BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan karst merupakan bentangalam khas dengan kekayaan sumberdaya alam tinggi (Raguz, 2008). Karst terbentuk akibat proses pelarutan (solusional) pada batuan mudah larut seperti karbonat, gypsum, dan batu garam (Haryono & Adji, 2004). Pembentukan kawasan karst (karstifikasi) dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol merupakan faktor yang menentukan terjadinya proses karstifikasi, yaitu: batuan (tebal, rekahan, kompak, dan kandungan karbonat), curah hujan (>250 mm/tahun), dan topografi. Sedangkan faktor pendorong merupakan faktor yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi, yaitu: suhu dan vegetasi. Semakin tinggi keberadaan faktor pengontrol dan faktor pendorong di wilayah karst maka semakin intensif pembentukan dan perkembangan kawasan karst. Perkembangan bentangalam karst menentukan karakteristik morfologi dan kondisi hidrologi karst. Bentukan karst akan terus berkembang maupun berubah (hilang) hingga proses solusional pada batuan mudah larut berhenti (Haryono & Adji, 2004). Bentukan di kawasan karst terbagi menjadi bentukan permukaan (surface) dan bentukan bawah permukaan (subsurface) (Worosuprodjo, Haryono, & Ahmad, 2000). Bentukan permukaan karst antara lain berupa dolin (doline), kubah karst (keagle karst), dan mikromorfologi karrent. Sedangkan bentukan karst bawah permukaan karst antara lain berupa goa (cave), stalaktit, dan stalakmit. Karst memiliki kondisi hidrologi yang khas. Bentangalam ini disusun oleh 3 komponen utama sistem hidrologi, yaitu akuifer, sistem hidrologi permukaan dan sistem hidrologi bawah permukaan. Ketiga sistem hidrologi karst tersebut sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan proses karstifikasi. Proses solusional yang masih berlangsung akan memengaruhi perkembangan sistem percelahan, porositas dan perkembangan akuifer karst (Haryono & Adji, 2004).

2 Kawasan karst merupakan sumberdaya alam tidak terbaharukan dengan fungsi dan potensi sumberdaya alam yang tinggi (Beynen & Townsend, 2005). Fungsi dan potensi karst bagi makhluk hidup khususnya manusia dikelompokkan menjadi 3 aspek, yaitu: aspek ekologis, hidrologis, dan sosial budaya (Haryono & Sutikno, 2000). Sebagai aspek ekologis kawasan karst merupakan tempat interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungan. Sebagai aspek hidrologis kawasan karst berfungsi sebagai regulator hidrologi dan penyimpan cadangan air bersih terbesar (Brown, 1997). Sedangkan, sebagai aspek sosial budaya kawasan karst merupakan wadah terbentuknya interaksi manusia baik dengan lingkungan maupun antar manusia. Selain itu, bentangalam karst juga memiliki fungsi estetika yaitu sebagai wilayah dengan keindahan bentukan alam diatas permukaan seperti bukit karst, lembah karst dan sinkhole maupun dibawah permukaan seperti goa karst, stalagtit dan stalagmit. Manusia dalam meningkatkan dan mencapai kualitas hidupnya akan berupaya tinggi untuk memanfaatkan dan mengolah sumberdaya alam yang ada (Wardhana, 2001). Peningkatan jumlah penduduk sebanding dengan kebutuhan ekonomi dan ruang tempat tinggal menyebabkan terjadinya kerusakan karst yang menurunkan fungsi dan keberlangsungan kawasan karst (Beynen & Townsend, 2005). Aktivitas-aktivitas manusia dalam memanfaatan kawasan karst seperti pertanian, penambangan, penggundulan hutan, dan pembangunan infrastruktur tanpa upaya rehabilitasi berdampak pada kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya hayati kawasan karst. Selain itu, kerusakan karst juga juga akan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya karst untuk generasi yang akan datang. Kawasan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron merupakan bagian dari Karst Gunung Sewu yang terletak di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan karst ini membentuk kesatuan daerah tangkapan air yang mengisi Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron. Sistem Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron merupakan sistem sungai bawah tanah terbesar di Kawasan Karst Gunung Sewu (Adji, 2013) yang menjadi sumber air bersih utama bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Pola Aliran sungai bawah tanah ini

3 dihubungkan antar Goa maupun luweng yang kemudian berakhir di Pantai Baron. Perlindungan kawasan karst dari dampak yang dapat ditimbukan dari aktivitas manusia sangat perlu dilakukan. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan karst yang signifikan dipermukaan maupun dibawah permukaan dapat memengaruhi dan mencemari sistem sungai bawah tanah Bribin-Baron. Kawasan karst Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron sebagai kawasan karst berair yang memberi masukan air bagi mataair, rembesan air/tetesan air dan sungai bawah permukaannya. Berdasarkan lampiran II/ Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup/ Nomor: Kep-11/MENLH/3/1994 bahwa kawasan karst termasuk daftar kawasan lindung, yaitu termasuk pada kawasan cagar budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah dengan budaya istimewa, daerah situs purbakala atau peninggalan sejarah yang bernilai tinggi). Oleh karena itu kawasan karst ini termasuk dalam kawasan lindung yang perlu dijaga kelestarian fungsinya. Pendekatan ekologis tersistematik dilakukan dalam mengevaluasi kerusakan dan penurunan fungsi karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. Informasi persebaran kerusakan lingkungan melalui berbagai indikator seperti tutupan vegetasi, singkapan batuan, kerusakan telaga dan biodiversitas goa digunakan untuk mengetahui jenis kerusakan dan tingkat kerusakan lingkungan karst yang terjadi di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. Sehingga dapat diketahui pengaruh aktivitas manusia dalam memberikan dampak bagi kerusakan lingkungan karst dan upaya perlindungan yang diperlukan dalam menjaga kelestarian lingkungan karst (Beynen & Townsend, 2005) 1.2 Perumusan Masalah Peningkatan jumlah penduduk yang sebanding dengan peningkatan kebutuhan hidup menyebabkan pemanfaatan kawasan karst dilakukan secara berlebihan tanpa memperhatikan fungsi dan keberlangsungan sumberdaya karst. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:

4 Kawasan bentangalam karst memiliki komponen geologi yang unik serta berfungsi sebagai pengatur alami tata air dan menyimpan nilai ilmiah, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa saja jenis-jenis Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul? 2. Bagaimana persebaran Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul? 3. Bagaimana tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis jenis persebaran Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul 2. Menganalisis tingkat Kerusakan Lingkungan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi: 1. Pemerintah Sebagai dasar pertimbangan penentuan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengawasan, pengendalian dan perlindungan kawasan karst yang terdampak akibat aktivitas manusia.

