BAB IV PENERAPAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM CORAL TRIANGLE INITIATIVE. memunculkan aktor-aktor politik baru. Aktor-aktor politik dalam hubungan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PENERAPAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM CORAL TRIANGLE INITIATIVE. memunculkan aktor-aktor politik baru. Aktor-aktor politik dalam hubungan"

Transkripsi

1 BAB IV PENERAPAN DIPLOMASI INDONESIA DALAM CORAL TRIANGLE INITIATIVE Perubahan peta politik, struktur dan sistem internasional saat ini memunculkan aktor-aktor politik baru. Aktor-aktor politik dalam hubungan internasional tersebut kini tidak hanya diisi oleh negara tetapi juga aktor non negara seperti NGO, IGO, lembaga riset, perusahaan multinasional-transnasional, organisasi keagamaan, akademisi, bahkan individu. Keragaman aktor-aktor tersebut membawa perubahan pada agenda internasional. Isu-isu yang dihadapi masyarakat global juga beragam mulai dari isu perbatasan wilayah, HAM dan demokrasi, energi dan sumberdaya, perubahan iklim, dan lainnya. Untuk menghadapi isu-isu tersebut diperlukan penyelesaian secara multilateral ditengah kompleksitas lingkungan regional dan global. Permasalahan lingkungan regional seperti pencemaran dan pengrusakan lingkungan laut di kawasan Indo-Pasifik menjadi sorotan global karena berdampak pada ekosistem dan sumber makanan dunia. Indonesia sebagai negara dengan 76

2 kawasan laut terluas di kawasan CT memiliki peran yang pennting untuk perbaikan dan kelestarian kawasan maritim. A. Politik Luar Negeri Indonesia dalam Isu Lingkungan Perubahan peta politik dunia serta beberapa isu baru yang dihadapi masyarakat global turut mempengaruhi pola politik luar negeri suatu negara. Isu lingkungan hidup mulai menjadi agenda internasional sekitar 1970an meskipun telah ada konvensi atau perjanjian mengenai lingkungan sebelumnya. Indonesia yang mengusung prinsip politik luar negeri bebas aktif sejak era kepemimpinan Soekarno hingga saat ini tidak terlepas dalam perubahan fokus pelaksanaan politik luar negerinya khususnya terkait isu lingkungan hidup. Di awal kemerdekaan RI, Indonesia fokus terhadap mempertahankan kedaulatan dan menyuarakan antikolonialisme ditambah isu lingkungan belum menjadi isu global. Memasuki orde baru, Indonesia memaksimalkan pembangunan nasional salah satunya melalui industrialisasi yang menimbulkan efek negative bagi lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam. Keikutsertaan dan komitmen Indonesia dalam kelestarian lingkungan hidup di dunia internasional tidak sejalan dengan kenyataan yang ada didlam negeri. Industrialisasi yang merusak lingkungan 77

3 terutama pembakaran lahan dan pembuangan limbah merupakan isu lingkungan domestik yang mendominasi di era kepemimpinan Soeharto (Alami, 2015). Tahun 1972 diselenggarakan Konferensi Stockholm sebagai titik awal pertemuan yang membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm mengkaji ulang pola pembangunan konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan kependudukan di negara berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi internasional. Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan. Indonesia menerima hasil konferensi stocklhom pada sidang kabinet pimpinan presiden Soeharto pada Juni Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972 Indonesia membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang lingkungan hidup. Panitia tersebut berhasil merumuskan program kebijaksanaan lingkungan 78

4 hidup sebagaimana tertuang dalam Butir 10 Bab II GBHN dan Bab 4 Repelita II (Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah lebih terjamin. Untuk merealisasikan komitmen Indonesia tersebut dibentuklah badan-badan yang bertugas untuk merumuskan kebijakan dan pengembangan lingkungan hidup yaitu LIPI dan Badan Perencanaan Pembangunan Indonesia walaupun pembentukan kedua lembaga tersebut dianggap hanya sebagai formalitas implementasi Indonesia atas keikutsertaannya dalam konferensi lingkungan hidup. Memasuki era reformasi kebijakan luar negeri Indonesia mengalami perubahan dari era sebelumnya. Kondisi politik domestik yang tidak stabil pasca reformasi 1998 di masa kepemimpinan B.J Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak terlalu menonjol mengingat pemerintah fokus untuk mengembalikan kestabilan politik dalam negeri. Seiring perubahan politik domestik yang mendasar, kebijakan politik luar negeri Indonesia dihadapkan dengan kondisi politik global dengan isu-isu dan tantangan yang semakin kompleks. Masalah lingkungan yang dihadapi masih berkisar pada sumber daya alam, 79

5 populasi dan kerjasama regional/internasional yang hanya melanjutkan program pemerintahan sebelumnya. Perubahan pola politik luar negeri dan diplomasi era SBY dinilai banyak pihak membawa perubahan dan citra positif bagi Indonesia. Manifestasi dari prinsip politik bebas aktif semakin dikembangkan dan mengembangkan konsep dynamic equilibrium untuk kondisi multipolaritas yang senantiasa dinamis tanpa adanya kekuatan dominan tunggal sehingga memungkinkan berbagai negara berinteraksi secara saling menguntungkan (Tan, 2007). Dynamic equilibrium digunakan untuk menjaga keseimbangan yang direalisasikan pada tingkat global dengan perbaiakn global governance termasuk reformasi dalam dewan keamanan PBB, ditingkat regional dengan merealiasikan komunitas ASEAN dan turut aktif dalam mengembangkan arsitektur regional, serta pada tingkat bilateral melalui kemitraan strategis atau komprehensif beberapa negara (Brotodiningrat, 2012) PLNRI di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pada penggunaan diplomasi Multijalur ( multitrack diplomacy ) dengan mengedepankan konsep Soft Power. Konsep diplomasi Soft Power ini pertama kali dikemukakan oleh SBY pada tahun 2005 dalam pidatonya di AS, SBY menyatakan 80

6 agar AS lebih mengandalkan soft power ketimbang hard power. Penggunaan soft power dalam politik luar negeri ini membawa kenaikan peran diplomasi Indonesia di tingkat internasional, selain tetap berperan aktif dikawasan Asia Tenggara melaui ASEAN, Indonesia pun semakin menunjukkan kiprahnya ditingkat Asia Pasifik maupun global. Bahkan Indonesia pernah menjadi ketua Asia pasific Economic Cooperation (APEC) maupun menjadi anggota G20. Isu lingkungan hidup dalam masa pemerintahan SBY mendapatkan khusus khusus dalam agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJM ) untuk pelaksanaan kebijakan nasional maupun luar negeri. Hal tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan hal ini berhubungan dengan isu global warming. Faktor eksternal merupakan tekanan dari dunia internasional agar Indonesia untuk mengadopsi dan menerapkan syarat yag berlaku apabila ingin memperoleh bantuan dari negara-negara maju atau organisasi internasional untuk pengelolaan lingkungan hidup (Wuryandari, 2015). Partisipasi sebagai negara berkembang akan membuka kesempatan untuk memperoleh akses ke sumber pendanaan dan teknologi baru yang diperlukan. Contohya ketika Indonesia 81

7 terpilih sebagi Presiden Governing Council UNEP periode membawa keuntungan antara lain kemudahan Indonesia memperoleh dukungan pendanaan, SDM, maupun teknologi lingkungan dari dunia internasional dan terbukanya jalinan komunikasi dan kerjasama internasioanal untuk penerapan Protokol Kyoto (Urin, 2006). Dalam menanggapi isu lingkungan hidup yang merupakan juga dampak globalisasi, Indonesia memegang peranan yang penting karena Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia, bahkan saat ini dipandang sebagai environmental super power, karena memiliki hutan yang sedemikian besar. Masalah perubahan iklim tidak akan selesai dan tidak akan bisa ditangani kecuali kalau hutan-hutan dijaga dan dilestarikan, terutama hutan-hutan di Indonesia, sehingga posisi Indonesia semakin dipandang penting. Oleh karena itu, agar posisi tawar Indonesia dan negara-negara yang memiliki hutan (tropical rainforest countries) diperhitungkan, Indonesia mempelopori pembentukan Forest-11 bersama sepuluh negara pemilik hutan hujan tropis lainnya saat Climate Change Forum di New York pada Keberhasilan diplomasi Indonesia melalui F-11 semakin diperhitungkan ketika berhasil menarik Brasil untuk ikut bergabung bersama dalam forum tersebut mengingat selama ini 82

8 Brasil enggan ikut dalam forum serupa sedangkan posisi Brasil sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar di dunia. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim tahun 2007 mendorong kerjasama antar Indonesia-Norwegia untuk membuat program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Plus Conservation) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (plus) Konservasi. Indonesia dan Norwegia resmi menandatangani perjanjian bilateral REDD+ pada tahun Berdasarkan perjanjian ini, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon melalui penciptaan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, serta penegakan ketat dari UU tentang Kehutanan. Sebagai gantinya, pemerintah Norwegia akan membayar pemerintah Indonesia hingga $ 1 miliar, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi bertemu (Mongabay, 2015). Akhir tahun 2007, Indonesia menjadi sorotan dunia dengan menjadi tuan rumah sidang besar internasional Climate Change Conference COP-13/MOP-3. Perhatian dunia saat itu sepertinya tertuju di ruang sidang Bali International Convention Centre di Nusa Dua. Delegasi tingkat Menteri dan sejumlah diplomat 83

9 kawakan Indonesia termasuk mendiang Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas ikut merumuskan hasil-hasil utama di Bali. Melalui negosiasi yang intensif diantara negara-negara kunci dan terutama peranan diplomasi Indonesia, akhirnya konferensi di Bali 2007 berhasil mencapai dengan hasil utamanya yang disebut dengan Bali Roadmap atau Bali Action Plan. Secara singkat Bali Roadmap telah berhasil menjembatani kepentingan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang maupun benturan kepentingan negara-negara lainnya. Bali Roadmap dibangun melalui empat elemen utama yakni mitigasi, adaptasi, financing, technology and capacity. Bali Roadmap menegaskan untuk menyelesaikan negosiasi hingga tahun 2009 pada saat COP-15/MOP-5 yang penyelenggaraannyadi Kopenhagen, Denmark dengan maksud mempersiapkan selesainya periode Protokol Kyoto yang akan berakhir 2012 (Kemenlu RI, 2009). Di sektor kelautan, Indonesia berhasil menginisiasi kerjasama multilateral yaitu CTI-CFF pada CTI-CFF merupakan inisiasi yang memiliki tujuan untuk mengembaikan kelestarian laut dan pesisir kawasan CT bersama negara-negara kawasan tersebut. Bersama lima negara anggota, Indonesia merumuskan RPOA yang kemudian diadopsikan kedalam NPOA sebagai program untuk mencapai lima sasaran 84

10 utama dari konservasi dan pemberdayaan CTI. Inisiasi tersebut dinilai banyak pihak membawa dampak positif bagi pembangunan ekonomi kawasan CT yang sebagian besar penduduknya tinggal di kawasan pesisir. Dari program-program hasil diplomasi lingkungan pada era SBY, hampir semuanya menggunakan instrumen multitrack diplomacy. Dengan menggunakan instrument tersebut dan mengedepankan penggunaan soft power akan membawa kemudahan dalam menarik semakin banyak aktor-aktor yang terlibat dalam perjanjian atau kerjasama internasional. Dengan kekuatan geopolitik yang dimiliki Indonesia, peran strategi dalam dunia internasional akan semakin diperlukan. Pola politik luar negeri Indonesia dari telah mengalami perubahan besar dari 3 rezim pemerintahan yaitu orde lama, orde baru, dan reformasi. Kebijakan politik luar negeri di era orde lama dan baru polanya relatif sama yaitu terpusat kepada presiden. Pada masa Orla, kebijakan luar negeri Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan pandangan Soekarno dalam melihat posisi Indonesia didunia internasional termasuk juga pandangan tentang dunia internasional itu sendiri. Sehingga, pemikiran Soekarno yang anti kolonialisme terimplementasi dalam kebijakan luar negerinya yang kemudian banyak berseberangan dengan Barat. 85

11 Demikian pula pada masa Orba. Kebijakan luar negeri Indonesia, dalam sistem pemerintahan yang sentralistik dan sistem politik yang terpusat pada presiden, sangat dipengaruhi oleh cara pandang Soeharto terhadap posisi Indonesia dan juga kondisi internasional. Soeharto yang lebih pro terhadap pembangunan ekonomi memandang negara-negara Barat adalah sebuah peluang untuk kerjasama ekonomi. Memasuki era kepemimpinan Soeharto, Indonesia mulai turut serta dalam menanggapi isu Lingkungan hidup global. Pemerintahan Presiden SBY merupakan puncak peranan diplomasi Indonesia dalam isu lingkungan hidup. Kebijakan politik yang terbuka terhadap isu tersebut membawa profil Indonesia semakin naik, Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat peduli dengan permasalahan lingkungan dengan kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Keaktifan Indonesia dalam forum internasional lingkungan hidup tidak semua diterapkan dengan baik dalam kebijakan dalam negeri. Beberapa kebijakan luar negeri terkadang kontra dengan realita yang terjadi di dalam negeri. 86

12 B. Peran dan Strategi Indonesia dalam Penyelamatan Lingkungan CTI Dalam pembentukan suatu kerjasama internasional, kepentingan nasional tidak terlepas sebagai faktor pendorong. Begitupun Indonesia dalam menginisiasi CTI memiliki kepentingan nasional yang didorong oleh beberapa faktor. Terdapat dua faktor penting yang melatarbelakangi Indonesia dalam mempelopori kerjasama multilateral CTI sebagai upaya penyelamatan lingkungan maritim dari kerusakan. Pertama, faktor geopolitik. Faktor ini berkaitan dengan letak Indonesia yang berada di antara 2 samudra besar dunia dan 2 benua (Pasifik Hindia dan Asia Australia) dan merupakan salah satu jalur perdagangan silang strategis dunia. Sekitar 40% lalu lintas perdagangan barang dan jasa yang diangkut kapal melintasi perairan Indonesia. Berbagai potensi sektor kelautan yang terkandung antara lain berupa sumber bahan bangunan seperti pasir, gravel, dan gelas; sumber mineral seperti mangan, kobalt, lumpur mineral, phospor, sumber bahan-bahan kimia seperti sodium dan posium, sumber energi dari ombak dan konversi energi panas, serta sumber minyak bumi yang melimpah dapat menjadi sector industri kelautan. Dengan 75% wilayah Indonesia berupa laut dan wilayah pesisir (coastal zone) yang menyimpan sumber daya alam yang kaya dan beragam, maka sektor kelautan 87

13 merupakan sektor strategis bagi pembangunan Indonesia di masa depan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Kedua, faktor ketahanan pangan. Faktor ini berkaitan dengan kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang tidak seimbang dengan ketersediaan pangan akibat ledakan populasi penduduk dan efek global warming. Wilayah Indonesia yang sebagian besar berupa laut dan pesisir harus dimanfaatkan. Karena ketidakseimbangan tersebut dibutuhkan variasi pangan dengan pemanfaatan sumber daya kelautan. Data menunjukan 60% penduduk Indonesia merupakan penduduk wilayah pesisir tetapi pemanfaatan sector pangan kelautan masih minim karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor tersebut (Adinegara, 2015). Ketiga, konflik perbatasan laut yang sering terjadi dikawasan Asia-Pasifik akibat ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara dan banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki laut yang berbatasan langsung dengan negara lain. Ada 10 negara tetangga yang lautnya berbatasan langsung dengan wilayah Nusantara. Mereka adalah India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Republik Palau, Papua New Guinea, Australia, dan Timor Leste. Belum adanya kesepakatan batas laut Indonesia 88

14 dengan beberapa Negara tetangga menimbulkan permasalahan saling klaim wilayah pengelolaan, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Beberapa kasus yang ada antar Indonesia dan Malaysia merupakan cerminan rentannya perairan daerah perbatasan. Terjadi saling tangkap nelayan baik dari Indonesia maupun Malaysia bahkan bisa mengganggu hubungan baik kedua Negara (Batubara, 2016). Indonesia sebagai pelopor inisiasi CTI-CFF memiliki peranan besar dalam mengembangkan inisiasi tersebut ke dunia global. Selain kelestarian laut, peningkatan perekonomian dan pemberdayaan penduduk pesisir merupakan manfaat yang diperoleh dalam kerjasama ini. Dalam hal ini, Indonesia juga memperoleh keuntungan sebagai anggota CTI untuk mewujudkan kelestaria laut CT. Keuntungan yang diperoleh tersebut digunakan untuk memeksimalkan peran serta strategi nasional agar hasil dari kerjasama tersebut semakin efektif baik untuk urusan luar maupun dalam negeri. CTI-CFF di bawah kepemimpinan Indonesia dapat menjadi forum yang efektif dalam memperkuat upaya pembenahan pengelolaan sumber daya laut. Berbagai upaya seperti pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) 89

15 Fishing, pelarangan penggunaan alat dan cara tangkap ikan yang merusak ekosistem, penegakan peraturan zonasi dan tata ruang kawasan konservasi laut yang tegas dan perlindungan terhadap spesies laut yang terancam punah dapat direplikasi ke skala regional melalui CTI-CFF. Replikasi tersebut sejalan dengan Goals CTI-CFF, terutama Ecosystem Approach to Management of Fisheries Fully Applied, Marine Protected Areas Established and Effectively Managed dan Threatened Species Status Improved. Indonesia mengedepankan pentingnya penyusunan kerangka kebijakan regional untuk dapat dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat pada perdagangan ikan karang hidup, termasuk eksportir dan importer seperti pengembangkan Cyanide Detection Test (CDT) yang akurat, pembentukan fasilitas laboratorium pada titik-titik pengumpulan ikan karang utama, pembentukan sistem monitoring dan pengumpulan data regional yang dapat memberikan data yang bermanfaat, akurat dan tepat, pelarangan atau pembatasan perdagangan, khususnya bagi spesies ikan karang yang sudah hampir punah. Kontribusi lain dari Indonesia dalam CTI CFF adalah fasilitasi pembentukan Sekretariat Regional (ratifikasi Perjanjian Pendirian, Sekretariat Regional Interim dan perjanjian fasilitas Indonesia selaku Host Country), 90

16 pembangunan Gedung Regional Sekretariat di Manado, pemilihan Direktur Eksekutif, fasilitasi dan penyelenggaraan berbagai pertemuan startegis regional (NCC-CTI, 2016) Bagi Indonesia CTI merupakan salah satu jalur untuk meningkatkan profil diplomasi Indonesia dalam bidang konservasi sumber daya laut sebagai bentuk penerapan multitrack diplomacy. CTI-CFF memberikan peluang interaksi dan saling melengkapi serta mendukung mekanisme kebijakan luar negeri dengan negara CT6 khususnya di bidang kelautan. Sebagai penggagas, Indonesia dapat lebih berperan untuk menentukan arahan masa depan organisasi yang dapat disesuaikan dengan kepentingan nasional serta disinergikan dengan kebijakan Indonesia di kawasan (NCC-CTI, 2016). Setelah pencanangan dan kesepakatan (CTI-CFF) disadari bahwa tidak semua bentuk kebijakan RPOA yang sudah ditetapkan dapat dilaksanakan sesuai target dan dalam waktu bersamaan. Hal ini menjadi dasar Indonesia melaksanakan Regional Priority Workshop (RPW). RPW merupakan forum untuk membahas dan menyetujui tujuan, target dan aksi yang telah diprioritaskan guna tercapai dan terlaksananya ragam kegiatan RPOA dalam kurun waktu 3 tahun. Forum ini juga bentuk komitmen 91

17 Indonesia dalam memperkuat kerjasama regional untuk mendukung ketahanan pangan khususnya sumber pangan kelautan (Wire, 2013). Dengan pelaksanaan RPW, implementasi NPOA Indonesia semakin progresif setiap tahunnya. Implementasi tersebut antara lain pertama, seacapes goals. Indonesia melaksanakan serangkaian karakterisasi ilmiah untuk mengidentifikasi dan menggambarkan bentang laut dengan isu lintas batas potensial. Kedua, sasaran perikanan berbasis ekosistem ditempuh Indonesia bersama negara lain dengan menyepakati resolusi perdagangan ikan karang hidup untuk konsumsi (Live Reef Fish Food Trade Inter-Governmental Forum) yang mendorong terciptanya pola perdagangan yang lebih adil dan menguntungkan bagi pelaku usaha serta kelestarian sumberdaya di Kawasan Segitiga Karang. Melalui (LRFFT) yang dibuat CTI, Indonesia mengupayakan reformasi dan diplomasi perikanan khususnya untuk perdagangan ikan karang hidup bisa difasilitasi melalui forum ini dengan mendorong penguatan dalam negeri dan sinergi dengan negara-negara CTI dan Asia Tenggara yang menjadi pemasok sekaligus ekportir utama ikan karang hidup khususnya untuk dua tempat tujuan ekspor utama, China, Hong Kong dan Taiwan. Melalui CTI CFF juga, Indonesia bisa menerapkan 92

18 pendekatan ekosistem dan pengelolaan bersama untuk perikanan yang berkelanjutan bersama yang menjadi dasar dari ketentuan dan penguatan jejaring Coral Triangle pada masa/proses pemijahan di kawasan daerah perlindungan laut (MPA). Ketiga, sasaran pengelolaan pengelolaan kawasan perlindungan laut. Indonesia telah memiliki Kawasan Konservasi Perairan (KKP) seluas 15,5 juta ha dari target komitmen 20 juta ha pada tahun Saat ini sedang dilakukan penetapan kelembagaan dan penyusunan rencana pengelolaan menuju pengelolaan yang efektif. Untuk menilai efektifitas pengelolaan kawasan konservasi, Indonesia telah menetapkan alat berupa Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) serta peraturan tentang Standar Kompetensi Khusus untuk pelatihan konservasi (KKP, 2013) Keempat, dalam sasaran adaptasi perubahan iklim, Indonesia telah menyusun draft untuk Penilaian Kerentanan Kawasan Pesisir terhadap Perubahan Iklim serta Modul Pelatihan untuk Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim. Sedangkan yang terakhir, perlindungan terhadap spesies yang terancam punah. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 93

19 Nomor. PER.03/MEN/2010 tentang Perlindungan Hiu serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon (Cheilinus Undulatus) yang mengatur larangan pemanfaatan ikan napoleon yang berukuran 100 gram 1000 gram dan berukuran diatas 3000 gram. Selain itu, pemerintah juga telah berhasil menginisiasi langkah-langkah untuk keterlibatan sektor swasta dengan penyelenggaraan Regional Business Forum (RBF). Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan dan pemanfaatan sektor maritime semakin ditigkatkan. Pemberlakuan UU IUU Fishing dilakukan semakin gencar dilakukan seiring maraknya illegal fishing yang dilakukan oleh pihak asing di kawasan laut Indonesia. Komitmen pemeritah terhadpa penyelamatan terumbu karang terus berlanjut pada Mei 2016 di sidang Majelis Lingkungan PBB, Indonesia mengusulkan resolusi pengelolaan terumbu karang pada Majelis Lingkungan PBB (UNEA-2). Indonesia menyerukan negara-negara anggota PBB untuk benar-benar mengelola terumbu karang secara berkelanjutan dan kemitraan global merupakan faktor penentu untuk konservasi terumbu karang dunia. Disahkannya perpres No. 85 tahun 2015 tentang Komite Nasional prakarsa Segitiga 94

20 Karang untuk terumbu karang, perikanan, dan ketahanan pangan semakin menguatkan komitmen dan peran Indonesia dalam CTI. Peran Indonesia yang aktif dalam inisiasi penyelematan lingkungan maritim seperti CTI merupakan respon cepat dari permasalahan yang ada dalam lingkungan domestik sebagai dampak dari efek global warming. Penggagasan CTI merupakan praktek diplomasi Indonesia dalam hal mengubah kepentingan nasional menjadi kepentingan global. Selain faktor kelestarian lingkungan, letak geografis ketahanan pangan dan konflik perbatasan juga turut menjadi pendorong inisiasi tersebut. Kerjasama ini dijadikan momentum strategis untuk memberikan orientasi kebijakan yang lebih besar pada pengelolaan kelautan yang berpengaruh pada pembangunan dan kemandirian bangsa. Negara-negara pelaku kerjasama dalam hal ini memiliki shared interest kepentingan. Berawal dari national interest yang sama antar CT6 dan keinginan untuk mengatasi dampak global warming terhadap laut dan biotanya menjadi faktor pendorong utama diterimanya CTI diantara negara CT6. Profil diplomasi lingkungan Indonesia yang semakin diperhitungkan juga semakin menjadi daya tarik bagi investor dan publik untuk ikut bergabung dalam kerjasama tersebut. Meskipun 95

21 penerapan NPOA dalam negeri dinilai masih kurang, tetapi komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan masih terjaga bahkan meningkat setiap periode kepemimpinan yang berbeda. Pelaksanaan multitrack diplomacy dalam CTI ini semakin mendorong kerjasama semakin intens karena aktor disetiap track saling berkaitan dan interaksi didalamnya akan menguatkan kerjasama yang strategis. Perkembangan aktor non negara dalam hubungan internasional membuat pelaksanaan CTI semakin kompleks oleh pelaku actor pendukungnya. Baik negara, organisasi internasional, perusahaan bisnis, media massa, dan masyarakat lokal bersama-sama mengupayakan penyelamatan dan pemberdayaan lingkungan laut serta biotanya untuk pembangunan yang berkelanjutan 96

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF 1. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security

Lebih terperinci

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dari analisis pada bab empat terkait pembahasan terhadap peran Indonesia dalam kerjasama multilateral CTI-CFF untuk upaya menjaga keanekaragaman hayati laut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG KOMITE NASIONAL PRAKARSA SEGITIGA KARANG UNTUK TERUMBU KARANG, PERIKANAN, DAN KETAHANAN PANGAN (CORAL TRIANGLE INITIATIVE ON CORAL REEFS,

Lebih terperinci

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DUNIA Salah satu langkah penting dalam diplomasi internasional adalah penyelenggaraan KTT Luar Biasa ke-5 OKI untuk penyelesaian isu Palestina

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG KOMITE NASIONAL PRAKARSA SEGITIGA KARANG UNTUK TERUMBU KARANG, PERIKANAN, DAN KETAHANAN PANGAN (CORAL TRIANGLE INITIATIVE ON CORAL REEFS,

Lebih terperinci

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1

CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1 CORAL TRIANGLE INITIATIVE FOR CORAL REEFS, FISHERIES & FOOD SECURITIES Oleh: M. Eko Rudianto 1 Di dunia ini terdapat 3 kawasan di katulistiwa yang merupakan pusat kenekaragaman hayati dunia, yaitu Amazone

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Australia begitu gencar dalam merespon Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), salah satu aktivitas ilegal yang mengancam ketersediaan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

LAPORAN PERJALANAN Oleh: Muhammad Abrar, S.Si, M.Si, Dr. Teguh Peristiwadi, Drs. Petrus Makatipu, M.Si

LAPORAN PERJALANAN Oleh: Muhammad Abrar, S.Si, M.Si, Dr. Teguh Peristiwadi, Drs. Petrus Makatipu, M.Si LAPORAN PERJALANAN 2013 Oleh: Muhammad Abrar, S.Si, M.Si, Dr. Teguh Peristiwadi, Drs. Petrus Makatipu, M.Si LAPORAN PERJALANAN The 2 nd CTI-CFF REGIONAL PRIORITIES WORKSHOP, MANADO, INDONESIA, AUGUST 20-22,

Lebih terperinci

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011 LAMPIRAN : PERATURAN KEPALA BNPP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TANGGAL : 7 JANUARI 2011 RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011 A. LATAR BELAKANG Penyusunan Rencana Kerja (Renja) Badan Nasional

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Melalui uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama internasional memiliki peranan penting dalam mendukung pencapaian nasional,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN. Deputi Bidang SDA dan LH

KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN. Deputi Bidang SDA dan LH KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN Deputi Bidang SDA dan LH

Lebih terperinci

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Indonesia merupakan negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Suatu anugerah yang sangat berharga yang dimiliki oleh bangsa kita. Potensi maritim Indonesia memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011 LAMPIRAN I : PERATURAN BNPP NOMOR : 3 TAHUN 2011 TANGGAL : 7 JANUARI 2011 RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011 A. LATAR BELAKANG Penyusunan Rencana Aksi (Renaksi)

Lebih terperinci

NATIONAL PRIORITY WORKSHOP (NPW) CTI CFF INDONESIA, TAHUN , HOTEL GOLDEN FLOWER, BANDUNG, SEPTEMBER 2013

NATIONAL PRIORITY WORKSHOP (NPW) CTI CFF INDONESIA, TAHUN , HOTEL GOLDEN FLOWER, BANDUNG, SEPTEMBER 2013 LAPORAN PERJALANAN NATIONAL PRIORITY WORKSHOP (NPW) CTI CFF INDONESIA, TAHUN 2014 2016, HOTEL GOLDEN FLOWER, BANDUNG, 12-13 SEPTEMBER 2013 Oleh: MUHAMMAD ABRAR, S.Si, M.Si PUSAT PENELEITAIAN OSEANOGRAFI

Lebih terperinci

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh: Dr. Dolly Priatna Yayasan Belantara Seminar Nasional Perubahan Iklim Mengembangkan Program Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Bagi Para Pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setelah Mahkamah Hukum Internasional menjatuhkan putusan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia memasuki suatu

Lebih terperinci

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA

DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA DEKLARASI BERSAMA TENTANG KEMITRAAN STRATEGIS ANTARA PERANCIS DAN INDONESIA Jakarta, 1 Juli 2011 - 1 - Untuk menandai 60 tahun hubungan diplomatik dan melanjutkan persahabatan antara kedua negara, Presiden

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh: Rony Megawanto Kebijakan nasional kelautan dan perikanan Indonesia diawali dengan perjuangan kewilayahan pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA Lampiran Surat Nomor: Tanggal: PENANGGUNGJAWAB: KEMENTERIAN LUAR NEGERI RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA 2016 2019 NO. A. BATAS MARITIM, RUANG LAUT, DAN DIPLOMASI MARITIM A.1 PERUNDINGAN DAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 7 2012, No.54 LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2012 NOMOR : 2 TAHUN 2012 TANGGAL : 6 JANUARI 2012 RENCANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE CZECH REPUBLIC OF ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen

Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen OLEH: ALAN KOROPITAN Sinar Harapan, 13 Juni 2009 Tak terasa, dengan hadirnya PP No 46 Tahun 2008, Dewan Nasional

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses BAB V KESIMPULAN Dinamika hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari masa penjajahan, kerjasama ekonomi hingga bidang politik dan keamanan. Politik luar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN 3.1 Gambaran Ilustrasi Organisasi 3.1.1 Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia,

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010

RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010 RENCANA STRATEGIK DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2010-2014 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2010 VISI - KKP Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia dalam pengurangan emisi gas karbon di Indonesia melalui kerjasama IAFCP terkait mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. (dok/antara) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menganggap program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Kementerian PPN/Bappenas Lokakarya Mengarusutamakan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Agenda

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

PUBLIKASI MEDIA PADA ACARA PELATIHAN INTERNASIONAL KAWASAN KONSERVASI BAGI NEGARA NEGARA ASIA PASIFIK

PUBLIKASI MEDIA PADA ACARA PELATIHAN INTERNASIONAL KAWASAN KONSERVASI BAGI NEGARA NEGARA ASIA PASIFIK PUBLIKASI MEDIA PADA ACARA PELATIHAN INTERNASIONAL KAWASAN KONSERVASI BAGI NEGARA NEGARA ASIA PASIFIK www.koran-jakarta.com Sektor Kelautan RI Dukung Kerja Sama Kelautan Asia- PasifikISTIMEWA TEGAL - Indonesia

Lebih terperinci

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin BAB IV KESIMPULAN Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin memiliki implikasi bagi kebijakan luar negeri India. Perubahan tersebut memiliki implikasi bagi India baik pada

Lebih terperinci

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi yang semakin maju ini ada banyak isu-isu yang berkembang. Bukan hanya isu mengenai hard power yang menjadi perhatian dunia, tetapi isu soft

Lebih terperinci

Pernyataan Pers Bersama, Presiden RI dan Presiden Federasi Rusia, Rusia, 18 Mei 2016 Rabu, 18 Mei 2016

Pernyataan Pers Bersama, Presiden RI dan Presiden Federasi Rusia, Rusia, 18 Mei 2016 Rabu, 18 Mei 2016 Pernyataan Pers Bersama, Presiden RI dan Presiden Federasi Rusia, Rusia, 18 Mei 2016 Rabu, 18 Mei 2016 PERNYATAAN PERS BERSAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN FEDERASI RUSIA KEDIAMAN PRESIDEN

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009 Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, 8-12-09 Selasa, 08 Desember 2009 Â SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY DI GEDUNG MERDEKA,

Lebih terperinci

terlalu keras kepada kelima negara tersebut. Karena akan berakibat pada hubungan kemitraan diantara ASEAN dan kelima negara tersebut.

terlalu keras kepada kelima negara tersebut. Karena akan berakibat pada hubungan kemitraan diantara ASEAN dan kelima negara tersebut. BAB V KESIMPULAN Sampai saat ini kelima negara pemilik nuklir belum juga bersedia menandatangani Protokol SEANWFZ. Dan dilihat dari usaha ASEAN dalam berbagai jalur diplomasi tersebut masih belum cukup

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PERSETUJUAN PARIS ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

bajo dan perubahan iklim/ dan mereka memanen rumput/

bajo dan perubahan iklim/ dan  mereka memanen rumput/ Kerangka Acuan Diskusi Regional Forum Kawasan Timur Indonesia Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia Lombok, 17 19 Oktober 2011 Latar Belakang Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh: MOHAMAD RAHMAT MULIANDA DIREKTORAT KELAUTAN DAN PERIKANAN Batam, 22 Agustus 2014 1 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN PRESIDEN RI PADA KUNJUNGAN KENEGARAAN PRESIDEN REP. KOREA. 6 MARET 2009 Jumat, 06 Maret 2009

SAMBUTAN PRESIDEN RI PADA KUNJUNGAN KENEGARAAN PRESIDEN REP. KOREA. 6 MARET 2009 Jumat, 06 Maret 2009 SAMBUTAN PRESIDEN RI PADA KUNJUNGAN KENEGARAAN PRESIDEN REP. KOREA. 6 MARET 2009 Jumat, 06 Maret 2009 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA KUNJUNGAN KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK KOREA, YANG MULIA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN KELAUTAN PASCA PEMILU 2009 DAN WOC

ARAH KEBIJAKAN KELAUTAN PASCA PEMILU 2009 DAN WOC PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM ARAH KEBIJAKAN KELAUTAN PASCA PEMILU 2009 DAN WOC LAPORAN HASIL SEMENTARA SURVEY Suhana (Kepala Riset dan Kebijakan) 5/2/2009 LAUT UNTUK KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia akan menurunkan emisi Gas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011 LAMPIRAN I : PERATURAN BNPP NOMOR : 3 TAHUN 2011 TANGGAL : 7 JANUARI 2011 RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011 A. LATAR BELAKANG Penyusunan Rencana Aksi (Renaksi)

Lebih terperinci

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF)

ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF) ASIA PACIFIC PARLIAMENTARY FORUM (APPF) www.appf.org.pe LATAR BELAKANG APPF dibentuk atas gagasan Yasuhiro Nakasone (Mantan Perdana Menteri Jepang dan Anggota Parlemen Jepang) dan beberapa orang diplomat

Lebih terperinci

KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB)

KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB) KERANGKA PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (TPB) Deputi Kemaritiman dan SDA Kementerian PPN/Bappenas Disampaikan pada Rapat Pedoman Teknis Perumusan RAN TPB Jakarta, 23 Juni 2016 OUTLINE 1.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana. MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: SUMBER DAYA ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP I Prioritas: Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan A Fokus Prioritas:

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016

Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016 Indonesia dan Belanda Perkuat Kerja Sama di Bidang Perdagangan dan Pembangunan Infrastruktur Rabu, 23 November 2016 Pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda semakin memperkukuh kemitraan di antara keduanya.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Disampaikan dalam Forum Diskusi Nasional Menuju Kota Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA NASIONAL PENYELENGGARAAN DAN DELEGASI DALAM KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA UNTUK PERUBAHAN IKLIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA IMPLEMENTASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA Ir. Wahyuningsih Darajati, M.Sc Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Disampaikan ik dalam Diskusi

Lebih terperinci

Garis-Besar NAP. Latar Belakang. Tujuan dan Strategi Pembangunan Nasional Dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim. Rencana Aksi Nasional

Garis-Besar NAP. Latar Belakang. Tujuan dan Strategi Pembangunan Nasional Dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim. Rencana Aksi Nasional Garis-Besar NAP Latar Belakang Tujuan dan Strategi Pembangunan Nasional Dalam Rangka Antisipasi Perubahan Iklim Rencana Aksi Nasional 1 2 3 Model Pembangunan Sampai Dengan Sekarang Kekhasan Negara Indonesia

Lebih terperinci

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak memiliki wilayah perbatasan dengan negara lain yang berada di kawasan laut dan darat. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PANITIA NASIONAL PENYELENGGARAAN DAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA DALAM KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA UNTUK PERUBAHAN IKLIM DENGAN

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK)

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) Shinta Damerys Sirait Kepala Bidang Pengkajian Energi Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Disampaikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci