimbangan makanan (food weighing method). Prinsip metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang

24 diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, jumlah makanan yang dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukur rumah tangga (URT) untuk mendapatkan data kualitatif. Menurut Suhardjo (1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat makanan yang tersisa setelah dimakan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan secara kuantitatif. Energi Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal (Resting Metabolic Rate - RMR) ditambah sejumlah energi yang diperlukan untuk efek tambahan metabolisme (Thermic Effect of Food - TEF), kegiatan (Thermic Effect of Exercise - TEE) dan pertumbuhan (pada kelompok usia/fisiologis tertentu) (WKNPG 2004). Resting Metabolic Rate (RMR). Banyak juga peneliti yang menggunakan Basal Metabolic Rate (BMR). Perbedaannya BMR dianjurkan diukur pagi hari, bangun tidur, belum melakukan kegiatan dan telah berpuasa jam. RMR diukur dalam keadaan istirahat biasa dan dilakukan 4-5 jam setelah makan. Thermic Effect of Food (TEF). Dahulu istilah yang digunakan adalah specific dynamic action yaitu tambahan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme protein. Belakangan diketahui bahwa bukan hanya protein yang mempunyai efek tambahan energi untuk metabolismenya, tetapi juga karbohidrat dan lemak. TEF diperkirakan sekitar 10% dari energy expenditure. Glukosa bila disimpan terlebih dahulu sebagai glikogen kehilangan energi sekitar 7%. Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan tambahan energi sebanyak 26%. Thermic Effect of Exercise (TEE). Adalah energi yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan. Pada umumnya kebutuhan energi untuk TEE sekitar 15-30% dari RMR. Namun suatu kegiatan yang berat akan memerlukan energi yang lebih banyak. Facultative thermogenesis merupakan kebutuhan energi sebagai efek dari berbagai perubahan antara lain perubahan suhu, konsumsi makanan, emosi, stress, dan lain-lain. Faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan lain sebagainya.

25 Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak yang ada didalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, protein dan lemak pada suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kal, lemak menghasilkan 9 Kal dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Bahan makanan yang merupakan sumber energi tinggi yaitu sumber lemak, seperti minyak dan lemak serta kacang-kacangan. Selain itu, bahan makanan sumber karbohidrat seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Kekurangan energi pada orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang merupakan resiko untuk menderita penyakit kronik dan memperpendek harapan hidup (Almatsier 2002). Protein Penentuan kebutuhan protein biasanya ditentukan dengan metode faktorial atau keseimbangan nitrogen. Metode faktorial dilakukan dengan mengukur N yang keluar melalui feses, urin keringat, kuku, dan sebagainya bila seseorang diberi diet protein free. Misal, hasil penelitian mengungkapkan dengan cara faktorial kebutuhan N sekitar 54 mg/kgbb bila ditambah 2 SD menjadi 70 mg N/kgBB. Karena nilai protein sama dengan Nx6,25 maka kebutuhan protein sekitar 0,45 g/kgbb dengan catatan dari protein kualitas tinggi. Kehilangan karena efisiensi, mutu protein diperkirakan sekitar 30% sehingga kebutuhan protein menjadi 0,6 sampai 0,7 g/kgbb. Metode keseimbangan nitrogen (Nitrogen Balance) dilakukan dengan mengukur nitrogen dari asupan protein dibanding dengan nitrogen yang keluar melalui feses, urin, keringat. Bila asupan lebih kecil dari yang keluar disebut N-balance negatif dan bila sama maka asupan sama dengan kebutuhan. Untuk mengetahui N-balance positif atau negatif maka percobaan dilakukan dengan pemberian berbagai tingkat protein. Misalnya dengan pemberian 0,6 g/kgbb sampai 1 g/kgbb (WKNPG 2004). Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur nitrogen yang tidak dimiliki oleh karbohidrat atau lemak. Fungsi utama protein bagi tubuh yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Secara garis besar, fungsi protein yaitu alat pengangkut dan penyimpan, sebagai

26 enzim, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan tubuh, pertahanan tubuh, pemberi tenaga, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf (Nasoetion et al 1994). Menurut Almatsier (2004), kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari kebutuhan energi total, atau 0,8 1 g/kg berat badan. Kebutuhan energi minimal untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0,4 0,5 g/kg berat badan. Demam, operasi, sepsis, trauma dan luka dapat meningkatkan katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1,5 2,0 g/kg berat badan. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan protein sebesar 1,0 1,5 g/kg berat badan. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu, daging, ikan, unggas dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang kedelai dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan lain. Kelebihan protein dapat menyebabkan obesitas karena umumnya makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan asidosis, diare, dehidrasi, kenaikan amonia darah, kenaikan urea darah, dan demam (Almatsier 2002). Kekurangan protein dapat menyebabkan marasmus, kwarsiorkor atau gabungan keduanya. Hal ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik. Zat Besi Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom, dan enzim katalase serta peroksidase. Peranan zat besi pada umumnya berkaitan dengan proses respirasi dalam sel (Karyadi & Muhilal 1990). Di samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri. Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi

27 defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut (Sediaoetama 2008). Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Pada penderita anemia, jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia. Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992). Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1992). Natrium dan Kalium Tubuh manusia mengandung 1,8 g Na/Kg BB bebas lemak, dimana sebagian besar terdapat dalam cairan ekstraseluler (Suhardjo & Kusharto 1992). Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Natrium berada dalam kerangka tubuh sebanyak 35-40%. Sebagai kaiton utama cairan ekstraseluler, natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Bila jumlah natrium didalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel, akibatnya sel akan membengkak. Hal ini menyebabkan pembengkakan atau edema dalam jaringan tubuh (Almatsier 2002). Sumber natrium adalah garam dapur, monosodium glutamat (MSG), kecap dan makanan yang diawetkan dengan garam dapur. Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu, tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari. Dinjurkan untuk mengkonsumsi asupan garam kurang dari 6 g/hari yang setara dengan 110 mmol natrium (2400 mg) (Karyadi 2002). Kelebihan natrium dapat menimbulkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi

28 (Almatsier 2002). Penelitian melaporkan bahwa penurunan asupan natrium sekitar 1,8 g/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmhg dan tekanan darah diastolik 2 mmhg pada seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan hanya penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal. Pengurangan asupan garam bukan saja dari garam dapur tetapi juga harus menghindari makanan yang diasinkan, diawetkan, bumbu-bumbu yang banyak mengandung garam dapur seperti terasi, kecap, petis, tauco atau juga camilan (Karyadi 2002). Natrium dan kalium sangat erat hubungannya dalam memenuhi fungsinya didalam tubuh. Kedua elemen ini terutama berfungsi dalam keseimbangan air, elektrolit (asam basa) didalam sel maupun didalam cairan ekstraseluler, termasuk plasma darah. Natrium terutama terdapat didalam cairan ekstraseluler, sedangkan natrium didalam cairan intraseluler. Natrium merupakan satu-satunya elemen yang biasa dikonsumsi dalam bentuk garam yang sedikit-banyak murni, yaitu garam dapur. Konsumsi garam ini rata-rata 15 gram seorang sehari. Di daerah pegunungan yang terisolasi dan jauh dari pantai garam, natrium digantikan oleh garam kalium yang didapat dari abu berbagai tumbuhan yang dibakar (Sediaoetama 2008). Di dalam tubuh terdapat natrium sebanyak 0,15% dari berat badan, sedangkan kalium 0,35% atau terdapat sekitar 2 ½ kali lebih banyak dibandingkan dengan natrium. Dalam cairan tubuh, natrium membentuk larutan garam NaCl atau Na-carbonat. Ion Na + berperan dalam menahan air didalam tubuh, dalam proses mempertahankan tekanan osmosis cairan. Membran sel bersifat semipermeabel terhadap natrium, tetapi K + dapat lewat dengan bebas melalui membran sel tersebut. Fisiologi dan Fungsi Ginjal Fungsi utama ginjal adalah mengatur keseimbangan homeostatik dengan respon terhadap cairan, elektrolit dan larutan organik. Ginjal yang normal dapat melakukan fungsi tersebut pada berbagai fluktuasi diet sodium, air dan zat terlarut lainnya. Tugas ini dilakukan dengan memfiltrasi darah terus menerus dan perubahan dari filtrat (sekresi dan reabsorbsi) dalam filtrasi cairan. Ginjal menerima 20% darah dari jantung yang memungkinkan penyaringan darah ratarata 1600 L/hari (Wilkens dan Juneja 2007). Setiap ginjal terdiri atas sekitar 1 juta unit fungsi yang disebut nefron. Nefron terdiri dari sebuah glomerulus yang melekat pada serangkaian tubulus,

29 yang dapat dibagi ke dalam segmen fungsional yang berbeda: tubula terkonvolusi proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan duktus pengumpul. Setiap nefron beroperasi secara independen menghasilkan kontribusi ke urin akhir, meskipun semua dibawah kontrol serupa dan terkoordinasi. Namun, ketika salah satu nefron hancur, nefron yang lengkap tidak lagi dapat berfungsi. Glomerulus adalah massa bola kapiler yang dikelilingi oleh membran, kapsul Bowman. Fungsi glomerulus adalah produksi sejumlah besar ultrafiltrat, termasuk segmen mengikuti nefron untuk berubah. Ultrafiltrasi dalam glomerulus sangat mirip dengan komposisi darah. Karena fungsi penghalang, glomerulus menghambat sel darah dan molekul dengan berat molekul lebih besar dari 6500 dalton seperti protein. Ultrafiltrat produksi sebagian besar pasif dan didasarkan pada tekanan perfusi yang diproduksi oleh hati dan disediakan oleh arteri ginjal. Tubulus mengisap sebagian besar komponen yang membentuk ultrafiltrat. Banyak dari proses ini aktif dan membutuhkan energi pengeluaran yang besar dalam bentuk Adenosin Triphospat (ATP) (Wilkens dan Juneja 2007). Ginjal memiliki kemampuan hampir tak terbatas untuk mengatur homeostasis air. Kemampuan ginjal untuk membentuk gradien konsentrasi yang besar antara bagian dalam dan luar korteks medula memungkinkan ginjal mengekskresikan urin encer kira-kira 50 mosm atau konsentrasi kira-kira 1200 mosm. Mengingat beban zat terlarut tetap harian sekitar 600 mosm (beban zat terlarut mewakili produk akhir sampah dari metabolisme normal), ginjal dapat membuang sedikitnya 500 ml urin terkonsentrasi atau kontrol sebanyak 12 L. Kontrol ekskresi air diatur oleh vasopresin, atau dikenal sebagai hormon antidiuretik, suatu hormon peptida kecil yang disekresikan oleh hipofisis posterior. Kelebihan air pada tubuh, yang ditunjukkan oleh penurunan osmolalitas, mengarah ke menutupnya semua sekresi vasopresin. Namun, kebutuhan untuk menghemat natrium kadang-kadang menyebabkan suatu pengorbanan dari kontrol homeostatik volume air. Mayoritas zat terlarut terdiri dari limbah nitrogen, terutama produk akhir dari metabolisme protein. Urea mendominasi dengan jumlah yang tergantung pada kandungan protein diet. Asam urat, kreatinin dan amonia ada dalam jumlah kecil. Jika produk limbah normal ini tidak dihapus dengan benar, maka akan terkumpul didalam darah, mereka akan terkumpul dalam jumlah abnormal dalam darah, dikenal dengan sebutan azotemia. Kemampuan ginjal untuk menghilangkan produk limbah

30 nitrogen dikenal sebagai fungsi ginjal; gagal ginjal merupakan ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan beban limbah harian (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Sediaoetama (2008), ginjal berperan penting dalam keseimbangan cairan. Darah didalam glomerulus disaring dan plasma masuk kedalam cawan glomerulus sebagai ultrafiltrat. Komposisi ultrafiltrat ini sama dengan komposisi plasma tanpa makromolekul (protein plasma), yang tidak dapat menembus saringan. Berat jenis plasma tanpa makromolekul sama dengan berat jenis ultrafiltrat, yaitu 1,010. Ultrafiltrat ini diubah menjadi urin yang mempunya berat jenis 1,015-1,035. Glomerulus dapat menyaring plasma sebanyak liter dalam 24 jam, untuk menghasilkan urin sebanyak ml. Saluran nefron yang berfungsi mengkonsentrasikan ultrafiltrat menjadi urin ini panjangnya 15 mm tubulus proximalis, 15 mm loop Henle dan 5 mm tubulus distalis. Sepanjang saluran nefron ini, ion-ion dan zat-zat organik diserap kembali. Bersama dengan penyerapan zat-zat itu, ikut pula diserap kembali sejumlah air. Dibagian nefron proksimal, air diserap obligatori sebagai pelarut zat-zat organik yang diserap kembali secara aktif, sedangkan dibagian distal, penyerapan air dilakukan secara aktif menurut kebutuhan tubuh. Penyerapan air dibagian nefron distal ini diatur atas pengaruh hormon antideuritik. Diet Penyakit Ginjal Metode penatalaksanaan dan rekomendasi zat gizi berubah-ubah sesuai dengan berbagai stadium gagal ginjal. Ginjal normal mengeluarkan kelebihan cairan dan produk sisa dari tubuh serta memelihara keseimbangan asam basa. Ginjal juga mengatur tekanan darah, stimulasi produksi sel darah merah, dan mengatur metabolisme kalsium dan fosfor. Sindrom nefrotik adalah disfungsi kapiler glomerulus. Gejala-gejala yaitu urin kehilangan protein plasma, serum albumin rendah, edema, dan meningkatnya lemak darah. Pada gagal ginjal akut, nefron kehilangan fungsinya atau Glomerulus Filtration Rate (GFR) menurun tiba-tiba. Gejalanya yaitu meningkatnya nitrogen urea darah, katabolisme, keseimbangan nitrogen negatif, meningkatnya elektrolitis, asidosis, meningkatnya tekanan darah, dan berlebihnya cairan. Sindrom nefrotik dan gagal ginjal akut merupakan kondisi dapat pulih kembali (reversibel). Pada gagal ginjal kronik, GFR menurun secara bertahap. Pada stadium awal, terjadi penggantian dengan memperbesar nefron yang tersisa (Greene dan Thomas 2008).

31 Gejala serupa pada gagal ginjal akut terlihat ketika fungsi ginjal tersisa 75% dari fungsi normal. Ketika GFR berkurang 10% dari normal, pasien dipertimbangkan terkena End Stage Renal Disease (ESRD). Dialisis merupakan awal untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah berkurang. Elektrolit, cairan, anemia, dan diet diawasi setiap bulan oleh ahli gizi. Sebagian pasien dengan ESRD menerima transplantasi ginjal (Greene dan Thomas 2008). Menurut Hartono (2002), diet ginjal terutama bertujuan untuk mengurangi ekskresi zat-zat sisa metabolisme protein melalui diet rendah protein dengan jumlah kalori yang memadai atau tinggi. Keseimbangan air, elektrolit dan ph pada gagal ginjal diperbaiki melalui pengaturan asupan cairan dan diet rendah mineral tertentu seperti kalium, natrium, magnesium, fosfor menurut keadaan pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium. Gangguan produksi zat seperti eritropoietin dan kalsitrol diatasi dengan suplementasi zat-zat tersebut. Sindroma Nefritik Sindrom nefritik merupakan manifestasi klinis dari sekelompok penyakit yang ditandai dengan peradangan pada lengkung glomerulus kapiler. Penyakit ini juga disebut glumerulonefritis akut yang terjadi secara tiba-tiba; terjadinya sesaat, dan dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik kronik atau ESRD. Manifestasi utama dari penyakit ini adalah hematuria (darah dalam urin), konsekuensi dari inflamasi kapiler yang menyerang pertahanan glomerulus terhadap sel darah. Sindrom ini juga ditandai oleh hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcal. Penyebab lain termasuk penyakit ginjal utama seperti imunoglobulin A nefropati; nefritik hereditari; dan penyakit kedua seperti systemic lupus erythematosus (SLE), vaskulitis dan glumerulonefritis berhubungan dengan endokarditis, abses, atau infeksi peritoneal (Wilkens dan Juneja 2007). Penatalaksanaan glomerulusnefritis adalah mencoba memelihara status gizi baik ketika penyakit berubah spontan. Pada pasien dengan sindrom nefritik, membatasi konsumsi protein atau potasium tidak memberikan keuntungan signifikan pada perkembangan uremia atau hiperkalemia. Ketika terjadi hipertensi, hal tersebut sebagian besar berhubungan dengan kelebihan volume ekstraseluler dan terancam dengan pembatasan sodium (Wilkens dan Juneja 2007).

32 Sindroma Nefrotik Sindroma Nefrotik terdiri atas kelompok penyakit heterogen, manifestasi yang umum berasal dari hilangnya pertahanan glomerulus terhadap protein. Protein dalam jumlah besar hilang melalui urin sehingga berujung pada hipoalbuminemia dengan konsekuensi edema, hiperkolesterolemia, hiperkoagulabiliti, dan metabolisme tulang abnormal. Lebih dari 95% kasus sindrom nefrotik berakar dari tiga penyakit sistemik (diabetes melitus, SLE dan amiloidosis) dan empat penyakit utama ginjal: penyakit yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron, nefropati membran, glumerulosklerosis dan glumerulonefritis membranoproliferatif (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Almatsier (2004), sindrom nefrotik atau nefrosis adalah kumpulan manifestasi penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan ginjal untuk memelihara keseimbangan nitrogen sebagai akibat meningkatnya permeabilitas membran kapiler glumerolus. Gejala penyakit ini bersifat individual, sehingga diet yang diberikan harus individual pula, dengan menyatakan banyak protein dan natrium yang dibutuhkan dalam diet. Tujuan utama dari terapi gizi medis adalah untuk mengelola gejala yang berhubungan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia), mengurangi resiko pengembangan kegagalan ginjal dan memelihara penyimpanan zat gizi. Pasien dengan kekurangan protein yang parah secara terus menerus memerlukan waktu perawatan yang lama serta diperlukan pemantauan gizi secara hati-hati. Diet bertujuan memberikan energi dan protein yang cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan meningkatkan konsentrasi plasma albumin serta menghilangkan edema (Wilkens dan Juneja 2007). Diet protein untuk pasien sindrom nefrotik berubah-ubah. Awalnya, pasien menerima diet tinggi protein (hingga 1,5 g/kgbb/hari) sebagai usaha untuk meningkatkan serum albumin dan mencegah malnutrisi protein. Bagaimanapun, penelitian menunjukkan bahwa penurunan asupan protein hingga 0,8 mg/kg/hari dapat menurunkan proteinuria tanpa berpengaruh negatif terhadap serum albumin. Untuk memungkinkan penggunaan optimal dari protein, 50 sampai 60% protein harus berasal dari sumber nilai biologi tinggi (HBV) dan asupan energi harus sekitar 35 Kal/kgBB/hari untuk dewasa dan 100 sampai 150 Kal/kgBB/hari untuk anak-anak (Wilkens dan Juneja 2007).

33 Upaya untuk membatasi asupan natrium dalam jumlah besar dapat menyebabkan hipotensi, eksaserbasi koagulopati dan penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu, pengendalian edema pada kelompok ini harus didasarkan sampai batas waktu tertentu dan pembatasan natrium sekitar 3 g natrium per hari (Wilkens dan Juneja 2007). Gagal Ginjal Akut Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG) Gagal ginjal akut merupakan keadaan akibat penurunan akut fungsi ginjal sehingga terjadi penimbunan zat-zat yang seharusnya diekskresikan keluar oleh ginjal. Penyebab gagal ginjal akut meliputi (1) aliran darah ginjal yang tidak mencukupi, (2) infeksi akut ginjal (penyebab renal), (3) sumbatan aliran air seni (penyebab postrenal) seperti pada batu ginjal atau penekukan ureter (saluran yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih). Tindakan diet bertujuan mengurangi beban kerja ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa disamping memberikan cukup kalori. Diet rendah protein untuk mengurangi eksresi zat sisa harus memberikan cukup protein untuk perbaikan jaringan ginjal yang rusak disamping untuk keperluan lain seperti pembentukan hormon, enzim dan antibodi (Hartono 2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut. Tabel 1 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut Zat Gizi Rekomendasi Energi Kal/kgBB Protein 0,6-0,8 g/kgbb Sodium 2 g/hari Potasium 2 g/hari Zat Besi Sesuai AKG Cairan Cairan yang dikeluarkan ditambah 500cc Gagal Ginjal Kronik Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG) Penyakit Ginjal Kronik adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak nafsu makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema pada kaki dan tangan, serta uremia. Apabila nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 25 ml/menit, diberikan Diet Protein Rendah (Almatsier 2004).

34 Terapi diet membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronik. Pemberian suplemen zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin D mungkin diperlukan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral pada gagal ginjal kronik harus mengacu kepada hasil laboratorium seperti kadar hemoglobin, kadar kalium, natrium dan klorida. Pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, fokus terapi gizi adalah untuk menghindari asupan elektrolit yang berlebih dari makanan karena kadar elektrolit bisa meninggi akibat klirens ginjal yang menurun (Hartono 2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut. Tabel 2 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik Zat Gizi Rekomendasi Energi Kal/kgBB Protein 0,6-0,8 g/kgbb Sodium 2-4 g/hari Potasium Tidak ada batasan Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan Transplantasi Ginjal Transplantasi melibatkan implantasi bedah ginjal dari donor hidup, donor hidup yang tidak ada hubungan atau donor meninggal. Penolakan terhadap jaringan asing atau infeksi sekunder untuk terapi imunosupresif komplikasi utama (Wilkens dan Juneja 2007). Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti dengan cara mengganti ginjal yang sakit dengan ginjal donor. Setelah transplantasi sering terjadi hiperkatabolisme protein, kegemukan, dan hiperlipidemia. Diet pada bulan pertama setelah tranplantasi adalah energi cukup dengan protein tinggi, setelah itu berubah menajdi energi dan protein cukup. Karena diet sangat tergantung pada keadaan pasien, penyusunan diet dilakukan secara individual (Almatsier 2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasca transplantasi ginjal adalah sebagai berikut. Tabel 3 Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal Zat Gizi Rekomendasi Energi Kal/kgBB Protein 1,0-1,5g/kgBB Sodium 2-4 g/hari Potasium Tidak ada batasan Zat Besi Sesuai AKG Cairan Tidak ada batasan

35 Gagal Ginjal dengan Dialisis Dialisis dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat, dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memproduksi hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan sisa metabolisme menimbulkan gejala uremia. Dialisis dilakukan bila GFR atau hasil tes kliren kreatinin < 15 ml/menit (Almatsier 2004). Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau dialisis peritoneal. Cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Pada proses hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialirkan melalui membran semipermeabel dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme dapat dikeluarkan dari tubuh melalui difusi dan air melalui ultrafiltrasi. Hemodialisis membutuhkan akses permanen ke aliran darah melalui fistula pembedahan yang dibuat untuk menghubungkan arteri dan vena. Fistula sering dibuat didekat pergelangan tangan, yaitu didekat pembuluh darah besar di lengan bawah. Jika pembuluh darah pasien rapuh, dapat dilakukan pencangkokan pembuluh darah tiruan. Jarum besar dimasukkan kedalam fistula atau cangkok sebelum dialisis dimulai dan dilepas ketika dialisis selesai. Umumnya, akses sementara melalui kateter subklavia sampai akses permanen pasien dapat diciptakan, bagaimanapun, masalah infeksi pada kateter tidak diinginkan. Hemodialisis biasanya membutuhkan perawatan 3 sampai 5 jam sebanyak 3 kali seminggu, tetapi terapi yang baru dilaksanakan membutuhkan waktu yang berubah-ubah. Pasien yang melakukan dialisis harian dirumah tipe perawatan yang berlangsung 1,5 sampai 2,5 jam, sedangkan beberapa pasien yang didialisis dirumah, menerima dialisis nokturnal 3 kali seminggu selama 8 jam. Diet protein dibutuhkan kurang lebih 1,2 g/kg, untuk menutupi kehilangan protein ketika dialisis (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali per minggu yaitu sebagai berikut. Tabel 4 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis Zat Gizi Rekomendasi Energi Kal/kgBB Protein 1,2-1,4 g/kgbb Sodium 2-3 g/hari Potasium 2-3 g/hari Zat besi Individual Cairan Individual

36 Menurut Greene dan Thomas (2008), dialisis peritonial adalah proses pengeluaran sisa produk metabolisme melalui perfusi larutan steril dialisis seluruh rongga peritonial. Metode dialisis ini dapat dilakukan dirumah. Pertukaran dialisis dilakukan beberapa kali dalam sehari atau terus-menerus di malam hari dengan bantuan mesin dialisis peritonial. Normalnya, diet yang diberikan adalah diet rendah garam. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani dialisis peritonial adalah sebagai berikut. Tabel 5 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal Zat Gizi Rekomendasi Energi Kal/kgBB Protein 1,2-1,5 g/kgbb Sodium 2-4 g/hari Potasium 3-4 g/hari Zat besi Individual Cairan Sesuai toleransi Batu Ginjal (Nefrotiliasis) Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi mineral atau garam dalam urin mencapai nilai yang memungkinkan terbentuknya kristal, yang akan mengendap pada tubulus ginjal atau ureter. Meningkatnya konsentrasi garam-garam ini disebabkan adanya kelainan metabolisme atau pengaruh lingkungan. Sebagian besar batu ginjal merupakan garam kalsium. Fosfat, oksalat, serta asam urat. Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada saluran kemih dan sering buang air kecil. Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada saluran kemih dan sering buang air kecil. Penyakit ini sering kambuh kembali. Agar bisa dilakukan upaya penyembuhan yang tepat, hendaknya dilakukan analisis terhadap jenis batu dan penyakit yang menjadi penyebabnya. Syarat diet nefrolitiasis yaitu energi diberikan sesuai dengan kebutuhan, protein sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total, cairan diberikan tinggi, yaitu 2,5-3 liter/hari, setengahnya berasal dari minuman. Pemberian Dukungan Gizi Pemberian dukungan gizi bagi pasien rawat inap dapat berupa gizi enteral (melalui gastrointestinal) dan gizi parenteral (melalui vena). Dukungan gizi tersebut diberikan apabila supan zat gizi pasien dengan makanan tidak dapat memenuhi kebutuhan (Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).

37 Gizi Enteral Gizi enteral merupakan terapi pemberian nutrien lewat saluran cerna dengan menggunakan selang/kateter khusus (feeding tube). Cara pemberiannya bisa melalui jalur hidung lambung (nasogastric route) atau hidung usus (nasoduodenal atau nasojejunal route). Pemberian nutrien juga bisa dilakukan secara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral. Pemberian zat gizi enteral yang dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respons katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan integritas usus, mempertahankan integritas/respons imunologis, lebih fisiologik dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit. Pemberian zat gizi enteral yang tepat akan memberikan nutrien kepada pasien dalam bentuk yang bisa digunakan oleh metabolisme tubuhnya tanpa menimbulkan gangguan saluran cerna seperti kram usus atau diare sementara biaya dan proses pembuatannya memungkinkan pemberian zat gizi tersebut (Hartono 2004). Pemberian gizi enteral bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi keseluruhan (terapetik) pada pasien yang tidak dapat makan sama sekali dan sebagai tambahan (suplementasi) pada pasien yang mampu makan dan minum tetapi tidak mencukupi kebutuhannya. Indikasi pemberiannya yaitu adanya gangguan kesadaran, gangguan menelan, koma, stroke, kekacauan sistem saraf pusat, dan selera makan yang buruk. Gizi enteral dapat diberikan melalui mulut (oral), pipa (sonde), dan enterostomi (esofagustomi, jenunostomi). Makanan enteral terdiri atas formula rumah sakit dan formula komerisial. Formula rumah sakit dibuat oleh rumah sakit dari berbagai bahan makanan yang dihaluskan. Konsistensi, kandungan zay gizi dan osmoralitas formula rumah sakit berubahubah pada saat pembuatannya. Formula komersial merupakan formula yang telah siap digunakan bergantung pada kebutuhan zat gizi pasien, kebutuhan cairan, fungsi gastrointestinal, restriksi zat gizi dan kebutuhan tambahan. Pemberian gizi enteral memiliki kelebihan dibandingkan dengan gizi parenteral. Keuntungannya yaitu bersifat fisiologis, lebih efektif, komplikasi kurang, energi tinggi mudah tercapai, teknik pemasangannyamudah dan biayanya murah (Dir.Jen.Yan.Medik 1999a). Gizi Parenteral Gizi parenteral dapat diberikan melalui vena perifer atau vena sentral kepada pasien yang beresiko melnutrisi tetapi tidak mampu dan/atau tidak boleh

38 mendapatkan zat gizi melalui saluran cerna. Gizi parenteral disebut gizi parenteral total jika seluruh kebutuhan zat gizi pasien diberikan lewat vena dan disebut gizi parenteral parsial jika hanya sebagian kebutuhan zat gizi saja yang diberikan lewat vena (Hartono 2000). Pemberian gizi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi gizi primer dan terapi giai suplemental/suportif. Gizi parenteral sebagai terapi gizi primer diberikan kepada pasien yang tidak mampu mempertahankan, mencerna atau menyerap makanan. Gizi parenteral sebagai terapi gizi suplemental/suportif diberikan pada pasien yang bisa makan atau mendapat gizi enteral tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan pada pasien dengan krisis hemodinamik atau kegagalan pernafasan yang membutuhkan bantuan respirator (Hartono 2000). Daya Terima Makanan Menurut Nasoetion (1980) diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan melalui indera penglihat, pencium, pencicip, dan bahkan indera pendengar. Namun demikian, faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan tersebut. Menurut Lowe diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihat, yaitu meliputi warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan sebagainya. Selain itu, dinilai penyajian makanan seperti pemilihan alat yang digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, termasuk penghias hidangan (Moehyi 1997). Pasien yang selera makannya kurang sebaiknya diberi hidangan dalam porsi kecil (Beck 1994). Untuk mengetahui daya terima makanan, dilakukan dengan uji hedonik skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini, panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa, dan tidak suka (Hardinsyah et al. 1989). Warna Makanan Betapapun lezatnya makanan, apabila penampilannya tidak menarik waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya

39 menjadi hilang. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Warna daging yang sudah berubah menjadi cokelat kehitaman, warna sayuran yang sudah berubah menjadi pucat sewaktu disajikan akan menjadi sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi 1992a). Warna makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas, tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan (Sukarni & Kusno 1980). Penerimaan warna suatu bahan makanan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 1997). Aroma Makanan Aroma yang dikeluarkan oleh setiap masakan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula. Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan yang digoreng, dibakar, atau dipanggang akan menimbulkan aroma yang harum, berbeda dengan makanan yang direbus, hampir-hampir tidak mengeluarkan aroma yang merangsang, dalam hal ini disebabkan senyawa yang memancarkan aroma sedap larut air (Moehyi 1992a). Umumnya aroma utama yang diterima oleh hidung dan otak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997). Rasa Makanan Rasa merupakan suatu komponen flavour yang terpenting karena mempunyai pengaruh yang dominan. Pada citarasa lebih banyak melibatkan indera kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi empat rasa utama, yaitu asin, manis, pahit dan asam. Masakan yang mempunyai variasi keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya mempunyai satu macam rasa yang dominan (Winarno 1997). Timbulnya respon tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap rasa asin lebih cepat dibandingkan respon terhadap rasa pahit. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1997). Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan citarasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk memcicipi makanan itu, maka pada tahap

40 berikutnya citarasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indera pencium dan indera pengecap (Moehyi 1992a). Tekstur Makanan Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel respirator olfaktori dan kelenjar air liur (Winarno 1997). Dengan tesktur kita dapat mengartikan kualitas makanan dengan merasakan apakah dengan jari, lidah, gigi atau langit-langit (tekak) (Sukarni & Kusno 1980). Menurut Beck (1994), makanan yang diajikan rumah sakit harus dapat dimakan dengan mudah, sebaiknya tidak membuat pasien berkutat dengan daging yang alot atau bersusah payah memisahkan tulang-tulang ikan satu per satu. Suhu Menurut Winarno (1997), suhu mempengaruhi sensitivitas rasa di lidah, bila suhu tubuh 20 o C atau diatas 30 o C, sensitivitas rasa pada kuncup cecapan rasa di lidah berkurang. Makanan sedap dengan suhu panas akan mampu memancarkan aroma yang sedap, karena bau-bauan baru dapat dikenali bila berbentuk uap dan molekul-molekul kompunen bau itu harus dapat merangsang otak, namun makanan yang panas pun dapat merusak kepekaan kuncup cecapan lidah. Makanan dingin akan membius kuncup cecapan hingga tidak peka lagi. Umumnya pada rumah sakit modern untuk mengurangi penurunan suhu (saat dilakukan distribusi makanan pasien), maka kereta makanan dilengkapi dengan alat pemanas (Moehyi 1990). Kebersihan Alat Makan Pengawasan sanitasi (kebersihan) tidak hanya ditujukan pada bahan makanan, tetapi juga terhadap peralatan yang digunakan. Sanitasi peralatan makan perlu diperhatikan, agar tidak ada sisa makanan yang tertinggal atau menempel pada alat dan menjadi busuk sehingga merupakan tempat yang baik bagi tumbuhnya bakteri-bakteri (Moehyi 1990). Selain itu, penggunaan alat yang bersih dalam penyajian makanan akan berpengaruh terhadap sisa makanan, apabila alat yang digunakan bersih ada kecenderungan makanan yag diberikan

41 habis dimakan (Noras 2000). Semua sendok garpu, piring dan baki yang dipakai harus bersih (Beck 1994). Hal yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan alat penyajian makanan adalah harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan, agar tidak terlihat terlalu banyak atau terlalu sedikit (Noras 2000). Uji Kesukaan (Uji Hedonik) Uji kesukaan disebut juga uji hedonik, dilakukan apabila uji didesain untuk memilih satu produk diantara produk lain secara langsung. Uji ini juga dapat digunakan ketika peneliti ingin menentukan status afeksi sebuah produk, misalnya seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk. Pada proses penilaiannya, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya (ketidaksukaan) (Setyaningsih 2010). Selain panelis mengemukaan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya, dalam hal suka dapat mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan agak suka. Sebaliknya, jika tanggapan itu tidak suka dapat mempunyai skala hedonik seperti suka dan agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (biasa). Skala Hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini, dapat dilakukan analisis secara parametrik (Setyaningsih 2010).

42 KERANGKA PEMIKIRAN Hal yang penting dalam ketersediaan makanan di rumah sakit untuk pasien penyakit ginjal adalah kebutuhan energi, protein, zat besi, natrium dan kalium. Konsumsi menu diet pada pasien penyakit ginjal, berpengaruh langsung pada tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium). Tingkat konsumsi merupakan perbandingan antara angka konsumsi terhadap ketersediaan. Jika tingkat konsumsi belum mencapai 100%, maka pelaksanaan terapi diet pasien secara individu berjalan kurang efektif. Sedangkan, apabila perbandingan konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) terhadap ketersediaannya mencapai 100%, mengindikasikan bahwa pasien menjalani terapi dietnya dengan baik. Kontribusi konsumsi makanan luar rumah sakit dan infus diperhitungkan untuk mengetahui seberapa besar makanan rumah sakit (makanan RS) yang dikonsumsi dibandingkan dengan total konsumsi pasien. Dalam upaya mencapai tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang optimal pada pasien, perlu diketahui daya terima pasien terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit. Pengukuran daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan rumah sakit diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan subyek. Unsur makanan yang diamati maliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Daya terima yang positif terhadap menu diet diperkirakan dapat mengurangi minat pasien untuk mengkonsumsi makanan luar rumah sakit serta dapat mengefektifkan terapi diet pada pasien penyakit ginjal.

43 Riwayat penyakit subyek : Lama penyakit Ada tidaknya komplikasi Status perawatan RS Lama perawatan di RS Kebutuhan Energi, Protein, Zat besi, Natrium, Kalium Sehari Subyek Karakteristik subyek: usia, jenis kelamin, bb, tb,, status gizi Ketersediaan Energi, Protein, Zat besi, Natrium, Kalium (Makanan yang disajikan di RS) Jenis Diet Daya terima : Warna, aroma, rasa lauk, rasa sayuran, tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu Konsumsi Energi, protein, zat besi, natrium, kalium makanan yang disajikan Kontribusi : 1. Energi, P, Fe, Na, K makanan RS 2. Zat Gizi dari infus 3. Energi, P, Fe, Na, K makanan luar RS Selera dan kebiasaan makan Tingkat Konsumsi Energi, Protein, Zat besi, Natrium, Kalium : - Terhadap Ketersediaan - Terhadap Kebutuhan Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP Fatmawati Keterangan : = variabel diteliti = variabel tidak diteliti = hubungan yang dianalisis = hubungan yang tidak dianalisis

44 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang tidak berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati, Jakarta. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa RSUP Fatmawati merupakan RS Badan Layanan Umum yang berfungsi sebagai pusat rujukan wilayah Jakarta Selatan, memiliki instalasi rawat ginjal, memiliki unit instalasi gizi, lokasi cukup strategis, mudah dijangkau dan merupakan RS pendidikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penyakit ginjal rawat inap IRNA B RSUP Fatmawati. Pemilihan subyek dilakukan secara purposive sampling, berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Laki-laki dan wanita yang berusia tahun, untuk memudahkan wawancara dan dapat menilai makanan yang disajikan secara rasional 2. Dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga dapat berkomunikasi dengan baik 3. Telah dirawat dan sudah mendapat pelayanan makanan dari rumah sakit minimal selama 2 hari, sehingga subyek telah mengalami penyesuaian terhadap makanan yang disajikan dan dapat melakukan penilaian 4. Tidak diberikan makanan enteral 5. Bersedia di wawancara Berdasarkan buku catatan pasien masuk, selama kurun waktu 3 bulan (April- Juni 2011), populasi penderita penyakit ginjal rawat inap IRNA B RSUP Fatmawati yaitu 86 orang. Berdasarkan data tersebut, perkiraan jumlah subyek dihitung menggunakan rumus berikut: n = N 1 + N (d 2 ) Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1)

45 Berdasarkan hasil perhitungan, perkiraan jumlah subyek sebesar 46 orang. Sementara itu, dari populasi yang ada di RSUP Fatmawati, telah dipilih berdasarkan kriteria yaitu 52 orang. Selama penelitian berlangsung, diperoleh pasien yang memiliki data lengkap sejumlah 50 orang dan ditetapkan sebagai subyek. Penjelasan lanjut mengenai cara pemilihan subyek dapat dilihat pada Gambar 2. Pengunjung RSUP Fatmawati Rawat Jalan Rawat Inap Perkiraan jumlah subyek = 46 orang Pasien Rawat Inap di IRNA B RSUP Fatmawati Kriteria : * Penyakit ginjal be * L/P berusia thn * Komunikasi baik * Telah dirawat min 2 hr * Tidak diberikan makanan enteral * Bersedia diwawancara Populasi pasien penyakit ginjal kronik di IRNA B (April Juni 2011) = 86 orang Calon subyek 52 orang Pasien yang memiliki data lengkap Subyek = 50 orang Gambar 2 Penarikan subyek penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuisioner. Data primer yang dikumpulkan yaitu : 1. Karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan status gizi), riwayat penyakit subyek (lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di rumah sakit)

46 2. Gambaran umum instalasi gizi RSUP Fatmawati, penyelenggaraan makanan dan jenis diet yang diberikan oleh RS 3. Data kebutuhan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) subyek 4. Data ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan yang disajikan di rumah sakit dan tingkat ketersediaan 5. Konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) subyek serta tingkat konsumsi subyek terhadap kebutuhan dan ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) 6. Daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan dirumah sakit yang meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. 7. Kontribusi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan luar rumah sakit dan atau infus rumah sakit Data karakteristik, identitas, riwayat penyakit (jenis penyakit, lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan) diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner. Data berat badan, tinggi badan diperoleh berdasarkan rekam medik. Berat badan subyek ditimbang menggunakan bathroom scale dan tinggi badan subyek diukur dengan microtoise. Data status gizi dihitung berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) mengacu pada WHO (1995) dalam Effendi (1998). Data kebutuhan energi dan zat gizi (protein, zat besi, natrium) diperoleh dengan cara menghitung kebutuhan masing-masing subyek. Data ketersediaan makanan yang disajikan RS dikumpulkan selama 3 hari. Ketersediaan makanan RS diperoleh dengan cara menimbang (foodweighing method) dan mencatat porsi (URT) makanan RS yang akan disajikan selama sehari yaitu makan pagi, siang, sore dan makan selingan. Data konsumsi yang dikumpulkan meliputi konsumsi makanan RS, makanan luar rumah sakit dan infus. Data konsumsi makanan RS dikumpulkan selama 3 hari. Konsumsi makanan RS diperoleh dengan cara menimbang berat makanan sisa dan mencatat jenis dan berat makanan sesuai standar porsi atau mengamati makanan yang habis dimakan. Apabila terdapat makanan sisa, data konsumsi didapatkan dengan cara menghitung ketersediaan dikurangi dengan berat

47 makanan yang tidak habis dimakan. Tetapi apabila makanan dari rumah sakit habis dimakan, maka data konsumsi sama dengan ketersediaan. Data konsumsi makanan luar RS dikumpulkan selama 3 hari. Jenis makanan dan jumlah konsumsi diperoleh dengan cara recall (mengingat kembali). Data konsumsi infus dikumpulkan selama 3 hari. Jenis infus dan kandungan zat gizi diketahui dengan melihat pada label infus. Jumlah konsumsi infus diperoleh dengan melihat rekam medik. Data daya terima terhadap makanan RS dikumpulkan selama 3 hari dan dimulai minimal pada hari ke-2 subyek dirawat dan mendapatkan pelayanan dari instalasi gizi. Data daya terima diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik Skala Verbal dengan menanyakan penilaian inderawi terhadap sembilan atribut makanan yaitu warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Data kontribusi makanan luar rumah sakit diperoleh dengan cara merecall masing-masing subyek. Data kontribusi yang berasal dari infus diperoleh melalui label informasi kandungan zat gizi yang terdapat pada infus tersebut. Pengambilan data kontribusi makanan luar rumah sakit dan infus dilakukan selama 3 hari subyek dirawat. Data sekunder yang harus dikumpulkan yaitu gambaran umum RSUP Fatmawati (sejarah, tipe rumah sakit, visi, misi, tugas dan fungsi, pelayanan dan fasilitas, jumlah tenaga kerja, ruang perawatan dan kapasitas tempat tidur). Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan Data Data tentang karakteristik subyek yang meliputi jenis kelamin, usia, status gizi, jenis diet yang diberikan, dan data riwayat penyakit ginjal subyek meliputi lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di rumah sakit dikelompokkan atas beberapa kategori tertentu, data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

48 Tabel 6 Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek Jenis Data Kelompok dan Kategori 1. Karakteristik subyek Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Usia a. Remaja (17-19 tahun) b. Dewasa awal (20-45 tahun) c. Dewasa menengah (46-55 tahun) Status Gizi berdasarkan IMT (kg/m 2 ) (HISOBI 2004, diacu dalam Tjokoprawiro 2006) a. Kurus (<18.5) b. Normal ( ) c. At Risk ( ) d. Obesitas I ( ) e. Obesitas II ( 30.0) 2. Jenis diet yang diberikan a. Diet Rendah Protein (RP) b. Diet Diabetes Melitus Rendah Protein (DMRP) c. Diet Rendah Garam 3. Riwayat Penyakit Ginjal Lama Sakit (tahun) a. < 1 b. 1-5 c d e. > 15 Ada tidaknya komplikasi Status pernah dirawat Lama dirawat di RS a. Ada b. Tidak ada a. Pernah b. Tidak pernah a. 3 hari b. 4-7 hari c. >7 hari Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus Total Daily Energy (TDE) yang mengacu pada Almatsier (2004). TDE (Kal)= AMB (Kal) X FA X FI Keterangan: TDE = Total Daily Energy FA = Faktor Aktivitas FI = Faktor Injuri Angka Metablisme Basal (AMB) dihitung menggunakan dua rumus yaitu AMB berdasarkan Oxford Equation (WKNPG 2004) dan Rumus Cepat menurut Almatsier (2004). Berikut ini merupakan perhitungannya secara rinci : Rumus AMB Rumus Cepat: AMB Pria (Kal) = 30 Kal x kg BB AMB Wanita (Kal) = 25 Kal x kg BB Keterangan : BB = berat badan (kg)

49 Tabel 7 Rumus AMB berdasarkan Oxford equation Jenis Kelamin Usia Rumus AMB Oxford Equation Pria thn ( U)+26.7B(FA)+903TB thn (16.8B+498) thn (16.0B+462) Wanita thn ( U)+26.7B(FA)+903TB thn (13.4B+517) thn (9.59B+687) Keterangan: U = usia (tahun), B = berat badan (kg), TB = tinggi badan (cm) Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) menurut Hartono (2000), dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan energi orang sakit No. Jenis Aktfitas Faktor 1 Tirah baring 1,2 2 Ambulasi 1.,3 No. Jenis Injuri Faktor 1 Demam, per 1 o C 1,13 2 Infeksi sedang 1,2-1,3 3 Infeksi berat 1,4-1,5 4 Gagal hati 1,5 5 Stroke 1,1 6 Hipoglikemik 1,0 7 Gagal ginjal kronik (non-doalisis) 1 8 Hemodialisis 1-1,05 9 Bedah elektif tanpa komplikasi 1,1 Sumber: Asuhan Nutrisi Rumah Sakit (Hartono 2000) Kebutuhan protein untuk subyek penyakit ginjal kronik, telah ditetapkan oleh RS. Jumlah kebutuhan protein subyek per hari yaitu 40 g. Penetapan kebutuhan protein tersebut mengacu pada Diet Rendah Protein III yang diberikan kepada pasien dengan penyakit ginjal (Almatsier 2004). Kebutuhan zat besi mengacu pada angka kecukupan zat besi berdasarkan WKNPG (2004). Angka kecukupan zat besi untuk pria berusia tahun adalah 13mg/hari. Angka kecukupan zat besi untuk wanita berusia tahun yaitu 26 mg/hari dan usia tahun sebesar 12 mg/hari. Kebutuhan natrium mengacu pada rekomendasi konsumsi natrium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 3000 mg (Greene dan Thomas 2008). Kebutuhan kalium mengacu pada rekomendasi konsumsi kalium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 2500 mg (Greene dan Thomas 2008). Data ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dihitung dengan weighing method (Suhardjo, Hardinsyah, & Riyadi 1988),

50 serta dianalisis menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan (Hardinsyah dan Briawan 1994). Tingkat ketersediaan energi dihitung dengan cara angka ketersediaan energi dibagi dengan kebutuhan energi kemudian dikalikan 100%. Tingkat ketersediaan protein dihitung dengan cara angka ketersediaan protein dibagi dengan kebutuhan protein kemudian dikalikan 100%. Tingkat ketersediaan zat besi dihitung dengan cara angka ketersediaan zat besi dibagi dengan angka kebutuhan zat besi yang mengacu pada AKG dalam WKNPG (2004) kemudian dikalikan 100%. Tingkat ketersediaan natrium dihitung dengan cara angka ketersediaan natrium dibagi dengan kebutuhan natrium yang mengacu pada rekomendasi konsumsi natrium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik (Greene dan Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%. Tingkat ketersediaan kalium dihitungan dengan cara angka ketersediaan kalium dibagi dengan kebutuhan kalium yang mengacu pada rekomendasi konsumsi kalium harian pasien penderita gagal ginjal kronik dengan hemodialisis (Greene dan Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%. Tingkat Ketersediaan Energi = Jumlah Energi Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Energi Tingkat Ketersediaan Protein = Jumlah Protein Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Protein Tingkat Ketersediaan Zat Besi = Jumlah Zat Besi Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Zat Besi Tingkat Ketersediaan Natrium = Jumlah Natrium Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Natrium Tingkat Ketersediaan Kalium = Jumlah Kalium Makanan yang disajikan RS x 100% Kebutuhan Kalium Tingkat ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi tiga (Hardinsyah dan Briawan 1994), yaitu: 1. Defisit (<90% angka kebutuhan) 2. Normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein=90-120% angka kebutuhan) 3. Lebih (energi>110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan) Konsumsi makanan RS dihitung dengan cara mengamati ada tidaknya sisa makanan yang disediakan rumah sakit. Apabila habis dimakan, maka konsumsi makanan RS sama dengan angka ketersediaan. Apabila terdapat sisa makanan, maka konsumsi subyek didapat dengan cara mengurangi angka ketersediaan dengan berat makanan yang tidak habis dimakan. Berat makanan

51 sisa yang tidak habis dimakan diketahui dengan menimbang langsung atau menggunakan pendekatan URT kemudian makanan yang habis dimakan maupun makanan sisa, dianalisis dengan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan. Tingkat konsumsi yang diamati yaitu tingkat konsumsi subyek terhadap ketersediaan dan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dihitung dengan cara jumlah energi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan energi dari makanan RS kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein dihitung dengan cara jumlah protein yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan protein dari makanan RS kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi dihitung dengan cara jumlah zat besi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan zat besi dari makanan RS kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium dihitung dengan cara jumlah natrium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan natrium dari makanan RS kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium dihitung dengan cara jumlah kalium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan kalium dari makanan RS kemudian dikalikan 100%. Tingkat Konsumsi Energi = Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Energi Mkn. RS yang disajikan Tingkat Konsumsi Protein = Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Protein Mkn. RS yang disajikan Tingkat Konsumsi Zat Besi = Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang disajikan Tingkat Konsumsi Natrium = Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Natrium Mkn. RS yang disajikan Tingkat Konsumsi Kalium = Jumlah Kalium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Jumlah Kalium Mkn. RS yang disajikan Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap ketersediaan dikategorikan menjadi empat (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu: 1. Defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan) 3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) 4. Normal (90-100% angka ketersediaan)

52 Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dihitung dengan cara jumlah energi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan energi kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein dihitung dengan cara jumlah protein yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan protein kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi dihitung dengan cara jumlah zat besi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan zat besi kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natrium dihitung dengan cara jumlah natrium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan natrium kemudian dikalikan 100%. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium dihitung dengan cara jumlah kalium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan kalium kemudian dikalikan 100%. Tingkat Konsumsi Energi = Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Energi Tingkat Konsumsi Protein = Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Protein Tingkat Konsumsi Zat Besi = Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Zat Besi Tingkat Konsumsi Natrium = Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Natrium Tingkat Konsumsi Kalium = Jumlah Kalium Mkn. RS yang dikonsumsi x 100% Kebutuhan Kalium Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi lima (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu: 1. Defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan) 3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) 4. Normal (90-119% angka kebutuhan) 5. Lebih ( 120% angka kebutuhan) Klasifikasi tingkat ketersediaan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dapat dilihat pada Tabel 9.

53 Tabel 9 Jenis data dan klasifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi Jenis Data 1. Tingkat ketersediaan energiprotein (Hardinsyah dan Briawan 1994) Klasifikasi a. Kurang (<90% angka kebutuhan) b. Normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein=90-120% angka kebutuhan) c. Lebih (energi>110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan) 2. Tingkat ketersediaan natrium, zat besi dan kalium 3. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)(direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996) 4. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996) a. Dibawah angka kebutuhan (%) b. Sesuai angka kebutuhan (%) c. Diatas angka kebutuhan (%) a. Defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan) b. Defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan) c. Defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) d. Normal (90-100% angka ketersediaan) a. Defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan) b. Defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan) c. Defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) d. Normal (90-119% angka kebutuhan) e. Diatas angka kebutuhan ( 120% angka kebutuhan) Penilaian daya terima terhadap makanan yang disajikan rumah sakit diuji dengan Uji Hedonik Skala Verbal dengan menanyakan penilaian indrawi terhadap sembilan atribut makanan. Atribut makanan yaitu warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Penilaian tingkat kesukaan masing-masing atribut makanan diukur dengan tiga skala, yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Setiap jawaban pertanyaan jika menjawab tidak suka mendapatkan skor 1, jika menjawab biasa mendapatkan skor 2, jika menjawab suka mendapatkan skor 3 (Hardinsyah et al. 1989).Total nilai atribut makanan selama 3 hari dijumlahkan sehingga menghasilkan total nilai terendah yaitu 27 (1 TS x 3 hari x 9 atribut ) dan tertinggi 81 (3 S x 3 hari x 9 atribut ).

54 Tabel 10 Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS No Penilaian Skor (Pagi/Siang/Malam) Tidak Suka Biasa Suka 1 Warna Aroma Tekstur Bentuk Rasa Lauk Rasa Sayur Suhu Variasi Menu Kebersihan Alat Total Hari Pengamatan (3) 9 x 3 = x 3 = x 3 = 81 Nilai daya terima subyek terhadap makanan RS dihitung dengan cara nilai subyek dikurangi dengan nilai minimal (27) kemudian dibagi dengan hasil pengurangan antara nilai maksimal (81) dengan nilai minimal. Total nilai setiap atribut makanan tiap subyek dikonversikan sehingga berada pada rentang 0 hingga 100% menggunakan rumus (Sukandar, diacu dalam Primadhani 2006): Daya terima (y) diklasifikasi menjadi tiga, yaitu: 1. Daya terima rendah apabila y < 25% 2. Daya terima sedang apabila 25% y 54% 3. Daya terima tinggi apabila y > 54% Makanan luar RS yang dikonsumsi dihitung dengan mengkonversi jumlah makanan luar yang dikonsumsi (URT) dengan menggunakan nutrition fact dan Daftar Komposisi Bahan Makanan. Infus yang dikonsumsi dihitung dengan cara mengalikan jumlah infus selama sehari dengan kandungan zat gizi yang terdapat pada label infus. Kontribusi konsumsi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi makanan RS dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+infus). (nilai subyek nilai minimal) y = x 100% (nilai maksimal nilai minimal) Kontribusi konsumsi energi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi energi makanan RS dibagi dengan total konsumsi energi sehari (makanan RS+makanan luar RS+ infus).

55 Kontribusi konsumsi protein makanan RS dihitung dengan cara konsumsi protein makanan RS dibagi dengan total konsumsi protein sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi zat besi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi zat besi makanan RS dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi natrium makanan RS dihitung dengan cara konsumsi natrium makanan RS dibagi dengan total konsumsi natrium sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi kalium makanan RS dihitung dengan cara konsumsi kalium makanan RS dibagi dengan total konsumsi kalium sehari (makanan RS+makanan luar RS+infus). Kontribusi Kons. Energi Mkn. RS (%) = Kons. E Mkn. RS x 100% Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Protein Mkn. RS (%) = Kons. Prot. Mkn. RS x 100% Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Zat Besi Mkn. RS (%) = Kons. Fe Mkn. RS x 100% Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Natrium Mkn. RS (%) = Kons. Na Mkn. RS x 100% Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Kalium Mkn. RS (%) = Kons. K Mkn. RS x 100% Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi konsumsi makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+infus). Kontribusi konsumsi energi makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi energi makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi energi sehari (makanan RS+makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi protein makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi protein makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi protein sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi zat besi makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi zat besi makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi natrium makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi natrium makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi natrium sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus).

56 Kontribusi konsumsi kalium makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi kalium makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi kalium sehari (makanan RS+makanan luar RS+infus). Kontribusi Kons. Energi Mkn. Luar RS (%) = Kons. E Mkn. Luar RS x 100% Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Protein Mkn. Luar RS (%) = Kons. Prot. Mkn. Luar RS x 100% Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Zat Besi Mkn.Luar RS (%) = Kons. Fe Mkn. Luar RS x 100% Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Natrium Mkn. Luar RS (%) =Kons. Na Mkn. Luar RS x 100% Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Kalium Mkn. Luar RS (%) = Kons. K Mkn. Luar RS x 100% Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi konsumsi infus dihitung dengan cara konsumsi infus dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+infus). Kontribusi konsumsi energi infus dihitung dengan cara konsumsi energi infus dibagi dengan total konsumsi energi sehari (makanan RS+makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi protein infus dihitung dengan cara konsumsi protein infus dibagi dengan total konsumsi protein sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi zat besi infus dihitung dengan cara konsumsi zat besi infus dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi natrium infus dihitung dengan cara konsumsi natrium infus dibagi dengan total konsumsi natrium sehari (makanan RS+ makanan luar RS+ infus). Kontribusi konsumsi kalium infus dihitung dengan cara konsumsi kalium infus dibagi dengan total konsumsi kalium sehari (makanan RS+makanan luar RS+infus). Kontribusi Kons. Energi infus (%) = Kons. E infus x 100% Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Protein infus (%) = Kons. Prot. Infus x 100% Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Zat Besi infus (%) = Kons. Fe infus x 100% Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Natrium infus (%) = Kons. Na infus x 100% Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus) Kontribusi Kons. Kalium infus (%) = Kons. K infus x 100% Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)

57 Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistika deskriftif dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell dan SPSS 16.0 for Windows. Hubungan daya terima makanan RS dengan konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dianalisis melalui persentase tingkat konsumsi dengan persentase daya terima menggunakan uji korelasi Spearman melalui program SPSS 16.0 for Windows. Definisi Operasional Lama rawat adalah jumlah hari rawat subyek menjalani rawat inap di RS sampai saat wawancara Penyelenggaraan makanan RS adalah serangkaian kegiatan perencanaan menu, pembelian, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, pemorsian, distribusi, penyajian, dan pengolahan sisa bahan makanan maupun makanan pasien Siklus menu adalah perputaran menu atau hidangan yang akan disajikan rumah sakit dalam jangka waktu tertentu Makanan luar RS adalah makanan yang dikonsumsi subyek selain makanan yang disajikan RS Makanan parenteral (infus) adalah makanan dalam bentuk formula parenteral yang diberikan RS kepada pasien Konsumsi sehari adalah penjumlahan konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS, luar RS dan infus selama sehari Standar porsi adalah porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi Ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan RS untuk subyek ditiap kelas perawatan dalam satu hari Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari makanan yang disajikan RS untuk subyek selama satu hari Angka kebutuhan energi dan dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dibutuhkan oleh tubuh seseorang agar hidup sehat dan dapat melakukan fungsi fisiologis

58 Angka kecukupan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) rata-rata yang dianjurkan untuk dikonsumsi agar hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis agar tercegah dari kekurangan atau defisiensi dan kelebihan zat gizi Konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dikonsumsi oleh subyek dalam waktu satu hari Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) terhadap ketersediaan adalah perbandingan jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dikonsumsi dari RS terhadap jumlah energi dan zat gizi (protein, zat besi,natrium) dari makanan yang disajikan RS Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) terhadap kebutuhan adalah perbandingan jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dikonsumsi dari RS terhadap jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dibutuhkan masing-masing subyek Uji Hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat kesukaan subyek terhadap makanan yang disajikan Daya terima subyek adalah penilaian inderawi subyek terhadap sembilan unsur makanan. Unsur makanan tersebut meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu Warna makanan adalah reaksi atau tanggapan indera penglihatan subyek terhadap keserasian warna menu makanan yang disajikan Aroma makanan adalah reaksi atau tanggapan indera pencium subyek terhadap bau yang ditimbulkan menu makanan yang disajikan Rasa makanan adalah reaksi atau tanggapan indera pengecap subyek terhadap menu makanan yang disajikan Tekstur makanan adalah struktur makanan yang dapat dirasakan didalam mulut Bentuk makanan adalah reaksi atau tanggapan indera penglihatan subyek terhadap rupa menu makanan yang disajikan Suhu makanan adalah temperatur menu makanan yang disajikan RS

59 Kebersihan alat makan adalah penampakan dari makanan yang disajikan yaitu tidak tercecer di baki, alat hidang yang bersih dan penempatan makanan yang rapih di baki Variasi menu adalah keanekaragaman menu yang digunakan pada makanan RS

60 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum RSUP Fatmawati Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati terletak diwilayah Jakarta Selatan dengan luas bangunan ,50 m 2 dan luar tanah 13 Ha. RSUP Fatmawati merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi wilayah Jakarta Selatan dan juga berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan. Gambar 3 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan Sejarah dan Tipe RSUP Fatmawati Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati bermula dari gagasan Ibu Fatmawati Soekarno yang saat itu sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang bermaksud mendirikan sebuah Rumah Sakit Tuberculose anak-anak, untuk perawatan anak penderita TBC serta tindakan rehabilitasinya. Peletakan batu pertama pembangunan Rumah Sakit TBC khusus anak-anak dilakukan oleh Ibu Fatmawati Soekarno pada tanggal 2 Oktober Melalui dana yang dihimpun oleh Yayasan Ibu Soekarno dan bantuan dari Yayasan Dana Bantuan Kementerian Sosial RI dilaksanakan pembangunan Gedung Rumah Sakit Ibu Soekarno. Kementerian Kesehatan RI melanjutkan pembangunan gedung RS Ibu Soekarno hingga selesai dan dapat difungsikan sebagai rumah sakit. Fungsi rumah sakit tersebut berubah menjadi Rumah Sakit Umum seperti ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor 21286/KEP/121 tanggal 12 April Pada tanggal 20 Mei 1967 oleh Menteri Kesehatan RI, Prof Dr. G.A. Siwabesi, nama RSU Ibu Soekarno diganti menjadi RSU Fatmawati, dan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 294/menkes/SK/V/1984 tanggal 20 Mei 1984, RSU Fatmawati ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Wilayah Jakarta Selatan. Setelah keluarnya Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1991 pada tanggal 25 Agustus 1991 tentang Unit Swadana, maka RSU Fatmawati

61 melakukan berbagai persiapan, sehingga Menteri Keuangan RI mengeluarkan surat persetujuan penetapan RSU Fatmawati menjadi unit Swadana, Nomor S- 901/MK013/1992. Berdasarkan surat tersebut, RSU Fatmawati ditetapkan menjadi Rumah Sakit Swadana Bersyarat, dua tahun mulai 1 Agustus 1992 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 745/Menkes/SK/IX/1992, tanggal 2 September Dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 551/Menkes/SK/VI/1994, tanggal 13 Juni 1994, ditetapkan Struktur Organisasi dan Tata Kerja RSUP Fatmawati sebagai Rumah Sakit Umum Kelas B Pendidikan, sesuai dengan Keputusan Menkes Nomor 983/Menkes/SK/IX/1992 tanggal 12 November 1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum. Tahun 2010, melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1243/Menkes/SK/VIII/2010 tanggal 11 Agustus 2010, RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Rumah Sakit Kelas A Pendidikan. Visi, Misi, dan Struktur Organisasi Visi RSUP Fatmawati adalah menjadi Rumah sakit terkemuka yang memberikan pelayanan yang melampaui harapan pelanggan. Sedangkan Misi yang ditegakkan oleh RSUP Fatmawati antara lain memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan unggulan orthopedi dan rehabilitasi medik; memfasilitasi dan meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penelitian untuk pengembangan sumber daya manusia dan pelayanan. Menyelenggarakan administrasi dan penatakelolaan rumah sakit yang efisien serta akuntabel; melaksanakan pengelolaan keuangan yang efektif, fleksibel berdasarkan prinsip ekonomi dan produktifitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat; mengutamakan keselamatan pasien dan lingkungan yang sehat; serta meningkatkan semangat persatuan dan kesejahteraan sumber daya rumah sakit. RSUP Fatmawati diawasi oleh dewan pengawas dan dipimpin oleh seorang direktur utama yang dibantu oleh 3 direktur yaitu direktur medik dan keperawatan, direktur umum, SDM dan pendidikan, dan direktur keuangan. Direktur utama juga membawahi komite etika dan hukum, komite mutu dan pengembangan, komite medik, komite keperawatan dan satuan pengawasan intern. Ketiga wakil direktur bertanggung jawab dibeberapa instalasi dan

62 membawahi beberapa bidang dan bagian komite-komite tersebut membawahi beberapa bidang dan bagian. Pelayanan Medis, Fasilitas Pelayanan dan Pelayanan Penunjang Pelayanan medis yang terdapat di RSUP Fatmawati meliputi pelayanan unggulan, pelayanan terpadu, pelayanan pemeliharaan dan klinik dokter spesialis. Pelayanan Unggulan terdiri atas Bedah Orthopaedi dan Rehabilitasi Medis, Rawat Darurat, Rawat Jalan, Rawat Inap. Pelayanan Terpadu terdiri atas Poli VCT, Tumbuh Kembang, Klinik Remaja, Perinatal Resiko Tinggi, dan lainlain. Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan terdiri atas MCU dan klub. Pada bagian pelayanan kesehatan untuk pasien inap, RSUP Fatmawati memiliki beberapa kelas perawatan. Kapasitas seluruh tempat tidur untuk pasien rawat inap berjumlah 750 unit. Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan di RSUP Fatmawati ditampilkan dalam Tabel 11. Tabel 11 Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan Kelas Jumlah Tempat Tidur (unit) Super VIP 4 VIP 33 VIP (IRNA A dan IRNA C) 8 Unit Stroke 4 Kelas I 37 CEU 10 ICU 12 NICU 2 PICU 2 Kelas II Umum 128 Kelas II High Care 16 Kelas III 477 Jumlah 750 Fasilitas pelayanan terdiri atas Unit Emergensi, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Bedah Sentral, Intersive Care Unit (ICU), Cardiac Emergency Unit (CEU), Haemodialisa, NICU/PICU, Medical Check Up (MCU). Pelayanan Unggulan Terpadu (Poli Konseling OHDA Wijaya Kusuma, Klinik Tumbuh Kembang, Klinik Kesehatan Remaja, Kanker/PPKT). Selain itu terdapat pula Praktek Dokter Spesialis (PDS), Klub Kesehatan (stroke, asma, diabetes, osteoporosis, geriatri dan jantung sehat).

63 Pelayanan penunjang terdiri atas Farmasi/Apotek (24 jam), Laboratorium Klinik (24 jam), Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Patologi Anatomi, Radiologi dan Kedokteran Nuklir (CT Scan, C-Arm, Mammography). Diagnosik Penunjang (ECG, EEG, EMG, Echo-Cardiograph Color dan Doppler Audiometric), Instalasi Gizi, Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah serta Instalasi Sterilisasi dan Sentralisasi Binatu. Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati Visi dan Misi Instalasi Gizi RSUP Fatmawati dirancangkan selain untuk melayani makanan bagi pasien rawat inap juga melayani pemesanan makanan diet bagi masyarakat yang membutuhkan. Bagi yang membutuhkan konsultasi gizi, pasien dapat datang ke klinik gizi. Upaya yang dilakukan untuk menjamin kebersihan makanan, proses persiapan makanan serta peralatan yang digunakan mulai dari pencucian alat makan sampai dengan penataan makanan kedalam insulated tray dilakukan secara higienis. Visi Instalasi Gizi RSUP Fatmawati adalah menjadi pusat layanan gizi yang terbaik dengan memberikan pelayanan melampaui harapan pelanggan. Adapun misi yang diterapkan antara lain melakukan pelayanan gizi yang meliputi penyediaan makanan, pelayanan gizi di ruang rawat inap, penyuluhan dan konsultasi gizi dan pengembangan gizi terapan secara efektif dan efisien dengan mutu yang prima; memfasilitasi dan meningkatkan pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia dan pelayanan gizi; melakukan inovasi terus menerus dalam bidang pelayanan gizi rumah sakit, serta melakukan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia instalasi gizi. Komponen Ketenagaan Gambar 4 Instalasi gizi RSUP Fatmawati Berdasarkan jenis kegiatan, ketenagaan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), ahli gizi (16), pengatur gizi (3), administrasi (1), pengolah makanan (28) dan pramusaji (36). Berdasarkan jenis

64 pendidikan terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), sarjana pertanian jurusan gizi (1), sarjana kesehatan,masyarakat (1), DIV Gizi dan Sarjana Ekonomi (1), DIV Gizi (2), DIII Gizi (11), D1 Gizi (3), SMA (5), SMKK (26), SMIP (1), KPAA (5), SMP (21) dan SD (7). Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati Proses penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati terdiri atas beberapa subkegiatan, dimulai dari perencanaan menu, pengadaan bahan makanan, penyimpanan, proses pengolahan, pemorsian dan distribusi makanan. Jenis makanan yang disediakan oleh Instalasi Gizi RSUP Fatmawati dibedakan berdasarkan konsistensinya yaitu makanan biasa, makanan lunak, makanan saring, blender dan makanan cair. Berdasarkan jenis diet, Instalasi Gizi menyediakan beberapa jenis diet diantaranya Diet Djantung Rendah Garam (DDRG), Diet Diabetes Mellitus (DM), Diet Rendah Garam (RG), Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), Diet Rendah Protein (RP), Diet Hati (DH), dan Diet Lambung (DL). Perencanaan Menu Kegiatan perencanaan menu bertujuan untuk menyediakan beberapa susunan menu yang akan digunakan. Siklus menu yang diterapkan oleh RSUP Fatmawati yaitu siklus menu 10 hari. Bulan dengan jumlah 31 hari akan menggunakan menu ke 11. Perputaran menu dilakukan sebanyak tiga kali dengan pergantian menu yang dilakukan setiap enam bulan. Hal ini dilakukan agar pasien tidak merasa bosan terhadap menu yang diberikan. Jenis menu yang diterapkan di RSUP Fatmawati dibagi menjadi dua yaitu menu pilihan dan menu non pilihan. Menu pilihan diberikan kepada pasien VIP, dimana menu untuk makan pagi diberikan tiga paket menu pilihan yang dapat dipilih oleh pasie VIP, sedangkan untuk makan siang dan sore diberikan dua menu pilihan. Pasien kelas perawatan I, II dan III menggunakan menu non pilihan atau menu yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit. Pembelian dan Pemesanan Bahan Makanan Pembelian bahan makanan dilakukan oleh tim pengadaan barang non medik dan gizi. Pelaksanaan pembelian antara lain dilakukan melalui pelelangan umum dan terbatas, penunjukkan langsung, maupun pembelian langsung. Pemesanan bahan makanan adalah penyusunan permintaan bahan makanan berdasarkan menu dan rata-rata jumlah pasien.

65 Langkah-langkah pemesanan bahan makanan adalah ahli gizi membuat rekapitulasi kebutuhan bahan makanan untuk esok hari dengan cara mengalikan standar porsi dengan jumlah pasien, kemudian meminta persetujuan kepala instalasi gizi. Surat pemesanan tersebut diserahkan kepada rekanan yang telah ditetapkan. Bahan makanan basah dipesan setiap hari, sementara bahan makanan kering dipesan 1-2 kali dalam 1 bulan. Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan bahan makanan, pencatatan dan pelaporan kesesuaian kualitas dan kuantitas bahan makanan yang diterima dengan pesanan dan spesifikasi yang telah ditetapkan. Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata, menyimpan, meemlihara, menjaga keamanan bahan makanan kering dan basah serta pencatatan dan pelaporannya. Penyaluran bahan makanan adalah tata cara mendistribusikan bahan makanan berdasarkan permintaan harian, yang bertujuan agar tersedianya bahan makanan siap pakai dengan kualitas dan kuantitas yang tepat sesuai kebutuhan. Persiapan Bahan Makanan Persiapan bahan makanan merupakan suatu proses dalam rangka menyiapkan bahan makanan dan bumbu yang siap untuk dimasak sesuai dengan standar resep serta perlengkapan atau peralatan sebelum dilakukan pemasakan. Instalasi Gizi RSUP Fatmawati mempunyai ruang persiapan bahan makanan tersendiri. Kegiatan persiapan bahan makanan terdiri atas persiapan untuk bahan hewani, nabati, makanan pokok dan sayuran. Sebelum dimasak, bahan makanan tersebut melewati tahapan seperti pemotongan dan pencucian. Persiapan bahan makanan cair di Istalasi Gizi RSUP Fatmawati yaitu mulai dari pengambilan bahan makanan cair dari gudang harian sesuai dengan kebutuhan. Bahan untuk makanan blender telah dipersiapkan dan diolah sebelumnya di dapur pengolahan. Pengolahan Bahan Makanan Pengolahan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati memfokuskan kepada makanan diet untuk pasien rawat inap. Pengolahan dibagi berdasarkan bagian jenis makanannya yaitu makanan pilihan dan non pilihan. Proses pengolahan makanan untuk pasien kelas VIP dan kelas I dilakukan pada satu area dengan tenaga pengolah sebanyak empat orang.

66 Penggabungan pengolahan antara kelas VIP dan kelas I dilakukan karena jumlah pasien VIP yang sedikit. Alasan lain yaitu pada hidangan sayur, menu pasien kelas I mengikuti menu VIP. Makanan yang diolah untuk kelas perawatan II dan III terdiri atas makanan biasa dan diet khusus. Penggabungan proses pengolahan makanan biasa dan diet khusus dikarenakan perbedaan makanan hanya terdapat pada menu lauk hewani dan nabati saja, sedangkan untuk sayur, jenis hidangannya sama antara kelas II dan III. Pengolahan makanan biasa dan diet dilakukan oleh tiga tenaga pengolah. Pengolahan lauk nabati dan hewani untuk penderita DM dibedakan yaitu tidak menggunakan bumbu seperti kecap ataupun gula. Bagi pasien dengan Diet Hati, lauk hewani dan nabati yang diberikan diolah tanpa menggunakan santan. Begitu pula dengan Diet Rendah Garam, penggunaan garam dibatasi bahkan ada yang tidak menggunakan garam. Gambar 5 Lauk dan tumisan sebelum diporsikan Makanan cair yang akan dibuat oleh pengolah sesuai dengan jumlah dan kebutuhan pasien yang membutuhkan makanan cair pada hari tersebut. Hal ini diketahui dengan cara pramusaji tiap ruangan memberikan amprahan atau daftar kebutuhan makan pasien kepada tenaga pekerja yang bekerja di dapur susu. Cara pengolahan makanan cair yaitu dengan memblender semua bahan yang diberi sedikit air panas, setelah itu dilakukan pengemasan. Makanan cair yang berupa susu, pengolah akan mengemas susu bubuk kedalam kemasan-kemasan kecil yang sudah sesuai dengan takaran dan jumlah pemberian. Pengolahan makanan selingan pagi dan buah dilakukan hanya untuk pasien kelas II dan III. Jumlah tenaga yang bekerja pada makanan selingan yaitu satu orang, sehingga jenis makanan yang dihidangkan hanya berupa makanan selingan yang mudah dibuat. Salah satu contoh hidangan selingan yang terdapat di instalasi gizi yaitu agar-agar dan bubur kacang hijau.

67 Pemorsian Makanan Proses pemorsian makan pasien dilakukan oleh petugas pengolah makan atau pekarya serta pramusaji makanan. Proses pemorsian makan pasien untuk kelas VIP dan kelas I dibedakan dengan tempat pemorsian untuk kelas II dan III. Pemorsian kelas VIP dilakukan didapur pantry sedangkan pemorsian kelas I, II dan III dilakukan didapur instalasi gizi. Tempat pemorsian kelas II dan kelas III dilakukan di atas tray conveyor dengan cara plato disusun kemudian makanan yang akan diporsikan terlebih dahulu berupa makanan pokok (nasi biasa, nasi tim, bubur, kentang rebus) beserta buah kemudian lauk hewani, lauk nabati dan terkahir sayur sesuai dengan etiket pasien. Proses wrapping dilakukan setelah makanan diporsikan pada plato. Hal ini dilakukan agar makanan terhindar dari kontaminasi. Distribusi Makanan Proses distribusi makanan pasien di RSUP Fatmawati dilakukan secara sentralisasi dan desentralisasi. Proses sentralisasi dilakukan dengan ketentuan makanan tiap pasien langsung diporsikan di dapur instalasi gizi. Proses ini dilakukan untuk pasien kelas I,II dan III, sedangkan pasien kelas VIP menggunakan sistem desentralisasi yaitu makanan diporsikan di dapur pantry kemudian didistribusikan ke pasien. Petugas distribusi makanan pasien kelas VIP, I, II dan III dilakukan oleh pramusaji di tiap lantai ruang rawat inap yang terdiri dari dua sampai tiga orang. Gambar 6 Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien

68 Karakteristik Subyek Karakteristik subyek meliputi jenis kelamin, usia dan status gizi. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek Jumlah Karakteristik Subyek n % Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan TOTAL Usia Remaja 0 0 Dewasa Awal Dewasa Menengah TOTAL Status Gizi Underweight Normal At Risk 2 4 Obesitas I 3 6 Obesitas II 0 0 TOTAL Jenis Kelamin Total subyek dalam penelitian ini adalah 50 orang. Sebagian besar subyek (62%) berjenis kelamin laki-laki. Subyek dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 38%. Usia Usia subyek dikelompokkan menjadi 3, yaitu remaja (17-19 tahun), dewasa awal (20 45 tahun) dan dewasa menengah (46-55 tahun). Subyek yang tergolong usia dewasa awal berjumlah 42% dan yang tergolong dalam usia dewasa menengah yaitu 58%. Status Gizi Status gizi subyek diperoleh dengan menghitung indeks massa tubuh. Nilai IMT dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: kurus; normal; at risk; obesitas I dan obesitas II. Lebih dari separuh subyek (64%) memiliki status gizi

69 normal. Persentase subyek dengan status gizi kurus yaitu 26% dan 6% tergolong status gizi obesitas I. Lama Sakit Riwayat Penyakit Lebih dari separuh subyek (58%) telah menderita penyakit ginjal selama kurun waktu 1 5 tahun, sedangkan 30% subyek telah menderita penyakit ginjal selama 6 10 tahun. Persentase subyek yang menderita penyakit ginjal < 1 tahun dan antara kurun tahun yaitu 4% dan 8%. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan lama sakit Lama Penyakit (thn) n % < > Total Perubahan lingkungan pada orang yang dirawat dalam waktu lama di RS, dapat menyebabkan tekanan psikologis pada orang yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan hilangnya nafsu makan dan rasa mual terhadap makanan yang disajikan (Subandriyo 1995). Komplikasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh subyek sudah mengalami komplikasi. Komplikasi yang menyertai subyek antara lain diabetes mellitus, hipertensi, anemia, intake sulit, Chronic Heart Failure (CHF), hiperkalemia, sindrom dispepsia dan asidosis metabolik. Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi ditampilkan dalam Tabel 14. Tabel 14 Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi Komplikasi n % Ada Tidak Ada 0 0 Total Status Pernah Dirawat di RS Status perawatan penyakit ginjal yaitu riwayat pernah atau tidaknya subyek dirawat di RS karena penyakit ginjal sebelum penelitian dilakukan. Berdasarkan status perawatan subyek dibedakan menjadi pernah dan tidak pernah. Subyek yang pernah dirawat di RS karena penyakit ginjal dan yang tidak

70 pernah dirawat memiliki persentase yang sama yaitu 50%. Sebaran subyek berdasarkan status perawatan penyakit ginjal ditampilkan dalam Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS Status Perawatan n % Pernah Tidak Pernah Total Lama Dirawat di RS Lama dirawat di RS dihitung sejak subyek masuk RS hingga saat dilakukan pengamatan. Lama perawatan subyek dibedakan menjadi 3 hari, 4-7 hari dan >7 hari. Lebih dari separuh subyek (66%), telah dirawat antara kurun waktu 4 7 hari. Persentase subyek yang telah dirawat selama 3 hari sebesar 28%. Hanya 6% subyek yang telah dirawat >7 hari. Sebaran subyek berdasarkan lama perawatan di RS disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subyek berdasarkan lama dirawat di RS Lama dirawat n % 3 hari hari > 7 hari 3 6 Total Jenis Diet Diet yang diberikan RS Jenis diet yang diberikan oleh RS kepada pasien dengan gagal ginjal kronik dibedakan menjadi 2, yaitu Rendah Protein (RP) dan Diabetes Mellitus Rendah Protein (DMRP). Diet RP diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik tanpa komplikasi diabetes mellitus sedangkan diet DMRP diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus. Sebaran subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS ditampilkan dalam Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS Jenis Diet n % RP DMRP Total Lebih dari separuh jumlah subyek (60%) dalam penelitian 60% diberikan diet RP. Persentase subyek yang mendapatkan diet DMRP yaitu sebesar 40%. Berdasarkan ketentuan RS, menu pada diet RP dan DMRP sudah termasuk diet

71 rendah garam (RG). Ketetapan ini diberlakukan untuk membatasi konsumsi natrium bagi pasien penyakit ginjal kronik. Konsistensi Makanan Pokok Gambar 7 Diet RP dan DMRP lunak Konsistensi diet yang diamati dalam penelitian ini adalah makanan lunak dan makanan biasa pada masing-masing diet yang diberikan (RP dan DMRP). Perbedaan konsistensi makanan lunak dan biasa terlihat pada makanan pokok yang diberikan. Diet dengan konsistensi makanan lunak diberikan makanan pokok berupa bubur atau nasi tim, sedangkan pada konsistensi makanan biasa, makanan pokoknya berupa nasi. Tidak ada perbedaan pada lauk maupun sayur yang disajikan. Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok Konsistensi Diet n % Lunak Biasa 8 16 Total Sebagian besar subyek (84%) diberikan diet dengan konsistensi makanan lunak. Hanya 16% subyek yang diberikan diet dengan konsistensi makanan biasa. Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain Kebutuhan energi dihitung menggunakan rumus cepat menurut Almatsier (2004) yang juga digunakan oleh RS dan menggunakan rumus Oxford Equation. Kebutuhan energi subyek berdasarkan rumus cepat RS berkisar antara 1276 hingga 2580 Kal dengan rata-rata Kal. Sementara itu, kebutuhan energi subyek berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation berkisar antara 1228 hingga 2174 Kal dengan rata-rata Kal. Kebutuhan protein subyek ditetapkan oleh RS yaitu sebesar 40 g. Hasil

72 perhitungan rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek ditampilkan dalam Tabel 19. Tabel 19 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain Zat Gizi Rata-rata Kebutuhan (Rumus Cepat RS) Rata-rata Kebutuhan (Oxford Equation) Energi (Kal) Protein (g) 40,0 0,0 40,0 0,0 Zat Besi (mg) 15,9 5,7 15,9 5,7 Natrium (mg) 3000,0 0,0 3000,0 0,0 Kalium (mg) 2500,0 0,0 2500,0 0,0 Kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 12 hingga 26 mg. Rata-rata kebutuhan zat besi yaitu 15,9 5,7 mg. Kebutuhan natrium dan kalium diperoleh berdasarkan rekomendasi jumlah natrium dan kalium yang dianjurkan untuk penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 3000 mg natrium dan 2500 mg kalium (Greene dan Thomas 2008). Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada rata-rata kebutuhan energi subyek, dimana rata-rata kebutuhan subyek berdasarkan rumus Oxford Equation lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan menggunakan rumus cepat RS. Perbedaan ini terjadi karena pada perhitungan menggunakan Oxford Equation dalam menentukan nilai Angka Metabolisme Basal (AMB) digolongkan berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, sedangkan perhitungan menggunakan rumus cepat RS hanya dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS Ketersediaan Makanan RS Jumlah ketersediaan energi dan zat gizi lain makanan RS diperoleh dengan menjumlahkan masing-masing zat gizi yang tersedia selama 3 hari kemudian dirata-ratakan. Rincian rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi subyek disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS Zat Gizi Rata-rata Ketersediaan Energi (Kal) Protein (g) 40,8 4,7 Zat Besi (mg) 17,9 3,4 Natrium (mg) 256,7 35,4 Kalium (mg) 3492,5 500,8 Ketersediaan energi seluruh subyek berkisar antara 1069 hingga 1714 Kal dengan rata-rata Kal. Ketersediaan protein berkisar antara 32,1

73 hingga 56,4 g dengan rata-rata 40,8 4,7 g. Ketersediaan zat besi berkisar antara 12,8 mg hingga 27,2 mg dengan rata-rata 17,9 3,4 g. Ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 206,3 hingga 417,5 mg dengan rata-rata 256,7 35,4 mg. Ketersediaan kalium berkisar antara 2484 hingga 4826 mg dengan rata-rata 3492,5 Tingkat Ketersediaan Makanan RS 500,8 mg. Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain diperoleh dengan membandingkan angka ketersediaan zat gizi dengan kebutuhan subyek. Tingkat ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit,normal dan lebih. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein ditampilkan dalam Tabel 21. Tingkat ketersediaan energi (rumus cepat RS) seluruh subyek berkisar antara 46,4 hingga 119,5% dengan rata-rata 70,2 17,1%. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat ketersediaan energi dengan kategori defisit yaitu sebesar 86%. Hanya 12% dari keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan kategori normal dan 2% subyek tergolong kategori lebih. Sementara itu, tingkat ketersediaan energi (rumus Oxford Equation) seluruh subyek berkisar antara 54,2 hingga 124,1% dengan rata-rata 84,7 15,6%. Lebih dari separuh jumlah subyek (62%) tergolong kategori defisit. Hanya 30% dari keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan kategori normal dan 8% subyek tergolong kategori lebih. Ketidaksesuaian ketersediaan energi dengan kebutuhan subyek diduga karena kurang tepatnya pemorsian makanan. Tabel 21 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein Energi (rumus RS ) Energi (rumus OE ) Protein Tingkat Ketersediaan n % n % n % Defisit Normal Lebih Total Keterangan : rumus RS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit rumus OE = rumus Oxford Equation Tingkat ketersediaan protein seluruh subyek berkisar antara 80,1 hingga 141,1% dengan rata-rata ,8%. Persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat ketersediaan protein dengan kategori normal (90 120% dari angka kebutuhan) yaitu sebesar 82%. Persentase terkecil subyek terdapat pada tingkat

74 ketersediaan protein dengan kategori defisit (< 90%dari angka kebutuhan) yaitu sebesar 10%. Hal ini menunjukkan ketersediaan protein RS sudah sesuai dengan kebutuhan pasien penyakit ginjal kronik. Pembatasan protein pada pasien penyakit ginjal kronik dan pasien nefropati diabetik merupakan hal yang penting. Pemberian diet rendah protein bertujuan untuk mempertahankan fungsi ginjal. Saat ini, anjuran konsumsi protein 0,8 g/kgbb/hari, kurang atau sama dengan 10% dari total energi. Sebagian besar protein (50%) bernilai biologis tinggi (IKCC 2007). Hasil penelitian Primadhani (2006) menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan energi dan protein pada pasien penyakit dalam kelas III RS Cipto Mangunkusumo sebagian besar tergolong defisit. Sementara itu, penelitian Ratnasari (2003) menyebutkan bahwa tingkat ketersediaan energi pasien penyakit dalam di RSUD Kabupaten Cilacap 55,3% tergolong defisit dan 2,1% tergolong defisit protein. Tabel 22 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium Zat Besi Natrium Kalium Tingkat Ketersediaan n % n % n % Dibawah kebutuhan Sesuai kebutuhan Diatas kebutuhan Total Tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium dikategorikan menjadi dibawah kebutuhan, sesuai kebutuhan dan diatas kebutuhan. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium disajikan dalam Tabel 22. Hasil perhitungan menunjukkan tingkat ketersediaan zat besi seluruh subyek berkisar antara 49,4 hingga 209,2% dengan rata-rata 124,3 42,3%. Persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat ketersediaan zat besi dengan kategori diatas kebutuhan yaitu sebesar 60%. Persentase terkecil subyek terdapat pada tingkat ketersediaan zat bsei dengan kategori sesuai kebutuhan yaitu sebesar 16%. Tingkat ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 6,9 hingga hingga 13,9% dengan rata-rata 8,6 1,2%. Seluruh subyek (100%) memiliki tingkat ketersediaan natrium dengan kategori dibawah kebutuhan. Tingkat ketersediaan kalium berkisar antara 99,4 hingga 193,1% dengan rata-rata 139,7 20%. Sebesar 96% dari keseluruhan subyek termasuk dalam

75 kategori diatas kebutuhan. Subyek yang termasuk dalam kategori dibawah kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan memiliki persentase yang sama yaitu 2%. Konsumsi Makanan RS Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS Konsumsi makanan RS pada penelitian ini diamati menggunakan metode food weighing. Konsumsi zat gizi yang diamati adalah energi, protein, zat besi, natrium dan kalium. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS ditampilkan dalam Tabel 23. Tabel 23 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS Zat Gizi Rata-rata Konsumsi Energi (Kal) Protein (g) 29,3 6,8 Zat Besi (mg) 10,2 3,0 Natrium (mg) 189,7 50,9 Kalium (mg) 3492,5 500,8 Konsumsi energi seluruh subyek berkisar antara 566 Kal hingga 1450 Kal dengan rata-rata Kal. Konsumsi protein seluruh subyek berkisar antara 10,4 hingga 42,4 g dengan rata-rata 29,3 6,8 g. Konsumsi zat besi berkisar antara 4,2 hingga 19,3 mg dengan rata-rata 10,2 3,0 mg. Konsumsi natrium seluruh subyek berkisar antara 57,8 hingga 408 mg dengan rata-rata 189,7 50,9 mg. Konsumsi kalium seluruh subyek berkisar antara 4626,7 hingga 3292,5 mg, dengan rata-rata 3492,5 500,8 mg. Sebagian besar subyek tidak menghabiskan makanan yang disajikan RS. Alasan subyek tidak menghabiskan makanan antara lain karena lemas, pusing, mual, tidak berselera makan, lidah terasa pahit, dan tidak bisa buang air besar. Bahkan menurut Khomsan (2003) konsumsi obat-obatan tertentu dapat menurunkan nafsu makan. Konsumsi subyek yang cenderung kurang dari diet yang telah ditetapkan RS menyebabkan terjadinya malnutrisi klinis. Malnutrisi klinis dapat terjadi disebabkan oleh penyakit pasien sendiri dan kurang gizi, dan dapat juga karena efek samping terapi atau pembedahan (Philipi 2007). Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Makanan RS Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat gizi dikategorikan menjadi defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan dan normal. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan disajikan dalam Tabel 24.

76 Tabel 24 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan protein makanan RS Energi Protein Tingkat Konsumsi n % n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Total Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi seluruh subyek berkisar antara 49 hingga 98,7% dengan rata-rata 73,1 11,8%. Hampir seluruh subyek (90%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat) dan 10% termasuk kategori normal. Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein seluruh subyek berkisar antara 28,5 hingga 102% dengan rata-rata 71,9 15,2%. Sebagian besar subyek (86%) termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat) dan hanya 14% yang tergolong kategori normal. Pendamping pasien maupun pasien sebaiknya perlu menyadari akan pentingnya zat gizi pada saat penyembuhan, baik saat dirawat dirumah sakit maupun saat rawat jalan. Bagi pasien rawat inap diharuskan menghabiskan makanan yang telah disediakan RS (Kresnawan 2007). Beberapa penelitian di Eropa melaporkan bahwa konsumsi energi pasien rawat inap dapat distimulasi dengan meningkatkan suasana sosial dan pelayanan terhadap pasien, rasa makanan, dan memberikan pilihan menu (Larsen & Toubro 2007). Tabel 25 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi, natrium dan kalium makanan RS Zat Besi Natrium Kalium Tingkat Konsumsi n % N % n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Total Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 25. Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi seluruh subyek berkisar antara 29,4 hingga 101,4% dengan rata-rata 56,9 14,9%. Sebagian besar subyek yaitu 80% terdapat pada kategori defisit tingkat berat. Hanya 2% subyek yang terdapat pada kategori normal.

77 Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 21,9 hingga 143,1% dengan rata-rata 74,4 18,6%. Hampir seluruh subyek (90%) termasuk kategori defisit (ringan hingga berat) dan hanya 10% yang tergolong kategori normal. Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium seluruh subyek berkisar antara 30,2 hingga 138,7% dengan rata-rata 64,5 0,8%. Persentase terbesar subyek terdapat pada kategori defisit (ringan hingga berat) yaitu 84% dan hanya 16% yang tergolong kategori normal. Tingkat Konsumsi Makanan RS terhadap Kebutuhan Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal dan lebih. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dan protein disajikan dalam Tabel 26. Tabel 26 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dan protein Energi (rumus RS ) Energi (rumus OE ) Protein Tingkat Konsumsi n % N % n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total Keterangan : rumus RS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit rumus OE = rumus Oxford Equation Hasil perhitungan menggunakan rumus cepat RS menunjukkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi seluruh subyek berkisar antara 25,2 hingga 112,8% dengan rata-rata 51,5 16,3%. Hampir seluruh subyek yaitu 98% termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 2% subyek yang tergolong kategori normal. Sementara itu, perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation menunjukkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi berkisar antara 39,1 hingga 117% dengan rata-rata 61,9 15,6%. Hampir seluruh subyek (78%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat), 4% tergolong normal dan hanya 2% subyek yang tergolong kategori lebih. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein seluruh subyek berkisar antara 26,1 hingga 105,6% dengan rata-rata 73,2 16,9%. Sebesar 82% dari keseluruhan subyek termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 10% subyek yang tergolong kategori normal.

78 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 27. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 21,5 hingga 160,6% dengan rata-rata 70,7 29,8%. Sebagian besar subyek yaitu 82% termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 18% subyek yang tergolong kategori normal. Tabel 27 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi, natrium dan kalium Zat Besi Natrium Kalium Tingkat Konsumsi n % n % n % Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Lebih Total Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natirum seluruh subyek berkisar antara 1,9 hingga 13,6% dengan rata-rata 6,3 1,7%. Hasil perhitungan menunjukkan seluruh subyek (100%) termasuk dalam kategori defisit tingkat berat. Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium seluruh subyek berkisar antara 91 hingga 185% dengan rata-rata %. Lebih dari separuh subyek (61%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Sebesar 13% subyek tergolong dalam kategori normal. Daya Terima Setiap Waktu Makan Daya Terima Terhadap Makanan RS Daya terima subyek terhadap makanan RS adalah tingkat atau derajat kesukaan subyek terhadap makanan yang disajikan RS. Daya terima subyek terhadap makanan RS merupakan gambaran penilaian subyek terhadap 9 atribut makanan. Atribut makanan yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa lauk, rasa sayur, tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Penilaian daya terima dilakukan selama 3 hari. Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS pada setiap waktu makan ditampilkan dalam Tabel 28. Sebagian besar subyek (80%) memiliki daya terima yang tinggi terhadap makan pagi. Begitu pula dengan daya terima subyek terhadap makan siang, sebesar 78% memiliki daya terima yang tinggi. Lebih dari separuh subyek (58%) memiliki daya terima sedang terhadap makanan yang disajikan waktu sore.

79 Tabel 28 Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS tiap waktu makan Pagi Siang Sore Daya Terima n % n % n % Rendah Sedang Tinggi Total Penilaian Subyek Terhadap Atribut Makanan Penilaian terhadap makanan waktu makan pagi menunjukkan bahwa sebagian besar subyek memiliki penilaian biasa terhadap warna (70,7%), aroma (91,3%), rasa lauk (60%), tekstur (62,7%), bentuk (70%), kebersihan alat (84,7%), dan variasi menu (89,3%). Sebanyak 40,7% tidak menyukai rasa sayur. Lebih dari separuh subyek menilai suka terhadap suhu makanan. Rincian sebaran subyek berdasarkan berdasarkan penilaian atribut makanan pada waktu makan pagi ditampilkan dalam Tabel 29. Tabel 29 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan pagi Tidak Suka Biasa Suka Total Atribut Makanan n % n % n % n % Warna 7 4, , , Aroma 10 6, ,3 3 2, Rasa Lauk 0 0, , , Rasa Sayur 61 40, , , Tekstur 25 16, , , Bentuk 0 0, , , Suhu 0 0, , , Kebersihan Alat 23 15, ,7 0 0, Variasi Menu 6 4, ,3 10 6, , , , Keterangan : n total = 1 makan pagi x 3 hari x 50 orang Penilaian terhadap makanan waktu makan siang menunjukkan bahwa 36% subyek tidak menyukai rasa sayur. Sebagian besar subyek cenderung memberikan penilaian biasa terhadap warna (72%), aroma (80%), rasa lauk (74%), tekstur (67,3%), bentuk (70%), kebersihan alat (82%) dan variasi menu (89,3%). Separuh subyek (50,7%) memberikan penialai suka terhadap suhu makanan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 30.

80 Tabel 30 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan siang Tidak Suka Biasa Suka Total Atribut Makanan n % n % n % n % Warna 5 3, , , Aroma 7 4, , , Rasa Lauk 11 7, , , Rasa Sayur 55 36, , , Tekstur 12 8, , , Bentuk 0 0, , , Suhu 9 6, , , Kebersihan Alat 28 18, , Variasi Menu 5 3, ,3 11 7, , Keterangan : n total = 1 makan siang x 3 hari x 50 orang Penilaian terhadap makanan waktu makan sore menunjukkan bahwa sebagian besar subyek cenderung memberikan penilaian biasa terhadap warna (69,3%), aroma (90,7%), rasa lauk (61,3%), rasa sayur (52,7%), tekstur (67,3%), bentuk (70%), kebersihan alat (75,3%) dan variasi menu (92,7%). Lebih dari separuh subyek (52,7%) suka terhadap suhu makanan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan sore Tidak Suka Biasa Suka Total Atribut Makanan n % n % n % n % Warna 11 7, , , Aroma 6 4, ,7 8 5, Rasa Lauk 56 37, ,3 2 1, Rasa Sayur ,7 2 1, Tekstur 9 6, , , Bentuk 0 0, , , Suhu 0 0, , , Kebersihan Alat 37 24, ,3 0 0, Variasi Menu 6 4, ,7 5 3, , , , Keterangan : n total = 1 makan sore x 3 hari x 50 orang Makanan Luar RS Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus Lebih dari separuh subyek (66%) selain mengkonsumsi makanan RS juga mengkonsumsi makanan dari luar RS. Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS dipat dilihat pada Tabel 32.

81 Tabel 32 Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS Laki-laki Perempuan Subyek Konsumsi Makanan Luar RS n % n % n % Ya Tidak Total Rata-rata (n=33) konsumsi energi dari makanan luar RS sebesar 158,4 Kal dan konsumsi protein 3,3 g. Konsumsi zat besi, natrium, dan kalium yang berasal dari makanan luar RS rata-rata sebesar 2 mg, 134,7 mg dan 196,9 mg. Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi oleh subyek secara rinci dapat dilihat pada Tabel 33. Jenis Makanan Nasi Lauk Sayur Buah Roti Biskuit Krekers Makanan Rebus Minuman Tabel 33 Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi Contoh Makanan Bubur ayam, lontong Ayam goreng, kentang goreng, telur rebus Sup wortel jagung Apel, jeruk, pir Roti manis (cokelat, keju), roti tawar Biskuit manis, wafer Krekers manis, krekers tawar Kentang, ubi, pisang Teh manis Subyek mengkonsumsi makanan luar RS karena beberapa alasan yaitu ingin makanan kesukaan, masih lapar dan merasa bosan dengan makanan rumah sakit. Pemberian Infus Jenis infus yang diberikan kepada sebagian besar subyek (88%) subyek adalah NaCl 0,9%, Ringer Laktat (RL), sedangkan infus Dextrose 5% hanya 10% subyek dan infus Flashbumin 2%. Sebaran sampe berdasarkan jenis infus yang diberikan ditampilkan dalam Tabel 34. Tabel 34 Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan Laki-laki Perempuan Total Jenis Infus n % n % n % NaCl 0,9% Ringer Laktat Dextrose 5% Flashbumin Total Subyek Energi rata-rata dari subyek yang diberikan infus dextrose 5% (n=5) sebesar 300 Kal. Protein yang diperoleh dari infus flashbumin sebesar 55,13 g. Pasien yang diberikan infus NaCl 0,9% dan Ringer Laktat tidak memperoleh

82 tambahan energi maupun protein dari infus, karena jenis infus tersebut hanya mengandung elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida, laktat). Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain Kontribusi konsumsi energi makanan RS terhadap total konsumsi (makanan RS, luar RS, infus) subyek yaitu 90% dan persentase kontribusi protein adalah 92,5% total konsumsi. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium terhadap total konsumsi yaitu 91,9%, 38,5% dan 96,2%. Persentase kontribusi natrium makanan RS jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini terjadi karena konsumsi natrium hampir separuh diperoleh dari infus dan sisanya diperoleh dari makanan luar RS. Rincian kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan infus terhadap total konsumsi ditampilkan dalam Tabel 35. Tabel 35 Rata-rata kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan infus terhadap total konsumsi Zat Gizi Makanan RS Makanan Luar RS Infus Total Energi 90% 8,1% 1,9% 100% Protein 92,5% 6,2% 1,3% 100% Zat Besi 91,9% 8,1% 0% 100% Natrium 38,5% 12,1% 49,4% 100% Kalium 96,2% 3,5% 0,3% 100% Persentase kontribusi energi makanan luar RS terhadap total konsumsi yaitu 8,1% dan kontribusi protein 6,2%. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium masing-masing 8,1%, 12,1% dan 3,5%. Kontribusi energi infus terhadap total konsumsi yaitu 1,9% dan kontribusi protein 1,3%. Persentase kontribusi zat besi, natrium dan kalium adalah 0%, 49,4% dan 0,3%. Hampir separuh kontribusi natrium subyek diperoleh dari infus. Sebagian besar subyek memperoleh infus NaCl maupun Ringer Laktat yang mengandung elektrolit (natrium, klorida, kalium, kalsium, laktat) dan tidak mengandung energi maupun protein. Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima Hasil uji Spearman menunjukkan nilai p>0,05 dan r<0,5 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi, protein, zat besi, natrium dan kalium dengan daya terima. Hal ini mengindikasikan bahwa daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain. Meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh

83 faktor penyakit (merasa lemas, lidah terasa pahit, pusing) dan pengaruh obat (mual dan susah buang air besar).

84 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Subyek dalam penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal kronik yang berusia tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki (62%), hanya 38% subyek yang berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar subyek (58%) berada dalam kisaran usia tahun atau dewasa menengah. Lebih dari separuh subyek (64%) memiliki status gizi normal. Sebesar 58% subyek telah menderita penyakit ginjal selama kurun waktu 1-5 tahun dan seluruh subyek (100%) sudah mengalami komplikasi. Separuh subyek (50%) pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya karena penyakit ginjal yang diderita. Saat penelitian dilaksanakan, sebesar 66% subyek telah dirawat di RS antara kurun waktu 4 7 hari. Sebesar 60% subyek diberikan diet rendah protein (RP). Berdasarkan jenis diet, sebagian besar subyek (84%) diberikan diet dengan konsistensi lunak. Rata-rata kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS adalah 2003 Kal dan berdasarkan rumus Oxford Equation 1624 Kal. Kebutuhan protein seluruh subyek yaitu 40 g. Rata-rata kebutuhan zat besi, natrium dan kalium subyek yaitu 15,9 mg, 3000 mg dan 2500 mg. Rata-rata ketersediaan energi dan protein dari makanan RS adalah 1357 Kal dan 40,8 g. Rata-rata ketersediaan zat besi, natrium dan kalium yaitu 17,9 mg, 256,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat ketersediaan energi (rumus cepat RS) sebesar 70,2% angka kebutuhan, termasuk kategori defisit dan perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation menunjukkan lebih dari separuh subyek (62%), termasuk kategori defisit. Rata-rata tingkat ketersediaan protein 102% angka kebutuhan, termasuk kategori normal. Rata-rata tingkat ketersediaan zat besi yaitu 124%, termasuk dalam kategori diatas AKG, sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium yaitu 8,6%, termasuk dalam kategori dibawah AKG. Rata-rata tingkat ketersediaan kalium subyek yaitu 139%, termasuk dalam kategori diatas AKG. Rata-rata konsumsi energi dan protein subyek adalah 992 Kal dan 29,3 g. Rata-rata konsumsi zat besi, natrium dan kalium yaitu 10,2 mg, 189,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi 73,1% angka ketersediaan, termasuk kategori defisit (ringan hingga berat) dan rata-rata tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein 71,9% angka ketersediaan, termasuk

85 kategori defisit (ringan hingga berat). Rata-rata tingkat ketersediaan konsumsi terhadap ketersediaan zat besi yaitu 56,9%, termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat), sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium yaitu 74,4%, juga termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Rata-rata tingkat ketersediaan kalium subyek yaitu 64,5%, termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Rata-rata tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS sebesar 51,5% angka kebutuhan dan berdasarkan rumus Oxford equation sebesar 61,9% termasuk kategori defisit tingkat berat. Rata-rata tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein 73,2% angka kebutuhan, termasuk kategori defisit tingkat sedang. Rata-rata tingkat kebutuhan konsumsi terhadap kebutuhan zat besi yaitu 56,9%, termasuk dalam kategori defisit tingkat berat, sementara itu, rata-rata tingkat kebutuhan natrium yaitu 74,4%, termasuk dalam kategori defisit tingkat sedang. Rata-rata tingkat kebutuhan kalium subyek yaitu 64,5%, termasuk dalam kategori defisit tingkat berat. Daya terima berdasarkan waktu makan menunjukkan, mayoritas subyek memiliki penerimaan tinggi untuk makan pagi (80%) dan siang (78%) serta penerimaan sedang untuk makan sore (58%). Penilaian subyek terhadap atribut makanan cenderung biasa terhadap warna, aroma, tekstur, bentuk, rasa lauk, kebersihan alat dan variasi menu. Subyek cenderung tidak menyukai rasa sayur, baik pada waktu makan pagi, siang atau sore. Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap total konsumsi terbesar berasal dari makanan RS. Persentase kontribusi natrium jauh lebih rendah dibandingkan dengan energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini disebabkan hampir separuh (49,4%) kontribusi natrium berasal dari infus. Kontribusi konsumsi energi, protein, zat besi dan kalium yang berasal dari makanan luar RS maupun infus tergolong rendah. Uji korelasi antara tingkat konsumsi dan daya terima menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain dengan daya terima. Artinya, meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal tersebut mungkin dipengaruhi beberapa faktor eksternal seperti konsumsi makanan dari luar rumah sakit dan penyajian makanan RS yang kurang menarik maupun faktor internal yaitu rasa mual, pusing, lemas dan menurunnya nafsu makan yang dialami subyek karena penyakit ginjal yang diderita.

86 Saran Secara umum, makanan RS telah dapat diterima subyek. Namun, sebaiknya RS lebih meningkatkan penyajian makanan, terutama pada waktu makan sore. Hasil penelitian menunjukkan daya terima subyek pada waktu makan sore lebih rendah dibandingkan pada waktu makan pagi dan siang. Pemberian diet kepada pasien penyakit ginjal kronik komplikasi diabetes mellitus yang menjalani hemodialisis sebaiknya dibedakan antara diet pra dan pasca hemodialisis. Hal ini disebabkan kebutuhan energi dan protein pada pasien penyakit ginjal kronik komplikasi diabetes mellitus lebih besar pasca hemodialisis.

87 DAFTAR PUSTAKA Almatsier Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Almatsier Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Anderson et al Nutrition in Health and Disease. USA : J.B.Lippincott Company Bakri S Deteksi Dini dan Upaya-upaya Pencegahan Progresivitas Penyakit Ginjal Kronik. Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Beck ME Ilmu Gizi dan Diet (Hubungannya dengan Penyakit-penyakit). Kristiani, penerjemah. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica [Depkes] Departemen Kesehatan Pelayanan Gizi Rumah Sakit edisi ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Profil Kesehatan Indonesia tahun Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Bina Gizi Masyarakat Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Gizi di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Laporan Akhir Survei Konsumsi Gizi Tahun Jakarta: Departemen Kesehatan RI [Dir.Jen.Yan.Medik] Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 1999a. Pedoman Pencegahan Gizi Kurang di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Effendi AT dan Effendi YH Pencegahan dan Penanggulangan non-insulin Dependent Diabetes dan Penyakit Jantung Koroner. Diktat Program Pasca Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Effendi YH Prinsip penatalaksanaan nutrisi klinik bagi pasien kasus penyakit dalam. Diktat Kuliah Pembekalan Intership Dietetik (Rumah Sakit). Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB Gamman PM, dan KB. Sherrington Ilmu pangan. Terjemahan M. Gardjito dkk. editor R.B Kasmidjo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gibson RS Nutritional Assessment Laboratory Manual. New York : University of Guelph. Greene JM dan Thomas L Renal Nutrition. Di dalam Berdanier DC, Dwyer J, Feldman BE.Handbook of Nutrition and Food.2nd Edition. USA : CRC. Hlm

88 Hardinsyah, Setiawan B, Marliyati SA Aspek Gizi dan Daya Terima Menu dengan Pangan Pokok Beragam dalam Upaya Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Hardinsyah dan Briawan D Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Martianto D Gizi Terapan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor Hartono A Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. Jakarta : EGC Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta : EGC Karyadi D, Muhilal Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Karyadi E Hidup Bersama Penyakit. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Moehyi S Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara. 1992a. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta : Bhratara Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Mukrie NA Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta : Akademi Gizi, Departemen Kesehatan dan Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Nasoetion A, Riyadi H, Mudjajanto ES Dasar-dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Noras JU Penilaian Pasien terhadap Pelayanan Gizi di Ruang Rawat Teratai RSUP Fatmawati Jakarta. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian IPB Primadhani Konsumsi Energi dan Protein pada Penderita Penyakit Hati Rawat Inap di PERJAN Dr. Cipto Mangunkusumo.Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Sediaoetama AD Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Dian Rakyat Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press

89 Subandriyo VU dan Santoso H Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Suhardjo, Hardinsyah, Riyadi H Survei Konsumsi Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dan Kusharto CM Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta : Kanisius Suharma L Tingkat Konsumsi dan Persepsi Pasien Rawat Inap Terhadap Makanan yang Disediakan Rumah Sakit Umum Azra Bogor. Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Sukarni M dan Kusno SR Metode Penilaian Citarasa II. Bogor : Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian, Fakultas Pertanian IPB Supariasa IPN, Bakri B, Fajar I Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Suwitra K Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus S.K, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Tjokoprawiro Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabete Mellitus. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Uripi V Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB Waspadji, Sukardji K, Octarina M Pedoman Diet Diabetes Mellitus sebagai Penduan bagi Dietisien/Ahli Gizi, Dokter, Mahasiswa dan Petugas Kesehatan Lain. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia [WKNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta : LIPI. Winarno Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Wilkens KG dan Juneja V Medical Nutrition Therapy for Renal Disorder. Di dalam : Mahan K, Stump SE. Krause s Food, Nutrition, and Diet Therapy.11 th edition. Philadelphia : Saunders. Hlm

90

91 Lampiran 1 Kuisioner Penelitian Kuisioner KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT GINJAL KRONIK SERTA PENYAKIT GINJAL KRONIK KOMPLIKASI TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI Oleh: Fatma Silviani DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 KARAKTERISTIK PASIEN Nama Lengkap : No. Rekam Medik : Pendamping Wawancara : Jenis Kelamin : Usia : Berat Badan / LLA : Tinggi Badan / TL / PU : Status Gizi : Aktivitas Fisik Alamat Pasien : : Ambulatori/Tirah Baring (coret salah satu) INFORMASI PENYAKIT DAN PERAWATAN Tanggal masuk :... Tanggal Keluar:... Lama Rawat :.....hari Penyakit yang diderita :... Komplikasi (jika ada) :... Lama penyakit :... Status Perawatan Penyakit :... Tahap/stadium penyakit :... Janis Trauma/ stress :... Kemampuan dan selera makan :... Jenis dan konsistensi Diet yang diberikan RS :...

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 )

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 ) METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang tidak berkelanjutan. Penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan cross sectional survey karena pengambilan data dilakukan pada satu waktu dan tidak berkelanjutan (Hidayat 2007). Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional study, dilaksanakan di Instalasi Gizi dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status

Lebih terperinci

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

DIIT GARAM RENDAH TUJUAN DIIT

DIIT GARAM RENDAH TUJUAN DIIT DIIT GARAM RENDAH Garam yang dimaksud dalam Diit Garam Rendah adalah Garam Natrium yang terdapat dalam garam dapur (NaCl) Soda Kue (NaHCO3), Baking Powder, Natrium Benzoat dan Vetsin (Mono Sodium Glutamat).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh manusia terutama dalam sistem urinaria. Pada manusia, ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

IKA NURHIKMAH A

IKA NURHIKMAH A TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PASIEN DIABETES MELLITUS RAWAT INAP TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUP FATMAWATI JAKARTA Oleh : IKA NURHIKMAH A54103068 PROGRAM STUDI GIZI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 400 per kematian (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah, termasuk penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung kongestif, penyakit vaskular

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR.

PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR. PENYELENGGARAAN MAKANAN, TINGKAT KECUKUPAN DAN STATUS GIZI PENDERITA SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR Temu Salmawati PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien, berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diet gagal ginjal adalah diet atau pengaturan pola makan yang dijalani oleh mereka yang menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuhnya.

Lebih terperinci

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Pra-Sekolah Anak pra-sekolah / anak TK adalah golongan umur yang mudah terpengaruh penyakit. Pertumbuhan dan perkembangan anak pra-sekolah dipengaruhi keturunan dan faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diet Pasca-Bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit

TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara lain pelayanan gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja,

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG DAN STATUS GIZI PASIEN PENDERITA HIPERTENSI KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM BANDUNG MEDAN Diza Fathamira Hamzah Staff Pengajar Program Studi Farmasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsumsi Energi dan Protein 1. Energi Tubuh memerlukan energi sebagai sumber tenaga untuk segala aktivitas. Energi diperoleh dari makanan sehari-hari yang terdiri dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi ke penyakit tidak menular ( PTM ) meliputi penyakit

BAB I PENDAHULUAN. penyakit infeksi ke penyakit tidak menular ( PTM ) meliputi penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadinya transisi epidemologi yang paralel dengan transisi demografi dan transisi teknologi di Indonesia telah mengakibatkan perubahan penyakit dari penyakit infeksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin 4 TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Beastudi Etos merupakan sebuah beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa. Beasiswa ini berdiri sejak tahun 2005 hingga sekarang dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN CV. SINAR MATAHARI SEJAHTERA DI KOTA MAKASSAR

GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN CV. SINAR MATAHARI SEJAHTERA DI KOTA MAKASSAR GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN CV. SINAR MATAHARI SEJAHTERA DI KOTA MAKASSAR Hendrayati 1, Sitti Sahariah Rowa 1, Hj. Sumarny Mappeboki 2 1 Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Menyusui merupakan aspek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi guna mencapai tumbuh kembang bayi atau anak yang optimal. Sejak lahir bayi hanya diberikan ASI hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Makanan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Makanan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan yang berupaya mencapai pemulihan penderita. Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan kegiatan terpadu

Lebih terperinci

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu data dikumpulkan pada satu waktu yang tidak berkelanjutan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN PENELITIAN HUBUNGAN POLA KONSUMSI ENERGI, LEMAK JENUH DAN SERAT DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER Usdeka Muliani* *Dosen Jurusan Gizi Indonesia saat ini menghadapi masalah

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI.

KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI. KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI Oleh : Nadia Chalida Nur 101000074 Depertemen Gizi Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron

BAB I PENDAHULUAN. yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel akibat berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal, mengakibatkan

Lebih terperinci

KEBUTUHAN ENERGI SEHARI

KEBUTUHAN ENERGI SEHARI PENENTUAN GIZI INDIVIDU DAN KGA Muslim, MPH STIKES HANGTUAH Tanjungpinang Pertemuan Ke-2, Tgl: 10 Oktober 2009 PERHITUNGAN KEBUTUHAN GIZI 1. ENERGI Gambaran klinis, status gizi Umur, jenis kelamin, aktivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Citra sebuah rumah sakit di tentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sistem pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Makanan Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan karena makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Fungsi pokok makanan adalah untuk

Lebih terperinci

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI

STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI STATUS GIZI DAN RIWAYAT KESEHATAN SEBAGAI DETERMINAN HIPERURISEMIA (Studi Kasus di PT. Chevron Pacific Indonesia, Distrik Duri, Riau) ALFINDA BUDIANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P.

Pola Makan Sehat. Oleh: Rika Hardani, S.P. Pola Makan Sehat Oleh: Rika Hardani, S.P. Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-2, Dengan Tema: ' Menjadi Ratu Dapur Profesional: Mengawal kesehatan keluarga melalui pemilihan dan pengolahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1

METODE PENELITIAN. n = n/n(d) 2 + 1 20 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study dengan metode survey observational. Tempat penelitian dipilih dengan metode purposive yaitu di UPT

Lebih terperinci

KEBUTUHAN NUTRISI PADA ANAK. ANITA APRILIAWATI, Ns., Sp.Kep An Pediatric Nursing Department Faculty of Nursing University of Muhammadiyah Jakarta

KEBUTUHAN NUTRISI PADA ANAK. ANITA APRILIAWATI, Ns., Sp.Kep An Pediatric Nursing Department Faculty of Nursing University of Muhammadiyah Jakarta KEBUTUHAN NUTRISI PADA ANAK ANITA APRILIAWATI, Ns., Sp.Kep An Pediatric Nursing Department Faculty of Nursing University of Muhammadiyah Jakarta NUTRISI PADA ANAK Pemenuhan kebutuhan nutrisi anak Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan merupakan suatu kegiatan atau proses menyediakan makanan dalam jumlah yang banyak atau dalam jumlah yang besar. Pada institusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Gizi Rumah Sakit Pelayanan gizi merupakan suatu pelayanan yang bertujuan membantu masyarakat baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit untuk memperoleh

Lebih terperinci

PENYUSUNAN DAN PERENCANAAN MENU BERDASARKAN GIZI SEIMBANG

PENYUSUNAN DAN PERENCANAAN MENU BERDASARKAN GIZI SEIMBANG PENYUSUNAN DAN PERENCANAAN MENU BERDASARKAN GIZI SEIMBANG Penyusunan dan Perencanaan Menu Berdasarkan Gizi Seimbang By. Jaya Mahar Maligan Laboratorium Nutrisi Pangan dan Hasil Pertanian PS Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

Penyusunan dan Perencanaan Menu Berdasarkan Gizi Seimbang

Penyusunan dan Perencanaan Menu Berdasarkan Gizi Seimbang Penyusunan dan Perencanaan Menu Berdasarkan Gizi Seimbang By. Jaya Mahar Maligan Laboratorium Nutrisi Pangan dan Hasil Pertanian PS Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan THP FTP UB Menu France : daftar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah >140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 15 METODOLOGI PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain crossecsional study, semua data yang dibutuhkan dikumpulkan dalam satu waktu (Singarimbun & Effendi 2006).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi sangat berpengaruh pada proses

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi sangat berpengaruh pada proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuhnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study dimana seluruh pengumpulan data dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Malangsari

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal merupakan organ ekskresi utama pada manusia. Ginjal mempunyai peran penting dalam mempertahankan kestabilan tubuh. Ginjal memiliki fungsi yaitu mempertahankan keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan zaman membawa dampak yang sangat berarti bagi perkembangan dunia, tidak terkecuali yang terjadi pada perkembangan di dunia kesehatan. Sejalan

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI.

KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI. KONSUMSI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP PENYAKIT KARDIOVASKULAR TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP H. ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI Oleh : Nadia Chalida Nur 101000074 Depertemen Gizi Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penulisan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penulisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena didalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mempunyai siklus menu 10 hari

BAB V PEMBAHASAN. Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mempunyai siklus menu 10 hari 43 BAB V PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Data Dari hasil penelitian, pada tabel 4.1 diketahui bahwa menu yang ada di Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mempunyai siklus menu 10 hari ditambah menu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung dimana otot jantung kekurangan suplai darah yang disebabkan karena adanya penyempitan pembuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek

BAB I PENDAHULUAN. adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM, baik aspek terus berkembang meskipun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN. Latar Belakang Penyelenggaraan makanan merupakan suatu kegiatan pengadaan makanan yang meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan bahan makanan, persiapan, pengolahan, pemorsian, serta pendistribusian.

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Menurut WHO (2011) secara global hampir mencapai satu milyar orang memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi) dan dua pertiga ada di negara berkembang. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal berperan sangat penting bagi sistem pengeluaran (ekskresi) manusia. Ginjal memiliki fungsi untuk mengeluarkan bahan dan sisa-sisa metabolisme yang tidak diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Pelayanan Gizi Rumah Sakit Berdasarkan SK. Men. Kes No. 134 / Men. Kes / IV / 1978 dan SK. Men. Kes No. 983 / 1992 menyebutkan bahwa Instalasi Gizi merupakan wadah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama. Di Negara Indonesia, hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa air, apa alam, dan sebagainya, yang dapat

Lebih terperinci

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA NADIYA MAWADDAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA PENDERITA PENYAKIT HATI RAWAT INAP DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Primadhani

KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA PENDERITA PENYAKIT HATI RAWAT INAP DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA. Primadhani KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA PENDERITA PENYAKIT HATI RAWAT INAP DI PERJAN RS DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA Primadhani PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier,

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berbagai macam jenis penyakit yang diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit membutuhkan makanan dengan diet khusus. Diet khusus adalah pengaturan makanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut

Lebih terperinci

Syarat makanan untuk bayi dan anak :

Syarat makanan untuk bayi dan anak : DIET ORANG SEHAT GOLONGAN ORANG SEHAT 1. BAYI DAN ANAK v masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat v ASI merupakan makanan ideal bagi bayi v Usia > 4 bulan perlu makanan tambahan v Perlu pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM sudah banyak dicapai dalam kemajuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Sehat Anak sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang sehat, baik secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang sehatlah manusia

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN DIIT DM TINGGI SERAT TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH PASIEN DM TIPE-2 DI RSUD SALEWANGANG KAB. MAROS

PENGARUH PEMBERIAN DIIT DM TINGGI SERAT TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH PASIEN DM TIPE-2 DI RSUD SALEWANGANG KAB. MAROS PENGARUH PEMBERIAN DIIT DM TINGGI SERAT TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH PASIEN DM TIPE-2 DI RSUD SALEWANGANG KAB. MAROS Nadimin 1, Sri Dara Ayu 1, Sadariah 2 1 Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Makassar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Hipertensi a. Pengertian Hipertensi Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dengan tekanan sistolik di atas 140 mmhg dan tekanan diastolik

Lebih terperinci

MAKANAN SEHAT DAN MAKANAN TIDAK SEHAT BAHAN AJAR MATA KULIAH KESEHATAN DAN GIZI I

MAKANAN SEHAT DAN MAKANAN TIDAK SEHAT BAHAN AJAR MATA KULIAH KESEHATAN DAN GIZI I MAKANAN SEHAT DAN MAKANAN TIDAK SEHAT BAHAN AJAR MATA KULIAH KESEHATAN DAN GIZI I PROGRAM PG PAUD JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 Pendahuluan Setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu akibat terjadinya penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh koroner. Penyumbatan atau penyempitan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak sekolah merupakan generasi penerus dan modal pembangunan. Oleh karena itu, tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Salah satu upaya kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan. pencatatan, pelaporan serta evaluasi (PGRS, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan. pencatatan, pelaporan serta evaluasi (PGRS, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan makanan RS merupakan serangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan, perencanaan anggaran belanja, pengadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Faktor-faktor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Faktor-faktor tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya masalah kesehatan dipengaruhi oleh pola hidup, pola makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan meningkatnya

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

B A B II TINJAUAN PUSTAKA B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi atau tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi status kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, secara

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, secara epidemiologi, pada tahun 2030 diperkirakan prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata Paham BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemahaman Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham yang artinya mengerti benar tentang sesuatu hal. Pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi

Lebih terperinci

TANGGAL TERBIT. 01 januari 2013

TANGGAL TERBIT. 01 januari 2013 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Kata pengantar... ii Daftar Isi... iii 1. Perencanaan anggaran belanja... 1 2. Perencanaan menu... 2 3. Persiapan pelaksanaan produksi distribusi sebelum masuk ruang kerja...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini biasanya menyerang tanpa tanda-tanda. Hipertensi itu sendiri bisa menyebabkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kesehatan manusia dan diperlukan untuk menentukan kualitas fisik, biologis, kognitif dan psikososial sepanjang hayat manusia. Komposisi zat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH

DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH DAYA TERIMA MAKANAN DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI-PROTEIN PASIEN RAWAT INAP PENDERITA PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT DR.H.MARZOEKI MAHDI MUTMAINNAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gizi a. Definisi Gizi Kata gizi berasal dari bahasa Arab ghidza yang berarti makanan. Menurut cara pengucapan Mesir, ghidza dibaca ghizi. Gizi adalah segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan berfungsi kuratif dan rehabilitatif yang menyelaraskan tindakan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan berfungsi kuratif dan rehabilitatif yang menyelaraskan tindakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan sebuah institusi penyelenggara pelayanan kesehatan berfungsi kuratif dan rehabilitatif yang menyelaraskan tindakan dengan perkembangan penyakit.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti

Lebih terperinci