5 2. Ilmu Pengetahuan Sebagai bentuk penerapan dan pengembangan studi geografi fisik yang dapat digunakan sebagai referensi dan bahan untuk penelitian sejenis. 1.5 Telaah Pustaka Pengertian Karst Karst merupakan bentangalam khusus yang tersusun dari bentukanbentukan khas yang berkembang pada batuan mudah larut seperti batu gamping, marmer dan gipsum (Ford & Williams, 2007). Karst pada mulanya berasal dari kata Karra/gara yang berarti batu. Di Slovenia, kata Karra tersebut mengalami perubahan tata bahasa dari Kars menjadi Kras yang berarti lahan gersang berbatu. Sedangkan pada Periode Roman kata Carsus dan Carso lebih umum digunakan. Kemudian memasuki masa Kerajaan Austrio-Hungarian, kata Kras, Carsus dan Carso diubah menjadi Karst yang diambil dari bahasa Jerman. Pada abad ke 18 dan ke 19 kata Karst lebih sering digunakan oleh para peneliti dan telah menjadi kata ilmiah internasional. Karst sebagai bentangalam khusus dicirikan dengan batuan penyusun yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder berkembang dengan baik. Selain itu bentangalam ini juga dicirikan dengan berkembangnya sistem hidrologi bawah tanah dan terdapatnya bentukan-bentukan di bawah permukaan (Sub Surface) yang khas seperti goa (Ford & Williams, 2007). Menurut (Haryono & Sutikno, 2000) Bentangalam karst dicirikan sebagai berikut: 1. Disusun oleh bentukan berupa cekungan tertutup dan atau lembah kering dengan berbagai ukuran dan bentuk. 2. Tidak memiliki drainase permukaan atau sungai permukaan. 3. Memiliki bentukan khas berupa goa-goa karst dan sistem drainase bawah tanah Bentangalam karst tidak hanya terbentuk pada wilayah yang disusun oleh batuan karbonat, tetapi juga pada batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder seperti batu garam dan batu gipsum (Haryono & Sutikno, 2000). Namun, persebaran karst yang ada di seluruh wilayah lebih didominasi oleh karst

6 yang disusun oleh batuan karbonat. sehingga karst sangat identik dengan batuan karbonat. Batuan karbonat (CaCO 3 ) merupakan batuan khusus yang terbentuk dari hasil akumulasi aktivitas organik terdahulu. Batuan ini mengandung 75 % karbonat (CO 2 ) dan sangat mudah dipengaruhi atau mudah dikelola dibandingkan batuan sedimen lainnya (Ford & Williams, 2007) Karstifikasi Proses pembentukan bentangalam karst disebut Karstifikasi. Karstifikasi didominasi oleh proses pelarutan pada batuan penyusun dan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong (Haryono & Adji, 2004). Faktor pengontrol merupakan faktor-faktor yang menentukan terjadinya proses karstifikasi. Faktor ini terdiri dari: 1. Terdapatnya batuan mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan 2. Terdapatnya curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun) 3. Berada pada ketinggian yang memiliki sirkulasi air/drainase vertikal. Batuan mudah larut, kompak, tebal dan rekahan dapat menentukan berkembangannya bentuklahan karst. Semakin tinggi kandungan CaCO 3 maka tingkat mudah larutnya batuan dan berkembangnya bentuklahan karst akan semakin tinggi. Kekompakkan batuan menentukan kestabilan perkembangan bentukan-bentukan karst. Batuan karst akan terus larut hingga mencapai kestabilannya hingga membentuk bentukan-bentukan yang khas. Ketebalan batuan menetukan sirkulasi vertikal untuk membentuk cekungan-cekungan tertutup. Sedangkan rekahan sangat menentukan berkembangnya sistem hidrologi bawah tanah. Curah hujan sebagai media pelarut dan ketinggian juga sangat menentukan perkembangan karst. Semakin besar curah hujan dan ketinggian maka tingkat pelarutan batuan akan semakin tinggi. Faktor Pendorong merupakan faktor-faktor yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan dalam proses karstifikasi. Faktor pendorong terdiri dari: 1. Suhu

7 Suhu merupakan faktor yang menentukan pembentukan karst yang berkaitan dengan aktivitas organisme dalam menghasilkan CO 2 dan berlangsungnya proses evaporasi. Organisme dapat tumbuh dan berkembang baik pada suhu hangat. Keberadaan organisme dalam menghasilkan CO 2 dalam tanah akan memengaruhi kecepatan reaksi. Semakin besar kandungan CO 2 dalam tanah maka proses karstifikasi akan semakin cepat. Proses evaporasi menentukan terjadinya rekristalisasi larutan karbonat. Rekristalisasi akan membuat pengerasan permukaan sehingga bentuklahan yang terbentuk tidak terpengaruh dari prosesproses yang lain (erosi dan gerak masa). Semakin tinggi suhu udara maka proses evaporasi akan semakin besar. 2. Tutupan Vegetasi keberadaan vegetasi pada kawasan karst dapat memengaruhi tingkat kandungan CO 2 dalam tanah. Keberadaan kandungan CO 2 dalam tanah juga berasal dari hasil perombakan sisa-sisa organik oleh mikroorganisme. Kandungan CO2 dalam tanah akan memengaruhi tingkat keasamaan tanah sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi kimia didalam tanah. Reaksi kimia tersebut akan menentukan dalam daya pelarutan batuan. Semakin besar kandungan CO 2 dalam tanah maka semakin besar daya pelarutan batuannya. Tingkat daya pelarutan batuan secara tidak langsung akan memengaruhi perkembangan kawasan karst. Haryono & Adji, (2004) menjelaskan hubungan masing-masing faktor karstifikasi secara lebih rinci dalam skema berikut. Iklim Hujan-Pengoapan Temperatur Aliran Efektif Kelembaban Aktivitas Biologi Permeabilitas tanah dan batuan Kecepatan Aliran Pengangkutan Hasil Pelarutan CO2 Tanah Keasaman Tanah Reaksi Kimia Asam Organik Mineralogi dan Luas Batuan Tingkat Pelarutan dan Muatan Terlarut Batuan Gambar 1.1 Diagram Alir Karstifikasi (Haryono & Adji, 2004)

8 1.5.3 Bentukan Karst Bentukan karst yang berkembang dimulai dari proses pelarutan yang terkonsentrasi pada suatu titik atau sepanjang kelurusan-keluruan kekar atau sesar yang membentuk cekungan-cekungan tertutup atau lembah kering. Cekungan dan lembah tersebut kemudian berkembang dan melebar hingga bergabung satu dengan lainnya meninggalkan bukit-bukit karst dengan bentuk yang bervariasi seperti kerucut (Kagelkarst) dan menara (Trumkarst) (Haryono & Sutikno, 2000). Menurut Ford dan Williams (2007) bentukan karst terbagi menjadi Eksokarst, Endokarst dan Kryptokarst. Eksokarst merupakan bentukan karst yang berada di permukaan. Bentukan eksokarst terdiri atas bukit karst dengan bentuk kerucut, membulat, menara, dan/atau bentukan lainnya seperti dolin, telaga, dan mata air (KepMen ESDM No.2641 K/40/MEM/2014). Endokarst merupakan bentukan karst yang berada di bawah permukaan. Bentukan endokarst terdiri atas goa berair dan Speleothem (Stalagmit dan Stalagtit) (KepMen ESDM No.2641 K/40/MEM/2014). Sedangkan kryptokarst merupakan bentukan karst yang berkembang dibawah lapisan sedimen permeable seperti tanah, sisa tanah liat (Residual Clays), endapan zaman glacial, dll. Beberapa bentukan-bentukan Eksokarst dan Endokarst adalah sebagai berikut: a. Eksokarst 1) Bukit Karst Bukit karst yang terbentuk di wilayah tropis merupakan hasil perkembangan lanjut pelarutan dan erosi dari batu gamping (White, 1988). Bukit-bukit karst kerucut (Kagelkarst) dan menara (Turmkarst) merupakan bukit karst yang berkembang baik di wilayah tropis khususnya Indonesia (Haryono, 2001). 2) Dolin Dolin merupakan cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran antara 1 m < 1 km dan memiliki kedalamannya beberapa meter hingga ratusan meter (Ritter, 1979). Doline di wilayah iklim tropis seperti Indonesia biasanya memiliki bentukan yang tidak teratur.

9 3) Uvala Uvala merupakan ledokan tertutup luas yang merupakan gabungan dari beberapa doline yang terbentuk pada stadium perkembangan karst agak lanjut (Haryono & Adji, 2004). Menurut Sweeting (1972) uvala memiliki ukuran tidak teratur antara m dengan kedalaman m. b. Eksokarst 1) Goa Karst Goa merupakan bentukan karst dibawah permukaan yang terjadi akibat proses pelarutan tingkat lanjut pada batuan karbonat. Goa merupakan tempat terjadinya deposisi lapisan-lapisan karbonat yang stabil dalam bentuk stalaktit, stalagmite dan speleothems. (Nurjani, Haryono, Sudibyakto, Gunawan, & Asmono, 2013) Selain itu, goa karst juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai jenis organisme (Rahmadi, 2007) 2) Speleothems Speleothems merupakan mineral sekunder yang terbentuk akibat proses pengendapan di goa karst (Self & Hill, 2003). Perkembangan speleothem diawali dari curah hujan yang masuk kedalam bawah permukaan dan melarutkan batuan induk CaCO 3. Bentukan Speleothem biasa terdapat pada dinding dan lantai goa. Bentukan ini dibentuk secara bertahap dari bawah hingga lapisan atas dan/atau dapat terbentuk dimulai dari dasar dinding goa (Nurjani, Haryono, Sudibyakto, Gunawan, & Asmono, 2013) Hidrologi Karst Karst merupakan kawasan dengan karakteristik hidrologi sangat spesifik (Haryono & Adji, 2004). Karst memiliki kajian hidrologi yang lebih fokus pada sistem hidrologi bawah permukaan. Prinsip Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit kajian hidrologi permukaan dan permukaan sulit diterapkan pada wilayah karst karena lebih berkembangnya bawah permukaan. Sistem hidrologi karst memiliki 3 komponen utama, yaitu: akuifer, sistem hidrologi permukaan dan sistem hidrologi bawah permukaan. Akuifer karst bersifat anisotropik, dinasmis

10 dan heterogen. Bersifat anisotropik yatu konduktivitas hidroliknya tidak seragam ke semua arah. Bersifat heterogen apabila konduktivitas hidroliknya pada tempattempat tertentu di dalam formasi batuannya berbeda dengan tempat lain. Sedangkan bersifat dinamis karena mengalami perubahan secara bertahap akibat pelebaran sistem percelahan-rekahan atau akibat gerakan tektonik. White (1988) mengemukakan bahwa sistem hidrologi karst memiliki dua sistem aliran yang tidak terdapat pada sistem hidrologi lain, yaitu sistem aliran saluran (Conduit Flow) dan sistem aliran rembesan (Diffuse Flow). Sistem aliran rembesan merupakan aliran yang bergerak pada media berpori, media rekahan (fissure) dan bidang perlapisan yang rongganya berukuran millimeter atau lebih kecil. Sedangkan aliran saluran merupakan aliran yang bergerak pada lorong vertikal akibat pelarutan dan bidang perlapisan yang rongganya memiliki diameter dalam centimere hingga meter (Haryono & Adji, 2004). Karakteristik muka airtanah di akuifer karst sangat berbeda dengan akuifer di tempat lain. Faktor yang memengaruhi muka airtanah di akuifer karst yaitu sifat anisotropis pada akuifer karst. Proses pelarutan menyebabkan pembentukan lorong-lorong conduit yang intensif dan sangat tidak beraturan. Perkembangan lorong conduit yang sangat baik menyebabkan muka airtanah karst dapat berada sangat dalam dibawah permukaan tanah. Selain itu, sifat anisotropis pada akuifer karst juga dapat menyebabkan pembentukan cekungan atau lorong yang berisi genangan-genangan diatas muka airtanah. Muka airtanah karst sangat dikontrol oleh muka airtanah dasar (Base Level) baik lokal maupun regional (Haryono & Adji, 2004). Selain sistem akuifer, mataair yang dijumpai di wilayah karst juga memiliki beberapa keunikan, yaitu dapat ditemuinya mataair-mataair yang memiliki kesamaan debit, suhu, dan tingkat kesadahan. Karakteristik mataair karst sangat tergantung dari tingkat karstifikasi suatu wilayah. mataair yang mencapai local base level akan bergabung dengan mataair kecil disekitarnya membentuk mataair dengan debit yang besar (Haryono & Adji, 2004).

11 Gambar 1.2 Dolin dan Hidrologi Epikarst (Haryono & Adji, 2004) Tipe Karst Karst Gunungkidul merupakan 65% bagian dari Karst Gunung Sewu yang umumnya termasuk dalam tipe karst kerucut atau kagel karst (Lehmann (1936) dalam Haryono & Day, 2004). Karst Gunung Sewu tersusun atas batu gamping karang massif dan batu gamping kapur dari Formasi Wonosari pada awal Miosen hingga akhir Pliosen (Bemmelen (1949); Suyono (1994) dalam Haryono, 2000). Perkembangan karst Gunung Sewu dipengaruhi oleh kondisi iklim masa lampau (Paleoclimatic) (Urishibara-Yosihino & Yoshino (1997) dalam Haryono & Day, 2004). Formasi wonosari mengalami pengangkatan pada akhir Pliosen hingga awal Pleistosen. Pembentukan lembah-lembah kering di Karst Gunung Sewu terjadi seiring dengan penurunan muka air laut dan suhu pada akhir jaman glasial. Perkembangan karst kerucut juga mulai meluas selama periode suhu yang lebih hangat dan basah (Haryono & Day, 2004). Walaupun Karst Gunung Sewu secara umum tesusun oleh bentukan Kagelkarst, Haryono & Day (2004) mengklasifikasikan karst Gunungkidul menjadi 3 tipe karst yang memiliki perbedaan jelas dan tersebar secara spasial, yaitu:

12 A. Karst Labirin-Kerucut (Labyrinth-Cone Karst) Karst labirin-kerucut merupakan tipe karst yang secara spesifik berbentuk pola linear, memiliki gabungan lembah yang berkelok-kelok dan dominan dipengaruhi oleh patahan atau sesar utama (Haryono & Day, 2004). Pola linear lembah di Karst Gunungkidul terkombinasi dengan bukit-bukit berbentuk kerucut disekitarnya, sehingga bentukan ini disebut karst labirin-kerucut. Karst labirinkerucut memiliki karakteristik yaitu: umumnya memiliki lereng-lereng bukit sisa yang curam (antara 60 sampai 70 derajat), memiliki bentuk lembah kering yang mendekati vertikal, memiliki zona epikarst yang lebih tebal dibandingkan karst poligonal (Polygonal Karst) dan karst tower-kerucut (Tower-Cone Karst), serta tidak ditemuinya mata air. Tipe karst labirin-kerucut memiliki porositas primer yaitu 13,0-16,6 % dan porositas sekunder yaitu % (Haryono, 2000). Air hujan yang jatuh langsung terinfiltrasi menuju sistem sungai bawah tanah atau endokarst. Sebagian air menjadi aliran permukaan melewati lembah menuju ponor atau danau dolin. Tipe karst ini tersusun atas batuan karbonat padat dan keras seperti Floatstone, Packstone dan Rudstone, sehingga faktor litologi sangat memengaruhi kecuraman lereng bukit karst. Karst labirin-kerucut dapat ditemui di Gunungkidul bagian selatan, dimana proses patahan dan sesar terjadi intensif. Gambar 1.3 Tipe Karst Labirin-Kerucut (Labyrinth-Cone Karst) (Haryono & Day, 2004)

13 B. Karst Poligonal (Polygonal Karst) Karst poligonal merupakan tipe karst yang sangat dipengaruhi oleh proses fluvial dan lereng selatan dataran tinggi (Haryono & Day, 2004). Secara keseluruhan karst poligonal tersusun atas gabungan depresi (cockpits), bukit sisa dan lembah-lembah berkelok (Williams (1971); White (1988) dalam Haryono & Day, 2004). Karst poligonal berkembang sangat baik di Gunungkidul bagian barat, dimana depresi tertutup pada beberapa wilayah memiliki bentukan yang sama dengan depresi (Cockpit) di Jamaica dan Papua New Guinea (William 1971 dalam Haryono & Day 2004). Karst poligonal disusun oleh batuan gamping terumbu yang keras dan dangkal, karren dan rongga pelarutan intensif. Tipe karst ini memiliki zona epikarst yang kurang permiabel dibanding tipe karst lainnya sehingga aliran permukaannya (Surface Run off) tinggi. Porositas primer (batuan) karst poligonal berkisar antara 1.1 hingga 14 % dan porositas sekunder (rongga pelarutan) berkisar antara 22 hingga 52 % (Haryono, 2000). Karst poligonal memiliki sumber mataair yang berlimpah dan sebagai salah satu pemasukan (input) bagi sistem drainase permukaan. Gambar 1.4 Tipe Karst Poligonal (Polygonal Karst) (Haryono & Day, 2004) C. Karst Tower-Kerucut (Tower-Cone Karst) Karst tower-kerucut merupakan tipe karst yang ditandai dengan adanya bukit-bukit karbonat terisolasi yang tersebar disekitar dataran planasi (Haryono & Day, 2004). Tipe karst ini berkembang dan dapat dijumpai di bagian Timur Laut

14 dan dekat pantai selatan Gunungkidul, dimana dataran terkorosi hampir mencapai muka air laut. Faktor yang memengaruhi perkembangan karst tower-kerucut yaitu litologi dan iklim. Batuan yang menyusun tipe karst ini didominasi oleh Wackstone yaitu batugamping berlapis, lunak dan dalam, serta karren tidak berkembang baik (Haryono, 2000). Karren yang sudah terbentuk pada akhirnya juga akan terdegradasi akibat pelarutan maupun pelapukan fisik. Karst tower-kerucut memiliki zona epikarst paling tipis dibandingkan tipe karst lainnya. Porositas primer (batuan) karst tower-kerucut berkisar antara 23.1 hingga 48.2 % dan porositas sekunder <10 %. Porositas primer yang tinggi menyebabkan wilayah ini memiliki aliran permukaan yang lebih sedikit dibandingkan tipe karst lainnya, serta tidak ditemuinya mataair (Haryono, 2000) Biodiversitas Karst Gambar 1.5 Tipe Karst Tower-Kerucut (Tower- Cone Karst) (Haryono & Day, 2004) Karst merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tinggi. Terdapat 2 jenis ekosistem karst, yaitu: ekosistem permukaan (Eksokarst) dan ekosistem bawah permukaan (Endokarst) (Atmaja & Dewisetiyani, 2013). Eksokarst memiliki lingkungan yang kering dan panas sedangkan endokarst memiliki lingkungan yang gelap dan basah. Flora dan fauna yang berada di ekosistem eksokarst pada umumnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap suhu tinggi dan tanah kering. Sedangkan fauna endokarst pada umumnya minim pigmentasi kulit, tanpa mata dan memiliki laju metabolisme yang rendah.

15 Saat ini biota di Karst Gunung Sewu telah banyak mengalami kepunahan yang disebabkan faktor manusia (Antrhoposentris) dan faktor alam (Ecosentris). Selain punahnya beberapa jenis flora dan fauna, aktivitas manusia yang semakin intensif juga menyebabkan punahnya jenis-jenis penyusun hutan karst tropis di karst Gunung Sewu. Menurut Atmaja & Dewisetiyani (2013) biodiversitas yang terdapat di karst Gunung Sewu adalah sebagai berikut: 87 jenis pohon, 198 jenis burung, 39 jenis mamalia, 18 jenis reptile, 16 jenis amfibi, 22 jenis Mollusca, 221 jenis arthropoda, 18 jenis ikan air tawae, 43 jenis biota laut dan 19 jenis biota goa Pemanfaatan dan Kerusakan Lingkungan Karst Karst merupakan bentangalam khas yang tersebar di seluruh belahan bumi dan memiliki nilai fungsional tinggi bagi makhluk hidup. Karst tidak hanya berfungsi sebagai ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati dan kandungan sumberdaya alam tinggi, wilayah ini juga memiliki nilai artistik dan pariwisata dari bentukan-bentukan karst (Beynen, 2011). Bentukan bukit karst yang tersebar di kawasan karst pada dasanya memiliki fungsi ekologis sebagai penyimpan dan sistem regulator hidrologis kawasan karst (Haryono & Sutikno, 2000). Sebagian besar air yang ditampung oleh bukit dan cekungan karst akan masuk kebawah tanah melalui celah-celah batuan menjadi aliran air bawah atau keluar menjadi mata air (Haryono, 2001). Menurut Haryono & Sutikno (2000) manfaat kawasan karst dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1. Manfaat Ekonomi Kawasan Karst Sumberdaya alam dan keanekaragaman karst yang tinggi dimanfaatkan makhluk hidup khususnya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan kawasan karst dapat berupa permukiman, penambangan, pertanian, peternakan, perkebunan, pembangunan kota atau desa, aktivitas militer, pembangunan industri, perikanan dan pariwisata. Dalam melangsungkan aktivitas tersebut manusia memanfaatkan kawasan karst tanpa memperhatikan keberlangsungan ekologi dan fungsi sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan kawasan karst. Akibat dan dampak dari pemanfaatan kawasan

16 karst dapat dilihat pada Gambar 1.6. Penebangan hutan sebagai pembuka lahan untuk lahan pertanian maupun permukiman dapat menyebabkan penurunan biodiversitas dan degradasi lahan. Pemanfaatan kawasan karst yang paling dominan dan menimbulkan kerusakan adalah penambangan batu gamping. Nilai ekonomis yang dimiliki batu gamping memberikan potensi besar terhadap peningkatan penambangan batu gamping (Ariyanto & Dibyosaputro, 2012). Penambangan batu gamping dengan bahan peledak menyebabkan terganggunya ekosistem makhluk hidup di kawasan karst khususnya kelelawar dan burung wallet. Selain itu penambangan batugamping dapat menyebabkan pencemaran dan penurunan kualitas udara. Aktivitas manusia lainnya seperti permukiman, pertanian, pertenakan, perkebunan juga menyebabkan terganggunya kawasan karst seperti peningkatan erosi, deposisi, dan pencemaran tubuh perairan akibat limbah rumah tangga, pertanian dan peternakan. Selain itu, pemanfaatan karst berupa pariwisata juga menyebabkan kerusakan lingkungan karst berupa ornamen-ornamen khusus dan menimbulkan pencemaran. Pemanfaatan karst dalam bidang pariwisata pada dasarnya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan dapat menambah pendapatan daerah. Namun, pemanfaatan ini dilakukan dengan hanya memperhatikan dari segi ekonomi saja. Sehingga kerusakan-kerusakan ekologis karst sangat intensif terjadi. Gambar 1.6 Akibat dan Dampak dari Pemanfaatan Kawasan Karst (Haryono, 2014)

17 2. Manfaat Sosial-Budaya Kawasan karst dalam aspek sosial-budaya memiliki nilai sebagai tempat tinggal, spiritual/religious, estetika, rekreasional dan pendidikan. Banyak tempat di kawasan karst yang dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan spiritual/religious. Bentukan dan ornamen karst yang khusus dan unik memberikan karst nilai estetika dan edukasi. 3. Manfaat Ilmu Pengetahuan Kawasan karst merupakan obek kajian yang menarik bagi ilmu pengetahuan seperti: geologi, geomorfologi, hidrologi, biologi, arkeologi, dan karstologi. Masing-masing ilmu tersebut memiliki keterkaitan dengan kawasan karst karena fenomena yang terjadi di kawasan karst unik dan tidak terjadi di kawasan lainnya. fenomena tersebut dapat berupa fenomena abiotik dan biotik di bawah permukaan dan di atas permukaan. 1.6 Indikator Kerusakan Lingkungan Karst Menurut Haryono (2014) kerusakan lingkungan karst akibat pemanfaatan kawasan karst dapat diidentifikasi berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria untuk menilai kerusakan lingkungan kawasan karst dan kriteria untuk menilai obyekobyek khusus yang terdapat dalam kawasan karst. Kriteria untuk menilai kerusakan lingkungan kawasan karst didasarkan pada empat indikator, yaitu: luasan tutupan hutan/ vegetasi, luasan singkapan batuan karst (rock desertification), kuantitas dan kualitas air. Sedangkan Kriteria untuk menilai kerusakan obyek-obyek khusus yang terdapat dalam kawasan karst didasarkan pada tiga indikator,yaitu: kerusakan telaga, kerusakan goa dan kerusakan mataair. Masing-masing indikator tersebut saling berpengaruh dan berhubungan satu sama lain. Secara lebih rinci indikator kerusakan lingkungan karst dijelaskan sebagai berikut: Indikator Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst 1. Luasan Tutupan Hutan/ Vegetasi Tutupan hutan/ vegetasi di kawasan karst secara umum berfungsi sebagai regulator hidrologi, pengendali erosi dan sebagai tempat tinggal (habitat) makhluk

18 hidup khususnya fauna lokal. Pemanfaatan kawasan karst yang semakin intensif oleh manusia seperti penebangan hutan menyebabkan tutupan hutan/vegetasi juga semakin berkurang. Indikator luasan tutupan hutan/ vegetasi merupakan indikator awal dari kerusakan ekosistem karst. 2. Luasan Singkapan Batuan Karst (Rock Desertification) Singkapan batuan karst (Rock Desertification) merupakan dampak lanjut yang ditimbulkan akibat degradasi lahan dan hilangnya tutupan hutan/vegetasi. Berkurangnya tutupan hutan/vegetasi di kawasan karst menyebabkan degradasi lahan menjadi intensif. Proses erosi dan tersingkapnya batuan di kawasan karst dapat berlangsung sangat cepat mengingat kawasan ini memiliki tanah yang sangat tipis. Singkapan batuan di kawasan karst dapat terjadi akibat adanya aktivitas manusia berupa penambangan batugamping. Penambangan bukit karst dapat membuka lapisan tanah permukaan dan menghilangkan mintakat epikarst. 3. Kuantitas dan Kualitas Air Penurunan kualitas dan kuantitas mataair maupun sungai bawah tanah di kawasan karst menunjukkan terjadinya kerusakan lingkungan di suatu kawasan karst. Kawasan karst yang disusun oleh bukit karst yang telah kehilangan mintakat epikarst akan memiliki debit musim penghujan yang lebih besar dan memiliki debit musim kemarau yang sangat kecil. Menurut Haryono (2014) indikator kuantitas dan kualitas air yang digunakan untuk menilai kerusakan kawasan karst merupakan kuantitas dan kualitas mataair epikarst, yaitu mataair yang muncul di kaki bukit karst dengan debit yang kecil (<2 lt/detik). Mataair epikarst digunakan sebagai indikator karena mataair epikarst merupakan salah satu aspek kawasan karst yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan dibandingkan sungai bawah tanah. 4. Keberadaan Kelelawar atau Walet Kawasan Karst yang memiliki fungsi sebagai habitat khususnya goa-goa karst sangat identik terhadap keberadaan kelelawar. Kelelawar merupakan fauna yang berperan penting dalam regulator siklus kehidupan dalam goa dan luar goa. Kelelawar berfungsi sebagai sumber makanan bagi ikan dan fauna goa lainnya,

19 sebagai penyeimbang ekosistem didalam maupun luar goa, serta berfungsi sebagai perantara dalam penyerbukan tanaman Indikator Kerusakan Obyek-Obyek Khusus dalam Kawasan Karst 1. Kerusakan Telaga Telaga karst merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup di sekitarnya. Aktivitas manusia dalam memanfaatkan telaga dan kawasan sekitarnya tanpa memperhatikan aspek ekologi menyebabkan terjadinya kerusakan telaga. Kerusakan lingkungan karst dapat diketahui dengan berkurangnya umur telaga dan kekeringan telaga khususnya pada musim kemarau. 2. Kerusakan Goa Goa merupakan obyek khsusus kawasan karst yang menjadi habitat makhluk hidup karst seperti kelelawar dan wallet. Interior goa karst dengan stalagmit dan stalagtitnya memiliki keunikan dan nilai estetika yang sangat tinggi. Kerusakan ornament goa akibat aktivitas manusia ditunjukkan dengan berubahnya warna asli menjadi warna kehitaman. Selain itu, ornamen goa seperti stalagmit dan stalagtit yang memiliki nilai ekonomis tinggi dimanfaatkan dan diolah manusia menjadi souvernir dan hiasan. Penggalian pospat dan penggalian untuk membuka akses goa dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sedimen goa. Indikator kerusakan goa yang digunakan dalam menilai kerusakan obyek-obyek khusus karst yaitu kondisi interior goa, sedimen goa dan keberadaan kelelawar. 3. Kerusakan Mataair Mataair karst pada kondisi alamiah memiliki kualitas air kelas I. Aktivitas manusia yang tinggi disekita mataair dapat menyebabkan tercemarnya mataair sehingga terjadi penurunan kualitas mataair. Selain kualitas, kerusakan mataair juga disebabkan oleh peningkatan fluktuasi mataair, umur fluktuasi yang pendek atau keringnya mataair di musim kemarau.peningkatan fluktuasi mataair disebabkan oleh berkurangnya simpanan air di mintakan epikarst.

20 1.7 Penelitian Sebelumnya Kerusakan lingkungan karst merupakan permasalahan yang sangat signifikan terjadi di era globalisasi ini. Peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup yang terus meningkat, menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah karst juga meningkat. Penurunan fungsi dan kelestarian karst akan berdampak pada keberlangsungan karst dan mengurangi kualitas hidup manusia. Oleh karena itu penelitian kerusakan lingkungan di kawasan karst telah banyak dilakukan dengan metode dan wilayah kajian yang beragam. Setiawan (2002) telah melakukan penelitian yang berjudul Zonasi Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan Ponjong dan Semin Kabupaten Gunungkidul, DIY. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap faktor-faktor penentu kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian golongan C. Faktor penentu kerusakan lahan disesuaikan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63 Tahun Tahun 2003 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil yang diperoleh berupa Peta sebaran bahan galian, kerusakan, risiko ganggoan dan arahan penambangan, Rekomendasi upaya pengelolaan dan Prioritas reklamasi. Satmoko (2004) telah melakukan penelitian yang berjudul Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Batugamping di Kawasan Karst Desa Bedoyo dan Karang Asem Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap 15 faktor variabel penentu kerusakan lahan akibat penambangan batugamping. Hasil yang diperoleh berupa Satuan lahan yang rusak, Tingkat kerusakan lahan, Peta kerusakan lahan dan Pengaruh faktor ekonomi pada masyarakat untuk melakukan penambangan. Musawari (2012) telah melakukan penelitian yang berjudul Evaluasi Kerusakan Kawasan di Karst Kabupaten Muna Studi Kasus Kecamatan Lohia dan Kecamatan Bone. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Scoring terhadap 5 (lima) variabel penentu kerusakan karst yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, kualitas air mataair, kuantitas mataair, dan Biodiversitas. Hasil

21 yang diperoleh berupa Tipe karst di Kecamatan Bone dan lohia, Tingkat Kerusakan kawasan karst, Peta kerusakan karst, Faktor penyeban kerusakan kawasan karst, Nilai evaluasi kerusakan kawasan karst dan Rekomendasi pengelolaan. Ramarsari (2013) telah melakukan penelitian yang berjudul Potensi Kerusakan Lahan Karst di Gunung Sadeng Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengklasifikasian kerusakan lahan kedalam 3 (tiga) kelas kerusakan menggunakan 6 indikator penentu kerusakan lahan karst. Hasil yang diperoleh berupa Tingkat kerusakan lahan karst, Peta potensi kerusakan lahan karst, dan Faktor yang memengaruhi kerusakan lahan. Endarto (2014) telah melakukan penelitian yang berjudul Kajian Kerusakan Ekosistem Karst Sebagai Dasar Pelestarian Sumberdaya Air. Kasus: DAS Bribin Hulu Kabupaten Gunungkidul. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah overlay dan scoring parameter kerusakan karst yaitu Perubahan morfologi akibat penambangan, Outlet cekungan tertutup, Tutupan vegetasi, Kondisi Mataair, Keberadaan air pada goa dan Bangunan diatas permukaan karst. Hasil yang diperoleh berupa Karakteristik karst DAS Bribin Hulu, Tingkat kerusakan karst DAS Bribin Hulu, Peta Tingkat Kerusakan Karst DAS Bribin Hulu dan Strategi pengelolaan kerusakan lingkungan karst, Persamaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini terletak pada metode yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan metode Scoring terhadap variabel penentu kerusakan lingkungan karst sehingga diperoleh kelas kerusakan lingkungan karst. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada lokasi penelitian di Daerah Tangkapan Air Bribin- Baron, Gunungkidul, serta variabel kerusakan karst yang disesuaikan dengan Klasifikasi Kerusakan Lingkungan Karst oleh Haryono (2014). Variabel yang digunakan yaitu yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, biodiversitas, dan kondisi telaga. Perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian sekarang ditampilkan pada Tabel 1.1 berikut.

22 Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Sekarang Nama Judul Metode Hasil Setiawan, 2002 Zonasi Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kecamatan Ponjong dan Semin Kabupaten Scoring terhadap faktor penentu kerusakan lahan pada sistem penambangan bahan galian golongan C 1. Peta sebaran bahan galian, kerusakan, risiko ganggoan, dan arahan penambangan 2. Rekomendasi upaya pengelolaan 3. Prioritas reklamasi Gunungkidul, DIY Satmoko, 2004 Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Batugamping di Kawasan Karst Desa Bedoyo dan Karang Asem Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul. Evaluasi krusakan lahan dengan metode pengharkatan scoring terhadap 15 variabel penentu kerusakan lahan akibat penambangan batugamping 1. Satuan lahan yang rusak akibat penambangan 2. Tingkat kerusakan lahan akibat penambangan 3. Peta kerusakan lahan 4. Pengaruh faktor ekonomi pada masyarakat untuk melakukan penambangan Musawari, 2012 Evaluasi Kerusakan Kawasan di Karst Kabupaten Muna Studi Kasus Kecamatan Lohia dan Kecamatan Bone Evaluasi Kerusakan dengan metode scoring terhadap 5 variabel penentu kerusakan yaitu tutupan vegetasi, singkapan batuan, kualitas air mataair, kuantitas mataair, dan Biodiversitas 1. Tipe karst di Kecamatan Bone dan Kecamatan Lohia 2. Tingkat kerusakan kawasan karst 3. Peta kerusakan kawasan karst 4. Faktor penyebab kerusakan 5. Rekomendasi upaya pengelolaan

23 Indah Ramasari, Potensi Kerusakan Lahan Karst di Pengklasifikasian kerusakan 1. Tingkat kerusakan lahan karst 2013 Gunung Sadeng Kecamatan Puger lahan ke dalam 3 kelas dengan 2. Peta potensi kerusakan lahan karst Kabupaten Jember menggunakan 6 indikator 3. Faktor yang memengaruhi kerusakan lahan Endarto, 2014 Kajian Kerusakan Ekosistem Evaluasi kerusakan dengan 1. Karakteristik karst DAS Bribin Hulu Karst Sebagai Dasar Pelestarian metode Overlay dan Scoring 2. Tingkat kerusakan karst DAS Bribin Hulu Sumberdaya Air. Kasus: DAS parameter kerusakan karst yaitu 3. Peta Tingkat Kerusakan Karst DAS Bribin Bribin Hulu Kabupaten Perubahan morfologi akibat Hulu Gunungkidul penambangan, Outlet cekungan 4. Strategi pengelolaan kerusakan lingkungan tertutup, Tutupan vegetasi, karst, Kondisi Mataair, Keberadaan air pada goa dan Bangunan diatas permukaan karst Nezaputri, 2015 Tingkat Kerusakan Lingkungan Evaluasi kerusakan dengan 1. Persebaran kerusakan lingkungan karst Karst di Daerah Tangkapan Air metode Scoring terhadap 4 2. Tingkat kerusakan lingkungan karst Bribin-Baron, Gunungkidul indikator kerusakan lingkungan 3. Peta kerusakan lingkungan karst di Daerah karst yaitu tutupan vegetasi, Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul singkapan batuan, biodiversitas dan kondisi telaga. Sumber: Hasil Data Primer, 2015

24 1.8 Kerangka Pemikiran Kawasan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron merupakan bagian dari Kawasan Karst Gunung Sewu yang merupakan kawasan karst terluas di Indonesia (Atmaja & Dewisetiyani, 2013). Kawasan karst dalam kondisi alami memiliki kandungan sumberdaya alam yang melimpah seperti sumberdaya air, mineral dan biodiversitas. Sumberdaya alam yang tinggi di kawasan karst dimanfaatkan manusia sebagai ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya. Sebagai daerah tangkapan air sungai bawah tanah Bribin-Baron, aktivitas manusia dalam mengelola sumberdaya karst baik dipermukaan maupun dibawah permukaan dapat memengaruhi dan mencemari sumber air sungai bawah tanah Bribin-Baron. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karst yang menurunkan fungsi karst dan memengaruhi keberlangsungan kawasan karst. Penentuan dan identifikasi kerusakan lingkungan karst dapat dilakukan dengan berdasarkan Pedoman Identifikasi Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst oleh Haryono (2014). Variabel yang digunakan dalam menentukan kerusakan lingkungan karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron, Gunungkidul terdiri dari kerusakan vegetasi, tersingkapnya batuan karst, kerusakan telaga, dan menurunnya keberadaan kelelawar. Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst diketahui dengan menggunakan metode scoring hasil pengamatan dan wawancara keadaan kawasan Karst di lapangan dengan Kriteria Kerusakan Lingkungan Karst. Pengetahuan tentang kerusakan lingkungan karst yang semakin signifikan seiring pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pemanfaatan sumberdaya karst khususnya Kawasan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron. Penentuan kebijakan pengelolaan dan rehabilitasi dapat digunakan sebagai upaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan karst di Kawasan Karst di Daerah Tangkapan Air Bribin-Baron. Selain itu, upaya kerjasama antar lembaga perlindungan kawasan karst dan masyarakat setempat juga perlu ditingkatkan mengingat masyarakat merupakan aspek yang berpengaruh langsung terhadap kawasan karst.

25 Kerusakan Vegetasi Tersingkapnya Batuan Karst Menurunnya keberadaan kelelaawar Keruskan Telaga Daerah Tangkapan Air Sungai Bawah Tanah Bribin-Baron, Gunungkidul Unit Bentuklahan Karst Pemanfaatan Sumberdaya Karst Kerusakan Lingkungan Kawasan Karst Persebaran Jenis Kerusakan Karst Tingkat Kerusakan Lingkungan Karst Gambar 1.7 Kerangka Pemikiran Teoritik

Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM

Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM Serial Powerpoint Presentasi: KOMPONEN- KOMPONEN ALIRAN KARST Tjahyo Nugroho Adji Karst Research Group Fak. Geografi UGM SISTEM HIDROLOGI KARST A. Pendahuluan Karst Gunung Sewu dikenal sebagai kawasan

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar

Lebih terperinci

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani

BENTANG ALAM KARST. By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.blogspot.com Lembaga Pelatihan OSN BENTANG ALAM KARST By : Asri Oktaviani Pengertian tentang topografi kars yaitu : suatu topografi yang terbentuk pada daerah dengan litologi berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi pembagian satuan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KARST DAN PERANANNYA DALAM SIKLUS KARBON DI INDONESIA

PENGELOLAAN KAWASAN KARST DAN PERANANNYA DALAM SIKLUS KARBON DI INDONESIA 1 PENGELOLAAN KAWASAN KARST DAN PERANANNYA DALAM SIKLUS KARBON DI INDONESIA Ahmad Cahyadi Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada ahmadcahyadi@geo.ugm.ac.id INTISARI Karst

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL

TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL TANGGAPAN TERKAIT DENGAN PENGGENANGAN LAHAN DI SEKITAR GUA/MATAAIR NGRENENG, SEMANU, GUNUNGKIDUL Ahmad Cahyadi, S.Si., M.Sc. Kelompok Studi Karst, Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH. Karst Research Group Fak. Geografi UGM

PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH. Karst Research Group Fak. Geografi UGM PERKEMBANGAN SISTEM HIDROLOGI KARST DI KARST PIDIE, ACEH Karst Research Group Fak. Geografi UGM PERTANYAAN?? Apakah karst di daerah penelitian telah berkembang secara hidrologi dan mempunyai simpanan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok yang mutlak harus dipenuhi sehari-hari. Tanpa adanya air, manusia tidak dapat bertahan hidup karena air digunakan setiap harinya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Salah satu dari sekian banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan makhluk hidup yang tinggal di permukaan bumi terutama bagi manusia. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin maju,

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Hidrologi Aliran Sungai Bawah Tanah di Kawasan Karst untuk Mendukung Pengembangan Geowisata

Analisis Karakteristik Hidrologi Aliran Sungai Bawah Tanah di Kawasan Karst untuk Mendukung Pengembangan Geowisata Chapter 2 Analisis Karakteristik Hidrologi Aliran Sungai Bawah Tanah di Kawasan Karst untuk Mendukung Pengembangan Geowisata Igor Yoga Bahtiar 1 dan Ahmad Cahyadi 2 Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khas, baik secara morfologi, geologi, maupun hidrogeologi. Karst merupakan

BAB I PENDAHULUAN. khas, baik secara morfologi, geologi, maupun hidrogeologi. Karst merupakan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Bentang alam karst pada umumnya memiliki karakter yang spesifik dan khas, baik secara morfologi, geologi, maupun hidrogeologi. Karst merupakan bentang alam

Lebih terperinci

PENGANTAR. bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Sebenarnya istilah ini

PENGANTAR. bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Sebenarnya istilah ini PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Sebenarnya istilah ini berkaitan dengan batugamping

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan ketentuan

Lebih terperinci

VARIASI TEMPORAL KANDUNGAN HCO - 3 TERLARUT PADA MATAAIR SENDANG BIRU DAN MATAAIR BEJI DI KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN DAN KECAMATAN GEDANGAN

VARIASI TEMPORAL KANDUNGAN HCO - 3 TERLARUT PADA MATAAIR SENDANG BIRU DAN MATAAIR BEJI DI KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN DAN KECAMATAN GEDANGAN TERSEDIA SECARA ONLINE http://journal2.um.ac.id/index.php /jpg/ JURNAL PENDIDIKAN GEOGRAFI: Kajian, Teori, dan Praktek dalam Bidang Pendidikan dan Ilmu Geografi Tahun 22, No. 1, Januari 2017 Halaman: 1621

Lebih terperinci

Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat

Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat Prioritas Ekosistem Karst Dengan Perkembangan Ekonomi Masyartakat Dwi Noviar ADITYA 1, PREMONOWAT 1, Hari Wiki UTAMA 12 Teknik Geologi UPN Yogyakarta, Indonesia 1 Pascasarjana Teknik Geologi UGM, Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.640, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ESDM. Kawasan Bentang Alam Karst. Penetapan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN

Lebih terperinci

Pentingnya Monitoring Parameter Parameter Hidrograf

Pentingnya Monitoring Parameter Parameter Hidrograf Pentingnya Monitoring Parameter Parameter Hidrograf DalamPengelolaanAirtanahdi DaerahKarst TJAHYO NUGROHO ADJI & AHMAD CAHYADI Kelompok Studi Karst Kelompok Studi Karst Fak. Geografi UGM LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

MENGENAL KARST. Oleh : Heri Susanto Kasubbid Pertambangan, Energi, Pertanian dan Kelautan Pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH

MENGENAL KARST. Oleh : Heri Susanto Kasubbid Pertambangan, Energi, Pertanian dan Kelautan Pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH MENGENAL KARST Oleh : Heri Susanto Kasubbid Pertambangan, Energi, Pertanian dan Kelautan Pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH (Tulisan ini didedikasikan untuk kegiatan Menuju Biduk-biduk sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho Teknik Geologi FTKE- Universitas Trisakti Program Doktor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Abstact... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Intisari... Abstact... i ii ii iv x xi xvi xviii xix BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

Fitria Nucifera Program Beasiswa Unggulan BPKLN

Fitria Nucifera Program Beasiswa Unggulan BPKLN PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN KARST BERBASIS ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN DAN PEMETAAN KAWASAN LINDUNG SUMBERDAYA AIR Studi Kasus di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta Ahmad

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN

PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN Arhananta, Faishal Arkhanuddin, dan Muhammad Dzulfikar Faruqi UPN VETERAN YOGYAKARTA, Jalan SWK No. 104 (Lingkar Utara)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Airtanah merupakan sumber daya penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai sumber pasokan air, airtanah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Persetujuan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Peta... Daftar Lampiran... i ii iii vi ix xi xiii xii BAB I. PENDAHULUAN... 1

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA. Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK

PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA. Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN KARST CITATAH RAJAMANDALA Oleh: Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN + 2HCO 3. (1)

BAB I PENDAHULUAN + 2HCO 3. (1) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karst adalah suatu bentanglahan yang memiliki sistem hidrologi dengan ciri tersendiri. Bentanglahan ini tercipta dari batuan yang mudah larut, seperti batu gamping,

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST

GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST GEOMORFOLOGI DAN GEOLOGI FOTO GL3222 9. PEGUNUNGAN PLATEAU DAN KARST Plain dan Plateau? Plain (Dataran): Morfologi datar dengan kemiringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

PADA BEBERAPA MATAAIR DAN SUNGAI BAWAH

PADA BEBERAPA MATAAIR DAN SUNGAI BAWAH SEBARAN SPASIAL TINGKAT KARSTIFIKASI AREA PADA BEBERAPA MATAAIR DAN SUNGAI BAWAH TANAH KARST MENGGUNAKAN RUMUSRESESI RESESI HIDROGRAPH MALIK VOJTKOVA (2012) Tjahyo Nugroho Adji, Fakultas Geografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Serial:Powerpoint Presentasi: HIDROLOGI/ KONDISI AIR DAERAH KARST. Oleh : Tjahyo Nugroho Adji (Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM)

Serial:Powerpoint Presentasi: HIDROLOGI/ KONDISI AIR DAERAH KARST. Oleh : Tjahyo Nugroho Adji (Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM) Serial:Powerpoint Presentasi: HIDROLOGI/ KONDISI AIR DAERAH KARST Oleh : Tjahyo Nugroho Adji (Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM) AIR DI DAERAH KARST Ilmu yang mempelajari air di bumi adalah HIDROLOGI

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

POTENSI SUMBERDAYA ALAM KARS KECAMATAN

POTENSI SUMBERDAYA ALAM KARS KECAMATAN POTENSI SUMBERDAYA ALAM KARS KECAMATAN TANJUNG PALAS KABUPATEN BULUNGAN Oleh Ir. Fuad Abdullah, MMT; Jendi Siregar, ST ; M. Herry Limbong, ST; Ajiz Hayli Bidang Geologi dan Sumberdaya Mineral Dinas Pertambangan

Lebih terperinci

KONFLIK ANTARA PEMANFAATAN BATUGAMPING DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DAS BRIBIN DI WILAYAH KARST GUNUNG SEWU

KONFLIK ANTARA PEMANFAATAN BATUGAMPING DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DAS BRIBIN DI WILAYAH KARST GUNUNG SEWU KONFLIK ANTARA PEMANFAATAN BATUGAMPING DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DAS BRIBIN DI WILAYAH KARST GUNUNG SEWU (Oleh: Tjahyo N Adji dan Eko Haryono)* ABSTRAK Sebagai salah satu sumber pemasok air utama di

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK Nama Kelompok : IN AM AZIZUR ROMADHON (1514031021) MUHAMAD FAISAL (1514031013) I NENGAH SUMANA (1514031017) I PUTU MARTHA UTAMA (1514031014) Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta hektar, tersebar di beberapa di wilayah Pulau Sumatera, Papua dan pulaupulau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. juta hektar, tersebar di beberapa di wilayah Pulau Sumatera, Papua dan pulaupulau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki kawasan karst yang sangat luas mencapai lebih dari 15,4 juta hektar, tersebar di beberapa di wilayah Pulau Sumatera, Papua dan pulaupulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan infiltrasi. Kecepatan infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan terinfiltrasi masuk ke dalam tanah. Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah sangat ditentukan oleh kecepatan infiltrasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Geografi merupakan disiplin ilmu yang berorientasi pada masalah (problem oriented). Untuk itu diperlukan pemahaman secara menyeluruh dan benar terhadap berbagai bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang berpotensi untuk dikembangkan dan didayagunakan bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Danau secara

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan

1 BAB I PENDAHULUAN. lainnya tidak selalu sama. Bentukan khas pada bentang alam ini disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Bentang alam karst merupakan suatu bentang alam yang memiliki bentukan yang sangat unik dan khas. Bentang alam karst suatu daerah dengan daerah yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

C. Batas Wilayah Secara administratif area pendataan berada di Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang. Laporan Pendataan Gua, Mata Air dan Telaga di Karst Malang Selatan Desa Bandung Rejo dan Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang 19-20 September 2015 A. Latar Belakang Karst adalah bentukan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono

PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA. Oleh : Salatun Said Hendaryono PEMBENTUKAN RESERVOIR DAERAH KARST PEGUNUNGAN SEWU, PEGUNUNGAN SELATAN JAWA Oleh : Salatun Said Hendaryono PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI UPN VETERAN YOGYAKARTA 1 POKOK BAHASAN : PENDAHULUAN GEOLOGI DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul

BAB I PENDAHULUAN. daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Gunungkidul selalu identik dengan kekeringan dan daerah tandus, akan tetapi pada kenyataannya Kabupaten Gunungkidul mempunyai berbagai sumberdaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukiman merupakan kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan makanan dan pakaian. Permukiman sebagai tempat untuk kelangsungan hidup manusia. Permukiman sebagai unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

HIDROSFER. Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI

HIDROSFER. Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI HIDROSFER Lili Somantri,S.Pd Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UPI Disampaikan dalam Kegiatan Pendalaman Materi Geografi SMP Bandung, 7 September 2007 Peserta workshop: Guru Geografi SMP Siklus Air Dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pembangunan yang berjalan pesat memberikan dampak tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup Indonesia, khususnya keanekaragaman hayati, luasan hutan dan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

Keunikan Hidrologi Kawasan Karst: Suatu Tinjauan

Keunikan Hidrologi Kawasan Karst: Suatu Tinjauan Chapter 1 Keunikan Hidrologi Kawasan Karst: Suatu Tinjauan Ahmad Cahyadi Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Email: ahmadcahyadi@geo.ugm.ac.id Intisari Kawasan karst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Kendeng Utara terbentang mulai dari Kabupaten Kudus, sampai dengan Kabupaten Tuban, termasuk di antaranya adalah Kabupaten Grobogan, Blora, Pati dan Rembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai

I. PENDAHULUAN. yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karst adalah bentang alam di permukaan dan di bawah permukaan tanah yang secara khas berkembang pada batu gamping dan/atau dolomite sebagai akibat proses pelarutan air.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off 7 TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS Aliran permukaan, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah. Bentuk aliran inilah yang penting sebagai penyebab erosi, karena merupakan

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang 62 BAB VII PERENCANAAN 7.1 KONSEP PERENCANAAN 7.1.1 Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati

Lebih terperinci

Konservasi Sumberdaya Air Kawasan Karst Gunungsewu dengan Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Konservasi Sumberdaya Air Kawasan Karst Gunungsewu dengan Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Chapter 10 Konservasi Sumberdaya Air Kawasan Karst Gunungsewu dengan Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Ghufran Zulqhisti 1 dan Ahmad Cahyadi 2 Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, KEPUTUSAN MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI NOMOR : 1518 K/20/MPE/1999 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KARS MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang pertambangan harus memperhatikan

Lebih terperinci

Gambar 1.1.Ilustrasi sistem hidrologi karst (Goldscheider, 2010)

Gambar 1.1.Ilustrasi sistem hidrologi karst (Goldscheider, 2010) BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Bentanglahan karst memiliki daya tarik tersendiri ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, karena memiliki karakter yang unik baik secara geomorfologi, geologi, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan mutlak bagi seluruh kehidupan di bumi. Air juga merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Tetapi saat ini, ketidakseimbangan

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci